Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Pengantar Asuransi Syariah

Pengantar Asuransi Syariah

Published by JAHARUDDIN, 2022-02-13 01:41:13

Description: Pengantar Asuransi Syariah

Keywords: asuransi syariah

Search

Read the Text Version

c. jenis akad tijarah dan atau akad tabarru’ serta syarat- syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan. Ketiga: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’ 1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis). 2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah. Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’ 1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya. 2. Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah. Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya 1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa. 2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah. Keenam : Premi 1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru‘. 2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel

mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya. 3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta. 4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru‘ dapat diinvestasikan. Ketujuh : Klaim 1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian. 2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan. 3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya. 4. Klaim atas akad tabarru‘, merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad. Kedelapan : Investasi 1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul. 2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah. Kesembilan:Reasuransi Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syari’ah. Kesepuluh : Pengelolaan 1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.

2. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah). 3. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah). Kesebelas : Ketentuan Tambahan 1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS. 2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. 2. Fatwa DSN-MUI No. 51/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Mudharabah Musytarakah Pada Asuransi Syariah Pertama: Ketentuan Umum Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan: 1. asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah; 2. peserta adalah peserta asuransi atau perusahaan asuransi dalam reasuransi. Kedua: Ketentuan Hukum 1. Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi, karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah.

2. Mudharabah Musytarakah dapat diterapkan pada produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun non tabungan. Ketiga: Ketentuan Akad 1. Akad yang digunakan adalah akad Mudharabah Musytarakah, yaitu perpaduan dari akad Mudharabah dan akad Musyarakah. 2. Perusahaan asuransi sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama dana peserta. 3. Modal atau dana perusahaan asuransi dan dana peserta diinvestasikan secara bersama-sama dalam portofolio. 4. Perusahaan asuransi sebagai mudharib mengelola investasi dana tersebut. 5. Dalam akad, harus disebutkan sekurang-kurangnya: a. Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi; b. Besaran nisbah, cara dan waktu pembagian hasil investasi; c. Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan produk asuransi yang diakadkan. 1. Hasil investasi : Pembagian hasil investasi dapat dilakukan dengan salah satu alternatif sebagai berikut: Alternatif I : a. Hasil investasi dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dengan peserta (sebagai shahibul mal) sesuai dengan nisbah yang disepakati. b. Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik)

dengan para peserta sesuai dengan porsi modal atau dana masing-masing. Alternatif II: a. Hasil investasi dibagi secara proporsional antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan peserta berdasarkan porsi modal atau dana masing- masing. b. Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dibagi antara perusahaan asuransi sebagai mudharib dengan peserta sesuai dengan nisbah yang disepakati. 2. Apabila terjadi kerugian maka perusahaan asuransi sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan. Keempat: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Mudharabah Musytarakah 1. Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan sebagai musytarik (investor). 2. Peserta (pemegang polis) dalam produk saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor). 3. Para peserta (pemegang polis) secara kolektif dalam produk non saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor). Kelima: Investasi 1. Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul. 2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.

Keenam: Ketentuan Penutup 1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. 3. Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Dan Reasuransi Syariah Pertama: Ketentuan Umum Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan: 1. asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah; 2. peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syari’ah. Kedua: Ketentuan Hukum 1. Wakalah bil Ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan peserta. 2. Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan imbalan pemberian ujrah (fee). 3. Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada produk asuransi yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun unsur tabarru’ (non-saving).

Ketiga: Ketentuan Akad 1 . Akad yang digunakan adalah akad Wakalah bil Ujrah. 2. Objek Wakalah bil Ujrah meliputi antara lain: a. kegiatan administrasi b . pengelolaan dana c. pembayaran klaim d . underwriting e . pengelolaan portofolio risiko f . pemasaran g . investasi 3. Dalam akad Wakalah bil Ujrah, harus disebutkan sekurang-kurangnya: a. hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi; b. besaran, cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi; 4. syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan. Keempat: Kedudukan dan Ketentuan Para Pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah 1. Dalam akad ini, perusahaan bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk mengelola dana. 2. Peserta (pemegang polis) sebagai individu, dalam produk saving dan tabarru’, bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana. 3. Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru’ bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana. 4. Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali atas izin muwakkil(pemberi kuasa);

5. Akad Wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah ) dan bukan tanggungan (yad dhaman) sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi fee yang telah diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi. 6. Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi, karena akad yang digunakan adalah akad Wakalah. Kelima: Investasi 1. Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah. 2. Dalam pengelolaan dana investasi, baik tabarru’ maupun saving, dapat digunakan akad Wakalah bil Ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti di atas, akad Mudharabah dengan mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah. Keenam: Ketentuan Penutup 1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

4. Fatwa DSN MUI No : 53/DSN-MUI/III/2006, Tentang Tabarru’ Pada Asuransi Syari’ah Pertama : Ketentuan Umum Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan: 1. asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah; 2. peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syari’ah. Kedua : Ketentuan Hukum 1. Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi. 2. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis. Ketiga : Ketentuan Akad 1. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong¬ menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial. 2. Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan sekurang- kurangnya: a. hak & kewajiban masing-masing peserta secara individu; b. hak & kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku peserta dalam arti badan/kelompok; c. cara dan waktu pembayaran premi dan klaim; d. syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Keempat : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tabarru’ 1. Dalam akad Tabarru’, peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah. 2. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu, ‫متبَرّع له‬/‫ )مؤّمن‬dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri’- ‫متبِّرع‬/‫)مؤّمن‬. 3. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad Wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi. Kelima : Pengelolaan 1. Pembukuan dana Tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya. 2. Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru’. 3. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah. Keenam : Surplus Underwriting 1. Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut: 2. Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’. 3. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko.

4. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta. 5. Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad. Ketujuh : Defisit Underwriting 1. Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru’), maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk Qardh (pinjaman). 2. Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru’. Kedelapan : Ketentuan Penutup 1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2. 2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. D. Kesimpulan Peraturan perundang-undangan tentang perasuransian di Indonesia diatur dalam beberapa tempat, antara lain dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, PP No. 63 tahun 1999 tentang perubahan atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian serta aturan-aturan lain yang mengatur Asuransi Sosial yang diselenggarakan oleh BUMN Jasa Raharja

(Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang), Astek (Asuransi Sosial Tenaga Kerja), dan Askes (Asuransi Sosial Pemeliharaan Kesehatan). Selain itu asuransi syariah di Indonesia juga diatur melalui fatwa MUI selaku Dewan Syariah Nasional yang memberikan ketetapan hukum bagi kegiatan muamalah yang dilakukan bagi kaum muslimin Indonesia. Akad yang menjadi landasan syariah dalam sistem asuransi takaful adalah akad tabarru’ dan akad wakalah bil ujrah, selain itu akad mudharabah dan mudharabah musyarakah juga merupakan akad yang diimplementasikan dalam kegiatan investasi dana dalam berbagai aktivitas ekonomi. Dalam hal akad Tabarru’ pada takaful, maka uang premi Tabarru’ itu merupakan sejumlah dana yang dihibahkan oleh pemegang polis dan digunakan untuk tujuan tolong-menolong dalam menanggulangi musibah seperti kematian yang akan disantunkan kepada ahli waris bila peserta meninggal dunia sebelum masa asuransi berakhir.

BAB VIII ASURANSI SYARIAH: EKSISTENSI, ANALISIS SWOT, PROSPEK DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA DI INDONESIA A. Pendahuluan Asuransi merupakan bisnis yang unik, dalam kitab Undang- Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian (timbal balik) yang mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu (onzeker woral), sedangkan menurut Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 menyebutkan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua orang atau lebih yang mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari sebuah peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Dari kedua pengertian asuransi tersebut diketahui adanya tiga unsur pokok dalam asuransi yang dipandang bertentangan dengan nilai-

nilai syari‟ah yaitu bahaya yang dipertanggung jawabkan, premi pertanggungan dan sejumlah uang ganti rugi pertanggungan. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar sekaligus merupakan negara berpenduduk muslim yang terbesar ditambah lagi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk semakin mengekspresikan identitas kemusliman mereka merupakan pasar yang empuk dan berpotensi besar. Data menyatakan dalam beberapa kurun waktu terakhir penjualan-penjualan produk Islami, mengalami kenaikan yang signifikan. Di lain sisi kebutuhan kenyamanan bermuamalah dalam transaksi keuangan pun meningkat pesat, sehingga diperlukan lebih banyak lembaga- lembaga keuangan ataupun lembaga pembiayaan yang bernuansa syariah. B. Sekilas Latar Belakang Berdiri Asuransi Syariah Kemunculan usaha perasuransian syariah tidak dapat dilepaskan dari keberadaan usaha perasuransian konvensional yang telah ada sejak lama.Sebelum terwujudnya usaha perasuransian syariah, terdapat berbagai macam perusahaan asuransi konvensional yang telah lama berkembang.Jika ditinjau dari segi hukum perikatan Islam asuransi konvensional hukumnya haram.Hal ini dikarenakan dalam operasional asuransi konvensional mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maysir (spekulasi/gambling) dan riba (bunga).Pendapat ini disepakati oleh banyak ulama terkenal dunia seperti Yusuf al-Qaradhawi, Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqili, Muhammad Bakhil al-Muth‟i, Abdul Wahab Khalaf, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Mustafa Ahmad Zarqa, dan Muhammad Nejatullah Siddiqi. Namun demikian, karena alasan kemaslahatan atau kepentingan umum sebagian dari mereka

membolehkan untuk sementara belum ada alternatif yang sesuai syariah beroperasinya asuransi konvensional.1 Di Malaysia, pernyataan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram diumumkan pada tanggal 15 Juni 1972 di mana Jawatan Kuasa Fatwa Malaysia mengeluarkan keputusan bahwa praktik asuransi jiwa di Malaysia hukumnya menurut Islam adalah haram. Selain itu Jawatan Kuasa Kecil Malaysia dalam kertas kerjanya yang berjudul ”Ke Arah Insurans Secara Islami di Malaysia” menyatakan bahwa asuransi masa kini mengikuti cara pengelolaan Barat dan sebagian operasinya tidak sesuai dengan ajaran Islam.2 Dalam rangka pengembangan perekonomian umat jangka panjang, masyarakat muslim perlu konsisten mengaplikasikan prinsip-prinsip perniagaan syariah berdasarkan nash-nash (teks-teks dalil agama)yang jelas atau pendapat para pakar ekonomi Islam. Untuk itu usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah merupakan lembaga ekonomi syariah yang dapat membawa umat Islam ke arah kemakmuran patutdiwujudkan dan merupakan sebuah keniscayaan. Berdasarkan pemikiran bahwa asuransi konvensional hukumnya adalah haram, maka kemudian dirumuskan bentuk asuransi yang terhindar dari ketiga unsur yang diharamkan Islam tersebut di atas yaitu gharar, maisir dan riba. Berdasarkan hasil analisis terhadap hukum (syariat) Islam dapat disimpulkan bahwa di dalam ajaran Islam termuat substansi perasuransian.Asuransi yang termuat dalam substansi hukum Islam tersebut ternyata dapat menghindarkan prinsip operasional asuransi dari unsur gharar, maisir dan riba. 1 Jafril Khalil, Asuransi Syariah dalam Perspektif Ekonomi: Sebuah Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22, Nomor 2 Tahun 2003, hlm. 46. 2 Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam diIndonesia, Usaha Kami, Depok, 1996, hlm. 230.

Dengan adanya keyakinan umat Islam di dunia dan keuntungan vang diperoleh melalui konsep asuransi syariah, lahirlah berbagai perusahaan asuransi yang menjalankan usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan yang mewujudkan asuransi syariah ini bukan saja perusahaan yang dimiliki orang Islam, namun juga berbagai perusahaan milik non-muslim serta ada yang secara induk perusahaan berbasis konvensional ikut terjun usaha memberikan layanan asuransi syariah dengan membuka kantor cabang dan divisi syariah. Seiring dengan bergulirnya waktu dan ijtihad para pemerhati ekonomi Islam secara kontinyu, akhirnya mereka sampai kepada sebuah konsep yang dapat disepakati bersama serta menjadi acuan perasuransian syariah di dunia. Konsep tersebut populer dengan nama asuransi mutual, kerja sama (ta‟awuni), atau takmin ta‟awuni. Konsep Asuransi Ta‟awuni merupakan rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang bersidang kali pertama tahun 1976 M di Mekah.Peserta hampir 200 orang dari kalangan ulama. Kemudian dikuatkan lagi dalam sidang Majma‟ Fiqh Islami „Alami (Lembaga Fiqih Dunia) pada 21 Desember 1985 di Jeddah yang memutuskan pengharaman Asuransi Jenis Perniagaan (Komersial). Majma‟ Fiqih juga secara ijma‟ mengharuskan dioperasikannya usaha perasuransian jenis kerja sama(ta‟awuni) sebagai alternatif menggantikan jenis asuransi konvensional serta menyerukan umat Islam dunia menggunakan asuransi ta‟awuni.3 Dalam rangka menindaklanjuti fatwa tersebut dan kebutuhan umat terhadap asuransi berdasarkan hukum Islam, Pada dekade 70- an di beberapa negara Islam atau di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim bermunculan asuransi yang prinsip 3 az-Zuhaili, Al-Fiqh al- Islami wa Adillatuhu, Darul Fikr, Damaskus, 1984, hlm. 5/3423.

operasionalnya mengacu kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsur yang diharamkan Islam. Pada tahun 1979 Faisal Islamic Bank of Sudan memprakarsai berdirinya perusahaan asuransi syariah Islamic Insurance Co. Ltd. di Sudan dan Islamic Insurance Co. Ltd. di Arab Saudi. Keberhasilan asuransi syariah ini kemudian diikuti oleh berdirinya Dar al-Mal al-Islami di Geneva, Swiss dan Takaful Islami di Luxemburg, Takaful Islam Bahamas di Bahamas dan al-Takaful al- Islami di Bahrain pada tahun 1983. Di Malaysia, Syarikat Takaful Sendirian Berhad berdiri pada tahun 1984.4Selanjutnya diikuti oleh negara-negara lain seperti Bahrain, UAE, Brunei, Singapura, dan Indonesia. Konsep Asuransi Ta‟awuni merupakan rekomendasi fatwa Muktamar Ekonomi Islam yang bersidang kali pertama tahun 1976 M di Mekah.Peserta hampir 200 orang dari kalangan ulama. Kemudian dikuatkan lagi dalam sidang Majma‟ Fiqh Islami „Alami (Lembaga Fiqih Dunia) pada 21 Desember 1985 di Jeddah yang memutuskan pengharaman Asuransi Jenis Perniagaan (Komersial). Majma‟ Fiqih juga secara ijma‟ mengharuskan dioperasikannya usaha perasuransian jenis kerja sama (ta‟awuni) sebagai alternatif menggantikan jenis asuransi konvensional serta menyerukan umat Islam dunia menggunakan asuransi ta‟awuni. C. Pendirian Asuransi Syariah di Indonesia Di Indonesia, Asuransi Takaful baru muncul pada tahun 1994 seiring dengan diresmikannya PT Syarikat Takaful Indonesia yang kemudian mendirikan 2 anak perusahaan yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga pada tahun 1994 dan PT Asuransi Takaful Umum pada 4 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (Islamic Economics, Theory and Practice), Diterjemahkan oleh M. Nastangin, PT Dana Bhakti,Wakaf, Yogyakarta, 1997, hlm. 305.

tahun 1995. Gagasan dan pemikiran didirikannya asuransi berlandaskan syariah sebenarnya sudah muncul tiga tahun sebelum berdirinya takaful dan makin kuat setelah diresmikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Dengan beroperasinya Bank- bank Syariah dirasakan kebutuhan akan kehadiran jasa asuransi yang berdasarkan syariah pula. Berdasarkan pemikiran tersebut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tanggal 27 Juli 1993 melalui Yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian asuransi takaful.5 Adapun latar belakang lahirnya sistem asuransi syariah dan penerapan prinsip syariah dalam kegiatan usaha asuransi di Indonesia adalah : 1) Dengan sistem konvensional, sistem perekonomian akan rapuh dan tidak akan menyelesaikan problem 2) Prinsip syariah sesuai dengan prinsip yang tertera dalam Al Qur‟an (pedoman bagi umat Islam dalam bermuamalah) dan prinsip syariah banyak mengandung unsur-unsur keadilan dibandingkan dengan sistem konvensional 3) adanya permintaan pasar 4) adanya kebijakan pemerintah yang memberi kesempatan pada perusahaan untuk membuka divisi syariah dan Fatwa MUI No. 21/DSN-MUI/2001 tentang Pedoman Asuransi Syariah 5) asuransi syariah di Indonesia sebelum kurun waktu tahun 2001 hanya dijalankan oleh PT. Takaful sebagai pemain tunggal bidang usaha asuransi syariah. 5 Training & Development Department, BasicTraining Modul 2002, Training & Development Department Asuransi Syariah Takaful, Jakarta, 2002, hlm. 20.

Dewasa ini dalam pertumbuhan asuransi syariah beberapa tahun ini sangatlah tinggi karena banyak orang yang sadar akan pentingnya mempunyai asuransi. Asuransi syariah sendiri juga mempunyai banyak keunggulan dibandingkan dengan asuransi non- syariah sehingga banyak sekali peminat yang berminat untuk memiliki asuransi syariah. Asuransi dapat menjadi investasi jangka panjang dan juga proteksi diri akan hal hal yang tidak diinginkan. Produk keuangan sendiri sudah menjadi kebutuhan manusia dan dewasa ini orang orang lebih selekif untuk menggunakan produk keuangan tersebut dengan menghindari hal hal yang berunsur riba. Bagi masyarakat muslim, menghindari hal-hal yang bersifat riba itu wajib sehingga hal ini juga mendorong pertumbuhan berbagai macam produk keuangan syariah termasuk asuransi syariah. Sekarang ini perusahaan asuransi syariah sudah berkembang dengan pesat meskipun tidak terlalu banyak dikenal seperti perbankan syariah.Perbedaan dari asuransi syariah dan asuransi konvensional sendiri mungkin tidak terlalu terlihat namun pada dasarnya perbedaan tersebut teletak pada perjanjian transaksinya. Dalam asuransi syariah, nasabah akan mengikatkan diri dalam suatu komunitas dan mereka akan saling menanggung apabila terdapat musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional, nasabah membeli perlindungan dari perusahaan asuransi untuk mendapat perlindungan ketika ada musibah. Bisnis asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita pada waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negeri kita ini sebagai akibat berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya. Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak diperlukan. Dengan demikian usaha perasuransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun waktu, yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah

Perang Dunia II atau zaman kemerdekaan. Pada waktu pendudukan bala tentara Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun, hampir tidak mencatat sejarah perkembangan. Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Hindia Belanda pada zaman penjajahan itu adalah :  Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang Belanda.  Perusahaan-perusahaan yang merupakan Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris dan di negeri lainnya. Dengan sistem monopoli yang dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan asuransi kerugian di Hindia Belanda terbatas pada kegiatan dagang dan kepentingan bangsa Belanda, Inggris, dan bangsa Eropa lainnya. Manfaat dan peranan asuransi belum dikenal oleh masyarakat, lebih-lebih oleh masyarakat pribumi. Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan. Asuransi kendaraan bermotor masih belum memegang peran, karena jumlah kendaraan bermotor masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Bangsa Belanda dan Bangsa Asing lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan asuransi kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya pemsahaan- perusahaan asuransi milik Belanda dan Inggris. Setelah Perang Dunia usai, perusahaan-perusahaan Belanda dan Inggris kembali beroperasi di negara yang sudah merdeka ini. Sampai tahun 1964 pasar industri asuransi di Indonesia masih dikuasai oleh Perusahaan Asing, terutama Belanda dan Inggris. Pada awal mulanya beroperasi di Indonesia mereka mendirikan sebuah badan yang disebut “Bataviasche Verzekerings Unie” (BVU) pada tahun

1946, yang melakukan kegiatan asuransi secara kolektif. Dengan demikian dari setiap penutupan, masing-masing anggota BVU memperoleh share tertentu. Cara ini dilakukan mengingat keadaan pada waktu itu belum teratur dan tenaga asuransi masih kurang sekali. Pada tahun 1950 berdiri sebuah perusahaan asuransi kerugian yang pertama, yakni NV. Maskapai Asuransi Indonesia yang kemudian pada awal 2004 sudah menjadi PT MAI PARK. Pada saat itu, sebagai perintis perusahaan asuransi kerugian nasional yang pertama, maka perusahaan ini harus bersaing dengan perusahaan asuransi asing yang unggul baik dalam faktor permodalan maupun pengetahuan teknis. Dengan berdirinya perusahaan asuransi kerugian nasional tersebut, keberanian pengusaha nasional dipacu untuk mendirikan perusahaan-perusahaan asuransi kerugian. Keberanian ini didukung pula oleh Peraturan Pemerintah bahwa semua barang impor harus diasuransikan di Indonesia. Pengaturan ini dimaksudkan untuk menanggulangi pemakaian devisa untuk membayar premi asuransi di luar negeri. Pada tahun 1953 berdiri pula perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam bidang reasuransi Belanda dan Inggris di Indonesia, pemakaian devisa untuk membayar premi reasuransi ke luar negeri juga masih tetap besar. Untuk menanggulangi hal ini, didirikanlah pada tahun 1954 sebuah perusahaan reasuransi profesional, yakni “PT. REASURANSI UMUM INDONESIA” yang mendapat dukungan dari bank-bank pemerintah. Lembaga yang tersebut terakhir ini mengeluarkan peraturan- peraturan yang mengikat untuk perusahaan-perusahaan asuransi asing untuk menggunakanjasa perusahaan reasuransi nasional. Langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam hal ini memberikan hasil yang diharapkan. Kegiatan PT. Reasuransi Umum

Indonesia pada tahun 1963 diperluas dengan kegiatan reasuransi jiwa. Pada saat PT. Reasuransi Umum Indonesia didirikan, banyak perusahaan-perusahaan asuransi kerugian nasional bermunculan, tetapi perkembangannya masih terhambat oleh persaingan yang berat dari perusahaan-perusahaan asuransi swasta asing. Pada waktu perjuangan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan milik Belanda. Perusahaan-perusahaan Inggris dinasionalisasi dalam peristiwa konfrontasi. Seiring waktu lahirlah kemudian berbagai perusahaan asuransi yang menjalankan usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan yang mewujudkan asuransi syariah ini bukan saja perusahaan yang dimiliki orang Islam, namun juga berbagai perusahaan milik non-muslim serta ada yang secara induk perusahaan berbasis konvensional ikut terjun usaha memberikan layanan asuransi syariah dengan membuka kantor cabang dan divisi syariah. Seiring dengan bergulirnya waktu dan ijtihad para pemerhati ekonomi Islam secara kontinyu, akhirnya mereka sampai kepada sebuah konsep yang dapat disepakati bersama serta menjadi acuan perasuransian syariah di dunia. Konsep tersebut populer dengan nama asuransi mutual, kerja sama (ta‟awuni), atau takmin ta‟awuni. Di negara Republik Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 (tepatnya Bulan Juli) memunculkan pemikiran baru di kalangan ulama dan praktisi ekonomi syariah ketika itu untuk membuat asuransi Islam. Hal ini dikarenakan operasional bank Islam tidak bisa lepas dari praktik asuransi yang sesuai yang sudah barang tentu harus sesuai pula dengan prinsip-prinsip syariah pula. Maka pada tanggal 27 Juli 1993 dibentuk tim TEPATI (Tim Pembentukan Takaful Indonesia) yang disponsori oleh Yayasan

Abadi Bangsa (ICMI), Bank Muamalat, Asuransi Tugu Mandiri dan Departemen Keuangan (yang pada saat itu diwakili oleh Pejabat Depkeu Firdaus Djaelani dan Karnaen A Perwataadmaja). Selanjunya beberapa orang anggota tim Tepati berangkat ke Malaysia untuk mempelajari operasional asuransi Islam yang sejak tahun 1984 telah beroperasi dan telah didukung penuh oleh Kerajaan Malaysia. Tim TEPATI ini kemudian memulai kerja mereka di bidang perekenomian syariah dengan modal 30 juta (masing-masing 10 juta dari ICMI, BMI dan Tugu Mandiri). Modal inilah yang digunakan untuk membiayai tim ke Malaysia untuk mengadakan Seminar dan persiapan-persiapan lain yang bersifat asuransi ke Depkeu. Setelah melakukan beberapa persiapan, akhirnya pada tanggal 24 Februari 1994 berdirilah PT Syarikat Takaful Indonesia sebagai holding company dengan Direktur Utama Rahmat Husen yang selanjutnya mendirikan dua anak perusahaan yatu PT Asuransi Takaful Keluarga (berdiri tanggal 25 Agustus 1994, dan diresmikan oleh Menteri Keuangan Mar`ie Muhammad) dan PT Asuransi Takaful Umum (berdiri pada tanggal 2 Juni 1995, dan diresmikan oleh Menristek/Ketua BPPT BJ Habibie di Hotel Shangri La). TEPATI ini mengadakan studi banding ke Malaysia pada tanggal 7-10 Agustus 1993 sebagai langkah awal pendirian,untuk melihat perkembangan dan sistem asuransi syariah di Malaysia yang dikelola oleh perusahaan atau syarikat Takaful Malaysia SDN, Bhd. Setelah melakukan studi banding TEPATI mendirikan PT. Syarikat Takaful Indonesia pada tanggal 24 Februari 1994, dengan nomor ijin usaha dan operasional berdasarkan SK. Menteri Kehakiman RI No. C2-6712.HT.01.01. Th. 1994 dan SIUP Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI No. 533/09-01/PB/VII/2000. Sebagai pelopor asuransi syariah di Nusantara, PT. Syarikat Takaful Indonesia telah melayani masyarakat dengan jasa perlindungan asuransi yang sesuai

dengan prinsip syariah dan menerapkan prinsip-prinsip murni syariah pertama di Indonesia, selama lebih dari satu dasawarsa, melalui dua perusahaan operasionalnya: PT Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa Syariah) dan PT Asuransi Takaful Umum (Asuransi Umum Syariah), sebagai anak perusahaan dari PT. Takaful Indonesia sebagai perusahaan induk (Holding Company). Keberadaan PT. Syarikat Takaful Indonesia secara de jure baru diakui dengan didirikan PT. Asuransi Takaful Keluarga yang bergerak di bidang asuransi jiwa syariah (Islamic Life Insurance Company) pada 4 Agustus 1994, dengan nomor ijin usaha dan operasional berdasarkan pada SK. Menteri Kehakiman RI No. C2- 9583.HT.01.01. Th. 1994 dan SK. Menteri Keuangan RI No. 385/KMK.017/1994 dan mulai beroperasi pada 25 Agustus 1994 ditandai dengan peresmian oleh Menteri Keuangan Mar‟ie Muhammad dan diikuti dengan pendirian anak perusahaan yang bergerak di bidang asuransi umum syariah (Islamic General Insurance Company) yaitu PT Asuransi Takaful Umum, dengan nomor ijin usaha dan operasional berdasarkan pada SK. Menteri Kehakiman RI No. C2-18.286.HT.01.01. Th. 1994 dan SK. Menteri Keuangan RI No. 247/KMK.017/1995 pada tanggal 31 Mei 1995, yang diresmikan oleh Menristek/Ketua BPPT Prof. Dr. B.J. Habibie pada 1 Juni 1995. Cukup panjang juga perjalanan takaful, yang hanya bermodal 2,5 milyar sebagaimana persyaratan minimal dalam undang-undang asuransi. Suka-duka dan tantangan sebagai pionir, telah dilalui dengan perangkat peraturan yang sangat minim, modal yang kecil, SDM yang sangat terbatas, dan pemahaman masyarakat akan asuransi syariah masih sangat kecil. Bahkan untuk menyebut kata takaful pun begitu susah, ada yang menyebut, taiful, takafur, takabur, tapakul, dan sebagainya.

Memasuki tahun ke-8 (delapan) pada 2001, barulah muncul asuransi syariah lainnya yaitu Mubarokah syariah, Tripakarta Cabang Syariah, Great Estern Cabang Syariah, Jasindo Cabang Syariah, BSAM Cabang syariah, Bringin Cabang syariah dan sebagainya. Perkembangan asuransi syariah dalam decade 2001 ke sini sungguh sangat mengembirakan, terutama karena bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya bank-bank syariah serta lembaga keuangan syariah lainnya seperti reksadana syariah, leasing syariah, obligasi syariah, penggadaian syariah, pasar modal syariah, koperasi syariah, selain BMT dan BPRS yang jauh sebelumnya sudah berkembang ke daerah-daerah. Dan, semakin lengkap dengan munculnya KMK baru dari Menteri Keuangan, yang secara resmi mengatur keberadaan asuransi yang dijalankan dengan prinsip-prinsip syariah. Perusahaan asuransi Takaful sampai dengan tahun 2001 awal merupakan pemain tunggal dalam asuransi syariah di Indonesia, namun peluang terbuka untuk usaha asuransi syariah dengan adanya kebijakan pemerintah melalui SK. Menkeu No. 268/KMK.06/2002 tanggal 7 November 2002, yang memberi peluang bagi perusahaan asuransi konvensional untuk menjalankan usahanya berbasis syariah melalui 3 (tiga) alternatif pendirian yaitu:  konversi langsung secara penuh dari asuransi konvensional ke asuransi syariah dengan mengubah akad dan menghilangkan unsur maisir, gharar, dan riba.  Membentuk langsung lembaga asuransi syariah.  Membuka kantor cabang asuransi syariah atau devisi asuransi syariah. Sejak pertama kali didirikannya Asuransi Takaful Indonesia yaitu pada tahun 1994 dengan diresmikannya PT. Asuransi Takaful Keluarga hingga sekarang sudah ada 37 (tiga puluh tujuh)

perusahaan asuransi syariah termasuk perusahaan reasuransi syariah di Indonesia, dengan rincian sebagai berikut : 1. Perusahaan asuransi jiwa syariah : a) Asuransi Takaful Keluarga, didirikan tahun 1994 b) Asuransi Syariah Mubarakah, didirikan tahun 2001 c) MAA Life Assurance, didirikan tahun 2000 d) AJB Bumiputera 1912 Syariah, didirikan tahun 2002 e) BRIngin Life Syariah, didirikan tahun 2002 f) Jiwa Asih Great Eastern Syariah, didirikan tahun 2002 g) BNI Life Syariah, didiikan tahun 2002 h) Simas Life Syariah, didirikan tahun 2005 2. Perusahaan asuransi jiwa yang mempunyai usaha syariah : a) Panin Life Tbk Syariah, didirkan tahun 2005 b) Allianz Life Syariah, didirikan tahun 2006 c) AIA Indonesia Syariah, didirikan tahun 2006 d) CAR Syariah, didirikan tahun 2007 e) Equity Life Syariah, didirikan tahun 2007 f) Mega Life Syariah, didirikan tahun 2007 g) Prudential Syariah, didirikan tahun 2007 h) Asuransi Takaful Umum, didirikan tahun 1995 i) Asuransi Tripakarta Syariah, didirikan tahun 2002 j) Asuransi Bringin Sejahtera Syariah, didirikan tahun 2003 k) MAA General Insurance, didirikan tahun 2003 l) Asuransi Binagriya Upakara Syariah, didirikan tahun 2003 m) Asuransi Jasindo Takaful, didirikan tahun 2004 n) Asuransi Central Asia Raya, didirikan tahun 2004 o) Adira Dinamika Insurance Syariah, didirikan tahun 2004 p) Asuransi Umum Bumida 1967 Syariah, didirikan tahun 2004 q) Staco Jasa Pratama Indonesia Syariah, didirikan tahun 2004 r) Asuransi Sinar Mas Syariah, didirikan tahun 2004

s) Asuransi Tokio Marine Syariah, didirikan tahun 2004 t) Asuransi Astra Buana Syariah, didirkan tahun 2005 3. Perusahaan asuransi kerugian syariah : a) Asuransi Tugu Pratama Indonesia Syariah, didirikan tahun 2005 b) Allianz Utama Syariah, didirikan tahun 2006 c) Asuransi Ramayana Syariah, didirikan tahun 2007 d) Bintang Syariah, didirikan tahun 2007 e) Parolamas Syariah, didirikan tahun 2007 f) Mega Utama Syariah, didirikan tahun 2007 g) Reasuransi Internasional Indonesia, didirikan tahun 2005 h) Reasuransi Nasional Indonesia, didirikan tahun 2005 i) Maskapai Reasuransi Indonesia, didirikan tahun 2006. Sedangkan pada tahun 2012 kurang lebih terdapat 37 perusahaan yang berbasis syariah. Beriringan dengan perkembangan tersebut, perusahaan asuransi syariah yang telah ada pada tanggal 14 agustus 2003 kemudian membentuk suatu wadah perkumpulan atau asosiasi yaitu Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI). AASI dibentuk selain wadah media komunikasi sesama anggota, juga secara eksternal sebagai wadah resmi untuk mewakili asuransi syariah, baik kepada pemerintah, legislative, maupun ke luar negeri. Terutama dalam rangka membangun kerja sama dengan lembaga– lembaga serupa diluar negeri yang menggunakan prinsip-prinsip syariah. AASI sebagai wadah tunggal asuransi syariah telah menyiapkan sertifikasi ahli asuransi syariah sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK)6, bekerja sama dengan BPPK DepKeu, LPKG Yayasan Artha Bhakti Depkeu, menyiapkan 6 Keputusan Menteri Keuangan Nomer:426/KMK.06/2003:tentang perizinan usaha asuransi dan perusahaan asuransi pasal 4 ayat (3) dan pasal 23 ayat (1).

edukasi program yaitu Certified Islamic Insurance Specialist (CIIS). Saat itu AASI telah memberikan Fertifkasi Ahli Asuransi Syariah kepada tujuh orang dengan gelar professional FIIS (Fellow Islamic Insurance Society), dan sekitar 20 Ajun Ahli Asuransi Syariah dengan gelar professional AIIS ( Ajunt Islamic Asurance Society). Perkembangan asuransi syariah di Indonesia berkembang dengan baik sejak didirikan tahun 1994 lalu. Perkembangan asuransi syariah di Indonesia tidak lepas dari tumbuh dan berkembang nya perbankan syariah. Dengan melihat perkembangan asuransi syariah, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui SK. Menkeu No. 268/KMK.06/2002 tanggal 7 November 2002, yang memberi peluang bagi perusahaan asuransi konvensional untuk menjalankan usahanya menjadi berbasis syariah. Dewasa ini dalam pertumbuhan asuransi syariah beberapa tahun ini sangatlah tinggi karena banyak orang yang sadar akan pentingnya mempunyai asuransi. Asuransi syariah sendiri juga mempunyai banyak keunggulan dibandingkan dengan asuransi non- syariah sehingga banyak sekali peminat yang berminat untuk memiliki asuransi syariah. Asuransi dapat menjadi investasi jangka panjang dan juga proteksi diri akan hal hal yang tidak diinginkan. Produk keuangan sendiri sudah menjadi kebutuhan manusia dan dewasa ini orang orang lebih selekif untuk menggunakan produk keuangan tersebut dengan menghindari hal hal yang berunsur riba Perkembangan dan pelaksanaan asuransi syariah di Indonesia masih mengalami kesulitan ataupun kendala sebagai suatu hambatan D. Analisis SWOT 1. Pengertian dan Konsep Analisis SWOT Analisa SWOT (SWOT Analysis) adalah suatu metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi

faktor-faktor yang menjadi kekuatan (Strengths), Kelemahan (Weaknesses), Peluang (Opportunities), dan Ancaman (Threats) yang mungkin terjadi dalam mencapai suatu tujuan dari kegiatan proyek/kegiatan usaha atau institusi/lembaga dalam skala yang lebih luas. Untuk keperluan tersebut diperlukan kajian dari aspek lingkungan baik yang berasal dari lingkungan internal maupun eskternal yang mempengaruhi pola strategi institusi/lembaga dalam mencapai tujuan. Dilihat dari sejarahnya dan penggunaannya saat ini, metode SWOT banyak dipakai di dunia bisnis dalam menetapkan suatu perencanaan strategi perusahaan (strategic planning) sehingga literatur mengenai metode ini banyak berkaitan dengan aspek penerapan di dunia bisnis meskipun pada beberapa analisa ditemukan pula penggunaan SWOT untuk kepentingan public policy. Metode SWOT pertama kali digunakan oleh Albert Humphrey yang melakukan penelitian di Stamford University pada tahun 1960-1970 dengan analisa perusahaan yang bersumber dalam Fortune 500. Meskipun demikian, jika ditarik lebih ke belakang analisa ini telah ada sejak tahun 1920-an sebagai bagian dari Harvard Policy Model yang dikembangkan di Harvard Business School. Namun pada saat pertama kali digunakan terdapat beberapa kelemahan utama di antaranya analisa yang dibuat masih bersifat deskripstif dan belum/tidak menghubungkan dengan strategi-strategi yang mungkin bisa dikembangkan dari analisa kekuatan-kelemahan yang telah dilakukan. Analisis SWOT merupakan bagian dari proses perencanaan. Hal utama yang ditekankan adalah bahwa dalam proses perencanaan tersebut, suatu institusi membutuhkan

penilaian mengenai kondisi saat ini dan gambaran ke depan yang mempengaruhi proses pencapaian tujuan institusi. Dengan analisa SWOT akan didapatkan karakteristik dari kekuatan utama, kekuatan tambahan, faktor netral, kelemahan utama dan kelemahan tambahan berdasarkan analisa lingkungan internal dan eksternal yang dilakukan. Walaupun terdapat beberapa metode penentuan faktor SWOT, secara umum terdapat keseragaman bahwa penentuan tersebut akan tergantung dari faktor lingkungan yang berada di luar institusi. Faktor lingkungan eksternal mendapatkan prioritas lebih dalam penentuan strategi karena pada umumnya faktor-faktor ini berada di luar kendali institusi (exogen) sementara faktor internal merupakan faktor-faktor yang lebih bisa dikendalikan. Kekuatan adalah faktor internal yang ada di dalam institusi yang bisa digunakan untuk menggerakkan institusi ke depan. Suatu kekuatan/strenghth (distinctive competence) hanya akan menjadi competitive advantage bagi suatu institusi apabila kekuatan tersebut terkait dengan lingkungan sekitarnya, misalnya apakah kekuatan itu dibutuhkan atau bisa mempengaruhi lingkungan di sekitarnya. Jika pada instutusi lain juga terdapat kekuatan yang dan institusi tersebut memiliki core competence yang sama, maka kekuatan harus diukur dari bagaimana kekuatan relatif suatu institusi dibandingkan dengan institusi yang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak semua kekuatan yang dimiliki institusi harus dipaksa untuk dikembangkan karena adakalanya kekuatan itu tidak terlalu penting jika dilihat dari lingkungan yang lebih luas. Hal- hal yang menjadi opposite dari kekuatan adalah kelemahan. Sehingga sama dengan kekuatan, tidak semua kelemahan dari institusi harus dipaksa untuk diperbaiki terutama untuk hal-hal yang tidak berpengaruh pada lingkungan sekitar.

Peluang adalah faktor yang di dapatkan dengan membandingkan analisa internal yang dilakukan di suatu institusi (strenghth dan weakness) dengan analisa internal dari kompetitor lain. Sebagaimana kekuatan peluang juga harus diranking berdasarkan success probbility, sehingga tidak semua peluang harus dicapai dalam target dan strategi institusi. Peluang dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan : a) Low, jika memiliki daya tarik dan manfaat yang kecil dan peluangpencapaiannya juga kecil. b) Moderate : jika memiliki daya tarik dan manfaat yang besar namunpeluang pencapaian kecil atau sebaliknya. c) Best, jika memiliki daya tarik dan manfaat yang tinggi serta peluangtercapaianya besar. Ancaman adalah segala sesuatu yang terjadi akibat trend perkembangan (persaingan) dan tidak bisa dihindari. Ancaman juga bisa dilihat dari tingkat keparahan pengaruhnya (serousness) dan kemungkinan terjadinya (probability of occurance). Sehingga dapat dikatagorikan : a. Ancaman utama (major threats), adalah ancaman yang kemungkinan terjadinya tinggi dan dampaknya besar. Untuk ancaman utama ini,diperlukan beberapa contingency planning yang harus dilakukan institusiuntuk mengantisipasi. b. Ancaman tidak utama (minor threats), adalah ancaman yang dampaknya kecil dan kemungkinan terjadinya kecil c. Ancaman moderate, berupa kombinasi tingkat keparahan yang tinggi namun kemungkinan terjadinya rendah dan sebaliknya. Sehingga dari kacamata analisa lingkungan eksternal dapat dijelaskan bahwa :

a. Suatu institusi dikatakan memiliki keunggulan jika memiliki major opportunity yang besar dan major threats yang kecil b. Suatu institusi dikatakan spekulatif jika memiliki high opportunity dan threats pada saat yang sama c. Suatu institusi dikatakan mature jika memiliki low opportunity dan threat d. Suatu institusi dikatakan in trouble jika memiliki low opportinity dan high threats. 2. Analisis SWOT Pada Asuransi Syariah di Indonesia Pengertian analisis SWOT adalah salah satu bentuk analisis dalam manajemen dengan menggunakan prinsip SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, and Threats). Analsis SWOT digunakan untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan. Dengan melihat kekuatan yang dimiliki serta mengembangkan kekuatan tersebut dapat dipastikan bahwa perusahaan akan lebih maju dibanding pesaing yang ada. Demikian juga dengan kelemahan yang dimiliki harus diperbaiki agar perusahaan bisa tetap eksis. Peluang yang ada harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh perusahaan agar volume penjualan dapat meningkat. Dan ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan haruslah dihadapi dengan mengembangkan strategi pemasaran yang baik. Apabila teknik swot analisis tersebut diterapkan dalam kasus menentukan tujuan strategi manajemen pemasaran dapat diutarakan sebelum menentukan tujuan-tujuan pemasaran yang ingin dicapai hendaknya perusahaan menganalisis : kekuatan dan kelemahan, peluang bisnis yang ada, berbagai macam hambatan yang mungkin timbul.

Kinerja perusahaan dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. SWOT adalah singkatan dari lingkungan Internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan eksternal Opportunities dan Thearts yang dihadapi dunia bisnis. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal Peluang dan Ancaman dan faktor internal Kekuatan dan Kelemahan. Asuransi syariah sudah mulai dikenal semenjak berdirinya Syarikat Takaful Indonesia pada tahun 1994. Pada tahun 2015 diperkirakan bahwa potensi penerimaan premi syariah di Indonesia akan mencapai US$ 1,20 miliar. Pencapaian posisi ini menempatkan pada posisi terbesar kedua setelah Malaysia yang diperkirakan oleh penelitian Institute of Islamic Banking and Insurance di London sebesar US$ 1,22 miliar. Tetapi jika dibandingkan dengan asuransi konvensional jumlah premi ini sangatlah kecil.7 Beberapa hal yang menjadi penyebab relatif rendahnya penetrasi pasar asuransi syariah dalam sepuluh tahun terakhir adalah rendahnya dana yang memback up perusahaan asuransi syariah, promosi dan edukasi pasar yang relatif belum dilakukan secara efektif (terkait dengan lemahnya dana), belum timbulnya industri penunjang asuransi syariah seperti broker-broker asuransi syariah, agen, adjuster, dan lain sebagainya, produk dan layanan belum diunggulkan diatas produk konvensional, posisi pasar yang masih ragu antara penerapan konsep syariah yang menyeluruh dengan kenyataan bisnis di lapangan yang terkadang sangat jauh dari prinsip syariah, dukungan kapasitas 7 Alif Reza, http://www.vibiznews.com dan http://prudentialindonesia.wordpress.com

reasuransi yang masih terbatas (terkait jua dengan dana) dan belum adanya inovasi produk dan layanan yang benar-benar digali dari konsep dasar syariah. Negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim seperti Indonesia, pada umumnya memiliki tingkat penetrasi dan tingkat density asuransi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini disebabkan oleh apa yang disebut sebagai halangan agama yaitu keyakinan agama yang tidak memperkenankan praktek asuransi konvensional. Selain dapat mengatasi hambatan agama tersebut, sifat alami asuransi syariah akan berpotensi untuk berkembang di Indonesia karena beberapa alasan antara lain mayoritas penduduknya beragama Islam akan cenderung menghormati solusi yang berasal dari agamanya sendiri, ekonomi Indonesia yang secara signifikan bergantung pada sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) akan cocok dengan pendekatan pengelolaan risiko melalui konsep tolong menolong dalam asuransi syariah, sifat alami asuransi syariah yang memungkinkan peserta mendapatkan bagian hasil akan lebih adil diterapkan pada masyarakat karena tidak secara berlebihan menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, era penerapan Good Corporate Governance (GCG) akan mendorong proses bisnis yang bersih sehingga berdampak kondusif bagi timbulnya asuransi syariah dan sifat asuransi syariah antara lain menghindarkan praktik-praktik yang mengandung unsur-unsur ketidakpastian dan judi akan sejalan dengan praktik usaha yang penuh kehati-hatian di lingkungan ekonomi global. Asuransi syariah yang menggunakan Al-Quran dan sunnah nabi sebagai rujukannya memiliki sumber inspirasi dan inovasi

yang tidak habis-habisnya dalam memberi kemaslahatan pada umat. Konsep dasar asuransi syariah terutama yang menggunakan sistem wakalah merupakan konsep asuransi yang akan terbebas dari ketidakpastian usaha di sektor asuransi, prinsip dasar asuransi syariah yang mendorong orang atau badan untuk saling tolong menolong sesama dengan bantuan operator asuransi syariah sangat berbeda dengan prinsip dasar asuransi konvensional yang memposisikan nasabah sebagai tertanggung dan perusahaan asuransi sebagai penanggung dan asuransi syariah memberikan kepastian kehalalan bagi para pesertanya.8 Sistem asuransi Islam takaful memiliki dua mekanisme utama yang merupakan prinsip dasar operasional perusahaan takaful yaitu asas al mudharabah dan asas tabarrru‟. Dengan adanya kedua prinisip dasar menjadikan sistem asuransi takaful ini selaras dengan hukum syariat. Selain dari itu, perusahaan takaful juga mempunyai konsep wakalah dan wadiah dalam menljalankan perniagaannya.9 a) Kekuatan Dalam upaya pengembangan operator asuransi syariah baru di Indonesia, yang dapat menjadi kekuatan positif adalah sebagai berikut : 1. Tenaga kerja profesional/ sumber daya manusia inti yang kompeten dan memilki integritas moral dan ghirah Islam, yang berada dalam sebuah teamwork yang solid. 2. Pemegang saham yang memiliki visi dan misi syariah yang jelas. 8 ibid 9 Nurul Ichsan, Takaful Konsep Asuransi Dalam Islam, Jakarta:Kalam Mulia, 2011

3. Kelompok pemegang saham mampu mengusahakan ”captive market” awal. 4. Kelompok pemegang saham diharapkan memiliki infrastruktur teknologi dan potensi tenaga ahli (mislanya: Fund manager). 5. Dalam aspek legal, sifat perjanjian yang memenuhi syarat syariah mampu memberi rasa aman kepaa peserta asuransi syariah, selain unsur duniawi semata. 6. Adanya unsur dakwah. 7. Produk asuransi bersifat transparan. Sebagai fakta dari kekuatan asuransi syariah adalah jika pada tahun 2000 jumlah asuransi yang berbisnis dengan berdasarkan prinsip syariah adalah sebanyak 4 buah. Sebagai perbandingan adalah pada tanggal 21 Agustus 2007 asuransi syariah yang sudah mendapatkan rekomendasi dari DSN MUI sebanyak 37 asuransi syariah, 3 reasuransi syariah dan 5 broker asuransi dan reasuransi yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. b) Kelemahan Sistem asuransi syariah dan “core team” asuransi syariah baru ini memiliki kelemahan yang masih dalam tahap peningkatan yaitu: 1. SDM pendukung (lapisan kedua,dst) belum banyak memahami bisnis syariah. 2. Dalam hal pemasaran, alternatif distributif relatif masih terbatas dibandingkan pola konvensional. 3. Kompleksitas dalam sistem administrasi syariah (misalnya perhitungan bagi hasil dan tingkat hasil investasi). 4. Permodalan yang terbatas akan mempengaruhi

5. Sistem/teknologi pendukung manajemen 6. Strategi bisnis 7. Ketersediaan infrasturktur (internal, eksternal, customer support,dll) Kekuatan dan kelemahan dalam memperluas jaringan bisnis asuransi syariah terutama di Indonesia, penjelasannya adalah sebagai berikut : SDM pendukung (lapisan kedua, dst.) belum banyak memahami bisnis syariah, dalam hal pemasaran, alternatif distribusi relatif masih terbatas dibanding pola konvensional, kompleksitas dalam administrasi syariah (misalnya: perhitungan bagi hasil dan tingkat hasil investasi) memerlukan dukungan sistem yang andal, permodalan yang terbatas akan mempengaruhi: 1. Sistem/teknologi pendukung manajemen. 2. Strategi bisnis 3. Ketersediaan infrastruktiur (internal, external, customer support, etc.) Apabila pemegang saham kurang mengharagi pentingnya investasi di bidang IT sebagai “modelling tools” dan “administration tools”, pengalaman langsung/penerapan model terhadap bisnis riil belum cukup (baru pada tahap teoritis), lemahnya”public relations” untuk mengkomunikasikan keunggulan LKS (ideloanya beralih dari “short term/hit and run marketing” menjadi “long term marketing/customer relationship”). c) Peluang Asuransi syariah di Indonesia sudah berjalan selama 14 (empat belas) tahun semenjak pertama kali didirikan pada tahun 1994 yaitu dengan diresmikannya PT. Takaful Keluarga. Dibandingkan dengan asuransi konvensional yang sudah beroperasi sejak tahun 1912 dengan berdirinya asuransi

Bumiputera maka usia asuransi syariah masih tergolong relative muda. Namun dilihat dari jumlah pertumbuhan perusahaan, asuransi syariah sangatlah menggembirakan yaitu 40 % setiap tahun sementara yang konvensional hanya 25 %.10 Melihat pertumbuhan yang pesat ini menunjukkan betapa besar peluang asuransi syariah untuk lebih berkembang lagi. Setidaknya ada dua faktor penting yang bisa menjadi momentum berharga bagi berkembangnya asuransi syariah di Indonesia, yaitu : 1. Ruang penetrasi produk asuransi di Indonesia masih sangat luas mengingat persentase pemegang polis individual di Indonesia baru mencapai kisaran tiga persen (6,6 juta) dari total penduduk sebesar 220 juta jiwa 2. Mayoritas penduduk Indonesia merupakan umat Islam, dan kehadiran produk yang sejalan dengan konsep serta nilai-nilai beragama berpeluang besar untuk bisa diterima oleh masyarakat luas.11 Sedikitnya masyarakat Indonesia yang ikut berasuransi menjadi peluang bagi asuransi syariah untuk meningkatkan pangsa pasar, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan jasa asuransi misalnya untuk kebutuhan meningkatkan pendidikan anak, meningkatnya biaya kesehatan dan lain-lainnya. Di samping itu besarnya penduduk Indonesia yang beragama Islam menjadikan asuransi syariah berpeluang besar untuk lebih berkembang lagi. Hal ini karena bagi orang muslim menjalankan aktifitas yang sesuai dengan tuntunan Islam 10 Muchamad Na,” Tumbuh Cepat Banyak Aral”. Hlm 92 11 Eddy KA. Berutu, “Prospek Cerah”, dalam Media Asuransi, September 2007, hlm. 25

tentunya akan menjadi pilihan utama, demikian juga dalam hal pilihan berasuransi tentunya seorang muslim akan lebih memilih yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu asuransi syariah dari pada asuransi konvensional yang selama ini masih diragukan kehalalannya. Keunggulan konsep asuransi syariah yang dapat memenuhi rasa keadilan juga menjadi peluang bagi berkembangnya asuransi syariah, misalnya konsep bagi hasil dalam asuransi syariah dimana jumlah yang dibagi tergantung hasil yang didapat sehingga tidak ada yang dirugikan. Konsep bagi hasil ini pula yang membuat perusahaan asuransi syariah dapat bertahan terhadap krisis ekonomi tahun 1997, sehingga banyak perusahaan asuransi konvensional mulai melirik produk asuransi syariah. Konsep yang sesuai dengan syariah ini pula yang menjadikan asuransi syariah tidak hanya hadir di negara yang berpenduduk mayoritas muslim melainkan juga di negara- negara yang berpenduduk non muslim. Hingga kini di seluruh dunia sudah ada sekitar 45 (empat puluh lima) asuransi syariah, misalnya di Singapura, Swiss, Amerika Serikat, Jeneva, Bahamas dan lain-lain.12 Peluang dari bisnis asuransi syariah di Indonesia adalah keunggulan konsep asuransi syariah dapat memenuhi peningkatan tuntutan fairness/rasa keadilan dari masyarakat, jumlah penduduk beragama Islam di Indonesia lebih dari 180 juta orang, meningkatnya kesadaran bermuamalah sesuai syariah, tumbuh subur khususnya pada masyarakat golongan menengah, meningkatnya kebutuhan jasa suransi karena 12 Hidayat Gunadi, dkk., “Gairah Takaful Bebas Ideologi”, dalam Gatra, 24 Oktober 2007, hlm. 28

perkembangan ekonomi umat, tumbuhnya lembaga keuangan syariah (LKS) lainnya seperti bank dan reksadana, kompetitor dalam bisnis asuransi syariah ini masih sedikit, berlakunya undang-undang ototnomi daerah yang kan memacu perkembangan ekonomi daerah, kebutuhan meningkatkan pendidikan anak, meningkatnya risiko kehidupan, meningkatnya bea-bea kesehatan (harga obat,dll), menurunnya rasa tolong menolong di masyarakat (tidak membudaya lagi), globalisasi (teknologi internet sebagai penunjang bisnis), adanya UU Dana Pensiun, dan “Employee Benefits” sebagai bagian dari paket perusahaan dalam rekrutmen karyawan. Sedikitnya masyarakat Indonesia yang ikut berasuransi menjadi peluang bagi asuransi syariah untuk meningkatkan pangsa pasar, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan jasa asuransi misalnya untuk kebutuhan meningkatkan pendidikan anak, meningkatnya biaya kesehatan dan lain-lainnya. Di samping itu besarnya penduduk Indonesia yang beragama Islam menjadikan asuransi syariah berpeluang besar untuk lebih berkembang lagi. Hal ini karena bagi orang muslim menjalankan aktifitas yang sesuai dengan tuntunan Islam tentunya akan menjadi pilihan utama, demikian juga dalam hal pilihan berasuransi tentunya seorang muslim akan lebih memilih yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu asuransi syariah dari pada asuransi konvensional yang selama ini masih diragukan kehalalannya. Sebagaimana disebut di atas, ada lebih dari 180 juta Muslim di Indonesia dan kesadaran akan keislamannya terus meningkat, merupakan peluang pasar yang lebar. Permintaan terhadap kehadiran lembaga keauangan syariah di berbagai tempat terus

meningkat. Krisis ekonomi dalam dua setengah tahun terakhir ini memperlihatkan bahwa Indonesia memerlukan konsep lain dalam menata perekonomiannya. Lembaga ekonomi syariah adalah pilihan yang paling sesuai. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pasar, di samping juga mendidik masyarakat, diperlukan lebih banyak bank syariah, – dan kini telah mulai bermunculan-, serta asuransi syariah sebagai „counterpart‟nya. Kehadiran lembaga keuangan syariah baru akan memacu persaingan yang sehat untuk pengembangan kualitas yang pada akhirnya akan menguintungkan bangsa dan negara. Asuransi Syariah di Indonesia merupakan peluang bisnis yang prospektif karena seiring dengan perkembangan ke arah stabilitas politik dan ekonomi, dengan jumlah penduduk lebih dari 180 juta jiwa, Indonesia merupakan salah satu portofolio investasi yang mulai kembali dilirik para investor manca negara. Kenyataan bahwa sekitar 90% penduduk beragama Islam dan bahwa kesadaran untuk mengekspresikan identitas kemuslimannya semakin meningkat, telah menjadi potensi pasar yang besar. Sebagai contoh, usaha di bidang makanan dan minuman berlabel halal, pakaian dan asesori muslim dan muslimah, perjananan haji dan umroh, pendidikan dan publikasi Islami, meningkat dengan pesat dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini. Di lain pihak, sebagian ummat Islam memerlukan jaminan bahwa segala interaksi muamalah yang dilakukannya dalam upaya mencapai kesejahteraannya, sesuai dengan syariah. Kebutuhan akan lembaga keuangan Islami bertambah kuat seiring dengan berkembangnya sektor industri jasa keuangan secara umum. Untuk memenuhi permintaan ummat tersebut, diperlukan lebih banyak bank dan asuransi syariah. Kehadiran

lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya dapat memacu persaingan yang sehat, yang akan meningkatkan kualitas produk dan pelayanan. Beberapa faktor lain yang merupakan peluang dan mendukung prospek asuransi syariah adalah: 1. Keunggulan konsep asuransi syariah dapat memenuhi peningkatan tuntutan rasa keadilan dari masyarakat. 2. Jumlah penduduk beragama Islam di Indonesia lebih dari 180 Juta orang 3. Meningkatnya kesadaran bermuamalah sesuai syariah, tumbuh subur khususnya pada masyarakat golongan menengah. 4. Meningkatnya kebutuhan jasa asuransi karena perkembangan ekonomi umat. 5. Tumbuhya lembaga keuangan syraiah (LKS) lainnya seperti perbankan dan reksadana. 6. Kompetitor dalam bisnis asuransi syariah masih sedikit. 7. Berlakunya undang-undang otonomi daerah yang akan memacu perkembangan ekonomi daerah. 8. Kebutuhan meningkatkan pendidikan (anak). 9. Meningkatnya resiko kehidupan 10. Meningkatnya bea-bea kesehatan (harga dolar, dll) 11. Menurunnya rasa ”tolong menolong” di masyarakat (tidak membudaya lagi) 12. Globalisasi (teknologi internet sebagai penunjang bisnis) 13. Adanya UU Dana Pensiun. 14. ”Employee Benefits” sebagai bagian dari paket perusahaan dalam rekrutmen karyawan.13 13 http://nitigama.wordpress.com/2010/02/11/prospek-bisnis-asuransi- syariah-takaful

Sebagaimana disebut di atas, ada lebih dari 180 juta Muslim di Indonesia dan kesadaran akan keislamannya terus meningkat, merupakan peluang pasar yang lebar. Permintaan terhadap kehadiran lembaga keauangan syariah di berbagai tempat terus meningkat. Krisis ekonomi dalam dua setengah tahun terakhir ini memperlihatkan bahwa Indonesia memerlukan konsep lain dalam menata perekonomiannya. Lembaga ekonomi syariah adalah pilihan yang paling sesuai. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pasar, di samping juga mendidik masyarakat, diperlukan lebih banyak bank syariah, – dan kini telah mulai bermunculan-, serta asuransi syariah sebagai „counterpart‟nya. Kehadiran lembaga keuangan syariah baru akan memacu persaingan yang sehat untuk pengembangan kualitas yang pada akhirnya akan menguintungkan bangsa dan negara. Persaingan. Pada saat ini, jumlah perusahaan asuransi jiwa di Indonesia ada 53. Salah satunya adalah PT Asuransi Takaful Keluarga yang merupakan satu-satunya perusahaan asuransi jiwa syariah di Indonesia sampai saat ini. Tabel 1 menunjukkan daftar perusahaan asuransi jiwa secara alfabet. Tiga dari empat perusahaan terbesar adalah milik negara, yang keempat masih berhubungan dengan program pemerintah. Mereka memiliki „captive market‟ atau pangsa pasar yang berkaitan dengan pemerintah. Dua diantaranya adalah perusahaan kawakan yang telah ada sejak jaman kolonial Belanda. Yang menarik dalah bahwa PT Asuransi Takaful Keluarga ternyata mampu menyisihkan 42 perusahaan lain yang sudah jauh lebih lama beroperasi.

d) Ancaman, Tantangan dan Hambatan Adapun ancaman yang akan dihadapi oleh asuransi Islam di Indonesia adalah: 1. Globalisasi, masuknya asuransi luar negeri yang memilki nilai kapital yang lebih besar dan teknologi yang lebig canggih sehingga membuat premi asuransi menjadi lebih murah. 2. Asuransi konvensional dan lembaga keuangan lainnya yang lebih efisien. 3. Langkanya ketersediaan SDM yang qualified dan memilki semangat syari‟ah. 4. Citra lembaga keuangan syariah yang belum mapan di kalangan masyarakat padahal ekspektasi masyarakat terhadap LKS sangat tinggi. 5. Sarana investasi syariah yang yang ada sekarang belum mendukung secara optimal utuk perkembangan asuransi Islam. 6. Belum ada UU dan PP yang secara khusus mengatur asuransi Islam. 7. Budaya suap dan kolusi dalam asuransi kumpulan (group insurance) masih kental. 8. Alokasi pengeluaran masyarakat untuk asuransi masih sangat terbatas, hal ini tampaknya berkaitan dengan masalah sosialisasi asuransi dan pengalaman berasuransi. Prospek asuransi Islam di Indonesia akan cerah dan semakin prospektif jika umat Islam dapat membaca dan memberdayakan peluang dan kekuatan yang dimiliki. Di samping itu, asuransi Islam juga harus bisa meminimalisir ancaman atau tantangan yang sudah dan akan muncul sekaligus memperbaiki kelemahan atau kekurangan yang ada. Sebagai sebuah lembaga keuangan syariah, asuransi Islam tidak boleh

berkutat pada dataran simbol-simbol keagamaan. Konsekuensi sebagai bagian dari lembaga keuangan syariah sangat tinggi. Oleh karena itu, konsistensi menjalankan usaha sesuai dengan syariah baik dalam manajemen, produk, investasi, promosi dan lain-lainjuga harus diperhatikan dan diaplikaskan. Sebagai lembaga keuangan yang tentunya juga berorientasi keutungan (profit oriented), asuransi Islam tidak boleh melupakan tujuan awal berdirinya asuransi Islam yang menggusung semboyan sosial oriented sebagai wujud ta‟awun „ala al birr wa at taqwa. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh industri asuransi syariah bersumber pada dua hal utama yaitu permodalan dan sumber daya manusia. Tantangan-tantangan lain seperti masalah ketidaktahuan masyarakat terhadap produk asuransi syariah, image dan lain sebagainya merupakan akibat dari dua masalah utama tersebut.14 1. Minimnya Modal Beberapa hal yang menjadi penyebab relative rendahnya penetrasi pasar asuransi syariah dalam sepuluh tahun terakhir adalah rendahnya dana yang memback up perusahaan asuransi syariah, promosi dan edukasi pasar yang relative belum dilakukan secara efektif (terkait dengan lemahnya dana), belum timbulnya industri penunjang asuransi syariah seperti broker- broker asuransi syariah, agen, adjuster, dan lain sebagainya, produk dan layanan belum diunggulkan diatas produk konvensional, posisi pasar yang masih ragu antara penerapan konsep syariah yang menyeluruh dengan kenyataan bisnis di lapangan yang terkadang sangat jauh dari prinsip syariah, dukungan kapasitas reasuransi yang masih terbatas (terkait jua 14 http://irfan-kurniadi.blogspot.com/2010/05/asuransi-syariah-prospek- tantangan-dan.html

dengan dana) dan belum adanya inovasi produk dan layanan yang benar-benar digali dari konsep dasar syariah. 2. Kurangnya SDM yang Profesional Terus bertambahnya perusahaan asuransi syariah merupakan kabar baik bagi perkembangan industri tersebut. Namun, sayangnya hal itu tidak diimbangi dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) asuransi syariah yang berkualitas. Seringkali, pembukaan cabang atau divisi asuransi syariah baru hanya didukung jumlah SDM terbatas. Berdasarkan data Islamic Insurance Society (IIS) per Maret lalu, sekitar 80 persen dari seluruh cabang atau divisi asuransi syariah belum memiliki ajun ahli syariah. IIS mengestimasi asuransi syariah Indonesia per Maret lalu memiliki sekitar 200 cabang dan hanya didukung 30 ajun ahli syariah. Jumlah yang cukup sedikit bila dibandingkan kondisi SDM di asuransi konvensional. Per Maret lalu, sebagian besar cabang asuransi konvensional telah memiliki sedikitnya seorang ajun ahli asuransi syariah. Jumlah tersebut sesuai dengan ketentuan departemen keuangan (Depkeu). Padahal, keahlian ajun ahli syariah sangat dibutuhkan dalam mendorong perkembangan inovasi produk asuransi syariah. Hal tersebut berdampak pada kurang berkembangnya produk inovatif di industri asuransi syariah. Saat ini, sebagian besar cabang atau divisi asuransi syariah lebih memilih untuk meniru produk asuransi konvensional lalu dikonversi menjadi syariah (mirroring). 3. Ketidaktahuan Masyarakat Terhadap Produk Asuransi Syariah Ketidaktahuan mengenai produk asuransi syariah (takaful) dan mekanisme kerja merupakan kendala terbesar pertumbuhan asuransi jiwa ini. Akibatnya, masyarakat tidak tertarik menggunakan asuransi syariah, dan lebih memilih jasa

asuransi konvensional. Itulah hasil riset Synovate mengenai alasan pemilihan asuransi syariah. Ketua Umum Asuransi Syariah Indonesia Mohammad Shaifie Zein mengatakan, dari hasil survei Synovate, sebagian besar responden tidak tertarik kepada asuransi jiwa syariah. 4. Dukungan Pemerintah Belum Memadai Meski sudah menunjukkan eksistensinya, masih banyak kendala yang dihadapi bagi pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Soal pemahaman masyarakat hanya salah satunya. Kendala lainnya yang cukup berpengaruh adalah dukungan penuh dari para pengambil kebijakan di negeri ini, terutama menteri-menteri dan lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa kampanye pemilu kemarin menyatakan mendukung ekonomi syariah, belum sepenuhnya mewujudkan dukungannya itu dalam bentuk program kerja tim ekonomi kabinetnya. Kendala lainnya adalah masalah regulasi. Penerapan syariah yang makin meluas dari industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem ekonomi konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk sistem ekonomi syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah membatasi. Saat ini, peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah untuk melakukan penetrasi dan ekpansi pasar. 5. Image. Salah satu tantangan besar bisnis asuransi syariah di Indonesia dan negara lainnya, menurut Zein, adalah meyakinkan masyarakat akan keuntungan menggunakan asuransi syariah. “Perlu sekali mensosialisasikan asuransi syariah

bukan saja berasal dari agama, tetapi memperlihatkan keuntungan.” Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa para pelaku ekonomi syariah masih menghadapi tantangan berat untuk menanamkan prinsip syariah sehingga mengakar kuat dalam perekonomian nasional dan umat Islamnya itu sendiri. Perkembangan asuransi syariah di Malaysia bisa disimak sebagai contoh yang bagus. Asuransi syariah di Malaysia mulai muncul pada tahun 1984, dimana Pemerintah Malaysia ketika menumbuhkan asuransi syariah terlebih dahulu membuat Takaful Act atau Islamic Banking Act baru kemudian dikeluarkan license pembukaan perusahaan. Berbeda dengan Malaysia, di Indonesia asuransi syariah berkembang dengan cepatnya sedangkan perundang-undangan khusus asuransi syariah belum ada hingga sekarang. Keadaan ini merupakan tantangan bagi berkembangnya asuransi syariah karena dikhawatirkan akan menimbulkan kesemrawutan. Menurut Agus Edi Sumanto, Sekretaris Jenderal Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia, payung hukum asuransi syariah masih sangat minim idealnya mesti ada undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi syariah.15 Izin pendirian perusahaan asuransi syariah yang mudah menjadikan banyaknya perusahaan asuransi syariah yang apabila tanpa dukungan aturan yang lengkap justru dikhawatirkan membawa dampak negatif. Pasar menjadi sesak dalam waktu singkat, iklim kompetisipun meningkat sehingga dikhawatirkan dalam kondisi ini para pemain mulai permisif terhadap praktek- praktek yang sesungguhnya tidak sesuai dengan syariah. Secara stuktural, landasan operasional asuransi syariah di Indonesia 15 Hidayat Gunadi, “Payung Hukum Sebatas SK”, dalam Gatra, 24 Oktober 2007, hlm. 30

masih menginduk pada peraturan yang mengatur usaha perasuransian secara umum (konvensional). Peraturan asuransi syariah yang masih menginduk kepada peraturan asuransi konvensional ini menyebabkan asuransi syariah terbentur ketentuan perpajakan yaitu tentang premi, sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perpajakan, penerimaan premi harus dicatat sebagai pendapatan perusahaan dengan demikian premi merupakan objek pajak. Perlakuan ini tidak sejalan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional yang menempatkan premi pada asuransi syariah bukan milik atau pendapatan perusahaan, melainkan tetap milik nasabah. Perusahaan hanya pemegang amanah untuk mengelola premi itu sehingga tidak bisa dijadikan objek pajak. Begitu juga dengan pembayaran bagi hasil kepada nasabah oleh Undang- undang Nomor 17 Tahun 2000 disetarakan dengan dividen perusahaan kepada pemegang polis, sehingga terkena ketentuan pajak sebesar 15 %. Padahal bila Dewan Syariah Nasional menetapkan premi asuransi syariah bukan objek pajak maka bagi hasilpun bukan objek pajak, karena bagi hasil akan menjadi biaya underwriting perusahaan yang bukan merupakan dividen. Juga menjadi tantangan bagi asuransi syariah adalah dalam hal mengembangkan produk asuransi yang memang beda dengan asuransi konvensional, sehingga adanya anggapan bahwa asuransi syariah hanya mensyariahkan produk asuransi konvensional dapat dieliminasi. Menurut Muhaimin Iqbal, Ketua Asosiasi Asuransi Syariah dan Agus Edi Sumanto, Direktur Utama Asuransi Takaful Keluarga, bahwa asuransi syariah hanya sekedar memodifikasi

produk asuransi konvensional.16 Dalam hal PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) asuransi syariah kebanyakan juga masih memodifikasi dari PSAK asuransi konvensional, karenanya perbedaan hakiki dari asuransi konvensional dengan syariah menjadi tidak terlihat misalnya dana tabarru‟ tidak bisa disajikan dalam laporan keuangan resmi yang ada hanya total premi demikian juga dengan entry bagi hasil tidak terlihat. Padahal PSAK ini penting untuk dimiliki asuransi syariah untuk membuat pengukuran kinerja asuransi syariah menjadi lebih valid.17 Modal yang kecil juga menjadi tantangan bagi perkembangan asuransi syariah di Indonesia. Di dalam Keputusan Nomor 426 Tahun 2003, Menteri Keuangan hanya mensyaratkan modal kerja perusahaan 2 milyar sehingga menurut Muhammad Syakir Sula, Ketua Islamic Insurance Society banyak yang asal membuka cabang syariah, padahal dengan dana sekecil itu perhitungan bisnis nya menjadi kurang masuk akal. Karena itulah Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) mendorong pelaku industri asuransi syariah untuk meningkatkan modal.18 Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal di bidang asuransi dan syariah sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan asuransi syariah di Indonesia, sayangnya menurut Walter L. Gaol, Direktur Asuransi Jiwa Great Eastern bahwa salah satu kendala penting yang dihadapi adalah 16 “Bukan Asuransi Peniru”, dalam Sharing, edisi Khusus Thn I – Oktober 2007, hlm. 26 17 “Bangkit Meski Tanpa Infrastruktur Memadai”, dalam Sharing, edisi Khusus Thn I – Oktober 2007, hlm. 29 18 Edi Santoso, “Asuransi Syariah Memerlukan Lompatan”, dalam Media Asuransi, September 2007, hlm. 27


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook