Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Lampiran 1

Lampiran 1

Published by bpsdmhumas, 2020-07-14 01:17:58

Description: Lampiran 1

Search

Read the Text Version

penelitian ini terdapat lima subsistem yang digunakan untuk mengukur tingkat kesiapan pelaksanaan learning organization, yaitu: (1) Subsistem Dinamika Pembelajaran, (2) Subsistem Transformasi Organisasi, (3) Subsistem Pemberdayaan SDM, (4) Subsistem Pengelolaan Pengetahuan, dan (5) Subsistem Penerapan Teknologi. Masing-masing subsistem dalam instrumen ini terdiri dari 10 indikator dengan skor penilaian empat skala, yaitu; skor 4 (sepenuhnya terlaksana), skor 3 (sebagian besar terlaksana), skor 2 (sebagian terlaksana/ sedang), dan skor 1 (sebagian kecil terlaksana/ belum terlaksana). Lebih jauh, data sekunder dikumpulkan dari laporan-laporan resmi di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, karya tulis ilmiah yang relevan, serta regulasi-regulasi terkait. 3. Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif, sebagaimana dijelaskan oleh Creswell bahwa analisis data kualitatif merupakan suatu proses yang mencakup persiapan data, melakukan analisis data, menyajikan data, hingga menginterpretasikan data.29 Lebih lanjut, analisis data kuantitatif harus dilihat sebagai langkah yang mencakup beberapa tingkatan analisis sebagaimana tersaji di dalam gambar berikut. 29 Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Method Approaches. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 29 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Gambar 2 Analisis Data Kualitatif Sumber: Modifikasi dari Creswell (2009) Langkah pertama adalah mengumpulkan seluruh data mentah yang diperoleh, seperti rekaman wawancara, hasil kuesioner, catatan lapangan, infografis, dokumen, maupun media lainnya. Selanjutnya dalam tahap kedua, data mentah tersebut diolah dan dikelompokkan berdasarkan sumbernya. Tahap ketiga dilakukan dengan membaca cermat seluruh data yang sudah diolah dan dikelompokkan. Tahap ini bertujuan untuk memperoleh gagasan utama dan merefleksikan arti luas dari informasi yang didapat. Dalam tahap keempat, proses analisis lebih dalam dapat 30 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

memanfaatkan proses coding. Menurut Rossman dan Rallis, ”coding is a process of organizing the material into chunks or segments of text before bringing meaning to information.”30 Pemberian kode maupun label terhadap hasil pengolahan data akan membantu analisis dalam tahap kelima, yakni proses analisis data sesuai elemen yang menjadi fokus penelitian. Tahap keenam merupakan tahap triangulasi. Menurut Patton, triangulasi merujuk kepada penggunaan berbagai metode atau data dalam penelitian kualitatif untuk mengembangkan pemahaman yang komprehensif terhadap suatu fenomena.31 Hasil wawancara sebagai metode pengumpulan data dalam pendekatan kualitatif, diverifikasi melalui hasil survei dengan kuesioner yang merupakan metode pengumpulan data dalam pendekatan kuantitatif.32 Dengan demikian, triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini dapat dipahami sebagai triangulasi terhadap metode pengumpulan data.33 Adapun triangulasi dilakukan untuk verifikasi temuan lapangan, khususnya dalam elemen (1) pengelolaan pengetahuan di lingkungan Kemenkumham dan (2) Kemenkumham sebagai organisasi pembelajar, seperti yang telah tercantum dalam tahap ketujuh. 30 Ibid. Hlm. 186 31 Nancy Carter et al., ”The Use of Triangulation in Qualitative Research,” Oncology Nursing Forum 41, no. 5 (2014): 545–547.1999 32 Sarwono, ”Memadu Pendekatan Kuantitatif Dan Kualitatif: Mungkinkah?” 33 Lisa A Guion, ”Triangulation : Establishing the Validity of Qualitative Studies,” 2002. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 31 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

4. Lokasi Penelitian Pengumpulan data lapangan dilakukan di empat provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan D.I Yogyakarta. Selain itu, kegiatan diskusi kelompok terfokus juga dilaksanakan di DKI Jakarta. Secara lebih detail, rasional penentuan lokus tersebut tersaji sebagai berikut. Tabel 3. Rasionalisasi Penentuan Lokus Lokus Rasional DKI Jakarta • Data lapangan (primer dan sekunder) akan dilak­ sanakan melalui wawancara dengan narasumber terpilih di BPSDM, termasuk unit di bawahnya. • Selain itu, wawancara juga akan dilakukan kepada beberapa narasumber terpilih di beberapa unit utama, serta menyebarkan kuesioner kepada para pegawai terpilih di lingkungan unit utama. Jawa Barat Data lapangan (primer dan sekunder) akan dikumpulkan di Kantor Wilayah, BPSDM Provinsi Jawa Barat, dan Telkom Corporate University. Jawa Tengah Data lapangan (primer dan sekunder) akan dikumpulkan di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah, Balai Diklat Hukum dan HAM Semarang, BPSDM Provinsi Jawa Tengah, dan PLN Corporate University. D.I Yogyakarta Data lapangan (primer dan sekunder) akan dikumpulkan di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DI Yogyakarta, Balai Diklat Keuangan Yogyakarta, dan BRI Corporate University di Yogyakarta. 32 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Bab II HUKUM, SUMBER DAYA MANUSIA, DAN PEMBELAJARAN Argumentasi konseptualdidalampenelitianinididasarkanpada teoresasi tentang hukum sebagai sistem sosial. Teoresasi tersebut menuntut studi ini untuk mendekati fenomena hukum dari sisi institusional, dalam pengertian bahwa gejala-gejala hukum perlu diamati dari sisi cara kerja institusi hukum dan bagaimana interaksi yang terjadi antara institusi dengan lingkungannya. Rasional ini didasarkan pada objek penelitian yang berupa pengembangan SDM hukum, dalam hal ini melalui BPSDM, serta bagaimana perilaku antar elemen learning organization di lingkungan Kementerian saling berinteraksi. Interaksi institusional ini tentu dapat menjadi bahan dalam menjelaskan gejala-gejala dalam sistem hukum di Indonesia. Untuk itu, teori organisasi lainnya yang digunakan ialah pengelolaan pengetahuan oleh Skryme dan Amidon, konsep organisasi pembelajar oleh Senge, dan konsep kerangka analitik corporate university oleh Prince dan Stewart. Secara lebih detil, masing-masing teori tersebut akan dijelaskan sebagai berikut. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 33 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

A. Hukum sebagai Sistem Sosial: Teori Autopoiesis Luhmann Konsep autopoiesis pertama kali dikenal dalam studi biologi. Ide utama dalam konsep ini adalah, elemen-elemen berbeda yang ada dalam suatu sistem, berinteraksi sedemikian rupa untuk menghasilkan dan mereproduksi elemen-elemen yang ada di dalam sistem itu sendiri. Secara sederhana, sistem yang bersifat autopoiesis ialah sistem yang mampu mereproduksi elemen-elemen pembentuk sistem tersebut.34 Sebagai sistem otonom yang mampu mereproduksi diri sendiri, ’operative closure’ merupakan syarat utama dalam sistem autopoiesis.35 ’Operative closure’ dapat diartikan bahwa proses di dalam suatu sistem dihasilkan oleh sistem itu sendiri, dan seluruh proses dalam sistem autopoiesis merupakan proses ”self-production; there are no operations entering the system from the outside or vice versa.”36 Meskipun sistem autopoiesis secara operatif tertutup, bukan berarti sistem tersebut tertutup sepenuhnya. Operative closure mengisyaratkan penutupan hanya pada level beroperasinya sistem, sehingga di sisi lain, sistem autopoiesis juga merupakan sistem yang terbuka; yakni dengan adanya interaksi dengan lingkungan sekitar (interactive openness).37 Dalam hal ini, sistem memperoleh input melalui 34 David Seidl, ”Luhmann’s Theory of Autopoietic Social Systems,” Münchner betriebswirtschaftliche Beiträge (2004): 1–28. 35 Hugh Baxter, ”Niklas Luhmann’s Theory of Autopoietic Legal Systems,” Annual Review of Law and Social Science 9, no. 1 (2013): 167–184. 36 Seidl, ”Luhmann’s Theory of Autopoietic Social Systems.” 37 Ibid. 34 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

interaksi lingkungan eksternal untuk kemudian diproses dan dikonversikan kembali sebagai output. Sebaliknya, output yang dihasilkan beserta efeknya terhadap lingkungan dan sistem itu sendiri, dikembalikan ke dalam sistem untuk menyelesaikan feedback loop.38 Lebih lanjut menurut Luhmann, informasi dari lingkungan eksternal tidak dapat masuk ke dalam sistem; informasi merupakan produk dari proses yang berjalan di dalam sistem.39 Dengan kata lain, interaksi dengan lingkungan eksternal dapat memengaruhi proses yang terjadi dalam suatu sistem, namun tidak dapat menentukan jalannya proses tersebut.40 Jalanannya proses tersebut, ditentukan oleh struktur yang dibentuk oleh sistem autopoiesis itu sendiri. Struktur dalam sistem yang menentukan apakah bentuk ’rangsangan’ dari lingkungan eksternal dianggap sebagai stimulan atau iritan. Sehingga, dapat diartikan bahwa poin penting dalam teori autopoiesis ialah adanya structural coupling yang merujuk kepada relasi antara sistem dan lingkungan eksternal di sekitarnya.41 Selanjutnya, Luhmann menempatkan sistem autopoiesis dalam konteks sistem sosial. Luhmann memandang sistem sosial beserta subsistem yang ada di dalamnya, bukan sebagai hubungan antar individu sebagaimana konsep tradisional yang ada tentang masyarakat, melainkan sebuah jaringan operasi. Operasi tersebut hadir dalam bentuk komunikasi. 38 Baxter, ”Niklas Luhmann’s Theory of Autopoietic Legal Systems.” 39 Ibid. 40 Seidl, ”Luhmann’s Theory of Autopoietic Social Systems.” 41 Ibid. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 35 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Melalui komunikasi, masyarakat dapat menjalankan dan mereproduksi dirinya sendiri sebagai sebuah sistem.42 Pemahaman (understanding) dalam komunikasi, menurut Luhmann, merupakan poin penting dalam komunikasi pada sistem sosial, ”[…] the meaning of a communication, i.e. what difference a communication makes for later communications, is only retrospectively defined through the later communications.”43 Komunikasi antar elemen dalam sebuah sistem, dapat membantu struktur sistem untuk menentukan structural coupling yang vital dalam proses reproduksi elemen itu sendiri. Lebih lanjut dalam konteks sistem hukum, teori autopoiesis hendak menjelaskan mengenai berfungsinya sistem hukum dalam masyarakat modern yang dapat ditandai dengan derajat diferensiasi fungsional yang tinggi.44 Seperti penjelasan sebelumnya mengenai sistem autopoiesis, teori tersebut mengonsepkan hukum sebagai suatu sistem komunikasi yang mereproduksi elemen-elemen di dalamnya melalui interaksi antar elemen itu sendiri.45 Sistem tersebut memahami sistem hukum sebagai suatu kesatuan yang dapat menyediakan fakta dari lingkungan sekitar (cognitively open) yang diatur sebagai legal/ilegal, sesuai dengan norma yang berlaku di dalam sistem. Norma tersebut hanya dapat diubah melalui berjalannya sistem hukum itu sendiri, dalam kata lain, sistem tersebut 42 Baxter, ”Niklas Luhmann’s Theory of Autopoietic Legal Systems.” 43 Seidl, ”Luhmann’s Theory of Autopoietic Social Systems.” 44 Adriaan Bedner, ”Autonomy of Law in Indonesia,” Recht der Werkelijkheid 2016 37, no. 3 (2016): 10–36. 45 Ibid. 36 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

tertutup secara normatif (normatively closed).46 Terdapat tiga elemen kunci yang dapat menggambarkan sistem hukum autopoiesis;47 pertama, sentralitas komunikasi di dalam sistem hukum. Elemen-elemen yang ada di dalam sistem hukum ialah komunikasi yang saling merujuk satu sama lain, yang dalam prosesnya, mengisyaratkan perlunya komunikasi dalam bahasa hukum; kedua, sistem hukum bersifat self-referential. Komunikasi yang ada dalam suatu sistem hukum, harus selalu merujuk ke dalam komunikasi lainnya. Sebagai ilustrasi, pleidoi dalam suatu perkara pidana merujuk kepada hukum tertentu, hukum tersebut juga merujuk kepada hukum yang lainnya. Dalam teori autopoiesis, self-referential merupakan suatu siklus. Menurut Luhmann, ”laws are only regarded as norms because they are intended to be used in decisions, just as these decisions can only function as norms because this is provided for in laws.”; dan ketiga, sistem hukum bersifat terbuka secara kognitif (cognitively open), namun tertutup secara normatif (normatively closed). Sistem hukum mengakui adanya interaksi yang terjadi di dalam sistem lainnya, namun sepanjang interaksi tersebut relevan dalam perspektif hukum. Sedangkan aturan dan prinsip yang melatarbelakangi persepsi normatif mengenai ’interaksi eksternal’ hanya bisa diubah melalui perbuatan hukum, bukan langsung melalui interaksi yang terjadi di luar sistem hukum. 46 Ibid. 47 Ibid. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 37 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Cara pandang hukum sebagai sebuah sistem sosial perlu menjadi basis utama dalam upaya menjelaskan tentang pengembangan sumber daya manusia hukum di Indonesia. Hal ini dapat membantu studi ini dalam dua aspek, yakni (i) dalam rangka identifikasi sumber daya manusia hukum; dan (ii) posisi atau kedudukan Kementerian Hukum dan HAM dalam beroperasinya sistem hukum nasional. B. Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge Management) Analisis prosesual dalam melihat ’organisasi pembelajar sebagai sebuah tujuan’ pertama-tama perlu menilik bentuk pengelolaan pengetahuan di dalam organisasi. Secara konseptual, pengelolaan pengetahuan dapat dijabarkan ke dalam tiga model berbasis orientasi, yakni (i) pengelolaan berorientasi teoretikal, (ii) pengelolaan berorientasi manajemen; dan (iii) pengelolaan berorientasi epistemologikal dan ontologikal. Secara paradigmatik, pengetahuan merupakan modal utama bagi pengembangan sebuah organisasi, tidak terkecuali di lingkungan instansi pemerintah. Dalam studinya, Marquardt menjelaskan sebuah hierarki pengetahuan yang meliputi data, informasi, pengetahuan, kepakaran, dan kapabilitas.48 Dalam hal ini, data dipahami sebagai ”teks, fakta, gambar yang diinterpretasikan, kode numerik yang tidak 48 Michael J. Marquardt, Building the Learning Organization: Mastering the 5 Elements for Corporate Learning, 2nd ed. (Palo Alto, California, 2002). 38 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

diinterpretasikan tanpa konteks dan dengan demikian tidak memiliki arti (meaning).”49 Selanjutnya informasi merupakan ”data yang telah disematkan dengan konteks dan arti (meaning), yang bentuk dan isinya dapat diterapkan atas tugas tertentu setelah diformalkan, diklasifikasikan, diproses, dan diformat.”50 Pengetahuan berisikan ”bangunan informasi, prinsip, dan pengalaman yang secara aktif memandu eksekusi dan manajemen tugas, pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah.”51 Kepakaran yakni ”penerapan yang layak dan efektif atas pengetahuan dalam rangka mencapai hasil dan meningkatkan kinerja.”52 Terakhir, kapabilitas menekankan pada kapasitas organisasional dan kepakaran untuk menciptakan produk, layanan, atau proses pada tingkat kinerja yang tinggi (high level of performance).”53 Klasifikasi pengetahuan tersebut secara langsung membentuk sebuah hierarki atau continuum dari masing-masing jenis pengetahuan mulai dari data, informasi, pengetahuan, kepakaran, hingga pada level tertinggi ialah kapabilitas. Dalam pengelolaan ini, terdapat enam subsistem yang saling terkait antara satu dengan yang lain, sebagaimana tergambar di dalam Gambar 3 berikut 49 Ibid. Hlm. 140 50 Ibid. 51 Ibid. Hlm. 141 52 Ibid. 53 Ibid. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 39 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Gambar 3 Subsistem Pengetahuan Sumber: Marquardt (2002) Berdasarkan skema pengelolaan pengetahuan tersebut, terdapat enam subsistem yang menjadi unsur pembentuknya, yakni perolehan, penciptaan, penyimpanan, analisis dan penggalian data, pemindahan dan diseminasi, serta penerapan dan validasi pengetahuan. Keenam subsistem tersebut dapat membantu untuk menggambarkan bagaimana sebuah organisasi mengelola pengetahuan, serta mampu mengklasifikasikan tipe organisasi, baik pengelolaannya yang bersifat top-down, bottom-up, maupun yang berlapis dari top, middle, dan down. Namun demikian, secara garis besar tawaran terhadap kerangka kerja pengelolaan pengetahuan dapat dipilah ke dalam tiga kategori, yakni yang bersifat deskriptif, preskriptif, 40 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

dan perpaduan keduanya. Kerangka kerja preskriptif cenderung ”menyediakan arah pada tipe-tipe prosedur pengelolaan pengetahuan, tanpa menyebutkan detail-detail spesifik bagaimana prosedur tersebut dapat atau seharusnya dilaksanakan.”54 Sedangkan yang bersifat deskriptif, berupaya ”mengidentifikasi atribut-atribut pengelolaan pengetahuan yang penting untuk pengaruhnya atas keberhasilan atau kegagalan inisiatif pengelolaan pengetahuan.”55 Dihadapkan pada fakta tersebut, Rubenstein-Montano dkk lebih jauh menganalisis pengelolaan pengetahuan dari sisi system thinking, yakni sebuah proses analisis terhadap yang bersifat menyeluruh (entirety) dari sebuah objek. Dari sisi ini, dapat dipahami bahwa pengelolaan pengetahuan di dalam organisasi perlu memahami proses pengelolaan secara menyeluruh yang meliputi ”tujuan dari organisasi (tujuan strategisnya), pengetahuan, teknologi, pembelajaran, dan orang atau budaya.”56 Di dalam penelitian ini, penerapan konsep pengelolaan pengetahuan menjadi penting sebagai pijakan awal sebelum kemudian menjelaskan tentang kedudukan pengetahuan di dalam sebuah organisasi pembelajar. Menurut Checkland dan Scholes, fungsi dari pengelolaan pengetahuan ialah dalam rangka memungkinkan organisasi untuk ”to leverage the information resources it has and to support purposeful 54 B. Rubenstein-Montano et al., ”A Systems Thinking Framework for Knowledge Management B.,” Decision Support Systems 31 (2001): 1–542. 55 Ibid. 56 Ibid. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 41 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

activity with positive definable outcomes.”57 Secara implisit, dapat dipahami proses pengelolaan pengetahuan mampu memberikan langkah-langkah strategis bagi suatu organisasi dan anggotanya untuk mencapai tujuan strategis organisasi. Sebagai sebuah proses, pengelolaan pengetahuan merupakan sebuah kumpulan aktivitas, program, kemampuan, dan inisiatif yang dapat mengubah pengetahuan tacit ke dalam bentuk explicit, sehingga pengetahuan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengambil keputusan dan menyusun kebijakan.58 Dalam perkembangannya, pengelolaan pengetahuan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga fase. Pada fase pertama, menurut McInerney dan Koenig, pengelolaan pengetahuan didorong oleh penggunaan informasi teknologi.59 Teknologi dipahami sebagai peranti berharga untuk mewujudkan sharing informasi dan pengetahuan di sebuah organisasi. Di fase ini, berbagai organisasi memulai praktik pengelolaan pengetahuan dengan mengimplementasikan teknologi baru dalam rangka membangun atmosfer knowledge sharing antar pegawai di suatu organisasi. Selanjutnya pada fase kedua, terdapat dua poin penting dalam pengelolaan pengetahuan, yakni dimensi individu dan budaya. Tanpa memperhitungkan aspek individu 57 Ian Watson, ”Knowledge Management and Case-Based Reasoning : A Perfect Match ?,” in Fourteenth International Florida Artificial Intelligence Research Society Conference (Florida, 2001). 58 Ikujiro Nonaka and Hirotaka Takeuchi, The Knowledge-Creating Company: How Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation (New York: Oxford University Press, 1995). 59 Claire R. McInerney and Michael E. D. Koenig, Knowledge Management (KM) Processes in Organizations: Theoretical Foundations and Practice, Synthesis Lectures on Information Concepts, Retrieval, and Services, vol. 3, 2011. 42 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

dan budaya organisasi, praktik pengelolaan pengetahuan akan gagal. Salah satu indikasi dalam fase kedua ialah terbentuknya community of practices di suatu organisasi.60 Fase terakhir dalam perkembangan pengelolaan pengetahuan menitikberatkan pada pentingnya pengaturan dan struktur dari substansi sistem pengelolaan pengetahuan; yakni kemudahan mengakses dan memfasilitasi proses knowledge sharing di suatu organisasi.61 Pengelolaan pengetahuan tidak dapat bekerja ketika pengguna tidak dapat mengakses pengetahuan yang tersimpan di dalam sistem. Kematangan suatu sistem pengelolaan pengetahuan dapat tercapai ketika sistem tersebut dapat ”…embracing the technology for knowledge sharing and communication among people without neglecting the cultural dimension in the organization to reach its goal. Technology, people and cultural dimension – Community of Practice, content management and taxonomies, are constructs which should be taken into account in building KM in organization for knowledge sharing purpose”62 C. Teori Organisasi Pembelajar Secara teoretik perkembangan ilmu manajemen organisasi telah menyajikan kepada kita beberapa kerangka konseptual yang dapat menjelaskan serta mengelaborasi lebih jauh tentang dinamika organisasi pembelajar. Dalam memahami organisasi 60 Ibid. 61 Ibid. 62 Ibid. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 43 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

pembelajar, berikut seluruh konsep-konsep turunannya, diperlukan sebuah analisis proses (processual analysis) yang pada gilirannya memampukan para pengambil kebijakan untuk memahami ’organisasi pembelajar sebagai sebuah tujuan’. Organisasi pembelajar pertama kali menarik perhatian dunia pada era 90an dengan konsep yang dikembangkan oleh Peter M. Senge. Menurut Senge …It is no longer sufficient to have one person learning for the organization, […] It’s just not possible any longer to ”figure it out” from the top, and have everyone else following the orders of the ”grand strategist.” The organizations that will truly excel in the future will be the organizations that discover how to tap people’s commitment and capacity. 63 Dengan kata lain, konsep organisasi pembelajar memberikan kesempatan bagi seluruh komponen dalam suatu organisasi untuk belajar dan mengembangkan diri. Organisasi tidak lagi hanya bergantung kepada arahan dari level atas, melainkan adanya proses transfer knowledge secara terus menerus. Proses membentuk, memperoleh, dan memindahkan pengetahuan (create, acquire, and transfer knowledge) membantu organisasi untuk beradaptasi dan mengantisipasi hal-hal yang tidak terduga, lebih cepat dari organisasi kompetitor.64 Marquardt, mendefinisikan organisasi 63 Peter M. Senge, The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization, 10th ed. (Crown Publishing Group, 2010). 64 David A Garvin, Amy C Edmondson, and Fransesca Gino, ”Is Yours a Learning Organization ?,” Harvard Business Review (2008). 44 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

pembelajar sebagai organisasi yang anggotanya memiliki kemampuan belajar yang tinggi dan dilakukan secara bersama- sama untuk memperbaiki kinerjanya secara berkelanjutan, dilakukan melalui pengumpulan, pengelolaan dan penggunaan pengetahuan untuk kemajuan dan kesuksesan organisasi.65 Suatu organisasi dapat menjadi ’organisasi pembelajar’ hanya dengan membelajarkan individu-individu di dalamnya dengan memberdayakan aspek pembelajaran, organisasi, manusia, pengetahuan dan teknologi. 1. Lima Disiplin dalam Organisasi Pembelajar Senge menyatakan bahwa selama ini, mewujudkan organisasi pembelajar menjadi hal yang sulit karena belum adanya gambaran yang jelas mengenai kemampuan, area pengetahuan dan jalur untuk mengembangkan organisasi tersebut. Hal yang secara fundamental membedakan antara organisasi pembelajar dengan organisasi tradisional otoriter adalah adanya penguasaan terhadap disiplin tertentu. 65 Sondang Yohanna L Tobing and Rachma Fitriati, ”Pengaruh Organisasi Pembelajar Terhadap Kompetensi Pegawai Bank,” Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi 16, no. 1 (2009): 25–35. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 45 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Gambar 4 Lima Disiplin dalam Organisasi Pembelajar Sumber: Senge (2004) Kelima disiplin di atas merupakan rantai yang terkait dan saling memengaruhi satu dengan lainnya. Lebih lanjut, Senge menyatakan bahwa kelima disiplin tersebut harus dikembangkan sebagai suatu kesatuan –an ensemble. Masing-masing disiplin memberikan dimensi penting dalam membentuk suatu organisasi yang dapat benar- benar ’belajar’, sehingga dapat terus mengembangkan kapasitas untuk mewujudkanaspirasi tertinggi organisasi.66 Disiplin pertama dalam organisasi pembelajar adalah personal mastery, yakni disiplin untuk selalu 66 Senge, The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization. 46 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

mengembangkan dan memperdalam visi pribadi, memfokuskan energi, mengembangkan kesadaran, dan melihat kenyataan secara obyektif.67 Personal mastery/ keahlian pribadi bertujuan untuk mengembangkan sisi terbaik dari diri pribadi anggota organisasi secara berkelanjutan. Dengan demikian, disiplin pertama menjadi landasan penting dalam organisasi pembelajar, karena komitmen dan kapasitas suatu organisasi untuk belajar tidak lebih besar dari anggota organisasi tersebut. Kedua, mental models/model mental, yakni asumsi-asumsi yang sangat dalam melekat, generalisasi, atau gambaran/ citra yang berpengaruh pada bagaimana anggota organisasi memahami dunia dan bagaimana organisasi mengambil tindakan untuk mewujudkan tujuan organisasi.68 Disiplin model mental termasuk kemampuan untuk melakukan percakapan ”learningful”, di mana anggota organisasi dapat membuka pemikirannya secara efektif dan membuat pemikiran tersebut terbuka terhadap pengaruh orang lain. Disiplin ketiga adalah building shared vision/ membangun visi bersama yang merupakan keterampilan untuk menggali gambaran masa depan kolektif organisasi yang akan menumbuhkan komitmen sejati dan kesadaran diri anggotanya. Visi bersama akan memicu semangat dan motivasi yang kuat dari anggota organisasi atas masa depan yang telah direncanakan bersama, hingga akhirnya 67 Ibid. Hlm. 10 68 Ibid. Hlm. 11 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 47 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

anggota organisasi akan secara sukarela memberikan kontribusi terbaik untuk organisasi.69 Keempat, team learning/pembelajaran kelompok. Pembelajaran kelompok dimulai dari adanyadialog antaranggotaorganisasi, dengan melatih kemampuan anggota untuk menahan asumsi pribadi dan melakukan proses berpikir secara bersama- sama. Disiplin dalam dialog ini juga meliputi pembelajaran untuk mengenali pola-pola interaksi kelompok yang dapat mengurangi kualitas belajar. Menurut Senge, ketika suatu kelompok benar-benar melakukan proses pembelajaran, tidak hanya akan menghasilkan hasil yang luar biasa, anggota kelompok akan berkembang jauh lebih cepat dibandingkan dengan proses pembelajaran biasa.70 Oleh karena itu, pembelajaran kelompok menjadi penting, karena kelompok, bukan individu, adalah unit belajar yang paling mendasar dalam organisasi modern. Disiplin kelima ialah system thinking/berpikir sistem, suatu kemampuan untuk konsisten melihat organisasi secara keseluruhan, bukan sebagai komponen yang terpisah-pisah. Berpikir sistem merupakan disiplin yang mengintegrasikan disiplin lainnya, memadukan disiplin- disiplin tersebut ke dalam suatu bentuk utuh atas teori dan praktik.71 Tanpa adanya orientasi sistemik, tidak ada motivasi yang melihat bagaimana disiplin-disiplin lainnya saling terkait. Terakhir, disiplin berpikir sistem dapat 69 Ibid. 70 Ibid. Hlm. 12 71 Ibid. Hlm. 13 48 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

membantu untuk memahami aspek yang tidak kasat mata dalam organisasi pembelajar –cara baru individu dalam organisasi memandang diri sendiri dan dunianya. Selain lima disiplin organisasi pembelajar yang dike­ mukakan oleh Senge, Marquardt menambahkan satu lagi keahlian yang harus dimiliki oleh organisasi pembelajar, yakni keahlian untuk melakukan dialog. Dialog merupakan kemampuan untuk belajar, mendengar dan berkomunikasi antar sesama anggota organisasi. Dalam suatu organisasi pembelajar, keahlian diwujudkan dengan adanya sikap anggota organisasi untuk selalu terbuka, mau mendengarkan, mau berdiskusi, memberi saran atau kritik, serta saling bertukar pikiran dalam melakukan proses belajar dan perbaikan.72 2. Munculnya Kebutuhan akan Organisasi Pembelajar Kemampuan organisasi untuk terus beradaptasi terhadap lingkungan melalui proses belajar yang cepat dan efektif, memaksa organisasi untuk meninggalkan karakteristik tradisionalnya dan berkembang menjadi organisasi pembelajar.73 Menurut Marquardt, organisasi jenis baru ini harus memiliki karakteristik antara lain pengetahuan yang lebih luas, fleksibilitas, kecepatan, 72 Tobing and Fitriati, ”Pengaruh Organisasi Pembelajar Terhadap Kompetensi Pegawai Bank.” 73 Marquardt, Building the Learning Organization: Mastering the 5 Elements for Corporate Learning. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 49 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

kekuatan dan kemampuan untuk belajar untuk menghadapi pergeseran kebutuhan akan lingkungan yang baru, tuntutan pengguna jasa layanan, dan pekerja dengan pengetahuan yang luas. Lebih lanjut, kebutuhan akan organisasi pembelajar digambarkan sebagai Organizations that learn faster will be able to adapt more quickly and thereby achieve significant strategic advantages in the global world […] The new learning organization is able to harness the collective genius of its people at the individual, group, and system levels. This capability, combined with improved organizational status, technology, knowledge management, and people empowerment, will enable organizations to leave the competition in the dust.74 Terdapat delapan faktor pendorong signifikan yang memengaruhi lingkungan ekonomi dan lingkungan kerja, termasuk pekerja dan konsumen, yakni: (1) globalisasi dan ekonomi global; (2) teknologi; (3) transformasi radikal dunia kerja; (4) peningkatan pengaruh konsumen; (5) munculnya pemahaman bahwa pengetahuan dan pembelajaran sebagai aset organisasi; (6) berubahnya peran dan harapan pekerja; (7) keberagaman dan mobilitas lingkungan kerja; dan (8) perubahan yang meningkat secara cepat. Delapan faktor tersebut, memengaruhi 74 Ibid. 50 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

kebutuhan transformasi dari konsep organisasi tradisional menjadi organisasi baru: organisasi pembelajar. Tabel 4. Transformasi Organisasi Dimensi Tradisional Network-Type Critical Tasks Fisik Mental Tugas Penting Relationship Hierarkis Peer to Peer Hubungan Levels Banyak Sedikit Tingkatan Structures Fungsional Kelompok Struktur Multidisipliner Boundaries Tetap Dapat Ditembus Batasan Competitive Thrust Integrasi Vertikal Outsourcing and Dorongan Kompetisi Alliances Management Style Otokratis Partisipatif Tipe Manajemen Culture Kepatuhan dan Tradisi Komitmen dan Hasil Budaya People Homogen Beragam Anggota Organisasi Strategic Focus Efisiensi Inovasi Fokus Strategis Sumber: Marquardt (2002) Tabel 4 menjelaskan transformasi organisasi tradi­ sional menjadi network-type sebagai akibat dari faktor MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 51 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

pendorong yang adadi lingkungan kerja. Terdapat sembilan dimensi perubahan yang diharapkan: pertama, dimensi pembagian tugas kritis yang awalnya fokus kepada fisik pekerja, mengalami pergeseran fokus ke mental pekerja; kedua, hubungan dalam organisasi yang selama ini bersifat hierarkis antara atasan-bawahan, mulai bergeser kepada hubungan peer-to-peer, sehingga hubungan antar-anggota organisasi menjadi tidak kaku; ketiga, masih berkaitan dengan dimensi hierarki, tingkatan yang ada di dalam organisasi sudah mulai berkurang; keempat, dimensi struktur yang ada di organisasi tak lagi sebatas pada fungsi saja, namun sudah beragam dengan adanya kelompok multidisipliner di dalam organisasi; kelima, batasan- batasan –khususnya yang berkaitan dengan teknologi– mengalami pergeseran dari yang bersifat tetap, menjadi mungkin untuk ditembus; keenam, dorongan untuk berkompetisi yang sebelumnya hanya berlangsung dalam tataranvertikal di dalamorganisasi, sudah mulai merambah ke pihak luar melalui adanya aliansi/kerja sama; ketujuh, budaya yang ada di dalam organisasi yang sebelumnya fokus pada kepatuhan dan tradisi, sudah mulai bergeser kepada komitmen kerja dan hasil yang baik; kedelapan, anggota organisasi yang sebelumnya homogen –berasal dari daerah tertentu saja, misalnya, sudah mulai digantikan oleh orang-orang dari latar belakang yang beragam; dan dimensi terakhir, fokus strategis organisasi, sudah bergeser dari yang sebelumnya berorientasi kepada efisiensi –dalam menghasilkan produk– menjadi kebutuhan untuk selalu berinovasi. 52 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Terdapat komponen khusus sebagai pendorong untuk menciptakan kondisi pembentuk organisasi pembelajar. Menurut Mardquardt, diperlukan pemahaman mendalam dan pengembangan terhadap komponen subsistem tersebut untuk dapat menjamin pembentukan dan keberlanjutan organisasi pembelajar.75 Kelima subsistem tersebut ialah learning (pembelajaran), organization (organisasi), people (sumber daya manusia), knowledge (pengetahuan), dan technology (teknologi). Subsistem organisasi, sumber daya manusia, pengetahuan, dan teknologi dibutuhkan untuk mengembangkan subsistem pembelajaran, sebaliknya, subsistem pembelajaran akan meresapi keempat subsistem lainnya. Sehingga, keberadaan seluruh subsistem di atas menjadi penting karena setiap subsistem saling terkait dan saling melengkapi.76 75 Ibid. 76 Ibid. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 53 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Gambar 5 Subsistem dalam Organisasi Pembelajar Sumber: Marquardt (2002) Subsistem pertama adalah pembelajaran, yakni subsistem yang merujuk kepada tingkatan dan tipe pembelajaran yang krusial bagi proses belajar di dalam organisasi dan keterampilan yang relevan dalam berorganisasi. Kedua, subsistem organisasi, merupakan pengaturan dan badan tempat terjadinya proses belajar. Dimensi utama dalam subsistem organisasi meliputi visi, budaya, strategi, dan struktur. Sub-sistem ketiga adalah sumber daya manusia, yang dalam konteks pemerintahan, terdiri dari pimpinan, pegawai, penerima layanan, dan masyarakat sekitar. Masing-masing kelompok bermanfaat untuk organisasi pembelajar, sehingga harus diberdayakan dan diberikan akses untuk belajar. Keempat, subsistem pengetahuan. Dalam organisasi pembelajar, subsistem ini 54 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

bertugas mengatur pengetahuan yang telah diperoleh dan dihasilkan, termasuk di dalamnya akuisisi, pembuatan, penyimpanan, analisis dan penggalian data, transfer dan diseminasi, serta aplikasi dan validasi pengetahuan. Subsistem terakhir, yakni teknologi, merupakan subsistem yang terdiri dari jaringan teknologi dan informasi terintegrasi pendukung, sehingga memungkinkan akses pertukaran informasi dan pembelajaran. D. Pengembangan Sumber Daya Manusia Proses mendefinisikan pengembangan sumber daya manusia (SDM) selama ini mengalami hambatan. Hambatan tersebut muncul dalam beberapa bentuk, seperti pertama, kurang jelasnya batasan dan parameter dalam pengembangan SDM; dan kedua, terbatasnya bukti empiris dalam beberapa aspek konseptual pengembangan sumber daya manusia.77 Agar dapat memahami lebih jauh mengenai pengembangan sumber daya manusia, isu filosofis menjadi penting untuk memahami rasionalisasi di balik berbagai perspektif yang berkembang. Meskipun hingga saat ini, keberlanjutan dan perhatian mendetail terhadap pengaruh isu filosofis dalam pengembangan sumber daya manusia masih sangat minim. Keberagaman perspektif yang ada selama ini menggambarkan bahwa tidak ada paradigma yang dominan dalam riset 77 Jim McGoldrick, Jim Stewart, and Sandra Watson, ”Theorizing Human Resource Development,” Human Resource Development International 4, no. 3 (2001): 343–356. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 55 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

pengembangan SDM. Bagaimanapun, keadaan demikian memiliki kelebihan tersendiri: dengan tidak adanya suatu lensa yang pasti dalam melakukan riset pengembangan SDM, maka peluang untuk melihat pengembangan SDM dari berbagai sisi menjadi lebih luas, sehingga menghasilkan lebih banyak suara yang menyampaikan pendapatnya. Diskusi-diskusi tersebut semakin beresonansi khususnya sejak awal perkembangan teori organisasi pada 1990-an. Secara tidak langsung, beragam diskusi yang ada berimplikasi terhadap pembahasan akademis dalam pengembangan SDM. Bersamaan dengan perdebatan filosofis mengenai sifat dari pengembangan SDM, terdapat perdebatan mengenai fungsi dari pengembangan SDM itu sendiri. Perdebatan mengenai fungsi tersebut, meliputi isu pengembangan melalui perspektif learning (pembelajaran melalui pendidikan dan pelatihan), dan perspektif performance (kinerja pegawai). Menurut Garavan, perspektif pengembangan SDM berkaitan dengan kapabilitas, kontrak psikologis, dan organisasi pembelajar. Kuchinke, menawarkan klasifikasi berdasarkan fokus utama dalam proses pengembangan: person-centred, production- centred, dan principled solving, yang masing-masing merupakan turunan dari tradisi filosofis yang berbeda. Gourlay mencoba untuk mengklarifikasi sifat dalam pengembangan SDM, yakni kegiatan yang berfokus pada teori dan praktik terkait pelatihan, pengembangan dan pembelajaran di dalam organisasi, baik untuk individu dalam konteks strategi bisnis 56 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

dan formasi kompetensi organisasional.78 Beragam pendapat yang dikemukakan dapat menjadi gambaran bahwa hingga saat ini belum ada konsensus mengenai identitas teori konseptual dalam pengembangan SDM, termasuk fungsi yang terkait dengan pengembangan SDM. Diskusi-diskusi mengenai sifat multidisipliner dari pe­ ngembangan SDM menimbulkan kesulitan dalam mende­fi­ nisikan pengembangan SDM secara presisi. Pengembangan SDM seringkali dibedakan dari pendidikan dan pelatihan yang berfokus kepada pembelajaran dan pengembangan baik untuk organisasi maupun individu. Secara historis, pengembangan SDM dapat ditelusuri mulai dari desain pelatihan, kemudian pelatihan dan pengembangan, selanjutnya pengembangan pegawai, hingga sampai pada pengembangan SDM. Menurut Donovan dan Marsick, ruang lingkup riset pengembangan SDM mengalami perluasan, dengan fokus pada area yang secara tradisional dipahami bukan termasuk dalam domain pengembangan SDM, termasuk di antaranya: organizational leadership, organizational values, workforce development issues at the societal level, dan labour economics. Fondasi multidisipliner, diikuti dengan meluasnya ruang lingkup pembahasan dalam pengembangan SDM, mengakibatkan perluasan terhadap resources, yang kemudian, memperluas languages (bahasa) yang digunakan oleh akademisi dan praktisi pengembangan SDM. 78 Stephen Gourlay, ”Frameworks for Knowledge : A Contribution towards Conceptual Clarity for Knowledge Management 1,” Knowledge Management, no. February (2000): 10–11. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 57 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Pengembangan SDM yang sulit dipahami secara empiris, menurut Keenoy, disebabkan oleh ketiadaan kemampuan yang dapat menunjukkan keberadaan substantif pengembangan SDM dalam suatu organisasi. The American Society for Training and Development Research Committee berhasil mengidentifikasi dua gap utama, yakni antara praktisi dengan peneliti, serta antara praktisi dengan eksekutif senior. Studi tersebut menyarankan adanya kolaborasi yang baik antara peneliti dan praktisi dalam rangka membangun bukti empiris keberadaan pengembangan SDM dalam suatu organisasi. Kendati demikian, sebagai sebuah konsep keilmuan pengembangan sumber daya manusia kerap merujuk pada tiga komponen utama, yakni pengembangan organisasi, pengembangan karier, dan pelatihan dan pengembangan.79 Dalam beberapa pembahasan, pengembangan sumber daya manusia kerap diasosiasikan dengan konsep pengelolaan sumber daya manusia. Tanpa perlu lebih jauh masuk ke dalam perdebatan epistemologis yang ada, dapat dipahami bahwa terdapat beberapa model yang berkembang dalam konsep pengembangan ini. Melalui pendekatan integratif atas kedua konsep, Mankin mendefinisikan model pengembangan yang ditujukan untuk merefleksikan kompleksitas antar faktor di dalam organisasi, meliputi strategi dan struktur, budaya, pengelolaan sumber daya manusia, pengembangan sumber 79 David P Mankin, ”A Model for Human Resource Development,” Human Resource Development International 4, no. 1 (2001): 65–85. 58 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

daya manusia, serta lingkungan yang menjadi konteks organisasi.80 Gambar 6. Model Pengembangan SDM Sumber: Mankin (2001) E. Konsep Corporate University Secara umum, Global Association of Corporate Universities and Academies mengartikan corporate university sebagai ”alat manajemen yang didesain untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan strategisnya melalui pelaksanaan aktivitas 80 Ibid. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 59 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

yang menempa pembelajaran dan pengetahuan individual dan organisasi.” Untuk mencapai hal tersebut, cakupan kerja dari corporate university ini dapat meliputi pusat pelatihan, akselerator kepemimpinan, platform strategi, dan jejaring pembelajaran.81 Pada sisi lain, sebagai sebuah kerangka analitik corporate university perlu dipahami sebagai ”as a focus for facilitating the social, technological and organisational practices that support knowledge creation and organisational learning.”82 Dari pemahaman demikian, Prince lebih lanjut merumuskan sebuah kerangka corporate university wheel yang berisikan empat proses utama (core processes) yang dianggap sebagai elemen dari konsep corporate university. Secara ringkas, kerangka analisis tersebut digambarkan sebagai berikut 81 Enrico Scarso, ”Corporate Universities as Knowledge Management Tools,” VINE Journal of Information and Knowledge Management Systems 47, no. 4 (2017): 538–554. 82 Prince and Stewart, ”Corporate Universities - an Analytical Framework.” 60 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Gambar 7 Skema Kerangka Analisis Corporate University Sumber: Schwandt dan Marquardt (1999) Kerangka analisis demikian mengisyaratkan empat proses yang menjadi subsistem dari proses pembelajaran organisasi, yaitu sistem dan proses pengetahuan yang melibatkan ”development and ongoing support and exploitation of leading- edge learning technology, for example, intranets, and knowledge management databases;” kemitraan dan proses jaringan, yang memfasilitasi ”the development of networks and partnerships with world-class learning partners in order to deliver learning MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 61 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

interventions within the organisation;” proses perorangan, yakni ”the processes that build and reinforce shared meaning, and facilitate and support learning within an organisation;” dan proses pembelajaran, yang merepresentasikan ”the organisation’s attempt to create a learning organisation based upon creating a ”learning” culture which is supported and underpinned by education and training.” Dalam paradigma tersebut, masing-masing subsistem menghasilkan media (output) yang secara simbolik merepresentasikan produk fungsionalnya,yakni new information, goal reference knowledge, structuring, dan sensemaking. Adapun menurut Weick, terdapat tujuh sifat sensemaking yakni: (i) mendasarkan pada konstruksi identitas, (ii) restrospektif, (iii) enactive of sensible environments, (iv) sosial, (v) ongoing, (vi) fokus pada dan oleh tanda yang dihasilkan, serta (vii) diarahkan oleh ”plausibility” ketimbang akurasi.83 Berangkat dari kerangka analisis corporate university, studi ini akan meletakkan peran BPSDM sebagai pelaksana proses pembelajaran (learning process) dengan produk fungsionalnya melalui sensemaking. Dalam hal ini, sensemaking dipahami sebagai ”structuring unknown contexts and/or actions and assigning meaning to the construct.”84 Sensemaking dengan demikian merupakan sebuah medium pertukaran (interchange medium) yang berfungsi sebagai pemeliharaan pola untuk 83 Karl E. Weick, Sensemaking in Organizations (Thousand Oaks, London, New Delhi: SAGE Publications, 1995). 84 David R Schwandt, Michael J Marquardt, and Francis Group, ”Organizational Learning : From World-Class Theories to Global Best Practices” (2000). 62 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

sistem pembelajaran organisasi, yang berkontribusi terhadap tiga subsistem lainnya, meliputi (i) sensemaking terhadap proses jejaring dan kemitraan dalam rangka penciptaan informasi baru (new information), (ii) sensemaking terhadap proses aksi/refleksi dalam sistem pengetahuan dalam rangka menciptakan goal reference knowledge, dan (iii) sensemaking terhadap proses diseminasi dan difusi perorangan guna melahirkan penataan (structuring) yang layak. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 63 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

64 Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Bab III MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY Secara historis, dibentuknya Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Departemen Kehakiman (Pusdiklat Depkeh) merupakan embrio dari berdirinya institusi pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) pegawai Kemenkumham yang saat ini bernama Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Hukum dan HAM. Pusdiklat Depkeh dibentuk pada tahun 1975 berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor YS.4/3/7 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 44 dan 45 Tahun 1974. Dalam struktur organisasi Departemen Kehakiman, Pusdiklat Depkeh merupakan salah satu sub unit kerja di bawah Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman (1945-1999) yang tugas dan fungsinya terbatas pada aktivitas pendidikan dan pelatihan dalam konteks pengembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap. Seiring dengan perubahan kabinet pasca reformasi, Pusdiklat Depkeh mengalami tiga kali perubahan nomenklatur. Tahun 2001- 2004 berganti nama menjadi Pusdiklat Departemen Kehakiman MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 65 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

dan Hak Asasi Manusia –Depkehham. Kemudian pada tahun 2004- 2005 kembali berganti menjadi Pusdiklat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia –Depkumham. Kendati terjadi dua kali perubahan nomenklatur pasca reformasi nyatanya tidak serta mengubah peran serta tugas dan fungsinya.85 Dapat dikatakan bahwa paradigma pengembangan SDM pada masa itu menggunakan manajemen tradisional (paradigma lama), karena terfokus pada struktur bukan pada pengembangan SDMnya. Dalam paradigma lama, SDM dianggap sebagai modal kerja dan faktor produksi, sehingga dalam pengembangannya tidak mengarah pada aktivitas untuk mendorong organisasi dalam menciptakan nilai keberhasilan serta keunggulan yang kompetitif. Dalam arti lain pengelolaannya tidak berorientasi pada kualitas SDM, melainkan pada kuantitas SDM itu sendiri.86 Pergeseran paradigma dalam aktivitas pengembangan SDM pegawai di lingkungan Departemen Hukum dan HAM saat itu mulai terlihat seiring perubahan nomenklatur pada 2006. Hal tersebut didasari oleh beberapa faktor, meliputi adanya spesifikasi keilmuan/ pengetahuan teknis operasional yang berbeda dan tidak dapat diperoleh dari pendidikan formal; peningkatan kinerja kelembagaan selalu berkorelasi dengan kualitas sumber daya manusia; perlunya percepatan profesionalisme pegawai secara sistematis; dan internalisasi pengembangan sumber daya manusia 85 BPSDM Hukum dan HAM, ”Selayang Pandang BPSDM Hukum Dan HAM,” last modified 2018, accessed April 24, 2019, http://bpsdm.kemenkumham.go.id/ id/profil/selayang-pandang. 86 Teguh Narutomo, ”Manajemen Perubahan Dalam Paradigma Pengembangan Sumber Daya Manusia Guna Mendukung Keunggulan Kompetitif Organisasi,” Jurnal Bina Praja 4, no. 1 (2012). 66 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

dan kelembagaan. Berangkat dari beberapa faktor yang mendasari itulah kemudian peran, tugas, dan fungsi pengembangan SDM ditingkatkan dan lebih strategis guna mendorong pencapaian tujuan organisasi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2006, transformasi unit kerja Pusdiklat Depkumham menjadi unit kerja setingkat eselon I dengan perubahan nomenklatur menjadi Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sebagai institusi pengembangan SDM, BPSDM memiliki peran strategis untuk memenuhi peningkatan kompetensi dan profesionalitas pegawai.87 Lebih jauh, BPSDM mengemban tugas dan fungsi dalam pelaksanaan pelatihan maupun aktivitas pengembangan SDM, koordinasi dan pembinaan, serta menjadi strategic partner di bidang Hukum dan HAM melalui pendekatan competence based human resources management system (CBHRM). BPSDM sebagai unit pendukung Kemenkumham dalam pengelolaan dan pengembangan SDM di seluruh unit eselon I, KantorWilayah (Kanwil), dan Unit PelaksanaTeknis (UPT) memiliki peran sentral dalam mengimplementasikan sistem manajemen SDM. Kendati demikian, tanggung jawab dan kewenangan BPSDM dalam sistem manajemen SDM berbasis kompetensi terbatas pada ruang lingkup fungsi sebagai pelaksana pengembangan SDM yang mencakup perencanaan pengembangan SDM, Pendidikan dan Pelatihan (Diklat), assessment center dan sistem informasi manajemen SDM. Sementara lingkup lainnya seperti perencanaan 87 Vide Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-06.IN.04.02 Tahun 2010 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 67 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

SDM, rekrutmen dan seleksi, penilaian kinerja, imbalan, karier dan promosi, serta terminasi merupakan kewenangan Sekretariat Jenderal (vide Pasal 2, 3, 4 dan 5 Permenkumham Pengembangan SDM). Dalam implementasinya, meskipun dalam peraturan tersebut secara jelas pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam pengembangan SDM, masih ditemukan ragam kendala. Hal tersebut ditandai dengan masih terindikasi adanya tumpang tindih kewenangan antara BPSDM dan Sekretariat Jenderal. Contohnya dalam hal penyusunan dan penetapan rencana pengembangan kompetensi yang belum linier dengan penyusunan kebutuhan dan rencana pengembangan SDM. Lebih jauh, fungsi BPSDM dalam lingkup pengembangan SDM juga mencakup penyelenggaraan assessment centre dan sistem informasi manajemen SDM yang diatur berdasarkan Permenkumham Nomor M.HH-05.IN.04.02 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Assessment Center dan Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tujuan dari dibentuknya assessment center adalah untuk ”memperoleh profil kompetensi yang dimiliki oleh setiap pegawai Kemenkumham, yang dapat dimanfaatkan sebagai rujukan dalam perencanaan karier pegawai, mutasi jabatan dan pengembangan pegawai berbasis kompetensi.” (Pasal 2) Menyadari akan pentingnya kompetensi dan menempatkan pengetahuan yang dimiliki setiap individu sebagai unsur utama atau aset organisasi, maka upaya profiling kompetensi yang dilakukan melalui assessment center merupakan langkah awal yang perlu dilakukan dalam mengelola modal intelektual tersebut. Selain melaksanakan fungsi sebagai penyelenggara assessment center, BPSDM juga memiliki tugas menginventarisasi hasil assessment sebagai modal 68 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

intelektual yang dimiliki oleh Kemenkumham tersebut melalui pengintegrasian, pengelolaan dan penyajian sistem informasi SDM berbasis kompetensi tersebut (Pasal 12 huruf a). Menurut Pasal 12 huruf b, hasil assessment yang termuat dalam sistem informasi sumber daya manusia dapat digunakan untuk memeriksa kapabilitas para pegawai dalam rangka mengisi kekosongan dalam organisasi; mengevaluasi posisi pemegang jabatan yang akan dipromosikan, dipensiunkan, atau diberhentikan; perencanaan sumber daya manusia yang berkelanjutan; serta riset sumber daya manusia untuk penempatan yang paling produktif. Kendati demikian, tumpang tindih tanggung jawab dan kewenangan dalam pengembangan SDM yang terjadi antara BPSDM dan Sekretariat Jenderal pada gilirannya berdampak pula terhadap tumpang tindih input data kompetensi SDM yang ada dalam sistem CBHRIS dengan data SIMPEG. Lintasan historis serta gambaran perkembangan kebijakan pengembangan kompetensi di Kementerian tersebut patut menjadi dasar dalam menerapkan strategi corporate university di masa mendatang. Guna memperoleh gambaran yang lebih komprehensif, analisis akan dilakukan pertama-tama dari sisi praktik corporate university yang telah diterapkan oleh lembaga publik di Indonesia. Dari sini, akan diperoleh gambaran tentang bagaimana strategi ini dapat mengoordinasikan proses-proses yang ada di dalam sebuah institusi, serta hal-hal yang menjadi tantangan khususnya dalam perspektif pelaksana pembelajaran atau diklat. Selanjutnya, analisis akan diterapkan atas posisi dan peran BPSDM di dalam kerangka kerja corporate university, yang pada gilirannya studi ini diharapkan menemukan titik atau elemen krusial yang patut diperhatikan oleh MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 69 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Kementerian Hukum dan HAM atas komitmennya menerapkan strategi tersebut. A. Strategi Corporate University di Sektor Publik Hingga penyusunan laporan penelitian ini, baru terdapat satu instansi publik yang telah mengoperasikan strategi corporate university dalam proses kerjanya, yakni Kementerian Keuangan. Secara historis, menurut narasumber Pandu Patriardi, Kepala Bidang Rencana dan Pengembangan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Umum, bahwa, ”Corpu sebenarnya adalah metode, bahkan di tempat lain ada yang namanya embedded. Di BI dan OJK, namanya Institut, tapi mindsetnya CorpU. Jadi ini adalah pendekatan. Sebenarnya pada reformasi awal, pada SBY periode satu, ada empat kelompok yang harus lead dalam reformasi birokrasi, CorpU itu adalah ujungnya. Kementerian yang harus benchmark internasional adalah Setneg, kedua ialah hukum dan penegakan hukum, termasuk Kemenkumham, Kejaksaan, Kepolisian, KPK, makanya KPK punya CorpU. Ketiga terkait dengan Keuangan, dan keempat ialah kementerian terkait pembinaan. Makanya sekarang LAN mau bikin CorpU. Itu terjadi pada 2006. Artinya adalah organisasi harus diubah atau di-restructure terlebih dulu. (RBTK) Pada 2006, dari sepuluh kementerian yang harus memulai ada tiga saja 70 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

. . . KPK, BPKP, dan Kemenkeu. Itu yang menjadi cikal bakal.” 88 Dari pernyataan narasumber tersebut, dapat dipahami bahwa corporate university di sektor publik merupakan bagian besar dari upaya pemerintah untuk mereformasi birokrasi serta tata kelola pemerintahan. Kendati tidak secara eksplisit menyatakan arahan penerapan strategi corporate university, kebijakan reformasi birokrasi dapat diposisikan ke dalam kerangka kerja strategi tersebut. Menurut pendapat Janry Haposan selaku Pejabat Administrator di Badan Kepegawaian Negara (BKN), terdapat beberapa pemahaman dasar tentang corporate university yang akan diterapkan pada sektor publik, ”. . . Perusahaan swasta senang menggunakan konsep Corpu, sehingga tidak perlu lagi melakukan pelatihan- pelatihan formal yang menghabiskan biaya besar. Salah satu perusahaan yang telah menggunakan konsep Corpu adalah Telkom Corpu di Bandung. Sebenarnya hal tersebut merupakan cara efisien untuk pengembangan pegawai . . . Dalam hal ini BKN sudah melakukan, tetapi tidak terlembagakan seperti LAN. Bila memasuki LAN Penjompongan, sudah terdapat LAN Corporate University. Sedangkan di BKN belum didesain dengan baik seperti apa corporate university yang diinginkan, 88 Hasil FGD di Pusdiklat Keuangan Umum, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan, 30 Juli 2019. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 71 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

jangan sampai mencontek swasta. Perlu dilihat secara nature dengan pendekatan induktif terlebih dahulu. Oleh karena itu perlu dilihat hal apa yang dibutuhkan, baru mendesain CorpU yang diinginkan”.89 Atas dasar pemahaman tersebut, faktor mendasar dari penerapan corporate university sebagai sebuah strategi organisasi ialah komitmen pimpinan. Dari pengalaman Kementerian Keuangan, Pandu menggambarkan bahwa, ”[. . .] di K/L, mungkin yang pertama diperhatikan ialah assessment pimpinan atau diagnostik pimpinan, dan arahnya mau kemana karena sesungguhnya CorpU itu komando pimpinan. Karena ini adalah kebutuhan organisasi yang sifatnya top level, jadi bukan anak buah yang disuruh mengajukan kebutuhan pembelajaran. Tanpa komando pimpinan akan berat, komando dimaksud adalah political will, pimpinan termasuk Menteri, Eselon I dan Eselon II. Pimpinan biasanya diikat dengan peraturan internal, di Kemenkeu sudah ada contohnya. Jadi yang harus di-assess ialah terkait organisasinya dan SDMnya. Jadi diagnostik itu akan mengetahui posisi kita ada dimana untuk CorpU. CorpU itu sebenarnya sama proses pembelajarannya, yaitu before, during, dan after. Tapi corpu itu harus disetting dari arahan pimpinan, yang namanya learning 89 Hasil wawancara dengan Janry Haposan, Kepala Bagian Pengembangan Pegawai, Badan Kepegawaian Negara, 30 Juli 2019 72 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

council meeting (LCM), ini arahan dari pimpinan untuk kemudian di tingkat eselon II, termasuk peran BPSDM apa, dan peran litbang apa. Baru di bawahnya itu unit- unit eselon I harus memastikan itu berjalan.”90 Selanjutnya secara prosedural dari level pimpinan, berdasarkan praktik yang dikemukakan oleh Theresia, Widyaiswara Muda Pusat Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Umum, ”Setelah LCM, akan disusun analisis kebutuhan pembelajaran (AKP). AKP ada tiga, AKP strategis, jabatan, dan individu. AKP strategis diperoleh dari LCM. Jadi pelatihan diharapkan searah atau aligned dengan strategi organisasi, minimal satu tahun ke depan. Jadi ini turunan dari strategi lima tahunan. Di AKP jabatan, ini terkait hasil assessment, atau dari learning journey. Kemudian AKP individual akan berbeda dengan strategis dan jabatan. Terkait pengembangan desain pembelajaran, hasil LCM dan AKP akan jadi desain. Setiap widyaswara akan menjadi wali program, dan widaysawara tersebut yang merupakan ahli di bidang tertentu. Ketika kita menyusun dan merasa butuh masukan dari eksternal, maka kita akan lakukan 90 Hasil FGD di Pusdiklat Keuangan Umum, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan, 30 Juli 2019. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 73 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

pelibatan eksternal. Pengembangan kurikulum ini juga menerapkan 70:20:10.” 91 Dalam penerapannya, strategi corporate university perlu diposisikan di dalam konteks ragam tugas masing-masing institusi. Dari pengalaman Kementerian Keuangan, diperoleh gambaran bahwa, ”Penerapan strategi CorpU dalam proses pembelajaran dikarenakan tugas di unit-unit eselon I berbeda-beda, yang melayani stakeholder masing-masing. Maka terdapat kebutuhan pengembangan kompetensi dari SDMnya. Pelatihan sebelum strategi CorpU masih sebatas peningkatan kompetensi pada tingkat individu saja. Kita ingin ketika Kementerian sudah menerapkan penilaian kinerja dengan balance scorecard, pelatihan yang kita deliver bisa memberikan dampak juga ke kinerja organisasi. Bagaimana hal ini bisa terwujud? Terdapat banyak proses. Kita mulai dari proses pelatihan itu sendiri, yakni dari fase perencanaan. Di fase ini ada yang namanya analisis kebutuhan pembelajaran (AKP). AKP ini kita sudah melibatkan pimpinan, atau yang namanya learning council meeting, yang menjadi bagian dari proses perencanaan awal. Dalam meeting ini, ada saat dipimpin langsung oleh menteri bersama pejabat eselon I di Kementerian Keuangan, yang membicarakan tentang strategi SDM dan pembelajaran. Jadi di sini kita 91 Ibid. 74 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

bisa melihat komitmen pimpinan untuk mengarahkan pengembangan kompetensi. Dalam pelaksanaannya, kami mengembangan pendekatan yang komprehensif, yakni instructional system design. Ini semacam kurikulum yang didesain sesuai kompetensi, dalam artian pelatihan dapat menunjang kinerja organisasi, dan juga memastikan bagaimana mengukurnya. Dari sini kita mengenal model pembelajaran 70:20:10. Sehingga pembelajaran itu tidak hanya yang bersifat klasikal, tapi juga nonklasikal. Setelah itu oke, baru masuk ke penyelenggaraan. Kita melakukan inovasi pembelajaran sesuai semangat corpu, karena corpu itu adalah mindset. Misal terkait efisiensi, memudahkan pembelajaran, absen yang sekarang memakai gawai, lalu integrasi sistem pelatihan dengan sistem SDM.”92 Praktik Kemenkeu CorpU tersebut juga sejalan dengan kebijakan yang telah dan tengah dikembangkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN). LAN, sampai dengan penyusunan laporan penelitian ini, sedang mendorong terbentuknya pedoman CorpU Aparatur Sipil Negara, yang dalam perkembangannya juga telah menginisiasi pedoman CorpU instansi pemerintah. Rujukan yang dipilih oleh LAN juga mengacu pada praktik di Kemenkeu sebagai instansi pemerintah yang pertama kali menerapkan strategi ini, selain juga melakukan benchmarking ke beberapa perusahaan BUMN. 92 Ibid MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 75 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

Arti penting dari kerangka kerja corporate university dengan demikian terletak pada fungsi koordinatif antar proses di dalam sebuah organisasi dalam rangka pencapaian sasaran strategis dan visi organisasi tersebut.93 Tidak hanya pada sektor privat seperti perusahaan, koordinasi antar proses internal organisasi juga ditemukan dalam praktik di Kementerian Keuangan. Patut dipahami pula dalam hal ini bahwa corporate university pada berbagai kesempatan memampukan organisasi secara dinamis berubah sesuai dengan dinamika yang dihadapi. Hal ini mengisyaratkan bahwa corporate university merupakan sebuah ‘proses menjadi’ yang dinamis, ketimbang sebuah ‘tujuan akhir’ yang statis. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan, terdapat beberapa fungsi koordinatif yang dilakukan di Kementerian Keuangan corporate university. Pertama ialah hubungan antara proses pembelajaran atau diklat dengan manajemen sumber daya manusia. Berdasarkan praktik di Kementerian Keuangan, ”Secara konsep, Kemenkeu CorpU, manajemen pegawai di bawah Setjen (Biro SDM) sebagai pembentuk kebijakan, dan operasionalisasinya ada di BPPK. Yang sedang kita kembangkan sekarang adalah standar kompetensi teknis jabatan (SKTJ), standar kompetensi teknis jabatan, yang berdasarkan itu nantinya pengembangan kurikulum, atau pelatihan akan jauh 93 Akram A El-Tannir, ”The Corporate University Model for Continuous Learning, Training and Development,” Journal of European Industrial Training Journal of Workplace Learning 44, no. 08 (2005): 76–81. 76 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

lebih mudah. Jadi, SKTJ ini leadnya ada di Biro SDM, dan akan lead semua eselon I, dari SKTJ ini akan menjadi semacam kitabnya pengembangan kurikulum. Jadi dari kebijakan itu kita me-link and match-kan. [. . .] Di kita punya inisiatif yang namanya learning journey. Ini nanti akan menghubungkan antara SKTJ dengan program pelatihan kita. Jadi learning journey ini adalah ketika orang nanti masuk Kemenkeu, kemudian dia strat dengan Gol III/a, di Ditjen Pajak, dengan learning journey itu nanti dia akan punya gambaran step kalau misalnya ingin menjadi pemeriksa pajak, dia sudah tahu keperluan pelatihannya. Kemudian, pada tataran operasional ketika ada pelatihan di situlah kita akan mengomunikasikan bahwa yang akan masuk pelatihan tersebut adalah mereka yang membutuhkan. Jadi fungsi menugaskan itu ada pada masing-masing unit eselon I.” 94 Praktik dan rencana kebijakan yang telah diinisiasi oleh Kemenkeu tersebut menggambarkan bahwa hubungan antara proses pembelajaran dengan manajemen kepegawaian merupakan sebuah proses yang memerlukan inovasi. Tidak hanya berhenti pada penyusunan standar kompetensi jabatan, namun link and match manajemen dengan pengembangan 94 Hasil FGD di Pusdiklat Keuangan Umum, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan, 8 Agustus 2019, Ibid. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 77 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR

kompetensi pegawai juga diteruskan hingga penyusunan dan penerapan peta dan pola karier pegawai berbasis kompetensi. Kedua ialah hubungan antara proses pembelajaran atau diklat dengan proses pengelolaan pengetahuan. Sebagai bentuk pengelolaan pengetahuan, Kementerian Keuangan membentuk Kemenkeu Learning Center (KLC). Berdasarkan situs resminya, KLC adalah ”media pembelajaran online yang membahas berbagai materi tentang Pengelolaan Keuangan Negara yang dapat diakses oleh seluruh pegawai Kementerian Keuangan dan masyarakat umum.”95 Selain KLC, Kementerian Keuangan juga menerapkan kebijakan dialog kinerja serta strategi community of practice. Adapun pada tingkat teknis di wilayah, Chatarina Dyah selaku pejabat pada Balai Diklat Keuangan Yogyakarta mengungkapkan bahwa ”CoP itu misalnya kemenkumham, ikut diklat bendahara, PPK, bergabung jadi satu di salah satu grup, itu namanya community of practice. Mereka punya keahlian yang sama, misal ppk, atau bendahara. Mereka diskusi, dan kadang-kadang ngumpul di sini. Mereka anggotanya bukan hanya peserta diklat, tetapi siapa saja yang punya keahlian itu. PPK itu ada yang anggotanya dari kementerian macam-macam. ”96 95 Situs resmi Kemenkeu Learning Center dapat diakses pada laman https://klc. kemenkeu.go.id/knowledge-center/ 96 Hasil wawancara dengan Chatarina Dyah, Plt. Kepala Balai Diklat Keuangan Yogyakarta, 7 Agustus 2019 78 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook