Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Bahan Ajar RMIK - Manajemen Informasi Kesehatan V Sistem Klaim dan asuransi

Bahan Ajar RMIK - Manajemen Informasi Kesehatan V Sistem Klaim dan asuransi

Published by Perpustakaan Soerojo, 2023-02-02 07:21:03

Description: Bahan Ajar RMIK - Manajemen Informasi Kesehatan V Sistem Klaim dan asuransi

Keywords: Bahan Ajar RMIK - Manajemen Informasi Kesehatan V Sistem Klaim dan asuransi

Search

Read the Text Version

["1. Aspek Administrasi (Administration) Rekam medis mempunyai nilai administrasi karena isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dan paramedis dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan. 2. Aspek Hukum (Legal) Rekam medis mempunyai nilai hukum karena isinya menyangkut adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan, dalam rangka menegakkan hukum serta penyediaan bahan bukti untuk menegakkan keadilan. 3. Aspek Keuangan (Financial) Rekam medis mempunyai nilai finansial karena isinya menyangkut data dan informasi yang dapat digunakan dalam perhitungan biaya pelayanan kesehatan. 4. Aspek Penelitian (Research) Rekam medis mempunyai nilai penelitian karena isinya menyangkut data\/informasi yang dapat digunakan dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan. 5. Aspek Pendidikan (Education) Rekam medis mempunyai nilai pendidikan karena isinya menyangkut data\/informasi tentang perkembangan\/kronologis dan kegiatan pelayanan medis yang diberikan kepada pasien yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan\/referensi pendidikan dan pengajaran. 6. Aspek Dokumentasi (Documentation) Rekam medis mempunyai nilai dokumentasi karena isinya menyangkut sumber ingatan yang harus didokumentasikan dan dipakai sebagai bahan pertanggungjawaban. Untuk dapat memenuhi aspek-aspek tersebut, rekam medis harus dikelola dan didokumentasikan dengan baik. Data yang ada di dalam berkas rekam medis harus diisi dengan lengkap. Namun, sampai saat ini, adakalanya muncul kendala-kendala terkait dengan hal tersebut. Kendala yang sering muncul biasanya adalah data dicatat tidak tepat waktu, gagal mendokumentasikan perintah dan tanda tangan dokter, isian data pada formulir rekam medis terlalu detail, dan data yang dicatat tidak akurat. Kendala-kendala tersebut berimbas pada ketidaklengkapan isian data pada berkas rekam medis. Apabila hal tersebut dibiarkan maka peluang timbulnya fraud akan terbuka lebar. Dokumentasi rekam medis yang buruk (tidak lengkap) akan memunculkan potensi fraud. Sebagai contoh, pendokumentasian diagnosis dan tindakan medis yang kurang lengkap dan akurat akan memunculkan peluang penentuan kode diagnosis dan tindakan yang tidak tepat. Ketidaktepatan penentuan kode akan mendorong oknum tertentu untuk memanipulasi kode sehingga klaim yang diajukan bernilai lebih tinggi. Hal ini sudah barang tentu merupakan salah satu bentuk kecurangan\/fraud. 144 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi pendokumentasian yang kurang lengkap adalah dengan melakukan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif rekam medis. Hatta (2011) menjelaskan analisis kualitatif sebagai suatu proses telaah\/review yang ditujukan terhadap dokumen rekam medis untuk mengidentifikasi tentang ketidaklengkapan pengisian dokumen rekam medis. Analisis difokuskan untuk mengecek kepastian diagnosis yang lengkap dan konsisten, masukan dari segenap pemberi pelayanan kesehatan yang konsisten, penetapan kepastian alasan perawatan pasien dan jalannya pengobatan, pendokumentasian yang tepat berkaitan dengan informed consent, pelaksanaan pendokumentasian yang baik dan memadai, serta keadaan yg potensial terkena tuntutan. Pelaksanaan analisis kualitatif harus didukung dengan pengetahuan tentang terminologi medis, anatomi dan fisiologi, dasar-dasar ilmu penyakit, serta isi catatan medis. Lebih lanjut, Hatta (2011) menjelaskan analisis kuantitatif sebagai telaah\/review bagian tertentu dari isi rekam medis guna menemukan kekurangan, khusus yang terkait dengan pencatatan rekam medis. Analisis kuantitatif disebut juga analisis ketidaklengkapan baik formulir yang harus ada maupun kelengkapan pengisian item data yang terdapat pada formulir sesuai dengan pelayanan yang diberikan pada pasien. Analisis ini terdiri dari empat komponen yaitu review identifikasi, review autentikasi, review pelaporan, dan review pencatatan. Review identifikasi dilakukan untuk memeriksa komponen identitas pasien di setiap lembar formulir rekam medis yang minimal memuat nomor rekam medis dan nama pasien. Review autentikasi dimaksudkan untuk memastikan pendokumentasian rekam medis dilengkapi dengan tanggal dan jam pelayanan, serta tanda tangan dan nama terang pemberi pelayanan kesehatan. Review pelaporan dilakukan untuk memastikan ketepatan data yang tercantum pada rekam medis sebab rekam medis merupakan sumber data statistik pelaporan pada fasilitas kesehatan. Review pencatatan dilakukan untuk mengecek catatan yang tidak lengkap atau tidak terbaca, penggunaan singkatan dan simbol yang sesuai dengan standar\/kesepakatan bersama, dan aturan pembetulan kesalahan dalam penulisan data. Implementasi analisis pada saat pelayanan sedang berjalan maupun setelah dokumen rekam medis telah berada di unit kerja rekam medis perlu dievaluasi karena menyangkut \u201ccost & benefit.\u201d Analisis harus diupayakan dapat dilaksanakan secara rutin. Oleh karena itu, kegiatan analisis memerlukan personil, material, dan tempat kerja yang memadai. Dengan dilakukannya analisis kualitatif dan analisis kuantitatif ini, persentase kelengkapan pendokumentasian rekam medis diharapkan mengalami peningkatan. Dengan demikian, kualitas informasi yang disampaikan kepada pihak penanggung biaya khususnya BPJS Kesehatan yang juga akan meningkat. Hal ini dapat digunakan untuk menekan potensi terjadinya fraud. \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 145","C. PERAN PEREKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN DALAM UPAYA PENCEGAHAN FRAUD Seorang profesi perekam medis dan informasi kesehatan (PMIK) harus memahami dengan baik terkait dengan konsep fraud. Selain itu, profesi PMIK juga harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan terkait upaya pencegahan fraud sebab memiliki peran sentral dalam proses klaim jaminan kesehatan. Gambar 4.8. Skema Proses Verifikasi Data Klaim Jika dilihat dari gambar 4.8., seorang profesi PMIK dapat berperan sebagai petugas administrasi klaim rumah sakit, koder, dan petugas yang terlibat dalam verifikasi internal di rumah sakit. Petugas administrasi klaim rumah sakit bertugas untuk memastikan berkas klaim lengkap. Kelengkapan berkas meliputi kelengkapan jumlah formulir yang diajukan dan kelengkapan data yang didokumentasikan di dalamnya. Untuk dapat melakukan hal itu, profesi PMIK harus menguasai pengetahuan dan keterampilan terkait analisis rekam medis, baik analisis kualitatif maupun analisis kuantitatif. Peran berikutnya dari seorang PMIK adalah sebagai koder yang melaksanakan kegiatan coding. Coding memiliki fungsi yang sangat penting dalam pelayanan manajemen informasi kesehatan. Data klinis yang terkode dibutuhkan untuk mendapatkan kembali informasi atas perawatan pasien, penelitian, perbaikan, pelaksanaan, perencanaan dan fasilitas manajemen 146 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","dan untuk menentukan biaya perawatan kepada penyedia pelayanan kesehatan. Untuk dapat memenuhi keperluan tersebut, kode yang ditentukan harus tepat\/akurat. Agar dapat memperoleh kode tepat\/akurat, profesi PMIK khususnya koder harus mempunyai pengetahuan terkait biomedik anatomi, fisiologi, patologi, dan terminologi medis yang memadai. Selain itu, koder juga harus paham dengan sistem klasifikasi penyakit yang berlaku yaitu ICD-10 termasuk aturan morbiditas dan mortalitas. Menurut Kasim dan Erkadius dalam Hatta (2011), pengodean yang sesuai dengan ICD-10 meliputi: 1. tentukan tipe pernyataan (diagnosis) yang akan dikode dan buka ICD-10 volume 3 (kamus indeks alfabetis). Bila pernyataan adalah istilah penyakit atau cedera atau kondisi lain yang terdapat pada Bab I-XIX dan XXI (Z00-Z99), gunakan istilah tersebut sebagai \u201clead term\u201d untuk dimanfaatkan sebagai panduan menelusuri istilah yang dicari pada seksi 1 indeks (Volume 3). Bila pernyataan adalah penyebab luar (external cause) dari cedera (bukan nama penyakit) maka yang ada di Bab XX (Volume 1), lihat dan cari kodenya pada seksi 2 di indeks (Volume 3); 2. \u201clead term\u201d (kata panduan) untuk penyakit dan cedera biasanya merupakan kata benda yang memaparkan kondisi patologisnya. Sebaiknya jangan menggunakan istilah kata benda anatomi, kata sifat atau kata keterangan sebagai kata panduan. Walaupun demikian, beberapa kondisi ada yang diekspresikan sebagai kata sifat atau eponim (menggunakan nama penemu) yang tercantum di dalam indeks sebagai \u201clead term\u201d; 3. baca dengan seksama dan ikuti petunjuk catatan yang muncul di bawah istilah yang akan dipilih pada Volume 3; 4. baca istilah yang terdapat dalam tanda kurung \u201c()\u201d sesudah lead term (kata dalam tanda kurung = modifier, tidak akan mempengaruhi kode). Istilah lain yang ada di bawah lead term (dengan tanda (-) minus = idem = indent) dapat memengaruhi nomor kode, sehingga semua kata-kata diagnostik harus diperhitungkan); 5. ikuti secara hati-hati setiap rujukan silang (cross references) dan perintah \u201csee\u201d dan \u201csee also\u201d yang terdapat dalam indeks; 6. lihat daftar tabulasi (Volume 1) untuk mencari nomor kode yang paling tepat. Lihat kode tiga karakter diindeks dengan tanda minus pada posisi keempat yang berarti bahwa isian untuk karakter keempat itu ada di dalam volume 1 dan merupakan posisi tambahan yang tidak ada dalam indeks (Volume 3). Perhatikan juga perintah untuk membubuhi kode tambahan (additional code) serta aturan cara penulisan dan pemanfaatannya dalam pengembangan indeks penyakit dan dalam sistem pelaporan morbiditas dan mortalitas; 7. ikuti pedoman \u201cinclusion\u201d dan \u201cexclusion\u201d pada kode yang dipilih atau bagian bawah suatu bab (chapter), blok, kategori, atau subkategori; 8. tentukan kode yang Anda pilih; dan \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 147","9. lakukan analisis kuantitatif dan kualitatif data diagnosis yang dikode untuk memastikan kesesuaiannya dengan pernyataan dokter tentang diagnosis utama di berbagai lembar formulir rekam medis pasien guna menunjang aspek legal rekam medis yang dikembangkan. Sebagai pelengkap, seorang koder juga harus mampu melaksanakan komunikasi dan kerja sama dengan baik dengan tenaga medis (dokter) sebagai tenaga kesehatan yang berwenang menentukan diagnosis pasien. Apabila data resume terkait diagnosis belum lengkap, koder berkewajiban untuk mengingatkan dokter agar segera melengkapinya. Dengan demikian, sumber data yang akan digunakan untuk proses coding semakin lengkap. Sebelum berkas klaim diajukan ke BPJS Kesehatan, berkas sebaiknya diverifikasi terlebih dahulu oleh tim verifikator internal. Salah satu anggota tim ini adalah profesi PMIK dan koder. Tugas utama tim ini adalah: 1. memverifikasi data kelengkapan resume medis pasien dan pemeriksaan penunjang, 2. memverifikasi kesesuaian diagnosis dan tindakan dengan data penyakit dan prosedur, 3. memverifikasi kesesuaian data tagihan (billing) dengan penyakit dan tindakan, dan 4. melakukan penyesuaian atau koreksi klaim yang tidak sesuai pelayanan yang didapatkan pasien dengan bukti pelayanan yang diklaimkan ke BPJS. Dengan dilakukannya proses verifikasi internal, peluang terjadinya fraud diharapkan dapat ditekan. Apabila sudah tidak ditemukan indikasi adanya fraud, berkas klaim hasil verifikasi internal selanjutnya dapat diajukan kepada BPJS Kesehatan untuk diverifikasi lebih lanjut dan proses reimbursement. Sekali lagi, komunikasi dan kerja sama yang baik perlu dilakukan dan ditingkatkan antara koder, profesi PMIK, dokter, dan pihak BPJS Kesehatan untuk mencegah fraud. Latihan Untuk dapat memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah Latihan berikut! 1) Apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah fraud? 2) Sebutkan prinsip-prinsip budaya anti-fraud yang dikembangkan di Indonesia! 3) Apa saja tugas dari tim pencegahan fraud? 4) Sebutkan sanksi administratif yang dapat diberikan kepada pelaku fraud! 5) Apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin keabsahan berkas rekam medis sehingga dapat mencegah terjadinya fraud? 148 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Ringkasan 1. Penanggulangan fraud dapat dilakukan dengan skema pencegahan fraud yang meliputi tindakan preventif, pendeteksian, dan penanganan fraud yang harus dipahami dan disadari oleh semua pihak terkait. 2. Dokumentasi rekam medis yang buruk (tidak lengkap) akan memunculkan peluang terjadinya fraud sehingga diperlukan kegiatan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif yang rutin untuk menjamin kelengkapan dan ketepatan pengisian data di dalam berkas rekam medis. 3. Profesi perekam medis dan informasi kesehatan harus memahami konsep dan upaya pencegahan fraud dan ditunjang dengan penguasaan pengetahuan dan keterampilan coding yang memadai serta komunikasi dan kerja sama dengan pihak terkait dengan baik agar potensi fraud diharapkan dapat dikendalikan dan dicegah sedini mungkin dari pengelolaan rekam medis dan informasi kesehatan yang baik dan benar. Tes 2 Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar! 1) Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi fraud meliputi \u2026. A. tindakan korektif, pendeteksian, dan penanganan B. tindakan promotif, pendeteksian, dan penanganan C. tindakan preventif, pendeteksian, dan penanganan D. tindakan konservatif, pendeteksian, dan penanganan 2) Upaya pencegahan fraud dapat dilakukan dengan membangun sebuah sistem yang terdiri dari beberapa langkah, kecuali \u2026. A. mengembangkan budaya anti-fraud B. menyusun kebijakan dan pedoman pencegahan fraud C. menyusun skema peningkatan pembiayaan kesehatan D. mengembangkan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada kendali mutu dan kendali biaya 3) Prinsip pengembangan budaya anti-fraud yang menunjukkan adanya keterbukaan informasi sesuai dengan kebutuhan dan aturan yang berlaku adalah \u2026. A. responsibilitas B. akuntabilitas \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 149","C. transparansi D. kewajaran 4) Prinsip pengembangan budaya anti-fraud yang menunjukkan adanya kejelasan dari struktur sistem dan pertanggungjawaban pelayanan sehingga pengelolaan pelayanan menjadi lebih efektif adalah \u2026. A. responsibilitas B. akuntabilitas C. transparansi D. kewajaran 5) Prinsip pengembangan budaya anti-fraud yang mengarah pada perlakuan yang adil dan setara di dalam pemenuhan hak para pemangku kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian atau kerja sama dalam hal pencegahan fraud adalah \u2026. A. responsibilitas B. akuntabilitas C. transparansi D. kewajaran 6) Pengembangan budaya anti-fraud harus memenuhi prinsip responsibilitas yang mempunyai arti \u2026. A. adanya perlakuan yang adil dan setara di dalam pemenuhan hak para pemangku kepentingan B. adanya keterbukaan informasi yang sesuai dengan kebutuhan dalam upaya untuk mencegah fraud C. adanya kejelasan dari struktur sistem dan pertanggungjawaban pelayanan sehingga pengelolaan pelayanan menjadi lebih efektif D. adanya kesesuaian atau kepatuhan dalam pengelolaan pelayanan terhadap prinsip organisasi yang baik dalam rangka pencegahan fraud 7) Pengembangan budaya anti-fraud harus memenuhi prinsip independensi yang mempunyai arti \u2026. A. perlakuan yang adil dan setara di dalam pemenuhan hak para pemangku kepentingan B. keterbukaan informasi yang sesuai dengan kebutuhan dalam upaya untuk mencegah fraud C. pengelolaan organisasi secara profesional tanpa adanya benturan kepentingan maupun tekanan dari pihak manapun 150 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","D. kejelasan dari struktur sistem dan pertanggungjawaban pelayanan sehingga pengelolaan pelayanan menjadi lebih efektif 8) Untuk mewujudkan tata kelola klinis yang baik, fasilitas kesehatan dapat melakukan hal berikut ini, kecuali \u2026. A. penerapan pedoman pelayanan klinis B. penerapan kewenangan ganda C. penerapan standar pelayanan D. penerapan audit klinis 9) Tim pencegahan fraud di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) utamanya harus melibatkan profesi \u2026. A. Apoteker B. Nutrisionis C. Petugas keamanan D. Perekam Medis dan Informasi Kesehatan 10) Salah satu hal yang dapat menghambat upaya pencegahan fraud adalah \u2026. A. melakukan deteksi dini Kecurangan JKN B. memonitor dan mengevaluasi semua kegiatan pelayanan C. menggunakan konsep manajemen yang efektif dan efisien D. mendorong seluruh sumber daya manusia untuk bekerja keras tanpa standar pelayanan 11) Tim pencegahan fraud di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) terdiri dari unsur \u2026. A. satuan pemeriksaan internal (SPI), komite medis, direktur rumah sakit, koder, dan unsur lain yang terkait B. satuan pemeriksaan internal (SPI), komite medis, tenaga perekam medis dan informasi kesehatan, koder, dan unsur lain yang terkait C. satuan pemeriksaan internal (SPI), direktur rumah sakit, tenaga perekam medis dan informasi kesehatan, koder, dan unsur lain yang terkait D. satuan pemeriksaan internal (SPI), komite medis, tenaga perekam medis dan informasi kesehatan, direktur rumah sakit, koder, dan unsur lain yang terkait 12) Berikut ini yang bukan merupakan tugas dari tim pencegahan fraud adalah \u2026. 151 A. mendorong pelaksanaan tata kelola organisasi dan tata kelola klinik yang baik B. melakukan upaya pencegahan, deteksi, dan penindakan Kecurangan JKN \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V","C. menerima laporan hasil upaya pencegahan fraud D. melakukan deteksi dini Kecurangan JKN 13) Upaya pendeteksian fraud dapat dilakukan dengan menggunakan skema \u2026. A. surveilans data klaim B. predictive modeling C. teknik regresi D. gratification 14) Audit data klaim untuk sebagai wujud dari upaya pendeteksian fraud dapat disebut juga dengan \u2026. A. surveilans data klaim B. predictive modeling C. teknik regresi D. gratification 15) Tim investigasi fraud di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) terdiri dari unsur \u2026. A. pakar medis\/coding, asosiasi rumah sakit\/asosiasi fasilitas kesehatan, dan organisasi profesi B. pakar medis\/coding, asosiasi rumah sakit\/asosiasi fasilitas kesehatan, direktur\/pimpinan fasilitas kesehatan, dan organisasi profesi C. pakar medis\/coding, asosiasi rumah sakit\/asosiasi fasilitas kesehatan, asosiasi perguruan tinggi kesehatan, direktur\/pimpinan fasilitas kesehatan, dan organisasi profesi D. pakar medis\/coding, asosiasi rumah sakit\/asosiasi fasilitas kesehatan, asosiasi perguruan tinggi kesehatan, direktur\/pimpinan fasilitas kesehatan, komite medis, dan organisasi profesi 16) Hasil audit data klaim dan\/atau investigasi pendeteksian fraud selanjutnya dilaporkan kepada \u2026. A. menteri kesehatan B. pimpinan komite medis C. pimpinan fasilitas kesehatan D. kepala dinas kesehatan setempat 152 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","17) Sanksi administratif bagi pelaku fraud yang paling ringan adalah \u2026. A. pemecatan B. teguran lisan C. pencabutan izin praktik D. pemberhentian dari jabatan 18) Selain melalui Kementerian Kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga telah menerbitkan peraturan tentang Sistem Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan yaitu \u2026. A. Peraturan BPJS Kesehatan No. 36 Tahun 2015 B. Peraturan BPJS Kesehatan No. 7 Tahun 2015 C. Peraturan BPJS Kesehatan No. 36 Tahun 2016 D. Peraturan BPJS Kesehatan No. 7 Tahun 2016 19) Dalam hal pengelolaan pencegahan fraud oleh peserta jaminan sosial, BPJS Kesehatan melakukan tindakan preventif dengan cara membuat komitmen dengan fasilitas kesehatan untuk melakukan hal berikut ini, kecuali \u2026. A. mengecek kesesuaian kartu identitas peserta JKN dengan kartu identitas lain B. melakukan edukasi kepada peserta dan pihak terkait C. menaati SPO dan SPM yang berlaku D. menerima gratifikasi dari peserta 20) Apabila ada peserta yang terbukti melakukan fraud, BPJS Kesehatan dapat melakukan upaya penanganan berupa \u2026. A. melanjutkan pemberian program jaminan kesehatan B. memberikan hukuman langsung terhadap peserta C. memberikan sanksi kepada fasilitas kesehatan D. memberikan sanksi kepada peserta 21) Dalam hal pengelolaan pencegahan fraud oleh petugas BPJS Kesehatan, BPJS Kesehatan melakukan tindakan preventif dengan cara berikut ini, kecuali \u2026. A. meningkatkan pengetahuan dan kompetensi petugas B. melakukan monitoring dan evaluasi seperlunya C. membangun budaya organisasi yang baik D. meningkatkan koordinasi antarpetugas \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 153","22) Penanganan fraud oleh BPJS Kesehatan dilakukan dengan cara penelaahan kasus fraud dan dilanjutkan dengan pembuatan laporan yang ditujukan kepada \u2026. A. Menteri Kesehatan B. Pimpinan fasilitas kesehatan C. Direktur Teknis BPJS Kesehatan D. Kepala Dinas Kesehatan setempat 23) Penetapan sanksi bagi petugas BPJS Kesehatan yang terbukti melakukan fraud disesuaikan dengan \u2026. A. Peraturan Presiden B. Peraturan Menteri Kesehatan C. Peraturan Kepegawaian BPJS Kesehatan D. Peraturan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan 24) Dalam proses verifikasi data klaim, seorang perekam medis dan informasi kesehatan dapat berperan sebagai berikut, kecuali \u2026. A. anggota tim verifikator internal B. petugas administrasi klaim C. penentu diagnosis D. koder 25) Fraud dapat diantisipasi oleh tim verifikator internal yang bertugas untuk \u2026. A. menambah data resume medis pasien dan pemeriksaan penunjang B. menambah data diagnosis dan tindakan dengan data penyakit dan prosedur C. melakukan perubahan data tagihan (billing) dengan penyakit dan tindakan D. melakukan penyesuaian klaim yang tidak sesuai dengan bukti pelayanan 154 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Kunci Jawaban Tes 155 Test Formatif 1 1) C. 2) D. 3) A. 4) B. 5) D. 6) A. 7) C. 8) D. 9) D. 10) A. 11) C. 12) A. 13) A. 14) D. 15) B. 16) A. 17) B. 18) D. 19) D. 20) A. 21) B. 22) D. 23) D. 24) A. 25) A. \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V","Test Formatif 2 1) C. 2) C. 3) C. 4) B. 5) D. 6) D. 7) C. 8) B. 9) D. 10) D. 11) B. 12) C. 13) A. 14) A. 15) A. 16) C. 17) B. 18) D. 19) D. 20) D. 21) B. 22) C. 23) C. 24) C. 25) D. 156 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Glosarium BPJS Kesehatan : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di bidang kesehatan FKRTL : fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut FKTP : fasilitas kesehatan tingkat primer Fraud : suatu tindakan kecurangan yang dilakukan dengan sengaja yang mengakibatkan kerugian pihak lain. Gratifikasi : pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. ICD-10 : International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems Tenth Revision, standar klasifikasi penyakit utama yang diterbikan oleh badan kesehatan dunia (WHO) dan diterapkan di Indonesia JKN : Jaminan Kesehatan Nasional Opportunity : kesempatan untuk melakukan tindakan kecurangan PMIK : Perekam Medis dan Informasi Kesehatan SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional SPM : Standar Pelayanan Minimal SPO : Standar Prosedur Operasional \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 157","Daftar Pustaka Hatta, G. R., 2011. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan, Edisi Revisi 2. Jakarta: UI-Press. Hall, J. A., 2011. Accounting Information Systems: Seventh Edition. Mason. Ohio: Cengage Learning. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 269\/MENKES\/PER\/III\/2008 tentang Rekam Medis Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) The Institute of Internal Auditor. 2005. Internal Auditing and Fraud. Diakses dari https:\/\/na.theiia.org pada tanggal 15 November 2017. The Institute of Internal Auditor, The American Institute of Certified Public Accountants, and Association of Certified Fraud Examiners. 2008. Managing the Business Risk of Fraud: A Practical Guide. Diakses dari https:\/\/www.acfe.com pada tanggal 15 November 2017. 158 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Bab 5 KUALITAS DAN PERMASALAHAN KODING Yati Maryati, SKM. Pendahuluan K ualitas pelayanan kesehatan sebagian besar sangat bergantung pada kualitas informasi pelayanan kesehatan (Naga, 2016). Kualitas infomasi pelayanan kesehatan yang dihasilkan tentunya berasal dari data pelayanan kesehatan yang berkualitas pula. Salah satu data pelayanan kesehatan, yaitu diagnosis. Diagnosis ini diterjemahkan menjadi suatu sandi(code) berbentuk numerik yang yang berdasarkan ICD-10. Selain itu permasalahan yang dihadapi seorang koder adalah diagnosis\/tindakan tidak spesifik, Diagnosis\/tindakan tidak ditulis, Diagnosis\/tindakan tidak lengkap, tulisan dokter tidak terbaca, singkatan tidak standar, prosedur tidak dilakukan tetap di koding, prosedur dilakukan tetap tidak di-koding dan kesalahan Koding. Oleh karena itu, seorang koder harus memahami bagaimana kualitas dan permasalahan koding penyakit dan tindakan. Nah, Saudara mahasiswa sekalian tadi sekilas mengenai kualitas dan permasalahan koding. Untuk lebih jelas lagi silakan pelajari bab ini hingga tuntas. Bab ini terdapat 2 topik, yaitu topik 1 mengenai kualitas koding dan topik 2 mengenai permasalahan koding. Manfaat dari mata kuliah ini adalah dengan diketahuinya konsep kualitas dan permasalahan koding maka koder dapat melakukan koding penyakit dan tindakan dengan tepat dan berkualitas. Selain itu, dengan mengetahui permasalahan-permasalahan koding yang sering terjadi, seorang koder dapat memecahkan permasalahan koding yang ada dan solusi yang terbaik sesuai dengan kebijakan dan kaidah koding berlaku. Manfaat lain adalah untuk membuat standar atau aturan yang seragam terkait teknis pelaksanaannya. Tujuan instruksional umum dari mata kuliah ini adalah peserta didik mampu menjelaskan kualitas dan permasalahan koding pada era JKN. Untuk mempelajari bab ini, mulailah Saudara memahami dengan cermat uraian tentang konsep, pengertian, dan penjelasan pada bagian awal. Apabila menemukan kata atau istilah yang kurang atau tidak Saudara pahami, gunakan glosarium yang disediakan untuk menemukan pengertiannya. Selanjutnya, apabila Saudara telah memahami uraian tersebut, \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 159","kerjakan latihan yang telah disediakan satu demi satu hingga selesai. Apabila ternyata Saudara belum mampu atau belum berhasil menjawab semua soal latihan, perhatikan kembali penjelasan mengenai konsep, pengertian, dan penjelasan yang berkaitan dengan soal latihan dan jawaban. Apabila Saudara telah berhasil menjawab semua atau sebagian besar soal latihan, lanjutkan dengan mengerjakan tes. Selamat belajar! 160 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Topik 1 Kualitas Koding A. PENGERTIAN, PROSES, DAN ATURAN KODING 1. Pengertian Koding adalah kegiatan memberikan kode diagnosis utama dan diagnosis sekunder sesuai dengan ICD-10 (International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems) yang diterbitkan oleh WHO serta memberikan kode tindakan\/prosedur sesuai dengan ICD-9-CM (International Classification of Diseases Revision Clinical Modification). (PMK 76, 2016) Koding penyakit dan tindakan sangat penting dalam sistem pembiayaan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan baik FKRTL maupun FKTP, yang akan menentukan besar biaya dalam pembayaran pelayanan kesehatan. Aturan dan pedoman koding yang digunakan dalam aplikasi INA-CBG adalah aturan koding morbiditas. Klasifikasi penyakit adalah satu sistem pengelompokkan (categories) penyakit, cedera dan kondisi kesehatan serta prosedur yang disusun sesuai kriteria yang telah ditentukan dan disepakati bersama (WHO). ICD adalah klasifikasi penyakit yang disusun oleh para pakar statistik kesehatan masyarakat, patologi-anatomis, spesialis medis, wakil-wakil resmi darinegara-negara anggota WHO (Naga, 2016). Diagnosis atau serangkaian diagnoses atau ringkasan diagnosis adalah penting bagi analisis kualitas asuhan medis, pelayanan kesehatan masyarakat dan merupakan jumlah rupiah yang harus disediakan fasilitas untuk menyediakan sarana sumber daya yang siap pakai, dan merupakan jumlah biaya yang harus dibayar kembali oleh pengguna jasa pelayanan, individual pasiennya atau pihak ketiga penanggung biaya. Di dalam sistem pelayanan rumah sakit ini diolah melalui sistem DRGs-Casemix (INA-DRG \uf0e0 INA-CBGs). Kode diagnoses adalah alat komunikasi antartenaga profesional medis dokter, antar- dokter dengan pasien, antar-dokter dengan direktur pelayanan operasional, antar-rumah sakit dengan rumah sakit, rumah sakit dengan Dinas Kesehatan setempat, rumah sakit dengan Kementerian Kesehatan, dan antar-rumah sakit dengan pihak ketiga lain-lain (di antaranya: Badan Asuransi Kesehatan). Koding dalam INA\u2013CBG menggunakan ICD-10 revisi Tahun 2010 untuk mengkode diagnosis utama dan diagnosis sekunder serta menggunakan ICD-9-CM revisi Tahun 2010 untuk mengkode tindakan\/prosedur. Sumber data untuk mengkode INA-CBG berasal dari resume medis, yaitu data diagnosis dan tindakan\/prosedur, apabila diperlukan dapat dilihat \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 161","dalam berkas rekam medis. Ketepatan koding diagnosis dan tindakan\/prosedur sangat berpengaruh terhadap hasil grouper dalam aplikasi INA-CBG. Diagnosis utama adalah diagnosis yang ditegakkan oleh dokter pada akhir episode perawatan yang menyebabkan pasien mendapatkan perawatan atau pemeriksaan lebih lanjut. Jika terdapat lebih dari satu diagnosis, maka dipilih yang menggunakan sumber daya paling banyak. Jika tidak terdapat diagnosis yang dapat ditegakkan pada akhir episode perawatan, maka gejala utama, hasil pemeriksaan penunjang yang tidak normal atau masalah lainnya dipilih menjadi diagnosis utama. Diagnosis Sekunder adalah diagnosis yang menyertai diagnosis utama pada saat pasien masuk atau yang terjadi selama episode perawatan. Diagnosis sekunder merupakan komorbiditas dan\/atau komplikasi. Komorbiditas adalah penyakit yang menyertai diagnosis utama atau kondisi yang sudah ada sebelum pasien masuk rawat dan membutuhkan pelayanan kesehatan setelah masuk maupun selama rawat. Komplikasi adalah penyakit yang timbul dalam masa perawatan dan memerlukan pelayanan tambahan sewaktu episode pelayanan, baik yang disebabkan oleh kondisi yang ada atau muncul akibat dari pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien (PMK 76, 2016). 2. Proses koding Dalam proses koding penyakit pada sarana pelayanan kesehatan, saat ini adalah menggunakan ICD 10 untuk koding penyakit dan ICD-9CM untuk koding tindakan. Untuk melakukan koding tersebut maka koder harus memahami bagaimana proses dalam pengkodean tersebut. Buku ICD-10 terdiri dari 3 (tiga) jilid yang merupakan volume 1 sampai 3, sebagai berikut: Volume 1: berisi daftar tabulasi seluruh sebutan penyakit\/kondisi sakit atau gejala, simtoma penyakit dan masalah terkait kesehatan berikut sebab luar cedera, yang dikenal di dunia ini sampai dengan terbitan buku yang diadaptasi secara tahunan. Ejaan sebutan penyakit di Volume 1 ini menggunakan ejaan bahasa Inggris. (Contoh: labour, oesophagus, oedema). Volume 2: adalah manual pengenalan dan instruksi cara penggunaan buku volume 1 dan 3, disertai panduan terkait sertifikasi medis dan Rules pengkodean Morbiditas dan Mortalitas, beserta pengaturan presentasi statistikal. Di ICD-Vol 2 edisi terkini ada lampiran daftar Diagnoses yang tidak bisa menjadi penyebab timbulnya Diabetes Mellitus. 162 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Volume 3: adalah daftar indeks alfabetis penyakit serta kondisi sakit, sebab luar penyakit\/cedera yang bisa ditemukan pada daftar tabulasi Volume 1 dilengkapi dengan indeks alfabetis nama generik obat dan zat kimia. Ejaan sebutan penyakit di Volume 3 ini menggunakan ejaan bahasa Inggris-Amerika. (Contoh: labor, esophagus, edema)(Naga, 2016) Aturan penulisan diagnosis adalah sebagai berikut : (PMK 76, 2016) 1. Diagnosis hendaknya ditulis dengan jelas dan informatif agar dapat diklasifikasikan dengan tepat. Contoh penulisan diagnosis: \uf0b7 Anemia pada kanker lambung \uf0b7 Appendisitis kronis eksaserbasi akut \uf0b7 Measles complicated by pneumonia \uf0b7 Neuropathy Diabetikum, Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus \uf0b7 Luka bakar derajat dua telapak kaki kanan 2. Jika tidak terdapat diagnosis yang dapat ditegakkan pada akhir episode perawatan, maka gejala utama, hasil pemeriksaan penunjang yang tidak normal atau masalah lainnya dipilih menjadi diagnosis utama (PMK 76, 2016). 3. Diagnosis untuk kondisi multipel seperti cedera multipel, gejala sisa (sekuele) multipel dari penyakit atau cedera sebelumnya, atau kondisi multipel yang terjadi pada penyakit human immunodeficiencyvirus (HIV), jika salah satu kondisi yang jelas lebih berat dan lebih banyak menggunakan sumber daya dibandingkan dengan yang lain dicatat sebagai diagnosis utama dan yang lainnya sebagai diagnosis sekunder. Jika tidak ada satu kondisi yang menonjol, maka digunakan \u2018fraktur multipel\u2019 atau \u2018penyakit HIV yang menyebabkan infeksi multipel sebagai diagnosis utama dan kondisi lainnya sebagai diagnosis sekunder (PMK 76, 2016). Jika suatu episode perawatan ditujukan untuk pengobatan atau pemeriksaan gejala sisa (sekuele) suatu penyakit lama yang sudah tidak diderita lagi, maka diagnosis sekuele harus ditulis dengan asal-usulnya. Contoh : - Septum hidung bengkok karena fraktur hidung di masa kanak-kanak - Kontraktur tendon Achilles karena efek jangka panjang dari cedera tendon 4. Jika terjadi sekuele multipel yang pengobatan atau pemeriksaannya tidak difokuskan pada salah satu dari kondisi sekuele mutipel tersebut, maka bisa ditegakkan diagnosis \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 163","sekuele multipel. Contoh: \u201csekuele cerebrovaskuler accident (CVA)\u201d atau \u201csekuele fraktur multipel\u201d (PMK 76, 2016). Untuk melakukan pengkodean penyakit dan tindakan tersebut, Runtunan Tindakan Analisis Kualitatif yang terkait dengan Data Diagnosis adalah: a. Kaji lembar pertama RM terkait kelengkapan dan akurasi. Apakah kondisi utama tertera di halaman pertama (Front sheet) dan bertanda tangan dokter yang melayani\/merawat, di kolom\/tempat yang disediakan. b. Baca discharge summary (ringkasan pulang pasien) terkait informasi diagnosis pasien dan tindakan yang telah dilakukan terhadapnya. c. Cek bahwa pernyataan diagnosisnya ditunjang bukti di dalam rekam medis pasien. Sebagai contoh: di antaranya: Apa ada laporan hasil PA, laboratorium khusus, laboratorium kimia dsb. Apa ada hasil X-ray yang terlampir dan apakah ada hasil MRI atau metode pemeriksaan lain yang lelah dilaksanakan kepada pasien terkait? d. Kaji kembali catatan tentang kemajuan pasien (Progress Note). e. Cek Rekam Medis untuk menentukan item-item apa saja yang harus dikode. f. Apabila diatur bahwa hanya 1 (satu) kondisi utama yang dikode, pengkode harus mencari nomor kode sesuai manual pengkodean ICD-10, volume 2, dan tulis kodenya pada kolom yang tersedia di lembar pertama (Front sheet) dari Rekam Medis yang berlaku. Penentuan kode diagnosis tidak bisa melalui jalan pintas, tanpa menelusuri melalui buku ICD, langsung menghafal kode penyakit yang telah dikenal melalui format laporan. Ini berarti data sekunder bukan data primer. g. Apabila rumah sakit atau negara telah menentukan harus mendata external cause (sebab luar) cedera atau gangguan lain, maka pengkode harus tahu kasus yang mana yang benar terjadi akibat suatu sebab luar, dan kepada kondisi tersebut diberi kode sesuai peraturan ICD-10 (V, W, X, atau Y) dan dilengkapi dengan peraturan setempat terkait cara pemanfaatan nomor kode sebab luar. h. Apabila tindakan operasi (pembedahan) harus diberi kode, gunakan ICPM atau sistem klasiifkasi tindakan lain yang diharuskan (di antaranya: ICD-9-CM volume 3). Ikutilah manual cara penggunaan buku-buku sistem klasifikasi tindakan yang dimaksud, dengan tertib, presisi tinggi dan akurat, serta tepat. Catatan: sudah semenjak tahun 2007-2020 Kementerian Kesehatan di Indonesia mengharuskan penggunaan ICD-9-CM volume 3 untuk mengkode tindakan bagi kepentingan pelayanan Asuransi Kesehatan Masyarakat yang mulai dikembangkan. 164 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","i. Apabila semua diagnoses per pasien harus dikode (multiple coding), pengkode harus mengikuti semua prosedur dengan menentukan: mana yang utama, mana yang tambahan (additional), mana yang co-morbid dan dagnoses mana yang merupakan komplikasi dari kondisi utama, kerjakan sesuai aturan, konvensi pengkodean ICD-10, WHO (Baca di ICD-10 Vol. 2). Langkah \u2013 langkah koding menggunakan ICD 10 : (PMK 76,2016) \uf0b7 Identifikasi tipe pernyataan yang akan dikode dan lihat di buku ICD volume 3 (Alphabetical Index). Jika pernyataannya adalah penyakit atau cedera atau lainnya diklasifikasikan dalam bab 1-19 dan 20-21 (Section I Volume 3). Jika pernyataannya adalah penyebab luar atau cedera diklasifikasikan pada bab 20 (Section II Volume 3) \uf0b7 Tentukan Lead Term. Untuk penyakit dan cedera biasanya adalah kata benda untuk kondisi patologis. Namum, beberapa kondisi dijelaskan dalam kata sifat atau eponym dimasukkan dalam index sebagai Lead Term. \uf0b7 Baca dan ikuti semua catatan atau petunjuk di bawah kata kunci. \uf0b7 Baca setiap catatan dalam tanda kurung setelah kata kunci (penjelasan ini tidak mempengaruhi kode) dan penjelasan indentasi di bawah lead term (penjelasan ini mempengaruhi kode) sampai semua kata dalam diagnosis tercantum. \uf0b7 Ikuti setiap petunjuk rujukan silang (\u201csee\u201d dan \u201csee also\u201d) yang ditemukan dalam index \uf0b7 Cek ketepatan kode yang telah dipilih pada volume 1. Untuk Kategori 3 karakter dengan .- (point dash) berarti ada karakter ke-4 yang harus ditentukan pada Volume 1 karena tidak terdapat dalam Index Baca setiap inclusion atau exclusion dibawah kode yang dipilih, di bawah bab, di bawah blok atau di bawah judul kategori Contoh : - E10 Insulin-dependent diabetes mellitus Includes : diabetes (mellitus) : \uf0b7 Brittle \uf0b7 juvenile-onset \uf0b7 ketosis-prone \uf0b7 type 1 Excludes : diabetes mellitus (in) : 165 \u2022 malnutrition-related (E12.-) \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V","\u2022 neonatal (P70.2) \u2022 pregnancy, childbirth and the puerperium (O24.-) Proses koding dilakukan sesuai dengan diagnosis yang ditegakkan oleh dokter. Jika ditemukan kesalahan atau inkonsistensi pencatatan diangnosis, maka koder harus melakukan klarifikasi kepada dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP). Jika koder tidak berhasil melakukan klarifikasi kepada DPJP, maka koder menggunakan Rule MB1 sampai MB5 untuk memilih kembali kode diagnosis utama (\u2018re-seleksi\u2019). 3. Aturan koding Aturan koding dalam ICD 10 : (PMK 27,2016) a. Jika dalam ICD 10 terdapat catatan \u201cUse additional code, if desired, to identify specified condition\u201d maka kode tersebut dapat digunakan sesuai dengan kondisi pasien. b. Pengkodean sistem dagger (\u2020) dan asterisk (*) Jika diagnosis utama yang ditegakkan dokter dalam ICD 10 menggunakan kode dagger dan asterisk maka yang dikode sebagai diagnosis utama adalah kode dagger, sedangkan kode asterisk sebagai diagnosis sekunder. Namun jika diagnosis sekunder yang ditegakkan dokter dalam ICD 10 menggunakan kode dagger dan asterisk, maka kode tersebut menjadi diagnosis sekunder. Tanda dagger (\u2020) dan asterisk (*) tidak diinput di dalam aplikasi INA-CBG. Contoh : Diagnosis Utama : Pneumonia measles Diagnosis Sekunder : - Dikode measles complicated by pneumonia (B05.2\u2020) sebagai diagnosis utama dan pneumonia in viral disease classified elsewhere (J17.1*) sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Anemia Diagnosis Sekunder : Ca Mammae Dikode Ca Mammae (C50.9\u2020) sebagai diagnosis utama dan anemia (D63.0*) sebagai diagnosis sekunder. c. Pengkodean dugaan kondisi, gejala, penemuan abnormal, dan situasi tanpa penyakit Jika pasien dalam episode rawat, koder harus hati-hati dalam mengklasifikasikan Diagnosis Utama pada Bab XVIII (Kode R) dan XXI (Kode Z). 166 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Jika diagnosis yang lebih spesifik belum ditegakkan sampai akhir episode perawatan atau tidak ada penyakit atau cedera pada saat dirawat yang bisa dikode, maka kode dari Bab XVIII dan XXI dapat digunakan sebagai kode diagnosis utama (lihat juga Rules MB3 dan MB5). Kategori Z03.\u2013 (observasi dan evaluasi medis untuk penyakit dan kondisi yang dicurigai) digunakan untuk diagnosis \u201csuspek\u201d yang dapat dikesampingkan setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan. Contoh : Diagnosis Utama : Dugaan tuberkulosis setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan didapatkan hasil bukan tuberkulosis Diagnosis Sekunder : - Dikode observasi dugaan tuberkulosis (Z03.2) sebagai diagnosis utama. Contoh : Diagnosis Utama : Infark miokardium - ternyata bukan Diagnosis Sekunder : - Dikode observasi dugaan infark miokardium (Z03.4) sebagai diagnosis utama. d. Pengkodean kondisi multiple Jika kondisi multiple dicatat di dalam kategori berjudul \u201cMultiple ...\u201d, dan tidak satu pun kondisi yang menonjol, kode untuk kategori \u201cMultiple ...\u201d, harus dipakai sebagai kode diagnosis utama, dan setiap kondisi lain menjadi kode diagnosis sekunder. Pengkodean seperti ini digunakan terutama pada kondisi yang berhubungan dengan penyakit HIV, cedera dan sekuele. Contoh : Diagnosis Utama : HIV disease resulting in multiple infections Diagnosis Sekunder : HIV disease resulting in candidiasis HIV disease resulting in other viral infections Dikode HIV disease resulting in multiple infections (B20.7) sebagai diagnosis utama, HIV disease resulting in candidiasis (B20.4) dan HIV disease resulting in other viral infections (B20.3) sebagai diagnosis sekunder. Contoh : 167 Diagnosis Utama : Multiple fraktur of femur Diagnosis Sekunder : Frakture of shaft of femur \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V","Frakture of lower of end of femur Dikode multiple fraktur of femur (S72.7) sebagai diagnosis utama, fraktur of shaft of femur (S72.3) dan Frakture of lower of end of femur (S72.4) sebagai diagnosis sekunder. e. Pengkodean kategori kombinasi ICD menyediakan kategori tertentu yang terdapat dua diagnosis yang berhubungan diwakili oleh satu kode. Contoh : Diagnosis Utama : Gagal ginjal Diagnosis Sekunder : Penyakit ginjal hipertensi Dikode Penyakit ginjal hipertensi dengan gagal ginjal (I12.0) Contoh : Diagnosis Utama : Obstruksi usus Diagnosis Sekunder : Hernia inguinalis kiri Dikode Hernia inguinalis unilateral, dengan obstruksi, tanpa gangren (K40.3) f. Pengkodean sekuele kondisi tertentu ICD menyediakan sejumlah kategori yang berjudul \u201csequelae of ...\u201d (B90-B94, E64.- , E68, G09, I69.-, O97, T90-T98, Y85-Y89) yang digunakan untuk menunjukkan kondisi yang tidak didapatkan lagi, sebagai penyebab masalah yang saat ini sedang diperiksa atau diobati. Namun, kode yang diutamakan sebagai diagnosis utama adalah kode yang sesuai dengan bentuk sekuele itu. Kode \u201csequelae of ......\u201d dapat ditambahkan sebagai kode tambahan. Jika terdapat sejumlah sekuele spesifik namun tidak ada yang lebih menonjol dalam hal kegawatan dan penggunaan sumber daya, boleh digunakan \u201cSequelae of ...\u201d sebagai diagnosis utama, yang kemudian dikode pada kategori yang sesuai. Perhatikan bahwa kondisi penyebab bisa dinyatakan dengan istilah \u2018old\u2019 (lama), \u2018no longer present\u2019 (tidak terdapat lagi), dan sebagainya, begitu pula kondisi yang diakibatkannya bisa dinyatakan sebagai \u2018late effect of .....\u2019 (efek lanjut .....), atau \u2018sequele of .....\u2019. Tidak diperlukan interval waktu minimal. Contoh : Diagnosis Utama : Dysphasia akibat infark otak lama Diagnosis Sekunder : - 168 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Dikode Dysphasia (R47.0) sebagai diagnosis utama, \u2018sequelae of cerebral infarction\u2019 (I69.3) sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Epilepsi akibat abses lama otak. Spesialisasi : Neurologi Dikode Epilepsi, tidak dijelaskan (G40.9) sebagai diagnosis utama. Sequelae of inflammatory diseases of central nervous system (G09) sebagai diagnosis sekunder. g. Pengkodean kondisi-kondisi akut dan kronis Jika Diagnosis Utama dicatat sebagai akut (atau subakut) dan kronis, ICD menyediakan kategori atau subkategori yang berbeda untuk masing-masing kategori, tapi tidak untuk gabungannya, kategori kondisi akut harus digunakan sebagai Diagnosis Utama. Contoh : Diagnosis Utama : Kholesistitis akut dan kronis Diagnosis Sekunder : - Dikode Acute cholecystitis (K81.0) sebagai diagnosis utama, chronic cholecystitis (K81.1) sebagai diagnosis sekunder. h. Pengkodean kondisi pasca-prosedur dan komplikasinya Pada Bab XIX (T80-T88) tersedia kategori untuk komplikasi yang berhubungan dengan operasi dan prosedur lain, contohnya infeksi luka operasi, komplikasi mekanis benda-benda implantasi, syok, dan lainnya. Kondisi tertentu yang terjadi setelah prosedur (misalnya pneumonia, embolisme paru) tidak dianggap sebagai kondisi tersendiri sehingga dikode seperti biasa, namun bisa diberi kode tambahan dari Y83-Y84 untuk menunjukkan hubungannya dengan suatu prosedur. Jika kondisi dan komplikasi ini dicatat sebagai Diagnosis Utama, perlu dilakukan rujukan ke \u2018modifier\u2019 atau \u2018qualifier\u2019 pada Indeks Alfabet untuk pemilihan kode yang tepat. Contoh : 169 Diagnosis Utama : Perdarahan berlebihan setelah pencabutan gigi. Diagnosis Sekunder : - Spesialisasi : Kedokteran gigi \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V","Dikode Perdarahan akibat suatu prosedur (T81.0) sebagai diagnosis utama. i. Dalam hal koder tidak berhasil melakukan klarifikasi kepada dokter penanggungjawab pelayanan (DPJP), maka koder menggunakan Rule MB1 sampai MB5 untuk memilih kembali kode diagnosis utama (\u2018re-seleksi\u2019) yaitu sebagai berikut: 1) Rule MB1 (Kondisi minor tercatat sebagai diagnosis utama, sedangkan kondisi yang lebih berarti dicatat sebagai diagnosis sekunder). Ketika kondisi minor atau yang telah berlangsung lama, atau masalah insidental, tercatat sebagai diagnosis utama, sedangkan kondisi yang lebih berarti, relevan dengan pengobatan yang diberikan dan\/atau spesialisasi perawatan, tercatat sebagai diagnosis sekunder, maka reseleksi kondisi yang berarti tersebut sebagai diagnosis utama. Contoh : Diagnosis Utama : Sinusitis akut. Diagnosis Sekunder : Karsinoma endoserviks Hipertensi Prosedur : Histerektomi total Spesialisasi : Ginekologi Pasien di rumah sakit selama tiga minggu Dikode Karsinoma endoserviks (C53.0) sebagai diagnosis utama, sinusitis akut dan Hipertensi sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Kegagalan jantung kongestif Diagnosis Sekunder : Fraktur leher femur karena jatuh dari tempat tidur waktu dirawat Prosedur : Fiksasi fraktur internal Spesialisasi : Penyakit Dalam 1 minggu, transfer ke ortopedi untuk fraktur Pasien di rumah sakit selama empat minggu Dikode Fraktur leher femur (S72.0) sebagai diagnosis utama, kegagalan jantung kongestif sebagai diagnosis sekunder. 2) Rule MB2 (Beberapa kondisi Dicatat sebagai Diagnosis Utama). Jika beberapa kondisi yang tidak bisa dikode bersamaan tercatat sebagai diagnosis utama, dan menunjukkan bahwa satu di antaranya adalah diagnosis utama pada 170 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","asuhan pasien, pilihlah kondisi tersebut. Jika tidak, pilih kondisi yang sesuai dengan spesialisasi yang menangani. Contoh : Diagnosis Utama : Bronkitis obstruktif kronis Hipertrofi prostat Psoriasis vulgaris Diagnosis Sekunder : - Spesialisasi : Dokter Ahli Kulit Dikode Psoriasis vulgaris (L40.0) sebagai diagnosis utama, Bronkitis obstruktif kronis dan hipertrofi prostat sebagai diagnosis sekunder 3). Rule MB3 (Kondisi yang dicatat sebagai diagnosis utama Jika suatu gejala atau tanda (pada umumnya diklasifikasikan pada Bab XVIII), atau suatu masalah yang bisa diklasifikasikan pada Bab XXI, dicatat sebagai diagnosis utama dan merupakan tanda, gejala, atau masalah dari kondisi yang telah didiagnosis sebagai diagnosis sekunder dan telah dirawat, maka pilihlah kondisi yang didiagnosis tersebut sebagai diagnosis utama. Contoh : Diagnosis Utama : Koma Diagnosis Sekunder : Penyakit jantung iskemik Otosklerosis Diabetes mellitus, insulin dependent Spesialisasi : Endokrinologi Perawatan : Penentuan dosis insulin yang tepat Dikode Diabetes mellitus, insulin dependent (E10.0) sebagai diagnosis utama, Koma disebabkan oleh diabetes mellitus, sehingga digunakan kode kombinasi. Penyakit jantung iskemik dan Otosklerosis sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Kejang demam Diagnosis Sekunder : Anemia Tidak ada informasi terapi Dikode Kejang demam (R56.0) sebagai diagnosis utama. Anemia dikode sebagai diagnosis sekunder. Rule MB3 tidak dapat berlaku karena diagnosis utama bukan gejala yang mewakili diagnosis sekunder. \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 171","4) Rule MB4 (Kespesifikan). Jika diagnosis yang tercatat sebagai diagnosis utama menguraikan suatu kondisi secara umum, sedangkan suatu istilah yang bisa memberikan informasi yang lebih tepat mengenai tempat atau bentuk kondisi tersebut tercatat sebagai diagnosis sekunder, maka pilihlah yang diagnosis sekunder tersebut sebagai diagnosis utama. Contoh : Diagnosis Utama : Penyakit jantung kongenital Diagnosis Sekunder : Defek septum ventrikel Dikode Ventricular septal defect (Q21.0) sebagai diagnosis utama dan penyakit jantung kongenital tidak dikoding 5) Rule MB5 (Diagnosis alternatif). Jika suatu gejala atau tanda dicatat sebagai diagnosis utama dan disebabkan oleh suatu kondisi atau diagnosis sekunder, maka pilihlah gejala tersebut sebagai diagnosis utama. Jika dua kondisi atau lebih tercatat sebagai pilihan diagnostik untuk diagnosis utama, pilihlah kondisi pertama yang tercatat. Contoh : Diagnosis Utama : Kholesistitis akut atau pankreatitis akut Diagnosis Sekunder : - Kholesistitis akut sebagai diagnosis utama di kode K81.0. Contoh : Diagnosis Utama : Gastroenteritis akibat infeksi atau keracunan makanan Diagnosis Sekunder : - Infectious gastroenteritis sebagai diagnosis utama di kode A09. j. Petunjuk untuk bab-bab spesifik Berikut ini adalah beberapa petunjuk untuk bab-bab spesifik yang mungkin masalah timbul pada saat memilih kode diagnosis utama. Pedoman dan Rule umum berlaku untuk semua bab kecuali. 172 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","1) Bab I Penyakit Infeksi dan Penyakit B20-B24 Penyakit human immunodeficiency virus (HIV) Seorang pasien dengan sistem imun yang rusak akibat penyakit HIV kadang- kadang memerlukan pengobatan untuk lebih dari satu penyakit pada satu periode perawatan, misalnya infeksi mycobacterium dan cytomegalovirus. Kategori dan subkategori terdapat pada blok ini untuk penyakit HIV dengan berbagai penyakit yang ditimbulkannya. Pilihlah Kode subkategori yang sesuai untuk diagnosis utama sebagaimana dipilih oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP). Jika diagnosis utama yang dicatat adalah penyakit HIV dengan multiple penyakit penyerta, maka subkategori .7 dari B20-B22 harus dikode. Kondisi- kondisi yang bisa diklasifikasikan pada dua subkategori atau lebih harus dikode pada subkategori .7 pada kategori yang relevan (misalnya B20 atau B21). Subkategori B22.7 harus digunakan apabila terdapat kondisi yang bisa diklasifikasikan pada dua kategori atau lebih pada B20-B22. Kode tambahan dari dalam blok B20-B24 digunakan sebagai diagnosis sekunder. jika kondisi yang berhubungan jelas muncul lebih dahulu daripada infeksi HIV, maka kode kombinasi tidak boleh digunakan dan Selection Rules harus diikuti. Contoh : Diagnosis Utama : Penyakit HIV dan sarkoma Kaposi Diagnosis Sekunder : - Penyakit HIV yang menyebabkan Sarkoma Kaposi sebagai diagnosis utama dikode B21.0. Contoh : Diagnosis Utama : Toxoplasmosis dan cryptococcosis pada pasien HIV Diagnosis Sekunder : - jika dalam petunjuk untuk bab\u2013bab spesifik di bawah ini menyatakan lain. Dikode Penyakit HIV yang menyebabkan infeksi ganda (B20.7) sebagai diagnosis utama, penyakit HIV yang menyebabkan penyakit infeksi dan parasit lain (B20.8) dan penyakit HIV yang menyebabkan mikosis lain (B20.5) sebagai diagnosis sekunder. Contoh : 173 \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V","Diagnosis Utama : Penyakit HIV dan kandidiasis Diagnosis Sekunder : - Dikode Penyakit HIV yang menyebabkan kandidiasis (B20.4) sebagai diagnosis utama Contoh : Diagnosis Utama : Penyakit HIV dengan pneumonia Pneumocystis carinii, limfoma Burkitt dan kandidiasis mulut. Diagnosis Sekunder : - Dikode Penyakit HIV yang menyebabkan penyakit ganda (B22.7) sebagai diagnosis utama, penyakit HIV yang menyebabkan pneumonia Pneumocystis carinii (B20.6), penyakit HIV yang menyebabkan limfoma Burkitt (B21.1), dan penyakit HIV yang menyebabkan kandidiasis (B20.4) sebagai diagnosis sekunder. Dalam koding INA-CBG menggunakan kode 4 karakter untuk Subkategori pada B20-B23. Penentuan penggunaan subkategori 4-karakter pada B20- B23 atau kode penyebab ganda adalah untuk mengidentifikasi kondisi yang lebih spesifik. 2) Bab II Neoplasma Cara mengkode pada kasus neoplasma, harus menggunakan catatan pengantar Bab II di Volume 1 dan Pendahuluan Volume 3 ICD 10 tahun 2010 tentang pemberian kode dan penggunaan deskripsi morfologis sebagai rujukan. Kasus neoplasma baik primer atau sekunder (metastasis) yang merupakan fokus perawatan, harus dicatat dan dikode sebagai diagnosis utama. Dalam hal diagnosis utama yang dicatat oleh dokter adalah neoplasma primer yang sudah tidak terdapat lagi, maka diagnosis utama adalah neoplasma lokasi sekunder, komplikasi saat ini, atau keadaan yang bisa dikode pada Bab XXI yang merupakan fokus pengobatan atau pemeriksaan saat ini. Sedangkan untuk riwayat neoplasma primer yang ada pada Bab XXI digunakan sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Karsinoma prostat Diagnosis Sekunder : Bronkitis kronis Prosedur : Prostatektomi 174 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Neoplasma ganas prostat sebagai diagnosis utama dikode C61. Contoh : Diagnosis Utama : Karsinoma mammae - dibuang dua tahun yang lalu Diagnosis Sekunder : Karsinoma sekunder paru-paru Prosedur : Bronkoskopi dengan biopsi Dikode Neoplasma ganas paru-paru (C78.0) sebagai diagnosis utama, riwayat neoplasma mammae (Z85.3) sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Kanker bladder telah dibuang - dirawat untuk pemeriksaan follow-up dengan cystoscopy. Diagnosis Sekunder : - Prosedur : Cystoscopy Dikode Pemeriksaan follow-up pascaoperasi neoplasma ganas (Z08.0) sebagai diagnosis utama, riwayat neoplasma ganas saluran urin (Z85.5) sebagai diagnosis sekunder. C80 digunakan sebagai kode diagnosis utama hanya jika dokter dengan jelas mencatat neoplasma ganas tanpa penjelasan lokasinya. C97 digunakan hanya jika dokter mencatat sebagai diagnosis utama terdiri dari dua atau lebih neoplasma ganas primer yang independen, tanpa ada yang lebih menonjol. Neoplasma ganas yang lebih rinci dikode sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Carcinomatosis Diagnosis Sekunder : - Dikode Neoplasma ganas tanpa penjelasan mengenai lokasinya (C80). Contoh : Diagnosis Utama : Multiple myeloma dan adenokarsinoma prostat primer Diagnosis Sekunder : - Dikode Neoplasma ganas primer yang independen dengan lokasi multipel (C97) sebagai diagnosis utama, multiple myeloma (C90.0) dan neoplasma ganas prostat (C61) sebagai diagnosis sekunder. \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 175","3) Bab IV Penyakit Endokrin, nutrisi, dan metabolisme E10-E14 Diabetes Mellitus Pemilihan subkategori yang tepat dari daftar yang berlaku bagi seluruh kategori ini didasarkan pada diagnosis utama yang tercatat. Subkategori \u201c.7\u201d hanya digunakan sebagai diagnosis jika berbagai komplikasi diabetes dicatat sebagai diagnosis utama tanpa mengutamakan salah satu di antaranya. Untuk masing-masing komplikasi dikode sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Gagal ginjal akibat glomerulonefrosis diabetes Diagnosis Sekunder : - Dikode Diabetes Melitus, tidak dijelaskan, dengan komplikasi ginjal (E14.2\u2020 dan N08.3 *). Contoh : Diagnosis Utama : Diabetes Melitus tergantung insulin dengan nefropati, gangren, dan katarak. Diagnosis Sekunder : - Dikode IDDM dengan komplikasi ganda (E10.7) sebagai diagnosis utama, IDDM dengan nefropati (E10.2\u2020 dan N08.3*), IDDM dengan komplikasi sirkulasi perifer (E10.5), dan IDDM dengan katarak (E10.3\u2020 dan H28.0*) sebagai diagnosis sekunder 4) Bab VII: Penyakit-penyakit mata dan adnexa H54.- Kebutaan dan pandangan berkurang Kode ini tidak digunakan sebagai diagnosis utama jika penyebabnya teridentifikasi, kecuali jika episode perawatan adalah untuk kebutaan itu sendiri. Ketika penyebab teridentifikasi maka kode H54.- digunakan sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Kebutaan karena Katarak Diagnosis Sekunder : - Dikode Katarak (H26.9) sebagai diagnosis utama, dan Kebutaan H54.9 sebagai diagnosis sekunder 176 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","5) Bab XV: Kehamilan, melahirkan, dan puerperium a) O08 Komplikasi setelah abortus, kehamilan ektopik dan kehamilan mola. Kode-kode ini tidak digunakan sebagai diagnosis utama, kecuali jika fokus perawatan adalah untuk mengobati komplikasinya, contohnya komplikasi dari abortus sebelumnya. Kode tersebut digunakan sebagai diagnosis sekunder pada kategori O00-O02 untuk mengidentifikasi komplikasi terkait atau pada kategori O03-O07 untuk memberikan rincian yang lebih lengkap tentang komplikasinya. Perhatikan bahwa istilah inklusi yang disediakan pada subkategori O08 harus disebut ketika menetapkan subkategori karakter keempat pada O03-O07. Contoh : Diagnosis Utama : Ruptura kehamilan ektopik tuba dengan syok. Diagnosis Sekunder: - Spesialisasi : Ginekologi. Dikode Ruptura kehamilan ektopik tuba (O00.1) sebagai diagnosis utama. Syok setelah abortus, kehamilan ektopik dan kehamilan mola (O08.3) sebagai sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Aborsi incomplete dengan perforasi uterus Diagnosis Sekunder: - Spesialisasi : Ginekologi Dikode Aborsi incomplete dengan komplikasi lain dan tidak spesifik (O06.3) sebagai diagnosis utama. Kerusakan organ panggul dan jaringan berikut aborsi dan kehamilan ektopik dan molar (O08.6) sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Diseminasi intravaskular koagulasi karena aborsi dua hari yang lalu di fasilitas kesehatan lain Diagnosis Sekunder : - Spesialisasi : Ginekologi Dikode Perdarahan berlebihan atau tertunda karena aborsi dan kehamilan ektopik dan molar (O08.1). Kode lain tidak diperlukan karena aborsi dilakukan pada episode perawatan sebelumnya. \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 177","b) O80-O84 Melahirkan Penggunaan kode-kode ini untuk diagnosis utama terbatas pada kasus-kasus ketika informasi yang tercatat dalam rekam medis hanya mengenai kelahiran atau cara kelahiran. Kode-kode O80-O84 digunakan sebagai diagnosis sekunder untuk menunjukkan cara atau jenis kelahiran. Contoh : Diagnosis Utama : Kehamilan. Diagnosis Sekunder : - Prosedur : Kelahiran dengan forseps rendah Dikode Kelahiran dengan forseps rendah (O81.0) sebagai dignosis utama, karena tidak ada informasi lain tersedia dan outcome delivery (Z37.-) dikode sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Melahirkan Diagnosis Sekunder : Kegagalan percobaan persalinan Prosedur : Seksio Sesar Dikode Kegagalan percobaan persalinan (O66.4) sebagai diagnosis utama. Seksio Sesar yang tidak dijelaskan (O82.9) dan outcome delivery (Z37.-) dikode sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Melahirkan anak kembar. Diagnosis Sekunder : - Prosedur : Kelahiran spontan Dikode Kehamilan kembar (O30.0) sebagai diagnosis utama. Kehamilan ganda, semua spontan (O80.9) dan outcome delivery (Z37.-) dikode sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Hamil cukup bulan, melahirkan janin mati 2800gr Diagnosis Sekunder : - Prosedur : Kelahiran spontan 178 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Dikode Perawatan ibu dengan kematian dalam rahim (O36.4) karena penyebab spesifik kematian janin tidak bisa ditentukan sebagai diagnosis utama. Kelahiran normal dan outcome delivery (Z37.-) dikode sebagai diagnosis sekunder. c) O98-O99 Penyakit ibu yang bisa diklasifikasikan di tempat lain, tapi mempersulit kehamilan, melahirkan, dan puerperium Subkategori yang tersedia disini harus lebih diutamakan untuk Kondisi Utama daripada kategori di luar Bab XV, Jika pada kondisi ini dinyatakan mempersulit kehamilan, diperberat oleh kehamilan, atau merupakan alasan perawatan obstetri. Kode yang relevan dari bab-bab lain digunakan sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Toxoplasmosis. Diagnosis Sekunder : Kehamilan Spesialisasi : Klinik perawatan antenatal beresiko tinggi Dikode Penyakit protozoa yang mempersulit kehamilan, kelahiran, dan puerperium (O98.6) sebagai diagnosis utama, B58.9 (toxoplasmosis, tidak dijelaskan) sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : KPD Diagnosis Sekunder : Persalinan SC Anemia Spesialisasi : Obgyn Dikode KPD (O42.1) sebagai diagnosis utama, Persalinan SC (O82.9), Anemia (O99.0), dan Anemia (D64.9) sebagai diagnosis sekunder. 6) Bab XIX Cedera, Keracunan, dan Konsekuensi Lain Tertentu dari Penyebab Eksternal Jika tercatat injuri multipel dan tidak ada di antaranya yang dipilih sebagai diagnosis utama, maka pilihlah kode kategori yang tersedia untuk pernyataan injuri multipel sebagai berikut : a) Sejenis di daerah tubuh yang sama (biasanya karakter keempat \u2018.7\u2019 pada S00-S99) \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 179","b) Tidak sejenis, tapi di daerah tubuh yang sama (biasanya karakter keempat \u2018.7\u2019 pada kategori terakhir masing-masing blok, seperti S09, S19, S29, dan seterusnya) c) Sejenis, tapi tidak di daerah tubuh yang sama (T00-T05). Perhatikan pengecualian berikut: 1. Untuk cedera internal yang dicatat bersama dengan hanya cedera permukaan dan\/atau luka terbuka, maka pilih cedera internal sebagai diagnosis utama. Cedera permukaan diinput sebagai diagnosis sekunder. 2. Untuk fraktur tulang tengkorak dan muka yang berhubungan dengan cedera intrakranium, maka pilih kode cedera intrakranium sebagai diagnosis utama. 3. Untuk perdarahan intrakranium yang tercatat bersama cedera lain yang hanya di kepala, maka pilih kode perdarahan intrakranium sebagai diagnosis utama. 4. Untuk fraktur yang tercatat dengan luka terbuka hanya di lokasi yang sama, maka pilih kode fraktur sebagai diagnosis utama. Ketika kategori cedera ganda digunakan, maka kode untuk setiap cedera bisa digunakan sebagai kode tambahan. Pada kasus dengan pengecualian di atas, sebagai tambahan pada kode diagnosis utama, maka cedera yang berhubungan bisa diidentifikasi baik dengan kode tambahan: a) 0 untuk cedera tertutup b) 1 untuk cedera terbuka Contoh : Diagnosis Utama : Cedera kandung kemih dan urethra. Diagnosis Sekunder : - Dikode Cedera ganda organ pelvis (S37.7) sebagai diagnosis utama. cedera kandung kencing (S37.2) dan cedera urethra (S37.3) sebagai diagnosis sekunder. Contoh : Diagnosis Utama : Luka terbuka intrakranium dengan perdarahan otak. Diagnosis Sekunder : - Dikode Perdarahan otak akibat trauma (S06.8). luka terbuka kepala (tempat tidak dijelaskan) atau dengan menambahkan angka 1 (luka intrakranium terbuka) pada kode S06.8 (S06.81) sebagai diagnosis utama, Luka terbuka intrakranium (S01.9) sebagai diagnosis sekunder. T90-T98 Sekuele cedera, keracunan, dan akibat penyebab eksternal lain 180 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Kode-kode ini tidak untuk diagnosis utama, kalau bentuk kondisi sisa telah tercatat. Untuk mengkode kondisi sisa, T90-T98 digunakan sebagai diagnosis sekunder. B. ICD-9-CM (International Classification of Diseases Revision Clinical Modification) revisi Tahun 2010. ICD-9-CM terdiri dari 3 volume. Namun yang digunakan untuk mengkode tindakan\/prosedur adalah volume 3. Langkah \u2013 langkah koding menggunakan ICD-9-CM adalah sebagai berikut: a. Identifikasi tipe pernyataan prosedur\/tindakan yang akan dikode dan lihat di buku ICD-9-CM Alphabetical Index. b. Tentukan Lead Term Untuk prosedur\/tindakan. c. Baca dan ikuti semua catatan atau petunjuk di bawah kata kunci. d. Baca setiap catatan dalam tanda kurung setelah kata kunci (penjelasan ini tidak mempengaruhi kode) dan penjelasan indentasi di bawah lead term (penjelasan ini mempengaruhi kode) sampai semua kata dalam diagnosis tercantum. e. Ikuti setiap petunjuk rujukan silang (\u201csee\u201d dan \u201csee also\u201d) yang ditemukan dalam index : f. Cek ketepatan kode yang telah dipilih pada Tabular List. g. Baca setiap inclusion atau exclusion di bawah kode yang dipilih atau di bawah bab atau dibawah blok atau dibawah judul kategori. h. Tentukan Kode Aturan dalam koding ICD-9-CM : 1. Kata \u2013See, see also (lihat juga) Jika ada pernyataan (see, see also) di belakang pernyataan tindakan\/prosedur, maka harus melihat juga pernyataan tindakan yang dimaksud. Contoh : Atherectomy coronary Atherectomy - Cerebrovasculas \u2013see Angioplasty - Coronary \u2013see Angioplasty coronary 36.09 Dikode Angioplasty coronary 36.09 Contoh : 181 Catheterization \u2013see also Insertion, \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V","- Catheter arteriovenous 39.93 - Artery 38.91 Maka harus dilihat juga Insertion. 