Malam pukul 17.00 wib Mas Iskan sampai rumah diantar oleh ojek. Kulihat raut wajahnya yang tampak lesu tapi terselip senyum manis dengan lesung pipitnya. Kusambut tangan dan menciumnya. Air hangat bercampur sedikit garam kusiapkan untuk mandi. Setelah mandi, Mas Iskan tampak lebih segar. Kami mengobrol sambil berbaring di kamar. Mas Iskan bercerita bahwa dia punya kerjaan mendadak di Jogja. Kemungkinan hanya tiga atau empat hari di rumah. Aku kecewa tapi juga bahagia, adanya pekerjaan tambahan setidaknya tabungan untuk perlengkapan anak kami nanti. Ekspresi itu tertangkap oleh Mas Iskan. Dia berjanji akan segera pulang jika urusan sudah selesai. Senyumku mengembang, tidak ada kekhawatiran saat melahirkan nanti, berharap tetap bisa ditemani suami. “Nak, Jumat Ayahmu pergi, mungkin akan pulang lewat dari HPL. Bunda khawatir ketika melahirkan nanti, Ayah gak bisa menemani. Lahirnya sebelum Ayahmu pergi ya, Nak,” ucapku sambil mengelus perut dan kurasakan anakku begerak. Kamis subuh setelah Mas Iskan pulang dari Masjid terasa mulas, makin lama semakin mulas. Akhirnya Mas menghubungi bidan desa, tetapi ternyata bidan desa tidak ditempat. Kami putuskan ke bidan desa tetangga. Mas Iskan mengantarkanku dengan Vespa merah kesayangannya. Di atas vespa, kutahan rasa nyeri yang semakin lama semakin terasa. Siapa pun untuk pertama kalinya melahirkan ingin ditemani ibunya, tetapi sayang sekali ibuku tak bisa menemani. Kakakku pun melahirkan, sehingga hanya Mas Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 143
Iskan yang berada di sampingku saat melahirkan. Penuh peluh, air mata, perjuangan yang panjang akhirnya pukul 19.15 WIB, jagoan kami lahir. Muhammad Arasyid, kehadirannya menambah rasa syukur, bahagia dan kasih sayang dari suami. Walaupun hanya dengan sebuah video call dan percakapan melalui media sosial aku merasa cukup. Tahun demi tahun kami lalui dengan bahagia, sempat terbesit dalam benakku untuk menemaninya di ibukota, tetapi dengan lembut suami menolak karena berada di ibukota bukanlah tujuan jangka panjangnya. Keinginannya untuk bertani dan berwiraswasta membuatku tetap berada di kota ini. Semenjak punya anak kami memisahkan diri dari orang tua. Dengan menyewa rumah petak yang tak jauh dari rumah kedua orang tua. Hingga tahun ketiga tabungan cukup untuk membeli sebidang tanah. Rezeki suami semakin bertambah karena ia mulai aktif di bidang penelitian. Rumah sederhana yang kami impikan akhirnya bisa kami tempati. Hal ini menambah kebahagiaan dan kecintaanku terhadap suami. Namun, ada hal yang janggal selama ini kupendam. Sungguh tak ada keraguan dengan cinta kasih sayang dan perhatiannya. Tetapi sikapnya berbeda di media sosial. Dia melarangku untuk posting foto‐foto keluarga di beranda Facebooknya. Bahkan untuk berkenalan dengan teman‐ temannya dibatasi. \"Kenapa Bunda gak boleh share foto‐foto, Yah?\" tanyaku malam itu. \"Untuk keamanan keluarga kita, Sayang. Politik itu tidak sesederhana yang Bunda pikirkan. Percayalah, Ayah 144 | Yossilia, dkk.
melakukan ini demi kebaikan kita,\" katanya sambil memeluk dan mencium keningku sebelum tidur. Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan dari sikap suami. Hanya saja handphone dan dompetnya tidak boleh kulihat tanpa seizinnya. Mulai kusadari ada yang berubah dari suamiku, Mas Iskan. *** Sejak dia hadir dalam rumah tangga kami, tiada hari tanpa pertengkaran. Aku hanya wanita biasa, sekuat mungkin menahan rasa cemburu dan berusaha tetap bersikap baik terhadap Mas Iskan. Masih terngiang saat Mas Iskan mengatakan ingin menikah lagi. Saat itu refleks aku menjerit sekuat mungkin. Tulang sepeti dilucuti, lemas. Mas Iskan memapahku ke kamar, mencoba menenangkanku. Rasanya seperti mimpi buruk. Tak pernah terbesit dalam benakku diduakan.Tak pernah sekalipun ada dia menceritakan perempuan lain. Apalagi usia pernikahan kami masih seumur jagung. \"Ayah hanya becanda, kan?” ucapku lirih saat dia membelai rambutku. Tiba‐tiba Rasyid, anakku, datang memelukku. \"Bunda cengeng. Bunda nangis dimarahin ayah, ya?\" Rasyid duduk di pangkuan suamiku. Kami berdua tersenyum, kami sepakat untuk tidak bertengkar di hadapan Rasyid. Pertanyaan itu tidak pernah terjawab hingga akhirnya perempuan itu tanpa merasa malu dan bersalah muncul di hadapanku. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 145
Bimbang Rintik hujan menemani sunyi Terdiam menahan rasa yang tak terperi Salahkah jika aku jatuh hati Seseorang di sana memberi arti Masa lalu yang datang tak bisa kupungkiri Memberikan warna yang tak bisa kau beri Haruskah kuhadirkan dia untuk melengkapi? Sementara kau takkan bisa terganti ‐pm Saat libur Mas Iskan mengajak kami jalan‐jalan ke luar kota dengan mobil barunya. Aku tak tahu jika ternyata tabungan kami sudah cukup untuk membeli mobil, karena keuangan Mas‐lah yang mengatur. “Kejutan,” begitu katanya. Perjalanan yang begitu melelahkan, kami singgah di suatu tempat untuk istirahat. \"Eh, Mbak Rere. Apa kabar?\" sapa suamiku. Kulihat dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sepertinya aku pernah melihat wajah perempuan ini. Tapi di mana ya? Perempuan berbalut gamis senada dengan jilbab yang menutup bagian atas tubuhnya mengajakku bersalaman dan menyapa Rasyid. Dia memberikan sebuah mobil‐mobilan berwarna merah. Rasyid menerimanya malu‐malu dan senyum tersipu. Hawa panas menjalar ke seluruh tubuhku, ada yang tidak wajar dengan kehadiran perempuan ini. \"Siapa, Yah?\" \"Namanya Rere, teman Ayah.\" 146 | Yossilia, dkk.
Terlintas wajah perempuan itu pada WA yang menawarkan buku edukasi anak. Tidak salah lagi, wajah itu tidak asing. Naluriku berkata dia bukan teman biasa. \"Siapa, Yah?!\" suaraku meninggi. Perempuan itu gugup dan pamit untuk memesan makanan. Malam itu, di sebuah warung bakmi terpopuler di Jogja untuk pertama kalinya hatiku teriris. Jalan‐jalan yang sejak awal kuimpikan menjadi sebuah kenangan pahit yang tak bisa kulupakan. Kurebut handphone dari suamiku dengan kasar. Rasa ingin tahu mengalahkan rasa malu berada di sekitar para pengunjung. Kami beradu mulut dan usahaku sia‐sia. Handphone itu tak bisa kudapatkan. Kucoba berlari menyusul perempuan itu, namun tak kudapati satu orang pun yang berada dalam warung. \"Sial, perempuan itu kabur!\" \"Ayah, jelaskan!! Siapa sebenarnya perempuan itu?!\" jeritku. Air mata tak terasa membasahi pipiku. Jantung berdetak lebih kencang. Kurasakan panas pada tubuhku di malam yang dingin. \"Tidak ada yang berubah, justru Ayah semakin sayang Bunda,\" kata itu terucap begitu saja saat perjalanan pulang. Tangannya fokus menyetir namun sekilas kulihat dia menatapku. \"Siapa perempuan itu, Yah? Jujur sama Bunda,\" kataku lemah. Tenagaku terserap habis saat kucoba memberontak, menjerit dan memukul apa saja yang ada. Hingga badanku Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 147
lemas dan Mas Iskan memapahku ke dalam mobil. Entah bagaimana Rasyid saat itu, akal sehatku hilang. \"Rere akan jadi partner Bunda. Dia akan bantu Bunda untuk menggali potensi yang selama ini terpendam,\" jelasnya. \"Bunda gak butuh partner!\" lirihku. Hening. Rasyid tertidur di pangkuanku. Kuciumi wajah polosnya. Lima tahun dengan susah payah kubesarkan dia tanpa didampingi suami.Tak kusangka balasannya seperti ini. Perempuan itu menjadi kado pernikahan kami yang kelima. Apa salahku? Apa kurangku? Kenapa harus menghadirkan dia? Teringat kejadian satu tahun yang lalu. Mas Iskan memang pernah bercerita tentang temannya yang menjanda selama delapan tahun dan membesarkan anaknya seorang diri. Perempuan itu ditinggal pergi oleh suaminya tanpa sebab. Dia bekerja dan ekonominya sudah mapan. Dia membutuhkan seorang ayah untuk anaknya. Saat itu, aku tidak tertarik mendengar kisahnya. Hingga terucap keinginan untuk membantu perempuan itu dari bibir Mas Iskan. \"Ayah akan nikahi dia, dia butuh pelindung. Butuh bantuan Ayah.\" Seperti tersambar petir mendengar pengakuan Mas Iskan. Ku pikir dia akan mengurungkan niatnya setelah aku pingsan dan menyatakan ketidaksetujuanku. Ternyata selama satu tahun dia telah resmi menikah siri dengan perempuan itu. Mas Iskan diam. Aku diam. Ini tidak mudah, kutahan perih dan sesak di dada. Pembicaraan kami menggantung. Hingga esok hari Mas Iskan harus kembali ke ibukota untuk bekerja. 148 | Yossilia, dkk.
**** Menurut orang‐orang wajahku cantik, tinggi dan kulitku putih. Hanya saja badanku kurang berisi. Apalagi setelah tahu Mas Iskan menikah diam‐diam. Timbangan lambat laun bergerak ke kiri. Benar, memang tidak ada yang berubah dari sikap, perhatian, jatah uang bulanan dan jadwal pulang Mas Iskan. Bahkan dia lebih sering menelepon sekedar menanyakan kabar kami. \"Bunda, maem yang banyak ya,\" begitu pesannya setiap mengakhiri percakapan. Dari segi finansial kami cukup, rumah, tanah, mobil, dan tabungan pendidikan untuk Rasyid sudah dipersiapkan. Apalagi setelah Mas Iskan menjadi direktur pada sebuah lembaga riset, perekonomian kami semakin membaik. Tapi, haruskah menikahi perempuan itu untuk menolongnya? Berkali‐kali kucoba gali informasi kenapa dia menikah lagi? Kenapa harus menolong dengan cara menikah? Kenapa di usia pernikahan yang masih seumur jagung ini dia mendua? Bagaimana jika keluargaku tahu? Tetangga? Teman‐teman? Padahal kita jalani pernikahan ini jarak jauh. Aku di sini berjuang merawat, mendidik anak tanpa hadirmu. Pernahkah kau bayangkan bagaimana perasaanku, Mas? Aku di sini berjuang untuk kita. Tapi kenapa perempuan itu ikut menikmatinya? Benarkah pernikahanmu karena mengikuti sunah rasul? Sesuai dengan syariat agama kita? Berbagai pertanyaan berputar‐putar di otakku. Terkadang Rasyid menjadi sasaran kemarahanku. Saat dia tertidur pulas, kubelai rambut dan kuciumi pipi halusnya. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 149
\"Maafkan Bunda, Nak. Bunda lalai, bunda salah. Bunda gak bisa membuat Ayah hanya milik kita.\" Air mata menetes dari kedua sudut mataku. Entah kenapa air mata ini tak ada habisnya mengalir. Aku hanya perempuan lemah, tak berdaya melawan. Ingin sekali kembali ke kota itu, mencari tahu siapa perempuan itu. Mencari tahu keberadaannya, siapakah dia hingga Mas Iskan tega menduakanku. Mas Iskan tak pernah mau menanggapi pertanyaanku ketika emosi, maka kini kutenangkan diri, kutahan ego dan emosiku. Mengalah untuk mendapatkan informasi tentang perempuan itu. **** \"Rere Faley\" Sebuah nama tertera di beranda FB, disitu tertulis tambahkan teman. Ada satu orang teman yang sama, teman dekat Mas Iskan. Hatiku berdesir, detak jantung bergerak lebih cepat, aliran darah mengalir terasa panas. Segera kubuka profil itu. Privat. Tak ada informasi apapun yang kudapat. Hanya sebuah foto profil wanita berjilbab sedang memangku anak kecil. Persis seperti foto profil yang ada di WA waktu itu. Segera kubuka Instagram, mencoba mencari nama yang sama. Not found. Ternyata dia tidak menggunakan Instagram. Kucoba membuka Twitter. Kosong. Tanganku bergetar, kali ini kucoba membuka google. Kuketik namanya. Aku tidak yakin, tapi setidaknya kucoba. 150 | Yossilia, dkk.
Kusipitkan mataku memastikan nama itu, benar. Itu dia, Rere Faley. Di situ tertulis sebuah sekolah tinggi swasta yang menyebutkan namanya. \"Ya Allah, dia seorang hafizah. Seorang pembina pesantren putri.\" Kuklik artikel yang menuliskan tentangnya. Ternyata dia seorang dosen dan pembicara talk show di bidang keagamaan, khususnya tentang Fiqih Wanita. \"Bagaimana mungkin seorang yang muslimah yang taat mau menikah siri secara diam‐diam?\" batinku. Gemuruh di dadaku terus berkecamuk, ingin sekali rasanya segera menghubungi Mas Iskan. Kuambil napas dalam‐dalam dan mencoba menenangkan diri. Enam bulan berlalu belum ada seorang pun keluarga yang tahu masalah ini. Tapi di belakangku ada seseorang yang membantuku dari keterpurukan. Seseorang yang kukenal melalui media sosial melalui postingannya. Lelaki yang baru saja kukenal tapi dia sangat memahamiku, memberikan nasihat, dan memberikan semangat untuk melanjutkan hidup. M. Fatih. Aku terpaku pada postingannya. Seakan kata‐ kata itu tertuju untukku. Kupikir dia menyindirku, tapi setelah kubuka profilnya ternyata aku tak mengenalnya sama sekali. Dari informasi yang tertulis di FBnya, dia adalah psikolog. Tak menunggu lama, segera kuketik pesan untuknya. Entah dorongan dari mana aku mampu mengetik pesan sebanyak itu, semua rasa kutumpahkan di sini. Berharap mendapat secercah cahaya untuk menyelesaikan masalahku. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 151
Kulihat Rasyid masih asyik bermain kereta yang dibelikan ayahnya bulan lalu. Terlihat sebuah tas di sudut pintu, akhirnya aku ragu untuk pergi. Benar, masalah bukan untuk dihindari, tetapi dihadapi. Iya, aku harus sanggup menghadapinya. Allah, beri petunjuk‐Mu. Pesan masuk, dari Fatih. Kubaca dengan cepat, memahami masing‐masing uraian yang dia jelaskan satu persatu.Di akhir kalimat dia memintaku membaca Al‐Qur'an Surat Al‐Baqarah 3 ayat terakhir dan Surat Ar‐Rahman. Azan magrib berkumandang, segera ku ambil air wudhu. Mengadu pada Sang Pencipta, mungkin Fatih benar, Allah cemburu. Mungkin selama ini kasih sayangku pada Mas Iskan berlebih, aku terlalu memujinya, membanggakannya, mengandalkannya. Lirih kulantunkan ayat‐ayat suci yang selama ini jarang kulakukan. Tetesan air mata tak terbendung lagi. Isak tangis memenuhi ruang salat yang sempit ini. Berulang‐ulang kubaca hingga perasaanku sedikit lega. Terdengar nada panggilan, kuambil HP dari atas meja. Suara laki‐laki yang kusayang dan kubenci, entah rasa ini seperti apa. Marah, kecewa, sakit, perih, luka, benci, namun aku sungguh mencintainya. Tidak ada yang berubah, iya tidak ada yang berubah. Suamiku, bagaimana kau melakukan ini? Sayang dan kasihmu masih sama, tapi ada wanita lain yang kau berikan perhatian juga. \"Bunda...,\" suara Mas Iskan mengagetkan imajinasiku. Salam darinya segera kujawab, suaraku 152 | Yossilia, dkk.
kuusahakan senormal mungkin, aku tak ingin dia tahu aku sedang menangis. \"Besok Ayah pulang, mendadak ada pertemuan di sana.\" \"Oh, iya.\" jawabku singkat. Biasanya aku lebih cerewet, kali ini tidak. Seharusnya Mas Iskan paham, ini tidak mudah bagiku. Tapi anehnya dia selalu bersikap biasa saja, seolah tak pernah terjadi apa‐apa. \"Mungkin ini jalan Allah, agar Mbak Nisa gak terjerumus dalam prasangka yang semakin mengotori hati. Tahajud, minta ketenangan Mbak. Kontrol emosi dan coba bicara baik‐ baik saat suami pulang.\" Pesan Fatih mengakhiri percakapan kami malam ini. Iya, namaku Khoirunnisa. Usiaku belum sampai kepala 3 dan aku harus berbagi suami. **** Sabtu malam, Mas Iskan duduk santai membaca buku dan menikmati kopi di teras depan. Sepertinya suasana hatinya sedang baik, kucoba untuk berbicara dari hati ke hati. \"Ayah itu menikah, Bunda. Bukan pacaran, ayah tahu aturan. Ini baik untuk Bunda juga.\" Baik dari sisi mana? Batinku berontak namun kuusahakan bersikap biasa. Teringat ucapannya, perempuan itu dia hadirkan untuk membantuku. \"Bukankah ada Ayah yang bisa mendidik Bunda agar berkembang? Kenapa harus menghadirkan perempuan itu? Haruskah melalui pernikahan?\" Mas Iskan diam. Kupegang lembut tangannya, kutatap wajah yang kini terlihat lebih bersih. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 153
\"Dia itu mandiri, pintar, dan sudah mapan. Dia akan jadi partner yang baik. Bunda bisa mengembangkan bakat dengan maksimal.\" Aku tertunduk. Jauh‐jauh hari sebelumnya Mas Iskan memintaku untuk lebih rajin membaca, berorganisasi, bercocok tanam, dan hal positif lainnya. Oke, aku memang bersalah. Tidak memenuhi harapannya, tapi haruskah seperti ini? Mana tanggung jawabnya sebagai suami untuk mendidik istrinya? Ahh ... Mas, kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu, organisasimu dan juga teman‐temanmu. Aku kembali ke kamar, air mata yang kutahan sedari tadi tumpah. Perih, menyayat hati rasa sakit ini. Aku memang tidak sempurna, benarkah ini salahku? Atau ada hal lain di balik semua ini? Siapakah dia? Dia yang telah mengambil separuh hatiku. Kuambil handphone, kucoba mencari kontak di WA. Kuketik pesan untuk perempuan itu. Telah lama ku tahan rasa ingin tahu ini. Bismillahirrahmanirrahim, semoga Allah membantuku, mengurai benang merah ini. Salamku dijawab. Semoga ini awal yang baik, batinku. Segera kukirim sederet pertanyaan yang selama ini mengganjal dalam hati. Pertanyaan‐pertanyaan yang Mas Iskan tidak pernah mau menjawabnya. \"Alasan paling mendasar hanya mas yang mengetahui. Saya tidak bisa menjawab dengan pasti apa yang mendasari beliau memutuskan poligami. Artinya, mas itu bukan pribadi berkarakter Firaun yang tidak mau menerima kebenaran. Saya berpikir positif sejak beliau menyatakan 154 | Yossilia, dkk.
berpoligami itu artinya beliau memahami segala resiko tuntutan syar'i, tuntutan psikologi, dan tuntutan ekonominya.\" Kubaca isi pesannya dengan hati berdebar dan cemas, khawatir perempuan itu melapor pada Mas Iskan. Dengan cepat dan cekatan jari‐jariku lihai bergerak memilih kata‐kata untuk membalas pesan perempuan itu. Entah dari mana keberanian ini muncul. Centang dua berwarna biru. Tertera tulisan sedang mengetik di profilnya. Mataku tetap fokus pada layar. Beberapa kali WA dari sahabat kuabaikan sementara waktu. \"Secara kapasitas kafaah syar'i Mas adalah pribadi yang hanif untuk menerima kebenaran. Apapun itu bentuknya, yang pertama yg harus dipahami adalah memang benar bahwa keputusan poligami harus disertai oleh ilmu/pemahaman yang baik. Jika dibandingkan dengan para ulama atau para guru di negeri ini, jelas Mas bukanlah yang memenuhi kapasitas itu.” Tertanya perempuan itu sadar Mas Iskan belum layak untuk poligami, tetapi nekad menerima. Kulanjutkan membaca pesannya dengan hati bergemuruh, geram. Ingin rasanya kuteriakkan, “PELAKOR!” di depan wajahnya. “Saya memahami ini sejak awal. Hanya saja bagi pribadi, beliau memiliki keinginan untuk belajar memahami ilmu poligami secara benar dan jauh lebih baik dibanding jika tidak ada keinginan sama sekali untuk belajar. Saya juga sudah selalu mendorong agar beliau mengalokasikan diri dan waktu untuk kembali membuka diri belajar pada guru‐guru baik Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 155
secara langsung ataupun tidak langsung, tetapi Mas pun tidak keberatan untuk ini.” Perempuan seperti apa ini? Lihai sekali dia bermain kata. Seolah apa yang mereka lakukan adalah kebenaran. Di mana hati nuraninya sebagai sesama perempuan? Bagaimana pun juga perempuanlah yang memutuskan, sekuat apapun keinginan Mas Iskan jika dia tidak mau, pernikahan siri ini tidak akan terjadi. Kuatur napas dalam‐dalam, kulihat Mas Iskan masih asyik bermain dengan Rasyid sementara aku di dalam pun berpura‐ pura mengerjakan sesuatu. Kulanjutkan membaca pesan‐ pesan yang perempuan itu kirim. “Ketika pernikahan poligami ini telah dilaksanakan, telah dijalani. Maka tugas kita selanjutnya adalah memenuhi hak Allah untuk beribadah sebaik mungkin lewat pernikahan ini. Bahwa ujian kesabaran itu akan dirasakan oleh kita bertiga itu pasti. Pernikahan monogami saja memerlukan kesabaran dan keikhlasan, apalagi pernikahan poligami. Akan lebih harus sabar dan ikhlas lagi.\" Perempuan itu tidak merasa bersalah telah menerima poligami tanpa restu istri. Aku paham, memang tidak membutuhkan restu istri, tapi apakah akan berkah pernikahan dengan cara seperti itu? Penjalasannya yang begitu panjang membuatku terpancing untuk tahu lebih dalam, sebenarnya apa alasan yang mendasar mereka melakukan ini? \"Apa yang membuat Mbak Rere mau dinikahi secara siri? Padahal Mbak paham menurut syariat, syarat untuk menikah 156 | Yossilia, dkk.
lagi belum terpenuhi oleh Mas Iskan? Kami LDR lho Mbak, nafkah lahir dan batin belum cukup.\" Kuharap dengan kata‐kata itu dia merasa bersalah, minta maaf dan mundur dari pernikahan siri. Walaupun aku paham, dalam agamaku tidak boleh mendoakan hal yang buruk. \"Sebenarnya saya bersedia membantu tidak sebagai istri tetapi sebagai teman, beliau boleh memperkenalkan saya pada istri dan saya akan membantu untuk menjadi pendengar dan memberikan solusi yang diperlukan. Tetapi saat itu Mas mengatakan bahwa beliau tidak akan menceritakan apapun tentang kekurangan rumah tangganya, sehingga dengan menjadi bagian keluargalah perbaikan itu akan dimulai. Akhirnya saya memutuskan menerima semua dengan proses panjang.\" Belum masuk ke dalam otakku mencerna pesannya, satu pesan lagi muncul di layar. \"Empat belas tahun lalu, Mas menghitbah saya. Namun, setelah itu saya menghilangkan jejak. Tahun 2013 Mas menemukan nomor hape saya dan menyatakan poligami.\" Deg. Tiba‐tiba jantungku berhenti sepersekian detik. Empat belas tahun lalu? Teman kuliah Mas‐kah? Ada apa dengan mereka dulu? Cinta masa lalukah? Pikiranku berkelana, teringat masa‐masa perkenalan dulu. Masa‐masa kami bersahabat dan berbagi cerita. Seingatku, tak pernah Mas Iskan menyebutkan nama perempuan itu. Teruraikan benang merah yang selama ini kucari. Pernikahan mereka terjadi karena ada masa lalu. Andai bukan perempuan itu? Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 157
“Ya Allah, apakah benar ini takdirku? Kenapa harus aku?” Sanggupkah kubertahan?” rintihku. Malam itu tak dapat kupejamkan mata. Dadaku bergemuruh, seolah Gunung Merapi mau meletus. Seperti perasaanku, ingin rasanya kusampaikan pada Mas Iskan, aku tahu yang sebenarnya terjadi. Tapi sekali lagi, aku tak berdaya. Aku takut dia marah. Sekuatku, semampuku bertahan, memperjuangkan pernikahan ini. Pertengkaran lagi, tak bisa terbendung rasa kecewa, marah, sedih, jengkel yang bersarang dalam tubuh ini. Terlontar ucapan untuk mundur dan meminta Mas Iskan untuk melepaskanku, tapi Mas Iskan tetap bersikeras mempertahankan kami berdua. “Tanpa poligami pun semua akan dibagi. Hanya saja Bunda tidak merasa, kenapa? Karena tidak ada kebencian. Misalkan kita sedekah, berbagi, bukan berarti kita harus kaya dulu, kan? Kita kehilangan tetapi kita rela berbagi maka lahirlah kebahagiaan di hati Bunda. Begitu juga sebaliknya jika Bunda membenci.” “Bunda belum rela, tidak semudah itu.” Bulan demi bulan kulalui, selalu ada saja pertengkaran sepele. Apalagi setelah ternyata perempuan itu telah dikenalkan dengan mertua dan adik‐adik iparku. Sikap mereka terlihat baik pada perempuan itu. Beberapa kali kucari informasi dari Wiwin, adek Mas Iskan. Melalui pesan‐pesan Wiwin menceritakan perkenalan mereka dan alasan‐alasan yang diutarakan oleh Mas Iskan terkait dengan pernikannya yang dilakukan secara siri. 158 | Yossilia, dkk.
Suatu malam saat Mas Iskan pulang dalam kondisi lelah dan tertidur. Kulihat sorot lampu handphonenya berkedip tanda pesan masuk. Segera kuambil HP yang berada di samping Mas Iskan, perlahan kubuka isi‐isi pesan. Mataku tertuju pada sebuah nomor yang kukenali, tanpa nama. Cepat kubaca pesan yang saling berbalas. Dari situ aku tahu, ternyata perempuan itu tidak sekuat yang kukira. Dia menutupi kelemahannya dengan kata‐kata, dia mencoba membela diri dengan kata‐katanya, menguatkan diri dengan kata‐katanya. Ternyata dalam pesan itu dia berkata bahwa poligami ini busuk. Aku sedikit lega setelah membaca beberapa pesan bahwa di meminta cerai. Dia tidak terima dan merasa di hina dengan beberapa pesanku. Namun seketika nyaliku ciut setelah membaca pesan hingga bawah. Kali ini dia menuntut untuk menikah sah secara resmi. Ada batasan tanggal yang mereka sepakati, dan itu tinggal hitungan hari dari sekarang. “Segera putuskan, demi janin yang sudah berada di rahimku ini.” Melihat pesan itu sontak membuat jantungku berdetak lebih kencang. Aku belum sanggup, belum. Tidak semudah itu menerima perempuan itu. Lima tahun pernikahan kami tidak seatap. Bagaimana bisa berbagi? Bagimana jika keluarga dan teman‐temanku tahu? Kulihat balasan‐balasan dari Mas Iskan pun seolah mempertahankan dia. Kukembalikan HP itu pada tempatnya. Mencoba menenangkan diri menunggu besok pagi. Cepat atau lambat aku harus berdiskusi tentang ini. Apapun resikonya nanti. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 159
Pagi hari seperti biasa kubuatkan kopi pahit kesukaannya. Ditemani dengan ubi rebus dan beberapa makanan ringan Mas Iskan duduk diteras sambil membaca koran. Melihat situasi ini kuurungkan niatku. Biarlah kupendam apa yang sudah kuketahui. Entah sampai kapan aku berpura‐pura tidak tahu yang terjadi. Aku belum siap menerima, apalagi menghadapi persidangan dan menandatangani persetujuan poligami. Sejak hari itu, kukubur dalam‐dalam nama Rere dari hidupku. Mencoba menjalani aktivitas seperti biasanya. Bersikap manis dan lembut terhadap Mas Iskan. Iya, tidak ada yang berubah. Andai aku tak tahu, aku tidak akan merasa ada yang berubah. Inilah takdirku, takdir yang harus kujalani, kulewati, hingga Allah memberikan kebahagiaan pada waktunya tiba. Kini aku lebih fokus beribadah, semua kuserahkan kepada‐Nya. Tempatku mengadu, bergantung, dan berserah diri. Tak ada satu daun pun yang jatuh tanpa izin‐Nya. Begitu pun dengan apa yang terjadi dalam hidupku. Semua sudah tertulis di Lauhul Mahfuz. 160 | Yossilia, dkk.
Penerimaan Ikatan janji suci yang kau tawarkan Untaian kata mesra yang kau ucapkan Sikapmu yang sopan dan menawan Membuat hidupku penuh dengan kebahagiaan Jarak memisahkan tak jadi beban Kujalani dengan rasa senang Hanya mengharapkan rida Tuhan Menjaga dan merawat anak yang kulahirkan Benih cinta akan adanya pernikahan Untukmu di sini kuberjuang Tak terasa lima tahun sudah pernikahan Harapanku kelak bersama menuju Jannah Kasih dan sayang kucurahkan untukku seorang Walau aral melintang kutetap bertahan Tapi kini Tak kusangka kau membawanya datang Kau kenalkan sebagai temanku berjuang Membuat duniaku tergoncang Kiamat sugra kau berikan Aku bisa apa? Aku hanya wanita lemah yang harus menerima kenyataan Kebahagiaan anak menjadi alasan Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 161
Ah... Sudahlah Mungkin ini memang takdir Tuhan Andaikan aku diberi kesempatan Andaikan aku diberi pilihan Andaikan aku diberi kekuatan Tak ada satu pun perempuan yang ikhlas diduakan, kawan Perih Teriris perih dalam hati yang paling dalam Goresan itu nyata Tapi aku bisa berpura‐pura baik‐baik saja Demi menjaga yang sudah kita bina Dan kehormatan keluarga Semoga surga balasan dari‐Nya ‐pm‐ 162 | Yossilia, dkk.
Tentang Penulis Pamula Trisna Suri, S.Pd. Jas , anak pertama dari pasangan Suharyanto dan Supriyati lahir di Purworejo, 06 September 1987. Pengarang menamatkan perguruan tinggi di Universitas Negeri Yogayakarta Jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi pada tahun 2009. Setelah lulus perguruan tinggi, pengarang mencoba mengadu nasib merantau ke Pulau Sumbawa NTB untuk menjadi Guru. Tahun 2010 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil sebagai guru SMK di Kecamatan Lenangguar, kemudian pada Tahun 2013 pindah tugas ke Kecamatan Lopok. Pada akhir tahun 2015 pengarang pindah tugas ke SMPN 1 Rambah Kabupaten Rokan Hulu provinsi Riau untuk mengikuti suami. Pada tahun 2018 pengarang bergabung dengan FLP (Forum Lingkar Pena) Rokan Hulu dan bergabung pada Komunitas Bisa Menulis yang dibentuk oleh Pak Isa Alamsyah, suami Asma Nadia. Tulisan pertama yaitu pada buku suvenir pernikahannya. Kemudian mencoba membuat novelet yang berjudul “Rauf sang Pembelajar” yang telah terbit pada akhir Tahun 2018. Awal Tahun 2019 mencoba meresensi sebuah buku Paud yang diterbitkan pada salah satu majalah dan menulis beberapa cerpen di beberapa media elektronik. Email : [email protected] Facebook : Pamula Trisna Suri Wa. 082226583778 Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 163
164 | Yossilia, dkk.
Warisan Berharga dari Bundaku Oleh : Aryanti “N asib seseorang berada di tangan Allah. Kita jangan menganggap mereka yang kehidupannya susah saat ini, akan susah untuk selamanya. Suatu saat pasti mereka akan merasakan kehidupan yang lebih baik seperti yang kau rasakan saat ini. Hanya saja Allah menangguhkan kesempatan mereka untuk menikmati kesenangan hidup karena Allah tahu yang terbaik bagi hamba‐Nya.” Aku merupakan bagian dari ilustrasi itu. Dulu aku begitu merasakan ketidakadilan dalam hidupku. Merasakan getirnya kehidupan sejak usiaku masih seumur jagung. Dalam kehidupan yang serba kekurangan aku meniti kehidupan bersama kakak‐kakak dan adik‐adikku di bawah asuhan kedua orang tuaku. Aku yang kala itu belum mengerti mengapa kehidupan keluarga kami tidak seperti kehidupan keluarga orang lain. Dulu di usia lima tahun dengan kepolosanku, aku pernah bertanya kepada ibu, “Bu, mengapa rumah kita tidak ada meja dan kursi seperti rumah Falus itu? Kursinya empuk dan bisa melompat‐lompat di atasnya.” Pertanyaanku membuat ibu tersenyum kecut. Aku tidak mengerti mengapa ibu Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 165
tersenyum seperti itu dan tidak menjawab pertanyaanku. Falus adalah satu‐satunya temanku. Rumahnya tepat di depan rumahku. Kehidupannya cukup baik. Namun mereka ramah kepada keluarga kami. “Di rumah Falus juga ada tivi, Bu. Tadi ada orang mengantarkan tivi ke rumahnya. Baik ya, Bu orang itu?” ujarku. Ibu tidak menjawab. “Falus mengajak nonton tivi di rumahnya nanti sore. Boleh kan, Bu?” tanyaku lagi. Tak ada jawaban dari ibu. Aku bingung mengapa ibu seperti itu. Akhirnya aku pun diam. Aku menduga‐duga bahwa ibu tidak mengizinkan aku ke rumah Falus atau bisa jadi ibu sedang marah. Sejak saat itu aku tidak mau menceritakan tentang sesuatu yang berkaitan dengan Falus dan keluarganya. *** Melihat anak‐anak seusiaku waktu itu, aku selalu tertegun. Mereka bebas bermain dengan ceria bersama teman‐temanya. Pakaian mereka bersih, bagus dan rapi. Ingin rasanya aku ikut serta bermain dengan mereka. Namun, baru saja aku mendekat mengajaknya bicara, mereka segera menjauhiku. Seolah‐olah tidak sudi berteman denganku. Mungkin mereka jijik melihat penampilanku yang dekil. Mereka dengan kompak menjulurkan lidahnya ke arahku. Hatiku sakit sekali. Seiring berjalannya waktu, aku jadi mengerti dengan keadaan keluargaku. Nasib kami berbeda dengan orang lain, bagai langit dan bumi. Apalagi aku juga ikut membantu dalam memenuhi kebutuhan keluarga kami. Tapi aku yakin, bukan 166 | Yossilia, dkk.
hanya aku saja yang merasakan hal ini. Masih banyak yang bernasib sama denganku. Hari berganti hari, semua kulalui dengan tabah seperti air mengalir. Masa kecilku mungkin tidak sebahagia orang lain. Rasanya aku ingin waktu cepat berlalu dan ingin cepat tumbuh dewasa agar bisa bekerja membantu orang tua. Setelah menamatkan bangku SMA aku ditakdirkan Allah untuk kuliah. Awalnya aku tidak yakin kalau orang tuaku mampu membiayai kuliahku di universitas negeri di ibu kota provinsi karena saat itu yang kuliah bukan aku saja. Ada kakakku yang sedang kuliah di universitas yang sama. Belum lagi ada dua adikku yang masih sekolah. Untungnya aku tidak putus harapan walau sempat terkatung‐katung masalah uang kuliah dan biaya hidupku di rantau orang. Aku sempat memutuskan mengambil masa langkau dan bekerja untuk membiayai kuliahku sendiri. Tapi orang tuaku tidak setuju. Mereka sudah memasang target masa kuliahku. Aku memacu semangatku agar dapat menamatkan kuliah sesuai target. Tak ingin berlama‐lama membuang waktu dan sadar bahwa orang tuaku bukan mesin pencetak uang, akhirnya aku berhasil meraih gelar sarjana tepat waktu. *** Sekarang aku sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri. Meskipun pas‐pasan untuk kebutuhanku setidaknya dapat mengurangi beban orang tuaku. Di samping itu aku dapat menerapkan langsung ilmu yang kudapat dari bangku kuliah. Semua berkat kerja keras ayah dan ibu menyekolahkan kami tanpa mengenal lelah. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 167
Beberapa tahun sejak aku bekerja sebagai guru honorer belum banyak perubahan berarti yang kurasakan. Bagaimana tidak, setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang lebih baik dan mapan. Setiap saat aku berpikir kapankah aku bisa meraihnya. Bertahan bertahun‐tahun dalam pengabdian sejati, namun nasib belum juga berubah. Meskipun sudah berulang kali mengikuti seleksi penerimaan pegawai negeri, keberuntungan belum berpihak kepadaku. Pandangan orang‐orang kepadaku pun bisa kurasakan. Ada celah antara aku dan orang lain karena status kepegawaianku. Aku menjadi minder jika berhadapan dengan mereka yang sudah mapan. Memang aku tidak bisa berbuat banyak selain memohon kepada Tuhan agar diberikan rezeki yang halal dan cita‐citaku membahagiakan orang tuaku tercapai. Orang tuaku selalu mengingatkanku agar senantiasa melaksanakan shalat dan ikhlas berbuat kebaikan. “Meskipun orang tidak menghargai apa yang kita lakukan, tetapi Allah pasti membalas dengan pahala atas kebaikan yang kita lakukan,” ujar ibu ketika beliau memintaku memijit keningnya. Kelihatan tubuh ibu mulai menua seiring dengan bertambahnya usia. “Iya, Bu,” jawabku singkat. Dalam pikiranku perkataan ibu memang benar. Ibu dan ayah memang selalu mengajari kami dengan hal‐hal baik sejak kecil. Hingga setiap tindakan yang akan kulakukan selalu teringat petuah dari beliau. *** Pagi itu, seperti biasa aku bangun dan menyiapkan sarapan buat ayah dan ibu. Berhubung karena hari Minggu, 168 | Yossilia, dkk.
selesai sarapan pagi, aku pamit kepada orang tuaku hendak ke pasar membeli kebutuhan dapur. Biasanya setiap Minggu pagi, suasana pasar lebih ramai dari hari biasa. Tiba di pasar, aku segera membeli lauk pauk, dan sayur mayur serta buah‐buahan yang masih segar. Setelah semua kebutuhan dapur sudah kubeli, maka aku bergegas meninggalkan pasar menuju tempat parkir sepeda motorku. Ketika hendak menuju area parkir, aku melihat di depan sebuah ruko yang masih tutup, seorang wanita tua duduk di depan dagangannya. Ada pisang, pepaya, mangga, dan juga nanas. Wajahnya terlihat muram memandangi dagangannya yang belum laku. Mungkin karena tempatnya berjualan terlalu mepet ke area parkir, sehingga tidak terlihat oleh pembeli. Kuhampiri wanita tua itu dan berniat untuk membeli nanas yang dijualnya. Aku tergiur dengan nanas yang ranum itu, pasalnya aku termasuk salah satu penggemar nanas. Aromanya ketika dikupas begitu menggugah selera. Tak butuh waktu lama bertransaksi dengan wanita tua itu, aku langsung membayar untuk sepuluh buah nanas yang dijualnya. Wanita tua itu berterima kasih sembari menepuk‐ nepukkan uang yang kuberikan ke dahinya. Matanya berkaca‐ kaca tanda bahagia dan mulutnya komat‐kamit mengucap syukur kepada Tuhan. “Semoga rezekimu lancar, ya, Nak?” ujarnya padaku. Aku tersentuh mendengar perkataannya. Begitu bahagianya ia ketika menerima rezeki dari Allah lewat tanganku. Matanya Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 169
berbinar‐binar memandangi uang lima puluh ribu rupiah itu. “Aamiin...terima kasih, Bu,” sahutku tersenyum. Dalam perjalanan pulang ke rumah aku masih teringat dengan wanita tua itu. “Mudah‐mudahan dagangan Ibu itu laris manis meskipun ia berjualan di tempat yang sepi,” ujarku dalam hati. Tiba‐tiba aku teringat sesuatu. Ya...aku lupa membeli bendera dan umbul‐umbul untuk acara HUT RI di sekolah besok. Segera kuberbalik arah dan mencari tempat dimana orang menjual umbul‐umbul dan bendera. Akhirnya aku menemukan sebuah kios kecil yang menjual umbul‐umbul dan perlengkapan lainnya. Kurasa ini adalah kios yang tepat. Meskipun kiosnya kecil namun kualitas barang yang dijualnya sama dengan yang ada di toko. Selain itu, harganya juga miring. Hingga akupun enggan untuk menawar lagi. “Cari apa, Dik?” sapa seorang wanita muda padaku. Kulihat ia tengah berbadan dua. Sambil menjaga anaknya yang masih balita, wanita itu melayaniku dengan ramah. Bahkan ia sempat berbincang‐bincang akrab denganku seperti saudara. Akhinya ia pun jadi tahu di mana aku bekerja. “Terima kasih, Dik, ”ujar wanita itu. “sering‐sering belanja di sini,” lanjutnya lagi sambil menyodorkan uang kembalian kepadaku. Aku mengangguk sambil tersenyum kepadanya dan langsung memasukkan uang kembalian tersebut ke dalam saku jaketku. Beberapa saat setelah aku meninggalkan kios itu, aku merogoh saku jaketku. Kuhitung uang kembalian dari wanita itu. Aku heran mengapa uang kembaliannya terlalu banyak. 170 | Yossilia, dkk.
Aku rasa ia salah menghitung. Perasaanku tak enak. Meskipun bisa saja aku pura‐pura tidak tahu. Tapi aku tidak ingin melakukannya. Aku kembali ke kios itu lagi. Wanita itu tengah asyik mengayunkan anaknya dalam buaian yang terbuat dari rotan. Melihat aku datang kembali, ia tersenyum lebar. “Ada yang kurang, Dik?” tanyanya padaku. “Wah...bukan kurang, Kak. Malah lebih,” jawabku jujur. “Maksudnya?” wanita itu balik bertanya. “Bukan barangnya yang berlebih, tapi uang kembalian dari kakak yang lebih,” jelasku hingga membuatnya tertawa. “Oh ya? Kok bisa?” sambungnya lagi. Akupun mengeluarkan uang kembalian tadi dari saku jaketku. Setelah dihitung ulang total belanjaku dan uang kembalian, memang ternyata jauh sekali selisihnya. Wanita itu berterima kasih kepadaku karena sudi mengembalikan uangnya. “Terus terang, zaman sekarang jarang ada orang yang jujur seperti kamu, Dik, ”ucapnya terharu. Ia menyalami dan merangkulku. “Ah… Kakak terlalu berlebihan,” ujarku buru‐buru melepaskan rangkulannya. “Sudah seharusnya saya mengembalikan yang bukan hak saya,” lanjutku pula. Ia terkesan dengan kata‐kataku. “Semoga Allah menambah rezekimu dan kamu mendapatkan jodoh yang baik.” Aku kaget mendengar kalimat yang terucap dari bibir wanita itu. Spontan aku mengamininya. “Aamiin...Ya Rabbal Aalamiin. Terima kasih Kak, semoga doa kita diijabah oleh Allah,” ujarku tersipu malu. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 171
Aku meninggalkan wanita itu dengan perasaan lega. Lega karena aku tidak berhutang kepadanya dan juga lega karena didoakan oleh seorang ibu yang salehah. *** Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Aku menemukan jodohku. Ini merupakan salah satu anugerah terindah dari Allah dalam hidupku. Setahun kemudian aku kembali dilimpahi rezeki oleh Allah dengan lulusnya aku menjadi pegawai negeri seperti yang aku idamkan. Orang tuaku bahagia sekali mendengarnya karena memang itulah harapannya padaku. Di tengah penderitaan ibuku yang sedang sakit keras, ia selalu mengingatkanku agar aku selalu bersyukur dan ikhlas dalam melakukan kebaikan. “Jika kita selalu bersyukur dan ikhlas, maka Allah akan membalasnya dengan beribu‐ribu kebaikan pula.” Itulah kalimat yang selalu terngiang‐ngiang di telingaku. Akhirnya ibuku pergi meninggalkan dunia yang fana ini. Seperti yang selalu dibisikkannya ke dalam hatiku, aku ikhlas melepaskan kepergian ibu untuk bertemu kembali dengannya di kehidupan yang abadi. Setahun setelah kepergian ibu, ternyata Allah mengganti kesedihanku dengan hadirnya seorang bidadari kecil di dalam hidupku. Hidupku terasa lengkap karena sudah menjadi seorang ibu. Kini aku mulai merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan orang lain. Aku yakin segala apa yang kuraih saat ini adalah berkat keikhlasan dari orang‐orang yang 172 | Yossilia, dkk.
mendoakanku, terutama doa kedua orang tuaku dan juga doa dua wanita yang berkesan dalam hidupku hingga saat ini. *** Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 173
Tentang Penulis Aryanti, S.Pd. merupakan salah satu tenaga pengajar di SMA Negeri 3 Dumai bidang studi Bahasa Indonesia. Memiliki keinginan menulis cerita sebenarnya sudah ada sejak masih di bangku SD. Ia terinspirasi dari kakak perempuannya yang gemar menulis buku harian. Sebagai guru bahasa Indonesia, ia ingin menuangkan idenya dalam bentuk buku sebagai motivasi bagi para siswa di tempat ia mengajar. Pendidikannya berawal di SDN 016 Dumai (tamat 1988), SMPN 2 Dumai (tamat 1991), SMAN 2 Dumai (tamat 1994) dan FKIP Uniri Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia (tamat 1999). Pada awal tahun pelajaran 1999/2000 ia mengawali kariernya sebagai guru honerer di SMAN 1 Dumai. Akhirnya pada tahun 2005 ia lulus sebagai pegawai negeri dan di tempatkan di SMAN 3 Dumai sampai sekarang. 174 | Yossilia, dkk.
Semua dari Hati Oleh: Reni Elvina, M.Pd. “S eperti apapun hebatnya kita di daerah terpencil atau kampung tidak akan dipandang orang, ibarat elang di kampung ayam di kota, lebih baik jadi ayam di kota.” Masih terngiang kata‐kata itu di telingaku sampai sekarang walaupun sudah 10 tahun berlalu. Seorang bapak boleh dikatakan orang berpengaruh di kampungku pernah mengatakan hal itu padaku. Saat itu aku hanya diam dan tersenyum mendengarnya. Sepuluh tahun yang lalu aku mengajar di daerah terpencil di Kampar Kiri tepatnya Desa Muara Selaya. Niatku mengabdi di sana tanpa digaji hanya untuk menambah pengalaman ku sebagai seorang guru yang baru menyelesaikan kuliah Diploma 2 STAI AL‐AZHAR Lokal Lipatkain. Agar ilmu yang kudapatkan tidak hilang begitu saja setelah diwisuda. Aku menjadi tenaga sukarela di sana. Mungkin inilah yang dikatakan bapak itu, kenapa aku mau mengajar di daerah terpencil sementara kompetensi atau kemampuanku bisa mengajar di kampungku sendiri. Sekitar 33 km jarak antara Lipatkain ke Muara Selaya. Sekarang sudah ada peningkatan dan kemajuan di beberapa desa jalannya kudengar ada sebagian sudah di aspal. Tetapi Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 175
jalan yang berlumuran lumpur juga masih menemani sepanjang jalan saat musim hujan tiba. Mengajar di SDN 022 Muara Selaya membuatku sangat senang dan bersemangat apapun yang dikatakan teman‐teman atau orang lain aku tidak peduli bahkan mereka sering mengolok‐olokku kalau nanti bisa dapat jodoh di sana.. hehe .. Aneh.. sampai jodoh pun dibahas. Anak‐anak di Desa Muara Selaya tidak sama dengan di Lipatkain yang menerapkan disiplin dan modern. Di sana mereka masih ada yang memakai sendal bahkan tanpa alas kaki ke sekolah menuntut ilmu. Meski demikian aku sangat bangga terhadap mereka yang tetap sekolah walaupun pagi subuh mereka bangun harus ke ladang dulu menolong orang tuanya menyadap karet. Pengalaman yang luar biasa bukan??? Bagiku, Ya..!! karena tidak semua orang mau melakukan hal yang sama mengabdi di daerah terpencil tanpa digaji. Guru di sana ada sebanyak 8 orang termasuk diri ku sendiri dan siswa waktu itu sebanyak 83 orang. Setiap sore kami mengisi waktu dengan bermain voli dan latihan menyanyi lagu Indonesia Raya. Karena mereka tidak terlalu hafal sebab upacara bendera pagi senin jarang dilaksanakan. Terkecuali hari‐hari besar pendidikan. Alhamdulillah, tahun 2006 aku lulus sebagai guru honor daerah atau yang disebut guru kontrak. Dan tempat tugas ku tetap di Muara selaya. Bahagia sekali rasanya sedangkan guru sukarelapun aku bangga apalagi sekarang sudah ada perjanjian kerja dan artinya aku digaji. Setiap akhir pekan, aku pulang ke Lipatkain dan pagi senin berangkat menuju sekolah. Terkadang setiap pagi senin 176 | Yossilia, dkk.
bersama teman‐teman guru yang lain yang tempat tugasnya lebih dekat daripada tempat tugasku. Kami berangkat ke sekolah masing‐masing yang jalannya searah. Aku mengajar di kelas satu dan kadang masuk ke kelas lain, jadi jika salah satu guru sakit dan berhalangan hadir bisa jadi aku masuk dua atau tiga kelas untuk memberikan pelajaran. Tidak ada rasa kesal, sebal, malas, atau apapun dalam melakukannya semua tiada beban dan senang aku lakukan. Padahal jika dipikir mana sanggup menghadapi tiga kelas sekali masuk. Di situlah letak ikhlas dan tulus yang tanpa kusadari selalu kulakukan yang terbaik buat mereka sesuai dengan kemampuanku. Sesekali ke Lipatkain banyak kawan‐kawan dekat yang menyayangkan aku mengajar di sana saat kami bertemu. Aku menganggap angin lalu kata‐kata mereka karena mereka tidak merasakan nikmatnya mengabdi di tempat yang memang membutuhkan keberadaan kita di antara mereka. Dan alhamdulillah, kelas enam yang lulus saat itu adalah perdana yang banyak melanjutkan ke tingkat SMP, MTs, dan Pesantren. Selama ini kudengar siswa‐siswa yang lulus SD di desa ini tidak ada yang melanjutkan sekolahnya dan setelah lulus setahun atau dua tahun kemudian mereka menikah dan berumah tangga. Pernikahan Dini seperti judul lagu Agnes Mo saja. Sebenarnya mereka mampu kok belajar dan sukses seperti anak‐anak yang lain. Dua tahun berlalu tahun 2008 aku lulus CPNS Kota Pekanbaru. Begitu sedihnya siswa‐siswaku dan guru‐guru melepasku bahkan masyarakat Muara Selaya. Bahagia Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 177
bercampur sedih kurasakan saat itu. Saking sedihnya karena tidak sanggup untuk berpisah aku pergi tanpa mengatakan kata perpisahan. Mengajar di Kota Pekanbaru sangaaaat jauh berbeda kurasakan dengan di Muara Selaya. Aku melanjutkan kuliah S‐ 1 dan mulai sibuk dengan kegiatan‐kegiatan ku. Biasanya aku pulang setiap akhir pekan saat mengajar di Muara Selaya sekarang aku pulang ke Lipatkain sudah berkurang karena banyak tugas sekolah dan kuliah. Seiring waktu tahun 2011 aku menikah dan tahun 2012 aku meyelesaikan S‐1 dan bergelar S.Pd. Tahun 2013, aku memiliki seorang putra dan kesibukanku semakin menjadi hingga untuk pulang kampungpun hanya saat liburan panjang dan lebaran saja. Sebagai seorang guru yang berasal dari kampung tentunya aku masih minder dengan guru‐guru di kota. Namun ternyata aku bisa menumbuhkan rasa kepercayaan diriku saat aku memenangkan “Lomba Mengajar Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar se‐Kota Pekanbaru” dan “Lomba Membaca Cerita Rakyat untuk Guru SD se‐Kota Pekanbaru”. Dan akupun diutus untuk mewakili Riau tingkat Sumatra. Syukur alhamdulillah, aku bisa membanggakan Riau karena mendapatkan Juara I se‐Sumatra. Dari sinilah awal mula aku mulai menemukan bakat terpendam dari dalam diriku. Balai Bahasa Provinsi Riau yang sudah mewadahi acara Pekan Bahasa dan Pekan Sastra untuk guru‐guru di Riau. Aku semakin percaya diri. Aku ingin melakukan hal‐hal baru untuk menambah ilmu dan wawasanku. 178 | Yossilia, dkk.
Dengan niat yang tulus dan mencoba sesuatu yang baru aku ikut mengirimkan naskah tentang “Best Practice” menjadi guru di media sosial. Betapa bangga dan terharunya aku saat naskah ku diterima dan launching di SMA Cendana Kota Pekanbaru. Walau hanya dua lembar karya itu ada didalam sebuah buku tapi bukankah itu sebuah karya...??? Hasil dari pemikiran dan pengalaman terindah...??? sungguh luar biasa euforia atau dampak yang diberikan buku antologi itu kepadaku. Sekali lagi kukatakan walaupun hanya dua halaman begitu memberikan sinergi yang luar biasa dahsyat dalam diri dan karir ku. Karya perdana ku itu pun aku hibahkan ke perpustakaan sekolah yang diwakili kepala sekolah, pengawas, dosen, dan tidak lupa sekolah yang sudah memberikan kenangan terindah dalam karir dan pengalamanku selama ini, yaitu SDN 022 Muara Selaya. Sejak saat itu aku semakin percaya diri dan berani dalam berpendapat. Mudah bergaul dengan orang lain apalagi dengan orang‐orang baru yang dikenal. Itu semua memberikanku aura positif. Apalagi setelah menyelesaikan kuliah S‐2 Pascasarjana Administrasi Pendidikan di Universitas Riau tahun 2017. Kegiatan literasi menulis tetap ku tekuni dari otodidak sampai mengikuti pelatihan‐pelatihan dan menjadi komunitas guru menulis di Facebook bahkan anggota “Sagusabu (Satu Guru Satu Buku) di bawah naungan MediaGuru” serta ikut dalam “Perruas (Perkumpulan Rumah Seni Asnur)” hingga kini. Terbitlah 16 buku Antologi berupa Kisah Inspiratif, Pantun Anak, Pantun Nusantara, Puisi Magrove, Puisi Haiku, Puisi Rekor MURI, 3 Alenia Ibu, 3 Alenia Cinta, Cerpen dan satu Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 179
buku tunggal yaitu cerita rakyat dari Lipatkain yang berjudul “ Hulubalang”. Buku tunggal kedua masih dalam proses yang berjudul MLJ (Mindy Leoni Jordi). Begitu banyak hal‐hal yang tak terduga yang aku dapatkan dari semua yang kulakukan tanpa memperhitungkan berapa materi yang sudah kukeluarkan. Betapa waktu istirahat yang seharusnya kunikmati kukorbankan, semua hanya demi sebuah ketulusan niat dari hati ku untuk berkarya sehingga nantinya jadi kenangan sejarah bagiku sebagai seorang guru. Bahkan apa yang telah kuperbuat bisa menjadi motivasi dan inspirasi bagi guru‐guru yang lain. Menjadi narasumber di kampus UNRI, dipercaya oleh Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru sebagai pembicara berbagi bersama guru‐guru se‐Kota Pekanbaru dan diberi penghargaan oleh Bengkel Seni Kenegerian Lipatkain. Adalah sinergi positif yang aku rasakan. Semua tanpa pernah terpikirkan olehku. Apakah kepercayaan diriku berubah menjadi ambisi??? Rasanya aku ingin tertawa mendengar celoteh orang yang berbicara seperti itu. Mereka tidak bisa berbuat apa‐apa, mereka tidak tahu menahu seperti apa kita menghasilkan sebuah karya, mereka tidak merasakan nikmatnya berkarya, tetapi berkomentar seenaknya dan mengatakan semua itu ambisi. Sangat kasihan buat mereka yang tidak punya rasa dalam hatinya. Semua itu tidak pernah aku gubris. Aku tetap berkarya dan tidak sedikit pula teman‐teman guru yang sudah menghasilkan karya dan berbagi pengalaman, cerita dalam 180 | Yossilia, dkk.
hal menulis denganku. Mereka sangat salut dan tidak habis pikir bagaimana aku melakukan semua ini. Bagaimana aku mengatur waktuku dalam menulis, bukankah menulis butuh waktu atau momen‐momen yang pas, yang tenang, yang sunyi??? Belum lagi mengurus anak, membereskan rumah, pekerjaan rumah yang tidak pernah habis‐habisnya memasak, menyuci, melayani suami... waah, berbagai pertanyaan mereka lontarkan kepadaku. Hehe... Terlebih lagi sekarang aku sudah memiliki lagi seorang putri. Sepasang anugerah yang dititipkan Allah SWT kepadaku dan suami. Tentunya akan membuatku semakin sibuk dalam mengurus anak, suami, dan berkarya. Semua pertanyaan mereka kujawab dengan panjang lebar seperti yang sebenarnya aku alami dan aku lakukan selama ini. Namun intinya semua bermula dari “hati”. Aku sangat bersyukur memiliki suami yang sangat pengertian, mengerti akan hati ku, tidak banyak aturan paham akan kesibukanku. Dan sangaaat beruntung memiliki putra yang baik perangainya. Merekalah yang menjadi penyemangat. Tidak kalah bersyukurnya mempunyain orang tua yang sangat mendukung dan selalu mendoakan, memberikan motivasi kepadaku. Jika kita memang niat dengan tulus untuk melakukan sesuatu dari hati yakinlah semua masalah, tantangan dan kesibukan bisa kita atasi dengan sendirinya. Tidak hanya itu sesuatu yang dilakukan dengan hati akan berbuah sangat manis tanpa terpikir oleh kita sedikitpun balasan dari ALLAH SWT. Jadi mulailah “Semua dari Hati”. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 181
Tentang Penulis Reni Elvina, M.Pd., lahir di Lipatkain, 10 Februari 1983. Menamatkan kuliah S‐1 PGSD tahun 2012 dan menyelesaikan S‐2 Program Pascasarjana Magister Administrasi Pendidikan Universitas Riau tahun 2017. Mengajar di SD Negeri 75 Pekanbaru. Menikah dengan Jeffri Junaidi dan memiliki putra bernama Dzikrullah Tahsin El‐Qhoniy dan putri bernama Sabyan Xhavier. Menulis sejak tahun 2015 hingga sekarang terus berkarya dan menerbitkan berbagai buku antologi berupa best practice, kisah inspiratif, pengalaman lucu guru, pantun anak, pantun nusantara, cerpen, puisi haiku, puisi magrove, dan puisi “Rekor Muri” guru se‐ASEAN. Karya tunggal pertama yang ditulis adalah cerita rakyat berjudul “Hulubalang” berasal dari Lipatkain. Karya tunggal kedua masih dalam proses berupa memoar yang berjudul “Mindy Leoni Jordi”. 182 | Yossilia, dkk.
Can’t Help Falling in Love Oleh : Marlina Armansyah S aya sedang berada di jamuan pernikahan anak seorang teman, di ballroom Hotel Pangeran, ketika suara alunan musik ini dengan lembut menyusup ke liang telinga saya. Alunan musik ini menyatu dengan aliran darah, kemudian mengikuti aliran darah itu yang dengan tenang dan pasti menuju terminal akhirnya, yaitu jantung. Ketika sampai di jantung, alunan musik ini terkoneksi dengan sel‐sel saraf di otak saya. Hal ini memaksa saya tertegun, kemudian tanpa sadar mengikuti alunan lagu itu. Wise men say ... Only fools rush in ... But I can’t help ... Falling in love ... With you ... . Saya sedang menikmati alunan lagu itu sambil bersenandung kecil, ketika suami saya sudah berdiri di dekat meja di pojok ballroom. Sepiring sate padang ada di tangannya. Dia tersenyum ke arah saya. Senyumnya ... Masyaallah ...! Manis sekali! Terlihat sangat tulus. Melalui senyumnya, saya merasa betapa ia menyayangiku. Saya tergugu. Dada saya terasa sangat lapang, bersiap menerima anugerah ini. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 183
“Hmm, duduk di sini, Sayang... Alhamdulillah masih ada nih kursinya satu lagi.” Saya berkata sambil menunjuk kursi yang ada di samping saya. Memang adalah hal yang patut disyukuri, ketika mendapatkan kursi di pesta yang ramai seperti ini. Kuamati dia yang sedang meletakkan piring satenya di atas meja, lalu berkata, “Masih dapat juga Ayah satenya?” Suamiku menjawab sambil meletakkan gelas plastik di samping piring sate, “Iya ... Alhamdulillah... Ini piring terakhir,” katanya sambil tersenyum. Saya tahu arti senyumnya itu. Ia pasti senang dan bersyukur karena begitu lama dia antri untuk mendapatkan sate itu, dan itu adalah piring yang terakhir. “Itu apa, Sayang?” tanya saya sambil menunjuk gelas plastik. “Ooo ... Ini puding. Abang ambil tadi di meja sebelah sana. Lin mau?” tanyanya sambil menyodorkan gelas puding itu. “Ga ah! Untuk Ayah saja. Ibu minum ini saja, air sehat,” jawab saya sambil mengangkat gelas plastik mineral water.” “Atau mau kopi? Abang ambilkan ya?” Dia kembali bertanya. “Ga .. Ayah. Makanlah Ayah lagi…” “Baiklah…” dia menjawab masih dengan tersenyum dan suara yang lembut. Saya pandangi dia yang sedang makan dengan penuh kasih sayang. Pikiran ini melayang. Saya ingat kembali air mata yang hampir mengalir sebelum pergi ke pesta ini. 184 | Yossilia, dkk.
*** “Sayang… Kita jadi pergi ke pesta?” Saya bertanya kepada suami dengan sedikit perasaan ragu. Suami uring‐ uringan beberapa hari ini. Hal itu membuat saya sedikit enggan untuk bertanya. Dia mengalihkan pandangannya dari ponselnya, lalu menatap saya. Kemudian dia berkata, “Hmm ... Iyalah.” “Baik... Ibu siap‐siap dulu kalau begitu.” Saya berkata sambil berlalu. Saya baru saja selesai memasak sepulangnya dari pasar. Hari Ahad memang hari yang sibuk bagi ibu yang bekerja seperti saya. Pada hari Ahad, semuanya diborong untuk dikerjakan. Saya adalah seorang guru pada sebuah sekolah fullday school. Saya sudah harus berangkat kerja sekitar pukul 6 pagi dan landed kembali di rumah sekitar pukul 6 petang. Terbayangkan repotnya? But it’s okay. Itulah salah satu resikonya menjadi wanita karir di zaman milenial ini. Harus pandai mengatur dan membagi waktu agar semuanya terselesaikan dengan baik. Nah .. kalau ada undangan pesta seperti ini, berarti ini an extra work! “Yah ... Ibu sudah siap,” saya kata sambil mendekatinya. “Baik. Mari kita berangkat!” Suami berkata sembari mengambil kunci motor. Dia lalu berjalan ke luar. “Yah ... Kita naik motor?” tanya saya. “Iyaa... Kenapa?” Suami balik bertanya. “Mau hujan loh Yah. Lihatlah langit! Gelap. Mendungnya sudah berat. Nanti kita kehujanan,” jawab saya. Saya mencoba merayunya membatalkan niatnya untuk naik motor. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 185
“Hmm ... Pestanya dekat kok. Di kantor PU. Kan tidak jauh”, katanya bersikeras, “cepatlah naik!” perintahnya. “Ihh ... Ayah nih.. Apalah gunanya kita punya mobil. Lagi pula jilbab Ibu kan panjang. Nanti susah itu naik motor.” Saya masih berusaha membujuknya. Suami diam saja. Pertanda dia tidak mau dibantah. Baiklah ... akhirnya saya mengalah dan duduk di belakangnya dengan perasaan sedih dan air mata yang hampir tidak bisa dibendung. Benar saja, ketika keluar dari gedung PU, hujan turun dengan derasnya. Padahal masih ada dua tempat pesta lagi yang harus dihadiri. Saya mainkan ponsel sembari menunggu hujan berhenti. Tidak terbersit sedikitpun di hati saya untuk menyalahkan suami, meskipun pada saat itu saya berada di posisi yang dengan sangat mudah menyalahkannya. Sesekali saya melirik ke arahnya. Dia berdiri di samping motor dengan pandangan menerawang. Entah apa yang dipikirkannya. Beberapa temannya lewat dan menyapanya. Ia menjawab, ”Iyaa.. dululah. Tidak menyangka akan hujan nih,” sahutnya sambil melirik saya. Tapi saya berpura‐pura, seolah‐ olah tidak melihatnya. Beberapa waktu berlalu… kemudian untuk mencairkan suasana saya berkata, ”Ayah…Ke sinilah!Ayo... Fotokan ibu.” Suami mendatangi saya, lalu mengambil beberapa foto. Dia terlihat senang. “Coba Ibu lihat, Yah.” Saya mendekatinya untuk melihat jepretannya. “Nanti Ayah kirimkan ke hape ibu ya,” pintaku. Dia hanya mengangguk mengiyakan. Hujan akhirnya mereda. Meninggalkan rinai gerimis seperti jarum panjang. 186 | Yossilia, dkk.
“Ayo kita pergi,” ajaknya. “Masih hujan, Yah,” sahut saya. “Ayolah..., mungkin di sini saja yang hujan. Nanti di perjalanan menuju ke sana tidak hujan,” katanya setengah memaksa. Ternyata hujannya memang tidak merata. Jalan raya menuju tempat pesta kedua di Jalan Melati terlihat kering. Tidak ada bekas hujan sedikitpun. Tapi rok saya terlanjur basah terkena cipratan air dari roda motor. “Kenapa?” suami bertanya ketika saya mengibas‐ ngibaskan rok sebelum memasuki tempat pesta. “Basah, Yah. Berpasir,“ jawabku sambil memandang ke arahnya. Sekilas kulihat ada penyesalan di matanya. “Oo ... Ga apa itu. Sebentar lagi juga kering. Ga kelihatan kotor koq,” ujarnya menenangkan sambil menggandeng saya memasuki tempat pesta. Saya isi buku tamu, lalu berjalan di sisinya. “Ayah mau makan apa?” tanyaku. “Abang ga makan ya. Minum saja,” jawabnya. Saya ambil semangkuk soto, lalu duduk di sampingnya. Saya pandangi dia dari samping. Beberapa hari ini, dia kurang bersahabat. Saya bertanya dalam hati, ada apa gerangan. Apa yang salah. Malam tadi saya dapat jawabannya. Saya tanyakan mengapa dia terlihat agak kurusan sekarang. “Hmm ... iyalah kurus, mau makan, sambalnya ga ada.” Suami berkata dengan suara sedikit tinggi. “Lho ...?” Saya terkesiap. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 187
Saya selalu merasa tidak nyaman jika suami sudah mulai meninggikan suaranya. Saya selalu berusaha melaksanakan seluruh urusan rumah tangga, sesibuk apapun. Memang belakangan ini saya agak sibuk. Tapi saya tidaklah lalai dengan urusan menyiapkan makanan suami. Membuatkan sarapan dan minum suami adalah hal pertama yang saya lakukan setelah selesai shalat subuh. Meskipun kadangkala tidak sempat masak sambal, saya akan membelikan sambal dari rumah makan untuknya.Haa..! alih‐alih marah dan sedih, saya akhirnya tersenyum. Ternyata dia rindu masakan saya. Mungkin itulah sebabnya, ia tadi terlihat senang ketika melihat saya sibuk memasak di dapur. “Yah..“ Saya berkata sambil memegang tangannya. ”Ayo kita salaman dengan pengantennya. Masih ada satu tempat lagi yang harus kita datangi.” Saya pandangi suami yang sedang makan sate dengan lahap. Saya pandangi dia dengan sepenuh rasa sayang. Suamiku, pintu surgaku. Betapa aku menyayangimu. Yaa Allah ...! Indahnya balasan yang Kau berikan kepadaku atas kepatuhanku pada suamiku. Kepatuhan yang mutlak. Kepatuhan tanpa syarat. Saya menyalami penganten dan orang tua mereka dengan perasaan bahagia. Kemudian berjalan meninggalkan ballroom megah tempat prosesi jamuan pernikahan itu. Sayup‐sayup, masih terdengar lantunan lagu itu ... . Shall I stay ... Would it be a sin ‘cause I can’t help falling in love with you 188 | Yossilia, dkk.
Like a river flows Surely to the sea Darling so it goes Something are meant to be ... Take my hands Take my whole life too For I can’t help falling in love with you ... . Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 189
Tentang Penulis Marlina Armansyah dilahirkan di Lirik, Indragiri Hulu, Riau pada tanggal 20 Agustus 1966. Setelah menamatkan sekolahnya di SMPN Lirik, dia melanjutkan pendidikannya di SPG YPW Bhakti Pertiwi Rengat pada tahun 1982. Sedari kecil, dia sudah bercita‐cita menjadi seorang guru, maka dia melakoni masa sekolahnya di SPG dengan suka cita dengan selalu menjadi juara umum selama 6 semester. Ketika tamat SPG pada tahun 1985, dia sudah membayangkan betapa menyenangkannya akan segera menjadi guru. Tapi dia harus menahan keinginannya karena pada waktu itu ada aturan yang mengharuskan peringkat 1 s.d. 10 harus melanjutkan pendidikan dan tidak boleh melamar jadi guru. Bahasa Inggris menjadi pilihannya karena waktu itu dia berpikir itu akan menjadi jendela untuk melihat dunia dan Universitas Riau mewujudkan impiannya. Sekarang dia mengabdikan dirinya sebagai Pendidik di SMPN MADANI Pekanbaru, sebuah Boarding School yang mensyaratkan Lulusannya hafiz 15 juz. Pengarang ini aktif di Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Inggris Kota Pekanbaru. Sejak Oktober 2018 dia dipercaya untuk menjabat sebagai ketua MGMP tersebut. Dia merupakan salah seorang Instruktur Bahasa Inggris di kota Pekanbaru. Tugas tambahan yang diembankan 190 | Yossilia, dkk.
kepadanya sejak tahun 2000 itu dilaksanakannya dengan penuh bahagia, karena tugas itu mengantarkannya menjelajahi banyak kota di provinsi Riau. Di samping sebagai instruktur untuk Pendampingan Kurikulum 13 SMP mata pelajaran bahasa Inggris, dia juga merupakan Instruktur Nasional (IN) pada Program Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Meskipun tugas ini berat, dia bersyukur dapat terlibat pada program ini. Program ini membuatnya mendapatkan ilmu yang sangat banyak , mengelana ke beberapa kota besar untuk Program Penyegaran IN dan bertemu teman‐teman baru dari provinsi lain. Buku ini adalah Antologi ketiganya, setelah Momentum of Lebaran (MOL) yang sudah terbit dan Ramadhan in Harmony (RIH) yang masih dalam proses penerbitan. Mampu menulis adalah merupakan impiannya yang menjadi nyata. Impian yang dia anggap mustahil pada awalnya. Kemauan, kerja keras, dan dukungan dari orang‐orang tersayang, akhirnya mampu mewujudkan impiannya itu. Dia dapat dihubungi di [email protected] atau di no WA 08117520866. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 191
192 | Yossilia, dkk.
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232