ganti rugi ongkos atau pembayaran menurut perjanjian yang tertentu (premi) kepada seseorang lain sejumlah uang/nilai berharga yang berlaku sama sebaliknya apabila terjadi sesuatu yang merugikan. Kejadian yang berlaku haruslah mempunyai unsur ketidakpastian. Contohnya kasus asuransi jiwa, kecelakaan yang mungin terjadi karena kebetulan atau tidak sengaja. Dengan kata lain kontrak asuransi adalah kontak diantara dua pihak yaitu pihak asuransi dan yang diasuransikan. Pihak asuransi bersedia membayar ganti rugi kepada pihak yang diasuransikan apabila terjadi suatu kecelakaan yang merugikan sebagai balasan dari ongkos atau pembayaran premi yang diberikan pihak yang diasuransikan.7 Menurut Husain Hamid Hisan asuransi selain merupakan sistem atau teori juga merupakan suatu kontrak (aqad). Beliau kemudian mengutip beberapa pendapat ulama tentang asuransi yang dalam bahasa Arab disebut aqd ta’min atau saukarah seperti mustafa ahmad zarqa yangmengatakan bahwa sistem asuransi yang dipahami oleh para ulama hukum adalah sebuah sistem ta’awun dan tadhomun yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa atau musibah. Tugas ini dibagikan kepada sekelompok orang dengan cara memberikan uang ganti rugi kepada orang yang tertimpa musibah. Kemudian Menurut beliau akad asuransi merupakan sarana atau tatacara untuk merealisasikan teori asuransi dan mewujudkan tujuan maksudnya. Beliau mengutip Undang undang Mesir pasal 747 yang mengartikan akad asuransi dengan akad yang dengan ketentuannya penaggung wajib memberikan sejumlah uang, ataqu upah atau imbalan lain yang bernilai uang kepada tertanggung atau pihal ketiga yang mendapat kuasa ketika adanya kejadian peristiwa yang telah dijelaskan dalam polis, apa yang diberikan penanggung tersebut 7 Afzal al-Rahman, Economic Doctrines Of Islam, Islamic Publication LTD, Lahore, 1982, hlm.18.
sebagai pengganti dari premi atau pembayaran yang diberikan tertanggung.8 C. Tujuan dan Kepentingan Asuransi 1. Perlindungan Diri, Harta Benda dan Perniagaan. Asuransi merupakan suatu keperluan dasar manusia, ketika terjadi suatu musibah maka manusia memerlukan asuransi untuk mengatasinya. Musibah itu dapat berupa kematian secara tiba-tiba, kelumpuhan, penyakit, pengangguran, kebakaran, banjir, badai, tenggelam, kemalangan jalan raya, kerugian keuangan, dan lain-lain. Seringkali mangsa dan keluarganya harus menanggung biaya untuk menutupi kekurangan biaya kemalangan itu, dan selalunya ekonomi mereka hanya sampai paras tertentu. Ini jelas menjadikan asuransi sangat diperlukan untuk diperdagangkan sebagai keperluan asas manusia yang melingkupi sangat luas aktiviti-aktiviti kehidupan manusia dan situasi-situasinya.9 Objektif seluruh asuransi adalah untuk membuat persediaan bagi menghadapi bahaya yang akan menimpa dalam kehidupan, serta transaksi-transaksi perjanjian yang dilakukan oleh manusia. Sebenarnya, bahaya kerugian itulah yang mendorong manusia berikhtiar dengan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan cara-cara yang selamat untuk melindungi diri dan kepentingan mereka. Cara-cara itu berbeda-beda sesuai bentuk kerugian. Sekiranya kerugian itu disadari lebih awal maka seseorang itu akan mengatasinya dengan langkah 8 Husain Hamid Hisan, Asuransi Dakam Hukum Islam, Terj. Aisyul Muzakki Ishak, CV. Firdaus, Jakarta, 1996, hlm. 3-9 9 Muhammad Nejatullah Siddiqi, Insurans in islamic economy, London, The Islamic Fondation, 1985, hlm. 59-60.
mencegah dan sekiranya kerugian itu sedikit, seseorang itu akan menanggungnya sendiri, tetapi sekiranya kerugian itu tidak dapat diduga dengan lebih awal serta banyak jumlahnya sehingga tidak boleh dicegah atau diatasi sendiri, tentunya ia akan menimbulkan kesukaran kepadanya.10 Keperluan untuk melindungi bahaya dan kerugian keuangan yang dihadapi oleh setiap orang adalah sama pentingnya dengan pemeliharaan undang-undang dan peraturan. Seperti yang dibincangkan diatas, manusia berkeinginan akan kepuasaan hidup, terutamanya kesenangan, keadilan, kemantapan ekonomi serta jaminan daripada kecelakaan dan perkara-perkara yang tidak menentu. Ketiadaan untuk memenuhi keperluan ini akan sebaliknya akan mempengaruhi kemantapan ekonomi. Hal ini juga akan membangkitkan perasaan tidak puas dan mengakibatkan ketimpangan sosial. Jika ini dibiarkan kepada pengusaha yang hanya mengejar keuntungan, bukan saja banyak orang miskin akan menjadi korban, tetapi orang yang berkemampuan juga turut menanggung derita akibat ketidakacuhan ini. Tentunya orang yang benar-benar memerlukan akan dieksploitasi. Langkah yang seharusnya diambil oleh negara ialah menyediakan asuransi dalam bidang yang keperluannya meluas. Langkah ini diambil sebagaimana negara memelihara undang- undang dan peraturan untuk kepentingan memantapkan peradaban dan bebas daripada apapun masalah keuangan.11 Tujuan utama asuransi ialah untuk melindungi segala risiko yang terbuka kepada kerugian dalam kehidupan seorang manusia. Pihak yang diasuransikan cuba untuk memindahkan 10Muhammad Muslehuddin, hlm. 36. 11ibid.
risiko kerugian itu kepada orang lain yang sanggup untuk menanggungnya dengan harapan mendapat keuntungan daripada tanggungan itu. Berdasarkan pengalaman atau pengiraan yang bersistem, semua agensi asuransi yang terlibat dalam perniagaan asuransi dan yang menanggung risiko orang lain mendapat keuntungan yang berpatutan selepas berlakunya sesuatu kejadian itu.12 Memandangkan perlindungan adalah suatu keperluan yang tidak boleh diambil ringan oleh setiap anggota masyarakat bagi menghadapi kemungkinan berlakunya pelbagai musibah atau tragedi maka antara salah satu jenis perlindungan yang dapat disertai selama ini oleh orang ialah perlindungan asuransi. Salah satu contoh keperluan seumpama ini adalah peruntukan undang-undang yang mewajibkan sesebuah kenderaan harus mempunyai perlindungan asuransi yang sah sebelum boleh digunakan di jalan raya. Begitu juga, institusi keuangan seperti bank, lazimnya akan mensyaratkan pelanggan mereka mengambil perlindungan asuransi yang cocok bagi melindungi harta apapun yang dibeli oleh pelanggan-pelanggan yang berkenaan melalui kemudahan pembiayaan atau pinjaman yang disediakan oleh bank yang berkenaan. Perlindungan asuransi ini biasanya disediakan oleh perusahaan-perusahaan asuransi.13 2. Kepentingan Ekonomi dan Simpanan Asuransi telah mempermudahkan urusan perdagangan, industri dan badan usaha perniagaan yang lain secara besar- besaran yang tidak mungkin terjadi tanpa pertolongan asuransi. Sebagian besar daripada tabungan asuransi diinvestasikan dalam sekuritas (bon-bon/saham) negara dan dalam saham-sahama 12Afzal al-Rahman, hlm.90. 13Mohd Fadzli Yusof, Takaful:sistem asuransi Islam, hlm. 6-7.
industri yang secara tidak langsung memberikan pertolongan kepada negara, penguasa lokal dan industri-industri.14 Asuransi memainkan suatu peranan yang penting dalam hal keuangan, mempengaruhi pasar saham dan pasar uang di dunia. Ia juga memberikan dana pembangunan kepada industri pokok dan digunakan dalam hal pendanaan proyek-proyek pemerintah.15 Sebahagian para pakar hukum asuransi berpendapat bahawa sebagian jenis asuransi yang ada merupakan salah satu cara di antara cara-cara penting dalam hal simpanan dan pembentukan modal. Pihak peserta asuransi (tertanggung) kadang melakukan kontrak asuransi bukan dengan maksud memperoleh perlindungan daripada peristiwa yang mengancam jiwa dan hartanya, tetapi dengan maksud sebagai simpanan dan pembentukan modal.16 D. Pandangan Ulama Mengenai Asuransi Konvensional Tidak ada pertentangan bahwa asuransi adalah suatu ide dan sistem yang berdasarkan kepada konsep memberi pertolongan dan perlindungan. Kedua konsep tersebut merupakan perkara yang sesuai dengan tujuan dan maksud syariat. Walaupun syariat menjadikan pertolongan sebagai kewajiban, namun cara dan pendekatan untuk memberi pertolongan itu dijelaskan oleh Islam supaya tidak menjadi suatu hal yang disangsikan dan terjadi penipuan terhadap manusia. Syariat Islam tidak hanya menentukan tujuan dan maksud untuk memberi pertolongan akan tetapi 14Afzal al-Rahman, hlm. 78-79. 15Mehr, K. I, Fundamentals of insurance, Illinois, Richard D. Irwin Inc., 1986, hlm 15. 16Husain Hamid Hisan, Asuransi dalam hukum Islam, hlm.20.
menentukan juga cara (wasilah) yang benar untuk mencapai tujuan yang baik itu. Pertentangan pendapat ulama yang menghalalkan dan yang mengharamkan sistem asuransi yang ada pada hari ini adalah bertitik tolak dari perbedaan pemahaman dan berlainan sudut pandang terhadap sistem atau peraturan kontrak asuransi itu sendiri. Golongan yang menghalalkannya dengan menitikberatkan kepada tujuan sistem asuransi yaitu kebajikan, kebaikan serta jaminan keselamatan jiwa dan harta benda. Sedangkan golongan yang mengharamkan menekankan pada unsur-unsur yang tidak sehat yang ada di dalam sistem asuransi seperti riba dan penipuan. Afzal al-Rahman memberikan komentar bahwa dalam masalah asuransi ini perlu dipertimbangkan tanpa bersikap berat sebelah kepada salah satu pihak di mana ia menyatakan pula bahwa syariat Islam telah menetapkan prinsip-prinsip umum yang menentukan syarat-syarat kontrak perniagaan atau perjanjian perdagangan, selagi kontrak pertukaran tidak melebihi batas-batas ini, ia dihukumkan halal dan sah. Asuransi walaupun dihukumkan halal dan sah namun terdapat unsur-unsur haram seperti riba, maisir, gharar oleh karenanya mestilah dibuat sebuah sistem asuransi yang sesuai dengan prinsip- prinsip Islam.17 Syekh Yusuf al-Qardhawi menulis bahwa Islam tidak menerima bentuk asuransi seperti yang sekarang ini dengan segala jenis aktivitasnya bukan berarti Islam menentang asuransi secara keseluruhannya, sama sekali tidak, yang ditentang Islam itu ialah beberapa prinsip dan caranya. Adapun jika ada cara-cara lain yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka sudah pasti Islam menyambutnya dengan baik. Jaminan sosial dalam Islam sebenarnya telah ada baik itu dilakukan oleh masyarakat dengan konsep takaful 17Afzal al-Rahman, hlm. 16-17.
(saling tolong menolong) ataupun dilakukan oleh pemerintah dan baitul mal. Baitul mal adalah asuransi secara umum untuk semua orang yang bernaung di bawah pemerintahan Islam.18 Muhammad Nejatullah Siddiqi menuliskan dalam bukunya Muslim Economic Thinking A Survey Of Contemporary Literature tentang beberapa peneliti asuransi (penulis) yang berpendapat bahwa asuransi tidaklah salah apabila ditinjau dari aspek prinsip dasarnya. Asuransi itu bebas dari unsur perjudian (maisir), bunga yang terkait dalam praktek perhitungan (riba) dan unsur ketidakjelasan (jahl) yang dapat dihindari, sementara itu unsur ketidakpastian (gharar) yang terkait tidaklah begitu besar untuk dapat mengharamkannya. Diantara penulis penulis tersebut termasuk didalamnya adalah Zarqa dalam buku Aqdu Ta’min (Saukarah) wa Mauqifu al-Syariah al-Islamiyah Minhu, Yusuf Musa (Fiqh al-Kitab wa Sunnah al-Buyu’ wa Mu’amalah al- Mu’asiroh), Ali Al-khafif (Ta’min), Muhammad al-Bahi (Nizam al- Tamin fi Hadyi Ahkam al-Islam wa Darurah al-ujtama’), Sanusi (Aqd ta’min fit Tasyri’ al-Islami), Ruhani (al-Masail al-Mustahdata), Tahawi (al- Iqtishad al-Islami Mazhaban wa Nizhoman wa Dirasah Muqaranah), Syeikh Mahmud Ahmad (Economic Of Islam: A Comperatif Study), M.A Mannan (Islamic Economic, Theory and Practice), Siddiqi (Insurance in Islamic Economic), Shahedi (at-Ta’min:Hukmuhu fi al-Fiqh al-Islam wa Ara al-Mazahib al-Islamiyah) dan Awad (at-Ta’min fi Itar al-Syariah al- Islamiyah).19 Beberapa penulis lainnya telah sepakat dengan pendapat seperti diatas dalam hal asuransi umum. Tetapi mereka berpendapat juga bahwa asuransi jiwa tidak boleh diterima karena ia melibatkan 18 Yusuf al-Qardhawi, al-Halal wa al-haram fi al-Islam, Maktabah Wahbah, Qahirah, 1413H/1993, hlm. 262-266. 19 Muhammad Nejatullah Siddiqi, Muslim Economic Thinking A Survey Of Contemporary Literature, The Islamic Faundation, United Kingdom, 1401H/1981, hlm.26
perjudian dan ketidakpastian serta bertentangan dengan konsep takdir di dalam Islam. Diantara penulis yang berpendapat demikian adalah Abu Zahroh (Usbu’ al-Fiqh al-islami wa Mahrojan Ibn Taymiyah), Ahmad Ibrahim (al-‘Audah ila al-Ta’min fi al-Syariah wa al-Qonun), Syaukat Ali Khan (al-Ta’min wa badiluhu fi Nazar al-Islam).20 Diantara ulama ada yang berpendapat bahwa dari aspek prinsipnya semua jenis asuransi terkait dengan unsur perjudian (spekulatif). Mereka juga mengutarakan ciri atau tanda bahwa asuransi tidaklah dapat diterima dan tidak dapat dipisahkan dari unsur riba dan gharar. Diantara ulama yang berpendapat demikian yaitu Syekh al-Bakheet (al-Ta’min wa Mauqifu al-Syariah al-Islamiyah Minhu), Abdullah al-Qalqeli (Usbu’ al-Fiqh al-Islami wa Mahrojan Ibn Taymiyah), Mustafa Zaid (al-Islam wa al-Istihrakiyah), Mufti Muhammad Syafi (Mas’ala esud), Jalal Mustafa al-Sayyad (Islam ke maashi tasawwurat).21 Syekh Muhammad al-Madani, rektor Universitas al-Azhar Mesir berpendapat bahwa masalah yang berhubungan dengan asuransi jiwa tidak sepantasnya diserahkan kepada individu saja untuk menetapkan hukum atasnya, tetapi sebaiknya diserahkan kepada para pakar dan cendikiawan yang terdiri dari ulama dan ekonom yang diundang khusus guna mengkaji masalah ini sedalam dalamnya dan kemudian mengumumkan keputusan yang telah disepakati. Inilah satu satunya cara yang dapat mengubah keputusan ijma’ yang mengharamkan asuransi. Jika tidak maka pegangan umat akan terus terpecah dua, baik pendapat yang lebih masyhur mengharamkan ataupun yang menghalalkan.22 20 ibid 21 ibid 22 Muhammad Muslehuddin, hlm. 151-152.
Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa asuransi dalam apa juga bentuknya merupakan satu contoh kerjasama dan pertolongan untuk masyarakat. Asuransi jiwa memberi faedah kepada pihak pembayar premi sebagaimana ia juga memberi faedah kepada perusahaan asuransi. Tidak ada celanya asuransi di sisi hukum Islam sekiranya ia bebas daripada riba yaitu, pihak peserta hanya mengambil kembali uang yang telah dibayarkan saja tanpa apapun pertambahan sekiranya dia masih hidup setelah habis tempo asuransinya; sekiranya dia mati, waris-warisnya akan menerima penggantiannya. Cara ini dibolehkan dalam hukum Islam.23 Abdullah Nasih Ulwan menulis beberapa ulama yang membolehkan asuransi antara lain: mustafa Ahmad Zarqa, Abdurrahman Isa, Muhammad Yusuf Musa dan Ali al-Khafif, sedangkan mereka yang mengharamkan antara lain Muhammad Ibn Abidin, Syekh Muhammad Al-Bakhit al-Muti’ (Mufti negara Mesir), Muhammmad Abu Zahroh, Isa Abduh, Muhammad Ali al-Bulaqi. Kemudian beliau memberikan ringkasan dan tarjih dan menyatakan bahwa asuransi (caqd al-ta’min) dengan segala macam dan jenisnya adalah washilah (metode) bagi usaha yang dilakukan dengan cara tidak benar, menerima harta tanpa kerja keras, memperoleh sesuatu tanpa ada sebab…hal ini sesuai benar dengan jenis usaha yang telah diharamkan shariat Islam. Maka segala hal yang berkaitan dengan usaha perusahaan asuransi adalah haram.24 Syekh Ali al-Khafif membuat kesimpulan mengenai asuransi: a. Asuransi adalah perjanjian yang baru yang tidak ada dalam nas yang tertentu. Oleh karena itu ia dihukum boleh 23ibid 24Abdullah Nasih cUlwan, Hukm al-Islam fi al-ta’min (as-saukarah), Dar al- Salam, Beirut 1400H/1980, hlm.9-44.
b. Asuransi adalah suatu perjanjian yang membawa kepada kebaikan dan tidak ada dibaliknya keburukan. Apabila ada kebaikan maka lahirlah hukum Allah yang membolehkannya. c. Ia telah menjadi kebiasaan yang sangat diperlukan demi kebaikan masyarakat luas ataupun individu. Adat kebiasaan adalah sumber hukum syariat d. Ia juga merupakan keperluan yang mendekati hal yang darurat yang mesti ada dan tidak ada unsur subhat di dalamnya. e. Dalam skim asuransi terdapat tanggungjawab yang dianggap lebih besar daripada kewajiban menepati janji menurut mazhab Maliki ia wajib dilaksanakan.25 Abdus Sami’ al-Misri memberikan pendapat bahwa sistem asuransi pada hari ini didasarkan kepada amalan riba yang dipelopori dan didukung oleh Yahudi semenjak awal. Orang Yahudilah yang mengajar supaya kita mengasuransikan semua benda, hinggakan manusia juga harus diasuransikan.. Di samping itu Yahudi juga membuat berbagai masalah dalam asuransi ini, seperti pembaharuan perjanjian dan sebagainya seperti yang berjalan dalam sistem asuransi kapitalis hari ini.26 Menurut para fuqaha sistem operasional perusahaan asuransi mengandung unsur riba fadl dan nasiah dari tiga segi pandangan: a. Akad asuransi adalah kesepakatan antara perusahaan asuransi dengan orang yang ditanggung dengan ketentuan dasar orang yang ditanggung membayar sejumlah uang (premi) sebagai pengganti sejumlah uang yang lain (uang ganti rugi) yang akan dibayar oleh perusahaan asuransi ketika terjadi suatu peristiwa. Dengan demikian ini menjadi jual beli uang dengan uang, jika 25 Abd al-Sami’ al-Misri, Perniagaan dalam Islam, terj. Ahmad Haji Abdullah, Dewan bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1993, hlm.137-139 26ibid., hlm. 146.
keduanya sama jumlahnya maka dinamakan riba nasa’ dan jika yang diberikan itu lebih banyak jumlahnya maka dinamakan riba al-fadl. b. Dalam asuransi jiwa apabila peserta dalam keadaan hidup maka dikembalikan sejumlah uang yang telah dibayarkannya ditambah jumlah tertentu, maka tambahan dari uang yang diberikan itu adalah riba. c. Kebanyakan praktek yang dilaksanakan oleh perusahaan asuransi berdasarkan riba seperti dana yang diinvestasikan dalam suatu perusahaan (pasar modal) yang keuntungannya mengandung bunga (riba), meminjam uang dengan jaminan polis asuransi disertai bunga (riba), jika pembayaran premi terlambat maka didenda uang (riba).27 E. Perbedaan Takaful Dengan Asuransi Konvensional Hasil kajian para cendikiawan muslim dan pakar ekonomi mengenai takaful dan asuransi konvensional antara lain mengemukan perbedaan antara takaful dan asuransi konvensional, yaitu sebagai berikut: 1. Operasional asuransi takaful berasaskan ajaran Islam, seperti menghilangkan unsur-unsur yang diharamkan. Sedangkan asuransi konvensional tidak berasaskan syariat sehingga operasionalnya perusahaan tidak dapat terhindar dari unsur yang dilarang oleh Islam, seperti unsur al-gharar, al-maisir dan al-riba. 2. Dari sudut kontrak, kontrak takaful adalah didasari atas prinsip al-takaful dan al-mudharabah, sedangkan kontrak asuransi konvensional adalah sebuah kontrak berdasarkan kepada perniagaan atau jual beli semata. 27 Husain Hamid Hisan, Asuransi Dakam Hukum Islam, , hlm. 127
3. Takaful mengamalkan prinsip saling jamin-menjamin, kerjasama dan saling bantu-membantu berlandaskan konsep tabarru’ di antara para peserta, sedangkan asuransi konvensional tidak ada pengamalan tabarru’ hanya perjanjian ganti kerugian oleh perusahaan asuransi. 4. Peserta takaful akan mendapat dua keuntungan yaitu keuntungan investasi dan bantuan manfaat keuangan, sedangkan peserta asuransi konvensional hanya mendapat satu keuntungan yaitu uang pengganti. 5. Takaful memiliki Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi untuk mengawasi skim dan pelaburan dana wang yang diperoleh, sedangkan asuransi konvensional tidak memiliki dewan ini. 6. Dalam takaful investasi dana berasaskan kepada sistem bagi hasil (al-Mudharabah), sedangkan dalam asuransi konvensional pelaburan dana berasaskan bunga (interest). 7. Dana yang terkumpul (premi) merupakan milik peserta dalam perusahaan takaful. Sedangkan dalam asuransi konvensional dana yang terkumpul dari peserta adalah menjadi milik perusahaan asuransi. 8. Dalam takaful uang yang diberikan kepada peserta berasal dari dana tabarru’, sedangkan dalam asuransi konvensional dana yang diambil adalah berasal dari uang milik perusahaan asuransi. 9. Keuntungan yang diterima oleh perusahaan takaful akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan perjanjian akad al- mudharabah, sedangkan dalam asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi milik perusahaan asuransi.28 28 , Nurul Ichsan, Antara Asuransi Konvensional dengan Takaful, dalam Jurnal Kordinat, Vol.8.no.2, KOPERTAIS Wil.1 DKI 2007, hlm.161-162
F. Kesimpulan Asuransi dapat diartikan sebagai usaha bersama dalam membagikan kerugian kepada beberapa orang secara merata melaui sumbangan yang ditujukan bagi dana bantuan keuangan bersama. Sistem ini dilaksanakan oleh sejumlah besar manusia yang telah bersiap untuk menghadapi suatu peristiwa yang tidak diinginkan. Jika sebagian mereka ditimpa peristiwa tersebut, maka semuanya saling menolong dengan pemberian uang mereka untuk dapat menutupi kerugian besar yang dialami oleh sebagian lain. Kontrak asuransi adalah kontrak diantara dua pihak yaitu antara peserta dengan perusahaan asuransi. Pihak pertama setuju untuk membayar ganti rugi pihak kedua apabila terjadi hal yang menimbulkan kerugian sebagai balasan biaya atau premium yang dibayar oleh pihak peserta asuransi. Kepentingan dan tujuan asuransi adalah untuk melindungi risiko dan kerugian keuangan yang dihadapi seseorang, ini dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia karena ketika terjadi peristiwa musibah maka manusia sangat memerlukan asuransi untuk mengatasinya. Kepentingan asuransi seperti ini adalah dianggap sama pentingnya dengan pemeliharaan atas undang undang dan hukum. Karena itu perlindungan asuransi adalah salah satu macam perlindungan yang tidak boleh diaanggap enteng oleh setiap anggota masyarakat untuk menghadapi kemungkinan terjadinya berbagai musibah atau tragedi. Perbedaan pendapat para ulama berasal dari ketidaksepahaman mereka dan ketidaksamaan dalam sudut pandang terhadap asuransi. Pendapat para ulama ini dapat dibagi atas tiga pendapat: 1. Pendapat yang melarang seluruh bentuk asuransi 2. Pendapat yang membolehkan sebagian saja
3. Pendapat yang membolehkan seluruh bentuk asuransi dengan syarat tidak terdapat unsur riba dan berdasarkan atas asa tolong menolong. Dalam hal ini penulis memberikan tarjih bahwa pendapat yang lebih mendekati kepada kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa apapun asuransi yang hanya berkonsepkan jual beli semata adalah tidak sesuai dengan hukum Islam, akan tetapi jika asuransi itu berasaskan kepada saling bantu membantu (mutual ooperation) dan tabarru’ maka asuransi itu dibolehkan cdengan syarat mekanisme operasionalnya perusahaan asuransi itu juga terbebas dari unsur riba, gharar dan maisir. Berdasarkan hasil kajian perbandingan antara takaful dan asuransi konvensional ini maka dapat dilihat antara keduanya memiliki perbedaan yang jelas serta dapat membuktikan bahwa takaful adalah suatu sistem perlindungan yang berlandaskan kepada ajaran Islam sehingga dapat diikuti oleh umat Islam, selain itu kontrak dan kegiatan perusahaan juga didasari atas prinsip-prinsip yang lahir dari Islam yaitu konsep tabarru’, al-takaful dan al- mudharabah.
BAB III AL-MUDHARABAH DALAM TAKAFUL A. Pendahuluan Agama Islam telah memberikan tuntunan dengan mensyari’atkan kepada manusia mengenai sistem dan akad perkongsian dalam mengatasi masalah dalam hal perdagangan atau bisnis (istilah pada saat ini) khususnya permodalan atau pendanaan yang dalam bahasa arab dikenal dengan istilah akad muqaradhah (qiradh) atau mudharabah. Kadang kala ada seseorang yang memiliki harta maupun dana keuangan, tetapi tidak mempunyai kemampuan lebih untuk dapat memproduktifkannya atau mejadikannya lebih bermanfaat lagi, terkadang juga ada seseorang yang tidak memiliki harta atau dana keuangan sebagai modal usaha, tetapi ia mempunyai kemampuan untuk mempergunakannya bahkan mengolah dan mengembangkan lebih besar lagi sehingga dapat memperoleh manfaat jauh daripada harta itu disimpan oleh si kaya. Oleh sebab itu, syari’at Islam membolehkan adanya sistem kerjasama dan permodalan seperti qiradh (mudhrabah) ini agar supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaat dan keberkahannya. Pemilik harta atau pemodal akan mendapatkan manfaat dengan adanya bagi hasil dari mudharib (orang yang diberi modal), sedangkan mudharib dapat memperoleh manfaat dengan pinjaman harta sebagai modal usaha. Dengan demikian terciptalah kerjasama antara modal dan kerja dan syariah Islam jelas akan membawa kberkahan bagi kedua belah pihak yang berakad dan orang lain atau masyarakat yang mendapat
untung dengan adanya sistem muamalah dan ekonomi sektor real yang berdampak pada pembangunan secara luas dari sebuah negara. Kemudian pada zaman modern ini juga telah lahir lembaga keuangan baik bank maupun non bank termasuk di dalamnya asuransi syariah. Dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan dana lembaga keuangan syari’ah (LKS) ini maka pihak LKS seperti asuransi syariah dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain dengan cara mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) dengan menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan syari’ah Islam maka perlu kiranya pembahasan mengenai mudharabah ini lebih dalam lagi dikaji sebagai ilmu pengetahuan. B. Definisi Mudharabah 1. Segi bahasa Al-Mudharabah berasal dari akar kata dharaba ( ) ضربyang artinya berjalan, bekerja atau menuntut. Perkataan lain yang sama maknanya adalah al-qard ()القرد.1 2. Segi istilah Dari segi istilah fuqaha memberikan arti mudharabah yaitu pemilik harta/ pemodal (rab/shohib al-mal) memberikan hartanya (ra’s al-mal) kepada orang lain (Mudharib) yang bekerja untuknya dan berdagang dengan hasil keuntungan nantinya akan dibagi diantara mereka berdua, atau juga dapat 1Ibn Manzur, Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram al-Ansari, Lisan al- Arab, Dar al-Ihya al-Turath al-Arabi Beirut , 1488H/1997, akar kata dharaba.
didefinisikan sebagai akad perkongsian bagi hasil dimana pihak yang satu memberikan harta (modal) dan pihak yang lainnya bekerja.2 Dalam istilah asuransi takaful mudharabah diartikan sebagai perjanjian atau kontrak antara perusahaan takaful yang bertindak sebagai al-mudharib atau pengusaha yang menguruskan skim-skim atau plan-plan takaful, membuat kegiatan investasi dan sebagainya dengan peserta-peserta yang bertindak sebagai shahib al-mal atau pemilik harta yang meyerahkan uang premi atau ra’s al-mal mereka untuk diurus dalam skim-skim atau plan-plan takaful yang mereka sertai. Dalam perjanjian itu juga disepakati persentase keuntungan yang akan dibagikan seperti 50%-50%, 30%-70%, 25%-75%. C. Konsep Mudharabah Dalam Islam 1. Dalil-dalil Mudharabah a. Al-Quran يَُوَءَااِلَُخُورَونَنِيفَ ْضَِرببُِوِلَن الَِلّفِهاْلَْر ِض يَْبتَغُوَن ِم ْن فَ ْضِل الَلِّه َوءَا َخُروَن Artinya: …Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah… 2 al-Hazlimah, Muhammad Awad, Fiqh al-mu’amalat wa nizam al-‘uqubat fi al- Islam, Dar Ammar, Amman, 1996, hlm. 62. 3 Al-Quran, Al-Muzammil : 20
الَلِّه فَ ْضِل ِم ْن َوابْتَغُوا نْْتَ اُِشُْرلِواُِوفَناْلَْر ِض َال َّصَلةُ ف فََواِإذْذَاُ ُقرُواِضاَلَلِّهَت ُ َِّ ًريا لَََل Artinya: …Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. ْ ُ لَْ َ َلَْ ُ ْ َُ ٌحا َ ْن اَْبتَغُوا فَ ْضًرَيل ِم ْن َِرّبب Artinya: …Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu… b. Hadits بن صه ب ن ب ه ق ل ق ل ر ول الله صلى الله ل ه و ل ثَلث ف هن البر ة الب ع إلى ل والم رضة وخَلط البر ب لش للب ت لا للب ع Artinya: Dari Suhaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: Tiga perkara di dalamnya terdapat keberkatan: 1. Menjual dengan pembayaran secara kredit, 2. Muqaradhah (nama lain mudharabah), 3. Mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual. 4 Al-Quran, Al-jumu’ah :10 5 Al-Quran, Al-Baqarah: 198 6 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz. 2 hlm. 768
ن بن ب س ق ل ن ال ب س بن بد المطلب إذا دفع م لا مض ربة اشترط لى ص حبه ن لا يسلك به بحرا ولا ي زل به وادي ولا يشتري به ذات بد رطبة فإن ف ل فهو ض من فرفع شرطه إلى ر ول الله صلى الله ل ه و ل فأ زه Artinya: Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jikalau memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan,menuruni lembah yang berbahaya,atau membeli ternak yang berparu-paru basah, jikalau menyalahi peraturan maka yang bersangkutan bertanggungjawab atas dana tesebut.Disampaikannyalah syarat-syarat tersebut ke Rasulullah SAW dan Beliau pun memperkenankannya. c. Ijma’ Telah diamalkan oleh manusia sistem qiradh (mudharabah) ini semenjak masa Rasulullah SAW hingga sampai saat ini, pada setiap zaman maupun tempat dan tidak ada satupun dari mereka yang mengingkarinya.8 2. Rukun dan Syarat Mudharabah a. Aqidain adalah dua orang yang berakad yaitu pemilik harta (rab/shohibul mal) dan pekerja (mudharib), syaratnya: 1) Harus berkemampuan sempurna dalam melaksanakan hak dan kewajiban 7al-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, juz. 1 hlm. 231. 8al-Hazlimah, Muhammad Awad, Fiqh al-mu’amalat wa nizam al-‘uqubat fi al- Islam, hlm. 63.
2) Berakal 3) Sudah mumayyiz b. Ma’qud ‘alaih adalah sesuatu yang menjadi objek akad yaitu usaha (amal) dan modal (ra’sul Mal), syarat pekerjaannya (amal): 1) Betul-betul salah satu jenis usaha atau pekerjaan 2) Lebih diutamakan usaha dalam sektor perniagaan 3) Tidak memberatkan pekerja (mudharib) dalam hal memperoleh keuntungan Adapun Ra’sul Mal adalah modal atau harta, syaratnya: 1) Berupa uang seperti dirham atau benda berharga lainnya yang dikenal pada masanya. 2) Diketahui kadarnya 3) Dapat dipastikan atau ditentukan kejelasannya c. Shigah yaitu ucapan ijab dan qabul, syaratnya : 1) Bersambungan atau bertalian antara ijab dan qabul 2) Dalam satu tempat atau majlis d. Ribh adalah keuntungan, syaratnya: 1) Keuntungan harus dibagi antara mereka berdua 2) Keuntungan harus dibagi sesuai yang disepakati dan atas kerelaan (taradhin) antara mereka berdua
3) Pembagian persentase keuntungan harus dijelaskan dan diketahui ketika berakad seperti 30%-70%, 25%-75%. 4) Keuntungan harus berdasarkan persen (%) bukan jumlah nilai yang tertentu.9 3. Jenis-jenis Mudharabah Secara umumnya terdapat dua jenis mudharabah: a. Mudharabah Mutlaqah yaitu bentuk kerja sama antara shahibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha,waktu dan daerah perniagaan yang mana artinya diberikan kekuasaan yang sangat besar kepada mudharib tersebut dalam menjalankan usahanya. e. Mudharabah Muqayyadah yaitu kebalikan dari mutlaqah dimana mudharib mendapat pembatasan dalam usahanya baik itu jenis, waktu dan tempat usaha oleh shahibul mal. 4. Hal-hal yang membatalkan akad Mudharabah a. Apabila salah satu pihak keluar atau memutuskan perjanjian b. Kematian salah satu pihak c. Pihak-pihak yang mengadakan perjanjian menjadi tidak memiliki kemampuan bertasarruf d. Rusak atau hilangnya modal e. Adanya pelarangan terhadap pemberi modal yang bangkrut.10 9 al-Hazlimah, Muhammad Awad, hlm.63-65. 10Ibid, hlm.71-72
D. Kedudukan Mudharabah Dalam Takaful 1. Dasar Hukum Usaha Perniagaan Akad atau kontrak takaful sebagai suatu perjanjian harus sesuai kepada landasan hukum syari’at yang berkaitan dengan urusan perniagaan dalam Islam. Karena itu akad takaful berdasarkan kepada konsep bagi hasil al-mudharabah. Prinsip bagi hasil ini adalah salah satu prinsip diantara beberapa prinsip yang menjadi dasar kepada perjanjian perniagaan dalam Islam. Sesungguhnya al-mudharabah dapat dilihat sebagai persetujuan peserta takaful untuk menyerahkan modalnya dalam bentuk pembayaran uang takaful kepada perusahaan yang mengelola dan menguruskan perniagaan takaful. Di bawah perjanjian yang sama akan dijelaskan persentase pembagian hasil keuntungan dari usaha perniagaan asuransi tersebut. Premi yang dibayar oleh peserta sebagai syarat menyertai berbagai produk takaful merupakan modal investasi di bawah konsep al-mudharabah. Akad al-mudharabah ini dapat diakui sah dari segi hukum Islam apabila sempurna segala rukun dan syarat-syaratnya. Disamping itu kaedah usul dam maslhahah perlu juga dipertimbangkan untuk menjamin pihak-pihak yang terlibat dalam akad mendapat keadilan, tidak teraniaya atau dizalimi. Azas taradin atau suka sama suka dan rela menjadi azas kegiatan pihak yang terkait dalam akad. Dilihat dari segi akad, perusahaan asuransi takaful pada dasarnya telah memenuhi segala keperluan rukun dan syarat. Rukunnya terdiri dari : a) aqidain atau dua orang yang berakad yaitu antara pemodal/pemegang polis dengan pengusaha/ perusahaan asuransi b) ma’qudun alaih atau pekerjaan atau perniagaan yang dijalankan
c) shigah yaitu ijab dan kabul, formulir yang dimateraikan diantara pemodal dan pengusaha d) untung Dari segi syarat, pemodal atau pengusaha yaitu pemegang polis dan perusahaan asuransi takaful menurut jumhur haruslah orang atau badan yang berkemampuan mengurus harta selain juga sudah baligh dan berakal. Mazhab Hanafi tidak mensyaratkan baligh/dewasa sebagaimana dalam kontrak- kontrak mu’amalah lainnya, hal ini memungkinkan untuk mengangkat wakil atau agen. Syarat untuk pekerjaan atau perniagaan yang dijalankan haruslah usaha yang dibolehkan syari’at. Dalam perusahaan asuransi takaful ini diawasi oleh dewan pengawas syariah yang bertugas mengawasi segala kegiatan agar tidak bertentangan dengan syariah. Manakala syarat atas modal mudharabah yaitu haruslah terdiri dari mata uang tunai dan diserahkan kepada pengusaha (perusahaan) setelah selesai akad dengan cara yang disepakati sesuai yang tercatat dalam fomulir dan diketahui jumlahnya. Modal mudharabah tidak boleh diambil daripada hutang milik pemodal yang ada pada pengusaha. Bagaimanapun jika hutang milik pemodal itu yang ada pada orang lain maka pemodal boleh mewakilkan pengusaha mengambil hutang tersebut dan dijadikan modal mudharabah. Begitu juga dari segi hukum, sah akad mudharabah jika modalnya dari harta wadi’ah (barang titipan) yaitu pemilik wadi’ah sebagai pemodal dan si penerima atau penyimpan wadi’ah sebagai pengusaha. Adapun syarat keuntungan tergantung kepada persetujuan kepada kedua belah pihak pada waktu akad. Apabila ia ditentukan oleh satu pihak saja, maka akad itu tidak sah dan apabila pembagian keuntungan tidak berdasarkan jumlah persentase (%) itu juga tidak sah. Kerugian pada dasarnya
ditanggung oleh pemodal saja kecuali dalam kasus-kasus tertentu seperti bencana alam atau kelalaian pengusaha dan hal itu terbukti secara jelas. Jika tidak menperoleh keuntungan, pemodal berhak mendapat kembali modalnya, sementara pengusaha tidak mendapat bayaran apapun. Dari sudut Islam apabila terjadi sesuatu diluar kemampuan manusia untuk menahannya maka pengusaha boleh meminta bantuan kepada institusi baitul mal untul mendapat bantuan untuk menyelesaikan masalah tersebut.11 2. Salah Satu Konsep Takaful Kedudukan kedua dari mudharabah dalam takaful adalah sebagai konsep dasar sistem asuransi secara Islam. Asuransi takaful didasarkan atas dua konsep yaitu konsep al-takaful dan al-mudharabah. Konsep Mudharabah yaitu pemodal (pemegang polis) menyerahkan uang (ra’sul mal) kepada pengusaha (perusahaan takaful) untuk diinvestasikan dalam usaha yang dibenarkan syari’at dan keuntungan (setelah diambil ongkos manajemen dan administrasi) akan dibagikan sesuai dengan persetujuan ketika akad itu dilakukan. Selain itu menurut konsep sistem asuransi secara Islam, perusahaan takaful juga dapat didirikan dalam bentuk syarikat al-‘inan. Definisi syarikat al-‘inan yaitu dua orang yang berkongsi pada satu harta kepunyaan mereka berdua untuk berniaga dengan harta itu untuk sebagai modal usaha dan keuntungannya dibagi antara mereka berdua. 12 Konsep al-mudharabah ini digunakan secara luas dalam kegiatan perusahaan asuransi takaful. Semua produk 11Hailani Muji Tahir, al-Mudharabah hukum dan perlaksanaannya dalam perusahaan al-takaful, dalam Isu syariah dan undang-undang, Siri 3, Pusat Teknologi Pendidikan UKM, Bangi, 1987, hlm.47-48. 12Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, Dar al-Fikr, Damshiq, 1989, hlm.797.
takaful menjanjikan pembagian keuntungan bagi setiap orang yang menjadi peserta, dan sebagian besar dana akan diolah dengan prinsip ini. 3. Sebagian Dari Kontrak Takaful Mudharabah termasuk dalam salah satu kontrak takaful yang mekanisme dan persetujuannnya dilakukan ketika peserta mengisi formulir yang diberikan oleh asuransi takaful dan menandantangani perjanjian itu. Dalam formulir tertulis bahwa perjanjian antara perusahaan takaful dan pemegang polis sesuai dengan hukum al-mudharabah. Dalam hal kontrak ini perusahaan takaful bertindak sebagai pihak pengusaha (al-mudharib) dengan menerima uang peserta-peserta dan mengelola asuransi takaful, membuat investasi dana dan sebagainya dan peserta-peserta bertindak sebagai pihak pemilik modal (sohib al-mal) dengan menyerahkan uang (ra’s al-mal) untuk dikelola yang kemudiannya dijadikan sebagai modal usaha perniagaan asuransi, diinvestasikan dan lain sebagainya. Dalam perjanjian tersebut, dijelaskan juga bagaimana persentase keuntungan dari hasil operasional takaful berkenaan yang akan dibagikan antara perusahaan takaful sebagai pengusaha dan peserta sebagai pemilik harta/modal, seperti 5:5, 6:4, 7:3. Guna memastikan bahwa akad takaful jelas dan tidak diliputi dengan unsur gharar yang dapat membatalkan akad, sumber-sumber keuntungan yang diperoleh dan yang kemudian akan dikongsikan itu, juga perlu ditentukan dengan jelas dalam akad. Peserta takaful sebagai pihak yang menyumbangkan modal diberitahukan tentang cara dan bagaimana keuntungan yang berhak dikongsinya diperoleh perusahaan dari perniagaan takaful yang dikelolanya. Selain itu dalam akad yang sama akan dijelaskan juga tentang bagaimana uang takaful yang dibayar oleh peserta takaful akan digunakan oleh perusahaan.
4. Mekanisme Operasional Kegiatan Perniagaan Perusahaan Takaful Sistem asuransi Islam takaful memiliki dua mekanisme utama yang merupakan prinsip dasar operasi perusahaan takaful yaitu asas al-mudharabah dan asas tabarru’. Dengan adanya kedua prinsip dasar ini menjadikan sistem asuransi takaful itu dapat selaras dengan hukum syari’at. Selain dari itu, perusahaan takaful juga mempunyai konsep wakalah dan wadi’ah dalam menjalankan perniagaannya, akan tetapi konsep ini sudah termasuk dalam teori al-mudharabah yaitu pemodal menyerahkan modal kepada pengusaha (perusahaan takaful) atas azas amanah (titipan) dan wakalah (perwakilan) untuk diinvestasikan dan hasil keuntungan akan dibagi sesuai perjanjian yang disepakati. Mekanisme perniagaan takaful dalam bentuk mudharabah ini dapat dilihat dari sumber keuangan perusahaan takaful yang berasal dari keseluruhan uang premi dan keuntungan investasi dari kumpulan uang premi (ra’sul mal). Kumpulan uang premi dibuat oleh pemegang polis sebagai pemodal (shahibul mal), sementara kegiatan investasi kumpulan uang tadi dikelola oleh perusahaan sebagai pengusaha (Mudharib). Keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan akan diberikan sebagiannya kepada setiap pemegang polis asuransi. Terdapat dua jenis akaun yang ada dalam proses mekanisme takaful yaitu AKP (Akaun Khas Peserta) dan AP (Akaun Peserta), kesemua uang peserta itu akan dimasukkan ke dalam dua akaun ini. Beberapa persen dari uang peserta akan dimasukkan ke dalam Akaun Peserta untuk tujuan investasi yang halal dan tabungan. Keuntungan akan dibagikan sesuai persentase pembagian untung dari kedua-dua akaun ini mengikut hukum al-mudharabah sebagaimana yang telah dijelaskan dalam perjanjian.
E. Efek Implementasi Mudharabah Dalam Takaful 1. Peserta selain mendapat jaminan perlindungan asuransi juga dapat menabung dan berkongsi untung. Secara umumnya plan Takaful adalah berbentuk perjanjian mudharabah jangka panjang yang mana peserta dapat mengumpulkan uang pada masa itu dan menabungnya secara berangsur-angsur dan berkala untuk digunakan nanti sebagai bekal apabila terjadi musibah baik itu kematian ataupun kerugian materi. Jika pemegang polis itu hidup sampai genap tempo matur dari plan takaful yang disertainya maka pendapatan dari simpanan yang terkumpul itu dapat digunakannya sebagai bekal menghadapi hari tua. Menurut hukum Islam masa kontrak itu haruslah ditentukan waktunya, oleh karena itu takaful memberikan tempo matur seperti 10 tahun,15 tahun, 20 tahun, 30 tahun, 35 tahun dan 40 tahun. Seseorang itu dapat memilih mana tempo diatas yang diambil bila hendak menyertai plan takaful. Perolehan manfaat dibawah plan takaful akan dibayar kepada peserta atau ahli warisnya apabila terjadi salah satu peristiwa berikut a. Peserta itu meninggal dunia. Bila terjadi kematian maka ahli waris mendapat dua bagian pertama berasal dari dana mudharabah (Akaun Peserta) dan kedua dari dana tabarru’ (Akaun Khas Peserta) b. Genap tempo penyertaan (matur). Bila peserta itu masih hidup dan telah lunas seluruh pembayaran angsuran takafulnya, maka ia akan mendapatkan kembalinya uang yang dibayarkan itu ketika jangka waktu matur yang ia tentukan telah sampai waktunya ditambah dengan uang hasil penanaman modalnya
dengan prinsip bagi hasil (mudharabah) di perusahaan takaful. 2. Peserta tetap mendapat kembali uangnya meskipun kontrak dibatalkan Walaupun peserta memutuskan kontrak secara sepihak karena sesuatu hal, maka semua uang yang ia berikan akan dikembalikan disertai dengan keuntungan menabung atau bagi hasil (mudharabah). Dengan demikian uang peserta tidak akan hilang atau hangus. Adapun yang tidak dikembalikan hanyalah uang tabarru’ yang telah ia berikan sesuai dengan perjanjian akad takaful. Dalam asuransi takaful tidak dikenal istilah peserta membayar harga polis asuransi, oleh karena pada prinsipnya peserta berkongsi untung (mudharabah) dengan perusahaan sesuai dengan amoun yang disepakati dan matur yang ia tetapkan. Amoun yang harus ia bayar guna mengganti kerugian harta benda juga sesuai dengan perkiraan pasar dan harga terkini. 3. Kegiatan perusahaan sesuai dengan syari’at dan unsur yang diharamkan seperti riba, gharar (ketidakjelasan) dan maisir (judi) dapat dihilangkan a. Unsur Riba Unsur riba dapat dihilangkan jika diaplikasikannya konsep mudharabah dalam perniagaan asuransi. Telah diakui oleh sebagian para ulama bahwa terdapat unsur riba dalam aktivitas-aktivitas pengelolaan maupun investas dana pada asuransi konvensional. Sedangkan di dalam asuransi takaful sistem operasional dan pengelolaan dana yang diterima oleh perusahaan dari masyarakat (peserta) berprinsipkan kepada sistem bagi hasil (al-Mudharabah) sehingga sistem asuransi ini menjadi jelas dasar hukum kehalalannya dan
terhindar dari sistem riba (interest) yang di larang. Selain itu dalam setiap investasi dana di perusahaan-perusahaan atau usaha lain yang telah disahkan oleh Dewan Pengawas Syariah juga didasarkan kepada sistem bagi hasil (al- Mudharabah). b. Unsur Gharar Dalam asuransi konvensional premi ialah harga yang ditetapkan oleh pihak pengasuransi untuk mengambil alih risiko dan menanggung apapun kemungkinan kerugian yang tertulis di dalam kontrak asuransi. Apabila bayaran premi telah dibuat dan risiko itu diterima oleh pihak pengasuransi, uang premi itu tidak boleh dipulangkan jika tidak lunas sesuai tempo yang ditetapkan atau tidak terjadi peristiwa. Banyak kasus yang mana pihak yang diasuransikan tidak mendapat kembali bayaran preminya. Menurut hukum Islam ini termasuk aqad gharar karena tidak jelas penggantian uang (ma’qud alaih) yang merupakan salah satu rukun dan syarat perniagaan. Sedangkan dalam takaful uang premi adalah modal mudharabah yang nantinya akan dipulangkan kepada peserta ditambah keuntungan dari hasil perkongsian itu. Dengan demikian uang pemberian peserta takful itu tidak hilang atau hangus. c. Unsur Maisir Islam menganggap perjudian jika seseorang pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia dan mendapat begitu banyak uang asuransi sedangkan ia belum melunasi semua bayaran premi yang ditetapkan. Begitu juga keuntungan perusahaan asuransi berasal dari pengalaman penanggungan (underwriting experince) dimanap erusahaan dapat memperoleh untung atau rugi berdasarkan tuntutan/klaim yang seolah-olah bergantung kepada nasib
(peristiwa). Untung dari nasib adalah seperti berjudi. Sedangkan keuntungan yang diperoleh perusahaan takaful tidaklah berasal daripada jumlah peristiwa yang terjadi atau berdasar kepada premi yang ditolak ongkos pembayaran tuntutan dan ongkos-ongkos lainnya (underwriting profit) melainkan berasal dari perolehan keuntungan perjanjian al- mudharabah. Keuntungan yang diperoleh peserta juga berdasar kepada konsep al-mudharabah. Keuntungan bagi kedua belah pihak ini dengan demikian tidak berdasarkan kepada sesuatu yang tidak pasti seperti nasib (maisir) melainkan tergantung kepada keuntungan perniagaan dengan konsep al-mudharabah, ini adalah sesuatu hal yang halal di sisi agama Islam. F. Kesimpulan Mudharabah merupakan aktivitas bisnis yang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah. Dalam Mudharabah terjadi kerjasama antara pemodal (shahibul al-maal) dengan pekerja (mudharib) dimana keuntungan yang diperoleh akan dibagi hasilkan sesuai dengan nisbah yang telah disepakati. Sesuai dengan perkembangan zaman, mudharabah dimodifikasi dengan mengikutkan peran lembaga intermediasi, seperti halnya perbankan, asuransi dan lembaga keungan syariah lainnya.Mudharabah ini dengan demikian digunakan sebagai salah satu sistem operasional yang diaplikasikan di asuransi syariah guna pengganti instrumen bunga/riba yang berkembang pada saat ini. Penerapan akad mudharabah dalam asuransi syariah disamping guna mengaplikasikan sistem muamalah yang sesuai dengan syariah Islamiah juga menjadi keuntungan perlindungan dan keuangan yang dapat diperoleh peserta asuransi dari perspektif bisnis dan ekonomi
nasional. Selain itu perjanjian mudharabah dalam kontrak asuransi syariah jelas akan memberikan keuntungan investasi perusahaan yang lebih bermanfaat berasal dari sebagian premi masyarakat yang akan dikembalikan lagi kepada peserta.
BAB IV TABARRU’ DALAM TAKAFUL A. Pendahuluan Manusia selalu berusaha memperoleh keuntungan sebanyak mungkin tanpa mengindahkan nilai nilai keagamaan dan nilai nilai kemanusiaan. Tak terkecuali dengan pendirian asuransi konvensional juga bertujuan utama untuk memperoleh keuntungan, walaupun konsep dan tujuan dari asuransi itu pada awalnya adalah untuk menolong orang lain yang ditimpa kesusahan. Konsep dan tujuan asuransi ini adalah sama dengan konsep tabarru’ dalam Islam yaitu kosep sumbangan ikhlas mengharap keridhaan Allah SWT untuk membantu individu lain yang dalam kesusahan. Umat Islam pada saat sekarang amat memerlukan sistem ekonomi yang sesuai denga syariat Islam, karenanya pendirian bank bank syariah adalah dalam usaha untuk memenuhi keperluan ini. Selain itu keperluan masyarakat Islam terhadap jasa perlindungan asuransi juga semakin meningkat sehingga lahirlah suatu sistem asuransi secara Islam yang berdasarkan kepada prinsip al-takaful. Prinsip ini kemudian dipakai sebagai nama untuk asuransi secara Islam. Dalam asuransi takaful ini selain ada konsep mudharabah juga ada konsep tabarru’ sebagai bentuk kerjasama tolong menolong, bantu membantu sesama kaum muslimin yang berdasarkan kebajikan. Dengan konsep tabarru’ ini maka takaful menjadi suaru asuransi yang benar benar tidak hanya mencari keuntungan, tetapi lebih sebagai jaminan perlindungan peserta. B. Definisi Tabarru’ 1. Segi Bahasa Tabarru’ berasal dari akar kata برعyang bererti tinggi ilmu, kemuliaan, atau keelokan. تبرع: Tabarru’ dengan pemberian, berarti melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak wajib dilakukan atau
melakukan sesuatu tanpa mengharap dan meminta balasan. 1 Pengertian ini ditegaskan dalam kitab Mu’jam al-Wasit tabarru’ diartikan dengan memberikan sesuatu tanpa meminta balasan.2 Dalam kitab Lisanu al-Arabi, تبرعdiartikan juga sebagai memberikan sesuatu tanpa mengharapkan balasan atau melakukan pekerjaan yang tidak wajib atasnya. Seperti ucapan: aku melakukan hal itu karena semata mata hanya untuk berbuat kebajikan dan kebaikan. 3 Lebih jelas lagi diterangkan dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyah تبرعsecara bahasa diambil dari akar kata برع, seperti kata barra al rajulu artinya seseorang itu lebih tinggi ilmu dan lain sebagainya daripada sahabat sahabatnya. Dan seperti perkataan aku mengerjakan seperti ini sebagai tabarru’ artinya perbuatan itu sebagai tathawwu’ (sunnah dan bukan wajib), tabarru’ dalam satu urusan berarti melakukan perbuatan tanpa mengharap balasan atau penggantian.4 2. Segi Istilah Dari segi istilah belum ada fuqaha yang meletakkan ta’rif bagi tabarru’, tetapi mereka hanya memberikan makna berbagai macam jenis tabarru’ seperti al-wasiat, al-waqf, al-hibah, dan lain sebagainya, seluruh ta’rif dari berbagai macam jenis dari tabarru’ ini dibatasi (maknanya) hanya pada apa yang menjadi asasnya sahaja. Oleh kerana itu makna tabarru’ di kalangan fuqaha selari dengan makna yang mereka berikan kepada berbagai jenis tabarru’ tidak terkeluar dari bentuk tabarru’ iaitu seorang mukallaf menyerahkan harta 1 al-Munjid fi al-lughah wa al-aclam, Dar al-Mashriq, Beirut, 1987, hlm.43. 2 Ibrahim Mustafa, Hamid Abd al-Qadir, Ahmad Hasan al-Zayyat, Muhammad Ali. al-Najjar, al-Mu’jam al-wasith, al-Maktabah al-Islamiyah, Istambul, t.th., hlm.50 3Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram al-Ansari Ibn Manzur,. Lisan al- Arab. Juz 12. Beirut: Dar al-Ihya al-Turath al-Arabi, 1488H/1997.hlm.380. 4 Wizarah al-Awqaf wa al-Su’un al-Islamiyyah. al-Mausu’ah al-fiqhiyyah. Juz 10. Zat al-Salasil. Kuwait, 1407H/1986.hlm. 65
atau manfaat bagi orang lain tanpa mengharap penggantian dengan tujuan utama untuk kebajikan atau kebaikan.5 Lafaz lain yang mempunyai kaitan erat dengan tabarru’ ialah tathawwu’ yang berarti nama bagi apa-apa yang disyariatkan sebagai bentuk tambahan (ziyadah) atas hal yang fardhu atau wajib. Dan ia adalah salah satu bagian dari berbagai macam jenis tabarru’, oleh karenanya tabarru’ dapat menjadi sesuatu yang wajib, tidak wajib dan juga menjadi sesuatu yang tathawwu’ dalam ibadah-ibadah, yaitu ibadah sunnah (nawafil) yang kesemuanya merupakan tambahan atas segala yang fardhu dan wajibat. 6 Istilah tabarru’ kemudiannya dipakai sebagai salah satu prinsip dasar asuransi secara Islam dan diamalkan secara luas dalam operasional perusahaan takaful. Dalam kaitannya dengan asuransi takaful maka secara istilah tabarru’ diartikan sebagai memberi sumbangan, dan memberikan sesuatu secara suka rela. Ini bermakna bahawa peserta takaful akan setuju untuk memberikan sebagian uang preminya dengan bagian yang sudah ditentukan sebagai tabarru’ guna melaksanakan tanggungjawabnya untuk menolong dan menanggung peserta lain yang mengalami musibah kerugian. Sejalan dengan itu tabarru juga adalah persetujuan peserta takaful untuk memberikan sejumlah uang dalam bentuk derma/sukar rela dalam jumlah yang telah dipastikan atau seluruh jumlah uang angsuran takaful atau sumbangan takaful. Hal ini dilakukan dengn maksud untuk mencapai tujuan saling menanggung seperti yang dimaksudkan dalam konsep takaful. Oleh karenanya, tujuan dari tabarru sebagaimana yang ditentukan dan ditetapkan dalam kontrak takaful adalah untuk membolehkan peserta menjadikan sumbangannya itun sebagai bantuan dan menolong peserta peserta 5 Ibid 6 Ibid
lain yang mungkin menderita suatu kerugian atau musibah baik itu bnecan alam atau malapetaka.7 C. Konsep Tabarru’ Dalam Islam Agama Islam menuntut supaya umat Islam berbuat kebajikan, saling bekerja sama dan tolong menolong dalam perkara perkara yang baik serta dalam meningkatkan ketakwaan. Saling bekerja sama dan tolong menolong dalam bentuk harta merupakan salah satu perbuatan yang sangat di cintai oleh Allah SWT karen hal itu akan membawa kepada kesejahteraan dan kemakmuran kaum muslimin seluruhnya. Bentuk dan cara untuk saling bekerjasama dan tolong menolong dalam hal harta benda seperti zakat, wakaf, sodaqoh, hibah yang kesemuanya didasarkan atas niat ikhlas semata mata demi untuk mendapatkan keredaan Allah SWT tanpa mengharapkan balasan atau gantian dari harta yang telah diberikan. Perbuatan memberikan harta benda atau kemanfaatan suatu benda yang dilakukan bukan karena suatu kewajiban dan tidak untuk mengharapkan balasan atau ganjaran berupa harta benda dalam Islam disebut dengan perbuatan tabarru’ selain dikenal juga dengan istilah tathowwu’, karena itulah banyak pembahasan mengenai perbuatan tabarru’ yang disebut juga sebagai al-tathowwu’. Tabarru’ ini adalah perbuatan yang dilandaskan kepada Al-Quran dan secara praktek telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yang disebutkan dalam al-Sunnah. Dibawah ini akan diterangkan lebih jauh mengenai konsep tabarru’ dalam Islam secara umum disertai dengan pembahasan para fuqaha tentang tabarru’. 1. Dalil-dalil Tabarru’ Tabarru’ adalah salah satu dari bermacam jenis kebaikan yang disyariatkan oleh Islam dengan dalil-dalil berdasarkan al-Qur’an, al- Sunnah dan ijma’. Dalil-dalil tersebut antara lain. 7 Mohammad Fadzli Yusof. The principle of islamic insurance. Seminar issues in islamic economi: Islamic banking and insurance. Economic Society International Islamic Universiti Malaysia, Petaling Jaya, 27-29 Disember 1985.hlm. 7
a. Al-Qur’an َوتَ َعاَونُْوا َعل َى الِبِّر َوالَتّْقَوى َوَل تَ َعاَونُْوا َعل َى اِلْثِم َوالعُ ْدَوا ِن Artinya : Dan hendaklah kamu bertolong-tolongan untuk membuat kebajikan dan bertaqwa, dan janganlah kamu bertolong-tolongan pada melakukan dosa (maksiat) dan pencerobohan. Allah telah memerintahkan untuk saling bekerjasama dalam berbuat kebajikan, yaitu segala perbuatan ma’ruf yang dilakukan bagi orang lain baik dengan menyediakan harta benda ataupun kemanfaatan. b. Hadits فَِأأيتََنَْهَِفَِصابَاافَُسَقََقبااَِعَلْنلعُ َِدفميََاُتَريَأََرصَِْرمُّسدْنًوضوَُاَقلفَِِِِاَبمبلَََااْيلّبَِوتََرعُأْإَُِِممُُِّرنرِّن:أبفَََِأِوَحتََصِدْقبَيىاَاُلتُلثَنّإِأَِاَْْبّْربن ِنًضِاشَصْئَعُلَِِّبمَىَْيَتربَاَلرََلّرَحوَُبََِضلْْسََعأيُلَْياَِصتلِوَلّأَوَُْوبَْصسَعَلََملّْناَهَمًَُهالَيمََاوقَتَْسقتََُّطاأَْصَِمَّلدُُىرقْهَُو اأََلْمُقْْصنْرلََََُهبولاِيََوََهوَِافلأَايلُِْنْبّرتَقَاياَأْعُُِكبَوََلَلوِِميفُْنوََهرَاسبُِيثبِاِللَْوََماللْعَلُّيرُِوووََىواِبْفُِبنأَْواقَلايََُّسلطْبِيعِفَِتََلم ََصواَلَّصد ِدََّقضيْيًقاعُِفَمَغُرْيََلرِف ُاأََلْنُّفوَُقََرالِءيُبََواِفع . ُمُتَجنََماِّوَحٍل َعفِلَيِوى Artinya: Diriwayatkan daripada Ibnu Umar r.a katanya: Umar telah mendapat sebidang tanah di Khaibar kemudian dia datang mengadap Nabi s.a.w untuk 8al-Quran, al-Maidah 5: 2. 9Muslim, al-sahih muslim, kitab (al-wasiah) 25, bab (al-waqf) 958.
minta tunjuk ajar tentang cara pengelolaannya, katanya: Wahai Rasulullah! Saya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar. Belum pernah saya memperolehi harta yang lebih baik daripada ini. Apakah cadangan kamu mengenai perkara ini? Baginda bersabda: Jika kamu suka, jaga tanah itu dan kamu sedekahkan manfaatnya. Lalu Umar mengeluarkan sedekah hasil tanah itu dengan syarat tanahnya tidak boleh dijual dan dibeli serta diwarisi atau dihadiahkan. Umar mengeluar sedekah hasilnya kepada fakir miskin, kaum kerabat dan untuk memerdekakan hamba juga untuk orang yang berjihad di jalan Allah serta untuk bekal orang yang sedang dalam perjalanan dan menjadi hidangan untuk tetamu. Orang yang mengurusnya boleh makan sebahagian hasilnya dengan cara yang baik dan boleh memberi makan kepada temannya dengan sekadarnya Hadits diatas berkenaan tentang sebidang tanah yang diberikan oleh oleh Umar Bin Khattab kepada kaum musliminin sebagai harta wakaf yang tidak boleh dijual, dibeli, diwarisi dan dihadiahkan, perbuatan sedekah ini merupakan salah satu jenis tabarru’ yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Harta yang disedekahkan ini kemudiannya akan menjadi milik umum dan dapat diambil kemanfaatannya oleh masyarakat luas. Pemberian berupa wakaf ini pahalanya akan terus mengalir walaupun orang yang memberi itu sudah meninggal dunia selama harta atau benda itu masih dipergunakan dan diambil kemanfatannya . Inilah yang disebut dengan sedekah jariah. c. Ijma’ Telah disepakati oleh seluruh umat Islam atas disyariatkannya tabarru’, dan tidak ada seorang juapun yang memungkirinya sehingga dapat dikatakan bahwa tabarru’ ini telah dikenal luas sebagai amalan yang sangat dianjurkan oleh Islam prakteknya dalam masyarakat muslim di seluruh dunia.10 2. Jenis-Jenis Tabarru’ a. Tabarru’ dengan benda b. Tabarru’ dengan manfaat 10Wizarah al-Awqaf wa al-su’un al-Islamiyah, al-Mausucah al-Fiqhiyah, Juz. 10, hlm. 66.
c. Tabarru’ secara langsung atau berangsur-angsur d. Tabarru’ yang dikaitkan dengan setelah kematian.11 3. Rukun Tabarru’ Tabarru’ pada dasarnya adalah sebuah akad dan fuqaha telah berbeda pendapat dalam jumlah rukun-rukun tabarru’ ini. Jumhur berpendapat bahwa sesunggunya ada empat macam rukun Tabarru’, iaitu: a. Al-Mutabarru’ ialah orang yang berwasiat, orang yang memberi hibah, orang yang memberi wakaf, orang yang memberi pinjaman. b. Al-Mutabarru’ lahu ialah orang yang menerima wasiat, orang yang menerima hibah, orang yang memberi pinjaman. c. Al-Mutabarru’ bihi ialah apa yang diwasiatkan, apa yang dihibahkan, apa yang diwakafkan, apa yang dipinjamkan, atau apa yang serupa dengannya. d. Sighah ialah apa yang mendasari, menyusun dan membentuk tabarru’ dan menjelaskan kemauan al-mutabarru’. 12 4. Masalah Kontrak Tabarru’ Dalam kaedah umum hukum Islam syarat sah kontrak adalah adanya barang yang dikontrakkan ketika kontrak itu dibuat dan pengelolaan atas barang-barang yang tidak berwujud adalah hukumnya batal, baik ia dibuat dengan cara jual beli, hibah ataupun gadai, hal ini berdasarkan larangan Rasulullah SAW terhadap dagangan sesuatu yang tidak ada pada seseorang, karena barang yang dijual itu tidak ada ketika kontrak dibuat. Akan tetapi Golongan Maliki meletakkan syarat ini hanya pada urusan- urusan yang melibatkan pertukaran harta. Adapun tentang kontrak- kontrak tabarru’ seperti hibah, wakaf dan gadai mereka membolehkan barang yang dikontrakkan itu tidak perlu ada ketika kontrak dibuat. Mereka mengatakan ia memadai sebatas kemungkinan yang barang itu akan ada pada masa yang akan datang.13 11ibid. 12ibid., hlm. 67. 13Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, Dar al-Fikr, Damshiq, 1989,juz 4, hlm. 173-175.
Dalam masalah pengecualian kemanfaatan tabarru’ bihi golongan ulama Hambali membolehkan kepada orang yang membuat tabarru’ membuat pengecualian pada sebagian manfaat daripada barang yang didermanya itu, biarpun manfaat itu tidak diketahui. Ini berdasarkan firman Allah SWT : 14……ما على المحسنين من سبيل Terjemahan: …Tidak ada jalan sedikit pun bagi menyalahkan orang yang berusaha memperbaiki amalanya… Oleh itu seseorang yang memberi hibah, seseorang yang membuat wakaf dan seseorang yang bersedekah boleh mensyaratkan manfaat daripada barang yang dihibah, atau di wakaf atau disedekah itu digunakan untuk dirinya sendiri selama dia hidup. Demikian juga seseorang yang membuat wakaf boleh mengecualikan tambahan yang terbit daripada harta wakaf itu seperti (buah dan sebagainya) untuk dirinya sendiri selama dia hidup, ataupun mengecualikan manfaat rumah yang dihibah untuk dirinya sendiri selama dia hidup.15 5. Hukum Realisasi Niat Tabarru’ Seseorang yang berniat untuk memberikan sesuatu kepada seseorang yang berhak memperolehnya, tetapi belum dapat merealisasikan niatnya itu tidaklah ia berdosa kerana al-mutabarru’ tidak wajib merealisasikan apa- apa yang diniatkannya sebagai sedekah atau tabarru’at, maka siapapun yang mengeluarkan sedekahnya dan bertekad untuk memberikannya kepada orang-orang miskin dianggap sebagai tatawwu’. Seperti ini jugalah hukum hadiah dan pemberian pertolongan bagi orang-orang yang berhak, tidak ada kewajiban untuk pelaksanaannya melainkan hal itu perbuatan yang sangat disukai sehingga tidak batal niatnya.16 14al-Quran, al-Taubah 9:91 15Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, hlm. 210. 16cAbdullah bin Yusuf al-Ajlani, al-Lu’lu’ al-makin min fatawa Abdullah bin Abd al-Rahman al-Jibrin, Dar al-Furqan, Riyad, 1997/1417M, hlm. 153.
