Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 nakan padusan hendaknya diberikan pengertian mengenai mak- na filosofis yang tersimpan dan sejarah awal mulanya tradisi ini ada. Dari pemahaman tersebut kemudian dikembangkan bagai- mana seharusnya mereka melaksanaan padusan, apakah pantas jika padusan dilakukan di satu tempat yang sama antar lawan jenis, bila mereka paham maka akan berpikir ulang akan hal ter- sebut sehingga kehidmatan menyambut bulan Ramadhan tetap terjaga. Sosialisasi tidak hanya dilakukan di lingkungan masyara- kat tetapi juga di lokasi kegiatan. Edukasi juga diberikan pada para penyelenggara dan pengelola. Selain itu sosialisasi melalui media massa sangat bermanfaat pula karena akan membantu me- nyebarkan informasi tersebut secara efektif. Kerjasama dengan pemerintah dan ulama diperlukan untuk melaksanakannya se- hingga kegiatan padusan dapat dikemas menjadi wisata budaya yang edukatif. Tantangan dimasa kini adalah bagaimana menge- mas padusan tersebut sebagai budaya yang dilestarikan dengan memberikan nilai edukasi yang menarik perhatian pengunjung sehingga tidak hanya bersifat senang-senang tanpa makna yang bernilai. Implementasi makna filosofis tersebut harus dikembang- kan sesuai dengan aqidah Islam dan kondisi masyarakat yang selalu dinamis. Hal yang lebih diperhatikan dan difasilitasi dalam pelaksanaannya adalah implementasi dari uraian makna filosofis padusan dalam bentuk kegiatan positiv daripada acara mandi bersama belaka. Karena dalam fiqih-ibadah, mandi menjelang bulan Ramadan tidak termasuk ke dalam bentuk ibadah seperti mandi sunat ketika akan masuk ke tanggal 1 Syawal atau 10 Dulhijah maka mandi menjelang Ramadan adalah mandi biasa seperti mandi setiap hari untuk bersih-bersih biasa,sehingga mandi dengan seperti ini bersifat mubah (boleh) selama tidak melakukan hal-hal yang diharamkan. Padusan yang dikemas dalam wisata budaya dapat mem- berikan informasi sejarah penyebaran agama Islam khususnya di Pulau Jawa. Penyampaian informasi tersebut dapat dilakukan sebelum kegiatan padusan di lokasi tersebut dengan drama yang 192
Langit Merah menggambarkan dakwah di masa itu semenarik mungkin. Sebe- lum acara tersebut di mulai pengunjung perlu diberi penjelasan awal mengenai makna filosofis padusan yang dimaksud Waliso- ngo saat itu. Kemudian pengunjung dapat mengikuti drama yang diadakan. Suasana acara tersebut harus komunikatif dengan pe- ngunjung sehingga mereka merasakan situasi di zaman dahulu. Ketika drama berlangsung dapat disisipi dengan dakwah khusus- nya mengenai hal yang perlu dipersiapkan dalam menyambut Ramadhan dan doa oleh ulama atau ustad sehingga rangkaian acara padusan tersebut memiliki nilai dakwah pula. Padusan di acara tersebut merupakan bagian dari jalan cerita drama. Ketika kegiatan padusan berlangsung, tempat padusan laki-laki dan pe- rempuan harus dipisahkan dan diberikan bilik bagi setiap orang sehingga tidak saling memperlihatkan aurat.Hal tersebut juga ber- tujuan agar sesuai dengan makna filosofisnya dan aqidah Islam. Seusai mandi di sungai atau kolam dilanjutkan dengan kegiatan yang positiv antara lain saling bermaaf-maafan dan pembagian sembako atau bentuk sodakoh lainnya pada yang tidak mampu, dan pengisian infaq bagi anak yatim. Kegiatan tersebut dapat di- kembangkan dengan kegiatan lainnya yang mencerminkan mak- na filosifis padusan. Untuk lebih menarik perhatian pengunjung dapat diadakan panggung nasyid, pameran kuliner halal dan pro- duk UKM dengan harga yang lebih murah.Pengunjung tidak ha- nya mendapatkan ilmu yang didakwahkan namun juga merasa- kan kebersamaan dengan para sanak saudara dan kerabat. Rang- kaian kegiatan padusan tersebut dapat memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa niat datang ke padusan tersebut bukan untuk padusan secara amaliah di air tetapi lebih mengutamakan kegiatan nyata yang dapat mensucikan hati oleh karena itu ke- giatan ini membutuhkan fasilitas yang mencukupi dan keamanan yang terjamin agar pelaksanaannya berjalan dengan lancar dan tertib. 193
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 III. Penutup Padusan merupakan salah satu kekayaan budaya masyara- kat jawa yang merupakan simbol membersihkan diri secara lahir batin dalam mempersiapkan Ramadhan. Padusan menjelang Ra- madhan memiliki makna filosofis dan sejarah yang bernilai. Mak- na tersebut memiliki arti membersihkan diri secara lahir batin yang melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan dan sesa- ma makhluk-Nya. Pelestarian dan pemeliharaan kegiatan ini be- serta makna filosofisnya sangat diperlukan agar pelaksanaannya sesuai dengan aqidah Islam dan kondisi masyarakat saat ini. Ka- rena pelaksanaan padusan saat ini mulai bergeser dari makna filosofis dan aqidah Islam maka perlu dilakukan perbaikan oleh kita semua. Maka dari itu itu diperlukan kerja sama yang solid antara masyarakat, pemerintah dan ulama. Agar dalam melurus- kan pemahaman padusan seperti yang diinginkan para Wali da- hulu maka kegiatan ini lebih ditekankan pada Implementasi mak- na filosofi padusan dalam kegiatan positiv dan pelaksanaan man- di padusan di tempat terpisah antara laki-laki dan perempuan, disertai bilik bagi tiap orang karena mandi tersebut bertujuan un- tuk meningkatkan kebersihan diri agar nyaman ketika menjalan- kan ibadah di bulan Ramadhan. Dengan demikian padusan tetap bagian integral budaya lokal yang diislamkan. Padusan dapat dikatakan budaya yang Islami ababila sesuai dan relevan dengan syariat Islam. Tradisi padusan tersebut dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan memberikan inspirasi pada manusia bahwa manusia diciptakan sama sebagai makhluk dihadapan Allah. Biodata Penulis Tami Eka Wati tinggal di Kaliabu Kidul RT 04/RW 13, Banyu- raden, Gamping, Sleman, Yogyakarta. No. Hp: 08132836617 194
Langit Merah NASKAH-NASKAH CERPEN Tahun 2011 195
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 196
Langit Merah BAPAK BUKANLAH OMBAK Kartika Nurul Nugrahini Deburan ombak berhambur ke daratan, mendesir-desir dan mendentum tatkala bertabrakan. Di atasnya, burung-burung ber- terbangan menyambar ikan yang muncul di permukaan air. Irama ombak, indahnya daratan, serta riuhnya burung-burung tak serta merta menghilangkan pikiranku dari sosok seorang lelaki. Tanpa menunggu datangnya panggilan, sosok lelaki bertubuh hitam menghampiri pikiranku. Dia lelaki yang mengajariku tidak ba- nyak bicara selain bertindak. Lelaki itu kini tengah berbaring di ranjang reyot. Tak berselang, datang pula bayangan dinding beru- pa tempelan bata merah. Di kotak-kotak itu terdapat belasan, bah- kan mungkin puluhan kata tertulis menggunakan kapur putih. Setiap malam bapak mengajariku bagaimana cara menulis huruf yang aneh dan kata apa yang terbentuk olehnya. SAPI, BAPAK, MACAN, IBU, SAPU, BUKU, dan deretan kata lain. Ada tulisan yang tersusun rapi, tetapi ada juga yang tidak. Itulah coretan je- mari mungilku. Aku belum tidur jika belum menengok kotak- kotak itu. Karena, bagiku kotak-kotak itu adalah pintu utama un- tuk menemui mimpi yang indah. Suatu ketika, aku dan kakak tidur hingga larut malam. Mung- kin sekitar jam sebelas. Kami tidak tidur karena tidak ada yang menemani. Bapak sedang meronda. Biasanya bapak meminta to- long kepada Yu Marni untuk menemani tidur kami. Tetapi entah 197
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 kenapa dia tidak datang malam ini. Rumah kami tidak berjauhan, mungkin hanya sebelas meter. Tetapi kami tidak memiliki kebera- nian untuk menyusul. Aku dan Kak Dita hanya mengerjap-kerjap- kan mata. Guling sana guling sini ditemani rengekan jangkrik dan binatang malam lain. Aku ikut merengek karena takut. Kak Dita, yang pada waktu itu masih berumur delapan tahun mencoba menenangkanku. Dia menceritakan kegiatan yang dila- kukan seharian itu. Setelah habis menceritakan dirinya, dia me- lempar pertanyaan kepadaku tentang apa yang aku lakukan se- harian itu. Aku bercerita dengan terbata-bata. Maklum, aku masih berusia enam tahun. Lambat laun, kurasakan juga kantuk itu. Aku dibawa terbang oleh dewi mimpi. Kulepaskan segala kele- lahan yang kudapat dari jalan, kebun dan halaman tetangga. Ketika kelelahan belum kulepaskan secara tuntas, …”Aaa!”. Kakakku menjerit! Seketika itu aku terjaga dari tidur. Kudapati ia menangis sambil melotot ke arah jendela. Aku mengikuti arah pandang matanya. Ada makhluk besar yang mengintai dari balik jendela, kemudian menerobos masuk kamar. Kami menjerit bersa- maan. Rasa takut tidak dapat kami hadapi. Kami sudah panas- dingin dan gemetaran. Entahlah, sosok itu lebih menyeramkan dari bapak. Kueratkan pelukan ke tubuh Kak Dita, begitupun dia. Kami bersembunyi di balik selimut berwarna hitam. Semua air mata kami tumpahkan sehingga membuat bantal menjadi basah. Naluriku sebagai anak yang baru saja lepas balita, sangat ingin mendapatkan perlindungan orang tua. Tetapi Bapak belum juga menolong kerena biasanya setelah meronda, bapak langsung menjemput ibu. Iya, ibuku bekerja sampai larut jika mendapat giliran jaga malam. Bapaklah yang selalu menjemput di tempat ibu bekerja. Pada waktu itu gaji guru tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, apalagi bapak harus membayar cicilan mo- tor. Menderitanya hidupku ini. Kami menangis hingga akhirnya terdengar suara kunci pintu. Pastilah itu suara tangan ibu yang membuka kunci. Tetapi kami tidak mendengar suara motornya. 198
Langit Merah Mungkin sudah dimatikan sebelum masuk kampung karena takut suara motor yang seperti mesin gergaji itu menganggu para te- tangga yang sudah lelap. Mendengar kedua anaknya menangis, ibu berjalan cepat un- tuk mengetahui penyebabnya. Pintu yang tadinya hanya memper- lihatkan sebagian dari kamarku, kini terbuka lebar sehingga mem- buat udara dingin masuk diantar nyamuk-nyamuk. Malam itu mulut kami masih kaku seperti ada es yang memenuhinya. Hanya tangis yang lambat laun berhenti ditemani belaian seorang ibu yang sangat lemah lembut. Aku duduk di pangkuan. Tangan kiri- nya mengelus kepalaku, sedangkan yang kanan untuk memijit kaki Kak Dita. Seharusnya kami yang memijit ibu. Beliau pasti sangat lelah. Bekerja banting tulang demi kata cukup. Meskipun usianya termakan waktu, wajahnya selalu bening, sebening em- bun pagi yang ditangkap matahari. Malam itu semuanya terlihat berbeda. Wajah ibu lebih pucat dan kusam. Rambutnya yang dipotong pendek tidak dapat menu- tupi telinga yang tanpa anting. Emas itu dijual ketika kenaikan kelas Kak Dita. SPP menunggak hingga enam bulan. Memang, pada masa itu SPP hanya sepuluh ribu setiap bulan. Tetapi apalah artinya sepasang anting yang dijual itu? Uangnya tidak cukup untuk memenuhi semua kekurangan. Hutang sana-sini sudah ibu lakukan meskipun sebenarnya ibu tidak ingin memiliki hu- tang yang menumpuk karena takut tidak dapat mengembalikan. Sebenarnya, bukan belaian ibu yang meredakan tangsiku. Tetapi karena bapak mengambil sapu lidi yang siap dilayangkan ke arah tubuh kami, aku dan kakakku. Bapak tidak pernah melukai ibu. Saat aku memandang ibu, yang kulihat hanya tatapan iba. Kami tahu, ibu sangat ingin mem- bela kedua putrinya.Tetapi gambaran seorang kepala rumah tang- ga yang ganas mengalahkan rasa ibanya. Dia buang jauh-jauh perasaan itu agar kami tidak berharap. Andai saja waktu itu ada bidadari cantik yang akan mengubah bapak menjadi badut, tentu aku akan bergelak tawa. Atau paling tidak, ada seorang peri yang 199
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 mengubah bapak menjadi lelaki berwajah tampan dan berhati tampan pula. Tetapi semua itu tidak terjadi. Aku hanya terlalu banyak bermimpi dan berharap mimpi itu suatu saat akan men- jadi bagian dari cerita nyata di hidupku. Malam itu sangat kelam. Cahaya-cahaya lampu membuat hati semakin menciut karena buram, bahkan hampir mati. Pelan- pelan, Kak Dita menceritakan apa yang baru saja terjadi . Kak Dita terpejam, entah mengapa. Tidak lama kemudian, “Aaa!! Ibu, takut!!” Pecahlah tangisan yang meledak-ledak karena listrik padam secara tiba-tiba. Kini, tidak hanya rumah kami yang gelap, tetapi juga semua rumah di kampung. Kejadian ini bukanlah hal asing lagi bagi para warga. Hampir setiap malam dilakukan pemadaman. Padahal kami selalu membayar langganan listrik dengan tertib. Katanya, energi disimpan sebagai warisan untuk anak-cucu. Pagi harinya bapak berkata, “Yang kalian lihat semalam bukan maling, tetapi salah satu penunggu rumah kita, mungkin. Mereka tidak akan mengganggu kelangsungan hidup kita jika memiliki keteguhan iman. Tertibkan salat wajibnya. Jika ada wak- tu, luangkan untuk berjamaah ke masjid. Tidak usah menunggu Bapak atau Ibu yang menyuruh. Besok kalau kalian rajin salat, setan-setan pasti takut untuk mendekati rumah kita karena peng- huninya adalah anak-anak manis yang taat kepada Allah”. Aku menatapnya dengan pandangan kosong karena tidak mengerti dengan apa yang dikatakan. Kak Dita mengangguk ber- kali-kali. Makhluk yang selalu dianalogikan dengan wajah buruk rupa, besar dan jahat itu sudah aku lihat. Aku menjadi teringat kepada perkataan guru mengajiku bahwa Allah menciptakan ke- hidupan lain selain di bumi. Dan satu-satunya yang muncul dipi- kiranku adalah setan. Bukan tumbuhan atau hewan. Mengapa aku tidak memilih alien? Karena aku belum mengenal istilah itu. Dalam hati aku selalu bertanya, apakah maksud bapak meng- angkat sapu lidi dan bahkan sering memukulkan ketubuhku dan kakakku? Sejahat itukah dia? Sekasar itukah cara dia mendidik 200
Langit Merah anaknya? Bahkan aku sempat berpikir bahwa bapak satu saudara dengan setan. Masa kecilku memang tidak berkecukupan. Dan aku tidak pernah sama dengan teman sejawat. Misalnya saja, jika dengan leluasa mereka memakan mi instan tanpa direbus, aku harus mengambilnya secara sembunyi-sembunyi dari dapur dan kemu- dian aku bawa lari ke kebun yang jaraknya seperempat kilometer dari rumah. Itupun jika ada persediaan di dapur. Aku memakan- nya bersama teman-teman perempuanku di kebun jambu biji yang salah satu pohonnya roboh. Pohon jambu biji memiliki batang yang kuat dan lentur. Kami selalu bermain ayunan di atasnya. Jika pohonnya berbuah, kami akan memetiknya meskipun masih keras. Terkadang kami juga bermain di pohon jambu monyet. Tetapi tidak untuk ayunan. Karena meskipun batangnya besar dan berwarna coklat tua, ia tidak mampu menahan beban yang berat. Satu hal yang selalu aku ingat, aku tidak pernah memakai celana panjang atau rok karena kulitku sudah licin. Apa hubung- annya? Karena dikebun itu ditumbuhi tanaman yang jika bunga- nya sudah mengering, maka akan lancip seperti paku. Jika menge- na kulit pasti akan terasa sakit dan agak gatal. Panasnya matahari membakar kulit yang sudah sawo ma- tang. Selain tidak leluasa memakan mi yang masih mentah, aku juga tidak memiliki sepeda kecil seperti milik Rina, Wati ataupun Dewi. Mereka memiliki sepeda yang bagus. Milik Rina berwarna biru, Wati berwarna merah muda dan milik Dewi berwarna ku- ning. Aku selalu berharap kelak bapak akan membelikanmu se- peda baru yang berwarna merah atau hitam. Setiap hari mereka bersepedaan menyusuri jalan desa atau mengelilingi lapangan. Dan aku berlari, berlari dan berlari. Mengejar agar tetap bersama. Ibu tidak pernah tahu penderitaanku. Ia selalu bekerja, bekerja dan bekerja. Kalau bermain petak umpet, aku selalu menjadi pen- jaga. Mereka selalu bergerombol dan bermain curang. Iya, para lelaki di desaku tidak pernah mau menerimaku menjadi teman yang baik. Bahkan mereka memprovokasi teman-teman perem- 201
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 puan. Aku selalu menangis. Kak Dita pun tidak bisa menolongku karena dia harus ikut bersembunyi. Aku tahu, mereka seperti menyekap Kak Dita agar tidak muncul untuk mengalah. Karena emosi yang tidak tertahankan, aku berlari pulang masih dengan tangisan. Jika mereka mengetahui niatku, mereka akan mengejar dan menyorakiku. Tangisku semakin menjadi. Tapi mereka tidak juga punya hati. Di mana Rina, Dewi dan Wati ketika aku diper- malukan dan diinjak-injak hatiku? Persahabatan monyet, mereka melupakan janji yang berucap dan mengikat. Di rumah, aku masih menangis. Rasa sakit hatiku belum hilang. Melihat anaknya yang cengeng, lagi-lagi monster rumah tangga mengambil sapu lidi dan mencambuknya dipungggngku. Sakit sekali. Tapi kesakitan itu membekap mulutku. Air mata mengalir di pipi yang memerah menahan sakit hati dan raga. Di- pukulnya aku sekali lagi, tetapi di kakiku yang masih kotor. Aku menutup muka dan menelungkup. Tidak lama kemudian, Kak Dita datang dan memelukku. Ternyata dia juga menangis meskipun belum dicambuk. Sapu itu melayang dipunggung Kak Dita. Semua gara-gara aku. Setelah memukul, bapak keluar dari kamar entah akan pergi kemana. Kak Dita mengelus-elus punggung dan kakiku yang dicambuk. Sebenarnya aku lelah menangis. Hampir setiap hari aku menangis. Semua itu tidak akan terjadi jika bapak tidak memukulku, semua itu tidak akan menimpaku jika aku tidak bermain dengan bocah-bocah curang. Tangisku berhenti ketika aku tertidur. Ketika aku terbangun, lampu redup sudah menyala, suara azan dikumandangkan. Mungkin azan maghrib. Ibu datang dan menyingkap bajuku. Dia melihat bekas cambukan itu. Memang tidak luka, tetapi memerah. Ibu tidak pernah mencium kening atau- pun pipiku. Tetapi aku tahu kalau dia sangat mencintaiku. Itulah kehebatan seorang ibu. Ibu mencintaiku dibandingkan bapak. “Bu, aku belum mandi”. Tanpa aku bilang pun sebenarnya ibu tahu bahwa aku belum mandi. Dia sudah merebus air. Setelah mandi, ibu memberiku 202
Langit Merah sebutir jeruk. Jeruknya tidak mulus. Ada satu bagian yang busuk. Kata ibu, itu tidak busuk, hanya bonyok karena terlalu masak. Di lain waktu ibu memberiku buah pear atau apel. Pasti ada bagian yang terlalu masak. Aku tidak menyebutnya bahwa buah itu ham- pir busuk. Hanya sedikit bonyok. Bapak tidak pernah memberi kejutan kecil membahagiakan seperti itu. kejutan yang ia beri hanya cambukan. Bapak jarang berkata, melainkan sering bertin- dak. Itulah hal yang aku benci dari dia. Mengapa dia tidak bisa berkata lembut seperti ibu? Mengapa dia tidak memiliki wajah bening, sebening wajah ibu. Di lain kesempatan, Kak Dita berkata kepadaku, “Dik, aku bilang sama ibu kalau Bapak sering memukuli kita ketika ibu se- dang bekerja. Aku juga bilang kalau kamu ingin memiliki seorang kakek yang kaya sehingga dapat meminta uang untuk membeli chiki atau es lilin. Aku ceritakan semua kepada ibu waktu kamu tidur”. Aku tidak merespon semua perkataan itu. Masih terlalu kecil untuk meraba ketidakadilan yang melekat dihidupku. Kakek? Aku lupa kalau ternyata masih memiliki seorang ka- kek di sini. Dia tidak pernah hadir di langkah-langkahku. Setelah Kak Dita mengingatkanku tentang seorang kakek, aku mencari rumahnya yang berada di samping rumahku. Aku masuk mele- wati dapur. Ruangannya gelap dan masih bertanah, seperti ru- mahku. Tetapi rumah kakek lebih menyeramkam. Sawang tertem- pel di langit-langit dan sudut ruang. Lampu teplok mengayun di gantungannya. Ketika aku mencari, dia tidak ada. Betul bukan, kakek tidak pernah ada untukku meskipun ia masih hidup. Aku mengambil gelas di rak, kemudian menuangkan air teh. Pahit. Mungkin kakek kehabisan gula pasir. Teh itu aku ganti dengan air putih. Setelah meminumnya, aku meletakkan gelas dan berlari keluar mencari teman bermain. Aku ke rumah Rina, tetapi ter- nyata dia sedang tidur siang. Dewi sedang diajak saudaranya ke kebun binatang. Wati? Aku tidak terlalu suka dengannya. Dia sangat usil dan congkak. Aku memilih pulang untuk tidur siang. 203
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Aku tertidur sangat lama. Samar-samar aku mendengar bentakan dan teriakan hebat. “Apa kamu tidak bisa bersikap lembut kepada anak-anak? Mereka semua anak yang baik, tetapi kamu selalu melakukan kekerasan untuk menghukum sedikit kesalahan yang wajar dila- kukan oleh anak seumurannya. Apakah dulu Bapakmu juga memperlakukan kamu seperti itu? Mana, mana bekas cambukan itu? Anak-anak sudah cukup bisa mengingat apa yang setiap hari kamu lakukan. Jika kamu tidak berhenti memperlakukannya se- perti itu, mereka akan trauma dan kesalahanmu akan mereka ba- wa sampai mati. Tinggalkanlah kesan yang baik agar mereka menghormatimu bukan karena takut, tetapi karena sayang!” “Mereka anak-anak yang nakal! Kerjaannya hanya bermain dan menangis. Aku juga mengajari mereka banyak hal, bukan? Setiap sebelum tidur, aku melatih mereka untuk membaca dan menulis, meskipun hanya di tembok”. Terdengar suara sanggahan dari bapak yang nada suaranya lebih tinggi. Haruskah orang dewasa menyelesaikan masalah dengan teriakan dan bentakan? Apakah orang tua Rina, Wati dan Dewi juga sering bertengkar seperti ini? “Apakah hanya itu yang dapat kau berikan? Dari dulu, sikap- mu tidak pernah berubah! Aku sudah tidak mampu lagi memper- tahankan rumah tangga ini! Kembalikan aku ke orang tuaku. Akan aku bawa anak-anak”. Perkataan ibu sangat mengagetkanku. Aku menangis karena tidak tahu permasalahan yang sebenarnya. “Mbak Dita, bawa tas- nya keluar. Ayo kita ke rumah simbah di Solo. Kamu sudah lama tidak berkunjung, bukan?” kata ibu dengan suara rendah. Aku duduk di bibir kasur, menunggu apa yang akan ibu lakukan. Aku melihat bapak berjalan ke arah pintu dan mengun- cinya. Ibu berkata “Bobo, Dik”. Tetapi aku hanya menggelengkan kepala. Tidak mungkin aku dapat tidur dalam situasi seperti ini. Aku, Kak Dita dan ibu 204
Langit Merah berdiam diri di dalam satu kamar. Sedangkan bapak keluar untuk ronda, kata ibu. Ini baru selesai maghrib. Sebenarnya mau kema- nakah bapak? Kami dikunci di dalam rumah. Aku melihat ibu menundukkan kepalanya. Dia meneteskan air mata. Mengapa? Kami bertiga menangisi kejadian malam itu. Kak Dita masih me- meluk tas berisi baju-baju. Setelah pertengkaran hebat itu, Bapak lebih sering mengajak kami ke masjid. Kami tidak pernah melihat lagi ia mengangkat sapu atau sekedar membentak. Tidak pernah kami rasai lagi ke- sakitan di tangan, kaki ataupun punggung. Telinga kami juga tidak memerah. Seiring menghilangnya kebiasaan bapak, aku juga membuang jauh rasa benci dan takut kepada makhluk itu. Keben- cian itu seperti ombak yang berlari ke arahku, tetapi kembali di- lempar ke lautan. Jika aku ditanya “apakah kamu belajar meng- arungi kehidupan dari ombak?” Maka aku akan menjawab, “Ya. Aku selalu memandang lautan di kala senja setelah badan bapak ambruk dimakan usia. Dari perenunganku ini, aku mendapat pe- san dari alam agar aku belajar dari ombak. Bukan belajar dari sesuatu yang hidup karena yang hidup selalu mencari kekurang- an. Senja juga mengajariku untuk menutupi segala keburukan yang dimiliki orang lain,” kataku tanpa pikir panjang. “Keburukan orang lain? Mengapa kamu hanya menutupi- nya, buang saja semua keburukan orang lain. Maka pikiran kita akan berkurang,” kata seorang lelaki yang tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Apakah tadi aku berkata dengan keras? “Tidak, aku lebih suka menutupi dan menyimpan keburuk- an orang lain karena dari hal itu aku akan selalu mengingat mana yang baik untuk aku lakukan dan mana yang harus aku jauhkan. Aku sudah merasai semua kesakitan hidup, dan aku tidak mau jika orang lain merasakannya karena tindakanku,” sanggahku se- ketika. “Baiklah. Apakah kamu belajar sesuatu juga dari Bapakmu? Tadi kamu menyebut namanya”. 205
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Tidak, karena Bapakku hidup,” lelaki itu tercengang ketika mendengar jawabanku. Baru aku ketahui belakangan bahwa lelaki yang menghidupi keluargaku itu bukan bapak kandungku. Bapakku meninggal tan- pa sebab yang pasti. Setelah mengetahui silsilah bapak tiriku, si- kapku tidak berubah. Tidak semakin benci, tidak juga me- maklumi. Mungkin Kak Dita sengaja tidak pulang ke Jogja karena tidak ingin menemui bapak meskipun dia belum mengetahui bah- wa bapak yang sekarang bukanlah induk kami yang sebenarnya. Kakakku bekerja di Gorontalo. Dia terlalu sakit hati. Selain meng- alami kekerasan fisik, bukankah dia juga mengalami kesakitan psikis. Dia sakit hati bukan karena bapak sering memukulnya, tetapi karena memukulku. Itulah isi surat terakhir yang dikirim- kan Kak Dita lima tahun yang lalu. Senja itu aku akhiri dengan percakapan singkat. Ombak berbisik kepadaku agar aku segera pulang. Burung-burung seperti mengantarku sampai ke parkiran motor seakan menyuruhku kembali menatap dunia. Biodata Penulis Kartika Nurul Nugrahini lahir di Sleman, 12 Desember 1991. Bersekolah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Karangma- lang, Yogyakarta. Alamat Rumah di Nglinggan RT 05/ RW 53, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta. No. Hp: 085643211291/081392050112. Sur-el: [email protected] 206
Langit Merah HATI YANG MENUNGGU Anita Amelani Wartini duduk gelisah menatap jalan berbatu depan rumah- nya. Burung-burung emprit terbang berkelompok kembali ke pera- duan, melintasi langit yang berlatar belakang semburat jingga ke- merahan di ufuk barat. Angin kering musim kemarau berhembus sepoi-sepoi menggoyangkan pucuk-pucuk daun pisang. Sudah tiga minggu ia kembali dari merantau di Jakarta, na- mun yang ditunggu tidak datang jua. Matanya yang sendu itu pe- nuh harapan agar sang kekasih tak ingkar janji. Jika satu minggu lagi orang itu tidak datang, Wartini sudah membulatkan tekadnya untuk menerima pinangan Mas Suroso tempo hari. Ya, ia akan menerimanya, tidak ada pilihan lain. Mas Suroso juga lelaki yang baik, dan yang paling penting sudah punya penghasilan tetap, anak dukuh pula. Seminggu berlalu sudah, Danang, kekasih Wartini di Jakarta, tidak datang menyusul Wartini ke rumahnya untuk meminang dirinya. Pagi itu Wartini memutuskan untuk memberitahu bapak bahwa ia setuju untuk menikah dengan Mas Suroso setelah sema- laman menangis tanpa henti. Wartini sebenarnya hanya ingin meni- kah dengan Danang, tapi apa daya, Danang ingkar janji. Wartini menyimpan sebuah alasan kuat mengapa ia harus segera menikah dalam waktu dekat ini. 207
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Tanggal akad nikah Wartini dan Mas Suroso sudah ditetap- kan. Semua orang merasa bahagia, kecuali Wartini. Para tetangga mengatakan Wartini beruntung bisa menikah dengan Mas Suroso, seorang lelaki terhormat. Tapi sebenarnya tidak bagi Wartini. Ia tidak mencintainya calon suaminya itu. Empat hari sebelum pernikahan. Malam itu Wartini merasa mual, masuk angin. Ia tidak nafsu makan. Emaknya sudah me- nyuruhnya kerokan, tetapi tetap saja ia muntah-muntah. Akhirnya bapak memanggil Mbah Sitar, dukun pijat kampung, untuk me- mijat Wartini karena sebentar lagi ia harus benar-benar sehat saat menjalani acara akad nikahnya sendiri. “Coba tengkurap dulu, Nduk,” ujar Mbah Sitar dengan mi- nyak di tangan sudah siap memijatnya. Wartini menurut. Badannya lemas sekali. Seharian ia tidak makan. Sementara itu Mbah Sitar mulai memijat tengkuk, lengan, punggung dan perutnya. Sampai di situ Mbah Sitar menghentikan pijatannya. Ia merasa ada yang aneh saat memijat perut Wartini. Rasanya gempal, keras, seperti berisi. Wartini... hamil? Mbah Sitar tidak percaya. Ia kembali memijat perut Wartini, tetapi memang itu yang dirasakannya. “Sudah selesai, Mbah?” tanya Wartini begitu Mbah Sitar menghentikan pijatannya. Mbah Sitar menatap Wartini dengan pandangan tak percaya. “Nduk, katakan, Nduk. Apa kamu... mbobot?” tanya Mbah Sitar Lirih, namun sudah cukup membuat Wartini merasa langit runtuh menimpanya. Sakit dan berat. “Ndak, Mbah. Kok njenengan bisa bilang begitu?” suara War- tini bergetar saat menangkis tembakan Mbah Sitar. “Jangan bohong, Nduk. Ingat, Simbah ini orang tua, lebih berpengalaman dalam tetek-bengek hal seperti itu. Simbah tahu tanda-tanda orang yang sedang hamil,” Mbah Sitar tidak begitu saja percaya pada jawaban Wartini. “Ndak, Mbah. Wartini ndak...” seketika itu juga tangis Wartini pecah. 208
Langit Merah Mbah Sitar tentu sudah tahu jawabannya. Ia meratap melihat nasib Wartini. Selama ini Wartini sudah berani membohongi orang tuanya dan menciptakan aib keluarganya, serta mencoreng nama kampung. Bapak dan emak Wartini masuk kamar mendengar kegaduh- an yang ditimbulkan oleh tangisan Wartini dan ratapan Mbah Sitar. “Ada apa ini, Tin?” tanya emaknya panik. Yang ditanya masih meneruskan tangisannya. “Mbah Sitar, wonten napa?” tanya emak Wartini beralih pada Mbah Sitar, panik. “Oalah Karto... anakmu iki... Wartini, Kar... dhuh, Gusti lelakon apa iki..,” Mbah Sitar tidak kuasa menahan tangisnya. “Wartini kenapa, Mbah? Ini ada apa?” Karto, bapak Wartini, bertanya bingung. “Wartini, Kar... Wartini mbobot...” Warga kampung geger mendengar berita kehamilan Wartini di luar nikah. Tentu saja, terutama keluarga Mas Suroso. Ada yang bilang Wartini hamil dengan Mas Suroso, ada juga yang bilang tidak mungkin Mas Suroso yang berani menghamili Wartini karena Wartini baru pulang dari Jakarta lima minggu yang lalu, sedangkan menurut kabar usia kandungan Wartini sudah mencapai delapan minggu. Tentu saja, Wartini melakukan perbuatan setan itu dengan orang di Jakarta. Dugaan kedua memang lebih masuk akal. Pagi itu juga Pak Dukuh, ayah Mas Suroso, bersama beberapa orang mendatangi rumah Wartini untuk mengklarifikasi berita yang beredar tentang Wartini. Orang tua Wartini tidak bisa berbi- cara banyak. Mereka juga belum tahu apa yang terjadi sebenarnya. Wartini tidak bisa diajak bicara. Dari semalam ia hanya mengurung diri di kamarnya dan menangis. Bila ditanya, ia hanya menggeleng, atau malah menangis semakin keras. Ibunya berkali-kali tidak sa- darkan diri. Menangis di pelukan Mbah Sitar, menyebut nama War- tini, mengelus-elus dadanya, dan meratap memanggil nama Tuhan. Untungnya, orang tua Wartini tahu hal paling penting untuk disampaikan kepada keluarga Mas Suroso, tetapi hal tersebut me- 209
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 rupakan tamparan hebat bagi keluarga Wartini. Wartini tidak ha- mil dengan Mas Suroso. Semalam Wartini mengakui bencana itu sambil bersimpuh di kaki bapaknya yang langsung shock, tidak bisa bicara apa-apa. Manusiawi, Pak Dukuh muntab mendengar hal tersebut. Na- mun belum sempat Pak Dukuh menyuarakan kemarahannya, tiba- tiba datang seorang lelaki muda tampan di balik pintu. Kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi dengan lengan yang terlihat kekar. Ia memakai kemeja coklat dan celana hitam, serta menggendong tas ransel di punggung. Sepertinya pemuda itu datang dari jauh, terlihat dari gurat wajahnya yang penat dan sedikit pucat. Pemuda itu sedikit terkejut mendapati banyak orang berwajah tegang di dalam rumah itu. Sedikit gugup, ia mengangguk dan tersenyum kepada mereka, yang dibalas tatapan heran dan ber- tanya-tanya oleh orang-orang itu. “Permisi, Pak. Maaf, betul ini rumah Wartini?” tanya pemuda itu sopan, logatnya jelas menunjukkan dia bukan orang Jawa. Lima orang laki-laki dan seorang wanita paruh baya di dalam rumah itu saling bertatapan. Kemudian wanita paruh baya berdiri mendekati pemuda itu di ambang pintu. Wanita ini tidak lain ada- lah ibu Wartini. Wajahnya pucat, matanya merah dan terlihat beng- kak yang sangat jelas di sekeliling matanya tersebut. Rambutnya yang telah memutih digelung sembarangan. “Anak ini siapa ya? Datang dari mana? Betul ini rumah War- tini,” ibu Wartini berkata pelan, suaranya serak. “Sssaya,” pemuda itu menelan ludah,” Saya Danang, Bu. Te- man Wartini dari Jakarta.” “Teman Wartini dari Jakarta? Ada apa jauh-jauh kesini men- cari Wartini, Nak?” tanya ibu Wartini heran. Danang gugup sekali. Seluruh pasang mata yang ada di rumah itu menatapnya. Danang merasa ada yang tidak beres yang sedang terjadi di sini. Tapi kepalang tanggung, ia ingin rasa bersalahnya pada Wartini segera lunas. 210
Langit Merah “Saya datang dengan maksud melamar Wartini, Bu,” kata Da- nang pelan, tetapi sangat jelas untuk didengar siapapun yang ada di ruangan itu. Tanpa diduga oleh Danang, seketika itu juga tangis ibu War- tini pecah. Wanita itu bersimpuh di lantai, istighfar. Bapak-bapak yang sedang duduk di tempat itu berdiri. Mereka terperangah men- dengar tujuannya untuk melamar Wartini. Danang tidak berani memandang orang-orang itu. “Jadi kamu, heh? Bocah edan yang menghamili Wartini? Wong kutha ra ngerti tata krama!” sembur seorang bapak yang sedari tadi terlihat paling tegang dan marah sambil menunjuk Danang dengan telunjuknya. Danang tertegun. Jadi mereka sudah tahu? “Saya... minta maaf, Pak. Saya datang kemari ingin bertang- gung jawab.” “Minta maaf, minta maaf! Tai kucing minta maaf! Dengar ya, Le, Wartini itu hamil sama kamu, tega-teganya dia minta menikah sama anakku! Berengsek! Dasar Wartini pelacur!” laki-laki itu tidak bisa menahan amarahnya. Wajah Danang yang dari tadi terlihat ketakutan, kini berubah tegang. Rahangnya mengeras. Matanya melebar memandang ayah Suroso. “Wartini... Akan menikah dengan anak Bapak?” Danang tidak bisa menyembunyikan nada marah dalam suaranya. “Tentu saja. Wanita pezina itu ndak tahu malu! Penipu! Aku ndak akan sudi punya menantu seperti dia. Ndak akan pernah!” kemudian ayah Suroso beralih memandang ayah Wartini dan ibu- nya yang masih meratap itu bergantian. “Dengar Karto. Jangan harap Suroso mau menikahi anakmu itu. Ini dia, pacar mesumnya sudah datang untuk melamarnya!” Dengan geram ayah Suroso pergi meninggalkan rumah War- tini diikuti beberapa orang yang menemaninya tadi. Sebelum ber- lalu ia sempat menendang dengan kasar meja di hadapannya. Tidak peduli dengan ayah Wartini yang kini telah kehilangan kekuatan- 211
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 nya menahan tangis. Danang tidak menyingkir ketika orang-orang itu melewatinya. Perasaannya campur aduk. Sedih, benci, marah, kecewa. Tanpa berkata apa-apa ia pergi meninggalkan rumah Wartini. Tepat pada saat itu Wartini keluar dari kamarnya dan melihat Danang menuruni undakan teras rumah Wartini. “Mas Danang!” jerit Wartini serak, menghambur keluar untuk mengejar Danang. Danang diam saja. Tidak menoleh. Ia terus berjalan menjauhi rumah Wartini. Wartini terbirit-birit mengejarnya. Ketika Danang hanya berjarak tiga langkah di depannya, Wartini mengulurkan tangan. Mencengkeram erat pundak Danang. Dengan sekali ki- basan, tangan Wartini melorot dari pundak Danang. Danang tetap berjalan. Tidak peduli. “Mas, kenapa pergi, Mas! Kamu sudah berjanji menikahiku!” Wartini mendesah, menyamakan langkahnya dengan detak kaki Danang. Danang tidak bergeming. “Mas! Bicara padaku, apa yang salah?” Danang mendadak menghentikan langkahnya. Menoleh me- natap Wartini dengan tajam. Wajahnya menggurat kemarahan, kesedihan dan pandangan menghina kepada Wartini. “Apa yang salah katamu, hah? Kamu mengkhianatiku, Tin! Aku sudah berjanji akan menikah denganmu, tapi kamu mene- rima pinangan pemuda lain! Jadi apa yang salah katamu? Jelas semua ini salah!” Danang menyembur, tidak mampu menahan amarahnya. “Mas, aku bisa jelaskan. Tolong jangan pergi,” seru Wartini lemah. “Aku tidak mau dengar apa-apa,” kata Danang ketus, lantas melanjutkan langkahnya. “Maafkan aku, Mas. Aku hanya takut kamu ndak memenuhi janjimu untuk menikahiku. Kamu terlambat datang kemari. Aku benar-benar takut anak ini ndak punya bapak. Kalau kamu ndak menikahiku, bagaimana nasibku, nasib anak kita,” Wartini meng- 212
Langit Merah usap air matanya sambil terus berjalan mengikuti Danang, “Maaf- kan aku, tolong kembalilah!” Danang tidak menghiraukan Wartini. Sebenarnya ia mencintai Wartini. Tapi ternyata Wartini tega hendak menikah dengan pria lain. Ia tidak bisa terima. Danang terus berjalan, langkahnya lebar. Tiba-tiba di belakangnya ia mendengar Wartini terjatuh. Danang berhenti. Ingin rasanya berbalik memeluk Wartini, tapi rasa sakit ini terlalu besar dan menguasai egonya. Ia menghela napas panjang, dan berkata kepada Wartini tanpa menoleh ke belakang. “Pulanglah, Tin. Nikahilah orang yang ingin kamu nikahi itu. Aku akan kembali ke Jakarta. Maaf titipanku di perutmu ter- lalu membebanimu,” ujar Danang lirih, tapi terdengar seperti ge- muruh di telinga Wartini. “Mas, jangan, Mas... Jangan tinggalkan aku...” Wartini melihat Danang meneruskan langkahnya. Tidak peduli pada dirinya. Wartini tergugu. Ia sakit, sesak, menyesal, sedih. Apalagi yang harus dirasakannya? Wartini tersungkur di jalanan terjal yang lengang itu. Kanan kiri hanya ada sawah yang menghampar. Di belakangnya, perkampungan kecil tempat ting- galnya berada. Ia menatap siluet Danang yang mulai menjauh. La- ki-laki itu, laki-laki yang amat dicintainya, pergi karena kesalahan- nya. Wartini tidak sanggup lagi menerima kenyataan ini. Wartini menjerit pilu. Suaranya mengagetkan sekawanan bu- rung emprit yang sedang turun ke sawah, kawanan itu buru-buru terbang, berpencar. Di kejauhan terdengar lenguh keras sapi. Ang- kuh. Bagi Wartini lenguhan itu menjadi terdengar sarkastis. Warti- ni tidak melihat, di depannya, setetes air mata akhirnya jatuh di wajah lelah Danang. *** Dua minggu yang lalu Wartini pulang kembali ke kampung- nya. Duabelas tahun kondisi mentalnya terguncang, menghabis- kan waktunya dengan suntikan obat penenang, terapi dengan psikiater, minum obat, mengusir perawat dengan bantal, dan me- nangis. Namun pada akhirnya, rumah sakit itu berhasil membuat- 213
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 nya kembali pada kehidupannya yang semula, meskipun tidak sepenuhnya. Ibu Wartini meninggal lima tahun yang lalu. Menderita te- kanan batin yang cukup hebat setelah kejadian memalukan yang dilakukan anak semata wayangnya duabelas tahun yang lalu, menggoyahkan segala keyakinannya. Ia harus merawat anak War- tini, yang lahir di rumah sakit jiwa, yang garis wajahnya sangat mengingatkan ibu Wartini pada Wartini. Saat itu, pelanggaran moral seperti yang dilakukan Wartini adalah hal yang dianggap sangat tidak bermoral dan hina seperti kelakuan binatang, tidak seperti sekarang yang seakan sudah merupakan suatu hal yang lumrah. Paradoks ini tak bisa dipungkiri sekarang. Tidak kuasa menanggung malu dan cemoohan tetangga, ibu Wartini ditemu- kan tergantung dengan seutas tali dadung di dapur saat suaminya pergi ke sawah dan cucunya, anak Wartini, pergi sekolah. Hari ini adalah hari kelulusan anak Wartini, Agus. Wartini berniat akan menghadiri acara tersebut meskipun Agus tidak se- nang dengan rencana itu. Agus masih merasa malu mengakui ibu- nya di depan banyak orang, ia sudah terbiasa hidup tanpa ibu atau ayahnya. Gunjingan dari tetangga bermulut besar selalu berde- ngung di telinganya. Apalagi setelah kepulangan ibunya, gunjingan itu merebak kembali. “Agus, ayo, Nak. Nanti kita terlambat. Katamu jam sembilan sudah dimulai,” ajak Wartini dari halaman menunggu Agus ke- luar rumah. Agus keluar dengan raut wajah tidak suka. Jalannya sedikit dihentakkan, dan dengan ngawur naik ke boncengan sepeda ibu- nya. Wartini pura-pura tidak menyadari hal itu, tetapi dalam hati ia merasa sakit sekali. Apa yang harus dilakukannya untuk me- nebus dosa masa lalu ini? Sesampai di sekolah Agus, SD INPRES, telah banyak murid dan walinya yang datang. Kebanyakan dari mereka adalah orang satu kampung dengan Wartini. Kedatangannya tidak bisa terhin- dar dari pandangan tidak mengenakkan dari orang-orang yang 214
Langit Merah mengenalnya, ada yang menatapnya dengan pandangan kasihan, heran dan simpati. Tapi yang paling banyak ditangkapnya adalah pandangan menghina. Rasanya Wartini ingin berteriak sekencang-kencangnya ke- pada mereka, “Hai orang-orang sok suci! Orang-orang yang ha- nya punya pemikiran hitam-putih! Apakah hanya itu hinaan yang bisa kalian berikan kepadaku? Bunuh saja aku sekalian agar kam- pung kalian bersih dari wanita kotor seperti aku ini! Ah ya, agar kalian senang! Tentu saja kalian senang, kan, melihat aku men- derita? Bunuh saja aku! Bunuh! Tak perlu takut berdosa, karena tanpa membunuh pun, mulut kalian akan mengantar kalian ma- suk neraka!” Tiba-tiba sebuah mobil memasuki pelataran sekolah. Semua pasang mata tertuju pada seorang laki-laki berumur tigapuluhan yang keluar dari mobil itu, pakaiannya rapi dengan kemeja batik yang disetrika licin, wajahnya ramah, terbukti ia kemudian terse- nyum kepada para wali murid yang ada disitu. “Oh, ini kepala sekolahnya?” “Wah, masih muda ya?” “Katanya dari kota, lho!” Bisik-bisik mulai terdengar. Wartini hanya bisa memandang punggung laki-laki itu karena berdiri membelakanginya. Ketika akhirnya kepala sekolah yang disebut-sebut itu berbalik, Wartini merasakan dunianya berputar. Satu detik. Dua detik. Sepuluh detik. Wartini tidak bisa mempercayai matanya. Tertegun. Rasa rindunya selama ini ingin tumpah. Rasa yang selama ini menye- ruak dalam dadanya membuncah. Ia melangkah mendekati laki- laki itu. Ia sudah berjalan lima langkah ketika seorang wanita keluar dari mobil dan berdiri di sebelah kepala sekolah sambil tersenyum. “Ibu Kepala Sekolah...” Bisik-bisik kembali terdengar. Wartini berhenti melangkah. Dunianya gelap. Wartini tersungkur. Laki-laki itu... Mas Danang yang selalu dirindukannya. Dunianya benar-benar gelap. Wartini 215
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 tertawa, tetapi air mata membasahi pipinya. Ia tidak peduli ketika orang-orang lantas mengerumuninya. Agus memanggil nama- nya. Ia terus tertawa. Menangis. Menggerung. Ketika sang kepala sekolah memanggil namanya dengan pelan dan kaget, ia berhenti, mendongak menatap Danang yang menyeruak di antara keru- munan. Namun kemudian ia menjerit putus asa seperti yang di- lakukannya saat Danang meninggalkannya. Jeritan itu sungguh menyayat hati. Orang-orang bergegas menenangkannya. Bisik- bisik kembali terdengar. Kali ini lebih heboh dari sebelumnya. “Wartini gila lagi...” Biodata Penulis Anita Amelani lahir di Gunungkidul, 20 Desember 1994. Ber- sekolah di SMA Negeri 2 Wonosari, Jalan Ki Ageng Giring 3 Wo- nosari, Gunungkidul, telepon (0274) 391158. Faksimili (0274) 391158. Alamat Rumah di Grogol V, Bejiharjo, Karangmojo, Gu- nungkidul, Yogyakarta 216
Langit Merah MENGUNGKAP DIRIKU YANG SEBENARNYA Hega Fitri Nuraga Cerita ini adalah segelintir perjalananku yang nyata. Orang- orang yang terlibat di dalamnya, bukan sekedar rekayasa. Nama- nama yang aku sebut juga tidak hanya asal sebut. Mereka semua ada, mereka semua nyata, dan mereka semua menjadi penguat dalam perjalananku meniti asa. Berawal dari Papan Itu Sejenak kupandangi tinta hitam yang berjajar rapi mengisi hampir separuh dari kertas di papan pengumuman dekat lorong kantin sekolahku. Ya, di depan papan itulah tepat satu tahun yang lalu, aku berdiri untuk melihat gambaran dari sebagian masa de- panku, yang paling tidak harus kujalani selama tiga tahun ke de- pan. Papan yang dulunya pernah sangat aku benci, namun pernah pula membawa aku ke suatu masa yang sampai sekarang aku sendiri pun enggan untuk beranjak dari sana. Sebelumnya, perke- nalkan, aku Hega Fitri Nuraga, siswi SMA N 1 Bantul yang kini baru saja naik ke kelas XI IPA 5. Mungkin papan di dekat lorong kantin yang aku ceritakan di atas tadi tidak istimewa bagi siswa-siswi lain di SMA ini. Na- mun tidak untukku. Aku sudah merasa sangat akrab dengan pa- pan itu sejak pertama masuk ke SMA 1 Bantul. Ya, tepat satu tahun lalu, aku berdiri persis di depan papan ini untuk melihat 217
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 pengumuman Penerimaan Siswa Baru Tahun Ajaran 2010/2011. Di sinilah pernah dipampang namaku beserta 191 anak lain yang kini menjadi teman-temanku di SABA (Satu Bantul) ini. Inilah awal perkenalanku dengan papan yang kini hampir tiap hari aku kunjungi. Dan hidupku pun, sedikit banyak dipengaruhi oleh papan ini. Ketika Aku Harus Memilih di Antara Dua Rasa Masih terekam jelas di memoriku betapa satu tahun lalu aku pernah merasakan goncangan yang teramat dahsyat di depan papan yang aku ceritakan tadi. “Papan hidup”, begitulah aku biasa memanggil Si Papan Sahabatku ini. Tahun 2010 lalu, aku dinyatakan lulus dari SMP 1 Sanden dengan nilai UAN 39,00. Sebuah pencapaian yang aku sendiri pun masih meragukannya sampai sekarang. Tetapi itu benar-benar terjadi! Aku lulus dengan nilai tertinggi se-Kabupaten Bantul dan sempat pula diundang untuk mengikuti Upacara Hari Pendidikan di Kabupaten Bantul. Sebuah kehormatan untuk anak desa sepertiku ini bisa berdiri di tengah-tengah para pejabat hebat di Kabupaten Bantul. Jauh sebelum aku mengenal papan yang kini biasa aku sebut “papan hidup”. Kala itu, besar impianku untuk bisa masuk ke salah satu SMA favorit yang letaknya di tengah kota DIY. Sudah sejak duduk di bangku SD dulu aku memimpikan untuk bisa memakai bedge bertuliskan “Pelajar Kota Jogja” lengkap dengan lambang SMA favoritku itu. Ah, ingin menangis juga aku jika teringat kala itu. Kala aku begitu bersemangat untuk mencari se- tiap detail informasi dari SMA itu. Kala pertama kali aku meng- injakkan kaki di sana ketika mengikuti suatu lomba walaupun tidak menang. Kala aku melihat langsung dari dekat jas almama- ter yang dikenakan oleh siswa-siswinya ketika menjadi panitia dalam kegiatan yang aku ikuti di atas. Semua itu terasa sudah ada di depan mata setelah aku mem- buka map berisi nilai hasil UAN-ku. Kuberanikan diri untuk mengutarakan niatku ini pada orangtuaku. Ya, jujur saja, sejak 218
Langit Merah SMP dulu, aku memang tidak pernah bercerita mengenai keingin- anku belajar di kota. Maklum, aku tidak berasal dari keluarga yang kaya. Hanya cukup saja. Dan untuk mencapai kata cukup itu saja kami harus bekerja keras. Bapakku seorang petani yang gigih untuk terus menggarap sawahnya demi menghidupi ke- luarga kami. Dan ibuku, seorang guru yang belum lama ini di- angkat menjadi PNS setelah beliau berjuang selama dua puluh tahun. Jauh sebelum aku lahir, bahkan jauh sebelum ibu mengenal bapakku. Namun jangan salah, aku nyaman hidup di keluarga ini. Aku tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Bapakku tidak pernah malu untuk mengerjakan pe- kerjaan ibu di rumah selama ibu mengajar. Dan ibuku pun tak pernah putus asa untuk mencari nafkah demi aku agar bisa tetap bersekolah. Kembali kepada SMA favoritku tadi. Aku mengatakan ke- pada bapak ibuku untuk bersekolah di sana. Aku pikir dengan nilai 39,00 aku akan bisa memakai bedge bertuliskan “Pelajar Kota Jogja” yang sudah kuimpikan sejak dulu itu. Namun, ya, mungkin belum menjadi rejekiku. Kata bapakku, beliau sudah cukup tua. Tidak sanggup untuk mengantar jemput aku tiap hari. Maklum, usia bapak sudah hampir 49 tahun. Dan untuk kos di dekat se- kolah itu, kata ibu aku masih terlalu kecil untuk dilepas hidup sendiri apalagi di kota. Ya, memang alasan mereka masuk akal. Tetapi, kala itu, aku sudah tidak bisa berpikir sehat lagi. Impianku serasa sudah musnah. Tidak ada lagi “Pelajar Kota Jogja”, tidak ada lagi jas alamamater yang aku impikan, dan semua serasa su- dah berhenti. Hancur! Aku mencoba berperang dengan jiwaku sendiri. Jiwa yang sebenarnya sudah terpaut dengan “Pelajar Kota Jogja” ini aku bimbing untuk sedikit-sedikit mencari jalan lain yang mampu mengobati lukaku. Adalah SMA N 1 Bantul, yang akhirnya menja- di pelabuhan bagi hatiku yang masih berkeping-keping dihantam gelombang pasang si “Pelajar Kota Jogja”. SMA N 1 Bantul, yang 219
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 akhirnya mengakrabkan aku pada si “papan hidup” kesayangan- ku kini. SMA N 1 Bantul. Selain bermodal NEM, aku pun harus mengikuti tes tambahan. Jangan dikira jalanku menuju SMA N 1 Bantul mulus tanpa hambatan. Di hari pertama tes saja, aku sudah mendapat masalah. Kamus elektronik yang biasanya ramah padaku, kini berubah menjadi monster yang siap menendangku jauh dari SABA. “Hega, nanti sehabis tes kamu temui saya di Ruang BK. Ka- mus kamu saya bawa dulu,”kata seorang bapak paruh baya yang sepertinya adalah guru di SABA. Ya, aku lupa tidak mengeluarkan kamus elektronikku dari kotak pensil yang aku bawa ketika tes. Dengan percaya diri aku pun menyerahkan kotak pensil tersebut saat datang guru piket untuk mengecek barang-barang siswa. Ah, mengapa untuk ma- suk sekolah saja sulit sekali? Impian menjadi “Pelajar Kota Jogja” gagal. Kini, saat aku akan bangkit untuk merajut mimpi di SABA, baru hendak merangkak saja sudah tersandung batu. “Permisi, Pak,” kataku setengah menunduk. “Ya, masuk. O, kamu yang tadi bawa kamus ya Nduk?” kata seorang bapak dengan logat khas orang Jawa. “Maaf, Pak. Saya benar-benar tidak mengetahui jika di dalam kotak pensil saya itu ada kamusnya,” jawabku mengiba. Dan aku pun memang benar-benar tidak tahu! “Di sini kami mencari siswa yang jujur, Nduk,” seloroh bapak Guru di depanku sambil tersenyum kecut, “Kamu bisa langsung dicoret ini!” lanjutnya. Syukurlah, setelah berhasil meyakinkan Si Bapak tadi, akhir- nya aku masih boleh mengikuti tes selanjutnya. Sebuah perjuang- an yang aku sendiri pun tidak habis pikir jika mengenangnya. Mengenang masa-masa di mana aku akan berkenalan dan akrab dengan si “papan hidup”. Pertama aku mengenalnya, ya ketika pengumuman itu. Dialah yang menginformasikan padaku bahwa aku diterima. 220
Langit Merah Setelah pengumuman itu, entah aku harus senang atau sedih. Ya, aku senang bisa diterima di SMA ini. Namun, dengan diteri- manya aku, ini berarti pupuslah sudah harapanku untuk me- makai bedge yang aku impi-impikan, “Pelajar Kota Jogja”. Jujur, aku sempat stress, Namun Tuhan memang Mahatahu. Aku tidak butuh waktu yang begitu lama untuk beradaptasi di lingkungan baru yang sampai sekarang membuatku nyaman di dalamnya. SMA 1 BANTUL. Papan itu Membawaku Memasuki Dunia Baru Mungkin dulu aku pernah terpuruk. Mungkin juga bisa dibi- lang sudah tidak punya semangat hidup. Ya, aku memang sempat hancur karena tidak bisa menjadi salah satu dari ratusan siswa yang memakai bedge “Pelajar Kota Jogja”. Namun kini, sepertinya semua itu berbalik seratus delapan puluh derajat. Aku sudah nya- man dengan SMA 1 Bantul. Aku sudah bisa menyatu dengan hampir semua komponen di SABA. Aku masuk menjadi pengurus sebuah organisasi di seko- lahku, MPK. Ya, nama itu seperti sudah menyatu dengan diriku. Awalnya pun tidak luput dari Si Papan Hidup kesayanganku. Aku melihat sebuah kertas ditempelkan di tubuhnya. Kertas ber- isikan pengumuman perekrutan anggota baru yang akhirnya mengizinkan namaku bertengger di papan itu sekali lagi sama ketika penerimaan siswa baru beberapa waktu lalu. Di organisasi inilah aku banyak belajar. Belajar tentang ke- ikhlasan, belajar tentang bagaimana memahami karakter orang, sekaligus belajar untuk mengatasi masalah dalam situasi yang sulit. Di MPK inilah, aku semakin menemukan kemantaban hati- ku bersekolah di SABA. Sebenarnya aku tidak pernah menyebut MPK sebagai suatu organisasi. MPK adalah keluarga. Kami yang hanya berdua puluh empat, dipaksa untuk harus bisa mengada- kan forum-forum dengan tujuan mejaga persatuan seluruh or- ganisasi di SMA 1 Bantul. 221
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Kini Aku Mulai Mengerti “Kalian ini MPK. Acara kalian ya ini, acara intern yang meli- batkan seluruh komponen sekolah. Tidak perlu kalian repot-repot harus keluar agar nama kalian ter-expose di media. Kalian adalah ibu dari organisasi di SABA. Jadi keberlangsungan organisasi di SABA ada di tangan kalian,” aku masih ingat betul pidato Bapak Kepala Sekolah dalam sambutan beliau pada suatu forum yang kami laksanakan. Awalnya, tidak ada yang istimewa dari kata-kata beliau. Na- mun kemudian aku mengubahnya menjadi sebuah filosofi yang sedikit banyak bisa menjadi pelajaran untukku. Aku menangkap sebuah maksud tersembunyi diibalik ucapan itu. Kalau MPK saja tidak perlu keluar untuk membuat namanya besar, lalu apa beda- nya dengan aku? Berarti aku juga tidak harus bersekolah di kota untuk menjadi yang terbaik bukan? Buktinya di MPK, kami me- miliki tanggung jawab atas seluruh organisasi di SMA ini, terma- suk membentuk dan meminta pertanggungjawaban dari para pengurus OSIS. Lalu apa bedanya dengan aku? Di mana pun aku bersekolah, bukankah sama saja tugasku adalah belajar? Dan untuk menjadi yang terbaik pun aku bisa merintisnya di SMA 1 Bantul! Sama seperti MPK. Kami tidak harus mencari sponsor keluar untuk menyelenggarakan acara kami agar nama MPK men- cuat di media. Namun, kami justru harus bisa fokus pada jalur mempersatukan organisasi di SMA ini. Bukankah dengan keber- hasilan program kerja kami ini, kami juga bisa disebut sukses? Kini aku mulai mengerti. “Aku tidak perlu menjadi sempurna untuk menjadi yang terbaik. Namun aku harus memaksimalkan apa yang ada di depanku untuk bisa disebut yang terbaik.” Ketika Aku Mulai Mengenalnya Khusus dalam bagian ini, Si Papan Hidup memang tidak terlibat secara langsung. Namun aku sengaja menceritakannya karena aku pikir hal ini memang wajar dialami remaja seusiaku. Tetapi aku risih ketika menyeburnya sebagai “cinta”. Aku merasa 222
Langit Merah masih terlalu kecil untuk memahami kata itu. Kalau boleh mengu- tip istilah kakak-kakakku di ROHIS, aku lebih suka menyebutnya VMJ atau “virus merah jambu”. Aku akui, aku memang tidak lepas dari virus itu. Namun bedanya, kadarnya hanya sedikit. Dia adalah kakak angkatanku. Dia orang pertama yang aku beri tahu mengenai perjalananku mulai dari impian sampai re- muknya hatiku dipatah-patahkan oleh keinginan yang tidak ter- wujud. Dia pula orang yang mendorongku untuk tetap mensyu- kuri apa yang ada di depanku kini. Walaupun kadang aku merasa jengkel juga dengannya. Satu yang sering membuat kami tidak sepaham. Aku adalah tipe orang yang terlalu menganggap berat semua pekerjaan. Sedangkan dia adalah orang yang aku rasa bisa lebih santai. Jadi di satu sisi aku selalu sok sibuk dengan semua urusanku, di sisi lain dia lebih asyik mengomel atau lebih tepatnya menasihatiku supaya tidak terlalu larut dalam urusan-urusan yang kadang sebenarnya bisa dianggap biasa saja. Sudahlah, sepertinya cukup aku bercerita tentang dia. Biar aku saja yang mengerti bagaimana kepribadiannya. Lagi pula, dia juga sudah kelas XII. Sebentar lagi akan menghadapi ujian. Jadi, aku rasa memang lebh baik begini dulu saja. Ya, aku tidak munafik. Aku memang ada rasa dengannya. Tetapi aku tidak mau jika nantinya aku justru mengganggu konsentrasinya dalam me- nyongsong ujian. Untuk kakak yang di sana, selamat berjuang ya! Aku tidak akan menjadi penghalangmu untuk mencapai cita-cita muliamu menjadi pendidik. Ketidakadilan yang Aku Lakukan Seperti yang aku ceritakan tadi. Aku masuk menjadi salah satu pengurus di organisasi bernama MPK. Awalnya aku me- mang tidak tahu apa sebenarnya yang bisa aku lakukan untuk keluarga baruku ini. Aku pun tak mengerti, mengapa dahulu aku begitu bersemangat masuk MPK. Namun, lepas dari semua itu, kini aku sadar. Jiwaku sudah terlanjur menyatu dengan mereka 223
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 di MPK. Sampai terkadang, aku membenci diriku sendiri karena terlalu sayang dengan MPK. Ya, aku bukan hanya menjadi pengurus MPK, namun juga tercatat sebagai salah satu pengurus ROHIS, sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang keagamaan. Namun karena aku me- rasa lebih dibutuhkan di MPK, akhirnya terkesan aku agak meng- anaktirikan ROHIS. Bukan tanpa alasan aku berbuat seperti ini. Di ROHIS, kami berlima puluh satu. Sedang di MPK, kami hanya berdua puluh empat. Aku rasa, anak-anak ROHIS sudah mampu menjalankan program-program kerjanya tanpa aku yang harus wira-wiri menjadi inti di dalamnya. Aku masih bisalah mengikuti mereka dari belakang. Sedangkan di MPK, karena anggota kami hanya sedikit, jadi kami butuh tenaga ekstra untuk menjalankan proker kami. Berangkat dari situlah, aku mulai agak berlaku tidak adil terhadap ROHIS. Ah, jengah juga jika mengingat nasib kedua organisasiku ini. Namun, aku sudah punya tekad. Selama satu tahun ini, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan terakhirku terjun langsung di organisasi sekolah. Ya, karena memang sudah menjadi keputusan pihak sekolah bahwa siswa-siswinya yang kelas XII wajib melepaskan semua jabatannya di organisasi demi fokus mempersiapkan ujian. Seperti kakak angkatan yang aku ceritakan tadi. Hahaha. . . . Akhirnya Aku Memutuskan untuk Berdiri di Balik Layar Bersekolah sekaligus menjadi pengurus d beberapa organi- sasi memang tidak mudah. Aku paham betul karena kini aku pun mengalaminya. Nilaiku sempat naik turun. Orang tuaku juga sempat menasihati soal ini. Ya, butuh kerja keras untuk aku bang- kit lagi mengejar nilai. Aku mulai belajar bagaimana mengatur waktu. Aku mulai belajar menyeimbangkan antara belajar dan organisasi. Sampai suatu hari. Genap satu tahun sudah aku berjuang di MPK. Kakak-kakak MPK yang selama ini membimbingku, kini sudah harus meninggalkan jabatan mereka karena sudah kelas 224
Langit Merah XII. Lalu kini, MPK milik siapa? Sebuah pertanyaan yang singkat, namun tidak kupungkiri bisa membuatku pusing tujuh keliling dibuatnya. Tidak mudah untuk berkata “Kini MPK jadi milikku.” Dan aku juga merasa tidak kuat untuk berkata seperti itu. Siang itu mendung. Matahari seolah enggan untuk menam- pakkan sinarnya. Mungkin ia masih tidur, atau justru ia sedang kedinginan sehingga disimpannya sinar yang biasa dipancarkan- nya untuk kita yang ada di bumi. Mungkin juga matahari sedang menikmati liburannya barang setengah hari saja. Ah, apa pun itu, aku harap ia baik-baik saja. Kebetulan siang ini, kami, MPK, sedang berkumpul untuk membentuk panitia Forum Pertanggungjawaban bagi semua organisasi di SABA. Namun ada yang berbeda dalam rapat kali ini. Kakak-kakak yang biasanya ramah, yang biasanya tidak per- nah menjaga jarak dengan kami adik-adik mereka di MPK, kini, entah mengapa mereka enggan bergabung dengan kami. Mereka malah justru asyik membicarakan sesuatu di ruang Matematika 3. Ruang pojok yang letaknya jauh dari si papan hidup sahabatku yang kini mulai agak tersingkir karena kesibukanku. Aku sendiri jarang masuk ke ruang itu, karena biasanya, anak-anak kelas XII- lah yang menggunakannya. Aku pikir, ya sudahlah, mungkin mereka sedang sibuk mem- bicarakan tugas sekolah. Namun, tak lama kemudian, salah se- orang dari mereka, tepatnya sang ketua MPK, datang mengham- piriku dan mengajakku bergabung dengan kakak-kakak di ruang Matematika 3. Awalnya, aku pikir mereka hanya ingin ngobrol- ngobrol biasa. Tetapi ternyata . . . “OK, silakan duduk. Santai saja ya,” kata salah seorang dari mereka. “Kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke sini?” lanjutnya. He- ning. Tidak biasanya aku merasa tak ada bahan bicaraan di depan mereka. Wajah-wajah yang menatapku di depan, kini bukan wa- jah-wajah humor seperti biasanya, namun wajah-wajah serius yang sepertinya akan segera menggerogoti nyaliku. 225
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Langsung saja. Kami hanya ingin minta satu hal sama ka- mu. Kamu mau jadi ketua MPK?” JLEG. Suara itu bagaikan bom atom yang meledak di dalam hatiku. Apa? Ketua MPK? Mengapa harus aku? Mengapa tidak yang lain? “Kami tahu, kamu perempuan. Tapi di MPK, kami butuh orang yang bisa membawahi teman-teman seperti kamu. MPK butuh kamu. MPK butuh orang seperti kamu.” Aaaaaa, rasanya benar-benar terkoyak mendengar kata-kata itu. terkenang kembali perjalanan bersama mereka selama satu tahun terakhir yang mengisakan isak tangis dan derai tawa sampai saat ini. “Aku sayang MPK, Mbak!” Akhirnya keluarlah kata-kata pertama dari mulutku. Kata-kata yang selama ini aku anggap biasa saja, namun ketika diucapkan dalam suasana seperti ini, mampu juga membuatku meneteskan air mata. Ya, aku menangis. Aku menangis mendengar kata-kata yang aku ucapkan sendiri. “Kami tahu kamu sayang MPK! Selama ini kamu sudah menunjukkannya pada kami. Dan sekarang, kami cuma butuh satu bukti lagi dari kamu,” sang bendahara umum pun tak kalah menyahut. “Dik, kami tidak ingin meninggalkan MPK di tangan orang yang salah. Ya, walaupun kami tahu kalian semua mampu men- jaga MPK, bahkan membuatnya lebih hebat daripada MPK di tahun kami. Tapi kami sadar, harus ada yang menjadi ujung tom- bak buat MPK. Dan kami ingin kamu yang ada di sana.” “Tapi aku nggak bisa, Mas, Mbak. Aku sudah terlanjur nya- man di Komisi Aspirasi yang menjadi tanggung jawabku saat ini,” kataku agak tersendat. “Jadi, hanya sesayang itukah kamu sama MPK? Kamu hanya sayang sama Komisi Aspirasi? Kamu nggak ingin memajukan MPK?” “Bukan, bukan itu. Aku cukup sadar diri kalau aku ngak sanggup. Aku masih butuh orang-orang hebat di belakangku. Aku tidak bisa bekerja sendiri,” kataku sambil mengusap air mata. 226
Langit Merah “Siapa bilang kamu harus bekerja sendiri? Mereka siap bantu kamu. Mereka juga sayang sama kamu, sama seperti kamu sayang sama MPK.” Rasanya benar-benar hancur mendengar kata-kata itu. sama hancurnya ketika aku gagal sekolah di kota dulu. Lama aku harus diam. Tidak nyaman. Tidak bisa berkata apa-apa. Beda dari hari-hari sebelumnya. Ya, itu semua yang sedang aku alami. Sampai salah satu di antara mereka bilang, “OK, kami akan coba mengikhlaskan kamu dari jabatan ketua. Tapi kami minta, kamu benar-benar bisa konsisten dengan kata- katamu tadi. Kamu bilang kamu sayang MPK.Kamu sayang MPK,”kata itu diulang lagi. Dan aku tidak tahan mendengarnya. “Aku adalah aku, aku adalah kau, kau adalah kita, kita adalah MPK SMA Negeri 1 Bantul periode 2010/2011” Ya, kata- kata itulah yang sampai kini masih terngiang di telingaku. Meski aku bukan ketua umum. Meski aku bukan ujung tombak dari MPK, tetapi aku akan berbuat yang terbaik untuknya. Biodata Penulis Hega Fitri Nuraga lahir di Bantul, 12 Maret 1995. Bersekolah di SMA Negeri 1 Bantul, Jalan K.H. Wachid Hasyim, Bantul 55713, telepon (0274) 367547. Alamat rumah di Piring, Murtigading, Sanden, Bantul, Yogyakarta. 227
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 WARTAWAN DADAKAN KESAYANGAN Nada Salsabila Imari Siang itu, matahari sedang tidak bersahabat. Terik sinarnya membuat keringat bercucuran. Pakaian yang dijemur, kering 15 menit lebih awal. Daun-daun, bermetamorfosis lebih cepat. Ikan- ikan berteriak kepanasan, karena air di aquariumnya seakan men- didih. Bunga berjalan gontai. Mukanya terlihat cemberut. Tidak bersemangat. Kulitnya begitu merah terkena terik sinar matahari. Keringat membanjiri tubuhnya. Tangannya sibuk menyeka keri- ngat di keningnya. Matanya sayu kepanasan, tak bisa melihat dengan jelas. Kepalanya terasa pening. Menyesal juga ia tidak mematuhi nasihat kakaknya untuk membawa payung. Namun sudah terlambat. Ia sudah berada di depan rumahnya. Tetapi tetap saja terasa sama. Panas sekali. Padahal taman di halaman rumah- nya sudah diatur sedemikian rupa agar terasa sejuk. “Assalamualaikum. Bunga pulang,” kata Bunga sambil membuka pintu rumah. Suaranya sangat pelan. Tercekat di teng- gorokan. Rasanya haus sekali siang itu. Di ruang tamu ada kakaknya, Adrian. Ia sedang sibuk de- ngan laptopnya. Entah apa yang sedang dikerjakannya. Pastinya tak terlihat sedikitpun, kalau ia sedang kepanasan. Kipas angin berputar cepat dihadapannya. “Waalaikumsalam,” sahut Adrian pendek. 228
Langit Merah Bunga segera duduk di samping kakaknya sambil menyan- darkan punggung dan memejamkan mata. Ia ikut menikmati se- tiap hembus angin dari kipas angin yang sedang dinikmati kakak- nya. Tanpa disadari Bunga, Adrian melirik ke arahnya. “Tuh kan, kulitmu tambah hitam.” Bunga membuka matanya, menatap kesal kakaknya. Adrian pura-pura asyik dengan laptopnya. Sesekali ia melirik Bunga sam- bil tersenyum jahil. “Itu memang salahmu sendiri, sih. Siapa suruh, pulang se- kolah, siang terik seperti ini jalan lewat sawah,” Adrian tersenyum lebar. “Siapa peduli. Lagipula memang lebih dekat lewat sawah. Daripada lewat jalan desa. Harus memutar dua desa,” kata Bunga cuek, “ pemandangannya juga lebih bagus dengan sawah-sawah.” “Terserah kamu saja,” kata Adrian acuh. “Tapi mengapa ha- rus cemberut seperti itu?” Bunga kaget. Tidak menyangka akan ditodong seperti itu, “Tidak ada apa-apa. Hanya panas hari ini yang ikut membakar hatiku.” “Jangan mencoba bohong. Aku tahu kamu tidak serius,” tiba- tiba saja Adrian menatap Bunga tajam. “Sepanas apapun, kamu tidak pernah cemberut seperti itu. Kamu senang-senang saja, bahkan terlihat terlampau bahagia.” Bunga kalah. Sudah tidak bisa lagi berkilah. Adrian memang hafal kebiasaan Bunga di luar kepala. Terlebih kebiasaannya se- tiap berangkat dan pulang sekolah. Bunga memilih melewati sa- wah setiap berangkat dan pulang sekolah. Alasannya, kalau lewat jalan desa terlalu jauh. Tetapi, Bunga tidak pernah mau memakai payung sepanas apapun cuaca hari itu. Biasanya ia tetap merasa senang. Bahkan menyempatkan mengobrol dengan para petani, yang sedang beristirahat di tengah kegiatan menggarap sawah. Dan itu akan membuatnya pulang lebih siang. 229
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Karena hal itu, Adrian menjadi heran saat tahu Bunga pulang tepat waktu. Ditambah lagi, wajah lesunya, yang tidak biasa ia tampilkan saat rasa senang baru saja menghampirinya. “Jadi, mengapa kamu pulang lebih cepat? Mengapa cembe- rut seperti itu?” ulang Adrian tegas dan penuh curiga, “ada ma- salah?” “Tidak. Aku kan sudah bilang bahwa aku hanya kepanasan,” jawab Bunga takut. Adrian semakin menatap Bunga dengan tajam. Sedetik saja ia tidak mengalihkan pandangannya. “Jujur sajalah atau aku memaksa mengantar jemputmu mulai besok.” Nada bicara Adrian menjadi dingin. Itu membuat Bunga semakin ciut. Apalagi ia melontarkan ancaman yang sangat diben- ci Bunga. Bunga memang tidak mau diantar jemput. Terlebih ka- kaknya yang mengantar jemput. “Ada tugas yang membuat aku sedikit bingung,” jawab Bu- nga pelan. “Tugas apa? Kakak bisa bantu?” tanya Adrian. Suaranya melunak. Tatapannya berubah menjadi tatapan tertarik. “Bahasa Indonesia,” Bunga mulai percaya Adrian dapat di- beritahu tentang ini. “Tugas wawancara. Bebas, sih. Tapi aku bingung mau me- wawancarai siapa.” “Mengapa harus bingung? Kamu kan bisa mewawancarai Mbah Jaya, pengusaha gerabah, itu. Menurut kakak, itu topik ba- hasan menarik.” “Bunga juga tahu. Tapi, sudah ada tiga teman Bunga yang akan mewawancarai Mbah Jaya,” kata Bunga, “jadi topiknya su- dah basi kan?” “Kalau begitu, Ayah saja,” kata Adrian. “Ayah kan Guru Matematika di sekolahmu. Sepertinya asyik, kalau kamu mena- 230
Langit Merah nyakan pendapat Ayah, tentang separuh anak di dunia yang tidak suka pelajaran Matematika.” “Pendapat kakak benar. Namun lima orang temanku juga tertarik megungkap metode pembelajaran Ayah yang asyik itu,” jawab Bunga polos, “jadi sudah tidak asyik lagi, kan?” Adrian terus mengajukan nama-nama orang yang cukup ter- kenal di kalangan mereka. Namun selalu saja ditolak Bunga. Ka- rena ada saja teman Bunga yang juga mau mewawancarai mereka. Kepala dukuh, ketua karang taruna, guru Bahasa Indonesianya, polisi, penjaga kantin, penjaga sekolah. Bahkan pedagang mainan keliling saja juga ada yang mau mewawancara. Adrian juga meng- ajukan namanya. Ia memang seorang mahasiswa yang terkenal sebagai ahli robot. Namun, Deni, teman Bunga yang maniak robot, langsung mengumumkan, kalau ia mau mewawancarai Adrian. “Sebenarnya teman sekelas kamu ada berapa, sih?” tanya Adrian yang mulai kesal, “masa teman-temanmu akan mewa- wancarai orang sebanyak itu?” “Teman sekelas ada tiga puluh empat. Itu tidak termasuk aku,” jawab Bunga, “nama-nama yang kakak ajukan itu, kata guru Bahasa Indonesiaku selalu menjadi andalan setiap tahun. Jadi, kakak harus menyarankan nama yang tidak akan terpikirkan oleh teman-temanku.” Sejenak Adrian terdiam. Ia berpikir keras untuk mendapat- kan nama seseorang yang tidak akan terpikirkan oleh anak kelas dua SMP di lingkungan sekitarnya. “Tolong ambilkan minum, dong. Kakak tidak bisa berpikir, nih. Masa siang sepanas ini dipaksa berpikir keras tanpa imbalan.” Bunga bergegas menuju dapur. Mengambil dua gelas kosong yang langsung diisi air putih. “Jangan lupa diberi es, ya!” teriak Adrian. Segera Bunga membuka lemari es dan memasukkan es batu sebanyak-banyaknya ke dalam dua gelas air putih. Lalu ia me- langkah selebar-lebarnya menuju ruang tamu. Mengantisipasi 231
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 teriakan kakaknya yang mungkin saja akan protes kalau dia terlalu lama. “Bagus! Adik pintar! Adik berbakti! Adik baik hati!” kata- kata itu tiba-tiba keluar dari mulut Adrian saat Bunga masuk ke ruang tamu. Bunga mengerenyitkan dahinya. Bingung. “Maksud kakak apa?” “Ah kamu. Terlalu merendah,” kata Adrian, sambil meng- ambil segelas air putih yang ditaruh Bunga di atas meja. “Tadi Kakak menyuruhmu mengambil segelas saja. Eh, ini kamu membawa dua gelas.” Bunga tersenyum geli. “Ah, jangan terlalu ‘gede rasa’ dulu, dong, Kak,” kata Bunga, sambil memberi tanda kutip pada kata gede rasa. “Aku mengambil dua gelas, satu gelas untuk aku. Jadi enaknya dibagi-bagi. Kakak minum, Bunga juga minum.” Adrian tersenyum malu sambil menggaruk kepalanya. Malu. Namun, sedetik kemudian ia terdiam. “Kamu minum karena haus, ya? Kamu haus karena kepa- nasan? Kamu kepanasan karena tadi pulang sekolah melewati sawah tanpa memakai payung?” tanya Adrian bertubi-tubi. “Menurut kakak bagaimana?” Bunga jadi bingung sendiri. “Pulang sekolah kamu bertemu dengan para petani, seperti biasa, kan?” Bunga mengangguk. Semakin bingung. Tiba-tiba saja Adrian menanyakan hal yang sudah ia ketahui jawabannya. Namun, apa yang sedang dipikirkan Kakaknya? “Kenapa kamu tidak mewawancarai petani-petani itu saja?” Bunga menepuk keningnya. Benar juga kata kakaknya. Me- ngapa tidak terpikirkan olehnya? Mengapa harus memakan wak- tu begitu lama, agar terpikirkan hal ini? Adrian juga, jarang sekali ia begitu lama menyadari sesuatu yang dari tadi sudah ada di depan matanya. “Usul yang hebat dan tidak mungkin ada yang menyamai!” kata Bunga kegirangan. “Terima kasih, Kakak!” 232
Langit Merah Bunga memeluk Adrian dengan erat. Adrian yang dipeluk jadi salah tingkah. Memang, dari dulu mereka berdua sangat anti- berpelukan seperti itu. Gegsi, katanya. Namun kali ini terlalu jahat bila Bunga tidak memeluk Adrian. Idenya terlalu brilian dan sa- ngat menyelamatkan untuk ditolak. Di desa tempat tinggal Bunga, memang jarang ada remaja, khususnya remaja putri yang suka keluar rumah. Apalagi siang hari. Mereka takut memiliki kulit yang gelap. Maka dari itu, se- bagian dari mereka lebih memilih memutar melewati dua desa, dari pada melewati sawah, yang sebenarnya jaraknya sangat dekat dibandingkan dengan melewati jalan desa. Itulah sebabnya sangat kecil kalau ada yang mau mewawan- carai petani. Bahkan Bunga yakin, walaupun orang tua mereka petani, mereka ragu untuk mewawancarai orang tuanya. Bunga bergegas masuk kamar dan berganti pakaian. Lalu mengeluarkan buku latihan Bahasa Indonesia. Ia mulai mencoba membuat beberapa kalimat pembuka. “Selamat siang, Pak, Bu. Saya Bunga Gita Paramitha, siswa kelas Delapan B dari SMP Pembangunan Bangsa 5. Sebelumnya saya ingin berterima kasih atas kesediaan Bapak dan Ibu untuk membantu saya menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia saya.” Bunga berhenti sejenak. Setelah membaca berulang kali kali- mat pembuka pertama, ia mulai melanjutkan menulis paragraf ke- dua. “Sebelumnya saya akan memberitahu, bahwa kali ini, saya akan mengangkat tema tentang....” Bunga berhenti kembali. Membaca paragraf keduanya sekali lagi. “Bahwa kali ini, saya akan mengangkat tema tentang....” Bunga menaruh pensilnya di meja. Lalu bersandar ke kursi. Dalam hati, Bunga merutuki dirinya sendiri. “Betapa cerobohnya aku. Tema yang sangat penting, bisa-bisanya aku lupakan. Kalau seperti ini caranya, bagaimana aku bisa menyelesaikan pertanyaan untuk bahan wawancaraku?” 233
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Bunga merenung cukup lama. Memikirkan berbagai tema yang mungkin ia gunakan untuk wawancara ini. “Aku harus meng- angkat tema yang sedang popular. Tapi apa?” batin Bunga. Satu menit... dua menit... tiga menit... Bunga belum juga menemukan ide untuk temanya. Akhir- nya menyerah juga ia. Dengan langkah gontai ia menuju ruang tamu. Mencoba mencari ide brilian yang mungkin saja akan ia da- patkan kembali dari kakaknya. Adrian terlihat masih sibuk dengan laptopnya. Pelan-pelan Bunga mendekatinya.. “Kak Adrian, bisa bantu Bunga lagi?” tanya Bunga pelan. Ta- kut mengganggu kakaknya. “Ada apa?” Adrian mengalihkan pandangannya pada Bunga. “Menurut kakak, apa tema yang bisa aku angkat untuk wa- wancaraku ini.” Adrian membelalakkan matanya, “Jadi kamu belum mene- mukan temanya!” Bunga menggeleng lugu. “Sama sekali, aku tidak mempunyai bayangan tentang temanya.” “Mudah saja. Tak hanya sekali kamu pulalng terlambat hanya karena berdiskusi dengan petani yang kamu temui. Masa tidak ada bayangan sedikit saja?” Bunga menggeleng lagi. Ia sangat gugup bila sudah dihakimi oleh kakaknya seperti ini. “Sebenarnya, apa yang kamu diskusikan dengan petani-petani itu?” “Cara memproduksi beras agar mencapai kualitas terbaik.” “Pakai saja tema itu. Mudah, kan?” Adrian melunak, meng- anggap masalahnya selesai. “Tapi Bunga mau keluar dari kebiasaan. Di buku paket juga ada contoh hasil wawancara. Narasumbernya petani. Dan temanya sama persis dengan yang tadi.” Adrian menghela nafas panjang. Mencoba sedikit santai. Ia takut tiba-tiba akan meledak. 234
Langit Merah “Baiklah, jadi apa yang kamu diskusikan selain cara mem- produksi beras?” Bunga menggeleng. Adrian yang mengetahui hal itu sudah hampir meledak. Namun tertahan oleh kalimat Bunga. “Memang, setiap hari aku melwati sawah-sawah yang sama. Dan berjumpa dengan petani-petani yang sama. Namun aku baru menyadari hari ini. Aku tidak pernah menanyakan hal lain selain topik yang selalu aku tanyakan. Hanya itu-itu saja.” Adrian kembali menghela nafas. Pelan-pelan ia menerawang tema yang dapat digunakan untuk wawancara Bunga. Setelah lama berpikir, Adrian baru mendapatkan ide.”Bagaimana kalau kamu menanyakan tentang pengaruh kenaikan harga dengan per- tanian? Sekarang harga-harga sedang naik drastis. Dan itu pasti berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan ekonomi,” kata Adrian sambil mennjukkan koran hari ini yang berita utamanya tentang kenaikan harga. Bunga mengamati koran di tangan Adrian. Lalu mengang- guk setuju dengan usul kakaknya. “Tapi kakak bantu buat perta- nyaannya, ya?” Adrian mengangguk puas. Akhirnya masalah te- ma selesai juga. Sekarang hanya tinggal membantu Bunga menye- lesaikan pertanyaannya saja. Dan semuanya akan segera selesai. Setelah itu, Adrian dan Bunga menyusun pertanyaan satu siang penuh. Sampai-sampai mereka lupa makan siang. Namun mereka sangat puas dengan pertanyaan yang mereka susun. Se- telah memperbaiki berbagai kesalahan, Adrian dan Bunga terse- nyum puas dengan hasil pekerjaan mereka. Siang hari berikutnya, Bunga masih terus tersenyum simpul setiap ingat usaha dia dan Kakaknya kemarin. Itu membuat lang- kahnya semakin ringan. Membuat tekadnya semakin tebal. Seka- rang ia benar-benar percaya diri untuk mewawancara. “Selamat siang, Bu Tini,” Bunga menyapa seorang permpuan paruh baya yang sedang duduk di saung di tengah sawah. “Siang, Nak Bunga. Ayo duduk! Siang panas seperti ini ma- sih sempat senyum-senyum. Ada apa ini?” sambut Bu Tini ceria. 235
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Begini Bu, saya ingin meminta bantuan ibu untuk saya wa- wancarai. Hasil wawancara ini akan saya gunakan untuk me- ngumpulkan tugas Bahasa Indonesia saya. Apakah boleh?” kata Bunga meminta izin. “Tentu saja boleh. Senang sekali ibu bisa membantu Nak Bunga menyelesaikan tugas. Jarang sekali ada anak yang mau mewawancarai petani seperti ibu,” kata Bu Tini. “Ayo, langsung dimulai saja.” Bunga tersenyum puas. Dan semua mengalir segitu saja. Tanpa ragu Bunga menuturkan semua pertanyaan-pertanya- annya. Bu Tini menjawabnya dengan senang hati. Sesekali terlon- tar candaan dari mereka. Menambah hangat suasana wawancara di siang terik itu. “Terima kasih, ya, Bu Tini. Berkat Ibu, tugas Bahasa Indo- nesia saya selesai juga.” “Iya, sama-sama, Nak. Ibu juga berterima kasih, Nak Bunga sudah mau mewawancarai Ibu. Semoga saja setelah Nak Bunga, banyak anak yang tertarik untuk mewawancarai petani seperti Ibu.” Bunga segera berlari menuju rumah. Panas matahari seakan tak terasa di tubuhnya. Keringat yang bercucuran di peluhnya tidak lagi menghalangi langkahnya. Sekarang yang ada di kepala- nya hanya rumah dan tugas Bahasa Indonesianya. “Assalamualaikum. Bunga pulang,” teriak Bunga. “Waalaikumsalam.” Tidak seperti biasanya, hari ini Bunga langsung berlari me- nuju kamarnya. Adrian yang kebetulan sedang berada di ruang tamu menjadi heran. Ia pun mengikuti Bunga ke kamar. “Ada apa, Bunga? Jarang sekali sepulang sekolah kamu lang- sung menuju kamar,” kata Adrian yang berdiri di ambang pintu kamar Bunga. “Kakak tunggu saja besok. Bunga pasti memberi tahu ka- kak!” Bunga mendorong Adrian keluar. Lalu mengunci pintu ka- marnya. 236
Langit Merah Seharian Bunga sibuk menarasikan hasil wawancaranya. Dengan semangat 45, tak henti-hentinya Bunga menggoreskan kalimat-kalimat dengan penuh semangat di buku latihan Bahasa Indonesianya. Ia baru meletakkan pensilnya tepat pukul tiga siang. Setelah menuliskan “Pengaruh Kenaikan Harga Bagi Pe- tani”, sebagai judulnya. Walaupun lelah, senyum puas menghiasi wajah Bunga. Sepulang sekolah, siang hari berikutnya, langkah kecil Bunga kembali mengiringi deru kegiatan di area persawahan desanya. “Siang, Bu Tini! Terima kasih, ya, untuk kemarin,” sapa Bunga pada seorang petani yang sedang beristirahat di sebuah saung. “Siang Nak Bunga! Iya, sama-sama,” balas Bu Tini. Matanya mengiringi kepergian Bunga yang terus berlalu. Bunga terus berlari. Pipinya bersemu merah. Buku latihan Bahasa Indonesia di tangannya juga ikut bersemu merah. Mera- sakan kebahagiaan pemiliknya. Keringat yang bermembasahi ta- ngan Bunga, juga membuat buku latihan Bunga agak basah. Se- mangat yang menggebu di dalam diri Bunga, ikut membuat buku latihan Bunga bersemangat. “Assalamualaikum. Bunga pulang,” teriak Bunga. Lebih ke- ras dari biasanya. Lebih bersemangat dari biasanya. Lebih manis dari biasanya. “Waalaikumsalam. Ada apa Bunga? Mengapa kamu ter- engah-engah seperti itu?” Adrian yang sedang berada di ruang tamu, dengan laptop dan kipas anginnya, terkejut dan heran meli- hat kedatangan Bunga siang ini. Bunga tersenyum dan mencoba mengatur nafasnya. Lalu duduk di sebelah Adrian. Dibukanya buku latihan Bahasa Indo- nesianya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Adrian semakin bingung dibuatnya. Bunga membuka buku latihannya demgan perlahan. Seperti membuka pengumuman kelulusan. Setelah menemukan halaman yang ia cari, ia menyodorkan buku itu kepada Adrian. Di sana tertulis nilai 96. Adrian menatap Bunga, tidak percaya. 237
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Bunga?” Tiba-tiba, Bunga langsung memeluk Adrian. Adrian sangat terkejut. “Terima kasih Kak Adrian. Berkat kakak, aku dapat menye- lesaikan tugas wawancaraku. Terima kasih, kak,” Bunga semakin erat memeluk Adrian. “Aku yakin, besok, selain menjadi ahli ro- bot, kakak bisa bekerja sebagai wartawan.” Adrian tersenyum mendengar kalimat Bunga. “Kakak memang seorang wartawan. Namun hanya warta- wan amatir. Itu juga berkat kamu.” Bunga melepaskan pelukannya. Lalu menatap Adrian lekat- lekat sambil berkata, “Bukan amatir, kak. Tetapi wartawan da- dakan.” Sesaat kemudian, Bunga tertawa. Bersamaan dengan tawa Adrian. Bunga tertawa, bersama wartawan dadakan kesayangan- nya. Ternyata tidak sia-sia usahanya selama ini. Juga kebiasaan- nya pulang sekolah melewati sawah setiap hari. Karena akhirnya ia bisa membuat itu semua menjadi sangat menguntungkan. Ten- tu saja, dengan bantuan Adrian, sang wartawan dadakan kesa- yangan. Biodata Penulis Nada Salsabila Imari lahir di Sleman, 22 Juli 1998. Bersekolah di SMP Negeri 6, Yogyakarta. Alamat rumah di Jalan Robert Wolter Monginsidi No. 1, Yogyakarta. No. Hp: 085740056571 238
Langit Merah LANGIT MERAH Claudia Maya Natalie Rooroh Enna mengayuh sepedanya sekuat tenaga. Wajahnya diterpa angin. Dia menelan ludah. Dia ingin sekali sampai di rumah seka- rang. Tak lama kemudian rumahnya mulai tampak di ujung jalan. “Hari ini surat dari ayah akan datang,” jeritnya riang dalam hati. Tetapi sesampainya Enna di rumah, dia tidak mendapatkan apa-apa, kosong. Kakaknya Luna pun tampaknya belum pulang sekolah. Enna mendesah. Perasaannya bercampur-aduk, kenapa surat dari ayahnya belum tiba juga? Ia melihat keluar jendela, ke langit. Mengingat-ingat sudah berapa lama ayahnya pergi mening- galkan rumah. Tiga bulan sudah sangat lama untuknya. Dia masih harus menunggu sampai dua tahun lagi saat ayahnya akan kembali ke rumah. Ayahnya pergi berlatih militer bersama-sama dengan laki-laki lain di desa tempat dia tinggal. Entah sejak kapan perintah bahwa setiap kepala keluarga dan laki-laki dewasa di desa itu harus mengikuti wajib militer, tentu saja ayahnya harus mengikuti wajib militer selama dua tahun. Enna tidak mengerti apa-apa mengenai wajib militer. Dia hanya mengerti bahwa itu adalah kewajiban se- tiap laki-laki yang bertugas melindungi keluarga mereka. Enna melirik keluar jendela, ke belakang rumahnya dimana terdapat hamparan padang rumput yang sangat luas dan pegu- nungan di ujung padang rumput. Di balik pegunungan itulah 239
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 tempat ayahnya berlatih militer. Enna dan kakaknya tidak tahu apa yang terjadi di sana. Apakah ayah mereka baik-baik saja, men- dapat tidur yang cukup. Ataukah ayah mereka terluka, sendirian, menolak jatah makanan yang ada. Enna tidak pernah berhenti memikirkan ayahnya. Dia sedang terlarut dalam lamunannya ketika tiba-tiba se- seorang mengetuk pintu depan rumahnya. Enna melompat dari kursi. Sontak saja dia merasa gugup untuk membukakan pintu. Entah mengapa tetapi dia sudah tahu siapa yang berdiri di balik pintu itu. “Ya?” Enna membuka pintu perlahan. Seorang pria berbadan tegap dan berseragam khas tentara berdiri di depan rumahnya. “Kamu putri Vigo?” tanya pria itu dengan senyum ramah. Enna mengangguk cepat. “Ayahku mengirim surat?” tanya Enna bersemangat, me- langkah keluar rumah. “Ya, Vigo memang mengirim surat pen- dek untuk kalian. Mereka yang baru masuk ke pelatihan militer hanya diperbolehkan mengirim surat saat akhir tahun saja.” Sekejap senyum Enna hilang. Sekarang dia yang merasa heran, “Aku kira mereka boleh mengirim surat setiap ada waktu.” Pria yang berdiri di depannya tertawa. “Sayang sekali, Nak, ayahmu hampir tidak mempunyai wak- tu untuk menulis surat. Tetapi ayahmu sempat menulis surat pen- dek untuk kalian. Aku sedang bertugas mengantarkan surat-surat dari tentara yang lain. Ini milikmu,” pria itu merogoh saku sera- gamnya dan mengeluarkan selipat kecil kertas. “Jangan khawatir, ayahmu pasti mengirim surat akhir tahun nanti.” Pria itu pun pamit dan pergi. Enna menatap lipatan kertas itu. “Apa-apaan itu, ‘Hanya diperbolehkan mengirim surat saat akhir tahun’? Militer sialan!” Enna membanting pintu depan ru- mahnya dengan perasaan marah. Dia berjalan ke arah belakang rumahnya. Berada di dalam rumah hanya akan membuatnya se- makin gelisah dan marah. 240
Langit Merah Angin berhembus cukup kencang sore itu. Enna duduk diam di ayunan kayu yang bergantung di bawah pohon dekat dengan padang rumput. Matanya memandang jauh ke balik pegunungan tempat ayahnya berada. Surat pendek dari ayahnya hanya me- nuliskan kalau ia baik-baik saja dan sedang berjuang di tempat pelatihan, ia berharap Enna dan kakaknya juga baik-baik saja di desa dan ayahnya juga menuliskan kalau ia akan mengirim surat untuk mereka pada akhir tahun. Surat itu tak lebih dari 5 baris. “Yang benar saja,” Enna mendengus. Dia kembali melamun. Rasanya aneh hidup tanpa orang tua. Ibunya sudah lama me- ninggal dunia, sehingga ayahnyalah yang bertanggung jawab me- rawat dia dan kakaknya. Sejak saat itu Enna sangat peduli pada ayahnya. Dan sekarang Enna mudah sekali merasa khawatir akan ayahnya. Dia membaca surat itu sekali lagi. “Kuharap ayah baik- baik saja di sana”. Enna menggenggam surat itu dengan kepalan tangannya. “Enna?” Enna menoleh, kakak perempuannya Luna berjalan menghampirinya, “apa yang sedang kau lakukan di situ?” “Kakak sudah pulang,” gumam Enna. Luna tersenyum ke arahnya. “Kenapa diam saja? ada apa?” tanya Luna duduk perlahan di bawah pohon. Enna memberikan surat pendek dari ayah me- reka pada Luna. Luna membacanya cepat. “Kapan surat ini sampai?” tanya Luna. “Tadi,” jawab Enna pelan. “Orang yang mengantar surat ini mengatakan kalau ayah tidak bisa mengirim surat sampai akhir tahun.” “Eh? Kudengar mereka boleh mengirim……” “Tidak,” potong Enna,”hanya di akhir tahun.” Luna mendesah panjang. Ia tampak sedih. Enna juga tidak dapat menahan kesedihannya. Dia hanya menunduk, mengayun- kan kedua kakiknya ke depan dan ke belakang. Luna mengeluar- kan sebungkus permen dari saku celananya dan memberikannya pada Enna. 241
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302