yang menolak semua tuntutannya. Saat itu hak asuh jatuh pada Hanum. Seketika itu pengadilan pun ricuh karenanya. Satria tetap tidak mau menyerah dengan perjuangannya ia ingin membuat Hanum menderita. Satria pun mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Semakin panjang masa penantian bagi Hanum menunggu putusan pengadilan keluar. Hanum terus berusaha menyembunyikan anak‐anaknya dari niat buruk Satria yang ingin menculik ketiga anaknya itu kembali dengan niat ingin menekan Hanum agar mau kembali padanya. Akhirnya waktu yang ditunggupun tiba, putusan pengadilan pun keluar. Hanum sangat bahagia sebab gugatan perceraiannya dikabulkan dan hak asuh atas anak jatuh pada dirinya. Inilah akhir dari penderitaan Hanum selama ini yang membuat hidupnya selama tiga belas tahun tertekan dan teraniaya ditangan orang yang dicintainya itu. Dengan putusan ini, Hanumpun menyampaikan kepada anak‐anaknya agar mereka tabah menjalani ini semua. Anak‐ anak tinggal bersama orang tuanya di kota. Walaupun ia dan ketiga anaknya berpisah tempat, Hanum tak lepas memperhatikan ketiga buah hatinya itu. Hidup Hanumpun mulai tenang.Karena hak asuh sudah ada pada dirinya. Saat termenung Hanum sedih juga melihat anaknya tidak memiliki ayah lagi, walau dalam hati kecilnya Hanumpun berniat akan damai dengan mantan suaminya itu dengan membiarkan anaknya untuk bertemu dengan ayahnya nanti jika mereka rindu. Keinginan Hanumpun terwujud, pertemuanpun terjadi antara Satria dan anak‐anaknya. Saat itu Satria ingin berjumpa Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 93
dan membawa anaknya bermain. Rupanya niat baik Hanum mempertemukan Satria dengan anak‐ anaknya ternyata berbuah penyesalan lagi bagi Hanum seumur hidupnya. Satria membawa kabur satu dari ketiga anak kesayangannya itu pergi entah kemana di hari ulang tahunnya. Benua telah hilang, pergi dibawa kabur oleh mantan suaminya. Kala itu Hanum tak tahu apa lagi yang harus diperbuatnya. Hanum kesana kemari ia mencari tapi Benua tidak juga ditemukan. Tiga tahun sudah kepergian Benua yang meninggalkan luka bagi Hanum.Hanum sangat syok dengan kepergian Benua, anak kesayangannya. Ia tidak tahu untuk berapa lama ia mesti menangis dan menunggu benua pulang. Hanum tak tahu mesti kemana lagi ia mencari anaknya itu. Walau dengan berbagai upaya ia dilakukan untuk mencari Benua tapi sampai sekarang hanya berbuah penantian. Kehilangan Benua yang sangat membawa luka dan penyesalan bagi Hanum. Penyesalan yang membekas, kenapa ia mempertemukan Benua dengan ayah yang berhati jahat seperti itu. Memisahkan anak dari ibunya. Hanya dalam doa yang tiada henti disampai Hanum, semoga suatu saat nanti bisa dipertemukan kembali dengan Benua. Hanya kesabaran yang membuat ia bisa bertahan menunggu saatnya nanti Hanum dipertemukan kembali dengan anak kandungnya itu. Hanum terus tetap tegar dan kuat menjalani hari‐hari ke depan bersama kedua buah hatinya, Arya dan Wanda, yang tetap butuh kasih sayangnya. Hanum hanya berusaha untuk tetap tersenyum menatap hari demi hari untuk kedua buah hatinya dan para murid‐ 94 | Yossilia, dkk.
muridnya yang juga butuh semangat hidup darinya. Hanum terlihat tegar walau sebenarnya batinnya menangis akan nasib hidupnya itu. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 95
Tentang Penulis Penulis kisah inspiratif Benua yang Hilang ini adalah seorang ibu yang bernama Fitria Ningsih, S.Pd. Sehari‐ hari beliau berprofesi sebagai seorang guru di sebuah SMPN di kota Pekanbaru. Yaitu di SMPN 34 Pekanbaru. Berbagai pengalaman hidup dan pengalaman mengajar yang sudah 16 tahun dijalaninya, membuat ibu tiga anak ini memiliki ide cerita yang berasal dari kisah hidup pribadinya. Ibu ini banyak menulis di antaranya beberapa cerpen dan kisah inspiratif. Dengan munculnya karya ini, ia ingin menginspirasi wanita Indonesia untuk segera bangkit dari keterpurukan hidup dan berjuang menatap terus masa depan. Jika pembaca ingin berkorespondensi, beliau tinggal di Jln. Purwodadi gang Sawahparit no. 3 Kec. Tampan Pekanbaru, no HP: 081266194183. 96 | Yossilia, dkk.
Kisah Di Balik Gadget Baru Kartini Oleh: Safridah, M.Pd. N ama saya Kartini, lebih sering dipanggil dengan sebutan Bu Karti. Saya, seorang perempuan yang menginjak usia separuh baya, yang merasakan betapa canggihnya manusia dapat menciptakan benda kecil yang dimiliki oleh semua orang dengan sebutan gadget atau yang kita kenal dengan HP. Yuuk baca kisah saya … Mula awal mengenal gadget, Bu Karti tidak begitu tertarik menggunakannya. Sesekali ia menggunakan untuk komunikasi semata, terutama dengan anak‐anak dan suami tercinta dan beberapa keluarga terdekat saja. Bahkan, sebelumnya ia sangat alergi sekali melihat orang orang di sekelilingnya yang sibuk dengan benda kecil tersebut. Betapa tidak, setiap orang yang ia jumpai menunjukkan tingkah laku yang menggelikan, kadang juga menjengkelkan dirinya. “Sepertinya ada yang aneh dari mereka, tertawa dan senyum‐ senyum sendiri… selfi‐selfi sampai jatuh dalam selokan, gak mau tahu ada temen duduk di sebelahnya, gak menoleh ketika disapa, ngomong keras‐keras dengan orang yang posisinya entah berada di mana,” gumam Bu Karti. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 97
“Eiiitt, matamu letaknya di mana?” Pernah suatu ketika seseorng hampir menubruknya karena keasyikan dengan gadgetnyanya. “Ma.. maaf Bu,“ kata pemuda tersebut sambil pergi begitu saja. Begitu juga ketika pulang ke rumah, seisi rumah bukannya menanyakan kabar atau menyapanya, tapi malah sibuk dengan ponselnya. “Ibu ke mana saja, kenapa baru pulang?” Ingin ia mendengarkan kata‐kata tersebut di telinganya, namun mereka seakan‐akan tak peduli kehadiran seorang ibu di tengah‐tengah mereka. Sepertinya kehadirannya tidak berpengaruh apa apa untuk suasana rumah seperti yang diharapkannya. Semua terjadi karena benda kecil itu. Pernah terbersit keinginannya untuk merendam gadget milik anak‐anaknya itu dalam ember yang dipenuhi air. Namun mengingat harganya melebihi gaji sebulan yang ia terima dari pekerjaannya, ia mengurungkan niat tersebut. Ia merasakan bahwa alat kecil tersebut tidak punya fungsi yang baik untuk anak‐anaknya di rumah. Dalam keseharian di tempat tugasnya tak jauh berbeda. Banyak murid‐ muridnya membawa gadget ke sekolah namun selalu disalahgunakan penggunaanya. Begitu juga dengan orang‐ orang dewasa di sekelilingnya. Ketika disapa, hanya menjawab tanpa menoleh kepadanya karena sibuk dengan gadget di tangan mereka. Keadaan ini memang sudah menjadi virus di mana‐mana. Era gadget membius hampir semua orang dengan tidak 98 | Yossilia, dkk.
memperhatikan sekelilingnya sehingga komunikasi verbal perorangan menjadi berkurang. Namun demikian, karena trennya di mana‐mana menggunakan media komunikasi gadget, akhir Bu Karti pun membelinya. Dari hasil uang tabungan harian, akhirnya Bu Karti memiliki gadget yang tipe biasa‐ biasa saja dan memorinya pun tidaklah tinggi pula. Ketika memutuskan untuk membelinya dalam hatinya ia berkata, “Tidak mungkin aku tidak memiliki benda ini, sementara semua orang dari golongan bawah sampai atas sudah punya, malu dong saya kalau semua pegang gadget sedangkan saya tidak?” Masih tergiang ditelinganya, “Seorang ASN (aparatur sipil negara) yang punya gaji tiap bulannya masa sih gak bisa beli ini?” Bu Resti, teman sebelah mejanya mengacungkan sebuah gaget ke arah Bu Karti, Teman lainya ikut nimbrung di dekat mejanya menambah bumbu ejekan Bu Resti. Bu Karti hanya tutup telinga mendengarkan beberapa teman dekat yang meledeki karena dianggap gaptek total. Tidak tahan diledeki terus, akhirnya ia mengunjungi sebuah toko ponsel dan memilih sesuai dengan keuangan di dompet yang ia bawa. Sesampai di rumah, Bu Karti mulai sibuk melihat fungsi dan penggunaan aplikasi yang ada di dalamnya. Ia mulai belajar menggunakan beberapa aplikasi yang mungkin lebih bermanfaat buat dirinya namun juga dapat memanfaatkan penggunaannya. Dengan perlahan, Bu Karti belajar otodidak menggunakan fungsi fungsi gadget untuk keperluan pekerjaannya. Mulai dengan mendokumentasikan kegiatan‐ kegiatan dalam pekerjaannya. Kemudian mencoba Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 99
mengupload hal‐hal baik yang dapat memotivasi para pembaca di dunia maya. Ia mencoba untuk membuat gambar‐ gambar menarik tentang materi‐materi edukasi untuk dishare kepada teman‐teman seprofesinya dan penikmat dunia maya. Pada suatu hari, ia pernah bertanya kepada murid‐ muridnya seberapa banyak waktu mereka gunakan untuk memegang gadget setelah pulang dari sekolah. Mereka menjawab, “Ibu guru, saya hanya bermain game jika sudah memegang hape sepulang sekolah.” Murid lainnya memberikan jawaban yang hampir sama, “Saya juga Ibu guru, karena hanya itulah untuk membuat kami rileks di rumah, bisa chat dengan teman‐teman atau saling bertukar gambar terbaru dari selfi kami.” “Lalu bagaimana dengan orang tua kalian, apakah mereka tidak melarang kamu mengoperasikan gadget seharian di hari libur sekolah?” “Mama saya sibuk bekerja Ibu guru, dan ayah saya pulangnya malam.” Aruni , salah seorang siswi menjawab pertanyaan dari Bu Karti. ”Ibu, saya merasakan galau kalau tidak memegang gadget sehari saja. Saya biasanya mengoperasikan di kamar seharian.” Dari jawaban polos mereka, Bu Karti mulai berpikir untuk murid‐ muridnya tersebut. Bagaimana mereka tetap menggunakan gadget namun dapat menghasilkan sesuatu yang wah di mata komunitas edukasi. Dan tentunya hasilnya nanti dapat menjadi sesuatu banget di hati murid‐ murid dan begitu juga orang tua mereka. Bu Karti mulai berpikir apa yang akan ia lakukan bersama murid‐muridnya tersebut. 100 | Yossilia, dkk.
Seketika terbersit di pikiran Bu Karti untuk mengumpulkan murid‐ muridnya dalam sebuah daring (dalam jejaring) agar murid‐muridnya menuangkan bakat dan kreativitas lewat menulis. “Mengapa tidak saya manfaatkan untuk kreativitas mereka?” pikirnya. Keesokan hari, mulailah ia mendata nama nama yang mau ikut dalam daring besamanya. Pertama ia menyampaikan maksud dan tujuan komunitas daring ini. Ia mencoba untuk menggali bakat menulis mereka melalui daring antologi cerpen dan puisi. “Ananda sekalian apa yang paling sering Ananda lakukan jika mengalami hal yang menyenangkan dan menyedihkan?” “Saya biasanya cerita ke teman dekat Ibu guru,” salah seorang dari muridnya menjawab. “Ooo…, kalau saya biasanya curhat kepada ini nih!” Siswa yang berperawakan agak gendut, Yoan, yang duduk di kursi bagian belakang, menunjukkan sebuah buku kecil di tangannya. Siswi lain menoleh dengan rasa ingin tahu. Tiba‐tiba Risna yang tempat duduknya persis berada di depan Yoan mengambil dengan cepat benda di tangan Yoan namun tidak kalah cepatnya Yoan menyimpannya di laci meja. Siswi yang lain menoleh dengan rasa ingin tahu. “Apa yang kamu pegang itu Yoan?” Rianti yang duduk di depan berteriak agak keras. Bu Karti melangkah perlahan ke barisan bagian belakang dan mengarahkan telapak tangannya ke arah Yoan. Yoan mengambil benda kecil tersebut dari laci meja dan Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 101
memberikan kepada Bu Karti. “Ini diary milik Yoan, Ibu tidak akan membacakan isinya.“ “Yoan, apa saja yang kamu tuliskan dalam diari ini?” Bu Karti bertanya kembali. “Banyak hal Bu guru, ketika saya mengalami hal yang membahagiakan, dan tidak ada orang tempat saya mencurahkan rasa bahagia tersebut, ya… saya pilih curhat ke benda ini, Bu.” “Gimana kalau kamu mengalami kesedihan Yoan?“ kembali Bu Karti bertanya. “Sama saja saya juga curhatnya ke benda ini, dan saya namakan diari ini mama kedua.” “Kenapa kamu sebut Mama kedua?” Ya maklumlah Bu guru, mama saya bekerja. Pergi pagi pulang petang, sementara papa saya bekerja di luar kota. Kalo ada apa‐ apa saya mesti ngomong ke siapa? Sementara gadget saya tidak punya. Makanya saya menyebut benda ini mama kedua.” Bu Karti sebenarnya iba mendengar kepolosan Yoan sedangkan beberapa siswi lainnya menanggapi dengan senyuman. Serentak beberapa siswa yang duduk didepan Bu Karti berkata, “Curhat ni yee?” Ha… Ha… Ha…” mereka tertawa. Yoan kelihatan keki mendengar ejekan teman‐ temannya. Bu Karti seketika dengan cepat menenangkan suasana kelas. “Apa yang dilakukan Yoan tidaklah salah, tapi kalau kamu membaca diari tanpa seizinnya, baru bisa dikatakan salah,” Bu Karti mengembalikan mama kedua Yoan. 102 | Yossilia, dkk.
“Huuu… ” Yoan membalas ejekan teman‐temannya yang sudah membuatnya sedikit kesal. “Bu guru kok hari gini curhatnya ke diari? Kan ada hape, gadget, internet yang bisa ngomong ke siapa saja dan kapan saja?” Seorang siswa yang sedari tadi diam mengeluarkan suaranya. “Nah, ini dia yang akan Ibu diskusikan dengan kamu semua!” Dengan nada yang semangat dan membuat seisi ruangan memperhatikannya. Mulailah Bu Karti memberi pandangan tentang benda canggih tersebut sehubungan dengan mereka memfungsikan penggunaannya. “Bagaimana kalau kita buat sebuah daring yang kegiatannya mengasah kemampuan curhat Ananda?” sambil berjalan ke arah belakang ruangan. “Dengan curhat, Ananda akan menghasilkan sesuatu gitu lho…?” Siswinya masih bingung akan penjelasanan Bu Karti. “Baik begini saja, kita akan melakukannya melalui dunia maya. Segala informasi akan kamu baca nantinya di daring (dalam jejaring saja). Bu Karti meminta salah seorang menuliskan nomor WA siswi di kelas tersebut. Dengan raut kurang paham tentang maksud Bu Karti, namun tetap menuliskan nomor WA mereka untuk masuk daring tersebut. “Mudah‐mudahan ini akan berhasil,“ doanya dalam hati. “Saya yakin mereka punya bakat yang tersembunyi,” gumamnya pelan. Pada waktu yang sudah disepakati, yakni di akhir minggu , Bu Karti menyempatkan waktu untuk murid‐muridnya Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 103
tersebut.. Cukup sambil santai di depan TV di rumah, ia mulai menyapa anggota daring. Dari diskusi mereka sepakat menamakannya dengan “Daring merangkai Alinea”. Mereka menyepakati bersama tema yang akan mereka tulis untuk sesi satu kali ini. Tak lupa pula mereka menyepakati tujuan dari kegiatan daring tersebut. Dari hasil daring malam ini ternyata di luar dugaannya, semua anggota daring begitu antusias mulai mengekpresikan tulisan mereka. Bu Karti mencoba mengarahkan beberapa penulisan atau pemilihan kata yang tidak cocok untuk digunakan. Setelah lebih kurang dua jam daring dengan siswi‐siswinya, Bu Karti menutup dengan ucapan “Semoga ananda semua tetap semangat dalam menulis dan kita lanjutkan daring ini malam besok. Selamat malam.” Keesokan malam tepatnya di malam minggu, setelah melaksanakan shalat Isya, kembali Bu Karti menyapa siswinya di “Daring Merangkai Alinea”. Ketika ia mulai membuka WA, betapa terkejutnya ia karena dari datanya banyak di antara anggota keluar dari daring. Namun Ia tak putus asa, tetap memberikan semangat kepada mereka yang masih online untuk tetap mengikuti kegiatan daring selama 1 bulan ke depannya. Sampai pada waktunya, ia pun minta izin mundur hingga tanpa disadari terlelap di depan TV hinggaa subuh menjemput melalui lantunan azan. Hari ini kembali untuk bekerja setelah melewati akhir pekan. Bu Karti agak sedikit syok ketika seorang ibu (wali murid) ingin menemuinya di sekolah pagi ini. Salah seorang petugas piket meneleponnya 104 | Yossilia, dkk.
“Bu Karti, ada seorang ibu marah‐marah ingin bertemu Bu Karti.” “Orang tua siapa ya, saya lagi mengajar di ruang 9?” “Dia hanya bilang mau jumpa Bu Karti dan katanya sekarang juga.” “Bisa menggantikan saya sebentar?” “Baiklah, Ibu langsung saja ke sini ya, biar saya sambil jalan menuju ruang 9.” Setiba di ruang piket ia melihat seorang perempuan , dengan agak jutek menerima uluran salammya. “Oh, ibu ya, yang menyuruh anak saya memiliki gadget? Kemarin anak saya merengek tak henti‐henti minta dibelikan sama saya.” Bu Karti mengulurkan tangan kanannya sambil tersenyum dipaksakan, “Perkenalkan saya Kartini apa Ibu ingin menemui saya?” “Ya tepat sekali,” agak sedikit marah tertahan orang tua siswi tersebut berkata. “Maaf Ibu, sebaiknya kita bicarakan di ruangan saja ya, Bu?“ Segera Bu Karti membawa ibu tersebut ke dalam ruangan dan mempersilakannya duduk. “Bu maaf ya, Ibu orang tua siapa? Dan Ada yang bisa saya bantu?” “Gara‐gara Ibu, anak saya minta dibelikan gadget baru. Apa sih yang ibu katakan kepada anak saya?” “Siapa nama ananda kita Ibu?” Bu Kartini masih dalam keadaan tenang menghadapi Ibu ini. “Saya mama Yoan, katanya Ibu menyuruh siswa untuk memiliki gadget, ikutan apa itu namamya… online… apa Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 105
gitu namanya ya? Saya kurang paham juga. Saya melarang Yoan memiliki gadget dikarenakan takut ia takut Yoan menyalahgunakannya. Tapi kok Bu guru dengan entengnya menyuruh Yoan minta dibelikan gadget?” “Guru seperti apa ini ? tidak mendidik sama sekali!” lanjutnya dengan tajam. “Maaf Bu, Ibu sudah selesai ngomongnya?“ Bu Karti emosi mendengar perkataan Mama Yoan. “Saya kira Ibu salah paham tentang ini.” Dengan perlahan Bu Karti menjelaskan tentang kesalahpahaman tersebut. “Barangkali anak Ibu tertarik dengan ide saya untuk belajar online yang kami sebut dengan daring (dalam jejaring).” Bu Karti juga menyampaikan tentang diari yang disebut Mama kedua oleh Yoan. Tempat Yoan berkeluh kesah tentang apa yang dialaminya. Ketika mendengarkan penyampaikan Bu Karti tentang curhat anak Yoan, mata mama Yoan mulai berkaca‐kaca dan tak terbendung air matanya jatuh di pipinya. Seakan ia menyesali sambil berkata terbata‐ bata, “Apa benar begitu Bu?” “Saya bekerja untuk kebutuhannya semata untuk keperluan pendidikannya. Sebenarnya saya dan papanya sudah berpisah sejak beberapa bulan lalu, dan Yoan belum tahu tentang hal ini. Dia menyangka ayahnya bekerja di luar kota, padahal ayahnya sudah tidak tinggal bersama saya lagi.” Bu Karti membiarkannya menangis sambil mengambil lembaran tisu dan memberikan kepada mama Yoan. Bu Karti mencoba memahami keadaan mama Yoan dan memberikan 106 | Yossilia, dkk.
pandangan terhadap keinginan Yoan dan kondisi rumah tangga mama Yoan tersebut. *** Setelah tiga minggu dalam jejaring bersama, hanya beberapa muridnya yang masih bertahan. Bu Karti mulai merangkai karya mereka dan mengirimkan naskah hasil daring ke sebuah percetakan ternama. Sambil menunggu hasilnya mereka tetap melanjutkan dengan tema lainnya dalam jejaring selanjutnya. Tepatnya setelah dua bulan daring bersama murid‐ muridnya, sebuah karya menghiyasai bebrapa etalase toko buku di kotanya dan menjadi sebuah karya yang diminati para pelajar tingkat menengah pertama dan menengah atas. Di tepi jalan melewati jalan utama, terlihat poster besar gambar murid‐muridnya memegang karya mereka. Bu Karti di antara sepuluh orang muridnya dan di sebelah ujung, seorang ibu tampak begitu bahagia merangkul penuh mesra anak perempuan di sampingnya yang bernama Yoan, sambil memegang karya berupa sebuah buku. Terlihar binar bahagia diwajah mereka . Kini semua wajah status murid‐murid yang tergabung dalam daring bersamanya tak lagi berisi status‐status yang tidak berguna. Mereka begitu bangga menggantinya dengan hasil karya mereka, sebuah buku karya antalogi daring berjudul “Merangkai Alinea Putih Dongker”. Itulah karya nyata yang butuh pengorbanan waktu untuk memotivasi mereka dalam berkarya di tengah kesibukan yang luar biasa. Begitu bangga, Bu Karti menerima respon yang positif dari kalangan edukasi dan orang tua mereka yang merasa selama Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 107
ini tidak mengetahui kegiatan positif yang dilakukan anak‐ anak mereka. Salah satu bentuk terima kasih dari orang tua murid‐ murid yang tergabung dalam Daring Merangkai Alinea, pada akhir pekan, Bu Karti diundang dalam sebuah acara ulang tahun salah seorang anggota daring, Yoan, sengaja diadakan di sebuah Resto. Para orang tua tersebut memberikan bingkisan besar dan Bu Karti menerima dengan haru dan bahagia. “Ayoo dibuka Bu Karti... ayo… ayo” Murid‐murid bersemangat meminta Bu Karti membuka bingkasan tersebut. Perlahan dan hati‐hati, Bu Karti mulai merobek bungkusannya sambil diiringi tepuk tangan. Musik resto menambah semangat semua pengunjung di sana. Dan Tarrraaaa…! Sebuah karikatur Bu Karti bersama seluruh penulis “Daring Merangkai Alinea” menghyasi bingkisan besar tersebut. Semua wajah dalam karikatur tersebut menunjukkan rasa gembira dan bahagia tak terhingga. Di bawah gambar karikatur tersebut terdapat tulisan yang dibaca serentak oleh murid‐muridnya, “I love you full … Jadikan kami mutiara yang selalu berkilau dengan kasih sayang dan perhatianmu Kartini.” Cekreek… cekreeek… cekreek! 108 | Yossilia, dkk.
Tentang Penulis Perempuan kelahiran 16 Februari 1977 di Kuok, Kabupaten Kampar, Riau ini, bernama Safridah, M.Pd. Ia bekerja sebagai guru bahasa Inggris di MTSN 3 Pekanbaru sejak tahun 2015 sampai sekarang. Sebelumnya pernah mengajar sebagai guru honor di SMA PGRI Pekanbaru pada tahun 1999 s.d. 2000 kemudian sebagai guru kontrak di SMP 1 Minas pada tahun 2003 s.d. 2004. Ia menyelesaikan Pendidikan S‐2 di Universitas Negeri Padang Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris pada tahun 2013. Jenjang pendidikan yang dilalui pengarang sebelum di universitas, pernah mengenyam pendidikan dasar di SDN 037 Rengat dari tahun 1983 – 1989 kemudian melanjutnya di MTSN YPAIR (Yayasan Pendidikan Agama Islam Rengat) dari tahun 1989 – 1992 dan sekolah menengah atas di MAN 1 Pekanbaru dari tahun 1992 – 1995. Pengarang merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan Bapak H.A. Muaz Syarif, B.A. dan Ibu Hj. Yusraini Ibrahim, A.Md. Di samping berprofesi sebagai guru, pengarang bergabung dengan organisasi wanita PERTI‐ PERWANI wilayah Pekanbaru dan merupakan fasilitator daerah (fasda) mapel bahasa Inggris sekolah mitra Program Pintar Riau Tanoto Foundation untuk wilayah Kota Pekanbaru sejak tahun 2018 sampai sekarang. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 109
Buku ini merupakan karya antalogi perdana penulis setelah menulis sebuah karya tunggal berupa kumpulan puisi di bulan Januari 2019. Email: [email protected] dan Whatsapp: 081371172262 110 | Yossilia, dkk.
Emak Penjual Pisang Oleh : Mulkismawati P erkenalan itu tak selalu berawal dari suatu yang indah dan penuh simpati. Ada kalanya justru berawal dari prasangka dan rasa benci. Persahabatan itu bukan perkara kesengajaan. Kedekatan itu tak selamanya karena banyak persamaan. Perbedaan adalah warna‐warni yang saling melengkapkan. Itulah gambaran hubungan aku dengan Elfia. Perempuan yang mulai kukenal sejak sama‐sama menjadi mahasiswi baru di tahun 2001. Perempuan yang berjilbab lebar dan berpakaian longgar itu begitu bersemangat saat menjalani masa orientasi mahasiswa baru. Sering mengemukakan pendapat, kritis, dan tampak sekali dia begitu percaya diri. Saking percaya dirinya, terkadang mengemukakan pendapat yang sebenarnya itu tak terlalu penting menurutku. Mungkin itu caranya menunjukkan diri, begitu pikirku. Aku tipe orang yang sangat mudah mengagumi orang lain tapi begitu cepat pula illfill jika orang tersebut melakukan sesuatu yang kurang tepat. Apa yang dilakukan dan ditunjukkan Elfia saat itu bagiku adalah berlebihan. Sikap berlebihan ini aku istilahkan “sok keren”. Sok adalah sebuah perlindungan dari kelemahan diri dengan cara berpura‐pura bisa. Jadi, jika ada yang sok keren itu artinya berpura‐pura Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 111
keren walau sebenarnya tidak keren sama sekali. Seperti itulah aku menilai Elfia ketika itu. Aku yang sedari awal lebih banyak menahan diri untuk tidak banyak bicara ketika masa orientasi itu, akhirnya ingin juga angkat suara. Minimal untuk menunjukkan bahwa aku bisa juga berbicara, bahkan lebih hebat dari Elfia yang sedari tadi selalu sibuk angkat tangan supaya dikasih kesempatan berbicara. Kuberanikan diri melakukan hal serupa. Posisi dudukku yang jauh ke belakang membuatku harus berusaha ekstra agar dilirik oleh moderator. Akhirnya kesempatan berbicara itu kudapatkan juga. Tak tanggung‐tanggung, selaku mahasiswa baru yang berasal dari luar daerah aku cukup lancang sebenarnya. Pembicara di depan adalah orang nomor satu di kampus ini. Kesempatan berbicara yang diberikan kepadaku justru kumanfaatkan untuk mengkritisi apa yang disampaikan sang rektor. “Sepanjang apa yang Bapak sampaikan, belum ada inti pembicaraan yang bisa pahami. Saya rasa sebagian besar kawan‐kawan mahasiswa baru yang lain juga mengalami apa yang saya rasakan. Gaya bahasa bapak terlalu tinggi. Mungkin apa yang bapak sampaikan adalah hal baik akan tetapi jika pesan itu tidak sampai ke pendengar hanya karena persoalan bahasa, tentu adalah hal yang sangat disayangkan. Kami ini mahasiswa baru Pak, bukan mahasiswa semester akhir yang akan ujian skripsi. Saya ingin bertanya kepada Bapak, apakah kualitas intelektual seseorang itu memang bisa dinilai dari seberapa banyak istilah ilmiah yang dia gunakan saat berbicara?” 112 | Yossilia, dkk.
Suasana riuhpun terjadi sesaat setelah aku berbicara. Ada sebagian yang bertepuk tangan tapi lebih banyak yang diam dan memandangku dengan tatapan aneh, termasuk Elfia. Aku sudah menduga, mereka pasti menilaiku mahasiswa baru yang lancang. Akan tetapi aku senang dan cukup puas. Alasan kepuasan itu karena dua hal. Pertama karena aku bisa membuktikan bahwa aku juga “berani berbicara” dan “berbicara berani”. Kedua karena Pak Rektor langsung menanggapi pembicaraanku dengan cara yang berani pula. Sejak itu aku keranjingan bicara. Selama tiga hari masa orientasi, hampir setiap sesi aku selalu mengacungkan tangan. Kulihat Elfia juga seperti itu, malah tambah semangat. ”Mungkin dia takut kalah saing,” pikirku saat itu. *** “Ki...kamu tau gak kalau sebenarnya aku dulu gak suka lo sama kamu. Menurutku kamu adalah perempuan lancang dan asal bicara.” “Sama dong kalau gitu. Aku juga dulu menganggapmu orangnya sok keren, sok pintar hahaaaa…” Elfia hanya tersenyum lebar mendengar pengakuanku. Kamipun saling tertawa. Itulah yang unik dari persahabatan kami. Terlalu berterus terang tanpa beban, tanpa khawatir akan ditinggalkan atau meninggalkan. Berkali‐kali Elfia menasihati sikapku yang selengekan, tertawaku yang ngakak, cara berpakaianku yang tomboi dan kurang rapi serta kuku tanganku yang panjang. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 113
Aku biasa saja mendengarnya, tak tersinggung tapi tak pula melaksanakan semua yang dinasihatkan. “Aku tak mau berubah karena kamu, tapi karena Allah.” Begitu jawaban pamungkasku yang membuat Elfia hanya bisa tersenyum pasrah. Senyum itu begitu lepas, selepas jawabanku yang sudah berkali‐kali tetap seperti itu. Aku dan Elfia tetap dekat di tengah banyaknya perbedaan. Satu‐satunya kesamaan kami hanyalah sama‐ sama suka makan, makan apa saja. Elfia tahu betul kalau aku suka pisang. Dia sering kali membawakan aku pisang. Katanya, kalau sudah lihat pisang, dia selalu ingat aku. Emang aku apaan? Monyet? Ah sudahlah, yang penting aku kenyang. Setiap kali dia membawakan pisang untukku dari kampungnya, kurasa itulah momen ter so sweet yang kualami bersama Elfia. Tanpa basa basi, pisang itu akan langsung masuk ke mulut dalam hitungan detik saja. “ Eh Ki.. aku pernah baca loh kalau perempuan yang suka pisang itu pertanda nafsunya kuat.” “What?” Elfia nyengir dan mentertawakanku. Mungkin dia berpikir, karena ucapannya barusan aku akan berhenti untuk suka sama pisang. “Tapi aku pernah baca juga lo Fi, nafsu yang besar itu justru anugerah dari Allah asal bisa dikelola dengan baik hahahaa…” Aku hampir keselek karena tertawa sambil makan pisang. “Ah kamu memang selalu saja punya jawaban,” katanya sambil melempar kulit pisang ke arahku. 114 | Yossilia, dkk.
“Ohya...salam ya buat emak. Terima kasih pisangnya. Sekali‐kali ajak aku ke rumahmu, aku pengen ketemu emak.” “Pengen ketemu emak atau pengen makan pisang?” “Dua‐duanya, heheee…” *** Di semester ketiga aku kuliah, selain Elfia, aku juga mengenal Tisna. Tisna adalah adik kandung Elfia yang juga kuliah di kampus yang sama. Tisna tinggal se‐kos dengan Elfia, katanya biar lebih hemat biaya. Tisna lebih anggun dan pendiam dari Elfia. Dari sikap dan penampilan sehari‐hari, tampak sekali kedua kakak beradik itu adalah keluarga yang sederhana. Kata Elfia, ayahnya sudah meninggal saat dia masih duduk di bangku SLTA. Dia enam orang bersaudara, dua laki‐laki dan empat perempuan. Elfia adalah anak kedua sementara Tisna adalah anak ketiga. Setelah Tisna, ada Ishaq yang sekarang lagi mondok di salah satu pesantren di Jawa Timur. Selanjutnya Ilham, masih di bangku SMP dan yang paling bontot Afriani, masih kelas 5 SD. Yang paling tua baru menamatkan kuliahnya di salah satu perguruan tinggi di Kota Padang. Aku kadang berpikir, betapa gigihnya seorang emak (begitu aku dan Elfia memanggilnya) dalam menyekolahkan anak‐anaknya walaupun berjuang sendiri tanpa kehadiran suami. Setelah ayahnya meninggal, emaklah yang menghidupi Elfia dan saudara‐saudaranya. Sepetak sawah yang ditinggalkan almarhum ayah Elfia, hanya cukup untuk makan sehari‐hari, tak lebih. Untuk keperluan lain seperti pendidikan Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 115
dan sebagainya, emak jual pisang di Pekan Selasa. Pisang jualan emak, itulah yang sering dibawa Elfia untukku. Suatu ketika Elfia juga memperkenalkan kakak sulungnya padaku. Perempuan manis yang biasa kami panggil Uni Elva tiba‐tiba berkunjung ke kos‐kosan Elfia. Berdasarkan cerita Elfia, Uni Elva itu dulu kuliah Jurusan PGSD. Uni Elva memang sangat cantik dan manis melebihi kecantikan Elfia dan Tisna. “Uni rasanya kok pengen ngajar ya?” ujarnya seketika. Dia buka tasnya dan dia keluarkan spidol. Aku sebenarnya heran, tapi sengaja tak kuperlihatkan. “Apakah Uni Elva akan benar‐benar mengajar saat ini juga?” batinku. “Kalian berdua mau kan jadi murid uni?” katanya sambil senyum dengan mata yang berbinar. Bulu matanya yang lentik semakin menambah kecantikan Uni Elva di mataku. Aku melirik Elfia, seakan menanyakan jawaban atas pertanyaan Uni Elva barusan. Setelah melirik ke arah Elfia, aku sudah mendapatkan jawaban walau Elfia tak bicara. Tanpa pikir panjang, aku dan Elfia langsung memperbaiki duduk kami seolah sudah betul‐ betul siap untuk belajar. Uni Elva terlihat senang sekali. Apa yang diajarkan Uni Elva kepada kami? Apakah tentang motivasi belajar? Atau tentang materi perkuliahan? Tidak, bukan itu. Uni Elva membahas tentang hakikat makna Al Fatihah. Wow. Selama berteman dengan Elfia, aku memang biasa mendengar pembahasan tentang agama dari Elfia. Tapi kali ini beda, materinya agak berat tapi asyik dan aku mulai tertantang. 116 | Yossilia, dkk.
Aku dan Elfia adalah tipikal orang sangat suka diskusi. Selama Uni Elva membahas tentang itu, aku dan Elfia selalu saja rebutan bertanya dan menjawab. Melihat keantusiasan kami, Uni Elva berkali‐kali tersenyum merekah. Uni Elva terlihat begitu senang dan puas. “Uni sangat senang memberikan materi‐materi agama pada orang‐orang aktif seperti kalian berdua,” katanya dengan mata yang lebih berbinar dari tadi. *** Akhirnya aku berkesempatan juga bertemu emak. Kata Elfia, aku akan diajak nginap di rumahnya mumpung besok libur. Tapi sebelum kerumah, Elfia mengajakku ke pasar terlebih dulu untuk bertemu emak. Seperti biasanya, dari pagi sampai siang emak jual pisang dulu di pasar. Setelah itu baru pulang bersama‐sama ke rumah. Begitu rencananya. Sebenarnya, jarak kampus dengan rumah Elfia tidak terlalu jauh. Bisa ditempuh kurang lebih 15 menit jika pakai sepeda motor. Namun, Elfia dan Tisna tetap memutuskan untuk tinggal di kos yang lebih dekat dengan kampus untuk menghemat biaya. Lagian mereka tidak punya sepeda motor untuk bolak‐balik. Jika naik oplet tiap hari, tentu butuh biaya yang tak sedikit, sementara emak hanya mampu membiayai uang kuliah dan sedikit membantu biaya harian. Selebihnya Elfia harus berputar otak untuk menghasilkan uang. Mulai dari jualan dan ngajar ngaji, bahkan Elfia sampai nekat kredit sepeda motor untuk ngojek khusus muslimah. Itulah yang membuat aku dan Elfia sangat dekat. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 117
Kami sama‐sama dari keluarga sederhana yang harus bekerja sambil kuliah. Aku tak berbakat jualan dan tak bisa mengendarai sepeda motor, makanya kupilih untuk ngajar ngaji saja. Perlahan penampilanku yang tomboi sedikit berubah, lagian aku sudah jadi guru ngaji di surau terdekat dengan kos‐kosan. Kuakui, perubahan yang terjadi padaku, sedikit banyaknya adalah karena Elfia dan keluarga. Oplet yang kami tumpangi sebentar lagi akan sampai di pasar tempat emak berjualan. Aku tak sabar ketemu emak (beserta pisang‐pisangnya, hehee). Pekan Selasa begitu ramai. Riak riuh penjual dan pembeli semakin siang semakin ramai saja. Aku dan Elfia berjalan menyusuri pasar. Aku selalu memperhatikan setiap emak yang jual pisang. Sedari tadi aku sudah membayangkan wajah emak. Tapi Elfia masih juga belum berhenti, itu artinya kami belum sampai di tempat emak jual pisang. Cukup lama kaki berjalan hingga aku tertuju pada pada seorang ibu yang tersenyum kearah kami dari kejauhan. Dia seperti setengah berdiri untuk memastikan kedatangan kami. Kulihat senyumannya mirip dengan Elfia. Kami semakin dekat kearahnya. Sekarang dia betul‐betul berdiri. “Inilah emak Ki,” kata Elfia padaku. Aku salami dan kucium tangan perempuan paruh baya itu. Emak menepuk pundakku. Sambutannya yang tulus serasa mampu menyejukkan suasana terik dan gerahnya pasar. “Elfia sering cerita tentang kamu pada emak,” katanya sambil tersenyum. 118 | Yossilia, dkk.
Emak mempersilakan kami duduk. Ada tikar kecil yang sengaja digelar emak untuk aku dan Elfia duduk. Kulihat pisang dagangan emak tinggal satu sisir. “Emak sebenarnya sudah mau pulang, tapi sengaja nunggu kalian datang dulu. Elfia sudah cerita kalau nak Kiki mau ke sini, makanya sengaja emak sisakan pisang satu sisir.” Aku tersenyum lebar. Tersenyum melihat ketulusan emak yang masih ingin berbagi di tengah keterbatasan serta tersenyum karena aku bakal makan pisang “Buai Minang” kesukaanku. “Duduklah sini dulu ya, emak mau beli cendol. Kalian pasti hauskan?” “Emak gak usah repot‐repot Mak. Pisang ini aja sudah lebih dari cukup. Kami gak terlalu haus kok Mak, tadi sudah minum sebelum ke sini,” jawabku berbasa‐basi. Sebenarnya bukan basa‐basi, tapi lebih karena kasihan pada emak. Aku tahu, untung emak jualan pisang ini tentu tak seberapa. Apalagi emak sudah menyisakan pula satu sisir pisang jualannya untukku. Jika nanti emak beli cendol lagi, semakin berkurang uang hasil jualan. “Ya sudah. Mak beli rakik aja untuk kita bawa pulang setelah ini.” Rakik adalah makanan seperti peyek yang dicetak pakai Loyang bulat atau segi empat. Rakik itu ada yang pakai kacang tanah ada pula yang pakai ikan asin. Aku lama menatap emak yang segera mencari orang jualan rakik di tengah riuhnya pasar. Aku jadi ingat mak di kampung. Jujur, setelah bertemu dengan emaknya Elfia, rasa rinduku pada mak di kampung sedikit terobati karena hampir Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 119
tiga bulan aku belum bisa pulang kampung. Kulihat ada kemiripan antara emaknya Elfia dan mak di kampung. Warna kulitnya sama‐sama gelap dan mereka sama‐sama pekerja keras. *** Dengan naik oplet lebih kurang 15 menit, akhirnya kami sampai di desa Ampalu. Desa di mana Elfia dan keluarga tinggal. Oplet berhenti di depan sebuah rumah yang terletak diatas bukit yang tak terlalu tinggi. “Ayo kita turun,” kata emak. Aku mengikuti emak dan Elfia dari belakang. Ternyata memang rumah di atas bukit itu yang dituju. Rumah yang tidak terlalu besar. Rumah ini memang kelihatan sudah lama tapi seperti rumah yang belum siap. Jendela yang seharusnya terbuat dari kaca diganti dengan papan yang dipaku secara permanen. Lotengnya belum ada dan kayu pintunya sudah banyak yang rusak di makan rayap Rumah yang terdiri dari dua kamar itu dihuni tujuh orang setelah ayah Elfia meninggal. “Inilah rumah peninggalan almarhum ayah,” kata emak lirih. Aku terpaku dan tak banyak bicara. Uni Elva menyambut kedatangan kami dengan senyum manisnya yang khas. Uni Elva terlihat lebih kurus dan agak pucat dibandingkan saat pertama kali aku bertemunya di kos Elfia beberapa waktu lalu. Aku disalami Afriani, adik Elfia yang paling bungsu. Sementara adiknya bernama Ilham belum pulang dari sekolah. Aku belum pernah bertemu dengan Ishaq. Kata 120 | Yossilia, dkk.
emak, semenjak mondok di Jawa Timur, Ishaq belum pernah pulang. Setelah shalat Duhur, aku, Elfia, emak dan Afriani duduk‐ duduk santai di tepi pintu. Sementara Uni Elva kudengar mengaji di kamarnya. Sambil duduk‐duduk itulah emak bercerita banyak tentang keluarganya. Tentang almarhumah ayah, tentang perjuangannya sebagai single parent menghidupi anak‐anaknya, tentang berbagai hal yang dia alami. Aku mendengarnya dengan saksama. Kulit emak yang terlihat keriput dan kering, rambutnya yang sudah mulai berubah warna menunjukkan betapa kerasnya emak berusaha menafkahi anak‐anaknya. Dalam hati yang paling dalam sebenarnya aku kasihan melihat emak, sekaligus bangga. Kasihan melihat bebannya dan bangga melihat semangat perjuangannya. Setelah ayah Elfia meninggal, maka Elfialah orang tempat emak berbagi soal apapun tentang keluarga. Elfia memang lebih tangguh dan lebih dewasa berpikirnya dibandingkan dengan saudara‐saudaranya yang lain, begitu cerita emak. Melihat keluarga ini, rasa syukur itu semakin aku rasakan. Pikiranku melayang jauh ke kampung halaman. Walaupun keluargaku adalah keluarga yang sederhana juga, tapi setidaknya ayahku masih ada dan cukup kuat menafkahi mak, aku, serta dua orang adikku. “Diaaaaaam!” Tiba‐tiba suara itu terdengar lantang dari dalam kamar di mana Uni Elva tadi berada. Aku kaget. Aku bisa memastikan itu benar suara Uni Elva. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 121
“Diaaam kalian... jangan bicara lagi. Hentikan membicarakan aku!!” Sepertinya Uni Elva marah. Marah sama siapa? Aku bingung. Kulihat emak, Elfia dan Afriani tak begitu kaget. “Va... sabar Nak. Tak ada yang membicarakanmu,” kata emak lembut. Aku semakin bingung. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Uni Elva. Akhirnya Elfia dan emak pun menceritakan padaku tentang Uni Elva. Rupanya sejak satu tahun terakhir ini Uni Elva memang sedang terganggu psikologisnya. Penyebab pastinya belum diketahui. Sewaktu‐waktu dia akan berteriak, marah, dan mengigau. Emak sudah berusaha mencari solusinya dengan cara mengobatinya. Karena keterbatasan biaya, emak baru mampu mengobati ala kadarnya. “Kalau untuk ke psikolog dan psikiater tentu butuh biaya yang tak sedikit, lagian jasa layanan seperti itu hanya ada di kota,” kata Elfia. Suara teriakan Uni Elva tak terdengar lagi. Sepertinya sudah tenang kembali. Aku yang duduk di tepi pintu sambil melemparkan pandangan keluar, masih saja kepikiran tentang kondisi Uni Elva. Tentang beban yang harus diemban emak di tengah kondisi perekonomian yang serba terbatas. Mataku berkaca, tapi kutahan supaya tidak kebablasan karena kulihat emak begitu tabah dan ikhlas. Aku tak mau air mata ini justru merubuhkan fondasi ketabahan yang sudah dibangun emak di keluarga ini. Untuk mengalihkan pembicaraan aku justru berbicara soal pisang pada emak. 122 | Yossilia, dkk.
Kulihat di sekitar rumah ini tak begitu banyak pohon pisang. Ada beberapa saja yang tumbuh di samping dan belakang rumah. Jadi pisang yang dijual emak di pasar itu pisang dari mana? Emak tersenyum mendengar pertanyaanku. Rupanya pisang yang dijual emak itu memang bukan pisang yang berasal dari kebun emak tapi pisang yang dia beli ke beberapa orang lalu dijual lagi. Mendengar penjelasan itu aku kembali terdiam. Yang kupikirkan adalah risiko jualan seperti itu. Jika jualannya banyak tersisa, maka modal tidak kembali. Andaikan habis, tentu juga untungnya tidak seberapa. Tapi dengan untung yang tak seberapa itu emak masih mampu menyekolahkan anak‐anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Salut. *** Delapan belas tahun berlalu sejak perkenalan awalku dengan Elfia di tahun 2001. Sampai saat ini kami masih menjaga persaudaraan itu dengan baik walau jarak, waktu dan tempat memisahkan. Komunikasi tetap kami jaga walau tidak seintensif saat masih sama‐sama dulu. Elfia sekarang sudah sukses dengan profesinya sebagai guru dan kiprahnya di dunia dakwah pantas kuacungi jempol. Tisna sudah dipercayakan menjadi kepala sekolah di salah satu TK ternama di kota Batusangkar. Ishaq sudah hafiz 30 juz dan difasilitasi mertuanya untuk mendirikan pesantren tahfiz di Makasar, Sulawesi Selatan. Si bungsu Afriani, setelah tamat kuliah lebih tertarik pada dunia usaha dan bisnis. Sekarang Afriani sudah sukses menjadi stokist produk‐produk halal berbasis syariah di kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Ketika kutanya soal Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 123
Uni Elva dan Ilham, rupanya dua anak emak inilah yang tinggal bersama emak. Uni Elva tetap belum pulih seratus persen walaupun sudah pernah dirawat di RSJ. Ilham memang tidak mau kuliah seperti yang lain. Aku tahu, kalau keputusan Ilham ini bertentangan dengan cita‐cita emak yang ingin menyekolahkan semua anak‐anaknya sampai jenjang kuliah. Tapi apakah emak kecewa pada Ilham? atau kurang bisa menerima kenyataan tentang kondisi Uni Elva? Jawabannya tidak. Dengan kondisi Uni Elva dan Ilham saat ini, mungkin itu cara Allah agar ada orang yang senantiasa bisa menemani emak di rumah. Begitulah jawaban emak yang kudapat melalui Elfia. Satu lagi tentang emak, walaupun anak‐anaknya sudah meminta berhenti bekerja karena anak‐anaknya merasa sudah mampu membiayai kehidupan emak tapi emak tetap mau bekerja. Sampai saat ini emak masih ke sawah dan masih saja jualan pisang. Ah emak...tiba‐tiba aku rindu emak dan rindu makan pisang dari emak. 124 | Yossilia, dkk.
Tentang Penulis Mulkismawati, perempuan kelahiran Pulau Padang 15 Maret 1983 ini adalah penyuka puisi, cerpen dan novel. Perempuan yang sehari‐hari berprofesi sebagai guru ini menyukai dunia tulis menulis sejak dibangku sekolah. Setelah bergabung dengan berbagai komunitas menulis dan sastra, dia semakin produktif menulis. Penulis bisa dihubungi melalui : Email : [email protected] Fb : Mulkismawati Safar Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 125
126 | Yossilia, dkk.
Munajat Cinta Ibu Oleh: Salma Murad P anas matahari yang terik tak meluluhkan semangat ibu mengayuh sepeda tua benda kesayangannya. Cucuran keringat membasahi wajah dan lehernya, hal itu tidak membuat ibu berhenti mengayuh sepedanya, Sepeda ibu terlihat melaju lebih kencang. Deruan angin yang berhembus terdengar sahut menyahut dengan deru napas ibu. Dengan sisa‐sisa, tenaga ibu terus mengayuh sepeda tuanya untuk menemui Bu Marni, bidan satu‐satunya di kampung kami. Sudah dua hari ini ibu kurang istirahat, karena adikku Ina terserang penyakit demam tinggi. Banyak muncul ruam merah di kulitnya. Tiba‐tiba siang ini Ina seperti hilang kesadaran. Panas tubuhnya semakin meninggi. Ibu sangat panik dan bergegas mengambil sepeda tua, sambil tidak lupa berpesan kepadaku, ”Jaga adikmu Ima, jangan tinggalkan dia sedetikpun.” Suara ibu terdengar lantang. Aku menjawab seperti prajurit yang menerima perintah komandannya, “Siaapp Bu.” Walau aku tahu suaraku yang cempreng tidak akan didengar oleh ibu, karena kulihat ibu sudah semakin melaju mengayuh sepedanya. Aku dan adikku hanya tinggal bertiga dengan ibu. Cerita yang kudengar beberapa waktu lalu dari tetanggaku, ayahku tewas 4 tahun lalu diterkam serigala saat terjadi kebakaran Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 127
hebat di hutan yang tidak jauh dari kampungku. Banyak binatang buas yang menyelamatkan diri, Sampai hari ini cerita yang menggemparkan itu masih menjadi buah bibir, bagaimana ayah berusaha menyelamatkan seorang anak yang hampir dimangsa oleh serigala. Sejak ayah tewas mengenaskan, ibu hanya memiliki kami, karena orang tua ibu sudah meninggal sejak ibu remaja. Ibu tidak mempunyai saudara. Semua perhatian dan cinta ibu tercurah bahkan melimpah untukku dan adikku. Ibu rela bekerja seharian penuh di sawah demi memenuhi kebutuhan kami agar kami tetap bisa bersekolah dan bisa makan tiga kali sehari. Ibu adalah perempuan yang kuat, aku belum pernah melihat ibu menangis. Saat ibu mendapat kabar ayah tewas diterkam serigala, ibu hanya diam dan menatap langit senja yang kian temaram seraya bergumam, “Kau tetap menjadi pahlawan sepanjang hidupmu, bahkan di akhir hidupmu pun kau tetap ingin menjadi seorang pahlawan.” Lamunanku terhenti mendengar sayup‐sayup suara ibu di depan pintu, dengan langkah bergegas ibu menarik tangan Bu Marni mendekati Ina yang masih tidak sadarkan diri. Bu Marni dengan cermat memeriksa dada dan denyut jantung Ina. Tiba‐tiba keningnya berkerut. Kemudian Bu Marni mencoba memeriksa ruam merah yang muncul dikulit Ina. Lalu Bu Marni menoleh ke ibu seraya menarik napas dalam‐ dalam. Sepertinya berat untuk mengatakan sesuatu. Bu Marni menatap ibu, ibu kelihatan mulai gelisah. “Kalau dilihat dari gejalanya anakmu ini sakit lupus. Penyakit lupus adalah suatu gangguan sistem kekebalan yang 128 | Yossilia, dkk.
terjadi di dalam tubuh. Penyakit ini termasuk ke dalam penyakit autoimun yang menyebabkan sel‐sel tubuh rusak dan mengalami peradangan. Sederhananya, penyakit lupus adalah kondisi di mana tubuh memproduksi antibodi secara berlebih. Pada keadaan normal, antibodi berfungsi unuk melindungi tubuh dari berbagai zat asing yang dapat menyebabkan penyakit.” Ibu tertunduk dan mengenggam tangan Bu Marni dengan kuat. “Bagaimana caranya agar anakku bisa sembuh? Aku akan melakukan apapun asalkan anakku bisa sehat seperti sedia kala.” Ibu mengangkat kepalanya dan kulihat matanya yang berkilat. Bu Marni memegang bahu ibu lembut, “Aku sangat mengenalmu Sarni, kalau kau ingin anakmu ini sembuh, anakmu harus dirawat di rumah sakit di kota, karena jika tidak, anakmu tidak akan bertahan lama. Penyakit lupus ini adalah penyakit yang langka, harus ditangani secara intensif agar tidak terjadi komplikasi.” Aku yang berdiri di samping ibu mulai lunglai, kakiku tiba‐ tiba menjadi lemas. Bagaimana ibu akan membawa Ina berobat ke rumah sakit? Tentu biaya berobat di Rumah Sakit itu sangat banyak. Ibu tidak punya uang sebanyak itu. Aku tahu ibu memang rajin menabung. Setiap mendapatkan upah mengerjakan sawah ibu selalu menyisihkannya. “Tabungan ini nanti untuk biaya sekolahmu dan adikmu, kalau umur ibu tidak lama, engkau tidak boleh putus sekolah. Kalian harus menjadi orang pintar. Jaga adikmu, sayangi dia seperti engkau menyayangi dirimu sendiri.” Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 129
Bu Marni segera izin untuk pulang, ibu merogoh sakunya dan memberikan beberapa lembar uang kepada Bu Marni. “Tidak usah, Sarni. Simpan saja uangnya. Ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan kebaikan keluargamu padaku. Suamimu rela mengorbankan nyawanya saat anakku diterkam serigala.” Berita tentang sakit yang diderita Ina mulai tersebar ke seluruh penjuru kampung. Banyak tanggapan dan saran dari para tetua kampung. Ada yang menyarankan Ina perlu pengobatan dari dukun. Ada yang menyarankan Ina harus dibawa ke rumah sakit di kota. Namun saran ini tidak didukung oleh sebagian besar masyarakat karena sebagian besar masyarakat lebih percaya jika berobat dengan dukun. Entah memang betul percaya atau karena biaya berobat ke dukun lebih murah. “Assalamualaikum Bu Sarni.” Terdengar salam di depan rumah kami. Ibu yang sedang mengaji usai shalat Magrib segera membuka pintu. ‘Waalaikumsalam,” jawab ibu seraya membuka pintu. Rupanya yang datang bertamu adalah Pak Syamsul dan Pak Muslim. “Bagaimana keadaan anakmu, Bu Sarni?” Ibu mengajak Pak Syamsul dan Pak Muslim mendekati Ina yang masih terbaring lesu. Sejak diberi obat oleh bidan Marni, Mia sudah sadarkan diri, sudah bisa makan walau disuapi sedikit demi sedikit. Pak Syamsul meraba dahi Ina, suhu tubuhnya masih tinggi. “Apa rencanamu selanjutnya, Bu Sarni?” Ibu lama terdiam, tidak menjawab pertanyaan Pak Syamsul. 130 | Yossilia, dkk.
Pak Syamsul dan Pak Muslim memandangi wajah ibu yang murung. “Aku akan melakukan apa saja demi kesembuhan anakku. Bahkan kalau memang nyawaku bisa aku tukarkan demi kesembuhan anakku, aku siap!” jawab ibu mantap. “Apa yang bisa kami lakukan untuk meringankan bebanmu, Bu Sarni? Apakah kau ingin kami memanggil dukun di kampung sebelah?” tanya Pak Muslim. Bu Sarni menggeleng. “Aku akan membawa Ina berobat ke Rumah Sakit di kota.” Pak Sofyan menghela napas panjang mendengar jawaban ibu. “Berobat ke rumah sakit itu membutuhkan biaya yang besar, Bu Sarni. Tapi kau jangan khawatir, aku akan meminta warga kampung untuk bergotong royong membantumu.” “Kalaupun uang yang aku miliki nanti masih kurang untuk biaya berobat anakku, aku akan menjual rumah ini, harta berharga satu‐satunya yang aku miliki,” jawab ibu tanpa ragu. Keesokan harinya, Pak Syamsul mengundang para tetua kampung untuk rapat di balai desa membicarakan tentang Ina dan memusyawarahkan bagaimana membawa Ina ke kota. Karena transportasi dari desa kami yang menuju ke kota hanya ada dua kali seminggu yaitu hari Kamis dan hari Ahad. Transportasinya pun sangat sederhana. Banyak tetua kampung yang suda hadir ke balai desa. Bagaimanapun, kampung kami berhutang nyawa dengan ayah. Ayah berkelahi melawan serigala yang mengamuk sampai ayah tewas dan serigalapun terluka parah. Beberapa hari kemudian serigala tersebut ditemukan telah tewas. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 131
Hasil musyawarah tetua kampung, Ina dibawa ke kota pada hari Kamis besok. Untuk membantu ibu mengurus Ina, ibu ditemani langsung oleh ketua kampung, Pak Syamsul dan istrinya. Selama ibu pergi, Ima akan tinggal di rumah Pak Muslim. Ibu yang mengikuti rapat di balai desa merasa bersyukur atas perhatian dan bantuan seluruh penduduk kampung. Bakda subuh, beberapa pemuda datang ke rumah untuk membopong Ina dan membawanya ke balai desa karena jalan menuju rumah kami sangat kecil tidak muat untuk dilalui kendaraan roda empat. Aku melepas kepergian ibu dengan isak tangis haru penuh kecemasan. “Sudah Ima, jangan menangis. Doakan adikmu Ina segera sembuh,” bujuk ibu sambil mengusap punggungku. Sudah ramai warga yang berkumpul di balai desa, memberikan doa dan semangat kepada ibu. Ibu semakin kuat jiwanya membawa Ina ke kota. Menyongsong sebuah kesembuhan yang ternyata sangat mahal harganya. Perjalanan dari desa kami ke kota membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Diperkirakan sebelum duhur, ibu dan rombongan sudah sampai di kota. Sepanjang perjalanan ibu selalu berzikir dan berdoa semoga Ina segera sembuh. Sesampai di rumah sakit, Ina langsung dibawa ke ruang IGD, dokter segera memeriksa Ina dengan cermat. Setelah selesai memeriksa dokter memanggil ibu ke ruangannya. “Anak ibu kemungkinan menderita penyakit Lupus. Penyakit ini sangat langka dan cukup berbahaya. Jadi harus ditangani segera. Anak ibu harus di rawat untuk dilakukan 132 | Yossilia, dkk.
pemeriksaan dan pengobatan secara intensif. Untuk mendapatkan perawatan yang tepat, anak ibu nanti akan diperiksa lebih lanjut oleh dokter spesialis penyakit dalam.” “Kira‐kira perlu berapa hari anak saya dirawat dokter?” tanya ibu cemas. Dokter menjawab sambil tersenyum seolah mengerti keresahan hati ibu, “paling cepat satu minggu, tergantung hasil pemeriksaan dokter spesialisnya.” Ibu menunduk mencoba menguatkan diri. “Kira‐kira biaya berobatnya berapa, Dok?” karena jumlah uang yang ibu miliki hanya berkisar dua juta. Itupun ibu sudah membawa semua tabungannya dan ditambah dengan sumbangan warga kampung. “Kalau dari pengalaman pasien lupus yang dirawat satu minggu bulan lalu, biaya berobatnya sekitar sepuluh juta.” “Baiklah Dokter, tolong lakukan yang terbaik demi kesembuhan anak saya,” ucap ibu sambil memegang tangan dokter. “Insyaallah, Bu, akan kami lakukan yang terbaik. Semoga anak Ibu bisa segera sembuh.” Sambil menunggu dokter spesialis penyakit dalam yang akan datang besok pagi, Ina dipindahkan ke ruang rawat. Ibu segan sudah menyusahkan Pak Syamsul dan istrinya. Ibu meminta mereka pulang. Karena Ina sudah mendapatkan penanganan dari Dokter. Sebenarnya istri Pak Syamsul berencana menemani ibu selama Ina dirawat di rumah sakit, namun ibu berkeras meminta mereka pulang dan berjanji akan memberi kabar kalau ada keadaan darurat. Sepeninggal Pak Syamsul dan istrinya, ibu mengambil wudu dan melaksanakan shalat Magrib di kamar dimana Ina Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 133
dirawat. Ibu shalat dengan sangat khusyuk dan berdoa mengharapkan pertolongan dari Allah. “Ya Allah… Yang Maha Pengasih dan Penyayang, tolonglah hamba‐Mu ya Allah. Sembuhkanlah anakku Ya Allah… Sesungguhnya engkau Mahakaya ya Allah, Engkau Maha Menyembuhkan. Engkau Maha Penolong. Tolonglah hamba‐Mu ya Allah. Ambil saja nyawaku ya Allah, aku sudah tua ya Allah. Jangan kau ambil nyawa anakku sekarang ya Allah. Beri dia waktu untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang dokter ya Allah. Sembuhkan anakku ya Allah…” Air mata ibu berlinang‐linang membasahi pipinya. Pertahanan ibu jebol sudah. Sudah lama rasanya Ibu tidak pernah menangis. Keesokan paginya, perasaan ibu menjadi lebih tenang. Sambil menunggu dokter spesialis penyakit dalam datang memeriksa Ina, ibu masih melanjutkan zikir paginya. “Assalamu’alaikum, selamat pagi” terdengar suara pintu dibuka. Dokter spesialis penyakit dalam didampingi perawat datang dan memeriksa kondisi Ina yang masih terbaring lemah. Ibu memperhatikan dokter yang memeriksa dengan cermat, sesekali dokter mengernyitkan keningnya. “Anak ibu menderita penyakit Lupus Erimatosus Sistemik, apakah anak ibu sering sesak napas dan mengeluh nyeri pada sendi?” tanya dokter. “Ada Dok, sejak setahun terakhir ini kalau kelelahan anak saya sesak napas.” “Anak ibu memerlukan beberapa pemeriksaan lebih lanjut meliputi tes laboratorium laju pengendapan darah (ESR), jumlah sel darah lengkap (CBC), Antibodi antinuclear (ANA) dan juga pemeriksaan urin.” Dokter Bani menjelaskan. 134 | Yossilia, dkk.
Ibu termangu mendengar penjelasan dokter. “Apakah anak saya bisa disembuhkan, Dok? Kita‐kira biaya untuk semua pemeriksaan itu berapa, Dok?” Dokter tersenyum mendengar pertanyaan ibu. “Allah yang Maha Menyembuhkan, saya hanya perantara, Bu. Untuk biayanya ibu tidak usah cemas. Insyaallah selalu ada jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi,” nasihat bijak dokter sambil tersenyum penuh arti kepada ibu. Setelah melakukan beberapa tes dan mendapatkan perawatan yang tepat, kondisi Ina semakin membaik. Info dari perawat yang datang memeriksa Ina tadi pagi, bahwa Ina sudah mulai membaik. Dan kemungkinan lusa sudah bisa dibawa pulang. Ibu sudah bisa menanyakan ke kasir berapa jumlah biaya berobatnya. Ibu lega mendengar kabar itu. Alhamdulillah Ina akan segera sembuh. Ibu mencoba mendatangi kasir dan meminta informasi jumlah biaya pengobatan Ina. “Maaf dek, saya mau tanya, berapa biaya pengobatan anak saya?” Petugas kasir segera mengecek pasien dengan nama Ina. “Maaf ibu, semua biaya berobatnya 12 juta.” Ibu tercekat mendengar jumlah uang sebesar itu. Kepalanya menjadi berat. Berarti rumah dikampung harus di jual. Ibu teringat dengan Pak Masri yang bulan lalu pernah menawar rumah ibu dengan harga 16 juta. “Baik Dek, saya usahakan biaya berobatnya besok pagi sudah saya bayar,” janji Ibu. Ibu segera pergi ke wartel menelepon Pak Masri. Pak Masri sangat girang mendengar kabar itu. Berjanji akan Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 135
mengantarkan uangnya besok pagi ke rumah sakit. Walau terasa berat untuk menjual rumah , ibu tidak mempunyai pilihan yang lain. “Maafkan Ibu, Yah. Rumah ini terpaksa ibu jual. Nanti kalau ada rezeki, rumah itu insyaAllah akan kembali,” gumam ibu dalam hati. “Maaf Ibu, sebentar. Ibu orang tua Ina yang kemaren ketemu saya kan?” tanya petugas kasir itu ramah saat ibu melewati ruangannya. “Iya Dek, kenapa ya? Uangnya sudah ada, besok semuanya akan saya lunasi,” jawab ibu. “Bukan Ibu, saya ingin kasih tahu bahwa semua biaya berobat Ina sudah dibayar oleh seseorang,” jawab petugas kasir seraya tersenyum. Ibu terbelalak kaget. “Sudah dibayar??? Siapa yang membayarnya?” tanya ibu penasaran. “Maaf Ibu, orang yang melunasi itu minta namanya dirahasiakan, beliau hanya menitipkan satu lembar kertas. Ini kertasnya Bu.” Dengan tangan gemetar, ibu menerima kertas tersebut dan membuka lipatan kertas. Berkernyit kening ibu membaca kalimat yang tertulis di kertas itu. Biaya berobat putri Ibu sudah dibayar dengan segelas susu besar. Ibu termangu dan terpekur menundukkan kepalanya. “Ibu tidak apa‐apakan?” tanya petugas kasir cemas. “Tidak apa‐apa Dek, iya benar, saya tidak apa‐apa,” jawab ibu sambil melangkah pergi. Ingatan ibu melayang pada sebuah kisah puluhan tahun lalu. Saat itu cuaca sangat panas, ibu tinggal di rumah 136 | Yossilia, dkk.
sendirian. Terdengar ucapan salam di depan rumah. Ibu mengintip dari jendela dan melihat seorang anak kecil yang usianya tidak terpaut jauh dengan ibu. Anak kecil itu terlihat mengenaskan, pakaiannya kumal, wajahnya terlihat sangat lelah. Ibu khawatir membuka pintu, karena orang tua ibu berpesan jangan membuka pintu kalau yang datang orang yang tidak dikenal. Ibu menjadi gamang, antara kasihan dan menaati ucapan ibu. Namun perasaan manusiawi ibu mengalahkan perasaan takut kalau yang datang itu orang yang bermaksud tidak baik. “Kamu dari mana? Siapa namamu?” tanya ibu. “Bisa beri aku segelas air putih? Aku sangat kehausan,” jawab anak lelaki itu. “Tunggu sebentar ya?” Ibu beranjak ke dapur. Tidak lama kemudian ibu datang dengan membawa segelas susu besar. “Ini minuman untukmu.” Dengan sekali tegukan panjang segelas susu besar itu ludes. “Kamu sangat haus ya?” tanya ibu. “Terima kasih atas minuman segelas susu besarnya ya, aku hanya minta air putih, namun engkau memberikan lebih. Permisi… aku ingin melanjutkan perjalanan ke kota, mencari peruntungan, semoga nasibku bisa berubah.” Ternyata, Dokter Bani yang mengobati Ina adalah anak kecil yang ditolong ibu puluhan tahun yang lalu. Ibu bersyukur tiada henti atas rahmat dan pertolongan dari Allah. Benarlah ternyata pesan orang tua ibu dahulu. Jika engkau menolong orang lain, suatu saat Allah akan menolongmu. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 137
Kebaikan yang dilakukan tanpa pamrih akan melahirkan keajaiban. 138 | Yossilia, dkk.
Tentang Penulis Salmah Murad dilahirkan di Tanah Merah INHIL pada tanggal 6 Juli 1981. Merupakan anak ke enam dari delapan bersaudara. Terlahir dari orang tua yang penyatayng, bapak Abdul Murad (alm.) dan Ibu Arbiyah Syukur (almh.). Mengecap pendidikan SD sampai SMA di kampung tercinta, kemudian takdir mengantarkannya kuliah di Pekanbaru. Salmah Murad dilahirkan di Tanah Merah INHIL pada tanggal 6 Juli 1981. Merupakan anak keenam dari delapan bersaudara. Terlahir dari orang tua yang penyatayng, bapak Abdul Murad (alm.) dan Ibu Arbiyah Syukur (almh.) Mengecap pendidikan SD sampai SMA di kampung tercinta, kemudian takdir mengantarkannya kuliah di Pekanbaru. Pengarang sudah menikah, dikaruniai tiga orang putri. Penulis menyelesaiakan pendidikan S‐1 Teknik Kimia pada tahun 2005 dan Akta IV pada tahun 2008. Darah guru jua yang memanggilnya kembali untuk berkecimpung di dunia pendidikan. Mengabdikan hidupnya di dunia pendidikan sejak tahun 2006. Sehari‐hari penulis beraktivitas sebagai guru di SD An Namiroh 4 Pekanbaru. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 139
140 | Yossilia, dkk.
Long Distance Relationship (LDR) Oleh: Pamula Trisna Suri “Kekuatan takdir, kekuatan terbesar yang kumiliki untuk bertahan. Merelakan, mengikhlaskan, berbagi dengan dia yang hadir tanpa diundang. Menerima ketetapan yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz sebelum aku dilahirkan. Mungkin inilah bentuk perjuangan sebagai seorang wanita, seorang istri, seorang ibu dan seorang hamba Tuhan untuk menggapai rida dan surga‐Nya.” –pm‐ S ejak menikah kami tidak tinggal seatap. Suami harus berjuang di ibukota menjadi salah satu staf pejabat pemerintah. Sementara aku tinggal bersama mertua untuk beberapa bulan. Melalui kesepakatan yang alot akhirnya suami mengizinkanku untuk tinggal di rumah kedua orang tuaku. Aku bersyukur menikah dengannya. Sosok laki‐laki penyayang, lembut, tegas dan lesung pipitnya membuatku selalu jatuh cinta ketika dia tersenyum. Tak ada keraguan akan cinta, kasih sayang dan perhatiannya. Betapa baiknya Allah kepadaku, tak lama kemudian ada makhluk yang dititipkan dalam rahimku. Pancaran mata bahagia tak mungkin terlupa saat kuberikan test pack bergaris dua itu. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 141
Senyumnya mengembang, matanya berkaca‐kaca saat kuucapkan, \"Mas, aku hamil.\" Masa‐masa kehamilanku tidak terlalu sulit. Mungkin ini kemudahan dari Allah karena berjauhan dengan suami. Trimester pertama hanya sedikit rasa mual dan pusing sehingga aktivitas mengajar di salah satu sekolah tetap berjalan. Pada trimester kedua kuputuskan untuk keluar dari pekerjaan ini. Sebenarnya sebelum menikah, Mas Iskan mengutarakan keinginannya agar aku di rumah saja, belajar dan banyak membaca tentang Fiqih Wanita. Bahkan beberapa tumpukan buku sudah dia siapkan. Trimester akhir kehamilan Mas Iskan lebih sering pulang. Pegal‐pegal mulai kurasakan mendekati HPL, tidur pun tidak senyenyak sebelumnya. \"Sabar, Sayang, ini ladang amal untuk Adek. Apalagi nanti melahirkan, insyallah dosa‐dosa kecil akan terhapuskan,\" kata Mas Iskan dalam percakapan kami di video call. \"Seminggu lagi HPL ya, Mas. Jadi pulang lusa, kan? Adek mau melahirkan ditemani Mas lho ya,\" kataku manja sambil mengelus perut yang mulai membesar. \"Nak, Ayah lusa pulang, lahir sesuai prediksi dokter, ya? Biar Ayah bisa menemani kita, Sayang,\" ucapku lirih sebelum mataku terpejam. Mas Iskan sudah mempersiapkan nama anak kami. Aku suka nama itu. Bahkan saat kuelus dan ngobrol dengannya selalu kusebut‐sebut namanya. Hal yang paling kusukai yaitu saat dia bergerak aktif, merasakan gerakan dan getaran di dalam perut. Tak henti‐henti kuucapkan syukur, mempunyai keluarga kecil yang bahagia. 142 | Yossilia, dkk.
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232