Cadar Tidak Menyurutkan Karyamu Oleh: Ermayenti A sih, panggilan akrabnya sehari‐hari, gadis muda belia yang tidak selesai sekolahnya. Asih keluarga yang kurang mampu. Asih tinggal bersama ibunya dan bapak Asih sudah lama meninggal dunia semenjak umur Asih 12 tahun. Paras Asih yang lugu telah mengalami kepahitan hidup. Asih hidup dari penghasilan Ibunya yang pas‐pasan. Ibu Asih pekerjaannya mengambil cucian beberapa tetangga. “Ibu capek,” Asih menyapa ibunya yang baru pulang. Sambil menyodorkan segelas air putih pada Ibunya, Asih menatap wajah yang keriput itu. Tengah malam yang sunyi terdengar dentingan jam tua yang tergantung di dinding kamar Asih. Suara itu menyentakkan lamunan Asih. Asih melihat ke dinding, “Uh sudah jam dua tengah malam.” Pikiran Asih sangat tak menentu. Asih ingin sekolah, ingin seperti teman‐temannya. Asih keluar kamar, melihat Ibunya di kamar depan. Ibu Asih tidur begitu nyenyak. “Ibu....Asih mau sekolah.” Asih berkata sambil berdiri di pintu kamar Ibunya. “Ibu...Asih mau belajar, belikan Asih buku sama pensil besok ya.” Asih terus meminta sambil menangis di pintu Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 193
kamar ibunya. Ibu Asih tidak bergeming sedikitpun, suara dengkurnya semakin kuat. Langkah kaki mungil Asih bergerak ke arah suara dengkur itu. “Ibuuu.... Asih sekolah besok ya.” Asih duduk di bawah kaki ibunya. Satu per satu air bening itu membasahi pipi mungil itu. Pagi‐pagi sekali rumah Bu Minah sudah dikunjungi tamu yang tak diundang. Tamu itu adalah tetangga lama Bu Minah yang bernama Sakirman. Sakirman bersama istrinya memasuki ruang tamu rumah Bu Asih yang sangat sederhana. Penataan ruang itu begitu rapi dan bersih meski di ruang itu hanya ada kursi tamu warnanya yang kusam tapi sudah dilapisi dengan plastik sisa‐sisa spanduk. “Mari masuk Pak Sakir, Bu Sakir, silahkan duduk. Sudah lama sekali kita tidak ketemu ya Bu....” sapa Bu Minah. “Semenjak Bapak pindah rumah, baru ini kita bertemu,” Bu Minah terus bicara. “Asih, ada tamu nak ayo kesini buatkan teh hangat ya Nak!” kata Bu Minah pada Asih. Kesederhanaan Pak Sakirman dan keluarganya membuat Bu Minah tidak bisa melupakan kebaikan yang mereka berikan selama ini. “Gimana kabar Asih sekarang, sudah kelas berapa?” tanya Bu Tuti. Bu Tuti istri Pak Sakirman. Wajah Minah berubah, terlintas kesedihan di wajahnya. “Asih tidak sekolah lagi Bu, saya tidak punya biaya melanjutkan Asih sekolah ke tingkat SLTP. Semenjak ayah Asih meninggal dunia, saya ambil cucian tetangga. Upah cucian saya sudah habis untuk melunasi utang berobat ayah 194 | Yossilia, dkk.
Asih. Asih tidak sekolah lagi bu karena tidak ada biaya. Kalau hutang saya sudah lunas, Asih akan saya sekolahkan kembali. Kasihan Asih dengan umurnya yang belia begini, ia sudah menanggung beban hidup.” Ibu Tuti dan suaminya begitu sangat prihatin dengan kehidupan keluarga Bu Minah. Bu Tuti berniat mau mengajak Asih tinggal bersamanya. “Bu Minah, saya berniat mau mengangkat Asih jadi anak angkat kami. Bolehkah Asih kami bawa tinggal bersama kami? Kami akan rawat Asih seperti anak kandung kami sendiri.” “Asih akan kami sekolahkan sampai Asih benar‐benar bisa berdikari.” Bu Tuti dan suaminya menyampaikan niat baiknya pada Bu Minah. Bu Minah menatap Asih dan berkata, “Ibu izinkan Asih tinggal bersama keluarga Pak Sakirman. Lanjutkanlah cita‐ citamu Nak, agar kelak kamu tidak seperti ibu yang tidak memiliki pendidikan.” Asih dibawa oleh kelurga Pak Sakirman untuk tinggal bersama mereka di Kota Pekanbaru. Pak Sakirman punya toko mini market yang terkenal di Pekanbaru. Selain itu keluarga Pak Sarkiman juga punya mebel kayu jati. Asih disekolahkan Pak Sarkiman di salah satu madrasah negeri. Pertama masuk madrasah, Asih jadi binggung dengan mata pelajaran yang disajikan di madrasah. Asih tidak pernah mengucapkan salam pada siapapun setiap bertemu, tapi kali ini Asih diwajibkan oleh guru‐gurunya setiap kali berpapasan dengan mereka. Asih pergi ke sekolah berpakaian busana muslimah. Pakaian seragam Asih semuanya memakai jilbab. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 195
Bu Tuti tidak tahu kalau Asih beragama Kristen. Bu Tuti tidak pernah menanyakan hal ini pada ibunya Asih. Bu Tuti memanggil Asih ke kamarnya. Di kamar, Bu Tuti bertanya pada Asih tentang agama yang dipeluk Asih. Secara perlahan Bu Tuti memberikan pembelajaran agama pada Asih khususnya tentang agama Islam. Bu Tuti menyampaikan pada Asih, “Nak maukah kamu ibu ajak untuk melaksanakan shalat bersama ibu?” Asih mengangguk, lalu berkata, “Bu saya pengen shalat, membaca Alquran tapi saya tidak bisa.” “Guru Asih menjelaskan di sekolah tadi bahwa agama Islam itu adalah agama yang diridai Allah SWT. Guru Asihpun menyebutkan hal ini terdapat dalam surat Ali Imran:19.” “Masuk agama Islam itu wajib mengucapkan dua kalimat syahadat yaitu Asyhadu Allaaa Ilaaha Illallaah Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah,” jelas Bu Tuti. Tahun 2018, Asih menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Aliyah. Asih sering dibawa Bu Tuti ikut dalam kegiatan pengajian. Asih orang yang taat beribadah, shalat sunahnya pun tidak pernah tinggal. Asih rajin puasa sunah Senin dan Kamis. Asih punya cita‐cita yang tinggi, ia ingin menulis dan menghasilkan tulisannya. Dari kecil Asih sudah sering menulis, bahkan ia pernah mendapat julukan di SD sebagai penulis terbaik. Bakatnya itu selalu ia pupuk. Asih punya teman dari sekolahanya yang juga senang menulis, mereka satu Madrasah. Selesai menamatkan sekolah tingkat SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) Asih memakai cadar. Teman Asih juga bercadar. Setamat sekolah teman 196 | Yossilia, dkk.
Asih langsung dipinang oleh teman papanya untuk dijadikan menantunya. Awalnya teman Asih keberatan dengan pernikahan dini, tapi ia tidak bisa menolak permintaan orang tuanya. Asih dengan pakaian cadarnya membuat ia yakin bahwa ia tidak akan seperti temannya itu. Asih terakhir ketemu dengan temannya saat pernikahannya. Setelah pernikahan, mereka tidak bertemu lagi. Sekarang temannya sudah mempunyai tiga anak, baru lima tahun menikah. Rasanya baru kemarin mereka menamatkan sekolahnya. Dalam benak Asih terbayang dengan posisi temannya sebagai istri yang melahirkan satu anak dalam satu tahun. “Aduh betapa repotnya, ”ungkap Asih dalam hati. Terbayang wajah temannya yang kurusan tidak terurus, suami sering pergi hijrah. “Tidak.....tidak.....tidak, aku harus menjadi penulis terkenal, bisa menghibur orang dengan karyaku,” jeritnya. Asih setiap hari harus mengurusi mebel milik Bu Tuti, dan siangnya Asih pergi kuliah. Kesibukan apapun yang ia lakukan, goresan tangannya tidak pernah absen. Karya‐karyanya telah diterbitkan kampus tempat ia kuliah. Ia berpikir, tidak zamannya lagi seorang wanita itu berdiam diri, melayani suami, mengurusi anak‐anak mereka. Asih masih ingat dalam kegiatan pengajian ustadnya mengatakan bahwa mencari jalan ke surga sangat gampang yaitu dengan santun pada suami dan orang tua. Santun yang dimaksud bukan berarti kita mangut semua yang di intruksikan tapi, kita harus bisa bersuara untuk membuktikan Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 197
bahwa istri itu juga bebas mencurahkan pikiran untuk kemajuan umat dalam bernegara dan agamanya. Selesai menamatkan perguruan tinggi, Asih terfokus pikirannya untuk mengelola mebel Bu Tuti. Ia begitu gesit dalam mengelola mebel. Mulai dari administrasinya sampai penataan tokonya yang unik ia lakukan dengan sendiri. Kesibukannya sampai ia melupakan umurnya yang sudah pantas untuk membentuk keluarga kecil yang baru. Asih kemudian dipersunting oleh teman kuliahnya satu tingkat di atasnya. Suami Asih sangat mengerti dengan keinginan Asih. Suaminya selalu mendukung setiap kegiatan yang dikerjakannya. Bahkan tulisan‐tulisan Asih terus mengalir. Bu Tuti begitu sayang dengan Asih, Bu Tuti sering berkunjung ke rumah Asih untuk melihat cucu‐cucunya yang cantik‐cantik. Usaha Asih terus maju, rezeki Asih selalu berlimpah. Asih tidak lupa membantu anak‐anak yang terlantar. Asih berangkat haji bersama orang tua kandungnya. Bu Minah, sudah lama tinggal bersama Asih. Bu Minah telah satu iman dengan Asih. Dengan kondisi yang sudah tua Bu Minah masih sanggup mengunjungi tanah suci Mekah bersama anaknya. Bu Minah selalu bersyukur dengan kehidupan anaknya. Hubungan baik Bu Minah dengan Bu Tuti selalu terjalin dengan baik. Panggilan kerja untuk menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi mengejutkan hati Asih. Ia sudah lama mengajukan permohonan untuk menjadi seorang dosen dan baru sekarang permohonannya itu mendapat tanggapan dari pihak kampus. Asih membicarakan hal ini dengan suaminya 198 | Yossilia, dkk.
dan orang tuanya. Bagi Bu Minah masalah ini ia sangat mendukung sekali keinginan Asih tersebut. Begitu juga dengan Bu Tuti sebagai orang tua angkat Asih. Awalnya suami Asih mendapat berita ini agak keberatan juga. Dengan penuh pertimbangan akhirnya Asih diizinkan untuk berkarir menjadi seorang dosen oleh suaminya. Di kampus, berbagai karakter mahasiswa yang dihadapi oleh Asih. Asih tidak pernah lepas dari cadarnya. Ada mahasiswa yang keberatan melihat penampilan Asih. Karena disaat menjelaskan sesuatu tidak terlihat jelas bagaimana mimik atau wajah seseorang dalam penyampaian materi. Asih didemo untuk tidak masuk kelas perkuliahan lagi. Penuh kesabaran Asih menghadapi semua ini. Ia tetap kuat dengan dukungan suaminya. Sebagai dosen. Asih tetap saja memainkan jemarinya dalam tulisan‐tulisan indahnya. Dengan terbitnya buku Asih melalui kampus semakin yakinlah ia bahwa dengan niat yang baik keinginan apapun akan tercapai. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 199
Tentang Penulis Perempuan bernama lengkap Ermayenti, M.Pd. lahir di Sumatra Barat pada 02 April 1969. Penulis alumnus Universitas Negeri Padang. Kini penulis mengabdi sebagai guru di MTs Negeri 3 Pekanbaru ‐ Riau. Awal bertugas penulis ditempatkan di Desa Sungai Tonang Kabupaten Kampar. Lima tahun bertugas penulis dimutasikankan ke MTs Negeri 8 Kampar. Tahun Pelajaran 2018‐2019 penulis dimutasikan lagi ke MTs Negeri 3 Pekanbaru. Selama penulis menjadi PNS prestasi yang pernah diraih sebagai guru berprestasi tahun 2009 yang dilaksanakan oleh Kemenag Provinsi Riau. Tahun 2010 Kemenag Prov. Riau kembali memberikan kesempatan penulis meraih kembali predikat sebagai guru berprestasi. Tahun 2016 penulis meraih pemenang tiga dalam lomba menulis cerpen yang di adakan oleh Balai Bahasa Pekanbaru. Prestasi akademik yang pernah penulis raih adalah sebagai Guru Teladan tahun 2015. Karya perdana penulis buku kumpulan cerpen dengan judul Akhirnya Kamu Pergi yang diterbitkan November 2018. Januari 2019 penulis terpilih sebagai penulis artikel peringkat pertama tingkat provinsi. Penulisan Buku ini merupakan karya kedua penulis. Penulis bisa bisa dihubungi melalui: [email protected] dan hp: 082388989358. 200 | Yossilia, dkk.
Kebahagiaan yang Abadi Oleh : Tri Lestari, S.Pd. P erlahan kukurangi kecepatan, dengan hati‐hati aku memarkirkan mobil di pinggir jalan protokol ini. Inilah rutinitasku setiap hari, selalu datang ke toko grosir pakaian yang terletak di pasar kota, yang merupakan tempat usahaku. Dari toko ini kami bisa hidup dengan layak dan membiayai sekolah ketiga anakku. Di usiaku yang bisa dikatakan tidak muda lagi, tidak banyak yang aku impikan. Menikmati sisa hidup dengan tenang, di toko sudah ada 3 karyawan, namun aku tetap berusaha datang setiap hari ke toko, untuk menjaga hubungan baik dengan mereka. Bagiku, mereka adalah keluargaku, kini aku seorang diri di rumah, anak pertamaku melanjutkan pendidikan di Madinah, anak kedua dan ketiga belajar di pesantren. Walau terkadang terasa sunyi, namun aku bahagia mereka mau belajar ilmu agama di sana, aku selalu berdoa semoga mereka menjadi anak yang saleh. Datang ke toko bercengkrama dengan yang lain, dapat mengusir rasa sepi ini, alhamdulillah telah hampir 9 tahun, sejak toko dibuka semua berjalan sesuai dengan apa yang aku harapkan, penjualan terus meningkat, dan para langganan kami pun terus bertambah Aku selalu menanamkan kepada karyawan dan anak‐anakku yang paling utama berdagang harus menjaga kejujuran, dan bersikap baik kepada pembeli, Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 201
Alhamdulillah, Maha Suci Allah yang telah memberikan karunia‐Nya kepada kami, kini toko yang menjual perlengkapan wanita muslimah kami setiap bulannya mendapatkan keuntungan yang lumayan besar. Aku selalu mengajarkan anak‐anakku untuk hidup sederhana. Anak pertamaku, Zaki, kini telah melanjutkan pendidikan di Madinah. Mas Zaki anak yang saleh, dia tak pernah meninggalkan shalat, selalu bersikap baik padaku dan adik‐ adiknya, aku sangat bersyukur. Begitu juga dengan Qonita dan Abdullah, anak kedua dan tigaku, mereka sangat menghormati Zaki sebagai abangnya. Sekarang mereka telah remaja. Walaupun masa kecil yang mereka lalui tak seindah anak‐anak yang lain, aku yakin semua itu membuat mereka lebih kuat, karena hidup ini adalah perjuangan. Aku berjalan menyusuri pasar menuju toko. Sesampainya di toko, seperti biasa aku ikut bersama ketiga karyawanku menyiapkan pesanan dari pelanggan. Walaupun toko ini milikku, aku selalu berusaha bersikap baik kepada karyawanku, aku ingin kami seperti keluaga, bahu‐membahu bekerja mencari nafkah di toko ini. Jika ada masalah, maka kami selesaikan dengan baik. Perjuangan hidup yang aku lalui mengajarkan aku betapa pentingnya bersikap baik dan selalu membantu orang lain, siapa yang memudah urusan orang lain maka insyaallah, Allah akan memudahkan urusan kita di dunia dan di akhirat. Itulah yang aku tanamkan kepada ketiga anak anakku, Perjalanan hidup yang kami lalui membuat kami belajar menghargai akan semua ciptaan Allah. Teringat sosok yang sangat kusayangi, abi mereka yang semasa hidupnya selalu 202 | Yossilia, dkk.
bersikap baik dan selalu berusaha menolong sahabat‐ sahabatnya ketika mendapatkan musibah. Iya begitulah suamiku, laki‐laki terbaik yang telah dianugerahkan Allah untukku. Walaupun kini telah hampir 15 tahun beliau meninggalkan kami, meninggalkan dunia yang fana ini, menghadap Allah aza wajalla, tak pernah sedikitpun terlintas untuk mencari penggantinya, karena aku ingin tetap menjadi istrinya di janah Allah nanti, amiin... Aku berusaha tetap menjadi ummi yang baik untuk anak anak kami, mendidik anak‐anak menjadi anak yang saleh/salihah, yang selalu mendoakan orang tuanya disetiap sujud mereka, aku berusaha sekuat tenaga mencari nafkah yang halal untuk anak‐anakku. Aku tak malu berjualan kue hingga pakaian dari rumah ke rumah Tak mudah untukku menjalani semua itu. Namun, demi anak anakku, aku berjuang, aku ingin mereka tetap bisa sekolah di tempat yang terbaik. Walaupun aku harus bekerja keras, aku yakin Allah tidak akan meninggalkan kami, aku yakin ada hikmah di balik semua cobaan yang Allah berikan, Masih jelas dalam ingatanku, saat itu 15 tahun yang lalu, Mas Zaki duduk di kelas 1 SDIT, Qonita berumur 4 tahun dan Abdullah 1 tahun, di usia pernikahan yang memasuki 8 tahun. Di hari Jumat itu, seperti biasanya suamiku berangkat kerja jam 6.30 pagi, karena harus mengantarkan Zaki ke sekolah terlebih dahulu, sebelum beliau ke kantornya Suamiku bekerja di perusahaan swasta yang cukup besar, dengan penghasilan dan tunjangan yang lebih dari cukup, karena itulah kami sepakat aku tidak bekerja lagi, fokus Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 203
mengurus rumah dan anak‐anak kami. Sebelum kami menikah, aku adalah karyawan di salah satu bank BUMN. Jam kerjaku dulu yang begitu padat, menjadi salah satu pertimbanganku untuk resign, kerena tidak ada yang menjaga Zaki. Aku bahagia menjadi ibu rumah tangga. Alhamdulillah aku mendapatkan suami yang begitu memperhatikanku, sangat menyayangiku dan anak‐anak. Semua urusan di luar rumah suamiku yang mengurusnya, dan suamiku juga tidak segan membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Ketika aku hamil, suamiku yang mencuci pakaian dan menbantu membersihkan rumah, tak jarang aku meneleponnya ketika beliau di kantor untuk membelikan aku makanan, karena aku tidak memasak. Dengan penuh cinta, suamiku selalu memberi apa yang aku minta, selalu berusaha membahagiakanku. Beliau sangat meenyayangi anak‐anak, tak pernah kudengar suara tinggi suamiku memarahi anak‐anak, namun aku selalu mendengar beliau mendoakan anak‐anak sambil mengelus kepala mereka. Suamiku tidak pernah melewatkan shalat berjamaah di masjid, selalu bersemangat untuk belajar tahsin Quran, dan bahasa Arab. Selesai shalat Magrib di masjid, suamiku selalu mengajakku untuk mengaji, dan membaca buku‐buku agama. Dari suamiku aku belajar agama, aku sangat bahagia. Suami sangat memanjakan aku dan anak‐anak. Walau begitu, suamiku sangat tegas dalam urusan syariat agama, tidak ada tawar‐menawar. Saat aku keluar dari pintu rumah, aku harus menutup auratku dengan baik lengkap dengan kaos kakinya, 204 | Yossilia, dkk.
walau hanya berdiri di luar rumah satu langkah dari pintu rumah. Aku sangat bangga memilikinya, memiliki suami yang begitu memuliakan keluarganya, aku merasa sebagai wanita yang paling bahagia. Allah memberiku kehidupan yang penuh kebahagiaan, setelah 8 tahun menikah tak pernah sekalipun kami bertengkar, tak pernah kudengar suara tingginya untukku dan anak‐anak. Kami juga tidak pernah merasakan kekurangan dalam hal materi. Pendapatan suamiku lebih dari cukup. Aku setiap hari mengurus rumah dan anak‐anak dengan bahagia, Siang itu saat aku sedang menemani ketiga anakku bermain, diruang tengah terdengan handphone‐ku berbunyi menandakan panggilan masuk kudapati “abi cinta” memanggil di layar ponsel. “Assalamu’alaikum, iya Sayang…” sapaku, terdengar suara diujung telepon. “Waalaikumsalam, maaf Bu saya teman bapak, saya mau mengabarkan, tadi selesai shalat Jumat, bapak tidak sadarkan diri, sakrang ada di rumah sakit nasional Bu.” Aku terdiam seakan tak percaya, jantungku berdetak cepat, kurasakan kedua kakiku bergetar. “Astagfirullah halazim…” aku beristifar mencoba menenangkan diri, Dengan membawa ketiga anak kami, aku menuju ke rumah sakit. Di sepanjang perjalanan, aku berdoa semoga semuanya baik‐baik saja. Selama ini aku melihat suamiku sehat dan suamiku juga tidak pernah mengeluh sakit. Sesampainya di rumah sakit, aku mendapati suamiku di ruang Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 205
ICU, lengkap dengan alat rumah sakit yang terpasang di tubuhnya, Beberapa teman kerja suamiku tampak di sana, melihat dari kaca luar ruangan ICU, karena memang tidak ada yang diperbolehkan masuk keruangan itu. Air mataku tak terbendung melihat kondisi suamiku yang terbaring lemah, dengan alat‐alat kesehatan terpasang di tubuhnya. Biasanya dia akan segera menghampiriku sambil tersenyum penuh cinta jika mengetahui kehadiranku, tapi kali ini tidak suamiku begitu lemah, matanya tertutup. Kupeluk Abdullah yang saat itu berada di gendonganku. “Abi kenapa Ummi?” tanya Zaki yang melihat abinya terbaring dari balik kaca, mendengar itu hatiku makin sedih. Kuusap kepala Zaki yang berdiri di sampingku, “Doakan abi cepat sembuh ya Nak, abi lagi sakit.” Aku berusaha tenang, demi anak‐anakku. Aku menuju ke ruang perawat IGD, aku bertanya bagaimana keadaan suamiku sekarang, apa yang sebenarnya terjadi, perawat itu mempersilakanku masuk. Awalnya ia meminta anak‐anak untuk tidak masuk ke ruang ICU, tetapi setelah kujelaskan kondisi kami, akhirnya mereka membolehkan anak‐anak ikut bersamaku saat itu. Saat berada di samping tempat tidur itu, ingin rasanya aku memeluknya, membangunkannya, sambil berkata, ”Sayang, ummi sama anak‐anak udah datang, ayolah kita pulang Sayang, jangan buat ummi sedih Sayang, ummi minta tolong, Sayang…” Tak lama seorang dokter datang mendekati kami, mungkin melihat kondisiku yang tak bisa menahan air mata, 206 | Yossilia, dkk.