D. Kedudukan Tabarru’ Dalam Takaful 1. Sebahagian Dari Akad Takaful Dalam akad takaful disepakati dan dimateraikan perjanjian pembagian keuntungan berdasarkan al-mudarabah dan sekaligus disepakati bahwa peserta akan setuju memberikan sebahagian tertentu dari sumbangan atau uang yang dibayarnya dimasukkan ke dalam dana keuangan kebajikan bersama yang ditujukan khusus untuk menolong para peserta, dan bentuk akad perjanjian ini dibuat atas konsep tabarru’. Dengan demikian tabarru’ telah termasuk kedalam akad perjanjian takaful yang dimateraikan dengan jelas. Dalam asuransi takaful persetujuan peserta untuk tabarru’ digabungkan dalam akad dan diperakui atau dilafazkan pada saat peserta tersebut menyertai takaful. Sebagai akad tabarru’ maka uang pemberian peserta tidaklah boleh ditarik kembali atau dipulangkan hal ini sesuai dengan pendapat Yusuf al-Qardhawi bahwa tabarru’ hukumnya sama dengan hibah oleh kerana itu apabila seseorang melakukan perbuatan yang sifatnya tabarru’ haram hukumnya ditarik kembali atau diganti dengan jumlah yang tertentu.17 2. Salah Satu Prinsip Utama Takaful Kesemua sistem rancangan perlindungan yang digambarkan oleh asuransi takaful hanya dapat dijalankan di dalam operasional perusahaan takaful melalui konsep tabarru’. Dengan konsep tabarru’ sebahagian dana peserta akan dimasukkan ke dalam akaun khusus yang dipergunakan sebagai sumber dana keuangan bersama bagi menolong peserta-peserta takaful yang mengalami musibah. Kegiatan ini adalah sesuai dengan tujuan asuransi yaitu usaha untuk saling menanggung, bekerjasama dan tolong menolong dalam satu kumpulan organisasi masyarakat. Oleh karena itu aplikasi tabarru’ dalam takaful ini bukan saja sesuai dengan tujuan asuransi, tetapi juga sejalan dengan konsep persaudaraan dalam Islam. 17 Yusuf al-Qardhawi, al-Halal wa al-haram fi al-Islam, Maktabah Wahbah, Qahirah, 1413H/1993, hlm. 15.
Dengan demikian dapat dikatakan bahawa tabarru’ merupakan salah satu prinsip utama dalam sistem asuransi Islam takaful. Sebagai suatu prinsip dalam takaful, tabarru’ memiliki kedudukan yang penting dalam proses berjalannya suatu perusahaan asuransi yang sesuai dengan hukum Islam. Apabila sistem prinsip al-mudharabah dapat memberikan keuntungan kepada peserta sebagai seorang yang memberikan modal (sohib al-Mal), maka dengan konsep tabarru’ peserta takaful akan dapat memperoleh jaminan keselamatan dan manfaat bantuan keuangan yang berasal dari dana khusus yaitu dana para peserta dalam rekening khusus peserta yang memang dikumpulkan sebagai bentuk derma tanpa mengharapkan gantian. Dengan prinsip ini maka unsur unsur yang diharamkan syara’ dapat dihapuskan dan niat untuk saling menjamin akan dapat diamalkan. 3. Mekanisme Operasional Kegiatan Perusahaan Takaful Sistem asuransi Islam memiliki dua mekanisme utama yang merupakan prinsip dasar operasional perusahaan takaful yaitu mudharabah dan tabarru’. Dengan adanya kedua prinsip dasar ini menjadikan sistem asuaransi takaful dapat selaras dengan huku syara’ dan berbeda keadaannya dengan asuransi konvensional. Selain itu perusahaan takaful juga mempunyai konsep wakalah bilujroh dalam menjalankan bisnisnya, akan tetapi konsep wakalah ini termasuk juga dalam teori al-mudharabah yaitu pemodal menyerahkan modal kepada pengusaha atas dasar amanah dan mewakilkan (wakalah bil ujroh) untuk diinvestasikan, dan keuntungan dibagi sesuai yang disepakati. Prinsip al-mudharabah digunakan secara meluas dalam kegiatan perusahaan takaful. Semua produk takaful menjanjikan pembahagian keuntungan bagi setiap orang yang menjadi peserta, dan sebahagian besar dana akan diolah dengan prinsip ini. Dalam perjanjian diantara perusahaan dengan peserta, pihak perusahaaan adalah mudharib sedangkan peserta adalah sahibul mal dengan menyerahkan uang premi atau ra’sul mal untuk dikelola dalam skim atau plan takaful.
Dalam perjanjian itu dimateraikan sekaligus bagaimana keuntungan yang akan dibagikan sesuai dengan perjanjian.18 Sebahagian lain dari operasi perusahaan takaful dijalankan dengan prinsip tabarru’, ini berarti sebahagian uang akan menjadi sumbangan atau derma yang tidak diharapkan keuntungan dan kembaliannya. Dengan prinsip tabarru’ ini perusahaan takaful hanya sebagai pengurus dana kebajikan. Sesuai dengan tujuan dari tabarru’ itu sendiri yaitu untuk mewujudkan dana keuangan bagi menyediakan bantuan bersama, maka dana inilah yang akan dibayarkan kepada peserta yang menyertai takaful. Sesuai dengan prinsip tabarru’ sebagai dasar operasional perusahaan takaful, peserta tidak memikirkan soal untung atau mendapatkan kembali modal yang disumbangkannya. Semua kembali pada kebijakan manajerial perusahaan takaful dalam hal pemberian hadiah, hibah, hadiah hiburan ataupun sebaliknya. Asas tabarru’ adalah lebih mudah dan tidak menimbulkan masalah jia dilaksanakan oleh perusahaan, karena fungsi sebenarnya adalah saling membantu secara kolektif. Mereka yang menjadi peserta dan tidak mengalami musibah sewajarnya menolong yang lain.19 E. Efek Implementasi Konsep Tabarru’ Dalam Asuransi Takaful Tabarru’ telah diaplikasikan dalam kegiatan perniagaan asuransi Islam takaful. Dalam pelaksanaannya selam ini, tabarru’ telah memberi dampak yang mendalam pada perusahaan asuransi takaful sehingga sistem operasionalnya memiliki perbedaan dan kesitimewaan daripada asuransi biasa, dampak atau efek ini menunjukan bahwa ajaran Islam memang sempurna dan melingkupi segala permasalahan yang ada di muka bumi. Efek atau dampak tersebut terlihat dalam bebera hal berikut dibawah ini. 18 Hailani Muji Tahir, al-mudharabah hukum dan perlaksanaannya dalam syarikat al takaful dalam Isu syariah dan undang-undang. Siri 3. Bangi: Pusat Teknologi Pendidikan UKM. 1987, hlm. 52-53. 19 ibid
1. Merealisasikan Falsafah Asuransi Syariah Menghidupkan nilai-nilai yang ada dalam falsafah asuransi Islam dan merealisasikan nilai-nilai falsafah itu dalam suatu sistem asuransi perlindungan terhadap diri dan harta yang dimiliki oleh kaum muslimin, demi terciptanya masyarakat yang sejahtera dan memiliki rasa persaudaraan. Falsafah asuransi Islam berasaskan nilai-nilai ajaran Islam yang berlandaskan dan berpedomankan Kitabullah dan sunnah Rasul. Falsafah ini menjunjung tinggi nilai-nilai sosial, kemanusiaan, kebajikan dan kesucian. Ajaran Islam mengenai amalan kebajikan untuk menolong sesama manusia salah satunya adalah tabarru’, yaitu perbuatan yang berteraskan keikhlasan dan keredaan untuk menyerahkan sebahagian harta yang dimiliki untuk membantu dan menolong saudaranya yang lain yang dengan dalam kesusahan. Konsep amalan kebajikan yang mulia ini kemudian dalam perusahaan takaful digunakan sebagai salah satu bahagian penting dalam mekanisma operasional perusahaan. Dengan semangat tabarru’ yang diaplikasikan dalam takaful maka uluran tangan seseorang berupa bantuan materi kepada orang lain yang memerlukan bantuan lebih mengarah kepada perbuatan kebajikan bersama dan persepaduan masyarakat sehingga wujud dalam kesedaran masyarakat muslimin untuk saling bertanggungjawab, saling tolong menolong dan memberi perlindungan terhadap saudaranya yang lain. Nilai-nilai yang ada dalam falsafah takaful ini sebenarnya telah lama dialu-alukan kewujudannya oleh para ulama seperti Abdullah Nasih al-cUlwan dan Muhammad Abu Zahrah dalam tulisan-tulisan mereka tentang al-takaful al- ijtimaci yang dapat membawa kebahagiaan kaum muslimin dan menegakkan kembali ketinggian agama Islam. Dengan semangat tabarru’ dalam takaful, kewujudan falsafah asuransi Islam ini dapat direalisasikan sehingga asuransi takaful menjadi satu bentuk asuransi perlindungan yang dapat memberikan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan bagi kaum muslimin. Saling bertanggungjawab, saling bekerjasama atau tolong menolong dan saling lindung-melindungi merupakan perbuatan yang amat mulia dipandang
oleh Islam. Banyak perintah dari Allah s.w.t dalam al-Quran dan hadith Rasulullah s.a.w yang menunjukan kepada amalan tacawwun ini. Penghayatan semangat persaudaraan dalam Islam yang dilandaskan oleh rasa kasih sayang. Dengan rasa kasih sayang ini maka akan lahirlah masyarakat yang damai dan tidak mementingkan diri sendiri. Betapa indahnya jikalau falsafah ini hidup dalam masyarakat. 2. Menghidupkan Prinsip Prinsip Takaful Ketiga-tiga prinsip yang menjadi dasar dan tulang punggung kepada asuransi takaful yaitu prinsip saling bertanggungjawab, bekerja sama dan melindungi dapat dihidupkan di dalam kegiatan perusahaan sehingga perusahaan asuransi takaful betul-betul mengamalkan ajaran Islam. Prinsip-prinsip takaful dapat diamalkan apabila elemen-elemen yang ada dalam prinsip itu dijalankan berdasarkan amalan tabarru’. Dengan melaksanakan tabarru’ dalam takaful maka ketiga-tiga prinsip dapat dihidupkan. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi tabarru’ dalam takaful dampaknya sangatlah mendalam, kerana takaful akan dianggap hanya betul-betul menjalankan ajaran Islam apabila prinsip-prinsip yang ada itu dapat dihidupkan di dalam kegiatan perusahaan takaful. Prinsip-prinsip yang ada dalam perusahaan takaful merupakan prinsip-prinsip yang berasaskan kepada rasa persatuan, persaudaraan, pengorbanan di kalangan masyarakat yang menjunjung nilai-nilai ajaran agama Islam. Prinsip-prinsip ini bukanlah sekadar kata-kata yang kosong tak bermakna, melainkan ajaran yang telah diamalkan oleh kaum muslimin sejak dahulu kala. Penerapannya dapat kita baca dalam sejarah-sejarah kehidupan para sahabat dan orang-orang saleh. Untuk kembali menjunjung ketinggian Islam maka prinsip ini dipakai dalam sistem asuransi takaful. Dengan pelaksanaan prinsip-prinsip ini maka asuransi takaful akan memiliki keistimewaan dan berbeda dengan asuransi konvensional. Tabarru’ dapat menjadikan peserta memiliki rasa dan sikap berkelompok daripada bersifat individualistik dan konsep ini juga dapat memastikan sikap dan sifat pengorbanan yang terdapat dalam prinsi-prinsip takaful dapat wujud dalam amalan asuransi. Melalui amalan tabarru’ ini individu
akan mengutamakan kepentingan orang banyak atau masyarakat lebih daripada kepentingan dirinya sendiri. Hal-hal Inilah yang tidak terdapat dalam asuransi konvensional. 3. Mengutamakan Konsep Ta’awun dan Tadhomun Tujuan perusahaan takaful lebih mengarah kepada tolong-menolong (ta’awwun) dan saling menjamin (tadhamun) daripada hanya mencari keuntungan dari para peserta semata. Menurut hukum Islam ta’awwun dan tadhamun ini hanya dapat diterapkan apabila pemberian itu atas dasar ‘aqd tabarru’. Konsep ta’awwun dan tadhamun merupakan konsep tolong menolong dan saling menjamin atau saling menanggung satu sama lain yang ada dalam Islam. Konsep ini juga menjadi konsep dasar dari asuransi termasuk asuransi takaful yang juga telah menggunakan sistem yang berlandaskan ta’awwun (saling menolong) dan tadhamun (saling menanggung). Kedua sistem ini menurut Islam hanya dapat diterapkan apabila pemberian dari peserta itu di landasi dengan akad tabaru’. Dengan demikian syarat wujudnya sistem ta’awwun dan tadhamun dalam suatu ikatan pertolongan, persaudaraan dan pengorbanan dalam perusahaan asuransi ialah dengan diaplikasikannya tabarru’. Dengan diaplikasikannya tabarru’ ini maka tujuan perusahaan takaful lebih mengarah kepada maksud mewujudkan tacawwun dan tadamun daripada hanya mencari keuntungan dari para peserta. Hal ini sesuai benar dengan ide dan maksud daripada wujudnya asuransi di dalam masyarakat yaitu saling bantu-membantu dan tolong-menolong antara sesama anggota masyarakat yang mengalami kesusahan yang tidak dapat ditanggung sendiri oleh yang menerima musibah. Konsep dan ide mengenai asuransi yang hakiki adalah mewujudkan suatu dana keuangan bersama untuk menolong anggota masyarakat yang kesusahan dengan dasar saling menolong (mutual cooperation) dan saling menanggung (mutual guarantee), bukan mencari keuntungan diri sendiri atau perusahaan semata-mata.
4. Mendapat Bantuan Keuangan Perolehan bantuan keuangan untuk peserta guna meringankan beban kerugian dapat diperoleh dengan syarat apabila ia menyertai asuransi takaful dan telah memberikan uang premi disertai niat tabarru’. Dengan adanya konsep tabarru’ dalam takaful maka seseorang selaku peserta takaful dapat mendapatkan bantuan atau mendapat manfaat keuangan sebagai gantian kearah meringankan kerugian atau penderitaan yang ditanggung. Dengan syarat apabila pihak tersebut menyertai takaful dan memberikan uang sumbangan dengan niat tabarru’. Uang yang terkumpul daripada para peserta sebagai tabarru’ ini akan digunakan oleh perusahaan takaful untuk menyediakan sejumlah uang sebagai bantuan keuangan yang menyamai perolehan bantuan tuntutan yang dibayar kepada peserta yang menderita kerugian atau kehilangan. 5. Keuntungan Dunia dan Akhirat Menerapkan konsep kesempurnaan syari’at Islam sebagai syari’at yang memperhatikan keperluan manusia di dunia dan kebahagian di akhirat. Melalui tabarru’ maka perniagaan takaful akan memberikan perlindungan, keuntungan pelaburan dan juga peluang untuk melakukan amal kebajikan. Tujuan perniagaan asuransi Islam ini bukan saja mencari keuntungan semata-mata, akan tetapi disamping itu juga memberi peluang untuk dapat beramal kebajikan dengan menolong sesama, hal ini sesuai dengan tujuan utama dan semangat asuransi Islam yang menekankan kepada kepentingan perpaduan atau persaudaraan antara peserta-peserta. Sekiranya tabarru’ ini diamalkan maka dapat dikatakan perniagaan asuransi takaful adalah asuransi yang menggabungkan konsep derma dan konsep dagang. Tabarru’ memungkinkan peserta berderma dengan sebahagian uang melalui perusahaan takaful, tabarru’ ini juga penerapannya dapat lebih luas lagi, akan tetapi dalam konteks takaful ini maka tabarru’ akan lebih teratur dan terarah kepada tujuan membantu peserta yang mengalami bencana.
6. Menghilangkan Unsur Riba, Gharar dan Maisir Yang Diharamkan Syariah a. Unsur riba Menurut para fuqaha perusahaan asuransi konvensional mengandungi unsur riba fadl dan nasi’ah dari tiga segi: 1. akad asuransi adalah kesepakatan antara perusahaan asuransi dengan orang yang ditanggung atas ketentuan dasar orang yang ditanggung membayar sejumlah uang (premi) sebagai pengganti sejumlah uang yang lain (uang asuransi) yang akan dibayar oleh perusahaan asuransi ketika terjadi suatu peristiwa. Dengan demikian ini menjadi jual beli uang dengan uang. Jika keduanya sama jumlahnya maka dinamakan riba nasa’ dan jika yang diberikan itu lebih banyak jumlahnya maka dinamakan riba al- fadl. 2. Dalam asuransi nyawa apabila peserta dalam keadaan hidup maka dikembalikan sejumlah uang yang telah dibayarkannya ditambah dengan jumlah tertentu, maka tambahan dari uang yang telah diberikannya itu adalah riba (bunga). 3. Kebanyakan praktek yang dilaksanakan oleh perusahaan asuransi berdasarkan atas riba seperti dana yang diinvestasikan dalam perusahaan yang keuntungannya mengandung riba, meminjam uang dengan jaminan kepercayaan asuransi disertai riba (bunga), mensyaratkan riba (bunga) jika pembayaran premi terlambat. 20 Dengan tabarru’ maka operasional perusahaan takaful akan terhindar daripada unsur riba kerana tidak terjadi perjanjian penggantian uang dengan uang. Uang yang diberikan kepada peserta takaful berasal dari dana keuangan kebajikan bersama atas dasar tabarru’. Oleh kerana uang pemberian ini bukanlah berasal daripada uang perusahaan tetapi berasal dari dana keuangan kebajikan bersama maka pemberian uang ini bukan sebagai pengganti akan 20Husain Hamid Hisan, Asuransi dalam hukum Islam, terj. Aisyul Muzakki Ishak, CV. Firdaus, Jakarta, 1996, hlm. 127.
tetapi bantuan. Perusahaan takaful hanyalah sebagai pemegang amanah yang mengurus dana tersebut. Hal ini berbeda keadaannya dengan asuransi konvensional, kerana uang yang diberikan kepada para peserta ialah uang perusahaan yang mengandung riba. Boleh dikatakan sebagian besar dari dana-dana perusahaan asuransi diinvestasikan dalam bentuk perolehan tetap (fixed earning) dan semua yang dibayar kepada yang ditanggung mengandung unsur riba. Tidak dinafikan bahwa sebagian besar, kalaupun tidak semua dari perolehan-perolehan/pendapatan perusahaan asuransi konvensional itu berasal dari riba.21 Premi yang terlambat bayar akan dikenakan bunga sesuai dengan batas ketentuannya yang tertentu dan ini nyata termasuk unsur riba.22 Kontrak antara perusahaan takaful dengan peserta adalah kontrak yang berdasarkan kepada derma sukarela (aqd tabarru’) bukan kontrak pertukaran (aqd sharf) di mana uang yang diberikan bersifat derma tidak diharapkan keuntungan. Perusahaan dalam hal ini bukanlah sebagai penjamin melainkan hanya berfungsi sebagai pemegang amanah. Para peserta sendirilah yang sebenarnya menjadi penjamin peserta-peserta lain. Penggantian yang diberikan oleh perusahaan tidaklah mesti sama dengan jumlah premi yang diberikan oleh peserta sehingga tidak wujud unsur riba al-fadl atau al-nasa’, oleh karena perusahaan dapat memberikan uang tabarru’ sesuai dengan kebijakan perusahaan sendiri. Uang tabarru’ sesuai dengan prinsipnya boleh tidak ditentukan jumlah banyaknya akan tetapi tegantung kepada pemberi (al-mutabarru’ ). b. Unsur Ketidakjelasan (gharar ) Ada empat jenis gharar menurut semua mujtahid adalah merupakan gharar fahisy/kathir yang boleh menjadikan akad insurans 21 Nazri B. Kulup Mahmud, Muhamad Rohimi Osman, Takaful: sistem asuransi Islam, dalam Ekonomi Islam, BIROTEKS UiTM, Kuala Lumpur, 2000, hlm. 88. 22Ab Mumin Ab Ghani, Sistem keuangan Islam dan pelaksanaannya di Malaysia, JAKIM, Kuala Lumpur, 1999, hlm. 346.
itu tidak sah hukumnya menurut shariat Islam, jenis-jenis gharar itu ialah: 1) Gharar dalam keberadaan (gharar fi al-wujud) 2) Gharar dalam perolehan (gharar fi husul) 3) Gharar Dalam jumlah pengganti (gharar fi maqdari al-‘iwad) 4) Gharar dalam waktu (gharar fi ajal).23 1) Ketidakjelasan dalam keberadaannya (gharar fi al-wujud) Kontrak asuransi konvensional menurut para ahli hukum Islam adalah termasuk kedalam jenis akad mu’awwadhah maliyah iaitu perjanjian saling memberikan pengganti berupa harta atau uang, oleh sebab itu uang yang diberikan kepada peserta adalah merupakan hutang yang mesti dibayar oleh perusahaan asuransi. Uang pengganti ini kewujudannya dalam asuransi konvensional tidak dapat dipastikan sebab tergantung kepada peristiwa yang diasuransikan itu. Jika peristiwa itu terjadi/wujud maka uang asuransi itu ada, dan sebaliknya jika peristiwa tidak terjadi/tidak wujud maka uang asuransi tidak ada. Hal ini berbeda keadaannya apabila diaplikasikan konsep tabarru’, dengan konsep ini maka uang yang berikan kepada peserta bukanlah uang pengganti atau hutang yang mesti dibayar oleh perusahaan asuransi, melainkan uang tabarru’ yang berasal dari peserta-peserta lain. Oleh kerana bentuknya bukan uang pengganti dan sifatnya bukan pembayaran hutang maka apapun pemberian oleh perusahaan takaful kepada peserta itu jumlahnya tergantung pada perusahaan takaful, perusahaan takaful berhak untuk memberikan kepada peserta sejumlah uang sesuai maksud dari tabarru’. Uang yang diberikan kepada peserta dengan demikian tidaklah tergantung kepada peristiwa yang diasuransikan tetapi tergantung kepada perjanjian sumbangan takaful (tabarru’). Perjanjian ini tertulis dengan jelas dalam akad, oleh karena apa yang dilakukan dengan sumbangan takaful yang dibayar oleh tiap-tiap peserta itu adalah 23 Hisan Hamid Husain, Asuransi dalam hukum Islam, hlm. 52-61.
nyata dan dijelaskan pula dalam akad maka tiada lagi unsur ketidakjelasan (gharar) yang dapat mengharamkan akad. 2. Ketidakjelasan dalam perolehan (gharar fi husul) Seperti perjanjian jual beli burung di udara dan ikan dalam air, maka orang yang membayar harga burung dan ikan ketika berakad tidak mengetahui apakah akan memperoleh burung atau ikan itu atau tidak sebagai pengganti dari uang yang telah mereka berikan. Sedangkan orang yang membayar harga burung atau ikan itu memang berharap akan memperolehnya. Ketidakjelasan di dalam bagaimana hasil perjanjian adalah gharar.. Hal ini sama keadaannya dengan kontrak asuransi konvensional. Dalam kontrak ini peserta tidak mengetahui apakah ia akan memperoleh uang sebagai pengganti dari premi-premi yang telah dibayarnya ataukah ia tidak memperolehnya. Dalam perusahaan takaful, apabila diaplikasikan tabarru’ maka uang yang diberikan para peserta itu secara jelas berasal dari dana keuangan kebajikan bersama. Perusahaan takaful dalam hal ini sebagai pengurus yang mengatur dana kebajikan itu dan akan memberikan kepada peserta berupa uang yang ditentukan jumlahnya oleh kebijaksanaan perusahaan. 3. Ketidakjelasan dalam jumlah pengganti (gharar fi maqdari al-ciwad) Menurut para fuqaha, sesuatu pengganti yang mesti diberikan oleh orang yang melakukan akad mu’awadah harus diketahui jumlahnya, jika tidak diketahui maka tidak sah akadnya berdasarkan kepada ittifaq ulama. 24 Dalam asuransi konvensional ketika melakukan kontrak pihak peserta tidak mengetahui berapa jumlah pengganti yang akan diberikan oleh perusahaan asuransi. Begitu juga halnya dengan perusahaan asuransi, tidak mengetahui jumlah keseluruhan premi yang akan diperolehnya, kadang-kadang memperoleh uang premi dari satu peserta kemudian terjadi peristiwa maka perusahaan asuransi mesti membayar uang kerugian dengan jumlah lebih besar dari yang diterima, kadang-kadang perusahaan 24 Wahbah al-Zuhaily, hlm. 471.
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273