Sebagai tambahan, secara praktis informan dari Balai Diklat Keuangan Yogyakarta mengungkapkan bahwa, [i] jadi di setiap grup ada PiC-nya satu orang, dan narasumber misalnya widyaswara yang dianggap punya kompetensi dalam hal materi yang dikumpulkan. Nanti ketika ada anggota yang menemukan masalah, bisa sharing di situ, nanti diskusi dan mungkin dari kantor lain ikut nimbrung. Lalu narasumber yang dianggap tahu tersebut akan dapat memberikan benang merah dari masalah tersebut. Dari group WA tadi, dalam kondisi tertentu bisa bertemu, dikumpulkan disitu untuk bikin FGD atau open class, untuk membahas isu tertentu yang aktual. Ini mempertimbangkan lokasi juga, kalau CoP yang berbentuk diskusi di WA bisa di seluruh Indonesia, tanpa perlu keluar biaya. Tapi kalau yang bertemu langsung, biasanya dikooridinasikan oleh balai dalam bentuk program FGD.97 Selain ragam bentuk pengelolaan pengetahuan tersebut, menurut Ririn Mardiyani, Kepala Bidang Evaluasi dan Pelaporan Kinerja Pusat Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Umum, proses evaluasi juga menjadi tantangan utama dalam penerapan strategi corporate univeristy, ”. . . untuk pelatihan yang akan dievaluasi sampai level 4 itu pertimbangannya adalah pelatihan yang strategis, 97 Hasil wawancara dengan Casuri, Kepala Seksi Penyelenggaraan Balai Diklat Keuangan Yogyakarta, 7 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 79 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
memang diperlukan terkait tusi dari pegawai yang ada di unit bersangkutan. Untuk penentuan level ini harus koordinasi intens dengan user, karena mereka yang lebih tahu kebutuhan pembelajaran ini sampai di mana. Nanti kita akan putusakan sampai di level berapa. Untuk penentuan level 4 ini tidak mudah, karena terkadang pelatihan ini hanya bisa dievaluasi pada level 3, karena yang level 4 sudah . Sejauh ini yang paling memungkinkan dan yang paling mudah untuk dievaluasi adalah level 3, dan bahkan mungkin yang strategis pun tidak sampai level 4 kita evaluasi 3. Karena kadang tergantung dari peserta yang diikutkan. Kalau yang ikut tidak terkait langsung dengan tugas dan fungsi yang terkait pelatihan tersebut, memang tidak bisa kita evaluasi sampai level 4. Idealnya, untuk bisa sampai level 4 peserta yang bersangkutan harus dikarantina, jadi tidak menerima pengaruh dari pelatihan atau pembelajaran yang lain, atau pengetahuan yang lain. Tapi ini memang dirasa sulit, karena kita tidak mungkin mengkarantina, karena waktu untuk pengukuran itu tiga bulan setelah diklat selesai. Dan di Kemenkeu sendiri, pola mutasi dan rotasi sangat cepat, sehingga bisa saja peserta diklat pada bulan ini di tempat itu, saat dilakukan pengukuran level 4 yang bersangkutan sudah di tempat lain. Pengalaman selama ini, yang level 3 sampai dengan 100 orang, di level 4 tidak sampai 30%-nya. Ini memang agak rumit, karena kita bukan penghasil produk yang nyata, jadi kita belum sampai level 4 murni, belum bisa 80 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
dinyatakan terukur sampai dengan level 4. Yang level 4 ini baru akan mulai tahun evaluasi 2018, dan hasilnya belum terlalu menggembirakan karena masih awal.” 98 Ketiga ialah hubungan antara proses pembelajaran atau diklat dengan proses berjejaring dan bermitra. Dari data primer yang ada, setidaknya terdapat dua jenis proses berjejaring dan bermitra yang dipraktikkan di Kementerian Keuangan, yakni yang bersifat internal dan eksternal Kementerian. Untuk jenis yang pertama, proses berjejaring dan bermitra diejawantahkan dalam forum yang disebut learning council meeting (LCM). Berdasarkan pendapat Wawan Ismawandi, Kepala Bidang Penyelenggaraan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Umum, LCM menentukan arah strategis Kementerian dan segenap eselon I dalam satu tahun ke depan. Hasil LCM tersebut kemudian di-follow-up oleh setiap level di bawah masing-masing eselon I, pada level operasionalnya. Dari situ muncul kebutuhan organisasi untuk pembelajarannya. Dari situ, baru kami di BPPK akan membantu merumuskan solusi yang tepat untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Dari sini, lahir pengembangan kapasitas yang diperlukan untuk masing-masing eselon I, lalu menentukan siapa peserta yang pas untuk itu, lalu dibuat analisis kebutuhan 98 Hasil FGD di Pusdiklat Keuangan Umum, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan, 8 Agustus 2019, Ibid. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 81 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
pembelajaran, desain pelatihannya. Kalau beberapa tahun lalu kita arahnya kita punya menu pelatihan, lalu ditawarkan, dan model itu sudah ditanggalkan. Jadi organisasi butuhnya apa, kemudian CorpU bisa memenuhi itu seperti apa. Berbicara CorpU juga terkait LO, di mana organisasi harusnya menyiapkan atau memfasilitasi pegawainya untuk belajar. Dan belajar itu, esensinya di CorpU, prosesnya tetap sama, namun konsepnya menginginkan punya peran dan tanggung jawab yang sama dalam pemberdayaan SDM. Jadi semua punya tanggung jawab, bukan hanya punya satu unit atau training center saja. Dengan CorpU, pengembangan bisa di mana saja. Makanya dengan pendekatan 70:20:10, itu pendekatan antara formal dan informal learning, yakni informal learning bisa didapat masing-masing pegawai dengan melihat knowledge management yang dibangun untuk banyak orang. Ini adalah ekses atau efek dari sebuah konsep, yakni CorpU. Dalam hal ini, BPPK sebagai pelaksana dari Kemenkeu CorpU, dia yang wajib menyiapkan infrastruktur atau saran itu, supaya pegawainya bisa belajar. Dari situ mulai banyak dibuat otomasi dan tool yang dibangun dalam rangka menunjang tujuan CorpU.” 99 Menurut Theresia, Widyaiswara Muda Pusat Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Umum, 99 Ibid 82 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
”Untuk hasil AKP strategis, pembahasannya bisa berkali-kali, karena harus bisa dievaluasi sampai level 4, jadi setiap diklat harus ada evaluasi impact terhadap organisasi atau unit pengguna. Dalam setiap rapat desain pembelajaran yang harus ada ialah perwakilan dari semua bidang (penyelenggaraan sampai dengan evaluasi), widyaswara terutama wali program, dan bila di luar kompetensi yang ada maka mengundang narasumebr (praktisi atau ahli baik dalam maupun luar Kementerian).”100 Menurut Sunardi, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Umum, ”Sesungguhnya fungsi pengembangan SDM menyatukan antara diklat dengan manajemen SDM. Di Kemenkeu, fungsi pengembangan SDM ada di Sekjen, operasionalnya di BPPK. Sebenarnya istilah BPSDM sudah ideal, kalau memang kebijakan sudah jadi satu di BPSDM. Tapi itu tidak masalah, karena dengan CorpU sinergi itu dapat makin ditingkatkan dengan mengintegrasikan kedua sistem. . . . Lalu terkait mengukur dampak dari diklat ialah apakah sudah berguna terhadap kinerja organisasi. Di tiap-tiap fase ini, kami melibatkan unsur-unsur lain, untuk kemudian kami buatkan pedoman-pedoman dalam rangka mengoperasionalisasikan CorpU. Sampai sekarang 100 Ibid MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 83 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
kami melakukan perbaikan dan inovasi. Sebagai contoh, kita sedang mengembangkan e-certificate. Untuk aktivitas yang dilaksanakan oleh widyaswara melalui teknologi seperti e-learning, belum diakui oleh LAN. Ini tentu kurang bisa memotivasi widyaswara.”101 Pada level praktis, pola koordinatif antara proses pembelajaran dengan proses bermitra dan berjejaring juga ditemukan pada tingkat pelaksana diklat di Balai Diklat. Secara khusus, pola berjejaring ini tercipta melalui program diklat yang ditujukan kepada aparatur sipil negara di luar Kemenkeu. Menurut narasumber, kegiatan itu ”dilaksanakan melalui kerja sama program. Kalau istilah umumnya kerja sama diklat. Urutannya, dari tugas BPPK sebagai badan pendidikan dan pelatihan, tugas utamanya ialah mendiklatkan pegawai-pegawai di Kemenkeu, tapi tidak menutup kemungkinan adanya permintaan dari kementerian lain yang membutuhkan pengetahuan atau materi tentang keaungan negara. Untuk bisa masuk ke situ, teman-teman dari non- kemenkeu harus membuat semacam permintaan untuk melakukan kerja sama pelatihan tentang hal yang diinginkan tadi, contohnya dari Kemenkumham [diklat] tentang bendahara. Prosesnya melalui pusat, ketika dari Kemenkumham meminta antara BPSDM ke BPPK, untuk diturunkan ke Pusdiklat AP sebagai 101 Ibid 84 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
pemilik program pelatihan. Dari situ diadakan koordinasi antara Pusdiklat AP dengan BPSDM mau seperti apa pelatihannya, disepakati secara teknis, dan hal—hal yang tentang penyelenggaraan. Ini semua disepakati di tingkat pusat. Kemudian untuk daerah penyelenggaraannya, tergantung dari kesepakatan antar kedua pihak di pusat. Lalu, dari Pusdiklat AP menyampaikan kesepakatan tersebut ke balai. Jadi, kita Balai Diklat tidak boleh menerima langsung bentuk kerja sama. Kalaupun ada, sifatnya informal, misalnya adanya kunjungan dari pihak lain. Fungsi BDK sebagai eksekutor.”102 Sebagai tambahan menurut narasumber lainnya pada Balai Diklat Keuangan Yogyakarta, ”tugas dan fungsi BPPK melakukan pembinaan pengelolaan keuangan negara. Ini tidak tertulis ’khususkan untuk pegawai Kemenkeu’, itu tidak ada. Di Perpres dan tusinya, tidak dikhususkan untuk itu. Namun, mengingat keterbatasan DIPA jadi ada pelatihan yang kami selenggarakan pesertanya non- Kemenkeu, itu ada. Kita sudah beberapa angkatan lalu menyelenggarakan diklat tentang pengelolaan keuangan dengan peserta non-Kemenkeu. Tapi tetap ini bukan yang utama. Kalau kami anggarkan kadang- 102 Hasil wawancara dengan Chatarina Dyah, Plt. Kepala Balai Diklat Keuangan Yogyakarta, 7 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 85 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
kadang di akhir tahun. Itu yang sifatnya seperti CSR dari BPPK. Tahun 2018 lalu, minimal dua diklat, yakni pengelolaan keuangan dan bendahara pengeluaran. Pesertanya termasuk dari Kemenkumham, tetapi wakilnya hanya dua atau tiga, mengingat keterbatasan kursi. Solusinya, kadang-kadang dilakukan oleh kementerian lain dengan kerjasama program diklat, seperti yang dilakukan Kemenkumham sekarang ini, karena pesertanya semua dari Kemenkumham. Kalau yang semacam CSR kita, dalam pengertian memenuhi kewajiban [tusi] di dalam Perpres 28 tadi yakni mendiklatkan peserta dari seluruh kementerian. Kerja sama yang lain bisa dilakukan dengan pemberian bantuan narasumber. Misalnya, Kemenkumham butuh hanya pengajarnya saja, kalau memang widyaswara kita ada dan siap, dan kebetulan bisa, kita kirimkan. Memang sebenarnya amanat Perpres itu [untuk diklat non-Kemenkeu], Cuma keterbatasan anggaran.”103 Dari proses bermitra dan berjejaring pada tataran internal dan eksternal tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat hubungan antara proses pembelajaran dengan berjejaring dan bermitra. Pada satu sisi, proses pembelajaran menghasilkan keluaran berupa sensemaking, sedangkan sebaliknya proses berjejaring dan bermitra akan menghasilkan informasi baru 103 Hasil wawancara dengan Casuri, Kepala Seksi Penyelenggaraan Balai Diklat Keuangan Yogyakarta, 7 Agustus 2019 86 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
yang akan bermanfaat bagi pembelajaran. Hal yang perlu ditekankan dalam relasi kedua proses ini ialah area kerja di bidang pengelolaan keuangan negara sebagai konteks. (vide Penjelasan Umum UU 17/2003) Konteks ini pada derajat tertentu berimplikasi pada spektrum kerja unit diklat di Kemenkeu yang bukan hanya berkontribusi terhadap pengembangan kompetensi aparatur di internalnya, namun bergerak pula ke aparatur keuangan di instansi-instansi lain, bahkan masyarakat umum. B. BPSDM Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Pengembang Kompetensi dalam Lensa Corporate University Sebagai sebuah institusi pemerintahan, Kementerian Hukum dan HAM tentunya memiliki fitur-fitur yang dapat mencirikannya sebagai sebuah organisasi. Menurut Scott, fitur-fitur tersebut meliputi pertama organisasi adalah sistem rasional, yakni sebuah kolektivitas yang berorientasi pada tujuan untuk mengejar tujuan khusus dan memiliki struktur sosial yang sangat formal; kedua, organisasi adalah sebuah sistem natural, yakni kolektivitas yang anggotanya berbagi sebuah kepentingan bersama dalam berjalannya sistem dan yang bekerja di dalam aktivitas kolektif, terstruktur secara informal, untuk mencapai tujuan tersebut; ketiga, organisasi sebagai sebuah sistem terbuka, yakni gabungan antar kelompok kepentingan yang mengembangkan tujuan melalui negosiasi; struktur koalisi, aktivitas-aktivitas, dan keluarannya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lebih jauh melalui MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 87 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
pendekatan sistem, Luhmann menyatakan bahwa organisasi merupakan tatanan sosial yang diputuskan (decided). Dalam hal ini, decisions atau keputusan-keputusan merupakan elemen dasar dari sebuah organisasi. Secara sederhana, decisions merupakan sebuah komunikasi atas pilihan-pilihan yang dibuat oleh anggota di dalam organisasi.104 Dalam kerangka analitik corporate university wheel, dapat dipahami bahwa keluaran (output) dari proses pembelajaran (learning process) ialah sensemaking. Secara konseptual sensemaking sederhananya adalah ’membuat akal’. Dalam hal ini, agen-agen aktif mengonstruksikan kejadian (events) yang bersifat sensible dan sensable. Thomas, Clark, dan Gioia menggambarkan sensemaking sebagai ”the reciprocal interaction of information seeking, meaning ascription, and action.”105 Di sisi lain, Feldman mengartikan sensemaking sebagai sebuah proses interpretif yang diperlukan agar anggota organisasi memahami dan membagikan pemahaman tentang fitur tertentu dari organisasi tentang apakah organisasi, apakah bekerja dengan baik atau tidak, apa permasalahan yang dihadapi, dan bagaimana organisasi menyelesaikannya.”106 104 Göran Ahrne, Nils Brunsson, and David Seidl, ”Resurrecting Organization by Going beyond Organizations,” European Management Journals (2016): 1–9. 105 J. B. Thomas, S. M. Clark, and D. A. Gioia, ”STRATEGIC SENSEMAKING AND ORGANIZATIONAL PERFORMANCE: LINKAGES AMONG SCANNING, INTERPRETATION, ACTION, AND OUTCOMES.,” Academy of Management Journal 36, no. 2 (April 1, 1993): 239–270, http://amj.aom.org/cgi/ doi/10.2307/256522. 106 Weick, Sensemaking in Organizations. 88 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Dari ragam pemahaman tentang sensemaking dalam studi organisasi, dapat dipahami bahwa studi interpretif terhadap kehidupan organisasi didasarkan pada empat asumsi, yang menurut Porac, Thomas, dan Baden-Fuller meliputi (i) aktivitas dan struktur organisasi ditentukan oleh tindakan mikro momentary dari anggota-anggotanya; (ii) tindakan didasarkan pada rangkaian yang padanya individu hadir untuk menandai lingkungan, menafsirkan arti dari tanda tersebut, dan mengeksternalisasikan penafsiran ini melalui aktivitas konkret; (iii) arti dibuat ketika tanda-tanda dihubungkan dengan struktur kognitif yang cukup belajar dan berkembang; serta (iv) orang dapat memverbalisasikan penafsirannya dan proses yang mereka gunakan dalam menciptakan penafsiran tersebut.107 Adapun sumber dari sensemaking adalah hal-hal seperti kalimat, discrete definitions, konsep, dan interpretasi yang diperoleh dari observasi, continuous subject matter, pengalaman, persepsi, dan kejadian fenomenal.108 Di dalam subbagian ini, analisis akan diterapkan atas peran BPSDM Hukum dan HAM sebagai pengemban tugas proses belajar di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Dengan menggunakan kerangka analitik corporate university, terdapat tiga pola interaksi yang akan dijelaskan lebih lanjut, yakni (i) interaksi antara proses belajar dengan proses perorangan; (ii) interaksi antara proses belajar dengan proses sistem pengetahuan; dan (iii) interaksi antara proses belajar 107 Ibid. 108 Ibid. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 89 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
dengan proses berjejaring dan bermitra. Ketiga interaksi ini diharapkan mampu menjadi dasar bagi Kementerian Hukum dan HAM dalam mengoperasionalkan kebijakan corporate university di masa mendatang, serta secara lebih luas dalam rangka menyusun strategi untuk pengembangan kompetensi di dalam sistem hukum Indonesia. 1. Sensemaking terhadap People Process Dalam kerangka kerja corporate university, proses pembelajaran harus terhubung dengan proses perorangan melalui manajemen sumber daya manusia. Ketika proses pembelajaran menghasilkan keluaran berupa sensemaking kepada proses perorangan, sebaliknya proses perorangan dengan keluaran berupa structuring akan terhubung dengan proses pembelajaran. Proses sensemaking berkontribusi dalam proses perorangan khususnya untuk para pejabat fungsional. Secara umum di Kementerian Hukum dan HAM, narasumber Ferry Ferdiansyah menyatakan, ”Pengembangan pegawai dengan pola karier sudah banyak dilakukan khususnya bagi JFT. Juga untuk SDM teknis sudah berbanding lurus. Namun masih kurang di sektor diklat PIM, ada yang sudah diklat tapi tidak menjabat, sebaliknya ada yg sudah menjabat namun belum diklat. Idealnya diklat menjadi persyaratan. Sarannya pengembangan karier sebaiknya melalui diklat teknis dan tolak ukurnya jelas. Bagi yang sudah 90 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
diklat wajib ditempatkan sesuai posisinya. Jadi lebih siap dan matang. Perlu juga ada data SDM sudah mengikuti Diklat apa saja, yang nantinya akan terlihat apa yang diperlukan. Sehingga untuk karier tinggal di lihat di sistem siapa yang sudah memenuhi persyaratan lalu diajukan untuk jabatan tertentu.”109 Menurut R. Danang Agung Nugroho, ”. . . yang dilakukan BPSDM untuk melakukan peningkatan kompetensi penyuluh yaitu akan dilakukan diklat e-learning. Dalam hal ini masyarakat terlalu banyak dan luas dan tidak sebanding dengan jumlah penyuluh hukum yang berjumlah 19 orang, sehingga bila penyuluh harus mengikuti diklat klasikal di BPSDM, maka tugas- tugas penyuluhan hukum akan ditinggalkan. Padahal pada saat-saat tertentu masyarakat sangat membutuhkan penyuluhan hukum. Bila dilakukan e-learning, maka kegiatan dapat dilakukan secara bersamaan.” 110 109 Hasil wawancara dengan Ferry Ferdiansyah, Kepala Subbagian Pengelolaan Keuangan dan Barang Milik Negara Kanwil Kemenkumham Jawa Barat, 6 Agustus 2019 110 Hasil wawancara dengan R. Danang Agung Nugroho, Penyuluh Hukum Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah, 6 Agustus 2019. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 91 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Namun demikian, terdapat beragam kendala yang dihadapi oleh Kementerian dalam rangka menghubungkan antara proses pembelajaran dengan proses perorangan. Secara umum, narasumber Fungsional di Badan Litbang menyampaikan, ”Setahu saya, diklat penjenjangan, yaitu PIM (diklat kepemimpinan, -pen) empat sampai satu. Semacam itu aja, diklat manajerial tiga kali seminggu. Walaupun itu hanya sebatas diklat, dan belum diproyeksikan kalau orang tersebut akan diberikan jabatan pada posisi apa. Saya tidak tahu, tetapi banyak teman-teman tidak melihat suatu pola pengembangan karier yang jelas, sehingga ada seorang ahli tertentu tetapi ditempatkan di tempat lain.Haliniberartibelumadakonseppengembangan SDM. Sebetulnya dengan rekrutmen CPNS dengan adanya jabatan, itu kan akan mempermudah. Orang ini akan kemana, analis ini kemana, terus dalam hal pengembangannya dibutuhkan apa saja, asupan yang dibutuhkan. Jangan setelah itu orang direkrut, didiemin, lo fight sendiri, kalo mau mengembangkan karir ya fight sendiri, ini kompetisi. Ada orang lagi dalam konsep pemikiran lama, bagaimana cara mendekati pimpinan, paling gitu sekarang, belum berdasar keahlian.” 111 111 Hasil wawancara dengan Oki Wahju Budijanto, Peneliti Madya Badan Litbang Hukum dan HAM, 25 Juli 2019 92 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Kendala tersebut dapat lebih lanjut diuraikan ke dalam dua perspektif, yakni dari sisi proses pembelajaran dan dari sisi proses perorangannya. Untuk yang pertama, kendala yang dihadapi ialah terkait dengan tahapan pembelajaran itu sendiri, yang dimulai dari aktivitas analisa kebutuhan diklat. Menurut Rr. Widya, ”Terkait analisa kebutuhan diklat, maka Divisi Administasi menyurati kepala divisi. Dalam hal ini sudah ada form-form untuk diklat. Pihak Kanwil mengusulkan jumlah pegawai yang mengikuti diklat, bukan nama pegawai. Setelah itu Divisi Administrasi mengusulkan ke BPSDM. Pada saat pelaksanaan dipanggil sesuai dengan nama pegawai. Pengembangan pegawai sudah berjalan sebagaimana mestinya. Akan tetapi usulan-usulan pegawai seharusnya tidak pada akhir tahun. Dalam hal ini kebutuhan diklat dapat direncanakan dari awal misal pada triwulan pertama atau kedua terutama terkait siapa pegawai yang belum mengikuti diklat, kebutuhan organisasi sepeti apa dan sebagainya.” 112 Selain itu, tahapan evaluasi dan tindak lanjut pem belajaran juga menjadi perhatian dari para narasumber. 112 Hasil wawancara dengan Rr. Widya V.H. , Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah, 6 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 93 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Perihal tindak lanjut dari diklat misalnya, Rr. Widya mengungkapkan bahwa, ”Terdapat evaluasi dari BPSDM mengenai pegawai yang mengikuti diklat. Akan tetapi dari BPSDM tidak selalu ada action plan. Berbeda halnya dengan diklat Kepemimpinan II yang selalu ada action plan berupa rencana perubahan. Di BPSDM, tidak semua diklat ada Action Plannya. Bila ada action plan, baru bisa dievaluasi. Output yang ada saat ini hanyalah sertifikat, padahal seharusnya ouput BPSDM berupa sertifikat, action plan dan kenyataan atau wujud action plan tersebut. Dengan demikian peran Bagian Evaluasi dan Laporan BPSDM belum maksimal.” 113 Lebih lanjut, Audy Murfiz mengungkapkan bahwa ”Salah satu kelemahan BPSDM, setelah peserta selesai mengikuti diklat, tidak ada monitoring untuk melihat apakah peserta tersebut ada peningkatan atau tidak.”114 Perhatian senada juga diungkapkan oleh Evi Purwaningsih, 113 Ibid 114 Hasil wawancara dengan Audy Murfiz, Sekretaris Badan Pembinaan Hukum Nasional, 30 Juli 2019 94 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
”Untuk alumni-alumni diklat, BPSDM seharusnya dievaluasi dan monitoring untuk mengetahui perkembangan alumni peserta diklat. Monevnya masih kurang. Dengan demikian perlu diketahui manfaat transfer pengetahuan yang diberikan BPSDM bagi alumni tersebut.”115 Di sisi lain, dalam proses perorangan, yang pada tataran praktis diterjemahkan sebagai manajemen sumber daya manusia, juga memerlukan perhatian. Salah satunya pada ketersediaan peta karier pegawai yang, menurut Muti’ah, ”pelaksanaan manajemen pegawai, terkait analisis kebutuhan pegawai, untuk pengembangan pegawai sudah cukup baik. Yang bermasalah adalah mungkin peta karier – sistem rolling pegawai yang tidak berjalan, ada pegawai yang bertahun tahun tidak dipindahkan. Peta karir, sebenarnya sudah ada seperti kegiatan assessment namun ujung- ujungnya hasilnya tidak tau untuk apa.” 116 Perlu dipahami bahwa proses perorangan di dalam organisasi secara konseptual akan menghasilkan 115 Hasil wawancara dengan Evi Purwaningsih, Kepala Subbagian Kepegawaian, Tata Usaha, dan Rumah Tangga Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta, 1 Agustus 2019 116 Hasil wawancara dengan Muti’ah Agustin, Arsiparis Muda Sekretariat Jenderal, 1 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 95 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
structuring. Proses pen-struktur-an ini mencakup bukan hanya terkait dengan tata laksana organisasi, namun juga mengakomodasi lingkup manajemen sumber daya manusia, seperti pola karier, mutasi, maupun promosi pegawai. Dengan begitu, problematika yang dihadapi di dalam manajemen pegawai di Kementerian Hukum dan HAM akan, pada gilirannya, berpengaruh terhadap keberhasilan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh BPSDM. Pada titik ini, berdasarkan data yang dikumpulkan, isu tentang transparansi dan akuntabilitas menjadi hal krusial yang menentukan berlangsungnya proses manajemen SDM di Kementerian. Pengaturan mengenai Pola Karier di Kemenkumham telah diatur dalam Permenkumham Indonesia. M.3819. KP.04.15/2006 tentang PolaKarierPNS Departemen Hukum dan HAM Tahun 2006. Namun dalam pelaksanaannya peraturan tersebut masih menyisakan permasalahan di antaranya adalah: (i) belum dapat memberikan gambaran secara jelas bagaimana sistem karier yang akan dibangun di Kemenkumham; (ii) substansi pedoman pola karier yang ada lebih banyak mengatur tentang persyaratan jabatan; (iii) mekanisme perpindahan jabatan/karier (vertikal, horizontal, condition zig zag) belum diatur secara detail; (iv) sebagai Kementerian dengan struktur organisasi dan jumlah pegawai yang besar, pola mobilitas karier pegawai harus lebih luas, ini tampaknya belum diatur; (v) pola dasar karier PNS Kemenkumham belum memberikan gambaran peta perjalanan karier mulai CPNS sampai pensiun sesuai dengan pangkat, jabatan, pendidikan, usia 96 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
dan masa kerja; (vi) scoring (penilaian) terhadap PNS yang akan diangkat menjadi pejabat struktural yang belum berdasarkan unsur-unsur pangkat, pendidikan (ijazah), DUK, dan unsur lain yang relevan; dan (vii) karakter dan tugas yang unik/khas dari setiap Unit Eselon I (Imigrasi, Pemasyarakatan, Kekayaan Intelektual, Administrasi Hukum Umum) belum diakomodasi dalam pola karier PNS di Kemenkumham.117 Pola karier yang baik dan dilaksanakan dengan cara-cara yang benar sejatinya akan berfungsi sebagai pedoman penjenjangan karier pegawai dan berfungsi juga sebagai alat untuk memotivasi pegawai dalam bekerja. Pola karier yang baik akan memberikan kepastian kepada pegawai tentang pelaksanaan tugasnya yang akan menentukan masa depannya dalam organisasi. Kepastian seperti promosi dalam jabatan, sanksi terhadap pelanggaransebagai akibatdari pekerjaannyaakan memacu pegawai untuk senantiasa bekerja secara maksimal. Oleh karena itu pola karier yang jelas sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja pegawai yang akan berujung kepada kinerja Kementerian ini secara keseluruhan. Secara normatif, komitmen Kementerian untuk mengelola pegawai dengan basis kompetensi tercermin di dalam Permenkumham Nomor M.HH-06.IN.04.02 Tahun 2010 tentang Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia 117 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Evaluasi Pola Karier Di Lingkungan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, 2016). MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 97 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Republik Indonesia. Di dalam regulasi ini, manajemen SDM berbasis kompetensi adalah ”serangkaian keputusan untuk mengelola hubungan kepegawaian secara optimal mulai dari proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan dalam kegiatan rekrutmen dan seleksi, pendidikan dan pelatihan, penilaian kinerja, kompensasi, karier dan promosi serta terminasi dengan menyelaraskan strategi unit kerja dengan strategi pengelolaan dan pengembangan SDM yang didasarkan pada kompetensi jabatan” (Pasal 1 Ayat 3). Merujuk pada konsep manajemen SDM di atas, kebijakan tersebut merupakan sebuah upaya progresif yang dilakukan oleh Kemenkumhan dalam pengelolaan dan pengembangan SDM pegawai. Lebih jauh, faktor pemimpin mutlak menjadi perhatian yang tidak dapat ditinggalkan dalam menggambarkan relasi antara proses pembelajaran dengan manajemen SDM. Anggiat Napitupulu mengungkapkan ”Corpu menjawab kebutuhan Pola Karier, melalui sistem strategi tersebut pegawai dari CPNS sampai Pensiun sudah disiapkan di jalur karir teknis tertentu, yang mana tentunya akan menciptakan Pegawai Profesional. Pola karir berbasis kompetensi, terkadang penyebaran pengetahuan terhambat dikarenakan pola karir yang tidak tepat. Misalnya ada penempatan administrasi namun menerima diklat teknis, dan juga sebaliknya, oleh karenanya sekalipun Penyebaran Pengetahuan dalam hal Pengalaman sekalipun tidak dapat terjadi dikarenakan penempatan yang tidak sesuai. 98 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Sulit utk menciptakan kondisi Paralel antara Diklat dan Karir/penempatan. Kembali, peran pimpinan sangat perlu dalam hal pengambilan kebijakan.”118 Selaku pimpinan, Ceno Hersusetiokartiko mengung kapkan, ”Untuk mengatasi kendala dalam kediklatan dan pengembangan SDM. Pertama yang perlu dilakukan, harus dibuatkan kebijakan terkait standar kompetensi. Misal, untuk seorang yang ingin menjadi seorang Kalapas/Karutan dia harus memiliki standar kompetensi tadi dukungan manajemen, kompetensi teknis administrasi, kompetensi teknis pengamanan, kompetensi teknis KUHAP/ Acara Pidana, Teknis pengelolaan bahan makanan, Teknis Perawatan Manusia/ tahanan misalnya. Kedua, masalah motivasi bekerja. Untuk memperoleh itu, yang biasa saya lakukan ketika menyampaikan suatu kebijakan selalu memulai dari kebutuhan mereka, hak mereka. Jadi disentuh dulu apa yang menjadi hak mereka, naik pangkat, rotasi promosi sama gaji/tunjangannya. Sentuh dulu hal itu kemudian ajakan untuk berubah/ mengubah mindset.” 119 118 Hasil wawancara dengan Anggiat Napitupulu, Direktur Politeknik Imigrasi, 2 Agustus 2019 119 Hasil wawancara dengan Ceno Hersusetiokartiko, Kepala Divisi Administrasi Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat, 7 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 99 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Kendati demikian, hubungan kedua proses ini terkendala dari sisi egosektoral antar unit di internal Kementerian. Rachmayanti berpendapat bahwa, ”Manakala seorang pegawai sudah dilatih, tetapi tidak link dengan kariernya dia, seharusnya, BPSDM bisa merekomendasikan kepada siapa? Kepada Dirjen PAS misalnya, bahwa pegawai ini memiliki kompetensi dan layak untuk menduduki jabatan/ dijadikan apa. Menurut saya itu yang belum dilakukan. Saat ini antara BPSDM, Setjen, dan Unit User masih berjalan sendiri-sendiri. Padahal, idealnya BPSDM sudah mencetak kemudian merekomendasikan kepada Ditjen PAS, kemudian Ditjen PAS akan mengusulkan berdasarkan kompetensi yang dimilki, kemudian Setjen tinggal membuatkan SK. Sebetulnya yang punya kewenangan yaitu BPSDM dan Ditjen PAS sebagai user misalnya. Kalaupun misalnya Setjen, hal ini perlu assessment, maka yang di assessment adalah orang-orang yang diusulkan oleh Ditjen PAS. Saat ini pegawai agak apatis, sudah kursus ini itu, diklat ini itu akan tetapi karirnya tidak naik- naik, jadi frustasi, timbul pemikiran untuk apa ikut Pendidikan pelatihan/ kursus ini itu tidak ada manfaat dalam peningkatan karirnya. Begitu juga 100 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
sama dengan assessment, berkali-kali seseorang di-assessment tetapi gak jadi-jadi.”120 Berdasarkan data yang ada, belum terdapat hubungan yang sinkron antara proses pembelajaran dengan keluaran berupa sensemaking dengan proses perorangan dengan keluaran berupa structuring. Di satu sisi, proses pembelajaran, yang sangat dititikberatkan pada tugas dan fungsi BPSDM Hukum dan HAM, belum mampu mengakomodasi sasaran strategis dan dinamika yang terjadi di tengah unit-unit teknis. Di sisi yang lain, proses perorangan belum berjalan seiring dengan proses pembelajaran. Keluaran berupa structuring di dalam instansi dihadapkan pada problematika terkait ketidaksiapan desain karier pegawai dalam bentuk peta karier, belum lengkapnya kamus dan standar kompetensi jabatan, hingga permasalahan akuntabilitas dan transparansi manajemen kepegawaian. Hal ini menjadi semakin kompleks ketika dihadapkan pada keruwetan pola koordinasi antara unit pelaksana teknis, satuan kerja kantor wilayah, pengelola kepegawaian unit teknis pusat, dan Sekretariat Jenderal. 2. Sensemaking terhadap Knowledge System Process Proses sistem pengetahuan secara konseptual dapat dijelaskan melalui pembahasan tentang gambaran 120 Hasil wawancara dengan Rachmayanti, Direktur Politeknik Ilmu Pemasyarakatan, 30 Juli 2019. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 101 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
pengelolaan pengetahuan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Dalam kerangka kerja corporate university, lanskap pengelolaan pengetahuan seyogianya diarahkan pada keluaran berupa goal reference knowledge atau pengetahuan yang merujuk pada tujuan atau sasaran. Pengetahuan berbasis tujuan ini merupakan keluaran yang berkontribusi secara langsung terhadap proses pembelajaran, sehingga setiap proses pembelajaran memiliki tujuan atau sasaran yang jelas. Sedangkan di sisi lain, proses pembelajaran dengan keluaran berupa sensemaking dapat berkontribusi pula terhadap proses sistem pengetahuan dengan harapan bahwa setiap unsur di dalam organisasi dapat secara aktif belajar dan mampu mengelola pengetahuan yang ada secara efektif. Hubungan antar kedua proses ini, menurut Ceno Hersusetiokartiko selaku jajaran pada level pimpinan, terletak pada pola atau mekanisme hubungan antar proses tersebut. Ceno Hersusetiokartiko berpendapat bahwa ”. . . konsep coaching mentor ini menurut saya ini cikal bakal dari Corpu itu sendiri. Dalam konsep Corpu sendiri menurut saya konotasi adalah ada proses pembelajaran di situ, belajar mengajar terhadap atasan kepada bawahan. Permasalahannya adalah mulai dari mana nih? Apakah yakin saat ini seorang atasan, termasuk saya, memiliki kompetensi untuk menularkan, memberikan pembelajaran ilmu. Di sisi lain, semua pejabat struktural berangkat untuk menjalankan tugas kadang-kadang belum dibekali dengan kompetensi yang cukup. Seorang calon 102 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Karutan (Kepala Rutan- pen) sebelum berangkat/ menjabat seharusnya dibekali kompetensi. Dasar- dasar dukungan manajemen (misal anggaran, perencanaan, SDM). Serta kemampuan teknisnya. Jadi, apapun jabatan struktural, ketika ia mau menjabat, harus diberikan pembekalan. Kalaupun BPSDM masih terkendala dengan permasalahan yang ada (anggaran, kuota, sapras, dll) itukan bisa dilaksanakan dengan konsep Corpu (coaching dan mentoring, pen). Paket kecilnya, sebelum berangkat menjabat, adakan pertemuan, masuk. Misalnya untuk calon Kalapas, Karutan, masuk ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, kemudian BKO di sana selama seminggu/ dua minggu. Akan memperoleh ilmu dari atasannya atau dari berbagai literatur, dasar-dasar kebijakan, termasuk juknis, SOP, peraturan ketika atasannya kurang memiliki pemahaman dalam memberikan bekal. Ini gambaran saya, makanya saya sangat mendukung sekali konsep Corpu ini.” 121 Hubungan antara proses pembelajaran dengan sistem pengetahuan tentu tidak terlepas dari situasi lanskap pengelolaan pengetahuan di Kemenkumham. Berdasarkan analisis deskriptif tentang pengelolaan pengetahuan 121 Hasil wawancara dengan Ceno Hersusetiokartiko, Kepala Divisi Administrasi Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat, 7 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 103 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
(uraian secara detil tersaji di Bab IV), diperoleh gambaran bahwa pengetahuan belum terkonsolidasikan dengan baik di tiap-tiap level organisasi, baik dari pimpinan, administrasi, dan fungsional. Situasi ini menyebabkan terkendalanya pembentukan pengetahuan berbasis tujuan yang seharusnya dihasilkan dari proses pengelolaan pengetahuan yang ada. Pada gilirannya, kendala tersebut berimplikasi pada ketidakefektifan proses pembelajaran yang tidak mengacu pada tujuan atau sasaran tertentu dari organisasi. Inisiatif untuk melakukan praktik pengelolaan pengetahuan di Indonesia sudah dimulai sejak satu dekade lalu. Tepatnya pada 2009, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bersama-sama dengan Universitas Indonesia membangun sebuah portal yakni Garba Rujukan Digital (Garuda) yang menyediakan akses terbuka terhadap konten yang dimuat.122 Portal tersebut dimaksudkan sebagai portal utama untuk berbagi pengetahuan serta untuk mengekspos karya literatur Indonesia kepada audiens yang lebih global.123 Sebagai 122 Ida Farida et al., ”A Conceptual Model of Open Access Institutional Repository in Indonesia Academic Libraries: Viewed from Knowledge Management Perspective,” Library Management 36 (2015): 168–181. 123 Dalam rangka mengoptimalkan Portal Garuda, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan dua kebijakan di tahun 2011 dan 2012. Kebijakan tersebut mengatur kewajiban bagi para dosen untuk memublikasikan tautan karya akademik yang dimuat di portal pengetahuan sebagai syarat promosi. Kebijakan lainnya mewajibkan mahasiswa sarjana dan pascasarjana untuk memublikasikan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan studi. Ibid. 104 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
hasil, tak hanya didukung dengan infrastruktur teknologi yang cukup mapan, praktik pengelolaan pengetahuan di Indonesia juga telah memiliki beragam pengetahuan yang bersumber dari beragam institusi pendidikan. Dalam hal ini ’pengetahuan’ hadir dalam bentuk artikel jurnal, skripsi, disertasi, laporan, hingga makalah konferensi. Selanjutnya melalui portal tersebut, ’pengetahuan’ yang ada diabadikan, diklasifikasikan, dan didiseminasikan tidak hanya kepada komunitas lokal kampus, melainkan ke seluruh jaringan institusi akademik Indonesia.124 Bahkan, portal tersebut dapat meningkatkan visibilitas para akademisi pendidikan tinggi Indonesia di tingkat global. Sehingga, meskipun hanya dilakukan secara parsial dalam sektor pendidikan tinggi, dapat dipahami bahwa inisiatif Kemendikbud melalui ’Portal Garuda’ termasuk ke dalam praktik pengelolaan pengetahuan. Dari sektor BUMN, PT. PLN merupakan salah satu perusahaan yang berhasil menerapkan pengelolaan pengetahuan hingga pada fase ketiga. Menurut pernyataan Ridho Hutomo, Manager UPDL PLN Jakarta, ”Di PLN Pusat ada divisi khusus yang mengelola pengetahuan. Ada sistem KM Portal, semua pengetahuan, pengalaman, disimpan di knowledge portal. […] semua orang bisa belajar pengalaman dari divisi lain. […] pengetahuan yang ada bisa menjadi dasar dalam membuat modul, dalam arti, 124 Ibid. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 105 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
knowledge based on failure and success. Kemudian didesain fasilitator yang merancang metodologi untuk mendiseminasikan pengetahuan tersebut.”125 Selanjutnya menurut Ridho, proses bisnis di lingkungan PT. PLN sudah dipetakan dengan sedemikian rupa yang menghasilkan enam puluh enam cabang profesi di seluruh Indonesia. Setiap profesi tersebut kemudian dikelompokkan sesuai dengan profesi yang dibutuhkan dalam organisasi.126 Dalam sistem pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management System/KMS) PLN, pengetahuan tidak hanya bersumber dari pengetahuan tacit pegawai yang disebarluaskan melalui community of practices, namun juga termasuk pengetahuan explicit yang berasal dari luar organisasi, seperti data mengenai keluhan pelanggan dan data pembayaran tagihan pelanggan. Pengetahuan tersebut, akan dianalisis dengan teknik knowledge data discovery (KDD) sehingga dapat membantu organisasi sebagai basis pengambilan keputusan dalam menyelesaikan suatu masalah.127 Hal tersebut yang menempatkan sistem pengelolaan pengetahuan yang 125 Pernyataan Ridho Hutomo, Manager UPDL PLN Jakarta pada Diskusi Kelompok Terfokus sebagai rangkaian Pengumpulan Data Lapangan Penelitian, Jakarta 16 Juli 2019 126 Ibid. 127 Eka Novrizal Saputra, Ken Ditha Tania, and Rahmat Izwan Heroza, ”Penerapan Knowledge Management System (KMS) Menggunakan Teknik Knowledge Data Discovery (KDD) Pada PT. PLN (PERSERO) WS2JB Rayon Kayu Agung,” Jurnal Sistem Informasi 8, no. 2 (2016): 1038–1055. 106 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
dipraktikkan oleh PLN pada fase ketiga, yakni interaksi optimal antara teknologi, individu, dan budaya organisasi. Gambaran praktik tersebut dapat menjadi rujukan bagi Kementerian dalam merumuskan hubungan antara proses pembelajaran dengan pengelolaan pengetahuan di dalam organisasi. Kendati, ketiga fase yang menjadi target pengelolaan pengetahuan memerlukan beberapa prakondisiyang matang bagi Kementeriandalammengelola pengetahuan. Sebagaimana akan diulas di dalam Bab IV, prakondisi tersebut dapat diidentifikasi dengan analisis prosesual terhadap fakta empiris pengelolaan pengetahuan di lingkungan Kementerian. 3. Sensemaking terhadap Network and Partnership Process Keluaran dari proses jejaring dan kemitraan ialah informasi baru (new information). Dalam hal ini, informasi baru tentu dapat diperoleh dari proses bermitra baik dalam lingkup internal maupun eksternal organisasi. Dalam konteks Kementerian Hukum dan HAM, proses di tingkat internal dapat melibatkan kemitraan antar unit utama, maupun antara unit utama dengan di tingkat wilayah. Sedangkan di lingkup eksternal, proses ini dapat melibatkan unit di Kementerian Hukum dan HAM dengan instansi pemerintah lain, institusi akademik maupun organisasi kemasyarakatan baik di dalam maupun luar negeri. Keluaran berupa informasi baru tentu memiliki hubungan dengan proses pembelajaran. Hal ini terjadi MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 107 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
ketika informasi baru tersebut disematkan ke dalam proses pembelajaran, baik oleh unit pelaksana pengembangan kompetensi maupun melekat di masing-masing unit, dalam rangka pengembangan kompetensi yang dapat menunjang proses kerja organisasi mencapai sasaran strategis dan visi yang telah ditentukan. Pada sisi yang lain, proses pembelajaran yang menghasilkan sensemaking juga perlu mendukung proses jejaring tersebut, mengingat ragam upaya bermitra/berjejaring bersumber dari proses pembelajaran yang ada di dalam organisasi. Pada level praktis, Ismoyoto Nugroho mengungkapkan bahwa ”Kegiatan untuk meningkatkan kemampuan pegawai selain diklat dilakukan melalui metode lain seperti ToT, ToF, juga untuk meningkatkan keterampilan menulis misalnya juga sudah diupayakan melalui kerja sama dengan pihak Indonesia Menulis. Kegiatan menunjang keterampilan juga dilakukan untuk keterampilan bidang Public Speaking, pelatihan terkait layanan publik seperti Hospitality juga dilakukan dengan bekerja sama dengan Kemenkes. Untuk peningkatan kekompakan pegawai dilakukan melalui program capacity building. Beberapa program lainnya untuk meningkatkan Nasionalisme yaitu melalui diklat Bela Negara bekerja sama dengan Kemhan [. . .] kerja sama juga dilakukan seperti misalnya Bimtek Pelatihan Bahasa Inggris, diklat tentang SPIP bekerja sama dengan pihak lain (BPKP) untuk tenaga pengajar. Diklat bendahara, kerja 108 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
sama dengan Kemenkeu. Diklat PPNS kerja sama dengan Polri. ToT Bela Negara kerja sama dengan Kemhan.” 128 Praktik sensemaking pada level unit teknis juga diarahkan pada proses-proses bermitra, seperti pengalaman di Direktorat Jenderal Imigrasi, ”Untuk penyelenggara diklat tersebut, kita ikutkan yang di luar, kerja sama dengan instansi lain. Untuk mobile application misalnya, itu kan tidak ada gurunya di kita. Adanya di luar, lembaga-lembaga khusus yang mengadakan itu. Kita pilih (pegawai, pen) yang anggap baik, kita tugaskan. Kementerian kita cukup besar, variatif, pekerjaannya macam-macam, mengurusi napi, notaris, pengungsi, pembentukan undang-undang, ujungnya nanti dicari benang merah, yang sama, saya kira itu nanti visi misinya.” Keberhasilan kinerja Kemenkumham dengan demikian tidak dapat dilepaskan dari kemampuan organisasi untuk bermitra dan berjejaring antar unit di dalam organisasi, maupun dengan institusi lain. Pada tahap ini, produk berupa new information yang diperoleh dari proses bermitra ini cenderung diperoleh oleh masing- 128 Hasil wawancara dengan Ismoyoto Nugroho, Kepala Bagian Kepegawaian Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM, 29 Juli 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 109 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
masing unit pengguna yang kemudian menciptakan silo pengetahuan di masing-masing unit. Pada titik ini, peran organisasi Kementerian sebagai instansi pemerintahan di bidang hukum menjadi semakin tergerus dengan cara bermitra masing-masing unit yang tidak bersesuaian dengan elemen proses pembelajaran. Pada praktiknya, hal ini berimplikasi pada kegamangan BPSDM Hukum dan HAM, selaku pelaksana proses pembelajaran, terhadap kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing unit. Bahkan secara makro, mengingat sifat kerja Kementerian yang lintas instansi di bidang hukum, kebutuhan kompetensi di bidang hukum menjadi semakin tidak terkonsolidasi dengan baik. 4. Pengembangan Kompetensi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Kerangka Kerja Corporate University Berangkat dari analisis pada hubungan antara proses pembelajaran dengan ketiga proses lain di dalam kerangka kerja corporate university, terdapat tiga hal krusial yang perlu dipahami bagi Kementerian dalam menerapkan kerangka kerja tersebut. Pertama ialah terdapat urgensi untuk menyusun desain pengembangan kompetensi sebagai bentuk pengelolaan aset tidak berwujud (intangible asset). Hal ini menjadi mendesak karena pelaksanaan pengembangan kompetensi belum berjalan sesuai harapan, terutama dalam upaya pemenuhan kebutuhan kompetensi PNS dengan standar kompetensi jabatan dan rencana pengembangan karier, sebagaimana diatur 110 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
dalam Peraturan Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pengembangan Kompetensi Pegawai Aparatur Sipil Negara. Pembahasan mengenai standar kompetensi akan berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang dimiliki setiap pegawai dalam pelaksanaan tugas. Dalam hal ini, proses pembelajaran menjadi kunci utama agar pendidikan dan pelatihan yang telah diperoleh pegawai dapat menunjang proses kerja organisasi, yang pada akhirnya akan memengaruhi pengembangan karier pegawai yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan pola pembelajaran yang selama ini dilakukan yaitu dengan mengembangkan pola 70:20:10 dalam proses pembelajaran setiap pegawai. Dari data primer yang dikumpulkan, balik dari hasil wawancara maupun survei, iklim organisasi Kemenkumham belum secara penuh mendukung penerapan proses pembelajaran yang dinamis dan menyeluruh kepada semua level pegawai, terlebih jika melihat penerapan model pembelajaran 70:20:10. Pada praktiknya, proses pembelajaran di Kemenkumham didominasi oleh diklat klasikal. Proses pembelajaran juga belum menjadi prioritas, sehingga belum ada jaminan proses pembelajaran dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu, kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara klasikal maupun nonklasikal masih menghadapi pelbagai kendala dalam pelaksanannya. Selanjutnya, penerapan pembelajaran dengan pendekatan 70 dan 20 masih belum terinstitusionalkan dalam manajemen pengembangan SDM di Kemenkumham, sehingga masing-masing MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 111 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
unit melakukan upaya mandiri guna menyinergikan pembelajaran pegawai dengan kebutuhan organisasi. Misal, pembelajaran secara kelompok/ tim yang dibentuk melalui kegiatan sharing session bagi pegawai yang telah selesai mengikuti kegiatan diklat dalam bentuk informal. Proses pembelajaran melalui pendekatan 70:20:10 ini menjadi satu kebutuhan yang perlu diperhatikan guna menciptakan iklim organisasi yang mendukung proses pembelajaran secara terus-menerus pada setiap tingkatan, serta mendukung dalam penerapan strategi corporate university. Kedua ialah membangun pola koordinatif dengan manajemen sumber daya manusia. Arah kebijakan dan strategi institusi telah ditetapkan oleh para Pimpinan Tinggi Madya merupakan suatu rencana awal dalam pengembangan kompetensi yang ditindaklanjuti dengan penyusunan analisa kebutuhan diklat. Selama ini analisa kebutuhan diklat di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM belum dilakukan secara optimal, sehingga jenis-jenis diklat yang dilakukan pun belum sesuai dengan kebutuhan organisasi. Keterlibatan unit eselon I, Kanwil dan UPT dalam pelaksanaan pengembangan kompetensi hanya dalam hal pengusulan nama-nama pegawai yang akan mengikuti diklat saja. Sedangkan untuk analisa kebutuhan diklat yang diperlukan pada setiap instansi masih belum secara optimal dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya suatu koordinasi dengan manajemen sumber daya manusia baik unit pusat maupun kantor wilayah agar dapat menyusun 112 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
analisa kebutuhan diklat agar sesuai dengan kebutuhan organisasi. Kurangnya perhatian terhadap kebutuhan diklat pada setiap unit kerja di lingkungan Kemenkumham akan berdampak pada hasil yang akan diperoleh dari pembelajaran; yang hanya sebatas untuk meningkatkan wawasan. Padahal, salah satu tujuan pembelajaran adalah untuk meningkatkan kinerja pegawai setelah selesai mengikuti proses diklat. Dengan adanya pola koordinatif dengan manajemen SDM antar untuk kerja di lingkungan Kemenkumham, pada akhirnya pembelajaran akan terlaksana sampai pada tahap evaluatif, yakni mengukur bagaimana peserta diklat dapat melakukan sharing pengetahuan dan mengimplementasikan materi yang dipelajari untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari. Ketiga ialah membangun pola koordinatif dengan jejaring dan kemitraan di dalam area sumber daya manusia hukum nasional. Mengingat area kerja hukum (juridical field) Kementerian Hukum dan HAM yang sangat luas, aktivitas sensemaking terhadap proses jejaring dan kemitraan perlu menjadi basis dalam proses kerja corporate university Kementerian Hukum dan HAM. Data kualitatif yang ada mengindikasikan bahwa permasalahan ego sektoral masih terjadi pada tiap level organisasi, baik antar level pimpinan, administrasi, hingga fungsional. Tidak hanya berhenti pada egosentrisme di lingkup internal, pola berjejaring dan bermitra dengan pihak eksternal juga mengindikasikan proses yang sporadis. Aktivitas basis tersebut patut diposisikan sebagai dasar dalam mendukung kedua aktivitas sensemaking lainnya, yakni terhadap proses MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 113 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
perorangan dan proses pengelolaan pengetahuan. Gambar 8 secara sederhana menggambarkan model kerja tersebut Gambar 8 Hubungan antar Aktivitas Sensemaking di Kemenkumham Dengan pemahaman demikian, menjadi logis ketika dorongan penerapan strategi corporate university tidak hanya berhenti pada tingkat institusi Kementerian Hukum dan HAM, namun perlu juga menyasar pada institusi lain yang berada di dalam juridical field sistem hukum Indonesia. Sebagai konsekuensi, beberapa poin analisis dengan pendekatan kesisteman menjadi perlu untuk dijelaskan lebih lanjut. Secara khusus, analisis dengan pendekatan tersebut berupaya untuk menemukan wacana 114 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
dalam integrasi pemberdayaan sumber daya manusia hukum nasional. C. Pengembangan SDM Hukum yang Terintegrasi dalam Perspektif Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia 1. Pembelajaran SDM Hukum dengan Pendekatan Kesisteman Data lapangan menunjukkan bahwa pola pembelajaran institusional di Kementerian Hukum dan HAM belum diarahkan pada pendekatan kesisteman. Dalam hal ini, pendekatan kesisteman menuntut adanya paradigma, mekanisme, prosedur, serta metode pembelajaran yang menempatkan Kementerian sebagai bagian dari bekerjanya sistem hukum nasional. Menilik kembali pada bagian pertama buku ini, dapat dipahami bahwa Kemenkumham mengemban wewenang yang terdapat di seluruh rangkaian elemen sistem hukum nasional. Namun demikian, sebelum lebih jauh melakukan analisis ari sisi makro tersebut, perlu kiranya pertama-tama menemukan komponen utama dari seluruh fungsi yang ada di Kemenkumham. Dari sebelas unit utama di lingkungan Kementerian, terdapat setidaknya tiga komponen teknis yang membentuk institusi ini, yakni otoritas hukum, law center, dan pelayanan publik hukum. Gambaran tentang tiga komponen teknis Kementerian Hukum dan HAM tersebut mendorong pemahaman tentang pembelajaran yang ada di Kemenkumham menjadi lebih kompleks. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 115 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Melalui pendekatan kesisteman, pembelajaran oleh Kemenkumham perlu diarahkan pada hubungan antar agen di dalam sistem hukum, dalam hal ini seluruh sumber daya manusia hukum di Indonesia. Dari perspektif disiplin hukum dan masyarakat (law and society), pendekatan demikian disebut sebagai law in action, dalam pemahaman bahwa bekerjanya hukum dapat dilacak di berbagai ruang (spaces) yang sangat bergantung kepada partikularitas tempat dan waktu.129 Dengan begitu, aktivitas hukum sangat ditentukan oleh praktik diskursif (dan terinstitusionalisasikan) antar sumber daya hukum.130 Sumberdaya manusia hukum ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni aparat penegak hukum dan aparatur hukum. Aparat penegak hukum dan aparatur hukum memiliki tugas dan fungsi yang berbeda dalam menjalankan tugasnya. Walaupun demikian, kedua kategori tersebut memiliki rujukan peraturan perundang- undangan nasional yang sama dengan irisan masing- masing berdasarkan tugas dan kewenangannya. Akan tetapi, implementasi peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional pada berbagai kesempatan berbenturan atau berkonflik dengan peraturan internal yang terdapat 129 Carroll Seron and Susan S. Silbey, ”Profession, Science, and Culture: An Emergent Canon of Law and Society Research,” in The Blackwell Companion to Law and Society, 2008, 31–59; Reza Banakar, Normativity in Legal Sociology: Methodological Reflections on Law and Regulation in Late Modernity (London: Springer, 2015). 130 Seron and Silbey, ”Profession, Science, and Culture: An Emergent Canon of Law and Society Research.” 116 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
pada masing-masing instansi.131 Selain konflik antar hukum, pembentukan dan penerapan regulasi masing-masing instansi juga menunjukkan adanya gejala sektoralisme yang justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal, secara konseptual, penerapan dalam bentuk interpretasi hukum ini menjadi penting dalam memastikan kekuatan (force) dari hukum. Dalam hal ini, interpretasi diperlukan untuk memastikan adanya otoritas dan keberlanjutan (authority and continuity) dalam hukum.132 Dalam sebuah studi mengenai otonomi sistem hukum nasional Indonesia, Adriaan Bedner mengidentifikasi permasalahan yang ada pada sistem hukum nasional di Indonesia. Berangkat dari konsep Pierre Bourdieu, theoriticians –hakim pada Mahkamah Agung dan para profesordi bidang hukum– tidak berhasil mengembangkan corpus juridique yang dapat membantu hakim-hakim lainnya dalam kasus serupa.133 Padahal, keadaan tersebut merupakan suatu prakondisi untuk penerapan pendekatan rasionalitas formal untuk mempromosikan otonomi hukum. Dalam studi mengenai hukum Islam, khususnya pengadilan agama, dapat digambarkan bagaimana interaksi antara practitioners –dalam hal ini hakim pada pengadilan tingkat pertama dan banding– dengan theorist 131 Simon Butt and Tim Lindsey, Indonesian Law (Oxford: Oxford University Press, 2018). 132 Jospeh Raz, Between Authority and Interpretation: On the Theory of Law and Practical Reason (Oxford: Oxford University Press, 2009). 133 Bedner, ”Autonomy of Law in Indonesia.” MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 117 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
–para sarjana hukum Islam dan hakim pada Mahkamah Agung– memegang peranan sentral dalam membentuk otonomi hukum.134 Apabila ditelusuri lebih jauh, atmosfer untuk melakukan ’interaksi’ sudah mulai terbentuk sejak tahap pendidikan hukum Islam. Pendidikan bagi para sarjana hukum Islam membuka ruang bagi argumentasi hukum dalam tradisi hukum Islam yang dikombinasikan dengan pelatihan dalam peraturan dan prinsip-prinsip yang ada dalam kodifikasi hukum Islam di Indonesia. Selain itu, pengadilan agama juga tetap membuka ruang bagi interferensi dari otoritas Islam lainnya (e.g. ulama melalui fatwa), yang tidak dapat diakomodasi melalui pola komunikasi hukum namun tetap harus menjadi bahan pertimbangan. Dengan demikian, interaksi yang ada antara practitioners dan theoriticians pada akhirnya akan membentuk jaringan komunikasi tersendiri, yang merupakan salah satu elemen penting dalam otonomi hukum. Sistem hukum nasional Indonesia, di sisi lain, mengalami hambatan khususnya dalam perkembangan theoriticians. Dalam legal-institutional studies oleh Dan Lev, dapat dipahami bahwa institusi hukum kehilangan pengaruh dan statusnya dalam proses ’perebutan kekuasaan’ antara arus politik dominan.135 Dalam perjalanannya, rezim orde baru yang penuh dengan kepentingan politik, 134 Ibid. p.23 135 Ibid. p.26 118 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
patronage, dan nepotisme, melahirkan peradilan yang korup. Studi tersebut mendemonstrasikan bagaimana para hakim –theoriticians– dan praktisi hukum lainnya menjadi subjek interferensi politik dan korupsi yang memengaruhi proses hukum dalam pengadilan, serta merusak status dari peradilan itu sendiri. Sehingga dalam hal ini, kolaborasi yang diharapkan antara praktisi dan theoriticians menjadi tidak relevan karena dapat dikatakan, sistem hukum nasional Indonesia tidak memiliki theoriticians. Dengan absennya legal communications, sudah dapat dipastikan self-referential dalam sistem hukum tidak akan terwujud. Kondisi tersebut, merupakan bukti bahwa tidak ada bentuk otonomi hukum dalam sistem hukum nasional Indonesia. Dalam konteks ini, otonomi hukum tidak serta merta dipahami sebagai mekanisasi kerja hukum di dalam ruang yang hampa, yang tercerabut dari konteks sosial dan kultural masyarakat. Dalam hal ini, otonomi bekerja terhadap sistem hukum, sedangkan interpretasi tetap bersifat terbuka. Pada titik ini, fenomena praktik hukum di Indonesia mengindikasikan ketidaksinkronan interpretasi antar agen-agen di dalam sistem hukum.136 136 Salah satu peraturan bersama yang telah ada sampai saat ini adalah Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia,Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. Pada pelaksanaan peraturan tersebut, terdapat Tim Asesmen Terpadu yang sudah dapat melaksanakan tugasnya sejak saat penyidikan di Kepolisian. Akan tetapi MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 119 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Fenomena tersebut lebih jauh perlu merujuk pada salah satu suatu teori sistem yang dikembangkan oleh Niklas Luhmann, yaitu teori autopoiesis hukum.137 Teori ini bermaksud untuk menjelaskan fungsi sistem hukum dalam masyarakat modern akhir, yang ditandai dengan tingkat diferensiasi fungsional yang tinggi. Dalam hal ini Teori sistem autopoiesis mengonseptualisasikan hukum sebagai sistem komunikasi yang ”mereproduksi elemennya sendiri dengan interaksi antar unsurnya.”138 Ia memahami sistem hukum sebagai satu kesatuan yang dapat mengambil fakta dari lingkungannya atau ”terbuka secara kognitif”, yang itu menentukan sesuatu sebagai legal atau ilegal sesuai dengan norma internal sendiri.139 Norma-norma ini hanya dapat berubah melalui operasi sistem hukum itu sendiri, dengan kata lain, sistem itu ”tertutup secara normatif.” Aspek yang terakhir ini menentukan otonomi sistem hukum, menetapkan ”batas efektif untuk instrumentasi politik dari hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Tahun 2016 dapat diketahui bahwa Tim Asesmen Terpadu kurang berjalan dengan baik, terutama dalam pemberian diversi tanpa persidangan. Selain itu Balai Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM kurang dilibatkan dalam penanganan kasus anak pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba padahal Bapas merupakan pihak yang mengetahui perkembangan dari si anak karena mereka telah melaksanakan penelitian kemasyarakatan dan pembimbingan pada si anak sejak dalam proses penyidikan kepolisian, sehingga dijatuhi pidana penjara. Lihat Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Perlindungan Hak Anak Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hak Sipil, Balitbang Hukum dan HAM, Jakarta, 2016. 137 Luhmann, Law as a Social System. 138 Ibid. 139 Ibid. 120 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
hukum.”140 Dengan kata lain, teori autopoiesis mengklaim mampu menghubungkan fungsi wacana hukum dengan struktur kelembagaan yang menghasilkan wacana ini. Oleh karena itu aspek kunci pertama dari teori autopoiesis untuk mencapai hal ini adalah sentralitas komunikasi ke sistem.141 Berkenaandengan hal tersebut, sentralisasi komunikasi ke sistem menjadi hal yang perlu dipertimbangkan untuk dilakukan di Indonesia. Selama ini, walaupun para aparat penegak hukum dan aparatur hukum telah melakukan komunikasi dengan menyusun suatu peraturan bersama, proses tersebut belum secara menyeluruh dikelola sebagai pengetahuan kepada seluruh aparat penegak hukum dan aparatur hukum. Sebagai konsekuensi, implementasi hukum tersebut belum berjalan sesuai dengan harapan. Oleh karena itu diperlukan suatu pemusatan komunikasi ke dalam sistem hukum yang berlaku melalui proses pembelajaran sumber daya manusia hukum dalam rangka penyamaan persepsi dalam seluruh aktivitas hukum. Dalam hal ini pihak yang paling memungkinkan untuk melaksanakan hal tersebut adalah BPSDM Hukum dan HAM Kemenkumham, mengingat proses peraturan perundang-undangan dilakukan pada Ditjen Peraturan perundang-undangan. Konsep corporate university dapat dilakukan dalam rangka menjadikan Kementerian Hukum 140 Adriaan Bedner, Autonomy of law in Indonesia, Recht der Werkelijkheid 2016 (37) 3, h. 18-19 141 Ibid. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 121 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
dan HAM menjadi suatu organisasi pembelajar yang tidak hanya bagi dirinya melainkan juga bagi eksternal instansi yaitu dengan memberikan diklat dalam rangka pembelajaran SDM yang terdiri dari aparat penegak hukum dan aparatur hukum, pada setiap ditetapkannya suatu peraturan perundang-undangan, sehingga mereka dapat mentransfer pengetahuan yang mereka miliki secara horizontal maupun vertikal. Diklat tidak hanya dapat dilakukan oleh BPSDM Hukum dan HAM, akan tetapi badan diklat yang dimiliki para aparat penegak hukum dan aparat hukum juga dapat melaksanakannya diklat tersebut dengan materi yang telah ditentukan bersama. Selain itu juga BPSDM Hukum dan HAM perlu membuat suatu komunitas yang terkait dengan peraturan perundang- undangan tertentu, sehingga dapat saling bertukar informasi bila terdapat suatu kebijakan baru yang dapat memengaruhi dalam penanganan kasus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan. 2. Juridical Habitus di Indonesia: Aparat Penegak Hukum dan Aparatur Hukum Beranjak dari pemahaman hukum sebagai sebuah sistem menuntut kita untuk dapat menjelaskan kompleksitas yang ada dengan cara yang lebih sederhana. Dalam cara pandang complexity science, sistem dipahami sebagai ”in which large networks of components with no central control and simple rules of operation give rise to complex collective behavior, sophisticated information 122 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
processing, and adaptation via learning or evolution.”142 Pada bagian ini, analisis akan diterapkan pada gambaran tentang sumber daya hukum di dalam sistem hukum nasional. Analisis ini tentunya tidak dilakukan dalam rangka mendalami tentang nilai jangkauan antar agen di dalam sistem. Namun, analisis lebih diarahkan pada identifikasi ragam sumber daya hukum yang saling berinteraksi di dalam sistem hukum nasional. Merujuk pada konsep juridical habitus yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat kebutuhan untuk mengidentifikasi ragam agen yang ber-’kompetisi’ di dalam sistem hukum. Secara spesifik, kompetisi perebutan makna antar agen-agen di dalam sistem hukum dapat tercermin di dalam praktik peradilan. Atas dasar ini, dengan pendekatan sosio-legal, Banakar mengidentifikasi empat sudut pandang yang mampu memproduksi bentuk-bentuk spesifik dari pengetahuan dan kepentingan hukum, yakni pertama, partisipan di dalam, yang meliputi hakim dan advokat, yang berpartisipasi di dalam dan memproduksi proses hukum dan beragam praktik-praktik institusional yang terkait hukum; kedua, pengamat di dalam, seperti penasihat hukum atau akademisi hukum, yang mengamati proses hukum tanpa perlu berpartisipasi di dalamnya; ketiga, partisipan di luar, seperti para penggugat, terdakwa, juri, saksi, yang pada periode tertentu berpartisipasi di 142 J. B. Ruhl and Daniel Martin Katz, ”Measuring, Monitoring, and Managing Legal Complexity,” Iowa Law Review 101, no. 1 (2015): 191–244. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 123 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
dalam proses hukum dan tanpa afiliasi profesional dengan partisipan di dalam; dan keempat yakni pengamat di luar, yakni peneliti kebijakan yang mempelajari dampak hukum atau jurnalis yang melaporkan proses persidangan, yang mengamati proses hukum dan praktik institusional hukum dari luar, tanpa perlu berpartisipasi di dalam proses tersebut secara aktual.143 Interaksi antar empat sudut pandang ini pada gilirannya dapat menyajikan perspektif terhadap hukum secara menyeluruh. Pendekatan dialektikal ini juga dianggap mampu menyajikan konteks serta keluar dari dikotomi-dikotomi yang muncul dan kontradiksi secara internal di dalam hukum.144 Di dalam konteks sistem hukum di Indonesia, di tengah absennya juridical habitus yang dapat memastikan sifat otonom hukum, pengetahuan terkait hukum (law related knowledge) dapat diperoleh dari beberapa sudut pandang sumber daya manusia hukum. Perlu ditekankan kembali dalam kesempatan ini bahwa sumber daya manusia hukum patut dipahami sebagai agen-agen yang mampu memproduksi bentuk-bentuk spesifik dari pengetahuan dan kepentingan hukum. Berdasarkan penelusuran norma dan praktik, sumber daya manusia hukum dapat dipilih ke dalam empat kuadran sudut pandang, yakni 143 Banakar, Normativity in Legal Sociology: Methodological Reflections on Law and Regulation in Late Modernity. 144 Ibid. 124 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Tabel 5 Empat Sudut Pandang SDM Hukum dan HAM Interaksi dialektik antar sudut pandang sumber daya manusia hukum ini diharapkan mampu memastikan koherensi internal antara peraturan perundang-undangan yang dibentuk dengan praktik penerapannya. Dalam hal ini, koherensi perlu dipahami sebagai ”raising and justifying a claim to the correctness of legal acts.”145 Adapun dengan pembagian yang ada, koherensi akan tercapai tidak hanya dari sisi internal hukum, namun juga mencakup sisi eksternal hukum. Praktik pendekatan kesisteman dalam sistem hukum nasional Indonesia sesungguhnya sudah dilakukan sejak satu dekade lalu. Upaya untuk menjalin komunikasi antar SDM Hukum di Indonesia, khususnya di bidang penegakan hukum pidana, telah diinisiasi melalui rapat koordinasi dan konsultasi penegak hukum Mahkamah Agung, Kemenkumham, Kejaksaan Agung dan Kepolisian (Mahkumjakpol). Dihadiri dan dibuka 145 Ibid. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 125 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
secara langsung oleh Presiden RI, rapat tersebut diawali dengan penandatanganan Piagam Kesepakatan Bersama Pembentukan Forum Koordinasi dan Konsultasi oleh Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.146 Selanjutnya, forum juga membahas rancangan peraturan bersama yang berlaku bagi seluruh jajaran di lingkungan keempat institusi hukum anggota. Peraturan bersama tersebut dimaksudkan sebagai pedoman untuk mewujudkan keterpaduan dalam ketatalaksanaan sistem peradilan pidana dengan mengedepankan perlindungan hak asasi manusia dan pemenuhan rasa keadilan masyarakat. Lebih lanjut, terdapat empat tujuan dibentuknya peraturan bersama tersebut: pertama, mewujudkan persamaan persepsi antara aparat penegak hukum dalam ketatalaksanaan sistem peradilan pidana; kedua, mewujudkan harmonisasi dan sinkronisasi dalam upaya penegakan hukum dan hak asasi manusia; ketiga, memenuhi rasa keadilan masyarakat dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia; dan keempat, menghindari penyalahgunaan wewenang dalam proses penegakan hukum. Untuk memastikan keberlanjutan pelaksanaan peraturan bersama oleh forum, peraturan tersebut juga 146 Laporan Singkat Rapat Kerja Komisi III DPR-RI dengan Menteri Hukum dan HAM RI, Masa Persidangan ke-III, Tahun Sidang 2009-2010. Laporan diakses melalui http://www.dpr.go.id%2Fdokakd%2Fdokumen%2FK3_laporan_ Lapsing_Raker_Komisi_III_dengan_Menteri_Hukum_dan_HAM.doc&usg=AOvV aw2Ze0ipkAv0Ee9CbMb5K7rR, diakses pada 10 September 2019 126 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
mengatur untuk dilakukan evaluasi dalam jangka waktu dua tahun, meskipun tidak dijelaskan secararinci mengenai mekanisme evaluasi dan perbaikan yang dimaksud. Dalamperjalanannya,forumkoordinasidankomunikasi Mahkumjakpol masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Pada 2012, misalnya, dua tahun setelah Mahkumjakpol resmi dibentuk, publik dihebohkan dengan kasus Rasminah147 yang mengundang kritik tajam terhadap institusi penegak hukum. Bahkan, Menkumham Amir Syamsuddin mengakui bahwa masih terdapat kelemahan di dalam pelaksanaan forum Mahkumjakpol tersebut, khususnya mengenai pendekatan keadilan masyarakat dibanding kepastian hukum.148 Selanjutnya pada 2014, anggota forum Mahkumjakpol bersama- sama dengan Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, dan Kepala BNN RI kembali menandatangani peraturan bersama mengenai penanganan pecandu narkotika dan 147 Rasminah didakwa melakukan pencurian enam buah piring, enam kilogram daging bahan sup, dan harta benda senilai Rp 350 juta milik majikannya. Meskipun dinyatakan bebas pada pengadilan tingkat pertama, perkara tersebut terus bergulir hingga tingkat kasasi. Mahkamah Agung akhirnya memvonis Rasminah terbukti melakukan tindak pidana pencurian enam buah piring dan menjatuhkan pidana penjara selama 130 hari. Berita selengkapnya dapat diakses melalui Hafil Muhammad, ”Rasminah Menggugat: Kronologis Kasus Hukum 6 Buah Piring,” Republika.Co.Id, last modified 2012, accessed September 10, 2019, https://www.republika.co.id/berita/nasional/ hukum/12/01/31/lynhzh-rasminah-menggugat-kronologis-kasus-hukum-6- buah-piring-bag-2. 148 Hukumonline, ”Mahkumjakpol Dinilai Belum Sakti,” Aktual, last modified 2012, accessed September 10, 2019, https://www.hukumonline.com/berita/ baca/lt4f296d39375da/mahkumjapol-dinilai-belum-sakti/. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 127 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
korban penyalahgunaan narkotika ke dalam rehabilitasi. Peraturan bersama tersebut mengatur mengenai perubahan paradigma penanganan pengguna narkotika, yang dalam penanganannya ditujukan agar lebih humanis dan berorientasi pada rehabilitasi.149 Forum Mahkumjakpol Plus ini, membentuk Tim Asesmen Terpadu yang sudah dapat melaksanakan tugasnya sejak saat tahap penyidikan di kepolisian. Namun lagi-lagi, Mahkumjakpol Plus mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Menurut riset Badan Litbang Hukum dan HAM pada 2016, Tim Asesmen Terpadu kurang berjalan dengan baik, terutama dalam pemberian diversi tanpa persidangan. Hal ini disebabkan oleh belum terbentuknya kesamaan persepsi antar anggota Tim.150 Dalam hal penanganan pidana anak dengan narkotika, Balai Pemasyarakatan juga kurang dilibatkan, padahal Bapas merupakan pihak yang mengetahui perkembangan dari si anak karena mereka telah melaksanakan penelitian kemasyarakatan dan bimbingan pada si anak sejak dalam proses penyidikan kepolisian.151 Kemenkumham sebagai salah satu anggota dari forum Mahkumjakpol, sudah menunjukkan perhatiannya dalam pelaksanaan forum koordinasi dan konsultasi antar 149 Muhar Junef, ”Forum Makumjakpol-BNN-MENKES-MENSOS Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkotika,” JIKH: Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 11, no. 3 (2017): 305–336. 150 Ibid. 151 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Perlindungan Hak Anak Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hak Sipil (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, 2016). 128 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306