Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Merasa lebih baik?” tanya Luna.. “Kurasa begitu,” Enna mendesah dan menjawab singkat. “Aku masih bertanya-tanya bagaimana kabar ayah. Walau pun ayah sudah mengirimi kita surat pendek, aku masih khawatir padanya,” ujar Enna. Luna memandangi adiknya lekat-lekat. “Tidak bisa pisah dari ayah, ya?” Enna memasang tampang cemberut pada Luna yang nyengir padanya. Tetapi, memang itulah faktanya. Enna sendiri yakin Lu- na juga sama khawatirnya dengan dirinya karena sejak kecil Enna dan Luna dirawat dan dibesarkan oleh ayah mereka. Angin sore bertiup kencang. Enna hanya menunduk meman- dangi ujung-ujung kakinnya. Entah kenapa banyak hal yang ma- sih berkelebatan di kepalanya. Dia dan Luna sama-sama diam. Hanya terdengar suara angin dan gemerisik daun-daun pohon di atas mereka. “Ada dua orang sahabat, Luca dan Kina. Luca adalah sese- orang yang pemalu dan sulit untuk bergaul dengan banyak orang. Satu-satunya teman baik yang ia punya hanyalah Kina. Mereka mulai berteman saat keduanya masih kanak-kanak dan tetap ber- teman baik saat mereka remaja,” kata Luna tiba-tiba. Enna mendongak, memandang Luna. “Suatu hari,” sambung Luna. “Kina dan keluarganya harus pindah ke tempat yang sangat jauh. Luca mulai khawatir, dia tidak mungkin bisa bertemu dengan Kina lagi dan juga Luca tidak mempunyai teman lain selain Kina. Dia selalu memikirkan Kina, selalu khawatir dan bertanya-tanya sampai kapan ia akan terus tanpa teman.” Luna berhenti. Enna memandangi kakaknya dengan tatapan bingung. “Lalu apa yang terjadi, Luna?” tanya Enna. Luna tertawa. “Lanjutkan saja, seperti yang kamu suka.” Luna tersenyum lebar. Enna tidak mengerti apa maksud kakaknya, tetapi dia me- mikirkan bagaimana lanjutannya dan tak lama dia menyerah. 242
Langit Merah “Aku tidak bisa.” Enna menggeleng. Luna tampak berpikir sebentar, kemudian ia mulai melanjutkan ceritanya. “Luca mulai bergaul dengan anak laki-laki dan perempuan yang seumuran dengannya. Luca memang pemalu, tapi dia bisa menjadi teman yang baik untuk banyak orang. Perlahan dia mulai berhenti untuk selalu memikirkan Kina. Tetapi tentu saja dia tidak pernah melupakan Kina sebagai teman baiknya.” “Hmmm,” Enna hanya mengangguk kecil. Luna mengulur- kan tangannya kemudian menjitak dahi Enna. Enna mengerang kesakitan sambil mengusap-usap dahinya. “Aku lagi bicara tentang kamu.” Luna menunjuk Enna. “Aku?” tanya Enna lagi. “Kamu harus berhenti mikirin ayah terlalu sering. Suatu saat nanti kamu juga pasti akan terbiasa tanpa ayah. Itu bukan sesuatu yang sulit, kok,” kata Luna. Enna mengerutkan dahinya. “Kakak sudah tidak mengkhawatirkan ayah lagi?” tanyanya. Alih-alih menjawab, Luna memandang ke atas langit, mela- mun sejenak sambil memandangi gumpalan putih awan yang bergerak pelan melintasi langit di atas padang rumput. Enna ikut memandangi langit. Sesaat dia merasa hatinya tenang dan nya- man. Sejak ayahnya pergi mengikuti pelatihan militer, dia tidak pernah merasa setenang ini. Luna menoleh padanya, “Aku bukannya tidak khawatir ten- tang ayah. Tetapi ada baiknya kalau kamu menenangkan diri se- bentar. Padang rumput yang luas itu,” Luna menunjuk pada pa- dang rumput yang ada di depan mereka,”bukan apa-apa sama sekali. Kamu juga tahu kita masih di tempat yang sama dengan ayah.” Sekarang Enna merasa benar-benar konyol. Kakaknya Luna benar. Sejak ayahnya pergi untuk menjalankan kewajibannya, Enna terus memikirkan ayahnya. Dia terlalu khawatir dengan keadaan ayahnya. Dia tertawa dalam hati. “Seperti tidak ada pe- kerjaan lain saja,” katanya dalam hati. 243
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Luna merogoh isi saku bajunya dan mengeluarkan lipatan origami dan tak lama ia mulai melipat kertas origami itu. Enna mengamati dengan takjub gerakan cepat tangan kakaknya yang sedang melipat kertas origami. Tak lama kemudian lipatan origa- mi itu mulai kelihatan bentuknya, dan Enna tahu kakaknya sedang melipat origami menjadi burung. “Ini,” Luna memberikan lipatan origami pada Enna. Enna mengamati lipatan origami buatan Luna dengan cermat. “Rapi sekali,” puji Enna. Luna tertawa kecil, ia merogoh lagi saku bajunya dan mengeluarkan kertas origami yang lain. “Coba lipatlah,” kata Luna. Enna mengangguk cepat. Melipat origami. Dulu ayah mereka yang mengajarkan bagaimana caranya melipat origami, membuat kerajinan tangan dari barang-barang bekas dan lainnya. “Kalau kamu masih rindu dengan ayah, lipat saja origami,” Enna tertawa mendengar kata-kata Luna. “Atau buat saja kerajinan tangan yang lain untuk mengisi waktumu. Ingat, jangan buang-buang waktumu!” Luna menepuk atas kepala Enna dengan kepalan tangannya. “Maafkan aku,” gumam Enna. Luna tersenyum lebar. “Jangan minta maaf padaku. Kamu saja yang perlu berubah. Kalau kamu terus mengisi waktumu untuk hal-hal yang berguna setiap harinya kamu tidak akan sadar kalau nanti sudah di hari dimana ayah akan pulang.” Enna mengangguk mendengar kata-kata Luna. Origami ber- bentuk burung miliknya sudah jadi. Dia mengangkat origami itu tinggi-tinggi. Terlihat bagus. “Bagaimana kalau akhir tahun kita mengirimkan kerajinan tangan buatan kita untuk ayah? Supaya ayah tidak lupa dengan rumah,” ujar Luna. “Ide yang bagus!” seru Enna dengan pernuh harap,”ayah pasti senang. Kalau begitu ayo kita mulai kerjakan.” 244
Langit Merah “Mulai besok kamu sudah punya banyak waktu kosong un- tuk membuatkan ayah kerajinan tangan,” Luna bangkit berdiri. “Sekarang sudah hampir malam. Ayo kembali ke rumah.” Enna memandang punggung Luna yang mulai menjauh. Ke- mudian dia menoleh ke hamparan pandang rumput hijau di de- pannya. Dia hanya ingin merasakan angin yang berhembus se- hingga perasaannya menjadi tenang lagi. Enna tersenyum, meng- akui betapa konyolnya dirinya, seharusnya dia menyadari betapa pentingnya waktu yang berjalan dan masih banyak hal-hal ber- guna yang bisa dia lakukan setiap harinya. Dia meletakkan origami berbentuk burung yang dibuatnya di atas ayunan yang tadinya dia duduki. Jalani saja hidup dengan perasaan yang nyaman dan isi dengan hal-hal yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Seperti angin, siapa yang tahu kapan hembusan angin berakhir. Sebelum angin itu berhenti dan segala perasaan tenang itu lenyap. Sebelum kita menyesal. Enna berlari me- ngejar kakaknya Luna yang menunggunya di depan pintu rumah. Dia siap untuk hari esok apa pun yang terjadi. Biodata Penulis Claudia Maya Natalie Rooroh lahir di Serukan, 21 Desember 1995. Bersekolah di SMA BOPKRI 2 Yogyakarta. Alamat Rumah di Jalan Kaliurang km.7, Gang Anggrek II/8 B, Yogyakarta. No. Hp: 085750057755. Sur-el (E-mail): [email protected] 245
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 GADIS HUJAN DAN PEMUDA YANG TAK PERNAH MENANGIS Anggi Widyastuti Juvia “Cepat turunkan hujan sekarang juga!!” salah seorang pria bertubuh kekar dengan kaos singlet lusuh menarik lengan tangan kananku dengan kasar. Sedangkan beberapa warga lain dengan pakaian lusuh yang sama menatapku dengan tajam. Mengerikan. Aku merasa mereka bisa membunuhku dengan tatapan itu. “Juvia cepat! Apa kamu mau desa kita kelaparan karena ga- gal panen!?” kali ini Sara, gadis yang seumuran denganku mem- bentakku sambil melayangkan sebuah tamparan pedas di pipi kiri yang membuat kepalaku terasa nyeri. Aku berdiri sambil menggigit bibir bawahku. Dua orang pria kekar yang sejak tadi hanya berdiri di depan kamar penjaraku menghampiriku lalu melepaskan rantai borgol kaki kananku. Ya, aku tahanan. Entah tahanan apa. Yang kutahu saat mereka me- nyadari bahwa aku bisa memanggil hujan, mereka langsung me- menjarakanku dalam kamar ini. Kamar ini memang memiliki hal- hal yang kubutuhkan untuk hidup. Ada kasur dengan sprei ber- warna laut seperti rambutku, kamar mandi beserta shower dan bathup, juga radio dan lemari pakaian beserta cermin. Mewah, memang mewah. Tapi apa gunanya jika kakiku diborgol dengan rantai besi sepanjang 3 meter yang hanya memperbolehkanku 246
Langit Merah berkeliaran di kamar ini sedangkan pintu kamarnya terbuat dari besi yang hanya akan terbuka ketika orang-orang itu membutuh- kanku. Sebenarnya bukan aku, tetapi kemampuanku. Di luar panas matahari begitu menyengat. Tidak terasa seka- rang musim kemarau. Aku melihat ke sekelilingku, tanah di la- dang warga sangat kering dan tentu saja tidak memungkinkan ditanami apapun. Aku menatap langit biru yang tak berawan lalu mengulurkan tanganku ke atas sambil menyipitkan mata. Orang- orang di sekitarku mulai berbisik mengomentari sesuatu yang tak kuketahui, entah membantuku dengan doa atau malah men- celaku dengan sebutan gadis hujan pembawa sial. Tepat ketika aku menurunkan tangan dan membuka mataku, segerombolan awan gelap melapisi langit desa. Beberapa orang mulai menyunggingkan senyumnya, dan tentu saja sesuai ke- inginan mereka hujan deras turun membasahi tanah mereka. Me- reka bersorak bahkan Sara yang tadi menamparku sekarang me- nari di bawah hujan. Mereka bersorak senang, tak ada yang berte- rima kasih, yang ada hanya senyum mirisku ketika dua penjaga kamar penjara memboyongku kembali ke dalam kamar bersama borgol yang terpasang kuat di pergelangan kaki kananku. *** Noir “Apa kamu pernah menangis?” Aku tersenyum geli saat Reza, orang yang baru kukenal bebe- rapa jam lalu, bertanya padaku. “Apa yang membuatmu bertanya begitu?” balasku sambil terkekeh. Ia terdiam sejenak, lalu dengan raut wajah yang aneh ia se- pertinya sedang meneliti wajahku. Aku tertarik kesimpulan apa yang akan ia buat setelah meneliti wajahku. Kami ada di balkon ferry. Angin laut yang kencang menerbangkan helaian rambut hitamku hingga berantakan. “Aku tidak tahu, hanya saja aku merasa kamu sudah lama tidak menangis,” jawabnya kemudian. 247
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Alasan yang aneh. Bagiku, tidak ada yang perlu ditangisi.” Aku menghabiskan sekaleng soft drink yang tadi kubeli di kantin kapal lalu melempar kaleng kosongnya ke tong sampah, masuk. Reza hanya mengangguk. Pura-pura mengerti padahal aku tahu ia hanya tidak ingin bertanya lebih jauh dan membuat sua- sana di antara kami menjadi canggung. Aku dan Reza pertama bertemu di loket penjualan tiket kapal ini. Kami sedang melaku- kan perjalan ke tempat yang sama, Desa Cinayang. Tetapi kami memiliki tujuan yang berbeda, aku hanya ingin menemui sese- orang sedangkan Reza baru kembali dari ibu kota setelah kontrak kerjanya habis. “Oh ya, kamu bilang kamu ingin menemui seseorang di Cinayang, siapa?” Tanya Reza. Pemuda yang usianya dua tahun lebih tua dari ku itu memiliki perawakan yang kecil, tingginya hanya sekitar pundakku. “Aku tidak tahu namanya. Tapi kata orang-orang di desa ku, aku harus menemui gadis itu.” Ya, aku juga tidak tahu kenapa orang-orang menyuruhku menemui gadis itu. Aku sempat ber- tanya pada kepala desa saat itu dan beliau juga bilang aku harus menemuinya untuk kebaikanku sendiri. “Kalau tidak tahu namanya, bagaimana kamu bisa mencari gadis itu. Bagaimana dengan ciri-cirinya?” Reza mengerutkan alisnya, mungkin merasa aneh dengan tujuanku datang ke Cina- yang. “Seingatku, rambutnya panjang berwarna lautan dan mata- nya seperti zamrud.” “Jangan bercanda, Noir. Itu Juvia!” seru Reza. Wajahnya se- perti tak percaya dengan apa yang baru kuucapkan. Aku mengernyit, Juvia, nama yang tidak pernah kudengar. Juvia. “Ya, di Cinayang cuma ada satu orang yang memiliki ciri- ciri seperti itu. Namanya Juvia dan dia adalah gadis hujan.” *** 248
Langit Merah Juvia Aku tidak ingin diperlakukan berbeda. Aku hanyalah gadis manusia biasa. Aku bukan dewa, aku juga bukan dukun apalagi penyihir. Bukan keinginanku memiliki kemampuan memanggil hujan, bukan keinginanku terjebak dalam sangkar emas seperti ini. Aku senang bisa berguna bagi penduduk desa, tetapi kumo- hon jangan ambil alur kehidupanku. Aku selalu berdoa, setiap malam. Aku memohon pada Tu- han untuk mengirimkan seseorang yang bisa mengerti diriku. Seseorang yang bisa membawaku pergi dari belenggu ini, sese- orang yang akan mengembalikan hidupku seperti semula. “Juvia.” Suara lembut itu membuatku berpaling dan menemukan se- sosok wanita setengah abad, Nyonya Hermawan, membawa nam- pan berisi makanan. Nyonya Hermawan adalah istri kepala desa Cinayang. Beliau sebenarnya sangat menentang suami dan warga desa yang mengurungku, namun sayangnya tidak ada yang bisa beliau lakukan untuk membebaskanku. “Seperti biasa aroma masakan Nyonya selalu menggiurkan.” Aku tertawa kecil. Sedikit memaksa sebenarnya. Aku tidak mau menunjukkan wajah murung pada Nyonya Hermawan. “Kamu bisa saja. Makan yang banyak ya, Ibu lihat semakin lama kamu semakin kurus saja,” khawatirnya sambil tersenyum. “Ibu tinggal ya, di depan ada tamu dari luar desa.” Aku hanya bisa mengangguk. Sedikit kecewa karena satu- satunya orang yang perduli padaku akan pergi. Setelah Nyonya Hermawan keluar dari kamar, dengan sigap kedua penjaga kamar langsung mengunci kembali pintu kamarku dengan gembok yang besarnya bahkan melebihi genggaman tanganku. Tidak lama kemudian aku mendengar suara cercaan Tuan Hermawan di halaman rumah. Tertarik, aku mengintip dari jen- dela kamarku. Tuan Hermawan dengan sumpah serapahnya mengusir seorang pemuda yang terlihat asing bagiku. Apa yang 249
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 telah dilakukan pemuda itu hingga Tuan Hermawan bisa semarah itu? Pikirku. “Yang Anda lakukan itu tidak berperikemanusiaan!” seru pemuda itu dengan lantang dan semakin membuat Tuan Herma- wan naik pitam. “Tidak ada urusannya denganmu! Jangan campuri urusan desa yang bukan tempat tinggalmu!” Pemuda itu mengepalkan tangannya, sama emosi dengan Tuan Hermawan tetapi untungnya pemuda itu memilih untuk meninggalkan Tuan Hermawan dari pada beradu jotos dengan beliau. Keputusan yang sangat dewasa. Aku langsung menutup gorden jendela ketika ia berhenti dan berpaling menatapku dengan iris mata hitamnya yang tajam. Entah kenapa saat aku melihat pemuda itu, aku merasa tidak lama lagi Tuhan akan mengabulkan doa-ku. *** Noir Hari ini aku memberanikan diri menemui kepala desa Ci- nayang. Butuh dua hari bagiku untuk berpikir dan mencoba me- mahami apa yang dilakukan oleh warga Cinayang yang mem- perlakukan Juvia seperti sapi perah. Aku telah mendengar semua cerita dari Reza. Tentang awal mula Juvia bisa memanggil hujan, bagaimana gadis yatim piatu itu lalu dibawa ke rumah kepala desa dan disiksa di sana. “Noir! Kudengar tadi kamu menemui kepala desa, apa kamu gila?!” Reza masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu. Air muka- nya menunjukkan rasa tidak percaya dengan apa yang kulakukan tadi pagi. Kenapa semua orang tidak perduli pada Juvia? Aku tidak mengerti kenapa aku merasa marah dan aku tidak mengerti apa yang membulatkan tekadku untuk menemui Juvia malam ini. *** 250
Langit Merah Juvia “Tok.. Tok..” Aku terbangun dari alam mimpi ketika suara ketukan jendela terdengar. Siapa? Siapa orang kurang kerjaan yang mengetuk jen- dela kamarku tengah malam begini. Ketika aku menyadari orang itu mungkin bukan manusia, aku jadi merinding. “Juvia… Juvia..” Aku membuka gorden jendela dan terkejut ketika melihat pemuda yang tadi pagi berargumen dengan Tuan Hermawan. Aku ingin berteriak tetapi tangannya dengan cepat menutup mulutku dan meyakinkanku jika ia tidak berniat buruk. “Aku ingin bicara denganmu,” ucapnya. Tak kuduga, suara- nya sangat lembut. Berbeda dengan suara lantangnya tadi pagi. “Namaku Noir, maaf mengganggumu malam-malam seperti ini. Aku yakin aku tidak akan bisa berbicara denganmu saat siang hari karena penjagaanmu sangat ketat,” ucapnya lagi, sekarang dengan senyum yang sangat hangat. *** Sudah sebulan Noir setiap malam mengunjungi Juvia. Tidak ada yang pernah tahu, tidak ada yang pernah sadar jika pada malam-malam itu mereka berbagi segala yang ada di pikiran me- reka. Tawa dan kesedihan mereka simpan bersama. “Mau kabur bersamaku?” Pertanyaan yang keluar dari mulut Noir membuat Juvia ter- kejut. “Kabur? Kamu pikir kamu bisa membawaku keluar dari sini?” “Ya.” Jawaban itu, sinar mata itu. Juvia menangkap keyakinan dari jawaban Noir. Keyakinan yang entah diperoleh Noir dari mana tetapi anehnya keyakinan itu membuat Juvia tergoda. Mungkin sudah saatnya Tuhan mengabulkan doa-nya. “Bagaimana? Kamu mau?” 251
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Juvia hanya bisa mengangguk dalam sengguk tangisnya. Se- benarnya Juvia tidak ingin menangis di depan Noir tetapi apa boleh buat, ia terlalu senang hingga tidak tahu harus berkata apa. “Kenapa kamu begitu baik padaku?” “Karena kita sama Juvia. Kau dan aku itu sama.” Noir mengelus rambut biru Juvia. Terasa lembut, seperti me- nyentuh sebuah boneka yang terbuat dari wol sutra. “Tapi kamu tidak pernah menangis seperti aku.” Juvia menggenggam tangan Noir, kasar dan dingin. “Aku tidak ingin ada orang yang melihatku menangis, aku tidak suka ketika mereka mengkhawatirkanku karena menangis.” “Kalau begitu aku berjanji. Jika kamu bisa mengeluarkanku dari sini aku akan memanggil hujan untukmu, supaya kamu bisa menangis tanpa ada seorang pun yang menyadarinya.” *** “Jangan lepaskan tanganku.” Noir menuntun Juvia keluar dari kamar ketika pemuda itu berhasil merubuhkan dua penjaga kamar Juvia dengan memukulkan tongkat bisbol pada kepala me- reka. Juvia mengangguk. Sambil berjinjit mereka melewati lorong rumah kepala desa Cinayang yang besar itu, berhati-hati jika ada penjaga lain yang melihat mereka. Untungnya, malam ini separuh dari penjaga di rumah itu sedang berpesta di balai desa. Pesta perayaan panen desa yang seharusnya juga dihadiri Juvia meng- ingat jasanya yang telah memanggil hujan. Setibanya di gerbang sudah ada Reza yang menunggu Noir dan Juvia. Setelah dibujuk dengan berbagai macam cara akhirnya Reza setuju membantu ide gila Noir, yah paling tidak ia ingin berguna bagi temannya. “Jadi, kalian mau pergi kemana?” tanya Reza. “Tidak tahu. Yang pasti kami keluar dari desa ini,” jawab Noir, sedangkan Juvia hanya bersembunyi dibalik tubuh pemuda itu dan tak hentinya menggenggam tangannya dengan erat. 252
Langit Merah Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Reza, Noir dan Juvia bergegas menaiki sebuah mobil pick-up hitam yang disewa Noir. Beberapa menit setelah pick-up hitam itu melesat beberapa orang bertubuh besar berlari mendekati Reza. Ya, mereka adalah orang suruhan kepala desa yang mungkin sekarang sedang me- ngamuk karena ‘tawanan’ berharga miliknya kabur. Reza ber- pura-pura tidak mengerti dan dengan santai meninggalkan orang- orang suruhan kepala desa dan beberapa warga desa yang ber- teriak memanggil nama Juvia. Dari jauh Reza mengamati pick-up yang sekarang terlihat seperti titik kecil. Sebenarnya ia tidak pernah menyangka jika per- temuannya dengan Noir berakhir dengan aksi melarikan diri yang bisa dibilang, ironis. *** Noir dan Juvia berhenti di sebuah tanah lapang yang ter- sembunyi di balik semak belukar. Juvia berjongkok di depan dua buah gundukan tanah yang berada tepat di tengah tanah lapang itu. “Ini makam orang tua ku,” kata Juvia. Sebelum meninggalkan Cinayang Juvia meminta Noir me- ngantarnya ke makam orang tuanya yang telah meninggal sejak usianya 10 tahun. “Orang tua mu juga sudah meninggal kan? Apa kamu per- nah mengunjungi makam mereka?” Noir menggeleng, tatapannya berubah sendu. “Aku tidak pernah tahu letak makam mereka,” jawabnya dan seketika itu Juvia merasa bersalah telah menanyakannya. Juvia berdiri setelah memanjatkan sebuah doa untuk kedua orang tuanya. Lalu, ia mulai memejamkan matanya sambil men- dongakkan kepala menatap langit hingga beberapa saat kemudian hasil siklus air pun jatuh ke bumi secara perlahan. “Aku akan menepati janjiku seminggu yang lalu.” “Kenapa kamu ingin aku menangis?” 253
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Pakaian yang mereka pakai mulai basah terkena air hujan yang semakin deras namun teratur. Noir menadahkan tangannya yang menampung air hujan secara sia-sia, sekilas senyuman miris tergurat di bibirnya. “Sudah cukup, kamu tidak perlu menahannya dan bersikap seolah-olah tidak ada masalah dalam hidupmu.” Kalimat itu seperti petir yang menyambar Noir. Pemuda itu tertunduk ketika Juvia memeluknya. “Terima kasih, Noir,” bisik Juvia lembut. Samar-samar terdengar suara sengguk tangis Noir, bersem- bunyi di sela tetesan hujan dan aroma tanah basah yang menjadi saksi seorang pemuda yang meluapkan emosinya setelah 10 tahun tidak menangis. Biodata Penulis Anggi Widyastuti lahir di Banjarmasin, 8 Maret 1995. Ber- sekolah di SMA Negeri 6 Yogyakarta. Alamat Rumah di Perum Putri Kencana no.4, Jalan Monumen Jogja Kembali, Sleman, Yogyakarta. No. Hp: 085248152488. Sur-el (E-mail): [email protected] 254
Langit Merah MAAFKAN KAMI PAHLAWAN Oriza Febrianto Setiap bulan Agustus, kawasan perumahan yang ditempati Pak Rohman tampak lebih meriah jika dipandang. Jalanan dan selokan menjadi makin bersih. Setiap teras rumah dihiasi bunga- bunga warna-warni. Bendera-bendera kecil merah putih dan lam- pu-lampu hias menambah semarak suasana perumahan. Namun semua pemandangan yang tampak indah itu tidak dapat meng- gantikan kegundahan yang dirasakan Pak Rohman. Beberapa tahun terakhir dia mengidap sindrom tanpa nama yang selalu jatuh pada bulan Agustus. “Assalamu’alaikum...,” terdengar suara lelaki menguluk salam. Dengan tertatih, Pak Rohman bangkit dari kursi goyangnya dan beranjak ke teras. Pagi itu dia memang berada di rumah se- orang diri, karena anak dan menantunya bekerja, sementara cucu- cucunya ke sekolah. “Wa’alaikumsalam...,” jawab Pak Rohman dengan suara agak bergetar. Maklumlah, pita suaranya sudah usang. Begitulah Pak Rohman yang telah berusia delapan dasawarsa. Pandangan mata- nya juga sudah kabur. Jika melihat sesuatu dia perlu memicingkan mata. “Mari silakan masuk. Ehm... siapa, ya?” 255
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Saya Amin, Pak. Pengurus Karang Taruna di kampung ini.” “O, iya. Ada perlu apa pagi-pagi begini?” tanya Pak Rohman. “Saya ketua panitia kegiatan bulan Agustus, Pak. Maaf saya datang pagi karena saya tahu Bapak selalu ada di rumah saat pagi hari,” ucap pemuda itu halus, “teman-teman sepakat memin- ta Bapak agar berkenan mengisi acara di malam puncak peringat- an dirgahayu RI, agar jiwa nasionalisme para pemuda tumbuh kembali setelah mendengarkan nasihat Bapak.” Ucapan pemuda tadi tak ubahnya lava panas yang masuk ke tubuh Pak Rohman melalui pendengaran langsung ke hati dan membakarnya. Hal serupa itu dia dengar setiap tahun. “Apa yang bisa saya sumbangkan? Menyanyi? Menari?” se- lorohnya. “Seperti tahun-tahun kemarin, Pak. Bapak mengisi acara Na- sihat Sang Pahlawan. Ceritakan saja perjuangan Bapak pada za- man penjajahan dahulu. Itu kan bagus untuk memberi semangat kami yang masih muda ini.” Pak Rohman tertawa sinis. Itu lebih sopan dari niatnya se- mula yang ingin mencibir. “Saya tidak bisa,” jawabnya singkat dan tegas. Amin tampak kaget mendengar jawaban Pak Rohman. Ja- waban pria tua di hadapannya benar-benar di luar prediksi, tidak seperti biasanya dia begini. “Padahal cerita teman-teman Pak Roh- man mudah dimintai tolong,” gumam Amin dalam hati. “Nasihat Sang Pahlawan? Siapa yang dianggap pahlawan? Bapak?” tunjuk Pak Rohman ke dada ringkihnya, “pahlawan anak-anak sekarang kan Superman, Batman, Spiderman, Ultraman.... mana ada yang mau mendengarkan nasihat Bapak?” “Tidak semuanya begitu, Pak. Saya jamin, acara Agustusan kali ini berbeda. Kali ini lebih mengindonesia, kok Pak. Lagi pula sejak dibukanya Pasar Baru di seberang perumahan, jumlah warga sini bertambah hampir dua kali lipat. Pasti banyak di antara mere- ka yang belum pernah mendengar cerita dan nasihat Bapak, kan?” pemuda tadi terus berusaha meyakinkan, “seperti usulan Bapak 256
Langit Merah tahun lalu, acara malam perayaan tahun ini dibuka dengan doa, lalu paduan suara menyanyikan lagu Indonesia Raya.” “Oh, ya? Siapa yang menyanyikannya?” selidik Pak Rohman. Ada rasa bangga usulannya tahun lalu didengarkan. Dia me- mang pernah protes mengapa acara peringatan dirgahayu RI ha- nya diisi dengan menyanyikan lagu-lagu yang sedang populer di kalangan anak muda saja. Kenapa memperingati hari kemerde- kaan justru lagu-lagu yang sedang popular saja yang dinyanyikan. Jangan-jangan mereka tidak hafal Indonesia Raya. “Para pelajar usia SMP, Pak. Cucu Bapak nanti juga kami ajak latihan.” “Apakah kamu yakin mereka dapat tampil secara maksimal?” “Insyallah semua dapat berjalan dengan baik, Pak” Pak Rohman mulai luluh mendengar penjelasan Amin. “Seperti usulan Bapak pula, insya Allah tahun ini tidak ada iuran yang memberatkan warga. Semua dana Agustusan ditang- gung oleh tim donatur yang terdiri dari para pejabat kampung kita. Mulai dari Pak RW, RT, juga ada sumbangan dari sponsor. Itu hasil lobi dari bapak-bapak di sini juga” Pak Rohman manggut-manggut. Tahun lalu dia memang mengusulkan agar iuran wajib bulan Agustus ditiadakan saja. Atau hukumnya diturunkan dari wajib menjadi sukarela. Itu mengingat betapa banyak warga kampung yang hidupnya pas-pasan, seperti keluarga anaknya yang dia tumpangi menghabiskan sisa umur. “Ya sudah kalau begitu. Bismillah, bapak akan maju seperti kemarin-kemarin.” “Waduh... terima kasih banyak, Pak. Teman-teman panitia pasti senang mendengar hal ini. Kalau begitu, saya mohon diri dulu, Pak. Undangan resminya menyusul, nanti sore mungkin kawan saya yang mengantar.” Pemuda itu berdiri, menyalami Pak Rohman dengan takzim, lalu mengucap salam. Sementara Amin berlalu, Pak Rohman kembali menekuni bacaannya. Di masa tua ini yang bisa dilakukannya hanya mem- 257
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 baca dan menulis. Di sore hari dia merawat tanaman hias yang ada di teras. Maklum, rumah-rumah di daerah pemukiman itu saling berhimpitan sehingga masing-masing keluarga tidak ada yang mempunyai halaman. Sebuah teras rumah yang mungil cu- kup untuk menyalurkan hobinya pada tanaman seperti waktu di kampung dulu. Dia terpaksa hijrah ke kota atas permintaan putri bungsunya setelah sang istri berpulang lima tahun yang lalu. Sejak tinggal di perumahan ini, tiap perayaan malam kemer- dekaan di bulan Agustus Pak Rohman selalu mengisi acara rutin Nasihat Sang Pahlawan. Pada tahun-tahun pertama audiens men- dengarkan dengan penuh perhatian. Mereka mendengarkan nasi- hat Pak Rohman seakan-akan ia adalah seorang guru yang menga- jar di kelas. Namun tiga tahun belakangan rupanya mereka telah hafal dengan cerita dan nasihatnya. Sudah jarang yang memper- hatikan dengan seksama. Kebanyakan mengobrol satu sama lain, kecuali para bapak yang duduk tepat di depan panggung. Bebe- rapa dari mereka pun terkantuk-kantuk bahkan ada juga yang tertidur. Namun, begitu menginjak acara selanjutnya, karaoke ber- sama, sontak mereka bersemangat kembali. Itulah yang membuat Pak Rohman sakit hati. Ia sudah bosan dan capek menghadapi masalah ini. Tahun ini ditekadkannya untuk tidak naik panggung lagi. Namun, demi mendengar penjelasan Amin, dia menaruh harapan agar tahun ini betul-betul ada perubahan yang bermakna sehingga dapat melegakan hati Pak Rohman yang sakit hati kare- na ulah audiens. Hari demi hari berlalu, tibalah waktu dilaksanakannya ma- lam peringatan Kemerdekaan RI yang kesekian puluh. Pak Roh- man merasa cukup lega karena tahun ini memang tidak ada pu- ngutan dana ini itu. Mulai dari iuran menghias gang, dana per- baikan jalan, dana perlombaan, sampai iuran untuk membeli tong sampah baru. Seolah, keberadaan sampah baru terasa di bulan Agustus. Sore itu Pak Rohman menyempatkan diri melihat persiapan panggung yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Betapa ter- 258
Langit Merah kejutnya dia setelah melihat dengan mata kepala sendiri, betapa artistiknya panggung hiburan tahun ini. Sangat berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Ia sangat kagum dan senang dengan apa yang dilakukan warga perumahan karena mereka menyambut hari kemerdekaan dengan penuh antusias. Latarnya berupa lu- kisan di kain yang sangat lebar, bergambar jalanan yang masih lengang dan belum beraspal. Di kiri kanan dilukiskan beberapa orang pejalan kaki dengan menyunggi bakul. Betul-betul meng- gambarkan Indonesia tempo doeloe. Dia penasaran, siapa sih yang mempunyai ide kreatif seperti ini. “Nak, panggungnya bagus sekali, ya!” puji Pak Rohman de- ngan tulus pada salah seorang anggota Karang Taruna yang se- dang menata kursi. Pemuda itu membalas dengan senyum kecut. “Iya, Pak. Memang bagus...!” Ada nada ketus yang aneh, berlawanan dengan pujiannya. Pak Rohman merasakan itu. “Ide siapa ini?” “Nggak tahu, Pak. Dalam rapat kemarin tidak dibahas. Kata Pak RW, pokoknya tanggung beres. Tadi sekelompok seniman ibu kota datang dan menata panggung utama. Sisanya kami yang melengkapi.” “Jadi bapak-bapak sini yang menentukan semua?” “Begitulah, Pak. Bagaimana lagi? Yang mendanai acara ini mereka juga.” “Susunan acaranya apa saja?” “Kami tidak tahu persis. Beberapa acara dirahasiakan oleh bapak-bapak itu.” “Lho, kok gitu? Lalu sebagai pemuda kalian berperan apa?” “Ya, ngangkut barang-barang yang diperlukan. Maklum, ka- mi tidak ikut menyumbang dana, sih.” Ada kekesalan yang terselip dalam kata-kata pemuda itu. Pan- caran yang sama juga terbesit dari wajah-wajah panitia yang lain. Seakan-akan ada sesuatu yang tidak diinginkan oleh mereka pada acara memperingati hari kemerdekaan Indonesia. 259
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Pak Rohman miris mendengar hal itu. Maksudnya ketika me- lontarkan ide agar dana Agustusan ditiadakan tak lain agar aca- ranya cukup dilaksanakan dengan sederhana, namun khidmat. Bu- kannya bertambah mewah dengan gejala dominasi dan monopoli seperti ini. Terkesan glamour, makna dari hari kemerdekaan pun tidak begitu terlihat jelas, hanya backdrop yang masuk dalam sua- sana kemerdekaan, tetapi jiwa nasionalisme yang menjunjung ting- gi kemerdekaan tidak tertanam dalam kepribadian setiap warga. Apalagi sampai mengebiri kreativitas para pemudanya untuk dapat berkreasi. Dengan langkah gontai penuh kekecewaan yang bergejolak di hati, Pak Rohman pulang. Bagaimanapun juga nanti malam dia harus tetap tampil sesuai janjinya kepada Amin. Suasana malam peringatan kemerdekaan RI tahun ini sangat meriah dan terkesan glamour. Dendang lagu-lagu dengan volume yang mengguncang dada telah diperdengarkan beberapa menit setelah adzan Maghrib. Sementara para jemaah yang shalat di Mu- shalla kampung belum lagi menyelesaikan dzikirnya. Tak lama setelah itu Pak Rohman datang ke acara bersama anak, menantu, dan cucu-cucunya. Acara ini memang diperuntuk- kan seluruh anggota perumahan tanpa terkecuali. “Pak, nanti kalau penontonnya cuek jangan marah-marah, lho. Ntar jantungnya kumat lagi!” pesan putrinya. Lelaki tua itu mengangguk. Keluarga besar itu memilih duduk di depan, dekat panggung agar dapat melihat dengan jelas. Acara dimulai pukul setengah delapan malam, mundur satu jam dari yang tertera di undangan karena Pak Lurah yang sedianya membuka acara masih berada di tempat lain. Keterlambatan yang menyiksa, namun telah membudaya di kalangan masyarakat Indo- nesia. Sudah menjadi serangkaian acara yang sering dibudayakan di kalangan masyarakat Indonesia. Budaya menghormati yang ter- lambat sudah termasuk hal yang biasa bagi mereka. Bertindak sebagai presenter, seorang gadis yang tampil me- narik, lincah, dan berpakaian seksi. Awalnya tidak ada seorang 260
Langit Merah pun yang mengenalnya. Namun, lama kelamaan dari cara mem- bawakan acara, banyak yang mengenalinya sebagai salah seorang penyiar radio lokal sehingga dapat meramaikan suasana yang awalnya sepi tidak menarik menjadi ramai dan dapat menarik semua mata untuk selalu menatap panggung. Acara diawali pembukaan dengan membaca Basmalah, tidak ada doa mensyukuri kemerdekaan seperti permintaan Pak Roh- man. Kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Gugur Bunga oleh belasan pelajar berseragam Sekolah Menengah Per- tama. Para penonton yang memang menyukai perubahan, terke- san dengan penampilan perdana kelompok paduan suara dadak- an itu. Acara selanjutnya sambutan-sambutan. Sambutan disam- paikan oleh ketua panitia, Pak Lurah, lalu Pak RW. Pak Lurah bersedia memberi sambutan karena dia pejabat baru, masih getol- getolnya mensosialisasikan program-program baru dan juga wa- jahnya. Tibalah giliran Pak Rohman. Ketika namanya disebutkan, sayup-sayup dia mendengar sorakan “huuu” dari penonton. Tapi karena terlanjur dipanggil oleh pembawa acara, dia pantang mun- dur. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barokaatuh...!” Pejuang 45 itu membuka dengan salam yang lantang. Penon- ton menjawab dengan lantang dan kompak. Timbullah semangat Pak Rohman untuk meneruskan aksinya. Dia mulai bercerita ba- gaimana dia dulu merobeki warna biru yang ada pada bendera Belanda yang ditemukannya di jalan-jalan. Sehingga kompeni ma- rah karena di mana-mana Sang Saka Merah Putihlah yang berkibar. “Namun karena bapak melakukan ini di kampung-kampung, bapak tidak terkenal. Berbeda dengan kawan bapak yang dengan berani merobek bendera Belanda yang ada di halaman hotel. Dia gugur sebagai pahlawan yang diabadikan dalam film perjuangan.” Di bawah panggung beberapa remaja berbisik, “Film per- juangan? Yang mana?” “Mana kutahu?” jawab kawannya. 261
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Pak Rohman masih meneruskan cerita dan nasihatnya. Na- mun, lama kelamaan semangat lelaki itu kendor karena satu per- satu audiens mengobrol dengan asiknya sehingga melupakan na- sihat-nasihat Pak Rohman. Beberapa remaja, bahkan di antara mereka adalah panitia, asyik ber-SMS ria sambil cekikikan. Pak Rohman sadar, mungkin saatnya dia turun panggung. Padahal masih banyak yang ingin dia sampaikan, terutama tentang pen- didikan moral. Terakhir dia berpesan, “Mestinya para pemuda kita harus lebih kreatif dalam membangun bangsa. Berlatihlah dari hal yang kecil, berlatih dari membangun kampung sendiri. Jangan mau didikte oleh para penguasa. Ingat! Bung Karno membacakan pro- klamasi karena desakan para pemuda. Anak-anak muda seperti kalian, tapi dengan semangat yang betul-betul berbeda....,” sin- dirnya. Karena tidak ada reaksi dari penonton, mereka sibuk mengo- brol dan SMS-an sehingga mengabaikan setiap perkataan yang dilontarkan dari mulut sang pahlawan ini. Pak Rohman pun me- nyudahi pidatonya dengan salam. Kali ini hanya beberapa orang saja yang menjawab, itupun tidak kompak. Perasaan Pak Rohman sangat sedih melihat kejadian ini, kejadian yang menimpa dirinya. Pak Rohman turun panggung dengan santai. Pembawa acara segera naik keatas panggung dan berkata “Terima kasih untuk Pak Abdurrohman, pejuang kita. Semoga nasihat Bapak bermanfaat untuk kami semua, para generasi mu- da. Baiklah, acara selanjutnya... acara yang sudah kita tunggu- tunggu yaitu HI BU RAN...!” Sang presenter mengeja ucapannya untuk menarik perhatian penonton demi memeriahkan acara. Benar saja. Dalam sekejap terdengar sorakan gembira yang gegap gempita. Yang mengantuk terjaga, yang asyik SMS-an mengantongi kembali ponselnya. “Yeah... kita sambut dengan hangat... Merah Putih Band!” tiba-tiba latar panggung yang bergambar lukisan Indonesia tempo dulu disibak. 262
Langit Merah Di baliknya telah siap sebuah band yang langsung beraksi. Seluruh personil band itu mengenakan seragam kombinasi warna merah dan putih. Sang vokalis muncul dari belakang panggung, dengan mengenakan baju tanpa lengan dan tanpa krah berwarna merah dan celana super pendek dan ketat berwarna putih yang sangat memperlihatkan bentuk tubuh wanita. Penonton pun ber- sorak dengan semangat. Apalagi ketika gadis itu membawakan lagu yang sedang populer, ditambah dengan goyang maut mema- bukkan. Semua mata tertuju pada satu arah yaitu vokalis band tersebut. Ada beberapa penonton yang maju ke depan panggung untuk berjoget. Ada pula yang berjoget sambil mabuk. Betapa sedihnya hati Pak Rohman melihat semua ini, melihat apa yang terjadi dengan masyarakat Indonesia yang memiliki pendidikan moral yang sangat rendah. Pak Rohman geleng-geleng kepala. “Masya Allah...!” Pak Rohman sedih melihat generasi-generasi muda penerus bangsa tidak memiliki jiwa nasionalisme. “Apakah yang akan terjadi esok pada Indonesia jika generasi- generasi muda sekarang ini sudah tidak lagi mempunyai jiwa nasionalisme?” tanya Pak Rohman kepada dirinya sendiri. Air matanya nyaris tumpah karena sedih melihat generasi- generasi muda penerusnya lebih memilih berhura-hura daripada berjuang mensejahterakan Indonesia. Para generasi muda belum sadar arti kemedekaan yang sesungguhnya. Samar-samar dia me- lihat kawan-kawan seperjuangannya yang kini telah beristirahat di Taman Makam Pahlawan juga menangis bersamanya. Teman seperjuangannya yang telah gugur mendahuluinya demi sebuah kemerdekaan demi sebuah kedaulatan yang bebas dari jajahan negara asing. “Dengan cara seperti inikah mereka memaknai arti dari se- buah kemerdekaan?” tanya Pak Rohman kepada dirinya sendiri. Anaknya memahami keadaannya. “Pak, sabar ya Pak...!” Te- riak anaknya yang terdengar seperti bisikan, kalah oleh suara mu- sik yang binal. 263
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Setelah lagu pertama selesai, sang vokalis berdialog dengan penonton. Tentu dengan gaya yang genit menggoda. Penonton pun terkesima melihat wanita seksi itu. Beberapa menit kemudian lagu kedua dinyanyikan dan hari semakin malam namun penon- ton yang berdatangan untuk bersenang-senang semakin ramai saja. Pak Rohman tidak tahan lagi melihat kejadian ini. Tanpa memedulikan larangan anak dan cucunya, dia kembali naik ke atas pentas untuk berbicara sesuatu yang dia kira itu sangatlah penting untuk didengarkan dan direnungkan. Direbutnya mikro- fon dari tangan si biduan. “Andai kami tahu sejak awal... bahwa kemerdekaan hanya disyukuri dengan hal-hal seperti ini...,” Pak Rohman berusaha berbicara dengan lantang, meski suaranya serak karena usia tua dan air mata yang tertelan di tenggorokan. “Disyukuri dengan perbuatan-perbuatan yang tidak seharusnya, disyukuri dengan hura-hura tanpa berpikir untuk lebih maju membangun Indonesia bersama-sama.” Penonton terdiam, terkejut dengan aksi yang di luar dugaan ini. “Andai kami tahu dari dulu bahwa Sang Saka Merah Putih lama kelamaan akan dilecehkan anak cucu sendiri... Andai kami tahu dari dulu kemerdekaan lama-kelamaan hanya akan diperi- ngati dengan hura hura, berpesta sesuka hati… kalau kami tahu bahwa dengan dijajah kecintaan kami pada negeri ini menjadi lebih tulus...,” Pak Rohman mulai menangis sedih, namun kata- katanya tetap tegas.”Maka lebih baik... kita tidak usah... MER- DEKA!!” Teriaknya lantang. Suasana tiba-tiba dan semua anak muda yang hadir merundukkan kepala, sementara Pak Rohman digandeng anak cucunya turun panggung. Kemudian lelaki itu jatuh tersungkur dan tidak pernah ba- ngun lagi. Dia terbujur kaku karena sindrom yang dia miliki setiap bulan Agustus. “Maafkan kami, Pahlawan...! Kami melupakan jasa-jasa yang telah engkau berikan kepada negara Indonesia tercinta, Maafkan kami, Pahlawan…….!” 264
Langit Merah Biodata Penulis Oriza Febrianto lahir di Tenggarong, 22 Februari 1995. Ber- sekolah di SMA Negeri 1 Depok, Sleman. Alamat sekolah di Ba- barsari, Depok, Sleman, Yogyakarta 55281, telepon (0274) 485794. Alamat rumah di Desa Kandangsari, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman. No. Hp 085292774474/085640442440. Sur-el (E-mail): [email protected] 265
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 HARAPAN YANG SEDERHANA Odilia Enggar Ranum Kepergian Arini ke luar kota diantar oleh tangis Ibu dan se- nyum Ayah. Ayah tidak sedikit pun tampak sedih. Ia justru bang- ga pada pencapaian Arini yang berhasil menjadi kepala cabang sebuah bank pada usia yang masih muda. Kalau ibunya? Jelas Arini sepaham dengan rasa kehilangan yang dirasakannya saat ini. Saat diciumnya tangan kedua orang yang telah membesarkan- nya itu, ketegaran Arini rupanya tak dapat menahan air matanya. “Ibu akan selalu mendoakanmu, Nak. Ibu tahu akhirnya ka- mi harus melepasmu juga. Kalau rindu ibu, Kamu harus telepon ya. Ibu sayang padamu,” ucap ibu sambil mengecup dahinya serta kedua pipinya yang basah. Lalu disuruhnya Arini cepat-cepat masuk ke mobil yang sudah menunggunya. Arini menatap rumah beserta halaman yang amat dikenalnya, yang akan segera diting- galkannya. Dalam curahan matahari sore, orang tuanya melambai mengantar mobil yang ditumpangi Arini bergerak perlahan me- ninggalkan halaman rumah sederhana nan asri itu. Dengan mata berair, ditatapnya sorot teduh dari wajah kebapakan Ayah dan derai-derai air mata Ibu dari balik kaca mobil. Tangis itu membuat hati Arini tercabik-cabik rasa haru, sekaligus rasa bersalah yang amat mendalam. 266
Langit Merah “Maaf Ibu, aku tidak bisa terus merawat Ibu dan Ayah, juga membantu mengurus Kakek,” ucap Arini terbata setelah dia me- ngabarkan kepindahan tempat tugasnya ke luar kota. Sambil melipat kain batik di atas kasur, Ibu mendesah pelan. “Ibu tidak pernah berharap lebih, selain Kamu bisa berhasil men- jadi orang sukses sesuai impianmu,” ucapnya penuh pengertian sambil membetulkan gelungan rambut kelabunya. Lalu, dia menggenggam tangan Arini. “Terima kasih, Bu. Aku akan selalu berusaha membangga- kan Ibu dan Ayah. Juga Kakek,” balasnya dengan membelai ta- ngan ibunya dan tersenyum manis. Arini terus teringat percakapan itu dan membawanya selama perjalanan dari Lasem ke Jogja. Hatinya terasa damai, sedamai saat memandang matahari yang menguning di ujung barat langit. Baginya, restu Ibu untuk menjalani hidup yang dipilihnya adalah kelegaan yang luar biasa. Senyum kebanggaan Ayah dan Ibu ada- lah kekuatannya selama ini. “Anak yang sangat sibuk sepertimu, bagaimana kelak bisa mengurus orang tua saat mereka tua? Kau tak bisa menunjukkan baktimu hanya dengan menjadi sukses,” kata-kata kakek Arini beberapa tahun yang lalu, membuat angan-angannya terhempas. Kakek adalah orang yang selalu mengatakan bahwa hidup- nya tak lain berisi lubang kosong yang ditutupi kesuksesan ka- riernya. Sejak Nenek meninggal saat Arini masih balita, Kakek tinggal bersama keluarga Arini yang hanya punya tanggungan satu anak, dirinya. Maka, dibanding sepupu-sepupu perempuan- nya yang lain, Arini adalah cucu yang paling disayang, namun juga yang paling menjengkelkan bagi Kakek. Sejak kecil, Arini sering ikut Kakek bekerja membuat batik. Dia selalu dibonceng naik sepeda tua menyusuri jalanan di kota- nya yang sepi bagai kota tua. Dia diajak Kakek menghitung ru- mah-rumah tua yang biasanya ditinggali orang keturunan cina. Arini suka melihat rumah-rumah yang dulu katanya merupakan kediaman para saudagar. Tembok putih, gerbang beratap rendah, 267
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 serta pintu kayu cokelat bergagang besi bundar yang ada di ping- gir gang merupakan hiburan tersendiri yang dikenalkan Kakek untuk mengalihkan perhatiannya dari jalanan berlubang-lubang di kota yang terbelah oleh Jalan Pantura itu. Sesampai di pinggir jalan raya, Arini disuruh menghitung truk-truk yang parkir di pinggir jalan. Dia sering bosan melakukan ini. Dia benci bau solar yang keluar dari benda besar itu. Kalau dia mulai merajuk, Kakek akan tertawa, lalu ganti memberinya tugas menyapa penjaga-penjaga toko yang mereka kenal di se- panjang jalan menuju tempat kerja Kakek. Tempat Kakek bekerja ada di dekat laut. Tempat yang penuh bentangan kain batik ber- corak warna-warni. Karena itulah, batik lasem sering disebut batik pesisir. Daripada ikut main-main ke dekat laut bersama teman sebaya, Arini lebih suka duduk diam menunggui Kakek yang serius dengan kain dan cantingnya. Sesekali dia akan dibiarkan ikut membuat pola yang mudah seperti titik-titik atau garis-garis pendek. Setelah Arini beranjak besar, dia tak pernah ikut Kakek be- kerja lagi. Daripada membuat batik, dia lebih suka menjualnya, atau membeli beberapa yang menurutnya bagus. Dia suka melihat uang yang datang dengan mudah. Maka, Arini bersekolah dengan rajin. Kuliah di jurusan ekonomi demi mengejar impiannya men- jadi pegawai bank. Dia sering mengorbankan waktu bersama ke- luarga agar bisa berusaha lebih keras lagi untuk berhasil. Tak di- sangka, berbanding terbalik dengan orang tuanya, Kakek tidak pernah bangga padanya. Arini teringat pada hari menjelang wisudanya. “Pak, besok Arini diwisuda. Dia akan segera jadi sarjana eko- nomi,” mata ibu berbinar-binar saat dia berkabar pada kakek. “Benarkah? Berarti Kau tidak pergi kuliah lagi, kan? Bagus- lah. Kau memang seharusnya lebih sering tinggal di rumah seka- rang,” kakek menyambut berita itu sambil mencoba kemeja baru berbahan batik, buatannya sendiri tanpa maksud ingin memberi- nya selamat seperti yang diharapkan Arini. 268
Langit Merah Arini hanya tertegun kecewa. Jantungnya seakan berpindah ke tenggorokan. Matanya mulai merasa panas terdesak cairan hangat yang sepertinya memancar dari hatinya yang perih. Dia sebenarnya ingin menangis di depan Kakek andai air mata ha- ngatnya bisa menghangatkan kembali sikap Kakek padanya. Tapi dia lebih memilih tersenyum palsu. Saat keluarganya mengadakan makan malam untuk meraya- kan diterimanya Arini sebagai pegawai bank perkreditan, Kakek juga merusak kegembiraannya malam itu dengan kata-kata yang entah kenapa sulit dilupakannya. “Kenapa anak perempuan sepertimu sangat ingin bekerja di bank? Kalau suka punya uang banyak, menikah saja dengan laki-laki yang bekerja di bank,” kakek menasihati Arini sambil makan tumis cumi kesukaannya. “Ya jangan menyuruh Arini melakukan hal seperti itu, Pak. Jodoh kan di tangan Tuhan. Masak Arini sudah sekolah susah- susah selama ini hanya disuruh menjadi istri orang. Hahaha…..,” ayah mencoba menanggapi kakek yang dianggapnya bergurau. “Aku heran kenapa Kau mendidik Arini hanya agar bisa be- kerja? Dia juga sudah seharusnya menjadi seorang istri. Kalau masalah pekerjaan, aku yakin Arini punya kesempatan lain. Dia dulu bisa membatik. Kurasa dia bisa bekerja di tempatku dulu. Lagipula, juraganku punya anak laki-laki seumuran Arini. Te- manmu dulu itu lho, Rin. Kau masih ingat Wahyu, kan? Dia juga masih bujangan. Mungkin dia juga berminat menjadikanmu istri,” kakek kemudian memandang Arini, setelah menghabiskan suap- an terakhir santapannya. Entah apa maksudnya, tapi hal itu membuat Arini tak lagi berselera melihat nasi dan kepiting goreng di piring yang baru dia makan separuh. “Kek, kenapa Kakek tidak suka pada pekerjaanku? Kenapa Kakek selalu mengarahkanku untuk berhenti dari semua usahaku dan menjalani hidup yang biasa-biasa saja seperti Kakek?” kata Arini tidak bisa menahan emosinya. 269
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Matanya mulai berkaca-kaca sambil menatap Kakek. Kakek menatap air mata Arini dengan tatapan penuh arti. Namun tak sedikit pun tersirat rasa tersinggung atas ucapan Arini. “Banyak hal yang lebih baik bisa Kau dapat kalau Kau tetap ting- gal. Aku sudah jarang melihatmu tertawa santai seperti dulu. Tu- buhmu juga semakin kurus setelah bekerja. Dan aku takut, Kau tidak bisa memenuhi takdirmu sebagai wanita,” Kakek berucap dengan tegas, menegaskan pendiriannya pada Arini dan kedua orang tua cucunya itu. “Kakek tahu apa tentang takdir? Aku memang wanita sejak lahir, apa yang perlu ditakutkan? Ayah Ibu saja tidak pernah me- nasihatiku tentang hal yang tidak masuk akal seperti itu. Aku yakin bisa mengusahakan kebahagiaanku kelak setelah aku suk- ses,” balas Arini dengan emosi memuncak. “Dari dulu Kau tak mengerti juga Arini. Kapan Kau bisa tahu pasti kalau Kau sudah sukses? Itu adalah sesuatu yang akan terus Kau kejar sampai Kau mati. Aku ragu kalau Kau bisa bahagia dengan hidup seberat itu. Wanita sepertimu akan hidup kesepi- an,” Kakek berujar sambil berdiri keluar hendak mengisap cerutu. Arini mengiringi kepergiannya dengan tatapan heran dan air mata yang belum berhenti. Diputar-putarnya kenangan-kenangan masa lalunya itu sela- ma enam jam perjalanan yang hening. Sesekali dipandangnya la- ngit jingga dan Jalan Pantura yang ramai dengan bus-bus besar, mobil dan motor berseliweran. Hanya sejauh enam jam perja- lanan, Arini pergi meninggalkan kampung halamannya. Tapi se- lama bertahun-tahun ke depan, entah dapatkah dia mengatasi kutukan rasa sepi dari Kakek yang seakan harus ditanggungnya seumur hidup? Bekerja di kota seramai Jogja bagi Arini sungguh menye- nangkan sekaligus menantang. Bank yang dipimpinnya selalu ramai dikunjungi para pedagang pasar yang membutuhkan mo- dal. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang yang akan mem- beli stok dagangan baru. Kecakapan dan kecekatannya bekerja, 270
Langit Merah membuat Arini disukai anak-anak buahnya. Keramahannya, juga mengundang simpati para nasabah. Ada yang memberikannya hadiah walau sekadar kemeja dagangan mereka. Walau Arini per- nah mendengar perkataan orang kalau bekerja di bank sangatlah membosankan, dia bisa menepis, tidak sepenuhnya itu benar. Suasana tempat Arini bekerja memang sangat sepi walau banyak orang di dalamnya. Teller hanya bertugas duduk di balik mesin pencatat dan tumpukan uang. Suara yang mereka keluar- kan dengan cukup keras hanya suara untuk memanggil nama nasabah yang mendapat giliran transaksi. Dalam ruangan, se- panjang waktu hanya terdengar suara keyboard komputer yang dipencet terus menerus. Para nasabah diam membisu satu sama lain. Yang mereka pikirkan hanya sejumlah uang yang diharapkan dapat mereka genggam hari ini. Irama yang monoton tanpa ge- jolak emosi. Ruangan putih bersih yang berpendingin itu, terasa semakin dingin. Di sela-sela pekerjaannya di ruang ber-AC, berkutat dengan laporan-laporan transaksi, agenda kerja dan proposal-proposal, kadang Arini keluar mengawasi bawahannya sambil mengamati para nasabah yang berwajah datar. Kadang, Arini ingin sekali melihat senyum mereka supaya dia seolah bisa melihat senyum Ibu, Ayah, atau Kakek yang dirindukannya. Arini ingin sekali melihat senyum Ayah, Ibu, atau Kakek saat dia mengirimkan se- paruh dari gajinya yang cukup besar pada mereka. Walau peng- hasilan Ayah dan Ibu sebagai pensiunan telah lebih dari cukup untuk hidup mereka bertiga, namun Arini ingin mereka hidup lebih senang dengan membeli barang-barang yang mereka sukai misalnya, atau untuk memberi uang saku pada anak-anak sepupu Arini yang datang berkunjung. Betapa ingin Arini melihat wajah orang tuanya saat mereka berterima kasih karena kini ia bisa me- nunjang hidup mereka. Berkeliling Jogja, Arini membayangkan berbelanja bersama Ibu di Pasar Beringharjo yang ramai. Ia juga bermimpi mengajak Ayah ke pasar burung di Dongkelan untuk menambah koleksinya 271
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 di rumah, atau mengajak Kakek ke daerah Kraton dan Tamansari naik becak berdua. Saat melihat keindahan pantai selatan, Arini ingin mengajak seluruh keluarganya turut serta menikmati ke- indahan laut nan ganas tersebut. Tiba-tiba muncul keinginan Arini untuk mengajak keluarganya berlibur ke Jogja. “Halo. Ibu? Bu, tiba-tiba aku ingin mengajak Ibu, Ayah, dan Kakek untuk berlibur di Jogja beberapa hari. Minggu depan aku jemput ya, Bu?” Arini berbicara lewat telepon dengan bersema- ngat di sela-sela kesibukan kantornya. “Oh, ya. Tentu saja Ibu mau. Nanti Ibu tanyakan Ayah dan Kakek dulu ya. Tapi apakah Kau tidak sibuk, Nak?” ibunya men- jawab dengan tak kalah bersemangat. “Tenang saja, Bu. Aku bisa ambil cuti. Baiklah, segera beri tahu Ayah dan Kakek ya, Bu. Nanti aku telepon lagi,” Arini lalu menutup telepon dengan wajah berseri. Tapi lagi-lagi Kakek menghancurkan angan-angannya.. “Rin, maaf ya sebelumnya. Tapi tadi Kakek bilang dia tidak mau pergi. Katanya tidak mungkin kalau dia meninggalkan rumah dengan keadaan seperti itu. Kakek juga bilang dia tidak sedang ingin pergi me- nemuimu…” kata-kata Ibu selanjutnya dianggap angin lalu yang tak perlu didengarnya. Sudah cukup baginya, mendengar semua keluhan Kakek tentang dirinya. Dia juga tahu tak mungkin me- maksa Ayah dan Ibu pergi jauh meninggalkan Kakek yang sudah sangat tua dan lemah. Sore itu untuk meredakan kekecewaan, Arini menerima ajakan anak buahnya untuk makan bersama di Pantai Depok. Kini Arini hanya ingin memandang laut di depan- nya. Laut yang menghadap ke arah yang berlawanan dari laut di kampung halamannya. Menusukkan rasa rindu dan sendiri. Be- laian angin dan gerakan ombak putih yang bergulung-gulung di samudra raya membentang, hanya membuat perasaannya sema- kin menghujam dengan sempurna. Kekecewaannya hari itu tak ayal membuat Arini bertanya- tanya lebih jauh tentang sikap Kakeknya. “Sebenarnya apa yang membuat Kakek sedingin ini padaku? Tidak mungkin Kakek 272
Langit Merah membenciku sampai sedalam ini hanya karena aku tidak seperti cucu-cucu perempuannya yang lain, yang cepat menikah. Tidak bisakah Kakek menerima pilihan hidupku? Aku menyukai pe- kerjaan ini. Aku tidak pernah memimpikan diriku di sebuah ru- mah kecil dengan banyak anak, serta suami yang harus kuurus tanpa dibayar sepeser pun. Aku juga tidak bermimpi terus bekerja di pesisir, duduk berjam-jam menorehkan malam pada kain katun seperti yang dilakukan Kakek. Apakah Kakek tersinggung padaku karena aku hanya menertawakan apa yang menjadi harapannya padaku?” Arini termenung kalut di rumahnya yang sepi. Namun, akhirnya dia yakin bahwa sikapnya selama ini tidak salah. Arini tidak ingin mempertanyakan sikap Kakek lagi. Dia tidak bisa me- ngerti tentang itu. Sesuai cita-citanya, Arini memang ditakdirkan menjadi wa- nita karier yang hebat. Belum genap dua tahun menjadi kepala cabang, Arini mendapat beasiswa studi ke luar negeri. Semua itu diraihnya karena prestasi Arini yang cukup gemilang. Dengan bangga yang meluap-luap dikabarkannya berita gembira itu, saat dia pulang ke Lasem. “Ibu, Ayah, Kakek, Arini minta doa restu untuk melanjutkan studi ke luar negeri,” ditatapnya ketiga orang tua di depannya itu dan diharapkannya seulas senyum bangga. Ternyata, hanya Kakek yang tidak melakukannya. Kata Ibu, Kakek sudah hampir tuli. Arini juga tidak berniat membahas kepergiannya ke tempat yang sangat jauh itu. Dia hanya ingin mencurahkan segenap bakti- nya untuk orang-orang tercinta yang akan segera ditinggalkannya itu. Arini berharap, di masa depan dia bisa berbuat lebih dari sekadar membantu membereskan rumah atau memijit punggung Kakek yang pegal, seperti yang dilakukannya menjelang kepergi- an Arini ke Inggris. Kakek sangat senang atas kepulangan Arini. Dia memberi Arini hadiah kain batik biru yang bagus, buatan sendiri. Katanya sebagai balasan kemeja batik Jogja, oleh-oleh cu- cunya tersayang. Arini menerimanya dengan perasaan berbunga- bunga, sambil dikecupnya pipi keriput Kakek. 273
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Saat hari keberangkatan, mata Ibu tidak lagi berderai-derai sedih. Seperti Ayah, Ibu juga tampak sangat bangga padanya. Kakek hanya menatapnya dengan penuh arti. “Arini, besok saat pulang Kau akan membawa suami, kan?” kakek bertanya serius. Arini dan kedua orang tuanya hanya tertawa berderai-derai. Di hari kepergiannya itu, Arini ingin melupakan tatapan Kakek yang mengantarnya dengan sorot mata kecewa. *** Tabur bunga. Makam. Ilalang di atas debu. Arini bersimpuh di tempat asing untuk mengunjungi orang yang sangat ia cintai. Air matanya menetes, tapi bukan karena menyesal tak bisa melihat kepergian Kakek. “Setidaknya aku akan selalu mengingat dia se- bagai kakek yang hidup,” pikirnya. Sudah dua tahun kakek ber- pulang. Setahun setelah kepergiannya ke Inggris. “Kakek. Kau bahkan belum melihat suami dan perutku yang buncit ini,” Arini berbisik halus sambil membelai nisan kakek. Jiwanya sudah tidak terlalu tergoncang lagi seperti dua ta- hun yang lalu. Air mata sedihnya kini telah berganti air mata haru dan ikhlas. Bagaimanapun, Kakek adalah seseorang yang telah menyentuh relung hatinya yang paling dalam. Dulu aku adalah kanak-kanak. Dan bisa kurasakan dia amat menyayangiku. Lalu aku beranjak remaja, dan ditawarkannya padaku masa depan yang dia inginkan. “Kau cucuku yang paling kusayang. Aku ingin Kau hidup sepertiku, Arini. Aku bahagia, hidup diurus anak-anakku. Melihat cucu-cucu dan cicitku tumbuh. Dulu Kakek merasa senang dan bangga bisa bekerja untuk anak-anak Kakek, bisa membuat me- reka hidup. Tapi sekarang saat Kakek lelah, kami bisa bertukar tempat. Hidup sederhana seperti ini tidak akan membuat orang kesepian, Arini. Kalau Kau terus pada impianmu yang terlalu tinggi, Kakek yakin Kau akan terlalu lama bekerja untuk dirimu sendiri. Tidak bisa mengurus orang tuamu kalau mereka tua. Saat tua, Kau juga bisa mati kesepian kalau tak segera menikah dan 274
Langit Merah mengurus anak,” kakek mengisap cerutunya dengan berwibawa sedangkan Arini menatapnya sambil tertawa sinis. “Suami dan anak bukan jaminan, Kek. Yang penting bisa hidup sendiri dulu. Soal orang tua, mereka semua pasti senang anaknya sukses. Mereka pasti bangga padaku. Kalau sudah suk- ses dan merasa kurang, itu baru tandanya kita memang butuh cari jodoh, hahaha,”Arini merasa bisa membalas nasihat Kakek- nya dengan sangat keren. Setelah itu Arini tak bisa dengan jelas melihat mata Kakek. Sepertinya dia meniupkan terlalu banyak asap dari cerutunya sampai menutupi wajahnya dan membuat Arini terbatuk. Ia men- coba protes, tapi tak seperti biasanya, Kakek waktu itu hanya diam, dan tak lagi menatapnya. Biodata Penulis Odilia Enggar Ranum lahir di Bantul, 20 Januari 1994. Ber- sekolah di SMA Negeri 2 Bantul. Alamat rumah di Badegan RT 09, Gang Durian 3, kode pos 55711. No. HP : 085227057706. 275
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 NAMPAN PENGHARAPAN Suci Nurani Wulandari Puluhan tahun, aku tidak hanya membaca rupa-rupa kehi- dupan. Aku menyelaminya, mengamininya. Aku mengambil se- mua peran secara bergantian. Objek pada awalnya, predikat se- bentar dan dengan perjuangan panjang akhirnya menjadi subjek. Tuhan menuliskannya dengan sempurna. Sayang, terkadang aku memahaminya dengan cacat. *** Gadis itu adalah kamu. Kamu istimewa. Sangat. Caramu memberi pelajaran melalui pukulan tanganmu. Caramu memo- tivasi melalui kisah-kisah Mahabarata. Caramu membuatku lebih kuat dengan memaksaku menahan rasa sakit, rasa lapar, rasa malu. Aku menyimpan ribuan alasan untuk sekedar menyebutmu istimewa. Sebenarnya kamu lebih dari itu. Kamu luar biasa. Kamu bahkan pernah bersumpah untukku, setelah kematian ayah yang mendadak. “Aku bersumpah, akan membawakanmu nampan pengha- rapan yang lebih besar. Yang isinya tatakan kue kehidupan yang lebih nikmat. Yang harganya berkali-kali lebih mahal dibanding- kan kekayaan. Aku bersumpah.” *** 276
Langit Merah Kamu bernama Wulan Putri, dan kamu ingin menjadi se- orang desainer. Tapi setelah kematian ayah, mimpi besarmu itu direnggut paksa oleh nasib. Kamu berhenti sekolah. Membanting tulang mencari nafkah untuk makan dan membiayai sekolahku. Sejak ibu meninggal, kamu menjadi ibu untukku. Lalu ayah meninggal, dan tanpa prosesi apapun kamu otomatis menjadi ayah untukku. Padahal, Tuhan hanya memintamu menjadi ka- kakku. Kamu menyayangiku, sepenuh hati. Aku yakin itu, sekali- pun kamu tidak pernah mengucapkannya. Kamu lebih sering ber- bicara melalui bahasa tubuh. Tapi tidak denganku, setiap hari aku menyampaikan melalui lisan bahwa aku menyayangimu. Sa- ngat menyayangimu. *** Kamu ingin menjadi seorang dokter. Kamu ingin menyem- buhkan luka dengan ahli. Luka siapa pun tak terkecuali milikku. Luka apapun termasuk luka hati. Pernah suatu hari aku bertanya padamu, bagaimana jika kamu yang terluka? Apakah kamu juga akan mengobati dirimu sendiri? Dan kamu menjawab dengan nada sok pintar, “Itulah alasan- nya manusia dilarang untuk egois. Karena setiap manusia mem- butuhkan manusia yang lain. Jelas aku butuh dokter lain untuk menyembuhkan lukaku.” “Jika itu luka hati?” Aku bertanya jahil. Tapi kamu memberiku jawaban cerdas. “No one can hurt me without my permission. Tidak ada satu orang pun yang bisa melukaiku tanpa izinku.” Belum lama ini aku baru tahu bahwa apa yang kamu ucap- kan waktu itu adalah kata-kata Mahatma Gandhi. Tapi sampai hari ini, kata-kata itu teringat jelas dan menjadi asupan semangat yang tidak pernah ada habisnya. Untukku. *** 277
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Kamu ingin menjadi seorang presiden. Kamu ingin mem- buktikan bahwa perempuan juga bisa menjadi pemimpin yang baik. Kamu ingin mengatakan pada semua orang, bahwa memim- pin itu mudah. Selama ada konsistensi, disiplin, loyalitas, keju- juran dengan takaran dan penerapan yang benar, memimpin itu mudah. Tapi rasanya kamu tidak pantas untuk itu. Kamu pemarah dan ambisius. Kasihan rakyat kecil, jika kamu menjadi presiden. Rakyat kecil hanya akan menjadi kambing hitam jika ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Dan fokusmu hanya akan tertuju pada satu hal yang paling besar dan menarik di antara hal lain. Jika begitu, kamu hanya akan menjadi pemimpin yang sama saja dengan pemimpin-pemimpin lain. Sifat pemarah dan egoismu mulai tumbuh liar sejak ayah meninggal. Kamu sering sekali memukulku jika aku menolak be- rangkat sekolah. Kamu bahkan pernah tidak memberiku makan dua hari hanya karena aku membolos sekolah. Dengan lantang kamu berteriak sambil memukulku hari itu. “Kenapa nggak mau sekolah? Apa kamu mau tukeran tem- pat sama kakak? Kamu mau ngais sampah seharian dan kakak yang pergi sekolah? Mau?!! Jawab!” Aku hanya menggeleng sambil menangis sesenggukan. “Kamu malu karena kita miskin? Iya???” Sekali lagi aku menggeleng. “Dengarkan kakak baik-baik, Sur. Bersyukurlah, karena ka- mu masih beruntung. Kamu masih bisa sekolah. Cuma dengan cara itu kamu bisa hidup lebih baik nantinya. Kakak mati-matian mengupayakan semua cara yang kakak bisa supaya kamu tetap sekolah.” “Ma-af,” aku menjawab lirih sambil masih terisak. “Sur, kalau kamu malu karena kita miskin, bunuh rasa ma- lumu. Kakak bantu. Kakak mohon Sur, sekali ini saja kakak mo- hon sama kamu. Jangan pernah kalah sama nasib. Jangan pernah 278
Langit Merah menyerah cuma karena kamu dihadang kemiskinan. Jangan pernah.” “I-ya Kak.” Bukan salahku, bukan salahmu. Bukan salah Tuhan. Bukan salah siapa-siapa jika kamu menjadi gadis yang sekeras batu. Lingkunganlah yang membentukmu menjadi dirimu yang seka- rang. Kemiskinan bahkan sukses membuatmu mencampakan kata putus asa. *** Kamu ingin menjadi seorang hakim. Kamu ingin membagi- kan keadilan secara cuma-cuma, terutama pada mereka yang ber- asal dari kasta rendah sepertimu. Yang biasa dianggap menyu- sahkan pemerintah karena label miskin yang disandang. Kamu bilang, bekerja sebagai seorang hakim ibarat sedang mengarungi kehidupan. Disetiap fasenya, kamu harus memutus- kan iya atau tidak, benar atau salah, banyak atau sedikit. Terka- dang, akan ada keputusan yang tidak terlalu pas, seperti hidup, pilihan yang disuguhkan kadang tidak ada yang menjanjikan. Lalu pernah suatu hari aku datang padamu dan mengadu. Aku selalu diejek oleh teman-temanku di sekolah karena tidak bisa menulis menggunakan tangan kanan. Aku kidal. Aku cacat. “Di Indonesia, tidak ada pasal yang mengatakan bahwa kidal itu kejahatan, jadi kamu nggak perlu khawatir.” Besoknya aku datang lagi dan mengadukan hal yang sama. Aku kidal. Aku cacat. “Kidal itu bukan cacat. Mereka yang mengejekmu hanya iri karena kamu berbeda sehingga semua orang tanpa sadar akan selalu mengingatmu dan memperhatikanmu.” Besoknya aku masih mengeluhkan hal yang sama. Aku kidal. Aku cacat. “Kidal bukanlah hal yang perlu diputuskan benar atau salah. Tidak ada yang boleh menghakimi perbedaan karena menjadi berbeda adalah hak setiap manusia yang wajib disyukuri. Kamu tahu Dursilawati? Dia adalah saudara kurawa yang paling kecil. 279
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Dia berbeda karena dia perempuan sedangkan 99 kakaknya ada- lah laki-laki. Dia berbeda karena dia bukan pendendam. Dia ber- beda dan menjadi lebih baik dibandingkan saudaranya yang lain.” Semenjak itu aku bangga menjadi kidal. Aku bangga dan percaya diri walaupun berbeda. Lagi pula aku tidak melukai orang lain. Aku tidak merugikan siapapun. “Karena tidak semua hal bisa diputuskan benar atau salah. Terkadang ada sesuatu yang memang harus dihormati dan di- hargai tanpa perlu dihakimi terlebih dahulu” *** Kamu ingin menjadi seorang desainer. Kamu ingin membuat pakaian istimewa dari kebaya dan kain batik. Kamu ingin men- ciptakan kreasi unik menggunakan kain songket. Kamu ingin membuat aksesori berkelas dengan miniatur angklung. Kamu ingin membuat sepatu bergambar wayang. Semuanya kamu lakukan demi pamer kepada negara-negara tetangga. Meneriakkan secara halus kepada dunia bahwa Indo- nesia memiliki banyak hal yang menakjubkan. Menyadarkan para generasi muda bahwa sepatutnya mereka bangga terhadap milik mereka sendiri. “Jadilah orang yang cerdas, Sur. Orang yang selalu bangga terhadap miliknya. Warga yang bangga terhadap bangsanya.” Kamu mengucapkannya suatu sore. Sebenarnya aku kurang setuju dengan ucapanmu. Bangga dengan yang kita miliki? Kita punya korupsi, bangga? Kita punya DPR pemalas, bangga? Kita punya kelaparan dan kemiskinan di mana-mana, bangga? “Jika yang kita miliki itu buruk, apa kita juga harus tetap bangga?” aku bertanya sambil lalu. Kamu tersenyum padaku lalu menggeleng. Dan kamu men- jawab dengan santai. “Buruk kok bangga? Jelas nggak boleh bangga dong. Tapi seburuk apapun, itu adalah milik kita. Kakak sudah bilang sama kamu, jadilah orang cerdas. Supaya kamu bisa memperbaiki ke- burukan-keburukan itu, agar kelak bisa dibanggakan.” 280
Langit Merah Kamu memang menakjubkan. Kamu makan sehari hanya dua kali, kadang sekali ,kadang tidak makan. Tapi kamu masih sempat mengibarkan bendera nasionalisme. Benar. Kemiskinan memang bukan alasan untuk berhenti mencintai dan menghargai sesuatu yang kamu miliki. *** Namaku Surya Putra. Aku ingin menjadi...kamu. Aku me- mimpikan mimpi milikmu. Menjadi dokter, presiden, hakim, de- sainer. Menjadi kakak yang merangkap menjadi ayah dan ibu. Aku ingin menjadi sosokmu yang kuat dan gagah berani. Aku sendiri sempat heran mengapa kamu bermimpi seba- nyak ini. Ini akan jadi bebanku nantinya. Dan kamu menjawab dengan sesuka hati, “Karena mimpi adalah satu-satunya hal me- nyenangkan yang gratis.” Begitulah kamu. Kamu berusaha menjauhkan kemiskinan dariku, dengan ca- ra menjadikannya sahabat selama puluhan tahun. Dengan berani menginjak-injak nasib dan berperang melawannya agar tunduk padaku. Mencambuk semangatku setiap hari demi masa depan- ku. Mengobrak-abrik rasa minderku, membunuh rasa takutku, dan mencabik-cabik gengsiku. Kamu melakukannya demi adik- mu. Demi aku. Karena itulah aku mendobrak semua pintu kesulitan yang aku temui. Melawan kebodohan yang menari-nari di sekelilingku. Membuang kebimbangan akan esok hari. Aku berpacu dengan waktu untuk mewujudkan cita-citamu. Aku akan membuatmu bangga. Aku tidak akan gagal. *** Nampan pengharapan yang lebih besar. Yang isinya tatakan kue kehidupan yang lebih nikmat. Yang harganya berkali-kali lebih mahal dibandingkan kekayaan. Semua sudah ada di hadap- anku sekarang. Kamu yang menghadirkannya melalui kumpulan tenaga dan rentetan doa. 281
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Aku cukup bersyukur. Tapi kamu selalu mengatakan bahwa aku tidak gagal. Seti- daknya hidupku hari ini jauh lebih baik. Aku tidak menyesal ka- rena kerja kerasmu. Ada harga mati tentang mimpi dan cita-cita. Tidak semua hal yang diinginkan bisa terwujud, sekeras apapun aku berusaha. “Percayalah Sur. Tidak ada satu pun yang sia-sia. Baik atau buruk, semua hal, sekecil apapun itu akan diperhitungkan dan dikembalikan padamu.” Bukankah Tuhan selalu memberikan imbalan atas apa yang kita kerjakan dan usahakan? Hanya saja, takaran manusia dan Tuhan berbeda. Itu sebabnya hasil yang kuharapkan tidak ku- dapatkan hari ini. *** Langit sore malu-malu menunjukkan semburatnya. Menyi- sakan sepotong kenangan dan sejarah. “Sayang sekali aku hanya menjadi guru. Tidak bisa menjadi dokter, presiden, hakim, desainer. Tidak ada satu pun mimpimu yang bisa aku wujudkan. Maaf ya.” Kamu tersenyum menatapku. “Aku akan tetap bangga menjadi kakakmu. Bagaimanapun kamu sekarang.” Aku menghela nafas panjang, “Ya, tapi tetap saja aku hanya seorang guru.” “Jangan disesali, Sur.” Gelap mulai menampakkan perannya. Burung-burung ter- bang ke arah selatan untuk pulang. “Mungkin kalau aku berusaha lagi masih ada kesempatan untuk menjadi salah satu di antara banyak profesi impianmu.” Kamu menggeleng sambil tertawa kecil. “Apa kamu tidak sadar? Kamu sudah menjadi semuanya. Karena guru adalah satu-satunya profesi yang menciptakan pro- fesi lain. Jadi berbanggalah.” 282
Langit Merah Biodata Penulis Suci Nurani Wulandari lahir di Sleman, 10 Mei 1994. Berse- kolah di SMA Negeri 1 Mlati, Sleman. Alamat sekolah di Ce- bongan, Tlogodadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta 55286, telepon (0274) 865856. Alamat rumah di Plaosan, Tlogodadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. No. Hp 085643338861/083869111324 283
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 MEI Brigita Engla Orang memanggilku Gery. Dulu aku masih sangat kecil. Dan mungkin karena itu aku tidak dapat mengetahui apa yang sebe- narnya terjadi pada keluargaku. Aku tidak bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada lingkungan dan tanah kelahiranku. Walau pada akhirnya, aku mendapatkannya, aku mengetahui ke- jadian itu dari ucapan-ucapan ibu maupun dari buku-buku yang kubaca di sekolah. Yang kumengerti dulu dan sampai saat ini kuingat, hanyalah sebuah kata ‘mei’ yang kata ibuku tinggal sebulan lagi aku masuk taman kanak-kanak, dan empat deret angka yang pernah diajar- kan kakak Ana sebelum aku masuk sekolah, deret angka utama pada tanggalan, satu, sembilan, sembilan, dan delapan. Kata orang maupun kata buku, kejadian itu sudah jadi bagian dari sejarah Indonesia, tempat lahir dan darah asliku. Tapi aku baru mengetahui sejarah ini dari mulut ibuku menjelang hari ma- tinya. Sejarah yang juga melibatkan ayah dan kakakku dulu. Cerita yang sudah menjadi bagian dalam peradaban perkampungan Bin- tara, tempat tinggalku. Maka cerita yang akan kupaparkan adalah cerita yang kualami pada masa lalu yang coba aku ingat. Juga cerita ibu dari cerita yang disampaikan ayah, yang diceritakan lagi kepadaku. Jadi, jangan permasalahkan bahasa yang menyang- 284
Langit Merah kut ingatanku. Ingat juga, dulu aku masih kecil dan tidak tahu apa-apa, walau sekarang aku sudah besar. *** Pertama, waktu itu yang kuingat adalah pagi. Pagi itu, aku dibangunkan oleh bunyi radio yang seperti biasanya dinyalakan ibuku. Aku tidak mengerti berita apa yang sedang dibacakan radio itu, tapi kudengar teriakan, kegaduhan, jeritan, bunyi pukulan dari berita itu. Ayah sudah mengeluarkan supercup-nya. Sudah sangat rapi dengan mengenakan jaket, topi, celana panjang, dan sepatunya yang mengkilap. Pun dengan kakak Ana yang sudah sangat cantik dengan seragam sekolah putihnya dan bawahan rok kotak-kotak merah. Rambutnya dikucir, cantik sekali. “Berangkat Tin!” suara ayah yang kudengar, berteriak pamit kepada ibu. Aku yang sedang bermain pun dipamiti juga. Aku mencium tangan ayah dan kakak Ana yang wangi. Pagi-pagi me- reka sudah berangkat, ayah mengantar kakak Ana ke sekolah dan selanjutnya ayah menjaga toko seharian seperti biasanya. Aku melepas mereka dan aku masuk ke rumah meminta ibu meman- dikanku sebelum aku menyalakan tivi, menonton acara anak-anak yang dulu sedang mewabah. Satu hari kuhabiskan di depan tivi. Hari itu sudah lewat siang, aku merasakan hal yang aneh dengan orang-orang di dekat rumahku yang sehari penuh menu- tup pintu rumah mereka. Mereka seperti menutup diri terhadap rumahku. Tapi perasaan itu hanya lewat sejenak, ingat, aku dulu masih kecil dan aku tidak mengerti apa-apa. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara gaduh, ramai sekali dengan suara warga. Ibu yang sedang bersamaku sontak kaget dan keluar rumah. Suara itu makin mendekat ke arah ru- mah. Dan ternyata benar, banyak orang menggotong ayah dan kakak Ana. Ketika keduanya dimasukan ke dalam rumah, aku melihat ibu menangis. Aku tidak tahu lagi, yang kutahu hanya pakaian ayah dan kakak Ana sudah lusuh, kotor, dan robek. 285
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Setelah ayah terbangun, ayah menangis melihat kakak Ana yang belum sadar. Ibuku kemudian menanyakan apa yang terjadi, mungkin. Keduanya menatap aku tidak percaya, makanya mereka masuk ke dalam kamar. Dan setelah itu aku tidak tahu apa-apa, hanya menunggui kakak Ana bangun. Setelah kejadian itu, aku melihat ayah terus menerus mu- rung. Wajahnya tidak seceria biasanya. Aku tidak pernah lagi di ajak bermain ke lapangan setiap sore. Pun dengan kakak Ana yang selalu menangis tidak jelas. Selalu saja mengurung diri. Jadi enggan bicara dengan ku, mengajariku membaca dan menulis. Yang pasti aku tidak lagi melihat motor bapak. Beberapa hari kemudian, aku mendapati ayah sedang meng- gantungkan tali tambang di tali lampu gantung kamarnya. “Ayah buat apa?” tanyaku polos, dan ternyata mengagetkan. “Oh, tidak hanya betulin lampu, Dik.” jawab ayah. Di siang hari, aku dan ibu masuk ke dalam kamar. “Ya am- pun.” suara ibuku mengagetkan. Ibu menangis. Aku melihat ke dalam, ayah sudah tergantung di tali tambang. Aku disuruh ke- luar ibu, dan tidak tahu lagi apa yang dilakukan ibuku. Yang kutahu, ayah kecelakaan saat membenarkan lampu. Malamnya, ketika aku mau masuk ke kamar kakak Ana, aku melihat kakak tertidur di atas kasur. Ada merah-merah, dan aku cari, itu berasal dari lengan kirinya. Ada silet yang tergeletak di lantai. Aku memanggil ibu agar melihat kakak Ana. Dan setelah melihatnya, ibu menangis. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Dan yang kutahu, keesokannya ayah dan kakak sudah ada di dalam peti, sudah tampan dan cantik, lalu dimasukan ke dalam tanah. Selanjutnya aku tidak melihat lagi ayah dan kakak Ana. Ibu aku lihat menangis terus di sampingku. *** Duabelas tahun kejadian itu berlalu. Ibuku, sudah lama jadi sakit-sakitan. Di saat ibu sakit itulah, aku diberitahu kejadian- kejadian yang sebenarnya terjadi dulu. Kejadian yang sering di- tutupi karena dulu aku masih kecil. Kata ibuku, ayahku dulu 286
Langit Merah sengaja bunuh diri lantaran depresi tidak lagi bisa berpenghasilan. Fisiknya jadi lemah dan tokonya dibakar habis. Kakak Ana sengaja memotong urat nadi di lengan kirinya dengan silet lantaran tidak tahan dengan malu dan dengan janin yang sedang dikandungnya. Ibu memperlihatkan surat dari ayah kepadaku yag isinya minta maaf. Ibuku juga menceritakan apa yang terjadi saat hari pada ayah dan kakakku. Aku mendapatkan cerita ini dari ibuku. Ibu mendapatkan kenyataan ini dari ayahku. Maka yang aku ceritakan adalah cerita yang dikeluarkan dari suara ayah yang bercerita. *** Saat itu ketika berjalan di samping jalan tol Bintara, jalan- jalan setapak sepi sekali dan pintu rumah-rumah warga masih tertutup. Aku berjalan di tengah-tengah situasi itu perlahan de- ngan motor aku memboncengi Ana. Tidak ada masalah. Baru sampai di pertigaan bawah jembatan tol, aku bingung. Mobil-mobil truk bak terbuka yang diisi orang-orang berkaos preman. Motor-motor yang sebagian motor besar dikendarai dengan liar. Banyak yang melempar kayu berapi, dan membawa jerigen minyak. Aku tidak paham apa yang terjadi. Anak-anak muda kampung sangat liar berlari-larian. Begitu juga dengan laki- laki tua lainnya. Aku sempat melihat ketika kereta penumpang diesel yang lewat cakung pagi itu, dilempari batu-batu dan kayu balok yang telah disulut dengan api. Mereka melakukannya be- gitu cepat. Jalan-jalan masih tanah lembek dan berbatu. Aku tidak melihat akankah ada korban di dalam kereta tersebut. Pandangan- ku masih ke kereta itu. Aku mengubah pandangan karena aku berbelok kekiri menuju ke barat. Aku hanya kaget. Massa seperti sudah menung- guku lama sekali. Sekitar tigapuluh orang berjejer dengan pun- tung rokok di mulut mereka, membawa pentungan. Itu baru yang aku hadapi. Belum lagi yang sudah memenuhi jalan pasar pagi Bintara. Mereka menyuruh aku berhenti sambil menodongkan balok-balok yang mereka bawa. Aku dicegat. 287
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Heh lu berhenti!” suara seorang dari mereka. Kasar sekali. Maka aku berhenti dengan kaca helm yang masih tertutup. “Buka helm lu” suruh orang itu. Aku tidak mengerti, dan ha- nya mengikuti perintah mereka. Aku pun membuka kaca helm perlahan. “Orang cina kunyuk!” kalimatnya disertai tempelengan ke daerah pipi helm membuat kepalaku pasrah terpental. Aku masih bungkam. Aku seperti sudah menjadi incaran mereka sejak lama. Aku tahu suaranya didengar teman-temannya, karena setelah tem- pelengan itu, aku melihat langkah kaki yang kotor datang meng- hampiriku. Mereka melepas paksa helm yang aku pakai. Sakit, le- herku seperti dipatahkan. “Apa-apaan ini?” tanya aku heran sekaligus panik. “Diem aje lu cina, gak usah ngomong!” seorang lain dari mereka menyahut. “Tapi..” Bruukkk... Belum selesai aku bicara, mereka menonjok aku tepat di sam- ping telinga. Sakit, kaget, aku terjatuh tertimpa motor tuaku. Aku terkapar di jalan. Teringat Ana. Dia masih mengenakan helmnya rapi. Motor aku menimpa kakinya. Aku ingin menolongnya ba- ngun. Tapi tidak bisa, kakiku juga terlindas rem, sakit sekali. Aku melihat satu dari gerombolan itu, berjalan menuju ke Ana. Dia membuka dengan paksa helm yang Ana pakai. Kasar, sakit sekali pasti. “Woi, anaknya cina, cantik,” teriak orang itu dan mengun- dang teman-temannya. Ya ampun, mereka menuju Ana. “Ana, sabar,” nasihatku kepada Ana. “Ayah, aku takut,” ucapan Ana yang aku dengar. Tega sekali, mereka menyeret Ana yang masih terhimpit kakinya. Bisa aku rasakan sakitnya, karena seretan itu membuat motor terseret. “Ayaaahhh...” teriakan Ana kesakitan. “Hey, mau kalian apakan anak aku?” aku bertanya pada se- orang dari mereka. Tapi bukan jawaban malah tempelengan yang aku dapat dari belakang. 288
Langit Merah “Diem lu cina, bukan urusan lu!” jawaban dari orang itu. Aku melihat lagi ke Ana. Benar-benar tega, kancing-kancing kemejanya dilepas hingga terbuka dan robek jadi kotor warna pu- tihnya. Roknya dilucuti juga hingga robek. Aku tak tahan meli- hatnya. “Brengsek, Anjing kalian semua!” aku emosi, tapi itu makin menjadi-jadi. Ada orang dalam gerombolan yang mendengar. Menghampiriku. “Hei cina bangsat, gak tau diri lu!” suara mereka sambil me- maksa aku, menyeret kakiku yang tertimpa motor. Sakit sekali. Tempelengan itu datang lagi. Ke mata. Aku sempat melihat Ana telah ditelanjangi. Mereka semua telah mengambilnya dari anak- ku. Anakku itu tidak berdaya lagi. ‘Ayaahhh...’ teriakkannya ma- kin kecil tenggelam. Aku merasakan, pukulan-pukulan yang se- dang dilakukan orang-orang kepadaku. Mataku sudah hampir tidak bisa melihat. Telingaku jadi tuli, tanganku lumpuh. “Brengsek, anjing kalian semua.!” aku putus asa dan hanya bisa membuat mereka makin panas. Aku bodoh sekali waktu itu. “Tolong lepaskan anakku. Bunuh saja aku sekarang. Asal kalian tahu bahwa aku dan keluargaku orang Indonesia asli. Kami tidak tahu apa-apa tentang cina.!” lelah aku menjelaskan. Bukan pence- rahan tapi malah tonjokan di hidungku yang membuatku terpe- lanting. Kepala sudah kurasakan basah, mungkin karena darah. “Lu cina, mata sipit, jangan ngaku-ngaku orang Indonesia! Dasar cina bangsat.” seorang dari gerombolan yang mengepungku. “Sudah bakar saja sekalian dia!” seorang lainnya berteriak. Aku mendengar suara itu, dan hanya bisa pasrah. Sejenak dalam ketelungkupan, aku melihat ke arah pasar Bintaro yang sudah habis terbakar. Toko-toko di sebelah timur sudah dijarah karena pintunya banyak terbuka, dan dibakar habis. Tak ada lagi sumber nafkah karena toko obat yang aku kelola, habis. Tidak ada lagi hidup. ‘Hastin istriku, Ana, Gery, maafkan aku. Sudah berakhir.’ dalam hatiku memohon maaf karena se- bentar lagi aku kira akan segera mati. 289
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Seorang dari gerombolan menginjak mukaku dan menen- dangnya. Aku melihat Mardi temanku menjaga toko berjalan san- tai menuju aku. Aku tahu dia ada dipihak para gerombolan. Aku ingin memanggilnya, minta tolong, tapi sepakan tadi telah mem- buat pandanganku hilang. Aku kehilangan kesadaran, walau sakit masih bisa aku rasakan. ..... Aku baru sadar ketika sampai di rumah. Ketika terbaring dan membuka mata. Aku masih hidup. Aku merasa bersalah me- lihat luka-luka Ana di sekujur tubuhnya atau mungkin juga ba- tinnya. Penglihatan terakhir aku mungkin benar dan aku sangat yakin itu benar. Aku sangat mengenal dan dekat dengan Mardi. Dia teman dekatku, dan aku anggap sebagai adik sendiri. Mung- kin hanya dia yang tahu di Bintaro, aku adalah orang Jawa asli. Aku tidak pernah bilang ke siapapun. Mata dan fisik yang aku miliki ternyata menipu. Dia pernah bilang orang se-Bintaro me- ngenal dia dan sangat dekat. Walaupun aku tidak tahu apa yang dilakukan Mardi ketika dia datang, aku berpikir bahwa dia yang menghalangi pembakaran tubuh aku. *** Orang memanggilku Gery. Tiga bulan sudah aku hidup de- ngan pamanku di Pondok Gede tanpa ibu yang sudah tertidur di sebelah ayah dan kakak Ana. Aku dirawat dan disekolahkan pa- manku. Dia masih muda dan belum kawin. Sekarang aku sering berkunjung ke rumah ayah, ibu, dan kakakku di Kober dekat ka- wasan Pulo Gadung. Sekarang aku tahu dan memegang sejarah negaraku yang juga sejarah keluargaku. Sejarah punya kampung lamaku, Kam- pung Bintaro. Mungkin benar, karena dulu aku masih kecil aku tidak di- beritahu kejadian yang sebenarnya terjadi pada keluargaku. Hal ini lupa aku tanyakan ‘kenapa?’. Tapi tak apalah. Aku tidak ingin bersembunyi dari sejarah dan kenyataan. Aku ingin terus belajar, mempelajari sejarah negaraku. Banyak buku di perpustakaan dan 290
Langit Merah literatur masa itu, tapi belum kutemukan literatur sejarah tentang yang terjadi di Bintaro. Sekarang aku sudah besar, aku tidak mau ada yang menu- tupi masa laluku lagi. Aku cinta dengan negaraku, aku cinta de- ngan sejarahnya dan itu adalah sesuatu yang ingin terus aku pe- lajari karena aku adalah seorang anak, seorang Indonesia. Sekali lagi, aku bukan orang cina, arab, atau apalah, tapi aku ini orang Indonesia. Jadi jangan lagi bilang aku dan keluargaku cina. Kalau sampai tidak bisa membedakan, mungkin apa yang terjadi dulu akan terjadi padaku kini. Biodata Penulis Brigita Engla lahir di Yogyakarta, 21 September 1992. Kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Alamat rumah di Surokarsan, MG II/603, Yogyakarta. No. Hp:08995195299. Sur- el (E-mail): [email protected] 291
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302