Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore LANGIT_MERAH_Antologi_Cerpen_dan_Esai_20

LANGIT_MERAH_Antologi_Cerpen_dan_Esai_20

Published by e-Library SMPN 8 Talang Ubi, 2020-01-25 16:22:08

Description: LANGIT_MERAH_Antologi_Cerpen_dan_Esai_20

Search

Read the Text Version

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Kamu sudah tambah besar, ya? Wes dadi perawan ayu,” katanya sambil membelai-belai rambutku. “Sini, masukkan barang-barangmu terus kita sarapan. Kamu belum sarapan, ta?” “Belum, Nek.” “Udah tak buatin bubur ayam kesukaanmu.” “O,ya?” “Wo lha iya!” *** “An, Nenek mau pergi. Kamu mau ikut ndak?” “Ke mana?” dahiku mengerut. Kupandang Nenek dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Nenek berdandan rapi memakai kebayanya yang paling baru. “Ada tetangga yang resepsi. Ikut yuk!” aku garuk-garuk kepala, pertanda aku sedang berfikir. “Ayo ikut! Sana ganti bajumu!” Nenek mendorongku masuk kamar, menyuruhku ganti baju. Aku menurut saja. Perhelatan itu ramai oleh orang-orang. Orang-orang yang sa- ma sekali belum kukenal, tentunya. Aku merasa asing di perhelatan itu. Karenanya, aku hanya duduk termenung di kursi paling bela- kang, sementara Nenek asik mengobrol dengan teman-temannya di kursi paling depan. Sesekali ia mengajakku untuk bergabung, tapi, aku tak mau. Aku memilih menyendiri daripada ikut berga- bung tapi tak mengerti apa-apa. Setengah jam berlalu dan hanya kulalui dalam diam. Tiba- tiba seseorang menghampiriku. “Hai,” sapanya seraya duduk di sampingku. “Oh….. hai,” aku gelagapan karena kaget. Seorang gadis seba- yaku duduk di sampingku. Aku tak kenal siapa dia. Tapi, sepertinya dia ingin berkenalan. “Cucunya Eyang Murti? Yang dari Jakarta itu?” tanyanya an- tusias. Aku memandangnya, tertegun. Kulihat sorotan matanya penuh semangat. Apa dia penggemarku? Kenapa senang sekali melihatku? 42

Langit Merah “Iya. Kenapa memangnya?” tanyaku bingung. Ia tersenyum. “Kenalin. Namaku Sari. Namamu Andini, kan?” ucapnya memperkenalkan diri. Ia mengulurkan tangannya. “Iya. Kok tahu?” kujabat tangannya sedikit grogi. “Eyang cerita banyak tentangmu padaku.” katanya “Oh, ya?” alisku naik. “Iya. Dia sayang sekali padamu. Terlihat dari raut wajahnya ketika bercerita tentangmu. Katanya kamu akan tinggal bersama- nya untuk beberapa minggu. Katanya lagi, aku bisa berteman de- nganmu karena dia bilang kamu itu orangnya baik sekali.” ucapnya panjang. Aku terdiam, melongo. Wow…. Sebanyak itukah ia tahu tentang diriku? “Kita bisa berteman, kan?” tanyanya. Aku tertegun lalu meng- angguk, mengiyakan. Sari gadis yang baik, lugu lebih tepatnya. Dari sorotan mata- nya bisa kulihat ia banyak mengalami cobaan hidup dan terbayang pula ketegarannya dalam menjalani cobaan itu. Ia menawarkan dirinya sebagai guide gratis kalau aku ingin berkeliling. Tentu saja aku tak menolak tawaran itu. Selain itu, ia banyak bercerita padaku tentang sapinya yang sedang bunting besar dan diperkirakan akan melahirkan besok pagi. Aku diminta datang ke rumahnya. Ia ingin menunjukkan padaku bagaimana proses sapi melahirkan. Aku mengiyakan saja. Perhelatan semakin ramai karena acara akan segera dimulai. Pandanganku tersita oleh pemandangan di ujung kanan depan kursi tempat bapak-bapak dan pemuda duduk. Ada sebuah key- board dan dua orang penyanyi elektone di sana. Pakaiannya kebaya seksi dan norak. Gayanya centil dan membuatku muak. “Kenapa, An?” tanya Sari. Ia memperhatikan ekspresi kusut wajahku sejak tadi. “Itu,” kataku ketus seraya menunjuk tempat para penyanyi itu berulah. Sari terdiam, memandang mereka sejenak lalu meman- dangku. “Kamu ndak suka?” tanyanya. 43

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Sangat tidak suka.” jawabku. “Kenapa?” “Gayanya norak dan centil begitu! Ih!” “Oh!” “Orang-orang seperti mereka pasti orang-orang nggak bener! Kerjaannya cuma ngegoda suami orang. Lihat aja tuh yang masih SMA! Membuat malu kita yang sebaya dengannya!” kataku. Aku muak dan tak bisa hanya kupendam saja. Sari terdiam. “Kamu pikir seperti itu?” tanyanya. “Ya iyalah!” “Tapi, belum tentu semua penyanyi sama seperti dugaan- mu.” “Nggak mungkin. Nggak ada pengecualian untuk orang- orang seperti itu. Semuanya sama!” Sari tertegun, dahinya menge- rut kemudian ia pergi meninggalkanku. Tapi, aku tak terlalu memperhatikannya. Emosiku masih meletup-letup. Aku meminta izin pada Nenek untuk pulang dan ia mengizinkannya. *** Pagi ini, sesuai janjiku pada Sari kemarin, aku datang ke rumahnya. Ketika aku datang, rumah itu ramai oleh orang-orang. Kukira ada hal buruk yang terjadi, ternyata mereka sengaja datang untuk menyaksikan sapi milik Sari yang akan melahirkan. Aku yakin Sari pasti mengundang mereka sama seperti ia mengun- dangku. Kuterobos kerumunan yang ada di depan kandang sapi itu. Aku ingin melihat sapi melahirkan dengan lebih jelas. Namun, ketika aku berhasil menerobos dan berhasil mendapatkan tempat paling strategis untuk melihat sapi melahirkan, aku menyesal. Aku tak kuasa melihatnya. Aku mual dan aku segera keluar dari kerumunan itu. Kukutuki diriku sendiri. Ah! Bodoh! “An,” sapa Sari seraya menepuk bahuku. Aku menoleh. Ia duduk di sampingku. “Bagaimana anak sapinya?” tanyaku basa-basi. Setidaknya, itu menunjukkan bahwa aku masih perhatian meskipun tadi aku mengingkari janji untuk melihat prosesi sapi melahirkan. 44

Langit Merah “Mati,” ucapnya singkat. Aku tertegun. “Kok bisa?” “Aku juga tak tahu,” Sari memandang langit. Aku hanya terdiam. Sesaat keadaan hening, hanya terdengar kicau burung pipit yang bertengger di pagar rumah. “An, kemarin kamu bilang kalau kamu benci sama penyanyi elektone kan? Kenapa?” tanya Sari membuka percakapan yang cu- kup serius. Aku ikut-ikutan memandang langit lalu menghela nafas sebelum menjawab. “Karena mereka tak ubahnya seperti wanita penggoda,” ja- wabku datar. “Kenapa, sih, kamu menjadi begitu benci?” “Karena keluargaku jadi korban. Papaku lebih tepatnya.” “Jadi, Papamu…” “Ya. Dia pergi entah ke mana meninggalkan aku dan Mama- ku dan merelakan perusahaannya bangkrut hanya karena seorang wanita penyanyi yang dikaguminya. Memalukan. Sekarang Ma- maku sedang sibuk mencari Papa. Aku tak boleh ikut dengannya, itu sebabnya aku pindah ke rumah Nenek.” Sari terdiam, memikirkan sesuatu. Entah apa itu. “Em, nanti sore temani aku melihat sunset di pantai, ya!” pintaku pada Sari. Ia tertegun gelagapan. “E…kayaknya ndak bisa, An. Aku ada acara.” ucapnya memberi alasan. *** Jam tanganku menunjukkan pukul empat sore. Kusiapkan sepedaku. Aku ingin pergi ke pantai, sendirian saja karena Sari tak bisa menemaniku. Nenek sudah membuatkan peta untukku, tadi. Jadi, aku yakin tidak akan tersesat. Kukayuh sepedaku mantap. Kuputar jalan melewati rumah Sari. Aku ingin menunjukkan padanya kalau aku bisa pergi ke pantai sendiri. Lima meter sebelum rumah Sari, aku berpapasan dengannya. Ia menaiki sebuah mobil yang lumayan mewah! Me- makai kebaya ala penyanyi elektone! Kuhentikan sepedaku, men- 45

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 dadak. Dahiku mengerut, alisku beradu. Berbagai pikiran bodoh ini-itu melesat-lesat di pikiranku. Kuhampiri rumahnya dan ku- tanya Mak Ijah, ibundanya. “Sari mau ke mana, Mak?” “Nyanyi buat pesta kawinan anak direktur,” katanya. Suaranya serak karena ia sedang tak enak badan. Aku ter- diam. Mulutku terkunci rapat. Jantungku serasa tiarap, anjlok ke tanah. Pikiranku berkecamuk tak karuan. Marah, merasa bersalah, kecewa, protes, semua jadi satu. Tak ada kemauan untuk melihat sunset lagi. Aku putuskan untuk pulang. Tak jadi pergi ke pantai. *** Sejak kejadian itu, aku tak berani bertemu Sari. Aku malu sekaligus kecewa karena ia tak berterus-terang padaku. Entah ba- gaimana perasaannya ketika kukatakan aku membenci penyanyi sepertinya. Entah seberapa sakit hatinya ketika aku menghakimi- nya sebagai wanita penggoda. Padahal, aku tahu sejak pertama bahwa ia gadis baik-baik. Kata Nenek, Sari tinggal bersama emak- nya yang sakit-sakitan. Adiknya empat orang dan masih kecil- kecil. Ayahnya adalah seorang buruh pabrik sekaligus abdi kraton yang penghasilannya tak tentu dan telah meninggal dua tahun lalu. Kini, penopang hidup keluarganya hanya Sari. Ia rela bekerja siang malam untuk memberi nafkah ibu dan adik-adiknya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menyanyi di berbagai perhelatan. Selain itu, malam harinya, kadang ia menyanyi juga di Kraton Jogja. Ia tak peduli bahaya yang menghadang seorang penyanyi belia nan cantik sepertinya. Baginya, asal keluarganya dapat ber- tahan hidup, itu sudah lebih dari cukup. Dadaku berdesir. Ulu hatiku ngilu. Aku merasakan perasaan bersalah yang amat hebat. Betapa bodohnya aku! Aku hanya ter- bawa emosi tanpa mampu berfikir jernih. *** Jam dinding menunjukkan tepat pukul sembilan malam. Ku- tengok rumah Sari dari kejauhan. Mobil kijang hitam melaju me- 46

Langit Merah ninggalkan rumahnya. Aku penasaran. Kuhampiri rumahnya dan kutanya Mak Ijah yang hendak masuk ke dalam rumah. “Mak, Sari pergi ke mana?” “Nyanyi di Kraton,” jawabnya. Aku terdiam. Cerita Nenek ternyata benar. Kuucapkan teri- ma kasih dan selamat malam pada Mak Ijah kemudian pergi me- ninggalkan halaman rumahnya. “Bang, bisa antar aku ke Kraton sekarang?” tanyaku pada Bang Boim yang mendengkur di Pos Ronda. Ia adalah sepupuku. Dulu ia tinggal di Medan, tapi, enam bulan lalu pindah ke Jogja dan sekarang rumahnya ada di sebelah rumah Nenek. Ia masih mendengkur ketika kubangunkan. Baru- lah ia bangun setelah kuteriaki telinganya beberapa kali. Dasar tukang tidur. “Apa-apaan kau ini?” logat medannya keluar. “Antarkan aku ke Kraton sekarang juga!.” “Apa? Kraton? Mau apa pula di sana? Jam segini…bah!” “Ayolah, Bang!” kubujuk Bang Boim beberapa kali dan akhir- nya ia mau mengantarku meski dengan setengah hati. Setelah mendapat ijin dari Nenek, aku melaju menuju Kraton Jogja dengan sepeda motor butut milik Bang Boim. Ia mengoceh sepanjang jalan, protes karena aku mengganggu tidurnya. Aku hanya diam, mendengarkan protesnya sambil mengangguk-ang- guk, mencoba merasa bersalah. Sesampainya di Kraton Jogja, kudengar suara gendhing mengalun dengan syahdunya. Aku duduk di kursi. Kupilih kursi paling depan. Kucari sosok Sari. Kutemukan di jajaran para penya- nyi nan anggun dan jelita. Ia tampak beda. Kebayanya rapi, ram- butnya disanggul dengan elok, wajahnya tampak cerah, ia tampak cantik sekali. Suaranya merdu melantunkan gendhing dengan begitu hebatnya. Air mataku meleleh. Gadis sebaik itu bisa-bisa- nya kusamakan dengan wanita penggoda yang merebut ayahku? Bodohnya. 47

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Malam ini, seusai pertunjukan ini, aku akan meminta maaf kepada Sari atas kesalahanku beberapa hari lalu. Aku juga ingin mengucapkan terima kasih karena tanpa ia sadari, ia telah meng- ajariku untuk menjadi orang yang lebih bijaksana. *** Mentari bersinar cerah pagi itu. Cahayanya menusuk di ce- lah-celah pepohonan. Burung-burung becicit merdu di dahan pohon Mangga. Subuh tadi, Mama memberi kabar. Katanya, Papa sudah pulang ke rumah. Karenanya, aku diminta untuk kembali ke Jakarta. Mama banyak bercerita tentang hal-hal menakjubkan yang ia alami. Ternyata, ia salah sangka tentang semua hal yang terjadi. Papa bukannya pergi karena tergoda oleh wanita penyanyi itu, beliau hanya pergi karena ingin membantu meringankan kehidupan wanita itu. Perusahaannya bangkrut bukan karena se- mua uangnya diberikan kepada wanita itu, tapi, karena bawahan yang ia serahi tugas untuk menggantikannya sementara waktu ternyata korupsi bermilyar-milyar. Aku lega. Semua permasalahan hidup yang membelit itu kini telah usai. Aku mendapat banyak pelajaran tentang kebijaksa- naan. Tentang kedewasaan. Dari seorang gadis pelantun gen- dhing yang sederhana. Latifatul Khoiriyah, siswa SMA Negeri 1 Bantul. 48

Langit Merah SEINDAH BUNGA MATAHARI Triyanto Prabowo Beberapa tahun sejak pernikahanku dengan duda manja itu, hampir aku selalu sengsara. Aku sudah lupa merasakan bahagia sehingga aku melupakan cara mensyukuri hidup. Kalaupun Tuhan akan membenciku, memanglah pantas karena sembayang adalah tabu bagiku. Takdir mengharuskan aku mendorong gerobak keliling kampung sambil berteriak-teriak layaknya betina mencari anaknya yang hilang. Tapi, tak apalah semuanya untuk Suketi dan Anjani. Suketi dan Anjani adalah semangat serupa api dalam nadiku. Sukar, nama panggilan suamiku. Nama itu sesuai dengan sifatnya yang sulit diatur. Tetapi sebenarnya orang tuanya memberi nama itu karena ketiga kakaknya yang terlahir lebih dulu telah meninggal saat mereka masih kecil. Oleh karena itulah, nama “Sukarno” dipilih mengingat orang tua Sukar sa- ngatlah susah untuk dapat menimang dan merawat anaknya hingga dewasa. Nama Sukarno merupakan sebuah akronim yang terdiri dari kata “Sukar” dan “Ono” , artinya “susah ana” atau “susah hidup”. Lebih dari itu orang tuanya menginginkan supaya kelak Sukarno dapat menjadi seorang pemimpin, seperti presiden RI kita yang pertama. Paling tidak menjadi pemimpin dalam ke- luarga yang bisa melindungi dan mengayomi istri dan anak-anak- nya. Sebagai anak semata wayang, apalagi seorang anak laki-laki dalam keluarganya, semua keinginan Sukar selalu dipenuhi. Se- 49

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 lama hidupnya, ia tak pernah kesusahan. Orang tua Sukar sengaja memanjakannya karena ialah satu-satunya harapan bagi keluarganya. Sampai kini, Sukar hanya ingin hidup enak, tanpa harus bekerja keras mengeluarkan keringat. Yang dia inginkan hanyalah makan enak dan berpergian tanpa arah dan tujuan, la- yaknya anak muda yang belum punya tanggung jawab. Bahkan, ia sering nongkrong sambil merokok dan mabuk-mabukan. Itulah pekerjaanya sehari-hari, tak ada yang dipikirkan untuk menghi- dupi keluarga. Siang itu, Anjani menangis di pangkuanku entah karena apa. Aku terheran-heran melihat malaikat kecilku tersedu-sedu. Ta- ngisannya melengking menyayat, hebat sekali. “Sepeda keranjangku, Ibu,” katanya sambil menangis. “Kenapa?” tanyaku. Anjani tak menyahut. Bahkan, tangisannya semakin menjadi. Jawaban bisunya mengatakan jikalau memang Sukar, suamiku benar-benar siap menerima cacianku. Sudah berkali-kali ia mela- kukan ini padaku dan anakku. Tiba-tiba Sukar yang sedang tidur terbangun oleh tangisan Anjani. “Apa Kau tidak mengajari anakmu tata krama? Berisik!!! Apa Kau tidak tahu kalau aku sedang tidur? “ katanya membentak. “Kau bawa ke mana sepeda Anjani? “ tanyaku dengan sedikit berteriak. “Jual,” jawabnya singkat. “Ke mana, Kau jual? “ tanyaku setengah emosi. “Sudahlah……. anggap saja sepeda itu hilang,” jawabnya tanpa beban. Kemarahanku saat itu membuncah, walau sempat kutahan. Betapa tidak? Sukar yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga dan sosok yang bisa diteladani oleh kedua putriku, ma- lah menyandarkan hidupnya padaku, Anjani, dan Suketi. Tak henti-hentinya, ia merampas jerih payah hasil keringat anak-anak- ku. Bahkan, dengan teganya menjual sepeda keranjang Anjani dan Suketi yang baru dua hari kubelikan di pasar loak. Sepeda 50

Langit Merah itu berwarna merah muda dengan keranjang cantik di depannya, lucu sekali. Anjani dan Suketi sering memakainya keliling kam- pung. Ia melenggok mengikuti ruji-ruji sepeda berputar. Jika kuingat betapa beratnya sepeda itu kudapat, ingin sekali aku melawan Sukar. Untuk memperoleh sepeda itu aku harus mendorong gerobak es pada siang hari, di mana kebanyakan para istri sedang dimanja oleh suami. Aku harus menahan tangis ka- rena tak bisa membelikan roti selai untuk Anjani dan Suketi. Aku harus berpuasa tiga bulan dan anak-anakku harus puas dengan makan nasi kosong. Semua hanya untuk mewujudkan impianku membeli sepeda keranjang itu. *** Seribu kata untuk menampik setiap cacian rentenir adalah hal biasa bagiku. Awalnya aku sering malu dilihat tetangga. Ka- dang, mata mereka menyorot sinis yang membakar amarahku. Tapi sekarang, aku sudah pasrah dengan keadaan ini. Ada yang lebih mengenaskan, malaikatku Suketi dan Anjani harus mengais receh dengan lagu abal-abal di lampu merah. Ram- but mereka tak lagi hitam. Sering mereka merasa bahagia dengan limaribu receh seratusan atau seribuan jikalau beruntung. Kalau tidak, makanan sisa di belakang mall sudah cukup mengganjal perut mereka di siang hari. Setidaknya, mereka sudah bisa makan. Setibanya di rumah, sudah ditunggu laki-laki manja yang mengisap rokoknya dalam-dalam sambil menonton televisi. Ru- mah kontrakan sempit itu semakin sesak oleh asap rokok. Televisi yang teronggok di ruangan yang berukuran dua kali dua meter itu menjadi satu-satunya barang yang berharga di rumah kontrakan kami. Hampir di semua sudutnya tak akan layak untuk dikatakan sebagai rumah. Atapnya yang keropos dimakan waktu, lantai ta- nahnya yang lembab, barang-barang berserakan, dan tak ada perabotan, selain perabotan masak ala kadarnya. “Sudah pulang, mana setorannya?” kata lelaki duda manja itu sambil mengepulkan asap rokoknya dalam-dalam. 51

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Ini, Pak. Ada empat ribu,” jawab Suketi. “Kalian sudah makan?” tanyanya. “Sudah, Pak,” jawab Anjani dan Suketi serentak. “Belikan Bapak nasi Padang di depan. Tak pakai lama!” Suketi dan Anjani buru-buru meninggalkan rumah. *** Aku sering berpikir kenapa Sukar bisa menjadi suamiku. Walau menikah tanpa restu orang tuaku, bukan sebuah hal yang tak membahagiakan kala itu. Mahar tigaratus ribu pun sudah cukup membuatku menjadi wanita sempurna. Duda miskin sangat pemalas itu sekarang menjadi parasit bagiku dan kedua anakku. Kalau mengingat janjinya dulu, aku sering tertawa geli sendiri. Menertawakan Sukar yang gampang mengobral janji, layaknya seorang calon bupati yang sedang kampanye Pemilukada. Juga, menertawakan keluguan dan kebo- dohanku yang dengan sangat mudahnya termakan bujuk rayu Sukar. Yah, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak ingin dicap sebagai wanita yang doyan kawin, setelah pernikahanku yang pertama, yang telah melahirkan Suketi dan Anjani harus berakhir di tengah jalan karena suamiku yang kucintai harus pergi untuk selamanya. Semula, harapanku menikah untuk kedua kalinya ini, hanya ingin menghadirkan sosok bapak bagi kedua putriku. Tetapi harapan itu, kini sepertinya hanyalah ibarat jauh panggang dari api. Malam itu seperti malam-malam biasanya, Sukar sudah siap pergi dengan setelan jeans dan sandal jepitnya. Lengkap dengan topi biru yang aku belikan sebulan lalu di pasar loak. Gayanya sedikit konyol dan menyedihkan. Rokoknya selalu ia kantongi di saku kirinya. “Mau kemana?” tanyaku. “Alah….buat apa Kau tanya segala, tak penting. Mana jatah- ku?” katanya setengah memaksa. “Jatah apa? Dasar lelaki tak tahu malu,” umpatku. 52

Langit Merah “Sudahlah, nanti kalau menang yang untung juga Kamu, kan?” jawabnya dengan santai. “Menang apa. Kau pikir selama ini main judi ada untungnya. Apa selama ini judi membuatmu kaya,” jawabku. “Sudahlah, yang penting sekarang uang,” katanya dengan nada keras sambil pergi mendorong bahuku. *** Keramaian di pagi itu terasa sepi bagiku. Sejenak aku berpikir tentang segala hal yang terjadi dalam hidupku selama ini. Sudah lama aku mendambakan kehidupan yang bahagia dengan Sukar dan kedua anakku. Kehidupan itu tak kunjung datang sejak perni- kahanku sebelas tahun yang lalu. Awalnya satu, dua hari aku menunggu. Kemudian minggu- minggu telah berlalu, membuatku semakin ragu. Akhirnya, aku sadar bahwa dengan menagih janji kepada Sukar bukanlah se- buah penyelesaian. Semua bertambah pilu jikalau anak-anakku harus menyaksikan pertengkaran kami pada hari-hari yang pan- jang. Sering dari kami hanya membahas seribu atau duaribu ru- piah saja. Kadang hanya untuk sepuntung rokok yang terus mem- buat otak Sukar semakin beku. Tak apalah, toh tak ada barang yang bisa ia banting. Walaupun masalah tak kunjung usai, seti- daknya aku bisa memakinya sesukaku. Mulutku sangat gatal ji- kalau dia tak merasakan umpatanku. Sering aku malu mengingat bunga-bunga mawar atau apalah yang mekar di hatiku kala mengingat rayuan Sukar sebelas tahun yang lalu. Manis sekali. Santun dan berwibawa ketika ia mene- maniku membeli batik di pasar Beringharjo. Telaten sekali ia me- nanggapi pertanyaanku, yang sebetulnya pertanyaan itu hanya mengada-ada. Di sisi lain, entah berapa kali bapakku dengan sabar selalu menasihatiku. “Nduk, jangan menikah dengan Sukarno. Bapak merasa dia kurang cocok untukmu, Nduk, “ katanya dengan halus. 53

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Sejenak bapak menarik napas dalam-dalam pertanda ada se- suatu hal yang sedang dipikirkan. Tak lama kemudian, bapak meneruskan lagi perkataannya. “Apalagi, Sukarno itu sudah menduda, yang ditinggal istrinya karena tidak bertanggung jawab terhadap keluarga. Mbok dipikir lagi, Nduk, Supaya jangan menyesal. Eman-eman Kamu dan anak- anakmu, Nduk. “ Aku hanya duduk tertunduk mendengar nasihat bapak ka- rena sebenarnya aku bingung harus berkata apa. Walaupun sudah belasan tahun, aku masih ingat betul akan nasihat bapak. Entah berapa kali ia menasihatiku, ratusan, bahkan ribuan mungkin. Kala itu berapa setan yang telah menyuruhku mengabaikan segala nasihat bapak, sehingga kuanggap cinta di atas segalanya. Namun, seiring bergulirnya waktu, aku semakin sadar bahwa cintaku konyol dan jauh dari logika. Apalagi, jika aku mengenang satu peristiwa yang teramat menyakitkan bagiku. *** Pagi itu, Sukar berteriak-teriak memanggilku setelah sema- laman tidak pulang. “Trem…Tentrem, buka pintunya!” Ia berte- riak sambil menggedor-gedor pintu. Ketika kubuka pintu reot itu, sosok Sukar sudah sempo- yongan dengan rambut acak-acakan. Badannya bau alkohol dan ia sepertinya masih belum tersadar dari pengaruh minuman keras. “Mabuk lagi, Kau?” tanyaku. “Kalau iya, memang kenapa?” jawabnya. “Aku ini istrimu,” jawabku. “Ajari saja anak-anakmu itu mencari uang, jangan urusi aku,” katanya. “Dasar lelaki tidak bertanggung jawab. Seharusnya yang cari uang itu Kamu, bukan anak-anakku,” kataku dengan berteriak. Kemudian ia membanting pintu yang bolong-bolong itu. Di- ambilnya sebilah pisau belati. Buta hati dan kalap adalah ciri yang menonjol dari Sukar. Sering perlakuan tak manusiawinya ia berikan 54

Langit Merah padaku dan anakku. Namun bagi kami, itu adalah hal yang terlalu biasa. Dan hal itu kembali terjadi. “Kalau Kau tak bisa diam,” katanya sambil mengacung- acungkan pisau belatinya padaku. “Mau bunuh aku, bunuh saja kalau Kau mau. Kau pikir, aku takut,” jawabku. Sejurus kemudian, kurasakan badanku ngilu dan kakiku patah tertebas benda tajam itu. Aku lunglai bermerah darah, tapi masih kudengar teriakan histeris Anjani dan Suketi. Mereka menggoyang-goyangkan tubuhku dengan sekuat tenaga. Namun, percuma saja. Aku tak bisa bergerak sedikit pun dan pandanganku semakin gelap. *** Lima tahun sudah aku hidup bersama Anjani dan Suketi. Bagiku kedua anakku adalah sebuah anugerah yang tiada tara. Dari mereka aku mengenal Tuhan dan mengerti arti cinta yang sesungguhnya. Itulah yang membuatku selalu kuat. Berjualan es keliling bukanlah hal yang berat bagiku untuk kulakukan. Meski sekarang, aku harus berkeliling dengan menggunakan satu kakiku. Aku anggap Anjani dan Suketi adalah bunga-bunga mata- hari yang selalu mekar di dalam dadaku. Mereka juga yang sering mengingatkanku pada bunga-bunga mawar yang pernah tumbuh di dadaku belasan tahun yang lalu kala aku bersama Sukar. Kini Anjani dan Suketi telah berumah tangga. Mereka sangat berba- hagia dengan keluarganya. Seminggu sekali mereka mengun- jungiku. Setiap kali datang, mereka selalu membujukku. “Bu, sudahlah, jangan jualan es lagi. Sekarang tinggal sama Anjani saja!” pintanya sambil memegangi tanganku. “Atau sama aku saja, Bu,” sahut Suketi. Namun jawabanku selalu sama, aku tak mau. Karena sejak kecil sampai sekarang, aku sebagai seorang ibu, hampir tidak per- nah membuat mereka bahagia. Bahkan, sering membuat mereka bersedih. 55

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Saat mereka menjengukku, mereka juga sering menanyakan keberadaan Sukar. “Bu, sebenarnya di mana Bapak sekarang?” tanya Anjani dan juga Suketi. “Ayo kita sama-sama mencari Bapak. Kami yakin, kok Bu, Bapak pasti sangat senang menyambut kedatangan kita,” bujuk Suketi. Aku hanya membisu, diam seribu bahasa. Walaupun sebe- narnya aku bangga dengan sikap Anjani dan Suketi yang masih selalu menyayangi Sukar, layaknya seorang anak terhadap bapak- nya. Merekalah, dua putriku yang selalu memberiku semangat. Mereka, seindah bunga matahari yang selalu mekar menghiasi sudut-sudut relung hatiku. Triyanto Prabowo, siswa SMA Negeri 2 Bantul 56

Langit Merah SAMPAH-SAMPAH BUKAN UNTUKMU, WIBI Zefania Anggita Arumdani Matahari mulai menyengat ketika seorang anak lelaki terlihat menyusuri jalanan sambil mencari-cari sampah dengan tongkat kecil yang dibawanya. Hari ini, ia akan memulung sampah sisa penonton Sekaten tadi malam di sekitar alun-alun utara. Senyum sudah tersungging di bibirnya membayangkan botol-botol plastik yang bertebaran di rumput-rumput alun-alun. Pasti hari ini, ba- rang-barang bekas itu sudah banyak. Jika ia bisa mengumpulkan sampah plastik yang banyak berarti mendapat rezeki yang cukup untuk membeli makan sehari. Ia mempercepat langkahnya, takut kalah cepat dibanding pemulung-pemulung lain yang juga mengais rezeki di alun-alun. Kaki kecilnya dipaksa bergelut dengan panasnya aspal. Dahinya mengeluarkan peluh dan berulangkali mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Debu-debu dari knalpot kendaraan bercam- pur bau sampah yang menyengat di kawasan Malioboro membuat nafasnya sesak. Tetapi ia terus mempercepat langkahnya. Di perjalanan ia bertemu Nek Uli, pemulung tua yang selalu bersama mengais sampah. “Wibi, kamu mau mencari sampah dimana, Le?” tanya Nek Uli “Mau ke alun-alun, Nek!” “Bareng Nek Uli aja ya.” “Ya, Nek.” 57

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Kedua pemulung itu berjalan beriringan. Sengatan sinar ma- tahari seakan-akan membakar kulit, tetapi itu adalah hal yang biasa dihadapi sehari-hari. Akhirnya, mereka sampai di alun-alun. Wajah-wajah mereka yang lelah berubah menjadi sumringah. Ba- nyak pemulung-pemulung yang sudah hilir-mudik mengais-ais tempat sampah mencari plastik, botol, kertas dan barang-barang lain yang laku dijual. “Le, nenek mau cari yang disebelah barat, ya!” kata Nek Uli sambil menunjuk kerumunan penjaja minuman. Wibi mengangguk. Ia pun berjalan melewati kerumunan pengunjung alun-alun. Tangan kirinya menggenggam kuat ka- rung yang dipikul di punggungnya, sedangkan tangan kanannya lincah menggerakkan tongkat pengait. Matanya bergerak-gerak mencari botol minuman yang berjatuhan. Sampai akhirnya se- buah botol plastik tergeletak di dekatnya. “Eh, ini buat saya!” seru seorang pemulung perempuan se- paruh baya. Matanya melotot dan dengan sigap merebut sebuah botol minuman plastik. “Cari tempat yang lain! Sembarangan saja kamu ngambil- ngambil di sini! Sana pergi!” usir ibu itu lagi. Wibi diam, ia pun berjalan pergi. Botol plastik itu gagal di- ambilnya. “Bagaimana ini? Hanya sedikit yang bisa ku pulung hari ini. Aku tak bisa mendapatkan uang untuk beli makan hari ini,” gumamnya. Tahu-tahu saja air mata sudah menggenangi bola matanya yang hitam. Kalau ia tidak mendapatkan uang, tamparan keras dari ibunya sudah pasti mendarat di pipinya. Sebenarnya, masih untung Wibi cuma ditampar, kadangkala ibunya suka memukul punggung dan kakinya. Ketakutan sudah meliputi pikirannya, rasa cemasnya mun- cul. Baru saja ia berjalan beberapa meter, ada banyak gelas plastik bekas yang tercecer di depannya. Dengan semangat dan beribu- 58

Langit Merah ribu terimakasihnya pada Tuhan, ia memunguti satu per satu sampah-sampah itu. Siang berganti menjadi sore. Makin banyak pemulung yang berdatangan ke alun-alun itu. Tak seperti mereka, tidak ada ba- rang yang dikumpulkan Wibi. Tetapi, Wibi tak mau beranjak pergi dari alun-alun itu. Ia bertekad mencari barang bekas sebanyak- banyaknya meski sampai malam sekalipun. “Wibi, mau pulang, nggak?” tanya nek Uli “Belum, Nek. Saya masih mau disini.” “Lha kamu belum dapat, to?” “Sudah nek tapi aku kan perlu lebih banyak lagi.” “Kamu nggak takut sendirian disini? Ya sudah, aku tak pu- lang dulu!” Wanita bertubuh tambun itu berjalan bersama pemulung- pemulung lainnya. Biasanya, pemulung-pemulung hanya memu- lung sampai sore. Tetapi Wibi tetap tak beranjak dari tempat itu sampai malam. “Wibi, lho kamu belum pulang to? Ini sudah malam, le. Nanti dimarahin ibumu,” kata Sukadi, seorang penjaja gorengan yang juga tetangga Wibi. “Belum, Mas,” jawab Wibi dengan nada lesu. “Oh, sik yo. Lha ni, aku punya sampah banyak. Ambil saja, le,” kata Mas Kadi. Wibi pun mengambil sampah-sampah itu dengan cekatan. “Sudah makan belum, Bi?” tanya Sekar, istri Sukadi. “Belum, Mbak,” jawab Wibi. “Ini tak kasih nasi. Dimakan, ya!” kata Sekar sambil mengu- lurkan sebungkus nasi. “Makasih, Mbak,” kata Wibi dengan wajah ceria. “Tetapi makannya disini saja. Nanti kalau dimakan di ru- mah, pasti dimarah Ibumu,” kata Mas Kadi sambil duduk di sam- ping Wibi. “Tetapi bagaimana dengan adik dan kakak saya?” sahut Wibi seraya mengurungkan niatnya membuka bungkusan nasi itu. 59

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Walah, Le, biarin aja. Paling mereka juga sudah makan,” kata Sekar. “Ya sudah, tapi biar saya bawa pulang saja,” kata Wibi. Ia pun pamit pada Kadi dan Sekar. Tatapan iba mereka mengiringi kepergian Wibi. Bulan semakin tinggi. Malam semakin larut. Wibi pun terdiam dalam kebisingan jalanan kota Yogya- karta. Percuma ia mencari dari pagi sampai malam. Toh, ia tak bisa mendapatkan barang-barang bekas yang banyak. Perasaan takutnya menyelimuti hatinya. Pukulan, tamparan, tendangan dari ibunya seakan-akan sudah ia rasakan. Selalu saja ibunya ha- nya memikirkan uang, uang dan uang tanpa mempedulikan pe- rasaan anak-anaknya yang dipaksa bekerja ini-itu. Rumah Wibi berada di kawasan pemukiman kumuh di ban- taran kali Code. Rumah Wibi memang berbeda dengan rumah tetangga-tetangganya yang kebanyakan sudah permanen. Rumah kecilnya itu berdinding kayu dan tidak terpasang listrik. Satu- satunya penerang dirumahnya adalah lilin. Rumah Wibi tampak temaram dari kejauhan. Pasti ibu dan saudara-saudaranya sudah tidur. Wibi pun tidak langsung masuk. Ia duduk sejenak di teras rumahnya. Dilepasnya penat yang ia rasa. Tiba-tiba pintu terbuka. “Dapat banyak nggak, kamu?” tanya ibu Wibi menggeleng “Terus apa yang kamu bawa itu? Sini...sini..sini...!” katanya sambil merebut bungkusan nasi itu dengan kasar. “Kamu dapat darimana, heh?” tanya Ibu dengan nada mem- bentak. “Dari...dari..Mbak Sekar,” jawab Wibi pelan. “Memang kamu pikir Ibu nggak bisa kasih makan apa? Heh, nggak usah sok memelas jadi anak!” seru Ibu sambil melempar bungkusan nasi itu ke arah Wibi. Bungkusan nasi itu tumpah di rambut Wibi. “Makan tuh!” seru ibunya lagi sambil masuk ke dalam rumah. Dengan terisak-isak Wibi memunguti satu per satu butir- butiran nasi yang melekat di rambutnya. Sedangkan tempe yang 60

Langit Merah jatuh dilahap seekor kucing. Hatinya teriris-iris. Ia terus menangis sampai akhirnya ia tertidur di depan rumahnya. *** Pagi pun tiba. Terdengar bunyi kokokan ayam jantan yang nyaring. Dengan lembut, sinar mentari menerpa wajah pemulung cilik itu. Baru saja ia membuka mata, seember air sudah menyi- rami tubuhnya. “Bangun, anak malas!” seru ibunya. Wibi pun bangun dengan kondisi basah kuyup. “Dasar anak malas, Ibu kan sudah bilang kalau pagi kamu harus bantu Ibu, bukannya enak-enakan tidur!” kata Ibu sambil menjewer telinga Wibi. “Ampun, ampun, Bu,” jerit Wibi kesakitan. “Cepat ambil air di sungai!” kata Ibu sambil melempar ember ke tanah. Dengan cekatan Wibi pun melaksanakan tugas dari Ibunya. Tangan kecilnya membawa ember berisi penuh air. Berat me- mang. Tetapi semua itu dilakukannya dengan senang hati, meski perlakuan ibunya tidak sebanding dengan ketulusan hatinya. Se- dangkan adiknya, Risma membantu Ibu mencuci baju. Ibu bekerja sebagai buruh cuci. Meski Risma masih kecil, tetapi ia sudah bisa mencuci baju. Bagas, kakak Wibi bekerja sebagai kenek bis kota dan jarang membantu pekerjaan Ibu. Pagi-pagi buta ia sudah be- rangkat bekerja dan biasanya saat Wibi terkantuk-kantuk, kakaknya itu baru pulang. Sehabis membantu Ibu, Wibi pun mandi di sungai yang ber- air kotor dan bau. Sebenarnya, ada kamar mandi umum di dekat sungai itu. Tetapi, Wibi tidak pernah punya uang untuk mandi di situ lagipula jika ia punya pun ia akan merasa sayang jika uang- nya dibayar untuk dia mandi. Bahkan, mandi memakai sabun pun belum pernah. Memakai sabun adalah kemewahan tersendiri baginya. Tak heran, bau keringat yang menyengat selalu tercium dari badan dekilnya. 61

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Hari ini Wibi akan memulung di sekitar stasiun Tugu. Kebe- tulan sampah-sampah disana banyak dan sepi pemulung. Wibi menggunakan ‘kesempatan emas’ ini. Apalagi hari ini saatnya menjual botol-botol plastik itu ke juragan Salim, pengepul rong- sok. Pemulung cilik itu berjalan menyusuri jalanan di kawasan Malioboro sambil menghirup udara yang bercampur debu kenda- raan. Terik matahari menyilaukan pandangan matanya yang si- buk mencari-cari botol-botol plastik yang tercecer di jalanan. Tak dipedulikannya tatkala harus mengais-ngais di tempat sampah yang bau menyengat. Belum sampai sore hari, Wibi mendapat hasil rongsokan sampah yang banyak. Bahkan lebih banyak daripada yang dicari di alun-alun. Ia pun berjalan ke tempat pengepul. Rupanya keber- untungan berpihak pada Wibi hari ini. Uang yang didapat lebih dari cukup untuk sehari. Setelah dari tempat pengepul, ia berjalan menyusuri jalan sendirian sambil menghitung lembaran-lembar- an uang kertas seribuan yang sudah kumal. Bola matanya berka- ca-kaca tatkala ia menghitung uang-uang itu. Hasil keringatnya kali ini berjumlah 7000 rupiah. Berkali-kali bibir kecilnya meng- ucapkan terimakasih pada Sang Khalik. ‘Pasti Ibu akan senang dengan hasil usahaku ini!’ pikirnya. Terbayang banyaknya ma- kanan yang bisa ia beli dengan uang-uang itu. Baru saja ia mema- sukkan uang-uang itu ke saku celananya yang rombeng, ia meli- hat seorang nenek-nenek gelandangan yang duduk di emperan toko. Matanya kuyu dan tangannya yang keriput terus menenga- dah ke arah orang-orang yang berlalu-lalang tanpa memperduli- kannya. Hati Wibi terketuk. Segera dihampirinya seorang penjual nasi bungkus. Ia membeli nasi bungkus seharga 1000 rupiah. Ke- mudian, bungkusan nasi itu diberikannya pada nenek gelandang- an itu. Nenek tua itu berkali-kali mengucapkan terimakasihnya pada Wibi. Sesudah itu, Wibi berjalan pulang ke rumah. Baru saja ia merogoh saku celananya, ia baru menyadari uang sisa yang ia punyai hilang. “Pasti uangku jatuh.” Gumamnya. Rupanya kantong celananya sudah berlubang besar. “Apa yang nanti harus 62

Langit Merah ku katakan pada Ibu?” pikirnya. Langit berwarna keemasan, me- nandakan hari sudah senja. Percuma ia balik lagi mencari sam- pah-sampah plastik. Ia pun berjalan pulang dengan pikiran yang tak menentu. Saat ia sudah sampai di rumah, dilihatnya Risma yang se- dang menghitung uang hasil mengamen di jalan. Wajahnya ber- seri-seri, lain dengan wajah Wibi yang muram. “Dapat nggak, Bi?” tanya Ibu. Wibi mengangguk,”tetapi uangnya hilang di jalan.” jawab- nya dengan suara yang pelan. Segera saja Ibu menariknya keluar rumah. Kemudian dipukulinya kaki Wibi dengan sandal jepit. “Dasar anak bodoh! Teledor! Nggak ku kasih makan kamu!” seru Ibu tanpa berhenti memukuli kaki Wibi. Wibi tak menyahut. Hanya rintihan kesakitan yang terdengar dari bibirnya. Setelah itu, Wibi tak diijinkan masuk ke dalam ru- mah. Malam pun tiba. Wibi kecil duduk sendirian di luar rumah- nya. Matanya yang basah memandangi sungai Code yang meng- alir tenang. Kakinya memar dan rasa lapar menyerangnya. Ia tak punya uang lagi untuk membeli makanan. Untuk menghilangkan rasa laparnya itu, ia mencoba tidur di emperan rumahnya. Saat ia berbaring memandangi bintang-bintang, pikirannya melayang. Se- benarnya ia ingin seperti anak-anak pada umumnya, dibelai, disa- yang dan dimanja orangtuanya. Ia membayangkan bagaimana rasanya menjadi anak yang beruntung seperti itu sehingga apa saja yang ia inginkan, orangtuanya akan menuruti. Tetapi, kenya- taannya lain, ia lahir dari keluarga yang kurang mampu dan belai manja orangtua pun tidak pernah dirasakan. Tamparan, pukulan dan makian yang selalu ia terima dari ibunya. Tetapi, ia tahu itulah cara Ibu menyayanginya dan ia tak pernah membenci Ibu, seburuk apapun perlakuan Ibu padanya. Ia selalu percaya, Ibu melakukan semua itu demi kebaikannya. Tak pernah ada rasa sesal memiliki Ibu seperti itu. Makanya, Wibi ingin hidupnya digunakan untuk membahagiakan ibunya, seorang Ibu yang membesarkan tiga anaknya sendirian sejak Ayah meninggal karena sakit. 63

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Tiba-tiba saja Ibu berdiri di dekatnya, “sekarang kamu masuk terus makan.” Kata Ibu dengan suara lembut. Wibi pun bangkit dan masuk ke dalam rumah. Di meja sudah terhidang sepiring nasi dengan lauk tempe. Ia pun makan dengan lahap. Tak lupa mengucapkan rasa syukurnya atas kebaikan Tuhan yang masih memberi berkat. Risma, adiknya sudah tidur. Pasti ia sangat kele- lahan setelah seharian mengamen di jalanan kota Yogyakarta yang padat. Setelah makan, ia pun masuk ke dalam kamarnya yang remang-remang. Ia pun segera memejamkan kedua matanya yang mengantuk. Sayup-sayup ia mendengar suara Ibu yang berbisik di dekatnya sembari mengelus rambutnya dengan halus. “Bi, Ibu minta maaf kalau selama ini Ibu sering marah sama kamu. Tetapi, bukan itu maksud Ibu berbuat sejahat itu. Ibu ingin kamu mandiri menghadapi kerasnya kehidupan, Nak. Cuma ka- mu harapanku saat ini,” kata Ibu dengan suara yang pelan. Ia pun terus membelai rambut Wibi dengan penuh kasih sayang dan diselimutinya Wibi. Kemudian ia pun kembali ke ka- marnya. Pagi pun datang menyambut. Saatnya Wibi kembali bekerja. Kali ini ia akan memulung di jalanan Malioboro. Apalagi di ka- wasan ramai itu sedang ada konvoi besar-besaran. Dengan meng- gunakan kesempatan itu, ia pasti mendapat hasil yang banyak hari ini. Sebelum kaki kecilnya yang tak beralas beranjak dari ru- mahnya, ia mendekati Ibunya yang sedang melipat-lipat baju. “Bu, aku berangkat dulu, ya!” kata Wibi sambil mencium tangan Ibunya. “Hati-hati, ya.” “Emmh, Bu. Aku punya satu permintaan. Sekali ini saja, Bu. Boleh, ya?” kata Wibi dengan sungguh-sungguh. “Apa?” Wibi pun memeluk Ibunya erat-erat. Kemudian, ia melepas pelukannya dan pergi memulung. Sementara itu Ibunya masih bertanya-tanya keheranan. Sebenarnya keinginan Wibi memeluk Ibunya itu muncul begitu saja. Ia tak tahu mengapa tiba-tiba saja 64

Langit Merah ia melakukan hal yang tak pernah dilakukannya. Keinginan hati- nya itu muncul secara spontan. Bocah laki-laki itu berjalan menyusuri jalanan Malioboro. Ia terpaksa berdesak-desakan dengan kerumunan orang yang me- nyaksikan konvoi. Tetapi, apa yang dicarinya sudah berserakan di depan mata. Dengan cekatan ia memunguti botol-botol plastik ke dalam karung yang digenggamnya erat-erat. Baru sebentar saja, ia terdesak oleh orang-orang yang bertambah banyak. Berada di antara kerumunan orang-orang membuat ia gerah karena sempit, terpaksa ia pergi dari tempat itu dan mencari tempat yang lebih lapang. Wibi pun mampir duduk di depan sebuah mall seraya mele- pas lelah. Dari tempat ia duduk, konvoi itu lebih jelas terlihat daripada di pinggir jalan. Perhatiannya kini beralih ke seorang anak perempuan yang sedang berjalan bersama kedua orangtua- nya. Anak perempuan itu masih memakai seragam SD. Ibunya yang berpakaian bagus menggandeng tangan anak itu. Sedangkan ayahnya berjalan dibelakang sambil membawa tas belanja yang banyak. Wibi terus mengamati orang-orang itu. Riuhnya konvoi di jalanan tak dihiraukannya. Mengamati anak itu lebih menarik perhatiannya. Ia pun mulai berkhayal lagi. “Hmm, seandainya saja aku bisa seperti anak itu. Dia kaya, diperhatikan orangtua dan bisa bersekolah. Pasti hidupku akan enak. Kalau aku punya uang yang banyak, aku mau beli rumah dan mobil yang bagus. Aku juga bisa ngajak Ibu jalan-jalan keliling kota dengan mobil. Aku bisa beli baju-baju yang bagus dan main- an. Aku juga bisa bersekolah dan menjadi anak yang pintar. Pasti Ibu akan senang sekali. Aku nggak harus capek-capek memulung lagi.” Ia pun tersenyum senang sambil membayangkan dirinya bisa bersekolah dan mencapai cita-citanya sebagai seorang dokter. Perlahan anak perempuan berseragam SD itu menoleh ke arah Wibi, kemudian ia berbisik pada Ibunya,”Ma, lihat anak itu. Kok dari tadi dia ngliatin aku terus sih, Ma?” 65

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Sudahlah, Mita. Ayo, kita pergi saja,” kata Ibunya sambil menarik tangan anaknya. Tiba-tiba saja perempuan itu berteriak karena seorang lelaki berambut gondrong membawa lari tas ku- litnya yang mahal. “Copet! Copet! Copet! Tolong! Tolong!” seru perempuan itu panik. Beberapa orang berlari mengejar pencopet itu. Dengan sigap Wibi ikut mengejar pencopet itu. Bahkan, ia berlari lebih cepat dari orang-orang lain yang ikut mengejar. Ia menerobos kerumun- an orang-orang. Pokoknya ia harus segera menolong ibu-ibu itu. Setelah ia makin dekat dengan pencopet itu, si pencopet meno- dongkan sebilah pisau padanya. “Jangan mendekat!” bentaknya. Wibi diam di tempat dengan rasa takut yang mulai meng- hinggapi. Wibi menghela nafas dalam-dalam “Aku harus berani” bisiknya lirih dalam hati, sehingga muncul keberanian untuk me- lawan. Ditendangnya pencopet itu. Pencopet itu melawan, tetapi Wibi lebih lincah, ia berhasil merebut tas itu. Baru saja ia terse- nyum kegirangan telah mengambil tas itu, tiba-tiba pencopet itu menusukkan pisau ke perutnya. Wibi terjatuh. Pisau itu telah me- lukai bagian dalam perutnya. Ia pun jatuh ke tanah sambil me- megangi perutnya. Darah yang banyak terus keluar dari perutnya. Ia terus mengaduh kesakitan. Sekuat tenaga Wibi berusaha meng- genggam tas yang berhasil diselamatkannya agar tidak direbut pencopet itu. Kepalanya terasa berat, suara orang-orang yang me- ngerumuni untuk menolongnya hanya terdengar sayup-sayup. Ia hanya memandang langit biru yang terhampar di atasnya. Ba- yangan Ibu dan saudara-saudaranya terlintas. “Tuhan,” katanya lirih,” aku belum siap kembali pada-Mu. Tolong jangan jemput aku. Aku belum pamit sama Ibu.” Tiba-tiba saja anak perempuan dan kedua orangtuanya du- duk di sampingnya. Mereka tampak khawatir. “Bu, ini tasnya saya kembalikan..” kata Wibi. 66

Langit Merah “Terimakasih, Nak. Saya akan bawa kamu ke rumah sakit. Perutmu terluka parah,” kata wanita itu sambil mencoba meng- angkat Wibi. Tetapi Wibi menggeleng, “tidak usah, Bu, waktu saya tidak banyak lagi,” kata Wibi, “tolong, Bu..katakan pada Ibu saya bahwa saya menyayangi dia..tolong ikhlaskan kepergian saya,” kata Wibi lagi. Kemudian, ia tak bisa melihat apa-apa lagi. Kedua matanya terpejam untuk selamanya. Senyum tersungging di bibirnya. Se- nyum yang menandakan bahwa ia sudah tenang kembali ke Sang Pencipta di rumah yang baka setelah selesai menuaikan tugasnya di dunia ini. Sekarang ia sudah bahagia di sisi-Nya tanpa harus merasakan sakit dan penderitaan lagi. Dua puluh tahun berlalu. Seorang wanita tua dan dua anak- nya yang sudah dewasa tampak mengunjungi sebuah batu nisan kecil. Mereka menaburkan bunga-bunga di atasnya sambil mem- bacakan doa-doa. “Andai saja mas Wibi masih ada,” kata anak perempuan. “Risma, ikhlaskan saja kepergiaan kakakmu. Sekarang dia su- dah tenang di surga. Kita doakan saja semoga ia bahagia di alam sana,” kata wanita tua itu terbata-bata sambil mengusap air mata yang menetes di kedua pipinya. Mereka pun berjalan meninggalkan makam itu dengan mata yang masih berkaca-kaca. Mobil mewah itu pun melaju meninggalkan pemakaman umum itu. Zefania Anggita Arumdani lahir di Gunungkidul, 20 Januari 1995. Alamat rumah di Gading I, RT 12/01, Playen, Gunung- kidul. Zefania bersekolah di SMA Negeri 1 Wonosari Jalan Brigjend Katamso no.04, Wonosari, Gunungkidul 55813. No Hp: 081325751117 67

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 SETITIK AIR MATA DI GAZA Muhammad Ismail Anshari Aku kagum pada sosok Rachel Corrie. Wanita heroik asal Amerika Serikat yang rela menggadaikan nyawanya demi mem- pertahankan hak asasi manusia warga Palestina dari penggu- suran. Buldozer Israel pun tak bisa mematahkan semangat Corrie untuk melindungi warga Palestina dari rezim zionisme. Meski- pun ia seorang kristiani yang taat, rambutnya pirang, dan kulitnya yang putih seputih marmer, namun ia tak peduli itu. Ia tetap me- lanjutkan misinya dan turun langsung ke tanah Palestina, meski nyawa harus menjadi taruhannya. Sedari perjalanan dari Kairo, aku hanya bisa terpesona mem- baca artikel-artikel tentang Corrie dari layar laptopku. Aku ingin menjadi seperti dia. Saat ini, aku dan Ipung, rekan kerjaku bertu- gas untuk meliput situasi di Jalur Gaza pascapenyerangan tentara Israel terhadap kapal kemanusiaan Mavi Marmara. Ipung adalah salah satu kameramen seniorku, rambutnya yang panjang diikat menjadi ciri khasnya sehari-hari. Aku sudah menganggapnya seperti kakak kandungku sendiri. Perjalanan ini juga atas saran dari Ipung. Kami memang nekat, tetapi kami tidak sendiri. Ikut bersama rombongan adalah jurnalis dari beberapa negara, tetapi berbeda mobil. Ya. Tugas negara, hampir sama dengan tujuan Rachel Corrie, tetapi tujuanku tak hanya untuk orang Palestina, melain- 68

Langit Merah kan juga untuk dunia. Akhirnya kami sampai di perbatasan Ra- fah-Gaza. Aku turun dari mobil. Subhanallah, ternyata apa yang kubaca selama ini di artikel-artikel memang benar. Tembok Gaza dua kali lipat lebih tinggi daripada tembok Berlin. *** Cuaca di Gaza sangat panas sekali. Perjalanan dari Kairo me- nuju perbatasan hampir kami tempuh selama setengah hari. Hanya tanah gersang yang kami temui serta sapuan pasir yang tertiup angin. Sesekali semak-semak belukar memenuhi tanah pasir, beton- beton setinggi tujuh hingga sembilan meter berdiri kokoh di depan mata kami. “Pung, kita siaran dari sini ya.” Ipung masih sibuk mengurusi kameranya. “Kamu yakin, Ri, mau siaran disini?” mata Ipung berkeliling melihat megahnya tembok Gaza yang menghadang kami. Ia meng- arahkan pandangannya ke mataku. “Aku tidak melihat satu tentara pun.” “Bagus, kan,” kataku penuh percaya diri. Setelah beberapa menit persiapan, akhirnya kami siap untuk siaran, melaporkan situasi terkini di Gaza. “Baik pemirsa, saya Rianti Natakusumah. Saat ini saya mela- porkan langsung dari Jalur Gaza. Dan saat ini saya berdiri di depan tembok Gaza.” “Tolong saya, tolooong,” tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara minta tolong. Seorang ibu-ibu mengenakan jilbab hitam ber- lari ke arah kami. Kamera Ipung langsung berbalik ke arah suara, sehingga posisinya membelakangiku. “Apa-apaan sih, Pung…kita lagi siaran!” ujarku dengan nada kesal. “Duarrrr…,” suara tembakan menggelegar satu kali, seketika ibu tadi langsung jatuh tersungkur ke tanah. Aku terkejut. Ipung masih saja merekam peristiwa tadi. Keterkejutanku semakin men- jadi-jadi ketika dua orang tentara berjalan mendekati tubuh ibu 69

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 tadi. Dan mereka melihat kami. Ipung langsung mematikan kame- ranya. Ipung membalikkan kepalanya,”tenang, Ri, jangan panik.” Pikiranku kalang kabut. Aku takut jika dua tentara tadi me- nangkap kami. “Kalian!” salah satu dari dua orang tentara tadi memanggil kami dengan bahasa Inggris. Mereka berjalan mendekati kami. Aku tak bisa melihat wajah mereka dengan baik, karena setengah wajah mereka tertutup oleh masker, lengkap dengan seragam khas mari- nir dan masing-masing membawa sebuah senjata api. Namun, aku bisa menebak tentara yang satu bertubuh gendut dengan alis yang sangat tebal, sedangkan yang satunya lagi kurus dan berkulit hitam seperti orang negro. Dan di tempat itu, kami hanya berdua, jurnalis dari Indonesia. Entah kemana jurnalis dari negara lain, mereka be- lum sampai di Gaza. Kugenggam erat tangan Ipung. Tangan Ipung basah. “Apa yang kalian lakukan disini?,” itulah kalimat yang bisa kutangkap dari ucapan si tentara gendut. Bahasa Inggrisnya agak sedikit kacau. Ipung dengan gagahnya berusaha melindungiku, ia menje- laskan alasannya meliput berita kepada dua tentara itu, sementara aku bersembunyi di balik punggung Ipung. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, karena pikiranku sudah melayang entah ke mana. Aku berpikir, apakah ini saatnya aku mati? Sama seperti Rachel Corrie? Tiba-tiba tangan tentara kurus hitam itu mencengkeram le- nganku dengan paksa. Aku kaget. Ipung berusaha melepaskan genggaman tangannya dari lenganku, namun usahanya dipatah- kan oleh tentara yang satu lagi. Akhirnya kami dibawa oleh dua tentara itu bersama mobil kami. Kami dipaksa masuk ke dalam mobil, dan setir dikemudikan oleh tentara yang berkulit hitam. Di dalam mobil, aku berusaha menahan tangis. Sekejap wajah kedua orangtuaku yang berada di Indonesia berkelebat di benakku. Me- reka pasti akan khawatir denganku. Namun, aku harus kuat. Aku 70

Langit Merah adalah jurnalis yang profesional, membela rakyat Palestina melalui apa yang kulihat, dan apa yang kami rekam. “Pung, apapun yang terjadi tetap rekam. Jangan sampai ka- mera kita jatuh ke tangan mereka!” kataku setengah berbisik pada Ipung yang duduk di sampingku. “Oke, Rianti.” Mobil kami memasuki gerbang menuju Gaza. Di gerbang ter- sebut, kulihat beberapa tentara berjaga-jaga. Mereka mempersilakan mobil kami lewat. Kau pasti tak percaya apa yang kami lihat. Tanah Palestina tak ubahnya gundukan tanah gersang yang siap dijadikan kuburan massal oleh tentara Israel. Puing-puing bangunan berse- rakan dimana-mana. Orang-orang hanya duduk di pinggir jalan, melihat mobil kami lewat seakan mereka sudah tak menjumpai mobil sejak lima puluh tahun yang lalu. Aku juga melihat seorang ayah memangku anaknya yang sekarat karena kelaparan. Air ma- taku jatuh seketika. Miris. Betapa biadabnya perlakuan tentara Israel terhadap warga sipil Palestina. Tembok itu sudah mengisolasi rak- yat Palestina, mengurungnya seperti tikus-tikus got yang perlahan akan kelaparan, sakit, dan mati karena tak ada satu pun yang bisa didapat disana. Mobil kami berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat dua. Sebagian bata dari tembok itu sudah terlihat, seperti- nya tak pernah dirawat. Kusam. Bangunan lain di sekitarnya pun sudah rata dengan tanah. Kami turun dari mobil, masih dengan penjagaan ketat dari dua tentara tadi. “Tidak, tidak. Ampuni saya!!,” kudengar rintihan seorang laki- laki meringkuk di tanah dikelilingi oleh tiga tentara Israel. Kira- kira berjarak lima puluh meter dari tempatku berdiri. Tiga tentara tadi langsung mengeroyok laki-laki tua itu. Laki- laki seumuran dengan kakekku. Hatiku tergerak. Aku langsung melepaskan genggaman tentara kurus itu, berlari menuju ke arah laki-laki itu, berusaha menolongnya. “Duarrr…!!,” bunyi tembakan lagi. Seketika kaki kiriku terasa sakit. Seperti disentuh besi panas yang dipanaskan dengan api ne- raka Jahanam. Panas sekali. Aku langsung tersungkur ke tanah. 71

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Aku masih berusaha menggapai laki-laki itu. Hanya tinggal sepu- luh meter lagi, namun si kurus itu kembali mencengkeram pun- dakku. Aku setengah sadar. Hampir saja mataku menutup. Aku melihat, si tentara gendut berhasil merebut kamera Ipung, dua tentara ini semakin menunjukkan kebrutalannya. Apa si kurus itu tak tahu kalau aku ini adalah wanita? Tubuhku diseret dengan mudahnya, seperti menyeret sekarung beras. Sementara Ipung, dibawa paksa oleh tentara gendut itu. Kami memasuki bangunan tua ini, di dalam terasa gelap. Raungan-raungan orang memekakkan telingaku. Aku masih diseret, dan kakiku semakin sakit. Di ujung-ujung kesadaranku, aku melewati sel-sel berisikan orang-orang Palestina yang dita- wan. Aku juga melihat beberapa jurnalis yang kutemui di Kairo setengah hari yang lalu, sudah meringkuk di dalam sel itu. Ter- nyata nasib mereka sama denganku. Sampai di sebuah ruangan, ruangan ini berada di ujung koridor. Remang-remang. Hanya satu lampu yang hidup di ruangan itu, tepat di atasku. Aku dan Ipung, masing-masing didudukkan di sebuah kursi. Tubuh kami langsung diikat dengan tambang oleh tentara kurus hitam tadi. Dari ke- jauhan, aku melihat sesosok bayangan hitam. Aku masih setengah sadar. Saat tubuhnya mendekatiku, lampu menyoroti wajahnya dengan jelas. Wajahnya penuh dengan rambut. Sepertinya ia suka memelihara janggut. Ia berusaha mengenali wajahku baik-baik. “Jangan dekati Rianti!” Ipung berteriak keras kepada laki- laki berjanggut itu. Ia berusaha melindungiku. Si kurus langsung memukulkan ujung senjatanya pada tengkuk Ipung. Ipung ping- san. Air mataku pecah melihatnya. Tiba-tiba tangan laki-laki berjanggut itu maju dan merogoh saku celanaku. Ia mengambil dompetku. Dibukanya perlahan-la- han. Aku tak tahu apa yang dilihatnya. Aku sudah tak kuat, kutu- tup mata pelan-pelan. Sebelum kututup mataku, aku sempat me- lihat laki-laki berjanggut itu menyunggingkan senyumnya padaku. Aku takut. Semoga tidak terbawa ke dalam mimpi. *** 72

Langit Merah Apa yang ada di pikiran Rachel Corrie saat ia sudah lemah, dan sekarat setelah tubuhnya dilindas oleh buldozer tentara Israel? Apakah ia menyesal melakukan itu? Kalau aku jadi dia, aku akan menyesal. Dia adalah Rachel Corrie dan aku adalah Rianti. Aku tidak lebih dari seorang wartawan yang bertugas un- tuk meliput, itu saja. Jika aku tidak ditugasi, aku tak akan be- rangkat. Namun, Rachel Corrie berbeda. Ia datang ke Palestina tanpa disuruh, tanpa dipaksa, dan tanpa dibayar. Satu tujuan yaitu kemanusiaan. Di saat dunia kehilangan esensi kemanusia- annya, Rachel Corrie datang membawa secercah harapan bagi rakyat Palestina. Bagai hujan turun membasahi tanah tandus itu. Aku bisa merasakan semangat yang menggebu-gebu Corrie saat akan menolong warga Palestina yang akan digusur, aku melihat- nya saat perjalanan tadi melalui situs Youtube. Ia menularkan se- mangat itu padaku, menginspirasi aku untuk berjuang, melaku- kan tugas untuk negara. Meliput berita yang sesungguhnya. Na- mun, sejak dua tentara jelek itu menawanku disini, aku tak bisa berbuat apa-apa. Untuk menolong laki-laki tua tadi saja aku tidak bisa. Padahal jarak kami hanya tinggal sepuluh meter. Entah ba- gaimana nasib lekaki tua tadi, apakah mati atau masih hidup. Aku belum seberani Corrie. Menjadikan nyawa sebagai taruhan. Aku benar-benar belum berani. Kubuka kelopak mataku, objek yang terlihat masih kabur. Tapi yang jelas, aku masih di ruangan gelap tadi, masih dalam keadaan terikat. Terdengar suara para tentara sedang berkumpul. Membicarakan sesuatu. Aku tidak me- ngerti apa yang mereka bicarakan, bahasa mereka terlalu asing. Aku menoleh ke arah Ipung, ia masih pingsan. Entah sudah berapa jam atau hari kami duduk disini. Aku tak ingat sama sekali, kapan terakhir aku makan, kapan terakhir aku shalat. Oh, aku rindu shalat. Aku ingin bertemu dengan Allah, menceritakan apa yang kualami saat ini. Juga rindu pada kedua orangtuaku di Ja- karta. Lamunanku terhenti. Derap langkah kaki mendekatiku. Laki-laki berjanggut itu lagi, berdiri di hadapanku. Kali ini ia membawa senjatanya. Wa- 73

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 jahnya mengisyaratkan sesuatu. Hidungnya kembang kempis se- akan ia ingin memerkosaku. Apakah ini saatnya aku untuk mati? Aku memejamkan mataku lagi. Jika aku mati saat ini, biarkan mataku menutup dengan sendirinya. Berharap bangun nanti aku sudah berada di surga. *** Hal pertama yang bisa kulihat saat itu, sepasang neon me- nyala di atas tempatku berbaring. Aku masih berada di dunia? Tak percaya, aku langsung bangkit dari tidurku. Aku berada di sebuah ruangan yang dikelilingi dengan gorden putih dan selang infus yang terpasang di urat tanganku. Di mana ini? Pintu kamar terbuka, seorang perawat masuk. Disibaknya gorden putih yang menutupi ruangku, seketika cahaya mentari pagi menyentuh ku- litku. Sudah lama aku tak merasakannya. Di samping ranjangku, Ipung duduk berhadapan denganku. “Selamat pagi, Rianti,” wajahnya berseri-seri. Begitu semangat. Hampir sepekan kami dirawat di Rafah. Kakiku pun belum sembuh benar. Tapi, Alhamdulillah aku sudah bisa shalat meski hanya berbaring di tempat tidur. Rinduku pada Allah, kuceritakan semua yang kualami selama aku di Gaza. Aku berterima kasih sekali pada-Mu Ya Allah, masih memberikanku kesempatan un- tuk hidup. Terima kasih. *** Penerbangan dari Kairo menuju Jakarta. Aku menaikkan kursiku, berusaha santai meski kakiku masih sedikit sakit. Gara- gara peluru dua tentara kurus dan gendut itu. Aku masih tak mengerti, bagaimana, apa, siapa, kemudian mengapa para tentara Israel membebaskan kami setelah hampir seminggu ini menawan kami. Menurut cerita Ipung, warga sipil menemukan kami terge- letak di luar tembok Gaza bersama jurnalis-jurnalis lain. Dan akhirnya kami dibawa ke rumah sakit terdekat di Rafah untuk dirawat. Setelah kondisi kami membaik, kami dievakuasi oleh KBRI Mesir dari Rafah ke Kairo.Tapi aku masih tak mengerti, 74

Langit Merah apa alasan mereka membebaskan kami. Dompetku pun lenyap entah kemana. Tapi sudahlah, yang jelas aku bersyukur masih diberikan kesempatan untuk menjalani hidup ini lagi. Meskipun tanpa membawa rekaman, gambar, atau tulisan sedikitpun dari Palestina. Namun, aku bisa mengingatnya dengan jelas di dalam pikiranku. Dua tentara itu, dan laki-laki berjanggut itu. Takkan kulupakan sepanjang hidupku. “Kamu menyesal mendapatkan tugas di Palestina, Ri?,” ta- nya Ipung yang duduk di sampingku. “Sebenarnya, sih awal iya. Kenapa harus aku yang ditugas- kan di Palestina. Pikiranku saat itu apakah aku pengen bunuh diri di sana?” aku mengeraskan nada suaraku,” tapi ada satu orang yang mengubah persepsiku itu dan tiba-tiba memberiku semangat untuk melakukannya.” “Siapa?” Aku menjawab lantang,” Rachel Corrie.” *** Pesawat kami mendarat di Bandara Soekarno-Hatta tepat pukul tujuh malam. Kuhirup napas dalam-dalam. Indonesia, aku datang. Hawanya terasa asri, sangat berbeda saat aku berada di Palestina. Tak sabar ingin segera bertemu dengan Bapak dan Ibu. Aku dan Ipung berjalan menuju lobi bandara untuk mengambil koper, kulihat puluhan wartawan sudah berjubel di luar. Ternyata kabar tentang penyanderaan kami, oleh tentara Israel menjadi sorotan di Indonesia. Kuambil koperku, lalu aku bergegas untuk mencari kedua orangtuaku yang sudah menungguku. Aku berja- lan menyusuri ruang tunggu, hingga lobi lagi. Tidak kutemukan sosok mereka. “Rianti,” sepertinya aku mengenal suara ini. Dari belakang, aku langsung berbalik. Tak bisa kutahan air mata ini saat melihat mereka masih ada. “Bapakk…Ibukkk…Aku kangen..!!,” aku memeluk mereka erat-erat. 75

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Jangan sampai ada satu orangpun yang memisahkannya lagi. Kecaman atau kutukan kepada Israel tak berlaku dan hanya percuma sia-sia. Perlu kerja nyata untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini. Tapi yang jelas, aku tak seberani Rachel Corrie. Dunia butuh orang-orang seperti Corrie, yang rela berko- rban, tak pandang warna kulit, ia berasal dari mana, agamanya apa, tapi berkiblat pada satu hal. Kemanusiaan. Kau inspirasiku, Corrie… Muh. Ismail Anshari, SMA Negeri 5 Yogyakarta, Jalan Nyi Pembayun no.39, Kotagede, Yogyakarta 55172. 76

Langit Merah GURUKU JUGA IBUKU Arisna Sera Wati Ningsih Krompyang……. grek. Pagi itu keluarga Pak Andi telah dikejutkan dengan suara piring pecah yang bersumber dari dapur. Suaranya begitu menge- jutkan hingga penghuni kamar terbangun di pagi hari yang masih buta itu. “Ya ampun Litta..... Apa lagi yang kau pecahkan?” “Maafkan saya, Tante. Saya hanya.” Belum selesai bicara Litta sudah mendapat makian. “Maaf…maaf... Berulang kali kau menyebut kata-kata itu. Sekarang cepat bersihkan pecahan piring ini dan cepat bereskan pekerjaanmu. Dasar anak tak berguna. Tak ada untungnya kau tinggal disini.” Litta hanya tertunduk lemas, air matanya menetes di pipi. Makian yang menyakitkan telah dihadapinya tiap hari, namun gadis ini sabar menghadapinya. Ia tak pernah mengeluh dan se- nyuman selalu terpancar dari wajahnya. “Biar saya bantu, Nduk.” Bik Inah yang sejak tadi berdiri menghampiriku dan mem- bantu membereskannya. “Makasih, Bik. Maafkan Litta, Bik.Litta selalu menyusahkan Bik Inah.” 77

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Jangan bilang seperti itu, Nduk. Bibik yang salah. Kamu yang sabar, ya” “Makasih, Bik.” Senyuman kembali terpancar di wajah Litta dengan bibir yang begitu merona menambah kesan yang begitu manis. Bik Inah sangat baik dengan Litta, hingga Litta menggagap seperti orang tua kandungnya sendiri. Semua pekerjaan telah beres, Litta berge- gas buru-buru berangkat sekolah. Dia bangun pagi-pagi sekali na- mun tetap saja Ia berangkat sekolah kesiangan. Dengan bersepeda Ia buru-buru menggayuh untuk segera sampai di sekolahnya yang lumayan jauh dari tempat Ia tinggal.Litta adalah seorang anak sebatang kara, sejak kecil Ia tinggal di rumah Pak Andi. Tujuan sebelumnya keluarga Pak Andi adalah ingin mengadopsi Litta sebagai anak, namun istri Pak Andi dapat melahirkan anak perta- manya hingga akhirnya Litta pun terlantar layaknya pembantu di rumah mewah itu. Setahu Litta, Litta tak pernah punya orang tua Ia ditinggal di panti asuhan, dan sekarang tak tahu oarang tuanya masih ada atau tidak. Litta termasuk murid yang cerdas tiap ta- hunnya selalu mendapat beasiswa bebas SPP. Saat ini Litta sedang berkonsentrasi dengan ujiannya karena Litta murid kelas tiga. Di sekolah teman-teman Litta sedang digemparkan dengan kedatangan guru baru yang katanya super galak dan serius apabila mengajar, begitu sangat tipis senyuman. “Litta..... kau akhirnya datang juga,” teriak Nani sahabat Litta saat Litta tengah ngos-ngosan berlari menuju kelasnya. “Iya, nih. Aku tak pernah bisa datang tepat waktu.” “Lit, jam pertama kita akan diisi oleh guru baru.” “Oh, ya. Baguslah kalau begitu. Jujur aku sudah bosan diajar Bu Afra.” “Ah kau ini, Lit. Menurutku Bu Afra Guru Bahasa Inggris yang professional. Dalam mengajar dia selalu santai dan tak pernah marah saat muridnya ramai.” “Semua Guru itu sama, Nan, hanya cara mengajarnya saja yang berbeda.” 78

Langit Merah “Kau ini, Lit, terserahlah. Kau kan murid pandai mau diajar guru segalak apa pun tetap sama saja, malah semakin pintar.” “Emang segalak apa sih, guru baru itu sampai kamu secemas ini.” “Ya lihat saja deh nanti.” Percakapan mereka pun terhenti sejenak oleh kedatangan seorang yang mendekat di kelas mereka. Kelas pun menjadi hening yang sejak dari tadi ribut. “Selamat pagi anak-anak,” kata guru baru itu dengan lantang- nya. “Pagi, Bu Guruuu.” “Nama Saya Tanti Yuliani lahir di Jogja 26 Juli 1974. Saya ting- gal di Jalan Ganesha no 75. Di sini saya akan mengajar Bahasa Inggris. Ada pertanyaan?” Dengan tanpa disuruh, guru itu menerangkan panjang lebar tentang dirinya. Tak ada senyuman sedikit pun yang terpancar di wajahnya. Guru itu berbicara tegas dan menggambarkan keserius- an yang dimiliki dalam dirinya. “Bu, siapa nama suami, Anda?” teriak Doni yang duduk di bangku pojok belakang. “Punya berapa anak, Bu?” tambah Fajar yang duduk di sebe- lah Doni sambil tertawa. “Sepertinya tak terlalu penting kalian mengetahui nama suami saya. Untuk saat ini saya belum dikaruniai anak.” Sekelas pun menjadi ribut dengan pertanyaan yang tertuang. Bu Tanti pun semakin serius menghadapi anak-anak sekelas. “Mengapa harus sama namaku dengan Dia, hanya berbeda nama depan saja, Tanti dengan Litta. Ah masa bodoh, toh juga aku sama dia berbeda kok,” kata Litta dalam hati. Beberapa minggu Bu Tanti mengajar di kelas Litta dan yang terjadi teman-teman Litta insyaf dengan kelakuannya. Semua ber- kat keseriusan Bu Tanti. 79

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Litta sedang duduk di taman sekolah yang berada di dekat kelasnya. Litta tak sadar bahwa sejak tadi Bu Tanti telah memper- hatikannya dari sudut ruang kantor guru. “Gadis itu begitu ceria,” kata Bu Tanti dalam hati. Bu Tanti menghampiri Litta di taman. “Eh, Bu Tanti. Silahkan duduk, Bu,” sapa Litta dengan sopan. Bu Tanti duduk di sebelah Litta dengan tenang. “Ada apa, Bu, tak biasanya Ibu menghampiri saya.” “Oh, tidak apa-apa saya hanya ingin menghirup udara segar sepertinya menyenangkan.” “Iya, Bu. Di sini memang sangat sejuk dan segar udaranya.” Percakapan mereka terhenti sejenak, Bu Tanti yang kiranya dari tadi hanya duduk ternyata menatap Litta lekat-lekat. “Gadis ini memang berbeda, seperti ada perasaan yang ter- pancar dalam dirinya yang tak dapat di ungkapkan kata-kata,” kata Bu Tanti dalam hati. “Ada apa, Bu? Adakah yang aneh dari diri saya?” Tatapan Bu Tanti terhenti karena Litta. “Tidak, kok. Apakah namamu Litta Yuliani?” “Iya, Bu, benar nama saya mirip belakangnya dengan nama Ibu,” Bu Tanti tersenyum. “Nilai ulanganmu selalu bagus, Lit. Kamu anak pandai.” “Makasih, Bu, itu juga berkat keseriusan Bu Tanti dalam mengajar.” “Kalau Ibu boleh tahu, di mana rumahmu, Lit?” “Em… sebenarnya saya tidak punya tempat tinggal, saya hanya tinggal menumpang di rumah orang. Sementara ini saya tinggal di Jalan Melati Wetan, Bu.” “Oh.. lalu orang tuamu tinggal dimana?” “Saya sudah sejak kecil hidup sendiri, saya tidak tahu orang tua saya masih atau sudah tiada karena bermula saya dititipkan di sebuah panti asuhan Ali Husanah dan kemudian diasuh oleh orang yang rumahnya saya tumpangi ini. Awalnya mereka sayang dengan saya, bahkan menganggap anaknya sendiri, namun sete- 80

Langit Merah lah mereka punya anak, mereka hanya menjadikan saya layaknya pembantu.” “Maafkan Ibu, Litta. Ibu tidak bermaksud membuat kamu sedih.” “Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti kok.” Percakapan mereka berlanjut lumayan lama hingga Bu Tanti mengerti keadaan Litta yang di jalani selama ini. Di rumah, Bu Tanti teringat akan Litta kembali. Teringat pula akan masa lalunya yang kira-kira tujuh belas tahun yang lalu saat mempunyai anak pertama kali. Suaminya begitu sangat bahagia dikaruniai seorang anak perempuan hingga kemudian Bu Tanti divonis oleh Dokter tidak dapat memiliki anak lagi karena kanker rahim yang kemudian rahimnya diangkat. Sungguh bahagia Pak Heru, suami Bu Tanti ketika dikaruniai bayi yang begitu cantik, namun di sisi lain Pak Heru juga sedih karena istrinya tak dapat memberikan keturunan lagi. Akhirnya bayi mungil itu dibawa pulang ke rumahnya. Untuk memberi nama bayi itu mereka masih bingung. Dalam perjalanan Bu Tanti hanya memakaikan kalung yang dalam kalung tersebut bertuliskan Yuliani. Nama yang turun- temurun diberikan kepada keturunannya. Sampailah mereka di tempat tujuan yaitu rumah yang begitu mewah milik suami Bu Tanti. Belum sampai di depan pintu mereka kedatangan dua orang laki-laki gagah pikirnya adalah tamu, akan tetapi mereka perampok dan merenggut mobil yang mereka naiki serta menguras sebagian harta suami Bu Tanti, bahkan harta paling terindah satu-satunya yaitu bayi mungil yang masih tanpa nama itu ikut diambil peram- pok bersenjata itu. Bu Tanti begitu terpukul persaannya. Setelah kejadian peristiwa itu Bu Tanti dan suaminya berusaha mencari bayinya yang hilang namun hasilnya nol hingga Bu Tanti dan suaminya pasrah dengan apa yang telah terjadi. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun hingga sampai saat ini mereka hidup tanpa seorang anak pun. Begitu rindunya Bu Tanti dengan kepergian anaknya tersebut. Ia selalu berharap sesuatu saat anaknya dapat bertemu dengannya lagi 81

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 meskipun telah tumbuh dewasa pastinya. Bu Tanti tak sadar me- neteskan air mata. “Ada apa, Ma. Kenapa Mama menangis?” kata suaminya tiba-tiba. Bu Tanti pun kaget dengan kedatangan Bapak Heru dan segera menghapus air matanya. “Tidak ada apa-apa, Pah. Mama hanya teringat dengan anak kita dulu.” “Sudahlah, Ma, Mama jangan terlalu memikirkan yang su- dah terjadi nanti Mama malah sakit.” “Iya, Pah, makasih. Tapi Mama begitu rindu dengan bayi mungil kita dulu mungkin sekarang ini sudah tumbuh menjadi gadis dewasa.” “Iya, Ma, Papa juga sama seperti mama rindu dengan anak kita dulu. Apa lagi tanggal 26 Juni besok dia ulang tahun umurnya sudah tujuh belas tahun, Mah.” Percakapan mereka pun berlanjut sampai larut malam hingga akhirnya mereka tertidur. *** Di pagi hari yang sangat cerah Litta seperti biasa berangkat sekolah dengan sepedanya. Namun sial benar Litta hari ini sepeda yang tiap harinya ia gunakan bannya bocor tiba-tiba. “Kenapa sih kamu nyusahin aku, kenapa tak bilang sejak awal kalo banmu itu akan bocor! Kan gak susah-susah berangkat sekolah begini!” omel Litta pada sepedanya saat di tengah jalan. “Tin...tin...tin...,” di belakang Litta tiba-tiba terdengar suara bel mobil. “Huh, apa-apaan sih. Aku sudah minggir nih, gak pernah liat orang lagi apa nih mobil!” Litta mengomel layaknya bebek, tanpa sadar ternyata sejak tadi orang yang di dalam mobil itu Bu Tanti bersama suaminya. “Ada apa dengan sepedamu, Litta?” “Eh Bu Tanti. Iya ini, Bu, ban sepeda saya bocor mau kembali ke rumah sudah terlalu jauh takut terlambat.” “Sudah, sekarang naik saja ke mobil, Ibu.” 82

Langit Merah “Iya, Nak. Tidak apa-apa kok sepedanya biar nanti saya urus,” sahut Pak Heru. “Em... ya sudahlah makasih, Pak, Bu” Litta langsung menaiki mobil dan menuju ke sekolahan. “Litta gak biasanya kau datang sepagi ini?” Sapa Nani saat Litta sedang menuju bangkunya. “Ah, kamu ini, Nan. Tak tahu kalau sahabatmu ini sedang apes.” “Lho, apes kenapa?” “Ban sepedaku bocor di tengah jalan.” “Ha...ha....ha...,” tawa Nani mengejek “Tapi kok bisa datang lebih awal? Bukannya malah telat, Lit?” “Tadi di jalan Bu Tanti tahu dan mengajakku untuk bareng ke mobilnya.” “Lalu kemana sepedamu?” “Gak tahu tuh, lagi diurus suaminya Bu Tanti.” “Wah-wah emang sayang benar ya Bu Tanti ma kamu Lit. Apalagi kamu kan murid kesayangan…. hi...hi...hi…” “Nani.... ini kan hanya kebetulan saja.” Mereka menjalani pelajaran hingga usai waktu sekolah. “Tret...tret...tret...!” Bel sekolah berbunyi tanda pelajaran telah selesai. Litta ber- gegas berjalan menuju ke kantor bersama Nani untuk menemui Bu Tanti. “Bu Tanti...” “Eh kamu Litta. Ibu barusan mau mencari kamu ke kelasmu. Yuk, ke depan, suamiku sudah menunggu di sana. Nani sekalian saja ikut ke mobil Ibu, rumahnya tak jauh amatkan dari rumah Litta?” “Tidak, kok Bu, lumayan dekat dengan Litta” “Ya sudah, ayo buruan.” Mereka akhirnya pergi menuju bengkel tempat sepeda Litta dibenarkan, yang tak jauh dari sekolahannya. “Kira-kira jauh tidak, Pak bengkelnya?” 83

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Tanya Litta memecahkan keheningan. “Oh.. tidak, sebentar lagi sampai tenang saja.” “Sebelumnya saya terima kasih sekali dengan Bapak, sudah merepotkan.” “Ya sama-sama, Nak, tapi tidak merepotkan kok...” “Litta bolehkah saya bertanya?” Kata Bu Tanti menyela, sambil memperhatikan betul benda yang berada di leher Litta. “Iya ada apa, Bu?” “Pemberian siapa kalung yang kamu pakai?” “O.. ini sejak kecil saya sudah memakainya entah siapa yang memberi, Bu dan kalung ini sulit untuk dilepaskan. Memangnya kenapa Bu?” “Tidak, tidak apa- apa. Hanya saja saya kagum dengan ka- lungmu itu.” Litta hanya membalas dengan senyuman Bu Tanti masih penasaran dengan kalung itu. Benda tersebut menjadikannya semakin penasaran akan gadis bernama Litta ter- sebut. Pak Heru yang sejak tadi memperhatikannya diam-diam memendam perasaan yang sama seperti Bu Tanti yaitu tentang anaknya yang hilang tujuh belas tahun yang lalu. “Nak bolehkah Bapak tahu siapa yang memberimu nama?” “Setahu saya sih, Ibu panti asuhan yang merawat saya sejak kecil. Mula-mula kalung ini yang memberi orang tua kandung saya lalu sama Ibu asuh, nama saya ditambah dengan Litta men- jadi Litta Yuliani,” jelas Litta panjang lebar. Tiba-tiba saja Bu Tanti meneteskan air mata. Bu Tanti benar- benar yakin bahwa gadis didepannya adalah anak kandungnya sendiri. Apalagi keyakinan itu terbukti setelah kalung Litta dapat dilepaskan oleh Bu Tanti dan menjodohkan bentuk setengah hati kalung Litta dan setengah hati kalung yang di pakai oleh Bu Tanti dan benar-benar jodoh. 84

Langit Merah “Bu kenapa kok malah menagis?” tanya Litta. “Iya Ibu kenapa tiba-tiba seperti ini?” tanya Nani “Litta.....kau anakku yang selama ini ku cari.” Litta masih merasa kebingungan dan belum paham betul apa yang telah terjadi sampai akhirnya Bapak Heru menjelaskan kejadian yang menimpanya tujuh belas tahun yang lalu, sampai Litta mengerti dan paham betul. “Jadi selama ini kalian orang tuaku?” “Iya, Litta. Ini Ibumu, Ibu yang selama ini mencarimu dan mulai sekarang kamu harus memanggilku dengan sebutan Mama dan juga memanggil ayahmu dengan sebutan Papa” “Tapi aku belum yakin kalian orang tua kandungku!” “Litta, seharusnya kamu bersyukur dapat bertemu orang tua- mu kembali,” kata Nani menenangkan Litta. “Aku belum yakin sebelum dilakukan tes DNA.” *** Sehari kemudian tes DNA pun dilakukan saat itu juga di rumah sakit terdekat dan semua telah terungkap bahwa Bu Tanti dan Bapak Heru adalah orang tua kandung Litta “Jadi selama ini aku diajar di sekolah oleh Guruku juga Ibuku sendiri!” kata Litta menjerit dalam hati. Arisne Sera Wati Ningsih, siswa MAN III Yogyakarta 85

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 RINDU LAVENDERKU Afina Qonita Niswati Siang yang amat terik itu, Isna duduk sembari menopang dagunya, melamun di kelas. Ia memandang keluar jendela, meli- hat daun-daun yang kering, jatuh. Ya, ini musim gugur. Musim gugur yang panas. Namun sungguh, betapa alam tak bisa ditebak. Ia tiba-tiba teringat musim gugur lima tahun lalu. “Waaa, anginnya kencang sekali,” kata seorang anak perem- puan sambil memegangi topinya. “Hei, lihat! Ada perahu! Ada perahu....! Pasti seru kalau kita berlayar,” kata temannya, seorang bocah laki-laki berkulit gelap langsung berlari menuju perahu diikuti tiga orang lainnya. Tapi anak perempuan bertopi tidak ikut. “Tidak boleh! Ayah bilang bahaya,” kata anak perempuan bertopi. “Halaaah, dasar penakut. Ayah kita juga sering melaut. Tapi toh, mereka tetap pulang,” sahut si tomboy. “Kamu ikut tidak? Kalau ikut, cepat kesini! Bantu kami do- rong perahunya. Tapi Cengeng, kalau kamu takut, sudah pulang saja sana! Main saja sama anak-anak kucingmu!” “Cengeng”, Perempuan bertopi tidak suka dipanggil seperti itu. Dia lalu berlari, membantu teman-temannya mendorong pe- rahu. Si tomboy dan perempuan bertopi kemudian melompat ke atas perahu. Sementara si bocah gelap dan dua anak laki-laki lain- 86

Langit Merah nya masih mendorong perahu sampai agak ke tengah, lalu dengan cepat masuk ke perahu, mereka berlima mulai mendayung. *** Kelima bocah itu sudah sering melaut. Mereka juga kerap ikut ayah mereka menjala ikan, dengan perahu yang lebih besar tentunya. Sering pula bermain ke pulau sebelah yang belum terja- mah. Di tengah buaian ombak, perahu kecil mereka terus berayun. Desiran ombak mengajak mereka bernyanyi, Nenek moyangku seorang pelaut Gemar mengarungi luas samudera Menerjang ombak tiada takut Menempuh badai sudah biasa Angin bertiup layar berkembang Ombak berdebur di tepi pantai Pemuda berani bangkit sekarang Ke laut kita beramai-ramai Tidak terasa perahu sudah sampai tengah laut. Memang se- jauh ini aman-aman saja. Tidak terjadi apa-apa. Tiba-tiba... “Krucuuuuuuukk...,” perut si gendut berbunyi keras sekali. Mukanya langsung memerah diiringi gelak tawa teman-teman- nya. Untung saja dia bawa kantong plastik hitam serbagunanya. Saat dibuka, wajahnya langsung cemberut karena hanya menemui singkong bakar di dalamnya. Tak apalah. Si gendut langsung me- lahap singkong-singkong itu. Melihat raut wajah temannya yang juga kelaparan, si gendut mengajak mereka makan bersama. Aneh, tak biasanya dia mau berbagi makanan. *** Di sebuah kampung dekat pantai. “Sepertinya akan badai,” kata salah seorang tetua kampung itu. “Wah, gawat. Semoga saja tidak ada yang ngeloyor ke tengah laut sana,” tambah salah seorang pria tua. Baru saja dia selesai berkata, ada lima orang wanita masuk. 87

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Anak kami hilang!” “Apa? Kemana? Tidak ke laut kan?” tanya sang tetua. “Kenapa?” “Badai!” Kelima wanita itu tersentak. Para warga kampung pun lang- sung mencari kelima anak itu ke seluruh penjuru desa. Mereka berharap, anak-anak itu tidak seenak jidat mereka pergi ke pulau sebelah. Tapi terlambat! *** “Anginnya bertambah kencang,” si kacamata memulai pem- bicaraan. “Kamu hitung pakai apa? Kacamata?” tanya si bocah berkulit gelap. Mereka semua terdiam. Merasakan angin yang sepertinya memang makin ganas. “Aaaaaaaa, topiku!!!” si perempuan bertopi yang kini tidak lagi mengenakan topinya langsung berdiri hendak meloncat ke laut melihat topi kesayangannya yang bermotif bunga lavender terbang. Si tomboy langsung mencegah. “Aku saja yang ambil!” si tomboy langsung terjun ke laut. “Tunggu! Jangan! Tidak usah!” teriak si pemilik topi. Dia malah terjun mengikuti si tomboy. Bulu kuduk mereka tiba-tiba berdiri. Ah, apa itu? Tinggi sekali! Ombak besar datang dan langsung menelan tubuh mungil kedua perempuan itu, menyeret perahu mereka menjauh. Mereka bertiga kini kebingungan mencari dua orang temannya. “Hooooi! Tomboy! Cengeng! Kalian di mana?” teriak si gelap. “Cengeng!! Tomboy!!” panggil si kacamata dan si gendut. Mereka kini panik. Bagaimana keadaan mereka berdua. *** “Sudah kucari dimana-mana. Tidak ada!” “Jangan jangan.” Mereka berlari menuju pantai. Angin kencang berdebu se- olah menyambut, membuat gatal mata mereka. Para warga itu terdiam. Salah seorang wanita paruh baya berlari kecil mendekati bibir pantai, mengambil sesuatu yang hanyut. 88

Langit Merah “Ini topi anakku!” wanita itu terjatuh dan hampir pingsan melihat topi anaknya terbawa ombak dari tengah laut, kalau be- berapa saudaranya tidak datang menguatkan dirinya. “Cepat! Bawa dua kapal!” perintah sang tetua. Dengan sigap, para lelaki dewasa kampung itu meluncurkan dua buah kapal yang tidak terlalu besar, Radawani dan Radawedi. Radawani dan Radawedi bersama-sama masuk ke wilayah yang telah dipayungi awan hitam. Sementara di pantai, para tetua desa dan warga berdoa untuk keselamatan mereka. *** Di atas perahu kecil, mereka bertiga masih sibuk mencari si tomboy dan si cengeng pemilik topi. Karena bingung, si bocah berkulit gelap hampir saja terjun untuk mencari mereka, tetapi ditahan oleh dua temannya. “Hei, lihat! Itu mereka!” ujar si gendut lega, dan mendayung perahu kecilnya ke arah dua perempuan basah kuyup itu. Si bocah berkulit gelap dan si kacamata turut membantu. Untunglah me- reka selamat, batin bocah berkulit gelap. “Topimu?” tanya si tomboy pada pemilik topi sembari me- naiki perahu di bantu si bocah kulit gelap dan si kacamata. “Sudahlah, biarkan saja,” si pemilik topi berusaha terse- nyum, tapi wajah pucatnya tidak bisa. Setelah si tomboy berhasil ke atas, si pemilik topi meraih tangan si bocah berkulit gelap agar bisa naik ke perahu. Namun, ombak besar lagi-lagi datang menggulung tanpa permisi. “Uwaaaaa...,” anak-anak itu menjerit. “Isna,” panggil Dodi. “Isnaaa,” panggil Pandit dengan suara yang lebih keras. “Aaaaaa,” tiba-tiba Isna refleks menegakkan punggungnya. Bukan karena kaget mendengar suara keras Pandit, melainkan karena temannya menggelitik pinggang yang merupakan pusat keseimbangan bagi Isna, dan membuyarkan lamunannya. “Apa sih?” tanya Isna. 89

Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Lihat tuh temanmu dari tadi manggil!” jawabnya sambil menunjuk ke pintu. Di sana berdiri laki-laki gendut yang dari tadi terlihat memakan sebungkus besar kripik jagung sedangkan di sebelahnya tampak laki-laki berkacamata. Melihat mereka, Isna lalu menaikkan satu alisnya. “Jadi?” tanya Dodi sambil membetulkan letak kacamatanya yang sedikit turun. “Oh! Iya!” sepertinya Isna ingat sesuatu. “Pasti!” Isna mengangkat tasnya, “Aku duluan ya, teman- teman...” “Iya,” jawab teman-teman di kelasnya serempak. Isna kemu- dian berjalan keluar dari kelasnya, kelas X-7 menghampiri Pandhit dan Dodi. “Mana dia?” tanya Isna. “Pasti di gedung olahraga, latihan basket,” jawab Pandit. Suaranya tidak jelas, karena masih banyak kripik jagung di mu- lutnya. Mereka pun berjalan melewati ruangan demi ruangan di sekolah besar mereka. *** Di gedung olahraga. Mereka berhenti sejenak mengamati latihan basket. Dodi me- lirik ke bungkusan besar milik Pandit. Tapi Pandit membuangnya ke tempat sampah. “Eh? Sudah habis ya?” tanya Dodi kecewa. Pandit nyengir, cengengesan. Perhatian mereka kini tertuju pada sesosok laki-laki bertubuh kekar yang baru saja merebut bola. Dengan lihai, dia mendribble bola dan melemparkannya ke dalam ring. “Yes!” serunya sambil mengepalkan tinju ke udara. Wajah- nya yang gelap dan penuh peluh itu tampak begitu ceria. “Ardi!” Ardi menoleh ke sumber suara. Suara lantang milik perem- puan tomboy bernama Isna, di sebelahnya ada Dodi dan Pandit dengan serpihan keripik masih tersisa di sekitar mulutnya. 90

Langit Merah Ardi mengangguk, “Teman-teman, maaf. Hari ini aku selesai duluan ya!” Ardi langsung berlari ke kamar ganti tanpa mende- ngar jawaban temannya. Setelah mengganti kaosnya dengan pakaian yang rapi, Ardi menemui ketiga temannya. Ardi, Isna, Pandit dan Dodi berjalan bersama menusuri lorong-lorong panjang sekolahnya. Mereka pun tiba di luar sekolah, seketika itu langit menjadi mendung. Tapi tidak mengurungkan niat mereka. Sepanjang per- jalanan, empat sekawan ini tidak saling bicara satu sama lain. Mung- kin ada rasa tidak enak hati di antara mereka. Kenapa? Entahlah... Di depan sebuah toko, Isna berhenti. “Hei, kalian tunggu di sini sebentar,” Isna masuk ke dalam toko sementara Ardi, Pandit dan Dodi menunggu di luar. “Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?” tanya kakak pen- jaga toko ramah. “Aku ingin yang ini, empat,” jawab Isna menunjuk sesuatu yang ingin dibelinya. Kakak penjaga toko itu pun membungkus rapi pesanan Isna. Isna menyerahkan uang pas pada kakak pen- jaga itu. Isna tersenyum, kemudian pergi. “Beli apa, Isna?” tanya Pandit. “Hadiah,” jawab Isna singkat. *** Mereka memasuki sebuah tempat. Tempat dimana setiap orang akan berbaring nanti. Ya...pemakaman. Ardi dan kawan- kawan dengan wajah sendu melangkahkan kaki mereka ke se- buah pusara. Mereka berempat mengelilingi pusara itu, dan Dodi mulai memimpin doa dengan khidmat. Selesai berdoa, Isna memandang kosong hadiah yang tadi dia beli di toko. “Kawan, ini untukmu,” Isna membungkuk meletakkan em- pat tangkai bunga di dekat nisan yang bertuliskan nama Wanda, lalu berjongkok. “Sayang sekali ya... kamu tidak bisa melihat bunga ini tum- buh di desa kita,” semerbak harum lavender tercium dari dekat nisan Wanda. 91


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook