“Comba you made promise in this case book, if you did again your attitude, you will get punishment! ‘okay ma’am…with annoyed voice, case closed, day changed to day. And…turned out COmba always called to the office. Case book was full with Comba name…hummmmm…every week his parent got calling later from school. With different case that he made. Another teachers had already gave up. It was not teachers could not teach, understanding Comba’s character, but there were many ways, strategy to change this Comba. Turned out after checked out, this Comba got expelled from former school because he had many cases. “Ma’am….this case not of student named Comba, Headmaster checked that book. “Let’s see next days, if he did not change, we can expel him from this school!Day changed. ’’Krrrrriiiiiuunnnnnggggg...... Comba’s mother :Hallo... Headmaster : iya Hallo...Comba’s parent?. “Yes, excuse me with whom am I speaking? Said COmba’s mom. “I am headmater, sorry can you come to school now?’ there is important thing that I want to talk…!!! “Okay I am on my way, said by Comba’s mother. That mother arrived at school,(in Headmaster’s room). The Mother : excuse me, what problem again my son? Headmaster : So, I am so sorry….we all teachers had had a deal to return Comba to you. Because we were unable to Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 87
teach your son. Because of out of limit of your son and Comba had done same mistakes all the time. “The mother : But ma’am….’?” “I am sorry ma’am…it can’t be helped! The Mother : ( silent and understood school decision). “So I understood, I apologize for my son behavior. I appreciate because all this time to lead my son.” The mother went home without conversation with Comba. Next days there was a news that Comba had become an operator of Warnet. As teacher, these naughty students were unique to me. Especially in grown up phase from children to teenagers. Everyday, I met students doing mischief at school. Actually they just lack of care from their parent. Comba’s case had been closed, today I would applied literation lesson to students. In development of literation in writing. Amazing thing happened this time. I asked for all IX1 to write a letter for everybody. With spirit these students started to write. My view went to one of uniform a bit dirty wearing student. He took black paper and pen. Tear dropped while writing. The letters my students written not so much, not so good as either, principle of good writing. Student wrote deeply absorbed in, writing gently, but along lesson time the student wiped his tear. He sat in chair in back‐left side of the class. He tried to keep tear and sadness face so his friends not to know it. His simple story wet his dark blue necktie. Apparently his friend finally knew that student cried in back of the class. His friends were silent and full of questions. This student was one of naughty student at class. I walked to back side and tried to 88 | Safridah, dkk
get close to that student, as usual I called male student with “abang,” and female student I called with “Kakak,” it was supposed to get more family side to the students. “What happened to you abang? Why you looked sad? “It is nothing mom, smiling. “Well…why your eye looked so red? How a Reman kid can be this easy crying like this? Kidding to him I call him Reman kid. Reman stood for preman, this words is just kidding so he could smile, Huuuummmm..... I took edge side of paper that wet with tear. But student pulled it back. “Later mom, noy finished yet. “Okay..Mom wait..! He noded. Class continued their tasl. “Teeeeett… Teeeeett… Teeeeettt… bell rang for break time. “Well, My Students, bring your paper in front of the class! All move forward and these students directly got out for brake, last naughty kid walked out, he walked slowly toward me. “Here you are mom. “Okay thank you bang. He just noded and walked out to class. I sat a while while reading that kid’s letter because of curiosity. My tear dropped without conscious, this naughty kid wrote a letter to his late father for long time, in second I remembered my dad that passed away, since I was three years old.,,,,… Apparently behind the naughty of the kid, there was good heart that had soft side. May the future of naughty kids, and his frineds were bright, and successful in Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 89
the next day. I walked out to the class to the office to take rest. “Thanks for today, Huuummmm…May I kept leading this Nation Students to reach their dream and make this country proud. As long as I lead these naughty students there was a failed one and succeded one. Student named Comba was out of limit, may comba was successful in next day. And another naughty kid that I always lead them with full of heart could change to be a good kid at school, and had achievement. With full of spirit and my effort to lead the Boombooster this time I got raised to be Vice of Student Field at school. And the Boombooster now had become Moodbooster… huuuummmm. Happy Teacher’s Day. One f my hope was as an honorary teacher whose willing to sacrifice might become unpriced thing and be able to get achievement like on what had been done. 90 | Safridah, dkk
Tentang Penulis Namanya adalah Neneng Arisandi, S.Pd. Lahir di Payakumbuh Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 20 Mei 1987. Dia adalah anak keempat di antara empat bersaudara. Dia terlahir di keluarga yang sangat sederhana. Sejak kecil dia selalu dinasihati oleh ibunya untuk selalu rajin beribadah, jujur, dan baik terhadap sesama. Dia bekerja sebagai Guru Bahasa Inggris di SMPS Tuah Negeri Pekanbaru sejak tahun 2016. Ketika berumur 7 tahun, dia memulai pendidikan di SDN 22 Sei. Belantik, Payakumbuh. Kemudian setelah lulus dia melanjutkan pendidikannya di SMPN 1 Sariak Laweh, Payakumbuh. Selepas lulus dari SMP di tahun 2003, dia mengikuti kakak sepupunya tinggal di Kota Perawang, Riau, dan melanjutkan pendidikannya di SMA N 1 Tualang, Kota Perawang, Kabupaten Siak. Ketika menginjak kelas 10 SMA tersebut, dia aktif di bidang olahraga basketball. Dia tergabung di Vini Vidi Vici Basketball Club dari PT. IKPP Perawang, sehingga dia sebagai atlet basketball, yang sudah mengikuti banyak pertandingan ke daerah, serta kota lain dan banyak mendapatkan penghargaan. Selain itu dia juga aktif dalam berbagai kegiatan Organisasi di Kota Perawang. Tergabung dalam Organisasi KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) tahun 2009 sebagai seksi kemasyarakatan. Setelah tamat dari SMA dia melanjutkan pendidikannya di Universitas Lancang Kuning, Kota Pekanbaru. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Dan menyelesaikan perkuliahannya di tahun 2013. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 91
Di Tahun 2019, penulis mencoba ikut menulis cerpen dalam memperingati hari guru bersama teman‐temannya dari MGMP Bahasa Inggris Pekanbaru yang menghasilkan karya buku yang berjudul Me and My Boombooster. Mottonya “Carilah Orang‐orang yang menginspirasi!” WA : 081276070102 92 | Safridah, dkk
Cerita 5 Dia yang Terabaikan Oleh: Eka Septrina, S.Pd. Guru SMPN 42 Pekanbaru T eeeeet…teeeeeeettttt. Bel tanda jam istirahat berbunyi. “Baiklah anak‐anak, terima kasih atas atensinya dan semangatnya hari ini. Kita lanjutkan pada pertemuan berikutnya. Silakan istirahat.” Satu per satu murid‐muridku keluar dari kelas setelah bersalaman. Dengan wajah sumringah dan sambil berlari‐lari kecil mereka keluar kelas menuju kantin sekolah. Kurapikan buku‐buku dan alat tulis dan melangkah keluar kelas. Sebelum sampai ke pintu, mataku tertuju pada seorang siswa yang duduk sambil merebahkan badannya ke meja. “Aslim, kamu tidak ke kantin, Nak?” Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 93
“Nggak, Bu,” jawabnya dengan mengangkat sedikit menyembulkan wajahnya dari tangannya. “Kenapa?” tanyaku lagi. “Gak lapar, Bu,” jawabnya sambil kembali menelankan wajahnya pada rangkulan tangannya. “Ya sudah Ibu ke kantor dulu ya,” kataku sambil melangkah keluar kelas. Tak kudengar jawaban darinya. Di sepanjang jalan ke kantor pikiranku masih melekat ke sosok Aslim. Ya nama anak itu Aslim, dia salah seorang murid di mana aku adalah wali kelasnya. Sejak bertugas di Pulau Rangsang ini (Sebuah pulau di Kabupaten Kepulauan Meranti, salah satu kabupaten pemekaran di Provinsi Riau), kurang lebih 5 bulan yang lalu banyak hal‐hal yang belum aku ketahui tentang kehidupan masyarakat di sini, terutama murid‐ muridku, termasuk Aslim yang baru dua bulan aku mengajarnya dan menjadi wali kelasnya. Yang kutahu, dia siswa yang cukup popular di antara guru‐guru. Namun, sayang bukan popular dengan kepintaran atau talentanya, tapi sering menjadi buah bibir para guru karena sering terlambat, pakaian sering tak rapi, belajarnya malas, dan seabrek keluhan lainnya. “Assalamualaikum.” Aku mengucapkan salam sambil masuk ke kantor, belum sempat pantatku menyentuh kursi, seorang guru sudah menyambutku dengan laporan yang lebih tepatnya complain tentang Aslim. “Bu Rika, anak kesayangan Ibu kata anak kelas 7.2 minta‐ minta uang sama anak kelas 7 yang perempuan,” celoteh bu Linda, guru IPA. 94 | Safridah, dkk
“Iya Bu, saya juga dengar dari sebagian warga kalau dia pulang sekolah sering keluar masuk kebun warga. Kata warga kadang dia ngambil “degan” (istilah masyarakat di sini untuk kelapa muda). Kalau ada mangga yang sedang berbuah atau buahan yang lainnya diambilnya saja,” timpal Pak Ridwan guru Olahraga. Aku duduk sambil menarik napas sambil berpikir, “Ya Allah ada apa dengan anak ini? Apakah ada hubungannya dengan dia tidak ke kantin tadi?” Walaupun dia sudah kelas 9, tapi guru di sini tidak begitu banyak yang tahu tentang keluarga dan kehidupan Aslim karena rumahnya jauh dari sekolah. Para guru yang sudah lama mengajar di sini hanya tahu kalau Aslim adalah anak yatim. Naik kelas pun sering di “paksa” naik karena guru‐guru mengingat usianya yang juga lebih tua dari kawan‐kawan yang lain, mungkin karena sering tidak naik kelas waktu SD. Untuk sampai ke sekolah saja kebanyakan anak‐anak di sini harus berjuang. Mereka melewati jalan setapak yang walaupun sudah disemenisasi, tetapi sudah banyak yang bolong‐bolong. Lebar jalannya pun kurang lebih hanya 50 meter. Kiri kanannya adalah hamparan ladang pohon kepala dan rumah warga di tengah‐tengah ladang yang berjarak‐ jarak sangat jauh. Tanah di sini adalah tanah gambut, Jadi, bisa dibayangkan kalau musim hujan tiba, jalanan akan sangat becek. Sudah pastinya anak‐anak sampai ke sekolah dengan sepatu yang dipenuhi oleh tanah. Dan menurut cerita guru yang lain, Aslim rumahnya paling jauh di antara anak‐anak yang lain. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 95
Keesokan harinya aku memanggil Aslim, aku mengajaknya duduk di ruang pustaka karena memang lagi sepi, hanya ada Bu Ningsih, pustakawan sekolah yang sedang masyuk mengecek buku‐buku yang di pinjam siswa. Kebetulan sekolah kami memang belum mempunyai ruang Bimbingan Konseling (BK). “Udah makan Lim?” tanyaku memulai percakapan. “Udah Bu,” jawabnya. Tapi dari wajahnya yang sedikit pucat aku menebak dia belum makan. “Apa lauk yang dibuat mamakmu tadi?” “Hhmmm hmmmm.” Dia seperti berpikir keras mencari jawabannya dan aku lihat ada butiran kristal yang sepertinya mau keluar dari sudut matanya. “Kamu jangan bohong sama Ibu, kamu belum makan kan?” desakku. Dan akhirnya sudut matanya tidak lagi mampu menahan butiran kristal itu sehingga meleleh juga. “Sekarang Ibu adalah ibu kedua bagimu karena Ibu adalah wali kelasmu, di rumah ibu yang melahirkanmu adalah ibumu, kamu bisa berkeluh kesah padanya dan di sekolah Ibulah yang menjadi ibumu, jadi kamu boleh berkeluh kesah, mengadu, curhat pada Ibu.” Kulihat air matanya semakin turun dengan deras. Kubiarkan dia menangis. Ingin rasanya kurangkul dia untuk meringankan gemuruh yang disimpan di dadanya, tapi tak mungkin kulakukan. Walaupun dia masih SMP, perawakannya sudah seperti anak SMA. Sebenarnya dia termasuk memiliki wajah yang tampan dengan tubuh yang tinggi atletis dan kulit sawo matang 96 | Safridah, dkk
karena aku dengar dia blesteran Bugis dan Melayu. Papaknya adalah Bugis dan ibunya Melayu. Cuman karena sepertinya kurang terawat dia kelihatan kumuh dan degil. Baju yang dipakainya lusuh dan sering tidak dimasukkan dengan rapi. Sepatunya sudah hampir koyak dan rambut yang sepertinya hampir tidak pernah bertemu dengan “Gatsby atau pomade”. Dan kuperhatikan kuku‐kukunya pun sepertinya hitam dan tangannya kelihatan kasar. Melihatnya masih terus menangis sambil sesenggukan, akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri pembicaraan hari ini. “Baiklah, sekarang cuci mukamu, masuk kelas nanti jam istirahat pergi beli sarapan,” kataku sambil memberikan selembar uang lima ribu kepadanya. Dia kelihatan ragu menerima uang tersebut. “Ayo, ambil, anggap saja ini ibumu yang memberikan uang jajan.” “Terima kasih Bu,” jawabnya sambil mengambil uang yang aku sodorkan. “Dah sekarang cuci mukamu dulu.” Dia beranjak dari tempat duduknya dan melangkah ke sumur di samping perpustakaan. *** Dua hari telah berlalu sejak aku memanggil Aslim di perpustakaan, sembari menunggu bel masuk berbunyi aku mengoreksi tugas‐tugas siswaku. Namun, pikiranku tetap masih berpikir keras bagaimana caranya membukat dia mau menceritakan apa yang menjadi bebannya selama ini Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 97
“Kring…kring…,” handphone‐ku berbunyi. Kulihat di layar handphone di sana tertulis nama Nurlaila, dia adalah kepala sekolahku. “Assalamualaikum,” sapaku. “Waalaikumsalam.” Terdengar suara dari seberang sana membalas salamku. Belum sempat aku bertanya ada apa kepada sang kepsek. Dia sudah bercerita, “Bu Rika, apa Ibu sudah dengar kabar tentang Aslim?” “Belum, Bu” jawabku. Aku sangat penasaran apa yang terjadi dengan dia. Jantungku berdebar‐debar. Apa yang terjadi dengannya? Apakah ada hal yang buruk terjadi? Apakah dia kecelakaan? Apakah dia masuk rumah sakit? Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di pikiranku. “Tadi malam dia ketahuan maling di Kedai Nyonya Ale.” Kedai Nyonya Ale adalah salah satu kedai Cina di pulau ini. Penduduk di sini memang terdiri dari etnis, Jawa, Melayu, Bugis, Minang, dan ada satu atau dua orang yang bersuku Batak. Toko‐toko di sini umumnya adalah kepunyaan orang Cina. Orang Minang kebanyakan menjual baju atau nasi. Orang Jawa dan Bugis bertani dan berkebun. Orang melayu menangkap ikan di laut, dan orang Batak membuka bengkel. “Trus gimana, Bu?” tanyaku dengan cemas. “Dia ketahuan dan dikeroyok oleh warga. Untung Bapak ada waktu itu dan berhasil meredam amarah warga. Akhirnya dia dibawa ke kantor polisi.” Bapak yang dia maksud adalah suaminya. “Jadi sekarang dia masih di kantor polisi, Bu?” 98 | Safridah, dkk
“Iya. Ibu juga masih di sini,” jawab Bu Nurlaila. “Saya ke sana ya, Bu.” “Ya Ibu tunggu,” jawab Bu Nurlaila singkat sambil menutup telepon. Segera kukemas koreksianku. Aku minta izin dengan guru piket sambil memberikan tugas untuk kelas yang akan kuajar. Kutunggangi sepeda motor orangeku dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Aku tidak sabra melihat keadaan Aslim. Setelah memarkirkan motor, dengan langkah tergesa kumasuki kantor polisi. Mataku melihat sekeliling ruangan dan kulihat Bu Nurlaila sedang bercakap‐cakap dengan seorang polisi. Kudekati mereka. “Mana Aslimnya Bu?” tanyaku kepada Bu Nurlaila “Ada di ruangan interogasi.” “Apa kita tak bisa menjumpainya, Bu.” “Bisa Bu, tunggu sampai dia selesai memberikan keterangan,” jawab seorang polisi yang tadi kulihat lagi berbincang dengan Bu Nurlaila. “Oh ya permisi Bu, saya mau ke ruangan,” kata Pak Polisi tadi. “Silakan,” jawab Bu Nurlaila. “Jadi Aslimnya akan ditahan Bu?” tanyaku dengan cemas kepada bu Nurlaila. “Mudah‐mudahan tidak, dia masih di usia sekolah, Ibu juga akan berusaha menjaminnya untuk keluar.” “Keluarganya sudah dikasih tahu, Bu.” “Itulah, sampai sekarang tidak ada keluarganya yang dating.” Tiba‐tiba polisi yang tadi menghampiri kami. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 99
“Silakan Bu, anaknya sudah selesai dimintai keterangan, kalau Ibu mau berjumpa silakan, di ruangan sana saja.” “Oh ya, terima kasih banyak,” jawab Bu Nurlaila. Begitu aku dan Bu Nurlaila masuk, Aslim menangis meraung‐raung. Bu Nurlaila merangkulnya dan menenangkannya. “Sudah, jangan nangis, ada Ibu dan Bu Rika di sini. Sekarang Ibu minta kamu menceritakan kepada kami dengan jujur, kenapa kamu sampai maling di Kedai Nyonya Ale? Untuk Apa uangnya?” Sambil sesegukan dia mulai bercerita, “Saya tak punya uang untuk makan, Bu.” “Trus mamakmu mana?” tanya Bu Nurlaila lagi. “Mamak saya sudah lama tidak pulang ke rumah Bu, dulu dia bilang dia mau cari kerja ke Karimun (Tanjung Balai Karimun), tapi sudah 1 tahun ini dia tidak pernah pulang dan beri kabar.” “Jadi kamu tinggal dengan siapa?” tanyaku penasaran. “Kami bertiga saja Bu, saya dan dua orang adik saya.” “Trus untuk makan sehari‐hari kamu sama adek‐adekmu bagaimana?” “Kadang saya kerja ngambil pasir di tepi laut Bu, kadang bantu ngupas kepala.” “Trus nggak ada saudara atau tetanggamu yang ngasih bantuan?” “Kadang‐kadang ada, Bu.” Aku dan Bu Nurlaila saling bertatapan. Mata kami saling berkaca‐kaca menahan sebak di dada. 100 | Safridah, dkk
“Ya Allah begitu berat beban anak seusia ini, karena ulah ibu yang tidak bertanggung jawab,” gumamku dalam hati. *** Alhamdulillah akhirnya Aslim tidak jadi di penjara karena pertimbangan dia masih di bawah umur dan masih usia sekolah. Selain itu juga berkat dukungan Ibu Nurhaila yang menjadi penjamin bagi Aslim. Setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Sejak kejadian itu banyak guru‐guru yang bersimpati kepada Aslim. Ada beberapa guru yang memberikan bantuan sepatu, baju, tas, dan lain‐lain. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 101
Story 5 A Neglected Boy By: Eka Septrina, S.Pd. A Teacher in Junior High School 42 Pekanbaru T eeeeet…teeeeeeeettttt. The bell rang. “Ok class, thank you for your attention dan spirit today. We will continue our discussion in the next meeting. Now the time for break One by one my students went out after shaking hand. They run to the canteen happily and smily. I arranged my books and my pen, then I walked out from the class. Before arriving to the door, I saw a student who still sat on his chair while laying his face downward on the table. “Aslim, don’t you go to the canteen?” “No, Ma’am.” He answered with a slight rise to his face from his arm. “Why?” I asked him. “I am not hungry.” He said while laying his face downward on the table again. “Oh, I see, I will leave you for the office.” I said while walking out the class. I didn’t hear he said anything. While I was on the way to the office, I still thought about Aslim. Yeah, the boy’s name is Aslim. He was a student in my class. I was his class supervisor. Since I taught in this place, Rangsang Island (An island in Kepulauan Meranti Regency, a 102 | Safridah, dkk
new regency in Riau Province) about 5 months ago, I still didn’t know the condition of the society here especially my students familiarly included Aslim. It was about 2 months I taught him and be his class supervisor. I just knew that he was quite famous among the teachers. But for sorry, it was not because of his cleverness and talents, but he often came late, untidy dressed, studied lazily, and the other negative images. “Assalamualaikum.” I greeted. I still didn’t sit on my chair properly, a teacher welcomed me with a complaint about Aslim. “Ma’am Rika, your beloved student asked money to the 7.2 class girl students, said Mrs. Linda, a science teacher. “It’s true Ma’am, I also heard from the residents that He often goes to residents’ garden and too “degan” (degan is a young coconut). If there are any fruits, he will take it without permission.” Now Mr. Ridwan told me about Aslim. I couldn’t say anything, I just took a deep breath while thinking, “Oh My God, what happen with this boy? Is it any correlation with the condition just now? He didn’t go to the canteen? Even though he was in the ninth grade, nevertheless none the teachers here knew exactly about Aslim’s life and family because his house is very far from the school. The teachers who have taught in long time here just know a little bit about him. He was an orphanage. He also helped to go the next grade or it could be said that he “forced” to go the next grade. Why? Because of his age. He was older that other Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 103
students. Maybe, it was because he often repeated in the same grade when he was in Elementary School. The students here had to do a hard journey to come to the school. They got through narrow trail. Even though, the road has been cemented but there was too much broken. The width of the road was about 50 meters only. There was a wide garden on the right and left side. The houses were far from each other. The soil was peat moss. So, it could be imagined if there was a rainy season, the road would full of muddy. The students also arrived at school with the shoes that full of muddy too. And based on the other teacher said, Aslim’s house was the further than his friends. On the next day, I called Aslim. I invited him to the library because it was quiet. It was only Mrs. Ningsih, the librarian, who was checking the books. Our school didn’t have counseling room yet. “Do you have breakfast Lim?” I started the conversation. “I did Ma’am.” He answered. But I thought he hadn’t had breakfast yet. I guessed it from his pale face. “What did you mother cook for breakfast?” “Hhmmm hmmmmmm.” He looked like thinking hard to find the answer and I saw his tears wanted to come out from the corner of his eyes. “Don’t tell a lie to me. You don’t have your breakfast, do you?” I pressed him. And finally, his angle of vision couldn’t restrain his tears. They trickled down on his cheeks. “You know; I am your second mother now because I am your class supervisor. At home, you have a mother who give 104 | Safridah, dkk
birth for you, you can lamente with her at home. In the school, I am your mother. You also can share everything you want to.” I saw that his tears were coming down harder. I let him cry. I really wanted to hug him to lighten his life load, but I couldn’t. Even though he was still Junior High School student, he looked like senior high school student. Actually, he had handsome face with athletics body. His skin was brown. I heard that he had bloody Bugisnese and Malay. His father was Bugissnese and his mother was Malay. Merely, he looked poorly maintained and dirty. The uniform was old and faded. It also never looked tidy. His shoes were almost ripped. His hair was almost never touch by “Gatsby or Pomade”. I noticed that his nails were black and his hands were rough. By seeing he was always crying while soothing, I decided to stop our conversation. “Alright, now please wash your face and come in to the class. At the break time go to the canteen to have breakfast.” I said while giving him money, five thousand rupiahs. He seemed hesitant to receive the money. “Come on, take it, just consider I was your mother who give you money” “Thank you, Ma’am.” He said while holding the money that I gave. “Wash your face first before coming in the class.” He stood up and walked to the well beside the library. **** Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 105
Two days passed since I called Aslim to the library. While I was waiting the bell rang, I checked my students work sheets. In the other hand, my mind was thinking hard the ways how to stimulate Aslim. I wanted he tell all of his load along this time. “Kring…kring…” My handphone rang. I saw on the screen, there was Mrs. Nurhaila, Our principle. “Assalamualaikum.” I hang on the phone. “Waalaikumsalam.” I heard she answered me. Before I asked her what’s going on, she told me, “Ma’am Rika, have you heard about Aslim?” “I haven’t, Mrs.” I wondered what happened to him. My heard beated. “What happened to him? Was there the bad one? Does he get an accident? Does he come in to the hospital? So, many questions were raging in my mind. “Last night, He stole in Nyonya Ale’s Store”. Nyonya Ale’s Store was one of Chinese store in this Island. The population here is indeed made up of various ethnicities; Java, Malay, Bugisnese, Chinese, Minangnese and some were Bataknese. The Chinese usually had stores. Minangnese had fashion store or restaurant. The Javanese and Bugisnese were farmers and gardeners. The Malays caught fish in the sea. And Bataknese had a garage. “So, how’s Ma’am?” I asked worriedly. “He was caught and beaten by the residents. Luckily, my husband could manage to reduce their anger. Finally, He was taken to the police station. “Now, is he in the police station, Ma’am?” 106 | Safridah, dkk
“Yes, I am here too now.” Mrs.Nurhaila answered. “May I go there, Ma’am?” “Ok, I will wait for you.” Mrs.Nurhaila hung up. I immediately packed my students work sheets. I asked for permission to teacher on duty and gave the tasks for the class that I would teach. I drove my orange motorcycle fast. I was in hurry to see Aslim condition. I parked my motorcycle, then I walked in hurry to the police station. My eyes looked around the room. I saw, Mrs. Nurhaila was talking with a policeman. I approached them. “Where is Aslim, Ma’am?” I asked “He is in the interrogation room” “May we meet him?” “You can Ma’am but wait until he finish to give explanation to the police.” The police who talked to Mrs. Nurhaila answered. “Excuse me Ma’am, I want to go to my room.” Then the police asked permission. “Yes, please.” Mrs. Nurhaila said. “Will Aslim be arrested, Ma’am.” I asked Mrs. Nurhaila worriedly. “I hope not, he is still in school age, I will try to guarantee him.” “Does his family know, Ma’am?” “It’s the problem, no one of his family come here until now.” Suddenly, a police approached us, “Alright Ma’am, now you can meet with him, let me show the room.” Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 107
“Ok thank you.” Mrs.Nurhaila said. When Mrs. Nurhaila and I came in the room, Aslim cried roaring. Mrs. Nurhaila embraced and calmed him. “Please keep silent, Mrs. Rika and I were here for you. Now, I ask you to tell all to us honestly, why did you steal in Nyonya Ale’s store? What is the money for?” While he was soothing, he started to tell us, “I don’t have any money for eating Ma’am.” “Where is your mother?” “My mother never comes back home. She said that she worked in the Karimum (Tanjung Balai Karimun), but it is almost a year. She never comes home and give news.” “So, who do you live with?” I asked curiously. “I live with two of my younger brothers”. “And then how do you eat with you brothers daily?” “Sometimes, I worked taking sand by the sea, sometimes I helped to peel the coconut and I get the wage.” “How about your relatives and neighbors? Don’t they help you?” “Sometimes, Ma’am.” Mrs. Nurhaila and I stared each other. Our eyes filled with tears because of feeling so sad. “Oh my God, he brings the responsibilities that not appropriate for his age. His mother is really heartless to ignore her responsibilities.” *** 108 | Safridah, dkk
Thanks to the God, finally Aslim didn’t throw in the jail because the consideration that he was still in school age and Mrs. Nurhaila became his guarantor. Every event has its own wisdom. Since that incident, many teachers paid attention to him. Some teacher gave bans such as buying shoes, clothes, back etc. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 109
Tentang Penulis Penulis memiliki nama lengkap Eka Septrina, S.Pd. Dilahirkan di sebuah desa yang bernama Jopang Manganti, Kecamatan Mungka, Kab. Lima Puluh Kota, Sumbar pada tanggal 19 September 1982. Menempuh Pendidikan S1 di Bumi Lancang Kuning tepatnya Universitas Riau Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris tahun 2002 dan tamat pada tahun 2006. Penulis pernah mengajar di MTs Darul Hikmah Pekanbaru (2005‐2010), SMK Darel Hikmah Pekanbaru (2005‐2010), SMPN 4 Rangsang Kab. Kepulauan Meranti (2010‐2016), SMPN 33 Pekanbaru (2016‐2017). Dari tahun 2017 sampai sekarang menjadi salah seorang guru bahasa Inggris di SMPN 42 Pekanbaru. Penulis memang hobi menulis puisi sejak duduk di bangku SMP, tetapi tidak mengembangkan hobinya tersebut. Cerpen ini merupakan tulisan pertama penulis. Semoga ke depannya penulis bisa menghasilkan karya‐karya yang lain. Motto : Apa yang dibuat itu yang dituai, maka selalulah berusaha berbuat yang terbaik. WA : 081365643969 110 | Safridah, dkk
Cerita 6 Muridku Malang, Muridku Sayang Oleh: Agustrianita, M.Pd. Guru SMPN 40 Pekanbaru P ada tahun ajaran baru ini, bukan hanya menjadi guru bidang studi, tapi aku juga terpilih menjadi wali kelas peserta didik tingkat akhir. Aku tidak tahu kenapa aku terpilih menjadi wali kelas dari peserta didik tingkat akhir ini, apakah karena aku sudah memiliki gelar pendidikan yang lebih tinggi dari rekan guru yang lainnya, atau ada hal lain yang menjadi pertimbangan. Namun, aku mencoba untuk menerima kepercayaan yang diberikan kepadaku. Ini bukan kali pertamanya aku menjadi wali kelas, tapi ini adalah kali Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 111
pertamanya aku memegang amanah ini setelah kepulanganku dari studiku. Peserta didik di kelas ini berjumlah 38 orang, mereka memiliki latar belakang keluarga yang berbeda beda. Jujur aku belum terlalu mengenal mereka karena aku hanya berinteraksi dengan mereka sejak dua bulan terakhir. Setiap peserta didik di kelas ini memiliki keunikan yang berbeda. Bahkan ada beberapa siswa yang menjadi perhatianku. Mereka adalah Reno, Rangga, dan Wira. Aku lebih intens memerhatikan mereka bukan berarti anak didik yang lain tidak menjadi perhatianku, tapi latar belakang mereka yang menjadi alasan, sehingga membukatku menjadi lebih extra untuk mengenal mereka. Bukan karena keberhasilan mereka mengharumkan namaku sebagai wali kelas atau juga prestasi yang mereka peroleh membukatku tertarik kepada mereka, tapi sebaliknya karena sikap dan tingkah laku mereka yang selalu melanggar kedisiplinan dan peraturan di sekolah ini. Sementara itu, tiga bulan terakhir ini aku disibukkan dengan salah satu program yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yaitu proses pemilihan duta salah satu platform teknologi yang bisa digunakan oleh guru dan peserta didik sebagai sumber belajar baik saat belajar tatap muka dan online. Hari‐hariku sibuk mempelajari modul‐modul untuk ujian post test dan membukat media pembelajaran sebagai persyaratan agar lolos pada level berikutnya. Dan alhamdulillah, Allah menggantikan usaha dan kerja kerasku dengan merekomendasikan aku masuk 30 besar dan mengikuti pelatihan bimbingan teknologi offline pada level 112 | Safridah, dkk
berikutnya. Setelah pelatihan tatap muka itu, kembali aku sibuk dengan sosialisasi dan tugas membukat media pembelajaran yang menjadi tugas utama dari program itu. Karena hectic‐nya aku dengan tugas‐tugas di luar jam mengajarku, hal ini membukatku kurang punya waktu untuk berinteraksi dengan anak didikku, baik secara keseluruhan maupun personal. Aku juga jadi lalai untuk memproses dan menasihati mereka. sampai pada akhirnya aku menjadi pembicaraan di kantor oleh kepala sekolah dan guru‐guru lainnya. Dan aku tak bisa mengelak lagi, aku pikir wajar saja mereka menceritakan tentang diriku, karena hampir setiap harinya anak didikku yang selalu duduk terpisah di depan karena terlambat datang ke sekolah, tidak berpakaian lengkap, rambut yang panjang, dan kesalahan‐kesalahan lain yang mereka perbuat. Keesokan paginya, hal yang sama terulang kembali, aku masih melihat ketiga anak didikku itu duduk di lapangan, tapi di tempat yang terpisah sebagaimana biasa tempat duduk anak didik lainnya yang melakukan pelanggaran peraturan sekolah. Aku menggelengkan kepala melihat mereka. Mereka hanya tertunduk malu ketika melihatku. Dan kepala sekolah langsung memanggilku. “Bu, coba perhatikan ini anak didik ibu, hampir tiap hari mereka telat, tidak lengkap lagi atributnya,” kata kepala sekolah mengingatkanku. Dan aku menjawab, “Baik, Bu.” Hari itu, karena teguran kepala sekolah membukat aku berpikir bahwa yang aku lakukan selama ini salah. Semakin aku biarkan anak didikku, semakin juga mereka melanggar semua peraturan yang ada di sekolah ini, dan aku punya Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 113
keinginan akan memperbaiki semua ini. Aku akan selalu hadir di antara anak didikku saat kegiatan‐kegiatan pagi di lapangan, baik itu mengaji, literasi, imtak, matematika ceria, English Day, senam pagi, gotong royong, dan kegiatan lainnya. Aku akan mengamati kehadiran dan partisipasi anak didikku di setiap kegiatan itu. Dan aku juga akan memanggil secara personal anak‐anak yang tidak disiplin. Terutama tiga orang anak didikku yang menjadi perhatianku di awal ceritaku tadi. Satu per satu aku panggil mereka dan menanyakan alasan mereka mengapa selalu melakukan hal itu, dan aku beri nasihat agar mereka tidak mengulanginya kembali. Hari Jumat adalah jadwal mengajarku di kelas ini. Sebelum memulai pelajaran seperti biasanya aku selalu menyelesaikan urusan administrasi kelas, memberikan info‐ info penting, dan juga memberikan motivasi pada anak didikku untuk selalu semangat dalam belajar. Namun, kali ini aku berbicara dengan nada yang tidak biasa. Aku mencoba mengancam untuk menyerahkan amanah sebagai wali kelas mereka kepada guru yang lain. Sebenarnya aku ragu mengucapkan semua itu, aku takut jika mereka memang ada keinginan mengganti aku sebagai wali kelas mereka dengan yang lain. Ternyata, aku melihat ekspresi terkejut dan sedih di wajah lugu mereka. Aku melanjutkan semua yang menjadi unek‐unekku dengan suaraku yang sekali sekali terdengar sedih. Kelas menjadi hening, tidak ada seorang pun yang sanggup berbicara selain aku. Kulihat ada beberapa dari mereka yang menangis. Aku mencoba untuk bertanya kepada mereka, apa kesalahan yang aku perbuat kepada mereka. Akhirnya ada seorang anak didik perempuan bernama Rara 114 | Safridah, dkk
yang berani berbicara. Dia berkata, “Bu, Ibu terlalu sibuk, Ibu tidak perhatian sama kami, Ibu tidak sayang sama kami.” Mendengar ucapan Rara aku menjadi sedih dan sadar akan yang terjadi selama ini, aku sibuk dengan urusanku dan mengabaikan mereka anak didikku. “Maafkan Ibu Nandaku, mulai hari ini Ibu akan selalu bersama kalian semua, Ibu akan menyayangi kalian.” Keesokan harinya aku mendengar berita duka dari salah satu ketiga anak itu yaitu Rangga. Ayah Rangga meninggal karena sakit jantung. Aku dan anak didik yang lainnya takziah ke rumahnya dan sesampainya di sana aku melihat ibu Rangga terduduk lemah, dan ibunya sambil menangis berkata, “Saya belum siap Bu kehilangan suami saya, saya tidak sanggup sendirian mencari nafkah untuk tujuh anak saya, tak tahu Bu apa yang akan saya lakukan setelah ini, tidak siap saya ditinggal oleh suami saya, Bu. Apa yang harus saya lakukan Bu untuk membesarkan dan menyekolahkan anak saya, Bu.” Aku merespon, “Bu, sabar ya Bu, ini emang kehendak‐ Nya, mau tidak mau kita harus siap, kematian adalah takdir yang harus kita terima, tetap kuat Bu, untuk anak‐anak Ibu. Mereka masih kecil, mereka masih butuh Ibu, hanya Ibu yang mereka punya sekarang, Ibu harus kuat ya.” Hari berikutnya, aku meminta Rangga untuk datang ke kantor menemuiku, dan aku mengucapkan turut berbela sungkawa atas kepergian ayahnya. Lalu, aku bertanya tentang sakit ayahnya. Rangga bercerita dengan tenang walaupun aku melihat ada genangan air mata di kantong matanya, dan aku memberikan sentuhan pada pundaknya. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 115
Semoga itu bisa membukatnya sedikit merasa nyaman. Sembari aku menasihati Rangga, “Tetap tegar dan kuat ya nanda demi ibumu, karena hanya kamu yang bisa menemani dan menghibur ibumu.” Aku juga menasihatinya agar tetap semangat ke sekolah dan tidak lagi membukat pelanggaran atas kedisiplinan seperti biasa. Rangga mengangguk dan berkata. “Iya Bu, saya akan berubah, saya akan membanggakan ibu saya, terima kasih atas perhatiannya, Bu.” Lalu Rangga kembali ke kelasnya dan berkumpul kembali dengan anak didik yang lain. Anak didik yang kedua yang menjadi perhatianku adalah Reno. Reno adalah anak yang berkulit hitam dan selalu berambut panjang, dia adalah anak didik yang memiliki absensi yang yang paling banyak di kelas ini. Aku sudah melayangkan surat panggilan untuk orang tuanya, aku tunggu selama dua minggu berturut‐turut, tapi tidak juga orang tua Reno kunjung datang. Tidak ada seorang pun pihak keluarga yang datang memenuhi panggilan itu. Minggu ketiga aku kembali membukat surat untuk Reno karena kasus yang sama seperti telat datang ke sekolah, masuk kelas juga terlambat, tidak membukat tugas, dan pelanggaran lainnya. Aku mulai kesal dengan kelakuan Reno, kenapa orang tuanya tidak mau datang ke sekolah demi anaknya. Esoknya aku memanggil Reno, dan bertanya kepadanya dengan nada yang kesal. “Kenapa orang tua kamu tidak datang, ini sudah surat kedua yang saya kirimkan.” Reno hanya menunduk mendengarkan omelanku. Lalu dia perlahan mengangkat kepalanya dan berkata, 116 | Safridah, dkk
“Orang tua saya tidak di sini, Bu. Orang tua saya merantau ke Jawa, ibu saya sudah meninggal, dan saya di sini tinggal dengan kakak saya. Kakak saya juga harus bekerja untuk cari uang Bu demi makan anak‐anaknya dan saya adiknya, Bu.” Reno bercerita dengan bulir air mata. Waduh, aku merasa tertampar oleh tanganku sendiri. Aku menghakimi Reno dari kemarin dan menduga reno tidak jujur kepadaku, ternyata, “Oh, Nanda, Ibu salah berpikir tentangmu. Eno panggilan kecil Reno adalah anak seorang piatu yang ditinggal mati oleh ibunya, sedangkan ayahnya juga sudah meninggalkannya dan menikah lagi dengan perempuan lain. Ayahnya tidak tiap bulan mengirimkan uang untuk biaya hidupnya. Maafkan Ibu, Reno. Selama ini tidak mengenal siapa kamu sebenarnya, latar belakang hidupmu. Ibu terlalu sibuk dengan urusan Ibu, mulai hari ini Ibu akan memperhatikan kamu Reno.” Anak didikku yang ketiga yang menjadi perhatianku adalah Wira. Wira memiliki perawakan manis dan bertumbuh tinggi. Aku senang melihat matanya yang hitam dan berbulu mata lentik. Dia juga memiliki alis yang hitam dan tebal seperti iringan semut. Wira adalah anak yang tidak memiliki ibu lagi. Wira juga sama halnya dengan Rangga dan Reno, dia memiliki kebiasaan telat datang ke sekolah hampir setiap paginya. Wira selalu tidak hadir ke sekolah tanpa informasi dari walinya. Aku mendapatkan informasi dari kakak kandungnya bahwa semenjak ibunya meninggal Wira tidak lagi penurut seperti biasanya, dia selalu marah‐marah jika disuruh kakak‐kakaknya. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 117
Oleh karena itu, pagi ini aku memanggil Wira dan sesampainya Wira di hadapanku, langsung aku bertanya kepada Wira. “Wira, kamu tahu kenapa Ibu memanggil kamu?” “Iya Bu, saya tahu. Saya selalu terlambat tiap hari ke sekolah.” “Apa alasan kamu datang ke sekolah tidak tepat waktu, bahkan kadang kamu tidak hadir ke sekolah tanpa memberitahu Ibu?” “Saya harus menjemput Reno setiap paginya Bu, Reno tidak memiliki kendaraan untuk berangkat ke sekolah, dan Reno tinggalnya sangat jauh dari sekolah. Itulah yang membukat saya dan Reno terlambat setiap paginya, Bu.” Aku tertegun dengan jawaban Wira. Di balik pelanggaran yang dia lakukan selama ini, ternyata Wira memiliki hati yang mulia untuk membantu temannya. Lalu aku mengingatkan Wira. “Wira, kamu tahu apa akibat dari semua ini? Pertama, kamu tidak bisa ikut kegiatan pagi, seperti mengaji, dan literasi, imtak, dan kegiatan lainnya. Kedua, kamu akan mendapatkan hukuman atas pelanggaran kedisiplinan yang kamu lakukan. Nah, apakah kamu mau terus begini?” Wira menjawab, “Tidak, Bu. Mulai besok, saya akan menjemput Reno lebih pagi, sehingga kami tidak terlambat lagi.” Dari permasalahan‐permasalahan dalam menghadapi anak didikku, Sekarang aku mengerti, tugas sebagai guru bukan hanya mentransfer ilmu, tapi hal yang paling utama adalah mengenal latar belakang keluarga anak didikku dan 118 | Safridah, dkk
menjadi sahabat baik bagi mereka agar mereka merasa terfasilitasi untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang tidak mereka dapatkan dari keluarga mereka. Anak didikku, aku menyayangimu! Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 119
Story 6 My Poor Students, My Dear Students By: Agustrianita, M.Pd. I n this year, not only became a teacher, but I was also chosen as a master class of ninth grade. I did not know why I was chosen, whether because I already had a higher education degree than other colleagues, or there were other considerations. But I tried to accept it. Actually, this was not the first time I became a master class, but this was the first time after my return from my study. There were 38 students in this class, they had different family backgrounds. Honestly, I did not know them too well because I only interacted with them since the last two months. Each student in this class had a different uniqueness. There were even some students that I care about. They were Reno, Rangga and Wira. I was more intense in paying attention to them did not mean that other students were not my concern, but their background were the reason that made me more extra to know them. It was not because of their success or achievements attracted me to them, but on the contrary because of their attitudes and behavior that always undiscipline in this school. 120 | Safridah, dkk
Meanwhile, the last three months I was preoccupied with one of the programs organized by the Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia, which was the process of selecting ambassadors for a technology platform that can be used by teachers and students as a source of learning both while studying face‐to‐face and online. My days were busy studying modules for the post test and making learning media as a requirement for passing to the next level. And thank God, Allah replaced my efforts and hard work by recommending me to the top 30 and took offline technology training at the next level. After the training, I was busy with socialization and making learning media which became the main task of the program. Because of my hectic tasks beside my teaching, it made me lack of time to interact with my students, both overall and personally, I also did not care of them. One day, I was talked by the principal and other teachers. It happened because almost every day my students get the punishment because they were late coming to school, incomplete uniform, long hair, and other mistakes they made. The next morning, the same thing happened again, I still saw my three students, Reno, Rangga and Wira were sitting in a separate place of the field with other students who violated school rules. I shook my head looking at them. They just looked down when they saw me. The principal immediately called out me, \"Ma'am, look at this, almost every day they are late, their attributes are incomplete\". She reminded me. And I answered, \"Yes, Ma’am, I will give them advice.\" Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 121
The next day, the principal's warning made me thought that what I had been doing was wrong. The more I let my students, the more they violated all the rules in this school. I had to do an action to fix all of this. I would be present among my students during morning activities in the field, like read Al‐Qur’an, literacy, IMTAK, cheerful mathematics, English Day, Gymnastics, and other activities. I will observe the presence and participation of my students in each of these activities. And I will also personally be called undisciplined students. Especially three of my students who became my attention at the beginning of my story earlier. One by one I called them and asked them why they did that and I gave advice so that they would not repeat it again. On Friday, I had a class in this class. Before starting the lesson, as usual I always discuss about class administratives, share important information, and give motivation for the students in order to their enthusiastic in learning. But this time, I taught with an unusual tone. I threated them that I did not want to be their master class anymore. Actually I hesitated to say all, I was afraid if they really replaced me as master class with another teacher. But apparently, I saw that they surprised and felt sadness. And I continued to tell everything about their mistakes sadly. The class became quiet; no one was able to speak. And I saw some of them crying. I tried to ask them what mistakes I had made to them. And finally there was a girl named Rara who said something. she said, \"Ma’am, you are too busy, you don't care about us, you don't love us anymore\". 122 | Safridah, dkk
Hearing Rara's words I became sad and aware of what had happened all this time, I was busy with my business and ignored them. \"Forgive me my dear students, from today I will always be with you all, and I will love you.\" The next day, I heard sad news from one of the three students, Rangga. Rangga's father died, I and the other students visited their home. When I got there I saw Rangga's mother sitting in front of a bench. And his mother tearfully said, \"I am not ready to lose my husband ma'am, I cannot afford to make my own living for my 7 children, I don't know what I will do after this, I am not ready without my husband, what should I do to care my children, Ma'am?” I responded, \"Ma'am, be patient, this is his will, we must face it, we must accept the death, I am sure you will be strong for your children. They are still small, they need a mother, they only have you now, you must be strong, Ma’am.” The next day, I asked Rangga to meet me in the office, I said my condolences for the death of his father. Then, I asked about his father's illness. Rangga told me calmly even though I saw tears in his eyes. And I touched his shoulder. Hopefully, that it could make him feel a bit of comfortable. While I advised to Rangga, \"You must be strong for your mother, only you who can accompany her.” I also advised him to be dilligent to go to school and did not make violations of discipline as usual. Rangga said, \"Yes, Ma'am. I will not do it anymore, thank you for your attention, ma'am.\" Then Rangga returned to his class and reunited with other students. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 123
The second student was Reno. Reno is a black child and always has long hair. He had the same case with Rangga, he was a student who had the most absences in this class. He is always late to come to school, did not do assignments, and other violations. I annoyed with Reno's behavior. I sent a letter to his parents, I waited for two weeks, but Reno's parents did not come. No one from his family came to school. The third week I sent the second letter for his parents. As usual, his parents did not come to school. The next day I called Reno, and asked him, \"Why are your parents not coming, this is already the second letter I sent.\" Reno just looked down listening to me. Then he slowly raised his head and said, \"I do not live with my parent, Ma’am. My mother migrated to Thailand, and my father has remerried, and I lived here with my sistMer. y sister also has to work to earn money for her children and me Ma'am, my father does not send money every month for my living cost.\" Reno cried. I could not believe it. I judged and suspected him yesterday, I thought wrong of you. “Please, forgive me, Reno. I didn't know who you really are, your life background, I was too busy with my business, from today I will pay attention to you, Reno.” My third student was Wira. Wira had a sweet face. I love seeing his black and fluffy eyes. He also had thick black eyebrows like ant accompaniment. Wira was a child who did not have a mother anymore. Wira was also the same as Rangga and Reno, he had a habit of being late to school 124 | Safridah, dkk
almost every morning. Wira always does not come to school without information. I got information from his sister that since his mother died Wira was no longer obedient as usual, he was always angry when his sisters adviced him. Therefore, this morning I called Wira and when Wira arrived in front of me, I immediately asked Wira, \"Wira, do you know why I am calling you?\" \"Yes, Ma'am. I know. I am always late every day to school.\" \"Tell me the reason why do you always come late? Sometimes you don't even attend school without information?\" \"I have to pick Reno every morning Ma’am, Reno doesn't have a vehicle to go to school, and Reno lives very far from school, that's what makes me and Reno late every morning mom.\" I was surprised by Wira's answer. Beside the violations he did it, actually Wira is a kind hearted to help his friends. Then I reminded Wira, \"Wira, do you know what is the result of all this? First, you cannot take part in morning activities, such as reading Al‐Quran, literacy, IMTAK, and other activities. Second, you will get a punishment for violations that you do, well ... after this, do you want to do more your negative attitudes?\" Wira answered, \"No Ma'am, from tomorrow, I will pick Reno early, so we will not be late anymore.” Dealing with my students’ problem, now I understand that the role as a teacher is not only transferring knowledge, Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 125
but also the most important thing is to know the background of my students' families and become good friends for them so that they feel facilitated to get the attention and affection that they don't get from their family. My students, I love you! 126 | Safridah, dkk
Tentang Penulis Agustrianita, lahir di Air Molek, 07 Agustus 1983. Penulis adalah anak ketiga di antara lima bersaudara. Penulis mengawali pendidikan formalnya di SDN 05 Pasir Penyu. Di SMPN 02 Pasir Penyu, dan SMAN 01 Pasir Penyu, INHU, RIAU. Setelah itu penulis melanjutkan pengembaraan intelektualnya dengan belajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Riau, dan selesai tahun 2007. Penulis juga telah merampungkan S2 di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung pada tahun 2019. Penulis sudah mengawali karirnya sebagai kuli tinta semenjak masih kuliah di S1 tahun 2005, dan penulis memiliki pengalaman mengajar di sekolah‐sekolah swasta dan negeri. Penulis pernah menjadi guru honorer MTs dan MA di Pondok Pesantren Dar‐el Hikmah Pekanbaru. Penulis diangkat menjadi ASN tahun 2010 dan mengajar di SMPN 1 Peranap INHU Riau, empat tahun berikutnya penulis pindah kerja ke SMPN 22 Pekanbaru, dan penulis juga mengajar di SMPN 40 Pekanbaru hingga sekarang. Selain itu, penulis juga aktif mengelola salah satu pelatihan online seperti Virtual Coordinator Training yang merupakan program kerjasama SEAMEO dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dan penulis adalah salah satu instruktur perwakilan Riau pada pelatihan itu. Wa : 081365700281 Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 127
Cerita 7 Guru kecilku Oleh: Ilmawati, S.Pd. Guru Bahasa Inggris SMP Islam Riau Global Terpadu Pekanbaru S iang ini setelah pulang dari MGMP, jadwalku mengajar di kelas 8 Arqam bin Abil Arqom. Kelas ini berada di lantai 3 jadi aku butuh sedikit perjuangan untuk sampai di kelas ini. Kutelusuri lorong tangga sekolah sambil membayangkan wajah murid‐muridku, sehingga langkahku tepacu dan tak kurasakan lelah menaiki setiap anak tangga sekolah ini. Tanpa sadar akupun sudah berada di depan pintu kelas mereka. Tak lupa kuucapkan salam ketika memasuki kelas dan menyapa mereka. 128 | Safridah, dkk
Seperti biasa mereka menyambutku dengan hangat dan penuh semangat. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh.” “Come on get ready, please!” Ketua kelas dengan sigap langsung merespon instruksiku, “Sit nicely, fold your hand and be quiet, please!” Semua langsung rapi dan siap untuk belajar. “Greeting!”, “Good afternoon, Miss.” “Good afternoon my lovey, my handsome, and my beautiful students. How are you this afternoon?” “Alhamdulillah, amazing, allahuakbar, wonderful, and great and you?” “Alhamdulillah, fantastic, Allahuakbar, fabulous and fine and nice to meet you?” “Nice to meet you, too.” Ketika aku ingin memberikan pertanyaan lanjutan, beberapa orang anak langsung mengingatkan password belajar kami. Tanpa instruksiku semua langsung merespon temannya dan berekspresi dengan semangat “English... is effort. easy, fun, funtastic, out standing, right, talk directly, masyaallah.” Mereka membukatku mengaguminya dan memompa semangatku untuk mengajar lebih baik lagi di kelas ini. Mereka selalu membukatku jatuh cinta. Aku tersenyum lebar dan berbinar binar menatap mereka dan tertegun untuk beberapa saat. Dalam hati kecilku, Aku memuji keagungan Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 129
ciptaan Allah swt dan memuji semangat mereka. Beberapa orang anak menyeletuk dan membuyarkan konsentrasiku “Vocab...Vocab...Vocab...” “Be patient, please!” jawabku Mereka selalu meminta dan menagih their English score setiap masuk. Walaupun aku sudah mengatakan aku hanya memberikannya satu kali dalam seminggu. Sebenarnya ini aku lakukan sebelumnya untuk menambah kosakata dan memudahkan mereka dalam belajar dan berbicara bahasa Inggris dalam kehidupan sehari‐hari. Ini seperti ajang kompetisi bagi mereka karena jika mereka benar. Mereka akan mendapatkan English Score. Kosakata ini kuberikan dalam bentuk spelling and mention. Jika aku mengejanya maka mereka harus menyebutkan kata yang sudah kueja. Sebaliknya jika aku menyebutkannya maka mereka harus mengejanya in English. Bagi yang menjawabnya dengan benar dan mampu menyebutkan artinya maka mereka mendapatkan satu English score untuk satu jawaban. “Ok, today I will give you five vocabularies.” “Yaah, only five miss?” Beberapa orang menyeletuk menunjukkan ketidaksetujuannya. “Yes, Dear, next week I will give you more.” Aku berusaha melobi mereka agar setuju denganku. Permainan kosakata pun dimulai. Aku menyebutkan kata “shrill” dan semuanya berebut untuk menunjuk tangan. “Ok, Aji, please.” “Es – ar – ai – el” Aji berusaha mengejanya dengan hati‐ hati. 130 | Safridah, dkk
“Nice trying, Dear.” “I wanna answer, Miss,” ucap Pasha dengan tangannya yg masih terangkat tinggi. Kuberikan kesempatan kepadanya untuk menjawab. “Es – ar – i – el – el,” jawabnya dengan lantang. “Almost right, Dear,” kataku Bulan menyeletuk, “Would you like to repeat, please Miss?” Aku sebutkan sekali lagi dengan pronunciation yang lebih lantang dan juga memperdengarkan mereka suara native dari handphone‐ku. Bulan dengan sigap menunjuk tangan dan mengejanya dengan percaya diri. “Es – ar – eitʃ ‐ ai – el – el,” katanya “Yes, little more. You are almost right, Honey.” Faiz pun mengacungkan tangan, “I wanna try, Miss.” “Ok. Faiz,” ucapku “Es – eitʃ ‐ ar ‐ ai – el – el,” jawabnya dengan semangat. “Yes, right. Good job Faiz,” kataku tanpa lupa memujinya “Yes!” ucap Faiz sambil mengepalkan kedua telapak tangannya dan dengan wajah yang sumringah. Dan yang lainnya menyeletuk, “Ya iyalah, Miss Faiz can answer. He is good in English and he is smart too.” Tanda mereka tidak bisa menerima Faiz mendapatkan English Score. Bulan pun ikut menjawab, “Apalah Miss ni, I answer the same with him and you blame me.” Kelas menjadi riuh dan heboh sesaat. Aku pun berusaha menenangkan dan memberikan pengertian kepada mereka. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 131
“Dear, all of you are smart students and good in English too. You must accept that Faiz could answer it well. And you must be proud of him. Ok my lovely.” “Ok, Miss,” ucap mereka serentak. Inilah saatnya aku harus menanamkan karakter kepada mereka dan tidak lupa selalu memberikan pujian ketika mereka bisa dan berani melakukan sesuatu. Aku pun melanjutkan permainan dengan menanyakan arti dari kata tersebut. Semuanya berebut mengacungkan tangan untuk menjawabnya kecuali Bulan. Dalam benakku mungkin dia memang tidak tahu artinya. Tanpa ada rasa curiga, kulanjutkan dengan mengeja kata lain dan kelas pun kembali heboh, tetapi tetap saja bulan hening dan tidak aktif seperti teman‐temannya yang lain. Kudekati dia dan menanyakan apa yang sedang dia rasakan. Masih hening dengan wajah yang kurang bersahabat. Kusentuh pundaknya dan ber kata, “What’s wrong with you, Kak?” Tiba‐tiba dia menepis tanganku dengan kuat dan menundukkan kepalanya di meja sambil berceloteh tak karuan, sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Reaksinya membukatku terkejut, namun aku tetap berusaha tenang. Dan tanpa putus asa, kuusap kembali pundaknya dan mencari tahu apa yang terjadi dengannya. Dia melakukan hal yang sama, menepis tanganku lebih kuat tanpa mengangkat kepalanya, dan berkata, “Stop it, Miss! Don’t care with me!” Aku tersentak dan tanpa sadar hal itu memicu kemarahan teman‐temannya yang lain karena menurut mereka Bulan tidak semestinya bersikap tidak sopan terhadapku. 132 | Safridah, dkk
“You must be polite! Miss is our teacher,” ucap Zyland si ketua kelas dengan emosi. “Baik‐baiklah ngomong sama guru tu,” celetuk Aji yang duduk satu kelompok dengannya. Murid yang lain akhirnya ikut nyeletuk juga karena geram melihat sikap Bulan terhadapku “Hargailah, Miss tu, she asked you kindly,” ujar Fadhil. “Ntah... nggak polite you,” ujar yang lainnya Melihat suasana kelas menjadi ribut, aku langsung meminta mereka untuk tenang dan kembali fokus pada pembelajaran. Tak lupa sebelum melanjutkan pelajaran kuberikan beberapa nasihat kepada mereka. Aku meminta mereka untuk berhenti mengatakan hal buruk kepada Bulan dan membiarkannya beberapa saat agar dia merasa lebih baikan. “Tidak boleh langsung meng‐judge‐nya tanpa kita tabayyun terlebih dahulu. Bisa jadi dia sedang bermasalah atau sedang sakit, sehingga dia tidak mau diganggu,” ucapku. Kami masih melanjutkan permainan kosakata. Sesuai janjiku untuk memberikan mereka lima kosakata baru hari ini. Dalam keasyikan bermain, tiba‐tiba Hulwa, teman satu kelompok Bulan berbisik kepadaku. “Miss, I think she couldn’t accept her defeat. She told me that you were not fair. I told her that you were err and didnt mean to do that,” bisiknya “Oh, thank you, Sayang, you are good friend,” kataku. “Bulan’s blood type is O, Miss. Orang darah O selalu ingin menang,” sambungnya lagi. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 133
Aku sangat berterima kasih kepadanya. Karena menurutku dia sangat peduli kepada Bulan dan mencintainya. Aku katakan padanya bahwa Bulan anak yang baik dan pasti akan menerima kalau dia salah dalam menjawab sebelumnya. Mungkin dia hanya sedikit sensitif hari ini. Bulan adalah anak yang sangat baik dalam pelajaran bahasa Inggris. Dia sangat baik dalam mempraktikkannya. Aksen yang dia gunakan adalah British dan menurutku dia seperti native speaker. Dia jauh lebih baik dariku dalam berbicara (speaking skill). Dia adalah siswi pindahan jadi dia termasuk baru di sekolah ini. Dia datang ke sekolah ini di awal semester satu kelas 8. Walaupun seperti itu, aku sangat akrab dengannya. Dia selalu cerita apa saja; tentang sekolah lamanya, teman‐temannya atau pun perasaannya berada di sekolah ini. Semua itu diceritakan dalam bahasa Inggris. Dia anak yang periang, aktif, dan juga sopan. Karenanya, aku agak sedikit terkejut dengan yang dia lakukan baru saja. Wali kelasnya pernah menyampaikan kalau dia sering moody juga dalam kegiatan sehari‐hari di kelas. Setelah permainan kosakata, aku melanjutkan kegiatan pembelajaran terkait asking and giving instruction. Tiba saatnya untuk duduk berkelompok untuk mendiskuskan lembar kerja yang kuberikan. Agar kelompoknya lebih bevariasi, saya buatkan kertas undian dan meminta siswa untuk mengambilnya satu per satu. Saatnya giliran Bulan untuk mengambil undian. Setelah lebih kurang 15 menit kubiarkan dan kuperhatikan diam‐diam gerak geriknya. Dia terlihat sudah membaik walaupun masih belum aktif seperti 134 | Safridah, dkk
siswa‐siswi lainnya. Kuberjalan mendekat ke mejanya dan memintanya untuk mengambil. “Kak Bulan, Sayang. Please, take one,” ucapku. “Udahlah, Miss! Don’t disturb me! Don’t care about me, just care about the others! Don’t pretend to be kind to me!” ucapnya tiba‐tiba dengan wajah memerah dan mata yang bekaca‐kaca. Jantungku berdegup kencang dan lututku terasa lunglai mendengar kata‐katanya. “Astaghfirullah, apa yang sudah kulakukan padanya?” ucap batinku. “Sayang, I am so sorry if I did something wrong to you, but all of you are same. All of you are my students.” Aku berusaha menenangkannya “Apalah, Miss ni, udahlah, Miss, just go to others! I tried to answer but you didnt say that I am right. When the other answered, you said that they are correct and gave them chance to answer. You sengaja cari salah ai,” ujarnya panjang lebar sambil menusuk‐nusuk bukunya dengan pena untuk meluapkan kemarahannya padaku. Aku tersenyum dan berkata dengan lembut kepadanya walaupun mataku juga sudah berkaca‐kaca terbawa suasana melihat ekpresinya. “Sayang, Kak Bulan, I did’nt mean to do that. You are really good at English. But I am so sorry, you were wrong before and I only wanna give chance to others because all of you are the same and I love you all. Udah ya Kak, my saleha, sorry,” jawabku berusaha memberikan pengertian dan membujuknya. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 135
Namun, dia lebih bereaksi dari yang sebelumnya dan beranjak pergi dari tempat duduknya dan duduk di kursi bagian belakang. Kuikuti langkahnya dan kuusap pundaknya berharap bisa membujuknya, dan membukatnya merasa disayang. Karena yang kutangkap adalah dia merasa cemburu dan dibedakan dengan yang lainnya. Padahal dia adalah siswi favoritku. “Go away from me, stop trying to be kind to me. I have told you don’t disturb me and if you think that you are always right, just care about the others,” ujarnya lebih keras. Aku pun merasa agak kesal dengan reaksinya karena menurutku ini sudah kelewatan dan tidak sepantasnya dia berbicara keras seperti itu padaku “It’s up to you, Kak. I have told you that all of you are my students and no differences among you. Why should you angry at me? I think, I should angry at you because you weren’t behaving well, but I try to understand you. Istighfar in you heart wish Allah will soften your heart,” jawabku panjang lebar dan meninggalkannya sendiri. Aku kembali mengecek diskusi dan kerja kelompok yang dilakukan siswa‐siswi lainnya. Aku bisa melihat kegeraman wajah teman‐temannya karena telah memperlakukanku seperti itu. Terlihat dari tatapan sinis mereka kepada Bulan. Aku berusaha menenangkan dan menasihati mereka agar tidak membencinya karena dalam benakku dia akan membaik. Bisa saja dia hanya mencari perhatianku dan ingin diperlakukan lebih dari yang lainnya atau memang dia in bad mood saat ini. Tapi walaupun begitu, perilaku tersebut tidak baik untuk ditiru. 136 | Safridah, dkk
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258