Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Lampiran 1

Lampiran 1

Published by bpsdmhumas, 2020-07-14 01:17:58

Description: Lampiran 1

Search

Read the Text Version

institusi hukum ini. Dalam sasaran strategis Kementerian Hukum dan HAM Tahun 2014-2019, dinyatakan bahwa ”fokus pengerahan seluruh sumber daya kementerian yang mendukung pencapaian sasaran harus dilaksanakan sesuai skala prioritas perencanaan”, dengan ”efektivitas penyelenggaraan forum mahkumjakpol baik ditingkat nasional, provinsi maupun di kabupaten/kota” berada dalam prioritas ketiga. Lebih lanjut, arah kebijakan dan strategi Kementerian Hukum dan HAM khususnya pada peningkatan peran Kementerian dalam rangka penegakan hukum ialah dengan melalui revitalisasi forum Mahkumjakpol sebagai wadah koordinasi antar instansi penegak hukum baik di tingkat nasional maupun daerah. Pada poin ini, tampak semakin jelas adanya kebutuhan sebuah kerangka kerja strategis yang mampu mengonsolidasikan pengetahuan antar sumber daya manusia yang ada. Sebagai hasil, selain bekerja pada tataran institusional di Kementerian Hukum dan HAM, strategi corporate university tentunya diharapkan mampu bergerak ke tingkatan yang lebih makro hingga menyasar hukum sebagai sebuah sistem. 3. Reposisi ’Pengayoman’: Kerangka Kerja Corporate University dan Konsolidasi Pengembangan SDM Hukum Dalam rangka pembentukan interaksi dialektik antar sumber daya manusia hukum yang ada, strategi corporate university dapat berperan dalam empat proses, yakni MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 129 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

pembelajaran, pengelolaan pengetahuan, manajemen sumber daya manusia, serta kerja sama dan kemitraan. Sebagai kementerian yang mengemban tugas di bidang hukum dan hak asasi manusia, Kemenkumham terdiri dari sebelas unit utama, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen teknis yakni otoritas hukum, law center, dan pelayanan publik hukum. Kemenkumham sebagai otoritas hukum ialah tugas dan fungsi kementerian yang berwenang mengatur mengenai bidang hukum tertentu, seperti keimigrasian di Direktorat Jenderal Imigrasi dan pemasyarakatan di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Selanjutnya, Kemenkumham sebagai law center ialah tugas dan fungsi kementerian yang secara spesifik mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang selama ini ada pada Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Terakhir, tugas dan fungsi kementerian dalam memberikan pelayanan publik di bidang hukum sebagaimana diemban oleh beberapa unit utama, seperti Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Apabila ditelusuri lebih jauh, pelaksanaan tugas dan fungsi ketiga komponen teknis tersebut tidaklah berjalan secara mandiri oleh satu unit tertentu, melainkan bersinggungan dengan unit lainnya. Di sisi lain, pembelajaran yang dilakukan selama ini cenderung bersifat sporadis dari masing-masing unit dan tidak diarahkan kepada cara pandang kesisteman. Keadaan tersebut, secara tidak langsung mengisolasi SDM yang ada, baik SDM Hukum maupun nonhukum, 130 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

sehingga cenderung fokus pada internal unit masing- masing (inward looking) tanpa memahami posisi unitnya yang juga merupakan bagian dari suatu sistem yakni Kemenkumham. Mengutip Senge, ”Since we are part of that lacework ourselves, it’s doubly hard to see the whole pattern of change. Instead, we tend to focus on snapshots of isolated parts of the system, and wonder why our deepest problems never seem to get solved.”152 Sebagai konsekuensi secara makro, ketiadaan pendekatan kesisteman di dalam internal Kemenkumham berdampak langsung kepada keberlangsungan otonomi sistem hukum nasional. Kondisi institusi yang terisolasi, menyebabkan Kemenkumham gagal memahami posisi, tugas, dan fungsi kementerian dalam sistem hukum nasional. Merujuk kepada structural coupling dalam teori autopoiesis, Kemenkumham sebagai bagian dari sistem, tidak dapat mengidentifikasi struktur dan lingkungan yang dapat berkontribusi dalam mereproduksi elemen dalam sistem hukum nasional. Sehingga, meskipun telah terdapat upaya komunikasi antar SDM Hukum yang berada di internal maupun eksternal kementerian, sistem tetap tidak mampu mengubah jaringan komunikasi tersebut menjadi elemen yang dapat direproduksi. Bagaimanapun, Kemenkumham dapat mengambil peran melalui pembelajaran dengan pendekatan 152 Peter M. Senge, The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization (New York: Currency Doubleday, 2004). MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 131 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

kesisteman. ”[…] boundaries must be set to distinguish what parts of the world are contained inside the system and what parts are considered the environment of the system. The environment of the system will influence problem- solving because it influences the system, but it is not part of the system”153 Pendekatan ini setidaknya dapat membantu SDM yang ada untuk memahami serta menentukan hubungan antar elemen di dalam sistem (struktur) dan menentukan batasan dengan lingkungan luar. Lambang ’Pengayoman’ pada Kemenkumham memiliki makna bahwa Kementerian Hukum dan HAM sebagai instansi yang berupaya untuk mengayomi dan melindungi seluruh rakyat Indonesia di bidang hukum dan hak asasi manusia. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan sumber daya manusia Hukum yang berkualitas dalam rangka memberikan pelayanan publik di bidang hukum dan HAM. Pelayanan publik di bidang hukum dan HAM memiliki ruang lingkup yang sangat luas mengingat tugas dan fungsi di bidang hukum dan HAM tidak hanya dilakukan oleh Kemenkumham saja, melainkan juga oleh instansi lain seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Komnas HAM dan sebagainya, yang dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu diperlukan suatu keahlian 153 Rubenstein-Montano et al., ”A Systems Thinking Framework for Knowledge Management B.” 132 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

tertentu dalam memberikan pelayanan di bidang hukum dan HAM bagi sumber daya manusia yang dimiliki. Penyediaan sumber daya manusia yang memiliki keahlian tertentu tersebut menjadi suatu permasalahan tersendiri mengingat belum adanya integrasi antar instansi dalam upaya pengembangan SDM hukum. Hal ini dikarenakan belum semua instansi yang bergerak di bidang hukum menerapkan kerangka corporate university secara holistik; kendati sebenarnya secara tidak disadari sudah dilaksanakan oleh berbagai instansi tersebut. Selama ini pendidikan dan pelatihan yang sudah dilakukan secara terintegrasi untuk beberapa bidang teknis seperti peneliti oleh LIPI, diklat perancang peraturan perundang-undangan oleh Ditjen PP, Kementerian Hukum dan HAM, hingga diklat administrasi keuangan yang memerlukan sertifikasi dari Kementerian Keuangan. Sedangkan pengintegrasian pengembangan sumber daya manusia hukum lainnya seperti penyuluh hukum atau jabatan fungsional lainnya masih sangat jarang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM dengan berbagai instansi lainnya. Salah satu contoh yang dapat terlihat adalah pada pegawai biro hukum pemerintah daerah. Selama ini tugas dan fungsi mereka terkesan hanya mengumpulkan produk-produk peraturan perundang-undangan saja, padahal sebenarnya masih banyak tugas dan fungsi yang dapat dilakukan sesuai bidang kerja yang dimiliki. Walaupun tidak semua biro hukum pada pemerintah daerah melakukan hal tersebut, sebagian besar tugas dan MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 133 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

fungsi mereka masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini tentu belum sejalan dengan semangat pengayoman yang seharusnya dapat menyediakan SDM hukum yang andal dalam memberikan pelindungan hukum dan HAM. Untuk itu, diperlukan suatu sistem pengintegrasian pengembangan SDM hukum agar mereka memahami dan memiliki kemampuan dalam menjalankan tugas di bidang hukum dan HAM. Selain praktik komunikasi melalui forum Mahkumjakpol, praktik pengembangan kompetensi sumber daya hukum melalui program pendidikan dan pelatihan di BPSDM Hukum dan HAM juga dapat ditemukan dalam kegiatan diklat sistem peradilan pidana anak, hak asasi manusia, serta kolaborasi dengan unit teknis untuk tenaga perancang, penyuluh, paralegal, maupun kurator. Barometer hukum di Indonesia adalah regulasi hukum/peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku. Berkaitan dengan regulasi tersebut merupakan kewenangan dari DPR dan juga eksekutif (pemerintah). Peran Kemenkumham adalah bagian dari eksekutif (pemerintah) yang tentunya jika dijabarkan lebih lanjut merupakan tugas dan wewenang dari Ditjen PP dan BPHN. Hal tersebut tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 21 ayat (4) yang tertulis ”Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum”. Pasal 16 UU Nomor 12 Tahun 2011 menerangkan tentang Prolegnas yaitu ”Perencanaan penyusunan 134 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas”. Lalu Pasal 17 menerangkan bahwa ”Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional”. Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) menerangkan bahwa ”Penyusunan Prolegnas dilaksanakan olehDPRdanPemerintah”. Pemerintah,sebagaimanadiatur dalam pasal 21 ayat (4), yakni menteri di bidang hukum. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum adalah Menteri Hukum dan HAM, melalui dasar hukum Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pasal 2 Perpes ini menerangkan bahwa ”Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara”. Untuk dapat menjalankan strategi corporate university dalam kerangka sistem hukum nasional, tentu Kemenkumham perlu mengidentifikasi peran yang diemban dalam salah satu unsur utama dari corporate university, yakni proses pengelolaan pengetahuan di bidang hukum nasional. Praktik pengelolaan pengetahuan di bidang hukum,salahsatunyaialahpemusatandokumentasi dan informasi hukum melalui Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional (JDIHN). Secara historis, embrio pembentukan JDIHN merupakan salah satu rekomendasi dari Seminar Hukum Nasional III Tahun 1974 yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 135 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Nasional. Penyelenggaraan Seminar Hukum tersebut adalah ”upaya membedah semua unsur pembangunan hukum dalam rangka mengidentifikasi permasalahan dan menemukan solusi pemecahannya”, yang salah satunya merupakan lemahnya dukungan dokumentasi hukum terhadap pembangunan hukum nasional. Dokumentasi hukum yang ada, dianggap belum mampu menyediakan dokumen dan informasi hukum dengan cepat dan tepat pada saat yang dibutuhkan.154 Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2012 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional mendefinisikan JDIHN sebagai ”sebuah wadah pendayagunaanbersamaatasdokumen hukum secaratertib, terpadu, dan berkesinambungan, serta merupakan sarana pemberian pelayanan informasi hukum secara lengkap, akurat, mudah, dan cepat.” JDIHN menjadi kanal khusus yang melakukan pengelolaan terhadap dokumen hukum, dimulai dari pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, pelestarian, dan pendayagunaan informasi dokumen hukum. Dokumen hukum, dalam hal ini, mencakup peraturan perundang-undangan, produk hukum selain peraturan perundang-undangan yang meliputi namun tidak terbatas pada putusan pengadilan, yurisprudensi, monografi hukum, artikel majalah hukum, buku hukum, 154 BadanPembinaanHukumNasional,”SekilasSejarahJDIHN,”accessedSeptember 18, 2019, https://perpustakaan.bphn.go.id/?sect=profil&p=sejarah_jdihn. 136 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

penelitian hukum, pengkajian hukum, naskah akademis, hingga rancangan peraturan perundang-undangan. Adapun keempat tujuan dari JDIHN yakni pertama, menjamin terciptanya pengelolaan dokumentasi dan informasi hukum yang terpadu dan terintegrasi di berbagai instansi pemerintah dan institusi lainnya; kedua, menjamin ketersediaan dokumentasi dan informasi hukum yang lengkap dan akurat, serta dapat diakses secara cepat dan mudah; ketiga, mengembangkan kerja sama yang efektif antara pusat jaringan dan anggota jaringan serta antar sesama anggota jaringan dalam rangka penyediaan dokumentasi dan informasi hukum; dan keempat, meningkatkan kualitas pembangunan hukum nasional dan pelayanan kepada publik sebagai salah satu wujud ketatapemerintahan yang baik, transparan, efektif, efisien, dan bertanggung jawab. Dalamkontekssistemhukumnasional,Kemenkumham melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional sesungguhnya mengemban tugas besar untuk mengelola pengetahuan dalam bentukdokumen hukum,sebagaimanadiamanatkan oleh Perpres 33/2012. Pengelolaan pengetahuan ini, tidak berhenti pada tingkatan institusi dan lembaga penghasil peraturan perundang-undangan saja, namun juga meliputi perpustakaan hukum pada perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Lebih lanjut, JDIHN juga mewajibkan setiap anggotanya untuk membangun sistem informasi hukum berbasis teknologi, informasi dan komunikasi yang diintegrasikan dengan laman pusat JDIHN. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 137 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Berdasarkan tinjauan yang ada dengan demikian, bu­ kan tidak mungkin bahwa Kementerian Hukum dan HAM dapat mengintegrasikan pengembangan kompetensi SDM hukum, sehingga berbagai pengetahuan yang diemban oleh seluruh agen di dalam juridical habitus semakin terkonsolidasi. Secara spesifik, aktivitas pembelajaran melalui BPSDM Hukum dan HAM diarahkan perlu kepada proses pembelajaran hukum dengan pendekatan kesisteman. Di sisi lain, proses bekerja sama dan bermitra akan mendorong terciptanya informasi baruyang bertujuan untuk memahami fenomena antar institusi hukum dan juga masyarakat. Interaksi antara proses pembentukan sensemaking dan generating new information dengan demikian perlu menjadi arah kebijakan BPSDM Hukum dan HAM, bahkan pada level yang lebih besar kebijakan Kementerian Hukum dan HAM. Gambar 9 Interaksi Proses Sensemaking dan New Information 138 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Bab IV MEMBANGUN KONTEKS: KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR Dalam lensa organisasi, agar tetap relevan dalam memberikan pelayanan publik, kinerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia wajib memerhatikan empat hal utama, yakni pengetahuan, strategi yang ditetapkan, kepemimpinan, dan pemanfaatan teknologi. Adaptasi dan penciptaan ekosistem yang mengakomodasi hal utama tersebut merupakan landasan fundamental dalam konsep dasar organisasi pembelajar.155 Dalam subbab ini menyajikan gambaran tentang Kementerian Hukum dan HAM sebagai organisasi pembelajar berdasarkan persepsi pegawai yang diperoleh melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Perolehan persepsi kualitatif berdasarkan hasil wawancara dengan pegawai pada tiga level, yakni fungsional, administrator, 155 David Schwandt and Michael J. Marquardt, Organizational Learning: From World Class Theories to Global Best Practices (Florida: St. Lucie Press, 2000). MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 139 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

dan pimpinan. Persepsi yang diperoleh melalui wawancara ini menjadi penting untuk menggambarkan interaksi sosial yang mengonstruksikan elemen-elemen dalam subsistem organisasi pembelajar. Selain itu, untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif maka disajikan gambaran yang diperoleh melalui penyebaran kuesioner sebagai verifikasi (proses triangulasi) pada setiap elemennya. Dalam rangka menggambarkan konteks Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia secara lebih makro, maka lanskap atas proses-proses utama (core processes) di dalam organisasi pembelajar, yang meliputi dinamika pembelajaran, transformasi organisasi, pemberdayaan SDM, pengelolaan pengetahuan, dan penerapan teknologi akan dibahas secara rinci dalam bab ini. Selain itu, analisis akan diterapkan terhadap data pada lanskap core processes dengan menggunakan disiplin utama (core disciplines) di dalam organisasi pembelajar, yakni personal mastery, mental models, shared vision, team learning, dan system thinking. Dengan demikian, gambaran secara makro ini merupakan refleksi atas tingkat kesiapan Kementerian Hukum dan HAM sebagai organisasi pembelajar, yang merupakan fondasi utama dalam penerapan kerangka kerja corporate university. A. Lanskap Subsistem Dinamika Pembelajaran Merujuk pada konsep learning organization Marquardt, learning atau dinamika pembelajaran merupakan subsistem sentral dalam sistem organisasi pembelajar. Subsistem dinamika pembelajaran meresap ke empat subsistem lainnya (organization, people, knowledge, dan technology) dengan 140 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

demikian menurut Marquardt156; subsistem dinamika pembelajaran tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan keempat subsistem lainnya, mereka saling melengkapi dan terkait secara dinamis. Subsistem organization, people, knowledge, dan technology diperlukan untuk meningkatkan dan memperluas kualitas dan pengaruh dari learning, yang pada gilirannya menembus ke subsistem lainnya. Sehingga, apabila salah satu subsistem tersebut tidak ada atau lemah, maka secara signifikan akan berpengaruh pada efektivitas subsistem lainnya. Oleh karena itu, perlu ada penggambaran secara spesifik mengenai subsistem dinamika pembelajaran yang terjadi di Kementerian Hukum dan HAM terkait dengan tingkatan (levels), tipe (types) dan keterampilan (skills) pembelajaran. Berdasarkan data hasil wawancara yang diperoleh dari beberapa level SDM pegawai (Pimpinan, Administrator, dan Fungsional) telah menggambarkan subsistem dinamika pembelajaran di lingkungan Kemenkumham. Pertama, berkaitan dengan tingkatan pembelajaran (levels of learning) dalam subsistem dinamika pembelajaran Marquardt meliputi; (1) individual learning atau pembelajaran individu, (2) group or team learning atau pembelajaran kelompok/tim, (3) organizational learning atau pembelajaran organisasi.157 156 Marquardt, Building the Learning Organization: Mastering the 5 Elements for Corporate Learning. 157 Ibid, hal 24 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 141 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Gambar 10 Model Pembelajaran Organisasi Global Sumber: Marquardt & Reynolds, 1992 Berdasarkanmodelpembelajaranyang telahdikembangkan oleh Marquardt dan Reynolds (lihat gambar 10) bahwa unsur dasar dalam keberlangsungan pembelajaran organisasi yaitu pembelajaran individu dan kelompok/tim.158 Lebih lanjut, Marquardt dan Reynolds menilai bahwa kemampuan berpikir dan bertindak yang dimiliki setiap manusia (dalam konteks 158 Michael J. Marquardt and Angus Reynold, ”Building a global learning Organization Lessons from the world’s top corporations”, Industry & Higher Education, 1995. h 220 142 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

ini individu organisasi) terimplementasikan dalam proses pembelajaran individu dan kelompok/tim. Pembelajaran pada kedua level tersebut masuk dalam kategori inner sphere (people) artinya pembelajaran organisasi (organizational learning) akan terbentuk jika pembelajaran individu dan kelompok/tim dalam suatu organisasi telah terlaksana secara terus menerus dan sistematis.159 Merujuk pada konsep ”The 4I (intuiting, interpreting, integrating, institutionalizing) Framework of Organizational Learning” yang menghubungkan pembelajaran organisasi sebagai hasil dari prosessosialdanpsikologis individu dalam organisasi.160 Konsep tersebut menggambarkan bahwa dalam pembelajaran organisasi terdapat empat subproses yang saling terkait, yang terjadi pada ketiga tingkatan pembelajaran: (i) intuisi dan interpretasi –terjadi pada pembelajaran individu, (ii) interpretasi dan integrasi –terjadi pada pembelajaran kelompok/tim, hingga (iii) integrasi dan institusionalisasi yang terjadi pada pembelajaran organisasi. Ketika organisasi tidak memiliki intuisi dan kemampuan untuk melakukan interpretasi karena proses itu hanya dimiliki individu, maka perlu adanya pembelajaran kelompok yang akan mengintegrasikan pembelajaran individu kepada pembelajaran organisasi. Selain itu, juga dapat dipastikan bahwa pembelajaran pada tingkat organisasi tidak akan terbentuk jika pembelajaran 159 ibid 160 Mary M. Crossan, Henry W. Lane and Roderick E. White, ”An Organizational Learning Framework: From Intuition to Institution”, The Academy of Management Review, Vol. 24, No. 3 1999. h. 522-537 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 143 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

terhenti pada masing-masing individu, meskipun hal tersebut dilakukan secara terus menerus. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Senge, bahwa organisasi hanya belajar melalui individu yang belajar, artinya tidak akan ada pembelajaran organisasi tanpa pembelajaran individu.161 Kendati demikian, tidak ada jaminan akan hal tersebut karena pembelajaran individu padaderajat tertentu tidak relevan untuk pembelajaran organisasi meskipun individu belajar sepanjang waktu. Senada dengan pendapat tersebut, menurut Agrys dan Schon, ”[…]is no organizational learning without individual learning, and that individual learning is a necessary but insufficient condition for organizational learning.”162 Sehingga dalam pembelajaran organisasi diperlukan pembelajaran kelompok/tim, sebagai suatu proses yang membentuk hubungan antara pembelajaran individu dengan pembelajaran organisasi, agar organisasi dapat mengenali dan memanfaatkan sumber daya laten yang dimiliki anggota-anggotanya. Kendati demikian, dalam mewujudkan dinamika pembelajaran (learning dynamic) dalam sistem organisasi pembelajar, maka learning dalam organisasi harus dilihat sebagai suatu proses yang dinamis yaitu selain pembelajaran yang dilakukan terus menerus dan lintas level, pembelajaran juga harus mampu menciptakan kondisi antara mengeksplorasi pengetahuan 161 Peter M Senge, ”The Fifth Dicipline ; The Art & Practice of the Learning Organization”, Bantam Doubleday Dell Publishing Group, Inc., 1990. h 124 162 Chris Agrys and Donald A. Schon, ”Organizational Learning; A Theory of Action Perspective”, Addison-Wesley Publishing Company, Inc. 1978, h9 144 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

baru (umpan maju) dan mengeksploitasi atau menggunakan apa yang dipelajari (umpan balik).163 Pembelajaran yang terjadi di lingkungan Kemenkumham, menurut pejabat fungsional peneliti pada Balitbang Hukum dan HAM, Oki Wahju Budijanto menjelaskan, ”Secara umum, saya sebagai peneliti, pembelajaran secara masing-masing, individu. Dalam arti, ya kita mencari informasi dan kita belajar dan mengolah dan menganalisisnya. Kembali lagi kalau ada peningkatan kompetensi bagi peneliti, ya tadi difasilitasi bimtek, atau buat ruang diskusi, kembali lagi. Kalau sekarang ya masing-masing, nyari pengalaman pengetahuan sendiri. kalau kita ingin mendapatkan sesuatu dari luar, itu dari diri sendiri, pasti untuk meningkatkan kompetensi kita sendiri. Tapi untuk visi misi nya, saya kira belum, ga nyambung” 164 Selain itu, pembelajaran individu yang mengarah pada perubahan keterampilan, pengetahuan, wawasan, sikap dan tata nilai melalui proses pembelajaran secara mandiri, pengajaran berbasis teknologi dan pengamatan belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena kesempatan untuk belajar pun pada praktiknya belum menyeluruh kepada semua level SDM di lingkungan Kemenkumham. Misalnya pada 163 Crossan, et..al, An Organizational Learning Framework 164 Hasil wawancara dengan Oki Wahju Budijanto, Peneliti Madya Badan Litbang Hukum dan HAM, 25 Juli 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 145 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), menurut Sekretaris Ditjen PAS, Ibnu Chuldun bahwa ”Kalau pengembangan kompetensi di jajaran pemasyarakatan, kita menginduk kepada BPSDM sebagai pemangku kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi seluruh ASN, bukan hanya di pemasyarakatan, tapi juga di seluruh Kemenkumham. Sebagaimana diamanatkan di UU Nomor 5/2014 tentang ASN, bahwa setiap pegawai itu mempunyai hak 20 JP [jam pembelajaran, pen] setahun. Namun kenyataannya, bahwa sangat sedikit sekali kesempatan yang diberikan dari Kemenkumham, dalam hal ini BPSDM, kepada seluruh pegawai di lingkungan Kemenkumham. Saya contohkan begini, ada pegawai yang sudah bekerja lebih dari 25 tahun, tapi dia hanya mengikuti pendidikan prajabatan saja, kan begitu. Kemudian, ada lagi pegawai yang mau pensiun, itu pun juga tidak terpenuhi, pendidikan dan pelatihannya. Kenapa? Karena memang kesempatan untuk mengikuti diklat itu sangat kecil sekali, dan BPSDM juga terbatas di dalam memberikan diklat bagi seluruh pegawai” 165 Di sisi lain, penerapan metode pembelajaran berbasis teknologi (e-learning) dianggap sebagai upaya untuk menjawab tantangan dan kebutuhan diklat, sebagaimana pendapat 165 Hasil wawancara dengan Ibnu Chuldun, Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 12 Agustus 2019 146 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Arisman yang merupakan pejabat fungsional pada BPSDM Hukum dan HAM, ”E-learning merupakan salah satu terobosan solusi dalam menjawab tantangan akan kebutuhan Diklat. Baik juga secara biaya dan daya jangkau, yang bisa menjangkau lebih luas.”166 Kendati demikian, nyatanya pelaksanaan diklat melalui e-learning masih menghadapi pelbagai kendala. Misalnya, menurut Evi Purwaningsih, pengawas di Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta mengungkapkan bahwa ”Pembelajaran di Kemenkumham belum dapat diakses oleh seluruh level SDM. Meskipun saat ini sudah ada diklat e-learning. Seharusnya kalau ada pengembangan kompetentsi, dinformasikan dahulu melalui web mengenai diklat yang akan diselenggarakan dan yang berminat dapat mendaftar secara online. Selama ini Kanwil tidak diinfomasikan.” 167 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Poltekim, Anggiat Napitupulu bahwa ”e-learning sudah sangat membantu, namun lagi-lagi ada kendala di teknis secara IT yang mana di daerah tertentu IT-nya tidak memadai.”168 Selain hal-hal teknis di atas, secara substantif program pendidikan dan pelatihan yang 166 Hasil wawancara dengan Arisman, Widyaiswara Madya Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM, 29 Juli 2019. 167 Hasil wawancara dengan Evi Purwaningsih, Kepala Subbagian Kepegawaian, Tata Usaha, dan Rumah Tangga Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta, 1 Agustus 2019 168 Hasil wawancara dengan Anggiat Napitupulu, Direktur Politeknik Imigrasi, 2 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 147 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

berjalan di Kemenkumham juga belum sepenuhnya mengarah pada pembelajaran untuk menciptakan perubahan keahlian, wawasan, pengetahuan, sikap serta nilai-nilai guna mencapai tujuan strategis Kemenkumham. Sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Informasi dan Teknologi Keimigrasian, Alif Suaidi, yang berpendapat bahwa, ”Kebijakan pengembangan SDM sudah mendukung tapi masih kurang. Kalau melihat kebutuhan kita, masih kuranglah. Seperti diklat, kursus-kursus masih terbatas anggarannya. Pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan BPSDM sedikit, paling dalam setahun, setengah orang saja yang ikut. Itupun seperti diklat PIM saja sangat terbatas. Diklat-diklat lain yang saya tahu baru HAM saja. Yang lainnya belum ada, misalnya seperti terkait SJDI, kehumasan, atau apa saja yang umum- umum jarang ada kesempatan. Saya kira volume dan jenisnya perlu ditambah. Pandangan kita selain secara substansi teknologinya kita harus menguasai, hal-hal lain perlu kita dapatkan juga sebetulnya. Secara umum pengembangan SDM yang ada masih kurang menyasar kepada kebutuhan-kebutuhan unit.” 169 Kedua, berkaitan dengan tipe pembelajaran dalam subsistem dinamika pembelajaran Marquardt yang mencakup (1) adaptive learning atau pembelajaran adaptif, (2) 169 Hasil wawancara dengan Alif Suaidi, Direktur Sistem dan Teknologi Informasi Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi, 5 Agustus 2019 148 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

anticipatory learning atau pembelajaran antisipatif, (3) action learning atau pembelajaran tindakan.170 Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh, dapat digambarkan mengenai tipe- tipe pembelajaran yang ada di lingkungan Kemenkumham. Misalnya, pembelajaran yang dilakukan atas dasar refleksi kebutuhan saat ini dan pada waktu bersamaan menerapkan pengetahuan tersebut sebagai upaya pengembangan individu, kelompok dan organisasi. Sebagaimana yang terjadi pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), menurut Dwi Rahayu E.S. menjelaskan bahwa ”tahapnya baru sampai misalnya memiliki anggaran, kebutuhan BPHN melakukan pelatihan atau penguatan apa, lalu mengundang narasumber untuk mendengarkan dan belajar mengenai masalah yang diperlukan.”171 Dari penjelasan tersebut dapat digambarkan bahwa tipe pembelajaran yang dilakukan adalah tipe pembelajaran tindakan (action learning). Pelaksanaan pembelajaran dalam tipe adaptif (adaptive learning) juga terjadi di beberapa unit, misalnya seperti di BPSDM Hukum dan HAM serta Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Penambahan program dikat yang dilakukan oleh BPSDM Hukum dan HAM melalui program e-learning merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan serta menghilangkan permasalahan yang terjadi dalam proses pengembangan kompetensi pegawai 170 Marquardt, Building the Learning Organization: Mastering the 5 Elements for Corporate Learning. hal 25 171 Hasil wawancara dengan Dwi Rahayu E.S., Kepala Bagian Humas, Kerjasama dan Tata Usaha Badan Pembinaan Hukum Nasional, 30 Juli 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 149 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

di lingkungan Kemenkumham. Selain itu, karena secara substansi pengembangan kompetensi teknis di lingkungan Kemenkumham masih kurang terpenuhi, khususnya pada unit Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam hal ini kemudian beberapa pengetahuan teknisnya dimasukkan ke dalam kurikulum program diklat yang diselenggarakan oleh BPSDM Hukum dan HAM. Hal tersebut juga dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan permasalahan yang kerap terjadi di dalam Pemasyarakatan. Sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Politeknik Ilmu Pemasyarakatan, Rachmayanti menjelaskan bahwa ”BPSDM sudah memiliki kurikulum terkait pelatihan teknis pemasyarakatan salah satunya diklat P2U tadi. Sebelumnya hanya ada diklat ke-samaptaan saja, akan tetapi sekarang sudah ada diklat P2U, terus Kamtib/ misalnya peningkatan kompetensi petugas kamtib. Kemudian pelayanan kesehatan, PK bapas dan banyak lagi macamnya, guna peningkatan kompetensi teknis tadi yang sesuai dengan kebutuhan Ditjen PAS”172 Minimnya upaya pengisian gap kompetensi teknis pegawai mendorong masing-masing unit di Kemenkumham untuk menyelenggarakan pembelajaran secara mandiri; baik melalui penyelenggaraan bimbingan teknis, seminar, maupun sosialisasi. Misalnya saja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 172 Hasil wawancara dengan Rachmayanti, Direktur Politeknik Ilmu Pemasyarakatan, 30 Juli 2019. 150 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

secara mandiri melaksanakan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan kompetensi pegawainya. Sebagaimanadiungkapkan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Ibnu Chuldun, ”Oleh karena itu Ditjen PAS pada tahun-tahun terakhir, sejak tahun 2005-an, ada beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan di Ditjen PAS, juga di wilayah, di kantor wilayah dan juga di satker (UPT Pemasyarakatan). Itu ada bimbingan teknis, konsultasi teknis, kemudian kita menggunakan video conference terhadap suatu kebijakan baru.”173 Upaya-upaya yang dilakukan merupakan suatu pem­ belajaran atas permasalahan yang dihadapi pada masa lalu, kemudian melakukan inovasi ataupun modifikasi kegiatan/ tindakan yang dilakukan. Kemudian yang ketiga, dalam hal keterampilan (skills), ini menyangkut pembelajaran organisasi untuk dapat memaksimalkan pembelajaran melalui penerapan kelima disiplin (the fifth discipline) yang dikemukakan oleh Peter M. Senge. Merujuk pada pendapat Senge, untuk menciptakan organisasi pembelajar yang efektif diperlukan lima disiplin yang harus diwujudkan dan dikembangkan. Kelima disiplin tersebut antara lain; (1) Personal Mastery atau keahlian pribadi, (2) Mental Models atau model mental, (3) Building Shared 173 Hasil wawancara dengan Ibnu Chuldun, Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 12 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 151 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Vision atau membangun visi bersama, (4) Team Learning atau pembelajaran kelompok, dan (5) System Thinking atau berpikir sistem.174 Berdasarkan data hasil wawancara yang diperoleh dapat digambarkan terkait penerapan kelima disiplin yang terjadi di lingkungan Kemenkumham. Terkait dengan disiplin keahlian pribadi pegawai di lingkungan Kemenkumham, secara umum pada level fungsional pegawai di lingkungan Kemenkumham sudah cukup memiliki kesadaran dan mampu memahami diri secara mendalam sehingga yang dilakukan berarti bagi masa depan serta keinginan untuk terus belajar. Sebagaimana diungkapkan oleh Oki Wahju Budijanto, bahwa ”Untuk peningkatan kompetensi, saya kuliah secara mandiri dan berencana untuk melanjutkan ke jenjang doktoral (S3) bila memiliki dana yang cukup. Karena diklat yang difasilitasi oleh negara sudah semua dilakukan, seperti diklat pertama dengan metodologi dan diklat lanjutan. Tapi itupun tidak cukup semata- mata punya brevet tingkat lanjutan terus ahli, gitu. Keahlian itu harus diasah terus di setiap momen sehingga, harus direfresh terus dengan diskusi, seperti bagaimana pemahaman tentang metodologi, bagaimana pengumpulan data, pencarian data, bagaimana menganalisa, tekniknya. Harusnya itu yang harus sering dibiasakan.”175 174 Senge, The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization. 175 Hasil wawancara dengan Oki Wahju Budijanto, Peneliti Madya Badan Litbang Hukum dan HAM, 25 Juli 2019 152 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Senada dengan pendapat di atas, salah satu pejabat fungsional analis kepegawaian pada Kanwil Kemenkumham DIY menyampaikan, ”Analis Kepegawaian harus paham dengan macam- macam JFT yang ada di lingkungan Kanwil Kemenkumham DIY (minimal), jadi ada belajar juga ke JFT Perancang mengenai dasar hukum dari berbagai JFT. Kebanyakan informasi, terutama mengenai regulasi, dicari secara mandiri. Pernah juga ada sharing pengetahuan dengan BAPAS Jogja mengenai JFT Pembimbing Kemasyarakatan.”176 Dari kondisi tersebut dapat dilihat bahwa disiplin keahlian pribadi dapat menunjang kreativitas individu dalam bekerja dan hal tersebut juga dimaknai sebagai kematangan sikap dan perilaku anggota organisasi. Selain itu, keahlian pribadi yang ditandai dengan kemampuan penyelarasan antara visi pribadi dengan visi organisasi belum terbangun di lingkungan Kemenkumham, sebagaimana terjadi di Balitbang Hukum dan HAM, menurut Oki Wahju ”Kalau itu mengarah pada individu iya, kalau kita ingin mendapatkan sesuatu dari luar, itu dari diri sendiri, pasti untuk meningkatkan kompetensi kita sendiri. Tapi untuk visi misi nya, saya kira belum, tidak berkaitan sama sekali. Seringkali ini yang saya perjuangkan 176 Hasil wawancara dengan YBN, Pejabat Fungsional pada Kemenkumham Daerah Istimewa Yogyakarta, 6 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 153 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

ke pimpinan, bagaimana bisa menyelaraskan antara tujuan kelembagaan dengan tujuannya si peneliti ini. Hal Ini sampai sekarang belum terjawab. Terkadang kita dalam waktu, seperti sekarang saja belum menjawab hasil kerja minimum kita. Seperti kalau madya misalnya, pemakalah atau jurnal scopus. Karena masih kebebanan, mungkin setelah September baru bisa berpikir untuk diri sendiri, untuk penelitinya.”177 Selanjutnya dalam hal disiplin model mental, pertumbuhan atau perubahan suatu organisasi bergantung pula pada model mental yang ditampilkan oleh perilaku individu-individu dalam organisasi tersebut. Secara umum di lingkungan Kemenkumham, kemampuan pegawai di setiap level SDM sudah mulai terbuka dalam melakukan komunikasi ’learningful’, dan pemikiran yang terbuka terhadap pengaruh orang lain. Kendati demikian, budaya birokrasi yang kuat memengaruhi keterbukaan komunikasi ataupun pemikiran setiap individu. Misalnya pada kondisi yang terjadi pada Balitbang Hukum dan HAM, sebagaimana dijelaskan Oki Wahju Budijanto bahwa ”Karena kalau pergantian pimpinan dan kemudian mengganti kebijakan lagi, apakah selama ini pola komunikasi antar struktur di litbang sudah sangat baik. Karena pimpinan bicara A, maka yang harus dilakukan 177 Hasil wawancara dengan Oki Wahju Budijanto, Peneliti Madya Badan Litbang Hukum dan HAM, 25 Juli 2019 154 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

adalah A, tanpa ada pola diskusi, model pengambilan keputusan yang demokratis antar struktur. Walaupun Dibuka ruang diskusi, terdapat birokrasi, sehingga bila pimpinan mengatakan sesuatu, pasti ikut semua. Selain itu juga kelitbangan kita selama ini arahnya selalu berbeda, tergantung pimpinan mau bawa kemana perahu ini” 178 Di sisi lain, masih kentalnya budaya ego sektoral di lingkungan Kemenkumham. Hal tersebut menujukan bahwa dalam memahami permasalahan ataupun pencapaian tujuan organisasi di Kemenkumham belum dilandaskan atas kesamaan atau kesadaran kolektif akan pentingnya model mental bersama sebagai suatu landasan berpikir. Kemudian terkaitdengan disiplin membangunvisi bersama yang terjadi di lingkungan Kemenkumham secara umum berkaitan dengan organisasi birokrasi yaitu pembangunan visi-misi tidak dilakukan secara bersama antara pimpinan dan seluruh anggota dalam organisasi sehingga visi dan misi organisasi lahir atas hasil pemikiran pimpinan, sementara para anggota organisasi hanya tinggal mengikuti. Pada akhirnya komitmen dan tanggung jawab bersama seluruh unsur dalam organisasi dalam mendukung pencapaian visi misi Kemenkumham kurang terbangun. Misalnya, masih banyaknya pegawai khususnya pada level staf yang kurang mengetahui visi dan misi organisasi, yang pada akhirnya kemudian mereka 178 Ibid MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 155 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

menempatkan diri pada kondisi ekstrem. Pada praktiknya, pembelajaran tim masih terhambat oleh karakter pegawai yang sukar bekerja sama dalam suatu tim. Bagaimanapun, praktik di Kanwil Kemenkumham DIY patut mendapat perhatian. Sebagaimana diungkapkan oleh F. Surya Kumara, ”betul, makanya itu legal drafter tidak hanya dengan legal drafter, itu penyuluh saling komunikasi sebelum berangkat. Perancang juga begitu, dengan madyanya mereka berangkat, setelah itu ada evaluasi bareng. Kemudian di bidang saya juga begitu, bagaimana menyelesaikan ini, suatu pekerjaan, misalnya LAKIP, saya bentuk rapat koordinasi, yang sebelumnya dibahas dengan Kadivmin dan Kakanwil, dibahas lagi dengan staff, apa yang harus dilakukan apabila hasil evaluasi seperti ini. Jadi ketika nanti lapor, pimpinan sudah bisa mengarahkan, ini harus diperbaiki. Gitu kan kita lakukan dengan monitoring dan evaluasi di lapangan. Itu pelaksanaan diskusi itu salah satu bagian yang sangat penting dalam menjalankan tugas, kalau itu bagian dari pekerjaan tim. Kalau dia sudah independen atau individualistis ya beda, karena kita kerja dalam tim, kalau tim kan beda” 179 179 Hasil wawancara dengan F. Surya Kumara, Kepala Bagian Program dan Hubungan Masyarakat Kanwil Kemenkumham Daerah Istimewa Yogyakarta, 6 Agustus 2019 156 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Dalam pembelajaran tim sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat proses berpikir secara kolektif dan sinergi serta terjadi proses dialog dan berbagi pengetahuan antar unsur yang ada dalam organisasi secara efektif. Sama halnya dalam disiplin berpikir sistem, secara keseluruhan unsur organisasi di Kemenkumham belum dapat melihat organisasi ini sebagai satu kesatuan dari pelbagai komponen yang membentuk dan saling memengaruhi. Sebagaimana dijelaskan oleh Dwi Rahayu E.S. bahwa, ”Dari level eselon pada masing-masing unit eselon II masih terkotak-kotak, sehingga untuk suatu kegiatan tidak melibatkan unit lainnya, bahkan untuk informasi kegiatan, humas sering kali tidak mengetahui bila tidak menanyakan secara langsung.” 180 Selain itu narasumber juga menjelaskan bahwa kemudian hal tersebut berdampak pada ketidakmampuan organisasi dalam menyusun suatu kerangka kerja konseptual yang lengkap sehingga dalam implementasinya menghadapi beberapa kendala. Misalnya seperti, ”BPSDM sudah mempunyai Plan tetapi sebenarnya ketika plan menuju ke arah konsep tersebut sudah ada, seperti apa mau dibangun, melakukan apa saja, melakukan penguatan apa saja. Tetapi informasi terkait hal tersebut, untuk ke eselon I dan kanwil belum diketahui secara jelas. Misalnya mereka akan melakukan penguatan pelatihan, ada coaching dan 180 Hasil wawancara dengan Dwi Rahayu E.S., Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Tata Usaha Badan Pembinaan Hukum Nasional, 30 Juli 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 157 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

mentoring. Siapa saja, berapa kali dalam setahun, standar peserta siapa saja. Jangan sampai yang pernah dipanggil diklat, akan dipanggil lagi secara berulang. Seharusnya mereka memiliki skala prioritas, siapa yang harus mengikuti diklat dan standarnya apa.”181 Dari gambaran mengenai subsistem dinamika pembelajaran yang terjadi di Kementerian Hukum dan HAM, secara keseluruhan masih menghadapi pelbagai kendala guna mendukung proses pembelajaran yang berkelanjutan sebagai ciri dari organisasi pembelajar. Dimensi pertama pada subsistem dinamika pembelajaran (learning) yaitu tingkatan pembelajaran. Secara umum, dapat digambarkan bahwa tingkatan pembelajaran yang terjadi di Kementerian Hukum dan HAM baru sampai pada level pembelajaran individu, yang dalam praktiknya pun sampai saat ini masih belum dapat dilakukan sepenuhnya secara efektif. Masih terdapat beberapa kendala mendasar, misal secara teknis pelaksanaan pembelajaran belum sepenuhnya memberikan kesempatan kepada seluruh level pegawai, begitu juga pembelajaran dengan model e-learning yang diharapkan mampu menyentuh seluruh pegawai akan tetapi nyatanya masih belum maksimal. Selain itu, secara substantif program pembelajaran yang ada belum sepenuhnya mengarah pada kebutuhan seluruh unit guna mencapai tujuan strategis organisasi. Pada dimensi kedua berkaitan dengan tipe pembelajaran. Secara umum, tipe 181 Ibid 158 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

pembelajaran yang terjadi menggunakan dua pendekatan, yaitu pertama pembelajaran atas dasar refleksi kebutuhan organisasi saat ini dan pada waktu bersamaan menerapkan pengetahuan tersebut sebagai upaya pengembangan individu, kelompok dan organisasi (pembelajaran tindakan/action learning), kedua, pembelajaran atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi pada masa lalu kemudian dilakukan inovasi ataupun modifikasi kegiatan/tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan permasalahan yang kerap terjadi di dalam organisasi. Dimensi ketiga, dalam hal keterampilan (skills) pembelajaran. Secara umum, penerapan dimensi keterampilan (skills) yang terjadi di Kemenkumham masih sangat kurang sehingga perlunya upaya perbaikan serta penguatan. Misalnya; pada disiplin keahlian pribadi, meskipun sudah terdapat pegawai yang memiliki kesadaran dan memahami bahwa kedudukan dirinya sebagai sesuatu yang berarti bagi organisasi serta memiliki keinginan untuk terus belajar. Kendati demikian, keahlian pribadi tersebut belum membentuk etika dan nilai- nilai organisasi yang menghargai pekerjaan, sehingga belum terciptanya penyelarasan antara visi individu dengan visi organisasi. Terlebih pada keahlian model mental, membangun visi bersama, pembelajaran tim dan keahlian berpikir sistem yang belum mampu diterapkan sehingga perlu upaya bersama seluruh unsur organisasi dalam menerapkan kelima disiplin/ keterampilan tersebut guna memaksimalkan keberlangsungan serta keberlanjutan proses pembelajaran. Gambaran kuantitatif mengenai subsistem dinamika pembelajaran (learning dynamics) di Kemenkumham diperoleh melalui survei persepsi pegawai dengan sepuluh indikator MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 159 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

khusus. Hasil survei menggambarkan bahwa 34% responden memiliki persepsi bahwa penerapan dinamika pembelajaran sebagian besar telah terlaksana. Gambar 11 Data Persepsi Pegawai Penerapan Subsistem Dinamika Pembelajaran Setelah dilakukan perhitungan atas data-data yang diperoleh dari penilain pegawai, nilai rata-rata penerapan subsistem dinamika pembelajaran (range result) yaitu 28.88, masuk pada kategori baik menurut range result Marquardt (25 – 32 = good). 160 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Tabel 6 Nilai Rata-Rata Subsistem Dinamika Pembelajaran Nilai Rata-Rata 1 2 3 4 Jumlah X.1 68 274 567 824 1733 1,13 4,57 9,45 13,73 28,88 Mean Gambar 12 Nilai Rata-Rata Indikator Penerapan Subsistem Dinamika Pembelajaran Lebih lanjut, dapat dipahami bahwa Kemenkumham memiliki fondasi yang cukup kuat pada subsistem dinamika pembelajaran, khususnya pada elemen (i) kemampuan pegawai dalam menerapkan bentuk pembelajaran tindakan dengan melakukan refleksi cermat atas masalah; (ii) menerapkan pengetahuan untuk tindakan di masa depan; dan (iii) dorongan belajar dan pengembangan diri yang dirasakan oleh pegawai. Kendati subsistem dinamika pembelajaran belum sepenuhnya menggambarkan karakteristik organisasi pembelajar, MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 161 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

khususnya pada elemen pembelajaran individu yang sejatinya ialah titik awal dalam proses pembelajaran organisasi. Tabel 7 Uraian Perhitungan Subsistem Dinamika Pembelajaran No Pernyataan Jawaban 1 2 3 4 Jumlah 1 Pembelajaran seluruh pegawai 7 22 13 18 60 yang berkelanjutan 2 Dorongan belajar dan 4 13 19 24 60 pengembangan diri 3 Kemampuan mendengarkan & 6 13 17 24 60 memberi pendapat 4 Pegawai dilatih mempelajari cara 4 15 23 18 60 belajar 5 Penggunaan metode 11 20 13 16 60 pembelajaran cepat 6 Pembelajaran secara adaptif, 6 15 19 20 60 antisipatif & kreatif Subtotal Individual Learning 38 98 104 120 360 Persentase 11% 27% 29% 33% 100% 7 Pembelajaran tindakan & 4 9 21 26 60 penerapan pengetahuan Pembelajaran dan berbagi 9 9 21 21 60 8 pengetahuan secara kelompok/ tim 9 Kemampuan berpikir & bertindak 5 12 26 17 60 secara sistem 10 Pelatihan belajar & bekerja secara 12 9 17 22 60 kelompok/ tim Subtotal Team Learning 30 39 85 86 240 Persentase 13% 16% 35% 36% 100% 162 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Berdasarkan uraian perhitungan perlunya melakukan upaya perbaikan ataupun peningkatan yang berarti khususnya pada elemen-elemen yang menjadi titik lemah penerapan subsistem dinamika pembelajaran. Misalnya, pembelajaran berkelanjutan oleh seluruh pegawai Kemenkumham serta penerapan metodologi yang mempercepat proses pembelajaran (lihat: pernyataan nomor 1 dan 5 berada pada skala 2). Hal ini dapat terlihat pada kondisi empiris pembelajaran yang terjadi di Kemenkumham belum dapat dirasakan oleh seluruh pegawai, meskipun penerapan metode e-learning sudah dilaksanakan akan tetapi tidak secarasignifikan menghilangkan permasalahan tersebut. Selain itu, materi pembelajaran belum sepenuhnya mendukung kebutuhan kompetensi seluruh unit organisasi di Kemenkumham, hanya sebagian kecil materi pembelajaran dapat diterapkan pegawai dalam mendukung pelaksanaan tugas dan penyelesaian pekerjaannya. B. Lanskap Transformasi Organisasi Organisasi merupakan suatu struktur, tubuh tempat individu, kelompok, dan seluruh proses pembelajaran berlangsung. Transformasi signifikan dalam organisasi merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat menjadi sebuah organisasi pembelajar. Transformasi organisasi dimulai dari rekonfigurasi organisasi yang fokus terhadap empat dimensi dalam subsistem organisasi, yakni visi, budaya, MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 163 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

strategi, dan struktur.182 Untuk memulai transformasi, suatu organisasi pertama-tama harus memiliki visi bersama (shared vision) sebagai fondasi yang melatarbelakangi perubahan cara pandang dari organisasi konvensional menjadi organisasi pembelajar. Selain visi, suatu organisasi tentu memiliki cara pandang dan cara kerja beragam yang terwujud melalui identitas dan nilai (values) hingga akhirnya membentuk budaya tersendiri: learning culture, non-learning culture, hingga anti-learning culture.183 Nilai-nilai tersebut, menurut Marquardt, ”complement the pulling force of an organization’s vision by pushing the company to reach that vision”, yang menempatkan budaya organisasi menjadi hal krusial untuk ditransformasikan. Selanjutnya dibutuhkan strategi yang tepat dan struktur organisasi yang mendukung untuk dapat mendorong transformasi organisasi secara keseluruhan. Untuk dapat bertransformasi, sebuah organisasi pertama- tama perlu memiliki sebuah visi bersama (shared vision). Keselarasan antara visi strategis organisasi dengan visi pribadi pegawai memegang peranan penting dalam terwujudnya suatu organisasi pembelajar. Temuan lapangan, bagaimanapun, menggambarkan hal sebaliknya. Menurut Oki Wahju, Peneliti Madya di lingkungan Badan Litbang Hukum dan HAM, ”Ini dia, peneliti kalo saya liat sebagai superman ya, superhero Balitbang, kenapa? Karena IKU nya 182 Marquardt, Building the Learning Organization: Mastering the 5 Elements for Corporate Learning. 183 Ibid. 164 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

kelembagaan sebagian besar kita yang jawab […] Kedua, peneliti juga dibebankan dengan hasil kerja minimal peneliti sendiri […] Harusnya, kinerja si peneliti lah yang jadi jawaban kelembagaan, jadi diambil dari kualitas si peneliti, menjawab kelembagaan, biar selaras.” 184 Hal tersebut didukung oleh pernyataan Yeni Puspita Hati, Arsiparis Pertama pada Ditjen PAS. Jabatan fungsional arsiparis di lingkungan Ditjen PAS seringkali luput dari perhatian Bagian Kepegawaian, apabila dibandingkan dengan jabatan fungsional yang tugas dan fungsinya erat dengan teknis pemasyarakatan. Menurutnya, ”Iya, tapi mungkin karena masih baru ya, dan juga mungkin pekerjaan mereka lebih teknis pemasyarakatan. Jabatan arsiparis mungkin jarang dilirik, tetapi sebenarnya fungsi kami ini kuat di sini, kalau nggak ada arsiparis, siapa yang akan mengurus kearsipan. Seharusnya mereka juga belajar aturan apa yang terkait dengan JFT ini, mereka juga harusnya memperhatikan mau apa, jangan cuma PK [pembimbing kemasyarakatan, pen.] PK ini kan istilahnya yang sering diboomingkan, sedangkan arsiparis yang di sini begitu aja, kalau kami mau apa, tidak difasilitasi.” 185 184 Hasil wawancara dengan Oki Wahju Budijanto, Peneliti Madya Badan Litbang Hukum dan HAM, 25 Juli 2019 185 Hasil wawancara dengan Yeni Puspita Hati, Arsiparis Pertama Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 31 Juli 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 165 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Dimensi selanjutnya dalam transformasi organisasi ialah budaya organisasi. Budaya organisasi dapat diartikan sebagai ”nilai-nilai mendalam dan kepercayaan yang secara bersama- sama diyakini oleh anggota organisasi”, termanifestasi dalam karakteristik utama organisasi tersebut.186 Budaya yang kuat memiliki shared values yang memastikan setiap orang di dalam organisasi bekerja dalam satu jalur yang sama.187 Kemenkumham sebagai instansi di sektor pemerintahan, memiliki karakteristik budaya organisasi birokratis, yang menurut Danaeefard et. al, dapat dilihat dari sifat yang tidak fleksibel, peraturan yang rigid, tingginya sentralisasi, dan gaya kepemimpinan yang afirmatif.188 Menurut Sekretaris Ditjen PAS, budaya birokratis yang lekat dengan karakter egosektoral masih mendominasi di lingkungan Kemenkumham, khususnya di Kantor Wilayah, ”[…] Jangankan antar APH, di antara internal saja terjadi egosektoral itu. Coba saja kita pelan-pelan menyelidiki itu, meneliti itu. Mana pernah ada orang imigrasi itu sama dengan orang PP. Di PP saja sendiri tidak ada kesamaan itu. Saya peneliti, di Balitbang, saya peneliti senior. Di PP saja tidak mau juga, saya perancang, kan gitu. Apalagi di Kantor Wilayah, lebih 186 E.C. Martins and F. Terblanche, ”Building Organisational Culture That Stimulates Creativity and Innovation,” European Journal of Innovation Management 6, no. 1 (2003). 187 Ibid. 188 Danaeefard et al., ”How Emotional Intelligence and Organizational Culture Contribute to Shaping Learning Organization in Public Service Organizations.” 166 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

parah itu, yang namanya perancang di Kanwil itu tidak mau di bawah struktural Eselon IV Divisi Yankum. Saya bisa pastikan, saya sudah lima kali jadi Kakanwil, paham itu saya, egosektoral. Mestinya ini tidak boleh muncul, egosektoral, karena kita ini tidak terbiasa.”189 Oki Wahju mengonfirmasi kentalnya budaya birokrasi berpengaruh terhadap pola penganggaran dan pola komunikasi pada organisasi, ”Birokrasi, sesuai dengan namanya badan litbang di kementerian ya birokrasi, masih kentara kentalnya. Atmosfirnya belum namanya kalau di akademisi kan lebih dinamis ya […] Memang berat ketika mengomunikasikan itu, birokrasi, fungsional, karena terbentuk oleh kelembagaan yang birokrasi. Terus terbentuk juga pola pembinaan pengetahuan pun juga masih terpola politik anggaran, ya kan. Belum bisa memberikan suatu pembudayaan bagaimana kelitbangan itu berjalan. Belum ada konsep kelitbangan itu gimana.[…] Dibuka ruang diskusi ya dibuka, tetep ada, namun kan namanya birokrasi kan, kalo sudah pimpinannya mengatakan pasti ikut semua, itu kan. Terus juga kelitbangan kita selama ini arahnya selalu 189 Hasil wawancara dengan Ibnu Chuldun, Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 12 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 167 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

berbeda, tergantung pimpinan mau bawa kemana perahu ini.”190 Bagaimanapun, terdapat upaya untuk melakukan pergeseran nilai-nilai ke-Kemenkumham-an melalui tata nilai (core values) yang tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Hukum dan HAM 2015-2019. Rencana tersebut ditindaklanjuti melalui Permenkumham Nomor 20 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memuat ketentuan mengenai nilai-nilai organisasi yakni PASTI (Profesional, Akuntabel, Sinergi, Transparan, dan Inovatif). Tata nilai PASTI tersebut, seyogianya dapat dipahami sebagai shared values seluruh pegawai di lingkungan Kemenkumham. Selain itu, tata nilai juga digunakan untuk ”memandu pencapaian visi dan misi serta untuk mewujudkan tujuan dan sasaran diperlukan nilai-nilai yang digunakan sebagai pedoman bagi seluruh insan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.” Nilai-nilai ini, diharapkan dapat mendukung dan memandu pelaksanaan tugas dan tanggung jawab seluruh pegawai Kemenkumham.191 Menurut Aman Riyadi, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan pada Badan Litbang Hukum dan HAM, PASTI sebagai tata nilai organisasi seharusnya mampu menggeser budaya birokratis di lingkungan Kemenkumham. 190 Hasil wawancara dengan Oki Wahju Budijanto, Peneliti Madya Badan Litbang Hukum dan HAM, 25 Juli 2019 191 Lampiran Permenkumham Nomor 7 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 168 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Namun, tata nilai tersebut perlu diinternalisasikan oleh seluruh pegawai di lingkungan Kemenkumham ”Nggak, [tata nilai PASTI, pen.] itu udah bagus banget […] asal betul-betul diinternalisasi oleh diri masing-masing, bukan cuma organisasi, diteriakin hore-hore pas apel, setiap hari di kantor wilayah. Tapi diinternalisasi, itu yang paling penting. […] baru pada taraf dideclare, nilai PASTI itu baru. Tapi bagus, sudah ada niat mendeklarasikan itu. Cuma mengamalkannya ini yang kadang masih perlu dorongan, caranya bagaimana agar itu terinternalisasi dengan baik? Jangan dipaksa, diajak. Ngajaknya gimana? Kalau dengan perintah, kodrat orang, siapapun gamau diperintah, maunya suka-suka. Dipaksa oleh sistem.” 192 Dalam studi yang dilakukan oleh Edward James Sinaga pada 2019 tentang Aktualisasi Tata Nilai ’PASTI’ dalam Mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi serta Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani, dapat disimpulkan bahwa tata nilai PASTI memberi pengaruh positif bagi pegawai dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Internalisasi tata nilai PASTI juga diperkuat dengan adanya ”Tunas Integritas Kemenkumham” secara nasional, baik dari level pusat hingga Kantor Wilayah.193 192 Hasil wawancara dengan Aman Riyadi, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, 1 Agustus 2019 193 Edward James Sinaga, ”Aktualisasi Tata Nilai ’PASTI’ Dalam Mewujudkan Wilayah Bebas Dari Korupsi Serta Wilayah Birokrasi Bersih Dan Melayani,” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 13, no. 1 (2019): 31–50. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 169 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Studi tersebut, bagaimanapun, merekomendasikan agar internalisasi terus dilakukan secara terus menerus, salah satunya melalui penunjukan Kepala UPT sebagai role model dalam pengimplementasian tata nilai PASTI. Meskipuntelahmembawaperubahanpositif,tatanilaiPASTI masih belum dapat diaktualisasikan pada seluruh level baik pusat maupun kantor wilayah di lingkungan Kemenkumham. Dwi Rahayu E.S., Kepala Bagian Humas dan Tata Usaha pada Badan Pembinaan Hukum Nasional berpendapat bahwa kurangnya inovasi dan lemahnya komunikasi menjadi isu tersendiri dalam organisasi. Menurutnya, ”berkenaan dengan budaya kerja, pola kerja BPHN masih menggunakan pola lama, belum ada semangat untuk berinovasi. Untuk level Eselon I paling banyak memberikan arahan dan kebijakan.” 194 Struktur organisasi sebagai dimensi selanjutnya, memegang peranan penting khususnya dalam hal pengawasan kinerja, alur komunikasi, pengambilan keputusan, dan kontrol internal dalam organisasi. Kondisi struktur organisasi yang ideal menurut Marquardt adalah struktur yang menunjukkan ”flexibility, openness, freedom, and opportunity”.195 Namun, data lapangan menunjukkan bahwa masih terdapat permasalahan terkait struktur organisasi di lingkungan Kemenkumham, khususnya terkait dengan pembinaan jabatan fungsional 194 Hasil wawancara dengan Dwi Rahayu E.S., Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Tata Usaha, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 30 Juli 2019 195 Marquardt, Building the Learning Organization: Mastering the 5 Elements for Corporate Learning. 170 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

tertentu. Menurut Yeni, struktur jabatan fungsional arsiparis di lingkungan Ditjen PAS masih belum benar-benar clear, ”Keberadaan atasan langsung arsiparis masih kurang jelas. Selama ini berada di bawah TU Pim dan Protokol di Sekretariat. Sementara, beban kerja Kasubag TU Pim itu cukup banyak, cukup padat, tetapi Kasubagnya mau memperhatikan berbagai ide atau pendapat dari bawahannya. Mereka juga mendengar usulan yang disampaikan mau ikut andil. Akan tetapi memang beban kerjanya cukup banyak, sehingga sebaiknya dipisah. Dengan demikian antara Kasubbag TU Persuratan dan Kearsipan ini berdiri sendiri, jadi lebih masuk nanti idenya.” 196 Salah satu Analis Kepegawaian di Kantor Wilayah Kemenkumham DIY menuturkan, ”Dulu sempat ada satu orang Analis Kepegawaian, tapi karena belum jelas juga dasar hukum mengenai penempatan Analis Kepegawaian ini, pegawai yang bersangkutan minta dipindah ke UPT. Padahal, UPT tidak melakukan urusan kepegawaian.” 197 Selain permasalahan pembinaan jabatan fungsional, keberadaan Politeknik Imigrasi dan Politeknik Ilmu Pemasyarakatan sebagai sekolah kedinasan di bawah naungan 196 Hasil wawancara dengan Yeni Puspita Hati, Arsiparis Pertama Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 31 Juli 2019 197 Hasil wawancara dengan YBN, Analis Kepegawaian Pertama Kantor Wilayah Kemenkumham Daerah Istimewa Yogyakarta, 6 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 171 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

struktur Kemenkumham juga perlu dipertimbangkan. Direktur Politeknik Ilmu Pemasyarakatan menuturkan bahwa, ”Tusi Poltekip besar, memiliki taruna banyak. Menginduk kepada dua Lembaga, Kumham dan Ristekdikti. Berarti, secara kewenangan jika dibandingkan dengan level Kapus saja lebih tinggi Poltekip. Tetapi di bagan, karena posisi saya fungsional maka strukturnya di bawah Kapus. Padahal secara tugas yang banyak dan fungsi serta kewenangan luas. Berbeda dengan struktur Poltek/Akpol di Kepolisian, di mana Direkturnya eselon I b, di bawah lemdik/BPSDM-nya yang eselon Ia. Nah itu yang kemarin sudah kita usulkan untuk restrukturisasi.”198 Dengan strategi yang tepat, suatu organisasi dapat bertransformasi menjadi organisasi pembelajar. Kanwil Kemenkumham DIY, misalnya, berhasil melihat potensi yang dimiliki oleh pegawai dan merancang program pendidikan dan pelatihan yang dapat mengakomodasi kebutuhan organisasi. Menurut Surya Kumara, Kepala Bidang Program dan Hubungan Masyarakat, ”Itulah implementasi bagaimana kemudian mereka punya kecocokan, dengan kompetensi saya ini, saya bisa gini. Ini saya motivasi, ini sedang dalam proses menuju implementasi adanya fungsional prakom, jadi 198 Hasil wawancara dengan Rachmayanti, Direktur Politeknik Ilmu Pemasyarakatan, 30 Juli 2019. 172 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

setahun sebelumnya anda bisa nabung, angka kredit. Betul, alhamdulillah tahun berikutnya prakom, punya tabungan, jadi cepat. Itu yang kadang kita harus memahami betul payung hukum untuk memotivasi mereka bekerja, supaya nanti pada saatnya seperti itu tadi […] Alhamdulillah mereka mau, semangat, dan terbukti dengan kinerja. Berarti efektivitas, efisiensi tercapai, sehingga, implementasi mereka juga ada. Berarti apa yang kita harapkan, tusi kanwil terkait yang tadi saya sampaikan bisa berjalan” 199 Keselarasan visi, pergeseran budaya organisasi, restrukturisasi, hingga strategi yang tepat, tetap memerlukan komitmen dari pimpinan tertinggi organisasi untuk menentukan arah kebijakan, khususnya terkait transformasi organisasi. Menurut Adi Junjunan, Sekretaris Deputi Sumber Daya Manusia Aparatur Kemenpan-RB, pimpinan memegang peranan penting dalam memimpin perubahan, ”Ketika menggulirkan CorpU, komitmen segenap pimpinan sangat berarti. Kreativitas PSDM dan Manajemen SDM (Biro Kepegawaian). Yang penting di lapangan, leadership melahirkan leaders. Ada mental gap, tidak sedikit orang yang anak buahnya lebih maju, ngerasa jadi tantangan. Sampai sekarang kami yakin, 199 Hasil wawancara dengan F. Surya Kumara, Kepala Bagian Program dan Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah Kemenkumham Daerah Istimewa Yogyakarta, 6 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 173 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

dalam RB menggulirkan sembilan area perubahan, yang pertama adalah perubahan mindset dan culture set.”200 Dalam kesempatan lainnya, Aman Riyadi beranggapan bahwa pimpinan sebagai role model dalam organisasi dapat membentuk budaya kerja dengan pola komunikasi yang dinamis. Menurutnya, ”Gini, budaya kerja akan muncul kalau pertama, leadernya jadi role model. Yang kedua, pimpinan, leader, tidak alergi kritik. Tidak ada superman, justru yang harus kita bangun adalah superteam […] kita gaakan jadi apa-apa kalau gaada pendukung, tim hore. […] sharing session, siapa mengerjakan apa, bertanggungjawab, dan yang paling penting dia mencintai pekerjaan itu. Begitu dia mencintai pekerjaan itu, dia bahagia mengerjakan itu, dan pasti dari hati. Ini harus dibangun, ngga bisa diajarin, diajak. Cara ngajaknya gimana? Cara gua, pake forum curhat itu, forum curhat itu buat gua sangat efektif, karena apa? Semua orang bebas ngomong, semua orang bebas menyampaikan pendapat, curhat segala macem, untuk sama-sama mencari solusi.” 201 200 Pernyataan Andi Junjunan, Sekretaris Deputi Sumber Daya Manusia Aparatur Kemenpan-RB pada Diskusi Kelompok Terfokus sebagai rangkaian Pengumpulan Data Lapangan Penelitian, Jakarta 16 Juli 2019 201 Hasil wawancara dengan Aman Riyadi, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, 1 Agustus 2019 174 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Hal tersebut didukung oleh pernyataan Oki Wahju, ”Selama ini saya lihat, kan ini masa transisi ya, transisi ini karena pimpinan kita yang sekarang mengetahui itu, saya kuatir kalo pimpinan ganti lagi, nanti atmosfirnya lebih berat ke birokrat.” 202 Senada dengan Oki Wahju, Surya Kumara juga menekankan perlunya komunikasi yang baik dengan jajaran pimpinan di Kantor Wilayah untuk memberikan pengertian, ”Kita diskusi bersama pimpinan, jadi pimpinan ingin mengetahui bagaimana, karena tataran Eselon III dan IV kan ujung tombak SDM yang bawah. Kita diskusi, termasuk keputusan itu, jadi keterlibatan pimpinan selalu dibutuhkan untuk membangun kompetensi di unit, kita menyampaikan kondisi bagaimana KAK, ini gambaran.” 203 Kementerian Hukum dan HAM sebagai organisasi pembelajar dapat digambarkan melalui kondisi existing dari keempat dimensi dalam subsistem transformasi organisasi. Namun, keempat dimensi tersebut perlu dipahami sebagai sebuah siklus yang saling terkait antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Pertama, dalam hal visi, masih belum terdapat keselarasan antara visi strategis organisasi dengan visi pribadi masing-masing pegawai. Perbedaan visi tersebut terlihat jelas khususnya pada jabatan fungsional tertentu, mengingat jabatan fungsional tertentu memiliki kewajiban 202 Hasil wawancara dengan Oki Wahju Budijanto, Peneliti Madya Badan Litbang Hukum dan HAM, 25 Juli 2019 203 Hasil wawancara dengan F. Surya Kumara, Kepala Bagian Program dan Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah Kemenkumham Daerah Istimewa Yogyakarta, 6 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 175 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

untuk memenuhi standar kinerja, yang dalam beberapa kasus, tidak secara langsung bersinggungan dengan tugas dan fungsi utama dari organisasi. Kedua, dalam dimensi budaya organisasi, Kementerian Hukum dan HAM sebagai instansi pemerintahan masih memiliki karakter budaya birokratis, sehingga belum tercipta learning culture yang dapat membangun atmosfer pembelajaran di dalam organisasi. Tata Nilai PASTI sebagai values yang dimiliki oleh organisasi, masih belum mampu menggeser budaya kerja birokratis yang ada di Kementerian Hukum dan HAM. Ketiga, secara struktur, masih terdapat permasalahan egosektoral baik pada tingkatan internal masing-masing unit eselon I maupun Kementerian secara keseluruhan. Keempat, sudah terdapat strategi dalam rangka melakukan transformasi organisasi yang diinisiasi oleh unit- unit di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Kelima, pimpinan memegang peranan penting dalam melakukan transformasi organisasi di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Adapun gambaran kuantitatif atas subsistem transformasi organisasi (transformation organization) menunjukkan 33% responden memiliki persepsi bahwa penerapan transformasi organisasi di Kemenkumham sebagian besar telah terlaksana. Sebagaimana dapat dilihat pada gambar 13 176 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Gambar 13 Data Persepsi Pegawai Penerapan Subsistem Transformasi Organisasi Setelah dilakukan perhitungan secara keseluruhan, nilai rata-rata penerapan subsistem transformasi organisasi (organization) dalam mendukung kesiapan pembangunan learning organization di Kementerian Hukum dan HAM diperoleh nilai rata-rata 27,65. Hal ini dapat dirtikan bahwa penerapan subsistem transformasi organisasi masih masuk pada kategori baik menurut range result Marquardt (25 – 32 = good). Tabel 8 Nilai Rata-Rata Subsistem Transformasi Organisasi Nilai Rata-Rata 1 2 3 4 Jumlah X.2 67 334 594 664 1659 1,12 5,57 9,90 11,07 27,65 Mean MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 177 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Gambar 14 Nilai Rata-Rata Indikator Penerapan Subsistem Transformasi Organisasi Kemampuan personal pegawai dalam pembelajaran menjadi elemen kuat dalam mendukung penerapan subsistem ini, misalnya kemampuan pegawai atas suatu kegagalan ataupun keberhasilan sehingga memiliki toleransi yang kuat atas sebuah kesalahan, serta komitmen pegawai untuk terus belajar. Sama halnya dengan tingkat penerapan subsistem dinamika pembelajaran, meskipun masuk pada kategori baik akan tetapi perlunya upaya perbaikan dan peningkatan yang berarti pada subsistem ini, khususnya pada beberapa elemen yang menjadi kelemahan dalam penerapan subsistem ini. 178 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook