001/I/15 MC
001/I/15 MC
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana: Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau men- jual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 001/I/15 MC
Aulia Hazuki Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 001/I/15 MC
MISTERI BUKU HARIAN JOHANNA oleh Aulia Hazuki GM 312 01 14 0071 © Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29–33, Jakarta 10270 Editor: Dini Novita Sari Desain sampul oleh: Orkha Creative Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta, 2014 www.gramediapustakautama.com Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. ISBN: 978 - 602 - 03 - 0951 - 4 232 hlm; 20 cm Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan 001/I/15 MC
Mimpiku bertahun-tahun lalu untuk melihat novelku sendiri terbit sekarang sudah tercapai… serta untuk Eyang Kakung, yang tidak sempat melihat dan membaca karyaku yang pertama, aku dedikasikan novel ini. 001/I/15 MC
001/I/15 MC
Thanks to: Kedua orangtua, yang selalu mendukung hobiku untuk menjadi penulis dan menjadi pembaca pertama novel ini. My little brother, Dian, penggemar misteri yang juga sangat membantu pengerjaan novel. Sahabatku, Una dan Naya, maaf aku merahasiakan pembuatan novel ini. Aku beren cana memberitahu kalian saat benar-benar sudah terbit. Untuk adik-adikku yang lain, Rista dan Tika, yang juga sangat menggemari novel sama sepertiku. Terima kasih atas penantian kalian menunggu novel ini. Untuk Mbak- mbak di Gramedia Pustaka Utama: Mbak Dini, yang mem bantu pengeditan novelku dan menjawab setiap pertanya anku (maklum, penulis baru, gampang panik dan bingung :D), Mbak Riska, yang membantuku dari awal, memberikan banyak masukan dan saran yang sangat berguna, dan Mbak Lana, yang melengkapi kekuranganku di sana-sini, yang tadinya nggak aku sadari. Terima kasih^^ 001/I/15 MC
001/I/15 MC
1. 001/I/15 MC SUASANA pagi itu riuh, terdengar suara-suara penuh antusiasme dan pekikan penuh semangat dari halaman sebuah rumah yang tampak sangat asri. Suara-suara riuh itu bercampur tawa riang yang sangat menyenangkan untuk didengar. ”Wah, gue excited banget!” Seruan itu terdengar dari co- wok paling jangkung, yang sedang bertepuk tangan antu- sias. Ia mengenakan jaket abu-abu dengan bagian lengan ditarik sampai siku. Wajahnya yang menarik dihiasi senyum lebar, rambutnya tertata rapi, dan dia tampak sangat berse- mangat. Namanya Dika, lengkapnya Pradika Putra. Agak lucu juga melihat ekspresi wajahnya, tampangnya seperti 9
penjelajah yang siap melakukan ekspedisi baru. Padahal, 001/I/15 MC mereka cuma akan pergi ke vila milik kakek salah satu temannya, Dharma. Seorang cewek imut berwajah kekanakan yang pakaian nya serba kuning menanggapi sambil tersenyum. Rambut nya, yang dikucir ekor kuda dengan warna pita sama dengan bajunya, bergerak naik-turun ketika ia mengangguk sangat antusias. Dia memakai celana pendek dan sepatu olahraga. Badannya cukup pendek, sehingga semakin mem buatnya terlihat seperti anak kecil. Wajahnya juga tampak bersemangat. ”Yep. Bener banget, Dik. Gue juga excited banget! Liburan gue jadi nggak membosankan dan gue seneng banget bisa kumpul-kumpul sama kalian.” ”Bener, Ris. Aduuuh, gue jadi nggak sabar,” timpal teman ceweknya, Ullie. Wajahnya putih bersih dan rambutnya tergerai indah dihiasi bando putih. Baju oranye yang ia pakai mencerminkan sifatnya yang ceria dan santai. Dia mengenakan celana jins hitam yang semakin menegaskan tubuhnya yang tinggi dan langsing. Riris menanggapinya dengan senyum. ”Nanti lo sekamar sama gue. Oke, Ul?” sahutnya. Ullie mengangguk, kemudian merangkul Riris sambil tersenyum lebar. ”Siaaap!” serunya sambil mengacungkan jempol. Teman cewek yang lainnya cemberut. ”Yaaah… kok gitu? 10
Terus ntar gue sekamar sama siapa, dong?” sahutnya jeng 001/I/15 MC kel. Matanya yang sipit di balik kacamata tampak semakin sipit saat mulutnya cemberut. Ia mengenakan baju santai bergambar Donal Bebek warna biru muda cerah, rambut sebahunya tersembunyi di balik topi. Wajahnya sama se perti Riris yang imut kekanakan. Ullie lalu merangkul cewek itu juga. ”Lah, Uzzie, lo kan bisa sama gue juga. Entar pasti ada kamar yang cukup kok buat kita bertiga,” katanya sambil tersenyum. Cemberut Uzzie pun hilang, berganti senyum lebar, cengengesan. Ia akhirnya ikut merangkul Riris dan Ullie. ”Oke deh, kalo gitu,” ucap Uzzie sambil mengacungkan jempolnya. ”Oh ya, entar kita bisa pesta piama sekalian, nggak?” tanya Ullie sambil melihat kedua sahabatnya. Uzzie dan Riris segera mengacungkan jempol. ”Jelas bisa!” seru mereka. ”Nah, tugas gue buat dokumentasi,” sahut cowok manis berkacamata, agak kurus, yang sejak tadi hanya diam, Lutfie. Ia mengenakan kaus dan celana jins yang rapi dan wangi. Tangannya menggenggam Handycam. Wajahnya yang imut berkerut serius. Uzzie menepuk bahu cowok itu. ”Yah... Lutfie, lo serius banget sih. Smiiile... Ayo, smiiile! Kita kan mau liburaaan!” 11
seru Uzzie dengan ekspresi lucu sehingga mau tak mau 001/I/15 MC Lutfie pun tertawa melihatnya. ”Iya, Lut, kita kan mau liburan, bukan studi wisata,” tam bah Ullie sambil menepuk punggungnya. Lutfie kembali tertawa. ”Iya deh, gue tahu,” balasnya. ”Semua sudah siap?” tanya seorang cowok ganteng yang wajahnya tampak semringah sambil menggosok-gosokkan telapak tangan dengan antusias. Ia tersenyum lebar, dan di antara teman-temannya kelihatan jelas ia yang paling bersemangat dengan perjalanan ini. Ransel besar sudah dicangklongnya. Ia memakai jaket yang modelnya sama seperti Dika tapi beda warna. ”Siap!” Jawaban itu terdengar riuh diringi tepuk tangan yang sangat meriah dari mereka berenam. Kemudian me reka mengacungkan kepalan tangan ke udara. Cowok itu bernama Dharma. Ia mengayun-ayunkan kun ci mobilnya sambil tersenyum. Nama lengkapnya Dharma Mahendra. Ialah yang sekaligus menjadi leader liburan ini. Lalu ia berkata pada teman-temannya, ”Ada dua mobil, punya gue sama Dika. Terserah kalian mau naik yang mana. Gue pikir kita emang perlu dua mobil karena barang ba waan kita bukan main banyaknya.” 12
Dharma mengernyit melihat tas bawaan Dika yang super 001/I/15 MC banyak dan menggembung. Padahal tadi sebelum ke rumah Dika yang digunakan sebagai titik keberangkatan, dia sem pat mewanti-wanti Dika supaya nggak bawa terlalu banyak barang, biar perjalanan nyaman. ”Lo bawa apa aja sih, Dik, banyak banget? Bawa bom? Lo mau ngeledakin vila?” tanyanya dengan nada menyin dir. Dika tersenyum kecut. ”Lho, bagian gue kan bawa makan an... inget nggak, lo? Lo kan nyuruh gue buat beli makanan yang banyak sekalian. Apa lo kira seminggu di vila kita mau makan semak sama berburu? Udah deh, ortu gue yang tadi malam lihat gue packing aja nggak protes kok,” sa hutnya pedas. Mulut Dharma mengerucut sebal. Tapi dalam hati ia mengakui juga bahwa kata-kata Dika memang benar. Lebih baik membawa makanan layak yang banyak daripada mereka nantinya harus berburu seperti manusia primitif. Lagi pula nggak ada salahnya, toh pada akhirnya semua makanan itu pasti habis, mengingat nafsu makan mereka semua yang besar. ”Oke, begini aja. Ada satu orang buat nemenin Dika di mobilnya. Mobil dia khusus ngangkut barang bawaan kita. Yang lain ikut mobil gue. Taruh tas-tas kalian yang isinya 13
pakaian dan sebagainya di mobil Dika, jadi yang kalian 001/I/15 MC bawa nanti cuma tas kecil yang isinya perlengkapan selama perjalanan, biar mobil gue nggak penuh.” Akhirnya Dharma memutuskan. Teman-temannya mengangguk mengerti lalu mereka kembali bertepuk tangan, dan berseru penuh semangat. ”Yuk, Lut, kita angkut tas yang lain,” ajak Dharma. Lutfie segera tanggap dan membantu mengangkut. ”Oke. Kita berangkat!” Dharma segera masuk ke mobil, duduk di belakang kemudi. ”Siaaap!” Akhirnya mereka berangkat. Dharma dan teman-temannya mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di sebuah universitas di Semarang. Liburan akhir semester pertama ini mereka berencana jalan-jalan ber sama. Sejak masa awal kuliah, mereka berenam sudah ak rab dan sering terlihat bersama. Dharma mengusulkan vila kakeknya sebagai destinasi liburan. Lokasinya yang bagus dan dengan pertimbangan mereka tidak perlu mencari penginapan membuat teman-temannya menyetujui usul nya. Riris Kartika Putri, cewek berbaju kuning yang periang itu, tipe cewek yang mampu mencairkan sebeku apa pun suasana dan sifat seseorang. Itu terbukti dari keberhasilannya 14
meluluhkan hati cowok pendiam bernama Lutfie Ardika, 001/I/15 MC yang tadi sibuk merekam dengan Handycam. Awal semester dulu, Lutfie adalah tipikal cowok yang sangat kutu buku. Ia cerdas, namun pendiam dan jarang berkumpul dengan teman-teman sekelasnya. Tapi suatu ketika Riris mengajak Lutfie masuk ke kelompoknya untuk tugas sebuah mata kuliah, dan sejak itu Lutfie berubah sedikit demi sedikit menjadi pribadi yang lebih terbuka. Paling tidak enam puluh persen perubahannya berkat Riris. Dika adalah cowok easy going, mudah menyatu dengan siapa saja. Tapi lama-kelamaan ia merasa lebih nyaman bergaul dengan Dharma dan kawan-kawan, sehingga ia lebih sering berkumpul dengan mereka. Julia Nadiva, yang lebih sering dipanggil Ullie, adalah salah satu cewek populer di kampus karena tidak ada yang mengalahkan kecantikannya di jurusan Sastra Indonesia. Ia tipe cewek yang ramah dan easy going, sama seperti Dika. Dia awalnya akrab dengan Riris dan sering mengha biskan waktu bersama, sampai akhirnya dia mengenal Dharma dan bergabung bersama yang lainnya. Uzzie, nama lengkapnya Lusy Erinda, cewek imut ber kacamata. Ia adalah salah satu cewek terpintar di jurusan. Sifatnya yang ramah membuatnya mudah berbaur. Pertama 15
kali berkenalan dengan Riris ketika mereka awal masuk 001/I/15 MC kuliah. Uzzie, Riris dan Ullie sering pergi bersama-sama. Bahkan, ke mana pun pergi, mereka selalu bertiga. Lengket kayak lem. Mereka memilih jalan tembus yang tidak terlalu ramai untuk menghindari macet. Dharma dan Riris duduk di jok depan, memimpin perjalanan. Riris sengaja mengajak teman-temannya bernyanyi su paya perjalanan tidak terasa jauh dan membosankan. Dia juga menyetel musik keras-keras. Dharma yang duduk di sebelahnya langsung mengernyit. ”Ris, apa...” Dharma bertanya tapi Riris keburu memotong ucapannya dengan berseru keras. ”Yak, buat memeriahkan perjalanan, masing-masing harus menyanyi!” ajaknya bersemangat. ”Oh, ya ampun.” Dharma langsung memutar bola mata nya. Telinganya mulai berdenging. Teman-temannya menanggapi dengan bernyanyi sete ngah malas. Sambil menyetir, Dharma berulang kali bergu mam ”malu-maluin” atau ”childish banget” dan menolak ikut menyanyi walau cuma satu baris lirik. Uzzie akhirnya malah bernyanyi paling keras dan ber duet dengan Riris, sedangkan Lutfie sebaliknya, dengan keras kepala ia enggan menyanyi. Lutfie mengatupkan mu 16
lutnya serapat mungkin dan menggeleng-geleng saat Riris 001/I/15 MC berulang kali membujuknya. Dalam hati Lutfie menyesal kenapa tadi ia tidak masuk ke mobil Dika saja sehingga dia tidak terjebak dalam kekonyolan Riris. Tapi ia juga tahu, kalau ikut mobil Dika, ia bakalan terimpit di antara tas-tas dan barang-barang bawaan. Benar-benar tidak nyaman. Jadi pilihannya cuma dua, tetap bersabar dengan suasana riuh di mobil Dharma atau sesak napas di mobil Dika. Lutfie menggerutu. Keluh kesahnya tertutup oleh kerasnya musik dan nyanyian. Ullie yang ikut mobil Dika, akhirnya tertidur setelah setengah jam perjalanan. Ia sudah berusaha mengajak Dika ngobrol, tapi karena Dika tampak lebih memilih berkonsen trasi mengemudi, akhirnya Ullie menyerah dan jatuh tertidur. Mereka berada di belakang mobil Dharma. Dua setengah jam kemudian, mereka sampai di Kecamat an Blado, Kabupaten Batang, tempat vila kakek Dharma. Panorama indah menyambut mereka. Di sana terhampar perkebunan teh yang disebut Perkebunan Teh Pagilaran. Mereka bahkan bisa melihat para pemetik teh yang sedang bekerja. Dharma dengan sengaja memperlambat laju mobil nya, memberi kesempatan bagi teman-temannya untuk menikmati pemandangan. Riris dengan heboh melongokkan kepala melalui jendela 17
mobil sambil melambai-lambaikan tangan. ”Wah, Dharma, 001/I/15 MC keren banget!” serunya luar biasa girang. Dharma cengengesan. ”Keren, kan? Gue tahu lo pasti suka,” balasnya. Dia memandang dengan puas ekspresi Lutfie dan Uzzie yang duduk di kursi belakang melalui spion tengah. ”Iya, keren banget lho! Wah, lihat yang di sana, Lut! Yang di sana juga!” Uzzie berjingkrak di kursinya, sementara Lutfie berusaha mengikuti arah telunjuk Uzzie yang meng acung keluar, mencari objek yang dimaksud. ”Kalian bakal lebih seneng lagi kalo kita udah sampai. Gue nggak bohong.” Dharma menjanjikan sambil meng acungkan jempol. ”Tempat ini bener-bener keren,” puji Riris sekali lagi. Ia tidak henti-hentinya berdecak kagum. Sementara, di mobil satunya, Dika segera membangunkan Ullie saat melihat mereka sudah akan sampai di tempat tujuan. ”Ul, Ullie, udah mau sampai, nih. Bangun gih,” sahutnya. Ullie segera terbangun dan mengucek-ngucek matanya. Dika menahan geli melihat wajah sahabatnya yang masih ngantuk itu. Tak sampai lima belas menit mereka sudah berhenti di halaman vila yang luas dan berumput tebal. Sebelumnya, 18
mereka melewati jalan sempit dan menanjak, karena vila 001/I/15 MC itu rupanya terletak di puncak bukit. Riris kembali heboh. Ia cepat-cepat merebut camcoder dari tangan Lutfie. Kemudian menyorot wajahnya sendi ri. ”Wah, guys, kita udah sampai...” Riris mengarahkan cam coder-nya ke bangunan yang menjulang di hadapan mereka, lalu menyorot wajah teman-temannya. ”Smile...” serunya bersemangat. Teman-temannya tidak mungkin tidak terse nyum. Bahaya kalau wajah-wajah cemberut mereka tere kam karena nanti video perjalanan tersebut akan mereka tonton ulang. Dika tersenyum setengah cengengesan sambil menurun kan tas-tas dari mobilnya. Dharma tersenyum paksa, ia terlihat lebih lelah daripada yang lainnya. Uzzie dan Ullie melambaikan tangan dengan bersemangat sambil terse nyum lebar. Lutfie yang agak alergi sorotan kamera buru- buru kabur sebelum Riris sempat mendekatinya. Namun tetap saja dia terekam, walaupun cuma sekelebat punggung. Riris terkekeh puas. Dharma memandanginya dengan kecut, dalam hati ia berjanji bahwa nanti ia akan mengedit video itu diam-diam dan menghapus yang jelek-jelek. Mereka sangat gembira saat melihat vila tempat mereka akan menginap. Riris mengalihkan kamera untuk menyorot 19
vila. Lutfie memperhatikan bangunan itu dengan penuh 001/I/15 MC antusiasme. Dika, Ullie, dan Uzzie sampai melongo dan nyaris tak berkedip, tidak bisa menemukan kata-kata yang pas saat mereka terkagum-kagum memandangi keseluruhan bangunan vila. Dari dekat bangunan itu tampak sangat cantik, apalagi posisinya yang di atas bukit membuat mere ka bisa melihat pemandangan di bawah, yang spektaku ler. Dharma tiba-tiba memanggil, menyuruh teman-temannya untuk ikut membantu Dika menurunkan barang-barang bawaan. Perlu tiga kali angkut untuk membawanya ke teras vila. Dharma tersenyum menatap vila kakeknya. Liburan seru akan segera dimulai. Ia tahu itu. 20
2. 001/I/15 MC SESEORANG menyambut mereka di depan pintu vila yang terbuat dari kayu berpelitur. Beliau adalah Pak Zulkifli, pengurus vila. Sejak kecil Dharma lebih suka memanggilnya Pak Zul karena lebih singkat dan terkesan akrab. Dharma segera memeluk kakek tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu. Kakek yang terlihat masih fit itu tersenyum menatap Dharma, lalu buru-buru menepuk-nepuk pundak Dharma dengan wajah semringah. ”Selamat datang! Sudah lama kamu tidak main ke sini, hampir lima tahun,” kata Pak Zul sambil terkekeh. ”Sehat-sehat aja, Pak? Bapak masih kelihatan bugar 21
sekali,” sahut Dharma sambil tersenyum. Pak Zul mengang 001/I/15 MC guk, ”Jangan lihat umur dong, Nak. Saya kan udah lama kerja di sini, udah biasa kerja keras, hehehe. Kamu masih sama kayak lima tahun lalu, nggak berubah.” Pak Zul tertawa. ”Haha, Bapak bisa aja.” Pak Zul kembali terkekeh. ”Ya udah, pokoknya Bapak senang sekali kamu datang ke sini.” Dharma kembali mengangguk dan ikut tersenyum senang. ”Apalagi kamu bawa teman-teman kamu menginap di sini, Bapak tambah senang, rumah jadi rame,” tambah Pak Zul sambil meman dangi teman-teman Dharma satu per satu. Beliau kembali menepuk pundak Dharma dan berkata, ”Anggap rumah sendiri ya, banyak yang bisa kalian lakukan di sini. Ada warung makan enak yang baru dibuka di dekat sini. Kalian bisa ke sana besok. Lalu kalian juga bisa main-main ke...” ”Tenang, Pak,” sela Dharma cepat, ”kami sudah ada ren cana kok mau jalan-jalan ke mana. Omong-omong vila sepi ya, Pak?” Pak Zul mengangguk. ”Iya. Cuma Bapak sendiri yang ada di sini. Sebenarnya Imron datang setiap hari tapi cuma membersihkan rumah setiap pagi. Apalagi Jaka, cuma da tang seminggu sekali buat memotong rumput. Sepi di sini,” ujar Pak Zul tampak agak sedih. 22
Dharma menepuk bahu bapak tua itu. ”Sekarang kan ada 001/I/15 MC kami, Pak,” ujarnya sambil tersenyum. Dia lalu menoleh ke arah teman-temannya dan memperkenalkan mereka. Teman-temannya yang masih memandangi vila dengan kagum langsung tersadar begitu Dharma mulai menyebut nama mereka satu per satu. ”Ini Dika dan Lutfie. Ini Riris, Ullie dan Uzzie.” Mereka segera menjabat tangan Pak Zul sambil mengangguk sopan. Pak Zul balas tersenyum lebar. ”Ayo, silakan masuk,” sahut Pak Zul segera dan Dharma serta teman-temannya mengangguk. ”Mobil kami parkir di situ aja ya, Pak, nanti gampang kalau mau dipindah,” kata Dharma. Pak Zul terkekeh dan berkata, ”Bisa diatur. Oh ya, semua sudah Bapak siapkan. Untung kamu menelepon seminggu lalu, jadi Bapak bisa beres-beres dulu. Kalau kamu telepon mendadak, pasti akan repot sekali. Sekarang, ayo kalian masuk dulu aja, Bapak siapin minuman.” Pak Zul lalu ber balik dan membuka pintu masuk. Derit samar terdengar saat kedua daun pintu terayun. Dharma mengikuti Pak Zul masuk ke vila. Teman-teman nya menggotong barang-barang bawaan mereka dengan kewalahan. Tanpa sadar, Dharma yang sudah berjalan lebih dulu tidak ikut membantu membawakan tas-tas perbekalan, 23
termasuk ranselnya sendiri. Melihat hal itu, Ullie mengge 001/I/15 MC rutu keras-keras dan Dika mengumpat sampai memasuki vila. Vila itu sangat besar dan kelihatan tua dengan desainnya yang kuno. Dindingnya yang tinggi tampak kokoh dan mewah. Banyak pilar di sana-sini: mulai dari serambi de pan sampai serambi belakang, berwarna putih dan bebe rapa dihiasi ukiran. Vila ini sepertinya dirancang memang untuk orang-orang kalangan atas. Dulu vila itu menjadi rumah tinggal salah satu pejabat Belanda, beberapa tahun sebelum kekuasaan Belanda diambil alih Jepang. Tidak heran jika desainnya berbeda dengan vila kebanyakan. Semua bagian dibangun dengan cermat dan menunjukkan selera yang tinggi. Dekorasi interiornya pun tidak kalah anggunnya. Setelah Dharma dan teman-temannya masuk, mereka segera disambut pemandangan indah ruang pertama, ruang tamu. Lantai marmer yang luas memantulkan cahaya matahari. Dinding dalamnya berwarna putih susu, sama seperti dinding luar. Sebuah meja kayu lebar berpelitur lengkap dengan dua pasang kursi yang serasi menghiasi ruang itu dengan cantik. Di dinding seberang meja dan kursi itu terdapat dua jendela, sehingga tamu yang duduk di situ bisa menikmati pemandangan indah di luar. Lutfie menurunkan tas-tas yang dibawanya dan segera 24
merebut kameranya dari genggaman Riris. Dia lalu sibuk 001/I/15 MC memotret sana-sini. Sementara itu Riris langsung duduk di kursi dekat jendela dan terpesona saat dari tempatnya ia bisa melihat pemandangan di luar. Dika, Ullie, dan Uzzie juga kembali melongo takjub. Dua patung Yunani berbentuk wanita membawa tempat air di atas kepala berdiri anggun di kanan dan kiri pintu menuju ruang selanjutnya seperti dua penjaga. Dengan penuh antisipasi, Lutfie dan yang lain mengarah ke ruang itu. Begitu memasukinya, mereka kembali terkagum-ka gum. Mereka disambut pemandangan yang lebih menakjub kan, ruangan yang sangat besar dengan lantai marmer yang sangat luas dan permadani tebal berwarna merah gelap. Banyak perabot kayu antik serta bermacam-macam jam bangan bunga besar di sana, lengkap dengan bunga-bunga hiasan. Lukisan-lukisan yang tergantung di dinding mem buat ruangan itu terlihat lebih berseni. Namun, yang paling membuat teman-teman Dharma berdecak kagum adalah lampu berukuran amat besar yang tergantung di atas mereka; lampu kristal itu bersinar indah ketika cahaya matahari masuk melalui jendela dan terpantul di permu kaannya. ”Gila… Mewah banget...” Ullie ternganga. ”Keren….” Riris ikut ternganga. Dia sampai tidak berke dip. 25
Pak Zul memperhatikan ekspresi keduanya dengan geli. 001/I/15 MC ”Semuanya masih asli lho, sejak zaman Belanda dulu. Nggak ada yang diubah, baik interior maupun eksteriornya,” sahutnya, menjelaskan. Ullie dan Riris mengangguk-angguk. ”Keren sekali, Pak,” sahut mereka penuh kekaguman. Pak Zul lalu mempersilakan mereka untuk mencari ka mar masing-masing di lantai dua. Mereka langsung berge gas mendapatkan kamar yang paling bagus. Riris, Ullie, dan Uzzie sempat bertengkar memperebutkan kamar yang paling besar dan mewah dengan para cowok. Akhirnya para cowok mengalah. Riris sekamar dengan dua sahabatnya, Ullie dan Uzzie, sedangkan Dharma sekamar dengan Dika. Lutfie terpaksa menempati kamar terpisah karena tempat tidur di kamar Dharma terlalu kecil untuk mereka bertiga. Riris, Ullie, dan Uzzie segera memasukkan barang-barang bawaan mereka ke kamar. Kamar itu benar-benar bagus. Sangat luas dengan dua lemari kayu besar, rak buku, dan meja. Sebuah lampu meja kecil bergaya feminin menghiasi meja. Selain itu juga terdapat tempat duduk kecil yang sangat cantik. Dua tempat tidur yang luas tampak sangat menggoda. Semua furnitur itu kelihatan antik. Sepertinya furnitur itu tidak diganti, awet. Juga ada balkon yang luas, 26
dan pas untuk melihat keindahan langit di malam hari. 001/I/15 MC Pagar balkon itu dililiti tanaman rambat berbunga yang sangat disukai Riris dan kedua temannya. Wajar saja kalau mereka tadi mati-matian berjuang mendapatkan kamar itu. Apalagi kamar mandinya tampak lebih bersih, dengan porselen putih dan bak mandi yang luas. ”Ini terlalu mewah, gue jadi ngerasa kecil di sini….” Uzzie mendesah sambil memandang berkeliling, mensyukuri keberuntungannya menempati kamar itu. Ia lalu duduk di pinggir tempat tidur, dan mengusap permukaannya yang lembut. ”Emang. Untung kita dapat kamar ini, hehehe. Kamar para cowok nggak semewah ini. Ini kayaknya dulu emang kamar perempuan ya?” tanya Ullie saat menatap lampu meja. ”Kayaknya sih iya,” balas Uzzie. Ullie yang serbarapi segera memasukkan barang-barang nya ke lemari dan perlengkapan mandi ke kamar mandi. Begitu juga dengan Uzzie, yang langsung berdiri lagi dan mulai sibuk mengatur barang bawaannya. Berbeda dengan Riris yang malah langsung keluar kamar begitu meletakkan tasnya di lantai. Dia paling malas bongkar-bongkar barang, dan baru akan melakukannya kalau mau ganti baju atau mandi. 27
Riris menghampiri Dika yang berada di dapur, hendak 001/I/15 MC memasukkan bahan masakan dan camilan yang mereka bawa ke kulkas. ”Eh, Dik, lo bawa bahan-bahan apa aja?” tanyanya sambil duduk di meja rendah dekat wastafel. Dika terkekeh. Ia sangat tahu Riris doyan makan, karena ia sendiri juga hobi makan enak. Dika membuka dua tas jinjing besar yang khusus digunakan untuk membawa makanan. Mata Riris langsung membelalak menatap isi nya. ”Nih, lihat, lengkap!” pamer Dika bangga. Riris mengang guk-angguk sambil masih membelalak. Di tas-tas itu ada beragam mi instan, selusin susu kotak, dua botol besar jus buah, roti-roti dan kue-kue—termasuk dua bungkus roti tawar—lima botol besar minuman ringan, tiga plastik besar buah segar, berkotak-kotak spageti instan, berbungkus- bungkus snack—termasuk favorit Dharma: keripik kentang dua bungkus ukuran besar dan tiga batang cokelat besar— satu bungkus permen, beberapa bungkus sosis, nugget, dan bakso dalam kemasan, serta selai stroberi. Juga ada beras yang dikemas terpisah. Ia juga sudah mengeluarkan satu galon air dari bagasi mobil. ”Waaah… Gila bener! Lo borong di swalayan, Dik? Ini sih udah kayak minimarket. Kita bisa hidup mewah kalo begini ceritanya,” kata Riris sembari berdecak. 28
Dika terkekeh. ”Iyalah, kita kan berenam. Pasti butuh banyak makanan. Tenang aja, pasti bakalan habis semua, kok. Oh ya, kalau pagi kita bisa bikin roti bakar atau sandwich. Atau kalau mau, kita bikin nasi goreng, nanti tinggal minta tolong Pak Zul buat beli bumbu-bumbunya,” sahutnya sambil menunjuk roti tawar dan beras. Riris mengangguk-angguk. ”Setuju, yang lain juga pasti bakalan setuju juga,” sahutnya. ”Beberapa mau gue masukin ke kulkas dulu. Bantuin gue, yuk,” pinta Dika. Riris langsung mengiyakan, tampak bersemangat. Mere ka membuka pintu kulkas. Mata Riris semakin membelalak ketika melihat kulkas ternyata sudah penuh dengan ma kanan. Ada cokelat dan bahan makanan mentah termasuk telur dan sayur-sayuran. Bahkan juga ada satu bungkus ayam yang sudah dipotong-potong, tinggal diolah saja. Ada kotak besar di tengah rak, yang setelah dibuka ternyata lengkap berisi berbagai bumbu. Plus ada beberapa kotak es krim di freezer. Dika ikut membelalak dan berdecak kagum. Semakin enak saja hidup mereka di vila. ”Waaah…” Riris melongo takjub. ”Bapak memang sudah menyiapkan beberapa makanan begitu Bapak dengar kalian mau ke sini. Termasuk bahan makanan juga. Siapa tahu kalian mau masak.” 29
Riris dan Dika terkejut mendengar suara di belakang mereka. Mereka segera berbalik dan mendapati Pak Zul memperhatikan sambil tersenyum. Riris meringis malu karena kepergok sedang memandangi isi kulkas. ”Makasih banyak, Pak,” ujar Dika penuh rasa terima kasih. Dengan begini mereka tidak perlu membeli bumbu, di dalam kulkas sudah tersedia semuanya. Ullie dan Uzzie masih di kamar. Setelah membereskan seluruh isi tasnya, Ullie membaringkan diri di kasur. ”Selesai juga. Huuuh... capeknya....” Uzzie meregangkan tubuhnya. ”Ambil minum, yuk. Haus nih,” ajaknya. Ullie menolak sambil berguling-guling ke samping. ”Males ah. Gue masih mau tiduran. Lagi enak-enaknya nih. Kalo mau ambil minum sekalian ambilin buat gue juga ya.” Uzzie berdecak. Ia segera beranjak ke dapur dan menda pati Dika dan Riris di sana. ”Kalian udah masukin semua makanan kita?” tanya Uzzie sambil mengecek kulkas. ”Sudah, Bu Lusy...” balas Dika dan Riris serempak. Uzzie mengangguk-angguk puas. *** 30
Dharma dan Lutfie sibuk menjelajahi ruangan dalam. Ter nyata ada beberapa dinding rumah yang terbuat dari kayu bercat cokelat gelap. Pak Zul membimbing mereka dalam penjelajahan itu, seperti guide. Selain menemani berkeli ling, Pak Zul juga menceritakan sedikit mengenai sejarah nya. Beberapa furnitur ternyata memiliki nilai jual tinggi. Salah satu lukisan di dinding bahkan ada yang usianya lebih dari lima puluh tahun. Setelah puas menjelajahi ruangan dalam, mereka lalu asyik melihat-lihat rumah kaca di kebun belakang. Di sana terdapat segala macam bunga yang terawat rapi. Tapi lebih didominasi mawar dalam berbagai warna. ”Rumah kaca ini tidak mengalami perubahan sejak zaman Belanda dulu, sengaja dibiarkan seperti keadaan aslinya. Kakek kamu memang menghendakinya seperti itu,” terang Pak Zul. ”Berarti sama seperti interior rumah dong, Pak,” sahut Luthie dan Pak Zul mengangguk. ”Ya, kakek Dharma hanya menambahkan sedikit di ru mah ini, yaitu beberapa lukisan dan pajangan. Lalu hanya mengganti barang kalau ada yang lapuk atau rusak saja. Bahkan kalau barang-barang itu masih bisa diperbaiki, ya tidak akan diganti. Pokoknya sejak kepemilikan rumah pindah ke kakek Dharma, tidak banyak perubahan,” jelas nya. 31
”Selain datang untuk memotong rumput, Jaka juga biasa datang ke sini untuk merawat bunga. Kalau tidak, bisa-bisa semua tanaman di sini sudah mati dari dulu,” lanjut Pak Zul sambil tertawa. Dharma hanya tersenyum, sementara Lutfie sibuk merekam. Mereka lantas berkeliling melihat-lihat tanaman lain yang dipelihara di sana sembari Pak Zul terus menjelas kan. Setelah beberapa lama, mereka kembali masuk ke rumah untuk melihat perpustakaan yang berada di lantai dua. Selain perpustakaan, di lantai dua juga terdapat ruang koleksi, tempat beragam lukisan dan hiasan disimpan di dalam dua lemari pajangan besar. Mereka menaiki tangga kayu menuju lantai dua. Suasana perpustakaan yang terasa begitu menyenangkan membuat Lutfie lupa merekamnya. Ruangan itu sangat besar, berlangit-langit tinggi, dan berlantai kayu. Dindingnya berwarna merah kecokelatan. Langit-langitnya bahkan dilukis dengan lukisan awan ber warna putih dengan langit biru muda. Kaca-kaca jendelanya tinggi dan ramping, dengan gorden berwarna merah ang gur, yang kini dalam kondisi terbuka. Dari jendela terlihat pemandangan luar yang menakjubkan. Lampu yang tergantung di perpustakaan tampak antik, 32
terbuat dari kaca dan kuningan. Rak-rak buku berjajar lima buah. Semuanya penuh dengan buku-buku tebal yang terlihat berdebu, membuat Dharma mulai bersin-bersin. ”Maaf, Bapak tak sempat membersihkan perpustakaan ini. Lagi pula, wajar saja buku-buku di sini berdebu karena memang sudah tua dan lapuk. Tapi kakekmu tidak pernah mau menjual atau membuangnya,” jelas Pak Zul. Dharma mengangguk maklum, dan segera mengajak Pak Zul keluar dari sana untuk melihat-lihat ruang koleksi. Hi dungnya terasa gatal tak tertahankan saat bernapas di ruangan berdebu itu; rasanya kepingin bersin terus. Lutfie memilih untuk tetap tinggal di perpustakaan. Ia meneliti buku-buku yang ada. Kebanyakan berbahasa asing: Inggris dan Belanda. Besok aja gue ke sini lagi, pikir Lutfie berse mangat. Ia lalu keluar dari perpustakaan, dan tak lupa menutup pintu agar bau apak tak menguar. Lutfie akhirnya menyusul Dharma dan Pak Zul yang masih berada di ruang koleksi. Ia dengan kagum mengakui, ruang koleksi benar-benar sangat menakjubkan. Ruang annya cukup besar dengan banyak lukisan di dinding. Dia memperhatikan dua lemari besar yang mendominasi ruang itu. Satu terbuat dari kayu mahoni dan yang lain dari kayu jati. ”Lihat, itu pajangan yang saya maksud. Lemari yang dari 33
mahoni itu isinya asli dari pemilik yang pertama, kalau yang jati dari kakek Dharma.” Pak Zul menunjuk kedua lemari. Beliau lalu membukanya untuk Dharma dan Lutfie agar mereka bisa melihat lebih jelas. Di dalam lemari mahoni itu terdapat berbagai macam hiasan dinding, seperti topeng, patung ukiran dari kayu, dan guci-guci. Barang-barang tersebut masih terjaga de ngan baik. Di bawah benda-benda itu bahkan terdapat keterangan di atas secarik kertas. Di lemari satunya terdapat berbagai macam hiasan kera jinan tangan dan koleksi batu-batuan berbagai macam bentuk. Sama seperti di lemari sebelumnya, ada kertas kecil berisi keterangan di bawah setiap benda. ”Kakek Dharma suka melakukan perjalanan, semua yang ada di lemari itu hasil perburuannya,” jelasnya. Lutfie berdecak kagum. Ruangan itu nyaris seperti museum kecil. ”Kalo nggak jadi arsitek, mungkin kakek gue bakalan jadi kolektor, Lut. Hahaha,” kelakar Dharma. Lagi-lagi Lutfie memilih untuk tinggal sebentar dan membiarkan Pak Zul dan Dharma meninggalkannya. Ia memperhatikan dengan antusias berbagai barang di sana sambil terus merekam. Setelah puas melihat-lihat dan merekam hampir tiap 34
sudut ruangan itu, ia beranjak turun, dan langsung menda pati teman-temannya yang sedang sibuk makan siang sambil mendiskusikan rencana besok. Untuk nanti malam, mereka akan pergi ke warung makan yang direkomendasikan Pak Zul tadi pagi. Lutfie memperhatikan hidangan makan siang itu, dan tersenyum puas. Tampak masakan yang enak-enak di sana, pastinya disiapkan oleh Pak Zul. Ia langsung duduk berga bung dengan teman-temannya. 35
3. PAGI setelah sarapan mereka bersiap berangkat. Mereka berencana pergi melihat-lihat perke- bunan teh dan objek lain yang ada di sekitar wilayah itu, termasuk mencoba ikut outbond. Riris terus-menerus menggerutu karena syal ungu kesa- yangannya tak ditemukan di mana pun. Ia ngotot tidak mau berangkat sebelum menemukan syalnya karena siapa tahu ia membutuhkannya saat udara bertambah dingin nanti. Dharma yang sudah sebal akhirnya mengaku bahwa syal Riris ia curi lalu ia sembunyikan kemarin malam sewaktu cewek itu masih makan. Riris langsung ngamuk mende- ngarnya. Dan pagi yang indah itu terpaksa Dika, Lutfie, 36
Ullie, dan Uzzie lewati dengan mendengarkan perang lokal antara Riris dan Dharma. Dan Riris yang menang, dengan posisi tangan menjambak rambut Dharma, yang mengaduh kesakitan hingga akhirnya mengaku syal Riris disembunyi kannya di dalam bufet. Setelah packing dan memastikan barang bawaan tidak ada yang tertinggal, mereka pun berangkat. Dharma mulai menstarter mobil, dan yang lain bergegas masuk, kecuali Lutfie. Lutfie sebenarnya ingin sekali ikut, tapi ia merasa harus kembali ke perpustakaan yang dikunjunginya kema rin. Akhirnya dengan berat hati—dan agak menyesal juga sebenarnya—direlakannya teman-temannya pergi. Rasa penasaran dan ingin tahunya akan perpustakaan itu menga lahkan keinginannya untuk bergabung bersama teman- temannya. ”Serius nih, nggak mau ikut?” Dharma memastikan dari balik kemudi. Lutfie mengangguk. ”Jangan nyesel, lho,” tambah Ullie. Lutfie menggeleng. ”Nggak kok, kalian pergi aja, gue tunggu di vila,” balasnya. ”Ya udah. Kami pulang agak siang, jam duaan mungkin. Kalo lapar makan duluan aja, bisa masak atau beli makan di luar,” tambah Dharma sambil melihat jam tangannya. 37
”Oke, nggak masalah,” sahut Lutfie. Dika tiba-tiba teringat sesuatu. ”Eh, tapi gue bisa pinjam camcoder lo? Nggak enak nih, kalau momen ini nggak diabadikan. Ini kan pertama kalinya kita liburan bareng,” sahut Dika sambil mengulurkan tangannya. Jadi, selain merelakan teman-temannya pergi, Lutfie juga harus merelakan camcoder kesayangannya dipinjam Dika. Setelah mobil Dharma menghilang dari pandangannya, dengan wajah lesu Lutfie kembali ke vila. Pak Zul yang sedang menyapu menyapanya heran. ”Lho, Nak Lutfie kok nggak ikut?” Lutfie meringis kecut. ”Saya kepingin mampir ke perpus takaan lagi, Pak,” jawabnya lesu. Pak Zul terkekeh. Dengan sekali pandang saja ia tahu Lutfie itu kutu buku. Ia juga senang, paling tidak koleksi perpustakaan jadi laku mengingat Dharma tidak terlalu gemar membaca buku. ”Oh, ya udah. Yuk, Bapak antar ke atas. Kamu udah de ngar sejarah rumah ini dari Dharma?” tanyanya, dan ketika Lutfie menggeleng, Pak Zul tersenyum. Pak Zul pun mengantar Lutfie ke perpustakaan. Ia seka ligus ingin mengobrol soal rumah ini dengan Lutfie. Sambil berjalan menuju perpustakaan, Pak Zul mulai bercerita. ”Rumah ini dibangun tahun 1935 dan selesai setahun kemudian, perancangnya adalah orang Belanda, Johann 38
van Rijneck, yang juga pemilik pertama rumah ini. Di Be landa, dia terkenal sebagai arsitek genius. Rumah ini adalah salah satu hasil karyanya yang paling hebat. Bahkan setahu Bapak, kakek Dharma pun sepertinya kurang mengetahui seluk-beluk keseluruhan rumah ini. Padahal beliau sudah menempatinya selama puluhan tahun. Nah, apalagi saya. Saya paling cuma mengetahui sepuluh persen saja.” Lutfie terperangah. ”Hah, masa sih, Pak? Kakek Dharma kurang tahu tentang rumah ini?” tanyanya heran. Pak Zul terkekeh dan menjawab, ”Itu setahu saya, soalnya rumah ini begitu besar dan antik.” ”Oh ya, Bapak tadi juga bilang Bapak cuma tahu sepuluh persen dari rumah ini aja, Pak? Yakin? Ah, Bapak ini merendah. Bapak kan yang mengurus rumah ini...” Pak Zul terkekeh kembali. ”Benar, kok. Hmm... Mungkin ini bukan sekadar rumah biasa. Tidak mungkin rumah seperti ini disebut karya paling hebat kalau hanya biasa- biasa saja seperti yang terlihat dari luar,” sahutnya panjang- lebar. Lutfie termenung sebentar. Ia jadi bersemangat mende ngar penjelasan Pak Zul, dan itu terlihat jelas di wajahnya. Matanya berbinar antusias dan ia tersenyum sangat lebar. Ekspresinya hampir sama seperti anak kucing yang sedang kegirangan. Lutfie sering ditertawakan teman-temannya kalau sudah memasang wajah seperti itu. 39
”Oh ya, koleksi perpustakaan di sini milik Johann semua, kakek Dharma tidak menambahkan koleksinya,” terang Pak Zul sekali lagi. Pak Zul ternyata sudah membuka pintu perpustakaan lebar-lebar. Bau ruangan itu sudah lumayan segar. Dua jendela perpustakaan juga dibuka lebar-lebar sehingga angin dari luar bisa masuk. Lutfie menarik napas, menik mati udara yang berembus. Pak Zul berjalan mendekati jendela dan melongok ke luar. ”Saya tinggal dulu, ya. Jaka sudah datang,” kata Pak Zul seraya menepuk bahu Lutfie. Lutfie mengangguk cepat tanpa protes. Lagi pula, ia memang senang ditinggal sendi rian sehingga bisa menjelajah perpustakaan itu dengan leluasa. Belum sampai di pintu, tiba-tiba Pak Zul berbalik. ”Oh ya, nanti setelah kamu selesai, pintunya tolong ditutup lagi, ya,” beliau menambahkan. Lutfie mengangguk lagi. ”Siap Pak,” sahutnya sambil mengacungkan jempol. Setelah Pak Zul benar-benar pergi, Lutfie leluasa menje lajahi keseluruhan perpustakaan. Ada meja kayu berukir berwarna cokelat gelap yang digunakan sebagai meja kerja di salah satu pojok ruangan. Meja itu penuh dengan foto 40
dalam pigura dan hiasan meja seperti jam pasir, patung kepala wanita berambut ikal, globe berwarna kekuningan, dan kotak musik kecil dari kayu. Ada juga lampu meja kuno bertengger di sana dengan model rumit dan penuh ukiran. Kursi kayunya besar dan berat, berpunggung tinggi, dilapisi bantalan kain beledu merah tebal. Lutfie kemudian mengarahkan pandangan ke sebuah lukisan anak-anak di salah satu dinding. Besar sekali, se ukuran manusia. Lukisan minyak itu sangat bagus, begitu hidup, sampai-sampai Lutfie mengira lukisan itu potret asli yang diperbesar. Ia lalu mendekat untuk mengamati lukisan itu. Ada tiga anak berambut cokelat gelap dalam lukisan. Yang paling kecil adalah anak laki-laki berusia sekitar delapan tahun; wajahnya sangat hidup, ia duduk di kursi sambil tersenyum dan tangannya diletakkan di pangkuan. Yang termuda kedua adalah anak perempuan sangat cantik berambut ikal; wajahnya teduh dan terlihat agak muram, umurnya mungkin sekitar dua belas tahun dan tangannya memegang punggung kursi yang diduduki adiknya. Yang paling tua juga perempuan; sosoknya sangat dewasa, rambut cokelatnya digelung tinggi, usianya mungkin sekitar sembilan belas tahun. Tampak sangat manis kalau saja wajahnya tidak berekspresi datar dan kaku. Ia berdiri di samping adik laki-lakinya, di sisi kursi. 41
Lutfie melihat ke sudut kanan bawah lukisan, di situ tertera nama pelukisnya: Rudolf van Geitz. 1939. Lutfie mengagumi lukisan itu dan mengira-ngira berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya. Lalu ia beranjak melihat koleksi buku. Buku-buku itu disusun rapi. Ada susunan berdasarkan subjeknya, ada yang berdasarkan ukuran bukunya, bahkan ada yang berda sarkan nama pengarangnya. Lutfie takjub, koleksi buku itu sangat beragam dan cukup lengkap. Rupanya keluarga Johann sangat gemar membaca. Ada pula satu seri ensiklopedia dan jurnal berbahasa Inggris. Tapi kebanyakan di antaranya adalah novel, kum pulan dongeng anak-anak, tata kenegaraan, dan arsitektur. Tapi ada juga novel romantisisme, petualangan, buku resep masakan rumah, buku merajut, dan buku berkebun yang sudah lusuh dan berwarna kekuningan. Dharma bahkan menemukan beberapa novel dan buku berbahasa Indone sia. Lutfie menyusuri punggung buku-buku itu, menimbang- nimbang buku apa yang akan dibacanya terlebih dahulu. Ia lalu mengambil dan mulai membolak-balik halaman beberapa buku dan membacanya sekilas. Walaupun buku- buku itu sudah tua dan lusuh, Lutfie tetap menyukainya. Ia juga mengambil beberapa buku berbahasa Indonesia 42
dan mengagumi ejaan yang dipakai saat itu. Namun karena membolak-balik buku-buku itu pula, berkali-kali ia bersin dan segera menggerutu begitu menyadari ia lupa membawa tisu atau saputangan. Ia kemudian beranjak ke meja kerja, berharap ada tisu di sana. Saat tangannya menyentuh meja, Lutfie tidak sengaja menyenggol salah satu pigura. Pigura itu jatuh, kacanya retak. Potret yang ada di dalamnya terlepas. Dengan hati-hati Lutfie mengambil pigura itu, sambil terus mengusap hidungnya yang makin gatal. Dibersihkannya pigura itu, lalu diambilnya potret yang terjatuh di lantai, berniat memasukkannya ke dalam pigura. Lutfie mendadak berhenti. Sosok di potret itu adalah laki-laki Belanda berwajah keras yang sedang duduk di kursi berpunggung tinggi; kursi dengan beledu merah tebal tadi. Kumisnya melengkung dan matanya menatap tajam di balik kacamata berbingkai kuno. Gayanya di foto itu sangat formal, sampai-sampai Lutfie pengin ketawa. Ia membalik foto itu. Ada tulisan di belakangnya: Johann van Rijneck. 1936. Oh, jadi ini yang namanya Johann? Dia tidak tampan dan tubuhnya kurus. Bahkan lebih kurus daripada gue, pikir Lutfie. Dan tatapannya cukup ngeri. Tapi Lutfie bisa menang kap kecerdasan pada sorot mata Johann yang tajam. ”Kayak 43
apa ya dia semasa hidup?” Lutfie penasaran. Kelihatannya dia orang yang menarik, pikirnya. Setelah membersihkan foto itu, Lutfie menaruhnya kem bali di pigura dan meletakkannya di meja. Ia berharap, baik Pak Zul maupun Dharma tidak akan sadar kaca pigura itu retak. Ia harus segera mengarang berbagai alasan kalau mereka sampai tahu. Ia lalu berjalan ke arah rak, yang tak disangkanya paling berdebu. Ia kembali bersin-bersin. Kali ini ia merasa ber sinnya bakal semakin hebat, maka ia pun segera beranjak keluar. Ia kembali bersin sebelum sempat melangkahkan kakinya. ”HATSYII!” Benar dugaannya, bersinnya memang hebat, sampai- sampai ia terhuyung dan menyenggol rak buku di samping nya. ”Aduh!” Beberapa buku di rak berjatuhan. Lutfie me natap buku-buku yang berceceran di lantai itu, ia panik bukan main. Segera dipungutinya buku-buku itu. Dengan serampangan dan buru-buru ditaruhnya kembali buku- buku itu ke rak dan dirapikan sekadarnya, walaupun kentara sekali masih acak-acakan dan tidak sesuai urutan. Sampai akhirnya buku terakhir lepas dari genggamannya dan kembali jatuh ke lantai sampai sampulnya terlepas. Lutfie terpekik pelan. Kaget. Ia terduduk, mulai pasrah 44
memikirkan omelan Pak Zul dan Dharma. Mereka bakalan menyemprotnya habis-habisan. ”Habis deh gue,” desisnya. Ia menatap buku dan sampulnya yang terlepas lalu men desah sebelum akhirnya mengambilnya dan berniat mem bawanya ke kamar untuk diperbaiki. Tapi tiba-tiba ia ter diam, menatap lekat-lekat buku dan sampulnya di tangannya. Ada yang aneh. Halaman judul pada buku itu tampak berbeda dengan sampulnya. Halaman judul dan halaman terakhir buku itu terasa agak tebal. Dan tidak ada bekas jilidan maupun lem di balik sampul bukunya. ”Gila, gue bego banget, sih!” Lutfie menepuk dahinya. Halaman judul dan terakhir buku itu sebenarnya sampul aslinya. Tidak terlalu kentara sehingga sampul itu tampak seperti bagian dalam buku. Ditambah, sampul buku itu berwarna kuning pucat sama seperti warna dalamnya. Lutfie mengambil sampul yang tadi terlepas dan dibolak- baliknya. Diperhatikannya sampul itu kembali dengan saksama. Warnanya merah gelap, lusuh, berdebu, dan judul nya yang sudah memudar nyaris tak terbaca. Samar-samar terlihat rangkaian huruf berwarna emas membentuk ka limat judul. Itu jelas bukan sampul dari buku ini, batin Lutfie sambil memegang buku itu dan memandanginya bingung. Lalu kenapa buku itu ditutup sampul lagi? batin Lutfie. 45
Dan tampaknya itu bukan ketidaksengajaan. Pastilah di sengaja. Aneh, ada orang yang menutupi buku yang sudah bersampul dengan sampul lain. Kecuali ada alasan khusus. Dan mungkin alasannya… Lutfie segera berlari ke kamarnya, dengan bersemangat, didorong rasa penasaran. Ia ingin segera meneliti buku itu lebih saksama, sampai-sampai ia lupa menutup pintu per pustakaan. 46
4. LUTFIE langsung menutup pintu kamarnya dan duduk di pinggir tempat tidur. Dengan sangat bersemangat ia mulai membuka-buka halaman buku temuannya. Kertas-kertas buku itu sudah mulai lapuk sehingga Lutfie harus berhatihati saat mem baliknya. Bau khas buku tua membuat Lutfie sedikit pusing. Dan buku itu sarat debu, sehingga ia harus meniup-niup buku itu sebelum membuka-bukanya. Lutfie mulai mencermati katakata yang tertulis di sana. Untung kata-kata dalam buku itu menggunakan bahasa Inggris, bukan Belanda. Kalau tidak, Lutfie jelas tidak bakal paham isinya. Kata-kata itu tampak rapi, meskipun tulisan 47
tangan. Tulisannya halus dan masih bisa terbaca dengan jelas karena tintanya belum pudar. Lutfie membuka ha laman pertama buku itu, dan tertulis: This diary belongs to Johanna van Rijneck Lalu ada kalimat lagi di bawahnya: Do not read this diary without my permission Johanna, batin Lutfie. Jadi ini buku harian... pikirnya agak merinding. Ia tidak pernah menduga bahwa buku yang ditemukannya adalah buku harian. Lutfie mengira itu hanyalah buku cetak biasa. Ia menatap tulisan itu lekat-lekat, mencermati kata- katanya. Ragu-ragu, dibukanya halaman selanjutnya, akhirnya ia sampai di halaman tengah. Ada foto terselip di sana. ”Foto Johanna,” tebak Lutfie. Wanita itu sangat cantik dan ekspresi wajahnya juga lembut. Usianya sekitar akhir tiga puluhan, 38 tahun mungkin. Meskipun hampir berumur 40 tahun, wajahnya tampak lebih muda dari usianya. Rambutnya digelung ke atas, pakaiannya yang bermodel kuno dengan banyak renda tampak mewah, matanya seakan tersenyum walaupun 48
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236