dan melihat anak‐anak kami yang masih kecil, dokter mencoba menenangkan. “Ibu sabar ya, Ibu harus kuat demi anak‐anak Ibu. Ibu harus yakin. Allah Maha Segalanya, bapak terkena serangan jantung Bu, kondisi bapak masih sangat lemah,” ucap sang dokter dengan lembut. Aku hanya terdiam, rasanya aku tidak percaya dengan apa yang disampaikan dokter. Suamiku selalu menjaga kesehatannya. Dalam satu minggu minimal dua kali, abi naik sepeda di sore hari pulang kerja, dia juga tidak merokok. Tak henti bibir ini beristigfar untuk menenangkan hati ini. Tiba‐tiba terdengar suara di layar monitor yang terhubung di jantung abi. Suara itu membuat perawat dan dokter panik menghampirinya. Aku melihat Zaki menangis, saat perawat mencoba membawanya menjauh dari tempat tidur abinya. Saat itu dokter dan para perawat akan melakukan tindakan, aku merasa dunia ini gelap, tubuhku lemas, aku berharap ini semua hanya mimpi. Bahkan saat dokter menghampiriku di sudut ruangan, menyampaikan kalau teman hidupku yang aku cintai telah pergi terlebih dahulu, pergi memenuhi janjinya pada Sang Pemilik kehidupan, aku tetap terdiam. Aku ingin segera bangun karena semua ini hanya mimpi buruk di tidurku, sampai aku merasakan tangan kubasah karena air mata Zaki yang dari tadi memeluk tanganku. Terdengar isak tangisnya memanggil abinya. Barulah aku sadar kalau ini bukan mimpi, suamiku benar‐benar telah pergi untuk selamnya. Air mata ini selalu menggenang jika mengingat hari itu, walau sudah hampir 11 tahun berlalu. Sejak saat itu, aku Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 207
berjuang sendiri membesarkan ketiga buah hati kami, aku berjanji di dalam hatiku akan mewujudkan mimpimu mendidik anak‐anak kita menjadi anak yang saleh. Walau kami berempat hidup dalam kekurangan, aku selalu membiasakan anak‐anak untuk selalu berinfak, aku tanamkan pada mereka sesungguhnya yang kita infakkan itulah harta kita yang sebenarnya, seperti yang dulu engkau selalu katakan padaku. Lihatllah sayang, aku yang dulu manja kini harus mandiri, aku harus bangkit, aku harus kuat. Aku yakin janji Allah itu pasti, aku tak malu datang ke rumah rumah orang menawarkan kue yang aku buat. Walaupun saat itu anak‐anak tak bisa memakai pakaian baru pada hari raya, namun masih bisa shalat Idul Fitri berempat di masjid dengan gembira. Aku sangat bersyukur anak‐anakku saling menyayangi. Aku tak pernah merasa sendiri karena anak‐anakku selalu ada untukku. Mereka tak malu membantuku berjualan pakaian di pasar, bahkan tak jarang kami datang kerumah rumah orang menawarkan dagangan, panasnya matahari yang menyengat, atau terpaksa menahan lapar karena memang tak ada yang bisa kami makan saat itu. Semua itu membuat kami menjadi tegar. Alhamdulillah, segala puji bagi Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kejujuran yang selalu kami utamakan dalam berdagang, perlahan tapi pasti membuat pelanggan kami terus bertambah, hingga kini kami bisa memiliki toko grosir pakaian sendiri. Setelah 15 tahun telah berlalu, kini Zaki sudah meneruskan sekolahnya di Madinah dengan beasiswa. Qonita masih mengabdi di pesantrennya, sementara Abdullah yang 208 | Yossilia, dkk.
baru selesai pendidikan di pesantren, berkeinginan seperti masnya bisa belajar di Madinah, dengan syarat kalau Abdullah melanjutkan ke Madinah, Mbak Qonita harus pulang menemani ummi di rumah. Sungguh manusia adalah makhluk yang diciptakan untuk beribadah kepada Rab‐Nya, menerima dan menjalankan apa yang telah ditetapkan‐Nya dengan penuh ikhlas dan kesabaran, walaupun terkadang kita butuh waktu untuk semua itu. Di balik semua cobaan hidup yang Allah berikan, ada hikmah yang dapat membuat kita menjalani hidup yang fana ini dengan lebih baik. Tidak ada yang pantas disombongkan dalam hidup ini, karena semuanya dapat hilang dengan sekejap, karena tidak ada yang abadi dalam dunia ini. Hargailah apa yang sekarang telah Allah anugerahkan kepada kita, jangan sampai kita merasakan sesuatu itu berharga setelah kita kehilangan. Kita boleh menangis saat kita terpuruk, saat dunia ini terasa gelap, saat kita kehilangan arah, namun jangan lupa untuk segera bangkit, berjuang kembali, buang rasa takut itu, karena kita memiliki Robb yang Maha Pengasih dan Penyayang, Satu harapan dan doaku yang belum terwujud, selalu aku sampaikan di setiap sujudku, “Semoga kita berempat bisa berkumpul lagi sama abi di jannah Allah Azza Wajalla, ummi merindukan kebahagiaan yang dulu pernah kita rasakan, namun kali ini kebahagiaan yang abadi. Aamiin.” Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 209
Tentang Penulis Tri Lestari terlahir dikota Palembang, 30 Maret 1983. Penulis menyelesaikan pendidikan di SMK N 1 palembang pada tahun 2002 dan alumnus FKIP Universitas PGRI Palembang Jurusan Pendidikan Matematika angkatan tahun 2004. Kini penulis mengabdikan diri sebagai seorang guru di Yayasan Pendidikan An Namiroh Pekanbaru sejak tahun 2010 dan diamanahkan menjadi kepala sekolah di Tk. An Namiroh 9 Tambang mulai tahun 2016. Selain itu ia juga merupakan seorang ibu yang dikaruniakan dua orang anak, pertama pangeran yang telah beranjak remaja bernama Usamah Zaki Abdullah, kedua seorang putri kecil bernama Fatimah, kisah ini merupakan karya kedua dari pengarang yang dipersembahkan untuk untuk semua, semoga dapat memberikan manfaat. Penulis dapat di hubungi di akun FB “Ummi Usamah” ataupun di email [email protected] 210 | Yossilia, dkk.
Selalu Ada Harapan Oleh: Tina Murdiati, S.Pd. H idup memang tidak selalu indah bagi Laila. Namun selama matahari dan bulan masih silih berganti menerangi bumi, selalu ada harapan. Laila mempercepat ayunan sapu yang ada di tangannya. Pagi ini memang terasa agak melelahkan. Menyapu taman kampus yang sangat luas dengan tergesa‐gesa membuat napasnya terengah‐engah. Kerja part‐time sebagai cleaning service di kampus ini dilakukannya untuk menambah penghasilan. Walaupun kuliah nonreguler hanya pada hari Sabtu dan Minggu saja, terkadang ia kewalahan juga. Laila duduk di bawah pohon untuk meluruskan kakinya. Diteguknya air putih yang dibawanya dari rumah. Seperti air sungai sejuk yang mengalir membasahi kerongkongannya. Area parkir sudah mulai padat. Ada mobil yang terlihat kesulitan untuk keluar. Laila berdiri dan berjalan menghampiri mobil itu. Membantu memberikan aba‐aba agar ia dapat mengeluarkan mobilnya. “Kiri, kiri, sedikit lagi. Ops... Ya cukup. Maju dikit.” Masih dengan berpakaian lapangan sebagai cleaning service, topi lebar dan masker di muka, Laila terlihat percaya diri seperti tukang parkir profesional. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 211
“Toh takkan ada orang yang mengenalinya dengan pakaian seperti ini,” pikir Laila dan yang terpenting ia dapat menolong. “Terima kasih Mbak,” kata si pemilik mobil sambil membuka kaca mobilnya. Laila mengacungkan jempolnya, mobil berlalu. Lailapun melanjutkan aktivitasnya tapi ada map plastik tergeletak di area parkir. Laila mengambil map itu dan melihat ke sekeliling, tak ada seorangpun yang dapat ditanya. Laila segera membuka map itu. Di dalam map itu ada beberapa berkas atas nama Dr. BAKAT ALAMSYAH, passport dan dua buah ATM. “Sembrono sekali orang ini, meletakkan ATM‐nya sembarangan. Mungkin tadi ia terburu‐buru makanya tak menyadari mapnya terjatuh.” Laila mengambil telepon genggamnya. Memasukkan nomor handphone yang tertera di berkas itu tapi baru saja hendak menelepon, hapenya sudah mati karena batereinya habis. Laila berjalan memasuki lobi rektorat untuk mengecas hapenya. Dengan seragam cleaning service dan masker dimuka, Laila duduk di lobi untuk mengecas hape. “Permisi ya Mbak,” katanya berbasa‐basi pada beberapa mahasiswi yang sedang mengobrol di lobi. Mereka melirik ke arah Laila dan seseorang memberikan komentar. “Penting banget ya Mbak sampai harus meninggalkan tugas,” katanya sedikit sinis. Laila mengangguk. Tak dihiraukannya tatapan mahasiswi itu. “Mungkin dia terganggu dengan pakaian cleaning serviceku ini,” pikir Laila. 212 | Yossilia, dkk.
Laila mulai menelepon nomor yang ada di berkas yang ditemukannya tadi. Panggilan pertama nomor sibuk. Panggilan kedua masih sibuk. Panggilan ketiga baru diangkat oleh seseorang. “Assalamualaikum, Pak. Saya Laila. Bisa saya berbicara dengan pak Bakat Alamsyah?” Laila sedikit gugup menelepon seseorang yang belum dikenalnya. “Ya, saya sendiri, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” jawab seseorang itu seperti terburu‐buru. “Saya menemukan map plastik yang isinya berkas‐berkas atas nama bapak yang ja......” “Allahuakbar. Alhamdulillah. Di mana Mbak? Bisa saya ambil sekarang?” jawabnya setengah berteriak. “Tentu, Pak. Saya tunggu bapak di lobi rektorat kampus UR. Assalamualaikum Pak.” “Waalaikumsalam. Terima kasih, Mbak. Saya segera ke sana.” Percakapan terhenti. Laila sedikit lega. Duduk menunggu hampir setengah jam dengan pakaian seragam lapangannya tak membuat Laila merasa risih walaupun beberapa pasang mata yang lewat memperhatikannya. Seorang pria paruh baya memasuki lobi rektorat. Dengan memakai kemeja coklat rapi terlihat seperti dosen atau mungkin pejabat. Dia berhenti sejenak seperti mencari seseorang lalu menelepon. HP Laila berdering. Seseorang yang ditunggunya sudah sampai. “Ya, Pak. Saya yang duduk di sudut ruangan sedang mengecas HP beberapa meter dari bapak.” Tanpa basa‐basi, Laila mengarahkan bapak tersebut untuk menemuinya. Bapak itu tersenyum dan mengulurkan tangannya. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 213
“Ooo, Mbak ini kan yang menolong saya mengeluarkan mobil dari area parkir tadi pagi. Saya Bakat Alamsyah. Panggil Pak Alam saja.” “Saya Laila, Pak.” Mereka pun duduk. “Mohon maaf Pak, bisa saya melihat kartu tanda pengenal Bapak untuk mencocokkan dengan berkas yang saya temukan tadi?” Laila langsung ke inti pertemuan. Bapak itupun kemudian mengeluarkan dompet dan mengambil KTP‐ nya dan memberikan pada Laila. Laila mencocokkan dengan paspor yang ada di dalam map. Cocok. “Ini Pak, mapnya memang punya Bapak. Tapi periksa dulu isinya apakah ada yang hilang.” Laila menyodorkan map yang ditemukannya di area parkir tadi. Lalu bapak itu mengeluarkan isi map. Beberapa lembar berkas, passport dan dua buah ATM. “Terima kasih banyak, Mbak. Saya tadi sudah kalut juga tanya pada beberapa staf saya apakah ada map saya ketinggalan di kantor. Tapi ternyata Allah menolong saya lewat Mbak Laila. Mbak Laila memang kerja di sini tiap hari?” tanya bapak itu tanpa peduli pada beberapa orang mahasiswa yang memandang dan menegurnya. “Iya Pak.” Laila menjawab sambil mengangguk. Sepertinya bapak ini bukan orang sembarangan di kampus ini. Beberapa orang dosen yang masuk ke ruang rektorat menyalami Pak Alam dan mereka berbincang‐bincang sebentar. “Pak Alam, saya permisi dulu. Masih ada pekerjaan yang harus saya kerjakan.” Laila meminta izin agar bisa keluar dari suasana yang kurang cocok untuk dirinya. 214 | Yossilia, dkk.
“Mbak Laila, bisa maskernya dibuka? Biar saya kenal kalau ketemu Mbak Laila di jalan.” Pak Alam menyadarkan Laila dari kealfaannya. “Jadi dari tadi aku masih memakai masker menutupi mulutku. Saat berbicarapun aku tak menyadarinya. Tak sopannya diriku berbicara masih dengan menggunakan masker.” Laila menyesali dirinya. Dibukanya maskernya sambil meminta maaf pada Pak Alam. Pak Alam tertawa melihat Laila yang tersipu malu. “Lhoo. Mbak inikan yang bekerja di ruang dekanat FEKON?” seorang dosen yang berbicara dengan Pak Alam menatap Laila kaget. “Beliau ini, gadis yang jujur dan sangat baik Pak Alam. Barang‐barang yang tertinggal di meja kerja tidak pernah hilang. Saya pernah ketinggalan dompet dan cincin di meja kerja saya, ya beliau ini yang langsung menelepon saya dan saya ambil keesokan harinya. Mbak Laila ini tugas di ruang dekanat FEKON setiap sore hari Senin sampai Rabu.” Bapak itu menyalami tangan Laila dengan ramah. “Bapak terlalu berlebihan memuji saya. Itu sudah lama, tapi Bapak masih ingat.” Laila tak dapat menyembunyikan rasa gembiranya. Tak banyak pejabat yang mau mengingat hal‐hal kecil yang dilakukan orang lain untuknya. “Sekali lagi terima kasih banyak ya, Mbak Laila. Ini kartu nama saya. Nomor HP Mbak Laila sudah saya simpan.” Pak Alam memberikan kartu namanya pada Laila. Laila mengucapkan assalamualaikum dan berlalu dari lobi rektorat. Beberapa pasang mata memandang dan tersenyum padanya. Entah apa artinya, Laila tak peduli. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 215
Sampai di rumah, Laila merebahkan badannya di kamar. Terbayang pekerjaannya selama ini. Setiap hari Senin sampai Rabu jam 07.30‐12.00 Laila bekerja disebuah SMP negeri menjadi tenaga tata usaha honor komite. Jam empat sore, di saat semua pegawai di ruang dekanat FEKON pulang, ia mulai menyapu dan membersihkannya. Hari Jumat pagi ia bertugas membersihkan halaman rektorat, menyapu dedaunan yang berguguran di tanah. Pada hari Sabtu dan Minggu, ia ikut kuliah nonreguler bersama mahasiswa yang semuanya sudah bekerja. Sudah dua tahun ia menjalani peran ini. Mungkin orang yang melihatnya merasa kasihan dan ada yang mencibir. Tapi Laila selalu optimis. Seperti saat Laila memutuskan untuk ikut kuliah sambil bekerja, beberapa tetangga melarangnya. “Gak usahlah Laila. Kuliah nonreguler itu mahal biayanya. Kasihan ibumu, dapat dari mana untuk bayar uang semester. Gajimu berapalah, honor komite di sekolah kan gajinya tiga bulan sekali baru dibayar.” “Iya Laila, daripada putus di jalan, kan sayang duitnya,” timpal ibu yang satu lagi. Di sekolah tempat Laila bekerja, suasananya berbeda. Laila merasa nyaman bekerja walaupun gaji tak pasti kapan dibayarkan. Suasana kekeluargaan yang erat membuat Laila betah. Kepala sekolahnya orang yang disiplin tapi juga penuh toleransi. Ada Pak Rio, wakil kepala sekolah yang masih muda tapi berwibawa. Karena motivasi dari beliaulah Laila mengikuti kuliah nonreguler ini. Mereka banyak memberikan dukungan. Mulai dari nasihat hingga solusi keuangan. Nah yang kedua ini, Laila harus berurusan dengan bendahara 216 | Yossilia, dkk.
sekolah atau petugas koperasi. Tidak itu saja, laptop yang dipakai untuk mengerjakan tugas‐tugas perkuliahan pun punya sekolah. Saat guru yang sudah sertifikasi dananya cair, ada kebiasaan makan bersama di sekolah. Beberapa guru sering memesan nasi bungkus untuk acara makan bersama itu. Ada juga bunda Nissa yang selalu memberikan uang lebih bila memesan nasi bungkus pada Laila. Beberapa wali kelas juga sering meminta tolong untuk membantu mengisi nilai rapor dan memberikan uang. Walaupun Laila menolaknya, mereka tetap memaksa. Sepertinya mereka ingin menolong Laila namun tak mau merendahkan. Lain lagi pengalaman Laila bekerja di ruang dekanat. Terkadang mereka meninggalkan barang berharga di meja kerjanya. Mungkin lupa karena terlalu sibuk. Laila merasa ikut bertanggung jawab bila ada barang yang tertinggal di ruangan ini karena setelah ruangan ini dibersihkan, ia tak tahu kapan satpam akan menguncinya. Bisa saja orang jahat masuk setelah dirinya pulang. Pernah ada dosen yang notebooknya tertinggal di meja kerja, bukan notebook sembarangan. Notebook mahal. Untung ada kartu nama di meja bapak itu sehingga bisa dihubungi nomor teleponnya. Pernah juga ada yang ketinggalan HP. Pak Darman yang tadi bersama Pak Alam di lobi rektorat tadi sudah dua kali ketinggalan dompet dan cincin akiknya. Saat itu beliau menyuruh Laila untuk menyimpan dompetnya. Keesokan harinya, saat Laila menemuinya lagi untuk mengembalikan dompetnya, ia memberikan beberapa lembar Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 217
uang seratus ribu. Tapi Laila menolak dengan halus. Uang itu memang banyak dan dia bekerja di situ sudah digaji. Mengembalikan barang yang tertinggal di ruangan itu sudah menjadi kewajibannya, jadi tak perlu lagi dia menerima imbalan. Orang tuanya selalu berpesan, biasakan jujur dimana saja karena dengan jujur kita akan selamat. Setiap hari ada saja pena yang tertinggal di meja atau terjatuh dilantai mulai dari pena biasa hingga pena mahal. Laila meletakkannya kembali di atas meja. Ada hal yang membuat Laila kagum pada pejabat di ruang dekanat ini, pernah ada seorang dekan yang mengajak makan bersama di kantin kampus. Semua pegawai cleaning service yang bekerja di ruang dekanat ditraktir makan dan minum oleh beliau. Sebagai ucapan terima kasih, katanya. “Laila.... sudah waktunya shalat Jumat?” Bapak memanggil Laila. Laila tersentak. Ia bangun dan bergegas ke tempat bapak berbaring. Bapak sudah hampir setahun tidak dapat melihat dan tidak kuat berjalan lagi. Mungkin karena faktor usia juga. Operasi katarak yang dilaluinya beberapa bulan kemarin hasilnya tidak menggembirakan. Tapi bapak tidak patah semangat. Berjalan dengan menggunakan tongkat ke halaman samping, bapak masih kuat. Meraba‐raba tempat makanan anak ayam dan memberinya makan masih selalu bapak lakukan. Ibu yang lebih banyak bekerja di kebun sekarang. Ada tanah kosong disamping rumah dan yang punya tanah sudah mengizinkan mereka untuk bercocok tanam. Ibu menanam kacang panjang, terong, pisang, dan ubi kayu di sana. Kami bisa mengambil hasilnya dan tanah itupun bersih tidak semak 218 | Yossilia, dkk.
sehingga si pemilik tanah tidak perlu lagi membayar orang untuk membersihkan tanahnya. Terkadang ibu mengantarkan beberapa sisir pisang ke rumah pemilik tanah sebagai ucapan terima kasih. Laila membimbing bapak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Orang tua itu selalu tepat waktu mengerjakan shalat walaupun saat ini sudah tidak bisa ke mesjid lagi untuk shalat Jumat berjamaah. Laila sangat kagum pada bapaknya. Perjuangannya menyekolahkan anak‐ anaknya sangatlah tak mudah. Dua orang adik Laila sekarang menuntut ilmu di pesantren kelas satu dan kelas dua Aliyah. Laila tak ingin adiknya putus sekolah. Laila dididik untuk selalu bersemangat, tidak mengeluh dalam menjalani hidup ini. Jangan tampakkan kesusahan dan kesedihan kita pada orang lain agar dikasihani. Tapi mengadulah pada Allah SWT yang Maha Pasti akan memberikan pertolongan. Seperti biasa setiap Jumat sore, Laila membantu ibunya di kebun. Memetik daun ubi dan kacang panjang. Diikat dan diantarkan ke kedai. Biasanya para ibu‐ibu sudah menunggu Laila sambil ngobrol di pos ronda tak jauh dari rumahnya. Laila mencium tangan bapak dan ibunya, berpamitan untuk berjualan. Laila menjalankan sepeda motorku dengan pelan. Dari kejauhan sudah dilihatnya para ibu‐ibu sedang mengobrol. “Sayur Bu.” Laila menghentikan sepeda motornya di depan para ibu‐ibu. “Dari tadi sudah ditunggu, baru muncul sekarang.” Bu Dewi membalas sapaan Laila sambil memilih‐milih sayuran. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 219
Laila tersenyum. Diam saja menanggapi jawaban Bu Dewi yang sedikit pedas itu. “Laila, gimana kabar adik‐adikmu? Masih sekolah di pesantren?” tanya Bu Tati. Tangannya sibuk memilih sayuran tapi sesekali melihat ke arah Laila. “Alhamdulillah, masih Bu Tati,” jawab Laila sambil tersenyum. “Itulah, ibumu milihkan pesantren yang mahal untuk sekolah adik‐adikmu, kan kewalahan sendiri sekarang bayarnya. Kamu juga ikut susahkan menanggung biayanya?” sambungnya lagi. “What? Apa aku tadi bicara seperti itu? Darimana dia bisa mengambil kesimpulan seperti itu?” rasanya Laila ingin berteriak tapi tentu di dalam hati saja. “Biasalah Bu Tati, Alhamdulillah ada aja rezeki,” jawab Laila sekenanya sambil tersenyum. “Kapan nikah Laila, umurmu sudah pantas untuk nikah lho. Apa lagi yang ditunggu? Jangan lama‐lama nanti kayak bapakmu, sudah tua tapi anak‐anaknya masih kecil. Kan susah sendiri.” Bu Astri ikut komentar. “Baru 25 tahun kan ya Laila. Masih muda. Selesaikan dulu kuliahnya, kan tinggal sedikit lagi kelar sarjananya.” Bu Nina mendinginkan suasana yang mulai memanas. “Iya Bu Nina. Terima kasih.” Laila menahan amarah yang mulai muncul. Kalau hanya menanyakan kapan wisuda, kapan nikah, mana calonnya, itu sudah biasa tapi kalau membawa‐ bawa bapak, itu yang membuat Laila emosi. Untung ada Bu Nina yang bijaksana. 220 | Yossilia, dkk.
Pagi Sabtu yang indah, rumah Laila kedatangan tamu istimewa. Pak Alam dan istrinya serta seseorang yang sudah dikenalnya, Pak Rio. Guru Fisika sekaligus wakil kepala sekolah di tempatnya bertugas. Apa hubungannya pak guru itu dengan Pak Alam? Laila bertanya‐tanya dalam hati. Laila sekeluarga berbincang‐bincang dengan tamunya di ruang depan. “Mbak Laila, Rio ini keponakan saya. Waktu bapak cerita tentang kamu. Dia sangat kenal dengan kamu rupanya. Bapak tahu ada adek kamu yang sekolah di pesantren juga dari dia.” Pak Alam memandang Rio dan Laila bergantian. “Adekmu sudah dapat beasiswa dari pesantren, jadi tidak perlu lagi membayar uang sekolah ya.” Bu Halimah, istri Pak Alam memberikan berita yang sangat mengagetkan mereka. “Alhamdulillah. Terima kasih.” Bapak dan ibu serentak bersyukur. Wajahnya masih diliputi rasa tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Laila tak sanggup berkata‐kata, rezeki yang tak terduga dari Allah melalui pak Alam sekeluarga. “Bapak, ibu dan Laila, Rio ini punya niat mulia datang ke rumah ini. Walaupun tidak pacaran, tapi Rio sudah lama mengenal Laila, dia ingin melamar Laila untuk dijadikan istri. Tapi biarlah Rio sendiri yang mengutarakan niatnya biar lebih afdol.” Pak Alam memandang Rio. Dengan santun Rio meminta maaf karena niatnya ini tentu mengejutkan bapak dan ibu Laila terutama Laila sendiri. Laila tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Matanya berbinar, hatinya tak berhenti mengucapkan syukur. Selalu ada harapan. Selalu ada cinta Allah dalam setiap keikhlasan. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 221
Tentang Penulis Tina Murdiati lahir di Pekanbaru, Provinsi Riau 1 Maret 1974 merupakan guru Bimbingan dan Konseling di SMPN 2 Bantan, Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis yang cinta dunia tulis‐menulis. Kegiatan menulis adalah hobi yang terus dikembangkannya. Buku pertamanya berjudul Entah merupakan Antologi Puisi Konselor Penyair Indonesia yang ditulis bersama beberapa orang guru Bimbingan dan Konseling. Buku kedua Lukisan Cinta dalam Pengabdian (Kumpulan Cerpen). Prestasinya sebagai Guru Berani Menginspirasi Tingkat SMP tahun 2017 yang diadakan oleh PT Erlangga menambah motivasinya untuk mengembangkan kegiatan literasi di sekolah dan hobi menulisnya. 222 | Yossilia, dkk.
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232