Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BURUNG-BURUNG_KERTAS_Antologi_Cerpen_201

BURUNG-BURUNG_KERTAS_Antologi_Cerpen_201

Published by e-Library SMPN 8 Talang Ubi, 2020-01-25 16:17:57

Description: BURUNG-BURUNG_KERTAS_Antologi_Cerpen_201

Search

Read the Text Version

ter sang anak. Karakter anak sangat penting bagi bangsa karena karakter penting dalam pembangunan karakter bangsa. Saat ini banyak pejabat negara yang tidak memiliki karakter bangsa, contohnya mereka mengambil hak rakyat, mengambil uang negara atau korupsi. Betapa menyedihkan nasib bangsa ini yang seharusnya memiliki tanggung jawab malah menyalahguna- kan kedudukannya. Keadaan yang seperti itu akan membuat bang- sa Indonesia ini terpuruk. Mungkin bangsa ini tidak hanya terpu- ruk, tetapi kehilangan karakter bangsa dan budaya. Para penjahat seperti itu melakukan tindak kejahatan yang seolah-olah tidak me- miliki rasa cinta tanah air, semangat kebangsaan, serta peduli sosial. Karakter seseorang mulai dibentuk saat mereka masih balita, masa kanak-kanak hingga remaja. Di masa era globalisai ini, ka- rakter anak tidak terbentuk dengan baik, bahkan ada yang tidak memiliki karakter. Di era globalisasi yang modern disertai tekno- logi yang canggih membuat hilangnya karakter anak. Alat-alat yang canggih seperti komputer, smartphone, laptop, atau yang lain- nya membuat anak malas, kebanyakan anak bila mereka sudah di depan komputer untuk ngegame pasti mereka akan lupa untuk bel- ajar, bahkan makan pun lupa. Komputer dan laptop tidak hanya untuk ngegame saja, tetapi dapat mengakses internet. Situs di inter- net dapat membahayakan bagi anak, contohnya, mereka dapat membuka situs dewasa atau melihat kekerasan-kekerasan orang dewasa. Hal seperti itu dapat mengganggu pembentukan karakter anak. Fasilitas anak di masa era globalisasi yang modern seperti saat ini juga membuat anak kurang untuk bersosialisasi dan tidak peduli akan lingkungan sekitar. Jika anak tidak peduli akan ling- kungan di sekitarnya lalu apa yang akan terjadi pada bangsa ini untuk kedepannya. Hilangnya kepedulian pada lingkungan sekitar akan membuat hilangnya rasa untuk memajukan bangsa ini. 88 Burung-Burung Kertas

Isi Dihentikannya liberalisme oleh UUD 1945 yang kembali di tengah-tengah kita, kreativitas dalam kebudayaan mendapat ke- sempatan untuk tumbuh sepesat-pesatnya. Kreativitas tidak lagi dihalang-halangi oleh dominasi. Dalam abad ke-20, Pancasila men- jadi suatu filsafat kebudayaan. Budaya yang sangat beragam di bangsa ini sangat sayang bila tidak diperkenalkan dan dilestarikan pada generasi muda. Budaya bukan hanya sekadar budaya saja, melainkan dapat membangun karakter anak guna membangun karakter bangsa ini. Karakter anak sangat dibutuhkan untuk membangun bangsa ini agar menjadi bangsa yang aman, damai, dan maju. Budaya dapat dijadikan sebagai senjata untuk membangun bangsa ini menuju bangsa yang gemilang. Budaya Indonesia harus di lestarikan dan diterapkan dan mewujudkan nilai-nilai karakter yang telah dibuat oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan seba- gai berikut. 1. Religius Religius adalah karakter yang berhubungan dengan kepercaya- an atau agama. Kebudayaan Indonesia banyak yang mengajarkan tentang keagamaan atau disebut juga religius. Contoh kebudayaan yang mengandung religius, yaitu kesenian wayang. Kesenian wa- yang merupakan budaya yang berbentuk tontonan. Di dalam cerita wayang tersebut terdapat nilai-nilai religius yang mengenai sifat manusia, yaitu baik dan buruk. Dalam kisah pewayangan digam- barkan dengan seseorang yang melakukan kesalahan dia akan me- lakukan semedi. Semedi adalah cara wayang untuk memohon am- punan pada Tuhan. 2. Jujur Jujur adalah apa adanya tidak ada kepalsuan disertai dengan fakta yang benar-benar terjadi. Kejujuran sangat penting dalam berkehidupan. Kejujuran dapat ditanamkan melalui permainan tra- disional. Contoh permainan tradisional yang menanamkan sifat jujur, yaitu permainan dakon, kelereng, dan bekelan. Burung-Burung Kertas 89

Dalam permainan dakon, kelereng,dan bekelan anak dilatih untuk berbuat jujur. Jika anak tersebut tidak jujur, saat ia bermain tidak mengakui kekalahannya dan akan bermain terus. 3. Toleransi Toleransi adalah sikap seseorang yang tidak menyimpang dari aturan dan seseorang tersebut menghargai atau menghormati tin- dakan yang dilakukan oleh orang lain. Di dalam budaya dapat diartikan sikap dan perbuatan yang tidak melarang atau mendes- kriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Permainan tradisonal yang mempunyai nilai karakter toleransi salah satunya ialah permainan pak tepong. Permainan pak tepong dilakukan oleh beberapa orang. Caranya dibuat garis sebagai batas pelempar dan beberapa meter di depannya dibuat lingkaran. Penata pecahan genteng harus menutup mata dan teman-temannya lari untuk bersembunyi jika melihat temannya sang penjaga harus memegang tumpukan pecahan genteng dan mengucapkan Pak Tepong. Namun, teman yang bersembunyi harus merobohkan tum- pukan genteng tersebut. Pada saat itulah toleransi ditumbuhkan, yaitu genteng boleh dirobohkan dengan cara mereka sendiri asal masih di dalam lingkaran. 4. Disiplin Disiplin adalah patuh, taat, dan hormat pada suatu ketentuan atau peraturan yang berlaku. Disiplin sangat penting dalam meraih kesuksesan dan memajukan bangsa ini. Kedisiplinan pada anak dapat dibentuk melalui permainan tradisional. Permainan tradi- sional yang membantu anak untuk disiplin salah satunya ialah per- mainan kasti. Permainan kasti dapat membentuk kedisiplinan me- lalui aturan atau kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua kelom- pok. Anggota dari kelompok harus menaati kesepakatan-kesepa- katan tersebut. Bila tidak menaati, orang tersebut akan mendapat- kan sebuah hukuman. 5. Kerja Keras Kerja keras adalah bekerja dengan sungguh-sungguh atau se- mangat untuk mencapai apa yang diinginkannya. Kerja keras sa- ngat penting untuk mencapai suatu keberhasilan. Permainan tra- 90 Burung-Burung Kertas

disional yang menggambarkan kerja keras salah satunnya adalah permainan gobak sodor. Permainan gobak sodor dilakukan oleh dua kelompok. Pemain harus bisa melewati garis tanpa tersentuh oleh lawan. Oleh karena itu, pemain harus berusaha keras agar bisa melewati lawan tanpa tersentuh lawan. Hal tersebut melatih seseorang untuk bekerja keras. 6. Kreatif Kreatif adalah kemampuan untuk menciptakan atau mengha- silkan sesuatu yang baru. Kreativitas sangat diperlukan dalam era globalisasi yang modern seperti saat ini untuk mengembangkan potensi pada dirinya. Kreatif dapat dibentuk melalui permainan tradisional, seperti mobil-mobilan kulit jeruk. Mobil-mobilan kulit jeruk biasanya menggunakan kulit jeruk gulung atau jeruk bali. Kulit jeruk yang sedemikian rupa harus dibentuk mobil-mobilan, di situlah kreativi- tas harus dikembangkan untuk membentuk mobil-mobilan. Proses kreativitas seperti itu melatih seseorang mengembangkan potensi untuk menemukan hal yang baru. 7. Mandiri Mandiri adalah keadaan seseorang yang dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain sehingga bebas dari ketergan- tungan. Mandiri merupakan keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Kemandirian dapat dilatihkan kepada anak melalui permainan tradisional. Permainan tradisional yang melatih kemandirian ada- lah permainan egrang. Egrang merupakan permainan yang meng- gunakan dua bambu. Bambu tersebut diberi panjatan sehingga bisa untuk dinaiki dengan satu bambu dipegang tangan kanan dan satu bambu bambu dipegang tangan kiri. Dengan posisi seperti itulah, kita dapat melatih kemandirian. Kita bisa berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. 8. Rasa Ingin Tahu Rasa ingin tahu merupakan suatu dorongan untuk mengetahui hal-hal baru. Rasa ingin tahu membuat seseorang aktif dan dapat mendorong seseorang untuk kreatif. Burung-Burung Kertas 91

Permainan tradisional yang dapat menumbuhkan karakter rasa ingin tahu ialah jamuran. Permainan jamuran dilakukan mi- nimal empat orang. Jamuran adalah permainan yang menyebutkan nama-nama tumbuhan. Jadi, pemain harus mengetahui jenis-jenis tumbuhan. Dari situlah membuat pemain mempunyai rasa ingin mengetahui berbagai macam atau jenis pada tumbuhan. 9. Semangat Kebangsaan Semangat kebangsaan adalah perasaan atau keturunan, se- nasib, sejiwa dengan bangsa dan tanah air. Semangat kebangsaan seperti ini diperlukan dalam persatuan dan kesatuan dalam bangsa Indonesia ini. Budaya yang dapat membuat tumbuhnya rasa kebangsaan ialah kesenian kethoprak. Kethoprak merupakan kesenian yang menceritakan peperangan antara kedua kerajaan yang mempere- butkan daerah kekuasaan. Peperangan yang dilakukan oleh kedua kerajaan tersebut merupakan gambaran saat Indonesia pada saat penjajahan dan ingin merdeka. 10. Cinta Tanah Air Cinta tanah air merupakan perasaan cinta terhadap bangsa dan negaranya sendiri. Dalam rasa cinta tanah air terdapat nilai- nilai rela berkorban untuk bangsa dan negara. Cinta tanah air dapat ditanamkan pada generasi muda melalui kebudayaan salah satunya melalui bahasa daerah. Bahasa daerah digunakan dalam bahasa sehari-hari. Bahasa daerah dapat digunakan untuk melatih rasa cinta tanah air karena salah satu wujud cinta tanah air adalah bangga dengan bahasa sendiri. 11. Menghargai Prestasi Menghargai prestasi merupakan suatu sikap atau tindakan yang mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain. Di dalam sebuah permainan, pasti akan ada yang mengalami keme- nangan dan kekalahan. Jika menang, kita jangan merasa sombong. Sebaliknya, bila kita kalah, kita harus menghargai keberhasilan atau kemenangan mereka. Menghargai kemenangan dapat dilaku- kan melalui ucapan selamat dan berjabat tangan. 92 Burung-Burung Kertas

12. Bersahabat/Komunikatif Yang dimaksud bersahabat komunikatif adalah suatu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Bersahabat dan komunikatif dapat dita- namkan dalam permainan tradisional salah satunya adalah bermain kelereng. Dari permainan tersebut, anak akan menjalin pertemanan dengan teman lainnya. Permainan kelereng juga melatih anak untuk belajar bekerja sama dan mengomunikasikan keinginan dan pi- kirannya. 13. Cinta Damai Cinta damai merupakan sebuah perbuatan yang menciptakan harmoni dalam kehidupan. Cinta damai menghindari pertikaian dan peperangan. Karakter cinta damai dapat ditanamkan melalui kebudayaan atau dalam sebuah permainan tradisional. Salah satu permainan tradisional tersebut adalah hom pi pah. Hom pi pah adalah permainan yang dimainkan minimal tiga orang. Dalam permainan tersebut, jika tangan mereka beda, dia akan kalah. Dari kekalahan tersebut anak dididik untuk tidak marah dan menjalin hubungan yang harmonis dengan temannya. 14. Gemar Membaca Yang dimaksud gemar membaca adalah suka membaca buku atau informasi. Kata pepatah “membaca adalah jendela dunia” karena dengan membaca kita bisa mengetahui semu hal yang be- lum pernah kita tahu. Nilai karakter gemar membaca bisa diterapkan kepada anak melalui permainan ABCD. Permainan ABCD adalah permainan yang menggunakan jari dengan suatu topik misal hewan dan buah. Permainannya adalah mengucapkan huruf abjad sampai urutan yang terakhir, nah saat huruf terakhirlah yang menentukan huruf awal dari nama hewan dan buah tersebut. Melalui permainan tersebut memacu anak untuk banyak membaca agar mengetahui nama-nama buah dan hewan. 15. Peduli Lingkungan Peduli lingkungan merupakan sikap seseorang terhadap ling- kungan untuk menjaganya. Lingkungan sekitar perlu untuk kita jaga agar tidak terjadi banyaknya bencana. Peduli lingkungan dapat Burung-Burung Kertas 93

diterapkan melalui permainan tradisional. Permainan tersebut adalah pasaran. Pasaran biasanya dilakukan di luar rumah dengan membuat rumah-rumahan. Di situlah penanaman peduli lingkung- an, rumah-rumahan yang dibuat harus dijaga dengan baik agar tidak rusak. 16. Peduli Sosial Peduli sosial merupakan perilaku seseorang yang berbuat baik terhadap sesama, yaitu berbagi dan membantu. Nilai karakter pe- duli sosial sangat diperlukan dalam kehidupan di bangsa ini agar warga negara tidak sengsara seperti saat ini karena banyaknya korupsi di badan legislatif. Permainan tradisional yang mengandung nilai karakter peduli sosial, yaitu uding (berkelompok). Uding adalah permainan yang menggunakan tali yang tersusun dari karet. Permainan tersebut membantu menanamkan nilai peduli sosial. Nilai karakter tersebut dilakukan melalui cara saling membantu antarteman. 17. Tanggung Jawab Tanggung jawab adalah keadaan yang wajib menanggung segala sesuatu atas perbuatannya. Tanggung jawab sangat dibutuh- kan dalam pekerjaan ataupun yang lainnya. Tanggung jawab dapat ditanamkan kepada anak melalui permainan tradisional ibu-ibuan. Permainan yang berperan sebagai ibu harus melindungi anak-anak. Peran ibu harus bertanggung jawab dan menjaga anak-anaknya agar tidak diambil musuhnya. Dari situlah nilai tanggung jawab ditanamkan kepada anak. 18. Demokratis Demokratis adalah memutuskan suatu masalah berdasarkan kesepakatan bersama. Setiap orang berhak untuk memberikan pen- dapatnya. Karakter demokratis dapat ditanamkan melalui per- mainan tradisional, contohnya adalah permainan boi-boinan. Sebelum permainan dimulai, kesepakatan-kesepakatan dan aturan- aturan dalam permainan di musyawarahkan bersama. Di saat membuat kesepakatan itulah yang melatih untuk demokratis. 94 Burung-Burung Kertas

Penutup Dalam pembentukan karakter yang dibuat oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan terdapat delapan belas nilai, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin kerja keras, kreatif, mandiri, de- mokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Karakter seperti itu sangat dibutuhkan dalam kemajuan bangsa ini. Untuk itu, karakter anak harus dibangun agar pembangunan di bangsa ini terlaksana dengan baik. Betapa pentingnya kebudayaan yang kita miliki dan banyak manfaat yang kita peroleh dari kebudayaan tersebut. Jangan sam- pai kebudayaan yang kita miliki direbut oleh bangsa lain. Kebu- dayaan juga perlu dikembangkan agar seluruh warga bangsa Indo- nesia mengenalnya. Manfaat kebudayaan bangsa ini salah satunya, yaitu memba- ngun karakter yang dimiliki dalam bangsa ini. Karakter itu sangat penting bagi suatu bangsa karena karakter bangsa menunjukan bagaimana bangsa tersebut. Oleh karena itu, kita sebagai orang tua dan generasi muda diharapkan untuk dapat memperkenalkan kebudayaan bangsa ke- pada anak-anak dan generasi yang selanjutnya. Selain kita meles- tarikan budaya bangsa ini, anak kita juga dapat membangun karak- ter kepada generasi muda untuk memajukan bangsa dan menunjuk- kan karakter bangsa ini. Biodata Penulis Dian Andri Ani. Tinggal di Pendul RT 50, Argorejo, Sedayu, Bantul. Saat ini Dian Andri Ani sekolah di SMA Negeri 1 Sedayu. Jika ingin berkorespondensi dengan Dian Andri Ani dapat menghubungi HP: 087738706117. Burung-Burung Kertas 95

96 Burung-Burung Kertas

CERPEN Burung-Burung Kertas 97

98 Burung-Burung Kertas

BERMULA DARI SUARA Deliana Poetriayu Siregar Hari ini senja kembali menyapa. Sama dengan sapaan akrabnya di hari-hari lalu, ia selalu menimbulkan suasana yang sama. Sama juga dengan rasa yang selalu aku rasakan kala senja. Rasa yang sama saja dengan secangkir seduhan kopi Gayo tanpa campuran gula di dalamnya. Pahit tapi masih dapat dinikmati. Rasa ini teracik dengan sempurna. Takarannya pas, tidak kurang dan tidak lebih. Kali ini aku duduk sendiri dan masih menunggu kehadiran Ben. Tak seperti biasanya, ia kali ini datang terlambat. Ia tak kun- jung menyapa diriku. Hari-hari lalu, Ben selalu datang tak berse- lang lama setelah Jen pergi. Tapi kali ini, sepertinya ia ingin menguji kesabaranku. “Sudah berapa batang Djarum kau habiskan hari ini?” “Belum sebatang pun,” jawabku menimpali suara Ben yang lembut penuh kasih sayang. “Kau tidak bertanya mengapa aku datang terlambat?” Ya, Ben masih saja berlaku seperti sepuluh tahun yang lalu. Ia begitu lembut, penuh perhatian, dan selalu menaruh kekhawatiran dari rasa sakit yang aku rasakan. Meski kelembutan dari suaranya penuh perhatian, masih dapat kukenali ketegasan dari tiap pernya- taan yang ia lontarkan. “Mengapa engkau datang terlambat?” “Aku menunggu emosimu mereda. Mengapa engkau begitu gusar tadi?” suara Ben masih begitu tenang. “Jen yang memancingku,” jawabku dengan mimik kesal. “Apa yang ia pancing dari dirimu?” Burung-Burung Kertas 99

“Untaian memori itu. Satu babak memori mengenang Sam. Padahal aku tak menyukai itu.” “Kau harus biasakan untuk terlepas dari memori tentang Sam.” “Aku sudah berusaha. Tapi kali ini ceritanya begitu emo- sional.” “Kau harus coba lebih kuat. Terlebih, Sam sudah sepuluh ta- hun menghilang. Sepuluh tahun juga ia tidak menyapa kehidupan- mu lagi,” papar Ben mencoba menguatkan perasaanku. Ia menyampaikan dengan suara yang lebih empuk dan penuh optimisme. Seharusnya hanya engkau yang muncul saat itu, Ben. Aku tak merasa seteduh saat bersamamu kala aku bercengkerama dengan Sam sepuluh tahun lalu. Sesungguhnya ia adalah kekacauan yang berbalut romantisme senja. Ia adalah Sam yang dengan se- enaknya mengambil bagian dalam hidupku dan merenggut keba- hagiaanku. Ia adalah Sam sosok Bengis yang berkedok cinta tanpa batas. Ia adalah Sam yang tega-teganya membuat kelam satu babak perjalanan ini sepuluh tahun lalu. Ia adalah Sam yang berganti dengan sosok Ben yang begitu aku kagumi. “Apa yang paling engkau benci dari babak itu?” tanya Ben kemudian. Aku hanya terdiam tak mampu menjawab pertanyaan, Ben. Sepuluh tahun lalu, semua begitu menyiksa. Ibuku menganggapku aib dan ini semua hanya karena Sam. Sam yang muncul dalam hidupku, semula membawa pelangi yang begitu nyata dan indah. Sayang semua berakhir dengan luka yang mendalam. Bagaikan sayatan dalam yang sakitnya begitu dalam dan tak kunjung pudar. Hanya sebab keberadaan Sam, aku dikucilkan dari lingkunganku. Aku pun pada akhirnya harus menerima perpisahan dengan Maurin. Semua karena Sam sampai aku harus lama mendekam di balik jeruji besi. Semua terasa sakit hingga entah apa yang aku harus katakan pada Ben. “Tak perlu kau nyatakan bila memang engkau tak mengingin- kannya,” ujar Ben kemudian. Peluh air mata membasahi pipi. Ia sepertinya tak terbendung kembali. Jemari mungilku kupakai untuk menyeka tetesannya. Aku 100 Burung-Burung Kertas

merasa malu terlihat lemah kembali di hadapan Ben. Aku tak seha- rusnya menjadi demikian. “Sam bukan penyebab dari masalah sepuluh tahun itu!” “Jen?” ujarku terperanjat. “Tidak ada Jen di sini. Ia sedang tertidur. Hanya ada aku dan kau di sini,” ujar Ben coba menata emosiku kembali. “Aku baru saja mendengar suara Jen,” kataku mencoba meya- kinkan Ben tentang suara yang aku dengar. “Jen tidak ada di sini. Ia sedang tertidur. Ia akan menjumpaimu malam nanti.” “Aku tidak ingin bertemu Jen nanti malam. Aku masih marah padanya. Panggil saja Nad atau Mel untuk menemaniku berbin- cang.” “Kau belum bisa meredam amarah pada Jen?” “Belum bisa. Aku yakin ini karena Jen masih bersahabat baik dengan Sam. Ya, ia pasti masih bersahabat dengan Sam di belakang- ku,” ujarku dengan penuh kecurigaan. “Jangan berburuk sangka! Praduga seperti itu yang menjerat- mu kembali terperosok ke dalam lembah kelam dalam kehidupan- mu sendiri.” “Tapi ini semua sulit. Ini begitu berat bagiku.” “Jangan engkau menganggap semua kesulitan di masa itu ha- nya milikmu sendiri. Jen, Nad, dan Mel juga merasakannya. Aku minta engkau menyadari hikmahnya. Toh setelah kejadian itu, aku justru bisa muncul dalam kehidupanmu. Peristiwa itu yang membuat aku mengenalmu lebih baik. Jen, Nad, dan Mel sudah cukup tersiksa dengan rasa-rasa pahit yang engkau bubuhkan tiap senja.” “Apa engkau juga mulai merasa jenuh berteman denganku, Ben?” “Engkau lagi-lagi mulai menaruh curiga. Coba engkau pejam- kan mata dan tanyakan lagi pada hatimu. Jangan dengarkan suara- ku, Jen, Nad, atau juga Mel. Ingat saja rasa lain yang engkau cicip kala senja bersamaku. Itulah sejujurnya juga yang aku rasakan saat bersamamu.” “Aku menyukai rasa yang ini, Ben.” Burung-Burung Kertas 101

“Kalau begitu, coba miliki rasa itu sepenuhnya. Gunakan rasa itu untuk memerangi rasa yang Sam tabur dalam lubuk hatimu. Aku yakin engkau pasti bisa menaklukkannya.” “Aku sudah katakan begitu padanya, Ben,” tiba-tiba Jen me- nyambung pembicaraan. “Mengapa engkau bisa kembali lagi, Jen?” tanyaku keheranan. “Aku didesak oleh Mel dan Nad untuk mendatangimu lagi. Mereka membujukku untuk datang berbaikan dengan dirimu.” “Tapi engkau tak seharusnya menyapa saat aku sedang ber- sama Ben. Lagi pula ini waktu bagi Mel untuk menemaniku.” “Ben dan Mel yang memberiku kesempatan untuk menyapa- mu. Aku hanya sebentar sekadar meminta maaf.” “Aku memaafkanmu. Aku juga baru sadar tentang rasa pahit yang juga engkau rasakan, Jen. Aku juga meminta maaf.” “Aku rasa ini semua kesalahan kita semua. Aku akan mening- galkanmu untuk berbincang dengan Ben kembali,” ujar Jen meng- akhiri. Tak berapa lama Jen pun pergi. Ben kembali hadir. Kali ini suaranya lebih ringan. Sepertinya ia tahu bahwa Jen baru saja da- tang dan telah berbaikan dengan diriku. “Lebih lega?” “Iya. Aku merasakan rasa yang aku cintai lagi, Ben.” “Itu sebabnya aku datang sebagai pengganti Sam. Aku ingin menghadirkan kembali rasa yang engkau cintai.” Ben memang begitu perhatian. Ia adalah sosok yang aku cintai. Ia sangat ideal untuk dicintai. Ia memberikan rasa sayang yang pas. Tidak sengaja ia buat sebagai penenang saja. Ia begitu menyita perhatianku. Merenggut porsi yang lebih besar daripada Jen, Mel, dan Nad. Ia hadir hanya di saat yang tepat. Seperti yang ia katakan, ia adalah hikmah dari peristiwa itu. “Ben, ini sudah pukul tujuh. Aku sudah membuat janji bertemu dengan Karin,” ujarku mencoba menutup sesi obrol santai bersama dengan Ben. “Baiklah, aku akan melepas kepergianmu. Aku rasa pertemuan- mu dengan Karin telah memberikan kebaikan kepada kehidupan- mu,” ujar Ben kemudian. 102 Burung-Burung Kertas

“Apa contohnya, Ben?” “Gampang saja, engkau sudah beberapa hari tidak bergantung pada rokok kebanggaanmu itu. Dan aku rasa itu baik untuk me- nambah pergaulanmu,” jelas Ben seraya tersenyum manis meng- akhiri. Aku hanya berpikir ringan. Mengangguk pertanda setuju dengan ucapan Ben. Aku pun kemudian tersenyum mengakhiri perbincangan senja itu. Rasa pahit itu pun perlahan memudar. Setidaknya hari ini Ben sukses memudarkannya. Aku memutuskan bergegas menemui Karin sebelum akhirnya Mel mendesak untuk bertemu denganku. Meski aku sudah ber- kopromi dengan Mel, aku takut kalau-kalau Mel jenuh tiba-tiba dan memaksa untuk bertemu denganku. Akhirnya aku putuskan untuk segera berjalan menuju rumah Karin. Rumah Karin tak seberapa jauh dari taman. Ia sempat mengirim pesan singkat tentang jadwal bertemu hari ini. Ia mengingatkan aku mengenai buku ca- tatan yang menjadi milikku, Ben, Jen, Mel, dan Nad. Ia memasti- kan kami masih rajin mengisinya. Rumah Karin sangat megah. Aku sangat menyukai arsitektur bangunan rumah Karin. Konsepnya elegan tapi bersentuhan dengan alam. Setiap Karin menjanjikan aku untuk bertemu di rumahnya, aku merasa sangat bahagia. Rumahnya sangat nyaman untuk seka- dar berbagi cerita. Tak berapa lama aku menunggu di ruang tamu, sosok Karin yang anggun datang menghampiriku. Karin saat itu terlihat sangat manis. Ia mengenakan pakaian merah muda bermotif bunga kecil berwarna keunguan. Ia tersenyum dan mempersilakan aku berdiri. “Ayo kita masuk ke ruanganku saja!” ajak Karin padaku. Aku berjalan di belakang Karin. Karin dan aku tengah berjalan menuju sebuah ruangan yang lebih tenang. Ruangan Karin ini me- mang menjadi saksi bisu persahabatan aku dan Karin. Hari ini, ruangan ini begitu lekat di pikiranku. Kenampakan pertamakali aku memasuki ruangan ini begitu berbeda dengan kenampakannya sekarang. Aku merasakan begitu bersahabat dengannya saat ini. Cukup berbeda dengan keadaan lima tahun silam. Burung-Burung Kertas 103

“Tak terasa sudah lima tahun. Apa engkau sudah dapat ber- adaptasi dengan kondisi ini?” “Iya, Rin. Aku merasa sangat tertolong setelah kehadiranmu.” Aku merasa Karin adalah salah satu karakter yang Tuhan ciptakan untuk mengangkatku dari keterpurukan. Ia yang menguatkan aku. Ia adalah Karin yang mengenalkan aku pada Ben, Jen, Mel, dan Nad. Karin juga adalah orang yang pada akhir- nya menciptakan media komunikasi efektif antara aku dengan Ben, Jen, Mel, dan Nad. Ia yang membungkus aib menjadi sebuah ke- kuatan, keunikan, atau bahkan sekadar kelebihan sederhana. “Aku ingin memulai obrolan hari ini dengan mengingat peris- tiwa sepuluh tahun lalu. Aku ingin menguji caramu menguasai emosimu. Aku ingin engkau memikirkan semua peristiwa sepuluh tahun lalu dengan sempurna,” pinta Karin kemudian dengan di- sertai sentuhan tangan yang menguatkanku. Sepuluh tahun silam, aku seolah menjadi orang gila. Perka- winanku dengan Jonathan seolah tak bisa berjalan sempurna. Jonathan kerap menyiksaku. Ia mudah merajuk bila aku tidak membuatkan secangkir kopi Gayo favoritnya sepulang dari kerja. Bila aku tidak segera sadar, ia akan menyiramkan air panas sehabis aku jerang. Lebih dari sekadar menyiksa fisikku, Jo juga telah memiliki dua orang perempuan simpanan. Oleh karena aku tidak tahan dengan kelakuan Jo, aku mencoba lari ke keluargaku. Ibuku menolakku mati-matian dan akhirnya kerap menyalahkan aku atas segala perilaku Jo. Ibu selalu melihat aku sebagai anak yang tidak pernah tumbuh dewasa dalam menyelesaikan masalah dalam ru- mah tanggaku. Aku pun pada akhirnya dikembalikan dalam sua- sana mencekam bersama Jo. Penolakan dari sumber-sumber keselamatan tersebut mem- buat aku menjadi depresi berat. Aku sempat ditemukan beberapa kali berusaha melukai diriku sendiri. Tapi usaha bunuh diriku ter- sebut juga berkali-kali gagal karena aku yang diselamatkan oleh Maurin, putri kecilku yang dulu berusia enam tahun. Berkali-kali aku tak menjumpai orang yang tepat untuk berbagi cerita atau sekadar meminta pertolongan kecil, aku pun pada akhirnya mene- mukan Sam. Pada mulanya, Sam tidak pernah menampilkan diri 104 Burung-Burung Kertas

baik pada Jo maupun Maurin. Ia lebih senang hanya berdiskusi dengan diriku. Ia muncul sebagai penguat mentalku. Ia meng- ajariku mengenai keberanian. Ia bahkan sesekali memaksaku untuk melawan kekerasan yang dilakukan Jo. Tapi aku berkali-kali me- nolak melakukannya karena rasa takut pada Jo yang sangat besar. Tak berapa lama aku mengenal Sam, muncul karakter Jen. Ia adalah sahabatku dan juga Sam disaat yang bersamaan. Jen tidak senang mengobrol denganku. Ia lebih sering mengingatkanku dengan suara-suara yang menggema di otakku. Jen lebih sering mengobrol dengan Sam saat itu. Mereka banyak berdiskusi. Ter- kadang Jen membuatku cemburu. Saat itu aku mencintai Sam yang juga memberikan perhatian sama besarnya untukku dan juga Jen. Sam saat itu begitu perhatian dan kuanggap sebagai pahlawan dalam masa penyiksaanku. Tapi semua itu berakhir ketika rasa cemburuku terlampaui jumlahnya. Aku mulai mengabaikan saran- saran bijak Jen. Aku menekan pengaruh Jen kuat-kuat. Akhirnya, Sam mulai mengambil peran yang cukup dominan dalam kehidupanku. Ia mulai memonopoli tubuhku. Ia membalas- kan rasa sakitku pada Jo secara terus menerus. Hingga suatu kali, Sam menggunakan tubuhku untuk membunuh Jo. Sejak saat itu pula aku dicap sebagai pembunuh. Aku dipenjara dan Sam entah ke mana perginya. Karena peristiwa pahit itu, aku dijauhi masya- rakat, dituntut mati oleh keluarga Jo, dibenci seumur hidup oleh Ibu dan harus dipisahkan dengan Maurin. Maurin dianggap perlu diadopsi oleh orang lain yang sangat jauh untuk menjauhkan dari pengaruh burukku atau juga pengaruh buruk Sam. Aku mendekam lima tahun dalam bui dengan rasa malu yang begitu luar biasa. Selain rasa malu, rasa berdosa juga menghantui diriku. Rasa jijik pada Sam juga muncul. Aku tinggal dengan rasa yang penuh dengan penyesalan. Aku hanya ditemani oleh pan- dangan aneh teman satu sel yang menyebut aku gila. Aku terba- ngun sebagai aku selama dua atau tiga hari sekali dan menjadi lupa ingatan untuk beberapa hari lain. Yang hanya dapat aku defi- nisikan adalah aku dapat mendengarkan suara-suara dari Jen, Mel, Nad, dan Ben. Saat itu, aku belum mampu berkenalan dengan Burung-Burung Kertas 105

mereka. Aku hanya memiliki perspektif tentang mereka. Hanya suara Ben yang sejak awal telah terdengar teduh dan bijaksana. Setelah lima tahun mengakrabi bui, aku dibebaskan bersyarat oleh Karin. Ia adalah seorang ahli kejiwaan yang mau menjaminku. Ia melakukan penjaminan dan perawatan instensif untuk sekadar menyelamatkan aku. Sejak lima tahun lalu, Karin mencoba meme- diasi kehidupan Ben, Mel, Nad, dan Jen denganku. Sesekali aku yang datang berkunjung menemui Karin. Sesekali bila diminta, Ben, Jen, Mel, atau Nad yang datang mengunjungi Karin. Terka- dang Karin yang meminta demikian agar Ben, Jen, Mel, dan Nad bisa bercerita mengenai permasalahanku dari sudut pandang yang lain. Dahulunya Mel, Ben, Jen, dan Nad tidak bisa berbincang denganku. Mereka hanya mengambil peran sebagai suara-suara di otakku. Kadang mereka adalah karakter yang mengambil peran tubuhku saat aku tertidur. Mereka kerap melakukannya tanpa per- misi kepadaku. Mereka melakukan seenaknya hingga kadang mem- buatku lelah saat terbangun. Tapi untung saja mereka tidak seperti Sam yang menggunakan tubuhku untuk bertindak kriminal. Karin bilang, aku adalah seorang penderita alter ego. Lebih dari suara-suara, Ben, Jen, Mel, Nad, dan bahkan Sam adalah ka- rakter yang telah hidup dalam diriku. Ia mengambil peran dan posisi tertentu dalam hidupku. Aku adalah karakter dominan yang menguasai tubuhku sendiri. Ben dan Jen adalah karakter dominan lainnya. Tapi frekuensi kemunculan mereka saat ini bisa aku atur. Terlebih Mel dan Nad. Mereka karakter yang lemah yang jarang muncul. Mel hanya muncul saat aku sedang terancam bahaya. Ia tidak pernah meminjam tubuhku untuk menjalani kehidupannya. Nad muncul saat aku perlu bersosialisasi dengan orang lain. Nad paling ahli berkomunikasi dengan orang lain. Ia menguasai ke- mampuan bercakap-cakap dengan baik. Ia cukup pandai menyim- pan rahasia bila tengah bergaul dengan orang lain. Sama dengan Mel, Nad tidak memiliki kehidupan sendiri. “Sudah minum obat, Ca?” “Sudah, Rin. Apa aku bisa sembuh?” “Tentu saja bisa. Kesembuhanmu akan bergantung kepada caramu beradaptasi dengan semua karaktermu yang lain. Aku lihat 106 Burung-Burung Kertas

dari buku catatan kalian, kalian sudah belajar banyak sejauh ini. Kalian bisa bekerja sama dan menekan kemunculan Sam,” jelas Karin. Aku masih harus berusaha untuk menguatkan diriku sendiri, Ica Meidina. Ica masih harus berusaha bersahabat dengan dirinya sendiri. Tidak hanya bersahabat dengan karakter lainnya, aku juga harus bersahabat dengan masa laluku. Aku juga harus belajar ber- sahabat dengan Sam. Aku harus bersahabat dengan seluruh kehi- dupanku. Biodata Penulis Deliani Poetriayu Siregar tinggal di Jalan Kaliurang km.14, Sleman. Saat ini Poetri kuliah di Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah menulis, “berbicara”, jalan-jalan, dan mendesain. Jika ingin berkores- pondensi dengan Poetri dapat menghubungi: HP 087834859655, email: [email protected], twitter: @anggsiregar, FB: Anggi Siregar. Burung-Burung Kertas 107

BINTANG HARAPAN Akbar Yoga Pratama Aku selalu berpikir hidup itu seperti garis lurus. Tak ada yang menarik untuk didefinisikan tentang garis-garis yang saling beraturan. Sekalipun mereka berkooordinasi membentuk suatu bidang asimetri, itu sama sekali tak bisa disebut seni. Menurutku, hidup tak pernah punya cerita. Setidaknya sampai aku bertemu denganmu, teman kecil yang bicara dalam kebisuan, yang bertindak dalam kebungkaman. “Kelompok tiga, Sofi, Igo, Eka, Miko, Bagus…!” seruku. “Hahahaha…!” tiba-tiba seisi kelas meledak oleh tawa. Aku yang dipercaya membuka undian kelompok, berdiri me- matung menatap sekitar. Pandanganku terhenti di mata Sofi, dia nampak kecewa dan masih tak percaya dengan hasil undian. Dan aku tahu apa sebabnya. Aku memberanikan diri menatapnya de- ngan tatapan ala Tom Hanks dalam film di mana ia terdampar di suatu pulau sepi, tidak bertemu manusia selama tujuh belas bulan, dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli. Alih-alih menenang- kan hatinya, itu justru membuat orang merasa mual dan ingin muntah. Sambil beranjak duduk, aku melihat beberapa teman menu- ding Sofi sambil terbahak-bahak. Wajahnya memerah. Kulirik so- sok bernama Bagus yang duduk sendirian di depan. Dia bergeming layaknya sebuah tiang seolah tak merespon lingkungan sekitar. Sungguh, dia adalah orang paling tolol dan kolotan yang pernah kukenal. Untungnya aku tidak sekolompok dengannya. Sofi dan teman sekelompoknya, kecuali Bagus sampai menggerutu habis- 108 Burung-Burung Kertas

habisan padaku saat jam istirahat. Padahal aku hanya ditugasi Bu Hindun untuk membuka undian. “Dosa apa aku harus bekerja sekelompok dengan dia selama tiga minggu ke depan?” “Huss! Jangan gitu, Sof! Gimana juga, dia itu teman sekelas kita.” “Tapi, kenapa mesti aku yang sekelompok coba!” “Mungkin kaliaaaann.....” aku sedikit ingin menggoda. “Heh, Ram! Sembarangan!” balasnya. Aku terbahak men- dengarnya. Aku sendiri mengakui Bagus seorang pemuda yang aneh. Sangat aneh. Tubuhnya tinggi kurus. Wajahnya tirus. Matanya berkantung, seperti orang yang tak pernah tidur. Rambutnya tipis dan kemerahan, disisir dengan belahan yang tak proporsional. Dia punya kening lebar yang ditumbuhi jerawat. Alisnya juga tebal sekali sementara dagunya mundur ke belakang. Jika disaksikan dengan saksama, keseluruhan tubuhnya mirip dengan pohon jati kurus yang sedang meranggas. Pertama kali bertatap muka—dua tahun lalu—dia membuat kami semua ternganga. Ia memakai celana SMP lawas sepanjang lutut yang menampakkan betisnya yang seperti tongkat bersekrup. Kakinya terbungkus sepatu futsal yang ukurannya tiga nomor di atas ukuran kakinya. Bagian paling menakjubkan adalah, kaos kakinya bermotif belang-belang merah muda! Dia selalu datang terlambat ke kelas, dengan nafas terengah- engah dan peluh bercucuran membasahi tubuhnya yang hitam le- gam, seperti Usain Bolt yang baru saja menyelesaikan sprint 1000 meternya. Begitu masuk, hal pertama yang dia lakukan adalah menampilkan senyum lebarnya dan ber-”hehe” kepada guru yang sedang mengajar. Lalu dia akan duduk di sana, di bangku depan dengan seluruh pakaian dan peralatannya yang usang, diam sepan- jang hari seperti seonggok benda uzur di sudut ruangan. Bagus. Kupikir, namanya sama sekali tak pernah seperti wu- judnya. Tapi, ada satu hal yang harus kuakui juga. Dia seperti mutiara yang terbungkus debu tebal. Di balik perangainya yang tolol dan Burung-Burung Kertas 109

membuat jengkel, dia memiliki otak yang ajaib. Tak dinyana oleh- ku, bahkan oleh oknum-oknum pengejeknya, dia adalah anggota tetap rangking tujuh besar di kelas! Maka dari itu, aku tak pernah berani ikut-ikutan mencelanya. Tanggung jawabku sebagai ketua OSIS membuatku harus bergaul dengan segala kalangan warga sekolah tanpa pandang bulu. Dan salah satu tanggung jawabnya, adalah menjadi teladan bagi teman-teman. Entahlah, aku hanya berusaha menjadi baik. “Menurut kamu, yang salah itu Bagus atau teman-teman, Ram?” tanya Sofi. Aku bungkam seribu bahasa. Aku bukanlah bi ahkaamil haakimiin yang mampu dengan jelas dan pasti menunjuk seseorang atau sekelompok orang sebagai tersangka. Aku sama sekali tak mampu memahami Bagus atau teman-teman yang lain. Yang satu seperti merasa tidak membutuhkan orang lain dan sangat menjeng- kelkan jika diajak bicara. Yang satunya lagi menilai bahwa Bagus adalah sebentuk produk yang gagal melewati seleksi alam, dan mereka jengah juga karena Bagus tidak pernah bisa diajak berko- munikasi yang baik. Aku sendiri menyadari kedua hal itu. “Gak tau, Sof.” jawabku demi membuatnya diam. *** Aku melirik ke kelompok Sofi, “Bagaimana kalau kita mengadakan penelitian tentang peman- faatan biogas? Yang mudah saja, karena dekat rumah kita ada ternak sapi yang lumayan besar,” usul Sofi. Semua teman mengangguk kecuali Bagus. “Aku tidak sependapat!” katanya tiba-tiba. Mereka, bahkan seisi kelas menatapnya. “Kenapa?” “Eh,” dia tampak tergagap. “Hehe tidak apa-apa. Emm, hanya saja… ya kalau kalian setuju, aku tidak apa-apa,” “Aku ingin mendengar alasanmu tidak sependapat denganku. Barangkali kamu punya ide yang lebih cemerlang?” “Tidak, tidak. Aku ngikut saja… Hehe, iya aku ngikut saja,” “Dasar orang aneh!” gerutu Sofi. 110 Burung-Burung Kertas

Satu hal yang paling dibenci dari bekerja satu kelompok dengan Bagus adalah, Bagus selalu menjadi sasaran bullying teman-teman. Ketika selesai presentasi, teman-teman akan berlomba-lomba mengacungkan tangan untuk memberi pertanyaan atau tanggapan. Dan biasanya mereka mengatakan, “saya ingin bertanya pada Mas Bagus…” atau “saya ingin menanggapi pernyataan Profesor Bagus…” Tampaknya, mereka lupa dengan prestasi Bagus. Mereka me- manggilnya dengan julukan-julukan yang menggelikan. Aku tak tahu siapa yang sebenarnya lebih tolol. Bagus memang tak pernah bisa menguraikan jawaban secara sempurna. Tapi teman-teman? Mereka menanyakan dan menyatakan hal-hal kritis sekadar untuk menerima tanggapan bodoh. Mereka menikmati ekspresi Bagus yang selalu tampak seperti badut sirkus yang lupa pada atraksi selanjutnya. Terkadang, Sofi sendiri merasa iba. Dan perasaannya mendorongnya untuk mencegah mereka melakukan mental abuse yang lebih parah terhadapnya. Dan kau tahu apa tanggapan me- reka? “Hahaha… sudah kita duga. Kalau tiga kali berturut-turut kamu sekelompok sama dia… itu artinya kalian jodoh! Sekarang mulai kelihatan kan chemistry-nya? Hahaha!” kata Uli yang paling semangat mewakili dua puluh empat siswa lainnya. *** Sekarang bulan Juni. Aku senang sebentar lagi kami naik kelas. Aku sangat berharap tidak sekelas dengan orang-orang aneh ma- cam Bagus, atau macam teman-temanku yang lain. Tapi, ada kabar mengejutkan. Suatu pagi, guru kami mengkonfirmasi ketidakhadir- an Bagus selama beberapa hari belakangan. Rupanya, dia keluar dari sekolah. Gumam-gumam keheranan pun bermunculan. “Apakah gara-gara dia selalu terlambat dan menjadi bulan- bulanan kita?” Igo heran. “Tanpa mengikuti ujian kenaikan kelas terlebih dahulu?” Rani menimpali. “Sepertinya dia memang berniat tidak melanjutkan sekolah,” giliran Uli bicara. Burung-Burung Kertas 111

“Oh… anak malang,” gumam yang lain dengan nada meng- hina. “Dia bahkan tidak meninggalkan apapun untuk kita…” “Kalian salah!” tiba-tiba wali kelas kami, Bu Hindun menyela, “dia meninggalkan ini…,” perempuan itu mengacung-acungkan sepucuk surat. “Tapi di sini tulisannya untuk Sofia.” “Haaaaaa!” seisi kelas langsung menuding Sofi. Aku tak ter- kejut karena pagi ini, sebelum jam masuk, kepala sekolah dan Bu Hindun mengajakku berbicara di ruang guru. Mereka bercerita banyak tentang Bagus. Aku diam memahami dan mencari solusi. “Kubilang juga apa? Diam-diam mereka saling cinta! Hahaha!” Uli makin menggila. Sofi maju ke depan mengambil surat itu dengan wajah merah padam. “Sialan kalian semuaaa!” geramnya pelan. Dia buka surat itu sambil memaki-maki pada diri sendiri. Kalau Bagus di sini, dia yang akan dimaki! Sofi membuka surat itu dan mulai mem- bacanya. Halo Sof, Aku cuma mau minta maaf karena aku selalu membuatmu marah. Aku tau kamu membenciku karena banyak hal, terutama karena aku bodoh, tidak pernah ikut mengerjakan tugas kelompok, dan mempermalukan kalian saat presentasi. Biar kujelaskan, aku selalu terlambat karena aku harus mengurusi dua adikku. Aku sudah tidak punya orangtua. Lalu aku tidak bisa ikut kerja kelompok siang hari karena aku harus bekerja. Aku harus membantu pamanku di pasar, demi menghidupi mereka. Sementara kalau malam, aku sudah terlalu lelah untuk melakukan hal lain. Aku tidak senang membagi kisah hidupku yang tidak menye- nangkan. Tapi, aku tidak ingin kamu salah paham. Itu saja. Bagus. Selesai membaca itu, aku menemukan tatapan teman-teman yang seperti sudah siap menerkam dengan ejekan. 112 Burung-Burung Kertas

“Kalian harus membaca ini!” Sofi berseru sambil melambaikan surat itu pada mereka, suaranya sudah cukup membuat semua homo sapiens tolol di kelas tafakur mendengarnya. Sudah nampak butir-butir embun yang siap menetes dari mata cantik Sofi. Seisi kelas membaca surat itu secara bergantian, aku sendiri tak terlalu tertarik, aku hanya pura-pura bertanya pada Sofi apa isi surat itu. “Apa isi suratnya, Sof?” “Baca sendiri! Ram, besok temenin aku ke rumah Bagus ya! Kita cari alamatnya di ruang tata usaha!” “Oke siaap! Tapi kita ke pasar dulu cari dia,” kataku. Sofi mengangguk. “Apa sih yang enggak untukmu, Sof?” batinku melanjutkan. Tiba-tiba sekelas memalingkan muka ke arahku dan Sofi. “Ram, Sof, gak nyangka ya, Bagus itu...” “Makanya kamu jangan ejek dia terus!” Sofi tidak terima, kucoba menenangkannya. “Kalo kamu mau, besok pulang sekolah ikut aku sama Sofi ke rumah Bagus. Kita minta maaf, kita ajak dia sekolah lagi,” kataku mencairkan suasana. “Hmm.. Gimana yaa, aku takut Ram. Lagian besok aku ada acara. Titip salam aja, ya,” kata Uli. Sebenarnya aku ingin langsung menghajar si pengecut ini demi mendengar kata-katanya tadi. Pandanganku tajam ke arah mata- nya, lalu aku memalingkan mata ke luar, seolah tak peduli tentang yang kurasakan. “Pengecut!” batinku. Aku memandangnya lagi dengan sengit. Aku tahu, dia hanya gengsi. Sosok seperti itulah yang harusnya dijauhi. *** Esoknya, sesuai janji kemarin, sepulang sekolah kami ke pasar. Sayangnya, di pasar kami sama sekali tak melihat pemuda itu. Kami putuskan untuk ke rumahnya. “Assalamualaikum! Bagus!” Sofi memanggilnya. Hening. “Gus, Bagus! Ini Sofi, Gus!” masih memanggilnya. Lagi, tanpa jawaban. Burung-Burung Kertas 113

Aku yang menunggunya sambil duduk di sebuah lincak mera- tapi keadaan rumahnya. Interiornya yang sangat sederhana, lantai tanah yang kotor, tembok dan atap dari gedhek, kontras dengan keadaan rumahku. “Tapi, dari sinilah profesor itu lahir,” batinku. Aku mencoba mengaitkannya dengan isi surat kemarin. Ternyata aku mengagumi sosoknya. Aku melihat ke atas, kutemukan puluhan bintang dari kertas karton lusuh yang digantung dengan rafia seadanya, bertuliskan beberapa mimpi, harapan, dan cita-citanya. Beberapa yang mem- buatku terenyuh adalah yang bertuliskan “JADI DOKTER!”, “MENDIRIKAN RUMAH SAKIT DI PEDALAMAN”, “NAIK HAJI!”, dan masih banyak lagi. Beberapa sudah ada yang terjatuh di lantai, diantaranya bertuliskan, “BAHAGIAKAN ORANG TUA SELAGI SEMPAT!”, “NAIK HAJI BARENG ORANG TUA”, dan sepertinya bintang-bintang yang bertuliskan hal-hal tentang orang tua—entah disengaja atau tidak—telah jatuh sendiri ke tanah— merefleksikan keadaanya yang sudah tidak punya orang tua. Ba- gus, rumah ini, dan kertas karton lusuh berbentuk bintang beserta tulisannya, dengan berbagai cara mencoba mengiris batinku. Perih, pedih. “Pemimpin macam apa aku ini!” aku mengutuki diri sendiri. “Ram, pulang, yuk! Kayaknya Bagus nggak ada di rumah,” Sofi nampak lelah. “Sof, lihat ini,” aku menunjuk ke langit-langit teras dan meng- ayunkan telunjukku ke lantai. Dia memandangnaya. Sofi juga terenyuh hatinya. Tiba-tiba, embun di matanya mulai membanjir. Ia merasa ada yang menusuk- nusuk kalbunya, mungkin ia sedang berpikir, “Apa pemuda ini harus kehilangan mimpinya karena aku?” Tiba-tiba dia berkata sambil terisak, “Aku yang salah, Ram.” “Maksudnya? Nggak, nggak ada yang pantas disalahkan di sini.” “Tapi, dia terus-terusan diejek di sekolah karena aku, Ram!” 114 Burung-Burung Kertas

“Bukan, Sof! Bukan! Percaya aku! Ini soal teman-teman aja yang belum mengerti Bagus,” kataku lembut, mencoba menjadi dewa penyelamat batinnya. “Kak, lagi apa di sini, Kak? Cari siapa?” tiba-tiba suara anak laki-laki kecil berseragam putih merah nan lusuh datang sembari menggandeng seorang anak perempuan yang juga berpakaian sa- ma, hanya saja sepertinya lebih kecil. Kami kaget tak alang ke- palang. “Astaga! Kita cari Kak Bagus, Dek. Kak Bagusnya di mana ya? Tadi sudah dicari di pasar nggak ketemu” tanyaku. “Kalau jam segini, Mas Bagus lagi di bawah jembatan layang Lempuyangan, Kak!” “Oh, ngapain dia di sana?” Sofi dengan suara lembutnya mulai bicara. “Lihat aja sendiri, Kak. Cepet! Nanti keburu Mas Bagus pu- lang!” “Oke, Dek. Makasih ya!” aku langsung buru-buru menuju mo- tor, Sofi dengan semangat mengisi jok belakang motorku. Tangan- nya menepuk pundakku, sebuah sengatan semangat menyelamat- kan mimpi seorang pemuda menyambar tubuhku. “Oiya, Dek. Ini kakak ada permen. Buat Adik nih,” kata Sofi sambil memberi dua anak itu permen Yupi. Permen manis yang empuk, seempuk hatinya. Mungkin. “Sama-sama, Mas Ganteng! Makasih Mba cantik! Kakak ber- dua cocok!” suara si anak perempuan yang nampaknya sekitar kelas 3 SD membuatku terhenyak. “Amiin amiin ya, Dek. Makasih ya!” jawabku mengamini sam- bil tertawa. Kedua anak itu hanya tersenyum. Sofi malah bereks- presi datar. Aku langsung memacu motorku. “Tuh, Sof. Anak kecil aja tahu! Hehe,” kataku bercanda saat di jalan. “Apaan sih, bukan waktunya bercanda ah!” balasnya sambil mencubit pelan lenganku. “Duh! Hehe.. Iya iya,” jawabku. “Anak kecil nggak pernah bohong lho, Sof,” batinku sambil tersenyum. Burung-Burung Kertas 115

Sesampainya di bawah fly-over Lempunyangan, kami mencari sosok Bagus. “Ram... itu Bagus!” Sofi tercekat dan menunjuk ke utara, meli- hat sosok Bagus. Aku mengangguk, ikut tercekat. Sedang apa dia di sana? Sungguh, hati kami seperti tertusuk belati saat melihat seorang Bagus. Dia yang selalu seperti sampah di kelas, ternyata adalah malaikat penolong bagi para anak-anak jalanan lainnya. Ternyata dia sedang mengajari anak-anak jalan itu membaca, berhitung, menulis, bahkan melukis! Dan dia... sendi- rian! Ah, pemuda ini. “Baguuuss!! Gus, Bagus!” seru Sofi sambil setengah berlari. Aku hanya berjalan pelan mengikutinya dari belakang. “Gus, ternyata kamu...” Belum selesai Sofi bicara, Bagus memotong, “Ayo ke tempat lain dulu, ada yang harus aku omongin ke kalian! Adik-adik tunggu sebentar yaa!” Anak-anak jalanan yang menjelma menjadi pelajar itu meng- iyakan. Kami menuju ke selatan, agak jauh dari kerumunan jelmaan pelajar jalanan. “Sof, Ram, aku minta maaf ya, selama ini aku selalu tertutup begini,” Bagus memulai. “Nggak, Gus! Kamu nggak salah, yang salah itu kita. Kita nggak pernah jadi teman yang baik selama dua tahun ini. Maafin kita, Gus!” mata Sofi mulai berkaca-kaca. “Gus, kembalilah ke sekolah. Kelas hampa tanpa kamu, Gus. Aku, Sofi, semua teman-teman butuh kamu. Bukan sebagai sampah lagi, tapi sebagai pahlawan. Kamu pahlawan Gus, bagi mimpi- mimpimu! Bagi kami! Bagi anak-anak itu,” aku mencoba menyema- ngatinya. “Aku nggak bisa. Ini dunia yang pantas untuk aku. Aku bukan apa-apa di sekolah.” “Bukan apa-apa gimana? Tujuh besar setiap ambil rapot! Itu yang kamu sebut bukan apa-apa, Iya!” nada bicara Sofi meninggi. “Gus, tentang bintang-bintang harapan di rumahmu? Apa sekarang itu jadi sia-sia begitu aja?” kataku. Bagus yang sedari tadi menunduk mulai berani menatap kami. 116 Burung-Burung Kertas

“Bintang harapan? Kalian ke rumah? Kalian lihat semuanya?” Bagus tercekat. “Jadi dokter, mendirikan rumah sakit di pedalaman, naik haji! Itu semua apaan, Gus? Mimpi di siang bolong? Bukan kan?! Kejar, Gus! Sekolahlah tempatmu!” kataku menegaskan. “Kami butuh untuk mengenal kamu lebih dalam, Gus. Pastikan bintang harapan itu menjadi kenyataan kelak!” ujar Sofi penuh emosi. “Kembalilah ke sekolah, Gus! Jika mengingat prestasimu sela- ma dua tahun ini, kamu pantas mendapat beasiswa. Aku yakin itu! Aku akan mengusulkan itu ke sekolah. Atas nama mimpi, atas nama sahabat!” aku jadi ikutan emosi. “Tuh, Gus! Ketua OSIS yang bilang, aku percaya, sekolah pasti mau!” Sofi menimpali. Kami bertiga bungkam selama beberapa detik. Sejurus kemudian, Bagus berkata penuh makna, “Atas nama kebesaran bintang-bintang harapanku. Aku putuskan kembali!” Kami gembira. Sofi tersenyum manis. Aku memasang wajah Tom Hanks-ku padanya, walau aku tahu ini bukan situasi yang tepat. Tak kusangka, mataku juga mulai berair menatap cakrawala. Sang senja bersayap menyoroti wajah kami, yang duduk di tembok atas tepian jembatan layang Lempuyangan yang di kolongnya sa- rat akan cerita. Aku percaya, senja dan mimpi mengubah rupa Tom Hanks-ku sejenak menjadi seperti Leonardo Di Caprio, se- mentara Sofi adalah Kate Winslet-nya sore itu. Bagus, ia yang akan menjadi bintang di malam ini, juga malam-malam selanjutnya. Bintang yang penuh harapan. Bagaimanapun juga, pemuda penuh mimpi ini tetap tak bisa terdefinisikan rupanya. Ia masih jenaka bak jati kurus yang meranggas. Mulai hari itu, setiap selasa, jumat, dan minggu sore, kami bertiga rutin mengajar anak-anak jalanan di kolong jembatan la- yang bermakna itu. Bagus telah kembali ke sekolah dan menemukan kepercayaan dirinya. Tahun ketiga, kami bertiga tetap sekelas dan formasi teman-teman yang lain pun tak berubah. Mereka mulai memandang Bagus dengan sepenuh hati, mengajaknya duduk se- bangku, dan bahkan mulai ada yang berebut untuk sekelompok Burung-Burung Kertas 117

dengannya. Aku senang dengan pemandangan ini. Setidaknya di akhir masa kepemimpinanku di OSIS, aku turut andil dalam me- nyelamatkan mimpi seorang pemuda hebat yang hampir sirna. Aku sudah dan masih butuh banyak belajar dari Bagus, Sofi, dan yang lainnya. Aku mulai memahami Cicero dengan teori Rehumanize-nya, “Manusia mendapatkan sesuatu dari manusia lain. Manusia melepaskan sesuatu dari manusia lain. Manusia menjadi manusia karena manusia lain, atau mungkin ada juga manusia yang menjadi manusia kembali karena manusia lain. Bagi umat manusia, manusia itu suci.” Biodata Penulis Akbar Yoga Pratama tinggal di Jalan Menjangan 19, Wirobrajan, Yogya- karta. Saat ini Yoga bersekolah di SMA N 7, Yogyakarta. Hobinya adalah menulis, bermain futsal, dan meracik kopi. Jika ingin berkorespondensi dengan Yoga dapat menghubungi: HP 087838519163, email: [email protected], FB: Akbar Yoga Pratama, twitter: @yogakbaar. 118 Burung-Burung Kertas

BURUNG-BURUNG KERTAS Beladiena Herdiani Jam di sudut kamar, terus berdetak. Aku menghitung usia, hening mengingat dosa-dosa. Jarum jam di pojok kamar terus ber- gerak. Waktu meruncing menghunjam harapan. Segala yang da- tang dan pergi sebentar lagi akan menjadi kenangan. Mungkin tak lama lagi aku pun tinggal masalalu. Lalu datang sebuah tanya dari sudut hati, apa yang akan dilakukan jika usia tinggal sebulan lagi? Tak ada jawaban. Hanya jam di sudut kamar yang terus ber- detak, seakan sedang mengakrabi kematian. Diam-diam aku bicara pada mati. Wahai maut kapankah kau menjemput? Aku menebar pandang ke sekeliling ruang, dinding putih dan lantai yang bersih. Perabot tertata rapi. Sepertinya kamar yang menyenangkan bukan? Tapi tidak untukku. Sudah lama aku terku- rung di sini. Terikat pada selang infus yang menggantung di sam- ping tempat tidurku. Hari ke hari semakin lemah tak berdaya. Tubuhku tak kuat lagi menanggung penyakit walau hasratku un- tuk hidup tak pernah melemah. Ingin rasanya berlarian menantang angin diluar sana. Bermain pasir, lumpur, dan lumut di sungai. Rindu terik mentari dan sejuk sinar rembulan. Aku ingin berkegiatan langsung di bawah langit seperti dulu. Namun kini langit hanyalah kotak kecil dalam bingkai jendela, yang selalu membuatku takut karena aku merasa ada suara- suara lembut semayup yang memanggili namaku dari sana. Sungguh aku bukanlah anak lembek yang tak bisa apa-apa seperti ini. Dulu aku lincah ceria, aku senang bergerak dan berkeri- ngat. Diam adalah kesia-siaan bagiku. Aku sangat menikmati men- jadi bagian dalam tim basket sekolah. Bersama timku aku pernah Burung-Burung Kertas 119

mempersembahkan piala kejuaraan nasional untuk sekolah. Aku bangga dengan prestasiku. Mungkin kebanggaan itu akan terus kumiliki andai dokter tak mendiagnosa leukimia dan memvonis usiaku tak kan lama lagi. Ada sesal yang mengganjal hari itu, saat aku mendengar vonis dokter. Sebenarnya aku sudah sering merasa pusing, lemas saat berlari. Tapi aku diam saja. Tak memberi tahu siapa pun. Sebab aku menyukai basket lebih dari apa saja, dan tak mau berhenti hanya karena kepalaku tak mau bekerja sama. Aku ingin memper- sembahkan lebih banyak lagi prestasi untuk ayah, ibu, dan seko- lahku. Aku sedang begitu semangat mendribel bola dan bersiap me- lompat untuk melakukan slam dunk ketika pusing itu datang tiba- tiba. Bagai gunting tajam tak terlihat memotong benang rapuh di kepala. Bola terhenti diujung jari. Lalu rontok jatuh bersama tubuh- ku. Aku pingsan diantara sorak sorai teman-teman dan para guru yang menunggu sebuah angka dari bola yang akan kumasukkan. Pertandingan terhenti di tengah jalan. Lenyap sudah angka keme- nangan. Tak ada lagi piala kejuaraan. Aku bahkan tak mampu menyelesaikan pertandingan terakhirku. Andai aku mampu berta- han sedetik lagi, sudah pasti kemenangan di pihak kami. Ketika sadar, aku merasa tubuhku begitu lemas. Tapi aku menggeleng ketika dokter bertanya, masih pusing? Aku berusaha bangun, tapi tak bisa, rasanya seperti ada setumpuk batu menindih seluruh tubuhku. Kemarin kaki ini kuat berlari keliling lapangan kini bahkan tak bisa menyingkirkan selembar selimut dari tubuhku. Hanya mampu bergerak lemah dan menyingkap sedikit ujung seli- mut di bawah lutut. Saat itulah dokter melihat bercak lebam kebiru- biruan di betisku. Aku mengaku karena jatuh saat berlatih. Karena ingin cepat pulang, aku berbohong. Sebab aku tak mau sakit. Aku mau bertanding basket lagi. Tapi dokter itu orang pintar, tak mudah dibodohi. Ia meminta izin pada ayah ibu untuk memeriksa darahku. Lalu jadilah aku seperti ini. Teronggok lemas bagai seikat sayuran layu. Aku putus asa. *** 120 Burung-Burung Kertas

Di luar jendela, ada bayang kecil yang memandang dengan sepasang mata hitam. Kukira itu adalah sepasang mata kematian. Tapi di bawah hitamnya mata itu ada sesuatu sebentuk bulan sabit yang bersinar lembut. Aku menyebutnya senyum rembulan. Ingin kusambut senyum itu dengan senyum juga, tapi aku sudah lupa bagaimana cara tersenyum. Aku tak sanggup tersenyum dalam himpitan kematian. Aku bahkan telah lama lupa warna bulan. “Semangat pagi, Ivan!” sapa gadis dengan sepasang mata hi- tam dan senyum rembulan. Jelas bukan malaikat maut yang datang tapi seorang bidadari yang selalu ingin menghiburku. Tapi tak pernah berhasil karena aku selalu dipenuhi ketegangan dan keta- kutan pada kematian. Seperti biasa aku hanya diam. “Turunlah dari tempat tidur, ayo kita jalan-jalan,” ia menyo- rongkan kursi roda ke samping tempat tidur. “Nggak mau, aku bosan dengan taman rumah sakit,” tapi ia memaksaku. Menegakkan tubuhku dan menurunkan kedua kakiku. “Siapa bilang ke taman, ayo kita cari suasana baru,” ujarnya dengan wajah bersemangat. Tangannya kuat menyokong tubuhku. Ia telah tumbuh besar kini. Bukan gadis kecil yang lemah lagi. Sekarang ia lebih kuat dariku berkali lipat. Wajah kecilnya menyeruak dalam ingatan yang terpotong- potong. Dahulu ia gadis kecil yang selalu menangis ketika bermain denganku. Ia yang selalu berjingkat berburu cahaya pagi di bawah pohon-pohon yang jatuhkan buahnya, memunguti pecahan sawo yang disisakan kelelawar. “Menjijikkan!” kataku waktu itu. Tapi ia meyakinkanku bahwa buah yang termanis adalah yang dipilih- kan kelelawar. Lalu aku akan mentertawakannya hingga ia me- nangis. “Mau kamu bawa ke mana aku?” tanyaku kebingungan saat melintasi lorong-lorong rumah sakit yang asing. Aku tak pernah sampai ke bagian ini. Jalan-jalan hanya seputar area bangsal pera- watanku saja, paling jauh di taman depan bangsal. “Berkunjung pada seseorang!” Ia membelokkan kursi roda ke bangsal anak-anak. Di depan sebuah kamar kami berhenti. Ia mengetuk pintu sebelum membukanya. Aku mengintip dari celah pintu yang belum terbuka benar. Ada seorang anak lelaki. Dalam Burung-Burung Kertas 121

selimut ia meringkuk, persis sepertiku. Apakah ia juga ingin abadi dalam sekarat yang sama, atau hanya ingin bergantung semam- punya sebelum ranting kehidupan yang terus merapuh ini patah? “Haloo... Kak Nadia datang, bangun dong, lihat Kakak bawa teman,” lagi-lagi ia dengan senyum rembulan dan sepasang mata hitamnya menebar semangat. Anak lelaki itu seperti tersengat. Ia membuang selimutnya dan tertawa. Aneh! Sudut bibirku seperti ditarik oleh kekuatan ajaib. Aku pun ikut tertawa. Kegembiraan anak lelaki itu seperti virus yang menular seketika. Aku tertawa! Di saat aku tak punya rasa percaya diri, bahkan untuk bisa terse- nyum kecil saja. “Kenalin, ini Kak Ivan, sahabat Kak Nadia sejak kecil. Waktu seumur kamu keluarga Kakak pindah ke depan rumahnya, jadi deh kami bertetangga. Main bareng, sekolah bareng, ngapain aja bareng.” Anak lelaki kecil itu menyalamiku sambil menyebut namanya keras-keras, “Aku Hanan, umur lima tahun. Sakit thalasemia, Kak Ivan sakit apa?” Ah! Ia anak yang berani. Tak takut menyebut nama penyakit- nya, seakan penyakit itu sudah menjadi bagian dari identitasnya. Terbata aku menjawabnya, “Leukimia.” Aku tak pernah menyebutkannya. Bagiku, nama penyakitku adalah nama iblis yang menyeramkan. Ia mengintai dari suatu tempat yang tak diketahui untuk tiba-tiba datang dan mengambil nyawaku. Kata orang menyebut nama setan itu sama saja dengan memanggilnya. Tentu saja aku tak mau didatangi mahluk yang paling menakutkan itu. Aku tak mau cepat mati. Tidak seperti vonis dokter! “Oh masih saudaraan tuh. Mia-mia juga kan?” Hanan terkekeh. Begitu juga Nadia. “Eh tahu nggak, Kak Ivan ini juara basket lho!” Nadia menje- laskan pada Hanan. “Wah keren dong, aku belum pernah main basket, nggak boleh capek-capek sama ibu, tapi aku sering nonton di tivi. Kalau sudah besar, aku mau jadi juara basket juga,” Hanan menatapku kagum. 122 Burung-Burung Kertas

Aku merasa malu, kami sedang berada di gerbong yang sama. Kereta kematian yang sama. Tapi ia tak sedikit pun terlihat takut. “Kamu kok santai saja sih, Dek? Kamu nggak takut sama...eh penyakitmu?” tanyaku hati-hati. “Kok nanya begitu sih, Kak? Kakak takut mati ya? Emang mati itu kayak apa? Kata ibu, semua juga akan mati kok. Kalau aku mati duluan, aku nunggu ibu di surga. Kalau ibu dulu, berarti ibu yang nunggu aku di sana. Nanti kita akan berkumpul lagi di tempat yang abadi. Yang nggak ada sakit, apalagi mati.” Aku terkesiap mendengarnya. Ah, ia memang pemberani. “Lalu apa yang kamu lakukan sambil menunggu waktu itu datang?” aku bertanya lagi. “Ya macam-macam, menggambar, mewarnai, mendengarkan dongeng Kak Nadia. Suka-suka aja lah. Emangnya mau ngapain lagi, yang penting berdoa saja.” Hanan benar, apalagi yang bisa dilakukan manusia bila tahu waktunya di dunia akan segera berakhir? Tak ada selain mende- katkan diri pada Yang Kuasa. “Eh Kak Ivan mau ikutan dengar dongeng Kak Nadia nggak? Tentang kisah bangau emas.” Aku mengangguk, menyanggupi ajakan Hanan walau aku telah mengetahui dongeng dari Jepang itu. Di negeri matahari terbit itu bangau emas adalah makhluk mistis yang dipercaya ber- umur panjang. Jika kita mempersembahkan senbazuru, untaian seribu origami burung kertas padanya, sang bangau emas akan menganugerahi umur panjang. Nadia membawakan dongeng itu dengan indah sehingga Hanan terbuai, begitu juga aku. “Aku ingin buat seribu burung kertas. Ajarin bikinnya dong, Kak, “ pinta Hanan pada Nadia. Aku terharu mendengarnya. Anak itu menghadapi kematian yang sama sepertiku, tapi ia tak putus harapan. Serius mengikuti petunjuk Nadia membuat origami dengan kertas lipat warna-warni. Ia terus berusaha. Saat malam yang lelap, seorang ibu akan terbangun jika men- dengar anaknya menangis, dan seorang ibu akan lebih menangis jika mengetahui anaknya tak bangun lagi. Hanan meninggal dunia karena terinfeksi virus hepatitis yang menular dari tranfusi darah Burung-Burung Kertas 123

orang yang tak dikenal. Ia baru menyelesaikan duaratus burung- burung kertas. Ibu Hanan menyerahkan keduaratus origami itu pada Nadia sebab begitulah pesan Hanan sebelum meninggal. Na- dia memberikannya padaku. Aku pun menerimanya sebagai wa- risan semangat. Kugantung untaian burung-burung kertas itu di jendela. Agar ia bisa melihatnya dari langit sana. Keduaratus bu- rung-burung yang telah mengantarkannya ke surga. “Sebenarnya, aku ingin menceritakan sebuah kisah lagi pada Hanan,” Nadia berucap sendu. “Ceritakan padaku, akan kusampaikan padanya kelak di alam sana,” Nadia memandangku haru. Matanya berkilatan embun, yang tak lama kemudian menetes menjadi airmata. “Kisah Sadako dan seribu burung-burung kertas,” lagi-lagi sebuah kisah dari negeri amaterasu. Sebuah kisah nyata yang terjadi setelah pemboman di Hiroshima. Kisah seorang gadis kecil berna- ma Sadako Sasaki yang terpapar radiasi bom atom. Ia menderita leukima. Sadako membuat origami seribu burung-burung kertas namun keburu meninggal sebelum sempat menyelesaikannya. Lalu sahabatnya menyelesaikan hingga seribu buah. Kemudian keseribu origami burung bangau itu ikut dimakamkan bersamanya. Kini patung Sadako menjadi simbol perdamaian di Jepang. “Dia pun tak putus asa ya, berusaha terus sampai akhir hayat- nya,” aku termenung sesaat, berpikir mencari hikmah di balik kisah itu. “Bawakan aku kertas lipat. Akan kulanjutkan burung-burung lipat Hanan hingga seribu buah,” pintaku pada Nadia yang segera disanggupinya. Hari-hariku tak membosankan lagi. Kemotherapy, pengobatan kanker yang menyakitkan menjadi teringankan. Rambutku yang rontok, kulitku yang menghitam tak kupedulikan. Pikiranku terus pada burung-burung itu. Bila kehabisan kertas lipat, aku akan me- makai kertas seadanya yang bisa kudapat di rumah sakit. Kadang dengan kertas koran atau bungkus obat yang kuminta dari suster. 124 Burung-Burung Kertas

Untaian burung-burung kertas memenuhi kamarku. Jumlah- nya hampir seribu. Tak terasa waktu tiga bulan terlalui. Usiaku melebihi vonis dokter. Dan aku menyadari sesuatu, bahwa untuk melakukan hal-hal baik tak perlu khawatir akan batas usia. Yang diperlukan hanya kemauan saja. Lakukan segera tanpa ditunda- tunda. Dan biarkan Tuhan menentukan akhir dari segala. Pada lipatan burung keseribu, samar kudengar kepak sayap yang makin mendekat. Mungkin itu kepak sayap burung bangau emas yang membawa buntalan nyawa baru. Atau kepak sepasang sayap malaikat yang akan menjemputku. Biodata Penulis Beladiena Herdiani tinggal di Pogung Dalangan Sia XVI/VII No. 178. Saat ini Bela bersekolah di MAN Maguwoharjo. Hobinya adalah memasak, menulis, mendengarkan musik, memancing, dan membaca. Jika ingin berkorespondensi dengan Beladiena Herdiani dapat menghubungi: HP 083867631160, twitter: @Beladieena dee, FB: Beladiena Herdiani. Burung-Burung Kertas 125

CERITA DI RADIO Gabriela Ajeng Cahyaning Puspitajati Aku melemparkan tas dan jaketku ke kasur. 14 jam di luar rumah melakukan banyak hal tanpa berhenti berhasil membuatku gila. Kini saatnya istirahat dan demi apapun juga aku tak mau melakukan hal lain, selain tidur sambil mendengarkan radio. Bantal dan radio sudah siap. “Ternyata kita sudah punya penelepon ketiga, nih.” kata si penyiar perempuan. Ternyata aku sudah ketinggalan. Penelepon ketiga biasanya menjadi penelepon terakhir. Acara ini adalah acara favoritku sejak aku SMP. Di acara ini, orang bebas bercerita tentang apa saja. Sebagian penelepon adalah perempuan dan sebagian besar yang mereka ceritakan adalah cerita yang menyedihkan. Mungkin karena masalah mereka terlalu berat, jadi satu-satunya jalan adalah bercerita. “Langsung saja kita sapa penelepon ketiga. Halo? Halo?” “Halo...” jawab si penelepon. Betul dugaanku. Dari suaranya sudah terdengar jelas kalau penelepon ketiga ini adalah perem- puan. “Halo, mau cerita apa hari ini?” “Besok sore itu aku menikah, Mbak.” “Wow, senang donk? Terus apa ada masalah?” “Sebenarnya aku masih ada yang kurang, Mbak. Aku dulu pernah suka sama teman SD. Tapi, sampai sekarang aku belum sempat bilang.” “Nah, memang sampai sekarang masih ingin bilang ke teman SD-mu itu?” 126 Burung-Burung Kertas

Aku membesarkan volume radioku. Aku juga teringat dengan masa-masa ketika aku masih di Sekolah Dasar. “Iya, Mbak. Itu keinginanku dari dulu. Aku ingin dia tahu kalau aku dulu pernah suka sama dia. Cuma itu, selanjutnya ter- serah.” “Kenapa kamu sampai punya keinginan sekuat itu?” “Ya karena dulu aku malu-malu. Aku baru sadar setelah SMP kalau aku benar-benar sayang sama dia. Karena sampai saat itu, aku masih sering kangen.” “Oh begitu. Omong-omong, apa kalian satu kelas?” “Kami beda kelas, tapi kelas kami berseberangan. Kami sering duduk di dekat jendela. Jadi, kami masih bisa saling lihat dari kelas kami masing-masing, Mbak.” “Wah, masih SD sudah romantis ya?” si penyiar dan si penele- pon tertawa. “Kira-kira, menurut kamu, apa dia juga sayang sama kamu?” “Aku rasa iya, Mbak. Waktu itu, awal kelas 6, teman sekelas- nya bilang sama aku kalau si dia suka aku. Mulai dari itu, aku jadi sering lihat dia dan akhirnya aku malah suka dia.” “Awalnya malah dari dia rupanya. Terus, apa sih yang berkesan dari dia?” “Dia itu bandel, Mbak. Sebelum kelas 6, aku belum begitu memperhatikan dia karena dia masuk di daftar anak-anak nakal. Tapi, setelah aku punya sedikit rasa sayang ke dia, aku tahu kalau dia sebenarnya anak yang baik.” “Baik? Baik dalam hal apa?” “Aku jadi melihat sisi lain dari dia. Kalau berangkat sekolah, biasanya diantar ibu atau bapaknya. Dia nggak pernah lupa cium tangan. Dia juga punya banyak teman. Sampai sekarang, aku masih sering lihat dia, Mbak. Banyak orang mencarinya karena dia adalah pemain biola yang tidak main-main. Aku yakin dia sudah menjadi laki-laki hebat.” “Kamu pasti bangga, ya. Oya, pacar kamu tahu tentang ini?” “Tahu. Tapi untungnya pacarku juga baik sama aku. Aku cerita semuanya ke pacarku. Tapi, kalau yang detail banget, aku nggak cerita.” Burung-Burung Kertas 127

“Memang detail yang mana?” “Aku sering curi-curi pandang kalau kebetulan lihat dia di suatu tempat. Aku pernah titip salam buat dia lewat temannya, tapi aku nggak tahu apa salam itu sampai ke dia. Aku sering tanya ke teman- temannya tentang dia. Aku tahu semua tentang dia, Mbak, tapi karena teman-temannya, bukan karena dia sendiri yang cerita.” “Separah itukah? Kamu sampai cari-cari informasi tentang dia? Sebenarnya kenapa kamu sampai seperti itu? Apa kamu masih kangen? Sekarang ini, perasaanmu ke dia itu seperti apa?” Si penelepon itu terdiam beberapa saat. Aku merasa harus mengetahui kelanjutan ceritanya. Aku tidak mengantuk lagi kare- na aku berusaha terus terjaga supaya aku bisa mendengarkan ceri- tanya sampai selesai. “Halo? Halo? Masih di sanakah?” “Halo, Mbak. Maaf, tadi ada masalah sedikit.” “Tidak apa-apa. Balik ke pertanyaan tadi. Sekarang ini, pera- saanmu ke dia itu seperti apa?” “Aku merasa kecewa, Mbak.” “Kenapa bisa kecewa?” “Dulu kelas kami pernah dijadikan satu karena kalau nggak salah ingat, ada sosialisai dari salah satu SMP. Dia kebetulan duduk di belakangku persis. Kami sempat cerita-cerita bareng teman yang lain. Dia tanya, ‘Mau lanjut ke SMP mana?’ Langsung aku jawab. Terus aku tanya ke dia juga. Ternyata, SMP impian kami beda, Mbak. Tiba-tiba, dia tanya lagi apa aku udah punya pacar.” “Dan? Kamu jawab apa?” “Aku bilang aku sudah punya pacar. Aku kecewa banget, ba- nget, banget. Duduk di dekat dia memang buat aku gemetaran, tapi jawabanku itu benar-benar membuatku kecewa sampai seka- rang. Dia langsung diam, Mbak. Mungkin dia merasa sedih dan kecewa, tapi aku lebih kecewa lagi.” “Kalau boleh menyimpulkan, jadi kekecewaanmu itu bisa diobati setelah kamu ketemu dan bilang ke dia kalau kamu pernah suka sama dia. Begitu?” 128 Burung-Burung Kertas

“Iya, Mbak.” “Kamu tadi bilang kalau besok sore kamu mau menikah?” “Iya, Mbak. Besok aku menikah, tapi aku masih punya sesuatu yang belum sempat aku lakukan.” “Ya semoga ada keajaiban. Barangkali si dia lagi mendengar- kan acara ini juga. Ada yang ingin disampaikan atau ditanyakan kepada pendengar?” “Ada. Boleh aku sebut nama?” “Mmm... Boleh, tapi nama panggilan, ya.” “...Krisna, semoga kamu mendengarkan acara ini. Masih ingat aku? Aku Puspa. Kalau memang ada keajaiban, semoga kita masih bisa bertemu.” “Sudah?” “Sudah, Mbak. Terimakasih.” *** Aku tak lagi menghiraukan celoteh si penyiar setelah si pene- lepon itu, maksudku Puspa, menutup teleponnya. Aku langsung beranjak berdiri dan mengambil kunci motor. “Krisna, mau ke mana lagi?” “Mau ke rumah Puspa, bu.” Biodata Penulis Gabriela Ajeng Cahyaning Puspitajati tinggal di Minggiran MJ II/IIIb, Yogyakarta. Saat ini Ajeng kuliah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Hobinya adalah menulis, membaca, travelling, bersepeda. Jika ingin berkorespondensi dengan Ajeng dapat menghubungi: HP 085643524774, email: [email protected], FB: Gabriela Ajeng. Burung-Burung Kertas 129

HIKAYAT BATU-BATU Nur Cholifah Tahukah kau kawanku, batu-batu itu tak pernah berharap menjadi gugusan bintang yang kerlipnya tiba di matamu setelah melewati ratusan ribu tahun cahaya. Ia mungkin pernah bergolak di dasar gunung, juga beku di bibir kawah. Ia juga pernah jatuh dan terbelah. Namun apapun yang terjadi batu tetaplah batu. Batu itu kawanku, tetap berdiam di dasar arus, di antara peng- huni sungai yang tak pernah diam. Tegak di lautan yang tak pernah tidur. Tegar terpanggang panas kering di padang pasir yang tak kenal hujan. Ia diam, sabar ,dan pasrah. Selalu tenang dimana pun berada. Tak pernah mengeluh pada segala kejadian dan tetap menerima takdirnya sebagai batu-batu. Tak marah meski orang-orang mena- makannya benda mati. Tak apa dipandang sebelah mata, atau pun disebut tak berguna. Karena banyaknya, mudah ditemukan di ma- na-mana, ia tak istimewa, keberadaan batu-batu di segala tempat terlalu dianggap biasa. Tak luar biasa menemukannya di puncak gunung. Tak aneh menggeletak di pantai. Namun adakah yang berpikir bagaimana batu-batu mencapai tempatnya? Kau boleh menyebutnya keras, tapi bukan berarti ia tak bisa dibentuk. Lihatlah susunan batu abadi yang kau sebut sebagai candi. Tangan-tangan indah membentuknya dengan setia. Cobalah kau gali dasar rumahmu, maka akan kau temukan setumpuk batu yang menjadi pondasi kehidupanmu. Batu-batu itu kawanku, tak pernah menunjukkan dirinya. Tanpa kau minta ia akan selalu ada. Disetiap jalanmu, di balik aspal, di kaki jembatan. Di mana saja kau butuh penopang. 130 Burung-Burung Kertas

Batu-batu itu tak pernah berontak, walau kau menggunakan- nya sebagai alas penajam besi. Tak mengaduh walau pisaumu me- lukai. Ia terus mendukungmu dengan kekuatan batu-batu. Tak lekang oleh angin dan cuaca. Kalau pun air bisa melubangi itu butuh waktu berabad-abad. Batu-batu itu kawanku, teguh dalam pilihannya walau ribuan arus terus menggerus. *** Aku ingin jadi batu-batu. Namun kekerasan hatiku dianggap kenakalan. Orang-orang menyebut kepalaku sekeras batu. Tak mau menerima saran siapa pun meski itu orangtuaku. Ibuku marah- marah tak setuju. Sedang ayah selalu menganggapku salah. Tapi aku tak mau kalah. Aku bertahan seperti batu-batu! “Mama maunya kamu masuk fakultas kedokteran, jadi dokter itu hebat,” lagi-lagi mama berkata begitu. Lalu mencontohkan kakak mama yang jadi dokter, kaya raya dan dihormati di mana- mana. “Atau fakultas ekonomi, nanti jadi dosen seperti papa. Kamu kan anak papa, seharusnya jadi penerus papa,” buah jatuh tak kan jauh dari pohonnya, begitu prinsip papa. Di mana-mana yang nama- nya burung pasti beranak burung, ikan beranak ikan. Tak mungkin kan buaya beranak cicak? Papa panjang lebar dengan analoginya. “Tapi aku kan manusia Pa, bukan binatang. Kalau aku tak jadi dosen seperti papa, aku kan juga tetap manusia. Apa aku jadi anak monyet kalau aku tak jadi dosen? Kalau aku monyet, papa juga monyet dong,” tentangku pada papa. “Kok malah bilang papamu monyet sih!” suara mama mening- gi. Mamaku orang yang sangat keras. Apa saja perintahnya harus dilaksanakan. Tak ada seorang pun di rumah ini berani menen- tangnya. “Habis papa juga bilang aku cicak!” kemarahan mama seperti membentur batu, aku mebalasnya lebih keras. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya kali ini terbukti. Aku sekeras mama. “Kapan papa bilang begitu?” papa membela diri. “Mana mung- kin menjelekkan anak sendiri. Kamu ini tak paham nasihat papa!” lama-lama semakin ruwet, tak jelas ujung pangkal. Kutinggalkan papa-mama begitu saja dengan tak sopan. Sungguh bukan maksud- Burung-Burung Kertas 131

ku untuk kurang ajar. Tapi aku tak tahan, mama papa tak mau mengerti aku. Aku kelas tiga kini, sebentar lagi kelulusan. Mama ingin aku masuk fakultas kedokteran, papa ingin aku masuk fakultas eko- nomi, tapi aku punya pilihan sendiri. Aku ingin jadi seniman. Ku- rencanakan untuk melanjutkan ke institut seni. “Dasar kepala batu!” kudengar mama masih melanjutkan omelan. Aku tak tahan! Diam-diam di tengah malam rumah ku- tinggalkan. Mencari ketenangan. *** Tahukah kau kawanku, kisah ikan, kera, dan pohon pisang? Sebuah kisah sejuk yang menenangkan jiwa. Membuatmu jadi bijak- sana. Bila kau resapi dengan saksama kau akan tahu bahwa dunia tak hanya terdiri dari batu-batu. Pernah ada sebuah kolam yang sejuk bening airnya, begitu hening tanpa riak dan gejolak, sangat jernih hingga bisa kau lihat batu-batu diam dan ikan-ikan berenang tenang. Sebatang pohon pisang menaungi kolam dengan bentangan daun-daunnya. Mem- berikan keteduhan pada air, ikan juga batu. Namun suatu hari ketenangan itu tergangu oleh kehadiran seekor kera yang segera memanjat pohon pisang dengan kasarnya. Membuat batang pohon pisang terguncang keras. Dahan patah- patah dan daunnya compang-camping. Penghuni kolam yang lain tak tega melihat pohon pisang dikoyak seperti itu. Buahnya yang kuning ranum dicabik-cabik sedemikian rupa hingga tinggal kulit saja. Seekor ikan emas mengeluarkan mulutnya di permukaan air, berteriak sekencang mungkin, “Hentikan, hentikan!” Kera mendengar teriakan itu. Ia berhenti mengoyak pohon pisang. Memandang ke kolam, lalu menjerit panik, “Akan kusela- matkan kau!” Ikan emas tak mengerti bahasa kera, kera pun tak paham mak- sud ikan. Mereka saling berteriak, sedang batu-batu di dasar kolam tetap diam. 132 Burung-Burung Kertas

“Apa yang kau lakukan?” pohon pisang bertanya pada kera yang mengangkat ikan dari air dan meletakkannya di atas dahan pohon pisang. “Kuselamatkan ia agar tak mati tenggelam,” jawab kera. “Dan kau ikan kecil, apa yang ingin kau hentikan?” pohon pisang bertanya pada ikan kecil yang mulai megap-megap. “Aku ingin kera berhenti menyakitimu,” jawab ikan. Pohon pisang menurunkan dua makhluk itu, kera ke tanah, ikan ke air. “Tahukah kalian apa yang bagi seseorang merupakan makanan, bagi yang lain menjadi racun? Udara adalah neraka bagi ikan. Air adalah celaka bagi kera.” Begitulah kawanku, apa yang menjadi napas tiap orang berbe- da. Bahkan, matahari yang membuat elang perkasa melihat jelas, membutakan mata seekor burung hantu. Sementara kegelapan yang membuat dunia lelap adalah terang untuk kelelawar. Belajar- lah dari pohon pisang yang tak merasa terkoyak oleh cabikan kera. Sebab, ia tahu harus ada yang memakan buahnya supaya bisa ber- guna. Pohon pisang yang bijaksana, tak kan mati sebelum menum- buhkan tunasnya. Sementara batu-batu, ia begitu diam di dasar kolam. *** “Mama, papa, maafkan aku,” kucium punggung lengan mama, papa menepuk bahuku. Kami saling memafkan kini. Telah terjalin pengertian yang amat dalam di antara kami. Tak lagi saling ber- keras dengan pendapat masing-masing. “Papa tak setuju dengan cita-citamu jadi seniman sebab papa tak suka melihat tampang seniman, gondrong, kumal, bau, mirip orang gila. Papa ingin kamu bersih, rapi, berdasi, seperti papa sehari-hari. Papa hanya tak mau melihat anak papa yang ganteng menjadi jelek,” aku mengerti kemarahan papa adalah perwujudan kasih sayang padaku. “Sekarang zaman sudah berbeda, seniman tak lagi seperti itu. Mereka bisa bergaya juga. Memakai jas, berdasi dengan paduan celana jeans dan sepatu ket. Memang tak senecis papa. Tapi begi- tulah gaya seniman yang selalu ingin tampil beda,” papa meng- angguk. Ia menganggapnya sebagai sebuah kompromi. Burung-Burung Kertas 133

“Mama ingin kamu jadi dokter karena mama ingin kamu bahagia hidup sejahtera, punya nama supaya mama yakin kehi- dupanmu kelak terjamin. Jadi mama tenang meninggalkanmu di dunia kelak. Jangan jadi seniman, nanti tak bisa kaya,” Mama tersedu. Jarang kudengar suara mama selembut ini. Biasanya hanya marah dan teriak-teriak. Sungguh aku tersentuh. “Jadi dokter zaman sekarang sama saja Ma, dokter bukan lagi priyayi. Seniman akan punya nama jika ia terus berkarya. Tak beda dengan dokter yang rajin bekerja. Soal miskin-kaya, itu tinggal bagaimana kita berusaha.” Kurasakan kesejukan ayunan lembut daun-daun pohon pisang di tepi kolam merasuki jiwaku. Aku sejernih permukaan kolam. Mampu melihat ikan dan batu-batu. “Baiklah, papa setuju, kau boleh jadi seniman. Silakan masuk institut seni, tapi kau harus jadi seniman sungguh-sungguh. Jangan cuma gaya atau tampang seniman, tapi karya tak ada.” Aku merasa lega. Hilang sudah batu-batu yang menghimpit punggungku. Sekarang langkah terasa ringan. Setelah kelulusan aku tak ragu untuk mendaftar ke institut seni. “Terimakasih, Mama, Papa,” aku bersimpuh, mengucap syukur luar biasa. Mama-papa menerima pilihanku untuk tak menjadi pi- lihan mereka. Aku bisa jadi diri sendiri, bebas dari bayang-bayang orangtua. Tahukah kau kawanku? Aku adalah aku, bukan batu-batu. Biodata Penulis Nur Cholifah tinggal di Jalan Kemuning No. 140 B, Sanggrahan, Condong- catur, Depok, Sleman. Saat ini Olif bersekolah di MAN Maguwoharjo, Sleman. Hobinya adalah membuat kolase, membaca, menulis, travelling, mendengarkan musik, fashion photography, menyanyi, dan bermain basket. Jika ingin berkorespondensi dengan Olif dapat menghubungi: HP 089647950078, twitter: @olivianast. FB: oliv on oiiv II. 134 Burung-Burung Kertas

KEGELAPAN YANG MENGINTAI Ratu Pandan Wangi Kalau seorang malaikat jatuh dari langit, tentu dia berwujud lelaki baik hati, berpenampilan rapi, berambut hitam halus dan berusia dua puluh tahun. Lebih spesifik lagi, tentu namanya Pandu. Teman dekatku itu memang perangainya pantas disandingkan dengan malaikat. Namun hari ini tak ada kedamaian pada dirinya. Sudah setengah jam dia mengaduk-aduk teh dengan gelisah dan bungkam seribu bahasa. Ketika akhirnya dia membuka mulut, ter- ucaplah sesuatu yang absurd, “Ajari aku jadi orang jahat seper- timu.” Aku terperangah. Pandu dan kejahatan sama sekali tak bisa dihubungkan. Selama sepuluh tahun berteman dengannya, aku mengenal dia sebagai orang baik-baik. Keluarganya tak kaya. Na- mun dia dirawat dan dididik dengan telaten oleh orang tuanya. Tak heran Pandu menjadi anak yang sopan. Dia juga kerap meraih juara kelas. Namun anak itu tak lantas menjadi sombong. Dia mau mengajari anak-anak lain yang tak sepandai dirinya. Katanya, ilmu tak berguna apabila tak dibagi dengan orang lain. Sekarang Pandu kuliah di jurusan bisnis. Kemampuannya da- lam bidang itu memang menonjol. Dia juga aktif dalam organisasi dan sering dipercaya sebagai pemimpin. Dengan segala kelebihan itu, tak heran Pandu disukai para gadis walaupun wajahnya tak terlalu menarik—matanya terlampau sipit dan dahinya menonjol, sedang alisnya tumbuh jarang-jarang. Namun keunikan itu justru memesona Linda, gadis yang dijodohkan dengannya. Hal yang paling mencolok dari Pandu adalah jiwa sosialnya. Dia peka pada keadaan sekitar, bahkan cenderung melankolis. Burung-Burung Kertas 135

Seringkali dia berempati dan menanggung penderitaan yang bukan miliknya. Dia pun kerap menjadi sukarelawan. Terkadang aku melihatnya di posko gawat darurat sedang menyalurkan bantuan, atau di panti werda sedang menyuapi manula. Dia juga perhatian pada teman, tetangga, bahkan orang-orang yang baru ditemuinya. Singkatnya Pandu bagaikan malaikat yang menebar kebaikan di mana-mana. Lantas mengapa dia minta kuajari jadi orang jahat? Ketika kulontarkan pertanyaan itu padanya, dia menghela napas berat. Baru kusadari wajahnya pucat dan matanya memerah karena ku- rang tidur. Air mukanya pun segelap awan di luar sana. Tampaknya hujan akan turun, tetapi kami aman di kedai minum ini. Pandu berkata lirih, “Noel, maaf karena telah menyebutmu orang jahat. Tapi aku tak tahu sebutan yang lebih pantas dari itu. Kau kaget kan kenapa tiba-tiba aku jadi lancang? Sebetulnya dari dulu aku sudah begini, tapi hanya kusimpan dalam hati. Sekarang aku berbaik hati membaginya pada orang-orang. Kau yang per- tama...” Aku tak keberatan disebutnya orang jahat. Kenyataannya memang begitu. “Selama ini bagaimana pendapatmu tentangku, Noel?” tanya- nya. Aku menjawab bahwa dia orang paling baik yang pernah kutemui dan bahwa hidupnya sempurna. Namun lelaki itu malah tertawa. Katanya, “Ya, hidupku memang sempurna... tapi hanya di permukaan. Aku sudah capek berpura-pura.” Pandu pun mulai bercerita. “Kau ingat Linda, bukan?” tanya Pandu. “Dia tetanggaku sejak dulu. Orang tua kami bersahabat dan menjodohkan kami saat kecil.” Aku beberapa kali bertemu dengannya. Linda adalah gadis mungil berwajah manis. Namun sifatnya agak galak. Dia juga se- olah tak bisa berhenti bicara. Namun Pandu sangat sabar mengha- dapinya. Saat kecil, dia mau saja diseret Linda untuk main masak- masakan. Saat remaja, kelihatannya dia sampai tuli karena mende- ngarkan gadis itu bergosip tentang segala sesuatu. Sekarang pun Pandu masih direpotkan oleh Linda. Dia sering mengantar dan 136 Burung-Burung Kertas

menjemputnya ke mana-mana, membantunya mengerjakan tugas kuliah dan sebagainya. Namun dia melakukannya dengan senang hati. Kelihatannya Pandu sangat menyayangi Linda. Aku tak tahu bagaimana dengan Linda, mungkin dia juga mempunyai perasaan yang sama. Namun mereka berdua tak pernah berpacaran. Hanya terus-menerus bersama tanpa ikatan. Bagaimana jika Linda direbut lelaki lain? Aku pernah menanyakan itu pada Pandu, tetapi dia hanya tersenyum. Katanya dia tak khawatir sebab dia percaya pada Linda. Sekarang Linda kuliah di jurusan kecantikan kulit. Dia memang menyukai segala sesuatu tentang kecantikan. Gadis itu pun bercita- cita mempunyai salon sendiri. Pandu setuju, katanya dia akan mem- bantu pemasaran dan pengelolaan keuangannya. Mereka akan menjadi sepasang suami istri yang saling mendukung. Kedengaran- nya sungguh sempurna. “Hubunganku dengan Linda sama sekali tak sempurna,” kata Pandu menyela lamunanku. Dia terlihat sedih sekaligus geram. “Apa yang terjadi?” Pandu menghela napas panjang. Dia bercerita bahwa sebelum- nya dia hendak melamar Linda setelah mereka lulus kuliah. Berarti dua tahun lagi. Pandu pun menyiapkan diri untuk hidup berkeluar- ga, terutama dalam hal keuangan. Kelak dia harus bisa menafkahi keluarganya. Maka Pandu mencari peluang-peluang bisnis. Kebe- tulan teman satu jurusannya, Joni, juga hendak memulai usaha. Mereka pun bekerja sama menjadi distributor makanan. Namun hanya makanan-makanan unik seperti keripik rumput laut, permen pedas dan sebagainya. Mereka membeli makanan-makanan itu dalam jumlah besar lalu menjualnya di kampus. Cukup banyak yang tertarik. “Bisnis kami makin lama makin berkembang,” komentar Pan- du. “Aku dan Joni bekerja makin keras. Kami pun menjadi teman dekat.” Aku pernah bertemu sekali dengan Joni. Dia bertubuh jang- kung, gerak-geriknya luwes dan seulas senyum selalu tersungging di wajahnya yang tampan. Katanya dia seorang pekerja yang efi- Burung-Burung Kertas 137


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook