Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Jurnal Kadesi Vol 4. No.2 Januari 2023

Jurnal Kadesi Vol 4. No.2 Januari 2023

Published by cbm.budiono, 2023-01-23 14:11:11

Description: JurnalKadesi Berisi 8 ArtikelKarya Ilmiah

Keywords: Jurnal Kadesi

Search

Read the Text Version

P-ISSN 2655-4801 E-ISSN 2807-7040 Volume 4. No. 2. Januari 2023 JURNAL TEOLOGI DAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN Diterbitkan Oleh Tujuan Pendidikan Agama Kristen Sebagai Kontra Algoritma Sosial Media Pengamplifikasi Dosa Sekolah Tinggi Teologi Elizabeth Ong, Grace Quarissa Hadinata. Dr. Sukarna, M.Th. KADESI BOGOR Quality Schools From An Educational Policy Point Of View Independent Learning In Indonesia Roce Marsaulina. Dan Kia. Sri Rezeki Penerapan Pelayanan Kasih di GBI Pelita Imanuel (Suatu Perspektif Teologi Praktika) Oktavianus Rangga. . Roce Marsaulina. Rajiman Andrianus Sirait Pak Menurut Kitab Kejadian Jajang Sukarjo. Timotius Sukarna. Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Motivasi Kerja, Dan Lingkungan Kerja Terhadap Prestasi Kerja Guru Di Smp Islam Cibatutiga Kabupaten Bogor Olis Profil Pelajar Pancasila Dalam Pendidikan Agama Kristen Esther Bessie. Djoys Anneke Rantung. Lamhot Naibaho Alkitab Versus Kitab-Kitab Suci Lain Yunus Rahmadi. Timotius Sukarna Penerjemahan Alkitab Versi Indonesian Literal Translation Jahja Iskandar. Timotius Sukarna. Delpi Novianti

JURNAL KADESI Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Kontributor: Roce Marsaulina I Dan Kia I Sri Rezeki Elizabeth Ong I Grace Quarissa Hadinata. Timotius Sukarna I Oktavianus Rangga I Roce Marsaulina. Rajiman Andrianus Sirait I Jajang Sukarjo I Olis Esther Bessie I Djoys Anneke Rantung I Lamhot Naibaho Yunus Rahmadi I Jahja Iskandar I Delpi Novianti Editor Tonny Andrian Journal Manager Aryanto Budiono Diterbitkan Oleh SEKOLAH TINGGI TEOLOGI KADESI BOGOR



DAFTAR ISI I 1-22 Kata Pengantar 23-46 47-66 Tujuan Pendidikan Agama Kristen Sebagai Kontra Algoritma Sosial Media Pengamplifikasi Dosa 67-88 Elizabeth Ong, Grace Quarissa Hadinata. Dr. Sukarna, M.Th. 89-122 Quality Schools From An Educational Policy Point Of View 123-140 Independent Learning In Indonesia 142-164 Roce Marsaulina1. Dan Kia2. Sri Rezeki 165-195 Penerapan Pelayanan Kasih Di Gbi Pelita Imanuel (Suatu Perspektif Teologi Praktika) Oktavianus Rangga. Roce Marsaulina. Rajiman Andrianus Sirait Pak Menurut Kitab Kejadian Jajang Sukarjo. Timotius Sukarna. Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah, Motivasi Kerja, Dan Lingkungan Kerja Terhadap Prestasi Kerja Guru Di Smp Islam Cibatutiga Kabupaten Bogor Olis Profil Pelajar Pancasila Dalam Pendidikan Agama Kristen Esther Bessie. Djoys Anneke Rantung. Lamhot Naibaho Alkitab Versus Kitab-Kitab Suci Lain Yunus Rahmadi. Timotius Sukarna Penerjemahan Alkitab Versi Indonesian Literal Translation. Jahja Iskandar,Timotius Sukarna. Delpi Novianti

KATA PENGANTAR

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ Tujuan Pendidikan Agama Kristen Sebagai Kontra Algoritma Sosial Media Pengamplifikasi Dosa Elizabeth Ong, Grace Quarissa Hadinata1 [email protected] Dr. Sukarna, M.Th.2 [email protected] Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor Abstract The development towards sophisticated social media is inevitable. Algorithms for curating content are a common feature of most social media. However, the algorithm raises new problems such as filter bubble situations and echo chamber effects. The impact is the amplification of sin or the human flesh in cyberspace realm called digital sin. So it is necessary to review the purpose of Christian Educatio, which is used as a counter to the problem. The results of the research using descriptive analysis method show that implementation of Christian Education according to its real purpose is a solution to the problem because Christian Education always relevant to the struggles faced by humans from all ages, including today with the struggles of social media algorithms and their various negative impacts. Keywords: Social media algorithm, filter bubble, echo chamber, sin, Christian Education _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 1

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ Abstrak Perkembangan menuju media sosial yang canggih tidak terhindarkan. Algoritma untuk mengurasi konten adalah fitur umum sebagian besar media sosial. Namun, algoritma tersebut menimbulkan problematika baru seperti situasi filter bubble dan efek ruang gema (echo chamber). Dampaknya adalah amplifikasi dosa atau sisi kedagingan manusia dalam ranah dunia maya yang disebut dosa digital. Maka perlu ditinjau tujuan Pendidikan Agama Kristen (PAK) yang digunakan sebagai kontra terhadap permasalahan. Hasil penelitian yang menggunakan metode analisis deskriptif menunjukkan PAK yang dilaksanakan sesuai tujuan sesungguhnya adalah solusi dari permasalahan sebab 1) PAK bersifat kontekstual dan akan terus relevan dengan pergumulan manusia segala masa, 2) target PAK juga menggunakan media sosial, 3) Firman Tuhan adalah sumber belajar utama dalam PAK yang tidak lekang oleh waktu, dan 4) keluaran PAK ialah pengikut Kristus yang dewasa secara keseluruhan. Kata-kata kunci: Algoritma media sosial, filter bubble, efek ruang gema, dosa, Pendidikan Agama Kristen. Pendahuluan Awal tahun 2021, dilaporkan sebanyak 76,8% atau 202,35 juta penduduk Indonesia sudah menggunakan internet. Meski angka yang besar ini menjadi representasi Indonesia yang makin intensif berinternet. Namun, salah satu hal yang menjadi perhatian adalah literasi dan kecakapan digital dari pengguna internet Indonesia.1 Salah satu konten dunia maya yang dapat diakses melalui internet adalah media sosial. Media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan 1 N. P. Bestari, \"76,8% Warga RI Sudah Pakai Internet, Tapi Banyak PR-Nya\", CNBC Indonesia, diakses pada 23 Maret 2022, https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220120142249-37-309046/768-warga-ri-sudah- pakai-internet-tapi-banyak-pr-nya. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 2

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ manusia modern karena berbagai informasi dapat tersebar dengan luas dan cepat melalui media sosial. Dari berita terkini, konten hiburan, hingga konten rohani dapat ditemui. Media sosial kini menjadi salah satu bukti nyata dari ciri khas globalisasi dimana adanya perubahan signifikan terhadap hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Aspek sosial, budaya, dan agama juga tidak terlepas dari media sosial sehingga muncul peleburan aspek-aspek dari belahan bumi lain ke belahan bumi yang lain pula. Media sosial pada awal kemunculannya tentu berbeda dengan media sosial yang ada sekarang. Kini, diterapkan sebuah algoritma guna mengurasi konten dan algoritma ini telah menjadi fitur umum dalam kebanyakan media sosial.2 Algoritma merupakan seperangkat aturan yang berguna untuk mendefinisikan urutan operasi.3 Positifnya, konten yang disuguhkan memang disesuaikan dengan minat serta potensi minat berdasarkan aktivitas pengguna ataupun lingkungan pertemanan pengguna. Namun, tentunya algoritma media sosial menimbulkan sejumlah problematika tersendiri. Problematika tersebut antara lain situasi filter bubble dan efek ruang gema (echo chamber). Filter bubble adalah 2 M. A. DeVito, D. Gergle, dan J. Birnholtz, \"\"Algorithms Ruin Everything\": #Riptwitter, Folk Theories, and Resistance to Algorithmic Change in Social Media\", dalam Proceedings of the 2017 CHI Conference on Human Factors in Computing Systems (ACM, 2017), 3163-3174. 3 F. Zimmer, dkk, \"Echo Chambers and Filter Bubbles of Fake News In Social Media. Man-Made or Produced by Algorithms?\", dalam 8th Annual Arts, Humanities, Social Sciences & Education Conference (Honolulu: Hawaiian University, 2019), diakses pada 23 Maret 2022, https://www.researchgate.net/publication/331071348_Echo_Chambers_and_Filter_Bubbles_ of_Fake_News_in_Social_Media_Man-made_or_produced_by_algorithms. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 3

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ keseragaman informasi yang muncul pada media sosial seseorang yang disebabkan oleh algoritma yang diterapkan.4 Filter bubble menjadi salah satu penyebab timbulnya efek ruang gema. Efek ruang gema merupakan situasi dimana seseorang hanya dikelilingi oleh gagasan, perspektif, atau hal-hal lain yang sesuai dengan minatnya sendiri. Situasi ini kemudian menimbulkan polarisasi dan eksklusivitas, sehingga akan timbul keengganan atau ketegangan saat dihadapkan dengan hal- hal di luar perspektif diri ataupun kelompoknya.5 Jika situasi filter bubble dan efek ruang gema diterapkan pada situasi dimana pengguna media sosial terekspos informasi yang salah seperti berita hoax maupun perilaku menyimpang, maka pengguna internet akan sulit lepas dari situasi yang telah terbangun. Bahkan dapat dikatakan, pengguna media sosial akan makin tenggelam dalam perilaku menyimpang dan dalam dosa. Dalam korelasinya, algoritma media sosial adalah pengaplifikasi dosa. Sebagai kontra amplifikasi dosa yang dilakukan oleh algoritma media sosial, pengguna media sosial perlu diperkuat dalam keimanannya. Salah satu cara memperkuat keimanan adalah melalui Pendidikan Agama Kristen. Dengan demikian, perlu dilakukan kajian mendalam terhadap Pendidikan Agama Kristen (PAK), khususnya pada 4 Anonim, \"FILTER BUBBLE: Apa Itu Algoritma Media Sosial?\", BEM FEMA IPB, diakses pada 23 Maret 2022, http://bem.fema.ipb.ac.id/index.php/filter-bubble-apa-itu- algoritma-media-sosial/. 5 Y. K. Yahya dan U. Mahmudah. Echo Chambers di Dunia Maya: Tantangan Baru Komunikasi Antar Umat Beragama. RELIGI Jurnal Studi Agama-Agama Vol. 15 No. 2 (2019): 141-152. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 4

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ tujuan PAK yang digunakan sebagai kontra terhadap algoritma media sosial dan berbagai dampaknya yang mengamplifikasi dosa. Namun sebelum mengkaji tujuan PAK, perlu diuraikan terlebih dahulu mengenai algoritma, situasi filter bubble, dan efek ruang gema yang ada di media sosial serta kajian dosa menurut Alkitab Perjanjian Baru (PB). Tujuannya adalah agar permasalahan yang ada dapat didudukkan dengan proposional sehingga PAK sebagai kontra dapat tepat sasaran. Agar pembahasan dapat lebih terarah dan fokus, dirumuskan permasalahan pokoknya yaitu 1) bagaimana algoritma, situasi filter bubble, dan efek ruang gema yang ada di media sosial sekarang ini?; 2) bagaimana tinjauan dosa menurut Alkitab Perjanjian Baru (PB)?; 3) apa tujuan PAK menurut pendidikan agama Yahudi, Alkitab PB (Yesus Kristus dan Rasul Paulus), Martin Luther, Yohanes Calvin, dan Ignatius Loyola?; serta 4) bagaimana tujuan PAK dapat dijadikan sebagai kontra algoritma, situasi filter bubble, dan efek ruang gema pengamplifikasi dosa? Metode Guna menyelesaikan rumusan masalah di atas maka tulisan ini diberi judul “Tujuan Pendidikan Agama Kristen Sebagai Kontra Algoritma Sosial Media Pengamplifikasi Dosa” yang disajikan berimbang dengan mendudukan masalah secara proposional. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan teknik analisis deskriptif kepada tiap komponennya. Metode deskriptif dicapai dengan studi literatur dan Alkitab. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 5

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ Hasil dan Pembahasan Algoritma di Media Sosial Media sosial pada mulanya didesain sebagai media alternatif dimana tiap orang, khususnya masyarakat umum, dapat mengekspresikan diri dan berpendapat secara leluasa. Berbeda dengan media massa yang lebih mahal dengan akses yang terbatas. Media sosial menjadi panggung yang nyaman bagi banyak individu untuk berbagi dan membentuk kelompok dengan individu lain yang sepemikiran. Media sosial juga berkembang seiring perkembangan teknologi. Kini, daripada pengguna sebuah platform media sosial disuguhi dengan konten-konten yang tidak menarik perhatian dan menyebabkan pengguna tersebut berpindah ke platform lain, dikembangkan sebuah arsitektur digital baru. Arsitektur ini dikenal sebagai algoritma media sosial, yaitu seperangkat aturan yang berguna untuk mendefinisikan urutan operasi pada sebuah sistem komputer.6 Konsep algoritma media sosial adalah relevansi (relevance), ketepatan (pertinence), dan peringkat (ranking). Relevansi mengandalkan kemampuan pengguna untuk memahami konten media sosial yang diamati secara independen guna memenuhi kebutuhan informasinya. Sedangkan sebuah informasi dapat dikatakan tepat jika penggunanya dapat memahami dan menerapkan informasi yang ada dalam konten tersebut. Ketepatan mengandaikan sistem informasi bersangkutan dapat mengidentifikasi pengguna yang bekerja dengan 6 F Zimmer, dkk, Op.Cit. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 6

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ sistem. Kemudian semuanya itu akan diurutkan menggunakan sistem peringkat. Contohnya pada sistem penyortiran postingan Facebook diterapkan algoritma peringkat ketepatan berdasarkan afinitas/persamaan (affinity), pembobotan (weighting), dan aktualitas (timeliness). Melalui ketiga aspek ini, postingan yang muncul dalam beranda pengguna akan diurutkan berdasarkan nilai status pengambilannya. Afinitas/persamaan berhubungan dengan interaksi terdahulu dari pengguna dengan penulis postingan (baik itu pribadi, laman penggemar, grup, dan sebagainya) dengan tiap interaksi (sukai, komentar, dan bagikan) memiliki bobot yang berbeda-beda. Jika pengguna menyukai, mengomentari, dan membagikan postingan tokoh A maka postingan tokoh A di masa mendatang akan memiliki bobot yang lebih tinggi. Pembobotan ini tidak hanya meliputi interaksi, tetapi juga posisi dari pembuat postingan (dalam hal ini misalnya tokoh A) dan jenis postingan (berupa teks saja, memuat gambar, memuat video, dan sebagainya). Jika tokoh A sering dilihat (baik laman maupun kontennya), disebut dalam postingan pengguna lain, dan lain-lain maka bobotnya juga akan meningkat. Aktualitas berhubungan dengan seberapa baru postingan tersebut, semakin baru maka bobot postingan akan makin tinggi. Namun ada hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam pembobotan sebuah postingan Facebook, seperti 1) postingan perorangan akan berbobot lebih tinggi daripada postingan perusahaan, 2) postingan yang telah dilihat akan memiliki algoritma yang sedikit berbeda, serta 3) jarak antar postingan dari orang yang sama memiliki pengaruh yang besar. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 7

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ Jika ditinjau sekilas, memang algoritma media sosial tidak secara langsung menimbulkan situasi filter bubble dan efek ruang gema. Namun, diduga pola perilaku bermedia sosial dari pengguna yang diperkuat oleh algoritma dapat menimbulkan situasi filter bubble dan efek ruang gema. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan pengguna dan kelompoknya untuk saling berinteraksi terhadap konten yang serupa. Apalagi hal ini diperkuat hadirnya fitur media sosial untuk tidak menampilkan atau paling tidak mengurangi intensitas tampilan konten yang tidak disukai. Gambar 1. Fitur media sosial Instagram untuk tidak menampilkan konten yang tidak disukai oleh pengguna. Keseragaman konten yang diberikan oleh algoritma media sosial ini memfasilitas individu-individu yang memiliki pandangan kurang tepat untuk semakin terjerumus, terlepas dari masuk akal atau benar tidaknya pandangan tersebut. Apalagi situasi ini diperparah dengan _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 8

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ pihak-pihak yang sadar akan situasi filter bubble dan mengeksploitasinya demi agenda pribadi ataupun golongan. Misal maraknya berita hoax yang dibagikan grup WhatsApp, kejadian- kejadian viral yang dibagikan secara masif oleh akun-akun Instagram serupa @lambe_turah, dan sebagainya. Dampak Situasi Filter Bubble dan Efek Ruang Gema Situasi filter bubble yang diciptakan oleh pola perilaku pengguna dan diperkuat oleh algoritma media sosial masa kini menimbulkan efek ruang gema yang kuat. Kedua hal ini memberi dampak signifikan pada para penggunanya, baik dalam hal positif dan negatif. Beberapa dampak tersebut antara lain 1) memunculkan sekat-sekat antar komunitas, 2) menimbulkan polarisasi dan sikap eksklusif/tertutup, 3) persempitan pandangan atau perspektif pengguna, 4) semakin suburnya konten-konten yang menjerumuskan pengguna dalam aktivitas dan perilaku menyimpang (pergaulan bebas, kecanduan digital, radikalisme, dan sebagainya) karena penafsiran konten secara otodidak yang tidak dibarengi dengan kompetensi pendukung penafsirannya. Meski terdapat dampak positif dari filter bubble dan efek ruang gema, ketercapaiannya sangat bergantung pada jati diri pengguna media sosial terkait. Jika pengguna media sosial merupakan individu dengan pola perilaku yang baik, maka filter bubble dan efek ruang gema yang timbul juga akan baik. Sebaliknya, jika pengguna tersebut adalah individu yang rentan terhadap aktivitas dan perilaku menyimpang, maka ia akan makin dikelilingi dengan konten-konten bernuansa serupa. Dapat dikatakan, filter bubble dan efek ruang gema _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 9

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ akan mengamplifikasi pola perilaku yang ada. Amplifikasi pola perilaku dan aktivitas menyimpang akan menjadi suatu kekhawatiran dan permasalahan yang perlu dituntaskan. Penuntasannya akan menjadi tugas semua pihak, termasuk orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Konsep Dosa dalam Perjanjian Baru Dosa merupakan sisi kedagingan yang ada dalam diri seluruh umat manusia. Dosa didefinisikan dalam Alkitab Perjanjian Baru sebagai 1) parabasis (melangkahi) yaitu rupa melanggar hukum (Rom 4:15); 2) hamartia (meleset dari sasaran) yaitu rupa kegagalan untuk mengikuti ketetapan Tuhan (Rom 3:22-23); 3) sifat kedagingan atau egoisme manusia (Rom 7:14, 17-25); 4) anomia atau kerangka pikir (Mat 24:12) yang mengabaikan hukum Allah (1Yoh 3:4) sebagai rupa pemberontakan terhadap Tuhan; dan 5) asebeia atau kefasikan yang melanggar perintah Tuhan 1-4 dan adikia atau kelaliman yang melanggar perintah Tuhan 5-10 yaitu berbagai tindakan yang menyalahi Tuhan dan manusia (Rom 1:18). Dosa mula-mula atau doa nenek moyang tidak berasal dari pribadi Tuhan Allah sebab Ia tidak dapat dicobai oleh dosa dan tidak bisa mencobai manusia dengan dosa (Yak 1:13). Dosa bermula dari iblis (Yeh 28:15) yang berhasil memperdaya manusia (Kej 3:6, Rom 5:12) untuk berbuat curang atau dosa dan para malaikat yang mengikutinya (2 Ptr 2:4). Kejatuhan manusia dalam dosa berdampak pada rusaknya keseluruhan sifat manusia, yang pada mulanya adalah suci. Sifat yang diturunkan dari kejatuhan manusia ini dapat dilihat _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 10

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ hingga sekarang, yaitu keinginan untuk berdiri sendiri (independen) dari Tuhan (Ef 2:3). Dampak dari dosa mula-mula ini adalah 1) bobroknya moral manusia, 2) seluruh bagian dari manusia adalah berdosa, dan 3) sisi spiritual manusia pada dasarnya telah mati. Pertama, bobroknya moral manusia bukan berarti moral tersebut sangat rusak hingga tidak terselamatkan, bukan juga berarti tiap manusia akan berpartisipasi dalam semua jenis dosa. Manusia dengan moral yang bobrok tetap mampu untuk berbuat baik. Sayangnya kebobrokan tersebut, sudah cukup untuk mendiskualifikasi tiap manusia untuk diterima di hadapan Tuhan serta melumpuhkan kebijaksanaan iman. Kedua, seluruh bagian dari manusia adalah berdosa, baik itu pikiran (2 Kor 4:4), hati nurani (1 Tim 4:2), kehendak (Rom 1:28), hati (Ef 4:18), dan keseluruhannya (Rom 1:18-3:20). Ketiga, sisi spiritual manusia pada dasarnya telah mati (Ef 2:3) dan akan terpisah dari Tuhan selama-lamanya (Why 20:11-15) kecuali melalui keselamatan dari Tuhan Yesus Kristus. Dosa pribadi adalah seluruh pola pikir dan perilaku, tindakan atau kegagalan dalam bertindak, yang melanggar standar Tuhan mengenai kekudusan sempurna. Dosa pribadi dapat bersumber dari 1) dunia dalam 1 Yoh 2:15-16 dimana manusia diingatkan untuk tidak mengasihi dunia dan segala isinya sebab iblis berkuasa atas dunia; 2) kedagingan dalam Rom 7:17-20 dimana manusia memiliki kapasitas untuk memuaskan keinginan, nafsu, dan kebejatan pikiran; dan 3) Iblis seperti dalam 1 Ptr 5:8 yaitu entitas nyata yang hendak menghancurkan seluruh ciptaan-Nya serta manusia diperintahkan untuk melawan Iblis (Yak 4:7). _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 11

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ Akan tetapi, manusia tidak dibiarkan untuk sendiri dan dipenuhi dosa. Terdapat sejumlah ketetapan Tuhan untuk manusia terkait dengan dosa, yaitu 1) janji perlindungan (Mzm 119:11) yang diperoleh melalui kebijaksanaan dan pengkudusan (Ef 5:26); 2) campur tangan/perantaraan Yesus Kristus (1 Yoh 2:1, Ibr 7:25) ampuh dalam menghadapi Iblis (Yoh 17:15) dan merupakan utusan dari Allah Bapa ke dunia (Yoh 17:25); serta 3) adanya Roh Kudus yang turun ke dunia untuk menguatkan, mengisi, dan selalu mendampingi orang-orang percaya (Kis 1:8, Ef 5:17, dan Gal 5:16). Konsekuensi yang harus dihadapi bagi orang-orang Kristen yang berbuat dosa antara lain 1) menghalangi komunikasi atau keintiman diri dengan Yesus Kristus (1 Tes 5:11 dan 1 Ptr 3:7); 2) terdapat ganjaran yang diberikan dari Tuhan kepada manusia yang terus berbuat dosa (Ibr 12:5-11), ganjaran tersebut bisa berupa kelemahan, rasa sakit, hingga maut (1 Kor 11:30, Yak 5: 19-20, 1 Yoh 5:16); dan 3) gereja lokal wajib memberikan ganjaran/pendisiplinan kepada jemaat yang terus tekun berbuat dosa (Mat 18:17 dan 1 Kor 5:12). Tujuan Pendidikan Agama Kristen (PAK) Pendidikan Agama Kristen (PAK) telah ada sejak jaman dahulu, bahkan sebelum Yesus Kristus lahir di dunia. Hal ini ditandai dengan pokok-pokok pendidikan utama bangsa Israel yang telah ada sejak abad permulaan hingga pembuangan ke Babel.7 Kemudian PAK disempurnakan oleh Yesus Kristus sendiri melalui pengajaran-Nya dan 7 R. R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato sampai Ig. Loyola (Cetakan Pertama). Jakarta: Gunung Mulia. 1991, h.19. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 12

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ diteruskan oleh berbagai tokoh sepanjang zaman. Tokoh-tokoh sepanjang zaman mengembangkan PAK sesuai masa agar tetap kontekstual dan mampu menghadapi permasalahan yang timbul pada masa tersebut. Meski demikian, para tokoh tetap berpedoman pada pengajaran Yesus Kristus. Guna mempelajari lebih dalam, maka akan diuraikan tujuan PAK menurut 1) pendidikan agama Yahudi (sebelum lahirnya Yesus Kristus), 2) pendidikan agamawi dalam Alkitab PB, 3) Martin Luther, 4) Yohanes Calvin, dan 5) Ignatius Loyola. Pertama, tujuan PAK melalui tujuan pendidikan agama dalam pendidikan agama Yahudi. Tujuannya ialah melibatkan individu yang muda dan dewasa ke dalam serangkaian pengalaman belajar sebagai sarana pengingat akan berbagai perbuatan ajaib Allah di masa lampau, membimbing mereka dengan harapan perbuatan yang sama dinyatakan kembali di tengah kehidupan mereka untuk memenuhi berbagai syarat perjanjian sehubungan dengan kebaktian keluarga dan persekutuan serta perilaku yang sesuai dengan kehendak Tuhan sehingga Tuhan dinyatakan dalam urusan sosial dan segala kegiatan yang memelihara ciptaan-Nya yang baik.8 Kedua, tujuan PAK menurut Alkitab PB yang meliputi pengajaran Tuhan Yesus dan Rasul Paulus yang meneruskan. Menurut Injil Matius 28:19-20, Markus 16:15-18, Lukas 24:44-49, Yohanes 20:19-23; 21:15-29, dan Kisah Para Rasul 1:6-8, dijelaskan bahwa selain sebagai mandat bagi orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, amanat agung merupakan landasan pelaksanaan pendidikan. Hal ini ditandai 8 Boehlke, Op.Cit h.23 _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 13

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ dengan pernyataan tugas-tugas guru dan tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan oleh Yesus Kristus. Sehingga, disimpulkan bahwa PAK merupakan upaya untuk memenuhi tujuan amanat agung yakni menjadikan seluruh bangsa menjadi murid Kristus dan mengajar mereka melakukan segala perintah-perintah-Nya.9 Rasul Paulus dalam Efesus 4:11-16 juga menuliskan bahwa tujuan PAK ialah untuk memperlengkapi para pelayan Firman demi pembangunan Gereja (tubuh Kristus) sampai tercapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar mengenai Tuhan Yesus Kristus, kedewasaan penuh, serta bertumbuh kembang sesuai dengan kepenuhan Kristus agar para peserta didik menjadi dewasa secara utuh sehingga tidak terombang- ambing oleh berbagai pengajaran yang menyesatkan serta tetap teguh dalam kebenaran dan kasih Yesus Kristus.10 Ketiga, tujuan PAK menurut pandangan Martin Luther ialah untuk melibatkan seluruh jemaat gereja, terutama kaum muda, untuk belajar hidup secara teratur dan tertib guna menyadarkan diri atas kondisi berdosa dan berbahagia atas Firman Yesus Kristus yang memerdekakan dari belenggu dosa tersebut. Selain itu Firman menjadi bekal dalam pelayanan kepada sesama (masyarakat dan negara) serta memampukan mereka untuk bertanggung jawab dalam hidup Gereja, 9 R. Tanduklangi. Analisis Teologis Tentang Tujuan Pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam Matius 28:19-20. Jurnal Pendidikan Kristen Vol. 1 No. 1 (Juni 2020): 47-58. 10 Harianto G. P. Pendidikan Agama Kristen dalam Alkitab dan Dunia Pendidikan Masa Kini. Yogyakarta: ANDI. 2012, h. 43 _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 14

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ sebab dilengkapi dengan sumber iman, khususnya pengalaman berdoa, Firman tertulis, Alkitab, dan berbagai kebudayaan.11 Keempat, tujuan PAK menurut pandangan Yohanes Calvin adalah mendidik kaum muda gereja agar mampu menelaah Alkitab dengan cerdas melalui bimbingan Roh Kudus sehingga mampu mengambil bagian dalam kegiatan gereja sebagai rupa pengabdian dan ucapan syukur kepada Yesus Kristus dengan bertanggung jawab demi kemuliaan-Nya.12 Kelima, tujuan PAK menurut pandangan Ignatius Loyola ialah untuk melibatkan kaum muda dalam berbagai latihan rohani dan intelektual sehingga terbentuk kehidupan batiniah dan kognitif yang baik serta membimbing mereka dalam berbagai urusan kemasyarakatan secara taat sesuai perintah-Nya sampai akhirnya terpenuhi tujuan penciptaan mereka.13 Berdasarkan kelima uraian mengenai tujuan PAK, dapat dilihat beberapa persamaan, yaitu 1) targetnya ialah seluruh jemaat namun terutama kaum muda, 2) Firman Tuhan adalah sumber pengajaran yang utama, 3) mencakup berbagai aspek kehidupan manusia (sosial, spiritual, kultural, dan lain-lain), 4) bertujuan mendewasakan manusia dalam Kristus agar mampu menjadi anggota gereja dan masyarakat yang baik sesuai standar-Nya. 11 Boehlke, Op.Cit h.342 12 Ibid, h.414-415 13 Ibid, h.472 _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 15

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ Tujuan PAK Sebagai Kontra Dosa Digital Manusia Beberapa definisi dari dosa telah diuraikan sebelumnya seperti rupa kegagalan untuk mengikuti ketetapan Tuhan (Rom 3:22-23), sifat kedagingan atau egoisme manusia (Rom 7:14, 17-25), dan ketidakbenaran yang melanggar perintah Tuhan 5-10 (peraturan mengenai hubungan kepada sesama manusia). Berdasarkan sejumlah definisi tersebut dapat disimpulkan yang termasuk dalam kategori dosa bukan hanya pelanggaran firman Tuhan dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan saja. Dosa juga meliputi segala tindakan yang melanggar firman-Nya dalam konteks hubungan antar sesama manusia. Berangkat dari konsep dosa tersebut, maka dapat dihubungan dengan konteks masa kini yaitu algoritma media sosial yang mengamplifikasi pola perilaku manusia serta menimbulkan situasi filter bubble dan efek ruang gema. Pada paradigma nature dan nurture, pola perilaku manusia dibentuk atas dua hal yaitu keturunan/alamiah dan pengasuhan/lingkungan. Sifat alamiah manusia adalah kedagingan, spiritualitas yang bobrok, penuh akan dosa dalam tiap aspek hidupnya dan seluruh anggota tubuhnya. Kebobrokan ini memampukan manusia untuk bertindak kejam, hingga di luar nalar karena manusia merasa independen dari Tuhan dan segala firman-Nya. Jika manusia tidak dibarengi dengan pola pengasuhan atau lingkungan yang mendukung untuk penebusan kedagingan, yaitu melalui Kristus, maka manusia tersebut akan menjadi semakin rentan untuk tekun berbuat dosa. John Wesley dalam pendekatannya mengenai dosa menyebutkan jika kehendak manusialah yang menjadi akar dosa. Kehendak yang egois dan tindakan tidak bermoral dari sebagian _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 16

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ manusia dapat mengurangi keadilan dan mengancam kesejahteraan banyak mahluk.14 Dapat dilihat dalam perilaku yang didukung oleh algoritma media sosial, timbul situasi filter bubble dan efek ruang gema yang makin membuat manusia, sang pengguna media sosial menjadi makin egois dan mendukung tindakan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Sifat egois dan mendukung tindakan yang melanggar firman Tuhan (berbuat dosa) di media sosial atau ranah digital akan disebut sebagai dosa digital. Beberapa contoh dosa digital manusia antara lain 1) Memproduksi/mengelilingi diri dengan konten tidak bermoral (kekerasan, perjudian, pornografi, dan sebagainya) padahal pengikut Kristus diwajibkan untuk menjauhi hal-hal yang tidak disukai Allah (1 Kor 5:11). 2) Menyebarkan informasi yang tidak benar (hoax) baik secara langsung maupun tidak langsung, disengaja maupun tidak disengaja. Padahal pengikut Kristus harus menjadi guru yang benar bagi sesama manusia. Jangan sampai menjadi guru-guru palsu yang menyesatkan (2 Ptr 2:1-3). 3) Melakukan perundungan, menyindir, bahkan menghina manusia lain, baik kepada yang sudah ataupun yang belum pernah bertemu di dunia nyata. Padahal bahwasanya manusia akan dihadapkan kembali kepada takhta pengadilan Allah dan harus mempertanggung jawabkan perilaku perundungan, penyindiran, bahkan penghinaan tersebut (Rom 14:10). 14 J. R. Tyson. Sin, Self and Society: John Wesley's Hamartiology Reconsidered. The Asbury Theological Journal Vol. 44 No. 2 (1989): 77-90. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 17

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ 4) Sikap sombong atau meninggikan diri padahal Tuhan menyuruh orang-orang yang percaya untuk merendahkan diri seperti anak kecil (Mat 18:4, Luk 14:11). 5) Perilaku merasa paling benar atau kudus, padahal sejatinya manusia penuh dengan kedagingan (Mrk 7:20-23). Tidak ada manusia yang tidak berdosa, jika seseorang memandang dirinya suci/kudus, berarti ia mengklaim jika tidak ada dosa di dalam dirinya. Padahal Tuhan sudah menyatakan jika manusia penuh dengan dosa, tindakan mengklaim jika manusia tidak berbuat dosa berarti manusia tersebut mengatakan jika Tuhan adalah pendusta dan firman-Nya tidak ada dalam diri orang yang percaya (1 Yoh 1:10). Juga, jangan sampai seseorang menjadi terlalu kritis akan dosa orang lain tetapi lupa untuk mengintrospeksi dirinya sendiri (Mat 7: 3-5). Sebab Tuhan tidak segan untuk mematahkan ranting pohon anggur yang tidak berbuah (Rom 11:21). 6) Perilaku menghakimi manusia lain dengan cara membuat sebuah permasalahan menjadi viral tanpa terlebih dahulu menempuh cara yang lebih kekeluargaan. Padahal, Tuhan Yesus sudah mengingatkan manusia untuk tidak saling menghakimi sebab ukuran yang manusia pakai untuk menghakimi manusia lain akan digunakan untuk dirinya sendiri (Mat 7:1-2, Luk 6:37). Guna melakukan kontra atas algoritma media sosial yang mengamplifikasi dosa manusia melalui fenomena filter bubble dan efek ruang gemanya, pelaksanaan PAK sesuai tujuan sebenarnya adalah solusi utama. Hal ini dikarenakan 1) PAK bersifat kontekstual dan akan terus relevan dengan pergumulan manusia segala masa, 2) target PAK _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 18

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ juga menggunakan media sosial, 3) Firman Tuhan adalah sumber belajar utama dalam PAK yang tidak lekang oleh waktu, dan 4) keluaran PAK ialah pengikut Kristus yang dewasa secara keseluruhan. Pertama, sejatinya PAK menurut Alkitab dilaksanakan sesuai pergumulan yang dihadapi oleh manusia pada tiap zaman. Hal ini berarti PAK seharusnya mengatasi permasalahan terkini yang dihadapi oleh jemaat. Kedua, target dari PAK sendiri adalah seluruh jemaat yang kini tidak bisa dilepaskan dari media sosial, terutama kaum muda. Kaum jemaat dewasa maupun muda menggunakan media sosial meski dalam tingkatan yang berbeda. Dosa digital –pun tidak memandang usia penggunanya, namun intensitas bermedia sosial kaum muda yang lebih tinggi membuat mereka lebih rentan terhadap dosa digital ini. Maka, sudah sewajarnya jika PAK mampu menjadi kontra bagi jemaat gereja, terutama kaum muda. Ketiga, Firman Tuhan dalam Alkitab sebagai sumber belajar utama yang tak lekang oleh waktu, akan selalu relevan dengan pergumulan yang dihadapi, serta mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. PAK yang terus mengajarkan cara hidup sesuai Firman Tuhan akan menjadi kontra dari permasalahan hidup manusia masa kini, termasuk dalam aspek media sosial. Panduan bagaimana menjadi seorang pengguna media sosial yang baik, tata krama bermedia sosial, hingga hal-hal yang perlu dihindari dalam bermedia sosial juga tersirat di dalam Alkitab. Keempat, keluaran PAK adalah pengikut Kristus yang dewasa sehingga mereka dapat hidup dengan baik dan bertanggung jawab sesuai kehendak-Nya. Harapannya adalah pengikut Kristus mampu _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 19

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ menjadi warga gereja dan masyarakat yang baik dalam media apapun, baik tatap muka hingga melalui media sosial, dalam ranah pribadi maupun publik. Kesimpulan Perkembangan kecanggihan media sosial memang tidak dapat dihindari. Penerapan algoritma untuk mengurasi konten telah menjadi fitur umum berbagai media sosial. Sayangnya hal ini menimbulkan sejumlah problematika seperti situasi filter bubble dan efek ruang gema (echo chamber). Algoritma yang ada membuat konten/informasi yang ditampilkan pada media sosial seseorang menjadi seragam sehingga orang tersebut hanya dikelilingi gagasan, perspektif, hal-hal lain yang sesuai minat diri. Situasi filter bubble dan efek ruang gema memiliki sejumlah dampak negatif seperti munculnya sekat antar komunitas, polarisasi dan eksklusivitas, persempitan pandangan/perspektif, makin suburnya konten-konten yang menjerumuskan. Sebab dapat dikatakan keduanya merupakan alat amplifikasi pola perilaku penggunanya. Dosa merupakan sisi kedagingan seluruh umat manusia yang tak lekang dari waktu. Justru dunia modern dengan segala kecanggihannya juga menjadi alat yang memudahkan manusia untuk melanggar firman- Nya serta menyalahi Tuhan dan sesama. Meski demikian, Tuhan telah berjanji untuk melindungi umat-Nya di dalam Kristus dan dengan bimbingan Roh Kudus untuk berusaha hidup dalam kekudusan. Sebab sifat alamiah manusia adalah kedagingan, maka orang Kristen juga tak lepas dari dosa, termasuk dalam ranah dunia maya atau digital, dan harus menerima sejumlah konsekuensinya. Situasi filter bubble dan efek ruang gema yang tercipta, makin membuat pengguna media sosial _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 20

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ yaitu manusia menjadi makin egois dan mendukung tindakan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Misalnya saja memproduksi konten yang tidak bermoral, menyebarkan informasi yang tidak benar (hoax), perundungan dunia maya, menyindir dan menghina di media sosial, dan lain-lain. Sebagai kontra terhadap situasi ini, pelaksanaan PAK yang sesuai dengan tujuan sesungguhnya adalah solusi. Hal ini disebabkan oleh PAK yang bersifat kontekstual dan akan terus relevan dengan pergumulan manusia segala masa, target PAK juga menggunakan media sosial, Firman Tuhan adalah sumber belajar utama dalam PAK yang tidak lekang oleh waktu, dan keluaran PAK ialah pengikut Kristus yang dewasa secara keseluruhan. Referensi ___. \"FILTER BUBBLE: Apa Itu Algoritma Media Sosial?\". BEM FEMA IPB. diakses pada 23 Maret 2022. http://bem.fema.ipb.ac.id/index.php/filter-bubble-apa-itu- algoritma-media-sosial/. ___. ALKITAB Terjemahan Baru. NL. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2019. Bestari, N. P. \"76,8% Warga RI Sudah Pakai Internet, Tapi Banyak PR- Nya\". CNBC Indonesia. diakses pada 23 Maret 2022. https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220120142249-37- 309046/768-warga-ri-sudah-pakai-internet-tapi-banyak-pr-nya. Boehlke, R. R. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato sampai Ig. Loyola (Cetakan Pertama). Jakarta: Gunung Mulia. 1991 DeVito, M. A., Gergle, D., dan Birnholtz, J. \"\"Algorithms Ruin Everything\": #Riptwitter, Folk Theories, And Resistance To Algorithmic Change In Social Media\". dalam Proceedings of The _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 21

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ 2017 CHI Conference On Human Factors In Computing Systems, h. 3163-3174. ACM, 2017. Fanning, D. \"Hamartiology\". dalam Bible Doctrines 6. Presentasi. 2009. G. P., Harianto. Pendidikan Agama Kristen dalam Alkitab dan Dunia Pendidikan Masa Kini. Yogyakarta: ANDI. 2012. Gruwell, L. Constructing Research, Constructing the Platform: Algorithms and the Rhetoricity of Social Media Research. Present Tense: A Journal of Rhetoric in Society Vol. 6 No. 3 (2018): 1-9. Petrescu, M., dan Krishen, A. S. The Dilemma of Social Media Algorithms and Analytics. Journal of Marketing Analytics Vol. 8 (2020): 187–188. Diakses pada 23 Maret 2022. https://doi.org/10.1057/s41270-020-00094-4 Tanduklangi, R. Analisis Teologis Tentang Tujuan Pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam Matius 28:19-20. Jurnal Pendidikan Kristen Vol. 1 No. 1 (Juni 2020): 47-58. Tyson, J. R. Sin, Self and Society: John Wesley's Hamartiology Reconsidered. The Asbury Theological Journal Vol. 44 No. 2 (1989): 77-90. ___, dan Mahmudah, U. Echo Chambers di Dunia Maya: Tantangan Baru Komunikasi Antar Umat Beragama. RELIGI Jurnal Studi Agama-Agama Vol. 15 No. 2 (2019): 141-152. Zimmer, F., dkk. \"Echo Chambers And Filter Bubbles Of Fake News In Social Media. Man-Made Or Produced By Algorithms?\". dalam 8th Annual Arts, Humanities, Social Sciences & Education Conference. Honolulu: Hawaiian University, 2019. diakses pada 23 Maret 2022, https://www.researchgate.net/publication/331071348_Echo_Chamber s_and_Filter_Bubbles_of_Fake_News_in_Social_Media_Man- made_or_produced_by_algorithms. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 22

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ Quality Schools From an Educational Policy Point of View Independent Learning in Indonesia Roce Marsaulina1 Universitas Kristen Indonesia [email protected] Dan Kia2 Universitas Kristen Indonesia [email protected] Sri Rezeki3 Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor [email protected] Abstract The current independent curriculum hopes to present a form of education that can compete globally. The curriculum framework is flexible and prioritizes character development as the main subject. The problem is how to form the behavior habits of each student so that they have a moral character and are not easily swayed by the challenges of the times. The author uses a qualitative descriptive method. Procedurally, the adaptation of the independent curriculum begins with a study of the concept of independent learning activities on independent campuses that involve planning, learning processes, assessments, and learning evaluations. Then look at the suitability of the existing study program curriculum based on KKN. In implementing an independent curriculum, each campus must be able to facilitate _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 23

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ student rights. This is the vision of the Ministry of Education and Culture to realize an advanced Indonesia that is sovereign, independent, and has personality through the creation of Pancasila Students who think critically, creatively, independently, and have faith in God Almighty, with noble character, cooperation, and global diversity, can be achieved through Freedom of Learning policy. The integrity of students is also formed to be responsible for their academic status so that they can innovate and compete globally and benefit the social environment. Keywords: Independent Curriculum; Integrity of Indonesian Christian Students; Education Introduction The progress of today's civilization, especially the 4.0 era, requires the generation of the nation's next generation to be strong and able to survive. This can be done from the success of the learning they get. The learning determines success carried out by educators (lecturers). The following curriculum appears as a guide. Etymologically, the curriculum comes from the Latin curricure, which means race track or flow direction in the form of a trajectory. In French, the curriculum comes from the word courier, which means running to a final destination 1. One of the important things that must be included in the curriculum is the point of what life skills must be realized in student participants after learning. Since the curriculum is made, this matter must be designed from an early age. The independent curriculum currently hopes to present a form of education that can compete globally. The curriculum framework is 1 Roce Marsaulina, Pengantar Pendidikan Agama Kristen, ed. Stenly R Paparang and Rajiman Sirait (Luwuk: Pustaka Star’s Lub, 2022), 24. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 24

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ flexible and prioritizes character development as the main subject in this independent curriculum. The problem is how to shape the behavior habits of each student so that they have a moral character and are not easily shaken by the challenges of their time so that the potential of students (cognitive, affective, and psychomotor) can develop to the maximum. The policy of the Minister of Education and Culture in 2020 in which the existence of Merdeka Learning and Merdeka Campus (MBKM) shares the transfer of thoughts in the world of learning, as stated in learning at the academy. The Independent Learning and Independent Campus designs include the purpose of independence and freedom for each higher education institution (PT). Based on the Regulation of the Minister of Education and Culture of the Republic of Indonesia Number 3 of 2020 Article 15 concerning National Standards for Higher Education2. The way and model of teaching lecturers in the classroom are generally influenced by the lecturer's perception of teaching and learning. Now in this new curriculum system, this is not the case. Lecturers must encourage students to find out as much knowledge as possible and use the lecture classroom as a means of discussion in solving a case or to design a concept of what they will make from the lecture material. Lecturers must be able to become mentors or mentors so that every student continues to walk within the prevailing moral norms. This 2 N Susilawati, “Merdeka Belajar Dan Kampus Merdeka Dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Humanisme,” Jurnal Sikola: Jurnal Kajian Pendidikan dan … (2021): 205, http://sikola.ppj.unp.ac.id/index.php/sikola/article/view/108. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 25

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ is not without reason if you look at the current social climate conditions that are increasingly declining regarding morals and integrity (from increasing intolerance, corruption, fraud, drug abuse, and so on). Moreover, the impact of science and technology itself, which is easy to obtain, appears lazy and underestimates a process. This challenge must be faced in implementing an independent curriculum system. Which is not limited to being free, but character values are maintained. Especially religious colleges. Method In this writing, the author uses a descriptive qualitative method in which the researcher uses various sources such as; books, journal articles, and viewing based on phenomena the author experienced. The purpose of qualitative research can also state the chosen research design 3. Qualitative research does not generalize but emphasizes the depth of information to reach the level of meaning 4. Result And Discussion 1. Curriculum Education is an effort made to develop the potential that exists in humans. Talking about curriculum, there are various definitions 3 John W Creswell, Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, Dan Campuran (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2021), 164. 4 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2019), 22. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 26

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ related to education. According to Hasan Langgulung, the definition of the curriculum can be seen from four main aspects, namely:5 1. Goals to be achieved to continue education 2. All knowledge, information, data, programs, and experiences that make up the curriculum 3. Teaching methodologies and methods implemented by teachers to teach and attract students to learn 4. Methodology and assessment are carried out in measuring and assessing the curriculum and outcomes of the designed educational process. The curriculum is an academic standard that must be mastered by all students, detailing the learning objectives of each subject and how to achieve these goals. In achieving or setting competency standards, involvement in every community is the key to success. According to Hasan, education can have two points of view. The first point of view is related to society, and the second point of view is toward the individual 6. As a professional educator, you must understand your profession's curriculum development. The definition of curriculum is generally a set of subjects taught to students. The concept of curriculum as a learning experience that 5 Rudolf Klein, “Systems Modelling and the National Health Service: A Reply,” Political Studies 25, no. 3 (1977): 352. 6 Ibid., 351. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 27

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ describes the state of accurate concepts 7. Etymologically, the curriculum comes from the world of sports in ancient Roman times in Greece, which contains the Latin word “curir” which means runner, and “curere” which means “a place to run”. So the term curriculum has the meaning of a direction that must be taken by runners from the start line to the finish. According to Khoe Yao Tung, the curriculum has certain aims and objectives based on the Apostle Paul in 2 Tim. 4:17 “I have finished the curriculum, I have kept the faith…” Therefore, according to Khoe, the curriculum does not only cover trivial things, it contains the whole educational process 8. 1.1. Curriculum Basic Framework To achieve basic competencies and educational goals. The curriculum for general, honest, and special types of education at the primary and secondary education levels consists of: 9 a. Group of religious subjects and noble character; carried out through religious activities, citizenship, personality, science and technology, aesthetics, physical, sports, and health. 7 Famahato Lase, “Dasar Pengembangan Kurikulum Menjadi Pengalaman Belajar Famahato,” Jurnal PG-PAUD STKIP Pahlawan Tuanku Tambusai 1, no. 2 (2015): 131. 8 Khoe Yao Tung, Menuju Sekolah Kristen Impian Masa Kini (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2015), 136. 9 E Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Sebuah Panduan Praktis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 46. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 28

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ b. Citizenship and personality subject groups; carried out through religious activities, noble character, citizenship, language, arts, and culture, as well as physical education. c. Group of science and technology subjects carried out through activities. d. Aesthetics subject group; carried out through language, arts and culture activities, skills, and relevant local content. e. Group of physical subjects, sports, and health; carried out through physical activities, sports, health education, natural sciences, and relevant local content. Carrying out all of the above needs to be done holistically so that each learning can affect the understanding and appreciation of the students. 1.2. Principles of Curriculum Design Development In the curriculum development process, many principles are considered essential.;10 1. Relevance Principle There are two kinds of relevance, namely internal relevance and external relevance. Internal relevance is that every curriculum must have harmony between its components, namely harmony between the goals to be achieved, content, materials, or learning experiences that must be possessed. This internal relevance shows the integrity of a 10 Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran: Teori Dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 39–42. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 29

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ curriculum. At the same time, external relevance relates to the harmony between the goals, content, and student learning processes included in the curriculum with the needs and demands of society. 2. Flexibility Principle The curriculum must be flexible or flexible. In principle, flexibility has two sides: First, it is flexible for teachers, which means that the curriculum must provide space for teachers to develop their teaching programs according to existing conditions. Meanwhile, for students, the curriculum must provide various possible program options according to their talents and interests. 3. Continuity Principle This principle implies that interrelationships and continuity are maintained between subject matter at various levels and types of educational programs. This is not only to prevent a repetition of subject matter but also for students' success in mastering subject matter at certain levels of education. 4. Effectiveness The principle of effectiveness relates to the success of implementing the program by the plans that have been prepared. 5. Efficiency The curriculum is said to have a high-efficiency level if the facilities, minimal costs, and limited time can obtain maximum results. Developing the overall curriculum can be classified into two main types of variations in curriculum development.;11 11 Hendyat Soetopo and Sormanto Wasty, Pembinaan Dan Pengembangan Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 58–59. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 30

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ 1. Traditional Pattern The critical role in this type is played by inspectors, advisors, and consultants who encourage and spread innovation and take an essential part in the “inservice education” of teachers. 2. Heuristic Pattern This pattern began in the United States in the late 1950s. The difference with the traditional pattern is that there is a more organized and organized process, and in particular, planned innovation is carried out through “pilot studies,” “field-testing,” and evaluation. Curriculum development steps must make a distinction between macrocosmic and microcosmic development steps. On the macro level, the influencing factors are historical, sociological, philosophical, psychological, and \"scientific.\" After seeing this, then it is translated into micro 12. In developing a curriculum design, you must first identify essential elements such as learning experiences, skills, and values to be obtained within a certain period. In preparing the curriculum design, it is necessary to consider the four elements by asking questions: What is to be done? What subject matter is to be used? What methods and what organization are to be employed? How are the results to be appraise? The four elements must show that they are interrelated and dependent on each other 13. In Indonesia itself, history records that the curriculum that was applied in Indonesia, namely the 1947 curriculum to the 2013 curriculum, underwent updates following the development of an 12 Ibid., 59. 13 Ibid., 73–74. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 31

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ increasingly modern world of education and, of course, due to the development of the times. Baderiah, in his book, describes the development of the curriculum in Indonesia as follows; 14. 1. 1947 Curriculum (Lesson Plan 1947) The first curriculum born during the independence period used the Dutch term leer plan, which means lesson plans. This term is more popular than the term curriculum (English). The change in the direction of education was more political, from the orientation of Dutch education to the national interest. At that time, the principle of education was established by Pancasila. This curriculum was called the 1947 Lesson Plan and was only implemented in 1950. The focus of the 1947 Lesson Plan does not emphasize mental education but only on character education and state and community awareness. 2. 1952 Curriculum (Unraveled Lesson Plan 1952) This curriculum has led to a national education system. The most prominent and at the same time a characteristic of the 1952 curriculum is that every lesson plan must pay attention to the content of lessons that are related to daily life, \"The syllabus of the subjects is very clear, a teacher teaches one subject,\" (Ahmad, Director of Basic Education of the Ministry of National Education for the period 1991 -1995). One of the benchmarks for changing the 1947 curriculum to the 1952 curriculum is a particular school for 6-year low school graduates who 14 Baderiah, Buku Ajar Pengembangan Kurikulum (Palopo: Lembaga Penerbit Kampus IAIN Palopo, 2018), 8–12. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 32

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ do not continue to junior high school. Community classes teach skills such as agriculture, carpentry, and fisheries so that children who cannot afford to go to junior high school can go straight to work. 3. 1964 Curriculum (Education Plan 1964) The government again perfected the curriculum system in 1964, called the 1964 Education Plan. The main ideas of the 1964 curriculum that characterize this curriculum are that the government wants the people to get academic knowledge for debriefing at the elementary level so that learning is centered on the Pancawardhana program. Panca Wardhana focuses on developing creativity, taste, intention, work, and morals. 4. 1968 Curriculum This curriculum is a manifestation of a change in orientation to implementing the 1945 Constitution purely and consistently. The birth of the 1968 Curriculum was political in that it replaced the 1964 Education Plan, which was imaged as a product of the Old Order. The 1968 curriculum emphasizes an organizational approach to the subject matter: Pancasila coaching groups, basic knowledge, and special skills. The number of lessons is 9. The 1968 curriculum is a round curriculum. \"Only contains basic subjects only.\" 5. 1975 curriculum Completing the 1968 curriculum that gave birth to the 1975 curriculum emphasized more effective and efficient education. This curriculum was born because of the influence of concepts in MBO management (management by objective). Methods, materials, and teaching objectives are detailed in the Instructional System Development Procedure (PPSI), known as lesson units, namely lesson _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 33

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ plans for each unit of discussion (Drs. Mudjito, Ak, MSi, Director of Kindergarten and Elementary Education, Ministry of National Education). 6. 1984 curriculum This curriculum is also called the 1975 Curriculum, which is enhanced by positioning students as learning subjects, observing something, grouping, discussing, and reporting. This model is called Active Student Learning Method (CBSA) or Student Active Learning (SAL). The CBSA concept, which is good theoretically and has good results in the tested schools, experienced many deviations and reductions when applied nationally (Professor Dr. Conny R. Semiawan, Head of the Ministry of National Education Curriculum Center 1980- 1986). 7. 1994 Curriculum and 1999 Curriculum Supplement Based on Law no. 2 of 1989 concerning the National Education System, The government updated the curriculum to integrate the previous curricula. In the 1994 curriculum, the combination of objectives and processes has not been successful because the student's learning load is considered too heavy. Local content materials are adapted to the needs of each region, for example, regional arts, regional skills, and others. Various interests of community groups also urge that specific issues be included in the curriculum. 8. 2004 Curriculum, KBK (Competency-Based Curriculum) In 2004, the Competency-Based Curriculum (KBK) was launched as a substitute for the 1994 Curriculum. A competency-based education program must contain three main elements, namely the selection of appropriate competencies and the specification of evaluation indicators _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 34

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ to determine the success of competency achievement and learning development. 9. KTSP Period Curriculum (Level Unit Level Curriculum) 2006 This curriculum is almost similar to the 2004 Curriculum. The main difference lies in authority in its preparation, which refers to the spirit of the decentralized education system. In the 2006 curriculum, the central government sets competency standards and essential competencies. Teachers must be able to develop their syllabus and assessment according to the conditions of the school and the area. 10. 2013 Curriculum The 2013 curriculum is an improvement, modification, and updating of the previous curriculum. This curriculum is a substitute for the KTSP curriculum. The 2013 curriculum has three aspects of assessment, namely aspects of knowledge, aspects of skills, and aspects of attitudes and behavior. When compared to the Christian curriculum, the levels of \"players\" that determine the use of a curriculum are planned, selected, and selected as follows: 15 1. Christian school leaders, including school pastors. The foundation of the school's mission and vision must be the main. The realization of the school's mission and vision will determine the form of the curriculum in its achievement (intended curriculum). 15 Tung, Menuju Sekolah Kristen Impian Masa Kini, 138. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 35

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ 2. The government, through the Ministry of Education and Culture (Kemendikbud), determines a formal national curriculum. 3. Professional associations that recommend their learning curriculum and references. 4. Students who experience or obtain an implemented curriculum, taking into account the level of understanding of various physical, intellectual, social, emotional, and spiritual aspects. 5. Publishing books related to the content contained in the curriculum or content determined by educators/curriculum experts if allowed to determine their curriculum. (Inherent curriculum). In every aspect, Christian education must be meaningful for human life in God's plan. Humans are educated to see the glory of God through the whole of creation. The Christian education vision's depth will determine the core curriculum's depth and strength 16. 1.3. Independent Curriculum In implementing the independent curriculum, each campus must be able to facilitate the rights of students so that they can take semester credit units (SKS) outside their campus for a maximum of two semesters or the equivalent of 40 credits. This is by the Regulation of the Minister of Education and Culture Number 3 of 2020 article 15 16 Ibid., 141. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 36

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ paragraph (1), which states that this form of learning can be carried out within and outside the Study Program. Article 18 paragraph 3 b. stating that 1 (one) semester or equivalent to 20 (twenty) semester credit units is Learning outside the Study Program at the same Higher Education; and c. a maximum of 2 (two) semesters or equivalent to 40 (forty) semester credit units are: a) Learning in the same Study Program at different Universities; b) Learning in different study programs at different universities; and; c) Learning outside of Higher Education. Procedurally, the adaptation of the independent curriculum begins with a study/examination of the concept of independent learning activities on independent campuses concerning planning, learning processes, assessments, and learning evaluations. Then look at the suitability of the existing study program curriculum based on KKN. The results of the study are used as the basis for formulating a curriculum model for study programs, designing academic collaborations both within PT, outside PT, and with relevant partners 17. In carrying out the independent learning activity program, the independent campus cannot be separated from the name learning and assessment by the characteristics of learning in the 21st century, where learning integrates knowledge, skills, attitudes, mastery of information, and communication technology 18. So students, in this case, are 17 M R Baharuddin, “Adaptasi Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (Fokus: Model MBKM Program Studi),” Jurnal Studi Guru dan Pembelajaran (2021): 197, https://www.e-journal.my.id/jsgp/article/view/591. 18 D B Sanjaya, D G F Wirabrata, and ..., “MENAKAR MERDEKA BELAJAR KAMPUS MERDEKA: DISKURSUS PEMBELAJARAN ABAD XXI DALAM _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 37

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ required to get hard and soft skills. In order to face the global challenges that exist today. The independent learning curriculum allows all students to create ideas like what they want or design. However, it should be underlined that the relevance of each idea must also be considered. The role of educators, in this case, namely lecturers, is vital. Lecturers not only encourage students to innovate but also have to guide them to stay in the corridor of good morals. The demands in the 21st century are so high known as Higher Order Thinking Skills (HOTS), which must also be balanced with the presence of emotional intelligence (EQ). EQ has been accepted as short for Emotional Intelligence, equivalent to IQ. Several studies have shown that an executive or professional who is technically superior and has a high EQ is a person who can overcome conflicts. Gaps must be bridged or filled, see hidden relationships that promise opportunities, and take dark, mysterious, and mysterious interactions. which, in my opinion, can produce gold more readily, more nimbly, and faster than anyone else. Gordon in Saarni and Harris explains several aspects or domains contained in the concept of competence, namely knowledge, understanding, skills, values, attitudes, and interests 19. So the balance with character building is so essential. In making it happen, in 2017 the PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER,” Jurnal Pendidikan … (2021): 991, https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPP/article/view/40342. 19 C Saarni and P Harris, Children Under Standing of Emotion (UK: Cambridge University Press, n.d.), 319–349. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 38

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ Government intensified character education by issuing Presidential Regulation No. 87 of 2017, concerning Strengthening Character Education (PPK). Strengthening Character Education is an educational movement to strengthen the character of students through harmonization of the heart (ethics), taste (aesthetics), thinking (literacy) and sports. This is so inherent in the current independent curriculum system. In the independent curriculum, there is also the application of Real Work Lectures (KKN). The author sees that applying Real Work Lectures (KKN) in Higher Education contained in the independent curriculum is part of the educational process carried out with hands-on learning experiences in the field. From this process, it is hoped that students will be able to take an essential role in solving and helping every problem in the social community. From this opportunity, students can form their integrity and character apart from mere skills. The above refers to Permendikbud No. 20 of 2018 concerning Strengthening Character Education (PPK), namely: 1) Religious, 2) Nationalist, 3) Integrity, 4) cooperation and 5) Independence. There are 18 (eighteen) embodiments of the five central character values from the Curriculum Center of the Research and Development Agency of the Ministry of National Education, namely: religious, honest, tolerance, discipline, hard work, creative, independent, democratic, curiosity, national spirit, love. homeland, appreciate achievements, friendly, love peace, love to read, care for the environment, care about social, and responsibility. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 39

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ 2. Integrity of Indonesian Christian Students Perception and attitude are two related matters because a person's attitude is influenced by how he views a problem. In terms of integrity, especially in the academic field, for example, honesty, the perception of each student greatly influences his behavior. Integrity is something that is attached to virtue or good character. Nowadays, with all the technological advances, the integrity problem of students is very concerning. In the results of existing research, it is stated that the misuse of information technology has a significant effect on academic fraud, and integrity has a positive role to overcome 20. Gostick and Dana Telford, as quoted by Fadillah, stated that “the characteristics of people who have high integrity are: (1) realizing that doing small positive things is very important because building integrity begins and is shown from small things (2) finds what is right when people others see it in a gray color, (3) Responsible, (4) Cultivate trust, (5) Keep Promises (6) Consistent, (7) Honest (8) Act like being watched” 21. In Christian ethics, the behavior must run as a form of moral responsibility, as the Bible has written. Christian students must highly 20 D A Pramita, B Subiyanto, and ..., “Pengaruh Penyalahgunaan Teknologi Informasi, Integritas Mahasiswa Dan Motivasi Belajar Terhadap Perilaku Kecurangan Akademik Mahasiswa Akuntansi,” Syntax Literate; Jurnal … (2022): 2485, https://www.jurnal.syntaxliterate.co.id/index.php/syntax-literate/article/view/6571. 21 A M Fadlillah, “INTEGRITAS DIRI DALAM MENGHINDARI TINDAKAN INTERNET PLAGIARISM,” Jurnal Riset Manajemen Dan Bisnis (JRMB) Fakultas … (core.ac.uk, 2019), 439, https://core.ac.uk/download/pdf/235155710.pdf. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 40

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ uphold morality. The benchmark for the behavior of Christian students is to do good deeds based on God's commands written in the Bible. So humans are equipped with components that do not exist in other creatures, where these components are also present in God. So humans are also individuals who have morals. Human morality includes the responsibility to make decisions or act according to ethical considerations. People of integrity are the same people when alone and in public. No difference exists in nature and character when placed in any circumstances. One translation of the word integrity is ‘honest’ (Mark 12:14). Jesus taught that everyone faithful in small things will be faithful in big things (Luke 16:10). The translation from Bahasa Indonesia Daily is: “a person who can be trusted (orang yang bisa dipercaya).” The above is also reflected in the independent curriculum in which the Ministry of Education and Culture is committed to creating Pancasila Students. Pancasila students embody Indonesian students as lifelong students who have global competence and behave by the values of Pancasila, with six main characteristics: faith, fear of God Almighty, noble character, global wisdom, cooperation, independence, reasoning critical and creativity. In this era of globalization, the role of Pancasila is vital for students to maintain the personality of the Indonesian nation. This is not without reason; because of globalization, the boundaries between countries are now becoming invisible, so that various foreign cultures can enter quickly and affect the mindset and lives of students, in this case, students. So the critical aspect in the preparation and _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 41

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ implementation of the free learning curriculum is not only to be able to compete in skills, but the integrity of every student must be a fixed price that needs to be there. Moreover, talking about the ideology of the nation and the state. The values contained in Pancasila as the basis for the character of Indonesian students are as follows: 1. Belief in the one and only God/ Believe in God (Ketuhanan Yang Maha Esa) In the precepts of divinity, it contains the value of religious belief, that the State that was established is the embodiment of human goals as creatures of God Almighty to always uphold the attitude of belief in worshiping a religion that is fully believed. Therefore, all matters relating to the implementation and administration of the State, even the morals of the State, the morals of State administrators, State politics, State government, state laws and regulations, and the freedom and human rights of citizens must be inspired by the values of the One Supreme God. So Indonesian students are encouraged to have it. 2. A Just and civilized humanity (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) The precepts of humanity contained the value that the state must uphold human dignity as a civilized creature. The second precept of Pancasila contains the value of awareness of moral attitudes and human behavior based on norms and culture towards oneself, fellow humans, and the environment. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 42

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ Indonesian students must maintain a noble culture, locality, and identity and maintain an open mind in interacting with other cultures, to foster mutual respect and the possibility of forming a new culture that is positive and does not conflict with the noble culture of the nation. This is an element of the global diversity contained in the freedom of learning. 3. The value of gotong royong (Nilai gotong royong) Indonesian students are encouraged to have the ability to work together, namely the ability to carry out activities together voluntarily so that the activities carried out can run smoothly, quickly, and lightly. In this case, the elements of Collaboration, Caring, paying attention and acting proactively to conditions or circumstances in other people's environment, Sharing, giving, and receiving all things that are important for personal and collective life, as well as being willing and able to live a shared life that prioritizes the shared use of resources and resources. the existing space in the community in a healthy way. 4. Independent Every Indonesian student must be able to be responsible for every process that is undertaken. He begins to understand his emotions and his strengths and limitations. So that they can regulate their thoughts, feelings, and behavior to achieve their learning goals. 5. Critical Reasoning Students who think critically can objectively process information both qualitatively and quantitatively, build relationships between various information, analyze information, and evaluate and conclude it. 6. Creative _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 43

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ Indonesian students are encouraged to create or modify an idea that can benefit the wider community. This is the vision of the Ministry of Education and Culture to realize an advanced Indonesia that is sovereign, independent, and has personality through the creation of Pancasila students who are critical, creative, independent, have faith and fear God Almighty, and have a noble character, work together, and have global diversity. Can be achieved through the Independent Learning policy. Conclusion The independent curriculum is a breakthrough that was built to realize an Advanced Indonesia that is sovereign, independent, and personal through the creation of Pancasila students who are critical, creative, independent, have faith and fear God Almighty, and have a noble character, work together, and have global diversity. Can be achieved through the Independent Learning policy. In this independent curriculum, students' integrity is also formed to be responsible for their academic status so that they can innovate and compete globally and benefit their social environment. What is more, as a Christian student, you must highly uphold morality. The benchmark for the behavior of Christian students is to do good deeds based on God's commands written in the Bible. So humans are equipped with components that do not exist in other creatures, where these components are also present in God. So humans are also individuals who have morals. Human morality includes the responsibility to make decisions or act according to ethical considerations. _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 44

JURNAL KADESI I Jurnal Teologi dan PAK I VOLUME 4 Nomor 2 I Januari 2023 __________________________________________________________________________ Reference Baderiah. Buku Ajar Pengembangan Kurikulum. Palopo: Lembaga Penerbit Kampus IAIN Palopo, 2018. Baharuddin, M R. “Adaptasi Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (Fokus: Model MBKM Program Studi).” Jurnal Studi Guru dan Pembelajaran (2021). https://www.e- journal.my.id/jsgp/article/view/591. Creswell, John W. Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, Dan Campuran. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2021. Fadlillah, A M. “INTEGRITAS DIRI DALAM MENGHINDARI TINDAKAN INTERNET PLAGIARISM.” Jurnal Riset Manajemen Dan Bisnis (JRMB) Fakultas …. core.ac.uk, 2019. https://core.ac.uk/download/pdf/235155710.pdf. Klein, Rudolf. “Systems Modelling and the National Health Service: A Reply.” Political Studies 25, no. 3 (1977): 404–405. Lase, Famahato. “Dasar Pengembangan Kurikulum Menjadi Pengalaman Belajar Famahato.” Jurnal PG-PAUD STKIP Pahlawan Tuanku Tambusai 1, no. 2 (2015): 10–17. Marsaulina, Roce. Pengantar Pendidikan Agama Kristen. Edited by Stenly R Paparang and Rajiman Sirait. Luwuk: Pustaka Star’s Lub, 2022. Mulyasa, E. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Sebuah Panduan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008. Pramita, D A, B Subiyanto, and ... “Pengaruh Penyalahgunaan Teknologi Informasi, Integritas Mahasiswa Dan Motivasi Belajar Terhadap Perilaku Kecurangan Akademik Mahasiswa Akuntansi.” Syntax Literate; Jurnal … (2022). _____________________________________________________________________________________ Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Bogor @2023 45


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook