Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore LANGIT_MERAH_Antologi_Cerpen_dan_Esai_20

LANGIT_MERAH_Antologi_Cerpen_dan_Esai_20

Published by e-Library SMPN 8 Talang Ubi, 2020-01-25 16:22:08

Description: LANGIT_MERAH_Antologi_Cerpen_dan_Esai_20

Search

Read the Text Version

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 5. Penutup Budaya merupakan suatu hal yang cakupannya begitu luas. Bahkan dari pengertian atau definisinya saja budaya telah memiliki banyak sekali arti dari berbagai pakar. Budaya mencangkup begitu banyak aspek kehidupan. Beberapa aspek kehidupan itu adalah seni termasuk didalamnya lagu daerah, alat musik daerah serta tarian daerah, selain itu juga menyangkut aspek permainan tra- disional dan juga makanan tradisional. Semua kebudayaan itu me- mang harus dijaga dan dilestasikan agar tidak punah di kemudian hari dan bahkan sampai menghilang atau dicuri oleh negara lain. Cukuplah untuk beberapa kejadian itu yang membuat kita sadar dan tidak akan mengulangi hal yang sama untuk kedua kalinya. Seni yang menghilang lambat laun itu juga disebabkan karena kurangnya sosilaisasi termasuk dari pemerintah dan juga masya- rakat sendiri. dari berbagai media massa yang ada baik media cetak maupun media elektronik, jarang ditemui berita, kabar atau so- sialisasi tentang seni yang merupakan kebudayaan Indonesia. Misalnya diadakan acara musik tapi musiknya musik daerah. Atau sering diselenggarakannya lomba seni atau duta seni untuk me- ngetahui seberapa pedulinya para generasi muda terhadap ke- budayaannya dan juga dapat melakukan sosialisasi kepada teman- nya sendiri sehingga budaya Indonesia tidak kalah dengan budaya barat yang telah mengalir dengan deras. Dolanan anak atau mainan tradisional anak memang perlu disosialisasikan lebih intensif agar mainan ini tidak kalah zaman dan tidak tergeser dengan game-game komputer maupun game online. Salah satu caranya dengan mengadakan lomba mainan tra- disional untuk mengisi kemerdekaan. Sehingga mainan ini dapat tetap disosialisasikan di tengah maraknya modernisasi dan glo- balisasi yang kian merebak. Salah satu aspek budaya yang lain adalah makanan tradisio- nal. Walaupun terdengar sepele namun, makanan tradisional me- miliki nilai budaya yang harus dilestarikan dan dijaga. Cara yang 142

Langit Merah dapat dilakukan untuk menjaga dan melestarikannya misalnya de- ngan menambah makanan kantin dengan makanan tradisional se- perti klepon, cenil, dan makan tradisional lainnya. Cara lain juga dengan mengadakan lomba masak untuk remaja SMA atau SMP yang temanya adalah makanan tradisional. Selain sebagai ajang untuk mengetahui kemampuan para generasi muda namun acara seperti ini juga dapat digunakan untuk melihat dan mengukur se- berapa tahunya meraka dengan makanan tradisional di tempat mereka. Budaya dapat diibaratkan sebagai suatu tawa. Budaya meru- pakan kata yang tersusun dari huruf-huruf yang sederhana se- hingga dalam hal ini tawa cilik yang dimaksud adalah kebudayaan. Budaya merupakan suatu yang penting namun budaya sering di- abaikan. Banyak orang yang membiarkan budaya itu bergerak sendiri hingga terlalu bebas sehinga banyak yang tidak tahu kalau budaya Indonesia yang beragam dan unik ini merupakan hal yang diinginkan oleh negara lain. Menjaga dan melestarikan budaya merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat dan pemerintah Indo- nesia. Hanya saja cara yang ditawarkan berbeda-beda untu setiap orang. Kini tinggal kita menyikapinya. Sebuah kata yang bijak yaitu janganlah kamu bertanya apa yang negara beri untukmu namun bertanyalah apa yang kamu beri untuk negaramu. Relakah budaya kita ini diambil alih oleh bangsa atau negara lain? Jika tidak, marilah kita jaga kebudayaan milik Indonesia ini. DAFTAR PUSTAKA Ahira, Anne. 2011. Masalah kebudayaan. Diakses melalui http:// www.anneahira.com/masalah-kebudayaan.htm pada tanggal 17 Agustus 2011 pukul 17.28 WIB Anjjateng. 2007. Senitari. Diakses melalui http://www.blogster.com/ anjjateng/seni-tari-jawa-tengah pada tanggal 17 Agustus 2011 pukul 20.29 WIB 143

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 BSE. 2011. Globalisasi dan Modernisasi. Diakses melalui http:// www.crayonpedia.org/mw/BSE:Perilaku _Masyarakat_dalam_Perubahan_Sosial_Budaya_di_ Era_Global_9.1_(BAB_6) pada tanggal 17 Agustus 2011 pukul 17.34 WIB Cahyono, Nuri. 2009. Gobag Sodor. Diakses melalui http://permata- nusantara. blogspot. com/2009/02/gobag-sodor.html pada tanggal 18 Agustus 2011 pukul 19.42 WIB Dunia Baca. 2011. Kebudayaan. diakses melalui http:// duniabaca.com/definisi-budaya-pengertian-kebudayaan.html pada tanggal 17 Agustus 2011 pukul 17.00 WIB Kaskus. 2010. Alat Musik. Diakses melalui http://kaskusnews.us/ 2010/04/27/10-alat-musik-khas-indonesia/pada tanggal 17 Agustus 2011 pukul 21.04 WIB Kompasiana.2009. Permainan Tradisional. Diakses melalui http:// filsafat.kompa siana.com/2009/11/20/permainan-tradisional- tak-populer-lagi/pada tanggal 17 Agustus 2011 pukul 21.56 WIB Prilian, Gita Desy. 2010. Mainan Tradisional. Diakses melalui http:/ /belajarsejarah.com/?pilih =semuanya&kode=4&id=8 pada tanggal 17 Agustus 2011 pukul 22.00 WIB Pri, Yudhi. 2010. Gamelan. Diakses melalui http:// yudhipri.wordpress.com/gamelan-jawa/pada tanggal 17 Agustus 2011 pukul 21.24 WIB Syadiash. 2011. Lagu daerah. Diakses melalui http:// syadiashare.com/daftar-lagu-daerah-indonesia.html pada tanggal 17 Agustus 2011 pukul 18.47 WIB Biodata Penulis Beta Krisnanovita lahir di Sleman, 09 November 1994, ber- sekolah di SMA N 1 Yogyakarta kelas XI IPA 2. Alamat rumah di Sermo RT/RW 06/35 Sumberarum Moyudan Sleman Yogyakarta. Nomor telepon 085643418766, Sur-el (E-mail): [email protected] 144

Langit Merah LIMA KUNCI MENUJU BAHASA INDONESIA YANG BAIK Latifah Kusuma Dewi I. Latar Belakang Di zaman serba modern ini hasil ujian nasional (UNAS) yang diselenggarakan oleh pemerintah khususnya mata pelajaran Bahasa Indonesia sedikit sekali pelajar yang mendapat nilai sempurna tiap tahunnya. Tidak hanya dalam ujian nasional, dalam ulangan harian pun hanya beberapa siswa maupun siswi yang mendapat nilai sem- purna, bahkan hampir nihil alias tidak ada. Begitu juga dengan ulangan akhir semester dan laporan hasil belajar (raport). Tak bisa dipungkiri salah satu penyebab sedikitnya pelajar yang mendapat nilai sempurna dalam ujian nasional, dalam ulangan harian, dalam ulangan akhir semester dan dalam laporan hasil belajar adalah tingkat kesadaran akan pentingya berbahasa Indonesia dengan baik sangat rendah. Padahal menggunakan ba- hasa Indonesia dengan kurang baik akan menimbulkan suatu ke- rancuan kalimat kemudian kalimat tersebut mempunyai arti lain yang dapat menyebabkan orang yang mendengarnya menjadi salah kaprah atau salah paham. Melihat kenyataan tersebut penulis memutuskan untuk terjun langsung melakukan observasi singkat dan survey. Penulis memu- tuskan untuk mengambil sampel pelajar dan mahasiswa dengan kisaran umur antara 13–20 tahun yang berada di Kota Yogyakarta. Kemudian diambil sampel sebanyak dua puluh pelajar usia 12–14 145

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 tahun, dua puluh pelajar usia 15–17 tahun dan dua puluh maha- siswa usia 18–20 tahun. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara (interview) tidak langsung atau menggunakan angket dan metode studi pustaka (library search). Penulis melakukan penelitian dengan tema “Realita Prestasi Berbahasa Indonesia di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa”. II. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesadaran Pelajar Menggunakan Bahasa Indonesia dengan Baik Berdasarkan observasi yang telah penulis lakukan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kesadaran pelajar menggunakan bahasa Indonesia dengan baik menurut sampel siswa dan mahasiswa antara lain : 1. Faktor Lingkungan 2. Faktor Pendidikan Kemudian dua faktor tersebut diuraikan sebagai berikut : 2.1. Lingkungan Lingkungan yang baik akan mengasilkan manusia yang ber- martabat dan berkualitas. Lingkungan yang kurang baik akan menghasilkan manusia yang kurang bermartabat dan kurang ber- kualitas. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia yang tidak bermartabat dan tidak berkualitas. Jika ditinjau ulang ketiga kalimat di atas ada benarnya juga. Lingkungan yang paling berpengaruh dalam mencetak manusia yang baik adalah keluarga. Keluarga yang harmonis, keluarga yang penuh kasih sayang akan menghasilkan manusia yang ber- martabat dan berkualitas. Maksudnya keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang akan selalu mengajarkan anak-anaknya sesuatu yang baik-baik, termasuk mengajarkan berbicara yang baik dan sopan. Maka sang anak akan terbiasa menggunakan ba- 146

Langit Merah hasa Indonesia dengan baik. Sebaliknya, keluarga yang kurang harmonis cenderung sering berkata kasar baik anak maupun orangtua. Manusia yang bermartabat akan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan sesuai pada tempatnya. 2.2. Pendidikan Faktor yang kedua adalah faktor pendidikan. Dalam hal ini pendidikan dari keluarga adalah hal yang terpenting. Pepatah mengatakan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Maksudnya jika orangtua ketika masa muda dulu terbiasa berkata kotor dan kasar kemudian orangtua tersebut mendengar sang anak berbi- cara kotor atau kasar kebanyakan dari orangtua tersebut akan membiarkan sang anak karena tidak merasa risih dengan ucapan anak tersebut. Lain halnya dengan orangtua yang ketika muda dulu tidak terbiasa berkata kotor dan kasar, kemudian saat sang orangtua tersebut mendengar sang anak berkata kotor maupun kasar, maka sang orangtua tadi akan langsung menegur sang anak lalu mena- sehati dan memberi pengertian bahwa kata-kata yang terlontar dari mulut sang anak tersebut tidak baik dan tidak mencerminkan etika berbahasa dengan baik. Dengan demikian anak yang dididik oleh keluarga terutama orangtua dengan baik-baik akan mengerti etika berbahasa dan berbahasa Indonesia dengan baik. III. Lima Faktor yang Menyebabkan Tingkat Kesadaran Akan Pentingya Berbahasa Indonesia dengan Baik Sangat Rendah Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan secara garis besar ada lima faktor penyebab tingkat kesadaran akan pen- tingya berbahasa Indonesia dengan baik sangat rendah menurut sampel pelajar dan mahasiswa dalam grafik sebagai berikut : 147

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Grafik 1. Lima Faktor yang Menyebabkan Tingkat Kesadaran Akan Pentingya Berbahasa Indonesia dengan Baik Sangat Rendah Faktor-faktor di atas dapat dijabarkan dalam pengertian se- bagai berikut: 3.1. Tidak pernah mengikuti les atau kursus bahasa Indonesia Dari hasil survey yang telah penulis lakukan dapat dilihat bahwa salah satu penyebab rendahnya tingkat kesadaran akan pentingnya menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar adalah pelajar dan mahasiswa tidak pernah mengikuti les maupun kursus Bahasa Indonesia. Sedikit dari mereka yang me- rasa perlu untuk mengikuti les atau kursus bahasa Indonesia. Meskipun mata pelajaran bahasa Indonesia termasuk dalam mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional baik ujian na- sional tingkat SD, ujian nasional tingkat SMP/MTs/Sederajat maupun ujian nasional tingkat SMA/MAN/Sederajat hal tersebut tidak juga membuat siswa-siswi menyadari akan pentingnya me- ngikuti les atau kursus bahasa Indonesia secara khusus. Kalaupun ada yang mengikuti les bahasa Indonesia rata-rata dari mereka mengikuti les di bimbingan belajar dan mengambil satu paket mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. 148

Langit Merah Grafik 2. Tidak pernah mengikuti les atau kursus bahasa Indonesia 3.2. Menganggap Remeh Bahasa Indonesia Penyebab yang kedua rendahnya tingkat kesadaran akan pentingnya berbahasa Indonesia dengan baik dan benar adalah sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini menganggap meng- gunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari maupun dalam tulisan adalah hal yang sangat mudah. Dengan kata lain pelajaran bahasa Indonesia merupakan hal yang sepele. Pelajar dan mahasiswa Indonesia yang merasa dirinya adalah orang asli Indonesia, lahir di Indonesia, tinggal di Indonesia akan merasa mahir berbicara Indonesia dengan baik dan mahir menulis de- ngan bahasa Indonesia. Grafik 3. Menganggap remeh Bahasa Indonesia 149

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 3.3. Lebih Memilih Les atau Kursus Bahasa Asing Di era globalisai seperti sekarang ini rasanya tidak afdhol, tidak sah jika tidak memiliki keahlian berbicara, menulis, memahami bahasa asing terutama bahasa Inggris, karena bahasa Inggris adalah bahasa internasional. Hal tersebut menyebabkan pelajar dan ma- hasiswa saat ini lebih memilih mengikuti les bahasa asing ketim- bang mengikuti les bahasa Indonesia. Grafik 4. Pelajar lebih memilih les atau kursus bahasa asing 3.4. Lebih Menyukai Bahasa Asing Kebanyakan remaja pada zaman sekarang lebih menyukai sesuatu yang baru, terutama sesuatu yang bersifat kebarat-baratan atau sesuatu yang dianggap asing yang berasal dari luar negeri. Salah satu contoh remaja sekarang sedang mengagumi hal-hal yang berbau korea sehingga sebagian besar perhatian mereka tertuju pada hal-hal tersebut dan membuat mereka lebih ingin mempelajari bahasa asing daripada bahasa Indonesia. 150

Langit Merah Grafik 5. Lebih menyukai bahasa Asing 3.5. Terbiasa Berkata “Kotor” Remaja Indonesia sering sekali bahkan gemar mengeluarkan kata-kata “kotor”, kata-kata yang dianggap tidak sopan dan kata- kata kasar yang biasa disebut dengan “misuh”. Pemuda-pemudi sering menggunakan kata–kata kasar untuk mengekspresikan pe- rasaan mereka. Tetapi ada juga yang sekedar mengikuti teman- temannya agar dianggap lebih gaul. Grafik 6. Terbiasa berkata “kotor” IV. Kesimpulan Dari beberapa penyebab yang telah diulas secara lebih men- dalam di atas, secara garis besar dapat disimpulkan ada lima pe- nyebab rendahnya tingkat kesadaran akan pentingnya berbahasa Indonesia dengan baik. Lima penyebab tersebut yaitu tidak per- nah mengikuti les atau kursus bahasa Indonesia, menganggap 151

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 remeh bahasa Indonesia, lebih memilih les atau kursus bahasa asing, lebih menyukai bahasa asing dan yang terakhir yaitu ter- biasa berkata kotor. Untuk mengatasi masalah tersebut sebaiknya sekolah meng- adakan ekstra jam pelajaran Bahasa Indonesia untuk memperbaiki nilai UNAS. Kemudian untuk memperbaiki bahasa Indonesia yang digunakan dalam percakapan sehari-hari sebaiknya guru tidak hanya mengajarkan materi saja, tetapi juga mengajarkan etika berbahasa Indonesia dengan baik. Lalu semua pihak yang terkait membantu menumbuhkan dan meningkatkan rasa cinta terhadap Tanah Air Indonesia terutama pada Bahasa Indonesia agar sesuai dengan Sumpah Pemuda poin ketiga yang berbunyi “Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.” Baik guru maupun tentor les Bahasa Indonesia sebaiknya menggunakan metoda pembelajaran yang unik, metode yang ber- beda dari yang lainnya, metode yang baru untuk menarik perhatian siswa-siswi agar mereka menyukai Bahasa Indonesia. Contoh sebulan sekali guru mengajak muridnya untuk belajar di luar kelas, di lingkungan sekitar sekolah. Misalnya di dekat sekolah ada sawah yang membentang luas kemudian guru mengajak murid ke sawah tersebut lalu memerintahkan sang murid untuk menghayati perasaan apa yang mereka rasakan ketika berada di sawah itu. Setelah semua murid menghayati perasaan mereka sang guru memerintahkan untuk mengekspresikan perasaan tadi lewat tulisan baik puisi, cerpen, pantun maupun karangan tulisan yang lain. Dengan demikian baik siswa maupun siswi tidak hanya menyukai Bahasa Indonesia, tetapi juga menumbuhkan daya kreatifitas yang terpendam. Terakhir, sebaiknya guru, orangtua dan pihak terkait sering- sering mengingatkan jika ada pelajar dan mahasiswa yang sering berkata “kotor”. Jika diperlukan hendaknya diadakan penyuluhan- penyuluhan akan pentingnya berbahasa Indonesia dengan baik. 152

Langit Merah Biodata Penulis Latifah Kusuma Dewi beralamat di Jalan Nagan Tengah 33 RT 27/ RW 07, Patehan, Yogyakarta. No. Hp: 087838505636 153

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 MENULIS ILMIAH DENGAN MINI DAN MAYA Nurvirta Monarizqa Sejak usia berapakah kita bisa membaca? Tiga tahun? Empat tahun? Sejak usia berapa pula kita bisa menulis? Lima tahun? Saat duduk di sekolah dasar? Pertanyaan selanjutnya, sudah berapa huruf yang kita tulis hingga usia sekarang? Terakhir, sudah sejauh mana efek dari tulisan yang kita buat? Bermanfaatkah untuk sekitar kita? Apa tulisan yang kita buat selama ini hanya sebatas menunai- kan tugas sekolah? Menulis memang bukan hal yang asing bagi setiap orang. Apakah menulis itu? Membentuk karakter-karakter di atas media sehingga membentuk bahasa. Bahasa ini kemudian menjadi sarana yang dapat dimengerti satu orang dengan orang yang lain untuk menyampaikan ide dan gagasan. Sejarah, kata ini tidak asing bagi kita. Ternyata kata “sejarah” secara harafiah berasal dari kata Arab ( : šajaratun) yang artinya pohon. Dalam bahasa Arab sendiri sejarah disebut (tarikh). Kata “tarikh” dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah “waktu”.Lebih lanjut, kita kemudian mengenal zaman sejarah dan zaman prasejarah yang dibatasi oleh diperkenalkannya tulisan un- tuk mendokumentasikan peristiwa yang terjadi. Zaman prasejarah sendiri telah berakhir 4000 tahun sebelum masehi di Mesir dan diperkirakan abad ke-5 di Indonesia. Ini berarti tulisan sudah menjadi warisan nenek moyang kita sejak ribuan 154

Langit Merah tahun. Kala itu media yang digunakan berupa dinding, maupun batu prasasti, sehingga kita yang merupakan generasi penerus de- ngan segala fasilitas ini jauh lebih beruntung dalam mendokumen- tasikan peristiwa dan gagasan melalui segala media yang ada. Menulis adalah penuang gagasan yang paling efektif.Tentu, menulis yang dimaksud di sini bukanlah sekedar menulis karangan maupun menulis puisi, melainkan menulis ilmiah.Menulis ilmiah adalah kegiatan kepenulisan yang bertujuan menghimpun gagasan atas permasalahan, mencari penyebabnya dari studi-studi dan me- todologi yang dilakukan, kemudian mencoba menyimpulkan so- lusi yang cocok diterapkan menghadapi permasalahan tersebut berdasar penyebab yang ditemukan secara sistematis dan logis. Tidak diragukan lagi, banyak perubahan dunia yang terjadi dari tulisan, seperti Kartini dengan kumpulan surat-suratnya yang dibukukan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang yang dapat mem- buat penyetaraan hak antara perempuan dengan laki-laki. Mengapa menulis ilmiah lebih efektif menuang gagasan? Karena media untuk menulis sangat banyak dan menulis membuat penulisnya lebih “tampak” dan “dihargai” intelektualitasnya. Dengan banyaknya media untuk menuangkan tulisan, gagasan tersebut akan lebihbanyak menarik perhatian, lebih sistematis dan fokus, dibandingkan hanya dengan mengutarakan gagasan lewat perkataan. Sebut saja demonstrasi yang sekarang marak dilakukan.Aksi- aksi ini seakan tidak pernah didengar oleh pemerintah yang men- jadi obyek aksi.Hal ini disebabkan oleh kurang fokus dan sistema- tisnya gagasan yang disampaikan.Sebagai contoh, mahasiswa yang melakukan demonstrasi hanya meneriakkan “Turunkan harga! Rakyat Menderita”. Menurut aturan ilmiah, kebenaran “teriakan” ini tentu disangsikan karena tidak ada bukti yang mereka paparkan secara sistematis, dan didapat dari cara-cara yang ilmiah. Di abad ke-21 ini, telah begitu banyak media yang digunakan untuk menuangkan gagasan melalui tulisan ilmiah, yang tentu akan lebih efektif dibandingkan berteriak-teriak di perempatan 155

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 jalan seperti itu. Entah itu melalui jurnal dunia maya, portal surat kabar, maupun blog pribadi. Menulis pun mulai diminati oleh para remaja yang telah mengenal media-media tersebut. Namun sayang, tidak jarang kegiatan menulis hanya sebatas menuangkan permasalahan pribadi atau kata lainnya “curhat” via dunia maya. Sebut saja jejaring sosial twitter maupun facebook yang sering digunakan untuk meng-update status semata yang sering diistilah- kan remaja sekarang sebagai “status galau”. Banyak motif yang melatarbelakanginya, sebagian besar menyebut agar eksis dan mendapat banyak perhatian dari teman-temannya. Tidak banyak yang menggunakan jejaring sosial dan media menulis lain untuk menuangkan gagasan yang kritis, aktual, dan merupakan sebuah problem solving. Kompetisi menulis ilmiah se- perti esai maupun penelitian pun menjadi sesuatu yang kurang populer, kurang diminati.Padahal, dari kompetisi menulis ilmiah ini dapat lahir gagasan-gagasan yang membantu memecahkan permasalahan negara.Sehingga sebagai negara berkembang, Indo- nesia sangat butuh pemikiran dari generasi penerus yang masih memiliki semangat berkarya ini guna memperbaiki bangsa. Ketika Mini Menjadi Penghalang Mini di sini bukan nama orang, maupun nama tokoh kartun. Mini berarti kecil, sedikit menurut Kamus Besar Bahasa Indo- nesia. Hal-hal yang mini dapat menjadi penghalang dalam sema- ngat kepenulisan ilmiah, antara lain a. Porsi yang mini Kegiatan menulis ilmiah bukanlah makanan di restoran yang bisa dipesan porsi kecilnya.Jika memang kegiatan menulis ilmiah adalah makanan, dia harus disediakan dengan porsi yang besar, lengkap dengan lauk pauk yang mendukung makanan tersebut. Di sekolah menengah, tempat remaja bergagasan cemerlang banyak ditempa ini, tidak banyak yang mengenalkan apa itu me- nulis ilmiah kepada siswa-siswanya. Biasanya, kegiatan ini hanya 156

Langit Merah diintegrasikan ke dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yang menu- rut sebagian pelajar adalah pelajaran yang kurang menarik. Akibatnya, tentu saja menulis ilmiah mendapatkan porsi yang kecil di dalam kegiatan belajar mengajar, padahal kegiatan menulis ilmiah seharusnya tidak diintegrasikan ke mata pelajaran Bahasa Indonesia semata, namun juga ke semua pelajaran. Menulis ilmiah pada dasarnya harus memiliki landasan pe- ngetahuan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga alangkah lebih baiknya porsi yang mini ini “dibesarkan” dengan diintegrasikan ke semua mata pelajaran. Integrasi ini bisa dalam bentuk pem- buatan tulisan, mengkaji permasalahan aktual pelajaran tersebut, atau dalam bentuk observasi lapangan yang menyenangkan. b. Kesan yang Mini Remaja adalah agen perubahan dan agen pembawa pesan. Sifat remaja yang terbuka dengan sekitarnya untuk mendapatkan pengakuan dalam komunitas membuat remaja sangat mudah un- tuk mengambil “kesan”. Kesan yang diambil inilah yang kemudi- an mempengaruhi pemuda dalam bertingkah laku terhadap se- suatu yang memberi “kesan” tersebut. Menulis ilmiah telah membekaskan “kesan” yang datar, cen- derung menyeramkan dan membosankan. Hal ini adalah sebagai akibat dari poin sebelumnya, yaitu porsi yang mini, serta cara penyampaian materi menulis ilmiah yang kaku dan monoton. Memang, dalam menulis ilmiah diperlukan langkah-langkah yang tidak boleh ditinggalkan agar tulisan tetap bersifat ilmiah. Menjelaskan tata cara memang membosankan jika tidak dibarengi dengan praktek, seperti seorang pembawa acara masak-memasak yang memperagakan resep tanpa memasaknya langsung. Jadi se- benarnya, “kesan” yang mini ini bisa dihindari dengan penyajian materi yang menyenangkan dan cenderung praktikal. c. Pendampingan yang Mini Kegiatan menulis ilmiah bukan pekerjaan Bandung Bondo- woso yang “semalam jadi”. Dibutuhkan pendampingan-pendam- 157

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 pingan dari mereka yang berpengalaman lebih untuk membim- bing, mengkoreksi, dan memberi masukan dalam kegiatan menu- lis ilmiah. Inilah sebabnya di tingkat perguruan tinggi pasti ada Dosen pembimbing skripsi untuk mengerjakan skripsi. Di tingkat sekolah menengah, pembimbing, lebih tepatnya pendamping, sangat dibutuhkan untuk mengarahkan siswa me- nulis ilmiah dengan benar. Agar lebih efektif, pendampingan ha- rus dilakukan oleh mereka yang berpengalaman, pada bidangnya, namun dapat menyampaikan apa-apa yang dibutuhkan dengan bahasa remaja. Hal ini sangat bisa dilakukan oleh kakak-kakak mereka yang berada di perguruan tinggi. Pendampingan semacam ini telah diterapkan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Tim Sagasitasnya, yang berisi sekumpulan mahasiswa berbagai bidang yang siap mendampingi siswa seko- lah menengah berkegiatan ilmiah. Hal ini terbukti efektif karena setelah dilakukan pendampingan yang terarah, muncul prestasi- prestasi yang tercetak di tingkat nasional hingga internasional di bidang karya ilmiah dan penelitian. Sayangnya, komunitas seperi ini masih belum banyak dite- mui, sehingga tugas kitalah, mahasiswa untuk memiliki kesa- daran dan menyadarkan kerabat-kerabat lain bahwa mendam- pingi adik-adik yang masih bersekolah untuk berkegiatan ilmiah adalah kegiatan yang banyak manfaatnya bagi kepenulisan ilmiah dan kemajuan bangsa ke depannya. d. Promosi dan Inovasi yang Mini Bahasa adalah salah satu unsur yang dinamis. Terlebih me- nulis ilmiah, tidak akan pernah lekang dimakan zaman karena sangat dinamis dan mengikuti permasalahan di setiap zamannya. Tentu, berbeda zaman, berbeda pula pola remajanya.Remaja kini dimanjakan oleh kemudahan inovasi teknologi. Menulis ilmiah harus mengerti akan hal ini. Perkembangan harus disesuaikan sehingga promosi dan inovasi menulis ilmiah harus gencar dilak- sanakan. 158

Langit Merah Sayangnya, promosi dan inovasi masih mini.Para “pengajar” masih kaku dengan cara menulis ilmiah lama, sehingga inovasi tersendat. Kemudian, promosi akan karya ilmiah dan segala keuntungannya menjadi jarang tersentuh oleh remaja. Kurangnya promosi dan inovasi ini bisa menimbulkan anggapan bahwa kegiatan menulis ilmiah adalah kegiatan yang dilakukan mereka-mereka yang jenius, cupu, tidak populer. Pa- dahal, kegiatan ini bisa dilakukan siapa saja di mana saja.Adalah tugas kita bersama untuk kembali menumbuhkan promosi dan inovasi di bidang kepenulisan agar setara dengan zamannya. e. Penghargaan yang Mini Apa yang didapat dari menulis ilmiah? Tentu pengetahuan dan kepuasan batin ketika dapat memecahkan masalah dan bermanfaat bagi sekitar. Tapi jika hasil menulis ilmiah yang dila- kukan akhirnya hanya menjadi kenangan di atas kertas semata, tidak ada tindak lanjut, akan sungguh disayangkan karena kesem- patan memperbaiki bangsa ini menjadi tersendat. Kurangnya penghargaan yang diberikan kepada kegiatan ke- penulisan ilmiah membuat kurangnya motivasi.Penghargaan ini dapat berupa moral maupun material.Moral adalah dengan diwu- judkannya gagasan yang telah dituliskan dan material adalah de- ngan pemberian sejumlah balas materi atas gagasan seperti uang misalnya. Inilah yang kemudian mengakibatkan peserta audisi Indo- nesian Idol, atau ajang pencarian bakat lainnya menjadi lebih banyak ketimbang peserta lomba kepenulisan ilmiah.Hadiah yang ditawarkan, fame yang diberikan, dan kesempatan berkarya men- jadi lebih luas. Sangat ironis, ketika pejuang di bidang ilmu pengetahuan dan perubahan nyata seperti ini justru mendapat apresiasi yang kurang jika dibandingkan dengan kegiatan hiburan. 159

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Ketika Mini Menjadi Solusi Indonesia adalah negara dengan pengguna internet kelima terbanyak di dunia yaitu sejumlah 45 juta orang melalui desktop, dan diperkirakan sebayak 150 juta orang melalui telepon genggam di semester pertama tahun 2011, yang naik 70% dari tahun sebe- lumnya. Sayangnya, 60% mobile internet yang dilakukan hanya berkutat di social media saja, berupa berbagi status maupun ber- cakap-cakap.Lebih detail, Indonesia adalah negara pengguna Twitter terbesar ketiga di dunia dengan 5 juta akun dan 1,6 juta tweet yang beredar tiap harinya, serta pengguna Facebook terbesar kedua di dunia. Hal ini didukung oleh presiden kita, seperti dikutip pada Detiknews,”Kami memiliki ‘kolam’ besar penduduk muda. Seki- tar 50 persen dari 240 juta penduduk Indonesia di bawah usia 29 tahun,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat memberikan sambutan dalam Overseas Private Invesment Corpo- ration (OPIC) yang berlangsung di Ballroom Hotel Sangri La, Ja- karta, Rabu, 4 Mei 2011. Beliau melanjutkan, “Pemuda kami ini bisa dibilang paling ‘connected’. Saat ini kita adalah pengguna Facebook tertinggi kedua di dunia, dan tertinggi ketiga pengguna Twitter.Ini bukan cuma bentuk kepercayaan diri dan bentuk na- sionalisme saja. Tapi ini adalah sikap terbuka kreatif, sebuah keya- kinan bahwa keterlibatan kami dengan dunia membuat kita lebih kuat, lebih aman, dan lebih baik,” Jumlah pemuda yang banyak dan connected, penggunaan internet dan social media yang besar ini bisa menjadi cara baru dalam menghadapi porsi, kesan, pendampingan, inovasi, promosi dan penghargaan yang mini ini Pertama, dari jejaring sosial Twitter.Microblogging 140 ka- rakter yang sukses mendapatkan lebih dari 200juta pengguna ha- nya dalam waktu 5 tahun sejak dipublikasikan ini membuat orang semakin keranjingan Twitter karena mau tidak mau mereka harus terus menerus posting tweet mereka agar dapat tetap bercakap- cakap di timeline bersama teman-teman di twitternya. 160

Langit Merah Twitter pun berkembang fungsinya dari yang tadinya situs jejaring sosial untuk berbagi status atau apa yang sedang anda lakukan hari ini menjadi sarana promosi. Entah itu bisnis, ke- giatan, maupun berbagi tulisan.Sebut saja akun @poconggg yang berbagi tulisan hingga kemudian menerbitkan buku. Akun @terselubung yang me-link twit-nya ke posting-posting blog yang memuat fakta-fakta yang tidak banyak diketahui, akun @mbljr yang berbagi pengetahuan, akun @gnfi yang membagikan kabar- kabar baik dan membanggakan dari Indonesia, maupun akun- akun artis yang mempromosikan kegiatannya. Begitu pula kegiatan menulis ilmiah.Pendampingan, kesan dan promosi bisa dilakukan pihak yang terkait dengan membuat akun mengenai kepenulisan. Bisa berupa akun konsultasi kepe- nulisan, maupun akun pemberi semangat bagaimana cara me- nulis dan apa saja benefit yang didapatkan. Kemudian sebagai inovasi prakteknya, remaja bisa diajak membuat twit mereka berisi sesuatu yang kritis, mengomentari atau memberi informasi mengenai hal aktual. Kegiatan ini sering disebut dengan kultwit (kuliah twitter) dimana twit satu bersam- bung dengan twit yang lain hingga apa yang dikuliahkan ini se- lesai. Pelaku kultwit akan terlatih dan ketagihan untuk berbagi dan kritis dengan sekitar, dan tentu, di twitter seperti ada hukum “banyak memberi info, banyak yang memfollow” sehingga tentu mereka akan mendapatkan follower yang lebih banyak. Semakin banyak follower, maka akan semakin “tinggi” juga gengsi yang didapatkan. Sebagai anak muda yang menjadikan pengakuan dan eksistensi adalah parameter keberhasilan bergaulannya, tentu hal ini bisa dijadikan ajang mengkompori remaja bertwitter yang se- hat dan bermanfaat. Selain itu, twitteran dengan memfollow akun-akun yang ber- manfaat akan memancing penggunanya untuk ikut kritis menang- gapi masalah. Diskusi-diskusi berupa tanya jawab pun tidak ja- 161

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 rang terjadi sehingga menghasilkan ide. Ide-ide yang datang dari twitter ini dapat dikumpulkan sebagai ide menulis ilmiah. Selain dari twitter, ide bisa datang dari grup-grup yang di- ikuti di jejaring sosial Facebook. Tak jarang, banyak pembicaraan yang melatih kekritisan dan cara menyampaikan pendapat yang baik kepada orang lain. Ini akan berguna untuk berlatih berso- sialisasi dan mengemukakan pendapat. Kedua, ke situs media penulisan.Saat ini ada sekitar 60 juta pengguna blog di seluruh dunia.Blog ini dapat digunakan sebagai sarana mengemukakan pendapat secara panjang. Jika twitter hanya 140 karakter sehingga hanya bisa digunakan menampung ide, blog atau pun website adalah sarana untuk mengembangkan ide menjadi tulisan yang utuh dan komplit. Fakta-fakta pendu- kung tulisan ilmiah pun bisa didapatkan di banyak tempat, entah itu bertukar pranala saat diskusi, observasi sosial dunia maya melalui jejaring sosial, wawancara melalui chatting internet, mau- pun penjelajahan web. Awalnya, mungkin menulis blog hanya yang berkesan untuk pribadi, namun dengan terbiasa kritis dari diskusi tadi, blog dapat menjadi sarana ampuh untuh mendapatkan “massa” dalam me- lontarkan opini dan tulisan ilmiahnya. Ketiga, tentu mencetak atau mempublikasikan ke media yang lebih besar, seperti diikutkan kompetisi, ataupun dimasuk- kan ke media massa. Di sini apresiasi dan penghargan yang mini tadiakan lebih besar diberikan. Masyarakat dunia maya Indonesia adalah masyarakat yang sangat solid dan mudah dipengaruhi, terbukti dari seringnya Trending Topic pada Twitter yang berasal dari Indonesia. Kekuatan ini dapat dimanfaatkan untuk menjadi- kan tulisan kita mendapat apresiasi dan penghargaan yang lebih, karena memiliki banyak pendukung. Penghargaan secara materi juga banyak diberikan di dunia maya. Lomba blog, artikel dengan hadiah yang besar banyak di- berikan. Ini karena dunia maya adalah lahan yang baik untuk berbisnis dan berpromosi, sehingga sponsor yang mengakibatkan banyaknya hadiah akan lebih mudah didapatkan. 162

Langit Merah Akhirnya, tulisan pun selesai.Menulis ilmiah di abad 21 ini sangat banyak medianya, dan terbukti dapat menumpas keminian yang selama ini terjadi jika kita jeli dalam melihat peluang.Remaja adalah generasi penuh semangat yang justru bahaya jika sema- ngatnya tidak diarahkan dan disalurkan ke media yang baik. Menulis ilmiah adalah sarana tepat untuk mendidik dan membentuk karakter generasi penerus bangsa sebagai generasi cerdas, kritis dan berprestasi. Di era globalisasi ini, sudah saatnya menulis ilmiah berakulturasi dengan dunia maya melahirkan pe- nulis-penulis ilmiah dengan gagasan yang orisinal, tepat sasaran, dan mampu memecahkan persoalan bangsa. Daftar Pustaka Tim Penyusun Kamus. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya. http://forum.detik.com/sby-banggakan-pengguna-twitter- indonesia-terbesar-ketiga-di-dunia-t258957.html http://teknologi.kompasiana.com/internet/2011/07/20/ indonesia-mendominasi-penggunaan-twitter/ http://adit38.wordpress.com/2011/03/30/pertumbuhan- pengguna-internet-indonesia-naik-drastis-tapi-cuma-buat- facebookan/ http://syadiashare.com/definisi-sejarah-dan-keterangannya.html http://www.google.co.id/publicdata/explore?ds=d5bncppjof 8f9_&met_y=it_net_user_p2&idim=country:IDN&dl=id&hl =id&q=pengguna+internet+di+indonesia Biodata Penulis Nurvirta Monarizqa lahir di Brebes, 18 Maret 1993. Kuliah di Jurusan Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Alamat rumah di Kalibening RT 02 RW 01, Tirtomartani, Kalasan, Sleman.NomorHP08566345610,Sur-el(E-mail):[email protected] 163

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 SASTRA DI BALIK TIRAI PENDIDIKAN Eni Puji Utami I. Pendahuluan Hubungan bahasa dengan Sastra Indonesia pada dasarnya serupa dua sisi mata uang. Keduanya tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri. Sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna dengan bahasa sebagai mediumnya (Prodopo, 1995). Ber- dasarkan konvensi bahasa tinggkat pertama, melalui pembacaan heuristik, bahasa telah memiliki arti tersendiri. Sehingga, sebelum jadi anasir dari bangunan karya sastra, bahasa sendiri tidaklah ne- tral. Maka, bukan suatu hal yang baru jika sastra dimasukkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Mengapa pembelajaran sastra di sekolah menjadi penting untuk dipersoalkan? Setidaknya ada dua argumen yang layak dikemukakan. Pertama, karya sastra dianggap mampu membuka “pintu” hati pembacanya untuk menjadi manusia berbudaya, yak- ni manusia yang responsif terhadap lingkungan komunitasnya, mengukuhi keluhuran dan kemuliaan budi dalam hidup, dan berusaha menghindari perilaku negatif yang bisa menodai citra keharmonisan hidup. Hal itu bisa terwujud ketika seseorang me- miliki tingkat apresiasi sastra yang cukup. Artinya, ia mampu me- nangkap pernik-pernik makna yang tersirat dalam karya sas- tra dan sanggup menikmati “menu” estetika yang terhidang di dalamnya. 164

Langit Merah Kedua, sekolah diyakini sebagai institusi pembelajaran dan basis penanaman nilai-nilai moral dan budaya kepada siswa. Dari sisi ini, sekolah diakui sebagai ajang sosialisasi yang tepat untuk memperkenalkan sastra kepada para siswa, sehingga kelak menjadi generasi-generasi bangsa yang cerdas, pintar, dan terampil, seka- ligus bermoral. Dengan kata lain, jika sekolah mampu melaksana- kan pembelajaran sastra secara optimal, maka negeri kita akan di- huni oleh penduduk yang bermoral tinggi, berperikemanusiaan, dan sarat sentuhan nilai keluhuran budi serta kearifan hidup. Akan tetapi, pada kenyataanya pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di jenjang pendidikan sekolah selama ini sering diaggap kurang penting dan cenderung dianaktirikan oleh para pendidik. Hal ini menyebabkan mata pelajaran yang sebenarnya menarik dan mengandung banyak manfaat bagi para siswa tersebut disa- jikan sekadar untuk memenuhi tuntutan kurikulum, kering, dan kurang hidup. Padahal, jika dikaji secara mendalam, tujuan pe- ngajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dimaksudkan untuk menumbuhkan keterampilan, rasa cinta, dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai bagian dari budaya warisan leluhur. Dengan demikian, tugas guru ba- hasa dan sastra Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan (as- pek kognitif), tetapi juga keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta (aspek afektif), baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di luar kelas. II. Pembahasan Dewasa ini, karya sastra dianggap kurang penting dan ku- rang berperan dalam masyarakat Indonesia. Penyebab utamanya barangkali masyarakat saat ini sedang mengarah ke masyarakat industri, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan dibutuhkan. Indi- kasi yang muncul kemudian adalah mulai berkurangnya perhati- an masyarakat terhadap kesusastraan. 165

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Kondisi di atas juga terjadi dalam dunia pendidikan. Perha- tian para murid dan pengelola sekolah terhadap mata pelajaran yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik jauh lebih besar dibandingkan dengan mata pelajaran kemanusiaan (humaniora), terutama kesusastraan. Kondisi tersebut memuncul- kan pertanyaan, adakah kepedulian para pengambil keputusan untuk memosisikan sastra –sebagai bagian pendidikan humanio- ra—pada aras yang lebih terhormat di tengah-tengah kebijakan pembangunan nasional yang mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa di era global? Menurut ramalan para futurolog–termasuk John Naisbitt dan Patricia Aburdene—pada tahun-tahun mendatang dunia akan diwarnai dengan ketatnya persaingan yang berimbas pada pergeseran dan perubahan tata nilai. Dalam kondisi demikian, generasi bangsa yang kini tengah bersikutat menuntut ilmu di bangku pendidikan, mestinya harus lebih banyak mendapat sen- tuhan nilai moral, sehingga kelak mereka mampu bersaing secara arif dan sehat. Pembelajaran bidang humaniora, termasuk sastra, harus ditumbuhkembangkan di sekolah sebagai basis moral dan mental dalam memasuki era global itu. Seandainya sastra benar-benar diperlakukan sebagai mata pelajaran tersendiri, jelas LPTK sebagai pencetak calon guru harus benar-benar “siap”. Artinya, jangan hanya menghasilkan lulusan “karbitan” yang tampaknya matang tetapi rasanya hambar, tetapi betul-betul lulusan yaang sudah matang diterjunkan di lapangan dengan taruhan profesi dan kualitas yang bisa diandalkan (Sa- wali, 2007). Sejumlah kritikus sastra dalam memandang pengajaran sas- tra di sekolah melalui tulisannya terlanjur menjatuhkan vonis bersalah pada guru Bahasa Indonesia atas rendahnya apresiasi siswa terhadap karya sastra. Menurut pandangan kritikus sastra tersebut, kian merananya pengajaran sastra di sekolah lebih ba- nyak disebabkan oleh dua faktor yang bermuara pada guru. Per- tama, guru sebagai sosok pengajar dianggap kurang memiliki 166

Langit Merah kompetensi dan basis pengetahuan sastra yang mumpuni. Kedua, guru dinilai tidak kreatif dalam proses pembelajaran sastra di sekolah sehingga cenderung membosankan. Ini terjadi karena guru dinilai tidak memiliki strategi jitu. Jika kita melihat fakta di lapangan, diakui atau tidak, guru yang mahir mengajarkan bahasa Indonesia belum tentu mam- pu mengajarkan sastra sehingga menjadi menarik. Pengajar- an puisi, misalnya, selain dituntut menguasai materi ajar guru juga harus mampu memberi contoh yang memikat dan sugestif ketika memberikan contoh dalam membaca puisi. Hal ini sulit dilakukan oleh guru bahasa yang kurang memiliki minat serius dan talenta yang cukup mengenai pengajaran puisi. Dengan adanya spe- sialisasi, maka guru bahasa yang minat dan talentanya lebih con- dong ke sastra dapat mengaktualisasikannya di tengah-te- ngah proses pembelajaran, sehingga siswa terangsang untuk mencintai dan menggeluti karya sastra. Kedua, beban berat pendidikan yang mengemban misi mema- nusiakan manusia akan menjadi lebih ringan. Sebab, mela- lui pembelajaran sastra pengetahuan budaya, cipta dan rasa, serta watak siswa akan lebih berkembang. Dengan kata lain, “oto- nomi” pembelajaran sastra akan memberikan kontribusi yang cu- kup berarti bagi dunia pendidikan. Namun, yang menjadi permasalahan mendasar dalam pan- dangan kami sesungguhnya adalah sistem pendidikan itu sendiri. Kurikulum pendidikan yang saat ini dianut tidak pernah membe- rikan ruang gerak yang leluasa pada pembelajaran sastra. Orientasi pemerintah dalam pembangunan bidang pendidikan masih me- lenceng jauh dari hakekat tujuan pendidikan itu sendiri. Inilah yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Pendidikan diselenggarakan hanya untuk menciptakan tu- kang, dan mengejar nilai semata. Sehingga mata pelajaran hu- maniora seperti sastra, bahasa, seni dan budaya hanya diletakan di pinggiran, dianaktirikan, bahkan dianggap tidak berguna sama sekali. Pengetahuan tentang sastra termasuk apresiasi sastra, di- 167

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 nomorduakan dan dianggap hanya sebagai hiburan. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan guru bermalas-malasan da- lam mengajarkan pengetahuan tentang sastra. Dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut untuk aktif, kreatif, inovatif dan menciptakan strategi jitu. Guru juga dituntut mengembangkan kompetensinya sehingga mampu men- ciptakan pembelajaran yang berkualitas dari segi isi (materi) maupun kemasannya. Dalam konteks pembelajaran sastra, tentu saja guru dituntut mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan, serta tidak ketinggalan jaman. Namun sayangnya, guru dihadapkan pada seperangkat silabus dan standar kompetensi lulusan (SKL) tertentu yang telah ‘dipatenkan’ secara nasional yang berkiblat pada hal yang di- anggap sangat sakral berupa seperangkat kurikulum. Inilah kunci pokok permasalahanya. Silabus dan SKL inilah yang “menyum- bat” kreatifitas guru sastra. Sehingga dengan sendirinya pembe- lajaran sastra di sekolah kian terpingginggirkan. Sistem pendidikan di Indonesia acap kali memaksa sekolah sebagai penyelenggara pendidikan dan guru ujung tombak untuk mengingkari hakekat pendidikan itu sendiri. Target perolehan nilai tertentu yang harus dicapai dengan standar penilaian ujian nasional, memicu pengingkaran tujuan pendidikan yang sebe- narnya. Sehingga tak urung memaksa guru bahasa menomor- duakan sastra. Kemudian akan timbul pragmatisme pendidikan. Sehingga terjadi distorsi tujuan dan fungsi fundamental pendi- dikan. Sekolah bukan lagi jalan liberasi dan humanisasi, tapi justru dibebani tujuan dan fungsi politis, ideologis, birokratis, korpo- ratis, dan ekonomis. Sekolah telah menjadi praktek penindasan oleh kaum kapitalis, dehumanisasi. Kondisi ini jauh-jauh hari yaitu pada tahun 1970 telah dikritik habis oleh Paulo Freire, de- ngan mengatakan pendidikan telah jadi bentuk kapitalisme yang licik (Escobar, dkk. Ed: 1998). Sekolah hanya menghasilkan tukang. Parahnya, kualitas aka- demik tukang-tukang ini hanya ditentukan oleh standar Ujian 168

Langit Merah Nasional (UN). Akibatnya terjadi penganak-tirian terhadap ma- teri-materi tertentu, dan pelajaran-pelajaran tertentu yang tidak menunjang capaian ketuntasan belajar versi UN. Semua mata pe- lajaran yang tidak ada hubungannya dengan ujian nasional di- anggap tidak perlu. Ujian Nasional menjadi tujuan akhir pendi- dikan. Sementara pendidikan karakter, kebebasan berpikir, budi pekerti, berkreasi, mengolah emosi, rasa dan perasaan tidak per- nah dianggap penting. Semua termarginalkan oleh target penca- paian nilai ujian nasional. Barangkali kita sempat berpikir, bukankah sastra sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah juga termasuk salah satu mata pelajaran yang diujikan secara nasional? Sebaliknya, materi atau soal-soal UN sama sekali tidak berhu- bungan dengan kemampuan apresiasi siswa. Meski di dalamnya terdapat beberapa item soal yang berhubungan dengan sastra, namun lagi-lagi soal tersebut hanya berupa hapalan dan ingatan. Tidak pernah berhubungan dengan kemampuan apresiasi, olah rasa, emosi dan perasaan. Lalu bagaimana dengan kurikulum tingkat satuan pendi- dikan (KTSP)? KTSP konon dibuat untuk memberikan ruang gerak yang sebebas-bebasnya pada pihak sekolah, secara otonom untuk menyusun strategi dan menetapkan target pendidikan yang hendak dicapai (Mulyasa, 2006). KTSP menjanjikan pada guru untuk melakukan berbagai inovasi pendidikan. Namun dalam kenyataanya KTSP juga tidak mampu memberikan ruang yang cukup bagi guru untuk lebih inovatif dalam proses pembelajaran pada peserta didik. Dalam konteks pembelajaran sastra, KTSP sama sekali belum memberikan otonomi pada guru untuk memilih secara bebas dan bertanggungjawab materi-materi (karya-karya sastra) mana yang sesungguhnya sesuai dengan perkembangan zaman. Target me- menuhi standar ketuntasan UN sering kali mengalahkan hakekat KTSP. Di sisi lain, KTSP tidak benar-benar memberikan ruang gerak yang bebas bagi guru dan sekolah. Alih-alih KTSP menjadi 169

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 solusi atas kebuntuan dan probelm pembelajaran sastra di seko- lah, ternyata malah setali tiga uang dengan KBK yang hanya ber- orientasi pada pencapaian nilai UN.(Teguh Trianton, 2009). Biasanya guru dan sekolah menganggap kurikulum sejenis kitab suci yang harus dilaksakan, sehingga pendidikan berjalan kaku dan serba wajib. Padahal yang dianggap sebagai “kitab suci” tersebut sebenarnya hanya akan membutakan pola pikir manusia. Sebuah pikiran yang hanya terpatok pada satu kebijakan dari pe- merintah dan tidak ada sebuah pengembangan. Dari situ kita hanya bisa berharap kepada institusi pendi- dikan (sekolah). Pemerintah melalui departemen pendidikan, juga guru, tidak ragu untuk merumuskan kembali atau merevitalisasi tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Tidak menganak-emas- kan materi atau mata pelajaran dan ilmu pengetahuan tertentu dengan alasan karena tidak diujikan secara nasional (UN). Bila kita jujur dan masih tetap menganggap pendidikan me- rupakan upaya lain untuk memanusiakan manusia, perhatian ter- hadap semua materi ajar di sekolah haruslah seimbang dan saling sumbang. Tawaran untuk menggunakan pendekatan integral da- lam pengajaran berbagai materi ajar di sekolah merupakan jalan keluar awal untuk mengakhiri kepincangan selama ini. Sekarang, tinggal bagaimana guru menafsirkan konsep integralistik tersebut dan bagaimana pula mewujudkannya dalam kegiatan pembela- jaran, khususnya pembelajaran sastra di sekolah sehingga mata pelajaran ini menjadi menarik dan mendapat tempat di hati siswa. III. Penutup Hal-hal yang dapat dilakukan, antara lain sebagai berikut. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah meyakinkan siswa bahwa pengajaran sastra tidak hanya menawarkan hiburan sesaat, tetapi juga akan memberi berbagai manfaat lain bagi siswa. Peng- ajaran sastra secara langsung ataupun tidak akan membantu sis- wa dalam mengembangkan wawasan terhadap tradisi dalam ke- hidupan manusia, menambah kepekaan terhadap berbagai pro- 170

Langit Merah blema personal dan masyarakat, dan bahkan sastra pun akan me- nambah pengetahuan siswa terhadap berbagai konsep teknologi dan sains. Penikmatan yang apresiatif terhadap puisi, prosa, naskah drama akan membuktikan kemanfaatan tersebut pada siswa. Selanjutnya, guru pun harus berusaha mengubah teknik pembelajaran sastra di sekolah. Selama ini pengajaran sastra (dan juga bahasa) Indonesia lebih diarahkan pada aspek sejarah dan pengetahuan sehingga siswa dipacu untuk menghafal, bukan un- tuk memproduksi atau mengahayati karya yang diajarkan. Tam- paknya guru harus kembali melihat dan memahami tujuan penga- jaran sastra di sekolah sehingga konsep pengajaran yang apresiatif benar-benar dapat diwujudkan pada masa yang akan datang. Kita memang menayadari adanya kesukaran dalam mengajarkan apre- siasi sastra pada siswa yang tingkat keakraban mereka dengan karya sastra relatif kurang. Kita juga menyadari bahwa tidak se- mua guru memiliki kemampuan apresiasi sastra yang relatif me- madai. Namun demikian, guru harus berusaha secara bertahap untuk melatih kemampuan apresiasinya dan berusaha pula mengajarkan apresiasi kesastraan kepada siswa. Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya sastra oleh siswa. Kegiatan ini dapat juga diwu- judkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan berbagai teknik pembelajaran. Kegiatan deklamasi, lomba penulisan puisi, musi- kalisasi puisi, dramatisasi puisi, mendongeng, pembuatan si- nopsis, bermain peran, penulisan kritik dan esei, dan berbagai kegiatan lain dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan apresiasi sastra pada siswa. Berbagai kegiatan tersebut dijamin akan me- numbuhkan penghayatan, pencintaan, dan penghargaan yang re- latif baik pada para siswa terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Hal lain yang juga perlu dipikirkan saat ini adalah peman- faatan dan pengadaan buku/bacaan kesastraan di sekolah. Peme- rintah, di satu sisi, telah berusaha melengkapi buku bacaan untuk 171

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 para siswa melalui Proyek Pengadaan Buku Bacaan. Meskipun bahan yang dikirimkan ke sekolah belum memadai, guru seha- rusnya dapat memanfaatkan sarana yang ada itu untuk meman- cing kreativitas membaca dan mencipta pada siswa. Di samping itu, guru dan pihak sekolah harus juga berusaha membeli bacaan lain, seperti surat kabar, kumpulan puisi, dan berbagai media lain yang harganya relatif murah. Alternatif ini diharapkan dapat membantu mengisi ketiadaan sumber belajar yang selama ini menjadi kendala dalam pengajaran sastra. Namun demikian, solusi itu belum sepenuhnya mampu diterapkan di lapangan secara praktis. Persoalannya rumit dan kompleks serta dihadang banyak kendala. Salah satu solusi yang kini kembali ramai diperbincangkan adalah upaya membangun “otonomi” pembelajaran sastra di sekolah. Artinya, pelajaran sastra mestinya diperlakukan sebagai mata pelajaran yang utuh dan man- diri, terpisah dari mata pelajaran bahasa Indonesia. Dengan kata lain, status “nunut” yang kini disandang pembelajaran sastra harus ditingkatkan akreditasinya dengan status “mandiri”. Sebagai produk budaya, sastra memang menjadi mustahil tanpa kehadiran bahasa. Dalam menggeluti dunia kreativitasnya, seorang sastrawan pada hakikatnya tengah bermain-main de- ngan bahasa untuk mengekspresikan perasaan, pikiran, keyakinan, dan pandangan hidupnya. Bangunan estetika karya sastra sangat ditentukan oleh bangunan bahasa yang diolah dan direkayasa pe- ngarangnya. Beranjak dari sisi ini, asumsi bahwa sekolah merupakan ajang sosialisasi yang tepat untuk memperkenalkan karya sastra kepada para siswa memang cukup beralasan, sebab di balik tem- bok sekolah itulah jutaan anak bangsa tengah menuntut ilmu. Tentu saja, upaya sosialisasi itu harus dibarengi dengan terciptanya atmosfer pendidikan yang memungkinkan proses pembela- jaran sastra berlangsung menarik didukung profesionalisme guru sastra yang andal dan gairah belajar siswa yang terus mening- kat intensitasnya. 172

Langit Merah Terakhir, guru bahasa dan pihak sekolah tampaknya juga perlu mengaktifkan kembali sanggar-sanggar siswa di sekolah. Kegiatan sanggar di luar jam belajar secara langsung pasti akan berpengaruh terhadap penumbuhan keterampilan, kecintaan, penghayatan, dan penghargaan yang positif terhadap sastra (dan bahasa) Indonesia pada siswa. Bagaimanapun kita tetap berse- pakat bahwa penumbuhan kreativitas, penyaluran bakat/minat, dan pembinaan moral siswa tidak hanya dilaksanakan pada saat- saat belajar secara formal di dalam kelas, tetapi juga melalui ke- giatan ekstrakurikuler di luar jam belajar. Jika kita sedikit melirik pada kawan-kawan remaja saat ini, mereka sangat haus dengan sanggar-sanggar macam itu. Dewasa ini banyak yang mengobati kehausan tersebut dengan mencari suaka sekolah melalui komunitas ataupun organisasi-organisasi sastra. Di sana mereka menemukan dunia baru yang notabene memang sangat kontras dengan bangku sekolah. Ternyata sastra memang hidup di lorong-lorong kecil semacam itu. Hari ini sastra belum bisa hidup dalam wadah yang cukup besar (sekolah), tetapi tumbuh liar di “lorong-lorong” sempit (sanggar dan komunitas) yang tidak resmi dan terkadang dipandang sebeleah mata oleh sebagian orang. Jangan biarkan sastra dipunahkan oleh kuriku- lum dan kebijkan pemerintah. Salam Sastra Indonesia. Biodata Penulis Eni Puji Utami tinggal di Kepuh, Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul. No. Hp: 087839420097 173

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 SUNGKEM HILANG DIMAKAN GENGSI Siska Rahmawati I. Pendahuluan Globalisasi, adalah kata yang sudah tidak asing lagi untuk didengar. Globalisasi adalah musuh besar yang mengubah segala bentuk kehidupan masyarakat dunia, khususnya mengubah segala yang berbau tradisional menjadi modern. Tentunya berdampak juga bagi berubahnya kebudayaan Indonesia. Berbicara mengenai perubahan kebudayaan Indonesia, glo- balisasi sudah sejak dahulu menjangkit negara Indonesia mulai dari kota-kota besar sampai ke seluruh pelosok penjuru tanah air. Perubahan telah menginfeksi seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam bidang bahasa, sandang, papan, pangan bah- kan kebudayaan Indonesia. Salah satunya globalisasi telah meng- ancam budaya asli Jawa yang bersifat religi yaitu budaya sung- keman. Tentram serta damai adalah situasi emas yang selalu ingin didapatkan dalam kehidupan ini. Menjaga hubungan persaudara- an merupakan usaha utama agar hidup menjadi indah seperti yang diinginkan. Siapa sih yang tidak merasa senang bila hidup ini dike- lilingi oleh orang-orang yang saling menyayangi dan saling meng- hormati, dengan adanya rasa saling menyayangi dan menghormati antara satu dengan yang lainnya, pasti kehidupan berkeluarga, ber- 174

Langit Merah bangsa, dan bernegara akan terasa lebih indah yang pastinya akan jauh dari kata kehancuran. Namun, keadaan persaudaraan yang sekarang ini ada, dapat dibilang jauh dari yang diharapkan. perseteruan-perseteruan yang terjadi dari masalah kecil hingga masalah yang dianggap serius membuat masyarakat semakin cuek akan pentingnya kebersamaan. Dari persoalan-persoalan yang menyeruak tersebut akan timbul masalah-masalah baru yang timbul dari usaha penyelesaiannya, dan akhirnya ditetapkan , kata “maaf” lah yang menjadi pokok persoalan. Dalam lingkup kecil, hal seperti ini dapat terjadi pada lingkup keluarga. Keluarga adalah dunia sosialisasi dasar yang didalamnya penuh dengan kehangatan keluarga yang tidak ada tandingannya. Tawa dan tangis yang timbul dalam kehidupan berkeluarga bermu- la dari kasih sayang yang ada didalamnya. Dalam hal ini diharap- kan keluarga menjadi lembaga pertama dan utama untuk dapat melestarikan budaya sungkeman. II. Pembahasan Setiap kontroversi memang arus berakhir dengan peristiwa saling maaf-memaafkan. Dalam keluarga, juga pasti ada sedikit banyak persoalan yang timbul, namun di era modern atau dapat disebut eks-tradisional, kata “maaf” sulit sekali diucapkan oleh pihak yang bersalah. Dalam bab ini, biasanya tokoh yang melakoni yaitu orang tua dengan anaknya. Fenomena ini memang tidak asing lagi. Zaman sekarang peristiwa bermaafan antara orang tua dengan anak memang sudah jarang terjadi. Sebagian besar anak merasa bahwa budaya tersebut sudah basi dan mereka gengsi untuk melak- sanakannya. Anak lebih berfikir bahwa kata “maaf” kepada orang tua tidaklah penting karena kesalahan-kesalahan yang mereka per- buat selalu mereka anggap sebagai hal sepele yang tidak mungkin menyakiti hati orang tua. Padahal, pemikiran mereka itu salah, belum tentu orang tua selalu menerima perilaku anaknya. Bagai- mana dampak perilaku anak terhadap kehidupan berkeluarga? 175

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Mungkinkan hal seperti ini akan terus berlangsung sampai anak tumbuh dewasa nanti ? dan apakah hal ini akan berdampak pada runtuhnya budaya Jawa asli yaitu sungkeman yang lambat laun akan hilang karena ditelahn gengsi. Budaya sungkeman sekarang hanya bisa ditemui dalam acara- acara tertentu saja. Seperti saat pernikahan dengan adat jawa, atau ketika masa hari raya Idul Fitri tiba, di luar tersebut, sudah jarang orang yang mau menggunakan tradisi sungkeman dalam rangkai- an acara mereka. Selain dianggap tidak praktis, sungkeman juga sudah kehilangan makna. Pada awalnya, sungkeman disimbolkan sebagai wujud hormat dan bakti khususnya dari kalangan muda pada pihak yang lebih tua. Hal ini ditunjukkan dengan kepatuhan untuk melaksanakan sungkem. Jadi, sebenarnya sungkeman ada- lah salah satu budaya jawa yang seharusnya dijaga kelestariannya. Sebab, dalam pelaksanaannya terdapat makna yang mendalam. www.scribd.com Pandangan mengenai budaya sungkeman berbeda-beda bagi setiap orang. Tidak semua orang mempunyai pandangan yang sa- ma tentang budaya sungkeman. Sebagian orang memandang bu- daya sungkeman sebagai peristiwa yang wajib dilaksanakan karena sungkeman dapat dianggap sakral bagi masyarakat Jawa. Ada juga yang menanggap bahwa budaya sungkeman itu sama saja dengan kata maaf yang sehari-hari kita ucapkan apabila ita melakukan suatu kesalahan, namun banyak orang yang menganggap bahwa budaya sungkeman itu tidak perlu dilakukan, karena dianggap tidak penting. Jika suatu keluarga sudah membiasakan untuk melakukan tradisi sungkeman. Maka keluarga tersebut dapat dibilang meles- tarikan budaya, dan niscaya kehidupan berkeluarga menjadi ba- hagia, tentram, dan damai. Di zaman seperti ini, beberapa keluarga mulai berubah. Con- tohnya saja pada Tradisi sungkeman saat Hari Raya Idul Fitri. Se- bagian besar keluarga yang merayakan hari raya Idul Fitri dengan bersyawalan di masjid-masjid terdekat selalu melanjutkan ke- 176

Langit Merah giatan hari raya-nya dengan acara makan-makan, bertamasya ria, atau sekedar berkumpul dengan sanak saudara, namun tidak ter- lihat sama sekali adanya kegiatan sungkeman yang dilakukan walaupun hanya sebentar saja. Mungkin bagi mereka kegiatan syawalan di masjid terdekat yang telah mereka laksanakan setelah salat Idul Fitri sudah cukup menghapuskan segala dosa-dosa mereka kepada orang tua, namun, apakah benar seperti itu ? Ada juga keluarga yang memang memilih untuk tidak mela- kukan tradisi sungkeman karena faktor-faktor tertentu. Faktor pertama dapat dikarenakan keadaan keluarga yang tidak tinggal bersama. Faktor yang kedua yaitu karena suatu keluarga tidak mengenal atau terasa asing teradap tradisi sungkeman yang ada, dan Faktor yang ketiga mengkin karena rasa gengsi yang timbul dari hati seorang anak yang enggan melakukan sungkeman ke- pada orang tuanya. Anak yang seperti ini biasanya sejak kecil ia tidak mengenal budaya sungkeman yang disebabkan oleh orang tuanya yang tidak berinisiatif mengenalkan dan membiasakan tradisi sungkeman dilaksanakan. Bila budaya sungkeman tidak diterapkan, dan parahnya lagi budaya maaf pun tidak diperhati- kan maka sidah pasti akan tumbuh sifat pembangkang dan rasa gengsi pada diri anak tersebut. Semua perbuatan buruk yang terjadi dalam lingkup keluar- ga, terutama keluarga besar pasti akan berdampak buruk bagi si bungsu, anak-anak tersebut pasti akan merekam seluruh pola ke- hidupan yang ada didalam keluarganya, baik pola yang positif maupun yang negatif. Apabila sifat pembangkang yang ditun- jukkan kakaknya selalu diperlihatkan setiap harinya, maka adik pun akan senantiasa menerapkan apa yang ia rekam untuk ia laksanakan sama seperti kakaknya, dengan ini maka pola hidup adik menjadi persis seperti kakaknya dan keluarga tersebut sema- kin jauh dari kebiasaan positif yang seharusnya diterapkan. Menjalani kehidupan atau khususnya menjalani hari raya Idul Fitri tanpa tradisi sungkeman yang mendampingi sudah menjadi hal biasa bagi keluarga-keluarga masa kini. Mungkin da- 177

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 lam suatu wilayah, dapat dikatakan budaya sungkeman jarang sekali, atau sudah tidak ada lagi. Seakan budaya sungkeman di wilayah tersebut itu tidak pernah ada. Banyak orang menilai apabila suatu keluarga tidak menerap- kan budaya sungkeman ketika hari raya Idul Fitri keluarga ter- sebut bukanlah keluarga yang tingkat keislamannya tinggi, karena tradisi sungkeman yang asli Jawa tersebut erat sekali kaitannya dengan budaya Islam, namun itu hanya penilaian masyarakat saja, belum tentu penilaian masyarakat tersebut benar. Penilaian masyarakat yang seperti itu, dapat mempengaruhi pemikiran anak mengenai kondisi kebudayaan keluarganya. Apa- bila anak melihat keluarga temannya membiasakan tradisi sung- keman, anak itu pasti langsung berfikir “mengapa keluargaku tidak seperti keluarga temanku ?” anak itupun akan merasa malu kepada temannya dan merasa bersalah kepada kedua orang tua- nya karena ia merasa banyak bersalah kepada orang tuanya, na- mun disamping itu apabila ia akan melakukan sungkeman ke- pada kedua orang tuanya, ada rasa gengsi yang ia rasakan. Apa- bila ini terjadi dan tidak diimbangi dengan penyuluhan tentang pentingnya tradisi sungkeman kepada anak maka tradisi sung- keman selamanya tidak akan pernah terjadi dan menjadi kebiasa- an dalam sebuah keluarga dan bahkan semakin lama tradisi sung- keman akan hilang bahkan punah. Budaya sungkeman yang tidak dibiasakan dalam suatu ke- luarga bukan hanya berdampak pada anak dan ketentraman ke- luarga namun orang tua juga ikut merasakannya. Orang tua mera- sa anaknya kurang berbakti padanya, merasa anaknya tidak pe- duli kepada orang tuanya, menganggap anaknya bersikap men- tang-mentang atau bahkan merasa dilupakan oleh anaknya. Pa- dahal, kesalahan seperti ini bukan seutuhnya merupakan kesalah- an anak, namun orang tua juga tidak luput dari kesalahan yang satu ini. Kurang atau bahkan tidak pernahnya orang tua men- sosialisasikan budaya sungkeman juga merupakan faktor penting yang menyebabkan anak tidak mengenal budaya tersebut. 178

Langit Merah Bagaimana cara menanamkan rasa ikhlas dan kerelaan dari dalam hati anak dalam membiasakan diri mengucapkan kata maaf ketika berbuat kesalahan dan senantiasa melestarikan budaya asli sungkeman yang terancam hilang ? Setiap anak pasti akan menemui masa pernikahannya. Da- lam upacara penikahan adat jawa, proses pernikahan diakhiri oleh peristiwa sungkeman. Sungkeman tersebut dilakukan dengan maksud meminta maaf untuk yang terakhir kalinya atas semua kesalahan yang pernah dilakukan anak tersebut kepada kedua orang tua semasa hidupnya ketika diasuh dan tinggal bersama kedua orang tuanya. Sebelum anak itu tinggal bersama keluarga barunya. Setidaknya kita dapat menganggap peristiwa sungkem- an dalam moment ini mewakili sungkeman sungkeman yang se- harusnya dilakuan disetiap tahunnya saat hari raya Idul Fitri tiba. Mungkin sungkeman yang dilakukan bagi anak itu merupakan momen yang sangatlah berat atau dapat dikatakan sebagai se- buah keterpaksaan. Budaya sungkeman memang sangat berarti bagi masyarakat Jawa. Setiap moment sungkeman selalu saja diiringi oleh tangis haru anak dan orang tuanya. Bagi si anak, tangis dan haru tersebut muncul karena rasa bersalah yang berkecamuk didalam hatinya terhadap kedua orang tuanya. Tentunya rasa haru dan tangis ter- sebut timbul atas dasar keikhlasan. Bagaimana apabila sungkem- an yang dilakukan tidak dilandasi dengan keikhlasan namun de- ngan keterpaksaan, sebab ia belum pernah tahu dan merasakan kebiasaan tersebut sebelumnya. Apa mungkin seorang anak yang menjalani sungkeman yang dilandasi dengan keterpaksaan dapat merasakan makna mendalam dari sungkeman tersebut. Memulai suatu rutinitas baru memang tidak mudah. Apalagi rutinitas yang akan kita anut adalah sebuah tradisi asli wilayah kita yang secara otomatis kita mempunyai tanggung jawab besar untuk melestarikannya. Untuk mengawali kebiasaan sungkeman, bagi seorang anak maka dapat memulainya dengan membiasakan diri untuk melawan ego, anak harus selalu bersedia meminta maaf 179

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 atas semua kesalahan yang dilakukan baik sengaja maupun yang tidak disengaja, terutama kesalahan yang ia perbuat kepada orang tuanya Memang hal ini akan terasa berat bagi anak yang sudah terlanjur terbiasa merasa gengsi apabila harus meminta maaf ter- hadap kesalahan yang ia lakukan, namun walau bagaimanapun untuk memulai awal yang lebih baik, kita semua membutuhkan sedikit pemaksaan pada diri kita, dan lama-kelamaan keterpak- saan tersebut akan berubah menjadi sebuah keikhlasan, karena setiap keinginan, harus diimbangi dengan usaha yang dijalankan dengan sungguh-sungguh. Anak harus memperhatikan perilaku sehari-hari yang diper- buat, sebab perilaku-perilaku yang diperbuat tersebut berpenga- ruh terhadap proses pembiasaan anak terhadap sebuah rutinitas yang baru. Anak harus menghindari perilaku-perilaku negatif yang sesungguhnya perilaku-perilaku itu merupakan hal yang menyebabkan dinding gengsi antara anak dengan orang tuanya semakin tebal, karena semakin sering anak berbuat kesalahan ter- hadap orang tua maka semakin anak mengganggap bahwa kesa- lahan yang anak perbuat tersebut menjadi hal yang lumrah. Apa- bila hal ini terjadi, maka akan berdampak buruk bagi generasi keluarga kelak. Untuk menuju sebuah perubahan tersebut, maka dibutuhkan tidak hanya dengan sekedar motivasi belaka, namun anak juga harus mengimbangi motivasi tersebut dengan usaha yang dilaku- kan dengan bersungguh-sungguh. Anak harus mengawali usaha- nya dengan berintropeksi diri, merenungi, menyesali segala peri- laku buruknya di masa lalu dan berjanji untuk menjadi seorang yang lebih baik, selanjutnya anak harus memulai kehidupan baru dengan perilaku penuh kehati-hatian, senantiasa melakuan per- buatan yang baik dan terpuji dengan mempertontonkan perbuat- an terpuji yang ia lakukan kepada adik-adiknya, dengan demikian terciptalah generasi keluarga yang lebih baik. Keadaan sekitar salalu menjadi pendamping kehidupan ke- luarga dan dunia sosialisasi. Saat anak menemui keluarga teman- 180

Langit Merah nya yang tidak menerapkan tradisi sungkeman, anak pasti lang- sung berfikir untuk apa menjalankan kebiasaan tersebut kalau orang-orang pada umumnya tidak melaksanakannya. Tugas orang tua yaitu memberi pengarahan kepada anak, sehingga anak memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk menjalani kebiasaan baru tersebut. Orang tua harus ikut serta dalam usaha anak menuju per- ubahan baru. Orang tua dapat melakukan trik-trik khusus untuk memaksa anak untuk membiasakan diri menerapkan perubahan baru. Mulanya orang tua dapat memberi penyuluhan tentang arti penting menghormati kedua orang tua. Orang tua juga wajib mengajarkan bahwa meminta maaf itu sangat penting, dengan ini anak mulai berfikir bahwa orang tua mereka membutuhkan perhatian dari mereka, dengan ini anak merasa bahwa mereka harus dan wajib menghormati orang tua mereka, secara otomatis mereka berperilaku baik kepada orang tua mereka. Orang tua juga harus menjelaskan bahwa tradisi sungkeman sangat penting bagi ketentraman keluarga, dan dalan tradisi ini bukan semata-mata diwajibkan bagi anak saja, namun dalam sungkeman tersebut orang tua juga tidak ketinggalan. Orang tua juga turut menyam- paikan maaf kepada anak-anaknya, karena dalam kehidupan ber- keluarga anak dan orang tua sama-sama tidak luput dari ke- salahan. Tidak semua anak dengan mudah menuruti dan melaksana- kan penyuluhan orang tuanya. Ada anak yang merasa pamrih terhadap perbuatan yang dilakukan berdasarkan perintah orang tuanya. Dalam hal ini orang tua harus memberikan perhatian lebih kepada anaknya tersebut. Biasanya anak menginginkan perbuat- annya diberi imbalan fisik sesuai dengan apa yang ia idam-idam- kan saat itu. Misalnya, seorang anak mau melaksanakan sung- keman seperti apa yang telah diperintahkan orang tuanya asalkan ia mendapatkan hadiah mobil-mobilan seperti yang dimiliki oleh temannya. Apabila orang tua memang mampu memenuhi hal tersebut, maka lebih baik orang tua menuruti keinginan anaknya 181

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 itu. Hal ini menjadi awal mula yang baik bagi anak tersebut. Me- mang cara tersebut kurang mendidik, cara tersebut menumbuh- kan sifat materialistis pada anak, namun diharapkan dengan cara ini lama-kelamaan seiring dengan beranjak dewasanya anak tersebut, anak itu akan menyadari bahwa kebiasaan yang diterap- kan oleh orang tua mereka adalah kebiasaan yang sangat berman- faat bagi kehidupan mereka. Sehingga mereka akan senantiasa menjalani kebiasaan sungkeman itu sampai kapanpun. Supaya terbentuk tujuan menerapkan kebiasaan sungkeman pada anak, orang tua dapat menerapkan cara dini pada anak yang masih dapat dibilang balita. Anak dapat mengikuti bimbingan ekstra di luar keluarga. Orang tua dapat mendaftarkan anak di lembaga-lembaga pendidikan keagaman yang ada disekitar ling- kungan tempat tinggal. Contohnya, orang tua dapat mendaftar- kan anaknya di Taman Pendidikan Al Quran (TPA) di masjid terdekat, dengan ini anak mendapatkan pendidikan tambahan dan memperluas pengetahuan anak mengenai kehidupan keagamaan yang memuat pendidikan kekeluargaan. Kebiasaan baik juga dapat bermula melalui benda-benda se- kitar yang selalu dimiliki anak. Semua benda yang selalu dipakai anak dalam bermain dan belajar juga berpengaruh terhadap per- kembangan mental anak, misalkan saja orang tua memberi anak buku cerita bergambar yang didalamnya berisi cerita yang berte- makan pendidikan moral, maka dengan membacanya anak dapat termotivasi dari cerita yang telah ia baca. Sebaliknya, apabila orang tua memberi buku bacaan yang keliru, anak akan termoti- vasi untuk bersikap sama seperti buku yang ia baca. Orang intelektual harus turut ikut serta dalam usaha peles- tarian budaya sungkeman dengan dapat mendirikan sebuah lem- baga pendidikan non formal untuk anak usia dini atau remaja yang lembaga tersebut mempunyai tujuan untuk mewujudkan generasi penerus bangsa yang senantiasa melestarikan kebuda- yaan bangsa dan mengedepankan sosialitas.Sehingga diharapan anak-anak dan remaja tumbuh menjari manusia yang selalu 182

Langit Merah menghormati orang tua, orang lain, dan senantiasa mebiasakan budaya maaf dan pastinya budaya sungkeman akan terjunjung kembali. Untuk membiasakan atau menerapkan tradisi sungkeman pada anak, memang tidaklah mudah. Perlu kesungguhan dan kesabaran dalam menjalani segala usaha dan dalam menghadapi segala rintangan yang sewaktu-waktu dapat menerpa. Semua itu dilakukan demi menghindarkan rasa gengsi pada anak untuk melakukan tradisi sungkeman kepada orang tuanya. III. Penutup Keluarga adalah dunia kecil yang menjadi pijakan pertama bagi semua orang sebelum mengenal dunia luar lebih lanjut. Untuk itu kondisi keluarga harus selalu nyaman, tentram dan damai demi terciptanya kehidupan yang terasa aman, bahagia serta terus melahirkan generasi-generasi keluarga yang baik dan bermoral. Menurut saya, solusi yang dapat diterapkan sebagai usaha kita untuk melestarikan budaya sungkeman yaitu melalui perha- tian orang tua dan juga perhatian masyarakat intelektual. Orang tua dapat ikut serta dalam pelestarian budaya sungkeman dengan cara memberikan penyuluhan kepada anaknya tentang betapa pentingnya tradisi sungkeman itu, mendaftarkan anak-anak me- reka pada lembaga pendidikan keagamaan, serta memperhatikan segala benda-benda yang selalu digunakan anak dalam ativitas- nya. Upaya-upaya ini adalah modal dasar untuk menumbuhkan minat anak dalam melestarikan budaya sungkeman. Melalui masyarakat intelektual, dapat dilakukan sebuah upaya pendirian lembaga pendidikan non formal yang lembaga tersebut mempunyai tujuan untuk mewujudkan generasi penerus bangsa yang senantiasa melestarikan kebudayaan bangsa dan me- ngedepankan sosialitas, sehingga melalui lembaga ini, lahirlah generasi penerus bangsa yang senantiasa menghormati orang- orang yang lebih tua, membiasakan budaya maaf dan pastinya 183

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 budaya sungkeman akan kembali lestari dan membudidaya di kalangan keluarga Indonesia. Untuk itu, kita sebagai masyarakat Indonesia khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Marilah kita junjung tinggi budaya asli kita. Jangan biarkan budaya-budaya yang diwariskan dari para leluhur kita, hilang begitu saja anya karena sifat gengsi yang timbul dari pengaruh globalisasi. Biodata Penulis Siska Rahmawati tinggal di Perum Jatiwari Asri P.16, Bale- catur, Gamping, Sleman, Yogyakarta. No. Hp: 083869835185 184

Langit Merah IRONI PADUSAN DALAM BELENGGU MAKNA FILOSOFI YANG KABUR Tami Eka Wati I. Pendahuluan Tradisi jawa yang penuh dengan kearifan lokal memiliki hubungan erat dengan kehidupan masyarakat Jawa. Kekayaan tradisi Jawa tersebut sampai saat ini masih dapat dijumpai di ma- syarakat walaupun beberapa tradisi sudah mulai ditinggalkan bahkan hampir punah. Ada kalanya tradisi tersebut telah dipadu- kan dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat sehingga memiliki makna religius yang lebih. Hindu, Budha dan Islam ada- lah agama yang paling banyak berakulturasi dengan tradisi di kalangan masyarakat Jawa. Pembauran Agama dan tradisi jawa memungkinkan agama tersebut dapat mudah diterima dan di- laksanakan oleh masyarakat walaupun pembauran tersebut masih dalam batas nilai-nilai yang dapat ditoleransi. Demikian pula yang terjadi pada saat penyebaran agama Islam khususnya di Jawa. Walisongo banyak melakukan dakwah dengan media seni dan budaya sehingga masyarakat lebih tertarik untuk mengenal lebih jauh. Masyarakat tersebut sebelumnya telah memiliki tradisi yang turun temurun dan melekat dengan kehidupannya. Oleh karena itu pemahaman hal-hal baru termasuk agama Islam men- jadi lebih mudah dan penyebaran secara damai menjadi berpe- luang besar. 185

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Beberapa tradisi yang dilaksanakan pada bulan bulan ter- tentu pada kalender Islam tetap dipertahankan oleh masyarakat. Salah satu bulan yang penuh makna adalah Ramadhan atau dalam kalender Jawa Islam disebut Pasa. Dalam menyambut bu- lan ini masyarakat Jawa memiliki beberapa tradisi yang dilakukan. Di akhir bulan Syakban sebagian masyarakat Jawa yang beragama Islam melakukan kegiatan padusan. Kegiatan ini merupakan satu rangkaian dengan nyadran dan kegiatan lain yang dilakukan di akhir Syakban atau dalam kalender jawa disebut bulan Ruwah. Kegiatan ini dapat diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat. Bahkan hingga saat ini kegiatan tersebut seolah menjadi ritual tahunan menyambut Ramadhan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat walaupun kegiatan ini tidak disyariatkan dalam ajaran Islam. Kegiatan ini mendapat sambutan yang tak kalah pula dengan nyadran oleh masyarakat, bahkan sebagian orang rela meluangkan waktu hingga berkunjung ke daerah asalnya untuk melakukan padusan, hal ini juga sering dimanfaatkan seba- gai ajang berkumpul suatu komunitas atau keluarga. Padusan menyambut Ramadhan secara fisik pada intinya adalah mandi yang dilakukan di akhir Syakban ( menjelang Rama- dhan). Pada mulanya padusan memiliki nilai filosofi disamping sebagai media dakwah Walisongo. Makna dibalik kegiatan pa- dusan tersebut merupakan akulturasi Islam dan budaya Jawa pa- da saat itu sehingga masyarakat mudah memahami dan tidak terlalu kaget dengan ajaran-ajaran Islam. Setiap bentuk akulturasi budaya Jawa dan Islam oleh walisongo pada saat itu diberi makna filosofi sebagai media penyampaian ajaran Islam sehingga tidak ada suatu kegiatan yang tidak memiliki makna dalam penyampai- an ajaran Islam. Hal tersebut dilakukaan karena disesuaikan de- ngan kondisi masyarakat pada saat itu. Akan tetapi seiring per- kembangan zaman makna yang tersimpan dalam kegiatan terse- but mulai kabur. Ada kalanya padusan dipadukan dengan ke- giatan-kegiatan lain yang sebenarnya tidak mendukung makna dibalik padusaan ini. Padusan dilakukan tanpa memahami mak- 186

Langit Merah na yang sesungguhnya menjadi tidak bermanfaat. Makna yang kurang dipahami dapat membuat masyarakat berpikir pula bah- wa kegiatan ini merupakan bagian dari syariat Islam padahal se- sungguhnya kegiatan ini adalah hasil dari akulturasi budaya Jawa-Hindu dan Islam sekaligus media dakwah pada saat itu. II. Pembahasan Masyarakat Jawa memiliki kekayaan tradisi baik tradisi asli maupun akulturasi dengan budaya lain. Tradisi tersebut memiliki makna dan kearifan lokal yang bernilai. Padusan merupakan bagian dari tradisi masyarakat Jawa menjelang Ramadhan selain nyadran. Padusan dilaksanakan setiap akhir bulan Syakban atau Ruwah. Padusan merupakan mandi yang memiliki makna dan tu- juan untuk membersihkan diri baik fisik maupun batin agar siap menjalani ibadah puasa dan amalan lainnya di bulan Ramdhan. Padusan merupakan akulturasi budaya Jawa-Hindu dan Islam se- hingga memudahkan masyarakat kala itu memahami ajaran Islam. Kegiatan sejenis padusan ini tidak hanya ada di Jawa namun juga dijalankan oleh masyarakat luar Jawa misalnya di Aceh dan Riau dengan nama yang berbeda-beda. Pelaksanan padusan oleh masyarakat Jawa masih cukup ken- tal terutama di daerah pelosok. Tempat yang sering dipakai pada waktu itu adalah sendanga,sungai mengalir atau mbelik yang ber- makna filsofis agar batin menjadi bersih sebersih air dari sumber- nya. Sebenarnya padusan dalam persepsi dakwah adalah sebuah simbol membersihkan diri yang diibaratkan dengan mandi besar sehingga masyarakat yang melakukan kegiatan tersebut akan me- mahami makna yang sebenarnya. Dalam menyambut bulan Ra- madhan hal yang paling penting untuk dipersiapkan adalah ba- tin. Padusan memiliki sejarah yang dimulai pada awal dakwah agama Islam di Jawa oleh Walisongo. Hal tersebut merupakan ba- gian proses Islamisasi agar proses tersebut dapat diterima ma- syarakat. Sunan Kalijaga saat itu mengadopsi kebiasaan masyarakat Hindu di Jawa Tengah dan penganut kepercayaan kepada karuhun 187

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 di sekitar Jawa Kulon yang saat itu merupakan pusat kerajaan Paja- jaran yang dipimpin Prabu Siliwangi (1482-1521). Dakwah Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikelola oleh kerajaan Demak. Proses akulturasi Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih cepat berhasil daripada di Jawa Kulon. Pada saat itu di Pajajaran terdapat ritual tahunan berupa mandi suci yang disebut Kuwerabekti di Telaga Rena Mahawijaya yang dilakukan raja , keluarga dan rakyat- nya. Ritual tersebut dijumpai pula di wilayah kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Tengah, upacara mandi dilakukan untuk menyam- but acara-acara besar seperti pernikahan, panen dan sebagainya (Wijayanto, Kedaulatan Rakyat 30 Juli 2011, diakses 10 Agustus 2011). Mandi suci lainnya yang dikenal orang-orang tua zaman da- hulu adalah Laku adus banyu suci perwitasari. Laku tersebut dilak- sanakan mereka sebagai syarat sebelum melaksanakan puasa yang dimaknai laku prihatin. Kegitan tersebut adalah satu tindakan man- di (Jawa: adus) memakai air yang sudah disucikan dengan doa. Upacara tersebut kemudian diadopsi oleh para wali supaya para mualaf dapat beradaptasi lebih mudah terhadap perubahan struk- tur ibadah. Karena puasa Ramadhan juga dianggap sebagai laku prihatin maka dipersiapkan dengan padusan juga. Padusan dila- kukan di sendang, sungai atau mbelik (sumur kecil yang memiliki sumber air jernih). Di tempat inilah dilakukan ikrar dipimpin oleh sesepuh atau orang yang dipercaya untuk memantapkan hati de- ngan mengucapkan niat laku prihatin berwujud puasa dengan me- nyertakan diri padusan syang bermaksud membersihkan tubuh dan jiwa dari segala kotoran (Ohtri 2010, diakses tanggal 10 Agus- tus) Saat itu pelaksanaan akulturasi tersebut dapat dipahami se- bagai pemikiran metode dakwah untuk masyarakat luas. Secara teologis konsep politeisme diubah ke konsep tauhid sedangkan aspek amaliah masih diberi toleransi. Pelaksanaan padusan pada saat itu mendapat pengawasan dan dituntun oleh para Wali dan pihak yang berwenang sehingga masih relevan dengan tujuan padusan diadakan.Akan tetapi se- 188

Langit Merah iring berjalannya waktu pelaksanaan padusan di masyarakat mu- lai kurang sesuai dengan tujuan awal sejarah padusan menjelang Ramadhan. Hal-hal yang menyimpang yang dilihat dalam ke- giatan ini terkadang tidak disadari oleh masyarakat.Padusan se- ring dijadikan event wisata dan hiburan oleh banyak kalangan. Bahkan kecendrungan yang terjadi pada masyarakat sekarang de- ngan dukungan pemerintah adalah bagaimana mengemas kegiat- an padusan ini menjadi bagian dari wisata sehingga dapat mena- rik perhatian wisatawan. Tidak ada salahnya mengembangkan potensi dan kekayaan budaya daerah menjadi suatu hal yang me- narik dari daerah tersebut sekaligus menjadi wisata budaya. Akan tetapi menjadi lebih baik lagi jika dapat memberikan edukasi pula pada masyarakat sebagai respon dari tanggapan masyarakat yang lebih memahami pada kegiatan lahiriah saja (acara mandi bersa- ma di kolam atau di sungai) dan menanamkan pemahaman dan perwujudan konkrit dari makna padusan tersebut. Pada saat ini diakhir Syakban tempat-tempat pemandian umum dan pantai ramai didatangi pengunjung, mereka datang untuk melakukan padusan. Laki-laki dan perempuan berada di tempat yang sama. Bahkan kesempatan ini juga digunakan oleh muda-mudi untuk berpacaran. Tidak jarang pula kesempatan ini digunakan untuk “cuci mata” karena tempat pemandian yang men- jadi satu memungkinkan mata melihat secara bebas. Apa jadinya jika padusan dilakukan dengan lawan jenis yang bukan muhrim di tempat yang sama sedangkan kaum wanita memperlihatkan auratnya dan terlihat jelas lekuk tubuhnya karena basah saat pa- dusan. Hal tersebut tentunya juga disaksikan oleh lawan jenis. Se- mua masalah tersebut bertentangan dengan aqidah Islam dan mak- na padusan yang disimbolisasikan dengan mandi. Jika mereka me- lakukan padusan dengan cara demikian maka makna di balik pa- dusan untuk membersihkan diri secara lahir batin tidak akan di- dapatkan secara maksimal namun dapat membuat hati dan pikiran mereka menjadi kotor karena dipenuhi dengan hawa nafsu tanpa memahami dan melaksanakan makna padusan tersebut sehingga 189

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 dapat memerosotkan moral. Di sisi lain penyelenggara padusan selalu berusaha menarik perhatian pengunjung. Salah satu cara untuk menarik wisatawan ke tempat padusan adalah mengadakan acara hiburan.Panggung terbuka yang menyajikan musik dangdut dan musik lainnya dengan tampilan penyanyi menggunakan pakaian minim dan tarian gemulai berlebihan bahkan sampai tarian erotis menjadi tontonan pengunjung segala usia. Hiburan semacam itu tidak memberikan nilai edukasi bagi pengunjung namun dapat semakin menjerumuskan mereka. Ke- tika mereka sedang asyik menikmati semua hiburan tadi tingkat kewaspadaan mereka juga menurun, kelengahan mereka diman- faatkan oleh para pencuri untuk beraksi mengambil barang ber- harga mereka. Oleh karena itu selepas acara yang cukup ramai tersebut tidak sedikit pengunjung mengeluh kehilangan barang berharga mereka. Hal tersebut memunculkan pikiran bahwa ke- giatan padusan juga menjadi media kemaksiatan karena pengun- jung mendatangi tempat tersebut berniat untuk melihat hiburan yang disajikan dan melakukan kemaksiatan lainnya. Dari fakta tersebut padusan dengan cara yang demikian justru dapat men- jadi ajang maksiat dan menimbulkan perzinahan atau kerugian lainnya. Pelaksanaan padusan yang penuh dengan penyimpang- an tidak menampakkan tujuan dari padusan tersebut. Padusan itu sendiri memang bukan bagian dari syariat Islam namun men- jadi media dakwah untuk menyampaikan pesan kepada masyara- kat. Kegiatan yang mendampingi padusan seharusnya memiliki nilai yang selaras dengan maknanya dan tidak bertentangan de- ngan aqidah Islam sehingga makna tersebut dapat tersampaikan. Bahkan karena hal tersebut image nagativ tentang padusan mun- cul semakin tajam. Seolah-olah padusan tersebut berisi kegiatan “hura-hura” semata, memperbolehkan lawan jenis berada dalam satu tempat pemandian dan dapat menimbulkan kemaksiatan. Dalam menyambut Ramadhan kita memang harus menyambut dengan suka cita namun bentuk suka cita tersebut bukanlah ke- senangan yang lebih banyak menimbulkan kemudaratan dan 190

Langit Merah berlawanan dengan aqidah Islam karena sasaran dari ibadah pusa adalah untuk meningkatkan iman dan taqwa. Jika dilihat dari makna yang tersirat dalam padusan tersebut, banyak makna positiv dan bermanfaat bagi masyarakat. Inti fi- losofi dari padusan adalah membersihkan diri lahir batin untuk mempersiapkan diri dalam menyambut bulan Ramadhan. Tetapi kondisi saat ini hal tersebut disalah artikan yang kemudian di- iringi dengan hiburan-hiburan yang berlebihan. Pemahaman yang kurang mengenai makna padusan ini semakin lama me- nimbulkan pergeseran makna dari padusan yang ada saat ini. Sebagian masyarakat yang melakukan padusan melaksanakannya karena mengikuti kebiasaan yang sudah lama bahkan turun te- murun namun makna dan sejarahnya tidak diajarkan secara turun temurun. Akhirnya mereka melakukan kegiatan ini hanya untuk bersenang-senang dan kurang mengetahui batasannya agar tetap menjaga kebersihan hati. Apabila demikian maka pelestarian bu- daya oleh generasi mendatang kemungkinan hanya secara fisik tanpa nilai filosofis yang bisa diambil hikmahnya yang dapat ber- akibat pada punahnya suatu warisan budaya.Kurangnya pengeta- huan dan sosialisasi makna filosofis padusan ini membuat ma- tarantai penyampaian makna kepada anak cucu terputus. Masya- rakat di zaman sekarang cenderung lebih menyukai hal yang ber- sifat senang-senang. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh para pengusaha hiburan atau pihak yang berkepentingan. Mereka menyusupkan acara hiburan pada event-event budaya dengan alasan untuk menarik perhatian pengunjung. Namun yang sering dijumpai di lapangan acara hiburan tersebut berlebihan sehingga tidak selaras dengan makna filosofi budaya yang berakibat berge- sernya kegiatan padusan tersebut dari maknanya. Agar kelestarian padusan ini tetap terjaga beserta makna fi- losofisnya maka peran orangtua, ulama, pemerintah dan pihak lainnya dalam mensosialisasikan makna filosofis tersebut pada generasi mendatang sangat dibutuhkan. Pemahaman tersebut da- pat dimulai dari lingkungan kecil masyarakat, sebelum melaksa- 191


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook