Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore #Dharmaistory: Kiprah dan Kisah RS Kanker Dharmais Menangani Pandemi COVID-19

#Dharmaistory: Kiprah dan Kisah RS Kanker Dharmais Menangani Pandemi COVID-19

Published by anjari, 2021-01-17 05:44:30

Description: Buku inspiratif dan menarik, menceritakan apa yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan dan civitas hospitalia RS Kanker Dharmais dalam menangani pandemi Covid-19.

Buku yang terbit serangkaian Hari Ulang Tahun RS Kanker Dharmais ke-27 ini disajikan dalam kemasan ringan dengan gaya bertutur yang bersumber dari dokter, perawat, petugas yang melayani pasien kanker yang terpapar atau tertular Covid-19. Ada juga sumber cerita dari anak pasien kanker yang positif Covid-19.

#DharmaiStory bisa menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi siapa saja sekarang ini atau di masa depan dalam menangani pandemi Covid-19 atau wabah lain.

Keywords: RS Kanker Dharmais,RSKD,Dharmais,Covid-19,Bersatu Melawan Covid-19,Anjari Umarjiyanto,anjarisme

Search

Read the Text Version

#DharmaiStory 151 Bantuan masyarakat untuk RS kanker Dharmais sebagai bentuk kepedulian di tengah pandemi Covid19. “Kita harus rasional karena benar-benar kekurangan semua APD. Masa semuanya mau pakai N95 dan hazmat,” kata Ketua Tim PPI, Christine. Lagi pula penggunaan hazmat bisa jadi pedang bermata dua. Tenaga medis yang diharuskan APD level 3 ini saja harus belajar secara cepat dan teliti. Setiap APD harus dilepas dengan urutan tertentu dan urutan tersebut tidak boleh tertukar satu sama lain. Satu kesalahan sederhana dalam urutan melepas APD level 3 bisa membuat mereka

152 Mencegah dan Mencari Biang Penulaaran terkontaminasi virus dan kemungkinan besar bisa terinfeksi. “Kami edukasi pentingnya penggunaan APD yang tepat pada tempatnya, termasuk segala hal tentang apa itu coronavirus disease, bagaimana penularannya, apa yang perlu dihindari, termasuk makan bersama, dan ngobrol itu adalah kontak erat,” kata Adelina. PPI juga sejak awal sudah mengingatkan untuk membawa alat ibadah dan alat makan pribadi. Setelah penjelasan tersebut disampaikan, panduan penggunaan APD tersebut mulai diterima. Setiap divisi menggunakan APD sesuai level yang dianjurkan dan zona penugasan. Tidak ada lagi yang menuntut menggunakan hazmat dalam kondisi yang menurut panduan tidak diperlukan. Selain penggunaan APD level 3 sesuai zonasi, masker medis menjadi barang wajib yang harus dikenakan di segala kondisi. Di sini lah salah satu tantangan besar dihadapi. Kewaspadaan yang kian turun seiring berjalannya waktu dan pelonggaran PSBB turut menjadi faktor penyebab turunnya disiplin penggunaan masker. Begitu banyak kegiatan sehari- hari yang tanpa sadar membuat para pegawai baik staf medik maupun non-medik menurunkan bahkan melepas masker mereka sementara waktu, seperti waktu makan,

#DharmaiStory 153 jajan bersama, mengobrol, dan lain sebagainya. Selain itu, imbauan untuk menghindari keramaian dan kerumunan sulit ditegakkan. DI masa adaptasi kebiasaan baru alias new normal banyak warga yang kembali beraktivitas di luar ruangan, makan di kafe, dan sebagainya. “Di luar RS Kanker Dharmais kan kami tidak bisa memantau kegiatan karyawan,” tutur Christine. Sebab, menurutnya, bagaimana pun tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan itu juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan sekitarnya. “Jikalau sekitarnya makin banyak yang positif, baru mereka rajin kembali menerapkan protokol kesehatan. Jadi sekarang (per September 2020) sudah lumayan patuh kembali, meskipun harus melewati kepahitan dulu,” kata Christine. Tantangan demi tantangan Demi menerapkan disiplin menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan alias 3M demi mencapai target clean hospital, PPI juga menyarankan untuk melakukan pembatasan-pembatasan pada fasilitas umum di RS Kanker Dharmais. Christine melihat ada risiko besar terjadinya penularan di masjid RS Kanker Dharmais. Karena itu ia memutuskan untuk menutupnya dan mengimbau karyawan

154 Mencegah dan Mencari Biang Penulaaran untuk menjalankan ibadah di ruangan masing-masing. Keputusan penutupan ini berbarengan dengan imbauan pemerintah untuk menutup tempat ibadah di beberapa wilayah di Indonesia yang termasuk kategori zona merah. Jadi tidak ada kendala signifikan dalam menutup masjid di RS Kanker Dharmais. Saat PSBB dilonggarkan, penutupan masjid ini menimbulkan polemik. PPI memutuskan untuk tetap menutup masjid walaupun pemerintah sudah melakukan pelonggaran aturan. Menurut PPI, masjid di rumah sakit itu berada di zona merah dan jemaah yang hadir itu datang dari berbagai tempat. Sejumlah protes muncul dari beberapa pihak yang ingin masjid dibuka dengan alasan pandemi tidak boleh membuat mereka mengurangi ibadah. “Hal-hal seperti ini sulit untuk saya hadapi,” kata Christine. Sebagai nonmuslim, ia khawatir keputusannya bisa menyinggung umat muslim. Keputusan yang menyangkut urusan agama memang harus dihadapi dengan kepala dingin dan mencari jawaban yang tidak menyalahi anjuran ibadah agama tersebut. Tim PPI akhirnya mencari guru agama untuk berkonsultasi dan memastikan bagaimana hukumnya menutup masjid dalam keadaan darurat

#DharmaiStory 155 Antrean pengambilan obat, seluruh pengunjung memakai masker dan menjaga jarak. kesehatan. Dari diskusi ini PPI juga menyarankan karyawan RS Kanker Dharmais untuk melaksanakan sholat dengan tetap mengenakan masker. Tantangan demi tantangan muncul tidak ada habisnya, satu selesai yang lain muncul. Pasien kanker yang akan ditangani RS Kanker Dharmais semuanya sudah dinyatakan

156 Mencegah dan Mencari Biang Penulaaran Pasien dan pengunjung menunggu pemeriksaan swab negatif COVID-19 melalui tes PCR. Seluruh karyawan baik tenaga medis maupun karyawan divisi manajemen melakukan rapid test dan swab secara berkala. Tantangan selanjutnya untuk bisa melakukan skrining pada penunggu pasien dengan lebih baik karena selama ini baru melewati skrining dan penapisan awal tanpa tes. “Kalau kita pikir pasien kanker itu tidak bisa kemana- mana dan relatif lebih aman bisa jadi salah. Sebab ada penunggu (wali) dari pasien kanker,” kata Christine. Selama menemani pasien di ruang rawat, penunggu kerap perlu keluar untuk membeli makan atau pulang sementara ke

#DharmaiStory 157 rumah. Kondisi tersebut membuat penunggu berisiko untuk menjadi sumber penularan, apalagi jika penunggu si pasien berganti-ganti setiap waktu. Sejak Oktober, RS Kanker Dharmais menerapkan kebijakan bahwa penunggu pasien harus melakukan tes swab terlebih dulu. Tes diberikan oleh pihak rumah sakit secara gratis seperti pasien sebagai bagian dari layanan. Mereka juga diimbau agar tidak melakukan aktivitas di luar rumah sakit jika tidak diperlukan dan sebisa mungkin penunggu tidak bergonta-ganti. Jika penunggu pasien akan diganti, maka penggantinya juga harus melakukan tes minimal dengan rapid test. Selain penunggu, PPI bersama tim penanganan kejadian luar biasa (KLB) juga sedang membahas untuk melakukan skrining rapid test atau swab jika memungkinkan untuk pegawai kantin. Sebab pegawai kantin merupakan kelompok yang rutin berkontak dengan pengunjung maupun karyawan RS Kanker Dharmais. Mereka menjadi salah satu kelompok yang rentan terinfeksi atau menginfeksi di dalam rumah sakit. Oleh sebab itu penyelerasan kebijakan bagi pegawai kantin mulai mendapat perhatian tim KLB. Pertimbangan melakukan skrining terhadap pegawai kantin termasuk

158 Mencegah dan Mencari Biang Penulaaran menghitung berapa orang yang harus dites dan berapa biaya yang harus dikeluarkan. “Karena kantin belakang jelas harus dalam tanggungan rumah sakit,” ucap Christine. Kondisi kantin belakang yang merupakan warung makan kecil memang berbeda dengan kantin yang terdapat di lantai 2 yang notabene memiliki sumber daya untuk melakukan pengetesan sendiri bagi pegawainya. Walaupun tidak menutup kemungkinan setelah swab pegawai kantin tersebut bisa saja tertular karena harus ke pasar, berbelanja, dan kegiatan lainnnya. Tapi setidaknya secara berkala kondisi dapat lebih terpantau dan terdeteksi lebih cepat jika ada kasus positif COVID-19. Semaksimal apapun upaya yang sudah dilakukan saat ini, Tim KLB yakin akan ada kejutan-kejutan lain yang membuat mereka harus melakukan gebrakan-gebrakan selanjutnya. Penularan COVID-19 di RS Kanker Dharmais tidak sepenuh bisa dihentikan sampai kasus penularan di Indonesia selesai. “Kita bisa melakukan physical distancing, tapi mau sampai kapan begitu terus? Akan ada saja momen- momen kita bertemu dengan orang, pesan makanan, kita masih harus menjalankan kehidupan. Kalau di luaran begini terus, tetap masih susah,” Kata Christine.

#DharmaiStory 159 “Sebagai PPI, saya melihat apa yang terjadi di luar rumah sakit akan berpengaruh ke dalam rumah sakit juga. Angkutan umum masih beroperasi penuh, masih ada kumpul-kumpul, masih ada yang makan di dalam warung makan padahal dilarang,,” tekannya kemudian. Terlalu banyak variabel yang di luar kendali rumah sakit untuk bisa mencapai target seratus persen bersih dari penularan. Akhirnya yang bisa dilakukan pihak rumah sakit adalah terus melakukan penambalan setiap kali ada kebocoran kasus. Tapi, sampai kapan?

160 Sepenuh Hati Merawat Pasien Covid 19 Sepenuh Hati Merawat Pasien COVID-19 “Jadi, yang sekarang kita coba lakukan itu adalah memberikan rasa aman baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan.” dr. Mariska T.G. Pangaribuan, Sp.P Pukul 1 malam, Eko dan Saiful baru saja selesai keliling ruang isolasi mengecek satu persatu pasien ketika salah satu pasien menggaet lengan baju hazmatnya. Pasien tersebut adalah seorang nenek. Ia hendak meminta Eko dan

#DharmaiStory 161 Petugas gizi sedang menyiapkan makanan untuk pasien. Saiful menemaninya karena merasa kesepian dan gelisah. Seperti kebanyakan pasien COVID-19 yang harus menjalani isolasi, sepi dan sendiri menjadi salah satu persoalan yang dihadapi oleh pasien. Ketika pertama kali dinyatakan positif dan harus dirawat di ruang isolasi, si nenek masih tampak segar dan ceria. Tapi setiap hari berganti kondisinya semakin menurun. Nenek yang sebelumnya selalu ceriwis itu jadi tidak banyak bicara karena napasnya yang mulai tersengal-sengal. “Tolong bacakan Surat Yasin,” begitu kira-kira yang diucapkan nenek pada Eko dan Saiful.

162 Sepenuh Hati Merawat Pasien Covid 19 Tak kuasa menolak permintaan tersebut, Saiful mengambil Al-Qur’an dan membuka Surat Yasin. Dengan menggunakan hazmat lengkap, Saiful memenuhi permintaan si nenek dan mulai mengaji. Sedangkan Eko meraih smartphone-nya dan mengambil gambar momen tersebut untuk menginfokan kondisi nenek pada keluarganya. Sepasang mata kedua perawat itu mulai berkaca-kaca, tapi mereka berupaya sebisa mungkin agar tidak meneteskan air mata dengan APD level 3 lengkap begitu. Ketika selesai surat sepanjang 83 ayat itu dibacakan, si nenek mengangguk lega dan mulai mencoba tertidur. Keesokan harinya kondisi nenek semakin memburuk tak kuasa membendung kanker dan COVID-19 yang dialaminya. Rindi dan Naldi, perawat yang menggantikan Eko dan Saiful di shift pagi, mulai menghubungi keluarga dan terus memberi kabar perkembangan kondisi nenek tersebut. Pihak keluarga berpesan agar tidak melakukan resusitasi Rindi tanpa ragu mendekatkan kepalanya ke telinga si nenek sambil membisikan syahadat, menuntun pasien untuk terus beristigfar...

#DharmaiStory 163 jantung pada pasien meskipun kondisinya terus menurun. Mereka tidak ingin nenek mereka pergi dengan rasa sakit karena dadanya terus ditekan-tekan demi memaksa jantung yang telah lemah itu kembali berdetak. Hingga menjelang sore hari itu nenek mulai memperlihatkan tanda-tanda akhir kehidupan. Di balik hazmat yang dikenakannya, Rindi tanpa ragu mendekatkan kepalanya ke telinga si nenek sambil membisikan syahadat sambil menuntun pasien untuk terus beristigfar. Rindi dan Naldi merasa perlu berada di sisi pasien di detik- detik terakhirnya, menggantikan keluarga yang hanya bisa menyaksikannya lewat video call. Nenek tersebut berpulang pukul 16.00 WIB di ruang rawat isolasi RS Kanker Dharmais. Kepala perawat RS Kanker Dharmais Retno Setiawati merasa terharu sekaligus sangat bangga melihat perawat- perawatnya melakukan pekerjaan dengan penuh kasih. Retno menceritakan bagaimana ia melihat perawat- perawatnya begitu perhatian pada pasien COVID-19 meskipun mereka juga sedang ditimpa beban kerja yang berat. Ia melihat perawatnya berusaha menangani pasien COVID-19 dengan sangat telaten melebihi yang seharusnya mereka lakukan.

164 Sepenuh Hati Merawat Pasien Covid 19 “Setiap saya keliling mengontrol lewat CCTV itu melihat teman-teman menyuapi pasien. Saya bersyukur, Alhamdulillah mereka sampai segitunya,” kata Retno. Ketulusan dokter dan perawat dalam menangani pasien di ruang isolasi juga disyukuri oleh Dewi, anak dari salah satu pasien kanker yang terinfeksi COVID-19. Di awal Agustus, Ibunda Dewi dijadwalkan untuk melakukan kemoterapi. Seperti prosedur seharusnya, pasien harus di-swab terlebih dulu dan dinyatakan negatif COVID-19 sebelum melakukan terapi. Setelah dinyatakan negatif, kemoterapi pun dijalankan. Namun situasi tak terduga justru terjadi setelah kemoterapi berlangsung. Kondisi pasien pasca kemoterapi memang biasanya mengalami penurunan, maka si Ibu harus menjalani rawat inap terlebih dulu untuk menstabilkan kembali kesehatannya. Pasien juga kembali diswab dan dinyatakan negatif setelah kemoterapi itu. Tapi di hari ketujuh opname, hasil swab terakhir menunjukkan Ibunda Dewi positif COVID-19. Sesuai peraturan yang diberlakukan RS Kanker Dharmais, pasien harus dua kali berturut-turut menunjukkan hasil negatif COVID-19 lewat pemeriksaan swab sebelum dipulangkan. Kebijakan tersebut juga merupakan bentuk pemantauan

#DharmaiStory 165 ketat terhadap semua pasien demi memastikan kondisi pasien sebab risiko penularan itu tetap ada. Dewi sudah mendengar bagaimana bahayanya infeksi virus ini pada pasien kanker, terlebih ibunya sudah berusia lanjut. Ibunya selama ini sangat tekun menjalani pengobatan, tidak pernah sekalipun mundur dari jadwal yang telah ditetapkan. Dewi punya harapan besar ibunya dapat survive dari kanker dan bisa bersenang-senang lebih lama lagi dengan anak cucunya. Tapi ketika dinyatakan positif COVID-19, semua harapan seperti menguap. “Saya syok, rasanya mau berdiri aja nggak sanggup,” kata Dewi. Tapi melihat kondisi ibunya yang terlihat segar, Dewi mencoba tegar. Ia menitipkan ibunya pada perawat- perawat di sana. “Sus, saya titip ibu saya ya. Ibu saya tidak bisa melakukan video call, tolong dibantu ya sus,” katanya kepada perawat-perawat. Ibunda Dewi setiap hari melakukan video call dengan anak cucunya, bahkan dalam sehari bisa lebih dari dua kali ia melakukan panggilan video. Ibunya tersebut bercerita bagaimana selama diisolasi ia menganggap perawat- perawat itu sebagai anaknya karena merawatnya dengan telaten. Ibundanya juga pernah mengatakan ingin makan

166 Sepenuh Hati Merawat Pasien Covid 19 pizza bersama dengan perawat-perawatnya selama di ruang isolasi. “Nyak tiap hari disuapin, padahal udah bilang nggak usah, nyak bisa sendiri,” kata Ibunda Dewi seperti dituturkan oleh Dewi. Ibunya juga menceritakan bagaimana perawat di ruang isolasi dengan senang hati mau membacakan Al- Qur’an saat ibunya meminta tolong. Meski tim perawat sudah berusaha mengobati rasa kesepian pasien, tetap saja ruang isolasi di rumah sakit terasa sunyi tanpa kehangatan keluarga. Ibunda Dewi meminta untuk pulang. Di telepon, ia mengatakan sudah segar dan sehat. “Paling tiga hari lagi bisa pulang,” kata Ibu kepada Dewi. Tapi hari kepulangan Ibunda ke rumah itu tidak pernah tiba. Tiga hari setelah panggilan telepon itu Ibunda Dewi pulang, bukan ke rumah, melainkan kembali ke tangan Tuhan. Ia meninggal dunia di ruang isolasi pasien COVID-19 RS Kanker Dharmais. Di hari itu anak cucu pasien berkumpul di satu rumah menemani orang tuanya menghadapi detik- detik kematian Ibunda Dewi melalui video call. “Kalau saya meninggal, saya ingin anak-anak cucu saya kumpul bacain Al-Qur’an.” Itu pesan yang selalu disampaikan Ibunda pada Dewi.

#DharmaiStory 167 Kehilangan orang tua karena COVID-19 masih belum terasa nyata buat Dewi. Bahkan setelah dua bulan berlalu, Dewi merasa ibunya masih ada di ruang rawat. Setiap kali pulang kerja dan melewati RS Kanker Dharmais, ia merasa ingin mampir menjenguk. “Tapi saya bersyukur ibu saya ditangani oleh perawat dan dokter yang ramah,” tutur Dewi. Sejak Ibundanya didiagnosa kanker darah setahun lalu, ia maupun kakak-kakaknya tak bisa rutin mengantar ibunya untuk kontrol ke rumah sakit karena tuntutan pekerjaan. Tapi mereka bisa dengan tenang mempekerjakan seorang asisten untuk menemani ibunya tersebut karena dokter yang menangani pun sangat aktif menginformasikan kondisi ibunya itu secara langsung kepada Dewi. Segala yang terbaik telah diupayakan. Membawa kehangatan di ruang isolasi Pandemi COVID-19 telah memaksa seluruh rumah sakit di negeri ini mengubah kebijakan bagi pengunjung. Tidak seorang pun diizinkan melakukan kontak langsung dengan pasien COVID-19 seperti mengelusnya saat nyeri yang timbul, memijat lembut tangannya, atau sekadar berada di sisi mereka saat berjuang untuk tetap hidup. Karena itu

168 Sepenuh Hati Merawat Pasien Covid 19 lah para tenaga kesehatan yang merawat pasien COVID-19 ini merasa perlu untuk sedikit menggantikan kehadiran keluarga di sisi pasien, sebagai kawan dan pelipur kesepian. “Saya membayangkan bagaimana kalau ini terjadi sama orang tua saya?” kata Monika Rini, perawat yang bertugas di ruang isolasi sejak awal pandemi. Monika sebisa mungkin membantu semua kebutuhan pasien saat mengunjungi pasien satu-persatu. Dari hal-hal dasar seperti pemeriksaan kondisi hingga menyuapi, membantu mandi dan buang air, serta permintaan-permintaan pasien untuk membantu melakukan video call dengan keluarga. Bagi para tenaga kesehatan, sangat memilukan melihat pasien kesakitan sendirian. Ruang isolasi bisa membuat pasien seperti terpenjara, sebab tidak ada yang mengajak mereka ngobrol secara langsung. Selain itu, para pasien juga tidak mengenal siapa pun yang berada di ruang isolasi karena semua petugas yang masuk menggunakan APD level 3. “Kondisi di ruang isolasi itu tidak mengenal siapa pun, tidak tampak wajah, tidak tahu itu dokter, perawat, atau tim kebersihan, dan hampir tidak pernah disentuh kecuali perlu untuk pemeriksaan,” kata Mariska, dokter spesialis paru RS Kanker Dharmais yang menangani pasien COVID-19.

#DharmaiStory 169 Rasa kesepian yang dialami pasien COVID-19 di ruang isolasi dapat memengaruhi kesehatan jiwanya. Pada beberapa kasus, kondisi tersebut bahkan dapat menyebabkan stres, cemas, hingga pikiran untuk bunuh diri. Sudah banyak jurnal-jurnal ilmiah yang membahas pentingnya menjaga kondisi kesehatan mental pasien selama menjalani isolasi di rumah sakit. Oleh karena itu, dokter dan perawat-perawat RS Kanker Dharmais sebisa mungkin mengurangi rasa asing dan kesepian pasien dengan berbagai cara. Salah satunya, mereka sepakat untuk menempel foto di dada dengan nama panggilan sehingga pasien mengenali siapa saja yang mengunjungi dia setiap harinya. Melihat perbedaan setiap orang yang berinteraksi dengannya mungkin bisa membantu pasien mengatasi sedikit rasa asing terisolasi di ruangan tersebut. Pada pasien selain COVID-19, petugas medis terbiasa beramah-tamah dengan pasien dan menyiapkan waktu cukup bagi pasien menceritakan semua kekhawatirannya. Sementara di ruang isolasi, petugas medis harus menggunakan waktu pemeriksaan seefektif mungkin. Pertama, karena aturan minimal kontak untuk mengurangi risiko paparan virus. Kedua, karena rata-rata tenaga

170 Sepenuh Hati Merawat Pasien Covid 19 kesehatan hanya mampu bertahan 3 sampai maksimal 4 jam dengan menggunakan APD level 3. Tapi rasa kemanusiaan yang timbul ketika bertugas di lapangan nyatanya lebih sering menang dan mengalahkan rasa gerah yang dialami akibat menggunakan hazmat. Maka, meskipun keringat telah mengucur banjir di balik baju hazmat, perawat-perawat ini mencoba mencurahkan perhatian kepada setiap pasiennya. “Sebelum keluar ruang isolasi itu kami pastikan semua kebutuhan pasien sudah terpenuhi,” kata Monika. Air minum, cemilan, dan barang- barang yang ingin digunakan semua didekatkan agar pasien mudah mengambilnya. Para perawat menunjukkan empati dan berkomitmen penuh memastikan semua kebutuhan pasien tercukupi, bukan hanya pengecekan pada tanda vital, gejala, dan status medis. Merawat dengan penuh rasa empati juga merupakan upaya untuk membantu meringankan penderitaan pasien dalam melawan penyakit. Karena itu sejumlah penelitian menyimpulkan empati merupakan komponen utama untuk perawatan berkualitas. Sementara itu, dari perasaan empati tersebut juga timbul rasa simpati. Simpati tersebut seringkali mewujud

#DharmaiStory 171 dalam bentuk keinginan untuk melihat pasien bebas dari kesusahan dan harapan agar mereka dapat mengatasi penderitaan. Para petugas medis diajarkan agar dapat berempati, memosisikan dirinya dalam kondisi pasien namun tetap perlu diingat bahwa realitas di lapangan seringkali menyakitkan sebab tidak semua pasien dapat sembuh dan bertahan hidup. Ismayati, kepala perawat di ruangan isolasi mengatakan, sebagai manusia perasaan- perasaan simpati itu tidak bisa sepenuhnya disingkirkan. Sebagian besar pasien kanker yang terinfeksi COVID-19 itu bergejala buruk dan meninggal dunia. Walaupun terdapat anomali pada beberapa persen pasien, yakni mereka yang meskipun terinfeksi COVID-19 namun tak bergejala bahkan sanggup sembuh. “Buat kami setiap kali ada pasien sembuh keluar ruang isolasi itu seperti hadiah,” kata Isma. Kondisi tersebut terjadi ketika salah seorang pasien kanker tiroid yang berusia paruh baya dinyatakan sembuh dari COVID-19. Grup WhatsApp perawat ramai dengan ucapan syukur dan terkejut melihat momen tersebut. Video pasien keluar dan disambut senyum yang merekah dari anak dan istrinya itu menghangatkan hati para perawat. Tak ada yang sia-sia dari semua perjuangan mereka.

172 Sepenuh Hati Merawat Pasien Covid 19 Penanda zonasi pelayanan siap dipasang Menjaga kesehatan para petugas medis Wabah COVID-19 mau tak mau memengaruhi setiap aspek kehidupan petugas kesehatan. Beban tugas yang bertambah, jam kerja jadi lebih panjang, kondisi emosional yang dihadapi lebih berat, ditambah rasa takut membawa virus ke lingkungan keluarga. Sehari-hari para tim medik itu seperti diterjunkan ke medan perang, lalu kembali ke barak untuk beristirahat sementara, dan sebisa mungkin mengurangi waktu berada di tengah keluarga demi menjaga kesehatan lebih banyak orang.

#DharmaiStory 173 Misalnya saja apa yang dialami oleh Monika, salah satu perawat yang bertugas di ruang isolasi. Baginya, bertugas di zona merah adalah bentuk tanggung jawab profesi miliknya namun rasa khawatir juga tak bisa ia hilangkan terlebih mengingat kedua orang tuanya. Maka ia pun meminta izin kedua orang tuanya terlebih dulu agar ia bisa dengan tenang bertugas dan juga menjaga protokol kesehatan di rumah. Orang tua Monika merespons dengan terbuka keputusan putrinya. “Jalanin saja, itukan sudah pilihan hidup kamu,” kata orang tua Monik. Sejak awal memilih untuk menjadi perawat, orang tua Monika tahu bahwa akan ada kondisi- kondisi di mana putrinya berada di posisi seperti ini. Memahami profesi putrinya, orang tua Monik juga berpesan untuk menjaga kesehatan dan perhatikan apa yang bisa dipelajari dari pengalaman bertugas di ruang isolasi. Jika memungkinkan, bagikan pengalaman itu dengan teman-teman di ruangan lain. Orang tua Monik yang juga berasal dari kalangan tenaga kesehatan tahu betul bagaimana dibutuhkannya perawat dalam masa pandemi ini. Hal pertama yang perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan perawat yang bertugas mengurus pasien

174 Sepenuh Hati Merawat Pasien Covid 19 COVID-19 adalah kehati-hatian saat mengenakan APD, memegang pasien, dan saat melepas APD. APD level tiga yang dikenakan terdiri dari baju kerja (scrub), masker N95, penutup kepala (headcap), jumpsuit coverall (baju hazmat), sarung tangan, kacamata goggles, dan sepatu pelindung. Setelah siap dengan amunisi APD-nya, perawat lalu menemui pasien. Rata-rata lama setiap kunjungan itu 2-3 jam tergantung apa saja yang mesti dilakukan. “Pake hazmat itu jujur aja gak enak, gobyos (basah kuyup) semua sampai pakaian dalam,” kata Monika. Setelah semua tugas selesai, perawat keluar ke ruang perantara (anteroom) untuk melepas APD. Pelepasan APD harus dilakukan secara berurutan sesuai dengan panduan yang diberikan. Jika tidak, maka akan semakin berisiko terinfeksi COVID-19. Setelah melepas APD, mereka diwajibkan untuk langsung mandi keramas. Karena itu sebisa mungkin dalam satu kali kunjungan semua kebutuhan pasien sudah terpenuhi dan cukup sampai jadwal kunjungan berikutnya. Tapi tidak jarang ada kondisi-kondisi yang mengharuskan mereka masuk lagi, misalnya kondisi pasien menurun. “Kalau dinas malam pukul 2 atau 3 pagi itu saya sering banget, tapi ya udah deh dilakuin aja. Belum lagi nanti sampai

#DharmaiStory 175 rumah saya mandi keramas lagi, jadi sehari kalau dinas malam paling tidak mandi keramas 4 kali sehari. Rontok rambutnya,” kata Monik sambil tertawa. Meski melelahkan, tidak satu kali pun rangkaian panduan baik dalam hal APD hingga kebersihan setelah merawat pasien COVID-19 itu bisa dilewatkan. Mereka sadar ada keluarga, orang tua, pasangan, atau anak-anak di rumah yang menantinya pulang dalam keadaan sehat. Melihat situasi pandemi yang masih tak menentu, mau tak mau panduan keamanan merawat pasien COVID-19 dan protokol kesehatan sehari-hari harus mereka adaptasi jangan sampai lengah. “Penginnya masyarakat di luar itu patuh, minimal jaga jarak dan pakai masker, masa ini penambahan kasus nggak selesai-selesai.” “Penginnya masyarakat di luar itu patuh, minimal jaga jarak dan pakai masker, masa ini penambahan kasus nggak selesai-selesai.” Monika Rini, S.Kep, Ns

176 Mengelola Keuangan di Masa Pandemi Mengelola Keuangan di Masa Pandemi “Mengelola keuangan rumah sakit itu seperti mengelola keuangan rumah tangga. Jadi rasa memiliki terhadap rumah sakit, sehingga kita juga tahu cara berhemat dan menentukan skala prioritas.” Nugroho Tam Tomo SE, M.Kes Di salah satu akhir pekan telepon Nugroho berdering pagi-pagi sekali. Panggilan tersebut berasal dari timnya yang mengabarkan bahwa RS Kanker Dharmais harus segera membeli pasokan alat pelindung diri (APD) yang baru saja tersedia. Orang di seberang telepon mengatakan

#DharmaiStory 177 sebaiknya beli hari itu juga karena ketersediaan yang sedikit dan berebut dengan banyaknya peminat. “Oke beli sekarang, pakai uang saya dulu nggak apa-apa,” kata Nugroho Tam Tomo Direktur Keuangan RS Kanker Dharmais menjawab permintaan tersebut. Masa itu, ketika pandemi COVID-19 baru saja ditetapkan, banyak rumah sakit kalang kabut mencari ketersediaan masker bedah, masker N95, sarung tangan medis, dan semua kelengkapan APD yang dibutuhkan. Banyak staf rumah sakit ikut turun tangan mencari informasi vendor yang memiliki stok barang. Saking langkanya, berhasil mendapatkan satu karton masker bedah dan masker N95 saja rasanya saat itu sudah sangat melegakan, setidaknya bisa aman beberapa hari. “Saya juga sampai turun tangan ke vendor-vendor untuk sekadar cari masker,” kata Soeko Nindito, Direktur Utama RS Kanker Dharmais yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Perencanaan, Organisasi, dan Umum. Kelangkaan APD ini disebabkan oleh pasokan barang impor dari luar negeri masih tertahan sedangkan stok yang ada di dalam negeri diduga telah dikuasai para penimbun. Akibatnya stok perlengkapan APD yang ada dipatok dengan

178 Mengelola Keuangan di Masa Pandemi harga selangit. Hampir 200% persen kenaikan harga stok masker dan berbagai kelengkapan APD itu dibanding ketika situasi normal. Di berbagai aplikasi marketplace bahkan banyak yang menjualnya dengan harga jutaan rupiah untuk satu kotak berisi 50 helai masker bedah. Menghadapi kondisi kelangkaan stok barang dan harga yang selangit, pihak manajemen memutuskan bahwa yang utama adalah berupaya sebisa mungkin untuk tetap memenuhi ketersedian APD bagi para pegawainya. Setiap kali ada barang yang tersedia maka langsung dibeli dengan harga pasaran yang berlaku saat itu. Tujuan utamanya adalah jangan sampai menempatkan tenaga medis dalam bahaya karena bekerja tanpa APD. Selain menghadapi kelangkaan alat kesehatan yang dihadapi oleh semua rumah sakit, RS Kanker Dharmais juga perlu mencari cara menyediakan ruang isolasi khusus untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ditemukan pasien kanker dengan COVID-19 di Dharmais. Saat itu pilihan paling masuk akal adalah dengan menyewa sebuah kontainer dan menyulapnya menjadi ruang isolasi sementara. Mencari dan merenovasi sebuah box kontainer juga tak bisa dibilang sebagai pekerjaan yang mudah dan murah. Namun

#DharmaiStory 179 dalam kondisi mendesak, hal tersebut patut dilakukan. Untuk mengubah sebuah kontainer menjadi ruang isolasi diperlukan penambahan pemasangan AC, exhaust fan, dan kamar mandi sehingga ruangan cukup layak ditempati. Semua usaha itu harus dikerjakan dalam 2 hari dan memakan biaya yang tidak sedikit. Situasi pandemi COVID-19 membuat RS Kanker Dharmais harus dengan cepat berbenah dan mengubah banyak hal. Berbagai pengeluaran tak terduga ini mau tak mau harus dilakukan dengan cepat selama itu semua berasal dari rekomendasi Tim KLB COVID-19 RS Kanker Dharmais dan bertujuan untuk melindungi seluruh civitas hospitalia rumah sakit. Maka, demi kepentingan darurat tersebut Nugroho selaku orang yang paling bertanggung jawab dalam mengurusi keuangan Dharmais tak ragu untuk mengeluarkannya. Mulai dari pengadaan tenda dan kursi darurat untuk antrian skrining pasien di pintu masuk rumah sakit, sewa bus untuk antar jemput pegawai, dan pembangunan ruang isolasi bertekanan negatif dadakan merupakan langkah-langkah yang mendadak diambil dan menghabiskan ratusan juta rupiah. Pengeluaran anggaran secara mendadak memang

180 Mengelola Keuangan di Masa Pandemi cukup membuat sibuk tim keuangan sebab banyak catatan administrasi yang mesti diselesaikan agar tak menimbulkan masalah. Sedangkan pemasukan rumah sakit mengalami penurunan terutama di fase awal pandemi COVID-19 terjadi sebab banyak kunjungan dan pemeriksaan pasien yang berkurang baik karena kebijakan rumah sakit untuk menyetop sementara layanan ataupun sebagai imbas dari pembatasan akses transportasi dalam rangka PSBB saat itu. Selain itu, banyak pasien yang merasa takut untuk datang ke rumah sakit dan memilih untuk menunda sebisa mungkin perawatan yang seharusnya dilakukan. Sementara pasien- pasien yang berasal dari luar Jakarta tak dapat menempuh perjalanan menuju RS Kanker Dharmais karena dibatalkannya penerbangan saat itu akibat dari pemberlakukan PSBB yang cukup ketat di awal. Layanan laboratorium sepi, dokter- dokter juga memutuskan menunda tindakan-tindakan yang berisiko tinggi, karena masih mencari tahu prosedur keamanannya. “Waktu itu dari pemerintah belum ada rule yang jelas apa yang harus dilakukan oleh rumah sakit dalam masa krisis ini. Jadi rumah sakit seolah-olah dilepas lalu dihadapkan untuk mengatasi persoalan ini, untuk survive sendiri-sendiri,”

#DharmaiStory 181 kata Soeko. Situasi awal pandemi COVID-19 di Indonesia memang cukup membuat banyak pihak kalang kabut untuk beradaptasi dan melakukan inovasi. Menghadapi situasi ketika pemasukan yang mengalami penurunan sementara pengeluaran dadakan begitu besar membutuhkan pengelolaan prioritas pengeluaran yang ketat dengan pertimbangan yang bisa dipertanggungjawabkan. Berpikir tenang dalam krisis “Semakin kritis situasinya, semakin butuh kemampuan memutuskan sesuatu dengan tenang,” kata Nugroho menjelaskan bagaimana ia menentukan pengeluaran dadakan di masa awal pandemi COVID-19 menghantam. Kecepatan memutuskan skala prioritas pengeluaran, menurutnya, harus lebih cepat dari laju penularan. Prinsipnya, pada kondisi gawat darurat bencana, semua sumber daya harus diprioritaskan dan dialihkan untuk mengatasi krisis, baru kemudian dilakukan realokasi anggaran yang lebih terperinci. “Jangan realokasi dulu baru belanja, nanti penyakitnya sudah menyebar,” katanya. Maka Nugroho memilih untuk merogoh saldo terlebih duludemimemenuhikebutuhan belanjaalatkesehatanhabis

182 Mengelola Keuangan di Masa Pandemi pakai dan pembangunan darurat sejumlah fasilitas. Semua permintaan pengadaan barang dikerjakan dan dibayarkan lebih dulu, baru kemudian ia melakukan realokasi anggaran. Menurutnya setelah semua pengeluaran kebutuhan darurat diselesaikan, ia cukup mudah mengumpulkan dan mencatat kembali dana dari kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin dilakukan pada masa pandemi. Misalnya saja sejak Maret semua perjalanan dinas luar kota atau luar negeri ditiadakan, selain itu pertemuan dan rapat-rapat penting beralih menjadi pertemuan online. Anggaran dari kegiatan- kegiatan tersebut lah yang ia alihkan. “Ternyata kita bisa melakukan efisiensi di situ. Pertemuan online tidak memerlukan biaya hotel atau sewa tempat, konsumsi, dan ongkos perjalanan,” ujar Nugroho. Dana kegiatan tersebut cukup besar untuk memberi RS Kanker Dharmais sedikit ruang untuk bernapas dalam melewati masa kritis. “Semakin kritis situasinya, semakin butuh kemampuan memutuskan sesuatu dengan tenang,” Nugroho Tam Tomo SE, M.Kes

#DharmaiStory 183 Tapi sedarurat apapun keadaanya, Nugroho selalu ingat bahwa uang yang mereka kelola adalah uang yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap tahunnya semua catatan anggaran tersebut akan diaudit oleh lembaga pemerintah dengan cermat. Semua pengeluaran harus tercatat, terdokumentasi, dan dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya. Rekomendasi Tim Penanggulangan Kondisi Luar Biasa (KLB) COVID-19 menjadi dasar acuan setiap tindakan yang dilakukan dalam penanganan COVID-19 di RS Kanker Dharmais, termasuk dalam setiap keputusan pembelanjaan. Semua kebutuhan darurat seperti program skrining, ruang isolasi, hingga pembangunan laboratorium pemeriksaan dikerjakan berdasarkan rekomendasi dari Tim KLB yang berisi seluruh perwakilan dari direksi dan manajemen baik tim medik maupun nonmedik. Jadi selain tim melakukan tindakan cepat, juga harus dibarengi pencatatan yang tepat agar tidak salah langkah dalam mengelola anggaran. “Kita juga berpikir laporan auditnya seperti apa. Ini menjadi momok karena pengeluaran yang nggak ada dalam perencanaan,” ucap Nugroho. Tapi tidak semua pengeluaran penanganan pandemi

184 Mengelola Keuangan di Masa Pandemi dilakukan mendadak tanpa perencanaan. Pembelanjaan darurat dilakukan pada sesuatu yang sifatnya habis pakai atau tidak permanen. Sedangkan untuk yang sifatnya permanen harus melalui perencanaan matang. Jadi saat diumumkan kasus pertama wabah COVID-19 di Indonesia lalu kemudian ditetapkan pandemi, RS Kanker Dharmais segera mencatat penambahan kebutuhan apa saja yang di kemudian hari akan dibutuhkan dalam menangani pandemi COVID-19, contohnya dalam pengadaan reagen atau pereaksi kimia untuk tes swab PCR yang semula terpaksa dibeli dengan harga tinggi. Tapi beberapa bulan kemudian, pereaksi kimia ini bisa didapatkan melalui tender dengan harga yang lebih rendah. Selain itu ada pembangunan ruangan ruang perawat intensif (ICU) bertekanan udara negatif yang telah diajukan dari awal-awal masa pandemi oleh tim KLB. Dalam keadaan normal, ICU biasanya dilengkapi dengan ruang bertekanan udara positif untuk melindungi pasien terinfeksi dari lingkungan luar karena daya tahan tubuh pasien lemah. Sedangkan untuk kebutuhan merawat pasien COVID-19, ruangan dibuat bertekanan udara negatif agar udara dari dalam ruangan yang mungkin mengandung virus

#DharmaiStory 185 tidak langsung keluar dan mengontaminasi udara di luar ruangan. “Sejak Maret itu bukan cuma anggaran dadakan yang dirapatkan tapi juga termasuk persiapan selanjutnya. Kita kan harus merencanakan juga apa yang diperlukan kedepannya, itu yang sedikit lebih pake jalur normal,” kata Nugroho. Pada akhirnya pembangunan laboratorium BSL2+ alias laboratorium biosafety level 2 bertekanan negatif untuk pemeriksaan swab COVID-19 dan upaya mendapatkan reagen cukup memberi manfaat besar bagi RS Kanker Dharmais. Ketersediaan fasilitas yang cukup mumpuni tak hanya membuat rumah sakit ini mampu lebih cepat memisahkan pasien kanker dengan COVID-19 dan pasien murni kanker sehingga penanganan pasien bisa lebih cepat dilakukan. Kondisi ini juga membuat RS Kanker Dharmais mampu memeriksa sendiri karyawannya sehingga bisa melakukan pelacakan kontak dengan lebih cepat, dan menjadi sumber pemasukan tambahan selama pandemi COVID-19. Sebab banyak lembaga, organisasi, ataupun perusahaan melakukan skrining tes swab bagi karyawannya dengan menggunakan jasa RS Kanker Dharmais. Petugas swab bisa datang langsung ke lokasi kantor sehingga tidak menambah

186 Mengelola Keuangan di Masa Pandemi banyak populasi pengunjung RS Kanker Dharmais. “Kita harus cari peluang-peluang yang menghasilkan pendapatan. Kita berpikir sama-sama karena nanti keuangan rumah sakit ini untuk kesejahteraan kita juga,” kata Nugroho. Selain tes PCR, pemasukan lain RS Kanker Dharmais juga didapatkan dari semua prosedur pengetesan laboratorium yang masih terus berjalan. Di rumah sakit lain, banyak prosedur laboratorium yang berhubungan dengan saluran pernapasan itu ditutup untuk sementara waktu. Akibatnya pasien-pasien tersebut beralih ke Dharmais untuk memeriksakan dirinya sebab di RS Kanker Dharmais semua uji laboratorium dan pelayanan bagi pasien kanker bisa terus berjalan. Kemampuan itu merupakan buah dari proses skrining ketat yang dilakukan sejak awal sebelum pasien dan pengunjung memasuki RS Kanker Dharmais. Meski di tahap awal, tidak jarang proses skrining yang panjang, memakan waktu lebih lama, dan melelahkan ini membuat pengunjung mengeluh dan komplain. “Pengunjung datang dengan masker, face shield, dengan kekhawatiran tertular, jadi saat mengajukan komplain (karena proses yang lama) tentu menjadi semakin tinggi emosinya,” tutur Kepala Bagian Customer Care, drg. Monika Indriani.

#DharmaiStory 187 Sehingga lingkungan dalam rumah sakit hampir bisa dipastikan aman dari penularan atau setidaknya risikonya jauh berkurang karena telah dilakukan penapisan sebelumnya. Alhasil meski sempat mengalami penurunan jumlah pasien, namun seiring berjalannya waktu jumlah kunjungan pasien kembali normal. Sebagai tambahan dana, RS Kanker Dharmais juga mendapat bantuan dari pemerintah sebanyak Rp 55 miliar. Bantuan tersebut dialokasikan untuk pembelanjaan operasional mencakup obat dan alat kesehatan habis pakai sebanyak Rp 43 miliar dan Rp 12 miliar untuk pembangunan ICU bertekanan negatif. Setelah mampu menyeimbangkan neraca pemasukan dan pengeluaran, RS Kanker Dharmais lebih leluasa berbenah hingga menambah fasilitas melalui perencanaan anggaran tahun depan.

188 Gesit Membangun Laboratorium Gesit Membangun Laboratorium “Bekerja di rumah sakit, artinya kita harus selalu siap dan meluruskan niat baik kita. Kita bekerja bukan untuk diri sendiri atau keluarga saja, tapi juga untuk kesehatan orang lain.” Wisnu Handoyo, ST, MM Pembangunan laboratorium bagi rumah sakit memang bukan perkara sederhana. Bukan hanya soal anggaran, tapi juga tipe laboratorium beserta pertimbangan kebutuhan dan keamanan bagi rumah sakit bisa memicu perdebatan.

#DharmaiStory 189 Petugas dengan mengenakan APD sedang melakukan pemeriksaan laboratorium Hal tersebut sempat dialami oleh RS Kanker Dharmais ketika rencana pembangunan laboratorium khusus untuk pemeriksaan keberadaan virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 menguak ke permukaan. Sebelumnya, rencana pembangunan laboratorium khusus itu pernah disuarakan oleh mantan Kepala Laboratorium RS Kanker Dharmais, Agus Kosasih, pada akhir tahun 2019. Urgensi tersebut kian terasa ketika tim

190 Gesit Membangun Laboratorium “Kalau perlu kita mencari pendanaan dari tempat lain juga nggak apa-apa, yang penting bisa melakukan pemeriksaan untuk pasien dan tenaga kesehatan.” laboratorium dan tim peneliti stem cell RS Kanker Dharmais pulang dari seminar internasional terkait perkembangan stem cell di Korea Selatan di akhir Januari. Saat itu dengung keberadaan wabah baru dari Wuhan, China, telah mulai menyebar ke beberapa negara tetangga termasuk Korea Selatan. Kepulangan tim dari Negeri Ginseng itu perlu melalui sejumlah tahapan pemeriksaan untuk memastikan bahwa mereka pulang dengan selamat di tanah airnya tanpa membawa virus berbahaya. Ketika berbagai dugaan kasus pasien terinfeksi COVID-19 bermunculan di Indonesia, kebutuhan untuk membangun laboratorium tersebut semakin mendesak. Namun kekhawatiran yang muncul adalah bagaimana jika laboratorium pemeriksaan virus corona itu justru malah menjadi sumber penularan. Sedikit saja ada kebocoran dari laboratorium, maka akan membahayakan seluruh pasien RS

#DharmaiStory 191 Kanker Dharmais yang notabene immunocompromised alias sistem imunnya rendah. Karena belum mempunyai laboratorium polymerase chain reaction untuk memeriksa virus SARS-Cov-2, RS Kanker Dharmais harus terus menerus mengirim sampel swab pasien kepada laboratorium kesehatan miliki Provinsi DKI Jakarta atau Lembaga Biomolekuler Eijkman. Di tengah keterbatasan laboratorium rujukan tes COVID-19 dan penambahan kasus tiap harinya, membuat pemeriksaan PCR COVID-19 masih amat langka dan hasil tes baru bisa diketahui setelah dua minggu lamanya. Padahal untuk melakukan perawatan kanker, setiap pasien harus dipastikan terbebas dari COVID-19 terlebih dulu. Meskipun ada alternatif lain seperti rapid test, tapi hasil pemeriksaan melalui tes antibodi tersebut tak dapat diandalkan dengan tingkat akurasi di angka 50-75% saja. Kondisi tersebut membuat riskan pelaksanaan perawatan kanker baik itu operasi, kemoterapi, atau upaya pengobatan lainnya. Alhasil penundaan layanan dan perawatan pun terjadi, bukan dalam hitungan hari melainkan minggu bahkan hingga satu bulan lamanya. Waktu yang cukup lama untuk sel kanker di tubuh pasien menyebar dan meningkatkan

192 Gesit Membangun Laboratorium potensi perburukan gejala. Situasi yang amat sangat tidak diinginkan oleh semua tim medik RS Kanker Dharmais. Maka demi menghadapi kondisi tersebut dan mengatasi kekhawatiran adanya kebocoran atau breakout dari laboratorium, diputuskan bahwa laboratorium yang dibangun merupakan ruang biosafety level 2 dengan tekanan udara negatif. Tingkat keamanan level 2 tersebut bertujuan untuk melindungi petugas dan lingkungan dari mikroorganisme yang ditangani di dalamnya. Sehingga risiko terjadinya kebocoran ditekan sekecil mungkin dengan memperhatikan mulai dari tekanan udara dari dalam laboratorium yang tidak boleh mencemari area rumah sakit hingga pengelolaan limbah yang terjamin keamanannya. Rencana pembangunan laboratorium tersebut mendapat dukungan terutama dari staf medik paru yang saat itu menanggung banyak beban untuk memeriksa setiap hasil rontgen paru dan foto toraks pasien untuk membantu mendiagnosis keberadaan COVID-19 pada pasien kanker. Namun anggaran pembangunan laboratorium BSL2 bertekanan negatif juga menjadi pertimbangan kuat sebab rencana tersebut belum masuk ke dalam anggaran pengeluaran rumah sakit.

#DharmaiStory 193 “Kalau perlu kita mencari pendanaan dari tempat lain juga nggak apa-apa, yang penting bisa melakukan pemeriksaan untuk pasien dan tenaga kesehatan,” kata Arif Riswahyudi Hanafi, dokter spesialis paru yang juga merupakan Wakil Ketua Tim Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) COVID-19 di RS Kanker Dharmais. Kebutuhan pembangunan laboratorium ini semakin kuat sebab panduan internasional untuk penanganan pasien kanker mensyaratkan bahwa pasien harus dinyatakan negatif COVID-19 melalui tes PCR. Jika pasien kanker tetap menjalani tindakan tanpa ada kepastian apakah dirinya bebas dari COVID-19 atau tidak, maka risiko si pasien mengalami perburukan gejala hingga mengancam nyawa lebih tinggi. Karena itu, PCR sebagai standar utama diagnosis COVID-19 harus dilakukan pada semua pasien kanker di RS Kanker Dharmais secara berkala, bukan hanya pada suspect. Dengan dasar tersebut dan dukungan dari dokter- dokter spesialis, tim KLB pun secara resmi mengajukan pembangunan laboratorium ke manajemen. Pembangunan laboratorium yang diajukan sesuai dengan pembahasan adalah laboratorium dengan level keamanan BSL2+. Laboratorium ini serupa dengan BSL2 biasa namun prosedur

194 Gesit Membangun Laboratorium keamanannya bisa dibilang setingkat dengan biosafety level 3 karena bertekanan udara negatif. Udara dari laboratorium BSL2+ dipastikan tidak akan mencemari udara di luar laboratorium sebab keluarnya udara dari dalam laboratorium mesti melewati penyaring udara steril atau HEPA filter. Sehingga udara yang keluar sudah bersih dan tidak lagi berbahaya bagi lingkungan. Laboratorium BSL2+ ini juga dilengkapi dengan alat-alat tambahan untuk keamanan berlapis. Ada penambahan autoclave (alat sterilisasi), biological safety cabinet, dan mesin PCR yang sistem kerjanya automated. “Perjuangannya cukup berat untuk membangun tata ruangan BSL2+ ini,” Lyana Setiawan, dokter spesialis patologi klinis yang sejak Mei 2020 menjadi Kepala Laboratorium RS Kanker Dharmais. Beruntung pembangunan laboratorium ini dapat terlaksana tanpa terlalu membebani anggaran rumah sakit karena mendapatkan bantuan dana program corporate social responsibility (CSR) dari PT. Medco Energi Internasional. Tapi kejutan demi kejutan terjadi. Setelah urusan keamanan dan anggaran laboratorium tertangani, masalah lain muncul. Pengerjaan pembangunan BSL2+ bertepatan dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar

#DharmaiStory 195 (PSBB) di Jakarta. Sehingga RS Kanker Dharmais mengalami kesulitan dalam mencari kontraktor yang siap menggarapnya saat itu juga. Belum lagi material yang dibutuhkan saat itu juga terbilang langka di pasaran. “Pengerjaan pembangunannya mundur beberapa minggu karena kendala adanya PSBB di Jakarta,” kata Lyana. Kendala yang timbul, meski terdengar konyol, yakni para tukang bangunan tersebut tidak bisa membawa serta timnya sekaligus bersama-sama. Tapi mereka mesti bolak-balik membawa dua orang terlebih dulu lalu mengantarkannya ke rumah sakit, lalu pergi lagi untuk menjemput dua orang lainnya. Alhasil pengerjaan proyek tidak bisa dimulai sejak Bekerja di dalam laboratorium dengan keamanan tingkat tinggi.

196 Gesit Membangun Laboratorium pagi hari. Hal tersebut diketahui Lyana ketika memerhatikan proses pengerjaan yang selalu dimulai jelang makan siang. “Pak kenapa selalu datang terlambat ya?” tanya Lyana penasaran saat itu. “Karena penumpang mobil tidak boleh lebih dari 2 orang, jadi saya harus bolak-balik jemput tukang saya,” jawab si mandor. Alasan yang tak urung membuat Lyana tertawa mendengarnya. Bagaimana pun mendesaknya kebutuhan laboratorium, tapi situasi pandemi memang membuat segala sesuatu tak berjalan normal seperti biasa. Kepatuhan pada protokol yang mewajibkan setiap kendaraan pribadi hanya boleh membawa dua orang penumpang tentu tak bisa dibantah. Tapi kondisi tersebut melahirkan kejadian lucu berikutnya karena kendaraan tukang tersebut kesulitan mencari lahan parkir di RS Kanker Dharmais ketika hari telah menjelang siang. Akhirnya setelah dua bulan, pembangunan laboratorium pun rampung dan bisa digunakan untuk melakukan pemeriksaan COVID-19. Awal bulan Mei itu RS Kanker Dharmais siap mengerjakan tes swab PCR bukan saja bagi pasien tapi juga seluruh karyawannya. Tak berselang lama, laboratorium RS Kanker Dharmais pun ditunjuk sebagai salah satu jejaring laboratorium pemeriksaan COVID-19 oleh

#DharmaiStory 197 Kementerian Kesehatan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/405/2020. Kapasitas pemeriksaan rata-rata laboratorium ini adalah 400 sampel dari 200 orang per hari, karena setiap orang diambil dua jenis sampel. Pemeriksaan pasien RS Kanker Dharmais menjadi yang utama, baru kemudian pemeriksaan sampel karyawan dan rujukan. Hasil pemeriksaan pun bisa diketahui maksimal setelah tiga hari, kecuali dalam kondisi mendesak seperti memastikan pelaksanaan tindakan bagi pasien maka hasil pemeriksaan bisa diketahui dalam kurun waktu 1x24 jam. Rampungnya fasilitas laboratorium artinya pekerjaan tambahan bagi tim laboratorium untuk menjalankan perannya. Seluruh tim laboratorium mengikuti training kembali untuk penyegaran terkait bagaimana cara mengambil sampel swab yang benar, termasuk penyegaran bagaimana bekerja dengan sampel virus berbahaya seperti COVID-19. Adanya laboratorium ini juga membantu tim PPI dalam menemukan kasus-kasus dengan lebih cepat. Setiap kali ada kasus baru yang melibatkan penularan di lingkungan RS Kanker Dharmais, tim laboratorium langsung mengirimkan

198 Gesit Membangun Laboratorium foto hasil pemeriksaan agar PPI bisa segera melakukan penelusuran. Selain itu, para dokter yang berkepentingan dalam menangani pasien pun seringkali tak sabar menunggu hasil PCR keluar sebab mereka ingin segera memastikan kondisi pasiennya. “Di WhatsApp semua orang nanyain terus, kaya ditagih utang. Ada yang sampai tengah malem aja masih ada yang nanyain hasil. Sedangkan alatnya kan ya 7 jam baru keluar hasil. Mau diburu-buruin juga alatnya nggak bakal ngeluarin hasil kalau belum selesai,” kata Lyana sambil tertawa mengingat berondongan pertanyaan hasil pemeriksaan PCR yang selalu muncul di layar smartphone-nya. Sejak awal penambahan beban kerja ini, Lyanna sudah mewanti-wanti anggota timnya untuk mampu mengukur kesehatan masing- masing. Jangan sampai terlalu capek tanpa tahu kalau tubuh sudah butuh istirahat dan akhirnya malah jatuh sakit. Saat ini, rata-rata jam kerja personel di laboratorium itu 10-12 jam perhari dibandingkan jam kerja normal yakni 8 jam perhari. “Kadang-kadang ada staf yang pulangnya jam 2 malam karena nungguin pemeriksaan selesai,” kata Lyana. “Berbulan-bulan kerja 12 jam sehari kebayang nggak?! Kami semua berharap ini segera selesai dilewati.”

#DharmaiStory 199 Pembangun fasilitas-fasilitas baru Pandemi memaksa RS Kanker Dharmais untuk beradaptasi dan bekerja lebih cepat. Beberapa perubahan yang dilakukan menghasilkan fasilitas-fasilitas yang bermanfaat untuk masa depan. Selain pembangunan laboratorium BSL2+, RS Kanker Dharmais juga membangun Intensive care unit (ICU) bertekanan negatif, yakni ruang rawat intensif khusus untuk pasien COVID-19 dengan pola sirkulasi udara khusus agar udara dari dalam ruangan tidak keluar dan mengontaminasi rumah sakit. Selain itu, ada juga fasilitas telekonsultasi yang pengembangannya dipercepat karena kebutuhan mendesak untuk pasien-pasien yang terkendala datang langsung ke RS Kanker Dharmais. Telekonsultasi ini dimaksudkan untuk pasien RS Kanker Dharmais yang sudah terjadwal dan rekam medisnya sudah diketahui orang dokter yang bersangkutan, bukan pasien baru. Telekonsultasi tidak bisa digunakan bagi pasien yang harus melakukan tindakan-tindakan karena jika tindakan ditunda terlalu lama maka akan berisiko memperburuk kondisi pasien. Akses transportasi yang dibatasi dan ketakutan adanya penularan di rumah sakit menghambat pasien

200 Gesit Membangun Laboratorium untuk melakukan pengecekan. Telekonsultasi ini sedikit banyak membantu pasien untuk mengecek kondisinya dan meresepkan obat untuk dosis yang lebih panjang. Meski penampilan aplikasi masih harus diperbaiki di sana-sini, tapi kondisi krisis membuat inovasi ini terlaksana. “Bersyukur ada kebijakan pemerintah yang mengizinkan rumah sakit melakukan pengadaan barang jasa secara langsung dalam kondisi krisis. Jadi kami lebih berani melakukan tindakan- tindakan, perombakan, dan inovasi dengan cepat,” kata Direktur Utama RS Kanker Dharmais Raden Soeko Werdi Nindito Daroekoesoemo. Hantaman keras pandemi membuat karut marut berbagai aspek kehidupan. Meski begitu harus tetap dicari titik pembelajaran yang bisa bermanfaat untuk masa depan. Awal Agustus 2020, RS Kanker Dharmais bersama Asian National Cancer Centers Alliance (ANCCA) mengeluarkan jurnal internasional tentang bagaimana perawatan kanker dilakukan selama pandemi. Jurnal internasional berjudul An Asian Perspective of the Management of COVID-19: the Asian National Cancer Centers Alliance Led Regional Comparison ditulis oleh 32 peneliti dari berbagai rumah sakit di Asia. Dua diantara peneliti tersebut


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook