Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | i
Kartini Milenial (Antologi Cerpen) Penulis: Yossilia, Nanda Gita Rakhmawati, Sumarmi, Sri Rahmalina, Dahliana, Sumarni, Fitria Ningsih, Safridah, Mulkismawati, Salmah Murad, Pamula Trisna Suri, Aryanti, Reni Elvina, Marlina Armansyah, Ermayenti, Tri Lestari, Tina Murdiati ISBN 978-623-217-528-0 Editor: Khoen Eka Anthy S.A. Penata Letak: @timsenyum Desain Sampul: @kholidsenyum Copyright © Pustaka Media Guru, 2019 vi, 222 hlm, 14,8 x 21 cm Cetakan Pertama, Mei 2019 Diterbitkan oleh CV. Pustaka MediaGuru Anggota IKAPI Jl. Dharmawangsa 7/14 Surabaya 60286 Website: www.mediaguru.id Dicetak dan Didistribusikan oleh Pustaka Media Guru Hak Cipta Dilindungi Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, PASAL 72
Prakata P uji syukur terucap hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan karunia‐Nya, para penulis dapat menyelesaikan kisah inspiratif dalam buku antologi cerpen yang berjudul Kartini Milenial. Dalam buku ini, para penulis berusaha mempersembahkan kisah‐kisah terbaik dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca. Kami berharap semoga antalogi ini menjadi semangat dan motivasi bagi para wanita yang sedang berjuang demi agama, keluarga, serta bangsa ini. Selain itu, antalogi ini adalah pembuktian, bahwa di tengah hiruk pikuknya tanggung jawab seorang perempuan sebagai istri, ibu bahkan pengabdi bangsa, para penulis bisa menggunakan waktu luang yang dimiliki untuk mengisahkan beberapa cerita inspiratif kehidupan sehari‐hari para perempuan tangguh. Disadari sepenuhnya, tanpa adanya bimbingan dari tim MediaGuru serta masukan dari beberapa pihak, serta motivasi antarpenulis, mungkin antalogi ini tidak bisa terbit sesuai dengan deadline yang bertepatan dengan Hari Kartini. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih kepada para pembaca dan perempuan tangguh sebagai sumber inspirasi buku ini. Semoga karyaini bermanfaat dan mengalirkan amal jariah bagi para penulis. Riau, 12 April 2019 Penulis Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | iii
Daftar Isi Prakata ...................................................................................... iii Daftar Isi .................................................................................... iv Daun Senja ............................................................................. 1 Oleh: Yossilia Dia Kakakku ......................................................................... 17 Oleh : Nanda Gita Rakhmawati, S.Pd. Terlambat Menyadari .......................................................... 27 Oleh : Dra. Sumarmi Cahaya Cinta Ibu ................................................................. 39 Oleh: Sri Rahmalina The Best Beauty ................................................................... 49 Oleh: Dahliana, S.T., M.Pd. Cita dan Cinta Kris ............................................................... 61 Oleh : Sumarni, S.Pd. Benua yang Hilang ............................................................... 77 Oleh: Fitria Ningsih Kisah Di Balik Gadget Baru Kartini .................................... 97 Oleh: Safridah, M.Pd. Emak Penjual Pisang .......................................................... 111 Oleh : Mulkismawati iv | Yossilia, dkk.
Munajat Cinta Ibu .............................................................. 127 Oleh: Salma Murad Long Distance Relationship (LDR)..................................... 141 Oleh: Pamula Trisna Suri Warisan Berharga dari Bundaku ...................................... 165 Oleh : Aryanti Semua dari Hati ................................................................. 175 Oleh: Reni Elvina, M.Pd. Can’t Help Falling in Love ................................................... 183 Oleh : Marlina Armansyah Cadar Tidak Menyurutkan Karyamu ................................ 193 Oleh: Ermayenti Kebahagiaan yang Abadi .................................................. 201 Oleh : Tri Lestari, S.Pd. Selalu Ada Harapan ............................................................ 211 Oleh: Tina Murdiati, S.Pd. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | v
vi | Yossilia, dkk.
Daun Senja Oleh: Yossilia R oda siang mulai memancarkan cahayanya, ayam jantan berkokok, warna biru menghiasi langit, burung‐burungpun terbang berkicauan. Masyarakat memulai aktivitasnya. Di sesuah rumah sederhana, terdapatlah suami istri yang baru menikah. Saat sang suami hendak bekerja di kantor, Ainun, sang istri, melayani keperluan suaminya itu. Sebelum berangkat, Ainun mencium punggung tangan suaminya. Sang suamipun berangkat bekerja. Ainun kemudian membersihkan rumah. Di saat ia menyapu halaman, ia melihat Era, temannya, yang juga hendak bekerja. “Era, kemarilah dulu.” Era menoleh ke arah Ainun yang sedang menyapu halamannya. “Ada apa Nun?” tanya Era. “Ra, boleh nggak aku bekerja di perusahaan tempat kamu bekerja? Aku ingin membantu suamiku untuk membantu perekonomian keluarga kami.” “Oh, boleh kok. Kamu tamatan apa?” tanya Era kepada Ainun. “Aku tamatan S‐1 Jurusan Akuntansi.” “Tetapi kenapa kamu tidak bekerja, Ra?” Era semakin penasaran kepada Ainun. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 1
“Begini Ra, saat SMA, aku sudah dijodohkan oleh kedua orang tuaku dengan pria yang kaya. Tetapi aku tidak mencintainya. Setelah lulus kuliah S‐1, ibuku jatuh sakit dan memerlukan biaya untuk pengobatan yang mahal. Aku mencari pinjaman pada saudara, tetangga namun hasilnya nihil. Satu‐satunya yang bisa membantu dalam pinjaman tersebut adalah laki‐laki yang akan dijodohkan denganku, dengan syarat aku harus menikah dengannya. Ibarat makan buah simalakampa, ilihan yang berat terpaksa aku lakukan. Setelah aku menikah dengannya, perusahaannya pun bangkrut karena terlilit utang.” “Maksudmu, suami kamu, Nun?” tanya Era yang mulai memahami cerita Ainun. “Iya,” jawab Ainun. “Baiklah, besok kamu datang saja ke perusahaan bersamaku sambil kamu bawa berkas permohonan kamu.” “Terima kasih sebelumnya Ra.” Ainun merasa bahagia. Ainunpun bergegas masuk ke rumah, melanjutkan pekerjaan rumah yang masih terbengkalai. Setelah semua pekerjaan rumah selesai, Ainunpun bergegas mempersiapkan berkas permohonan lamaran pekerjaan yang akan dibawanya besok pagi. Niat Ainun yang ingin bekerja di perusahaan tempat sahabatnya itu, sedikitpun tanpa sepengetahuan dari suaminya. Ainun berusaha tidak memberitahukan niatnya ini sebelum ada kepastian apakah dirinya akan diterima atau tidak. 2 | Yossilia, dkk.
Pagipun tiba, matahari memancarkan sinarnya, bak hati Ainun yang berbinar berharap akan lamaran pekerjaannya diterima. Seperti biasanya, Ainun melayani sang suami sebelum berangkat bekerja. Rutinitas sebagai seorang istri ia lakukan. Setelah suami berangkat ke tempat kerja, Ainunpun bergegas mempersiapkan dirinya untuk berangkat bersama Era ke perusahaan tempat era bekerja. Melangkah pasti dengan iringan doa, tak henti terucap dibibir Ainun dengan harapan dirinya bisa diterima bekerja. Sesampainya di perusahaan, Ainun langsung menuju ruang pimpinan ditemani Era. Berkas yang dipersiapkan Ainun langsung ia berikan kepada pimpinan. Pimpinan perusahaanpun membuka berkas lamaran yang diajukan oleh Ainun. Tanpa menunggu waktu lama, pimpinanpun langsung menerima Ainun untuk bekerja di perusahaan yang dipimpinnya. Begitu bahagianya hati Ainun mendengarkan dirinya diterima bekerja. Di satu sisi hati Ainun pun gelisah, karena niatnya bekerja tanpa sepengetahuan suaminya. Sepulang bekerja, Ainun ketakutan pada suaminya karena pulang larut. Didapatinya suami duduk di kursi yang berada di teras, Ainunpun berlutut di hadapannya, sembari menangis. “Maafkanlah diriku ini, aku bekerja tanpa sepengetahuanmu…” isak tangis Ainun. Sang suamipun menoleh ke arah sang istri yang berlutut sembari menangis itu. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 3
“Untuk apa kamu menangis, aku senang kamu bisa bekerja,” kata sang suami. Mendengar jawaban dari Dimas suaminya, Ainun pun tersenyum. ****** Empat bulan kemudian Saat hendak bekerja, Ainun merasa mual dan sakit kepala. Ia pun tidak masuk kerja. Suaminya pun merasa khawatir. Kemudian ia membawa sang istri ke klinik. Setelah diperiksa oleh dokter, maka dokterpun menyampaikan hasil dari pemeriksaan. “Selamat ya Bu dan Bapak, kalian telah menjadi ayah dan ibu,” ucap dokter kepada kedua pasangan tersebut. “Maksud dokter, istri saya hamil?” tanya Dimas. “Ya, selamat, untuk sementara istri Bapak tidak boleh banyak bekerja atau kecapekan.” Setelah itu, mereka pulang ke rumah. Mendengar nasihat dokter tadi, Dimas pun membantu Ainun membereskan pekerjaan rumah. Betapa bahagianya pasangan tersebut. Untuk merayakan kebahagiaan tersebut, Dimas mengajak Ainun untuk makan malam keluar rumah. Setelah makan malam usai, pasangan ini segera pulang dengan menggunakan sepeda motor. Dalam perjalanan pulang, tiba‐tiba ada mobil avanza yang melaju dengan kencang berlawanan arah dengan sepeda motor yang dikendarai Dimas dan istrinya. Akibatnya mobil tersebut menabrak pasangan tersebut. Hal itu menyebabkan Ainun terjatuh ke aspal, mengenai perut dalam kondisi hamil. Dimas 4 | Yossilia, dkk.
pun terpelanting, sehingga kepalanya terbentur. Mobil yang menabrak pasangan tersebut kabur dan tidak bertanggung jawab. Masyarakat yang melihat kejadian tersebut langsung menolong pasangan tersebut dan membawanya ke rumah sakit. Keesokan harinya, saat di rumah sakit, Ainun pun siuman, sembari pandangannya ke arah ibu dan ayahnya. “Ibu, Ayah, apa yang terjadi, sehingga aku di sini?” tanya Ainun kepada ibu dan ayahnya. “Ainun, kamu yang sa...” Tiba‐tiba perkataan Bu Miranti terputus karena Pak Budi yang memberhentikannya sembari memegang pundaknya. “Ada apa Bu, katakan Ayah, apa yang telah terjadi dengan kandunganku?” tanya Ainun yang bertanya sambil menangis tersedu‐sedu. Sang ibu dan ayah tidak berkata apa‐apa, keduanya hanya menggelengkan kepala, sedangkan Ainun hanya menangis. Tangisan Ainun membuat sang ibu tak kuasa mendengarkannya. Bu Mirantipun pergi keluar ruangan sambil menitikkan air matanya. Pak Budi pun mencoba menenangkan hati Ainun yang terpukul atas kejadian ini. “Sudahlah Ainun, kandunganmu tidak gugur, tenangkanlah hatimu itu.” “Tapi ayah, firasatku buruk tentang keadaan suamiku, di mana dia, kenapa dia tidak di sini?” Bertubi pertanyaan Ainun kepada ayahnya. Sang ayah terdiam, seakan merahasiakan sesuatu dari Ainun. “Ayah, apa suamiku baik‐baik saja, jawablah ayah.” Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 5
Ainun pun membalik mukanya dari hadapan sang ayah. Ia menangis tersedu‐sedu. Sang ayahpun pergi meninggalkan Ainun. Iapun menghampiri Dimas yang tergeletak di atas kasur sembari diberikan alat khusus. Di sana terdapat Bu Miranti yang sedang duduk, Pak Budi menghampirinya. “Ibu, apa yang harus kita katakan pada Ainun, lihatlah kondisi Dimas, aku tak yakin dia terap bertahan.” “Apa maksud Ayah, seperti itu?” “Lihatlah dia, kepalanya terbentur kuat, dia itu setengah koma.” “Tapi...” Sang ayah hanya diam. Tiba‐tiba dokter datang, ia memeriksa keadaan Dimas. Ayah dan ibu tampak gugup dan khawatir ketika doker memeriksa jantung Dimas. Betapa kagetnya dia. “Innalillahi wainailaihirajiun,” ucap dokter. “Apa maksud Anda, Dok?” tanya Bu Miranti. “Tepat pada hari Jumat pukul 09.00 WIB, saat ini, Pak Dimas telah pergi ke pangkuan illahi.” Mendengar kata doker, ibu dan ayah Ainun menangis sambil berucap, “Innalillahi wainailaihirajiun.” “Ada satu hal lagi yang harus saya sampaikan, bahwa janin yang berada dalam kandungan Ainun mengalami gangguan dan kemungkinan bayi yang dilahirkan nantinya dalam keadaan cacat, akibat benturan yang terjadi pada saat kecelakaan,” ucap dokter sambil menjelaskan kepada kedua orang tua Ainun. 6 | Yossilia, dkk.
“Astagfirullah, musibah apa yang menimpa pada keluarga anakku ya Allah?” gumam Bu Miranti sambil menangis tersedu‐sedu. “Oh ya, sampaikanlah hal ini pada Ainun dan jangan disembunyikan agar Ainun tidak depresi.” Nasihat dokter pada kedua orang tua Ainun. Ayah dan ibu Ainun hanya mengangguk, dokterpun kemudian pergi dari ruangan tersebut, kedua orang tua Ainun pun menghampiri Ainun yang sedang menangis. “Ainun, dengarkan ayah.” Ainunpun menoleh ke arah ayahnya. “Ada apa, Ayah?” “Kamu yang sabar ya?” “Memangnya kenapa, Ayah?” Dengan sangat berat hati, kedua orang tua Ainun untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. “Dimas sudah pulang…” “Pulang, ke mana?” “Ke pangkuan ilahi.” Ainun sangat kaget dan merasa ini hanya sebuah khayalannya. Hatinya tak kuasa menahan tangisan, mungkin ini semua sudah diatur oleh yang Mahakuasa. “Ayah… Ibu bohong, bohong, bohong…” Ia menangis menahan rasa sedihnya. Ibu Miranti berusaha mencoba menenangkan hati anaknya, sambil memeluk tubuh anaknya. “Aku tak ikhlas menerimanya…” kata Ainun sambil terisak. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 7
“Mungkin ini jalan yang terbaik, ikhlaskanlah walaupun berat,” ujar Bu Miranti sambil menenangkan hati anaknya. Setelah shalat Jumat, petugas masjid pun mengumumkan berita meninggalnya Dimas. Ainun tampak pucat dan sedih sambil mengelus perutnya, dan air matapun mengalir tanpa disadari. ***** Delapan bulan telah berlalu Lahirlah seorang putri dari pasangan Dimas dan Ainun, bayi yang dilahirkan tidak seperti bayi normal lainnya. Bayi perempuan dilahirkan posisi bibir yang tertarik ke atas. Ini diakibatkan saat usia kehamilan tiga bulan, kandungan Ainun mengalami benturan saat kecelakaan yang dialaminya. Ainun tampak sedih melihat sang anak terlahir dalam kondisi yang tidak normal. Tetapi Ainun tetap tegar menerima cobaan yang diberikan Allah. Ainun yakin, pasti di balik semua ini ada hikmah yang luar biasa. Di pagi yang cerah, Ainun bergegas untuk pergi bekerja. Ia meminta ibunya untuk menjaga buah hatinya. Ainunpun pamit sambil menyalami ibunya dan mencium tangan ibunya. Ainun berangkat bersama Era. Sesampainya di perusahaan, Ainunpun langsung bekerja sebagaimana biasanya. Pada saat itu, Era meminta Ainun untuk memasukkan berkas‐berkas ke dokumen manajer bos. Ainunpun melakukannya. “Eh Nun, berikan ini kepada bos di ruangannya,” kata Era sembari memberikan amplop tersebut kepada Ainun. Ainun langsung pergi ke ruangan bosnya sembari memegang amplop yang diberikan Era. Tiba‐iba lewat 8 | Yossilia, dkk.
seorang pedagang bakso yang membawa beberapa baksonya ke ruang rapat dekat ruangan bos. Tak sengaja Ainun menyenggolnya, bakso tumpah dan mengenai isi amplop yang dibawa Ainun. Betapa ketakutan Ainun. Manajer pun datang menghampiri. “Ada apa ini?” tanya manajer. Ainun hanya terdiam, hatinya gugup ketakutan. Manajer pun mengambil amplop yang ada di tangan Ainun, serta melihat isinya. “Ainun, apa yang kau lakukan, inikan dokumen penting?” gumam manajer itu kesal pada Ainun. Karena kelalaian yang dilakukan Ainun, akhirnya manajer perusahaan langsung memberhentikan Ainun dari perusahaan itu. Ainunpun terpukul dengan cobaan ini. Ia masih memikirkan sang buah hatinya. Sesampainya di rumah, Ainun menangis sambil melihat anaknya, kemudian memeluk anaknya. “Andai ayahmu masih hidup, Nak…” kata Ainun sembari menangis di pelukan sang anak. Keesokan harinya, Bu Miranti bersama Pak Budi membawa Ainun dan anaknya ke desa. Semua harta yang didapatkan, mulai dijual untuk bekal hidup di desa. Ainun tidak patah semangat dalam membesarkan anaknya. Ia bertekad menyekolahkan Ulna, anaknya, hingga perguruan tinggi, walaupun dengan keterbatasan fisik yang diderita Ulna. Ainun mulai mencari lapangan pekerjaan dengan mengabdikan dirinya sebagai guru TK di salah satu TK yang berada di desanya. Walaupun awalnya hanya digaji rendah, Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 9
Ainun tetap saja semangat dan ikhlas menjalaninya demi si buah hati. Ulnapun mulai tumbuh besar. Ia melihat teman seusianya sibuk dengan sekolah. Ulnapun menyampaikan hajat hatinya ingin sekolah pada sang ibu. Ainun terharu atas penyampaian anaknya. Ainun tak menyangka bahwa Ulna akan bisa sekolah, karena keterbatasannya. Keesokan harinya, Ainunpun mendaftarkan Ulna pada salah satu SD yang ada dekat rumahnya. Tujuan agar Ulna bisa pulang sekolah berjalan kaki, karena Ainun tentunya tidak sempat untuk menjemput Ulna dengan alasan Ainun juga mengajar dan tidak bisa ditinggalkan. ***** Hari pertama sekolah Pada hari Senin, Ainun mengantarkan putrinya ke sekolah. Ulna tampak girang dan bersemangat. Ulnapun mudah bergaul sehingga banyak akrab dengan anak yang sebaya dengannya. Saat berada di ruang kelas, masing‐masing siswa memperkenalkan diri. Tiba giliran Ulna untuk maju ke depan kelas. Dengan keterbatasan yang dialaminya, iapun memperkenalkan diri, walaupun agak susah untuk berucap dan memerlukan waktu yang agak lama untuk memahami apa yang disampaikan Ulna. Tapi tak seorang siswapun dalam kelas yang tertawa dan mengejeknya. Saat memperkenalkan nama ayahnya, Ulna terdiam sejenak dan meneteskan air mata. Seisi ruangan diam mencekam. Ulna tak sanggup berkata karena ayahnya sudah 10 | Yossilia, dkk.
lama meninggal saat Ulna berusia 3 bulan dalam kandungan ibunya. Tentu saja Ulna tak tahu seperti apa wajah ayahnya. Di rumah, Ulna belajar dengan ibunya. Sebelum masuk SD, Ulna sudah mengenal huruf dan angka. Sehingga sangat mudah baginya untuk mengikuti pelajaran disekolah. Ulna sangat ulet dan tekun dalam belajar. Selain itu Ulna juga memiliki bakat dalam bidang pramuka. Waktu berjalan dengan cepat, hingga tibalah waktu ujian nasional. Soal yang diberikan ia lahap dengan mudah. Ainun sangat bersukur dengan keterbatasan yang dimiliki anaknya, bukan menjadi halangan dan hambatan dalam berkarya. Berkat ketekunan dan kesabaran Ainun dalam membimbing putrinya. Ulnapun memperoleh nilai ujian nasional tertinggi. Hanya air mata haru dan bahagia menetes di pipi Ainun. Seandainya Dimas melihat semua ini ia pasti akan bahagia. ***** Enam tahun berlalu Usai menamatkan pendidikan SMA, Ulnapun menyampaikan keinginan hatinya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan S‐1. Tentu saja Ainun kaget. “Bagaimana bisa kamu melanjutkan S‐1, tentu kamu harus ke kota dan tinggal dengan siapa?” ujar Ainun. “Ibu tenang saja, walaupun kondisi Ulna begini. Ulna bisa mandiri dan jaga diri, yang penting ibu merestui keinginan Ulna untuk kuliah,” ujar Ulna meyakini ibunya. “Bukan masalah itu Ulna, tapi dari mana kita mendapatkan biaya untuk kuliah, sementara ibu hanya sebagai tenaga honorer,” ujar Ainun. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 11
Ulna hanya bisa terdiam dan meneteskan air mata. Melihat putrinya sedih, Ainunpun berpikir sekuat tenaga untuk mengatasi masalah ini. Akhirnya Ainun mengambil keputusan, untuk menjual tanah yang pernah ia beli saat di PHK oleh perusahaan. Ulnapun mendaftar pada salah satu universitas di Bandung mengambil jurusan FKIP Jurusan SLB. Ulnapun diterima. Dengan berat hati, Ulna meninggalkan ibunya. Tapi di satu sisi Ulna harus menuntut ilmu lebih tinggi lagi dengan harapan bisa memperbaiki perekonomian keluarga. Waktu berlalu sangat cepat. Ulna berhasil menempuh S‐1 dengan cepat dan membutuhkan waktu 3,5 tahun dengan predikat cumlaude. Ulnapun pulang ke kampung halamannya. Seiring dengan itu, ada penerimaan PNS. Ulnapun mencoba mengadu nasib untuk ikut melamar. Hasilnya Ulnapun lulus sebagai guru pada salah satu SLB yang berada di kabupatennya. Ulnapun memboyong ibunya tinggal di ibukota kabupaten. Ibu Ulna tetap mengabdikan diri sebagai tenaga honorer pada sekolah TK terdekat dengan rumahnya. Walaupun usia Ainun sudah memasuki 60 tahun, baginya tidak ada pensiun. Ia tetap mengajar walaupun hanya tenaga honorer. Tidak puas sampai S‐1, Ulnapun kembali mengutarakan niatnya untuk melanjutkan kuliah yang lebih tinggi S‐2. Dengan mudahnya, Ulna menyelesaikan studinya. Ulnapun kembali mengabdikan dirinya di SLB tempatnya semula. Dengan telaten Ulna mengajarkan dengan hati dan cinta pada anak yang berkebutuhan khusus. Tidak hanya itu Ulnapun 12 | Yossilia, dkk.
mengajarkan ekstra pramuka pada sekolah SD, karena Ulna sangat berbakat dalam bidang pramaka. Keterbatasan yang dimiliki Ulna bukan menjadi penghalang untuk tetap berkarir dan berkarya. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 13
Tentang Penulis Yossilia. Ia menyelesaikan pendidikan S‐1 jurusan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Riau (UNRI) pada 2002. Pengalaman menulis ditempah saat mengikuti program SAGU SABU bersama MediaGuru di Jakarta pada akhir Januari 2017. Tidak berhenti sampai di situ, ia melanjutkan pengalaman menulis di MWC 1 di Kota Batu Malang pada akhir Februari 2017. Setelah sukses menerbitkan buku perdana. Ia menebarkan virus literasi di Bumi Lancang Kuning dengan membuka kelas menulis di Kabupaten Pelalawan, Kota Pekanbaru, MWC 7 Riau bersama dengan MediaGuru. Ia telah menulis beberapa buku tunggal diantaranya Sisik Yang Berbunga, Belajar di Kampus Kehidupan, Yuk, Mengenal PIKR (Pusat Informasi Konseling Remaja), Bersamamu. Ia juga aktif dalam menulis beberapa buku antologi yang tergabung dengan alumni MediaGuru diantaranya Dalam Naungan Rindu, Manajemen Hati, Mohammad Ihsan sang Motivator Literasi, Guru Penulis Guru VIP, Seribu Wajah Satu Hati, Arunika Sang Dwija. Ibu dengan dua putra dan satu putri, selain sebagai ibu rumah tangga, Ia juga sebagai pendidik di SMPN 1 Langgam dan pendidikan Non Formal. Ia juga asesor pada BAN PAUD PNF tahun 2017 sampai sekarang. Penghargaan 14 | Yossilia, dkk.
penggiat literasi kabupaten pun ia peroleh dari Bupati Pelalawan. Berkat kegigihan dalam menebar virus literasi, ia pun mendapat penghargaan pegiat literasi daerah dari pimpinan MediaGuru dalam HGN 2017 di Jakarta. Ia bisa dihubungi di [email protected]. Ia tinggal di [email protected] Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 15
16 | Yossilia, dkk.
Dia Kakakku Oleh : Nanda Gita Rakhmawati, S.Pd. S ebenarnya aku tidak tahu harus memulai cerita ini dari mana. Karena semua kisah begitu acak dalam benakku. Memori yang terpotong‐potong membuatku berpikir keras untuk menyusunnya menjadi sebuah cerita yang indah. Cerita itu kelak akan terus kuingat dan kakakku tahu bahwa dia adalah motivator dan inspirator terhebat dalam perjalanan pendidikan dan karirku. Aku dan kakakku Sari, terpaut usia 17 tahun. Kak Sari anak kedua dan aku adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Waktu aku berusia tujuh tahun Kak Sari melahirkan anak pertamanya yang diberi nama Dini. Walaupun masih kecil, tapi Kak Sari terkadang menitipkan anaknya denganku untuk diajak bermain. Pada saat itu Kak Sari memang sibuk, baik dalam urusan pekerjaan di kantor maupun pekerjaan rumah tangga. Pada masa itu, keluarga Kak Sari secara ekonomi belum stabil. Mereka masih tinggal bersama orang tua kami. Setelah usia Dini menginjak 1 tahun. Kak Sari dan keluarga pindah ke rumah kontrakan. Awalnya sebelum melahirkan, Kak Sari sempat ngontrak dekat dengan tempat dia bekerja. Akupun dulu sering tidur di rumah kontrakannya. Rumah kontrakan itu sangat sederhana. Toiletnya bahkan terpisah dari rumah, ya semaca toilet darurat. Dindingnya dari kayu dan seng Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 17
dengan beratapkan langit. Ttidak begitu lama Kak Sari dan keluarga tinggal di sana. Karena setelah melahirkan, mereka pindah kerumah orang tua kami. Setelah punya anak, Kak Sari sering membuat aku merasa benci kepadanya. Apalagi jika anaknya nangis saat dititipkan padaku. Bukan aku yang buat anaknya menangis, tapi Kak Sari memarahiku. Mungkin karena aku juga masih kecil dan masih ingin disayang. Jadi aku tidak suka kalau dimarahinya. Saat Kak Sari tinggal di rumah orang tua kami, banyak tindakkan Kak Sari yang terkadang membuat aku kesal. Ayah juga sering memperhatikan sifat dan karakter Kak Sari yang dilihat ayah kurang pantas dia lakukan. Ayah juga menegur dan menasihatinya. Tetapi ayah juga menasihati aku, agar aku tidak mencari masalah dengan Kak Sari. Ayah bilang kalau orang yang baru berumah tangga memang tidak semuanya berjalan mulus. Ada saja hal‐hal yang mungkin memancing emosinya. Jadi ayah berharap aku sebagai adik, harus bisa mengerti. Walaupun saat itu aku masih kecil, tapi pemahaman‐pemahaman yang ditanamkan orang tua kepadaku membuat aku lebih mengerti bahwa hidup ini tidak semudah yang kita bayangkan. Kondisi psikisku jadi tumbuh lebih cepat daripada umurku. Saat aku menginjak kelas 6 SD, ibu menginginkanku untuk melanjutkan ke pesantren. Hal ini aku ceritakan pada Kak Sari. “Mau masuk pesantren? Memangnya dirimu mau jadi ustazah?” “Ya gak tau Kak, kan ibu yang pengen aku masuk pesantren.” 18 | Yossilia, dkk.
“Jangan lagi masuk pesantren. Nanti di sana kamu sekolah sampai 7 tahun. Payah cari kerja.” Begitulah pemikiran Kak Sari pada saat itu dan hal tersebut diutarakan Kak Sari pada ayah dan ibu. Akhirnya aku masuk ke sekolah menengah umum. Singkat cerita, setelah tamat dari SMP dan hendak melanjutkan SMA, aku dihadapkan lagi dengan beberapa pilihan. Pada saat itu orang tuaku mempercayakan masalah sekolahku pada kakak‐kakakku karena ayah sibuk kerja dan ibu dalam kondisi sakit. Kakakku paling tua menginginkan aku masuk ke sekolah kejuruan agar nanti lebih terarah jika mau langsung kerja. Sementara Kak Sari menginginkan aku masuk SMA agar nanti tidak susah untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku yang pada saat itu tidak begitu mengerti, jadi hanya ikut‐ikut saja mana yang terbaik menurut mereka. Tanpa ada perembukan dengan orang tua dan Kak Sari. Kakakku tertua membawaku untuk mendaftar di salah satu sekolah kejuruan negeri di Pekanbaru. Kakak tertuaku bekerja sebagai guru di sekolah kejuruan swasta. Jadi, sedikit banyak mengerti syarat masuk ke sekolah kejuruan dan kebetulan dia punya teman di sekolah kejuruan negeri ini. Kakakku yang tertua biasa dipanggil Kak Atik. Ia melengkapi syarat masuk untuk aku mendaftar di SMKN dan aku pun diupayakan untuk masuk Jurusan Akuntasi. Sayang, nilaiku tidak cukup. Kak Atik bingung menentukan jurusan yang cocok untuk aku. Jurusan yang disarankan oleh pihak SMK padaku hanya Jurusan Sekretaris atau Administrasi Perkantoran. Akhirnya Kak Atik menyarankanku untuk masuk Jurusan Sekretaris. Entah alasan apa, aku hanya pasrah saja. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 19
Sebelum masuk Jurusan Sekretaris, tinggi badanku diukur. Sebenarnya tinggi badanku kurang beberapa senti. Tapi, karena Kak Atik ada kenalan di sana, akupun diluluskan pada persyaratan tinggi badan. Sesampainya di rumah, Kak Sari bertanya, “Dari mana, Mel?” “Pulang dari mendaftar di SMKN sama Kak Atik,” jawabku. “Hah! Jadi juga kamu mau masuk sekolah kejuruan? Jurusan apa?” “Iya, Kak Atik nyuruh masuk Akuntasi tapi nilai tak cukup. Jadi dimasukkan ke Jurusan Sekretaris. Pake ngukur tinggi badan segala lagi. Bikin malu.“ “Udahlah! Gak usah lagi masuk SMK, emang Meli mau langsung kerja? Ga mau kuliah dulu?” “Ga tau juga, Kak. Belum terpikirkan lagi,” jawabku. “Masuk SMA aja lah. Nanti kalau dari SMKN mau masuk perguruan tinggi ga bisa milih jurusan lain. Payah. Karena ada materi umum yang tidak ada di SMK. Trus nilainya kalau dari SMK ke perguruan tinggi gak boleh di bawah tujuh.” Entah dari mana pula Kak Sari mengetahui informasi itu. Tapi karena dibilang payah nanti masuk ke perguruan tinggi, akhirnya aku minta dengan orang tua untuk dimasukkan ke SMA. Sudah dua kali Kak Sari memberikan solusi terhadap jalan pendidikanku. Pemilihan SMP dan SMA. Sekarang dari SMA ke universitas. Awalnya aku tidak berminat untuk melanjutkan ke universitas. Di akhir SMA, kehidupan kami cukup berat. Ibu lumpuh dan aku harus berbagi waktu untuk 20 | Yossilia, dkk.
sekolah, belajar, mengurus rumah, dan ibu yang sakit. Kalau kakak‐kakakku sudah pada berkeluarga dan punya rumah sendiri, jadi, aku tidak bisa berharap banyak dari mereka. Suatu hari setelah pengumuman kelulusan SMA. Kak Sari mengajakku bicara face to face. Mungkin ayah minta tolong sama Kak Sari untuk menasihatiku yang tidak punya niat untuk melanjutkan ke universitas. Di ruang makan Kak Sari mulai membuka pembicaraan, “katanya kamu gak mau melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Benar tu?” “Ya, benar,” jawabku. “Kenapa?” “Ga kuat aku lagi, Kak. Aku capek. Pulang sekolah jam 3 sore trus harus mandikan dan kasi makan ibu. Malam ngurus ibu sambil buat tugas sekolah. Pagi sebelum sekolah mandikan dan ngasih makan ibu. Aku capek,” ucapku sambil menangis menceritakan ketidakberdayaanku menghadapi keadaan yang kualami saat itu. Kak Sari terdiam sejenak. Sambil perlahan dia berkata, “Sampai kapan kau mau seperti ini terus? Mel… dirimu juga punya kehidupan dan orang tua kita tidak selamanya sama kita. Kalau kau hanya tamat SMA nanti mau kerja jadi apa?” “Entahlah, Kak. Belum terpikirkan dengan aku sekarang. Yang aku pikirkan aku capek dan aku ingin istirahat. Biarlah aku di rumah aja mengurus orang tua. Kalau sekolah sambil mengurus orang tua, aku gak kuat. Apalagi ibu suka mengomel dan akhirnya aku melawan. Malah menambah banyak dosaku aja, Kak,” jawabku. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 21
“Beginilah Dek, tau kakak dirimu yang harus sekolah dan mengurus orang tua. Tapi kami pun sebagai kakak gak mau pendidikanmu hanya sampai SMA. Semua kakak dan abangmu sarjana. Apa kata orang adeknya yang bungsu hanya tamat SMA. Padahal orang tua masih mampu membiayaimu. Apa kakak dan abangnya gak perhatian sama adeknya? Kau pikirkan juga kami. Gimana nanti pendapat orang terhadap kami?“ kata Kak Sari panjang lebar. Aku terdiam sambil berpikir bahwa apa yang dikatakan Kak Sari itu benar. Tapi aku masih merasa berat. Apakah aku masih mampu kuliah sambil mengurus orang tua? Akhirnya Kak Sari berucap, “Mel..lanjutkanlah kuliah. Nanti kakak bantu kau mengurus syarat‐syaratnya. Kalau kakak ga bisa mengantarmu mendaftar, nanti minta Bang Olly yang mengantarkan. Kalau untuk membantumu kami semua bersedia kok. Jangan dirimu pikir kami tidak memikirkanmu…” “Iyalah Kak,” jawabku. Akhirnya aku disarankan Kak Sari untuk mendaftar di universitas swasta yang ada di Pekanbaru. Mana tahu gak lulus SMPTN. Tapi tes SMPTN tetap aku ikuti dengan saran yang diberikan Kak Sari, yaitu mengambil Fakultas Keguruan dan Jurusan Biologi. Alasannya, guru banyak dibutuhkan dan cepat dapat kerja. kata Kak Sari pada saat itu. Untuk kesekian kalinya, jalan untuk pendidikan diriku diarahkan oleh Kak Sari dan itu semua benar. Tamat kuliah, aku direkomendasikan Kak Sari untuk ikut tes di SMP swasta Babbusalam. Sebelum pengumuman lulus untuk mengajar, ada pengumuman di koran bahwa 22 | Yossilia, dkk.
Pemerintah Kota Pekanbaru membuka lowongan Guru Bantu Daerah Provinsi Riau. Aku pun mengikuti seleksinya. Seminggu sebelum ajaran baru sekolah dimulai, SMPS Babbusalam memanggilku untuk mengajar. Hal ini menandakan bahwa aku lulus tes mengajar. Tapi setelah 4 bulan mengajar aku dinyatakan lulus menjadi Guru Bantu pemprov Riau. Akhirnya aku berhenti mengajar di Babbusalam dan memulai tugasku menjadi guru bantu di sekolah negeri yang tertera di SK guru bantu tersebut. Keputusan ini juga kudapat dari hasil sharing‐ku dengan Kak Sari. Katanya, “Peluang untuk maju ya di sekolah negeri.” Menginjak tahun kelima menjadi guru bantu, aku menginginkan kemajuan dari karir. Mau sampai berapa lama menjadi honor daerah. Makanya aku mencoba mengikuti tes CPNS di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Sebenarnya sudah beberapa kali aku ikut tes CPNS di Pekanbaru. Tapi tak pernah lulus. Akhirnya aku mencoba keluar dari Pekanbaru dan ternyata memang rezekiku di Karimun. Aku lulus tes CPNS di Karimun. Tahun 2009 aku pindah bekerja di Karimun. Awalnya abang‐abangku tidak setuju. Mereka bilang untuk apa jauh‐ jauh cari kerja. Lagipula, di Pekanbaru aku juga bukan pengangguran. Nanti mereka susah untuk ketemu denganku karena jauh. Lagi‐lagi Kak Sari memberikan motivasi dan solusi untuk tiap permasalahanku. “Jangan tidak kau ambil peluangmu ini, Mel. Dirimu lulus murni. Kalau karena jauh nanti kita coba urus kepindahanmu kembali ke Pekanbaru. Yang jelas, kerjakan tugasmu di sana dengan baik dan jangan putus asa. Allah SWT bersama kita. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 23
Kakak percaya dirimu kuat. Kau pasti bisa.” Kak Sari memotivasiku. Memang aku mendapatkan tempat di daerah terpencil di Karimun ini. Kehidupan yang tidak terpikirkan denganku. Harus naik pompong lebih kurang satu jam dari Batam ke Tanjung Pelanduk dan kapal itu hanya ada dua kali seminggu. Lampu PLN hanya hidup dari jam 5 sore sampai jam 12 malam. Tempat belanja hampir tidak ada. Semua kebutuhan harus disetok dari Batam. Tapi alhamdulillah, Kak Sari membuktikan bantuannya. Setelah lima tahun, Kak Atik dan Kak Sari bekerja sama untuk menolongku pindah dari Karimun ke Pekanbaru. Perjuangan Kak Sari memberikan motivasi sekaligus inspirasi bagiku dalam menjalani pendidikan dan karirku teramat berharga. Semua yang disarankannya benar dan tidak ada yang meleset. Aku selalu melihat perjuangan Kak Sari dalam pendidikan. Walau sedang hamil, niatnya untuk ikut kursus ini‐itu sangat kuat. Padahal Kak Sari juga bekerja dan mengurusi pekerjaan rumah tangga. Untuk mencari tambahan biaya rumah tangga pun Kak Sari tidak tanggung‐ tanggung. Bawa baju‐baju kreditan ke kantor, jualan kosmetik, dan suplemen kesehatan. Bahkan sampai jadi makelar tanah. Kalau untuk urusan pendidikan, Kak Sari juga orang yang haus ilmu. Dia mendapatkan beasiswa dari kantornya untuk melanjutkan S‐2 ke UGM dan harus meninggalkan ketiga anak‐anaknya yang masih SD. Tapi semangatnya itu membuat suami dan anak‐anaknya tidak mengeluh. Akhirnya setelah tamat S‐2, Kak Sari dapat tawaran beasiswa S‐3 ke Belanda. Untuk kali ini suami Kak Sari tidak 24 | Yossilia, dkk.
mengizinkannya karena jauh. Pastinya susah untuk bertemu. Dan inilah akhir pendidikan akademik Kak Sari terhenti. Tapi Kak Sari tetap belajar dan terus belajar yang menjadikannya sekarang seorang narasumber di bidang koperasi. Dialah kakakku, motivator sekaligus inspirator bagi pendidikan dan pekerjaanku. Kak Sari adalah kakak yang mengajarkanku untuk terus maju dan tidak berputus asa, kakak yang selalu ada untuk selalu membantuku menemukan jalan keluar terhadap semua masalah pendidikan dan pekerjaanku. Terima kasih yang tak terbatas untukmu, Kak. Semoga Allah SWT selalu memberkahimu. Amin. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 25
Tentang Penulis Penulis bernama Nanda Gita Rakhmawati, S.Pd. Lahir di Medan tanggal 3 Februari 1982. Penulis adalah lulusan FKIP Biologi Universitas Riau tahun 2005. Sebelum menjadi CPNS, ia pernah menjadi guru honor di SMP Swasta Babussalam Pekanbaru, honor daerah pemkot Pekanbaru dan akhirnya tahun 2009 lulus CPNS di Kabupaten Karimun, Kepri. Setelah 5 tahun mengabdi di daerah terpencil di Kabupaten Karimun, ia pindah bekerja ke pemerintahan kota Pekanbaru. Sekarang ia mengajar di SMPN 42 Pekanbaru. Penulis memiliki hobi membaca buku terutama berjenis komik, inspirasi, motivasi islami dan pengembangan diri. Ia pernah menjadi guru favorit 2015 di SMPN 30 Pekanbaru dan SMPN 42 Pekanbaru tahun 2018, saat pertama kali pindah mengajar di sekolah tersebut. Ia pernah membawa siswanya memenangkan lomba Bio Expo UNRI 2015 harapan II, pemenang harapan II Mading 3D Biologi UNRI 2015, 2017 dan 2019 serta pemenang harapan I Cerdas Cermat Olimpiade Sains yang diselenggarakan SMAN 1 Pekanbaru 2015. Penulis bisa dihubungi melalui E‐mail : [email protected] dan no WA : 081276336369. 26 | Yossilia, dkk.
Terlambat Menyadari Oleh : Dra. Sumarmi S eorang perempuan tengah baya sedang duduk di ruang kantor. Kantor itu penuh dengan meja‐meja yang tertata rapi. Di atas meja, terlihat tumpukan buku‐ buku tersusun dengan rapi. Buku‐buku itu adalah buku tugas siswa yang harus dikoreksi oleh para guru. Ya, ruangan itu adalah ruang majelis guru, tempat perempuan itu mengabdi di sebuah SMA. Ruangan yang cukup luas itu kelihatan sepi karena sebagian besar guru sedang mengajar di kelas. Hanya ada beberapa guru yang kebetulan sedang tidak mengajar karena tidak ada jadwal di jam itu, termasuk seorang perempuan tengah baya itu. Perempuan itu bernama Srikandi, kira‐kira berumur 50 tahunan. Dia sedang sibuk mengoreksi tumpukan buku‐buku tugas siswa yang harus segera diselesaikan. Sesekali dia beristirahat karena matanya terasa capek membaca pekerjaan siswa dengan berbagai corak tulisan. Ada tulisan yang bisa terbaca dengan jelas, namun tidak jarang tulisan siswa itu sulit untuk dibaca karena tulisannya tidak jelas dan acak‐acakan. Banyaknya buku‐buku tugas siswa itu membuat Srikandi kadang merasa letih sehingga harus diselingi istirahat sesekali. Walaupun kelihatan letih, namun perempuan itu terus bekerja dengan semangat untuk mengoreksi tugas Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 27
tersebut karena sepertinya dia punya target bahwa dia harus menyelesaikan koreksi di hari itu. “Alhamdulillah akhirnya selesai juga pekerjaan ini dan tinggal mengembalikan buku‐buku ini kepada siswa,“ katanya dalam hati. Sambil menunggu bel berbunyi untuk masuk kelas, dia pun beristirahat dan duduk termenung di kursinya. Tiba‐tiba terlintas di pikirannya peristiwa beberapa puluh tahun silam. Teringat olehnya peristiwa 40 tahun silam, saat dia masih bersekolah di sekolah dasar, saat dia duduk di kelas 4 SD. Sebuah peristiwa besar telah terjadi. Peristiwa yang membuat dia menjadi tegar seperti saat ini. Peristiwa yang mampu menggembleng mentalnya sehingga dia mandiri dan kuat seperti saat ini. Masih jelas di ingatannya, saat itu dia harus kehilangan ibunya. Pada saat itu, dia masih terlalu kecil untuk kehilangan kasih sayang dan sebuah perlindungan seorang ibu. Betapa terpukulnya saat itu ketika dia sedang membutuhkan kasih sayang Ibunya namun dia harus kehilangan itu semua. Ibu yang menyayanginya telah pergi untuk selama‐lamanya. Tak ada lagi tempat untuk bermanja‐manja dan bercerita. Namun Srikandi adalah anak yang kuat dan tegar. Rasa kehilangan itu ternyata tak membuat dia lemah dan putus asa, bahkan dia tetap tegar dan tumbuh menjadi anak yang pintar dan banyak impian. Dorongan dan kasih sayang ayahnya yang mampu menggantikan kasih sayang ibunya. Srikandi kecil tinggal di sebuah keluarga sederhana. Dia tinggal bersama ayah, dua kakaknya, laki‐laki dan perempuan, serta satu adik perempuan. Dia tinggal di sebuah desa yang 28 | Yossilia, dkk.
masyarakatnya bekerja sebagai petani atau buruh tani. Ayahnya adalah seorang petani dengan dua petak sawah, dengan penghasilan yang pas‐pasan. Keadaan ini tidak menyurutkan Srikandi untuk bersekolah ke sekolah yang lebih tinggi. Ketika suatu hari, saat Srikandi duduk di kelas 6 sekolah dasar, dia menyampaikan niatnya kepada ayahnya untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi walaupan pada saat itu teman‐teman sebayanya tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SD. “Ayah, setelah lulus nanti saya akan melanjutkan ke SMP, bagaimana ayah boleh tidak?“ kata Srikandi pada ayahnya. Ayah Srikandi adalah orang tua yang berpikiran maju. Walaupun dulunya tidak bersekolah, dia ingin anaknya bisa melanjutkan sekolah. Dia pun menjawab pertanyaan dan menanggapi perkataan Srikandi, “Tentu Srikandi, kamu harus bersekolah untuk mencapai cita‐citamu, ayah akan berusaha keras mencarikan biaya untuk sekolahmu, ayah sangat mendukung keinginanmu.“ Dukungan sang ayah menjadi motivasi bagi Srikandi untuk terus belajar agar mampu melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Tahap demi tahap dilaluinya dengan penuh semangat dan perjuangan. Namun, tidak mesti semua berjalan dengan mulus. Kendala dan rintangan silih berganti menemani perjalanan cita‐cita Srikandi. Perasaan minder karena keluarganya tidak mampu, kecewa, sedih, dan kadang bingung di saat dia merindukan ibunya, adalah warna Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 29
perjalanannya. Tak jarang dia merasa kehilangan pegangan dan merasa betul‐betul sendiri. Di samping itu, juga ada pergolakan‐pergolakan batin yang lain. Pada saat Srikandi akan melanjutkan ke SLTA, muncullah pergolakan batinnya dan perdebatan dengan ayahnya. Pada saat dia akan masuk SLTA, terjadi perdebatan dengan ayahnya karena ada perbedaan pendapat. Sempat Srikandi berdebat panjang dengan ayahnya, dan pergolakan batin pun terjadi. “Ayah, selesai lulus SMP saya akan melanjutkan ke SMA,“ kata Srikandi pada ayahnya di suatu pagi, saat dia sudah kelas 3 SMP. “Tidak Nduk, kamu harus masuk SPG karena ayah ingin kamu menjadi guru, Srikandi,“ kata ayahnya menanggapi. “Ayah, aku tidak mau menjadi guru, aku tidak mau masuk SPG, aku mau masuk SMA karena aku ingin menjadi ahli pertanian,“ kata Srikandi agak sedikit membantah ayahnya. “Kamu ini perempuan Nduk, lebih pantas kamu menjadi guru, kamu lebih baik masuk SPG , setelah lulus langsung bisa bekerja menjadi guru,“ kata ayahnya menasihati. “Lagi pula kita ini orang tidak mampu Nduk, biaya kuliah itu sangat tinggi bukan ayah tidak mau membiayamu namun ayah khawatir tidak sanggup membiayaimu,“ ayahnya melanjutkan perkataannya. “Tidak ayah, aku akan tetap masuk SMA walaupun ayah tidak mengizinkan, aku tidak suka bersekolah di SPG,“ katanya agak sedikit sombong. 30 | Yossilia, dkk.
“Ya sudah, kalau itu keputusanmu, kamu yang akan menjalani Srikandi, ayah tidak bisa memaksakan,“ kata ayah Srikandi dengan bijak. “Ayah akan bekerja keras agar kamu bisa kuliah nantinya, karena ayah tidak bisa meninggali kamu harta namun hanya ilmu yang kamu peroleh di sekolah, agar bisa menjadi bekalmu kelak, Nduk,“ kata ayahnya melanjutkan. Sejak perdebatan dengan ayahnya itu, Srikandi semakin bersemangat belajar, dia ingin membuktikan pada ayahnya bahwa dia bersungguh‐sungguh dengan cita‐citanya. Setelah lulus dari SMP, diapun diterima di sebuah SMA favorit di kotanya. Dia bersemangat untuk menyelesaikan SMA‐nya dengan nilai yang bagus agar bisa diterima di perguruan tinggi negeri seperti harapannya dan bisa mengambil jurusan yang diinginkannya yaitu Jurusan Pertanian. Setelah lulus SMA, dengan semangatnya, Srikandi pun mendaftar Sipenmaru dan mengambil paket IPC, artinya dia mengambil Jurusan IPA dan IPS. Kebetulan pada saat SMA dia masuk Jurusan Biologi, jadi bisa mengambil tiga pilihan sekaligus bidang IPA dan IPS. Dia pun mengambil Fakultas Pertanian, Fakultas Psikologi, dan Fakultas Keguruan seperti yang diharapkan ayahnya. Manusia hanya bisa berencana, namun Yang Mahakuasa lah penentu segalanya. Walaupun Srikandi sudah belajar dengan rajin dan semangat, namun hasilnya tidak sesuai dengan harapannya. Srikandi gagal masuk Fakultas Pertanian maupun Fakultas Psikologi. Dia hanya diterima di Fakultas Pendidikan. Tentu dia sangat kecewa dan terpukul, Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 31
harapannya untuk kuliah di Fakultas Pertanian gagal. Berarti gagal sudah cita‐citanya untuk menjadi ahli pertanian. Dia malu dengan dirinya juga dengan ayahnya, dia merasa tak sanggup membuktikan kepada ayahnya akan kesungguhan cita‐citanya. Berhari‐hari dia merasa kehilangan pegangan, rasanya hancur semua harapannya. Dia pun merasa putus asa karena tak sanggup mencapai cita‐citanya. Berhari‐hari dia hanya termenung di kamar, tidak bersemangat walaupun dia sudah diterima di Fakultas Pendidikan artinya dia tetap bisa berkuliah di Perguruan tinggi negeri. Namun semua tidak sesuai dengan harapan dan keinginannya, apa yang sudah dibangunnya runtuh, dia sangat kecewa. Ayah Srikandi pun sempat bingung dan khawatir dengan kondisi psikis Srikandi, karena dia hanya mengurung di kamar dan termenung‐menung seperti orang tak ada harapan lagi. Suatu hari ayahnya berusaha menghibur dan menasihatinya dengan penuh kesabaran. “Srikandi, mungkin Fakultas Pendidikan, itulah yang terbaik buatmu, Nduk, jadi jalani Nduk dengan senang, ambillah hikmahnya, Nduk. Saat ini mungkin belum ditunjukkan kebaikan itu, suatu hari nanti pasti akan terlihat jelas kebaikannya dan kamu akan merasakan bahwa itu adalah yang terbaik buat kamu, Nduk,“ kata ayahnya saat itu dengan sabar dan kasih sayang. “Ya Ayah, saya akan mencoba Ayah daripada saya tidak kuliah,“ jawabnya singkat. Srikandi pun merasa belum yakin dengan ucapan ayahnya bahwa itu yang terbaik buat dirinya sehingga perkataannya pun terasa hanya asal ngomomg. 32 | Yossilia, dkk.
Hari‐hari kuliah pun mulai dijalani Srikandi. Pada awalnya dia memang tidak merasa senang dengan pilihannya yang sekarang namun dia pun berusaha menjalaninya dengan sungguh‐sungguh. Hari pun terus berjalan berganti bulan hingga sampailah dia menerima hasil perkuliahannya selama satu semester. Betapa kagetnya dia setelah tahu hasil nilai semesterannya ternyata sangat memuaskan, dia memperoleh IPK yang sangat bagus. Walaupun dia tidak suka dengan pilihannya itu dia tetap bersemangat kuliah, agar segera menyelesaikan kuliah karena kalau dia bermalas‐ malasan pastilah dia akan berlama‐lama berkuliah, sehingga dia pun tetap belajar dengan sungguh‐sungguh. Semua dijalaninya dengan semangat dan kesungguhan, akhirnya dia pun telah memasuki semester 6. Namun perjalanan kuliahnya ternyata tidak mulus sesuai harapannya. Pada saat Srikandi memasuki semester enam ayahnya jatuh sakit sehingga konsentrasi kuliahnya pun sedikit terganggu. Sakit ayahnya dari hari ke hari semakin parah walaupun ayahnya sudah dibawa berobat ke rumah sakit. Bahkan ayahnya sudah keluar masuk rumah sakit namun sakit ayahnya tak juga kunjung sembuh. Hingga suatu hari ayahnya mengumpulkan seluruh anak‐anaknya dan berkata di hadapan semua anaknya. “Srikandi, kamulah satu‐satunya anak ayah yang kuliah, harapan ayah kamu harus menyelesaikan kuliahmu Nduk, agar kamu bisa membantu adikmu,“ kata ayah pada Srikandi. “Ayah tidak bisa membiayai kuliahmu lagi Nduk, namun ayah masih mempunyai sepetak sawah untuk melanjutkan Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 33
biaya kuliahmu nanti, Nduk. Sawah itu biar dijual oleh Masmu Nduk, untuk biaya kuliahmu,“ kata ayahnya melanjutkan ucapannya. “Iya, Ayah. Pesan Ayah akan selalu kuingat, aku akan belajar dengan rajin ayah, agar kuliahku segera selesai dan bisa bekerja,“ kata Srikandi saat itu pada ayahnya. Rupanya, itu adalah pesan terakhir ayahnya sebelum beliau dipanggil Yang Mahakuasa seminggu setelahnya. Srikandi betul‐betul terpukul sepeninggalan ayahnya. Dia betul‐betul kehilangan pegangan. Dia bingung harus bagaimana, melanjutkan kuliah atau berhenti kuliah. Dia ingat pesan ayahnya untuk melanjutkan kuliah, karena itu adalah amanat ayahnya, namun dia tidak punya uang untuk melanjutkan kuliah. Dia tidak akan mungkin menjual sepetak tanah peninggalan orang tuanya seperti pesan ayahnya karena dia masih mempunyai adik yang membutuhkan biaya untuk masa depannya. Dia tidak ingin egois karena dia masih punya adik dan kakak perempuan yang juga membutuhkan biaya. Sementara kakak laki‐lakinya sudah berkeluarga dan tinggal serumah dengan mereka. Srikandi pun akhirnya memutuskan untuk bekerja sambil kuliah. Dia mulai mencari peluang kerja dengan membuat iklan privat belajar bagi anak sekolah dasar. Iklan itu dia pasang di tempat‐tempat umum. Sambil menunggu orang yang membutuhkan jasanya. Dia pun membantu menyetrika baju pada tetangganya yang membutuhkan untuk menambah biaya kuliah. Sementara untuk biaya hidupnya kakak laki‐ lakinya membantu semampunya. Karena kesabarannya, 34 | Yossilia, dkk.
Srikandi akhirnya dia dapat panggilan guru privat untuk dua anak sekolah dasar kelas 4. “Alhamdulillah ya Allah akhirnya pertolonganmu datang, terima kasih ya Allah atas rezeki ini,“ katanya dalam hati. Ucapan syukur tak henti‐hentinya disampaikan pada Yang Mahakuasa atas semua nikmat yang dilimpahkannya. Dia selalu bersyukur karena masih banyak orang yang lebih susah darinya. Dengan bermodal sepeda ontel jengki yang dibelikan ayahnya ketika dia masuk SMP, dia mulai melangkahkan ayunan kakinya. Pagi hari dia berangkat kuliah dan sore hari dia bekerja sebagai guru privat. Senja hari Srikandi pun baru sampai di rumahnya. Hampir setiap hari rutinitas ini dia jalani dengan sabar, walaupun tenaganya begitu terkuras karena jarak rumah dengan kampusnya tidaklah dekat sekitar 10 km, dan rumah anak‐anak didiknya sekitar 1 km dari kampusnya. Pagi‐pagi betul dia sudah berangkat, ketika ufuk datang di pagi hari dia pun mulai mengayunkan langkahnya dengan sepeda kesayangannya. Sebelum berangkat, dia siapkan bekalnya untuk sarapan dan makan siangnya walaupun hanya dengan sambal kecap dan telur dadar. Semua ini dia nikmati dengan rasa syukur. Hari pun terus berlalu, semester demi semester dia lalui dengan penuh perjuangan. Kerikil tajam, batu penghalang, dan jalan menanjak dia lalui dengan penuh kesabaran. Seiring berjalannya waktu, Srikandi pun akhirnya menyadari inilah jawaban perdebatan hebat dengan ayahnya beberapa tahun yang lalu. Semua sudah ada dalam angan ayahnya, namun dia Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 35
yang menolak dan membantah keinginan ayahnya ketika itu. Semuanya sudah berlalu waktu pun tak akan berputar balik. “Ayah, maafkan aku Ayah, aku tidak mau menuruti kata Ayah waktu itu, aku belum sempat membahagiakan ayah. Kini aku tahu mengapa Ayah menganjurkan aku masuk SPG, mengapa Ayah menginginkan aku menjadi guru , mengapa ayah ingin aku segera bekerja setelah lulus SPG, Ayah ingin aku tidak seperti ini, Ayah tahu apa yang terbaik buat diriku namun aku mengingkari itu, Ayah,“ katanya pada ayahnya di alam sana seperti berbicara dengan dirinya sendiri. “Ayah, walaupun saat itu aku tidak menuruti kata Ayah, namun aku berjanji, aku akan mewujudkan harapan Ayah. Aku ingin menjadi guru seperti harapan Ayah, semoga Ayah bisa tersenyum di sana,” lanjutnya seolah berkata dengan dirinya sendiri. Waktu pun terus berlalu, kuliah Srikandi pun akhirnya selesai juga , gelar sarjana pun diperolehnya. “Alhamdulillah ya Allah, terima kasih atas pertolongan‐ Mu ya Allah, akhirnya perjuanganku selesai juga,“ kata Srikandi berucap syukur. Ayahnya pasti senang di alam sana, namun langkah Srikandi belum lah selesai karena dia belum mengabdikan dirinya. Dari tahun ke tahun Srikandi mengikuti tes CPNS dan pada tahun kelima dia pun lulus CPNS dan ditempatkan di sebuah sekolah, dimana dia mengabdi saat ini. Kesadarannya akan kebenaran kata ayahnya membuat Srikandi ikhlas menjalani pekerjaan ini karena pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan mulia. Dia berjanji akan terus menjadi guru yang baik dan bertanggung jawab sehingga ayahnya pasti akan tersenyum di alam sana. 36 | Yossilia, dkk.
Tentang Penulis Perempuan ini bernama Sumarmi. ini, lahir di Klaten, 29 Agustus 1967. Ia menyelesaikan pendidikan dari SD sampai SMA di kota Klaten, Jawa Tengah. Kemudian melanjutkan kuliah di IKIP Negeri Yogyakarta, mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, lulus pada tahun 1992.Pada tahun 1997 ia mulai mengabdikan dirinya sebagai guru di SMA Negeri 1 Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Povinsi Riau sampai tahun 2009. Kini ia mengabdi di SMA Negeri 2 Siak Hulu dari tahun 2009. Selain mengajar, dia juga aktif dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggalnya. Dia juga bergabung dalam Sagusabu Pekanbaru 2, MediaGuru. Dengan bergabung di Sagusabu Pekanbaru 2 keinginannya untuk menulis semakin termotivasi dan sangat kuat. Saat ini dia sedang bersemangat untuk menulis buku antologi bersama grup Sagusabu Pekanbaru 2. Buku ini merupakan karya ketiga penulis, setelah dua buku sebelumnya. Buku pertamanya berjudul Mimpi yang Hilang Bersama Waktu dan buku keduanya berjudul Derap Langkah Srikandi Desa. Hobi menulisnya sebenarnya sudah terpendam lama dan baru muncul setelah mengikuti Pelatihan Sagusabu Pekanbaru, Mediaguru. Penulis dapat dihubungi pada alamat email [email protected] atau WA 081371789931. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 37
38 | Yossilia, dkk.
Cahaya Cinta Ibu Oleh: Sri Rahmalina P agi itu mendung memenuhi awan. Cahaya mentari seakan enggan menampakkan singgasananya. Di salah satu sudut ruangan kamar yang cukup sempit, duduklah seorang gadis yang sedang menundukkan kepalanya. Ia tergugu menangis. Shofia menangis karena teringat akan sanggahan Abah tentang keinginannya. Ya, Shofia, si gadis cantik itu kini sedang menangis. ”Shof, kamu harus bersyukur, wajahmu cantik. Kulitmu putih, alis matamu bak semut beriring, pipimu kemerah‐ merahan seperti Siti Aisyah istri Rasulullah SAW yang bergelar humairah dan gigi yang putih mengkilat sangat indah dipandang bila tertawa!” Ah, Shofia ingat kalimat penegas kecantikannya itu dari temannya. Suatu pagi yang dingin dan syahdu sesudah shalat Subuh, Shofia berkata pada abahnya. “Abah, izinkan aku belajar mengaji di rumah teman, temanku mendatangkan guru untuk belajar ngaji seni qiro`ah, ngaji yang dengan suara merdu Abah,” Shofia mengutarakan keinginannya. “Anakku, Abah bukan tak mau tapi Abah tak sanggup untuk bayar upah gurumu, adik‐adikmu masih kecil, banyak yang harus Abah lengkapi untuk kebutuhan sekolahnya, bukankah kamu harus menjaga adik‐adikmu sepulang Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 39
sekolah, tentu kamupun tak ada waktu untuk belajar?” tegas Abah. Shofia lahir dari keluarga yang serba kekurangan. Sehari‐ hari Abah dan emak pergi berladang padi, mengambil upah di ladang orang. Shofia bersaudara sembilan orang. Dua perempuan dan tujuh laki‐laki. Karena susahnya penghidupan beberapa orang adiknya dititipkan ke sanak famili yang mampu untuk diangkat menjadi anaknya dan disekolahkan oleh mereka. Shofia sudah duduk di kelas tiga PGA (Pendidikan Guru Agama) pada saat itu. Hari‐harinya tetap dipenuhi semangat yang menyala untuk belajar seni qiraah walau tidak bersama seorang guru. Baginya Alquran merupakan suluh dalam hidupnya. Pernah suatu kali ia kebingungan untuk bayar SPP, sedangkan minta uang dengan Abah kasihan. Ketika ada jam kosong Shofia membaca Alquran di mushala sekolah hingga bisa menyelesaikan satu juz. Saat sedang khusyuknya aku membaca Alquran datanglah seorang guru yang ingin shalat Duha. Ajaibnya setelah shalat Duha Pak Guru itu berkata, “Nak, terimalah ini tadi bapak sudah niat akan memberikan hadiah bagi siswa yang mengisi waktu kosongnya dengan ibadah dan ternyata memang ada yaitu kamu. Ini rezeki Allah bagi ananda, ayo terima tak usah malu!” sapa sang guru sambil memberikan sebuah bingkisan. “Ttt…terima kasih Pak Guru, semoga Allah membalas kebaikan bapak.” Setetes air bening jatuh mengalir membuat sungai kecil di pipi Shofia. Rezeki memang tak berpintu 40 | Yossilia, dkk.
karena Allah selalu membuka pintu rezeki bagi siapa yang dikehendakinya dari arah yang tidak disangka‐sangka. Bel berbunyi Shofia kembali ke kelas melanjutkan pembelajaran berikutnya dengan hati yang masih diliputi kebahagiaan. Impian hati untuk mahir seni baca Alquran tak pernah pupus dari hatinya. Pendidikan agama yang tertanam di jiwanya sangat sempurna bila suatu hari nanti bisa disampaikan lewat lantunan indah ayat suci Alquran dari bibirku. Sepulang sekolah sambil menggendong adik, Shofia ikut menyimak bacaan seni Alquran yang diajarkan oleh seorang guru di rumah temannya dengan mencuri dengar dari bawah rumah seorang teman. Karena umumnya rumah pada saat itu memiliki tangga yang cukup tinggi agar tidak terkena banjir air pasang laut. Bahkan di bawah rumah selalu digunakan untuk menyimpan hasil panen dari ladang. Kehidupan di kampungnya sangat diwarnai oleh kesederhanaan. Hingga pada suatu malam, seorang teman berkata padanya. “Hei Shofia ngapain kamu di situ? Kamu mencuri ya, enak aja, bayar nggak mau, mau pintar pula, pergi sana!” salah seorang teman yang ikut belajar seni qiraah yang bernama Anggita mencercanya. “Maaf, izinkanlah aku berada di sini, aku hanya ingin menidurkan adikku yang rewel sambil mendengarkan bacaan Alquran, mengapa tidak boleh?” jawab Shofia. “Kalau mau belajar, bayar, enaaaak aja, pergi sana!” Anggita mengusirnya. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 41
Shofia akhirnya meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah. Semangatnya untuk belajar tak pernah hilang. “Semoga pada suatu hari Allah akan memahirkanku membaca Alquran dengan seni…” Doa yang selalu dituturkannya setiap kali masuk ke bilik peraduannya. Menghilangkan segala resah dan lelah. Shofia hidup di pinggir pantai. Pantai dan lautan banyak mengajarkannya untuk memiliki tekad sekeras batu karang, walaupun dihantam ombak setiap harinya, ia tak pernah goyah ataupun hancur. Kemiskinan bukanlah akhir dari segalanya. Ibunda mengajarkannya untuk berlatih sabar dalam mewujudkan sebuah harapan. Shofia menjadi idola kaum Adam pada saat itu. Selain wajahnya yang cantik, suara yang bagus, ia juga memiliki budi pekerti yang mulia. Ibarat bunga yang sedang mekar, baunyapun harum. Namun masa remajanya berlalu begitu cepat. Baunya yang harum tercium oleh seekor kumbang. Shofia dipinang oleh keluarga yang cukup terpandang dikampungnya dan juga terbilang hartawan. Fath Muhammad seorang pemuda yang gagah, berkulit hitam manis, berlesung pipit, tubuh tinggi atletis dan pintar. Ia seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri Surabaya. Hari yang memisahkan Shofia dengan orang tua dan adik‐adiknya pun tiba. Shofia harus merelakan masa mudanya berakhir begitu cepat, demi rida orang tua. Begitu indah gaun yang dipakai menutupi kegalauan hatinya. Senyum yang harus dihadirkan terasa melelahkan. Shofia memasuki hidup baru. 42 | Yossilia, dkk.
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232