Hari‐hari indah sebagai pengantin baru tidak berlangsung lama, hanya beberapa minggu saja Shofia menikmati sebagai madu pernikahan, hari selanjutnya, suaminya harus melanjutkan kembali kuliah ke Surabaya. Shofia tinggal dengan ibu mertuanya bersama kakak dan adik iparnya. Hari yang cukup panjang dan melelahkan bagi seorang pengantin baru selalu menghampiri Shofia. Rasa rindu menunggu sang kekasih harus ditekan dan dibenamkan ke dalam hati yang dalam. Tanpa terasa kandungannya bertambah berat. Detik‐detik kebahagiaan menanti saatnya melahirkan. Suaminya hadir untuk menyambut kelahiran anak pertama mereka. Hari berlari mengejar waktu. Minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Anak pertama ku sudah pandai berjalan. Kuliahnya sudah selesai dan sudah bekerja menjadi seorang guru. Untuk mengisi waktu setelah menyelesaikan tugas rumah tangga, Shofia kembali mengajar ngaji dari rumah ke rumah di sekitar tempat tinggal mereka. Alhamdulillah keuangan keluarga pun mulai membaik. Dua tahun berikutnya, seiring waktu lahir pula anak kedua buah cinta yang sangat membawa cahaya dalam kehidupannya. Jarak dua tahun lahir pula anak ketiga. Kemudian mereka pindah ke kota yang lain. Kota Semarang sepertinya memberikan mereka waktu untuk mewujudkan mimpi. Suami Shofia lulus tes untuk dijadikan karyawan tetap di salah satu perusahaan terbesar di kota itu. Awalnya mereka hanya menempati rumah kontrakan, mulai saat itu mereka bisa tinggal di sebuah kompleks perumahan. Namun ia tetap sebagai guru MDA dan Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 43
anak kami sudah bertambah lagi tiga orang. Lengkap sudah untuk dijadikan saham amal saleh. Shofia sebagai seorang ibu tidak hanya membekali anak‐ anaknya dengan pendidikan yang baik dengan di sekolahkan di tempat yang baik, namun di rumah ia juga memberikan penanaman dan pembiasaan ilmu agama yang konsisten. Hingga anak‐anaknya semua berprestasi di bidang agama. Ada yang pandai berpidato, pandai seni baca Alquran, pandai berhitungm dan ada pula yang pandai seni kriya. “Aisya, kamu tamat SD mau kemana nak melanjutkan sekolah?” Shofia bertanya kepada Aisya. “Kakak mau masuk pesantren Bu, agar besok bisa memperjuangkan agama Allah Bu!” jawab Aisya. Shofia langsung mengecup pipi anaknya, ”Ibu setuju, semoga Allah menjadikanmu penerus baginda Rasul dan para sahabatnya.” Shofia tersenyum bahagia. “Anakku, ketahuilah menuntut ilmu itu apalagi ilmu agama merupakan hal yang sangat mulia. Anakku jadilah cahaya mata kami, kamu sebagai anak pertama akan menjadi contoh bagi adik‐adikmu, bila kamu berhasil maka adik‐ adikmu akan bisa meneladanimu namun bila kamu gagal maka mereka akan kehilangan cermin untuk menata diri mereka. Belajarlah karena Allah, anakku! Ayah dan ibu tak bisa mendampingi dalam menghadapi segala hal yang akan kamu alami dalam menuntut ilmu nanti, bergantunglah kepada Allah. Jadilah kamu hujan yang akan membasahi bumi dengan kemuliaan ilmu yang Allah berikan kepadamu lewat para guru yang telah mengajarmu, belajarlah untuk tawadhu 44 | Yossilia, dkk.
dan jangan sekali‐kali sombong!” pesan Shofia yang langsung bertutur dengan penuh kasih sayang kepada anaknya. Setelah tamat sekolah, Aisya diantar ke Pondok Pesantren Daarul Muttaqiin di Kota Pekalongan dengan membawa perlengkapan persyaratan dan perbekalan yang dibutuhkan untuk masuk pondok. “Anakku, sabarkan dirimu dalam menuntut ilmu, perbanyaklah ibadah, dekati dan cari teman yang baik untuk menolongmu berjuang di jalan Allah!” pesan Shofia tak bosan‐bosannya sebelum meninggalkan anaknya di pondok pesantren. Shofia duduk merenungi perjalanan waktu yang telah dilaluinya. Segala ujian begitu banyak mengisi hari‐harinya sebagai seorang perempuan yang punya banyak banyak profesi. Sebagai seorang istri, Shofia harus melayani suami dengan baik. Sebagai seorang ibu, Shofia harus menyiapkan segala kebutuhan anak‐anak dan mendidik mereka dengan benar. Sebagai seorang guru, Shofia harus menyiapkan bahan ajar dan aktif pula dalam kegiatan taklim di kompleks tempatnya tinggal. Rutinitas yang kadang menyinggahkan rasa bosan dan letih. Biduk rumah tangganya berlayar dengan tenang sambil membesarkan anak‐anak. Riak‐riak kecil masih bisa dihadapi dengan tenang. Jalan hidup terasa lurus dan menentramkan. Keringat, air mata dan ribuan kerikil tajam yang muncul dalam rumah tangga memperkuat hati agar tak mudah menyerah. Tanpa terasa, anak‐anakpun beranjak dewasa, Aisya yang pertama sudah selesai kuliah S‐1 dan dilanjutkan S‐2, profesinya sebagai seorang guru. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 45
Anak kedua mereka, Laili, telah meraih cita‐citanya sebagai seorang dokter umum. Putri ketiganya, Hanifah, menjadi seorang akuntan di kantor pemerintah daerah, yang keempat Fadhlan menjadi seorang dokter spesialis akupuntur. Putra kelimanya, Fatimah, sebagai seorang Guru SD, dan yang keenam Muh. Hanif menjadi dokter juga. Allah Yang Maha Mendidik dan Maha Mengabulkan doa serta permohonan hamba‐Nya. Shofia hanya bisa menangis dalam sujud panjang setiap penghujung malam dengan anugerah Allah. Anak‐anaknya sekarang sudah menikah dan bahkan sudah punya anak. Hari tua Shofia tinggal dinikmati bersama suami tercinta yang sudah pensiun. Rumah terasa lengang karena anak‐anak sudah punya rumah sendiri. Hanya waktu liburan dan Lebaran mereka bisa kembali kumpul bersama. Hidup tanpa ujian bukanlah dinamakan hidup. Sore itu Shofia duduk berdua dengan suaminya sambil menghidangkan goreng pisang hasil kebun belakang rumah. ”Dek, ada yang mau saya katakan, suara suaminya terdengar berat dan napas agak memburu. Aku sudah menikah lagi,” ucap suami Shofia. Seperti disambar petir di siang hari, mendengar berita yang disampaikan suaminya. Lemah seluruh persendian tubuhnya, seakan ingin menghilang ke dalam bumi. Shofia menatap suaminya yang tertunduk dengan hati yang hancur berkeping‐keping. Shofia tidak berucap sepatah katapun. Ia hanya diam seribu bahasa. Hatinya sudah membatu untuk perkataan maaf yang berulangkali diucapkan suaminya. Prinsip yang selalu 46 | Yossilia, dkk.
dipegang olehnya, ia tak ingin di duakan. Sekali biduk rumah telah dikhianati oleh pemimpin rumah tangga sendiri, maka ia sudah memasrahkan semua takdir ini kepada Allah SWT. Shofia berucap, “Mungkin ini saatnya aku untuk lepas darimu, lepas dari segala bongkahan batu yang selama ini mengendap di dasar hati untuk mampu bersabar menemanimu dalam mengayuh bahtera rumah tangga kita. Kuucapkan selamat berpisah dan semoga Allah mengampuniku atas segala kekuranganku mendampingimu hingga engkau butuh yang lain untuk menutupi kekuranganku,” ucap Shofia dengan suara yang lirih di tengah air mata yang menganak sungai. Itulah kata terakhir yang diucapkan Shofia sambil melangkahkan kaki meninggalkan rumahnya. Perceraian yang tak pernah ada dalam impiannya harus terjadi diakhir kisah cinta dan kasih sayangnya. Inilah akhir dari perjuangan Shofia membangun mahligai rumah tangga, seorang perempuan pejuang yang mampu melahirkan generasi yang sukses. Walau hati ingin belajar kuat, namun kakinya sudah tak kuat untuk menyejajarkan langkah dengan suaminya. Pengabdian yang sudah berakhir sebagai seorang istri, namun tidak bagi anak‐anaknya. Karena, anak adalah cahaya cinta yang selalu menerangi kehidupannya. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 47
Tentang Penulis Perempuan ini bernama Sri Rahmalina, S.Ag. M.Pd.I., dilahirkan di Duri, 26 Juni 1974. Putri pertama bapak H.A. Rahman, HN dan ibu Hj. Siti Hawa. Ia memiliki keluarga kecil yang dibangunnya bersama Sarkawi, S.Ag., dan buah cinta mereka bernama Atika, M. Rifki, dan Faiqoh. Dia alumnus S‐1 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta lulus tahun 1997, melanjutkan S‐2 Jurusan Manajemen Pendidikan Islam di UIN Pekanbaru lulus tahun 2013. Mengawali karirnya sebagai guru Pendidikan Agama Islam di SD YPPI perawang, kemudian pindah ke SMAN 17 Perawang, dan sekarang di SMAN 2 Dumai & SMAN Binsus Dumai. Impiannya ingin terwujud menjadi penulis Profesional. Ia bisa dihubungi di: [email protected] 48 | Yossilia, dkk.
The Best Beauty Oleh: Dahliana, S.T., M.Pd. P agi ini diawali dengan kehobohan luar biasa. Bukan karena ada pertengkaran atau peselisihan, bukan juga karena demo mogok kerja karena gaji tidak dibayarkan. Tapi kehebohan cinta, kumenyebutnya. Jam 04.00 dini hari, dapur di rumah sederhanaku sudah heboh dengan suara air yang keluar dari kran, suara sendok yang beradu dengan penggorengannya dan suara kokok ayam abang yang terdengar satu satu menemani aktivitas pagiku. Jam 04 dini hari mungkin bagi sebahagian besar orang adalah jam tidur ternyaman. Tapi insyaallah di setiap hari, rutinitas seperti inilah yang kulalui hari ke harinya. Sudah menjadi sebuah kebiasaan sehingga menjalani dan mengerjakannya dengan ikhlas. Tepat pukul 05.00 pagi, satu per satu anggota keluarga inipun bangun dan memulai aktivitas mereka masing‐masing. Segala persiapan untuk sekolah dan bekerja dipersiapkan sendiri‐sendiri, sementara aku sibuk memasukkan bekal makanan ke tempat bekal anak‐anak dan diriku sendiri. Membawa makanan dari rumah untuk makan di siang hari nanti adalah salah satu cara bagi kami untuk melakukan penghematan. Setelah semua tempat bekal terpenuhi dan diletakkan dimeja makan, aku pun memulai aktivitas untuk diriku, seperti mandi dan berbenah untuk menuju sekolah Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 49
tempat aku menjalani tanggung jawab moral kepada pemerintah dan tanggung jawab rohani kepada Allah SWT. “Bun, berangkat ya? Assalamualaikum.” Bujang besarku pamit setelah Pak Saf tukang ojeknya datang menjemput. Kubalas salam ananda tercintaku sambil kuucapkan doa semoga hari ini dia bisa belajar dengan baik dan ikhlas. Lima belas menit kemudian, si abang pun berangkat bersama dengan gadis kecilku. Setiap hari si bungsu memang menjadi tanggung jawab ayahnya untuk mengantar dan tanggung jawab bundanya untuk menjemput. Seperti itulah pembagian tugas yang kami sepakati dirumah tangga ini. Satu per satu rumah yang awalnya penuh kehebohan lambat laun menjadi sepi, tinggal aku di rumah yang juga sebentar lagi akan berangkat menuju tempat tugas dan bekerja sampai nanti jam 16.00. Tepat pukul 06.15 WIB, aku pun berangkat dari rumah. Perjalanan 30 menit ke sekolah betul‐betul kunikmati. Berbagai macam ide dan pemikiran kadang terlintas ketika memacu sepeda motorku di jalan raya. Kadang muncul beberapa rencana yang kususun untuk menyelesaikan pekerjaan hari ini. Pukul 06.40 WIB adalah waktu yang kutulis di presensi pagi yang kutandatangani. Belum banyak rekan‐rekan guru yang hadir pada pada jam ini. Majelis guru yang luas hanya baru berpenghuni sekitar 4 orang termasuk aku dari total lebih 40 orang guru yang berada di ruangan ini. “Bun.” Sapa seorang gadis mungil yang cantik, sambil menyalamiku dengan segala macam keraguan yang tergambar di wajah putihnya. 50 | Yossilia, dkk.
“Ade mau bicara dengan bunda?” tanyaku pada gadis mungil ini. Sebuah keajaiban jam kedatangannya sama denganku. Pasti ini ada sesuatu. Instingku mulai tergelitik dan penasaran semakin besar. Gadis mungil bernama Ade ini masih diam. Dengan penuh kasih sayang ku gandeng tangannya keluar dari ruangan majelis guru. Mungkin dengan berdua dia lebih nyaman untuk bercerita. Sudut taman di depan perpustakaan menjadi tempat perhentian kami. Suasana sekolah yang masih sepi, adalah cara yang tepat untuk menceritakan segala galau yang tersimpan di hati. “Bunda janji ya nggak cerita dengan siapa‐siapa.” Itu selalu permintaan yang muncul jika anak‐anak ingin bercerita kepadaku. Seakan‐akan takut bundanya tidak bisa menjaga amanah mereka. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala tanda setuju. “Bun, papa dan mama bertengkar tadi malam. Ade takut Bun,” jelasnya dengan air mata yang sudah tergenang di hitam bola matanya. “Ade takut disuruh pilih ikut siapa. Ade nggak mau memilih bunda. Ade sayang mereka berdua.” Kali ini air matanya sudah tidak dapat lagi ditahan. Butiran air mata tanda kesedihan dan kegalauan membasahi pipi putihnya. Dengan penuh kelembutan, kubawa ia ke dalam pelukanku. Kubiarkan beberapa saat air mata itu membasahi bahuku. Kubiarkan tangisannya reda dan napasnya teratur, baru aku bicara. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 51
“Sayang, apa yang Ade dengar belum tentu sama dengan apa yang Ade pikirkan. Orang tua bertengkar adalah hal yang wajar. Namanya beda sifat, hobi, jenis kelamin bahkan mungkin juga berbeda latar belakang. Kadang orang dewasa untuk mencari sebuah kesesuaian diawali dengan ketegangan. Kenapa? Karena mereka memiliki ego masing‐ masing,” jelasku sambil menggenggam tangan mungilnya yang sangat dingin. “Saran bunda, di saat ketegangan antara mama dan papa muncul, Ade harus jadi pendinginnya di sana. Ade harus mampu bersikap bijak, bertanggung jawab dan dewasa sehingga tidak timbul kesan Ade memihak siapa di antara mereka berdua. Hadirkan kasih sayang di antara mereka, dan tunjukkan seberapa besar ketergantungan Ade terhadap mereka. Insyaallah, papa dan mama bisa kembali rileks dan tidak marah‐marah lagi.” “Makasih Bunda,” katanya sambil memelukku dan sebuah senyum tipis sudah mulai muncul diwajah pucatnya. Pertemuan kami pun berakhir karena bel memulai pembelajaran dan aktivitas sudah berbunyi. Menjalani profesi selama 13 tahun memiliki kisah tersendiri. Pahit manisnya pengalaman hari ke hari membuatku semakin mencintai dan menyenangi profesi ini. Aku masih ingat dulu ketika menyelesaikan SMA, mama sudah memintaku untuk kuliah di FKIP, fakultas yang melahirkan calon‐calon guru. Tapi dengan sombongnya aku menolak, karena aku menginginkan kehidupan yang lebih wah dibandingkan dengan kehidupan yang kujalani sekarang karena penghasilan papa dari bekerja sebagai seorang guru. 52 | Yossilia, dkk.
Mama tidak pernah bosan merayuku untuk mengikuti jejak papa sebagai seorang guru. Ribuan kali penolakkan pun tidak pernah membuat mama menyerah untuk tetap merayuku menjadi seorang guru. “Banyak waktumu untuk keluarga nanti, Nak.” Itu salah satu alasan mama ketika memaksaku untuk menjalani apa yang menjadi impian beliau. Tapi apa yang kujalani dari tahun 2006 sampai sekarang sangat jauh dari alasan mama tersebut. Di awal pengangkatanku sebagai seorang guru di SMAN 1 Simpang Kanan, justru waktuku bersama anak dan suami sangat terbatas. Dalam 1 bulan hanya ada 4 hari aku bisa menjadi ibu dan istri yang sesungguhnya. Sisa hari yang lain justru kuhabiskan di tempat pengabdian. Baru setelah kepindahanku ke SMAN 3 Bangko Pusako, aku punya waktu yang lumayan banyak untuk keluarga. Ini dikarenakan lokasi sekolah yang berdekatan dengan tempat kerja abang dan si gadis kecilku tinggal bersama denganku dan mama. Kepulangan kami ke Pekanbaru dalam satu bulan hanya berlangsung 3 hari setiap harinya untuk melihat si bujang yang bersekolah di pekanbaru dengan ditemani papa. Tapi hal ini tidak berlangsung lama. Sakitnya papa dan si bujangku, membuat abang mengambil keputusan. Kembali aku sendiri di balam ini. Kembali aku menjalani kehidupan jauh dari anak‐anak. Hanya abang yang di kalanya bekerja menemaniku di rumah kontrakan ini. Selanjutnya, di saat abang off, beliau akan pulang ke Pekanbaru melihat anak‐anak. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 53
Selanjutnya, perjalanan 5 jam dua kali dalam seminggu kembali kujalani untuk menjemput kebahagiaan akhiratku di Pekanbaru. Hampir 4 tahun kujalani seperti ini, jauh dari anak dan suami. Berangkat pagi sampai sore bahkan malam selalu menemani perjalanan hidupku. Lelah, bukan karena keadaannya tapi lebih karena lamanya perjalanan. Dan ini berakhir pada tahun 2014 dimana doa di setiap sujudku selalu memohon kepada Allah untuk diberi kesempatan menjadi bunda yang sesungguhnya. Melihat matahariku di setiap hari dan menemani setiap tumbuh kembangnya. Doaku dikabulkan. Jika ditanya kecintaanku kepada profesi ini sekarang mungkin dengan yakin akan kujawab 100 % tanpa ada penyesalan. Apalagi jika apa yang kuberikan kepada anak‐ anak didikku dapat dijadikan manfaat bagi mereka dalam menjalani kehidupan mereka selanjutnya. Di setiap tempat pengabdianku selalu memberikan sebuah kisah yang menarik. Jika diuraikan, terlalu banyak air mata dan pengorbanan yang kuberikan. Kusesali tidak, kuungkit juga tidak. Perbedaan kultur budaya dan adab yang kuhadapi berbeda di setiap tempatnya. Kadang benturan dan teguran dengan berbagai cara membuat hati ini menangis. Sebagai seorang perempuan, aku punya keterbatasan. Air mata selalu menemani setiap kisah perjalananku. “Nak, jika bekerja ada beberapa hal yang harus dijaga.” Pesan papa padaku ketika mengantarkanku ke simpang kanan pertama kali. 54 | Yossilia, dkk.
“Jujur, patuh pada atasan, dan bekerjalah dengan hasil yang paling baik.” Nasihat papa inilah yang selalu kuingat dalam bekerja di mana saja dan dengan pimpinan siapa saja. Bekerja dengan dua berperan sekaligus sebagai istri dan ibu punya seni tersendiri dibandingkan wanita lain. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, dibagi dan dipilah sehingga dua hal yang sama pentingnya tidak terabaikan dan tidak berantakan. “Membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga sangat sulit, Nak.” Komentar mama ketika kuberkeluh kesah tentang beban kerja yang menumpuk di tengah kondisi anak‐anak yang tidak sehat. Pada kondisi itu tidak bisa aku memilih, yang ada dijalani dan kerjakan kedua‐duanya. Sambil menjaga si gadis yang sedang demam tinggi, pekerjaan menyusun dokumen kurikulum tetap dilanjutkan. Ketika si gadis tertidur, laptop segera dibuka. Ketika si gadis terjaga karena ketidaknyamanan, terpaksa laptop dikesampingkan. Itu sebahagian kisah dari ribuan kisah indah dan menyakitkan yang mengisi hari‐hariku. Dari ribuan kisah yang kumiliki, tidak ada satupun kisah yang kusesali kehadirannya. Pahit ataupun manis yang kuterima kujadikan sebagai sebuah hikmah dan kebijaksanaan yang akan kujadikan pelajaran untuk tahapan selanjutnya. Jika ditanyakan dengan perempuan lain yang bekerja sepertiku, pasti mereka juga punya kisah yang beragam. Dari cerita yang beragam itu, ada beberapa kesamaan yang kami miliki satu sama lain. Bagaimana kami harus Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 55
bernegosiasi dengan pimpinan jika harus mengutamakan keluarga, atau bagaimana kami mengatasi cemburu dan cemberutan dari pasangan yang merasa diabaikan dan waktunya dipersempit karena kami harus mengerjakan tugas sekolah atau sebagai perwakilan sekolah dalam mengikuti pelatihan. Semuanya harus dipilih. Pilihan yang tepat akan membawa ketenangan. Tepat 01 April 2019 nanti, tepat 13 tahun aku menjalani profesi ini. Berarti sudah 13 tahun pula aku berperan ganda. Seorang bunda di rumah dari 2 orang permata hati amanah dari Allah SWT dan seorang bunda dari sekian ratus orang siswa yang dipercayakan orang tua mereka untuk kudidik dan membekalinya dengan ilmu pengetahuan. Unik, aku masih ingat ketika seorang sahabat di bangku SMA berjumpa denganku pertama kali setelah sekian lama tidak berjumpa bertanya kepadaku. “Berapa orang anakmu, Na?” tanya sahabat tersebut. “Anak yang mana ni?” balasku bertanya sambil tersenyum. Sang sahabat tentu jenkel dengan ketus dia menjawab. “Emang anakmu banyak ya?!” katanya dengan juteknya. Aku tersenyum dibuatnya. Daripada membuat sang sahabat bertambah jengkel lalu kujelaskan. “Anak kandungku ada dua orang sepasang. Anak didikku ada 100 orang lebih,” jelasku sambil merangkul sahabat baik ini. Meredakan jengkelnya dan kembali membuatnya tersenyum. Anakku dan anak didikku sama‐sama punya tempat teristimewa dihati. Cara menasihati, cara memberi masukkan, 56 | Yossilia, dkk.
motivasi bahkan hukuman tidak ada bedanya. Pada tanggung jawab saja perbedaan itu ada. Untuk si bujang dan si gadis apa yang kulakukan lembut ataupun keras untuk membentuk karakter mereka menjadi anak hebat tidak akan dipermasalahkan oleh suami ku atau oleh kakek dan nenek mereka. Lain halnya dengan anak‐anak didikku, kadang sikap keras dan tegas yang kulakukan harus melihat tanda‐tanda alam. Artinya aku akan melihat beberapa faktor sebelum ketegasan itu dilayangkan kepada seorang anak didik. Karena anak didik adalah milik masyarakat, orang tua dan sekolah. Oleh karena itu, setiap tindakan yang kuambil harus berdasarkan peraturan dan perundang‐undangan yang berlaku di sekolah dan pemerintah. Tidak mau kumengambil risiko keluar dari koridor tersebut hanya karena semata‐mata menginginkan kebaikan buat anak didikku. Karena tanggung jawab pada anak didikku bukan hanya bersumber padaku, yang kusebut tanggung jawab bersama. Bersama denganku, orang tua, masyarakat, dan sekolah. Pendekatan dari hati, ini istilah yang kupakai untuk menyelesaikan beberapa masalah yang dihadapi oleh anak‐ anak didikku. Menjadi informan dengan menjemput bola mendatangi kawan‐kawan bergaul mereka, mengorek cerita dari teman‐temannya hanya untuk sekedar mengetahui karakter, sifat bahkan hobi anak didikku sering kulakukan. Karenanya, ketika berada di dalam kelas, aku selalu menghabiskan waktu berlama‐lama dengan mereka. Cara ini sangat efektif kurasakan. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 57
Awalnya mereka malu untuk bercerita, tapi karena aku selalu menanamkan kepercayaan kepada mereka satu per satu cerita pun mengalir indah dari mulut mereka sendiri. Tanpa sungkan mereka mencerita segala harapan dan impian mereka. Bahkan kegamangan dan keraguan mereka. Itulah seni menyatukan yang indah yang kurasakan. Hari ke hari di 13 tahun pengabdian ini semakin bijaksana dan semakin haus akan ilmu dan strategi pengajaran dan model pembelajaran yang beragam. Hari ke hari perbedaan alam ini membuat aku semakin menikmati hari. Semakin banyak warna pada bunga‐bunga kehidupan yang sedang kurawat sekarang. Mungkin mekarnya bunga itu tidak pada masa yang kuinginkan tapi aku puas bunga mekar itu dapat dinikmati semua orang dan dapat menjadi isi dari sebuah vas indah yang anak‐anakku miliki. Segala keindahan yang kurangkai dan kususun sekarang adalah sebuah simponi impian yang kusiapkan untuk semua anak‐anakku. Impian yang akan sama‐sama kami wujudkan suatu saat nanti di tengah segala keterbatasan dan ketidaksempurnaan sebagai seorang ibu bagi mereka. Tapi jiwa keibuan yang mengalir di dalam pembuluh darahku adalah sebuah nilai yang berharga dan kuat mengakar sehingga aku tidak akan mudah menyerah untuk mempersembahkan segala kebaikan bagi mereka. 58 | Yossilia, dkk.
Tentang Penulis Menulis ibarat sebuah candu yang dirasakan penulis saat ini. Sejak menjadi alumni sagusabu 2, alhamdulilah Penulis kelahiran Pekanbaru, 29 Mei 1976 sudah menghasilkan 1 buah buku kumpulan cerpen dengan judul Beda Langit. Dahliana, S.T.,M.Pd begitu nama yang diberikan oleh kedua orang tua, menghabiskan masa pendidikan dari mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi di kota kelahirannya yaitu Pekanbaru. Penulis sudah menjadi guru dari tahun 2006 sampai sekarang. Dari mulai SMAN 1 Simpang Kanan, SMAN 3 Bangko Pusako dan sekarang SMAN 2 Siak Hulu adalah tempat tugas dimana Penulis menjadi Guru Kimia. Alhamdulillah karya penulis di Antologi Kartini Melenial adalah Antologi yang ke tiga yang dimiliki penulis. Antologi pertama berjudul Menebar Benih Literasi di Bumi Lancang Kuning. Buku Antologi yang kedua dengan judul Penguatan Pendidikan Karakter di Full Day School. Pengarang dapat dihubungi pada alamat email [email protected] dan nomor WA 081371900243. Menulis adalah candu, bekarya dengan rindu untuk menghasilkan sebuah karya yang bermutu sebagai cambuk untuk maju. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 59
60 | Yossilia, dkk.
Cita dan Cinta Kris Oleh : Sumarni, S.Pd. “K ak apa sih yang dibilang dia? Dari tadi kok ngomongnya diulang‐ulang terus?” tanya Santi heran, separuh berbisik padaku. “Oh iya, Dek Dwi baru mendapatkan kosakata baru tadi siang dari ibu gurunya, makanya dia suka mengulang‐ngulang kata itu.” IBu Kris merespon pertanyaan Santi serta menjelaskan tentang kondisi Dwi, anak bungsunya yang sedang berulang tahun. Rupanya, meski dengan suara pelan Santi bertanya namun masih terdengar oleh telinga Bu Kris. Sepertinya Bu Kris memahami perasaanku yang sedikit kikuk dengan pertanyaan Santi. Hari ini aku, Ibu Tiara dan beberapa orang anak panti asuhan yang tinggal diasrama putri diundang oleh Bu Kris untuk membacakan doa selamat dalam acara syukuran ulang tahun yang kelima anak bungsunya. Setelah selesai berdoa bersama yang dipimpin oleh Bu Tiara, Bu Kris dan juga Pak Hatta suami Bu Kris, mempersilakan kami menikmati hidangan yang telah disediakannya. Aku merasa segan dan malu pada Bu Kris juga suaminya karena anak‐anak asuhku tak mampu menahan tawa mereka dengan gaya Dwi yang terus‐terusan mengulang kata‐kata barunya. Aku berharap acara segera selesai dan bisa pamit Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 61
pulang agar terlepas dari suasana yang kurang nyaman ini. Sebenarnya aku sangat paham tentang kondisi Dwi, karena sudah hampir sepuluh bulan aku mengenalnya untuk memberikan les privat belajar membaca Alquran, tapi tak mungkin aku menjelaskan tentang Dwi pada anak‐anak asuhku saat itu. “Kak emang anak Bu Kris itu kenapa sih? Kok lucu ya, ngomongnya diulang‐ulang terus?” tanya Santi sesampainya di asrama. “Iya Kak, adek tuh sakit ya?” Nur juga ikut bertanya padaku tentang kondisi Dwi. Aku hanya diam memandangi wajah mereka satu per satu. “Kak…Kakak tiap Minggu ngajar Dek Dwi kan? Apa kalau pas Kakak ngajar begitu juga tingkah dia?” Ipit juga melengkapi pertanyaan Santi dan Nur, sepertinya mereka sangat penasaran dengan keadaan Dwi yang sebenarnya. Aku bingung harus mulai dari mana menjelaskan pada mereka tentang Dwi. Aku berusaha menjawab semua pertanyaan tersebut dengan sangat hati‐hati dan bahasa yang sangat sederhanaa agar mereka mudah mencernanya. Dan akhirnya aku kembali harus membuka lembaran‐ lembaran diari yang tersimpan di dalam memori otakku selama sepuluh bulan ke belakang. Aku masih ingat malam itu sekitar pukul 21.00 tiba‐tiba telepon yang berada di sudut ruang keluarga asrama C berdering keras. Saat itu aku sedang duduk lesehan di depan kamarku bersama Putri anak asuhku yang sudah duduk di kelas 2 SMA. Aku baru saja pulang ngajar privat dari rumah Bu Kris untuk pertama kalinya. Putri segera mengangkat gagang 62 | Yossilia, dkk.
telepon sebelum didahului oleh anak yang lain. Sudah jadi tradisi di asrama setiap telepon berdering maka semuanya akan berlomba mengangkat gagang telepon karena berharap yang menelepon adalah keluarga dari kampung masing‐ masing. “Kak Marini telepon buat Kakak...” Putri memanggilku sambil menutup lubang suara digagang telepon dengan tangan kanannya. “Dari siapa?” tanyaku pada putri karena heran kok ada orang yang meneleponku malam‐malam. ”Bu Kris, Kak,” jawab Putri sambil menyerahkan gagang telepon kepadaku. “Hallo assalamu’alaikum…” terdengar seseorang mengucapkan salam dari seberang. “Wa’alaikumussalam warahmatullah.” Aku menjawab salam dengan diliputi rasa penasaran. “Ada apa ya dengan Bu Kris?” Aku bicara dalam hati. “Kak Marini ini saya Bu Kris, maaf Kak malam‐malam mengganggu Kakak…” “Oh iya, Bu gak apa‐apa, maaf kalau boleh tahu ada apa ya, Bu?” Aku penasaran ada perlu apa Bu Kris meneleponku malam‐malam begini, padahal baru saja aku habis dari rumahnya. “Begini Kak Mar… ini Dwi tiba‐tiba demam setelah Kak Marini pulang..” aku semakin bingung, emang apa hubungannya dengan aku jika Dwi demam? Bukankah Bu Kris sendiri seorang dokter? “Hallo…Kak Marini…” suara Bu Kris sepertinya ingin memastikan bahwa aku masih berada di depan telepon. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 63
“Iya Bu, gimana ceritanya, bagaimana keadaan Dwi sekarang? rasanya tadi baik‐baik saja.” Aku berharap pada Allah semoga tidak terjadi sesuatu hal yang mengkhawatirkan. “Jadi begini Kak Marini, anak saya ini kalau sudah punya satu keinginan harus dipenuhi, dia belum mampu mengontrol emosinya. Tadi saat Mbak Tina belajar ngaji sama Kak Marini rupanya diam‐diam dia memperhatikan dari jauh. Dan saat Kak Marini pulang, timbul dalam dirinya untuk belajar membaca Iqra dengan Kak Marini. Dia langsung menangis dan memanggil‐manggil nama Kakak dan langsung demam. Saya minta tolong sama Kak Marini untuk bicara dengan dia sebentar saja, katakan pada dia bahwa minggu depan kakak akan datang lagi kerumah, biar dia tenang ya Kak…” terdengar suara Bu Kris dengan logat khas Yogyakartanya yang tegas namun tetap santun. “Oh gitu…sekarang mana Dek Dwi, Bu?” “Hallo Kak Marini…assalamu’alaikum…” Terdengar suara anak laki‐laki yang diikuti dengan isak tangis yang masih tersisa. “Wa’alaikumussalam, ini Dek Dwi ya?” Aku berusaha menciptakan suasana yang lebih akrab meski aku belum pernah berbicara dengannya. “Iya, Kak. Kakak… aku, aku mau belajar ngaji… membaca Iqra sama Kakak…” Dwi berbicara dengan kalimat yang terputus‐putus, karena di sela oleh isak tangisnya yang mulai mereda. “Oh iya boleh kok, insyaallah minggu depan kakak datang ke rumah Adik, nanti kita belajar sama‐sama ya Sayang, 64 | Yossilia, dkk.
sekarang Dek Dwi istirahat dulu karena sudah malam!! dan jangan nangis lagi ya!!!” Aku berusaha menenangkannya, karena aku masih mendengar suara isak tangis di sela‐sela kata‐katanya. “iya Kak terima kasih, assalamu’alaikum.” Dwi menutup pembicaraannya. “Kak Marini terima kasih banyak atas bantuannya, sekali lagi saya mohon maaf sudah mengganggu kakak malam‐ malam begini.” Bu Kris mengambil alih pembicaraan. “Sama‐sama Ibu…tak apa‐apa namanya juga anak‐anak Bu…” “Baiklah Kak, kalau begitu saya pamit ya, assalamu’alakum.” “Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarokaatuuh.” Aku letakkan kembali gagang telepon di tempatnya. Bu Kris adalah seorang dokter. Aku mengenalnya lewat ibu Yayasanku yang memintaku memberikan les privat mengajar Alquran untuk asisten rumah tangganya bernama Mbak Tina karena belum bisa membaca Alquran. Juga mengajarkan ilmu tajwid bagi anak sulungnya bernama Tantri, yang sudah duduk di bangku kelas 1 SMP. Sedangkan Dwi adalah anak bungsu Bu Kris yang baru berusia 4 tahun. Anak laki‐laki yang begitu tampan dan cedas. Rambut ikalnya kurasa diturunkan dari sang ibu yang juga memiliki jenis rambut yang sama. Sebenarnya aku sudah sering mendengar cerita tentang Bu Kris dari Bunda panggilan kami untuk ibu Yayasan. Karena setiap ada anak asuh kami dan keluarga besar yayasan yang sakit, maka kami akan datang menemui Bu Kris untuk berobat Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 65
di kliniknya yang berada di samping rumahnya. Semua biaya berobat termasuk obat yang diberikan tak dipungut biaya sepeserpun alias gratis. Bu Kris sebelumnya adalah seorang pegawai negeri sipil yang bertugas di salah satu rumah sakit pemerintah yang terdapat di Kota Bekasi. Suami beliau seorang Insinyur yang sedang merintis sebuah perusahaan milik pribadi di bidang kontruksi bangunan. Krisis moneter yang melanda Indonesia bahkan dunia saat itu membuat suami Bu Kris menjadi korban PHK besar‐ besaran di perusahaan tempatnya bekerja. Tetapi ujian beliau tak berhenti sampai di situ. Pada situasi yang tidak cukup baik bagi perekonomian keluarganya, ternyata Dwi, anak bungsu Bu Kris yang baru berusia kurang lebih 3 tahun, divonis dokter sebagai penderita Autis. Sebagai seorang dokter beliau sangat paham apa yang dibutuhkan oleh sang anak agar dapat berkembang secara normal seperti anak‐anak yang lainnya. ”Rasanya kaki saya tak dapat menginjak bumi Kak Mar mendengar vonis itu, apa salah saya ya Allah, apa dosa kami ya Allah memberikan ujian yang begitu berat pada kami? Suamiku kena PHK, anakku menderita Autis. Awalnya saya tak bisa menerima kenyataaan ini. tapi seiring berjalannya waktu, saya mulai sadar bahwa saya tak boleh menyesali takdir, karena tak mungkin Allah menguji hamba‐Nya di luar batas kemampuannya.” Aku hanya diam menyimak serius kata‐demi kata yang diucapkan Bu Kris malam itu. Air mata kutahan jangan sampai jatuh. 66 | Yossilia, dkk.
Sejak vonis Autis dijatuhkan untuk Dwi, Bu Kris memutuskan untuk keluar alias berhenti sebagai PNS, karena dia ingin fokus mengurus Dwi yang harus segera menjalani terapi dua kali dalam satu minggu. Bahkan jika dalam keadaan darurat bisa saja jadwal terapi itu ditambah frekuensinya. Bu Kris lebih memilih membuka praktik sendiri di rumahnya, yang mungkin tak banyak pasien yang datang karena posisi rumah berada di dalam kompleks perumahan yang kurang strategis untuk sebuah klinik praktik dokter umum. Menurut dokter spesialis yang menangani Dwi, Autis yang diderita Dwi masih tergolong ringan, sehingga jika diberikan tindakan yang tepat maka Dwi akan mampu berkembang seperti anak normal pada umumnya, Apalagi kelainan yang diderita Dwi sudah diketahui sejak dini. meski demikian dalam proses terapi dan kondisi tertentu dia harus mengkosumsi beberapa jenis obat yang bisa mendukung keberhasilan terapinya. “Kak Marini, saya pernah menonton film tentang perilaku anak Autis yang sampai memakan kotorannya sendiri, dan itu dialami anak saya… Selain itu saya juga harus siapkan mental ketika tiba‐tiba saja anak saya berperilaku aneh di tengah keramaian seperti mal, sekolah, dan pesta pernikahan atau acara arisan keluarga dan yang lainnya. Dwi sering tiba‐tiba berguling‐guling di lantai karena merasa kecewa, atau berteriak‐teriak dan ketakutan yang luar biasa hanya gara‐ gara sepele misalnya ada capung, kupu‐kupu yang terbang melintas di depannya, atau hanya gara‐gara mendapat teguran dari guru atau orang sekitar yang belum begitu dikenalnya. Anak autis tak pernah peduli dengan lingkungan Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 67
sekitar karena dia punya dunia sendiri. Dia tahan berjam‐jam main dan berbicara sendirian. Kalau ditegur dia membutuhkan waktu yang lama untuk merespon dan bahkan tidak merespon sama sekali. Dia juga tidak pernah mau lama‐ lama kontak mata dengan lawan bicaraya. Dia tidak pernah fokus jika diajarkan sesuatu oleh orang lain. Saya berharap semoga Kak Marini sabar menghadapi perilaku anak saya saat mengajarnya nanti.” Aku hanya tersenyum dan mengangguk saat Bu Kris bercerita panjang lebar tentang pengalamannya. “Pernah suatu malam saya terpaksa harus membawanya kekamar mandi dan mengguyur seluruh badannya berkali‐kali sampai tangisnnya reda, karena saat itu dia mengamuk tak bisa dikendalikan dan tak jelas penyebabnya. Setelah reda tangisnya baru saya peluk dia erat‐erat, dan bicara dari hati ke hati.” Bu Kris menambahkan ceritanya dengan tenang meski ada kesedihan di setiap kata demi kata yang diucapkannya. “Ya Allah jangan sampai aku diuji seperti itu,” pintaku pada Allah dalam hati. Aku sering melihat banyak pasien yang datang berobat ke kliniknya yang bersebelahan dengan ruang keluarga saat aku mengajar ngaji Dwi, Mbak Tina dan juga Tantri. Ternyata setelah hampir 2 tahun sejak vonis Autis Dwi diterima, Bu Kris sekarang sudah menjadi donator tetap untuk beberapa panti asuhan yang berada disekitar tempat tinggalnya di daerah Pekayon Bekasi Selatan, sekaligus menggratiskan pelayanan kesehatan untuk mereka. Awalnya beliau hanya menggratiskan biaya konsultasinya, tapi pelan‐pelan Bu Kris menggratiskan semua biaya termasuk obat yang dibutuhkan pasien. Beliau juga 68 | Yossilia, dkk.
sering terlibat dalam kegiatan‐kegiatan sosial yang diadakan oleh beberapa Yayasan sosial, seperti khitan masal, penyuluhan kesehatan, dan pengobatan gratis bagi warga sekitar. Termasuk saat aku mengalami gejala tipus. Ada satu hal yang membuatku semakin salut dengan dokter yang satu ini. Di tengah kesibukannya yang cukup menyita waktu, Bu Kris selalu meluangkan waktu untuk memasak dan membuat aneka macam kudapan untuk keluarga dan juga kue‐kue khusus yang dibuat dengan komposisi berbeda dari kue pada umumnya untuk mendukung kesembuhan Dwi. Di samping itu, Bu Kris juga memiliki hobi yang jarang dimiliki oleh wanita yang berprofesi sebagai seorang dokter, yaitu menjahit. Bu Kris pernah bercerita betapa kecewa hatinya saat Dwi ditolak oleh banyak sekolah TK karena Dwi penderita Autis, meskipun hasil tes psikologi menyatakan bahwa Dwi tergolong anak yang memiliki kecerdasan di atas rata‐rata. Bahkan di usia 3,5 tahun dia sudah pandai membaca buku cerita dan buku pelajaran, koran, dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris. Selain itu, dia sangat pandai melukis tiga dimensi. Khususnya lukisan yang berkaitan dengan dunia perkeretaapian. Bahkan dia bukan hanya pandai melukis secara manual, tapi dia juga pandai membuat gambar dengan menggunakan teknologi komputer. Aku rasa mengajar Dwi tidaklah sulit karena dia anak cerdas, melatih dia untuk bisa fokuslah yang sedikit membutuhkan kesabaran, bahkan sering kali aku mengajarnya sambil memangku dia, dan memeluknya agar Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 69
dia tidak lari‐lari dariku. Dan itu semua sudah disetujui oleh ibunya. Apa yang aku lakukan ternyata merupakan salah satu metode yang cukup ampuh untuk melatih konsentrasi seorang anak autis. Bu Kris selalu mendampingi anaknya saat belajar denganku, bahkan sering Bu Kris menegur Dwi agar berusaha fokus saat belajar, jika Bu Kris melihat aku mulai kewalahan dengan tingkah Dwi. Pernah suatu hari Bu Kris menyampaikan harapannya padaku tentang Dwi. “Kak Mar… saya sangat bersyukur dikaruniai anak seperti Dwi, karena dengan hadirnya Dwi dalam keluarga kami, saya bisa menjadi orang yang tahu berterima kasih kepada orang lain. Khususnya pada orang tua saya…sebenarnya saya menjadi dokter karena terpaksa. Saya sangat ingin menjadi ahli bahasa, tapi ibu saya memaksa saya untuk kuliah di kedokteran. Semester pertama IP saya hancur sebagai akibat dari sikap protes saya terhadap keputusan ibu. Saya tak pernah mengikuti perkuliahan dengan sepenuh hati, semua saya lakukan sekedarnya saja. Tapi saat semester 2 saya mulai berpikir jika saya terus‐terusan begini, maka yang rugi saya sendiri.” “Sejak saat itu saya berusaha move on dari cita‐cita saya. Sekarang saya sadar, bahwa jika kita patuh dan ikhlas dengan apa yang dibilang orang tua maka hidup kita akan bahagia. Saya tak bisa membayangkan apa yang bisa saya buat dengan kondisi Dwi yang menderita autis, jika saya bukan seorang dokter. Bahkan dengan profesi ini pula Allah memberikan ladang amal bagi saya seluas‐luasnya. Minggu lalu saya diminta oleh direktur salah satu rumah sakit swasta ternama 70 | Yossilia, dkk.
untuk menjadi tim medis di sana, dengan gaji yang sangat fantastis, jam kerjanya sangat fleksibel dan bisa dibilang hanya sebentar 3‐5 jam per hari.” “Awalnya saya sedikit tergiur, tapi saat saya melihat wajah Dwi yang kini sudah mau masuk SD dan sudah mulai pandai bersosialisai dengan orang di sekitarnya, saya putuskan untuk menolak semua tawaran itu, karena saya yakin Dwi hanya memiliki satu ibu yaitu saya yang perannya tidak bisa digantikan oleh ibu‐ibu yang lain, sedangkan pasien‐ pasien di rumah sakit sana masih bisa berobat ke dokter lain selain saya….” “Saya hanya meminta pada Allah semoga kelak Dwi bisa menjadi anak yang mampu mengurus dirinya sendiri serta mampu bersosialisasi dengan lingkungan di mana dia berada, layaknya anak‐anak yang normal. Makanya saya tidak memasukkan dia ke sekolah khusus anak autis. Karena jika hal itu saya lakukan justru menurut saya malah akan memperburuk kondisi Dwi. Saya juga bersyukur bisa bertemu dengan Kak Marini, karena hanya dengan Kak Marini Dwi mau belajar baca Alquran. Mudah‐mudahan saat Kak Marini mendapatkan jodoh nanti Dwi sudah lancar membaca A‐ quran…” “Itu harapan terbesar saya pada Kak Marini untuk Dwi, dan saya sudah bicara langsung pada ketua yayasan sekolah Dwi untuk menerima Kak Marini menjadi guru di sana setelah kakak tamat kuliah, karena banyak sekali anak‐anak seperti Dwi yang membutuhkan guru seperti Kak Marini,” pungkasnya. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 71
Aku sedikit tersanjung sekaligus bersyukur dengan pernyataan Bu Kris, meski sedikit terbebani dan ragu dengan harapan Bu Kris yang begitu besar padaku, “Sanggupkah aku ya Allah mewujudkan harapan Bu Kris?” Aku masih ingat saat suatu malam selesai ngajar Dwi , Bu Kris banyak berdiskusi denganku tentang kegalauan hatinya untuk memakai jilbab, dia merasa belum siap untuk melaksanakan perintah Allah yang satu ini (menutup aurat), baginya lebih baik berangsur‐angsur memperbaiki sikap dan perilakunya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk berjilbab, karena khawatir jika belum kuat niatnya nanti sudah pasang jilbab eh..tak lama dibuka lagi. Saat itu aku berusaha untuk menerima pandangannya dan tetap memberikan pandanganku bahwa justru dengan berjilbablah seseorang akan berusaha untuk terus menigkatkan ketakwaannya, karena tak ada yang bisa menjamin kapaan usia kita akan berakhir. Tanpa ada unsur mendiktenya. Diskusipun diakhiri dengan tawa ringan dan doa kami berdua, “Semoga Allah akan selalu membimbing kita untuk semakin takwa ya Bu… Aamiin ya Allah.“ Ah Bu Kris…luar biasa pribadimu…sosok seorang dokter yang begitu peduli dengan sesama, seorang ibu yang mendedikasikan hidupnya secara total untuk sang buah hati tercinta. Sebagai anak yang patuh pada orang tua, sebagai seorang istri yang selalu mendukung perjuangan suami, bahkan tidak pernah mengeluh saat berada dalam keterpurukan. Sosok yang sempurna di mataku, mampukah aku menjadi wanita tangguh sepertinya?? 72 | Yossilia, dkk.
Tak terasa hampir 17 tahun aku berpisah dengan Bu Kris dan keluarganya termasuk Dwi. Aku berusaha mencari keberadaan mereka di FB. Air mataku terjatuh saat menemukan akun Dwi dan juga Bu Kris. Berbagai macam model kereta api menghiasi galeri foto milik Dwi. Sekarang dia sudah menjadi seorang mahasiswa disalah satu perguruan tinggi ternama di kota Jakarta. Pemuda dengan rambut ikal dan kaca mata yang selalu bertengger di wajahnya sejak kecil dulu, membuatnya semakin terlihat gagah dan tampan serta smart. Sedangkan Bu Kris sekarang dia sudah berhijab. Pakaian takwa yang menutupi auratnya menjadi penyempurna keimanan seorang hamba pada penciptanya. Aku tak kecewa walau mereka belum menerima permintaan pertemanan dariku. Andai mereka sudah lupa denganku, namun aku tak pernah lupa dengan pelajaran yang kuperoleh dari kehidupan keluarga mereka. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 73
Tentang Penulis Perempuan bernama lengkap Sumarni, S.Pd. ini lahir di Kota Bogor pada 18 Maret 1976. Ia menamatkan pendidikan di SD Dramaga 3 Kota Bogor pada tahun 1988, SMP Negeri 1 Ciomas Bogor pada tahun 1991, dan SMA Negeri 6 Bogor pada tahun 1994, lulus Diploma 2 PGTK Institute Studi Islam Darul Qalam (INSIDA) Bekasi pada tahun 2002, dan mendapatkan gelar sarjananya pada tahun 2007 dari Universitas Riau dengan mengambil jurusan Ilmu Pendidikan, Program Studi Bimbingan dan Konseling. Saat ini dia sedang menempuh pendidikan Program Magisternya di Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif kasim Riau. Sesuai dengan profesi yang dijalaninya sebagai guru BK, saat ini ia tergabung sebagai anggota dalam organisasi profesi yaitu Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) dan bekerja sebagai seorang aparatur sipil negara, menjadi guru BK di SMP Negeri 21 Pekanbaru. Selain itu, ia juga pernah bekerja sebagai guru pembimbing di Yayasan Panti Asuhan Marhamah Bekasi Selatan pada tahun 2000, dan guru di TK An‐Nuur Bekasi Selatan pada tahun 2002, TK Halba Pekanbaru pada tahun 2003, dan guru di MDA Nurul Yakin 01 Pekanbaru pada tahun 74 | Yossilia, dkk.
2004, serta menjadi kepala sekolah di TK Amalia dan TK Nuur Ihsan Pekanbaru pada 2007 dan 2008. Perempuan yang berasal dari tanah Sunda ini pernah menjadi juara I lomba Video Konseling Kelompok Tingkat SMP‐SMA seprovinsi Riau yang di selenggarakan oleh Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Riau pada tahun 2018, dan masih pada tahun yang sama dia juga membuat buku antologi cerpen yang berjudul “Di Bawah Kaki Pelangi” bersama wali murid dan guru‐guru PAUD Quantum Kid’S 3 Kota Pekanbaru serta menulis novel pertamanya yang berjudul Puzzle Kehidupan Marini. Penulis dapat dihubungi di surel [email protected]. HP. 081371153816 Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 75
76 | Yossilia, dkk.
Benua yang Hilang Oleh: Fitria Ningsih K ehilangan Benua, putra kesayangannya, merupakan ujian terberat bagi Hanum. Hanum adalah seorang ibu yang tegar. Dari kecil kehidupannya penuh dengan berbagai cobaan yang datang silih berganti. Sebagai anak pertama yang terlahir dari keluarga sederhana, kehidupan Hanum berbeda dengan anak seusia di kampungnya. Sejak usia 1,5 tahun, Hanum sudah terpisah dari ke dua orang tua dan saudara kandungnya. Ia hidup bersama kakek dan neneknya di kampung. Sebagai cucu pertama, Hanum memang menjadi rebutan di tengah keluarga. Mereka memperlakukan Hanum dengan kemanjaan yang berlebihan. Dengan didikan sang nenek yang terlalu memanjakan itu, Hanum tumbuh menjadi pribadi yang cengeng dan sedikit egois. Apa pun kemauannya selalu dituruti sang nenek. Karena keegoisannya itu, dari kecil Hanum jarang memiliki teman. Setiap hari Hanum hanya sering bermain sendirian di rumah, tidak ada teman yang mau bergaul dengannya, dikarenakan sang nenek selalu ikut campur dalam pergaulannya. Tak jarang, nenek sering menyerang teman‐ teman yang suka usil pada Hanum apalagi sampai membuat Hanum menangis. Itulah yang membuat Hanum tidak Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 77
memiliki teman dan tidak bisa bergaul dengan teman‐ temannya. Hanum sebenarnya memiliki paras yang cantik. Setiap orang yang melihatnya akan gemas dengan wajahnya yang mirip boneka India itu, hidungnya yang mancung, kulitnya yang putih bersih, serta rambutnya yang ikal membuat semua mata tertarik pada Hanum. Bahkan, suatu kali pernah Hanum hendak diadopsi oleh seorang pengusaha Cina yang secara kebetulan berjumpa sang nenek dan cucunya itu di sebuah pusat perbelanjaan. Ya, karena kecantikannya itulah, Hanum tidak diperbolehkan keluar rumah oleh nenek dan kakeknya. Hanum hanya berkurung sendiri di kamar serta tidak mengenal pergaulan di luar. Hal ini pun berlangsung setiap harinya. Terkadang Hanum merasa sedih dan iri melihat teman‐ temannya. Mereka bebas bergaul dan mendapatkan kasih sayang dari orang tua mereka, sementara Hanum tidak mendapat perhatian dari orang tuanya. Sejak kecil, Hanum sudah merasa kesepian, ia merasa tidak mempunyai saudara dan teman‐teman. Pada usia remaja, Jangankan pacar, berteman dengan laki‐laki pun ia dilarang keras. Hanum tidak bisa berbuat apa‐apa. Ia mesti patuh pada apapun yang disampaikan neneknya. Ia tahu, hanya kakek dan nenek yang sangat menyayanginya. Terkadang Hanum merasa sedih kenapa kedua orang tuanya tidak menyayanginya, kenapa Hanum yang mesti dikorbankan tinggal bersama sang nenek di kampung dan tidak dirawat oleh mereka. 78 | Yossilia, dkk.
Itulah sebabnya, walaupun Hanum berjumpa dengan kedua orang tua serta saudara kandungnya hanya ketika liburan saja, ia merasakan tidak adanya kedekatan yang terjalin antara dirinya dengan kedua orang tuanya serta saudaranya yang lain. Dengan kondisi ini, Hanum hanya bisa sabar dengan sikap kedua orang tuanya yang lebih menyayangi saudaranya yang lain daripada Hanum. Hanum hanya diberi materi tanpa adanya kasih sayang. Walaupun begitu, bagi saudara kandungnya, justru mereka yang sering iri melihat Hanum yang diistimewakan oleh sang nenek. Waktu pun terus berlalu ketika Hanum berusia 17 tahun tepatnya ketika SMA, Hanum harus kehilangan kakek dan neneknya yang pergi menghadap Sang Khalik untuk selama‐ lamanya, karena kondisi usia dan sakit yang diderita kakek dan nenek. Kepergian kakek dan nenek ini merupakan ujian yang yang cukup berat bagi Hanum, karena ia tidak lagi memiliki orang yang sangat menyayanginya dengan tulus dan penuh kasih sayang. Setelah kakek dan neneknya meninggal, akhirnya Hanum tinggal bersama Tante Irma atau adik perempuan ibunya sampai ia menamatkan SMA‐nya. Tante Irma orangnya keras dan diktator. Hanum sama sekali tidak diperbolehkan keluar rumah selain sekolah. Ia juga tak diperbolehkan ikut kegiatan apapun baik di kampung maupun di sekolahan. Sebenarnya Hanum iri melihat teman‐teman di sekitar rumahnya. Mereka bisa aktif misalnya ikut di kegiatan drum band, remaja masjid, atau aktif di OSIS dan kegiatan positif Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 79
lainnya, sementara Hanum harus terkurung di kamar, pulang sekolah harus tepat waktu pulangnya. Kalau terlambat pulang, Hanum pasti dimarahi. Tante Irma sebenarnya sangat khawatir dengan Hanum. Ya… mungkin karena Hanum telah tumbuh menjadi gadis cantik yang diidolakan semua orang, atau ada alasan lain yang membuat tante terlalu keras pada Hanum. Memang, sebagai perempuan ia harus di rumah, tidak boleh keluyuran seperti teman‐temannya yang lain. Hanum hanya berpikir positif karena ia tidak ingin mengecewakan Tante Irma yang telah ikut merawatnya dari kecil. Dua tahun pun berlalu, akhirnya Hanum pun menamatkan SMA dengan nilai yang sangat bagus. Ia pun meraih nilai tertinggi pada mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolahnya dan mendapatkan sambutan yang sangat meriah dari Pak Pong, guru bahasanya yang senantiasa memotivasi agar Hanum nanti mau melanjutkan kuliah dengan mengambil Jurusan Bahasa Indonesia agar bisa menjadi penerus jika nanti beliau tiada. Hanum hanya mengiyakan keinginan gurunya itu sebab sebenarnya ia tidak akan mungkin bisa kuliah mengingat ekonomi orang tuanya yang kurang mampu. Setelah menamatkan SMA, saatnya Hanum harus kembali hidup bersama orang tua dan saudaranya di kota, Hanum merasa canggung tidak thau harus berbuat apa. Akhirnya iapun berusaha segera mencari pekerjaan yang dapat meringankan beban orang tuanya. Sebenarnya, dari kecil Hanum tidak banyak menuntut pada kedua orang tuanya. Makanya ia pun harus segera 80 | Yossilia, dkk.
mandiri untuk mendapatkan pekerjaan. Hanum mencoba melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan bermodalkan ijazah SMAnya itu. Selain ia juga gigih mencari kesempatan untuk bisa kuliah. Berbagai langkah ditempuh Hanum. Hanum pernah mengikuti sekolah kedinasan STPDN di kotanya. Dengan rasa percaya dirinya Hanum mencoba ikut bersaing seperti teman temannya yang lain yang sebagian besar anak pejabat. Tahapan demi tahapan ia lalui. Ia pun berhasil melalui sampai tahapan terakhir seleksi sebelum putusan akhir keluar bagi putra putri terbaik bangsa yang akan dikirim ke Jatinangor Sumedang Jawa Barat tempat sekolah itu berada. Kala itu Hanum hanya nekat ikut seleksi, tanpa restu kedua orang tuanya yang menentang niat Hanum saat itu mengikuti tes. Mereka mendoakan agar Hanum tidak lulus nantinya. Orang tua Hanum saat itu ingin menjodohkan Hanum dengan anak saudaranya. Karena Hanum berasal dari Minang, mereka berharap perjodohan itu bisa “pulang kabako”, artinya calon yang dipilihkan untuk Hanum ternyata anak bakonya. Ia seorang pegawai bank yang hidupnya sudah mapan makanya Hanum tidak perlu kuliah atau bekerja lagi. Saat itu Hanum benar‐benar tidak mendapat dukungan dari siapa pun untuk lulus. Mungkin karena doa orang tuanya itu, Hanum pun tidak lulus. Dengan rasa kecewa dan sangat sedih, Hanum dengan terpaksa menunda keputusannya untuk kuliah tahun itu, mau kuliah di swasta tapi ekonomi orang tuanya tidak mendukung. Akhirnya Hanum pun mencari pekerjaan ke mana‐mana. Nasib baik pun menghampiri Hanum, ia diterima Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 81
bekerja di sebuah perusahaan jasa penyaluran tenaga kerja ke luar negeri. Berkat kemahirannya menggunakan komputer, ia pun diberi jabatan di bagian administrasi kantor. Hanum sungguh senang dapat pekerjaan itu. Ia berharap bisa mengumpulkan uang dari gajinya setiap bulan untuk bisa kuliah tahun depannya. Setiap hari Hanum bekerja dengan rajin walau dengan rasa takut harus melewati sekumpulan preman yang sering menggodanya ketika ia berjalan menuju kantornya. Memang kantor hanum bersebelahan dengan kantor penjualan tiket bus yang ramai setiap harinya. Makanya, Hanum takut sekali jika ada laki‐laki yang mendekatinya. Setelah setahun Hanum bekerja, iapun punya sedikit tabungan. Ketika Hanum melihat sebuah pengumuman pembukaan tes masuk perguruan tinggi negeri, Hanumpun kembali bersemangat. Ia bertekad harus kuliah agar bisa merobah kehidupan orang tuanya yang susah selama ini. Hanum mengambil jurusan keguruan melanjutkan cita‐cita sang kakek yang dulu adalah seorang guru. Hanumpun lulus. Ia diterima di sebuah perguruan tinggi negeri sebuah kota di Sumatra Barat. Maka iapun segera pamit kepada kedua orang tuanya agar bisa indekos dan kuliah ke kota itu. Kedua orang tua Hanumpun kembali menentang putusan Hanum tuk kedua kalinya bisa kuliah dengan alasan tidak ada biaya. Tapi putusan Hanum sudah bulat untuk kuliah, ia gigih dalam mendapatkan sesuatu. Dalam hatinya, ia yakin bahwa tiang utama keberhasilan itu adalah tekad. Ia akan berusaha mendapatkan beasiswa dengan cara rajin kuliah nanti. Akhirnya Hanum pun 82 | Yossilia, dkk.
berangkat ke tempat ia akan berjuang meraih ilmu untuk masa depannya. Dua tahun pertama Hanum sangat bersungguh‐sungguh kuliah. Berbagai godaan datang dari teman‐temannya. Tapi karena Hanum sudah terbiasa jadi anak rumahan yang tidak biasa keluar rumah, jadi Hanum tidak harus mengeluarkan uang untuk hura‐hura ataupun membeli banyak pakaian seperti temannya yang lain. Banyak pemuda yang mengincar kecantikannya, tapi Hanum tidak akan tergoda sama sekali. Ia pun bersungguh‐ sungguh kuliah dan berhasil meraih beasiswa dengan IPK yang sangat bagus tiap semesternya. Selain kuliah, Hanum hanya sering di kosan bersama teman dan sahabatnya. Aisya adalah sahabatnya, ia salah seorang mahasiswa kedokteran teman SMP‐nya dulu. Aisya juga anaknya cantik dan memiliki karakter yang sama dengan Hanum. Mungkin banyak yang berpikir kenapa Hanum dan Aisya terlalu akrab dan tidak ada memiliki pacar. Padahal kebanyakan mahasiswa pasti sudah memiliki pacar di kampusnya. Tidak ada kamus pacaran bagi Hanum dan Aisya. Bagi Hanum pacaran itu tidak ada gunanya bahkan banyak yang terperosok oleh pergaulan bebas, makanya Hanum lebih cenderung mengisi malam mingguannya hanya bersama Aisya jalan keluar malam mingguan menghirup udara malam di kota. Namun, keteguhan hati Hanum untuk bertahan akhirnya goyah juga ketika kehadiran sosok Satria yang dengan gigihnya mengambil hati dan perhatian Hanum. Hingga suatu ketika Hanum jatuh sakit di perantauan. Satria adalah pria Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 83
tetangga sebelah kosannya. Selama sakit, Hanum diperhatikan oleh Satria dan ibunya hingga akhirnya Hanum merasa berutang budi pada Satria. Hanumpun tak kuasa menolak Satria untuk menjadi teman dekatnya. Kedekatan itulah yang akhirnya membuat Hanum berubah merekapun semakin dekat. Satria telah menjadi pahlawannya. Hanum merasa terlindungi dengan kehadiran Satria. Selama ini Hanum merasa takut bahwa banyak keributan yang terjadi karena dirinya. Karena memperebutkan dirinya. Istilahnya, persaingan mendapatkan ceweklah yang memicu tawuran. Ketakutan itulah yang memicu Hanum dekat dengan Satria. Inilah perubahan besar dalam diri Hanum sebab selama ini ia tak pernah dekat dengan laki‐laki. Makanya, iapun selalu menjaga jarak agar kuliah tidak terganggu. Satria adalah anak tunggal yang berwatak keras. Pergaulannya yang preman di kampus membuat tak ada lagi pria yang berani mendekati Hanum. Dengan karakter Satria yang keras, egois, dan sedikit kasar dalam menyikapi suatu masalah, tak pernah menjadi pertimbangan bagi Hanum untuk berteman dekat dengan Satria. Tapi Hanum tetap berprinsip ia harus tetap segera menyelesai kan kuliahnya. Seiring waktu berjalan, berita kedekatan Hanum tersebar luas hingga terdengar oleh suami Tante Irma yang merupakan seorang sopir bus di kota itu, Om Rudi, mengenal siapa Satria. Tante dan seluruh keluarga menentang hubungan Satria dan Hanum. Gosip jelekpun beredar. Semua keluarga menekan Hanum. 84 | Yossilia, dkk.
Puncak keributan terjadi ketika acara wisuda yang ditunggu Hanum hancur berantakan karena Tante Irma memaki Satria dan meminta agar menjauhi Hanum. Tak terbendung rasanya airmata Hanum disaat perjuangannya berakhir dengan kesedihan. Prestasi yang didapat dalam meyelesaikan kuliah dengan IPK terbaik mesti hancur di hari wisuda ini dengan berakhirnya sebuah hubungan keluarga. Seluruh keluarga dengan tega meninggalkan acara wisuda Hanum. Tapi apa boleh buat semuanya terjadi karena Satria. Walau sebenarnya Hanum merasa kasihan melihat Satria diperlakukan seperti itu. Mungkin dendam ini yang selalu terukir di hati Satria, hingga nasib Hanumpun seperti ini. Satria berubah pada Hanum. Satria tampak semakin berjuang terus mendapatkan Hanum, dengan maksud balas dendam. Usaha Satria berhasil juga. Sampai akhirnya Hanumpun menikah dengan Satria dalam sebuah pesta kecil yang tidak direstui oleh keluarga dan orang tuanya. Tapi Hanum sudah nekat, ia tak mungkin mengelak dari Satria yang terus mengejarnya. Pernikahan pun terjadi. Hanum tercampak dari keluarga dan mesti hidup mandiri bersama Satria. Apapun yang terjadi, Hanum sudah menentukan pilihan bahwa Satrialah teman hidupnya. Seluruh cinta dan kepercayaan dia serahkan pada Satria. Hanumpun hidup mandiri. Satu bulan menikah, kebahagiaannya ternyata hanya sebentar. Malang ternyata bagi Hanum, ia sangat kaget. Setelah menikah Satria berubah dan membalas rasa sakit hatinya dulu pada Hanum. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 85
Tiap hari ia mulai kasar, membentak bahkan sering memukul Hanum dengan alasan sepele, bahkan ia mulai main perempuan. Hanum kaget, sedikitpun Hanum tidak menyangka Satria yang dulunya sangat sayang padanya dan berjuang mendapatkan hatinya tiba‐tiba saja berubah seperti monster yang akan menghancurkan hidupnya. Saat itu, Hanum bekerja menjadi seorang guru di sebuah sekolah swasta dengan gaji yang cukup lumayan, sementara Satria berjualan di sebuah pasar. Walau saat itu ekonomi mereka sudah meningkat, tapi uang tidak menjamin kebahagiaan. Saat itu Hanum sudah memiliki rumah, mobil, dan barang‐barang mewah, tapi kehidupan rumah tangganya berangsur pula mulai goncang. Satu bulan setelah ia menikah. Satria mulai bermain perempuan. Ia telah kehilangan kepercayaan pada suaminya itu, hati Hanum berkali‐kali hancur. Satria mulai mengkhianatinya. Sering Hanum menahan hati saat Satria kedapatan bermesraan dengan wanita lain di telepon genggamnya, dan juga di media sosial dengan seorang wanita di dunia maya. Hanum tidak mengira Satria akan tega menyakiti hatinya. Dalam kemelut ini ia mencoba sabar dan menahan diri. Ia takut keributan ini berakhir dengan kekerasan atau KDRT. Setiap ada keributan di rumah tangganya, Hanum kerap dipukuli Satria. Bagaimanapun Satria tidak akan pernah mau mengakui kesalahan apapun juga di setiap pertengkaran. Hari demi hari rasanya begitu sakit bagi Hanum. Setiap hari dia menjalani pekerjaannya sambil memboyong kedua anaknya yang masih balita ke sekolahnya, sementara 86 | Yossilia, dkk.
suaminya tidak pernah memperhatikannya lagi. Sejak subuh ia sudah mulai beraktivitas dan kembali pulang dari sekolah ketika haripun mulai senja. Saat itu Hanumpun mulai jenuh dengan aktivitasnya itu. Iapun berpikir untuk meninggalkan pekerjaan yang sudah 6 tahun digelutinya itu dengan berniat menjadi pegawai negeri. Iapun mencoba mengikuti tes CPNS di kota lain tanpa sepengetahuan yayasan tempat ia bekerja. Hanum sengaja memilih diam karena ia takut jika nanti ketahuan ia bisa di PHK. Dengan apa ia akan membesarkan anak‐anaknya nanti sementara ia tahu suaminya kurang bertanggung jawab. Memberi nafkahpun tidak. Mungkin karena Tuhan sayang kepada Hanum, akhirnya Hanumpun lulus seleksi tes pegawai negeri di sebuah daerah terpencil di Sumatra Barat. Di daerah terpelosok bersuhu dingin itulah tempat ia mengabdi pertama sekali. Merantau mengadu nasib bersama keluarganya. Ketika Hanum tahu bahwa ia lulus CPNS, Hanumpun segera mengundurkan diri dari pekerjaannya dan iapun pamit kepada suaminya agar semuanya bisa pindah ke daerah itu. Walau tanpa pengason apapun juga Hanum akhirnya pindah dari pekerjaannya dan memulai hidup baru di daerah itu. Akhirnya Hanumpun pindah. Hidup baru yang sangat berbeda dari kehidupannya di kota seperti selama ini ia jalani memang terasa berat bagi Hanum. Dengan memulai kehidupan baru sebagai guru baru di sana, banyak hal yang disesuaikan oleh Hanum. Dengan gaji yang cukup kecil Hanum mencoba hidup di rantau orang. Hari demi hari Hanumpun sudah mulai beradaptasi dengan siswa maupun Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 87
masyarakat di kampung itu. Hanum pun mulai menyenangi pekerjaan barunya. Dua bulan berlalu, Hanum belum gajian. Saat itu kejadian sedih dialami Hanum, kala itu suaminya mulai lagi menunjukkan perangainya. Petaka bermula ketika Hanum menerima gaji pertamanya. Kali itu Satria marah besar ia tidak percaya dengan gaji yang diterima Hanum yang jauh lebih sedikit dari gaji di kota dulu. Saat itu Satria meminta agar Hanum mau menggadaikan SK nya ke bank sebab ia ingin memulai usaha. Saat itu Satria menyangka gaji PNS itu besar dan ia tidak percaya dengan gaji kecil yang diterima Hanum. Akhirnya terjadilah pertengkaran hebat. Sambil memegang amplop gaji pertamanya itu, Hanum mesti menerima kata talak dari suaminya. Dengan berlinangan airmata, Hanum melepas kepergian Satria yang telah membawa seluruh baju di lemarinya. Demi anak anak yang tidak mengerti apa‐apa, Hanumpun tetap menghibur kedua buah hatinya itu sambil memeluk keduanya yang tengah takut melihat sikap ayahnya yang kasar itu. Sembilan bulan berlalu, Hanum hanya hidup sendiri di rantau orang sambil mengurus sendiri kedua buah hatinya sambil mengajar. Tiap sore pun ia sempatkan berjualan kue untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Jarak rumah Hanum ke sekolah cukup jauh. Setiap hari ia harus menyusuri jalan setapak di samping ladang penduduk dengan berjalan kaki. Namanya di kampung, mungkin banyak godaan juga bagi Hanum. Apalagi orang melihat Hanum tidak memiliki suami. Karena ketakutan itu Hanum mencari seorang 88 | Yossilia, dkk.
pengasuh di rumah untuk mengasuh anaknya agar terasa ramai. Sembilan bulanpun berlalu. Hanum bertahan menunggu putusan suaminya. Ia tak mau mengurus percerainya. Ia kasihan melihat anaknya tidak mempunyai ayah makanya ia berharap suaminya bisa kembali padanya. Akhirnya doa‐ doanya pun terkabul juga. Satria dan orang tuanya menginginkan mereka rujuk kembali. Dengan usaha gigih Satria, Hanumpun kembali memaafkan suaminya tanpa mengingat semua kesalahan Satria dengan tangan terbuka. Hanya satu harapan suatu saat nanti suaminya pasti berubah dan menyesali kesalahannya. Dengan rujuknya Hanum dan Satria, hidup merekapun kembali seperti biasanya. Satu tahunpun berlalu, Hanumpun diajak tinggal bersama mertuanya. Karena merasa iba melihat mertuanya yang sudah sakit‐sakitan, Hanumpun rela berkorban tinggal dan mengurus ibu mertuanya itu. Walau ia mesti melewati puluhan kilo untuk bisa sampai di tempat kerjanya. Hanum menjalani rutinitas ini setiap hari. Mulai subuh ia mengurus ibu mertua, dan anak‐anaknya, setelah itu Hanum buru‐buru berangkat setelah subuh. Setiap subuh, Hanum mesti mengejar bus keluar kota menuju sekolahnya. Perjalanan selama dua jam cukup lama dan terasa melelahkan, namun tiada terasa bagi Hanum. Ia cuma berharap rumah tangganya bisa harmonis setiap harinya. Hanum mencoba mengerti dengan sikap suaminya yang sering melecehkannya. Suatu kali Hanum dibujuk kembali oleh Satria untuk meminjam uang lagi di bank dengan dalih untuk usaha. Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 89
Hanumpun rela berkali‐kali terbujuk dengan rayuan suaminya itu hingga ia habis‐habisan demi memperjuangkan suaminya. Berkali‐kali pula ia dimanfaatkan suaminya. Hanum sangat memberi kepercayaan penuh pada Satria. Uang pinjaman bankpun keluar. Dengan uang yang ada Hanum membangun sebuah usaha di tanah mertuanya itu dengan mendirikan beberapa buah ruko yang bisa menopang ekonomi keluarganya. Tapi satu ruko diambil Satria untuk berdagang di rumah. Harapan rupanya hanya mimpi bagi Hanum. Goncangan dalam rumah tangganyapun muncul kembali. Satria mulai berubah, setiap hari Satria hanya bermalas‐malasan, sering keluyuran malam, dan pernah kedapatan mengonsumsi narkoba bersama temannya di kamar tidurnya. Satria mulai kecanduan narkoba dan sikapnya pun mulai kasar kembali pada Hanum. Hanum diperlakukan seperti pembantu di rumah itu. Dari pagi hingga malam hari Hanum masih tetap bekerja menjaga toko sepulang sekolahnya untuk kehidupannya. Saat itu Hanum hanya bisa sabar dengan sikap suaminya itu. Suatu kali bencana datang lagi di keluarga mereka. Hanum dipukuli lagi oleh suaminya ketika ia terlambat pulang dari sekolah karena ia terkurung macet. Hanum tak menyangka Satria akan pitam ketika ia akan menyiapkan makanan buat berbuka puasa tiba‐tiba Satria memukul Hanum dan menuduh Hanum sudah berselingkuh dengan laki‐laki lain. Padahal Hanum tidak pernah melakukannya, bahkan iapun bersumpah jika ia tidak pernah berbuat seperti tuduhan suaminya itu. 90 | Yossilia, dkk.
Hanum mencoba lari dari rumah bersama anaknya yang kecil sementara kedua anaknya yang lain dengan sangat ketakutan dan sedih mengintip dari sudut kamar memandang ke arah ibunya yang habis dipukuli ayahnya itu. Kepala Hanum bergelimangan darah dan badannyapun membiru karena pukulan Satria. Dengan airmata, Hanum mencoba bersembunyi dari kejaran suaminya dan berniat untuk minta perlindungan pihak berwajib. Tapi saat itu Hanum sempat berpikir ulang untuk membuat Satria mendekam di jeruji besi sebab mertuanya sedang sakit parah dan dua anaknya pun masih tinggal di rumah mertuanya itu. Malam itu juga Hanumpun melarikan diri dari rumah dan menumpang menginap di rumah tetangganya. Seorang ibu yang baik yang sangat iba melihat kondisi Hanum. Ibu itu memberikan Hanum tumpangan dan mengajak berbuka di rumahnya. Rasa sakit bekas pukulan suaminya itu masih terasa oleh Hanum, Dengan berlinangan air mata, rasanya tak tertelan bagi Hanum nasi di hadapannya itu ketika berbuka. Dengan fisik yang cukup lemah, Hanum menahan rasa laparnya. Semalam itu Hanum tak terlelap ia hanya memikirkan apa langkah yang harus dilakukannya esok hari membayangkan kedua anaknya. Hanum sudah yakin ia harus nekat kembali ke rumah suaminya itu untuk menjemput kedua anaknya yang tak sempat dibawanya itu. Iapun berhasil membawa kedua anaknya itu keluar dari rumah mertuanya itu pagi itu juga di saat Satria sedang terlelap tidur. Hanum segera melarikan diri dengan segera membawa ketiga anaknya pergi jauh dari rumah mertuanya Kartini Milenial (Antologi Cerpen) | 91
itu. Hanumpun segera menyembunyikan anaknya dari kejaran suami yang akan membunuhnya itu. Hanum sempat merasa tenang sesaat karena ia telah berkumpul dengan anak‐anaknya, tapi itupun hanya sesaat. Kembali Satria berhasil menangkap Hanum yang saat itu mengurus surat pindah anaknya.ia dijebak oleh sahabatnya sendiri yang memberitau keberadaan Hanum pada Satria. Dengan ketakutan yang luar biasa, Hanum berhasil kabur kedua kalinya dari sergapan suaminya itu. Anak‐anak kembali dikurung Hingga Hanumpun terpisah kembali dari anak‐ anaknya. Satria memang jahat, ia tega memisahkan Hanum dari ketiga buah hatinya itu, jangankan melihatnya berbicarapun Hanum dilarang oleh suaminya. Satu bulan berlalu dan kesabaran Hanumpun teruji lagi. Hanumpun hanya bersabar. Ternyata berkat kesabarannya itu akhirnya berbagai pihak membantu pengembalian anak‐ anaknya ke pangkuannya kembali. Saat itu Hanum sudah memiliki keputusan karena tidak sanggup lagi hidup dengan Satria. Hanumpun segera mengajukan perceraiannya sampai ke pengadilan agama. Berkat dukungan semua pihak, prosedur perceraian di kantornyapun berjalan dengan lancar. Dalam proses persidangannya yang berbelit‐belit karena suaminya tak menginginkan perceraian ini, Satria terus mengancam akan membunuh Hanum. Hanumpun sudah kuat, ia tidak takut dengan ancaman suaminya itu. Apapun ancaman Satria, ia tetap kukuh tidak akan mau berbalik lagi pada Satria. Tiga bulanpun berlalu, akhirnya putusan pengadilan pun keluar. Satria sangat emosi, ia tidak terima dengan putusan 92 | Yossilia, dkk.
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232