Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore #Dharmaistory: Kiprah dan Kisah RS Kanker Dharmais Menangani Pandemi COVID-19

#Dharmaistory: Kiprah dan Kisah RS Kanker Dharmais Menangani Pandemi COVID-19

Published by anjari, 2021-01-17 05:44:30

Description: Buku inspiratif dan menarik, menceritakan apa yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan dan civitas hospitalia RS Kanker Dharmais dalam menangani pandemi Covid-19.

Buku yang terbit serangkaian Hari Ulang Tahun RS Kanker Dharmais ke-27 ini disajikan dalam kemasan ringan dengan gaya bertutur yang bersumber dari dokter, perawat, petugas yang melayani pasien kanker yang terpapar atau tertular Covid-19. Ada juga sumber cerita dari anak pasien kanker yang positif Covid-19.

#DharmaiStory bisa menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi siapa saja sekarang ini atau di masa depan dalam menangani pandemi Covid-19 atau wabah lain.

Keywords: RS Kanker Dharmais,RSKD,Dharmais,Covid-19,Bersatu Melawan Covid-19,Anjari Umarjiyanto,anjarisme

Search

Read the Text Version

#DharmaiStory 101 persetujuan dari Camat Kebon Jeruk dan RT/RW setempat. Kepolisian mengonfirmasi surat tersebut dan akhirnya mengizinkan pemakaman di luar lokasi yang disediakan Pemprov DKI Jakarta dengan beberapa syarat yang tercantum dalam protokol kesehatan. Keluarga bersedia menanggung biaya administrasi dan kepolisian mengawal jalannya pemakaman hingga selesai. Putri bersama salah satu perwakilan Tim PPI RS Kanker Dharmais, Adelina Mutiara, mengedukasi terlebih dulu petugas-petugas yang akan mengantar jenazah mulai dari apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan hingga cara melakukan disinfeksi mobil jenazah. Minggu pukul 12 siang, jenazah dibawa dan dimakamkan dengan pengawalan ketat. Deretan peristiwa ini membuat RS Kanker Dharmais kian memahami bahwa pada akhirnya wabah, baik itu COVID-19 atau mungkin wabah lainnya, bukan semata persoalan kesehatan tapi juga kemanusiaan dan hubungan sosial.

102 Kuat Menghadapi Duka di Masa Pandemi Kuat Menghadapi Duka di Masa Pandemi “Kondisi ini sangat berat. Kita mesti menyelamatkan seluruh pegawai kita, tapi pelayanan harus tetap berjalan.” drg. Setiawaty, M.Kes Terinfeksi, masuk rumah sakit, tidak boleh dijenguk atau ditemani keluarga, hingga akhirnya nyawa direnggut. Momen kematian akibat COVID-19 jauh lebih sunyi. Jenazah korban wabah ini tak boleh dimandikan, didandani, atau

#DharmaiStory 103 Petugas medis RS Kanker Dharmais sedang memakai APD level 3 dengan teliti sebelum memasuki ruang isolasi. dikafani. Sementara keluarga hanya mendapat kabar duka kematian tanpa mampu menyalati atau mengantarkan langsung jenazah keluarganya ke liang kubur. Kematian akibat COVID-19 terasa begitu kelam dan dingin. Cara wabah ini mengambil nyawa seseorang dari keluarga memang begitu kejam, bukan hanya bagi mereka yang pergi tapi juga bagi keluarga dan kerabat yang ditinggalkan. Orang-orang yang ditinggalkan harus tetap berjauhan dan menjaga jarak, tidak bisa berbagi kesedihan melalui pelukan, bahkan beberapa harus menangis sendiri karena tengah berada dalam ruang isolasi.

104 Kuat Menghadapi Duka di Masa Pandemi “Bapak sering melayani umatnya menjelang meninggal, membimbing dengan doa, memberikan kasih rohani. Tapi hal itu, akibat infeksi wabah, tak berlaku baginya.” Dian Triana Sinulingga, ahli epidemiologi RS Kanker Dharmais, adalah salah satu dari ribuan yang merasakan pedihnya kehilangan orang-orang terdekat karena COVID-19. Dian kehilangan bapak pendeta yang selama ini ia kasihi dan hormat di masa-masa awal pandemi menghantam Indonesia. Saat itu smartphone di saku sneli Dian bergetar satu kali, dua kali, hingga beberapa kali. Tapi tak ia angkat karena saat itu Dia tengah berada dalam rapat bersama Tim Penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB). Saat rapat usai, segera ia tengok handphonenya. Beberapa panggilan tak terjawab itu ternyata dari bapak pendeta, seorang yang ia hormati sebagai guru dan ia kasihi sebagai orang tua. Selesai rapat, sekitar 3 jam dari waktu panggilan pertama, Dian menelepon balik Bapak -panggilannya untuk pendeta. “Inang, Bapak masuk rumah sakit,” kata Bapak mengabari Dian dan menjelaskan kondisinya yang sakit dan

#DharmaiStory 105 demam tinggi. Bapak bercerita, sebelum jatuh sakit ia berkunjung ke rumah jemaahnya yang sedang sakit. Dua hari kemudian mulai muncul gejala demam, lalu sesak, dan akhirnya harus dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit, Bapak menjadi pasien dalam pengawasan (PDP) karena memiliki gejala sesak dan demam, dua gejala yang sejauh ini paling banyak dialami pasien COVID-19 Semula Dian mengira Bapak hanya mengalami demam berdarah. Tapi kabar adanya gejala sesak napas dan demam membuat Dian cemas. Meskipun pada saat itu kasus COVID-19 masih dalam hitungan jari. Wabah, kala itu, masih belum terasa nyata dan dekat keberadaannya sebab anggapan bahwa risiko terinfeksi hanya dimiliki oleh mereka yang memilih riwayat bepergian ke luar negeri masih melekat. Sambungan telepon itu menjadi percakapan terakhirnya dengan bapak pendeta. Karena keesokan harinya bapak tidak bisa ditelpon. Dari salah satu keluarganya Dian tahu ternyata Bapak mendadak kritis dan harus masuk ruang ICU. Bapak pendeta yang selama ini menjadi penasihat spiritual bagi Dian dan keluarga meninggal malam itu

106 Kuat Menghadapi Duka di Masa Pandemi dan langsung dimakamkan. “Seperti menjentikkan jari, hilang begitu saja tanpa memberi kami kesempatan untuk memberikan yang terbaik di detik-detik terakhir.” Bapak sering melayani umatnya menjelang meninggal, membimbing dengan doa, memberikan kasih rohani. Tapi hal itu, akibat infeksi wabah, tak berlaku baginya. “Saat dia meninggal begitu saja, saya merasa terpukul sekali,” kata Dian. Satu per satu berita kematian tenaga kesehatan tiba entah dari kenalan, rekan sejawat, atau adik kelas. Petugas melakukan pemulasaran jenazah pasien Covid-19

#DharmaiStory 107 Bersama dengan hiruk pikuk persiapan, kekhawatiran akan keselamatan pasien, dan keterbatasan informasi terkait apa itu COVID-19, kabar duka itu datang bertubi-tubi menghampiri. RS Kanker Dharmais tak pernah menyangka bahwa ia akan kehilangan salah satu keluarga dari tenaga kesehatan yang dimilikinya. Suami dokter spesialis paru, Mariska T.G. Pangaribuan, meninggal akibat COVID-19. Sejak informasi datangnya wabah dan penerapan pembatasan sosial berskala besar, protokol kesehatan dengan ketat dijalankan oleh Mariska dan keluarganya. Tapi disiplin menjalankan protokol kesehatan itu seolah menjadi sia-sia ketika pelonggaran PSBB diberlakukan dan masyarakat secara umum kembali beraktivitas hampir seperti sedia kala saat pandemi belum tiba. Ketika pelonggaran PSBB diberlakukan, suami Mariska kembali harus bekerja dan datang ke kantor. Menjalani rapat- rapat dan bertemu kolega di satu ruangan yang sama. Saat diketahui salah satu dari rekan kerjanya terinfeksi COVID-19, suami Mariska ikut diperiksa sebagai bentuk pelacakan kontak karena teridentifikasi pernah menjalin kontak erat dengan orang positif COVID-19 tersebut. Berada dalam satu ruangan tertutup secara bersama dan dalam waktu lama,

108 Kuat Menghadapi Duka di Masa Pandemi apalagi dengan jarak dekat, memang meningkatkan risiko penularan. Dari hasil pelacakan tersebut, suami Mariska diketahui positif COVID-19 meski saat itu ia belum bergejala. Walaupun tanpa gejala dan kondisinya tampak cukup baik, ia menjalani isolasi di Rumah Sakit Pertamina. Perkiraan bahwa sang suami adalah Orang Tanpa Gejala (OTG) yang relatif lebih berpotensi sembuh ternyata meleset. Hari-hari tanpa gejala tersebut bukan karena ia orang tanpa gejala (OTG), tetapi karena virus yang telah memasuki tubuhnya itu masih dalam masa inkubasi atau masa awal infeksi ketika gejala belum timbul. Di hari kelimanya dirawat, gejala sesak dan demam mulai datang sampai akhirnya mengalami perburukan dan masuk ruang ICU. Sebagai dokter yang hampir setiap hari menangani pasien COVID-19, Mariska paham bagaimana ruang isolasi bisa terasa bagaikan penjara bagi mereka yang dirawat di dalamnya. Sendirian di dalam ruangan tanpa mengenal siapa pun yang masuk dan keluar atau mereka yang lalu lalang merupakan kondisi yang begitu asing. Baik perawat, dokter, maupun petugas kebersihan serupa astronot yang datang ke bulan tanpa memperlihatkan wajah apalagi seulas senyum karena pakaian APD berlapis menutupi itu semua.

#DharmaiStory 109 Tak sanggup membayangkan bagaimana suaminya sendirian dan kesepian di ruang ICU dengan kemungkinan sembuh yang tidak menentu, Mariska ingin berada di samping suaminya. Ia ingin menemani sang suami bergelut melawan virus tersebut. Mariska pun mengajukan permohonan pada rumah sakit yang bersangkutan untuk bisa masuk dan menjenguk suaminya di dalam. “Karena saya dokter paru, mereka memberikan pengertian khusus.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Mariska. Meski mesti Petugas medis melakukan penanganan luka pada pasien kanker.

110 Kuat Menghadapi Duka di Masa Pandemi melengkapi dirinya dengan APD level 3, ia memilih untuk setiap hari menyempatkan diri menemani sang suami. Kondisi sang suami saat itu antara sadar dan tidak. Meski kerap melihat bahwa suaminya menyadari keberadaan Mariska, mereka tak bisa berkomunikasi. Sang suami dengan alat bantu pernapasan yang terpasang, sementara Mariska dengan segenap masker dan hazmat yang dikenakannya. Tapi pandangan mata keduanya cukup untuk menyampaikan Petugas melakukan disinfektan ruang pemulasaraan jenazah

#DharmaiStory 111 betapa cinta kasih di antara mereka kuat, seperti maut. Dapat berada di samping suaminya adalah anugerah terindah bagi Mariska. “Setiap hari saya menjenguk suami di rumah sakit dan menemani detik-detik terakhirnya,” kata Mariska. Sebelum diketahui bahwa suaminya tertular dari rekan kerjanya, Mariska sempat merasa waswas. Sebab, tugasnya sebagai salah satu dokter penanggung jawab dalam tim KLB di RS Kanker Dharmais membuatnya harus tetap pulang pergi ke rumah sakit. “Sejak awal menangani pasien COVID-19, ketakutan terbesar saya adalah tertular dan membawa virus ke rumah. Makanya saya selalu memisahkan diri dengan anak-anak dan suami,” ungkapnya. Setiap pulang dari rumah sakit, ia langsung mandi dan mencuci bajunya. Hal itu tetap dilakukan Mariska meskipun sebelum pulang ia juga mandi terlebih dulu di rumah sakit. Mariska juga menjaga jarak dari semua orang rumah, tidak makan bersama dan bahkan tidur terpisah di kamar sendiri. Kedisiplinan menjaga jarak itu ia lakukan karena hanya dirinya yang beraktivitas di luar rumah sementara suami dan anak-anaknya dapat bekerja serta belajar dari rumah. Tapi, seperti peribahasa yang berkata bahwa manusia boleh berusaha pada akhirnya takdir Tuhan-lah yang bicara.

112 Kuat Menghadapi Duka di Masa Pandemi Suaminya terinfeksi COVID-19, meski bukan dari dirinya “Itu adalah hantaman terbesar untuk saya bahwa ternyata dengan adanya saya sebagai dokter, tidak bisa menjaga orang di sekitar saya,” sesal Mariska. Dua minggu Mariska tidak bekerja, memberi dirinya waktu untuk memeluk duka. Ketika Mariska memutuskan kembali bekerja, ia disambut hangat rekan sejawatnya di RS Kanker Dharmais. “Apa sudah sanggup pegang pasien dan kembali bertempur?” tanya rekan-rekannya. Mariska hanya mampu menjawab dengan senyum getir. Bagi Mariska, menolong pasien adalah kewajiban sekaligus caranya mengusir lara. Ia ingin menolong setiap pasien agar sebisa mungkin tidak ada istri yang ditinggal suami, suami yang ditinggal istri, anak yang ditinggal orang tua, atau orang tua “Kami sudah eman-eman, pasien aman, clean. Ada saja nakes, petugas kami, penunggu yang masih beraktivitas di luar dan terinfeksi. Karena di luar ini membara, ya kita kena apinya” Dr. dr. Arif Riswahyudi Hanafi, Sp.P (K)

#DharmaiStory 113 yang ditinggal anaknya karena COVID-19. “Target saya adalah menjaga diri supaya tetap sehat mental dan fisik, tidur cukup dan nutrisi cukup. Karena menghadapi pandemi ini berat, dari pagi sudah capek, gelisah menghadapi kasus-kasus pasien,” tuturnya. Ujian tak berhenti di sana. Beberapa hari setelah Mariska kembali bekerja, rekan sesama dokter paru dinyatakan positif COVID-19. Mariska harus kembali berhadapan dengan test swab. Setelah dinyatakan negatif dari penelusuran ini pun ia harus kembali menjalani tes swab karena salah satu perawat yang bekerja bersama dia juga positif. Di bulan Agustus itu hampir setiap minggu Mariska diswab. Laju pertambahan kasus mau tak mau berdampak pada petugas medis atau pun keluarga Dharmais yang mulai terinfeksi satu per satu. Ketatnya penerapan clean hospital tidak serta merta membuat Dharmais betul-betul bersih dari sumber penularan COVID-19. Hantaman pertumbuhan kasus di Jakarta sangat berpengaruh dalam pengendalian penularan COVID-19 di dalam rumah sakit. Karena setiap individu di Dharmais ini bagian dari populasi. Sehingga ketika di luar terjadi ‘kebakaran besar’, RS Kanker Dharmais tidak bisa

114 Kuat Menghadapi Duka di Masa Pandemi sepenuhnya membendung bara itu agar tidak masuk ke dalam. “Kami sudah eman-eman, pasien aman, clean. Ada saja nakes, petugas kami, penunggu yang masih beraktivitas di luar dan terinfeksi. Karena di luar ini membara, ya kita kena apinya,” kata Arif Riswahyudi Hanafi, salah satu komandan dalam Tim KLB. Arif menceritakan bagaimana usaha sedemikian rupa untuk membendung penularan COVID-19 masuk ke rumah sakit memang tidak 100% berhasil. Padahal dalam ukuran nasional, RS Kanker Dharmais termasuk yang berada di atas rata-rata dalam hal penapisan. Terutama bagaimana Dharmais melakukan test swab nasofaring RT-PCR pada semua pasien dan pegawainya. Kecolongan, mengutip istilah Arif, masih kerap terjadi. Ada saja pasien yang terinfeksi justru setelah berada di dalam kawasan rumah sakit. Meski jumlahnya tak banyak, tapi hal tersebut menjadi bukti bahwa tetap ada kebocoran terjadi ketika hujan deras penambahan kasus di luar terjadi. Salah satu yang paling menyayat adalah kisah pasien bedah kanker yang juga sedang hamil. Pasien kanker tersebut harus melakukan mastektomi

#DharmaiStory 115 Antrean panjang screening pengunjung di pagi hari. atau bedah payudara sebab kankernya sudah masuk stadium 3, sementara usia kehamilannya sudah 7 bulan. Sebelum operasi, pasien melakukan test swab nasofaring RT-PCR, lalu langsung menjalani rawat inap untuk persiapan operasi sekaligus agar mengurangi risiko terinfeksi COVID-19. “Kita sudah siap operasi dengan keadaan clean,” kata Arif yang telah berpengalaman selama 8 tahun sebagai dokter spesialis paru. Ia menjelaskan walau sudah dipastikan pasien dan petugas operasinya semua bersih dari COVID-19, mereka tetap menjalankan prosedur operasi dengan menggunakan

116 Kuat Menghadapi Duka di Masa Pandemi APD level 3. Saat perawatan pascabedah, kondisi pasien terus memburuk. Mulai dari sesak napas sampai ketuban pecah dini. Tim bedah langsung menghubungi dokter paru untuk mengecek keadaan pasien secepat mungkin. Saat itu ternyata paru-paru pasien sudah putih semua, tanda pneumonia dan kemungkinan besar terinfeksi COVID-19. Dalam keadaan genting, hasil swab pasien tersebut menjadi prioritas sehingga dapat keluar hari itu dan mengonfirmasi bahwa pasien positif COVID-19. Keadaan telanjur genting. Pasien segera dilarikan ke ruang operasi untuk dilakukan bedah terminasi karena bayi harus segera dikeluarkan. Dokter-dokter spesialis RS Kanker Dharmais diburu waktu dalam misi menyelamatkan si jabang bayi. Bayi tersebut terpaksa lahir prematur, tapi ia mampu bertahan dan hadir di bumi dengan selamat meski kemudian dinyatakan positif COVID-19. Sementara sang ibu sempat bertahan beberapa hari di ruang ICU, namun terus mengalami perburukan dan tidak bisa diselamatkan. “Ibunya kanker stadium lanjut dengan COVID-19, habis mastektomi, dan dilanjutkan sectio. Imun pasien sedang

#DharmaiStory 117 berada di tingkat paling rendah,” jelas Arif. Pasien kanker yang terinfeksi COVID-19 memang sangat rentan mengalami perburukan ketika terinfeksi COVID-19. Apalagi saat mereka selesai menjalani tindakan bedah, radioterapi, atau kemoterapi yang melemahkan sistem imun mereka dan menurunkan sel darah putih. Sehingga tubuh mereka tidak memiliki kemampuan untuk melawan virus yang menginvasi masuk dan merusak organ tubuh. Kasus penularan kepada pasien semacam ini kemungkinan terjadi dari penunggu atau keluarga, orang lain, atau petugas Dharmais sendiri. Sebab, walaupun sudah melalui skrining ketat di rumah sakit, tapi mereka setiap harinya masih beraktivitas di luar, pulang pergi rumah sakit, membeli makanan, berbelanja, atau naik kendaraan umum. Pada akhirnya penularan terhadap petugas Dharmais juga sulit terelakkan, khususnya di bulan Agustus ketika terjadi lonjakan signifikan penambahan kasus di DKI Jakarta. “Saya lihat memang sudah kepayahan sekali saat datang itu, wajahnya pucat, napasnya berat, ngos-ngosan....” Ardian Atmantoro, S.Pd, MM

118 Kuat Menghadapi Duka di Masa Pandemi Hingga 30 Agustus 2020 total ada 90 kasus konfirmasi positif hingga menimpa karyawan RS Kanker Dharmais, termasuk Joko, petugas CCTV yang kemudian meninggal dunia. Itulah kali pertama Dharmais menghadapi langsung kematian pegawainya akibat COVID-19. Saat itu Joko mengambil cuti selama dua hari, cuti tersebut telah ia ajukan sejak sebulan sebelumnya. “Katanya mau urus istri yang sakit,” ujar Ardian, Kepala Subbagian Rumah Tangga RS Kanker Dharmais, yang membawahi Joko. Hari Sabtu sore Ardian menerima panggilan dari nomor telepon Joko. Tapi ternyata orang yang diseberang sana bukan Joko melainkan putranya. “Pak, apa saya boleh membawa Bapak saya ke IGD Dharmais,” kata orang di seberang panggilan tersebut. “Kenapa Pak Joko?” tanya Ardian. Ia sempat mengira bahwa lontaran kalimat itu cuma candaan saja dan menyangka orang di seberang telepon tersebut adalah Joko yang sedang iseng. Joko memang dikenal sebagai tipe yang suka bercanda dan menghibur. “Bapak demam dan muntah-muntah parah, sekarang sudah lemas dan tidak bisa berdiri,” kata anak Joko. Tersadar bahwa tak ada nada bercanda dari kalimat tersebut, Ardian

#DharmaiStory 119 langsung mengabari pihak IGD untuk mempersiapkan perawatan demi menangani Joko. Namun sore itu Joko tidak juga datang. Joko baru tiba esok harinya ketika matahari bahkan belum sepenuhnya terbit. Joko yang terbaring di brankar masih sempat menyapa Ardian dengan kode matanya saat baru turun dari ambulan menuju ke IGD. “Saya lihat memang sudah kepayahan sekali saat datang itu, wajahnya pucat, napasnya berat, ngos-ngosan.” Belum sehari di IGD, Joko mengalami perburukan gejala dan harus dirujuk ke ruang ICU. Sementara saat itu sulit sekali mencari ICU untuk pasien COVID-19 yang tersedia. Baru sore hari RS Kanker Dharmais mendapat jawaban dari Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo yang bersedia menerima rujukan dari Dharmais. Namun, tidak lama Joko bertahan di ruang ICU. Dini hari keesokan harinya, Joko yang memiliki penyakit penyerta diabetes itu berpulang di usianya yang menginjak 55 tahun. Kasus kematian rekan petugas Dharmais menjadi pukulan. Pelacakan kontak segera dilakukan untuk mengetahui dari mana penularan itu terjadi. Namun pelacakan yang dilakukan oleh Tim PPI (Pengendalian

120 Kuat Menghadapi Duka di Masa Pandemi Penyakit Infeksi) RS Kanker Dharmais tidak menemukan adanya kasus positif COVID-19 lain dari pegawai Dharmais yang memiliki riwayat kontak erat dengan Joko. Oleh karena itu perkiraan terbesar, penularan terjadi ketika Joko mengantar sang istri ke rumah sakit. Dalam rapat besar im KLB, Mulawarman menyampaikan duka kehilangan di hadapan jajaran manajemen dan dokter spesialis. Mulawarman menceritakan masa-masa mereka sering bercengkrama di sela waktu makan siang, membicarakan hobinya pada batu cincin. Joko di mata rekan- rekannya adalah orang yang berdedikasi tinggi terhadap pekerjaan, lucu, dan mudah bergaul. “Apa kita sudah maksimal? Saya sendiri merasa belum maksimal,” kata Mulawarman. Baru kali itu para peserta rapat, seluruh pegawai Dharmais, melihat sosok dokter senior tersebut dapat seemosional itu. Menurut Mulawarman, meninggalnya Joko membuatnya semakin khawatir akan keamanan tenaga medis maupun karyawan lain RS Kanker Dharmais. “Saya bilang pada diri saya sendiri, sebagai komandan bagi teman-teman, saya harus mengambil langkah yang benar dan sebaik-baiknya langkah. Alangkah baiknya kita mengambil selangkah lebih maju lagi.”

#DharmaiStory 121 Mulawarman menyampaikan harapan agar Dharmais bisa mengurus sendiri karyawannya yang terinfeksi COVID-19 di rumah sakit ini, baik itu yang kanker atau tanpa kanker. “Karena mereka keluarga kita, teman kita, kita tidak bisa menyia-nyiakan mereka. Kalau kita bisa lebih maksimal lagi di sini, why not?” kata Mulawarman dalam rapat tersebut. Ia sebagai orang yang dipercaya memimpin tim KLB merasa bertanggung jawab untuk mengayomi semua orang di Dharmais, tenaga kesehatan, pasien, dan seluruh pegawai. Deretan peristiwa duka dan kehilangan ini mendorong Dharmais untuk berusaha semakin gigih melindungi seluruh civitas hospitalia. Testing berkala untuk karyawan, layanan rapid test gratis untuk penunggu pasien, penambahan vitamin dan makanan untuk karyawan, pembangunan ruang berkala untuk karyawan, pembangunan ruang isolasi mandiri khusus karyawan Dharmais yang terinfeksi COVID-19, segala daya diupayakan. Selain tetap saling mengingatkan dan menguatkan antar sesama.

122 Bergerak Melindungi Keluarga Dharmais Bergerak Melindungi Keluarga Dharmais “Saya melihat mereka memiliki dedikasi yang sangat tinggi. Mereka berusaha sekuat tenaga menjaga rumah sakit kita, menjaga pasien kita, supaya jangan ada virus bersebaran.” dr. Dian Triana Sinulingga,. M.Epid Pandemi mulai menyentuh jajaran petugas medis. Per Februari saja China mencatat ada lebih dari 3.000 tenaga kesehatannya yang terinfeksi COVID-19. Di Indonesia sendiri kasus kematian tenaga kesehatan akibat COVID-19 mulai terjadi pada pekan terakhir Maret. Kasus kematian pertama

#DharmaiStory 123 yang menimpa tenaga kesehatan dialami oleh Hadio Ali Khazatsin, seorang neurolog di RS Premier Bintaro, dan Djoko Judodjoko, dokter bedah umum di RS Bogor Medical Center. Keduanya dilaporkan meninggal pada 21 dan 22 Maret 2020 akibat COVID-19. Menurut catatan Ikatan Dokter Indonesia, hingga tanggal 3 Oktober sebanyak 130 Dokter dan 92 perawat meninggal akibat Covid-19. Pada saat itu ketakutan di tingkat tenaga kesehatan sangat besar. Bagaimana tidak, saat orang-orang Petugas medis RS Kanker Dharmais sedang memakai APD level 3 dengan teliti sebelum memasuki ruang isolasi.

124 Bergerak Melindungi Keluarga Dharmais menghindari penularan dengan menjaga jarak, petugas medis tetap harus berada di tempatnya menghadapi pasien- pasien. Sementara ketersediaan alat pelindung diri saat itu masih menjadi persoalan baik soal langkanya pasokan maupun distribusi yang belum merata. Kekhawatiran tersebut juga terjadi di RS Kanker Dharmais. Pembukaan ruang rawat pasien kanker terduga COVID-19 sempat mengalami kesulitan dalam menentukan siapa saja perawat yang ditugaskan di ruangan itu. Kondisi tersebut berlangsung di masa-masa awal pandemi datang ketika berbagai sarana masih dipersiapkan dan ketersediaan alat pelindung diri sedang diupayakan. Awalnya RS Kanker Dharmais menempatkan pasien COVID-19 yang menunggu rujukan di ruang dadakan yang yang terbuat dari kontainer. Ruangan tersebut dibuat mendadak saat pandemi pertama kali muncul. Tapi kontainer tidak cukup untuk menampung banyaknya penambahan pasien dengan hasil rapid test reaktif dan masih harus menunggu hasil pemeriksaan molekuler swab RT-PCR. Sebagai antisipasi, maka direncanakan alih fungsi auditorium di lantai 10 sebagai ruang isolasi bagi pasien tersebut. “Tepat tanggal 7 Maret itu saya sedang ada

#DharmaiStory 125 pelatihan di luar, lalu ditelepon oleh kepala seksi,” kata Retno Setiowati, Kepala Bidang Pelayanan Keperawatan RS Kanker Dharmais. Kepala Seksi Pelayanan Keperawatan Rawat Inap Retno Purwanti, yang akrab disapa Wanti, menjelaskan rencana pembuatan ruang isolasi di auditorium tersebut dan kondisi pasien yang akan dirawat di sana. “Waduh terus tenaganya mau gimana? Berarti harus kita susun,” jawab Retno kepada Wanti. Dalam kondisi-kondisi normal saja ketersediaan tenaga perawat di RS Kanker Dharmais memang sudah terbatas. Datangnya pandemi COVID-19 ini menambah beban kerja perawat dan membuat Retno putar otak untuk mengelola personel-personelnya. “Kalau begitu, sanggupnya bisa buat berapa bed?” tanya Wanti. Setelah menghitung-hitung ketersediaan personel, Retno menyetujui untuk memulainya dengan 10 ranjang. Ia merasa mampu menanganinya sebab saat itu ada ruangan yang sedang direnovasi, sehingga dia bisa memobilisasi perawat dari ruangan yang sedang ditutup sementara tersebut. Sebelum perubahan pembagian tugas, diskusi dan

126 Bergerak Melindungi Keluarga Dharmais pendekatan dilakukan. Sebab penugasan di ruang isolasi pasien terduga atau terinfeksi COVID-19 bukanlah hal sepele. Diskusi diperlukan agar semua perawat memiliki pemahaman yang sama terkait COVID-19 lengkap dengan risiko dan cara menanganinya. Selain itu, Retno berharap bahwa perawat yang nantinya bertugas di ruang isolasi itu bersedia karena inisiatif pribadi, bukan paksaan. “Untuk penanganan COVID-19 kita harus punya tim khusus, karena ada kekhawatiran, takut faktor kelelahan perawat atau faktor penularan,” ujar Kepala Bidang Pelayanan Keperawatan RS Kanker Dharmais tersebut. Berbagai tanya dan protes, seperti yang telah dibayangkan, terjadi dalam ruang diskusi tersebut. Persoalan fasilitas pelindung diri hingga jaminan dari rumah sakit atas risiko yang diemban ramai dipertanyakan. Bagaimana pun merawat pasien yang infeksi COVID-19, wabah yang masih belum diketahui sepenuhnya, bukanlah hal sederhana. Perlu ketelitian dan kedisiplinan ekstra dalam merawat pasien sekaligus mencegah diri dari risiko penularan. Apalagi saat itu sudah mulai beredar kabar bagaimana COVID-19 sangat berimbas terhadap kesehatan tenaga medis baik secara fisik maupun mental. Bahkan di Indonesia telah terdapat kasus

#DharmaiStory 127 kematian perawat akibat COVID-19 yakni perawat RSCM Ninuk Dwi Pusponingsih. “Kalian tenang saja. Dengan kita tenang, tidak usah panik, kita bisa kok menyelesaikan ini. Keinginan kalian nanti saya sampaikan,” kata Retno mencoba menenangkan kegelisahan tim perawatnya. Tak hanya mendengarkan keluhan dan permintaan para perawat, Retno pun menyampaikan semua masukan yang ia terima kepada manajemen dan turut memastikan terpenuhinya hak keselamatan dan keamanan para perawat dalam bekerja. Selain didorong dedikasi terhadap profesi, keseriusan RS Kanker Dharmais dalam menyediakan segala fasilitas perlindungan bagi pasien dan pegawainya membuat satu per satu perawat Dharmais berkenan mengajukan diri untuk menjalani tugas khusus ini. Manajemen juga sepakat untuk memberikan insentif tambahan karena saat itu yang dijanjikan pemerintah belum jelas kapan akan diberikan. Tantangan berat yang dihadapi ketika bertugas di lantai 10 membuat banyak perawat kembali menyampaikan seperti kondisi kerja yang mereka hadapi di lapangan. “Mereka cerita sampai nangis-nangis,” kata Retno. Ruangan yang disediakan secara mendadak tersebut saat itu memang

128 Bergerak Melindungi Keluarga Dharmais Edukasi protokol kesehatan bagi pengunjung rumah sakit belum cukup mumpuni sebagai ruang isolasi bertekanan negatif. Pemasangan oksigen mesti dilakukan secara manual setiap 8 jam sekali. Sementara yang diizinkan untuk keluar masuk ruangan tersebut hanyalah perawat. Sehingga beban untuk mengganti tabung oksigen pun menjadi tugas tambahan para perawat yang bertugas. “Mereka perempuan badannya kecil-kecil, harus menggeret-geret tabung oksigen sebesar itu,” tutur Retno. Selain harus menyeret tabung oksigen, sejumlah tugas tambahan lain juga muncul karena hanya dokter dan

#DharmaiStory 129 perawat saja yang diperbolehkan keluar masuk ruangan. Kondisi tersebut menyebabkan kelelahan luar biasa dialami oleh para perawat. Retno pun meminta pemenuhan gizi bagi perawatnya dapat terjamin. “Saya juga butuh farmasi dan tim gizi, dan saya juga butuh makan tambahan buat perawat,” tutur Retno saat berbicara dengan pimpinan. Semua itu dilakukan demi perawat yang beban kerjanya cukup berat dan tetap menjalankan tugasnya dengan hati lapang. Apalagi tidak sedikit pasien kanker yang terinfeksi COVID-19 ini merupakan pasien yang membutuhkan total care. Para perawat ini menjaga pasien dalam ruang isolasi yang sendirian dan kesepian karena tak ada sanak keluarga yang diperbolehkan ikut menunggui. Tak jarang mereka meluangkan waktunya untuk mendengarkan keluhan dan curhatan pasien sedikit lebih lama daripada seharusnya walaupun mereka sendiri tidak nyaman harus berlama-lama di dalam baju hazmat. Mengelola beban kerja perawat sungguh harus dipahami dengan teliti dari berbagai aspek, bukan hanya menempatkan satu orang untuk mengerjakan satu pekerjaan. Semakin hari pasien kanker yang terinfeksi COVID-19 semakin bertambah. Apalagi RS Kanker Dharmais juga ditunjuk sebagai rumah

130 Bergerak Melindungi Keluarga Dharmais ...dari beberapa perawat justru dengan lapang hati menawarkan diri. Bu, saya tidak apa-apa ditugaskan di ruang isolasi lagi.... sakit rujukan COVID-19. Usai renovasi ruang perawatan di Anyelir selesai, para pasien yang semula menempati ruang aula di lantai 10 itu pun dipindahkan ke Ruang Rawat Anyelir di lantai dasar. Selain penambahan ruang isolasi, terdapat penambahan dua ruang rawat pneumonia yakni ruangan yang digunakan untuk pasien kanker yang memiliki gejala pneumonia dan harus menunggu hasil test swab keluar. “Harus atur personil lagi nih,” pikir Retno. Akhirnya mereka memutuskan menutup satu lagi ruang rawat untuk mengalokasikan tenaga ke ruang isolasi dan ruang pneumonia. “Perawat-perawat saya kumpulin, saya bilang, ‘Pokoknya kalian tenang ya, kita nanti juga akan dikasih ilmunya cara pakai APD yang aman’,” Retno menenangkan perawat yang lain. Demi melindungi perawatnya, manajemen RS Kanker Dharmais bersepakat untuk memberi mereka makan,

#DharmaiStory 131 snack, vitamin, bus antar jemput, fasilitas menginap tujuh hari di hotel setelah dinas di ruang isolasi, dan insentif dari rumah sakit sebelum insentif langsung dari Kementerian Kesehatan turun. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kondisi kesehatan baik fisik maupun mental para perawat setelah berjibaku di ruang isolasi. Setelah melihat bagaimana tim pertama bisa dengan aman bekerja di ruang isolasi perawat-perawat lainnya mulai lebih terbuka jika ditugaskan dinas di sana. Retno dan tim mulai membuat sistem rotasi tim perawat per tiga pekan. “Jadi tidak terus-terusan mendinaskan perawat itu di ruang positif.” Padahal dari beberapa perawat justru dengan lapang hati menawarkan diri. “Bu, saya tidak apa-apa ditugaskan di ruang isolasi lagi,” kata salah seorang perawat kepada Retno. Ia menawarkan diri karena melihat Retno kepusingan merotasi perawat setiap bulannya. Tapi Retno tidak mengizinkan satu perawat terlalu lama berdinas di ruang isolasi tanpa rotasi sebab semakin lama berdinas di sana maka risiko tertular pun akan semakin tinggi. Saat PSBB dilonggarkan, pasien kanker yang positif COVID-19 semakin bertambah. Tenaga perawat yang

132 Bergerak Melindungi Keluarga Dharmais dibutuhkan juga semakin banyak. Tapi saat-saat itu juga mulai banyak perawat yang positif. Per Agustus 2020, ada 90 karyawan Rumah sakit Dharmais yang terinfeksi COVID-19 dan 32 diantaranya tenaga perawat. “Pasien bertambah terus, sekarang sedang dibangun HCU baru, sedangkan 30 perawat masih isolasi,” kata Retno. Setiap pegawai Dharmais yang terinfeksi COVID-19 harus dinyatakan dua kali negatif melalui pemeriksaan swab sebelum diizinkan kembali bekerja. Jika tidak, maka ia harus tetap menjalani isolasi terlebih dulu. Salah satu cerita menarik datang seorang perawat yang telah menjalani isolasi di RS Darurat Wisma Atlet selama sebulan lebih lamanya. Meski telah begitu lama menjalani isolasi, hasil pemeriksaan tak kunjung menunjukkan tanda negatif COVID-19. Heran dengan kondisi tersebut, Jaka Pradipta, dokter spesialis paru RS Kanker Dharmais yang juga bertugas di RSD Wisma Atlet, diminta untuk menemui perawat ini. “Perawat ini ternyata khawatir tidak digaji karena isolasi dalam waktu lama. Kemungkinan kekhawatiran itu yang membuatnya tidak kunjung negatif,” prediksi Jaka. Setelah Jaka menyampaikan berita bahwa manajemen Dharmais

#DharmaiStory 133 tetap akan memberikan gaji secara utuh, perawat ini akhirnya menerima hasil negatif di pemeriksaan berikutnya. Lama waktu melawan si virus hingga akhirnya negatif bagi setiap orang berbeda-beda, walaupun sama-sama tak mengalami gejala. Kondisi psikologis ternyata memang sangat memengaruhi kondisi kesehatan mereka yang terinfeksi. Demi menutup kekurangan tenaga yang sedang terjadi, Retno dengan berat hati terpaksa meminta kesediaan para perawat untuk mengurangi jatah libur dan tetap berdinas untuk sementara waktu. “Jadi saya puter saja tenaga yang ada. Ya Allah, jangan sampai perawat-perawat ini sakit, saya mohon begitu,” doa Retno. “Setiap ada perawat yang positif COVID-19, tugas dia dikerjakan rekannya. Jadi harus long shift, yang tadinya kerja 8 jam jadi 12 jam malah ada yang 24 jam. Meskipun di-support makanan dan vitamin setiap hari nih, tapi siapa sih yang bisa kuat ketika tenaganya terforsir begitu?” kata Kepala Bagian Sumber Daya Manusia (SDM) Ockti Palupi. Kehilangan tenaga perawat sebanyak ini tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Setiawaty, Direktur SDM, Pendidikan, dan Penelitian. Melihat semakin banyaknya

134 Bergerak Melindungi Keluarga Dharmais tenaga yang harus diisolasi, Waty, begitu panggilan akrabnya, menghubungi Kementerian Kesehatan dan rumah sakit- rumah sakit rekanan untuk meminta bantuan pinjaman tenaga perawat. “Kami memang biasa saling bantu, bertukar tenaga perawat jika rumah sakit lain membutuhkan bantuan,” kata Waty. Tapi kali ini kondisi berbeda. Semua rumah sakit sedang mengalami kesulitan serupa dan membutuhkan tenaga ekstra, apalagi bagi rumah sakit rujukan COVID-19. Jika situasi seperti ini dibiarkan terus dan berlarut, Waty khawatir tenaga kesehatan yang masih fit dan tersisa saat ini akan mengalami kelelahan. Maka demi menambal kurangnya tenaga kesehatan tersebut, Waty menugaskan Kepala Bagian SDM untuk merekrut 100 perawat baru. Tapi merekrut tenaga perawat baru itu harus melalui serangkaian tes yang cukup panjang. Mulai dari tes kemampuan dasar, tes psikotes, hingga tes kesehatan. Selain itu, tim SDM juga harus mencari cara agar mendapatkan tenaga perawat yang kompeten melalui serangkaian tes yang harus digelar secara online. “Targetnya pertengahan Oktober baru bisa bergabung yang 100 perawat baru ini,” kata Ockti.

#DharmaiStory 135 Sulitnya mengelola sumber daya manusia adalah tantangan baru yang dihadapi RS Kanker Dharmais. Bukan hanya persoalan pembangunan fasilitas tambah, memahami psikologis dan menyamakan visi seluruh pegawai dalam menghadapi wabah yang baru dialami adalah tugas besar yang sungguh kompleks. Ketika program skrining hendak dijalankan, mencari tenaga yang bersedia berjaga dan berhadapan langsung dengan pasien di depan juga cukup Petugas dengan mengenakan APD sedang melakukan pemeriksaan laboratorium

136 Bergerak Melindungi Keluarga Dharmais sulit. Meski tak terdengar penolakan secara langsung, terkadang rasa takut dan waswas membuat sejumlah petugas absen dari jadwalnya bertugas. “Alasannya takut,” tutur Ockti. Saat di masa awal menghadapi pandemi, RS Kanker Dharmais masih melakukan proses skrining secara manual. Setiap pasien dan pengunjung diwajibkan mengisi formulir tertulis terlebih dulu secara manual. Oleh karena itu dibutuhkan sejumlah pegawai yang siap untuk menjaga di bagian administrasi skrining tersebut. Alhasil, petugas yang berjaga di bagian depan proses skrining mesti mengandalkan perawat, dokter umum, termasuk tim keamanan dan staf administratif seperti humas. Untuk mencari tenaga administrasi tersebut, bagian SDM bertanya kepada setiap unit adakah stafnya yang berkenan membantu tugas tersebut. “Awal pandemi itu pada takut, karena memang harus duduk di depan dan berhadapan dengan pasien, orang asing, dan takut tertular,” kata Ockti. Kondisi tersebut amat sangat wajar dan dipahami oleh pihak manajemen. Oleh karena itu berbagai pendekatan dilakukan, termasuk pengeluaran Surat Keputusan yang meminta setiap unit dapat mengirimkan salah seorang

#DharmaiStory 137 stafnya untuk bergiliran menjadi bagian dari tim skrining. “Kita sih paham karena memang tidak semua orang punya keberanian untuk berhadapan dengan orang asing, dalam hal ini karena pada fase pandemi mereka kan berisiko terpapar virus. Nah ada orang yang benar-benar ketakutan, mungkin karena punya komorbid ya, itu bisa kita pahami,” papar Ockti. Mempertimbangkan hal tersebut, pengaturan ekstra terkait kriteria siapa saja yang dapat menjadi petugas tim skrining dibuat seperti standar usia dan bebas dari penyakit penyerta atau komorbid apapun. Masa-masa sulitnya mengalokasikan sumber daya untuk menjadi petugas tim skrining mulai terbantu ketika Instalasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) mengubah proses manual pengisian formulir menjadi sistem daring melalui scan barcode. Hal tersebut cukup membantu proses skrining sebab cukup dibutuhkan dua orang personil saja yang bertugas di depan untuk membantu pasien dan pengunjung mengisi formulir tersebut secara online. “Jadi setiap unit ini sama-sama melihat masalah dan apa yang bisa dilakukan,” kata Ockti. Beradaptasi di masa pandemi memang membutuhkan kesigapan dan fleksibilitas. Imbauan pemerintah agar

138 Bergerak Melindungi Keluarga Dharmais semuanya bekerja dari rumah atau work from home pun sebisa mungkin dilaksanakan oleh RS Kanker Dharmais. Selain itu, Tim Pengendalian Penyakit Infeksi Dharmais pun meminta hal serupa. Tujuannya adalah untuk sebisa mungkin mengurangi populasi di dalam kawasan rumah sakit. Oleh karena itu manajemen memutuskan agar seluruh staf yang berusia di atas 60 tahun dan memiliki komorbid untuk bekerja dari rumah, terutama mereka yang tidak bersinggungan langsung dengan layanan medis. “Awal-awal WFH itu penuh kekacauan, kita gagap banget,” ucap Kepala Bagian SDM tersebut. Kekacauan yang dimaksud terjadi sebab banyak dari mereka yang menjalani WFH menemui kesulitan untuk hanya bekerja dari rumah, menghadapi laptop sepanjang hari, dan daring. Perubahan cara kerja yang terjadi mulai dari sistem absensi hingga penilaian kerja secara online menjadi hal baru yang mendadak harus diterapkan lebih masif. Butuh waktu bagi karyawan termasuk para dokter untuk dapat beradaptasi dengan pola kerja baru tersebut. “Ada dua dokter sepuh diatas 60 tahun yang akhirnya WFH 3 kali dalam seminggu,” kata Haridini Intan, dokter spesialis anak yang kini menjabat Kepala Bidang Pelayanan

#DharmaiStory 139 Medik RS Kanker Dharmais. Di satu sisi ia tak mau para dokter tersebut berisiko terinfeksi ataupun kelelahan sebab hal tersebut akan berdampak buruk bagi pelayanan. Kelelahan fisik menambah risiko tertular COVID-19 bagi tenaga medis senior, apalagi jika memiliki komorbid tertentu. Oleh karenanya sebisa mungkin jadwal kunjungan mereka ke rumah sakit dikurangi. “Soal pelayanan, dokter itu sudah dalam darah ya. Saya pribadi mau tetap masuk untuk melayani. Tapi sebagai manusia kami juga lelah, harus mengedepankan perlindungan untuk diri sendiri juga,” kata Haridini. Maka RS Kanker Dharmais mengambil kebijakan mengurangi beban pasien sebesar 20 persen dan jadwal pelayanan di rumah sakit bagi dokter yang berusia lanjut. Sementara sisa pasien yang tidak tertangani diatur ulang untuk tetap bisa mendapatkan perawatan. Selain itu, RS Kanker Dharmais juga mulai semakin mengaktifkan layanan konsultasi daring melalui aplikasi RSKD Mobile sehingga dokter dapat melayani pasien meski tak dapat bertatap muka. Namun layanan ini masih terbatas untuk pasien lama dengan rekam medis yang telah tercatat dan dipahami oleh dokternya. Meski cukup

140 Bergerak Melindungi Keluarga Dharmais sulit untuk beradaptasi dengan konsultasi daring, terlebih layanan kesehatan bagi pasien kanker yang notabene butuh pemeriksaan lebih, namun ini adalah salah satu upaya RS Kanker Dharmais agar layanan mereka dapat lebih mudah diakses dan kondisi pasien dapat tetap terpantau. Ketika PSBB dilonggarkan pada tanggal 5 Juni, RS Kanker Dharmais mencabut kebijakan work from home. Semua karyawan dapat kembali bekerja di rumah sakit namun dengan peraturan yang cukup ketat. Pada awal Juni itu, RS Kanker Dharmais telah memiliki laboratorium suhu secara otomatis, serta asupan makan dan vitamin untuk seluruh karyawan masih tetap diberlakukan. Maka ketika semua petugas medik kembali bekerja secara penuh di rumah sakit, upaya untuk melindungi lingkungan RS Kanker Dharmais dari penularan COVID-19 telah kian mapan.

#DharmaiStory 141 Mencegah dan Mencari Biang Penularan “Kita memastikan tenaga kesehatan benar-benar negatif COVID-19, baru diperbolehkan merawat pasien.” dr. Christine Sugiarto, Sp.PK Setiap kali menemukan satu kasus positif dari kalangan pegawai RS Kanker Dharmais, Kepala Tim Pengendalian Penyakit Infeksi (PPI) RS Kanker Dharmais Christine Sugiarto pusing kepala. Bukan dia saja, tapi 5 orang timnya juga harus bersiap kerja keras putar otak mencari sumber penularan

142 Mencegah dan Mencari Biang Penulaaran yang hampir tak berujung. Sebab satu kasus konfirmasi positif COVID-19 bisa melibatkan belasan hingga puluhan orang yang sempat melakukan kontak langsung sebelum kasus tersebut ditemukan. Terlebih ketika situasi pandemi tak lagi terasa genting dan banyak orang yang mulai abai atau sedikit lengah dalam menerapkan protokol kesehatan. Di tengah kondisi tersebut, RS Kanker Dharmais melakukan pengecekan secara berkala kepada seluruh karyawannya. Selain tes swab bagi setiap tenaga kesehatan yang menangani pasien kanker dengan COVID-19, tes juga dilakukan untuk seluruh pegawai secara bertahap dan bagi mereka yang telah menjalani isolasi mandiri. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan tenaga kesehatan dan pegawai yang masuk RS Kanker Dharmais bebas dari virus SARS-CoV-2 serta demi melindungi pasien yang tengah menjalani perawatan. Setiap temuan kasus positif COVID-19 dialami oleh pegawai, penelusuran kontak dan tes swab pun dilakukan. “Setiap hari rasanya seperti perang. Setiap kali ada pesan masuk (mengabarkan hasil swab) itu saya pasti, ‘Ini siapa lagi yang positif’?” kata Christine menghela napas. Sebagai dokter patologi klinis, ia berkomunikasi dengan tim di laboratorium

#DharmaiStory 143 Jarak dan pembatas antara petugas dan keluarga pasien tidak mengurangi keefektifan bekerja. hampir setiap saat. Ketika hasil tes PCR COVID-19 milik karyawan RS Kanker Dharmais keluar, lembaran hasil tersebut biasanya difoto lalu dikirim ke tim PPI. Selanjutnya, tim PPI akan segera meminta karyawan tersebut melakukan isolasi mandiri dan melakukan penyelidikan epidemiologi COVID-19. Karyawan tersebut akan ditanya mulai dari gejala, kegiatan selama 14 hari ke belakang, dan siapa saja yang sempat berkomunikasi langsung dengannya di RS Kanker Dharmais. Dari situlah tim PPI kemudian menghubungi

144 Mencegah dan Mencari Biang Penulaaran pegawai lainnya yang sempat melakukan kontak erat untuk kemudian diperiksa. Namun, apa yang terjadi di lapangan seringkali memang tak semudah teorinya. Selalu ada saja tantangan yang kemudian dihadapi ketika melakukan penyelidikan epidemiologi, misalnya saja dalam upaya mendapat pengakuan yang sejujur-jujurnya. Ada saja yang enggan mengakui kegiatannya selama 14 hari terakhir ketika mengisi formulir epidemiologi saat PPI melakukan penelusuran. Mulanya bisa mengaku tidak melakukan kontak erat, sampai beberapa hari kemudian timbul gejala-gejala COVID-19 yang membuatnya terpaksa melapor ke PPI. “Jadi kalau ada satu yang positif itu uler-uleran-nya nggak kelihatan di mana ujungnya,” tutur Mutiara Adelina, anggota PPI yang bertugas dalam melakukan pelacakan kontak tersebut. Setelah dilakukan pelacakan, kegiatan remeh dan kebiasaan sehari- “Setiap hari rasanya seperti perang. Setiap kali ada pesan masuk (mengabarkan hasil swab) itu saya pasti, ‘Ini siapa lagi yang positif’?” dr. Christine Sugiarto, Sp.PK

#DharmaiStory 145 hari yang sulit diubah yang biasanya menjadi penyebab penularan. “Setelah ditelusuri, ternyata habis makan es cincau bareng. Makan cincau Rp 5.000, tes COVID-19 nya Rp.1 juta,” kata Christine. Kegiatan-kegiatan seperti itulah yang seringnya menjadi penyebab penularan, meski telah selalu diingatkan. Pernah pada satu kasus, seorang karyawan RS Kanker Dharmais positif, PPI menelusuri setiap kontaknya dan menemukan satu rekannya positif juga. Semakin ditelusur, akhirnya diketahui mereka menumpang satu mobil teman saat berangkat ke kantor bersama dua orang lainnya. Ketiga pegawai tersebut dites swab dan semua menunjukkan hasil positif COVID-19. Belum usai, dari ketiga orang tersebut dilakukan kembali pelacakan kontak baik itu terhadap keluarga dan teman-teman di rumah sakit yang sempat melakukan kontak. Hasilnya, PPI menemukan sumber penularan berasal dari klaster keluarga salah seorang pegawai dan menemukan 11 orang positif dalam keluarga tersebut. Perbedaan sikap dalam menghadapi wabah yang sedari awal terjadi berlanjut hingga delapan bulan kemudian. Jika di awal kemunculan wabah lebih banyak orang panik dan

146 Mencegah dan Mencari Biang Penulaaran waspada berlebihan dalam hal menjaga kesehatan, semakin berjalannya waktu kewaspadaan tersebut luntur. Meskipun di rumah sakit setiap hari dan hampir setiap jam diingatkan untuk melakukan jaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan, namun kondisi secara umum disiplin protokol kesehatan semakin luntur. Orang-orang tetap berangkat liburan beramai-ramai atau makan di tempat umum bersama-sama, situasi genting menghadapi wabah hampir Petugas cleaning service melakukan disinfeksi, memastikan setiap sudut area di RS Dharmais higienis.

#DharmaiStory 147 tak terasa. Ada di antara mereka yang betul-betul menjaga diri sampai-sampai memutuskan tidak pulang berminggu- minggu padahal di rumah punya bayi. Tapi ada juga yang terlalu santai dan menyepelekan imbauan-imbauan yang sudah dibuat. Sebagai bagian dari populasi, kondisi tersebut tentu saja turut memengaruhi kegiatan sehari-hari pegawai RS Kanker Dharmais baik secara langsung ataupun tidak hingga terjadi berbagai keteledoran yang dilakukan di kalangan tenaga kesehatan sendiri. Mencuci tangan dan menjaga kebersihan memang sudah menjadi kebiasaan karyawan RS Kanker Dharmais, jadi tak sulit untuk menerapkannya sebagai kebiasaan baru di masa pandemi. Pengunjung ataupun karyawan RS Kanker Dharmais akan dengan mudah menemukan hand sanitizer di dekat pintu masuk rumah sakit, di dinding ruang tunggu, di depan lift, di samping pintu setiap ruangan, dan banyak tempat lainnya. Saking terbiasanya dalam hal menjaga kebersihan tangan, banyak pegawai sering membawa hand sanitizer sendiri di sakunya sebagai barang yang wajib ada. Namun memenuhi anjuran untuk menjaga jarak dan memakai masker tak sesederhana kedengarannya. “Hal yang susah dihilangkan itu kebiasaan ngerumpi. Ngerumpi dan

148 Mencegah dan Mencari Biang Penulaaran budaya makan bersama itu yang sulit sampai hari ini,” ujar Adelina. Mengobrol sambil jajan atau makan berhadapan, lalu ketika berada di ruang ganti, membuat mereka lengah dan melepas masker. Sekali dua kejadian, meski telah diminta untuk membawa peralatan salat masing-masing, namun kenyataannya masih ada saja yang pinjam-meminjam alat salat yang bisa berpotensi besar menjadi sumber penularan. Berinteraksi dengan teman di tempat kerja memang seringkali menurunkan kewaspadaan. Barangkali kita bisa saja mengira mengenal dengan baik orang tersebut dan yakin bahwa temannya tidak akan menularkan virus corona. Padahal setiap orang tidak pernah tahu aktivitas masing- masing dalam satu pekan ke belakang. “Bisa saja tertular saat perjalanan, di angkutan umum, saat berbelanja, atau saat nebeng mobil teman,” kata Adelina. Klaster keluarga juga bisa menular dan masuk ke rumah sakit dengan cara seperti ini. Menyepelekan hal-hal kecil yang berdampak besar pada pertumbuhan kasus penularan COVID-19 di RS Kanker Dharmais bukan sekali dua kali terjadi. Dalam catatan PPI penularan yang terjadi antar pegawai, baik yang dialami oleh tim medik maupun staf non-medik, lebih banyak terjadi

#DharmaiStory 149 ketimbang penularan dari pasien ke tenaga kesehatan. Penularan dari pasien ke tenaga medis yang terjadi pun ternyata lebih banyak terjadi bukan di zona merah atau ruang isolasi yang merupakan ruangan bagi pasien yang telah dikonfirmasi terinfeksi COVID-19. Penularan lebih berpotensi terjadi malah di area zona hijau seperti ruang rawat inap pasien non-COVID-19 yang sebelum masuk telah dikonfirmasi negatif. Namun kemudian gonta-ganti atau keluar masuknya penunggu ternyata menjadi salah satu sumber penularan di RS Kanker Dharmais. Akhirnya banyak perawat yang justru merasa lebih yakin dan tenang bekerja di zona merah. Selain mereka tahu tingkat kewaspadaan yang harus mereka terapkan karena menghadapi pasien kanker dengan COVID-19, mereka juga merasa lebih aman karena menggunakan APD lengkap. Beda halnya dengan ruang rawat inap biasa atau zona hijau yang dianggap abu-abu. “Karena kita nggak tahu nih pasiennya bisa saja pada saat masuk negatif COVID-19 nanti tiba- tiba jadi positif COVID-19,” ujar Monika Rini, salah seorang perawat yang biasa bertugas di ruang isolasi.

150 Mencegah dan Mencari Biang Penulaaran Beradaptasi dengan pandemi Kewaspadaan terhadap penularan COVID-19 naik turun. Terkadang ketakutan berlebihan di waktu yang lain terkesan sangat santai. Adelia ingat betul respons civitas RS Kanker Dharmais pada awal mula pandemi di Indonesia. Bulan Maret, ketika kasus penularan dari puluhan berubah dengan cepat ke angka ratusan ketakutan setiap individu di RS Kanker Dharmais sangat terasa. Setiap orang meminta untuk disediakan masker N95 dan hampir setiap tim medik yang menangani pasien ingin mengenakan APD level 3. Sedangkan ketersediaan barang tersebut sangat-sangat terbatas di masa itu, bukan karena tidak ada anggaran tapi memang kosong di pasaran. Selain mempertimbangkan ketersediaan APD, Tim PPI RS Kanker Dharmais juga membuat Panduan Penggunaan APD dengan menilai level risiko di masing-masing zonasi yang telah ditetapkan. Penggunaan APD level 3 termasuk di dalamnya hazmat dan masker N95 hanya disarankan untuk mereka yang bertugas di zona merah dan atau berkontak erat dengan pasien terduga maupun terkonfirmasi COVID-19.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook