sien. Begitu tercetus ide untuk melakukan sesuatu, dia akan lang- sung melakukannya, dan seringkali tindakannya tepat. Dia tak suka terlalu banyak berpikir seperti Pandu. Namun perbedaan itu justru makin mengakrabkan mereka berdua. Suatu hari Pandu mengenalkan Joni pada Linda. Mereka lang- sung akrab. Pembawaan Joni yang cerdas bisa mengimbangi kece- rewetan Linda. Pandu pun senang karena dua orang yang disa- yanginya ternyata cocok. “Tapi mereka terlalu cocok,” kata Pandu muram. “Mereka jadi sering bertemu tanpa aku. Linda pun jarang mengobrol denganku lagi. Dia bahkan seolah lupa padaku... Begitu juga Joni, dia berlagak tak tahu bahwa Linda sudah dijodohkan denganku. Aku berusaha menghalangi-halangi mereka, tapi tak bisa... Dan akhirnya, yah, kau pasti bisa menebak.” Aku melihat amarah perlahan-lahan merasuki Pandu. Wajah dan telinganya merah padam. Urat-urat lehernya menegang. Ke- dua tangannya terkepal dan gemetaran. “Pandu,” panggilku pelan, “kau baik-baik saja?” “Aku tak baik-baik saja!!” teriak Pandu. Beberapa pengunjung kedai menoleh ke arah kami. Namun Pandu tak peduli, amarah telah membutakannya. Selama ini dia hampir tak pernah marah, tetapi begitu terjadi... BAM! Kepalan tangan Pandu memukul meja kami, membuat teh tumpah dari cangkir-cangkir. Dengan desisan mengerikan dia bicara, “Linda mengkhianatiku, Noel. Setelah semua yang kulaku- kan untuknya! Kata dia, aku membosankan karena tak pernah menyulut masalah dalam hubungan kami. Dasar gadis aneh! Joni juga, tega-teganya dia melakukan itu padaku...” Dari dulu aku memang curiga pada Joni. Tingkah lakunya terlalu hati-hati dan tertata, seolah penuh kepalsuan. Sedangkan Linda, sebenarnya aku pun tak suka pada dia. Sebab matanya seringkali jelalatan kalau melihat lelaki lain. Barangkali diam-diam dia menjalin hubungan dengan mereka. Namun tentu saja Pandu tak menyadari kekurangan Linda dan Joni, sebab dia terlalu me- nyayangi keduanya. Setelah dikhianati seperti itu pun pasti dia memaafkan mereka. 138 Burung-Burung Kertas
“Jadi apa yang akan kau lakukan?” tanyaku, sekadar memas- tikan. “Sebetulnya aku sudah melakukan banyak hal,” kata Pandu. Tiba-tiba aku melihat emosi yang tak pernah ada di wajahnya: kelicikan. “Kau tahu kenapa aku berteman denganmu, Noel, padahal kita begitu berbeda?” bisik Pandu. “Kau begitu suka berbuat onar dan berkecimpung di dunia hitam. Tapi aku memercayaimu. En- tahlah, aku merasa bahwa sebenarnya kau orang baik. Buktinya kau selalu memberiku nasihat supaya berhenti jadi orang naif. Aku tak pernah mematuhinya, bukan?” Kelicikan di wajah Pandu makin lama makin nyata. Dia pun berbisik makin pelan, “Kau pasti tak percaya, tapi akhirnya aku mematuhi nasihatmu baru-baru ini.” Rupanya Pandu melancarkan aksi balas dendam! Rasa benci- nya pada Linda dan Joni membesar seiring berjalannya waktu. Begitu dia memutuskan untuk balas dendam, alangkah dahsyat rasa benci yang membludak dari hatinya. “Aku mulai dengan Joni,” kata Pandu lirih. Kebetulan Pandu memiliki teman seorang ahli komputer. Disu- ruhnya masuk ke sistem komputer kampus secara ilegal. Lantas mengubah sana-sini dan membuat bukti palsu bahwa Joni curang dalam ujiannya. Bukti itu demikian meyakinkan hingga para dosen percaya. Joni pun diberi sanksi keras. Bahkan izinnya untuk berbis- nis di kampus dicabut. “Menyenangkan sekali membuat Joni menderita,” kata Pandu sambil terkekeh. Namun aku melihat tangannya agak gemetar. Diam-diam mungkin Pandu merasakan sakit yang sama dengan Joni, setelah melukainya seperti itu. “Masih ada Linda,” ujarku, “apa yang kau lakukan padanya?” Sisi gelap Pandu kembali bangkit. Matanya menyorotkan kebencian yang amat sangat. Dia berkata bahwa Linda menyakiti hatinya lebih parah daripada Joni. Pandu memang tampaknya sangat mencintai gadis itu. Salah satu hal yang disukai Pandu dari Linda adalah kecan- tikannya. Gadis itu memang gemar berdandan. Dia kerap merawat Burung-Burung Kertas 139
wajah, rambut dan tubuhnya dengan berbagai produk kecantikan. Pandu pun memanfaatkan kebiasaan itu. Kiriman produk kecantikan untuk Linda diakali. Dengan bantuan seorang kenalan, Pandu berhasil memperoleh bahan kimia keras yang wujudnya tak mencolok. Dicurinya paket masker wajah untuk Linda. Dicampur dengan bahan kimia tadi lalu dikembali- kan. Linda tak menyadarinya. Dia mengoleskan bahan kimia itu di wajahnya. Selang beberapa jam, kulitnya menjadi sangat panas seolah terbakar. Wajahnya pun memerah, melepuh, bahkan kulit- nya terkelupas sana-sini. “Dia sekarang tak cantik lagi!” seru Pandu sambil terbahak. “Kudengar kerusakan wajahnya parah. Bahkan mungkin tak bisa diperbaiki dengan operasi plastik. Rasakan itu, Linda! Sekarang tak akan ada lelaki yang mau denganmu!” Aku tak percaya kalau orang di depanku ini Pandu. Dulu dia begitu memuja Linda dan memperlakukannya dengan hati-hati. Dia kerap memuji betapa indahnya rambut gadis itu kalau digerai, betapa halus dan putih kulitnya. Namun sekarang dia merusak keindahan Linda dengan tangannya sendiri. Pandu masih terbahak. Serunya, “Rasakan itu! Salah sendiri kalian mengkhianatiku, Linda, Joni... Kalian pikir aku tak bisa marah, tapi ternyata bisa kan...” Aku hanya mengangguk. “Noel, aku muak jadi orang baik!” kata Pandu. “Selama ini aku mengira, kalau aku berbuat baik maka orang-orang akan begitu juga padaku, tapi...” “Kau salah besar.” “Ya!” timpal Pandu geram. “Karena itu ajarilah aku jadi orang jahat, Noel! Aku ingin membalas dendam lebih banyak lagi pada Linda dan Joni.” “Kau serius, Pandu?” “Tentu saja,” jawabnya. Namun ada keraguan dalam suaranya. “Dan aku... Aku tak akan memercayai siapapun lagi...” Pandu terus berbicara, namun kata-katanya makin lirih. Akhirnya berhenti sama sekali. 140 Burung-Burung Kertas
Temanku itu menunduk. Kedua tangannya menutupi wajah. Tubuhnya bergoncang-goncang dan isakan keras pun terdengar. Suaranya seperti rintihan hewan buas yang terluka. Entah rasa sakit macam apa yang merobek hatinya. Pandu pun menangis, menangis, dan terus menangis. Mungkin menangis karena di- khianati. Mungkin menangis karena menyesal. Mungkin menangis karena... entahlah. Beberapa lama kemudian Pandu mencari saputangan di saku- nya. Disekanya air mata dengan saputangan itu. Lalu menoleh padaku dan berkata, “Maaf, aku permisi sebentar ke kamar kecil.” Aku pun sendirian. Kuminum tehku yang telah lama dingin. Lalu terlihat olehku dompet Pandu di atas meja. Dia mengeluar- kannya saat mencari saputangan, tetapi lupa menyimpannya lagi. Aku pun meraihnya. Ada uang beberapa ratus ribu rupiah di sana. Kuambil semua uang itu, lalu cepat-cepat keluar kedai. Aku sedang butuh uang. Biodata Penulis Ratu Pandan Wangi tinggal di Jalan Lowano, Gang Dahlia UH VI/686 D, Sorosutan, Yogyakarta. Saat ini Pandan kuliah di Jurusan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah membaca, melukis, bermain teater, dan bermain musik. Jika ingin berkorespondensi dengan Pandan dapat menghubungi: HP 085743655818, email: [email protected], FB: Ratu Pandan Wangi, twitter: @pandanw. Burung-Burung Kertas 141
KISAH PAGI DAN KAU YANG KUPANGGIL TUAN Galih Pangestu Jati Tuan, harapanku telah berpendar. Menyebar bersama helaan nafas yang penuh dengan cemas dan rindu. Aku tak punya lagi yang namanya harapan. Bukannya aku tak percaya, ataupun aku telah putus asa, tapi kenyataan memang demikian. Waktu mela- rangku untuk menaruh beberapa potong harapan padamu seperti setiap pagi aku menaruh sepotong panekuk pada piringmu. Atau menuangkan harapan padamu seperti aku menuangkan kopi pada cangkirmu. *** “Tok… Tok… Tok…” Pagi ini embun belum sempat turun. Udara dingin masih menyelinap pada celah-celah dinding rumah, lalu dengan halus dan sangat pelan menusuk dengan bengisnya pada setiap pori tubuhku. Tapi tiga ketukan pintu telah terdengar. Setan! Aku tak bergegas. Masih bertahan dengan tidur yang ha- nyalah sebuah kepura-puraan untuk menutupi kemalasan. Setelahnya, tidak ada suara. Hanya ada derit pintu pelan dan langkah yang nyaris tanpa terdengar. Rasa penasaranku menye- ruak, mengalahkan dingin yang sudah mulai pudar. Aku melang- kahkan kaki menuruni ranjang menuju ruang makan. Kulihat Ibu sedang berkasih-kasihan dengan seseorang, bukan Ayah, tapi kau, Tuan. Matanya penuh dengan binar yang tak pernah kutemukan ketika berbincang denganku, atau dengan Ayah. Begitu teduh, tapi nampak liar dan nakal. “Kamu sudah bangun?” Ucap Ibu dengan segala kegagapan ketika sudah menyadari aku berdiri di sampingnya. Aku hanya diam dengan penuh keheranan. 142 Burung-Burung Kertas
Saat itulah aku pertama kali melihatmu, Tuan. Dan terlibat dalam satu pertemuan dimana kata orang adalah hal yang selalu dinantikan, yang tanpa dirasa mengandung berbagai harapan, meski nanti pasti tahu akan berakhir pedih dalam perpisahan. Kau mengulurkan tangan padaku dengan senyum yang hangat dan mengembang. Sungguh begitu menawan, Tuan. Menenangkan. “Siapa namamu, Nak?” “Rukmini” Kau tersenyum mendengar namaku, Tuan. Dan aku merasa kesal. Kau pasti menertawakan namaku yang tidak semodern Jean, Kate, Montana atau apalah itu. Aku menunduk, tapi kau malah mengangkat daguku pelan sambil menyunggingkan senyum itu lagi. “Kamu tahu, siapa Rukmini?” tanyamu Tuan. Dan aku hanya bisa menggeleng pelan. Kau berkata Rukmini itu putri Raja Bisma- ka dari Kerajaan Widarba. Ia adalah penjelmaan dari Dewi Laksmi, dewi Kemakmuran dan Kekayaan. Dia adalah istri Kresna, jelmaan dari Dewa Wisnu. Seketika aku merasa bangga oleh namaku karena ceritamu itu, Tuan. Tapi itu hanya sebuah dongeng, dipaidho keneng1. Setelahnya kau berusaha mengakrabkan diri denganku tanpa kutahu apa motifmu di balik itu. Kau bercerita apa saja tentangmu. Tidak berlebihan, dan tidak membual. Tidak seperti Ayah yang kerap membanggakan diri sebagai pemburu dengan menunjukkan berlembar-lembar foto hasil buruannya yang entah asli, entah di- ambil dari internet karena aku sendiri tak pernah melihat Ayah pulang dengan membawa seekor pun hewan yang ada pada foto yang dipamerkannya. Tak terasa matahari sudah mulai naik. Hangat kopimu bahkan telah menguap. Aku menawarkan lagi untukmu satu cangkir kopi panas baru. Tapi kau kelihatan sudah tiada berselera lagi untuk mencoba meneguknya. Kau malah mengecup keningku pelan. Mem- buatku merasa limbung, Tuan. Tapi aku tidak jatuh. Jatuh hanya akan menumbuhkan keangkuhan pada benakmu karena merasa berhasil bisa melakukan penaklukan. Dan aku tak mau itu. 1 Bisa disangkal 143 Burung-Burung Kertas
“Aku hanyalah secercah embun, Nak. Datang sesaat sebelum kerontang menguapkan aku. Kalau aku mampu, aku ingin meng- hentikan waktu, agar aku bisa lebih lama datang padamu. Tapi sayang, aku harus segera pergi, sekarang.” Dengan sunggingan senyum yang masih menempel pada bibirmu, kau berbalik menuju Ibu, Tuan. Kemudian kau kecup kening Ibuku dengan khidmat dan pergi menuju pintu. *** Setelah pagi itu, pagi-pagi seterusnya aku selalu menunggu Tuan untuk datang bertandang. Setiap pagi sebelum azan subuh berkumandang--bahkan sebelum Ibu bangun--aku telah berke- cimpung di dapur membuat beberapa buah panekuk untuk Tuan. Entah rasanya seperti apa, tapi kau tetap berusaha menikmati dan melahapnya, Tuan. “Ketika aku memakan panekukmu, aku seperti merasakan panekuk dari The Original Pancake House. Apa kau terbang ke sana dan mencuri beberapa potong panekuk semalam buatku? Atau lebih parahnya kamu mencuri resep di sana mengendap-endap seperti plankton yang berusaha mencuri resep di Krusty Krab?” Pujimu dalam lelucon yang kau keluarkan dari mulutmu yang tetap mengulum senyum, Tuan. “Tuan pandai membuatku besar kepala,” jawabku singkat dengan rasa senang yang begitu merekah. Merasa bangga bisa menyenangkanmu hanya dengan adonan berisi terigu, susu, telur, baking powder, vanili, dan gula yang di panggang di atas wajan ceper lalu disajikan dengan madu. Lalu setelah menikmati panekuk buatanku, kau harus memba- yar dengan mendongengkanku sampai waktumu habis, dan berla- lu. Beberapa dongeng yang belum pernah aku dengar kau bawakan dengan rangkaian kata dan nada yang tepat, kadang turun kadang naik, kau begitu mampu membuat emosiku turun naik mengikuti alur dongenganmu. Dan itu yang selalu aku rindukan darimu, Tuan. Itu yang membuatku selalu ingin menahanmu ketika kau harus segera pergi. Tapi kau selalu menenangkanku dengan janji- janji akan kembali esok nanti. 144 Burung-Burung Kertas
Tapi sering pula kau membuatku kecewa. Tidak semua pagi kau datang. Beberapa pagi kau mangkir dari janjimu, Tuan. Entah karena pagi tak mengizinkanmu atau alasan lain yang selalu kau sembunyikan dan tak mau membaginya padaku. “Tidak semua yang terjadi bisa dijelaskan dengan kata-kata, Nak. Nanti dulu, biarkan saja itu menjadi sebuah pertanyaan hingga waktu bersedia menjelaskannya padamu.” Jelasmu, Tuan. Ada beberapa pagi yang bukan kau, tapi Ayah yang datang ke rumah. Ia datang setelah beberapa hari bahkan kadang bebe- rapa minggu tidak pulang, Tuan. Entah ke mana aku pun tak tahu. Seperti yang selalu dibanggakannya, katanya Ayah berburu dan banyak menghabiskan hari-harinya di hutan bersama hewan dan kawan-kawannya. Ketika pulang, dia hanya tidur seharian. Tak ada dan tak mau bercengkrama denganku ataupun Ibu, apalagi mendongeng seperti yang selalu kau lakukan padaku. Dia begitu dingin. Aku merasakan kesepian. Ibu pun begitu, ada raut sedih yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata pada raut mukanya. Aku juga kerap merasa iri ketika melihat teman sepermainanku bercengkrama dengan Ayahnya masing-masing. Mereka kerap dijemput di gerbang sekolah dengan raut muka bahagia. Lalu me- reka akan dibelikan eskrim atau mainan yang mereka inginkan. Sedangkan aku? Pernah sekali aku protes pada Ayah kenapa dia lebih suka tidak berada di rumah dan menghabiskan waktu bersama yang katanya binatang di hutan daripada dengan anak istrinya sendiri. Dia malah memasang wajah yang geram dan langsung mendarat- kan tamparan pada pipiku. Begitu sakit dan perih, Tuan. Mulai saat itu aku membencinya. Ketika dia pulang aku tak pernah lagi bicara padanya, Ayah pun juga tak pernah ada niat berbicara denganku. *** Lama-lama aku merasa ada rasa yang tak bisa diberi nama. Bagaimana sesuatu yang secara sadar dirasakan memang ada yang salah, dinikmati dan begitu menggiurkan, lalu menimbulkan rasa nyaman. Bodohnya aku masih terlalu polos dan mudah terlarut di dalamnya. Aku membiarkan sebuah dosa lesap bersama do- Burung-Burung Kertas 145
ngeng-dongengmu yang selalu aku tunggu dan bersama pagi yang selalu mampu mengobati rasa sepi. Dan itu tidak hanya sekali dua kali, tapi berulang kali ketika kau datang ke mari, Tuan. Pa- dahal seharusnya dari awal aku harus curiga tentangmu, tentang Ibu dan tentang pagi. Di balik semua itu tanpa kusadari ada sebuah khianat yang dengan sengaja diendapkan. Sebetulnya aku tak bo- leh diam, tapi ternyata dendam lebih keparat. Ia mampu mem- bungkamku dari semua ini. Tak berlangsung lama, hingga pada suatu pagi ketika hari masih nampak gelap, semua itu terungkap meski pekat masih berusaha mengaburkannya. Pagi itu kau telah datang, Tuan. Kau hendak pergi, seperti biasa sedang mengecup kening Ibu mesra. Lalu pintu terbuka, udara dingin seketika masuk menusuk setiap pori dan menggelitik lubang hidungku. Sesosok bayangan berdiri di ambang pintu. Dari potongan tubuhnya aku sudah hafal, Ayah. Lalu dia berjalan meng- hampirimu dan Ibu. Aku masih duduk di meja makan dengan mulut yang tak sadar telah menganga menyaksikan gerak-gerik- nya. Ibu tampak terperanjat dan mulai menampakkan muka yang pucat. Tidak ada suara, sunyi. “Plakk…!!!” Terdengar tamparan keras. Aku melihat tamparan keras men- darat di wajah Ibu. Ia pun tersungkur di lantai. “Biadab! Aku suruh kau menjaga istri dan anakku, bukan aku suruh kau untuk menikmatinya!” suara Ayah keras kepadamu, Tuan. Kalian terlibat pertengkaran hebat. Pertengkaran dua orang laki-laki dewasa. “Tolong! Tolong!” teriak Ibu dengan tangis yang menjadi- jadi. Seketika para tetangga berbondong-bondong datang ke ru- mah. Mereka berkerumun berusaha melerai pertengkaranmu de- ngan Ayah, lalu membawa Ayah keluar entah ke mana. Aku meng- hampirimu dengan segala keberanian yang berusaha aku kum- pulkan. Kulihat kau telah jatuh tersungkur dengan leleran darah yang mengalir pada kepala yang telah retak. Matamu telah tertutup, dan napasmu satu-satu. “Tuan!!” rintihku pelan. *** 146 Burung-Burung Kertas
Ini pertama kali dan mungkin terakhir kali aku datang ke rumahmu, Tuan. Di sini aku tidak akan memaksamu memakan panekuk buatanku, atau menyiksamu untuk terus memutar otak memberikan dongeng-dongeng baru untukku. Tapi sangat seder- hana. Aku hanya ingin melihat tubuhmu untuk terakhir kalinya sebelum tanah menyentuhmu dan kemudian menenggelamkanmu dengan semena-mena. Kini kulihat tubuhmu telah kaku dengan kepala yang retak dan beberapa lebam biru pada wajah, ujung mulut, dan pada bebe- rapa bagian tubuhmu. Bau anyir darah sudah tak tercium lagi. Aku ingin mendekat, mengecup tanganmu yang dulu sempat kuta- ruh beberapa lembar harap, tapi tak bisa. Perempuan dan beberapa tuyul-tuyul kecil di sekelilingmu yang sedang meraung-raung itu, mungkin tak akan pernah mengizinkannya. Aku mulai paham, khianat memang nikmat namun kuyakin, itu hanya untuk sesaat, bukan? Sekarang, kesepian telah menunggu- ku lagi sepulang dari sini. Dia akan menungguku seperti dahulu aku menunggumu datang ketika pagi belum terang. “Rukmini!” Biodata Penulis Galih Pangestu Jati tinggal di Cenangan, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Saat ini Galih kuliah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah membaca, menulis, dan nonton film. Jika ingin berkorespondensi dengan Galih dapat menghubungi: HP 081390028378, email: [email protected], twitter:@pangestujati. Burung-Burung Kertas 147
KUPU-KUPU SEGERA TERBANG Primadita Herdiani Apa salahku padamu? Aku lahir dan tumbuh di dunia yang sama denganmu. Tidak makan kembang atau batu. Bernapas dengan oksigen sepertimu. Kulitku, rambutku, serupa denganmu. Aku juga anak Adam dan Hawa, sari pati tanah surga. Lahir dari buah cinta yang sama. Tak ada beda. Tapi mengapa kau menyi- kapiku lain, hanya karena aku tak sesempurna dirimu? Tahukah kau? Bagiku, sempurna adalah kata yang menyakit- kan, seperti tombak yang menusuk di ulu hati. Selalu menjadi alasan untuk memandang rendah padaku. Bagaimana bila di balik, sempurna adalah aku dan cacat adalah kau, akankah kau tetap memandangku begitu? Dengan wajah sinis, karena mengira aku tak mampu. Atau dengan tatap kasihan, karena berpikir aku patut dikasihani. Sesungguhnya, aku pun punya kemampuan yang sama denganmu, hanya saja kemampuanku masih terkungkung dalam penjara kata-kata. Yang terus-menerus kuberjuang untuk menem- busnya. Kuakui kadang aku frustrasi. Sulit untuk membuat orang me- ngerti isi hati. Ibu yang melahirkanku pun pernah kubuat mena- ngis karena marahku yang berlebihan. Aku mengamuk memecah- kan barang-barang. Tangan ibu sampai berdarah, terluka oleh pe- cahan kaca. Aku menyesal melihatnya, tapi saat itu hatiku pun sedang berdarah-darah. Terluka oleh keadaan diriku sendiri. Aku tak bermaksud melukai ibu atau merusak apa-apa. Hanya saja rasanya sangat menjengkelkan bila tak ada seorang pun bisa mengerti apa yang dimaksud. Padahal aku hanya menginginkan sesuatu yang sederhana saja. “Ibu aku ingin makan apel” tapi ibu 148 Burung-Burung Kertas
memberiku jeruk. “Ibu aku mau pakai baju merah” tapi ibu me- makaikanku baju biru. Kekurangan itu membuatku tak bisa me- nyampaikan pikiran, keinginan, juga perasaan. Belum sekalipun kukatakan, “aku mencintaimu ibu”, sebab tak kutahu cara menyam- paikannya. Aku pun tak ingin selalu marah, sebab marah hanya membuat semakin lemah. Tapi beginilah keadaanku, terlahir sebagai tunarungu. Dunia membisu padaku. Sedikit pun tak kudengar bunyi-bunyi. Bumi sunyi sepi. Tak pernah ada suara desau angin, gelegar petir, rintik hujan menerpa jendela, juga nyanyian jengkerik. Angin hanyalah sesuatu yang bertiup menggoyang rambutku. Petir, kilatan sinar di langit yang menyilaukan mata. Hujan adalah air yang jatuh dari langit. Dan jengkerik, aku bahkan belum pernah melihatnya secara nyata. Ia selalu sembunyi, dalam lubang tanah atau di balik rerumputan. Indraku yang tak lengkap tak mampu menemukan sarangnya, walau ibu bilang banyak di halaman. Kau selalu menertawakanku, menjadikanku bulan-bulanan ejekan yang tak bisa kudengar namun sangat tajam kurasakan. Begitu menusuk! Kau menganggapku bodoh dan tak bosan mem- permainkan. Bertubi-tubi memancing kemarahanku dengan sesuatu yang tak kupahami. “Nana budeg...Nana budeg...” mulutmu bergerak-gerak, li- dahmu menjulur-julur, wajahmu sangat tak menyenangkan. Kau berjalan mengikutiku dengan kaleng rombeng yang dipukul-pukul tepat di depan mukaku. Membuatku risih, terhalangi pandangan. Kau sangat mengganggu. Kalau aku berlari kau pun berlari, kalau aku sembunyi kau akan mencari. Aku seperti tikus kecil buruan yang hidup tak aman karena kejaran kucing pengejek sepertimu. Lain waktu kau membawa plastik gembung penuh udara yang kau tiup dengan mulutmu. Lalu saat aku lengah kau akan meng- endap dari belakang dan meledakkannya tepat di samping teli- ngaku. Aku menangis, bukan karena terkejut tapi lagi-lagi karena wajahmu yang begitu mengejek. Kau selalu saja tertawa di atas tangisku. “Dasar budeg!” lalu kau berlalu. Kembali ke rumahmu. Mung- kin bagimu aku hanyalah mainan kesukaan yang selalu kau per- Burung-Burung Kertas 149
mainkan sepulang sekolah. Bertahun semua dera hina darimu kutahan sendiri. Sampai suatu hari ibu pulang kerja lebih pagi. Menemukanku sedang dalam bulan-bulananmu. Ibu mengusirmu pergi dengan gagang sapu di tangannya. Kau tak pernah datang kembali. Tapi aku telanjur menjadi tikus kecil yang gemetar dan tak sanggup keluar dari liang persembunyiannya. Aku tak berani. Kehilangan percaya diri. Kupilih meringkuk dalam gelap kamarku. Kadang dari kegelapanku kulihat ibu me- nangis. Lagi-lagi aku membuat satu-satunya orang yang kucintai itu menangis. Ia pasti sedih sekali, andai ada ayah pasti tak sesulit ini. Sayang, ayah dipanggil Tuhan lebih dulu dari kami. Aku me- rasa sangat bersalah. Menyesal, kenapa aku harus dilahirkan? Un- tuk apa? Hanya untuk menyusahkan ibu atau dihina olehmu? Tuhan adakah Kau dekat? Aku pun menangis, dalam sunyiku yang sema- kin gelap. Dalam keremangan hari-hari, aku sering berkhayal, seandai- nya semua orang di dunia sepertiku. Kamilah yang normal, kau dengan segala kesombonganmu adalah kecacatan. Apa yang akan terjadi? Kau berteriak-teriak sendiri. Tak ada yang mendengarmu, kau akan dianggap aneh sebab mulutmu mengeluarkan suara-suara yang tak dimengerti siapa pun. Aku akan habis-habisan menerta- wakanmu. Memperlakukanmu sama seperti kau memperlaku- kanku. Sebab kau berkelakuan aneh. Suka bicara sendiri, dengan bahasa yang tak perlu. Sebab di duniaku, kami punya bahasa sen- diri yang tak tertangkap oleh telinga. Kami bicara dengan bahasa hati. Penuh kasih dan pengertian. Setiap malam aku bangun diam-diam, berdoa sepenuh hati agar duniaku terwujud. Aku memohon agar kau mengalami derita yang sama atau bahkan lebih dariku. Sungguh aku sangat mem- bencimu. Kau adalah makhluk yang paling kubenci di dunia ini! *** “Nana, hari ini ibu akan pulang lebih malam, kunci pintu agar Igo, anak nakal itu tidak masuk rumah dan mengganggumu lagi.” kubaca gerak bibir ibu, aku mengerti. Ini hari Minggu, biasanya ibu libur. Namun demi tambahan biaya sekolah, ibu harus lembur. Aku masuk sekolah luar biasa, yang biayanya tak biasa. Ibu ingin 150 Burung-Burung Kertas
menjadikan tikus kecil yang tak percaya diri ini menjadi manusia luar biasa. Hanya tirai ruang depan yang kubuka, sekadar untuk mema- sukkan cahaya. Pemandangan di luar jendela sama seperti biasa. Halaman kecil yang rimbun aneka tanaman hias, lalu beberapa ekor kupu-kupu datang, terbang mengitari bunga-bunga. Ah, beta- pa indahnya! Kuambil buku catatan kecilku dan sebuah pena dari tas sekolah. Aku menuliskan perasaanku yang dipenuhi kekagum- an di sana. Mulanya ia hanya ulat yang menggeliat dalam kepompong bisu. Tak seorang pun peduli sebelum ia mampu mengembangkan sayapnya. Sebelum mampu mencecap madu. Ia harus memakan daun tanpa henti. Menjadi pertapa puasa dalam pupa. Lalu ber- juang keluar dari kungkungan kepompong kering untuk mengem- bangkan sayap basahnya. Lalu terbang menyongsong matahari. Menghiasi dunia dengan sayap indahnya. Sebelum mampu merasakan manisnya dunia, ia harus lahap menelan pahit pucuk-pucuk ilmu. Lalu bersabar dalam puasa batin yang panjang. Memupuk keberanian untuk menghadapi dunia dengan sayap-sayap kemenangan. Aku ingin berubah dari ulat perusak tanaman menjadi kupu-kupu penghias taman. Kutuliskan semuanya dalam buku kecilku. Lalu aku memejamkan mata me- mohon. Aku ingin jadi kupu-kupu untuk ibu. Setelah berdoa kulihat kau memanjat pohon jambu tetangga depan rumah. Kau memang sungguh nakal. Tuhan memberimu kesempurnaan tapi kau mempergunakannya untuk kejahatan. Penghuni rumah depan sedang pergi. Rumah itu kosong beberapa hari ini. Kau berniat mencuri! Aku tak habis pikir, untuk memper- oleh sebiji jambu kau harus begitu. Bapak ibu depan rumah adalah orang-orang yang ramah. Tanpa kau minta mereka akan memberi. Beberapa hari lalu aku diberi tanpa meminta. Mereka memang orang-orang baik. Kuperhatikan saja gerak-gerikmu dari balik jen- dela. Kalau aku bisa teriak akan kuteriaki kau, maling! Kau mengendap, tengok kiri kanan dengan culasnya. Melom- pati pagar lalu memanjat pohon jambu diam-diam. Tanganmu ra- kus memetik buah-buah matang. Menjejalkan ke saku kiri, lalu Burung-Burung Kertas 151
kanan. Ke balik bajumu. Penuh kedua tanganmu menggenggam hingga kau lupa berpegangan. Kau jatuh! Untuk sesaat aku terkejut, lalu tertawa, akhirnya tiba giliranku untuk menertawakanmu. Puas rasanya. Aku terus tertawa hingga kusadari kau tak bangkit lagi. beberapa lama aku menunggu untuk melihat kepalamu muncul dari balik pagar. Tapi kau tak kunjung berdiri. Aku mulai mendu- ga-duga apa yang terjadi padamu? Aku masih di balik jendela, tegang memandang ke seberang. Ini sudah terlalu lama. Aku merasakan ada yang tak beres. Jangan- jangan kau celaka. Jatuhmu cukup tinggi. Aku bisa saja datang menolong seandainya kau benar terluka. Namun aku bimbang, bukankah aku adalah orang yang paling ingin kau celaka. Lalu kenapa sekarang aku mengkhawatirkanmu? Dalam kebimbangan- ku masih tak kulihat dirimu. Tapi bagaimana seandainya kau tak apa-apa justru sedang asyik menikmati jambu curian di balik pagar? Kalau aku menghampirimu, bisa-bisa kau habis melempariku, dengan jambu-jambu itu! Lalu aku menghitung dalam hati, kalau dalam hitungan kese- puluh kau tak muncul aku akan menyeberang untuk melihat ke- adaanmu. Tak peduli dengan resiko kau akan menyakitiku. Aku mulai menghitung. Hitungan awal, hanya daun-daun jambu yang terlihat berguguran. Setengah hitungan, masih saja tak terlihat perkembangan. Sebelum hitungan kesembilan aku membuka pintu rumah. Seekor kupu-kupu hinggap di bahuku, seakan hendak me- nemani dan memberi keberanian. Dari celah pagar kulihat tubuhmu tak bergerak. Kakimu terte- kuk badanmu telungkup. Aku terkejut! Lagi-lagi gemetar. Ah, ke- napa harus gemetar setiap kali melihatmu? Kupanjat pagar, ku- hampiri kau yang masih diam. Kuambil sembarang ranting jatuh. Aku takut kau tiba-tiba berbalik lalu menyerang setelah aku men- capai tubuhmu. Dengan ranting kusentuh ujung kakimu, kau tak bereaksi. Kau pingsan dan darah tampak berlumuran ketika kubalik tubuhmu. *** “Terima kasih,” berkali-kali kau ucapkan padaku. Aku meng- angguk saja. Ibu tampak masih bicara dengan kedua orangtuamu. 152 Burung-Burung Kertas
Sebentar lagi kau pulang setelah dua minggu di rumah sakit. Kata yang sama diucapkan pula oleh kedua orangtuamu. Tapi aku tak merasa luar biasa. Aku lebih bahagia dengan yang ibu katakan padaku. “Ibu sangat bangga padamu Nana.” Menurut ibu, menolong orang yang selalu menyakiti, itu luar biasa. Butuh kebesaran hati dan kesucian pikiran. “Kau lebih dari sempurna,” ibu memelukku lama sekali. “Maafkan aku Nana,” kau berusaha meraih tanganku. Pasti sakit sekali bergerak dengan luka-luka seperti itu. Kakimu terbalut gips. Lenganmu terbungkus perban di beberapa tempat. “Sama-sama,” jawabku dengan bahasa isyarat yang tak kau mengerti. Ibu menerjemahkannya padamu. “Nana bilang, ya sama-sama. Semoga Igo tidak nakal lagi,” aku tersenyum. Ibu menambahkan sendiri, tapi lucu rasanya meli- hat wajahmu memerah malu. “Tuh dengar kata Nana, perbaiki sikapmu sebelum Tuhan sendiri yang menghukummu. Kapok tidak?” ayahmu tampak jeng- kel. Sering kulihat ia begitu marah padamu. Menjewer, bahkan memukulmu, tapi segala tindak hukuman yang diberikan orang- tuamu tak sedikit pun membuatmu jera. “Jangan pernah lupa, Nana adalah penyelamatmu. Kalau dia tidak datang menolong, tak tahu apa yang akan terjadi. Belum tentu bisa bernafas sampai hari ini,” tambah lelaki itu. Kalau kau tidak sedang dalam keadaan sakit, tangannya pasti sudah meraih daun telingamu. Sayang sekali, kau menyediakan telinga sempurnamu hanya untuk dijewer! Kau telah menyia-nyia- kan telingamu. Betapa bodohnya kau! Andai kau terlahir sepertiku. Kau akan tahu betapa berharganya telinga itu. “Belajar banyak juga dari Nana, keberaniannya luar biasa. Yang namanya berani itu bukan sok jago, pukul sana, tonjok sini. Keberanian terbesar adalah berani menolong dan memaafkan,” ibumu ikut bicara. Sudah lama ia tertekan dengan kenakalanmu. Setiap kau berulah, ialah yang repot minta maaf ke sana ke mari sembari ganti rugi. Burung-Burung Kertas 153
“Igo harus minta maaf pada ayah-ibunya juga,” kataku dengan kata-kata yang kususun dengan jari-jemari. Ibu kembali menerje- mahkan. Matamu berkaca-kaca setelah paham. Airmata segera ber- kumpul lalu jatuh meluncur melewati dagu. “Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku, Ibu,” kau ucapkan terbata- bata. Tampak sangat sulit di mulutmu, padahal kau tak bisu. Ayah- ibumu tampak haru. Mereka memelukmu. Aku pun memujimu kini, kau sungguh punya nyali. Sebab, meminta maaf adalah sikap penuh berani. “Mulai hari ini aku adalah temanmu,” katamu padaku. “Apa kau mengerti apa yang kukatakan?” Tentu aku mengerti, aku sudah keluar dari kepompongku. Sayapku sudah mengembang, siap untuk terbang. Aku sudah me- nembus penjara kata yang membuatku terkungkung kebisuan. Aku sudah belajar membaca gerak bibir, menggetarkan pita suara juga menggerakkan lidah agar mengeluarkan kata yang sama de- nganmu. “Jangan khawatir temanku, aku mengerti bahasamu,” kataku dengan isyarat jari-jari yang belum kau mengerti. Mungkin perte- manan kita akan lebih baik jika kau mau belajar bahasaku juga. Banyak hal di duniaku yang perlu kau tahu. Ada banyak kegiatan seru yang menarik. Aku menguasai keterampilan yang tak kau pelajari. Kalau kakimu sudah sembuh aku akan mengajakmu me- nari hip-hop dan main musik beatbox. Lihatlah kelincahan tubuh juga decak mulutku! “Ajari aku bahasamu,” pintamu sebelum aku dan ibuku pamit pulang. Aku mengangguk mantap. Segala kebencian dan permu- suhan pun tanggal. Aku adalah kupu-kupu yang segera terbang. Biodata Penulis Primadita Herdiani tinggal di Sanggrahan, RT 04/RW 036, Wedomartani, Depok, Sleman. Saat ini Dita kuliah di Universitas Diponegoro, Semarang. Hobinya dalah membaca, mendengarkan musik, dan memancing. Jika ingin berkorespondensi dengannya, dapat menghubungi HP 089669550379, email: [email protected], twitter: @primdiitt. 154 Burung-Burung Kertas
LAMBANG KEBEBASAN Nisrina Salsabila Aku selalu mengingat perkataan teman kecilku dulu. ‘Ikuti kata hatimu’, begitu katanya. Sebuah kalimat, tiga kata, delapan suku kata, dan lima belas huruf itulah yang membuatku berhasil kini. Merubah hidupku dan membuatnya menjadi lebih baik. Aku ini anak yang sangat penurut, dulunya. Semua kemauan Ibu dan Ayah selalu kuturuti, sekalipun aku tidak menyukainya. Aku hanya ingin menjadi anak yang patuh dan berbakti pada mereka. Hingga, aku bertemu dengan Randu ... *** Lembah Permai adalah tempat paling indah yang pernah ku- jumpai. Rerumputan berbunga terhampar sepanjang lembah. Po- hon-pohon besar berdiri berjajar di tengah lembah. Tapi hanya satu pohon yang sering kudatangi. Pohon yang tampak berbeda dari pohon-pohon lain yang berada di Lembah Permai; pohon randu. Tempat teman kecilku tinggal bersama domba-dombanya. “Aku menyukai perbedaan,” jawabnya, ketika kutanya me- ngapa ia memilih tinggal di bawah pohon randu. “Selain itu, nama- ku memang diambil dari nama pohon ini,” tambahnya. “Kenapa tidak pohon mangga atau pohon buah lainnya? Po- hon randu tidak memiliki buah yang bisa dimakan,” tanyaku suatu hari. Teman kecilku terkekeh. “Aku akan dipenuhi semut jika tinggal di bawah pohon mangga.” Yang kutahu dari teman kecilku ini hanya sedikit. Ia gadis kecil pengelana yang tangguh. Kutahu dari cerita-ceritanya yang Burung-Burung Kertas 155
sering diceritakan untukku ketika hari sedang bagus, dan angin bertiup sepoi-sepoi. “Aku hanya seorang gadis kecil pengelana dengan lima puluh domba,” tuturnya ketika pertama kali bertemu dengannya. Aku tertawa mendengar penuturannya. “Memang kau pernah hitung jumlah domba-dombamu itu?” Dengan wajah polosnya, ia menggeleng. “Terakhir kali kuhi- tung domba-dombaku tahun lalu. Dan saat itu, jumlahnya lima puluh ekor.” Teman kecilku pernah bercerita tentang mimpinya, impiannya. Mimpinya sangatlah sederhana. Sangat sederhana untuk seorang gadis kecil yang masih punya banyak peluang. “Aku hanya ingin menjadi seperti layang-layang lepas,” ujar- nya sambil memejamkan mata dan merentangkan kedua tangan- nya. Lantas meliuk–liukkan dirinya, seperti sebuah layang-layang lepas. Saat itu, aku sedikit heran mendengar impiannya. Yang ku- tahu, gadis-gadis tidak menyukai layang-layang, apalagi ingin menjadi layang-layang lepas. Tapi Randu berbeda. Ucapannya ka- dang seperti orang dewasa. Alisku bertaut. “Kenapa layang-layang lepas?” “Layang-layang lepas itu lambang kebebasan. Freedom! Ia sebe- narnya bisa menentukan takdirnya, tapi ia hanya pasrah pada angin yang membawanya. Beruntung jika ia jatuh di atas permukaan laut. Ia bisa menyapa ikan-ikan dan para penghuni laut lainnya. Tapi takdir buruk bisa saja sudah menantinya. Ya, itulah hidup,” jelasnya, masih tetap memejamkan mata dan membayangkan diri- nya menjadi layang-layang lepas. Penuturannya tentang ‘lambang kebebasan’ menggugah sema- ngatku. Aku bisa menjadi apa saja yang kuimpikan, tanpa harus berdebat tiga puluh menit dengan Ayah dan Ibu. Layang-layang lepas, lambang kebebasan! Suatu malam, aku membawa payungku dan berlari di tengah hujan menuju rumah teman kecilku. Aku tahu, mungkin tidur nye- nyak tak akan kudapatkan malam ini. Tapi inilah gambaranku ten- 156 Burung-Burung Kertas
tang kebebasan yang dimaksud Randu. Dengan kata lain, aku ka- bur dari rumah malam ini. “Kau sedang apa? Bermain hujan-hujanan seperti anak kecil?” komentar Randu begitu aku sampai di rumahnya. “Rumahku jadi becek karenamu!” marahnya. Aku meletakkan payungku dan duduk di lantai rumahnya. “Maaf. Malam ini, aku ingin bermalam di sini. Boleh?” Teman kecilku berkacak pinggang. “Kabur karena kalah debat dengan orangtua, pengecut sekali!” Ada tanda tanya besar di otakku saat itu. “Darimana kau tahu?” Randu tersenyum penuh rahasia. “Menurutku itu tidak pen- ting. Yang jelas, aku tidak mengizinkanmu menginap di rumahku. Sekarang, pulanglah!” Melihatku yang masih diam di tempat, Randu mengambil mantel hujannya. Ia mendorongku sampai ke depan pintu rumah kayunya, dan memberiku mantel hujan kepunyaannya. “Pulanglah! Apa perlu aku mengantarmu?” Begitulah. Malam itu, akhirnya Randu mengantarku pulang. Tapi aku memintanya untuk tidak ikut masuk ke pekarangan ru- mahku. Aku tidak mau ia terkena masalah dan akhirnya debat berkepanjangan dengan orangtuaku. Aku berbalik dan hendak mengucapkan terimakasih pada te- man kecilku itu. “Terimakasih ...” Tapi sosoknya sudah hilang di tengah hujan lebat. *** Sudah kubilang sebelumnya, teman kecilku itu gadis kecil pe- ngelana. Dari cerita-ceritanya, pernah kusimpulkan bahwa ia se- nang bertualang. Tapi kenyataannya lain dari yang kupikirkan. “Aku diusir dari rumah. Tapi tak apa, dengan usiran itu, akhir- nya aku bisa berkelana. Mendatangi tempat-tempat yang belum pernah kutemui,” katanya suatu hari. “Termasuk Lembah Permai ini?” tanyaku. Randu tersenyum. “Tentu saja!” ujarnya. “Sudah banyak tem- pat yang kudatangi, tapi Lembah Permai yang paling lama ku- tinggali.” Burung-Burung Kertas 157
“Menyenangkankah tinggal di Lembah Permai?” Teman kecilku itu hanya mengangguk. “Ya ... pemandangan di sini sungguh luar biasa! Domba-dombaku juga sepertinya se- nang tinggal di sini.” Teman kecilku sudah banyak memberiku pelajaran tentang kebebasan. Kini, giliranku untuk mengajarinya hal-hal yang kubisa. Suatu hari, aku membawa peralatan lukisku menuju pohon randu di tengah Lembah Permai. Hari ini, aku akan mengajarkan hal baru pada Randu; melukis pemandangan! Menyenangkan sekali jika teman kecilku itu akhirnya bisa melukis Lembah Permai. Tem- pat yang menurutnya luar biasa indah. “Kau bawa apa?” Randu menyambutku dengan senyum khas- nya. Ia memindahkan beberapa buah mangga dari rumah kayunya ke keranjang buah besar. “Peralatan melukis,” jawabku pendek. Aku terus mengamati kegiatannya. “Akan kau ke manakan buah-buah mangga itu?” Ia menyeka peluh di dahinya, “Aku hendak ke pasar. Aku akan menjual buah-buah ini, sekaligus salah satu dombaku. Kema- rin, ada saudagar kaya yang memesannya, dan bilang akan mene- muiku di pasar.” Aku sedikit kecewa mendengar penuturannya. “Berarti kau tak bisa melukis bersamaku hari ini?” Randu tertawa kecil. “Tentu bisa! Aku bisa menunda kebe- rangkatanku ke pasar. Saudagar kaya itu pasti bisa menunggu sebentar.” Aku bernapas lega mendengar jawabannya, “Baiklah. Kau mau melukis di mana?” Randu tampak berpikir, “Di balik semak berbunga itu! Kau tidak keberatan, bukan?” Ia menunjuk semak berbunga di dekat pohon randu-nya. “Hm, tidak.” Aku menggeleng ragu. Sebenarnya, aku sedikit alergi dengan bunga-bunga itu. Tapi demi mengajarinya melukis, aku tidak keberatan. Kami melukis di balik semak berbunga itu. Biarpun aku tak jarang bersin-bersin, tapi kegiatan melukis bersama Randu ini sangat mengasyikkan. Berbeda dengan lukisanku yang didominasi 158 Burung-Burung Kertas
warna hijau rerumputan lembah. Lukisan Randu berpusat pada satu benda; layang-layang lepas. Kebetulan, ada layang-layang lepas terbang tertiup angin di langit lembah yang cerah ini. Tak kusangka, teman kecilku ini pandai juga melukis. Setelah lukisannya selesai, ia menunjukkannya padaku. “Bagus?” Aku melihat lukisannya yang sudah selesai. “Hm, yah ... apa judulnya?” “Menurutmu?” Randu balik bertanya. Aku menerka-nerka judulnya. Sekilas, mungkin judulnya layang-layang lepas. Tapi kupikir, teman kecilku pasti memberi judul yang berbeda dari pikiran orang-orang. Maka kujawab, “Lambang kebebasan, bukan?” Teman kecilku bertepuk tangan riuh, “Hebat sekali kau bisa menebak judul lukisanku!” serunya di tengah senyum manisnya. “Sepertinya aku harus segera ke pasar. Kau bisa bawa pulang lu- kisanku dan simpan baik-baik?” Aku mengangguk pasti sambil terus memandangi sosok Randu yang makin menjauh. *** Tak selamanya aku dan Randu akur. Ada kalanya kami berde- bat. Dan satu kali perdebatan itu yang membuat semuanya menjadi hancur. Aku akui, itu memang kesalahanku. Pagi itu, Randu berlari-lari kecil menuju rumahku. Aku yang kebetulan sedang menyirami bunga di pekarangan melihatnya, dan segera menemuinya. “Ada apa?” tanyaku tanpa basa-basi. Teman kecilku tersenyum kecil, memperlihatkan satu giginya yang tanggal. “Kau ke sini bukan untuk memperlihatkan gigimu yang tanggal itu, kan?” Randu manyun, “Tentu bukan! Aku ingin mengambil lukisanku. Bolehkah?” “Hm, tidak!” Raut wajah Randu berubah, “Kenapa tidak boleh? Itu milikku, bukan?” Burung-Burung Kertas 159
Aku menjelaskan pada teman kecilku bahwa lukisannya sudah tidak ada lagi di rumahku. Aku hanya bilang lukisannya hilang, padahal diam-diam aku mengirimnya untuk dipamerkan di balai kesenian kota, yang letaknya jauh dari Lembah Permai. Tidak seperti dugaanku, wajah Randu memerah. Ia meng- hentak-hentakkan kakinya dengan kesal, “Kenapa bisa hilang? Aku sudah berpesan agar kau menjaganya dengan baik!” “Maaf,” hanya satu kata dengan empat huruf itu yang kuucap- kan sebelum akhirnya Randu berlari pulang ke rumahnya dengan perasaan marah. Satu hal yang tidak kuketahui, teman kecilku itu pulang ke rumahnya dengan berlinang air mata. Saat itu, aku mera- sa aku adalah orang terbodoh di dunia. Esoknya, aku berniat meminta maaf pada Randu, sekaligus mengucapkan perpisahan padanya. Lusa, aku akan tinggal di ru- mah nenekku. Ini permintaan ayah dan ibu agar aku tidak selalu bermain bersama Randu. Rupanya, mereka sudah mengetahui identitas teman kecilku itu. Aku benar-benar terkejut begitu sampai di Lembah Permai. Lebih tepatnya, di depan rumah teman kecilku. Rumahnya porak- poranda. Entah apa yang terjadi pada rumahnya. Tanpa pikir pan- jang, aku memasuki rumah Randu. Tak kutemukan sosok teman kecilku itu di dalam rumahnya. Semua berantakan dan rumah itu kosong. Hanya ada secarik kertas yang membuatku tertarik. Jika kau tidak menemukanku di rumah, yakinlah, aku sudah memaaf- kanmu. Aku pergi tanpa membawa domba-dombaku ke rumah saudagar kaya itu. Ia akan mengangkatku menjadi anaknya. Ah iya, aku sudah dengar tentang kepindahanmu. Jadi kuperbolehkan kau menjual domba- dombaku agar tidak merepotkanmu dan keluargamu. Menurutku, kau tidak harus menuruti kata-kata orangtuamu. Aku tahu kau lebih suka tinggal di Lembah Permai ketimbang di rumah nenekmu. Tapi semua keputusan ada di tanganmu sekarang. ‘Ikuti kata hatimu.’ Randu, pengelana layang-layang lepas. 160 Burung-Burung Kertas
Aku hampir tidak percaya membaca suratnya. Teman kecilku sekarang sudah tidak ada lagi di Lembah Permai. Entah aku akan bertemu dengannya lagi atau tidak. Jujur, aku ingin mengucapkan beribu-ribu maaf tentang lukisannya dan mengabarkan kalau lukisannya paling banyak diminati dalam pameran tersebut. *** Bertahun-tahun setelah kepergian Randu, aku menjadi pelukis hebat. Sekarang aku menjadi ilustrator di majalah paling laris di negeri ini dan digaji cukup banyak. Aku akan terus mengingat sosok teman kecilku itu. Aku berharap, suatu saat, layang-layang lepas akan menuntunku untuk bertemu kembali dengannya. “Kau benar-benar ingin bertemu denganku?” Aku terus memandangi jendela kamarku yang menghadap Lembah Permai, dan tak sadar menjawab pertanyaannya, “Ya.” “Kalau begitu, berbaliklah!” Sesaat aku tersadar. Aku berbalik dan menemukan sosoknya di belakangku. Sosok teman kecilku yang selalu kurindukan. Tak salah lagi, itu— “Randu?!” Biodata Penulis Nisrina Salsabila tinggal di PMA No.86, Jamblangan, Margomulyo, Seyegan, Sleman. Saat ini Nisrina bersekolah di SMP N 1 Godean, Sleman. Hobinya adalah membaca buku dan menulis cerita. Jika ingin berkorespondensi dengan Nisrina dapat menghubungi: HP 087843193363, email: [email protected], FB: Nisrina Salsabila, twitter: @Nisrina_Chacca. Burung-Burung Kertas 161
MAMAK GUNTUR Wahyu Sekar Sari “Aku emoh sekolah,” bentakku kepada Mamak ketika berulang kali memaksaku mengenakan seragam. “Kenapa Gun, kakak-kakakmu kabeh sekolah. Tak malu kau tak berpendidikan tinggi seperti kakak kau?” sahut Mamak dengan wajah tua, coklat, keriput, lengkap dengan peluh menetes sebutir- butir. “Gun tak punya kawan Mak, dikucilkan. Mamak tak kasian lihat Gun selalu diejek kawan anak tukang rongsok, Gun si gimbal kali Sunter, Gun jelek kumuh juragan sampah. Gun malu Mak, Gun malu,” jawabku membela diri. Aku memang tidak kuat lagi, diejek dua tahun sejak aku bersekolah mengenakan seragam merah putih yang warnanya tidak putih lagi. “Jadi kau malu punya Mamak tukang rongsok? Apa yang ada di otak kau? Apa kau mau jadi pencopet saja biar lekas kaya? Apa kau mau Mamak mengajari kau cara merampok? Kau ini anak ma- cam apa? Kau lebih malu jadi anak tukang rongsok apa jadi anak pencopet kaya? hah?” jawab Mamak keras, mendetumkan gen- dang telingaku beberapa saat. Rasanya hampir mual lihat Mamak marah seperti ini. “Kenapa Gun bisa lahir dari Mamak yang miskin?” sahutku tanpa memperdulikan aturan tatanan masyarakat tentang bagai- mana cara berbicara pada Mamak. “Memang kau kira Mamak kau ini tak malu punya anak macam kau? Tak usah sekolah saja, bantu Mamak cari rongsok,” tungkas Mamak seraya memalingkan wajah. Aku tau butir-butir putih be- ning menetes pelan di wajah Mamak. Aku merasa berdosa semarah 162 Burung-Burung Kertas
ini sama Mamak. Ah, apa gunanya marah? Toh Mamak juga tak bisa memberiku uang banyak dan membeli sepeda seperti kawan di sekolah. Bagusnya menuruti ucapan Mamak dulu saja lebih baik. Aku segera beranjak mengambil keranjang sampah, berlari me- ngejar Mamak yang sudah berjalan jauh sekitar dua puluh lima meter di depanku. “Kita mau cari rongsok dimana Mak,” tanyaku pelan, takut kalau Mamak marah lagi. “Jauh-jauh dari Mamak saja, katanya kau malu jadi tukang rongsok,” ucap Mamak pelan tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Aku tahu, ya aku tahu. Butiran bening itu masih menetes satu dua ketika Mamak berjalan cepat tanpa memperdulikan aku mengekor dibelakangnya. “Mamak marah?” tanyaku hati-hati. “Punya hak apa Mamak marah sama kau? Kau cuma titipan Tuhan, kau tak salah kalau malu punya Mamak miskin seperti ini; yang salah kenapa dulu memilih Bapak kau sebagai suami,” Mamak berjalan amat sangat cepat hingga aku tak bisa menyamakan lang- kah dan menyusulnya. Ah tak usah dipikirkan? Paling nanti pulang cari rongsok Mamak juga tidak marah lagi. Langkahku menyusuri trotoar kota, berusaha mencari rongsok sebanyak-banyaknya. **** Sinar matahari yang tadinya menyilau penguras dahaga lekas meredub. Remang cahaya yang masuk dari cela kecil kardus yang menjadi dinding gubuk kami hilang satu-satu. Aku sudah duduk di sudut gubuk dengan tangan menyangga dagu. Hujan sepertinya akan turun sore ini. Kakakku sudah duduk bersandar membela- kangiku. Mereka kakakku, Dai, Lan, dan Ram. Dai yang sudah duduk di bangku enam, Kakak laki-laki tertua yang memiliki tahi lalat di dagu persis sepertiku. Lan yang sedang duduk di bangku lima, Kakak tukang masak di gubuk. Ram si pendiam yang duduk di bangku empat. Dan aku yang duduk di bangku dua. Aku pernah bertanya kepada Mamak mengapa kami berempat tidak pernah tahu siapa Bapak kami? Tapi kata Mamak, Kita itu punya Mamak yang bisa jadi Mamak dan bisa jadi Bapak. Katanya, kita bisa ber- untung tidak pernah bertemu Bapak. Dan ketika akalku semakin Burung-Burung Kertas 163
mengejar jawab Mamak mengapa kita tidak mencari Bapak saja? Mamak tidak akan segan-segan menghukumku tidur di luar gubuk dan tidak diizinkan makan hingga hari berganti. Mamak jahat, jeritku setiap kali Mamak memarahiku perihal keingintahuan ten- tang keberadaan Bapak. Mamak datang dengan batuk-batuk yang tidak pelan lagi. Menutupi mulut dengan kedua telapak tangannya setiap kali Lan bertanya apakah Mamak sudah minum obat. Mamak dengan cepat menggelengkan kepala dan berkata dengan suara yang serak jika Mamak baik-baik saja. Mamak tak sedikitpun menoleh ke arahku, sama sekali tidak. Apa Mamak masih marah kepadaku? Hanya itu kesimpulan yang bisa aku dapat sejak tiga jam sedari keda- tangan Mamak tak menganggap keberadaanku. “Mak, tadi waktu nyari rongsok Gun bertemu dengan kawan Gun di utara jembatan,” ucapku pelan berusaha mengajak Mamak berbincang. Mamak hanya diam saja, tanpa menoleh, tanpa sa- hutan, dan tanpa memberi komentar apapun. “Lalu mereka berkata kalau seumpamanya Gun bisa punya sepeda bagus yang sama milik mereka, mereka tidak akan meng- ejek Gun lagi,” ucapku lagi dengan suara terbata-bata, mengamati punggung Mamak yang tidak juga bergerak. “Lalu maumu apa?” jawab Lan memberi komentar, menatap- ku lekat-lekat tanpa sekat. “Bagaimana kalau selepas sekolah Gun mencopet saja lalu uangnya digunakan untuk membeli sepeda dan makanan,” ucapku ringan tanpa beban. Plakk, hantaman telapak tangan yang lebar itu mendarat di pipi tanganku. Darahku mendesir-desir tak karuan. Mataku tiba-tiba saja berkaca-kaca, semuanya terlihat buram. Da- daku sesak. Masih bercampur rasanya antara kaget, tercengang, kesakitan, dan menahan tangis. Aku tak mau mendongak mencari tahu milik siapa tangan lebar itu? Aku tak mau melihat dua bola mata melotot yang hampir keluar ketika menatapku. Aku hanya bisa menutup bekas tamparan itu, menahan napas, menyembunyi- kan isakan ketika satu dua tetasan air jernih bening merembes di lengan bajuku. Ini sakit, pipiku sakit. Perih, panas, juga daging 164 Burung-Burung Kertas
pipiku seperti masih bergetar ketakutan. Lan segera mengelus ram- butku pelan, berbisik padaku kalau semuanya akan baik-baik saja. “Biarkan saja Lan, buat apa anak macam dia dikasihani? Dia itu lebih bangga punya Mamak pencopet kaya dari pada tukang rongsok yang miskin? Hei anak tak tau diri, apa kau tak pernah dapat pelajaran agama di sekolah. Apa kau tak pernah diberi tahu sama guru kau kalau mencopet itu sama saja dengan menjual harga diri,” ucap Mamak dengan suara menggelegar tanpa kendali. “Pak guru cuma bilang kalau berbuat yang buruk demi kebaik- an itu tidak apa-apa Mak,” ucapku membela diri. Melupakan seje- nak rasa sakit yang masih menimpali wajahku. Rasanya kian mene- bal, rasanya pipiku kian membesar. “Harga diri kau dimana? Mencuri itu sama saja merendahkan derajatmu sebagai manusia. Memang kau kira Mamak tak bisa kasih kau makan dengan menjadi tukang rongsok?” “Tapi Mamak juga tak bisa membelikan Gun sepeda hanya dengan menjadi tukang rongsok Mak,” jawabku semakin berani. Plak, tamparan itu mendarat lagi di pipiku, bukan di sebelah kanan. Tapi kini mendarat di sebelah kiri. Sakitnya lebih dahsyat. Perihnya menjalar-jalar lebih cekat. Pening kepalaku rasanya. Tamparan yang ini membuatku terpental setengah meter dari tempat duduk- ku, aku hanya mengusapnya pelan. Tak lagi bisa menahan air mata- ku yang jatuh tidak hanya satu-satu. Tapi banyak, mengalir deras seperti hujan yang akan menjadikan kali Sunter banjir berminggu- minggu. Mulutku bergetar merasakan sesuatu, ku usap cairan di tepian mulutku. Darah. Dai kemudian merengkuhku, merangkulku pelan dan membopongku ke sudut gubuk. Mamak seraya keluar rumah. Membelah tirai-tirai hujan deras dan pergi entah ke mana. Entah ke mana. Kepergian yang membuatku amat sangat rindu. “Mamak yang jahat, Mamak jahat. Mamak sama sekali tak kasihan liat Gun diejek teman-teman,” ucapku dengan tangis yang semakin menjadi-jadi. Dai pelan sesekali mengelap darah di mulutku dengan punggung tangannya. “Apa kau tahu bagaimana rasanya dikasihani? Kau tak tahu kalau Mamak itu amat sangat sekali menyayangi kita,” ucap Ram yang tiba-tiba datang membawa segelas air putih. *** 165 Burung-Burung Kertas
Kau benar, namaku Gun. Tepatnya Guntur. Guntur yang kata Pak guru adalah nama sinar yang menyambar-nyambar ketika hu- jan deras turun merembes jelas-jelas. Sinar yang suaranya meme- kikkan gendang telinga pemilik setiap jantung yang berdetak cepat acap kali mendengarnya. Sinar yang merekah bak bilahan percikan- percikan api di perapian. Seperti tangan-tangan Tuhan yang me- rembet-rembet seperti ingin memeluk makhluknya. Bagaikan potret kamera Tuhan yang ingin merekam setiap kejadian perilaku tindakan yang dilaksanakan makhluknya. Dan tentu seperti tangan- tanganku yang meminta kasih Mamak lebih dari kasih yang di dapat Dai, Lan, dan Ram. Aku memang paling kecil di antara me- reka, tapi rupa wajahku teramat tua bagi seusia anak pada umum- nya. Membuat nyaliku menciut tanpa skala, mencabik keberanian dalam jiwa tanpa sela. Aku ingin Mamak memberiku lebih dari itu. Aku juga ingin Mamak melihat sinarku yang menjalar-jalar merengkuh tubuhnya. Melihat betapa besarnya perasaku pada Ba- pak yang tak kunjung datang sambil mengibas-ibaskan tangannya seperti sayap yang hendak terbang ketika melihatku. Aku juga ingin menjadi seperti mereka, seperti teman-teman Gun yang bisa minum susu ketika hendak berangkat ke sekolah. “Bang Dai, kau pernah bertemu Bapak?” tanyaku pada Dai yang saat itu sedang sibuk membereskan tumpukan kardus yang hendak dijual ke kabupaten. “Wajah Bapak lebih mirip siapa? Kenapa tidak kita cari? Ba- rangkali Bapak itu pemilik gedung-gedung tinggi di kota Bang,” jawabku sekali lagi, tanpa memikirkan apa-apa lagi selain obsesi untuk bertemu Bapak. “Memangnya kau kira Bapak itu mau bertemu dengan kau yang kumuh seperti itu,” jawabnya sambil melempar-lemparkan kardus ke sampingku. “Jangan-jangan Bapak sudah meninggal Bang, kata Pak Guru di sekolah itu seorang Bapak tidak mungkin bisa makan dengan tenang karena selalu mengingat anak-anaknya,” jawabku lagi se- makin antusias, memperagakan setiap perkataan yang diucapkan Pak Guru ketika di sekolah. 166 Burung-Burung Kertas
“Angkat kardusnya cepat, jangan banyak bicara nanti Mamak marah melihat kita malas-malas,” bentak Dai tiba-tiba. Membuatku terbelalak lekas menjadi bergumam dan lantas berlari keluar gubuk sambil membawa tumpukan kardus karena ketakutan. Dan masih di tempat Dai duduk, dia merunduk dalam sesekali memperhatikanku dari ke jauhan, mengusap sesuatu dari matanya, tapi tak jelas dilihat dari kejauhan. *** Gun terkagum-kagum melihat benda sebesar gubuknya berki- lat-kilat tertimpa teriknya siang di parkirkan gagah di beranda rumahnya. Berdecak beberapa waktu lalu melambai-lambaikan tangan, berlari dengan cepat sejak dia melihat Lan sudah melebar- kan tawanya dari kejauhan. Sepertinya ada yang istimewa, batin Gun sambil berlari sekencang-kencangnya. “Mamak dari mana saja?” tanya Gun cepat sambil memeluk Mamak erat-erat, tak perduli meskipun dia tau kalau Mamaknya akan marah lagi. “Gun kangen Mak, kata Dai, Mamak kerja di kabupaten, ya Mak? Kalau Mamak marah sama Gun karena Gun minta sepeda, Gun janji tidak akan minta apa-apa lagi. Mamak jangan pergi lagi ya, Gun kangen dibentak-bentak sama Mamak,” ucap Gun tanpa spasi, membuat beberapa pasang mata di sekitarnya berkaca-kaca. “Mamak kan ke kabupaten membelikan Gun sepeda,” jawab Mamak pelan. Wajahnya terlihat pucat sekali. Wajah dan bibirnya berwarna agak putih. Tubuhnya lemah sekali sebab pelukan Gun yang amat sangat erat hanya dibalas dengan tepukan di pundak Gun dua kali. “Oh ini yang namanya Gun,” ucap wanita tinggi putih dengan rambut panjang yang menjalar menutupi sebagian wajahnya. Gun hanya mengangguk, tak berani menjawab sebab ia masih ingat nasihat Mamak untuk tidak mudah percaya dengan orang yang tidak dikenal. Kenapa wanita ini seperti kerabat dekat? Batin Gun sambil menjulurkan tangannya, lalu mencium punggung tangan wanita itu sebentar. “Gun pengen beli mobil yang besarnya seperti rumah Gun. Pergi ke kabupaten bersama Mamak, Dan, Ram, Lan, dan …”, Burung-Burung Kertas 167
Dan siapa? Kenapa Gun berharap sekali bisa menemukan dia yang tidak pernah ada. Tiba-tiba saja Mamak merunduk dan entah se- dang memikirkan apa. Ingatannya sedang melenggang di laci kenangan sebelah mana. **** Gun masih bersiul-siul sepanjang jalan, mengais-ais rongsok dengan penuh semangat. Memilahnya satu persatu sebelum me- masukkan ke dalam keranjang besar yang sudah diikat kuat di bagian belakang sepedanya. Sepeda baru yang dibelikan Mamak dua minggu yang lalu. Ah, Mamak itu sebenarnya baik. Batin Gun sebelum meluncurkan sepedanya ke tepian jalanan yang lainnya. “Gun Gun …” teriak seseorang sekitar delapan meter dari arah Gun. Sepeda Gun berhenti, dengan cepat menoleh ke sumber suara. “Titip ini buat Mamak kamu ya, bilang saja kalo harus di mi- num tiga kali sehari,” ucapnya singkat, lalu berjalan cepat mening- galkan Gun yang masih terpeku di situ. Melihat butiran kapsul besar berwarna-warni yang di bungkus rapi. *** “Gun sudah dewasa Lan, kau tak kasihan liat awak hampir mati merindu Mamak, dua puluh tahun membenci Mamak. Kau bilang Mamak pergi ke kota bertemu Bapak dan tak mau pulang. Lantas pria berjenggot lebat yang mengaku mantan penghuni pen- jara itu siapa? Dia Bapak?” ucapku tanpa henti, mengenang dua puluh tahun yang lalu sebelum aku diadopsi orang. “Mamak mencintai kau meski sama sekali tak pernah kau la- buhkan kepedulian sama Mamak. Dia tenang melihat kau tertawa. Pria berjenggot itu bapak kita meski bukan bapakmu. Dia mening- galkan kita karena kau… Kau tak sebapak.” Dan seketika perasaanku yang sudah terlanjur melabuhkan kerinduan pada Mamak, seperti bergetar meranggas tanpa tepian, membiarkan percikan tetes bening dari panca indraku mengalun bagaikan dentangan lagu. Sendu menyelimut seperti selimut, rasa- nya menyesakkan. Dan mataku tak berkedip dalam beberapa menit menatap nama Mamak yang tertulis di bebatuan yang tegak berdiri di hadapanku. 168 Burung-Burung Kertas
Dia malaikat yang sampai saat ini masih tetap menyanyangiku meski terkadang aku membuatnya kesal naik pitam. Merangkul bahuku ketika aku ragu dan mendekapku hangat ketika aku keta- kutan. Dia yang menungguiku ketika dua minggu aku terkapar di rumah sakit. Melihat garis biru di sekitar pelupuk matanya, mem- buatku terasa terkutuk dalam geming, menyadarkanku akan ke- setiaannya yang tak lebih menggelegar dari semburat halilintar, selayaknya payung yang melindungiku dari terik, hujan, salju atau reruntuhan bangunan. Dia satu-satunya wanita yang aku cintai, tak ada yang melebihi. Raut wajahnya yang selalu membuatku ingin lekas pulang lalu memeluknya saat di perantauan. Aku ingin membuatnya bangga, membuatnya tersenyum sepanjang hari hing- ga hanya ajal yang bisa menghentikan keberadaan namun masih tetap hidup jiwanya di sini, di dada ini. Dia memberiku nama Guntur agar kelak aku bisa menyinari setiap orang yang berada dalam kegelapan; suaranya terdengar gagah seperti perawakan tubuhku yang bisa membuat perasaan gadis mana pun seketika terjatuh. Aku masih amat sangat ingat bagaimana pedihnya ketika harus menjadi dua sosok sekaligus dalam keluarga. Buih-buih be- ning merembet dari pelupuk mataku sekejap setelah mataku berka- ca-kaca seperti sutra. Aku tergidik tak tertahankan, seperti ingin membunuh laki-laki yang menyakitinya hidup-hidup. Biodata Penulis Wahyu Sekar Sari tinggal di Butuh RT 02, RW 06, Pulutan, Wonosari, Gunungkidul, DIY, 55851. Saat ini Wahyu kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta. Hobinya adalah menulis, membaca, dan mendengarkan musik. Jika ingin berkorespondensi dengan Wahyu dapat menghubungi: HP 08972598923, email: [email protected], FB: Wahyu Sekar Sari, twitter: @wahyu_njededeg. Burung-Burung Kertas 169
PEMUDA YANG BERDOA SEPANJANG MALAM Achmad Muchtar Pemuda itu masih saja berdoa di masjid. Sudah tiga jam berse- lang setelah salat isya berjamaah, tetapi pemuda itu masih saja duduk bersimpuh menengadahkan tangan. Kepalanya sedikit di- condongkan ke atas. Pandangannya menerawang jauh ke ukiran kaligrafi yang terhias pada dinding. Mulutnya komat-kamit me- nyerukan doa dalam bisik. Tidak seperti biasanya lampu masjid masih menyala pada jam- jam orang tidur. Biasanya sehabis isya, semua lampu kecuali lampu luar masjid selalu dipadamkan. Kali ini pemandangan tak biasa itu membuat penjaga masjid merasa aneh. Pemuda tadi masih saja berdoa. Begitu seterusnya hingga menjelang subuh. Penjaga masjid pun tak kuasa untuk mengusirnya. Ia tidak mempunyai hak untuk mengganggu seseorang yang datang ke rumah Tuhan sekalipun ialah yang bertanggungjawab atas lingkungan masjid. Lalu penjaga masjid itu menceritakan pemandangan aneh itu kepada imam masjid. Lalu imam masjid menceritakan hal itu kepada jamaah-jamaahnya yang jumlahnya sedikit. Lama-kelamaan hampir seluruh jamaah masjid itu tahu, pemuda itu selalu berdoa lama sekali sepanjang malam. Dari habis isya sampai subuh. Begitu seterusnya setiap hari. Semua jamaah merasa penasaran dengan sosok pemuda yang diceritakan itu. Mereka ingin mengetahui secara langsung siapa pemuda itu. Maka jamaah yang biasanya tidak datang saat isya pun mulai datang untuk ikut salat isya berjamaah. Benar saja setelah semua selesai, yang tersisa hanyalah pemuda itu. Mereka membicarakannya di serambi masjid hingga kelamaan menunggu 170 Burung-Burung Kertas
membuat mereka pulang. Tak ada kesempatan bagi mereka untuk berbicara dengan pemuda itu. Dalam berdoa, pemuda itu tidak pernah berhenti. Ia terus saja berdoa. Pemuda itu tiba-tiba meng- hilang begitu subuh usai. Penjaga masjid, imam, hingga para jamaah salat subuh selalu kehilangan jejaknya. Tiap sehabis salam kedua, pemuda itu berge- gas pergi. Tanpa jejak. Sudah ditanya kepada orang-orang yang terjaga saat subuh tetapi mereka tidak merasa melihat pemuda itu lewat. Pernah juga seorang jamaah sengaja cepat-cepat menye- lesaikan salat dengan salam lebih cepat dan segera menghampiri pemuda itu tetapi selalu saja gagal. Mulai dari kesandung karpet masjid sampai lupa menaruh sandal dimana. Ada saja halangan yang membuat pemuda itu lolos dan pergi entah ke mana sebelum datang lagi waktu isya. Pemuda itu terus berdoa. Pemuda itu dengan khidmat berdoa, mulutnya tak henti-hentinya berkomat-kamit secara cepat. Para jamaah yang mendengarnya tidak tahu doa apa yang ia ucapkan. Pemuda itu terus berkomat-kamit sambil suaranya berkecap tanpa ada yang tahu doa apa yang ia ucapkan. Cepat sekali. Bahkan mereka menyodorkan mikrofon ke mulutnya mereka tetap tidak tahu doa apa yang diucapkan pemuda itu. Mereka mengira pemu- da itu kafir karena imam masjid itu tidak tahu doa apa yang di- ucapkan pemuda itu. Pernah masalah ini dicoba untuk dimusyawarahkan oleh takmir masjid. Maka mereka menepuk bahu pemuda itu saat berdoa. Namun pemuda itu tidak bereaksi sedikit pun. Ia tidak menggubris orang-orang mengguncang-guncangkan tubuhnya. Pemuda itu tetap khidmat berdoa. Tetapi anggapan mereka bahwa pemuda itu kafir seketika buyar setelah mereka mendengar kata Tuhan dalam doanya. Pemuda itu terus saja datang dan pergi. Setiap hari dan di setiap harinya ada beberapa jamaah yang kelelahan karena terlalu lama menunggu pemuda itu selesai berdoa. Pernah ada jamaah yang mengajaknya bicara, tetapi pemuda itu malah mengeraskan ucapan doanya seolah-olah tidak mau diganggu. Mereka menung- gu sampai ada kesempatan untuk berbicara dengan pemuda itu Burung-Burung Kertas 171
tetapi mereka malah tertidur lelap karena kelelahan. Tidak pernah ada jeda dalam doanya. Ia terus berkomat-kamit tanpa henti sepan- jang malam. Sudah berhari-hari dan sudah berganti-ganti jamaah yang mengawasinya tetapi tetap saja pemuda itu khidmat berdoa tanpa jeda sepanjang malam. Sudah berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bu- lan pemuda itu terus saja berdoa sepanjang malam setiap harinya. Hingga para jamaah prihatin pada pemuda itu. Mereka merasa kasihan dengan masalah apa yang dihadapi pemuda itu hingga ia rajin berdoa sepanjang malam setiap harinya. Mereka bertanya- tanya dalam hati, sebenarnya siapakah pemuda ini dan apa masalah yang sedang ia hadapi? Apakah masalahnya sangat besar hingga tak ada yang mampu membuatnya tidur semalaman? Mereka hanya bisa menonton pemuda itu berdoa dan terus berdoa. Kadang-kadang mereka melihat air matanya berlinang. Mereka yakin pemuda itu sedang dirundung masalah yang sangat berat sampai tidak ada yang lebih berat daripada masalahnya. Mereka yakin pemuda itu telah melakukan dosa yang berakibat ia menyesal seumur hidupnya. Para jamaah pun akhirnya sepakat untuk tidak mengganggunya lagi. Mereka hanya bisa menonton pemuda itu berdoa dan terus berdoa. Lama-kelamaan kabar ini tercium sampai seisi kampung. Me- reka yang mendengar cerita tentang pemuda itu pun akhirnya penasaran. Mereka ingin menyaksikan secara langsung apakah be- nar di dunia ini masih ada pemuda yang mau berdoa sepanjang malam. Mereka yang dulu tidak pernah lewat di masjid pun akhir- nya menyempatkan untuk lewat masjid untuk sekadar menengok. Mereka yang dulu meremehkan dan menganggap bahwa cerita tentang pemuda yang berdoa sepanjang malam itu bohongan pun ikut penasaran. Mereka yang telah membuktikan bahwa memang benar ada pemuda yang berdoa sepanjang malam pun akhirnya ikut prihatin. Mereka satu persatu menyaksikan sendiri. Malahan ada pe- muda-pemudi yang menyesali perbuatannya hingga ikut berdoa sepanjang malam menemani pemuda itu. Satu persatu yang penasa- ran dan belum menyaksikan sendiri pun mulai berdatangan ke mas- 172 Burung-Burung Kertas
jid. Mereka mengawasi dan mengamati pemuda yang berdoa sepanjang malam itu. Mereka yang telah membuktikannya dengan menontonnya sendiri pun merasa kasihan dan menceritakannya ke- pada orang lain hingga orang-orang luar kampung mengetahuinya. Lambat laun mulai berdatangan satu-dua jamaah baru di masjid. Mereka mula-mula datang karena penasaran lama-kela- maan menjadi jamaah baru di masjid. Lalu jamaah-jamaah baru pun semakin hari semakin bertambah. Mereka juga sama, ingin membuktikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa masih ada pemuda yang mau berdoa dan menyesali perbuatannya. Para ja- maah yang baru ini awalnya malu jika ke masjid tak mengenakan pakaian ibadah. Mereka pun akhirnya memakai pakaian ibadah untuk mengetahui lebih dekat pemuda yang berdoa sepanjang malam lalu menjadi jamaah baru. Begitu seterusnya. Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan ber- selang, masjid yang dulunya sepi pun kini ramai. Makin banyak orang yang berdatangan ke masjid. Saking ramainya bahkan di pinggir-pinggir masjid itu didirikan angkringan. Orang-orang mu- lai berdatangan, baik dari kampong tempat masjid itu berdiri mau- pun luar kampung. Sekitaran masjid pun menjelma menjadi pasar dadakan ketika malam. Banyak sekali jamaah yang mengawasi pemuda itu hingga subuh. Tak sedikit dari mereka menginap di masjid. Mereka tidur di masjid. Bahkan anak sekolah pun belajar di masjid. Mereka lambat laun mulai menganggap masjid itu menjadi rumah kedua mereka. Maka setiap hari mereka membersihkan masjid. Karpet- karpet yang dulunya bau apek dan penuh kotoran cicak, kini sudah bersih dan wangi. Debu-debu yang dulu menebal di jendela kaca, kini sudah hilang. Lalu atap yang dulu hampir roboh, kini telah diperbaiki. Cat dinding yang dulu mengelupas dan kotor, kini sudah dicat dengan warna baru. Pokoknya masjid itu menjadi keli- hatan baru. Tak hanya itu, para jamaah pria tak henti-hentinya berebut ingin mengumandangkan adzan. Para jamaah juga berebut untuk berada di saf2 paling depan. 2 Saf adalah barisan salat. 173 Burung-Burung Kertas
Hingga tiba suatu saat dimana masjid itu terkenal dengan jamaahnya yang memenuhi masjid hingga halaman depannya dan sekitaran masjid menjadi pasar malam dan hutan di depan masjid itu dipangkas karena saking membludaknya jamaah yang datang dari berbagai pelosok negeri, pemuda yang berdoa sepanjang ma- lam tak kunjung datang. Padahal sebelumnya pemuda itu setiap hari datang. Entah dari mana. Ia selalu muncul saat salat isya berja- maah. Lalu berdoa sepanjang malam hingga subuh. Lalu ikut salat subuh kemudian pergi entah ke mana. Namun saat jamaah mem- bludak dan stasiun televisi berebut untuk meliputnya, pemuda yang berdoa sepanjang malam itu tak kunjung datang. Lalu muncul pertanyaan di benak imam masjid itu, apakah jamaah-jamaahku kelak akan berkurang satu persatu? Hingga berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bah- kan bertahun-tahun kemudian pemuda yang berdoa sepanjang malam itu tak kunjung datang. Bantul, 1 Ramadan 1434 H Biodata Penulis Achmad Muchtar tinggal di Sobayan, Bangunharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Saat ini Achmad kuliah di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah membaca buku dan menonton film. Jika ingin berkorespondensi dengan Ahmad dapat menghubungi: HP 087838567818, email: [email protected], twitter: @achmadmuchtar. 174 Burung-Burung Kertas
PENARI JALANAN Dyah Inase Sobri Jika kau pernah berkunjung ke kota tua ini maka kau akan menemukan sesuatu yang tidak pernah kau temui di kota mana pun di dunia ini. Kota di mana kau bisa menjumpai kenyamanan serta kemudahan yang ditawarkan oleh modernitas bersatu padu dengan arkaisme budaya yang masih mengakar kuat di setiap jengkal tanah yang kau pijak. Kau bisa melihat di setiap sudut kota; penjaja kaos yang sedang berjuang dalam perang tawar-me- nawar dengan seorang pelancong yang hendak membeli barang dagangannya seharga sepersepuluh harga jersey impor yang ia kenakan. Pengamen bersuara fals yang melantunkan tembang tentang beratnya perjuangan hidup. Kau juga bisa menyaksikan pengemis renta yang setiap pagi diantar oleh wanita berbadan gemuk ke tempat ia biasa meminta belas kasihan orang yang lalu lalang. Semua potret kehidupan kota ini dapat kau jumpai dalam naungan gedung-gedung kuno peninggalan zaman penjajahan. Jika hari telah beranjak senja, dan sekitar mulai bertambah ramai, dan wanita gemuk tadi telah datang kembali untuk men- jemput si pengemis renta, kau bisa menjumpai sisi lain dari kota ini. Di sana, di sudut lain kota ini, di tengah kerumunan itu tampak sesosok penari yang berlenggak-lenggok lincah mengikuti irama gending yang mengalun sembari memamerkan pinggul yang aduhai. Ia membawakan tari Sekar Ganjen, kalau tidak salah. Se- sekali ia melempar kerlingan genit pada penikmat pertunjukannya yang sebagian besar kaum adam. Tariannya yang begitu centil membuat para pria itu beberapa kali bersorak sembari menyawer uang seribu rupiah. Burung-Burung Kertas 175
Di sini, di warung lesehan yang terletak tak jauh dari keru- munan itu, aku duduk mengawasi si Penari dari balik kacamata minusku. Sesekali aku menyeruput kopi pahit yang masih menge- pul untuk mengusir dingin yang menusuk kulit. Tak mau mengambil risiko tertangkap basah memandangi si Penari, aku segera mengalihkan perhatian dan segala konsentrasi pada deretan tulisan dalam buku yang aku pegang tatkala gending yang mengiringi tariannya berhenti dan orang-orang mulai me- ninggalkannya. Sesaat kemudian, kurasakan kehadiran seseorang di dekatku. Bukan pelayan warung ini tentunya. Bau minyak wangi murahan yang menyengat memenuhi udara sekitar saat ia datang dan du- duk tepat di hadapanku. Si Penari rupanya. Ia kemudian memesan segelas kopi dan satu porsi bebek bakar pada wanita paruh baya pemilik warung yang sedari tadi mondar-mandir melayani pe- ngunjung. “Kapan kau datang?” Ia memecah kebisuan di antara kami. “Tadi pagi,” jawabku singkat tanpa mengalihkan pandangan dari halaman buku. Lalu kami larut dalam kebisuan hingga wanita paruh baya tadi datang membawa segelas kopi panas dan sepiring bebek go- reng yang aromanya merangsang liur untuk menetes. Tanpa me- nunggu aba-aba, si Penari kelaparan itu segera melahap bebek bakar yang telah tersaji di hadapannya. Melihat caranya makan, aku menjadi terbuai keasyikan menebak-nebak sudah berapa lama ia tidak makan enak seperti itu. Dari balik buku bisa kulihat samar-samar rupa lelaki yang berdandan menyerupai wanita ini. Layaknya topeng, riasan tebal menutupi wajahnya yang dulu selalu menampakkan senyum hangat padaku. Lipstik merah menyala menghiasi bibirnya yang tipis. Sanggul besar yang ia kenakan seakan terlalu berat di ke- palanya sehingga ia hanya bisa duduk terbatas, tegak seperti sin- den. Kebaya yang membalut tubuhnya memperlihatkan betapa kerasnya hidup yang ia jalani selama ini telah membuatnya menjadi kurus kering. 176 Burung-Burung Kertas
“Apa kau puas dengan apa yang kau punya?,” tanyaku dengan suara datar. “Tentu,” jawabnya singkat namun mantap. “Apa kau bahagia dengan semua ini?” “Tentu.” “Tidak kah kau menginginkan sesuatu yang lebih dari apa yang kau miliki saat ini?” “Tentu tidak.” Seusai percakapan singkat itu, untuk kesekian kalinya kami larut dalam pikiran masing-masing, larut dalam keheningan malam. “Dengarkanlah, aku punya cerita menarik,” kataku. “Aku bukan pendengar yang baik, tapi akan kucoba mende- ngarkan,” sahut si Penari yang masih asyik dengan bebek ba- karnya. “Dulu, aku memiliki seorang kakak laki-laki. Ia adalah pria tercerdas yang pernah kukenal.” “Kau pasti adalah seorang adik yang sangat beruntung.” “Ya! Aku adalah adik yang paling beruntung di dunia!” seruku bangga. “Namanya Lius. Ia dulu adalah kakak yang baik, anak yang baik, murid yang baik. Sejak kecil aku selalu berharap bisa menjadi seperti dirinya,” kenangku. “Aku tidak suka cerita melankolis.” “Ini bukan cerita melankolis,” sanggahku sambil menghela napas. “Seperti yang telah kukatakan, ia adalah anak yang cerdas. Ia selalu mendapat peringkat pertama di sekolahnya. Prestasinya sudah tak terhitung banyaknya. Bahkan bisa dibilang tidak ada ruang lagi di rumah kami untuk menampung pialanya lagi.” “Kau pasti melebih-lebihkan.” “Tunggulah, aku belum selesai bicara. Bapakku sangat bangga padanya, melebihi rasa bangganya padaku. Sampai suatu saat, ia melanjutkan studinya di perguruan tinggi negeri yang terbaik di negeri ini. Di jurusan kedokteran umum pula! Bisa kau bayangkan betapa bangganya bapakku saat itu.” “Lanjutkanlah!” Burung-Burung Kertas 177
“Tapi, di balik semua kelebihan yang ia miliki, ia hanyalah manusia biasa. Ia juga memiliki kekurangan, sama seperti manusia lainnya. Meski pembawaannya tenang, ia sebenarnya adalah manusia yang berpikiran pendek dan temperamental. Ia juga me- miliki hobi yang sedikit menyimpang. Ia sangat suka menari.” “Tunggu. Menari bukanlah hal yang menyimpang.” “Kau benar! Menari memang bukan hal yang menyimpang. Tapi jika kau adalah seorang pria dan kau selalu membawakan tarian yang seharusnya dibawakan oleh wanita maka kau benar- benar menyimpang.” “Itu membuktikan bahwa tidak ada manusia yang sempurna.” “Biarkan aku menyelesaikan ceritaku! Bapakku sangat tidak suka dengan hobi kakak itu. Berulang kali ia melarang kakak untuk menari atau pun sekadar pergi ke sanggar dan menyuruhnya fokus belajar menjadi seorang dokter. Hal itu menimbulkan sedikit per- cekcokan di antara mereka berdua. Hingga suatu hari, bapak benar- benar melarang kakak untuk menari. Kurasa hari itu adalah puncak dari konflik di antara mereka. Pada hari itu juga terjadi perteng- karan hebat antara bapak dan kakak. Pertengkaran itu adalah pertengkaran terhebat yang pernah aku saksikan.” “Sudah aku katakan, aku tidak suka cerita melankolis.” “Berhentilah menyela pembicaraanku! Setelah pertengkaran hebat itu, kakak memutuskan untuk pergi dari rumah. Waktu itu aku masih duduk di bangku SMA. Aku ingat, saat itu aku sempat memohon-mohon sambil menangis padanya agar tidak pergi, tapi ia tetap teguh pada pendiriannya. Ia pergi meninggalkanku, me- ninggalkan kami, meninggalkan studinya untuk selamanya. Aku merasa sangat kesepian sejak kepergiannya itu.” Lagi-lagi keheningan syahdu menyusup di antara kami ber- dua. Si Penari mengeluarkan pemantik api dan sekotak sigaret dari dalam tas lusuhnya. “Sigaret?” tawarnya. “Tidak. Aku tidak ingin mati muda,” jawabku sinis. Ia menyalakan pemantik apinya, menyalakan sebatang sigaret, dan mulai menghisapnya. Asap putih dari sigaret membumbung 178 Burung-Burung Kertas
di udara, bercampur dengan bau minyak wangi murahan mengha- silkan bau yang tidak enak. “Pulanglah,” pintaku. “Pulang ke mana? Kota ini adalah rumahku. Di sinilah aku tinggal.” “Ini bukan kotamu. Bukan pula rumahmu. Bukan tempat kau menghabiskan masa kecilmu. Tempatmu bukan di sini tapi di rumah, bersama aku dan bapak.” “Kau benar. Kota ini memang bukan rumahku. Tapi kota ini selalu menyambutku dengan hangat, layaknya keluarga. Di sini, aku bisa melakukan apa pun yang aku sukai. Aku bisa menjadi siapa pun yang aku inginkan. Sesuatu yang tidak pernah aku dapat- kan di rumah.” “Pulanglah. Kau bisa memulai semuanya dari awal lagi. Bapak sudah memaafkanmu. Kau boleh memilih memulai lagi studimu atau bekerja, asal kau mau meninggalkan kehidupan jalananmu ini. Meninggalkan hobi menyimpangmu ini.” “Tidak! Aku tidak akan berhenti menari meski aku harus me- nari dan hidup di jalanan,” si Penari itu tetap kukuh pada pendi- riannya. “Bapak sakit, Mas,” bisikku lirih. “Ia ingin sekali bertemu de- nganmu.” “Bapak. Amarahnya adalah angkara murka. Perintahnya ada- lah kunfayakun. Tak pernah mau mengerti apa yang kita inginkan.” “Bapak hanya ingin kita menjadi orang sukses, Mas.” “Aku sudah menjadi orang sukses, Dik.” “Menjadi penari jalanan dan memakai pakaian wanita seperti yang kau lakukan saat ini kau sebut sukses?” “Aku bukan penari jalanan! Aku seniman! Budayawan!” sergahnya. “Paling tidak aku telah mengikuti kata hatiku. Aku menikmati apa yang kulakukan. Aku menikmati menjadi diriku apa adanya. Sekarang jawablah pertanyaanku, Dik. Apakah kau bahagia?” “Tentu, Mas.” “Apakah harta, materi, dan pekerjaan yang kau miliki seka- rang membuatmu bahagia?” Burung-Burung Kertas 179
“Tentu.” “Apakah melepas impianmu menjadi seorang penulis demi ambisi Bapak membuatmu bahagia? Apa kau menikmati pekerjaan- mu sekarang sebesar kau menikmati waktu yang kau luangkan untuk menulis?” Kali ini aku terdiam tak bisa menanggapi rentetan pertanyaan yang keluar dari mulut si Penari. Aku termenung. Tak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. “Kalau kau pikir bahwa kebahagiaan dan kesuksesan sese- orang hanya diukur dengan seberapa banyak harta yang ia punyai, seberapa tinggi jabatan atau pekerjaan yang ia miliki maka kau salah,” katanya. “Lalu apa arti sebuah kesuksesan bagimu?” Ia terdiam sejenak. Matanya menerawang jauh menembus ke- gelapan malam. “Bagiku, kesuksesan hanya dapat diperoleh dari besarnya per- juangan serta pengorbanan untuk mewujudkan impian.” Aku diam membisu. “Jika Bapak ingin melihatku sukses, aku bisa mewujudkan keinginannya. Tapi dengan caraku sendiri,” lanjut si Penari sembari memadamkan puntung rokok dan berlalu, menghilang ke balik malam. *** Itulah terakhir kalinya aku bertemu dan bercakap dengan si Penari yang tak lain adalah kakakku. Singkat memang. Tapi sung- guh berkesan. Ia meninggalkan beberapa hal yang patut untuk direnungkan. Memang, ia tidak kembali pulang. Tidak pernah. Tapi ia me- nepati janji yang ia katakan sesaat sebelum ia pergi; mewujudkan keinginan Bapak untuk melihatnya menjadi orang sukses. Kini, di tanganku ini terdapat sebuah bukti. Bukti bahwa si Penari itu telah menjadi orang sukses; sebuah amplop coklat yang baru saja kuterima pagi ini berisi beberapa tiket pentas seni in- ternasional di kota Leiden hingga kota Vienna. Dan, di semua 180 Burung-Burung Kertas
tiket itu terpampang jelas nama salah satu seniman yang akan me- nunjukkan bakatnya; Lius, kakakku, si Penari. Biodata Penulis Dyah Inase Sobri tinggal di Bejen, RT 03, Bantul, Yogyakarta 55711. Saat ini Dyah kuliah di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Hobinya adalah menulis, Public Speaking. Moto hidup “Study Hard, Play Hard”. Jika ingin berkorespondensi dengan Dyah dapat menghubungi: HP 085743773660, email: [email protected], twitter: @dyah inase, FB: DYAH INASE SOBRI. Burung-Burung Kertas 181
PETA LUKA BERBINGKAI Eni Puji Utami Kemuliaan bagimu adalah impian kekal yang menyerang setiap lorong kesengsaraan. Pun kesengsaraan bagimu adalah hal yang kekal tanpa diimpikan meski kemuliaan sedang berkumandang. *** Jalan terlampau panjang. Tak pernah kau dapat membiarkan matamu meraih ujung dari setiap tikungan. Pandanganmu nanar melihat setiap tikungan jalan. Penuh kisah, sedikit kasih, menyim- pan luka, pun banyak ilusi yang menelanjangi imajimu. Sering kau berhenti di sebuah tikungan. Sebentar ingin mengikutinya. Namun kadang kau berpikir lain. Kau harus tetap mengikuti jalan dan hanya akan singgah pada tikungan terakhir, sebuah tikungan menuju ujung yang akan memberimu kemuliaan kekal. Di bawah gemerlap sinar kau berlenggang. Jemari lentikmu bisa dibilang sangat cantik untuk memukau setiap wanita yang datang. Iringan gendhing jawa mampu membuat setiap gerak tu- buhmu memiliki makna kedamaian. Kau mampu membuat para wanita ikut berdebar. Entah berdebar karena senang atau trenyuh dengan pertunjukkan yang tengah kau bawakan. Pun kau, Sri, sebagai penari senior di panggung ini, semakin lincah diiringi laras slendro. Tubuhmu semakin gemulai dengan laras pelog.Kau menguasai keduanya. Bahkan kau sering memba- wakan dua karakter tokoh dalam tubuh yang hanya satu itu. Kau berperan ganda sebagai tokoh jahat juga baik. Sungguh, kau nam- pak seperti penari sempurna. Semua nampak indah di atas panggung. Dekorasi dan penam- pilan yang disajikan akan semakin menambah kesan sempurna. 182 Burung-Burung Kertas
Tapi, sebenarnya kau jauh dari kesempurnaan itu. Menjadi seorang penari bukan lahir dari nalurimu. Kau hanya ingin bercerita kepada orang-orang, bahwa hidup layaknya dua topeng yang kau pakai saat menari. Manusia tak luput dari bayak sifat yang digariskan oleh Tuhan. Pun kau hanya dapat berucap lewat setiap gerakan yang kau bawakan.Kau bukanlah orang yang pandai bercakap. Ketidakmampuan mendengar membuatmu juga tak mampu ber- main lisan. Entahlah, tak ada yang tahu bagaimana kau dapat menghayati setiap irama dari gendhing pengiring tarimu. Kau sadar bahwa hidupmu juga penuh topeng. Kau hampir menipu semua wanita yang datang untuk menonton aksimu, juga dengan sesama teman penari. Ya, meski kau tak ada niat untuk menipu mereka. Hidupmu hampir seperti topeng, Sri. Kau nampak seperti wanita. Kulitmu halus, sikapmu juga menunjukkan seorang wanita jawa yang andhap asor dan penuh unggah-ungguh. Kau cantik benar ketika bersolek. Keanggunanmu saat menari selalu memu- kau wanita yang menonton. Sri, tahukah kau bahwa panggung yang menjadi ladang peng- hasilanmu itu adalah panggung milik wanita? Mereka datang bukan sekadar untuk melihat pertunjukkan tari, tapi ingin merengkuh lebih banyak lagi dari sang penari. Pun kau adalah salah satu ha- rapan mereka. Namun kau pernah sekali tempo berbicara dengan seorang kawan. Kau menjelaskan dengan kata isyarat dan lisan yang ter- batas bahwa wanita adalah seni. Kelembutannya tersirat dari setiap gerakan tari yang memukau penontonnya. Menjadi wanita bukan sebatas pemuas nafsu lelaki, tetapi merengkuh kesederhanann dari yang tersimpan di dalam jiwa. Entahlah, apakah kawan yang kau ajak bicara paham dengan ucapmu? Dia hanya tersenyum dan se- sekali mengernyitkan dahi. Ya, bercakap denganmu memang butuh waktu lama supaya bisa paham. Atas prestasimu kau semakin disegani. Mereka tidak memper- masalahkan identitasmu. Setiap minggu kau disambut oleh riuh ramai penonton di depan panggung. Penampilanmu semakin men- jadi. Aura sumringah semakin membuat penonton terpana. Burung-Burung Kertas 183
Pernah pula kau bercakap dengan seorang kawan yang lain. Keindahan bagimu hanya ada dalam tarian. Sungguh kau tak mera- sakan indahnya hidup. Lepas dari panggung pertunjukkan itu, kau tak tahu siapa dirimu dan kepada siapa kau harus mengadu. Mungkin, pasukan semut yang berbaris di sudut-sudut tembok itu lebih beruntung. Mereka tidak mempersoalkan laki-laki dan perempuan. Kau juga sempat berpikir kalau pasukan semut itu tidak pernah pusing memikirkan legalitas yang digerakkan oleh Sang ratu. Mereka bebas untuk melakukan apapun setelah semua tanggungjawab dikerjakan dengan tuntas. Tidak seperti kau yang kini masih hidup dalam sekat. Senyummu menyimpan duka, tapi duka tak pernah kau umbar. Biarlah setiap tapak kakimu yang akan melihat peta luka itu. Kau berlaga seakan-akan menjadi wanita dan penari di atas panggung. Kau juga nampak layaknya wanita muslim saat menuntut hak mu sebagai salah satu warga negara dalam mengenyam pendidikan. Sekilas, kau nampak seperti penghianat Tuhanmu. “Ah... demi mendapatkan hak untuk belajar dan mengenyam pendidikan, mereka merampas hak kebebasan menganut keper- cayaan” sebentar-sebentar kau berucap demikian di balik pang- gung, ketika kau ingat kejadian yang kau alami sehari-hari, lepas dari panggung pertunjukkan. Kau memang jarang berinteraksi dengan sesama penari atau- pun penonton usai pertunjukan. Percuma, karena mereka juga tak paham dengan cakapmu. Kau lebih suka bercakap sendiri. Waktu- mu kau habiskan untuk merenung di salah satu sudut ruang ganti. Di depan kaca, sambil menghapus bekas-bekas pentas yang mem- percantik wajahmu itu, kau melihat dirimu dengan saksama. Kau perhatikan benar setiap detail bagian wajah yang kau miliki. “Tuhan, aku tidak cantik, tapi aku suka dengan pemberian- Mu ini... Tuhan, berkahilah setiap jalan yang akan hamba lalui hari ini dan nanti.” Senyummu merekah di depan kaca, tapi tak bertahan lama. Kau selalu ingat waktu jilbab dan jubah harus menyambangimu, setiap pagi hingga sore. 184 Burung-Burung Kertas
“Tapi Tuhan, sungguh hamba mohon kearifan-Mu untuk memaafkan hamba. Mungkin hanya ini jalan satu-satunya supaya hamba dapat sekolah, mencari dan mengembangkan ilmu yang akan bermanfaat untuk sesama kelak. Tuhan, imanku padamu, bukan pada jilbab dan jubah itu.” *** Kau pun jadi teringat masa-masa mencari suaka sekolah. Tak ada satu pun sekolah yang mau menerimamu. Itu semua karena keterbatasanmu. Beberapa jurusan pada sekolah negeri enggan menerimamu karena orientasi gender yang dianggap tidak legal. Pun beberapa sekolah lain menganggap keterbatasan mendengar dan bercakapmu akan menghambat pembelajaran. Hingga ada satu sekolah yang menerimamu. Itu pun karena sebuah kelalaian. Me- reka sadar akan difabilitasmu tapi tidak melihat orientasi gender yang kau miliki. Mereka baru sadar ketika bertatapan langsung dalam sebuah ajang orientasi mahasiswa baru. Kau sempat gembira. Sebentar lagi kau akan duduk di depan meja dosen dan mendengarnya bertuah banyak. Namun tidak semudah itu. Kau harus menaati semua aturan mainnya. Kau harus sadar bahwa kau akan bersekolah di sebuah universitas Islam. Lantas kau harus berjilbab dan mempelajari tuntunannya? Ya, Sri! Kau harus lakukan itu. Kau tak pernah mengeluh, karena tak bisa berbagi keluh. Kau menjalani semua itu. enyahlah, Sri. Apakah kau bahagia atau tidak. Kau menganggap mempelajari tuntunan mereka sebagai ilmu baru yang tidak harus diamalkan. Kau tetap tegak berdiri di atas ke- percayaan yang kau imani sebelumnya. Ini hanya media, dan ini satu-satunya jalan supaya kamu dapat belajar lebih tinggi lagi. kau tak bisa menyalahkan siapapun. Kau tak punya kuasa dan kapasitas. Kau hanya makhluk kecil ciptaan Tuhan yang harus patuh pada kuasa negerimu. *** Kau masih di depan kaca pada salah satu sudut ruang rias. Wajahmu mulai bersih meski gincu dan bedak masih sedikit tersisa. Gerimis turun tipis di luar sana. Titik-titik air tak berhenti menerpa kaca jendela. Matamu pedih, kau mulai menangis. Di luar begitu Burung-Burung Kertas 185
gelap. Kau tak melihat ujung. Kau tak melihat lagi tikungan. Lampu penerang jalan hanya nampak samar. “Tuhan selalu menerangi hati kita dengan rasa. Sama seperti kita meyakininya. Dia tidak mempermasalahkan jilbab, salib, atau pergi ke pura. Tuhan hanya melihat kebersihan hati umat-Nya,” gumammu lirih Tiba-tiba kau terhenyak oleh seorang wanita yang menepuk pundakmu. Wanita yang lebih muda darimu itu adalah kawan penari yang baru saja pentas dan bersiap pulang. “Kau tak pulang, Sri?” dia berucap pelan sambil memeragakan isyarat tangan agar kau mengerti. “Di luar masih hujan. Kau pulang saja duluan. Hati-hati, Ya!” kau bercakap pelan dengan bahasa isyarat dan selalu melempar senyum. Kau memiliki banyak teman di panggung pertunjukkan ini. Sesama penari, penonton, penata rias, bahkan kaum-kaum yang dianggap tidak normal oleh sebagian besar masyarakat di negeri ini pun selalu ramah dan berkawan denganmu. Kau sangat me- rasakan perbedaan yang sangat kentara antara di sekolah dengan di panggung. Kau juga heran dengan orang-orang di sekolah yang konon adalah orang terdidik dan terpelajar. Kau tak ingin dihar- gai. Kau juga tak ingin disanjung-sanjung bak menteri yang konon sudah melakukan banyak hal untuk negeri. Kau hanya ingin ber- kawan dengan mereka. Namun kau tak memaksakan itu. Kau sadar benar siapa diri- mu. Mungkin hanya orang-orang seperti inilah yang bisa berkawan denganmu. Dan di tempat inilah kau mendapat bingkai dari semua peta luka yang masih kau tapaki hingga ujung sudah terlihat dan kemuliaan kekal menjemput. Sri, berjalanlah sampai kau menemukan ujung yang benar- benar ujung. Kukuhkanlah langkahmu meski duri menambah luka di sela-sela jemari kakimu. Lorong ini milikmu. Tapak kakimu akan merekam semua peta luka kesengsaraan ini. Pun kemuliaan akan menjadi bingkai yang kekal, meski saat ini kau hanya bisa menjamahnya dalam angan. 186 Burung-Burung Kertas
Panggung pertunjukkan ini adalah panggung perjalananmu. Luka, duka, dan suka kau ceritakan melalui setiap gerakan tari. Meski bibir tak mampu berucap, namun hati dan pikiranmu bisa bercerita. Meski telinga tak dapat mendengar, tapi senyumu adalah pertanda bahwa kau dapat merasakan dan mengerti. Pun meski kau bukan perempuan, tapi kau memiliki kelembutan hati yang tidak dimiliki oleh perempuan lainnya. *** Kemuliaan bagimu adalah impian kekal yang menyerang setiap lorong kesengsaraan. Pun kesengsaraan bagimu adalah hal yang kekal tanpa diimpikan meski kemuliaan sedang berkumandang. *** Belajar dari semangat hidup seorang transgender tuna rungu, Chaca. Tembi, 2013 Biodata Penulis Eni Puji Utami tinggal di Kepuh RT 05, Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul. Saat ini Eni kuliah di Ilmu Komunikasi UIN, Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Hobinya adalah membaca karya sastra dan buku-buku kesastraan dan kebudayaan, membuat film dokumenter. Jika ingin berkorespondensi dengan Eni dapat menghubungi: HP 087839420097, email: enisimatupang [email protected], twitter: @Enisimatupang. Burung-Burung Kertas 187
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258