2. Kata omit code (tidak dikoding) Jika ada pernyataan omit code pada Indeks Alfabet maka prosedur tersebut adalah bagian dari kode prosedur lain yang berhubungan dan tidak dikode. Contoh : Craniotomy 01.24 - as operative approach \u2013 omit code fetal 73.8 for decompression of fracture 02.02 reopening of site 01.23 Contoh : Laparatomy NEC 54.19 as operative approach --omit code exploratory (pelvic) 54.11 Contoh : Laminectomy (decompression) (for exploration) 03.09 as operative approach --omit code 3. Kata Code also (dikoding juga) Jika ada pernyataan code also di bawah pernyataan tindakan\/prosedur maka harus dikoding. Contoh : 42.69 Antesternal anastomosis of esophagus dengan gastrostomy Code also any synchronous: esophagectomy (42.40 \u2013 42.42) gastrostomy (43.1) Dikode antesternal anastomosis of esophagus (42.69) dan other gastrostomy (43.19) 182 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","4. Kata Exclude (tidak termasuk) Jika ada pernyataan Exclude di bawah pernyataan tindakan\/prosedur maka harus dikoding yang lain sesuai dengan petunjuk exclude. Contoh : Simple excision of lymphatic struture (40.2) Exclude : biopsy of lyphatic structure (40.11) 5. Kata Includes (termasuk) Jika ada pernyataan \u201cincludes\u201d di bawah pernyataan tindakan\/prosedur maka pernyataan tindakan tersebut termasuk bagian atau contoh tindakan tersebut : 35.2 Replacement of heart valve Includes : Excision of heart valve with replacement Code also cardiopulmonary bypass (extracorporeal circulation) (heart-lung) (39.61) C. ATURAN KODING LAINNYA YANG BERLAKU UNTUK INA-CBG 1. Dalam hal bayi lahir dengan tindakan persalinan menggunakan kode P03.0 \u2013 P03.6 maka dapat diklaimkan terpisah dari klaim ibunya. 2. Kontrol Ulang Dalam hal pasien yang datang untuk kontrol ulang dirawat jalan dengan diagnosis yang sama pada kunjungan sebelumnya, ditetapkan sebagai diagnosis utama menggunakan kode \u201cZ\u201d dan diagnosis sekunder dikode sesuai penyakitnya. Contoh : Pasien datang ke rumah sakit untuk kontrol Hipertensi. Diagnosis Utama : Kontrol Ulang Diagnosis Sekunder : Hipertensi Dikode kontrol ulang (Z09.8) sebagai diagnosis utama dan Hipertensi (I10) sebagai diagnosis sekunder. 3. Terapi Berulang Dalam hal pasien yang datang untuk mendapatkan terapi berulang di rawat jalan seperti rehabilitasi medik, rehabilitasi psikososial, hemodialisa, kemoterapi dan radioterapi ditetapkan sebagai diagnosis utama menggunakan kode \u201cZ\u201d dan diagnosis sekunder dikode sesuai penyakitnya. Contoh : Pasien datang ke RS untuk dilakukan kemoterapi karena Ca. Mammae. Diagnosis Utama : Kemoterapi \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 183","Diagnosis Sekunder : Ca. Mammae Dikode kemoterapi (Z51.1) sebagai diagnosis utama dan Ca. Mammae (C50.9) sebagai diagnosis sekunder. 4. Pengkodean untuk persalinan: a. Bila terdapat penyulit atau komplikasi maka penyulit atau komplikasi menjadi diagnosis utama. b. Metode persalinan (O80.0-O84.9) sebagai diagnosis sekunder. c. Outcome persalinan (Z37.0 \u2013 Z37.9) sebagai diagnosis sekunder. 5. Pengkodean Neoplasma : a. Pasien yang dirawat hanya untuk kemoterapi maka menggunakan kode Z51.1 sebagai diagnosis utama dan neoplasma menjadi diagnosis sekunder. b. Pasien yang dirawat hanya untuk radioterapi maka menggunakan kode Z51.0 sebagai diagnosis utama dan neoplasma menjadi diagnosis sekunder. c. Pasien yang datang ke rawat jalan dan mendapatkan obat kemoterapi oral, menggunakan kode Z51.1 sebagai diagnosis utama. d. Pasien dengan riwayat neoplasma ganas menggunakan kode Z85.0 \u2013 Z85.9. e. Pasien yang menjalani pemeriksaan neoplasma karena riwayat keluarga dengan neoplasma ganas menggunakan kode Z80.0 \u2013 Z80.9. f. Pasien yang dirawat untuk mengatasi anemia yang terkait dengan neoplasma dan perawatan hanya untuk anemia, maka yang menjadi diagnosis utama adalah neoplasma sedangkan anemia pada neoplasma (D63.0) menjadi diagnosis sekunder. 6. Penggunaan kode Z29.0 Isolasi digunakan untuk kasus orang yang datang ke rumah sakit untuk melindungi dirinya dari lingkungannya atau untuk isolasi individual setelah melakukan kontak dengan penyakit menular. 7. Pasien yang telah melahirkan di FKTP, namun dirujuk oleh dokter untuk melakukan tubektomi interval di FKRTL maka dikode Sterilization (Z30.2) sebagai diagnosis utama. 8. Pengkodean Thalasemia : a. Pasien Thalasemia Mayor adalah pasien yang mempunyai diagnosis utama maupun sekunder mempunyai kode ICD-10 yaitu D56.1 b. Jika pasien Thalasemia Mayor pada saat kontrol ulang diberikan obat kelasi besi (Deferipone, Deferoksamin, dan Deferasirox) maka diinputkan sebagai rawat jalan dengan menggunakan kode D56.1 sebagai diagnosis utama. 9. Pemasangan infus pump hanya menggunakan kode 99.18. 10. Educational therapy menggunakan kode 94.42. 184 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","D. KUALITAS PENGODEAN Kualitas pengodean penyakit dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik sumber daya manusia, yaitu koder, kelengkapan pencatatan rekam medis dan sarana prasarana pendukung lainnya. Peran tenaga medis sangat besar dalam membantu kodes memberikan koding yang tepat dan akurat. Karena dengan pencatatan yang baik akan memudahkan menemukan diagnose utama, diagnose sekunder dan tindakan yang diberikan kepada pasien. Sebagai seorang koder harus dapat bekerja secara tertib, memiliki presisi yang tinggi, akurat sesuai peraturan, pedoman dan konvensi sistem klasifikasi ICD yang telah berlaku. pemanfaatan dari koding klinis ini dapat digunakan untuk pengukuran kualitas, keefektifan asuhan, penentuan keputusan klinis, perancangan sistem pembayaran dan penagihan penyusunan kebijakan kesehatan dan pelaksanaan penelitian Keberhasilan koding adalah kualitas infomasi klinis yang memaparkan kualitas, kuantitas, yang bersifat efektif dan pada asuhan\/pelayanan kesehatan (Naga, 2016). Koder bertanggung jawab atas keakuratan suatu diagnosis yang ditetapkan oleh tenaga medis. Untuk hal yang tidak lengkap dan kurang jelas, sebelum kode ditetapkan koder perlu terlebih dahulu berkomunikasi pada dokter yang membuat diagnosis. Menurut Bowman (1992) pengodean dilakukan dengan berbagai alasan. Alasan utama adalah untuk memudahkan pengambilan kembali informasi menurut hasil diagnosis. Namun terkadang adanya kesalahan yang terjadi dalam pengodean klinis. Naga(2016) menjelaskan terdapat kendala-kendala yang sering dihadapi saat melakukan koding klinis yaitu tidak ditemukan istilah diagnosis yang sama seperti yang tertulis pada rekam medis pasien, untuk mengejar waktu pelaporan, walau tidak ada tulisan diagnose pasien, koder berinisiatif menentukan sendiri istilah diagnosis dengan kodenya, tidak tersedianya fasilitas yang memadai untuk proses koding yang diharuskan, para dokter tidak mengenal sistem klasifikasi ICD sehingga menulis sequence diagnose tak sesuai rules yang ada di ICD-10, Ada ketidakcocokan antara diagnosis dan tindakan yang terekam. Beberapa elemen pengkodean yang harus dievaluasi dalam menetapkan kualitas data pengodean (Bowman, 1992): 1. Reliability Yaitu hasil yang sama akan diperoleh apabila dilakukan beberapa kali usaha. Contoh: beberapa petugas pengodean dengan rekam medis yang sama akan menghasilkan hasil pengodean yang sama pula. \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 185","2. Validity Yaitu hasil pengodean yang mencerminkan keadaan pasien dan prosedur yang diterima pasien. 3. Completeness Sebuah rekam medis belum bisa dikatakan telah dikode apabila hasil pengodean mencerminkan semua diagnosis dan prosedur yang diterima pasien. 4. Timeliness Dokumen rekam medis dapat dikode dengan hasil yang dapat dipercaya, benar, dan lengkap, tetapi jika tidak dengan tepat waktu maka rekam medis tidak dapat digunakan untuk pengambilan kembali dokumen atau penagihan biaya perawatan. Bowman (2001) menyebutkan, seperti kebijakan dan prosedur organisasi lainnya, kebijakan dan prosedur pengodean dibutuhkan untuk meningkatkan konsistensi. Kebijakan dan prosedur pengkodean harus mencakup hal-hal berikut: \uf02d Arah untuk mengkaji catatan. \uf02d Petunjuk cara mengatasi dokumentasi yang tidak lengkap atau bertentangan. \uf02d Instruksi untuk berkomunikasi dengan dokter kesehatan. \uf02d Petunjuk tentang tindakan yang akan diambil ketika kode yang sesuai tidak dapat ditemukan. \uf02d Penggunaan kode tidak diperlukan untuk penggantian biaya (kode opsional). \uf02d Definisi standarisasi atau rangkaian kode (misalnya, persyaratan HIPAA). \uf02d Gunakan bahan referensi dan buku dan instruksi untuk memperbarui. \uf02d Masukkan data secara komputerisasi atau proses lainnya. Selain di atas, Faktor-faktor yang menyebabkan kesalahan pengkodean menurut Bowman(1992) ini adalah sebagai berikut : 1. Kegagalan peninjauan seluruh catatan. 2. Pemilihan diagnosis utama yang salah. 3. Pemilihan kode yang salah. 4. Mengkode diagnosis atau prosedur yang salah oleh karena isi catatan, kesalahan di dalam memasukan kode ke dalam data base atau pada tagihan. 186 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Latihan Untuk dapat memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah Latihan berikut! 1) Koding adalah kegiatan memberikan kode diagnosis utama dan diagnosis sekunder sesuai dengan ICD-10 (International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems) yang diterbitkan oleh WHO serta memberikan kode tindakan\/prosedur sesuai dengan ICD-9-CM (International Classification of Diseases Revision Clinical Modification). (PMK 76, 2016). Jelaskan aturan-aturan dalam koding ICD 10. 2) Bagaimana upaya Saudara sebagai koder agar dapat menjaga kualitas koding penyakit dan tindakan. 3) Elemen kualitas koding adalah reliability, validity, completeness dan timeliness. Ringkasan 1. Koding adalah kegiatan memberikan kode diagnosis utama dan diagnosis sekunder sesuai dengan ICD-10 (International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems) yang diterbitkan oleh WHO serta memberikan kode tindakan\/prosedur sesuai dengan ICD-9-CM (International Classification of Diseases Revision Clinical Modification) (PMK 76, 2016). 2. Koding penyakit menggunakan ICD 10 dan Koding tindakan menggunakan ICD9 CM. 3. Validity yaitu hasil pengodean yang mencerminkan keadaan pasien dan prosedur yang diterima pasien. Seorang pasien dirawat di rumah sakit dengan Bronchopneumonia, dengan Hypertensi Hearth Disease dan Katarak karena Diabetus Mellitus type II. Tindakan yang dilakukan adalah pemeriksaan thorax foto, laboratorium, dan pemasangan infus. Lakukan pengodean dari pasien tersebut dan jelaskan mengapa Saudara memberi kode tersebut. \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 187","Tes 1 Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar! 1) Elemen pengodean dalam menetapkan kualitas data pengodean terdiri atas reliability, validity, completeness dan timeliness. Yaitu hasil yang sama akan diperoleh apabila dilakukan beberapa kali usaha. Contoh: beberapa petugas pengodean dengan rekam medis yang sama akan menghasilkan hasil pengodean yang sama pula. Pengertian dari pernyataan di atas adalah untuk istilah\u2026. A. Completeness B. Timeliness C. Reliability D. Validity E. Eficiency 2) Jika diagnosis utama yang ditegakkan dokter dalam ICD 10 menggunakan kode dagger dan asterisk maka yang dikode sebagai diagnosis utama adalah kode dagger, sedangkan kode asterisk sebagai diagnosis sekunder. Pada kasus pasien dengan katarak yang disebabkan oleh karena riwayat Diabetes Mellitus type II, penyakit sebagai dagger dan asterisk adalah\u2026. A. Katarak sebagai kode dagger dan Diabetes Mellitus type II sebagai kode sekunder B. Katarak sebagai kode dagger dan Diabetes Mellitus type II sebagai kode asterisk C. Diabetes Mellitus type II sebagai kode dagger dan Katarak sebagai kode asterisk D. Diabetes Mellitus type II sebagai kode dagger dan Katarak sebagai kode asterisk E. Keduanya di koding satu per satu 3) Diketahui kasus penyakit sebagai berikut: Diagnosis Utama : Gastroenteritis akibat infeksi atau keracunan makanan Diagnosis Sekunder : - Infectious gastroenteritis sebagai diagnosis utama dikode A09. Ketentuan Rule MB berapa pada kasus di atas\u2026. A. Rule MB 1 B. Rule MB 2 C. Rule MB 3 D. Rule MB 4 188 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","E. Rule MB 5 4) Dalam hal koder tidak berhasil melakukan klarifikasi kepada dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP). Yang dilakukan koder dalam kasus tersebut adalah\u2026. A. Koder menggunakan Rule MB1 untuk memilih kembali kode diagnosis utama (\u2018re- seleksi\u2019). B. Koder menggunakan Rule MB2 untuk memilih kembali kode diagnosis utama (\u2018re- seleksi\u2019). C. Koder menggunakan Rule MB3 untuk memilih kembali kode diagnosis utama (\u2018re- seleksi\u2019). D. Koder menggunakan Rule MB4 untuk memilih kembali kode diagnosis utama (\u2018re- seleksi\u2019). E. Koder menggunakan Rule MB1 sampai MB5 untuk memilih kembali kode diagnosis utama (\u2018re-seleksi\u2019). 5) Dalam pengodean persalinan terdapat aturan-aturan yang perlu diketahui oleh seorang koder. Suatu kasus pasien terdapat penyulit atau komplikasi pada persalianannya. Koder memberi kode pada kasus tersebut adalah\u2026. A. Koder memberi kode penyulit atau komplikasi menjadi diagnosis utama B. Koder memberi kode penyulit dan komplikasi menjadi diagnosis utama C. Koder memberi kode tindakan sebagai acuan diagnosis utama D. Koder mengembalikan ke dokter untuk menanyakan diagnose utama E. Koder tidak member kode pasien tersebut. \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 189","Topik 2 Permasalahan Koding A. JENIS-JENIS PERMASALAHAN KODING Dalam melakukan pengkodean penyakit, seorang koder sering dihadapkan pada masalah-masalah baik terkait dengan koding itu maupun hubungannya dengan medis. Permasalahan yang sering ditemukan dalam koding sebagai berikut: 1. Diagnosis\/tindakan tidak spesifik Saat pasien pulang dari perawatan seyogianya seorang dokter telah dapat menentukan diagnose akhir pasien yang dicatat pada resume medis. Kelengkapan resume medis pasien terutama pada diagnose utama dan sekunder serta tindakan yang diberikan kepada pasien akan memudahkan seorang koder dalam menentukan diagnosis utama dan diagnose sekunder yang akan dikoding. Diagnosis dan atau tindakan yang tidak spesifik akan menyebabkan koder tidak yakin dengan diagnose yang akan dikoding. Misalnya seorang dokter membuat diagnose utama Febris, diagnose ini tidaklah spesifik karena dokter tidak menyimpulkan diagnose pasti pasien tersebut karena Febris merupakan sebuah gejala penyakit yang dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit penyakit infeksi atau penyakit karena virus atau bakteri. Pada kasus seperti ini, maka sebaiknya seorang koder melakukan klarifiasi kepada dokter tentang diagnose yang sesungguhnya, agar koder mendapat kepastian dan tidak menyimpulkan sendiri diagnose pasien tersebut. 2. Diagnosis\/tindakan tidak ditulis Kelengkapan pencatatan rekam medis merupakan faktor yang berpengaruh dalam memberikan koding penyakit dan tindakan yang tepat dan akurat. Bagaimanapun kemampuan seorang koder yang baik, jika pencatatan dalam rekam medis tidak lengkap maka seorang koder tidak dapat melakukan koding dengan baik. Seorang dokter yang baik tentu akan menyadari benar akan kewajibannya dalam melengkapi rekam medis pasien, karena hal ini merupakan salah satu kewajiban seorang dokter dalam praktek keprofesiannya. Tetapi dalam praktiknya pada pelayanan masih ditemukan dokter yang tidak menulis diagnose dan tindakan pada rekam medis pasien, yang berdampak pada seorang koder tidak dapat melakukan koding penyakit dan tindakan pasien tersebut. 190 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Untuk mendapatkan informasi tentang diagnose dan tindakan tersebut, Koder wajib berkoordinasi dengan dokter untuk melengkapi rekam medis pasien. Walaupun hal ini tentu akan membutuhkan waktu yang lama karena tidak selalu dokter melengkapi rekam medis dengan cepat. Pengisian kelengkapan diagnosis dan tindakan ini mengacu pada kebijakan dan prosedur yang berlaku di Bagian Rekam Medis. Seorang koder baru dapat melengkapi koding setelah dokter mencatat diagnose dan tindakan pada rekam medis pasien. 3. Diagnosis\/tindakan tidak lengkap Pencatatan rekam medis yang baik akan membantu koder dalam menetapkan koding yang tepat. Pada pencatatan yang tidak lengkap baik diagnose maupun tindakan akan membuat koding yang dihasilkan tidak tepat atau tidak akurat. Misalnya seorang dokter menulis diagnose utama pasien adalah appendicitis acute, dan tindakan yang dilakukan adalah laparotomy. Diagnosis dan tindakan tersebut adalah tidak sinkron karena pasien dengan Appendicitis akut seharusnya tindakan yang dilakukan adalah Appendictomy. Laparotomy dilakukan jika Appendicitis tersebut disertai dengan perforasi. Oleh karena itu koder hendaknya terus dapat meningkatkan kompetensinya agar dapat memberikan masukan kepada dokter apabila ditemukan diagnose maupun tindakan yang tidak lengkap dan tidak akurat. 4. Tulisan dokter tidak terbaca Pada kasus tertentu pencatatan dalam rekam medis pasien kadangkala tidak dapat dibaca oleh koder. Ada dokter-dokter tertentu yang menulis dalam rekam medis dengan tulisan yang tidak terbaca. Tindakan yang dilakukan oleh koder sesuai kaidah dalam penyelenggaraan dan mutu rekam medis maka, mencoba dibaca oleh orang kedua dan rang ketiga. Apabila tidak dapat dibaca, maka rekam medis hendaknya dikembalikan kepada dokter untuk memastikan tuisan yang dibuat. Angka keterbacaan tulisan dokter memang masih menjadi kendala di beberapa rumah sakit. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menerapkan rekam medis elektronik. 5. Singkatan tidak standar Sesuai ketentuan dalam standar akreditasi rumah sakit, hendaknya rumah sakit mempunyai daftar singkatan yang berlaku di rumah sakit. Salah satu isi dari daftar singkatan tersebut adalah singkatan dari diganosa dan tindakan yang digunakan di rumah sakit. Setiap orang terutama tenaga kesehatan hendaknya menggunakan daftar singkatan ini sebagai pedoman dalam melakukan pencatatan dalam rekam medis pasien. \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 191","Pada kasus-kasus tertentu, seorang dokter dan dapat saja menulis diagnose pasien di luar daftar singkatan , yang mengakibatkan koder tidak paham dengan apa yang ditulis dokter. Koder sebaiknya berkoordinasi dengan dokter yang bersangkutan tentang singkatan yang ditulis tersebut. Dan setelah diketahui singkatan yang dimaksud, jangan lupa tuliskan dalan daftar singkatan rumah sakit. 6. Prosedur tidak dilakukan tetapi di koding Posedur yang di koding adalah prosedur yang dilakukan kepada pasien, maka tindakan yang dikoding hendaknya tindakan yang telah dilakukan kepada pasien. Misalnya pasien batal dilakukan operasi, maka koder tidak boleh melakukan koding pada pasien tersebut. Oleh karena itu perlu kehati-hatian seorang koder terhadap hal ini, agar tidak timbul dugaan kecurangan\/fraud yang dilakukan oleh koder. Cek kembali berkas yang telah diinput agar tidak terjadi kesalahan penginputan. Perhatikan juga etik koder dan hindari ajakan kerja sama untuk melakukan ha-hal yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. 7. Prosedur dilakukan tetapi tidak di koding Setiap prosedur yang dilakukan oleh tenaga ahli, diberikan kode tindakan sesuai ICD9- CM. Kode-kode prosedur tersebut akan terkait dengan jumlah pembiayaan yang dapat diklaim dalam aplikasi INA-CBG\u2019s. Seorang koder harus saksama membaca rekam medis pasien untuk mengetahui tindakan apa saja yang dilakukan kepada pasien. Apabila tidak teliti dan hati-hati dapat terjadi tindakan yang dilakukan tidak dikoding, dalam hal ini akan merugikan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan. 8. Salah Koding Permasalah berikutnya dalam koding adalah kesalahan memberi kode. Keakuratan dan ketepatan koder dalam member kode tentu dipengaruhi oleh kompetensi dan kemampuan koder dalam menentukan kode. Pengetahuan dan keterampilan koder harus terus ditingkatkan agar tidak terjadi kesalahan pemberian kode yang berdampak pada pembiayaan. Teliti dan baca kembali diagnose yang ditulis dokter dan lakukan pengkodean sesuai kaidah koding yang berlaku. B. KASUS-KASUS PERMASALAHAN KODING Dalam proses pengajuan klaim pasien BPJS dari fasilitas pelayanan kesehatan ke BPJS kesehatan sering ditemukan permasalahan-permasalahan terkait koding pasien BPJS. Dalam perkembangannya BPJS dan Kementerian Kesehatan bersama organisasi profesi dan PERSI berusaha menjembatani permasalahan yang ada. 192 Manajemen Informasi Kesehatan V \uf06e","Permasalahan-permasalahan tersebut dapat terdiri dari permasalahan koding, medis dan hal-hal lain yang terkait dengan proses klaim tersebut. Maka sebagai koder harus memahami permasalahan-permasalahan apa saja yang ada dalam proses klaim dan bagaimana menyelesaikan permasalahan tersebut sesuai kesepakatan dan kebijakan yang berlaku dalam pengelolaan pasien BPJS. Sesuai dengan Surat Edaran Nomor hk.03.03\/menkes\/518\/2016 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Klaim INA-CBG Dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional, beberapa permasalahan koding yang ditemukan dan disepakati penyelelesaiannya adalah sebagai berikut: - Pada kasus-kasus HIV ditambahkan kode candidiasis (B.37) Pada kasus HIV tidak dapat dikoding sendiri-sendiri\/terpisah tetapi dikoding dengan kode kombinasi, jadi seharusnya B20.4 dan B.37 tidak dikoding. - Permasalahan: Koding Hipertensi disertai dengan kode Chronic Health Failure (CHF) dan Renal Failure (RF). Kesepakatan: Diagnosis hipertensi dan gagal jantung atau dan gagal ginjal hanya dapat dikoding dengan satu koding kombinasi tanpa mengentri gagal jantung\/gagal ginjalnya (Permenkes no. 27 Tahun 2014 ). - Permasalahan : Penagihan Top Up obat kelasi\/Thalasemia (Deferipron dan Deferoxsamin) dalam sebulan lebih dari satu kali. Kesepakatan: Top up klaim obat kelasi (pada klaim rawat inap) hanya dapat dikoding 1x sebulan (sesuai Permenkes No.59 tahun 2014). - Permasalahan: Hiperglikemia dicoding terpisah dengan diagnosis utama seperti DM (E10-E14). Kesepakatan: Hiperglikemi (R73.9) tidak dapat menjadi diagnosis utama jika ada diagnosis lain yang lebih spesifik. - Permasalahan: \uf0b7 Tonsilektomi dikoding dengan Kauter Faring (28.2 dan 29.39). \uf0b7 Appendectomy dengan laparotomi (47.0+54.1). \uf0b7 Herniotomi dengan laparotomi (53.9+54.). \uf0b7 Insisi Peritoneum (54.95): Tindakan operasi dikoding terpisah-pisah misalnya SC\/appendectomy dengan insisi peritoneum. \uf0b7 Endotrakeal Tube (96.04). Pada operasi atau tindakan yang perlu pemasangan endotracheal tube dikoding terpisah. Kesepakatan: Prosedur yang merupakan bagian dari prosedur utama tidak dapat dikoding. \uf06e Manajemen Informasi Kesehatan V 193"]


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook