Tabel 9 Uraian Perhitungan Subsistem Transformasi Organisasi No Pernyataan Jawaban 1 2 3 4 Jumlah 1 Visi bersama pentingnya 5 20 20 15 60 organisasi pembelajar 4 15 21 20 60 2 Dukungan pimpinan atas visi 4 19 18 19 60 organisasi pembelajar Iklim organisasi yang 3 mendukung dan menyadari pentingnya pembelajaran Subtotal Visi Transformation 13 54 59 54 180 Persentase 7% 30% 33% 30% 100% 60 4 Komitmen pegawai untuk terus 4 15 20 21 belajar & mengembangkan 60 organisasi 59 179 5 Kemampuan belajar atas 1 17 16 26 100% kegagalan dan kesuksesan, 60 toleransi atas kesalahan 59 6 Reward untuk individu dan 10 12 24 13 kelompok yang terus belajar Subtotal Culture 15 44 60 60 Transformation Persentase 8% 25% 34% 34% 7 Jaminan atas Kesempatan belajar 6 20 22 12 pegawai Meningkatkan pembelajaran dan 8 berbagi pengetahuan melalui 14 16 16 13 sistem Rotasi pegawai, on the job training MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 179 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
9 Struktur organisasi ramping 11 17 17 15 60 mendukung proses pembelajaran 60 239 10 Tujuan dan pembelajaran yang 8 16 24 12 100% sama di seluruh level pegawai Subtotal Structure 39 69 79 52 Transformation Persentase 16% 29% 33% 22% Dari uraian perhitungan di atas, dapat diketahui beberapa elemen yang masih lemah. Misalnya, dalam dimensi visi, meskipun secara keseluruhan tingkat kesiapan dimensi ini memperoleh nilai sebesar 33% pada skala 3 akan tetapi masih terbatas pada dukungan pimpinan terhadap transformasi visi dari sebuah organisasi pembelajar di Kemenkumham (lihat pernyataan nomor 2 berada pada skala 3). Belum terbangun fondasi yang kuat berkaitan dengan pembangunan visi bersama akan pentingnya Kemenkumham untuk menjadi organisasi pembelajar (lihat pernyataan nomor 1 berada pada skala 2 dan 3). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sebagian kecil pegawai di Kemenkumham memiliki pemahaman akan pentingnya menjadi suatu organisasi pembelajar untuk mencapai visinya. Selanjutnya, meskipun sebagian besar pegawai sudah merasakan iklim organisasi di Kemenkumham yang secara penuh mendukung pembelajaran baik pada tingkat pembelajaran individu maupun tim akan tetapi sebagian besar pegawai lainnya belum merasakan hal yang sama (lihat pernyataan nomor 3 berada pada skala 2 dan 4). Kondisi tersebut perlu diperbaiki, penguatan pembangunan 180 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
visi bersama sebagai langkah awal untuk menjadi organisasi pembelajar serta memperbaiki iklim organisasi yang secara keseluruhan mendukung serta menyadari pentingnya pembelajaran. Pembentukan komitmen bersama seluruh unsur organisasi guna terlaksananya pembelajaran yang terus menerus, dengan terbangunnya visi bersama yang kuat akan memberikan fokus, keinginan untuk terus belajar. Kemudian pada dimensi struktur yang tingkat kesiapannya memperoleh nilai sebesar 33% berada pada skala 3. Sama halnya dengan dimensi visi, pada dimensi struktur juga diperlukan beberapa penyesuaian dan perubahan khususnya pada penerapan cara untuk berbagi pengetahuan dan meningkatkan pembelajaran di seluruh organisasi (rotasi pegawai yang sistematis, sistem pembelajaran on the job yang terstruktur) yang masih cukup lemah (lihat pernyataan nomor 8 berada pada skala 2 dan 3). Serta struktur organisasi yang masih menghambat pegawai dalam bertukar informasi ataupun melakukan komunikasi dua arah antar level SDM (lihat pernyataan nomor 9 berada pada posisi 2 dan 3). Kondisi-kondisi tersebut dapat berdampak pada sulitnya organisasi dalam menghadapi suatu perubahan karena biasanya dalam organisasi seperti ini terdapat petunjuk baku yang mengatur segala tindakan dan aktivitas pegawainya sehingga tidak ada ruang untuk berkreasi dan berinovasi. Oleh karena itu, untuk mewujudkan struktur organisasi yang ideal untuk mewujudkan suatu organisasi pembelajar sebagaimana diungkapkan oleh Marquardt bahwa struktur organisasi pembelajar hanya memiliki sedikit batasan, ramping dan flat untuk memaksimalkan komunikasi antar level SDM, aliran MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 181 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
informasi, tanggung jawab serta kolaborasi dengan instansi luar. C. Lanskap Subsistem Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Organisasi pembelajar tentu perlu didukung dengan SDM yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk belajar. Hal yang membedakan organisasi pembelajar dengan organisasi konvensional adalah kemampuan untuk memaksimalkan human capital yang dipahami sebagai aset organisasi. Manville berpendapat bahwa argumentasi yang sebelumnya berpijak pada ”mengelola pengetahuan” berkembang menjadi ”mengelola SDM dengan pengetahuan”, serta bagaimana mengembangkan pengetahuan tersebut dengan apik.204 Bentuk konkret pemberdayaan SDM, menurut Audy Murfiz, Pimpinan Tinggi Pratama pada Badan Pembinaan Hukum Nasional ialah ”pendelegasian penugasan sesuai dengan kompetensinya”.205 Hal senada diungkapkan oleh Rr Widya V.H, Pimpinan Tinggi Pratama pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah, ”Dalam hal ini pendelegasian tugas diserahkan pada para JFT, namun tetap didampingi oleh pejabat struktural yang menangani. Misal terkait pelayanan 204 Marquardt, Building the Learning Organization: Mastering the 5 Elements for Corporate Learning. 205 Hasil wawancara dengan Audy Murfiz, Sekretaris Badan Pembinaan Hukum Nasional, 30 Juli 2019 182 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
kekayaan intelektual atau kewarganegaraan, maka perlu pendampingan pegawai yang menangani bidang tersebut mengingat tidak semua JFT dapat maksimal melaksanakan tugas.” 206 Pendelegasian tugas, di sisi lain, tidak selalu berdasarkan kompetensi yang dimiliki, melainkan kepercayaan pimpinan terhadap pegawai tertentu. Menurut penuturan Oki Wahju, ”[…] bagaimana model pendelegasian pemberian tanggung jawab tugas, polanya gimana, trust. Kalau orang itu dipercaya, ya orang itu aja yang dipakai. Misalnya dalam konsep sekarang, ketua, tanggung jawab di ketua, orang itu aja.” 207 Dwi Rahayu E.S selaku pejabat administrator pada Badan Pembinaan Hukum Nasional, berpendapat bahwa salah satu bentuk pemberdayaan kepegawaian ialah melalui manajemen kepegawaian. Menurut Dwi, masih terdapat kendala dalam manajemen kepegawaian ”[…] belum ada transparansi. Misal mengusulkan pegawai untuk ditempatkan pada suatu tempat tertentu, ternyata penempatannya tidak sesuai dengan kompetensi yang ada. Seperti pegawai untuk arsip 206 Hasil wawancara dengan R. Danang Agung Nugroho, Penyuluh Hukum Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah, 6 Agustus 2019. 207 Hasil wawancara dengan Oki Wahju Budijanto, Peneliti Madya Badan Litbang Hukum dan HAM, 25 Juli 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 183 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
berarti di TU, tetapi kalau pimpinan tidak menghendaki, maka ditempatkan di tempat lain.” 208 Kerja sama dengan stakeholder eksternal juga menjadi upaya untuk memberdayakan SDM di lingkungan Badan Pembinaan Hukum Nasional, menurut Dwi, ”[…] saat ini sedang mendesain kerja sama dengan pihak luar baik dalam dan luar negeri. Proses kerja sama tersebut memiliki tahapan-tahapan seperti penjajakan, pembahasan, persetujuan, pelaksanaan kerja sama, monitoring dan evaluasi kerja sama. Hal tersebut sudah ada SOP dengan mengacu pada Permenkumham”.209 Hal tersebut didukung oleh pernyataan pejabat fungsional, R. Danang Agung Nugroho, Penyuluh Hukum pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah menuturkan bahwa ”Penyuluh hukum selalu bekerja sama dengan mitra lain seperti BNN untuk memperkaya pengetahuan tentang narkoba. Pada Universitas lain yang akan di lakukan MoU, para penyuluh hukum sering diundang untuk mengikuti seminar untuk pengayaan materi para penyuluh hukum. Dalam hal ini para penyuluh hukum sudah melakukan MoU-MoU dengan beberapa 208 Hasil wawancara dengan Dwi Rahayu E.S., Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Tata Usaha, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 30 Juli 2019 209 Ibid 184 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
universitas, seperti Universitas Semarang dan Universitas Darul Umum Islamic Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang.”210 Menurut pendapat Alif Suaidi selaku Pimpinan Tinggi Pratama yang membidangi Informasi dan teknologi yang harus dilakukan untuk pemberdayaan SDM adalah ”Kondisi tersebut kalau di tempat saya tidak terlalu memengaruhi budaya kerja pegawai. Tetap berjalan dengan baik. Akan tetapi masih ada pengaruhnya, misalnya dalam IT, jaringan komunikasi, misal ada beberapa orang yang menguasai, kemudian tuntutan pekerjaan yang banyak sehingga harus dibagi ke sana kemari. Tentu ini berpengaruh, dari sisi kuantitas dan kualitas. Idealnya tuntutan kerja banyak harus didukung oleh SDM yang menguasai pekerjaan tersebut juga banyak. Hal yang penting juga dapat dilakukan dalam pemberdayaan SDM menurut beliau dengan penugasan sesuai dengan tusinya. Kalo struktural sudah jelas. Kedua kompetensi/ pengetahuan. Kalau misalkan kurang berkompeten bisa juga lintas bagian. Ketiga, mungkin termasuk skill.” 211 210 Hasil wawancara dengan Rr. Widya V.H., Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah, 6 Agustus 2019. 211 Hasil wawancara dengan Alif Suaidi, Direktur Sistem dan Teknologi Informasi Keimigrasian Direktorat Jenderal Imigrasi, 5 Agustus 2019 MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 185 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Menurut pendapat Edy Heryadi, Kepala Bidang Sertifikasi Kompetensi dan Pengelolaan Kelembagaan BPSDM Provinsi Jawa Barat bahwa pemberdayaan SDM dapat dilakukan melalui ”Selain menyiapkan jenis pengembangan kompetensi, kurikulum, harus juga disiapkan perangkat, sarana dan prasarana. Selain itu, di BPSDM melakukan pengembangan kompetensi secara individual melalui klinik kompetensi untuk membangun kompetensi para mentor dan coach dalam melaksanakan mentoring/ coaching bawahannya. Serta kedepannya juga akan dilakukan kerja sama untuk penguatan para pengajar (WI). Maka kendala yang ada dalam hal kualitas dan kuantitas SDM. Salah satunya WI yang memiliki kompetensi Teknis secara khusus.”212 Hal yang senada disampaikan pendapat oleh Yeni Puspita Hati selaku pejabat Fungsional Arsiparis bahwa pemberdayaan SDM perlu dilakukan beberapa hal terkait hal yang teknis dalam melaksanakan tugas dan fungsi adalah: ”Selama ini memang akses ke pembelajaran seperti bimtek dan diklat itu memang bisa diakses oleh semua pegawai. Bisa, itu bisa. Harusnya di sini, di pengembangan SDM kepegawaian itu harusnya memikirkan sih ya, mungkin ini kita punya JFT apa 212 Hasil wawancara dengan Edy Heryadi, Kepala Bidang Sertifikasi Kompetensi dan Pengelolaan Kelembagaan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Jawa Barat 186 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
nih. Kayanya pengembangan SDM di sini kok nggak memikirkan, mereka kaya nggak belajar. Teman-teman saya yang di sini, masih diusulkan kenaikan pangkat regular, gimana sih, kan mereka punya database, siapa yang sudah JFT. Harusnya mereka juga belajar aturan apa yang terkait dengan JFT ini, mereka juga harusnya memperhatikan mau apa, jangan cuma PK. PK ini kan istilahnya yang sering diboomingkan, sedangkan arsiparis yang di sini begitu aja, kalau kami mau apa, ga difasilitasi. Misal kami mau nambah pengetahuan dari seminar atau apa, itu sebenarnya pakai uang kami sendiri, itu kan harusnya dari pengembangan SDM ada dana untuk JF apa, ingin melakukan pengembangan apa”. 213 Menurut pendapat F. Surya Kumara selaku pejabat administrator di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Yogyakarta, ”Konsultasi dengan BKN, bagaimana membuat ABK, ketika saat penyusunan SKP sudah sesuai. Ini yang maksud saya antara kompetensi dengan implementasi pembagian pekerjaan itu jadi match. Kalau dia uraian pekerjaan tidak dilakukan analisis sebelumnya, akan menjadi match”. 214 213 Hasil wawancara dengan Yeni Puspita Hati, Arsiparis Pertama Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 31 Juli 2019 214 Hasil wawancara dengan F. Surya Kumara, Kepala Bagian Program dan Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah Kemenkumham Daerah Istimewa MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 187 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Pemberdayaan SDM dalam organisasi pembelajar sejatinya ialah bagaimana organisasi dapat memberdayakan (empowering) dan memampukan (enabling) seluruh komponen SDM yang terlibat, baik internal maupun eksternal. Dalam konteks Kementerian Hukum dan HAM, bentuk pemberdayaan yang dilakukan oleh pimpinan terhadap pegawai dilakukan melalui penugasan. Penugasan tersebut idealnya ditentukan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki pegawai, meskipun dalam beberapa kasus, pimpinan mendelegasikan tugas karena faktor kepercayaan. Selain penugasan, pemberdayaan SDM juga dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan pihak eksternal, seperti penandatanganan memorandum of understanding (MoU) antara penyuluh hukum dengan perguruan tinggi. Manajemen kepegawaian yang seringkali menjadi hambatan, dapat dikonsultasikan kepada stakeholder eksternal, seperti praktik yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Yogyakarta dengan BKN. Hal tersebut adalah upaya untuk menyelaraskan kebutuhan pegawai, kompetensi pegawai dan pendelegasian tugas. Lebih lanjut berdasarkan data kuantitatif mengenai penerapan subsistem pemberdayaan SDM (people empowerment), 36% responden memiliki persepsi bahwa pemberdayaan SDM di Kemenkumham sebagian besar telah terlaksana. Yogyakarta, 6 Agustus 2019 188 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Gambar 15 Data Persepsi Pegawai Penerapan Subsistem Pemberdayaan SDM Setelah dilakukang penghitungan, nilai rata-rata keseluruhan penerapan subsistem pemberdayaan SDM dalam konteks Kemenkumham sebagai learning organization berada pada angka 28.28. Sehingga dapat dipahami bahwa subsistem pemberdayaan SDM masuk dalam kategori baik menurut range result Marquardt (25-32 = good). Tabel 10 Nilai Rata-Rata Subsistem Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Nilai Rata-Rata 1 234 Jumlah X.3 62 296 639 700 1697 1,03 4,93 10,65 11,67 28,28 Mean MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 189 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Gambar 16 Nilai Rata-Rata Indikator Penerapan Subsistem Pemberdayaan SDM Kendati subsistem pemberdayaan SDM sebagian besar telah terlaksana dan memperoleh nilai yang cukup tinggi pada beberapa elemen, masih perlu dilakukan perbaikan dan penguatan pada poin pemberdayaan pegawai (employee empowerment) dan pemberdayaan mitra (partnership empowerment). Perbaikan tersebut menjadi penting dalam rangka mendukung tercapainya penerapan subsistem pemberdayaan SDM secara penuh sehingga berimplikasi terhadap proses pembelajaran organisasi yang berkelanjutan. Misal, rendahnya keaktifan pegawai mencari dan melakukan pembelajaran bersama mitra/ jejaring serta keterlibatan mitra dalam pembelajaran pegawai merupakan akibat dari belum kuatnya pelaksanaan perencanaan pembelajaran bersama mitra dalam kegiatan pengembangan kompetensi SDM pegawai. 190 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Tabel 11 Uraian Perhitungan Subsistem Pemberdayaan Sumber Daya Manusia No Pernyataan Jawaban 1 2 3 4 Jumlah Mengembangkan pegawai yang 60 1 mampu belajar dan berperforma 6 12 22 20 tinggi Pendelegasian tugas sesuai 5 18 19 18 60 2 dengan tanggung jawab dan kemampuan belajar Subtotal Employe 11 30 41 38 120 Empowerment Persentase 9% 25% 34% 32% 100% 3 Pembelajaran bersama pimpinan 3 15 24 17 59 dengan seluruh level pegawai Pimpinan berperan sebagai 7 9 23 21 60 4 pelatih, pembimbing, dan fasilitator pembelajaran Pimpinan menciptakan dan 5 17 23 15 60 5 meningkatkan peluang proses pembelajaran Subtotal Leader 15 41 70 53 179 Empowerment Persentase 8% 23% 39% 30% 100% Kemampuan belajar dan berbagi 6 informasi dengan masyarakat 4 15 22 19 60 sebagai penerima layanan Masyarakat berpartisipasi dalam 7 Pembelajaran dan pelatihan 9 14 19 17 59 mengenai produk layanan MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 191 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Subtotal Customer (Public) 13 29 41 36 119 Empowerment 11% 24% 34% 30% 100% 6 19 17 18 60 Persentase 10 14 18 18 60 8 Perencanaan pembelajaran bersama mitra/ jejaring 7 15 26 12 60 23 48 61 48 180 Partisipasi pegawai dalam 13% 27% 34% 27% 100% pembelajaran bersama 9 komunitas, asosiasi profesional dan/atau institusi akademik Keaktifan pegawai mencari 10 mitra/ jejaring dalam pembelajaran Subtotal Partnership Empowerment Persentase Dari uraian perhitungan data di atas, pada dimensi pemberdayaan pegawai (employee empowerment) perlu penguatan khususnya terkait dengan pendelegasian tugas yang sesuai dengan tanggung jawab serta kemampuan pegawai. Hal tersebutperludilakukanagarterwujudnyakeseimbangan beban kerja antar pegawai. Kemudian pada dimensi pemberdayaan pimpinan (leader empowerment), meskipun peran pimpinan dalam memberikan arahan, bimbingan ataupun menginisiasi kegiatan pemberdayaan SDM sudah dilaksanakan dan memiliki tingkat penerapan cukup kuat akan tetapi belum dibentuk dalam kegiatan atau program pengembangan SDM secara intensional. Selanjutnya untuk dimensi customer (masyarakat) dan partnership (mitra) masing-masing memperoleh nilai 192 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
kesiapan 34% dan berada pada skala 3. Artinya kedua dimensi tersebut cukup siap untuk membangun Kementerian Hukum dan HAM sebagai learning organization. Adapun hal yang berkaitan dengan dimensi masyarakat, misalnya dalam upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan yaitu melalui pelibatan aktif masyarakat sebagai penerima layanan dengan berbagi informasi dan memberikan pembelajaran serta pelatihan mengenai produk layanan telah dilaksanakan dengan cukup baik (lihat pernyataan nomor 6 & 7 berada pada skala 3). Selanjutnya dalam hal yang berkaitan dengan dimensi partnership (mitra), meskipun kegiatan pembelajaran bersama dengan mitra kerja serta keaktifan mencari mitra pembelajaran sudah mulai dilaksanakan dengan cukup baik (lihat pernyataan nomor 9 & 10 berada pada skala 3). Kendati demikian, kondisi optimalisasi pembelajaran dari mitra tersebut belum secara penuh diperkuat dengan perencanaan pengembangan SDM untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan (lihat pernyataan nomor 8 berada pada skala 2). Hal ini menunjukkan perlunya penguatan dalam perencanaan pengembangan SDM, khususnya pada pembelajaran bersama dengan mitra guna memperoleh pengetahuan dan keterampilan pegawai. D. Lanskap Subsistem Pengelolaan Pengetahuan Relasi antara pengelolaan pengetahuan dan corporate university menekankan pada arti penting dari interaksi manusia dan kemitraan dalam kerja organisasi. Dalam hal ini, terdapat tiga faktor yang menjadi unsur utama, yakni enablers, leveler, dan foundation. Pada tingkatan dasar (foundation), terdapat MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 193 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
tiga komponen utama dalam pengelolaan pengetahuan, yakni sumber daya manusia, sumber daya struktural, dan sumber daya pelanggan (penerima layanan). Gambar 17 Pengelolaan Pengetahuan dalam Organisasi Tingkatan levers (pengungkit) menggambarkan unsur proses yang dapat dilihat dari sisi kinerja organisasi, inisiatif saat ini, proses-proses utama, hingga visi dan strategi organisasi. Terakhir pada tingkatan enablers, yang merupakan unsur strategi organisasi, tercermin dari sisi arsitektur 194 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
pengetahuan, infrastruktur teknologi, hingga kultur dan struktur kepemimpinan. Dalam bahasan pada subbagian ini, secara khusus penggambaran akan dilakukan terhadap proses sosial di Kementerian, melalui interaksi antar aparatur, dalam membentuk tiga faktor utama pengelolaan pengetahuan, yakni foundations, enabler, dan leveler. Analisis dilakukan atas proses pengelolaan pengetahuan yang ada di Kementerian Hukum dan HAM. Dengan melihat hal ini sebagai proses, seluruh tingkatan faktor di dalam pengelolaan pengetahuan akan tercermin di dalam masing-masing tahapan dalam proses. Terdapat enam tahapan di dalam siklus pengelolaan pengetahuan, yang meliputi tahap memperoleh pengetahuan, pembentukan pengetahuan, penyimpanan pengetahuan, analisis dan penggalian data, serta transfer dan diseminasi pengetahuan. 1. Memperoleh Pengetahuan Suatu organisasi dapat memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber, baik pengetahuan yang bersumber dari internal maupun eksternal organisasi. Pengetahuan yang bersumber dari internal organisasi dapat berupa pengetahuan tacit pegawai, pengalaman organisasi, dan implementasi dari proses perubahan. Sedangkan pengetahuan yang bersifat eksternal dapat diperoleh melalui kegiatan benchmarking, konferensi, jasa konsultan, hingga kolaborasi dan bermitra dengan organisasi lain. Berdasarkan hasil wawancara, studi ini menggambarkan MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 195 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
bagaimana pengetahuan diperoleh di lingkungan Kemenkumham berdasarkan level pimpinan,administrator dan fungsional. Menurut pendapat Oki Wahju Budijanto, pejabat pada level fungsional dari Badan Litbang Hukum dan HAM pengetahuan diperoleh melalui ”. . . selama ini bentuknya berupa penguatan kelembagaan, seperti capacity building, yang dilakukan setahun sekali. Tetapi sekarang sudah tidak dilakukan. Dahulu pun ada, tetapi materi tidak mengenai peningkatan kompetensi bagi struktural maupun fungsional. Hal ini memang mungkin karena kesalahan ketika perencanaan, seharusnya menanyakan dulu kepada kita, apa yang dibutuhkan. Ketika tiba-tiba ada suatu kegiatan capacity building yang temanya pun belum tentu dibutuhkan, menjadi kurang untuk kebutuhan dalam peningkatan kompetensi. Apalagi dengan perubahan, dinamika sekarang, terutama peneliti, diperlukan adanya suatu kemampuan yang lebih daripada sebelumnya. Seperti, secara formal pendidikannya dari madya mau ke APU, minimal doktor. Secara informal mungkin perlu adanya pelatihan seperti metodologi yang juga tentu peneliti pun tidak akan sempurna kalau tidak terus diasah dengan metodologi. Mungkin bagaimana cara pengolahan, cara pengumpulan data, seperti itu yang harus dilatih.” 196 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Lebih lanjut, juga dijelaskan pendapat keterbatasan dalam proses pelaksanaan memperoleh pengetahuan bahwa: ”Selama ini belum ada kita ikut pelatihan dalam hal kejenjangan untuk tingkat pertama dan tingkat lanjutan, bagi peneliti. Dari fasilitas kantor, mendatangkan satu atau dua kali, itu juga kepegawaian yang mengadakan acara workshop. Akan tetapi cakupannya terlalu luas. Dalam arti, orangnya banyak, misal peneliti jumlahnya ada 55 orang, maka akan berpengaruh pada tingkat kefokusan materi ketika dibagi kepada peserta. Selain itu waktunya juga sangat sempit, masih jam kantor. Maksud saya ada satu pelatihan, yang di luar daripada kantor, karena kantor tempat bekerja. Jadi ada pelatihan di luar kantor yang fokus kepada pengembangan bagaimana melakukan suatu penelitian. Hal ini bukan tusi Balitbang untuk mengadakan suatu peningkatan kompetensi. Seharusnya itu ada melekat di BPSDM, karena BPSDM bagian pengembangan SDM, dan itu sampai sekarang saya belum lihat adanya peningkatan kompetensi bagi peneliti. Kalau perancang mungkin ada, tapi kalau peneliti, belum ada.” MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 197 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Pada level pimpinan, menurut pendapat Audy Murfiz selaku Sekretaris BPHN, memperoleh pengetahuan dapat dilakukan dengan ”Pendidikan dan pelatihan, perlu adanya magang dan studi banding/kunjungan, misal saat Sekretaris BPHN mengikuti diklat di Australia memiliki jadwal jam 8 sampai pukul 12 mendapatkan substansi teori. Saat siang hari pukul 13.00-15.00 melakukan kunjungan lapangan untuk melihat institusi lain mengenai bagaimana tata laksananya, untuk melihat masalah antara teori dan praktik. Oleh karena itu untuk meningkatkan kemampuan seseorang harus mengikuti dua metode yaitu teori dan praktik lapangan. Contoh lain adalah saat di Lemhannas memperoleh teori bagaimana membangun ketahanan bangsa Indonesia. Setelah itu melakukan kunjungan studi banding ke Surabaya untuk melihat bagaimana membangun kota Surabaya.” Hal senada menurut pendapat Dwi Rahayu E.S selaku pejabat administrator di BPHN yang memperoleh pengetahuan melalui ”. . training di luar BPHN atau mengadakan pelatihan di internal sebagai penguatan di lingkungan BPHN. Untuk penguatan itu sendiri bila person to person melalui undangan dari BPSDM atau undangan dari kementerian lain untuk mengikuti 198 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
training. Untuk penguatan internal sendiri biasanya mengadakan pelatihan sesuai dengan kebutuhan. Misal kebutuhannya terkait arsip, maka mengadakan pelatihan arsip, kebutuhan terkait kehumasan, maka melakukan pelatihan kehumasan. Begitu juga bila kebutuhannya terkait penyuluhan, maka mengadakan pelatihan penyuluhan. Untuk pelatihan di luar BPHN, seperti mengikuti pelatihan pustakawan di perpustakaan nasional.” Selanjutnya menurut pendapat Evi Purwaningsih selaku pejabat pengawas di tingkat wilayah, upaya memperoleh pengetahuan dilakukan melalui, ”Pengembangan kompetensi pegawai pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM DKI Jakarta akan diusulkan untuk diklat, pelatihan-pelatihan seperti pada saat pemanggilan dari BPSDM. Ketika Kanwil Kementerian Hukum dan HAM DKI menyelenggarakan pelatihan, maka akan disesuaikan dengan tusinya juga, dan semua pegawai diberi kesempatan yang sama untuk diklat dan pelatihan pengembangan kompetensi.” Menurut pendapat Rr. Widya V.H., Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah, perolehan pengetahuan dilakukan melalui MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 199 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
”Yang menjadi masalah adalah BPSDM dengan anggaran untuk ASN yang sangat banyak, maka kesempatan untuk mengikuti diklat di BPSDM sangat kecil. Bila peserta yang diundang tidak bisa hadir, misalnya karena sedang naik haji, maka pengganti peserta tersebut diambil secara acak dari urutan yang ada pada pegawai yang mereka kenal dan langsung menelepon pegawai yang besangkutan. Setelah pegawai tersebut bersedia mengikuti diklat, maka baru melapor ke pimpinan. Oleh karena itu tidak sesuai dengan daftar antrian yang ada. Kesempatan diklat sangat langka dan tidak digunakan oleh sebagian orang.” Dyah Santi, pejabat pengawas di lingkungan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah mengafirmasi pendapat narasumber lainnya. Menurut Dyah, proses memperoleh pengetahuan di Kanwil Jawa Tengah ”… tidak terlalu banyak untuk memperoleh pengetahuan pegawai terkait pekerjaan. Bila pun ada, maka kegiatan tersebut berkaitan dengan anggaran, seperti beberapa waktu lalu Divisi Administrasi memiliki kegiatan sosialisasi SIMPEG atau Sumaker. Akan tetapi untuk kegiatan yang terkait tusi, biasanya dilaksanakan oleh BPSDM pusat, lalu ada pemanggilan dari kantor wilayah. Sedangkan untuk kanwil sendiri, mungkin karena anggarannya terbatas, lebih cenderung ke satker.” 200 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Lebih lanjut, narasumber berpendapat mengenai keterlibatan BPSDM Hukum dan HAM dalam memperoleh pengetahuan, ”… Diklat yang dilaksanakan BPSDM tidak berbanding lurus dengan peningkatan kompetensi. Saat kompetensi yang bersangkutan meningkat, terkadang tidak terpakai di kanwil. Kecuali yang bersangkutan mengikuti kegiatan yang sifatnya teknis, seperti bendahara atau diklat fungsional yang memang grafiknya berbanding lurus dengan peningkatan kompetensi dirinya. Sedangkan diklat non teknis seperti Diklat Dasar HAM, yang menyerupai sosialisasi tetapi dalam bentuk diklat, sehingga terpakai atau tidak ilmu tersebut tidak dapat diukur” Menurut pendapat R. Danang Agung Nugroho, pejabat fungsional Penyuluh Hukum pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah ”Pada JFT Penyuluh Hukum terdapat diklat penyuluh hukum yang menjadi dasar pemberian materi awal penyuluh hukum sebagai awal pelaksanaan tugas penyuluh hukum. Akan tetapi pada kenyataannya dengan adanya inpassing, maka banyak pegawai yang melakukan inpassing belum melaksanakan diklat penyuluhan hukum tersebut. Informasi diperoleh dari situs berita bphn. go.id yang menyampaikan bahwa sudah mulai ada MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 201 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
sosialisasi dan jalinan kerja sama BPSDM dengan BPHN untuk mengadakan e-learning diklat penyuluhan hukum”. Yuniarto, pejabat administrator pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyatakan bahwa proses memperoleh pengetahuan di unit kerjanya ”Upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan pelatihan terkait tugas dan fungsi pekerjaan terhadap pegawai. Iya, dijalinnya skema kerja sama dengan beberapa universitas untuk pemberian beasiswa kuliah bagi pegawai yang berprestasi dan pemberian izin kepada pegawai yang ingin kuliah memakai biaya sendiri”. Yeni Puspita Hati, pejabat fungsional pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, mengonfirmasi hal tersebut. Menurutnya, perolehan pengetahuan bagi pejabat fungsional arsiparis dapat dilakukan dengan memanggil pihak eksternal ”Jadi kami panggil dari ANRI selaku instansi pembina kami, kemudian dari Kementerian Hukum dan HAM untuk memberikan wawasan dan pengetahuan, kepada kami dan kepada unit pencipta arsip. Ini loh, arsip ini mau dimusnahkan, syaratnya apa, selain tempatnya harus disusutkan, dikelola supaya arsipnya ada ruangan lagi, nyaman tempatnya juga. Jadi mereka yang beri pengetahuan 202 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
kepada kami, sebenarnya kami juga didiklatkan, tapi kami kasih tau juga, apa itu pemusnahan, dari situ kan mereka sadar kalau sudah waktunya musnah. Begitu juga dengan penyerahan arsip, kenapa kita harus menyerahkan arsip ini ke ANRI, karena arsip ini ada nilai sejarahnya, bisa untuk penelitian.” Menurut pendapat F. Surya Kumara, pejabat administrator pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Yogyakarta, kerja sama dengan pihak eksternal dapat menjadi sarana untuk memperoleh pengetahuan, ”Kami juga berinisiatif […] Bagaimana dengan kehumasan, ini kan ga pernah ada diklat di BPSDM. Satu-satunya jalan, kita sudah punya MoU dengan Harian Jogja, saya ikutkan mereka, atas izin pimpinan, untuk mengikuti kegiatan tiap hari setelah jam kerja, selama satu dua jam ikut praktik di sana, magang. Jadi bagaimana menjadi korespondensi, itu berlangsung selama kurang lebih sebulan”. Membangun organisasi pembelajar pada hakikatnya merupakan untuk perolehan pengetahuan dari berbagai sumber yang ditujukan untuk memajukan dan meningkatkan dari pada sumber daya manusia yang bersumber dari internal maupun dari eksternal organisasi, sebagaimana menurut Marquardt disebutkan bahwa MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 203 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
”Suatu organisasi dapat memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber, baik pengetahuan yang bersumber dari internal maupun eksternal organisasi. Pengetahuan yang bersumber dari internal organisasi dapat berupa pengetahuan tacit pegawai, pengalaman organisasi, dan implementasi dari proses perubahan. Sedangkan pengetahuan yang bersifat eksternal dapat diperoleh melalui kegiatan benchmarking, konferensi, jasa konsultan, hingga kolaborasi dan bermitra dengan organisasi lain.” Beranjak dari data primer yang ada, perolehan pengetahuan yang didapat baik internal dan eksternal oleh pegawai di lingkungan Kemenkumham ialah melalui metode klasikal dibandingkan dengan metode digital atau e-learning dari level pimpinan, level administrator, dan level fungsional. Untuk level struktural, perolehan pengetahuan sudah terakomodasi melalui diklat pimpinan berjenjang, mulai dari diklat kepemimpinan empat sampai dengan satu. Untuk level fungsional, perolehan pengetahuan melalui jenjang diklat teknis melihat dari tugas dan fungsi jabatan fungsionalnya. Untuk jabatan fungsional yang pembinaan yang tidak di Kemenkumham, perolehan pengetahuan salah satunya dilakukan melalui instansi pembina, seperti ArsipNasional Republik Indonesia(ANRI) untuk jabatan fungsional arsiparis dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk jabatan fungsional peneliti. Bagaimanapun, perolehan pengetahuan pada 204 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
level fungsional dengan instansi pembina eksternal masih belum diatur secara formal. Praktik di lapangan, perolehan pengetahuan dilakukan secara informal melalui sharing pengetahuan antar pegawai. 2. Pembentukan Pengetahuan Pembentukan pengetahuan merupakan sebuah upaya generatif dari sebuah organisasi yang dilakukan melalui sebuah proses pencarian, umumnya melalui aktivitas riset, maupun interaksi. Dari sisi struktur organisasi, pembentukan pengetahuan melalui riset di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM dilakukan melalui kegiatan di Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM. Beberapa riset tentang pembentukan pengetahuan melalui riset di lingkungan internal ini mengindikasikan beberapa fenomena penting, yakni pertama budaya pengambilan kebijakan berbasis evidence yang masih lemah, struktur kelembagaan penelitian yang masih belum mapan, hingga kualitas dan relevansi temuan riset yang belum tepat guna. Pada tingkat praktis, berdasarkan wawancara yang dilakukan, pengalaman Ibnu Chuldun di Kantor Wilayah Jawa Barat mengungkapkan bahwa pembentukan pengetahuan sesungguhnya bisa diperoleh dari hasil- hasil riset yang dilakukan oleh Badan Litbang. Dalam salah satu studi kasus di salah satu Lapas di Jawa Barat, narasumber mengungkapkan bagaimana kegagalan penerapan rekomendasi penelitian dapat berimplikasi MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 205 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
pada terhambatnya kinerja serta terjadinya keberulangan kasus di Lapas. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi tersebut, narasumber menginstruksikan untuk menerapkan hasil kajian yang ada. Selain dari aktivitas penelitian, pembentukan pengetahuan juga dapat ditemukan melalui cara kedua, yakni interaksi sosial di dalam organisasi. Terkait ini, Nonaka menggambarkan empat pola pembentukan pengetahuan, yakni tacit ke tacit, explicit ke explicit, tacit ke explicit, dan explicit ke tacit. Pada level pimpinan menurut narasumber, Ibnu Chuldun, Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakataan, pembentukan pengetahuan perlu didasarkan pada gambaran tentang konteks dan latar belakang masing-masing pegawai, khususnya mereka yang baru bergabung sebagai aparatur di tingkat satuan kerja Kementerian Hukum dan HAM. Menurutnya, ”Ketika ada visi besar yang harus diimplementasikan di tingkat kementerian, direktorat jenderal, harus diimplementasikan di bawahnya, karena ujung tombak kebijakan adalah satkernya. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana memberikan pemahaman dan pembelajaran kepada para petugas pemasyarakatan. Contoh, layanan publik yang tidak boleh lagi mengandung unsur KKN, koruptif, pungli, kan tidak boleh lagi. Sudah harus clean. Ini kan harus didorong betul, berarti harus ada metode, mesti ada pembelajaran, bagaimana si pegawai itu punya integritas yang baik. Kita kan tidak tahu waktu diterima di sini latar belakangnya 206 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
apa, kompetensinya bagaimana. Kemudian dia masing-masing membawa caranya waktu di SMA atau kuliah. Begitu masuk bekerja di pemerintahan . . . ada kode etik yang tidak boleh dilanggar, yang harus dipatuhi dan dipahami. Ada undang-undang, peraturan, regulasi yang harus dia jalankan, pekerjaan dia itu harus dilandasi oleh regulasi, peraturan perundangan yang berlaku, kan gitu. Itu yang jadi kendala, yang selama ini dihadapi, gitu kalau saya lihatnya.” Lebih lanjut diungkapkan bahwa pola pembentukan pengetahuan tidak bisa berjalan secara seragam. Dalam hal ini, narasumber mengungkapkan, ”Nah, selama ini yang dilaksanakan adalah proses magang, yang sudah bisa, mengajar. Yang sudah biasa mengerjakan itu, dia mengajar pegawai baru. Maka pegawai baru mengerjakan pekerjaan itu, itu administratif, hampir sama di seluruh Direktorat. Misal, di Balitbangkumham, pasti sama, pengelolaan keuangan di Balitbangkumham dengan di PAS pasti sama. Tapi, ada pekerjaan yang berbeda, yaitu tentang pelayanan tahanan. Direktorat lain tidak mengerjakan hal itu, hanya kami yang mengerjakan itu. Ini kan ga bisa hanya menggunakan jalan seperti itu, maka diperlukan suatu strategi bagaimana peningkatan kompetensi dari petugas kami. Maka, kami sangat membutuhkan petugas pemasyarakatan MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 207 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
itu. Bagaimana petugas pemasyarakatan ini bisa bekerja dengan baik, contoh, satu permasalahan tentang masih adanya pengendalian narkoba dari dalam lapas, misalnya. Pertanyaannya, sudahkah pemerintah memberikan pelatihan kepada pegawai pemasyarakatan untuk bagaimana caranya, strateginya, terhindar dari masalah itu, kan tidak ada. Kalaupun ada, cuma pengalaman dari senior- senior.” Walaupun belum terpola secara mapan, terdapat inisiatif yang dilaksanakan oleh unit kerja dalam rangka pembentukan pengetahuan. Sebagai contoh, inisiatif kerja sama yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Yogyakarta dengan Harian Jogja yang pada derajat tertentu berhasil menstimulasi pembentukan pengetahuan para pegawai. Menurut Surya, pejabat administrator di wilayah, ”Kanwil D.I. Yogyakarta memiliki target berita sehari mencapai lima yang bisa terpenuhi. Mereka mempunyai kemampuan jurnalistik, walaupun sarjana TI, tetapi juga bisa jurnalistik. Karena memang waktu itu kita merasa kemampuan jurnalistik kedinasan kita masih kurang. Kalau sekadar menulis mungkin dapat dilakukan, namun ternyata jurnalistik bisa lebih bagus.” Oki Wahju, Peneliti di lingkungan Balitbang Hukum dan HAM mengungkapkan bahwa pembentukan pengetahuan sangat dipengaruhi oleh atmosfer 208 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
organisasi yang mendukung terbentuknya pengetahuan yang diperlukan oleh organisasi. Dalam konteks unit, menurutnya, ”Ini juga atmosfernya masih kurang, namanya kelitbangan itu belum dibangun atmosfer yang dinamis untuk sharing, diskusi antar peneliti. Hal ini saya kira maklum, karena litbang ini litbang birokrasi, sehingga ada suatu tujuan atau misi yang harus dicapai oleh organisasi ini dulu. Tapi juga ini tidak mungkin kalau tidak dinamis dengan diskusi-diskusi kecil yang dilakukan oleh peneliti. Ada juga diskusi-diskusi kecil yang dilakukan oleh satu dua kelompok, misalnya, tapi tidak formil . . . Menurut saya seharusnya ada forum diskusi yang difasilitasi oleh, mungkin sekretariat.” Dari data yang ada, pola pembentukan pengetahuan di lingkungan Kementerian lebih dominan berupa interaksi pengetahuan tacit ke tacit, dan pengetahuan explicit ke explicit. Untuk pola yang pertama, tacit ke tacit berlangsung antar individual, khususnya dari pegawai yang lebih ’senior’ kepada yang ’junior’. Kendati masih mengalami berbagai keterbatasan, pola pembentukan pengetahuan ini merupakan yang paling signifikan dibandingkan jenis pembentukan lainnya. Sedangkan pembentukan pengetahuan dari explicit ke explicit, dapat ditemukan dengan persepsi narasumber yang sangat bergantung dan mendasarkan pengetahuan pada regulasi maupun peraturan tertulis lainnya. Peraturan-peraturan MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 209 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
tertulis yang ada inilah, khususnya yang mengatur tentang tugas, fungsi, serta kewenangan, hingga kode etik, yang kemudian dibentuk menjadi pengetahuan- pengetahuan baru sesuai dengan kebutuhan organisasi. Di sisi lain, pola pembentukan pengetahuan dari tacit ke explicit, dan sebaliknya explicit ke tacit masih berlangsung secara terbatas. Hal ini dipengaruhi oleh ’atmosfer’ dan tingkat pemahaman yang belum mumpuni pada level pegawai yang lebih ’senior’. Selanjutnya dari sisi aktivitas, pembentukan pengetahuan terjadi dalam rupa active learning, yang dibangun berdasarkan pengalaman dan pengetahuan individual atau kelompok melalui penambahan pertanyaan reflektif yang menghasilkan pengetahuan baru. Selain itu, terdapat beberapa inisiatif pembentukan pengetahuan yang mencerminkan aktivitas eksperimen dengan melibatkan unit riset. 3. Penyimpanan Pengetahuan Dengan beragamnya pengetahuan yang dimiliki oleh organisasi –tacit maupun explicit– suatu organisasi seringkali kesulitan untuk mengakses kembali pengetahuan tersebut. Dalam hal ini, dibutuhkan suatu media khusus seperti database yang dapat menyimpan beragam pengetahuan. Dari beberapa sumber data lapangan, terkait proses penyimpanan pengetahuan tentunya memiliki beragam kondisi yang berbeda beda. Secara teknis, penyimpanan pengetahuan dilakukan oleh masing-masing unit kerja berdasarkan fungsinya. 210 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Selaku pejabat pengawas, Dyah Santi dari Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah mengatakan ”Pada masing-masing kegiatan memiliki dokumentasi, hanya saja tidak ditempatkan pada satu tempat. Akan tetapi pihak yang dapat mengakses adalah pertama, bendahara, karena pertanggungjawaban keuangan. Kedua, bagian pelaporan, untuk merekap laporan kinerja atau LAKIP, target kinerja, laporan triwulan, laporan semester, mungkin tidak sampai sedetail notula, materi sosialisasi dan sebagainya. Akan tetapi untuk yang sedetil itu terdapat pada bendahara karena mereka memiliki salinannya.” Lebih lanjut, R. Danang Agung Nugroho, pejabat fungsional pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah menuturkan ”Penyimpaan bahan materi dilakukan dengan mengupload pada grup WA dan hanya terbatas pada penyuluh hukum […] sebenarnya menginginkan agar berbagai materi yang disampaikan dapat diakses secara terbuka. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah apakah materi yang disampaikan sudah 100% benar. Dikhawatirkan pada saat dishare dan diketahui banyak orang, ternyata ada yang salah, sehingga perlu filter.” MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 211 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Yuniarto, sebagai pejabat administrator Ditjen Pemasyarakatan yang mengatakan bahwa penyimpanan pengetahuan di unitnya, ”tersimpan pada unit kerja masing-masing bagian. Kemudahan untuk mengaksesnya agak terhambat karena harus menghubungi masing-masing bagian pada unit kerja tidak terkumpul dalam satu kumpulan data.” Lebih lanjut dari perspektif pejabat fungsional, Yeni Puspita Hati, arsiparis pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyatakan bahwa, ”[…] kalau modelnya seperti itu, pengetahuan hanya dimiliki individu, tidak terkumpul dalam satu tempat, di internet atau di flashdisk mengenai pengetahuan kearsipan misalnya. Itu individu masing-masing, kalau saya memang punya, selalu ngumpulin peraturan tentang kearsipan, dikumpulkan di dalam satu folder. Kalau ada peraturan baru, langsung saya searching dan saya simpan, untuk nambah wawasan juga. Jadi memang tidak ada kanal sendiri untuk mengakses untuk belajar mengenai kearsipan, idealnya seperti itu untuk mempermudah akses pengetahuan. Seharusnya Kementerian Hukum dan HAM punya Sistem Informasi Manajemen Kearsipan sendiri.” 212 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Alif Suaidi, Pimpinan Tinggi Pratama pada Direktorat Jenderal Imigrasi menyatakan bahwa sudah terdapat portal tersendiri seputar pengetahuan keimigrasian ”Belum ada database untuk menyimpan pengetahuan yang telah dimiliki oleh pegawai setelah mengikuti diklat. Kita paling baru sampai pada pencatatan siapa-siapa saja yang mengikuti diklat. Jadi masih tersimpan dalam individu- individu pegawai. Kalo database terkait peraturan, SOP, juknis sih sudah ada di portal kita. Misalnya juga seperti manual book, seperti pemecahan suatu permasalahan dalam TI misalnya itu ada dan bagi pegawai seluruh Kanim di Indonesia bisa mengakses itu. Ya keberadaan portal ini membantu pegawai dalam menyelesaikan jika ada permasalahan terkait hal tadi.” Badan Litbang Hukum dan HAM, di sisi lain, memiliki portal penyimpanan dalam bentuk website yang dapat diakses oleh seluruh pegawai. Oki Wahju menuturkan ”Kita kan punya website, intraweb pegawai, bisa disimpan di situ. Apa yang pernah dikerjakan oleh masing-masing pegawai, jadi semua bisa diakses. Ini yang belum dibudayakan, itu aja. Tinggal bagaimana komit dari siapa yang ditunjuk secara kelembagaan mengerjakan itu, ada surat edarannya, setiap orang yang melakukan harus share informasi kesitu. Kalau sekarang kan ada MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 213 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Pusdatin, masalah hasil riset sudah terdokumentasi dengan baik di e-book, e-journal, saya rasa segala macam sudah ada. Tapi maksud saya pengetahuan yang diperoleh oleh teman-teman. Ketika [antar pegawai] membagi pengetahuannya, pengetahuan bukan hanya sebatas hasil riset aja. Mungkin sesederhana mana yang harus masuk ke intraweb, mana yang nggak, itu sudah ada pembagiannya belum? Belum ada.” Berdasarkan temuan di lapangan, terdapat poin penting dalam pelaksanaan penyimpanan pengetahuan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Pertama, belum terdapat portal penyimpanan pengetahuan secara masif pada level kementerian. Praktiknya, tidak setiap unit memiliki persepsi yang sama mengenai penyimpanan pengetahuan. Pada unit dengan dukungan teknologi informasi yang mumpuni, seperti Direktorat Jenderal Imigrasi, penyimpanan pengetahuan seputar keimigrasian dikumpulkan dalam suatu portal yang dapat diakses oleh seluruh UPT Imigrasi. Walaupun, keberadaan portal penyimpanan tidak menjamin pemanfaatan dari portal tersebut. Badan Litbang Hukum dan HAM misalnya, mengembangkan fitur intraweb sebagai sarana penyimpanan pengetahuan. Namun dalam pelaksanaannya, tidak ada kejelasan mengenai siapa yang mengelola, apa yang disimpan, serta ketidaktahuan pegawai akan intraweb menjadi kendala tersendiri. Kedua, penyimpanan pengetahuan di unit-unit lain 214 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
pada umumnya tidak terpusat di dalam kanal khusus, melainkan tersimpan pada masing-masing bagian. Media sosial seperti grup WhatsApp atau e-mail masih menjadi alternatif penyimpanan yang digunakan. Keadaan demikian dapat berimplikasi kepada sulitnya akses untuk memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan, karena tidak seluruh pegawai dapat bebas mengakses media penyimpanan tersebut. 4. Transfer dan Diseminasi Pengetahuan Konsep dasar pengelolaan pengetahuan (knowledge management) yaitu menempatkan keahlian dan pengalaman yang dimiliki oleh seluruh individu dalam suatu organisasi sebagai aset berharga yang dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pencapaian tujuan strategis organisasi. Diperlukan suatu strategi (cara dan sarana) yang dirancang untuk mengelolanya, menangkap serta membagikan (transfer dan diseminasi) pengetahuan tersebut. Transfer dan diseminasi pengetahuan meliputi pergerakan informasi, data, dan pengetahuan dalam suatu organisasi. Proses transfer dan diseminasi pengetahuan dapat berlangsung secara intensional seperti komunikasi tertulis, coaching-mentoring, hingga rotasi pegawai; maupun proses non-intensional seperti pertukaran informasi secara informal. Berdasarkan data hasil wawancara, proses transfer dan diseminasi pengetahuan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM terjadi melalui kegiatan-kegiatan MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 215 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
informal, sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Sistem dan Teknologi Informasi Keimigrasian, Alif Suaidi menjelaskan bahwa ”Dari level pimpinan, sharing pengetahuan dilakukan. Cuma frekuensi dan volumenya berbeda. Minimal setiap satu bulan sekali kita mengadakan pertemuan informal semua direktorat, salah satu kegiatan untuk update informasi, sharing pengetahuan antar direktorat.” Sejalan dengan pernyataan tersebut, menurut Kepala Balai Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan HAM Jawa Tengah, Kaswo, proses transfer dan diseminasi pengetahuan juga dilakukan semua pegawai termasuk di level pimpinan yang telah memperoleh pengetahuan baru ”pegawai yang telah mengikuti diklat akan share mengenai pengetahuan yang didapatnya. Misal yang mengikuti diklat adalah Kakanim, yang akan diundang oleh Kepala Kanwil untuk melakukan sharing pengetahuan dengan teman-teman sejawatnya.” Selanjutnya proses transfer dan diseminasi pengetahuan pada level administrator dan fungsional terbentuk baik atas dukungan/inisiatif pimpinan ataupun atas keinginan pegawai sendiri untuk berbagi pengetahuannya kepada orang lain. Salah satu bentuk dukungan/inisiatif pimpinan dalam mewujudkan proses 216 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
transfer dan diseminasi pengetahuan yang dimiliki pegawai, sebagaimana digambarkan oleh Alif Suaidi bahwa, ”selain memberikan perintah kepada setiap pegawai yang telah memperoleh pengetahuan baru melalui diklat kemudian membagi kepada rekan kerjanya melalui kegiatan diskusi, tetapi juga dengan mentandemkan atau memasangkan dalam Tim kerjanya dengan yang belum ikut diklat, supaya bisa menularkan ilmunya. Sharing pengetahuan antar pegawai biasanya tercipta ketika ada kegiatan atau tugas yang mengharuskan pembentukan tim, pasti mereka sudah saling share informasi.” Bentuk transfer dan diseminasi pengetahuan melalui ”pencampuran tim” sebagaimana diungkapkan oleh Alif Suaidi, merupakan salah satu cara efektif dalam transfer pengetahuan. Menurut M. J. Marquardt, terdapat dua cara efektif untuk melakukan transfer pengetahuan dalam suatu organisasi yaitu rotasi pekerjaan dan pencampuran tim. Dua cara tersebut dinilai efektif karena pegawai yang terlibat tidak hanya membawa pengetahuan dan membaginya, tetapi juga sampai dengan memastikan keberhasilan penyebaran pengetahuan mereka. Contoh lain bentuk dukungan/inisiatif pimpinan dalam proses transfer dan diseminasi pengetahuan yaitu melaui coaching dan mentoring yang dilakukan oleh pimpinan melalui kegiatan apel. Sebagaimana pernyataan Evi Purwaningsih, Pengawas di Kanwil Kementerian MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 217 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Hukum dan HAM DKI Jakarta yang menyatakan: ”coaching dan mentoring dari pimpinan tinggi, terutama saat apel dengan memberikan penguatan-penguatan”. Hal yang sama juga dijelaskan oleh R. Danang Agung Nugroho, pejabat fungsional pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah, ”…share pengetahuan dalam lingkup Kantor Wilayah juga sering dilakukan pada saat apel pagi yang disampakan oleh Pimpinan Tinggi Pratama.” Sama halnya pada level fungsional, proses transfer dan diseminasi pengetahuan secara umum dilaksanakan melalui kegiatan informal. Arsiparis pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyatakan bahwa selama ini proses transfer dan diseminasi informasi, khususnya mengenai jabatan fungsional arsiparis, dilakukan secara informal melalui WhatsApp Group, ”Kami punya namanya Forum Arsiparis di WhatsApp, setingkat Kementerian. Jadi kalau ada yang ngeshare tentang peraturan apa, seminar apa, kalau yang di Ditjen PAS sendiri sebenernya sudah dikasih sih di TU, Permenkumham baru tentang klasifikasi arsip, itu dikasih dari Biro Umum ke kita ya, tapi ya mungkin memang itu, kurang pengetahuan juga.” Senada dengan pernyataan tersebut, Pejabat Fungsional pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM D.I. Yogyakarta menyatakan bahwa ”Kegiatan 218 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
sharing pengetahuan dilakukan secara informal saja, tidak ada jadwal rutin atau agenda khusus dari kantor.” Satu upaya maju telah dilakukan oleh Kepala Divisi Pelayanan Hukum di Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah dalam mendorong proses transfer dan diseminasi pengetahuan bagi fungsional. Sebagaimana diungkapkan oleh Rr. Widya, Pimti pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jateng bahwa, ”Adanya kegiatan sharing pengetahuan yang dilakukan setiap hari rabu untuk me-refresh pengetahuan. JFT penyuluh hukum. Kegiatan tersebut sangat penting dilakukan untuk memberikan pengetahuan, terutama pada JFT Penyuluh hukum yang belum mengikuti diklat karena inpassing. Selain itu, pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jateng, setiap orang yang selesai melaksanakan diklat harus melakukan paparan. Kegiatan tersebut memiliki notulen. laporan yang lengkap. Akan tetapi belum ada undangan resmi. Dalam hal ini para penyuluh hukum memiliki komunitas, sehingga Kepala Divisi Yankum hanya memerintahkan mereka untuk melakukan sharing pengetahuan. Kegiatan tersebut belum termasuk dalam agenda tahunan Kementerian Hukum dan HAM.” Upaya yang dilakukan untuk menjaga sustainability dari proses transfer dan diseminasi pengetahuan, karena selain mengharuskan sharing pengetahuan bagi setiap MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 219 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
pegawainya juga memberikan ruang/memfasilitasi pegawainya untuk melakukan diskusi rutin meskipun belum menjadi suatu agenda wajib organisasi. Dukungan struktur, budaya, dan lingkungan organisasi berpengaruh terhadap sustainability proses transfer dan diseminasi pengetahuan dalam suatu organisasi. Sebagaimana pendapat Oki Wahju Budijanto, Peneliti Balitbang Hukum dan HAM, mengungkapkan bahwa, ”harusnya terus digulirkan untuk membagi pengalaman. Ini tidak terbentuk dan mungkin karena kelembagaan, dalam arti, siapa yang mau mengurus itu. Secara kelembagaan harus dibentuk, misalnya apakah ini tugas Sekretariat atau Pusat yang memfasilitasi.” Berdasarkan data-data tersebut, dapat digambarkan bahwa secara umum proses transfer dan diseminasi pengetahuan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM sudah terbentuk di setiap level (pimpinan, administrator dan fungsional). Dari pelbagai bentuk transfer dan diseminasi pengetahuan yang sudah dilaksanakan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM tersebut, dapat digambarkan bahwa proses transfer dan diseminasi pengetahuan cenderung dilaksanakan secara non-intensional. Proses transfer dan diseminasi pengetahuan antar pegawai lebih sering terbentuk secara tidak sengaja ataupun melalui kegiatan yang informal. Meskipun terdapat beberapa bentuk transfer dan diseminasi pengetahuan yang dilakukan secara 220 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
intensional tetapi belum terlembagakan menjadi suatu proses yang harus dilewati dalam suatu kegiatan. Hal itu perlu menjadi perhatian agar sustainability dari proses transfer dan diseminasi pengetahuan terus berjalan serta menjaga pengetahuan yang dimiliki oleh Kementerian Hukum dan HAM tidak hilang. Karena semakin sedikitnya intensi dalam proses transfer dan diseminasi pengetahuan yang dilaksanakan maka semakin banyak pengetahuan yang akan hilang. 5. Penerapan dan Validasi Pengetahuan Secara umum, pengetahuan yang dimiliki oleh suatu organisasi perlu diterapkan dalam produk, proses, dan layanan dalam organisasi tersebut. Pengetahuan yang diperoleh sebelumnya dapat digunakan untuk meningkatkan standar layanan, serta melatih dan memotivasi pegawai untuk berpikir kreatif dalam meningkatkan pemahaman terhadap produk, proses dan layanan organisasi. Untuk mendukung penerapan pengetahuan tersebut, pertama-tama perlu dilakukan validasi terhadap pengetahuan yang ada di dalam suatu organisasi. Validasi dapat dilakukan melalui proses merefleksikan dan mengevaluasi efektivitas pengetahuan terhadap kondisi organisasi. Validasi pengetahuan merupakan ”a painstaking process of continually monitoring, testing, and refining the knowledge” dalam rangka menyesuaikan dengan kondisi existing dan potensi yang ada pada suatu organisasi. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 221 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Menurut Kepala Subbagian Kepegawaian, Tata Usaha dan Rumah Tangga Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DKI Jakarta, ”Dalam menerapkan pengetahuan untuk penyelesaian masalah, maka implementasi dilakukan salah satunya pada pejabat yang harus melakukan pemeriksaan terhadap bawahannya yang terkena pelanggaran. Saat itu dilakukan coaching terhadap atasan tersebut untuk belajar cara memproses hukuman disiplin melalui SIMPEG. Dalam hal ini, banyak orang berpikir bahwa hal tersebut menjadi tugas kepegawaian, padahal bukan melainkan tugas setiap atasan untuk memeriksa bawahannya. Terlebih proses pemeriksaan yang dilakukan harus melalui SIMPEG, bukan secara manual seperti dahulu, sehingga lebih lengkap menggunakan IT yang terdapat fitur disiplin, kinerja, dan sebagainya. Walaupun bukan bekerja di Bagian kepegawaian, seorang atasan harus mengetahui mengenai Peraturan Pemerintah tentang Disiplin PNS. Dalam hal ini sharing pengetahuan mengenai hal tersebut juga sudah dilakukan, baik melalui rapat dan apel mengenai tugas atasan langsung untuk memeriksa bawahannya. Bila atasan langsung tidak memeriksa, maka atasan langsung yang nantinya akan diproses.” 222 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Pada level fungsional, Peneliti Madya Badan Litbang Hukum dan HAM menyatakan bahwa selama ini, tidak terdapat adanya penerapan dan validasi pengetahuan yang dimiliki oleh organisasi, khususnya pengetahuan yang dapat mendukung kinerja jabatan fungsional peneliti. Mengingat pengetahuan yang ada diperoleh secara mandiri dan masih tersebar di masing-masing individu dalam organisasi. Lebih lanjut menurut Kepala Sub bagaian Keuangan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat, Ferry Ferdiansyah menyatakan bahwa, ”Untuk penguatan database saat ini masih melalui Sumaker dan E-mail. Salah satu produk yang baru saja dibuat adalah petunjuk pengisian DIPA terkait pengelolaan keuangan, lalu produk tersebut diedarkan ke seluruh pegawai di lingkungan Kanwil melalui Sisumaker. Jadi tidak hanya dalam bentuk fisik tapi juga softcopynya yang diedarkan melalui Sisumaker. Lalu juga melalui E-mail dan Grup WA.” Praktik penerapan dan validasi pengetahuan di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DIY, di sisi lain, merupakan hasil peran aktif dari jajaran pimpinan, sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Bagian Program dan Hubungan Masyarakat, ”Pertama, membangun kebersamaan dan komunikasi. Waktu masih menjabat Kasubagwai, pernah melakukan motivasi, karena waktu itu MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 223 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
belum ada fungsional prakom, tapi sudah ada TI. Saat menjabat di kepegawaian belum ada Sisumaker, sehingga mencoba meminta untuk dibuatkan aplikasi surat masuk dan keluar. […] Aplikasi yang telah dibuat tersebut bernama SIPER (Sistem Persuratan), dan saat ini sudah bergabung dengan aplikasi milik AHU, terutama dashboard- nya. Kemudian saya diangkat menjadi Kabag dan membuat SIPOR (Sistem Pelaporan), karena TI sudah ke arah itu semua, tetapi belum ada fungsional prakom, tapi anak-anak TI sudah saya arahkan ke sana, karena kita ada fungsi TI. Saat itu saya meminta dibuatkan laporan, supaya tidak ada lagi orang mengirim surat yang tidak sesuai dengan kaidah yang ditetapkan, itu sebelum Sisumaker. Jadi mereka mengirimkan surat apapun, apalagi terkait Tarja, dengan pola seperti pelaporan Tarja, ada warna. LAKIP, kemudian SPIP, saya identifikasi itu total ada 27 jenis laporan.” Temuan lapangan mengindikasikan bahwa pertama, sudah terdapat upaya-upaya untuk menerapkan pengetahuan tacit yang dimiliki oleh masing-masing pegawai ke dalam proses bisnis sehari-hari. Penerapan pengetahuan dapat berupa pemanfaatan aplikasi SIMPEG dalam proses pemberian hukuman disiplin oleh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM DKI Jakarta; pembuatan pedoman pengisian yang dilakukan oleh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat; dan pembuatan 224 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
aplikasi penunjang kinerja yang dilakukan oleh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM D.I Yogyakarta. Kedua, penerapan dan validasi pengetahuan dapat dikatakan berhasil apabila pengetahuan yang ada di dalam organisasi baik tacit maupun explicit, dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kinerja organisasi, termasuk peningkatan kualitas layanan yang diberikan. Ketiga, keberhasilan penerapan dan validasi pengetahuan di lingkungan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM dipengaruhi oleh peran aktif pimpinan dalam melihat dan mengoptimalkan potensi pegawai yang ada di dalam organisasi. Lanskap tentang pengelolaan pengetahuan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM yang diperoleh melalui persepsi dan pengalaman pegawai pada tiga level mengungkapkan beberapa poin utama. Dalam penelitian ini, data mengungkapkan perspektif sosial yang meliputi kultur, struktur, dan perorangan. Pada sisi struktur, siklus pengelolaan pengetahuan cenderung terdesentralisasi di masing-masing unit kerja, baik antar unit utama maupun di tingkat wilayah. Di tengah keterbatasan BPSDM selaku pelaksana fungsi pengembangan SDM, desentralisasi pengetahuan ini merupakan bentuk dari upaya unit-unit kerja untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan sesuai dengan tugas pokoknya. Lebih jauh dari struktur, pengelolaan pengetahuanyangadacenderung bersifatinformaldan non- intentional, dalam pengertian bahwa pengetahuan yang ada dikelola berdasarkan insiatif yang sifatnya sementara MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 225 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
atau temporer dan tidak dijalankan berdasarkan standar mekanisme tertentu. Walaupun inisiatif pengelolaan pengetahuan sudah dapat ditemukan di beberapa unit kerja, namun strukturisasi pengelolaan secara lebih masif menjadi hal mutlak bagi Kementerian dalam rangka memastikan bahwa pengetahuan, baik yang bersifat tacit maupun explicit, bermanfaat untuk kepentingan organisasi. Selain itu, kultur organisasi yang cenderung lemah pada sisi kolaborasi, kepercayaan, dan pembelajaran menjadi fitur sosial yang memengaruhi pengelolaan pengetahuan di lingkungan Kementerian. Hal ini tercermin dari kurang optimalnya pembentukan pengetahuan yang terjadi di masing-masing unsur organisasi. Reliance terhadap interaksi antara pegawai senior dan junior sebagai format pembentukan pengetahuan menjadi krusial dalam fitur kultur ini, mengingat gap kompetensi pegawai- pegawai senior terhadap jabatan yang diemban. Kendati active learning melalui interaksi sosial tersebut merupakan unsur penting dalam pembentukan pengetahuan, namun bentuk-bentuk lain juga perlu menjadi acuan seperti pemanfaatan hasil-hasil riset atau kajian di lingkungan Kementerian. Fitur kultur organisasi tersebut mendorong tinjauan lebih jauh kepada fitur people atau orang. Kapasitas, kompetensi, dan kesesuaian jabatan menjadi faktor yang dominan dalam pengelolaan pengetahuan di lingkungan Kementerian. Ragam inisiatif yang muncul dalam mengelola pengetahuan cenderung mensyaratkan 226 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
adanya kepemimpinan yang mumpuni di bidang tugasnya, kolaboratif, dan suportif terhadap para pegawai di lingkungannya. Sebagai hasil, proses pembentukan, diseminasi, hingga penerapan pengetahuan bergerak secara kasuistik dan sangat tergantung pada model kepemimpinan di tiap unit kerja. Gambar 18 Lanskap Pengelolaan Pengetahuan di Kementerian Hukum dan HAM Sumber: Modifikasi dari Lee & Choi (2003) Selanjutnya berdasarkan data kuantitatif dari persepsi responden, penerapan subsistem pengelolaan pengetahuan sebagian besar telah terlaksana dengan persentase sebesar 38% sebagaimana tercantum pada Gambar 19. MENITI STRATEGI CORPORATE UNIVERSITY: 227 REFLEKSI KEMENKUMHAM SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR
Gambar 19 Data Persepsi Pegawai penerapan Subsistem Pengelolaan Pengetahuan Setelah dilakukan perhitungan secara keseluruhan, nilai rata-rata penerapan subsistem pengelolaan pengetahuan dalam mendukung kesiapan pembangunan learning organization di Kementerian Hukum dan HAM diperoleh nilai rata-rata sebesar 28,25. Dapat diartikan dalam penerapannya subsistem ini juga masuk pada kategori baik menurut range result Marquardt (25 – 32 = good) meskipun masih terdapat beberapa elemen yang menjadi kelemahan dalam mendukung penerapannya. Tabel 12 Nilai Rata-Rata Subsistem Pengelolaan Pengetahuan Nilai Rata-Rata 1 2 3 4 Jumlah 1695 X.4 53 316 678 648 28.25 Mean 0.88 5.27 11.30 10.80 228 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306