“Haa! Are you serious?” “Yes, I am.” “Alright! Let’s do it! I will accompany you.” I saw Habibi happily. I smiled. I brought Habibi to meet Ms. Mutia. I told her that Habibi was ready to have the test. I was with him when he did the test. He did it in the teacher’s office. Around 15 minutes I asked him whether he got difficulties to do the test. “Well, Habibi. Do you find the problem to do the test?” Habibi saw me, then said, “No, Mam. It’s done.” “Haa! Habibi... Are you sure?” Again, I was shocked with his answer. “Yes, Mam. I’m very sure.” He said it calmly. “Ooo, alright thanks a lot, Dear.” I thanked him and smiled. Then Habibi went back to his class. Yaa, Allah...! Alhamdulillah. I’m speechless. In fact, the problem was not as hard as I imagined. I really felt happy that it could be solved well. There was another important thing I found. It was that the good communication and the pure attention can solve the problem. Then my happiness continued. I got a lot surprised from Habibi after that matter. Habibi always be the first student to demonstrate the conversation in front of the class. He also did all English assignment. He did them very well. There were many things that made me happy then. Habibi did azan beautifully every praying time came. He also read some verses of Al‐Qur’an before it in Al Firdaus Masjid. It’s the name of the masjid in our school. He read them very beautifully. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 37
The best surprised he gave to me was when he got the first champion of MTQ in distric level. Masyaallah. Alhamdulillah. Thanks a bundle yaa Allah. Suddenly I remember one verse of Al Quran. “Is there any reward for good other than good?” (QS. Ar Rahman: 60). “Thank you very much for such great reward, Kid. Please keep spirit always Habibi. I pray that you will do your best there. 38 | Safridah, dkk
Tentang Penulis Marlina dilahirkan di Lirik, Indragiri Hulu, Riau pada tanggal 20 Agustus 1966. Ayahnya bernama Armansyah dan ibunya bernama Saniwar. Dia adalah anak kedua dari 9 bersaudara. Setelah menamatkan sekolahnya di SMPN Lirik, dia melanjutkan pendidikannya di SPG YPW Bhakti Pertiwi Rengat pada tahun 1982. Sedari kecil, dia sudah bercita‐cita menjadi seorang guru, maka dia melakoni masa sekolahnya di SPG dengan suka cita dengan selalu menjadi juara umum selama 6 semester. Ketika tamat SPG pada tahun 1985, dia sudah membayangkan betapa menyenangkannya akan segera menjadi guru. Tapi dia harus menahan keinginannya karena pada waktu itu ada aturan yg mengharuskan peringkat 1 s.d 10 harus melanjutkan pendidikan dan tidak boleh melamar jadi guru. Bahasa Inggris menjadi pilihannya karena waktu itu dia berpikir itu akan menjadi jendela untuk melihat dunia dan Universitas Riau mewujudkan impiannya. Sekarang dia mengabdikan dirinya sebagai Pendidik di SMPN MADANI Pekanbaru, sebuah Boarding School yang mensyaratkan lulusannya hafiz 15 juz. Pengarang ini aktif di Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Inggris Kota Pekanbaru. Sejak Oktober 2018, dia dipercaya untuk menjabat sebagai ketua MGMP tsb. Dia merupakan salah seorang Instruktur Bahasa Inggris di Kota Pekanbaru. Tugas tambahan yang diembankan kepadanya sejak tahun 2000 itu dilaksanakannya dengan penuh bahagia, Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 39
karena tugas itu mengantarkannya menjelajahi banyak kota di Provinsi Riau. Di samping sebagai instruktur untuk Pendampingan Kurikulum 13 SMP mata pelajaran bahasa Inggris, dia juga merupakan Instruktur Nasional (IN) pada Program Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Meskipun tugas ini berat, dia bersyukur dapat terlibat pada program ini. Program ini membukatnya mendapatkan ilmu yang sangat banyak. Dia juga mengelana ke beberapa kota besar untuk Program Penyegaran IN dan bertemu teman‐teman baru dari provinsi lain. Buku ini adalah Antologi Cerpan ke enamnya, setelah Momentum Of Lebaran (MOL), Kartini Milenial, Hati yang Selalu Tertuntun dan Kampung Akhirat yang sudah terbit, dan Orang‐ Orang Cemerlang yang akan segera terbit. Mampu menulis adalah merupakan impiannya yang menjadi nyata. Impian yang dia anggap mustahil pada awalnya. Kemauan, kerja keras, dan dukungan dari orang‐orang tersayang, akhirnya mampu mewujudkan impiannya itu. 40 | Safridah, dkk
Cerita 3 GIFTED (Biarkan Kuncup Mekar Kembang Jadi Bunga) By: Dedi Saputra S etiap anak dianugerahi apa yang aku sebut dengan “karunia” dari Sang Pencipta. Karunia yang bagaikan kuncup yang nantinya akan indah mekar pada waktunya. Anak‐anak memiliki “karunia” tersendiri yang dengan cara nya sendiri akan berubah seiring perputaran waktu. Sebagaimana bumi yang terus bergerak berputar menciptakan dimensi ruang dan waktu, maka kita akan menemukan anak‐anak dengan “karunia” tersebut menjadi sosok lain di waktu yang berbeda oleh karenanya jangan memandang mereka sebagaimana mereka 10 tahun yang lalu, 20 tahun yang lalu, tapi pandanglah mereka sebagai diri Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 41
mereka saat ini. Sebagaimana aku menemukan lagi mereka dengan sosok yang berbeda. Pekanbaru, Oktober 2007. Pagi hening, aku segera bergegas. Kumasukkan semua perlengkapan kedalam tas sandang hitam kebanggaanku. Kuperiksa semua sumber listrik aman. Aku tak mau hanya karena kekhilafan kecil menimbulkan kemalangan besar. Kebakaran karena arus pendek misalnya. Aku segera berangkat menuju jalan utama. Butuh sepuluh menit untuk sampai ke jalan utama dengan berjalan kaki. Aku berdiri di sisi jalan, menunggu oplet hijau yang kala itu masih ramai lalu lalang. Aku memang memilih untuk berangkat pagi‐pagi sekali agar tak terlambat. Aku pun tak suka jika harus bermacet ria dijalanan hanya karena berangkat di jam padat. Memakan waktu dua puluh menit untuk sampai ke tempat aku bekerja. Aku mesti berjalan kaki sekitar 200 meter dari jalan utama. Lumayan hitung‐hitung olahraga pagi. Maklum sejak bekerja, olahraga seakan sesuatu yang amat sulit dilakukan. Saat aku tiba di gerbang sekolah itu, suasana masih sepi. Hanya beberapa kendaraan roda empat yang parkir sebentar di areal parkir. Hanya sebentar, sejurus kemudian kendaraan‐ kendaraan tersebut pergi setelah seorang atau dua orang anak‐anak usia sekolah dasar turun. Ada yg bergegas menuju pintu gerbang, ada yg berjalan santai bahkan ada yg terlihat enggan turun. Aku memerhatikan dari pos keamanan yang persis berada di samping gerbang masuk. Beberapa guru yg telah datang pun bergegas meletakkan pernak‐pernik perlengkapan masing‐masing dan segera kembali bergegas 42 | Safridah, dkk
mengambil posisi berbaris di sepanjang depan pintu masuk. Bergantian menyambut siswa yg hadir. Menyalami mereka satu per satu. Siswa laki‐laki hanya bersalaman dengan guru‐ guru laki‐laki sementara siswa perempuan hanya bersalaman dengan guru‐guru perempuan pula. Pukul 07.30 WIB bel tanda masuk berbunyi. Setiap kelas mempersiapkan kelas masing‐masing. Wali kelas membimbing murid‐muridnya didampingi asisten wali kelas. Setelah semua beres, guru‐guru juga ikut masuk ke kelas masing‐masing. Uniknya di sekolah ini tidak punya ruang majlis guru. Jadi di mana mereka? Guru‐guru di sekolah ini ngantornya di kelas‐kelas. Di setiap kelas ada dua guru. Wali kelas dan asisten. Mereka berbagi ruang kelas dengan siswa. Meski berbagi, masing‐masing kelas cukup luas, bahkan bisa dipartisi ke dalam area‐area sesuai dengan kebutuhan misalnya pojok baca, pojok sains, pojok computer, dan lain‐ lain. Aku masih terhitung guru baru di sekolah ini. Enam bulan pertama ini statusku adalah guru kontrak. Setelah sebelumnya sebagai guru training pada 3 bulan pertama. Demikian memang standar operasional di sekolah ini meskipun aku masuk dengan rekomendasi seorang teman yang sebelumnya mengajar di sekolah ini, namun harus resign karena diamanahi menjadi kepala sekolah di sekolah lain. Enam bulan ini kurasakan berat secara psikhis. Begitu banyak hal yang harus aku pahami dan perbaiki sebagai guru. Aku memperoleh begitu banyak pelajaran berharga dari setiap orang di sekolah ini. Mulai dari kepala sekolah hingga bapak kantin. Terutama sekali dari setiap anak yang kuajar. Aku Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 43
banyak belajar dari sosok‐sosok polos dan jujur tersebut. Pelajaran tentang arti kehidupan, arti cinta, dan ketulusan. Menerima setiap karakter berbeda yang diciptakan sebagai sebuah karunia. Menerima kelebihan dan kekurangan orang lain sebagai anugerah dari Sang Maha Pencipta. Anak‐anak usia 6 hingga 12 tahun (usia sekolah dasar) memang masih bahan mentah. Masih asli. Semua yang mereka tampilan adalah apa yang mereka miliki secara alami. Melakukan banyak hal dengan spontan dan jujur tanpa memikirkan akibatnya. Sangat berbeda saat menemukan mereka nanti di saat SLTA dan pastinya akan semakin berbeda saat bertemu mereka sebagai mahasiswa. Selain sebagai wali kelas, aku sedikit berbeda dari wali kelas lain yang hampir seluruh waktu mengajarnya nerada di kelas masing‐masing. Sementara aku, selain sebagai wali kelas, aku diamanahi pula untuk mengajar pelajaran bahasa Inggris di kelas 2 hingga 5. Pada awalnya aku diminta untuk mengejar semua kelas. Namun, aku meminta pertimbangan lagi karena aku juga sebagai wali kelas. Selain itu, aku pun merasa belum punya cukup kemampuan menghadapi anak kelas 1 dan kelas 6. Aku dapat membayangkan anak kelas 1 yang baru selesai dari TK, masih dengan perangai mereka di sana. Dan benar, beberapa kali aku saksikan wali kelas anak kelas 1 yang tergopoh‐gopoh membawa salah seorang anak ke kamar mandi karena buang air di kelas. Sementara kelas 6, aku belum siap mental untuk mempersiapkan mereka menghadapi Ujian Nasional. Kesempatan menjadi guru mata pelajaran di hampir semua kelas tersebut memberikan kesempatan bagiku untuk dapat berinteraksi lebih dengan 44 | Safridah, dkk
lebih banyak murid dan hal itu memberikan banyak kesempatan padaku untuk mengenal anak‐anak yang memiliki apa yang aku sebut “karunia” dari Sang Pencipta. *** Hari itu, salah seorang rekan menyampaikan padaku bahwa kepala sekolah memanggilku ke kantor. Ini untuk yang kali kesekian aku dipanggil untuk menemui kepala sekolah selama 2 bulan pertama aku mengajar di sini. “Apa lagi ini?” pikirku. Sebenarnya aku tahu kenapa aku dipanggil kali ini. Pasti karena aku tadi melempar salah seorang siswa kelas 2 dengan spidol. Aku tak sanggup menahan emosiku saat si anak yang tak bisa diam. Berjalan‐jalan di kelas mengganggu temannya, tidak memperhatikan, mengoceh, dan segala hal yg dia lakukan. Refleks aku melemparkan spidol di tanganku ke arahnya. Tepat mengenai bahunya. Anak tersebut kaget dan terdiam. Kulihat dia sedikit gemetar. Kelas menjadi hening. Aku merasa seakan tersangka saat itu. Apa yg anak‐anak ini pikirkan tentangku? “Ustaz memanggil Ana?” Aku sedikit kaku. “Eh, gimana kabar Antum hari ini?” Sebenarnya aku tahu itu hanya pembuka saja. “Baik, Ustaz,” jawabku. Selanjutnya pembicaraan justru tentang bagaimana keluargaku, sampai soal kapan rencanaku menikah. Sampai akhirnya waktu zuhur tiba dan pembicaraan berakhir tanpa sedikit pun membicarakan tentang kejadian di kelas tadi. “Jadi aku dipanggil tadi kenapa?” pikirku, “hanya untuk ngobrol saja kah?” Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 45
Aku pikir masalah itu selesai, keesokan harinya seoang ibu muda sekitar 35 tahunan menghampiriku dengan wajah sedih. Dan akhirnya dia menangis. Ya, anak yg kemarin aku lempar adalah anaknya. Aku hanya terdiam mendengarkannya bertutur. Saat dia mengatakan, “Di rumah dia selalu dipukul oleh ayahnya, saya hanya bisa menangis, kalau ternyata di sini dia pun diperlakukan demikian saya tidak tahu harus ke mana menyekolahkan anak saya. Jadi saya mohon anak saya diperlakukan dengan baik. Beri saja dia nasihat. Karena dia sudah trauma dengan ayahnya di rumah.” Setelah ibu tersebut berlalu, aku pun menemui kepala sekolah. Aku tahu bahwa beliau telah tahu maksud kedatanganku. Dengan penuh kebijaksanaan beliau berkata, “Begitulah kita di sini Ustaz. Anak‐anak yang diamanahkan kepada kita memang memiliki karakter yang berbeda. Pun dengan latar belakang yang berbeda, sehingga kita memang dituntut untuk bisa memahami hal tersebut. Berikan cinta dan ketulusan kepada mereka, insyaallah mereka akan menjadi mutiara yang bersinar di kemudian hari. Bima, saat ini mungkin sedang dalam kondisi labil. Orang tuanya sedang bermasalah. Hampir setiap hari ayah dan ibunya cekcok di depannya. Tak jarang Bima menjadi sasaran kemarahan ayahnya. Semoga Ustaz dapat memahami hal ini. Berikan kesempatan kepadanya untuk meluapkan perasaanya dengan melakukan hal‐hal yang mungkin bagi kita menganggu.” Aku menggangguk khidmat. “Baik, sudah waktunya istirahat siang. Ayo, kita sama‐ sama ke musala,” pangkasnya meangakhiri dialog panjang itu. 46 | Safridah, dkk
“Mari Ustaz,” ucapku. Kami pun segera melangkah beriringan menuju tempat wudu. Kumandang Azan sudah pula terdengar dari musala sekolah menentramkan hatiku. Aku berjanji akan lebih berbesar hati untuk menerima setiap karakter anak‐anak yang kuhadapi. Dan saat ini, aku harus menemui Bima dan meminta maaf padanya. Namun, sepertinya aku belum meminta maaf padanya. Saat itu sampai kemudian 7 Tahun kemudian, takdir kembali membawaku ke kota ini, Pekanbaru. Banyak yang telah berubah di sini. Pembangunan maju pesat. Hingga dijuluki kota seribu ruko. Jalan‐jalan semakin baik dan volume kendaraan pun semakin besar membukat jalanan padat merayap apalagi di jam‐jam sibuk antara pukul 7–8 pagi. Hari ini aku mengunjungi Ustaz Zumri, rekan kerjaku saat aku masih mengajar di kota ini. Maksud kedatanganku ini memang bukan hanya sekadar bersilaturahim, tapi memang aku juga akan menemui pihak yayasan untuk tes dan interview. Ya, aku memutuskan untuk kembali ke kota ini. Mungkin ini adalah garis takdirku. Sekian tahun berpindah dan berganti pekerjaan akhirnya aku kembali lagi ke kota ini dan ke tempat ini. Akhirnya aku dinyatakan diterima dengan 3 bulan masa percobaan. Meskipun aku pernah mengajar di sini, tetap saja prosedur standar harus aku lalui. Hari itu aku belum masuk, tapi aku belum ingin pulang. Aku memilih melihat‐lihat lingkungan baru tempatku mengajar nanti. Menurut Ustaz Zumri, ada enam kelas SLTP dan enam kelas SLTA. Aku terus berjalan pelan. Sesekali berpapasan degan siswa yang lewat. Mereka hanya memandangku sejenak, Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 47
kemudian berlalu. Mungkin tak ada yang menarik dariku. Melangkah di kelas 12 ikhwan, tiba‐tiba sesosok remaja tinggi, gagah, dan berkumis tipis keluar dari kelas dan mendekatiku. Menjabat tanganku dan mencium tanganku. Aku terheran, ini hari pertama aka ke sini. Remaja laki‐laki itu tersenyum padaku dan berkata “Ustaz Dedi kan? tanya nya. “Iya, siapa ya?” Aku meragu. “Ah, Ustaz udah lupa ni?” tegasnya. “Afwan, iya lupa, siapa ya?” Aku masih belum mampu mengingatnya. “Ustaz pernah ngajar di SD Al Fityah kan?” jelasnya. “Iya,” jawabku “Ustaz pernah jadi wali kelas ana waktu kelas 3 Tabuk,” ungkapnya Aku masih berusaha mengingat‐ingatnya. “Ustaz ingat nggak dengan seorang murid Ustaz yang nakal, nggak bisa tenang di kelas, dan akhirnya Ustaz pun melemparnya dengan spidol.” Dia menerangkan. Aku kaget. “Bima! Bagaimana mungkin aku lupa?” “Iya Ustaz, ini ana, Bima. Bima udah kelas 12, insyaallah tahun ini tamat dan insyaallah lanjut kuliah Ustaz,” paparnya. “Bima, Ustaz minta maaf ya atas semua yang Ustaz pernah lakukan pada Antum saat itu,” ujarku. “Nggak lah Ustaz, memang ana yang nakal kok, wajar kalau Ustaz marah. maklum juga Ustaz waktu itu kan masih baru. Belum kenal kami, tapi sejak Ustaz jadi wali kelas kami, kan nggak pernah lagi Ustaz marah‐marah,” ujarnya lagi 48 | Safridah, dkk
“Oh ya, yg lain ke mana. Iqbal, Ammar, Dhian, Baim, Vivi, Ainun, siap lagi eeee Salma dan kawan‐kawan?” tanyaku. “Beberapa ada lanjut di sini Ustaz. Ammar, Dhian, dan Baim di sini. Salma dan Halimah juga di sini. Kalau Iqbal dan Ainun di sekolah lain,” ujarnya. “Sampaikan saja salam ana ya, nanti kita lanjutkan lagi obrolannya saat Ustaz masuk di kelas antum. Insyaallah semester ini ana masuk mengajar di kelas antum juga,” terangku. “Ok, Ustaz, nanti ana sampaikan salamnya.” Bima pun menjabat tanganku sebelum kami berpisah. Ada kelegaan yang luar biasa saat permintaan maaf itu tersampaikan dan dimaafkan dengan indah. Zidhan Ahmad Elnaufali “Assalamualaikum Ustaz Dedi” Sebuah ucapan salam muncul di layar hp‐ku Siapa ini, sesosok wajah yang rasanya tak aku kenali. “Waalaikum salam, maaf ini siapa ya?” Kubalas chat itu. “Ini Zidhan, Ustaz?” jawabnya “Zidhan mana ya?” tanyaku. “Zidhan Ahmad Elnaufali, siswa SD Al Fityah Ustaz, kelas 3 Tabuk. Ingat Ustaz?” Seketika aku langsung kembali menyusuri 10 tahun terakhir aku di SD Al Fityah. “Ustaz Dedi, Ustaz Dedi.” Suara Ainun dan Fanisha memanggilku. “Ya ada apa Ainun?” tanyaku. “Zidhan nangis, Ustaz,” jawabnya Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 49
“Loh, kenapa nangis?” tanyaku “Kena air panas dari dispenser,” terang Ainun. Aku pun bergegas ke kelas. Terdengar suara tangis sesenggukan Zidhan. “Ada apa Zidhan?” tanyaku sambil menyentuh pundaknya. “Tangan Ana kena air panas ustaz, dari dispenser,” katanya di sela isak tangisnya. “Loh, siapa ini yang menyalakan dispenser. Kan sudah Ustaz katakan dispenser ini jangan dicolokkan kabel power‐ nya.” “Nggak tahu Ustaz siapa yang nyolokin.” Hampir berbarengan mereka menjawab. “Ya udah, insyaallah nggak apa‐apa.” Aku oleskan minyak bubut pada. Panas dispenser itu tidak sampai membukat kulit melepuh seperti halnya air panas mendidih yang dimasak. Aku memberi penjelasan sembari mengoleskan herbal tersebut di tangannya. Tangisnya pun tak lagi terdengar. Hanya sesekali menyeringai menahan sakit. “Ustaz?” Chat kembali masuk. “Oh iya, Ustaz ingat. Zidhan yang sering nangis itu kan?” balasku. “Hehe iya, Ustaz.” “Di mana sekarang Zidhan? Kok kayak di Jepang gitu background fotonya?” “Iya, Ustaz, Zidhan di Jepang. Tamat SMP Zidhan ke Jepang. Beasiswa.” “Mantap. Sambil kerja?” “Iya, tamat nanti juga langsung kerja di sini.” 50 | Safridah, dkk
“Nggak nangis lagi kan?” “ya nggak lah Ustaz. Hehe.” “Kapan balik ke Indonesia?” “Insyaallah tahun depan.” “Jangan lupa mampir ya, Ustaz ngajar di sini lagi tapi di unit SMP.” “Insyaallah Sensei.” Zidhan mengakhiri chat‐nya. Setahun kemudian dia memenuhi janjinya datang menemuiku dengan kisahnya. Demikianlah anak‐anak yang dulunya masih dengan keterbatasan mereka pada waktunya menjelma menjadi sosok yang berbeda. Bima sosok anak yang semasa anak‐ anak nya tak dapat diam, selalu bergerak, dan berbicara itu, kini menjelma menjadi sosok tenang gagah berwibawa. Melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di negeri ini. Sementara Zidhan, seorang anak yang diolok‐olok oleh teman‐temannya karena cengeng ketika di kelas 3 sekolah dasar, kini berada di Jepang. Kuliah dan bekerja di sana dengan gaji berlipat‐lipat dari gaji pegawai negeri di sini dan dia pun sempat bercerita akan membeli mobil dari hasil tabungan nya bekerja di Jepang. Bima dan Zidhan adalah sebagian kecil dari banyak anak yang dulunya kita anggap aneh. Barangkali tak banyak guru atau teman seusianya yang kagum. Bahkan mungkin mengabaikan kehadiran mereka. Kita mungkin lebih menyayangi anak‐anak yang dalam versi kita adalah anak yang pintar, cerdas dalam mata pelajaran di sekolah. Kita tidak menganggap bahwa anak yang sering tidur di kelas, mondar‐mandir, menggambar saat belajar, bercerita, Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 51
menyanyi, menangis, bermain air kran, berulang kali ke kamar mandi, termenung, dan lain sebagainya sebagai bentuk kecerdasan. Karunia yang mengantarkan sesorang menemukan potensinya untuk memberikan yang terbaik dalam hidupnya. Jangan lah memandang seorang anak saat ini, tapi pandanglah dia nanti saat kau menemukan kuncup‐ kuncup karunia itu mekar kembang jadi bunga memenuhi takdirnya. 52 | Safridah, dkk
Story 3 GIFTED (Let the Blooming Buds Become Flowers) By: Daris Kandadestra E very child is given what I call the \"gift\" from the creator. The gift that is like a bud will be beautiful in bloom in time. Children have their own \"gifts\" which in their own way change over time. As the earth continues to move around to create the dimensions of space and time, then we will find children with these \"gifts\" become other figures at different times by not seeing them as they were 10 years ago, 20 years ago, but view them as themselves now. As I found them again with a different figure. Morning in silence, I immediately rushed. I put all the equipment into my black proud handbag. I checked all sources of electricity safe. I do not want to just because a small error causes great misfortune, because of a short circuit for example. I immediately left for the main road. It takes ten minutes to get to the main road on foot. I stood on the side of the road, waiting for the green oplet, which was still crowded at that time. I did choose to leave early in the morning so I wouldn't be late. I also don't like having to jam on the streets just because I live in tight hours. Takes twenty minutes to get to where I work. I have to walk about 200 meters from the main road. Pretty good count ‐counting Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 53
exercise in the morning. Understandably since working, exercise seems like something that is very difficult to do When I arrived at the gate of the school, the atmosphere was still quiet. Only a few four‐wheeled vehicles parked briefly in the parking area. Only briefly, a moment later the vehicles left after one or two children‐elementary school age children down. Some rushed to the gate, some walked leisurely and some even seemed reluctant to go down. I watched from the security post that was right next to the entrance gate. Some of the teachers who had come hurriedly put down their respective knick‐knacks and immediately rushed back to take their positions in a line along the front entrance. Take turns welcoming the students present. Greet them one by one Male students only shake hands with male teachers while female students only shake hands with female teachers. At 7:30 a.m, the doorbell rang. Each class prepares its own class. The homeroom teacher guides his students accompanied by the assistant homeroom teacher. After everything was done, the teachers also entered their respective classes. The unique thing about this school is that it doesn't have a teacher's room. So where are they? Teachers at school in this is the class in class. In each class there are two teachers; homeroom and assistant. They share classes with students. Although sharing, each class is quite extensive, it can even be partitioned into areas according to needs such as a reading corner, a science corner, a computer corner etc. I'm still a new teacher at this school. The first 6 months my status was also a contract teacher. After previously as a 54 | Safridah, dkk
training teacher in the first 3 months. Thus, the operational standards at this school even though I came in with a recommendation from a friend who previously taught at this school, but had to resign because he was mandated to be the principal at another school. For the past 6 months, I felt psychologically heavy. So many things that I have to understand and improve as a teacher. I learned so many valuable lessons from everyone in this school. Starting from the principal to the canteen father. Especially from every child I teach. I learned a lot from these innocent and honest figures. Lessons about the meaning of life, the meaning of love and sincerity. Receive every different character created as a gift. Accept the strengths and weaknesses of others as a gift from the Creator. Children aged 6 to 12 years (elementary school age) are still raw materials. Still original. All they display is what they naturally have. Do things spontaneously and honestly without thinking about the consequences. Very different when they find them later when high school and certainly will be more different when meeting them as students. Aside from being a homeroom teacher, I'm a little different from other homeroom teachers who almost all of their teaching time are in each class. While I, aside from being a homeroom teacher, I was also entrusted with teaching English lessons in grades 2 through 5. At first I was asked to pursue all classes. But I ask for more consideration because I am also the homeroom teacher. Other than that, I also felt that I didn't have enough ability to deal with first and sixth graders. I can imagine the first graders who have just finished Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 55
kindergarten, still with their temper there. And it’s true, several times I witnessed the homeroom teacher of a grade 1 student who hurriedly took one of the children to the bathroom because he pooped in class. While in the sixth grade, I wasn't mentally ready to prepare them for the National Examination. The opportunity to be a subject teacher in almost all of these classes provided an opportunity for me to be able to interact more with more students and it gave me many opportunities to get to know the children who had what I called the \"gift\" from the creator. That day, one of my colleagues told me that the principal called me to the office. This is the umpteenth time I was called to meet the principal for the first 2 months I taught here. “What is this again?” I thought. Actually I know why I was called this time. It must have been because I threw one of the class 2 students with a marker. I could not hold back my emotions when the child who could not be silent. Taking a walk in class disturbs his friend, not paying attention, blabbering, and everything he does. I reflexively threw a marker in my hand at him. Right about his shoulder. The child was shocked and speechless I saw he was trembling a little. The class is quiet. I felt like a suspect at the time. What do these children think of me? \"Ustaz called me?” I'm a little stiff. \"Eh, how are you doing today?” Actually, I know it's just an opening. \"I’m good.\" I replied. Furthermore, the conversation was precisely about how my family was, until the matter of when I 56 | Safridah, dkk
planned to get married. Until finally the time of noon arrived and the conversation ended without the slightest talk about the incident in this class. “So what was I called earlier?” I thought. “Just for a chat?” I thought the problem was solved, the next day a young mother of about 35 years inspired me with a sad face. And finally he cried. Yes, the child I threw yesterday was her child. I just paused to listen to her speak. When she said, \"At home he was always beaten by his father, I could only cry, if it turns out he was treated here as well, I did not know where to send my child to school. So I beg my child to be treated well. Just give him advice. Because he was traumatized by his father at home.” After the mother passed, I met the principal. I knew that he already knew the purpose of my arrival. With full wisdom he said, \"So we are here Ustaz. Children who are entrusted to us do have different characters. Even with a different background. So that we are required to be able to understand this. Give love and sincerity to them, insyallah they will be a shining pearl in the future. Bima, at this time may be in unstable condition. His parents are having problems. Almost every day his father and mother bicker in front of him. Not infrequently Bima became the target of his father's anger. Hopefully the cleric can understand this. Give him a chance to vent his feelings by doing things that might be disturbing for us.\" I noded solemnly. \"Okay, it's time for lunch. Let's go to the prayer room together.\" He gave a sign that the dialog was ended. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 57
\"Let's go.\" I said. We immediately stepped in unison towards the place of ablution. The azan has also been heard from the school musala to reassure me. I promise I will be more heartened to accept every character of the children I face. And at this time, I had to meet Bima and do apologize to him. But it seems I did not do apologize to him at that time until later 7 Years later. The fate brought me back to this city, Pekanbaru. A lot has changed here. Development is advancing rapidly. Until nicknamed the city of a thousand shop houses. The roads are getting better and the volume of vehicles is even greater making the streets crawl densely especially during rush hours between 7 ‐ 8 am in the morning. Today I visited Ustaz Zumri, my co‐worker when I was still teaching in this city. The purpose of my visit is not just friendship, but indeed I will also meet with the foundation for the tests and interviews. Yes, I decided to return to this city. Maybe this is my destiny line. After moving and changing jobs for years, I finally returned to this city and this place. I was finally declared accepted with a 3‐month probation even though I had taught here still standard procedures must be accounted for. That day I didn't go in but I didn't want to go home. I choose to look around the new environment where I teach later. According to Ustaz Zumri, there are six classes for Junior high and six classes for Senior high. I continued to walk slowly. Occasionally passed by students who passed. They only looked at me for a moment then passed. Maybe nothing is interesting from me. Stepping in the 12th grade brothers, suddenly a tall teenager figure, handsome and thin mustache 58 | Safridah, dkk
out of the classroom and approached me. Shake my hand and kiss my hand. I'm surprised, it's myr first day here. Suddenly... \"Ustaz Dedi right?” he asked. The young handsome boy smiled at me and said \"Yes, who are you?” I was doubtful. \"Ah, I’ve been forgotten.” Specifically. \"Sorry, yeah I forget, who?” I still couldn't remember. \"Have you ever taught at Al Fityah Elementary School about 7 years ago right?\" He explained. \"Yes.\" I replied \"Ustaz was once the home room teacher of Class 3 Tabuk.\" He said. I'm still trying to remember. \"Do you remember with a naughty student, can't calm down in class, and finally you threw it with a marker.\" He explained. I was surprised \"Bima!\" How could I forget. \"Yes, Ustaz, I’m Bima. I’m already in 12th grade, insyallah this year, I’ll graduate and insyallah, I’m going to continue my study to university, \"he explained. \"Bima, I do apologize for everything that I had done to you at that time.\" I said. \"It's not a problem, indeed, a naughty one, it's natural for you to get angry. Understandably you ware still new at that time. Not knowing us, but since you were our homeroom teacher, you have never been angry again.\" He said. \"Oh yeah, where are the others? Iqbal, Ammar, Dhian, Baim, Vivi, Ainun, Salma?\" I asked. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 59
\"Some of them are here. Ammar, Dhian, and Baim are here. Salma and Halimah are also here. Iqbal and Ainun is studying in other schools.\" He said. \"Just say hello to them, then we will continue the conversation when I enter to your class, God willing, I will teach in your class too.\" I explained. \"Ok, sir, I'll greet you later.\" Bima shook my hand before we parted. There was tremendous relief when the apology was conveyed and forgiven beautifully. *** Seemy, I have lost everything here from my mind. When oneday I got a chat from someone. \"Assalamualaikum Ustaz Dedi.\" A greeting appeared on my mobile screen Who is he, a face I don't recognize. \"Waalaikum salam, sorry who are you?” I replied to that chat. \"I am Zidhan.” He answered \"Zidhan? Who?\" I said. \"Zidhan Ahmad Elnaufali, Al Fityah. An elementary school student, grade 3 Tabuk.” Instantly I went straight back down the last 10 years I was at Al Fityah Elementary School... \"Ustaz Dedi, Ustaz Dedi.\" Ainun cried. \"Yes, what's wrong Ainun?” I asked. \"Zidhan is crying.\" She replied \"Why are you crying.\" I asked 60 | Safridah, dkk
\"Someone turned the hot water from the dispenser to him,\" explained Ainun. I rushed to class. Zidhan's hushed voice was heard \"What's wrong Zidhan?” I asked while touching his shoulder. \"My hand was hit by the hot water, from the dispenser.\" He explained \"Who's the one who turned on the dispenser? I have told you not to plug the power cord in.” \"I do not.\" Almost in unison they answered. \"Yes already, insyallah it's okay.\". I rub lathe oil on. The heat dispenser does not make the skin blister like hot boiling water.\" I gave an explanation while applying the herbs in his hand. The crying was no longer heard. Only the occasional grin withstand pain. \"Ustaz?” Chat came back in. \"Oh, yes, I remember. Zidhan, who often cries, right?\" I replied. \"Hehe, yes, Ustaz.\" \"Where is Zidhan now? How come it's like in Japan on your background of the photo.\" \"Yes Ustaz, Zidhan in Japan. After graduated from school, I go to Japan by scholarship.” \"Great, while working?” \"Yes, graduating will also immediately work here.” \"Not crying anymore right?” I tried to make a joke. \"Yes, it's not Ustaz, hehe.” \"When will you get back to Indonesia?” \"Insyallah next year.” Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 61
\"Don't forget to see me here. I have been teaching here since last year in the junior high school unit.” \"Insyaallah Sensei.\" Zidhan ended the chat. A year later he fulfilled his promise to come see me with his story. Thus, children who were still with their limitations in time transformed into a different figure. Milky figure of a child who at the time of his children can not be silent always moving and talking is now transformed into a figure of authoritative calm. Continuing to study at one of the state universities in the country. While Zidhan, a child who was teased by his friends because he was whiny when he was in grade 3 because he cried the most, was now in Japan. Studied and worked there with a multiplied salary by the salaries of civil servants here and he had the chance to tell me he would buy a car from the savings he worked in Japan. Bima and Zidhan are a small part of many children we used to think was strange. Perhaps not many teachers or friends of his age are impressed. It might even ignore their presence. We might love children who in our version are children who are smart, smart in school subjects. We do not consider that children who often sleep in class, going back and forth, drawing while learning, telling stories, singing, crying, playing tap water, repeatedly going to the bathroom, pensive and so on as a form of intelligence. The gift that leads someone to find his potential to give the best in his life. And do not look at a child at this time but look at him later when you find the buds of gifts that develop into flowers fulfill their destiny. 62 | Safridah, dkk
Tentang Penulis Pemilik nama lengkap Dedi Saputra ini lahir di Enok, Indragiri Hilir‐ Riau pada 12 Juli 1984. Setelah lulus dari Universitas Riau tahun 2007, pemilik nama pena Daris Kandadestra ini mengajar di beberapa institusi. Tahun 2008, penulis pernah mengajar di SDIT Al fityah Pekanbaru. Serta sebelumnya pernah mengajar di Universitas Islam Indragiri di Tembilahan, Inhil Riau. Tulisannya pernah meraih juara 2 pada lomba menulis artikel memperingati Hari Kartini dengan judul “Perempuan Dulu, Kini, dan Nanti” yang diadakan oleh salah satu PT. Riau Robbani tahun 2005. Memperoleh kesempatan menjadi juri pada British Parliemantary Debate kopertis wilayah X tahun 2010 serta peserta pada the first Biennial Language and Education Development Conference (LED Conference) tahun 2014 dan peserta Gerakan Indonesia Menulis tahun 2015. Karya nya yang pernah dimuat dalam Antologi Puisi Rindu tahun 2019. Alumni Program studi Bahasa Inggris FKIP Universitas Riau ini pernah mengikuti program megister di Universitas Negeri Padang tahun 2010 meski sempat vakum dari aktivitas pendidikan hampir 2 tahun lamanya, kini laki‐laki yang biasa di panggil Dedi ini kembali berkiprah dalam dunia pendidikan dengan mengajar di SMP Islam Terpadu Al Fityah Pekanbaru. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 63
Cerita 4 Aku dan Boomboosterku Oleh: Neneng Arisandi, S.Pd. Guru Bahasa Inggris SMPS Tuah Negeri Kota Pekanbaru Cerita dimulai saat saya telah selesai menyelesaikan S1 di Universitas swasta Lancang Kuning di Kota Pekanbaru. Saatnya berpisah dengan teman‐teman kuliah, masing‐masing melanjutkan, melangkahkan kaki meraih kesuksesan dari apa yang sudah di cita‐citakan selama ini. Hari berganti hari, rasa rindu terhadap kampus masih menghinggapi saya, mengobati rasa itu saya menghubungi teman‐teman makan bareng di kantin, suka duka bersama, teman satu kosanku. Rasa rindu itu sedikit terobati walau hanya lewat komunikasi handphone. Bulan berganti bulan, saya pun mulai mencari pekerjaan di mana latar belakang fakultas yang saya ambil pada saat kuliah adalah keguruan, di 64 | Safridah, dkk
mana jurusan yang saya gemari adalah bahasa Inggris, karena saya sudah menggeluti bidang ini sejak saya duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saya mengikuti kursus bahasa Inggris sejak itu. Dan akhirnya di perkuliahan saya mengambil jurusan bahasa Inggris. Saya mencari pekerjaan ke sana ke sini, namun belum ada panggilan dari instansi yang saya tuju, saya tetap bersabar, karena ibu mengajarkan kepada saya untuk tetap bersabar dari apa yang kita inginkan, dan ‘sesungguhnya Allah memberikan apa yang kita butuhkan dan bukan yang kita inginkan’. Ucapan itu keluar dari mulut ibu saya melalui telepon genggam karena saat itu saya terpisah jauh dari ibu saya di mana ibu saya tinggal di kampung tepatnya di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Saya selalu minta doa kepada ibu saya di mana doanya tetap sama agar segera mendapatkan pekerjaan di rantau Kota Pekanbaru. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun pun sudah mendekati saya, bahkan sudah tahun kedua. Saya pun menikah. Alhamdulillah saya dijodohkan oleh Allah bersama orang yang mau menjadi imam saya until jannah. Tahun berganti, saya pun telah dikaruniai seorang anak perempuan yang cute dan salihah utusan dari Sang Maha Pencipta, Alhamdulillah. Waktu terus berlalu, saya sudah sedikit menyerah dalam menunggu panggilan kerja, akhirnya pada malam itu saya tidak bisa tidur, hati saya gelisah sementara teman‐teman saya sebagian sudah menginjakkan kakinya di instansi yang mereka tuju. Saya terbangun di jam 03.00 malam, saat itu saya pergi ke kamar mandi dan mengambil air wudu, kemudian saya rentangkan sajadah pemberian ibu, Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 65
kemudian saya mulai melaksanakan shalat Tahajud 4 rakaat, di dalam sujud saya berdoa atas apa keinginan selama ini yang saya butuhkan, setelah selesai saya panjatkan begitu banyak doa sampai air mata membasahi mukenah dan sajadah. Saya terdiam di saat dingin yang rasanya begitu sampai ke tulang, di saat itu saya terpikir keluar ide dari pikiran saya, bagaimana kalau saya membuka kursus bimbingan belajar saja sambil menunggu panggilan kerja. Jam sudah menunjukkan jam 08.30 pagi, saya mulai merancang sistem dalam membangun bisnis tanpa modal ini. Membutuhkan waktu seminggu saya mulai membuka tempat kursus bimbingan belajar di mana semua bidang studi dan dari level SD, SMP, dan SMA saya cantumkan di spanduk yang sudah saya cetak. Saya design kalimatnya supaya menarik dengan mencantumkan nomor handphone saya. Sebelum mencetak saya memikirkan merk dari nama bimbel saya tersebut. Akhirnya terlintaslah nama ‘ShaHia Bimbel Class’, di mana nama ini saya ambil dari nama anak perempuan si salihah saya sendiri. Shahia yang artinya Anak Cerdas, nama ini saya ambil di dalam Al‐Qur’an surah Yusuf. Krriiiiinngggg...krriiinng. “Assalamualaikum Bu, benarkah ini Bimbel Shahia Class?” Hati saya langsung senang mendengar ucapan ibu yang menelepon saya. “Waalaikusallam, Bu. Benar Ibu.” Menit pun menemani kami berkomunikasi. Alhasil ibu itu mau memasukkan dua orang anaknya untuk belajar di bimbel saya. Pembicaraan selesai. Hati saya pun menari‐nari serasa 66 | Safridah, dkk
dapat buah durian karena saya suka durian. Hehee...Besoknya anak‐anak dan ibu itu datang pukul 07.00 malam sesuai sistem yang telah saya buat sendiri. Bismillah saya langsung mengajar dua orang murid tersebut, kakaknya bernama Mita, dan adeknya bernama Silvia. Menit pun berganti, saya dan anak‐anak asyik belajar dan kelihatannya mereka nyaman belajar dengan saya. Waktu pun sudah menunjukkan pukul 09.00 malam, pembelajaran pun saya akhiri. “Mita, besok di sekolah kalian ajak teman‐teman ya biar ramai. Nanti Miss kasih bonus.” “Baik Miss!” Saat itu mereka memanggil saya dengan panggilan ‘miss’. Saya membuka jadwal kursus di bimbel saya ini tiga kali dalam seminggu, Senin, Rabu, dan Kamis. Hari pun berganti, besoknya mereka membawa teman mereka dua orang, hati saya pun syukur. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, alhasil murid‐murid di bimbel sudah berjumlah 27 siswa, saya kewalahan mengatur jadwal mereka. Saya merekrut tentor tenaga pengajar di mana kebanyakan mereka masih mahasiswa yang sedang kuliah semester akhir. Sudah dua tahun bimbel saya berjalan di mana para tentornya sudah ada 6 tentor untuk mengajar murid‐murid di bimbel saya. Alhamdulillah penuh rasa syukur yang tak bisa saya ucapkan. Masyaallah Wasyukurillah begitulah rutinitas di bimbel saya. Handphone saya berdering, ternyata yang menelpon tentor saya memberitahukan bahwa ada sekolah yang membutuhkan tenaga pengajar bidang bahasa Inggris tingkat SMP. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 67
Pembicaraan pun selesai, saya menyiapkan lamaran untuk di ajukan ke sekolah tersebut. Besoknya saya pergi dengan penuh harapan, tidak lupa seperti rutinitas biasanya saya menelepon ibu di kampung untuk meminta restu dan doanya. Saya ambil handphone dan mencari kontak kakak saya yang di kampung, karena ibu saya tidak mempuanyai Hp dan juga tidak bisa menggunakannya maklum ibu saya sudah tua. “Assalamualaikum, Kak. Mak di mana?” Langsung kakak saya memberikan teleponnya ke mak. “Assalamualaikum, Mak” Panggilan saya kepada ibu. “Mak, hari ini saya disuruh mengantarkan surat lamaran kerja untuk mengajar di SMP, saya minta doanya ya Mak.” Suara ibu pun mulai serak dan menangis, saya jadi ikut menangis. Semua doa keluar dari mulut ibu saya. Pembicaraan selesai dan saya berangkat ke sekolah yang dituju. Dalam perjalanan saya tidak berhenti bertasbih sambil mengingat kata kata ibu saya tadi. Saya sampai di sekolah tersebut, pagarnya di gembok, saya memberi salam dari luar pagar. “Assalmualaikum, permisi Bu.” Lalu ibu itu membukakan pintu pagar buat saya. “Maaf Ibu cari siapa?” Saya bersalaman sambil menyebutkan nama saya begitu juga sebaliknya. Ternyata ibu itu staff tata usaha di sekolah itu. Kemudian saya menjelaskan kalau saya disuruh antar lamaran untuk mengajar mata pelajaran bahasa Inggris yang lagi kosong di sekolah tersebut. Saya dibawa oleh ibu tata 68 | Safridah, dkk
usaha tersebut ke ruang kepala sekolah. Langkah demi langkah yang penuh harapan yang penuh impian dalam menyalurkan ilmu yang sudah saya peroleh di masa kuliah saya dan ilmu yang bisa saya pertanggungjawabkan kepada orang banyak kususnya anak didik saya. Saya sampai di depan pintu ruangan kepala sekolah. Di saat saya mau melangkahkan kaki untuk memasuki ruangan tersebut saya menarik napas dalam‐dalam, dan sedikit gugup. Saya pun dipersilakan masuk dan duduk di kursi yang telah tersedia, dan ibu TU pergi meninggalkan kami berdua. Masuklah kepada sesi tanya jawab dari kepala sekolah. Beliau menanyakan surat lamaran saya, dan saya pun mengeluarkan amplop surat bewarna coklat di mana isinya surat lamaran yang sudah ada dari jauh hari saya persiapkan. Bisa dikatakan sisa hasil surat lamaran kerja saya dulu. Tangan saya pun memberikan amplop tersebut. Tangan saya serasa dingin, sedingin doa yang saya panjatkan di saat Tahajud. Ibu kepala sekolah membaca profil saya, menanyakan beberapa pertanyaan di mana lidah ini dengan ringan tanpa grogi, tanpa ragu dalam menjawab pertanyaan dari seorang kepala sekolah. Hampir 15 menit saya di ruang kepala sekolah, dan inilah saat yang saya tunggu‐tunggu. Saya sudah tidak sabar lagi, kepala sekolah mengatakan bahwa, “Besok Bu Neneng sudah bisa mulai mengajar di sini ya.” Saya pun langsung mengambil tangannya. “Terima kasih banyak Bu!” Dengan nada suara serak, air mata yang berkumpul di kelopak mata seakan mereka ingin mengucapkan terima kasih juga kepada kepala sekolah. Di akhir pembicaraan Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 69
kepsek mengatakan kepada saya bahwa anak didik di sekolah ini adalah bengkel. Saya pun bingung, beliau me jelaskan “besi bengkok yang harus kita luruskan”. Saya pun tidak memikirkan itu saat itu. Saya pamit kepada kepala sekolah dengan langkah kaki yang terasa ringan. Saya keluar dari pagar dan saya tidak melihat ibu yang mengantar saya ke ruang kepala sekolah tadi. Saya pulang, setiba di rumah saya ambil handphone dan langsung menelepon ibu saya. Seperti biasa kakak saya yang mengangkat panggilan handphone, air mata saya langsung berbicara, suara saya serak saat mengabarkan kabar bahagia. Masyaallah, ibu saya tak henti berucap syukur kepada Sang Pemberi Rezeki, itulah buah dari hasil kesabaran, kata itu terlontar dari mulutnya. Waktupun berlalu, tibalah saatnya saya memulai perjuangan baru dalam membagi ilmu kepada anak bangsa ini. Bismillah, hari pertama kaki ini menginjakkan kelas, seperti biasa tak kenal maka tak sayang, perkenalan diri bersama anak‐anak pun berlanjut, saya memulai pelajaran. “Hei. Kamu yang duluan, apa?” “Bukannya kamu yang mengambil penaku, suara itu terdengar dari meja bagian belakang ruang kelas.” “Hello....ada apa ini?” “Ini Mom, pena saya di ambil olehnya. Saya minta, malah saya yang dipukulnya.” “Sudah......Sudah.......Ini kamu saya pinjamin pena. Lain kali kamu jangan seperti itu lagi ya!” “Baik, Ma’am!” 70 | Safridah, dkk
Mereka pun saya damaikan. Pembelajaran berlanjut. Tidak lama kemudian “gubraakk....paammm” suara teriak pun terdengar. “Astagfirullah....Ini ada apa lagi kalian?” “Dia menyebut nama ayah saya, Ma’am.” “Tapi kamu yang duluan, kamu bulli saya duluan.” Tangannya memukul kembali. Suasana kelas pun makin heboh, akhirnya saya menasihati, melerai kedua anak ini, dan menyuruh mereka ke ruang bimbingan konseling. “Hampir setiap hari itu, Ma’am. Mereka seperti itu, kami juga sering dirundungi olehnya Ma’am.” “Sudah…Sudah.” Saya pun menasihati semuanya agar kejadian ini tidak terulang kembali. Teringat kembali kata kata ‘besi bengkok yang harus kita luruskan’, ternyata inilah yang dimaksud kepala sekolah. Hari berganti hari, saya tidak pernah menyerah menghadapi mereka. Makin hari makin bergejolak saja suasana di sekolah ini. Pernah diri ini serasa mau mundur, tidak. Ini adalah tantangan saya dalam mendidik anak‐anak bangsa. Guru itu harus sabar, tegas, dan sebagai fasilitator. Beragam karakter yang saya jumpai pada tiap anak‐anak didik di sekolah ini. Huuummm....saya harus punya strategi untuk merubah para boom boosters ini menjadi mood boosters. Semester demi semester pun berjalan. Hari pun berganti, perjuangan strategi awal saya tidak berfungsi, lanjut strategi kedua, hampir sama dengan pertama, malah semakin menjadi perilaku anak‐anak ini. Guru sudah tidak dihargai lagi, tidak ada nya norma kesopanan, menghormati. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 71
“Mengapa kau nasihati saya? Saya sekolah di sini bayar kok, kau yang sibuk.” “Astagfirullah.” Kata‐kata itu terdengar saat saya berjalan ke kelas 9 yang letaknya di lantai 2 di sekolah ini. “Plaaak..plak…” Tangan ini pun melayang ke arah mulut si anak. “Hebat kamu ya, pintar, sekarang kamu ikut saya ke kantor!” “Buk,saya bawa anak ini kekantor untuk diproses!” “Baik, Bu. Silakan!” sahut guru yang mengajar di ruang kelas 9 tersebut. “Duduk kamu! Coba kamu jelaskan, mengapa kamu bisa berbicara sperti itu kepada Ibu Guru?” “Tadi ibu itu menuduh saya cabut kemarin, Bu. Padahal saya ada di kelas.” Ceritanya panjang lebar seakan akan menyalahkan guru tersebut, alhasil setelah saya telusuri. “Tuh, ternyata kamu memang cabut kemaren, dan bahkan bukan satu kali atau dua kali saja kamu cabut, tetapi sudah sering, kok kamu bisa menyalahkan guru dengan kata kata seperti itu? Apakah kamu sudah pintar ya? Atau kamu sudah dijamin untuk lulus dari sekolah ini? Kamu harus berjanji di buku kasus ini kalau kamu ulangi kamu akan siap dikeluarkan dari sekolah!” “Baik, Bu.” Dengan nada rendah. Setelah saya selidiki, ternyata mereka punya geng, kumpulan anak‐anak nakal, para boom boosters. Inilah salah satu pengaruh dari teknologi, pergaulan di luar yang bebas, tidak adanya perhatian dari orang tua, sehingga anak tersebut ingin mendapatkan perhatian yang 72 | Safridah, dkk
lebih di sekolah. Bermacam‐macam karakter buruk mereka perlihatkan di sekolah ini, Na’udzubbillah. Jika guru guru dari sekolah lain mengahadapi ini, mungkin sudah angkat tangan, tidak sanggup pikir saya dalam hati. Tetapi inilah tugas saya, setiap hari saya mengahadapi para boom boosters di sekolah. Saya berharap suatu saat nanti para Boom Boosters ini berubah menjadi Mood Boosters, penuh harap! Tidak bikin PR sekelas, niruin gaya guru di sekolah, bolos pelajaran rame‐ rame, makan diam‐diam di kelas, dan bayak lagi yang sudah kelewat batas aturan sekolah. Saya hadapi sebagai pendidik, pelaksana tugas negara. Bukan tanpa alasan mereka seperti itu, karena faktor keluarga, lingkungan sekolah, ekonomi yang sangat menekan, dan lain‐lain dari mereka seperti ini. Terkadang orang tua mereka benar‐benar bekerja keras untuk membiayai kehidupan dan sekolah anaknya, tapi apa yang dilakukan si anak di sekolah? mereka sering bolos, berkelahi, merokok. Ya. Begitulah mereka. Tahun ajaran baru pun datang. Ada murid baru. Anak ini anak pindahan dari sekolah lain. “Bu..Bu...” Beberapa siswa perempuan datang ke kantor. “Ada apa kalian ramai‐ramai ke sini?” “Itu Bu... si Comba gangguin kami terus Bu!” “Iya Buuk....Dia ngompas uang saya, dia ambil pena saya, Bu.” “Dian...Kamu panggil Comba sekarang!” Dian pun berlari dan kembali bersama Comba masuk ke kantor. Introgerasi pun berlangsung. Buku kasus pun keluar dari laci meja saya. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 73
“Comba kamu buat perjanjian di buku kasus ini, jika kamu mengulangi perbuatan ini lagi, kamu akan dihukum ya!” “Baiklah, Bu.” Dengan nada kesal. Kasus pun berakhir. Hari berganti hari. Daan alhasil nama Comba sering dipanggil ke kantor. Buku kasus pun penuh dengan nama Comba...hummmmm...setiap Minggu orang tuanya mendapat surat panggilan ke sekolah. Dengan kasus berbeda‐beda kesalahan yang dibuatnya. Guru‐guru yang lain pun sampai menyerah. Bukannya guru‐guru tidak bisa mendidik, memahami karakter dari si Comba, tetapi sudah banyak cara, strategi untuk mengubah siswa yang bernama Comba ini. Ternyata setelah ditelusuri, Comba ini dikeluarkan dari sekolahnya yang lama karena memiliki segudang kasus, sehingga dia dikeluarkan dari sekolah tersebut. “Buk....Ini catatan kasus siswa bernama Comba, buku itu di lihat oleh kepala sekolah. “kita lihat dalam beberapa hari ke depan, kalau dia tidak berubah, kita bisa keluarkan dia dari sekolah ini!” Haripun berganti. “Krrrrriiiiiuunnnnnggggg......” “Hallo...” “Iya, Hallo.. Ini dengan orang tua Comba?” “Ya, maaf ini dengan siapa?” sahut ibu Comba. “Saya Kepala Sekolah. Maaf apakah Ibu bisa datang ke sekolah Comba sekarang? Ada hal penting yang mau saya bicarakan!” “Baik, Bu. Saya segera ke sana,” sahut ibu Comba. Si ibu pun sampai di sekolah di ruang kepsek. 74 | Safridah, dkk
“Maaf, Bu. Ada masalah apalagi dengan anak saya?” “Jadi begini Bu, saya mohon maaf sekali yang sebesar besarnya. Kami semua guru sudah sepakat akan mengembalikan Comba kepada ibu karena kami sudah tidak sanggup lagi mendidik anak Ibu karena perilaku anak Ibu sudah kelewat batas, dan si Comba ini sudah melakukan kesalahan berulang kali. “Tapi buku, apa tidak bisa dipertimbangkan lagi?” “Maaf, Bu. Sudah tidak bisa!” Si Ibu : ( terdiam dan memaklumi keputusan sekolah).”yasudah kalau begitu Bu, Saya minta maaf atas kelakuan anak saya.Saya mengucapkan terima kasih karena selama ini sudah membimbing anak saya.”Si Ibupun pulang tanpa percakapan dengan Comba. Beberapa hari kemudian terdengar kabar Comba sudah bekerja menjadi operator warnet.Sebagai guru, anak‐anak nakal ini unik bagi saya.Terutama karakter siswa siswi yang sedang masa peralihan dari kanak kanak ke remaja.Everyday, saya jumpai anak didik saya berbuat kenakalan di sekolah.Sebenarnya mereka hanya kurang perhatian dari orang tuanya.Kasus Comba sudah ditutup, hari ini saya akan menerapkan pembelajaran literasi kepada anak didik saya.Dalam niatan pengembangan literasi dalam tulisan.Hal luar biasa kali ini terjadi. Saya meminta agar seluruh anak kelas IX1 menuliskan sebuah surat untuk siapa saja.Dengan bersemangat anak‐anakpun mulai menulis. Pandangan saya tertuju pada salah satu siswa laki laki yang berpakaian seragam sekolah yang sedikit kotor.Dia mengambil kertas dan pena yang bewarna hitam.Air matanya Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 75
berlinang selama menulis.Surat yang ditulis oleh siswa siswa saya tidaklah banyak, tidaklah bagus, apalagi sesuai kaidah penulisan yang benar.Sang siswa menulis dengan khusyuk, menulis dengan lembut, tetapi selama jam pembelajaran itu siswa tersebut mengusap air matanya.Dia duduk di kursi bagian pojok kiri belakang kelas.Dia berusaha menahan air mata dan raut kesedihannya agar teman‐teman nya tidak mengetahuinya. Ceritanya yang sederhana itu membasahi dasinya yang bewarna biru dongker.Ternyata teman‐teman nya akhirnya mengetahui siswa itu menangis di pojok bagian belakang.Teman‐teman nya diam dan bertanya tanya.Siswa ini termasuk anak yang nakal di sekolah.Saya berjalan kebelakang dan mendekati siswa itu, seperti biasa saya memanggil siswa yang laki laki dengan sapaan abang, dan siswa perempuan saya panggil dengan sapaan kakak, biar ada kekeluargaan dengan anak‐anak didik saya di sekolah. ”abang kenapa?kok sedih begini mukanaya? ’’Gak ada mom,sambil tersenyum. ”Nah...loh kok matanya merah gitu? masak anak reman bisa cengeng seperti ini?sambil bergurau saya panggil dia anak reman.Reman itu singkatan preman, kata kata ini hanya gurauan saja biar dia tersenyum, Huuuummmm..... Saya mengambil kertas nya yang bagian ujung nya sudah basah terkena tetesan air mata.Tetapi sang anak menarik kembali kertasnya. ”Nanti sajja mom, belum selesai. ”Okay..mom tunggu ya..!si anak menganggukan kepalanya.Kelas kembali melanjutkan tugasnya. 76 | Safridah, dkk
’’Teeeeett...Teeeeett...Teeeeettt... suara bel istirahatpun berbunyi. ”Well my students, Kumpulkan kertas nya kedepan!semua bergerak kedepan dan anak‐anak langsung keluar untuk istirahat, sang anak nakal keluar terakhir, dia berjalan pelan berjalan arah saya. ”Ini mom kertas saya. ”Oke makasih ya bang.dia hanya menganggukan kepala dan keluar kelas.Saya duduk sejenak sambil membaca surat anak tersebut, karena penasaran. Tanpa sadar air mata sayapun menetes, ternyata sang anak nakal tadi menulis surat untuk sang Ayah yang sudah pergi untuk selama lamanya, sontak saya teringat dengan Ayah Saya yang sudah lama meninggal dunia, sejak saya berumur 3 tahun.mmmm...Ternyata di balik kenakalan sang anak, ada hati nurani yang tersimpan lembut.Semoga masa depan sang anak‐anak nakal, beserta teman temannya yang lain cerah, dan sukses di kemudian hari.Sayapun keluar kelas menuju kantor untuk beristirahat. ”Alhamdulillah untuk hari ini, Huuummmm...Semoga saya tetap akan membimbing putra putri bangsa meraih cita‐ citanya dan membanggakan negara.Selama saya membimbing anak‐anak nakal ini ada yang gagal dibimbing ada yang berhasil.Siswa yang bernama Comba termasuk anak yang memang sudah kelewat batas, semoga comba sukses dikemudian hari.Dan anak‐anak nakal lain nya saya akan selalu membimbing mereka dengan sepenuh hati agar bisa merubah mereka menjadi anak yang baik di sekolah, dan tentunya punya prestasi. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 77
Dengan semangat dan perjuangan saya membimbing para Boombooster selama ini sayapun diangkat menjadi wakil kesiswaan di sekolah.Dan para Boombooster sekarang telah menjadi Moodbooster... huuuummmm. Selamat Hari Guru.Satu harapan saya sebagai tenaga pengajar honorer yang mempunyai sikap rela berkorban itu jadi hal yang mungkin takan pernah bisa dinilai dan mampu mendapatkan apresiasi setimpal atas apa yang dilakukan. 78 | Safridah, dkk
Story 4 Me and My Boombooster By: Neneng Arisandi, S.Pd. English Teacher of Tuah Negeri Private Junior High School Pekanbaru City S tory began when I graduated my bachelor degree from private university named Lancang Kuning in Pekanbaru. It was farewel time with college friends which went on their own step, stepping to reach success from what dreamed this long time. Day changed to day, feeling homesick for university still on myself, I called my roommate, sad and happy, and having food together in cafetaria college friends for healing that feeling. It healed a bit even by phone. Month changed to month, I tried to look for vacancy based on my faculty background which was Education, where my favorite major was English because I had been into this field since first grade of junior high school. I went to English course since that. And finally when it came to university I chose English as my major. I looked for vacancy everywhere, but still not got call from my desired department, but I kept patience, because my mother taught me to keep patience from what we wanted and ‘Allah really gives what we need not what we want’ that saying was said by my mom by phone, because at that time I was away from Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 79
my mom where she lived in a village at a city called Payakumbuh, West Sumatra. I always asked for praying from my mom where the praying was still the same for the sake of me to get job in Pekanbaru. Day changed to day, month changed to month, it had been year in count, even it was two years. I got married, thanks to Allah he gave me a person willing to be my ‘imam until jannah. Year changed, I even already had a cute and sholehah daughter from The Creator, thanks to Allah. Time flied, I even gave up in waiting for job calling, finally on that night I could not sleep, my heart was worried while half of my friends were on their desired instantion. I woke up at 03.00 a.m, I went to toilet and took wudu at that time, then I spread a sajadah given by mom, then I began to do four rakaat Tahajud praying, in praying I prayed on what this time wish that I needed, after finished praying that so much until I cried and my tears wet the mukenah and sajadah. I was in calm in a cold until bone atmosphere, at that time I thought and got an idea from my thought, how about I opened an extra learning course while waiting job calling. It was 08.30 a.m, I tried to managed the system in building this business without capital. It took a week for me to open this extra learning course where all subjects and levels were in from Elementary until Senior High School I wrote on printed banner, I designed the word to be interesting by putting my phone number. Before printing it I thought the brand of my Bimbel, turned out it was ‘ShaHia Bimbel Class,’ where this name was taken from my daughter my sholehah herself. 80 | Safridah, dkk
Shahia which means Clever Child, this name was from Yusuf Surah from Al‐Qur’an. Krriiiiiuuunngggg...Krriiiuuunng.. “Assalamualaikum, Ma’am is it Bimbel Shahia Class?” I was so happy hearing that person calling me, “Wa’alaikumsallam, Ma’am. Yes, it is. We talked in minutes, turned out that mother was willing to registered her two child to learn in my bimbel. This talking was finished. My heart was like dancing like getting a durian because it was my favourite fruit. hehee…Tomorrow these children of that mother came at 07.00 p.m according to the system that I made myself, Bismillah I directly taught those two students, the old one named Mita and the young one named Silvia, minutes changed, me and those children were into study and learn and it looked like they were confident to study with me. Time was 09.00 p.m, and class finished. “Mita…, tomorrow at school ask your frined to join with us to make it more fun. Miss will give you extra payment.” “Okay, Miss!” At that time they called me miss. I managed the schedule of this bimbel three times a week; Monday, Wednesday, and Thursday. Day changed, tomorrow they brought two of their friends, my heart was saying Masyaallah oh Allah, thanks to You. Day changed to day, month changed to month turned out total of students in my bimbel was 27 students, I was unable to handle to manage their schedule, I opened vacancy for extra tentor which most of them were students in final semester. It was two years this bimbel went on whose six tentors to teach my students. Alhamdulillah thanks to Allah, Masyaallah Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 81
Wasyukurillah it was like that the routine in my bimbel. My phone rang, turned out my tentor called me to inform that there was a school needed an extra tentor on English subject in Junior High School level. Discussion was over, I prepared an application to the desired school. Tomorrow I went with full hope, and not forget to inform my mom in village to ask for her pray. I took phone and look for my older sister contact in village, because my mother did not have Cell phone and not able to operate it because of age. “Assalamu’alaikum Sister, where is mom?” Directly my older sister gave the phone to my mom. “Assalamualaikum, Mak, my way of calling to mom. Mak today I was asked to give work application to teach in Junior High School level, I asked for the pray will you mak, ‘my mother’s voice became husky and cried, followed by me. From my mom’s mouth she prayed the pray. This talking was finished and I went to desired school. On my way to school I could not stop to praise to Allah while remembering my mothers’s saying. I arrived at school, the fence was locked. I called out from the outside. “Assalamualaikum, excuse me Ma’am.” And then that woman opened the fence for me. “Excuse me, Ma’am who are you looking for?” I shook hand while introducing my name so did that woman. She was chief of administration of that school, then I explained if I was asked to give the application to teach English subject at that school. I went to principal’s room with that woman, step by step with full hope and full with dream to give knowledge 82 | Safridah, dkk
that I had received in college and knowledge that I could get responsibility to the people especially my students. I arrived in front of the principal’s room, and when I wanted to step to come in I inhaled deeply, and a little nervous I was welcomed to take a seat and sat in an available chair, and the chief of administration. It came to interview question. She asked about my application. I took the chocolate envelope out where it had the job application that I prepared before the day or it could be said that it was my job application before. My hand gave the envelope, it felt cold as cold as the praying that I said when doing Tahajjud. The principal read my profile, asked a few questions where this tounge was flowing well to answer without nervous in responsing from the headmaster. Almost fifteen minutes I was in headmaster’s room, and this was the moment I looked forward to. I could not be patient, the headmaster said, “Tomorrow Mrs. Neneng can teach here.” I shook her hand. “Thank you very much, Ma’am! With husky voice, and summoning tear in pupil as if they also wanted to say thank you to her. In the end of interview, she said to me that students in this school was repair shop, I was confused, she explained, “Curved iron that we must straighten.” I did not really think about that. I ask for promise to the headmaster with a light step. I got out from fence and I did not see the chief bringing me to principal’s room, I went home, arrived at home I took cell phone and directly called my mother. As always my sister picked my call, my tears spoke, I gave a good news with Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 83
husky voice, masyaallah, my mom could not say thanks to god the all giver, that was the result of patience, that word came from my mother’s mouth. Time flied, it came I started new fight in sharing knowledge to this nation student. Bismillah, first day stepping in this class, as always not knowing not loving, self‐introduction to these students started, I began to give lesson. “Hei…you first, what?” Wasn’t that you took my pen, that voice came from back side table of the class. Hello….what is wrong with this? It is him Mom, he took my pen. I asked to give it back turned out he hit me. “it is over… over…., I lend you this pen, next time you don’t behave like that again, right! “Okay mom! I made them in peace, lesson continued, again, gubraakk….paammm..I heard shouting out voice. Astagfirullah….what again? He called out my dad’s name mom. But you first, his hand hit back, the class situation became chaos, finally I gave advice, I broke up a fight, and told them to Conseling room. “It was almost everyday mom, they acted like that, we always got bullied by them mom. “over over, I gave advice to everybody, so this situation will not happen for the second time. I remembered ‘curved iron we must straighten’, apparently it was what she meant. Day changed to day, I never gave up to face them, day by day, chaos of this class became more, I ever wanted to step back, 84 | Safridah, dkk
‘no, this is the challenge in teaching students of nation, teacher must patience, firm and as a facilitator. Many characters of students I met at this school, huuummm….I had strategy to change these boom boosters to be mood boosters, semester by semester went through, day changed, my first fight strategy did not work out, so second strategy, it was almost the same to the first, apparently the students’ behavior became worst, they did not appreciate teachers, no polite behavior, no respecting. . “Why you gave me advice? I went to this school with my own money, mind your own business”, Astagfirullah, that word heard when I walked to IX class where it was in second floor, plaaak..plak..this hand went to the student’s mouth.. “Look at you how you behave, now follow me to the office!. Ma’am, I brought this student to the office to be proceed! ‘Okay ma’am, please! Said the teaching teacher in IX class. “You sit down! Explain now, how could you talk like that to teacher? ‘This teacher accused me left school yesterday, meanwhile I was at class, story was long student played victim as if it was my fault, turned out after I checked. “Tuh, apparently you did leave yesterday, and even not only once or twice you left school, it was like your habit, how you could blame teacher with such words? You must make promise in this case book, if you did it again you would get expelled from school!. Cerita Indah di Detak Hati (Beautiful Notes in the Heart Beat) | 85
‘Okay ma’am! With low voice. After I checked out they had gang the naughty kids association, the boom boosters. This is the influence of technology, outside friendship that it was free, no caring from parent. Until, many bad characters they showed at this school, Na’udzubillah. If another teachers face students of this school maybe they gave up, I thought. But this was my task, everyday I face boom boosters at school. I hoped one day the Boom Boosters changed to Mood Boosters, with full hope!. Not making homework at class, copying teachers’style at school, escape at school time together, eating silently at class, and many more that out of school law limit. I face as a teacher, country task doer.’Not without reason they acted like that, that was family factor, school environment, depressed economic, and et cetera they became like this. Sometime their parents worked really hard to pay life and their children’s school, but what this child did at school? They escape many times, fighting, smoking…”yaaaaa….So they are….New academic year came. There was a new student where this student was from another school. Ma’am..ma’am..some female students came to office. ‘why you all come here? “that ma’am…. Comba annoyed us! “yes ma’am…. He asked for my money, ‘he took my pen ma’am. ‘Dian… you call Comba now!” Dian directly ran… and brought comba to come in the office. Interrogation went on, I took case book out from my drawer. 86 | Safridah, dkk
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258