Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BURUNG-BURUNG_KERTAS_Antologi_Cerpen_201

BURUNG-BURUNG_KERTAS_Antologi_Cerpen_201

Published by e-Library SMPN 8 Talang Ubi, 2020-01-25 16:17:57

Description: BURUNG-BURUNG_KERTAS_Antologi_Cerpen_201

Search

Read the Text Version

Akan tetapi, mereka masih belum menyadari sepenuhnya akan hal tersebut karena belum mengetahui arti penting membaca buku bermutu. Membaca buku bermutu adalah kegiatan yang tidak ada rugi- nya. Menurut Sri Harjanto Sahid, membaca sama halnya menyerap pengetahuan dari buku sama artinya dengan menimbun investasi untuk membangun masa depan, berarti memperkaya dan memper- kuat kerajaan pikiran, sekaligus meluaskan dan memenuhkan gu- dang kerajaan sunyi kalbu dengan mutiara-mutiara kebijaksanaan hidup sehingga terciptalah manusia berkualitas dan beretika. Dengan terciptanya manusia berkualitas dan beretika, hal itu akan membawa bangsa ini menuju peradaban yang lebih baik. Ini dikarenakan manusia berkualitas akan mendorong terlahirnya tin- dakan-tindakan nyata yang memajukan peradaban. Berbeda de- ngan manusia tidak berkualitas, mereka hanya akan memperkeruh keadaan dan menyebabkan hancurnya peradaban dengan omong kosong mereka. Kemudian, bukti selanjutnya yang menguatkan argumen pe- nulis membaca buku bermutu mampu mengguncang dunia telah terpampang nyata di muka bumi ini. Keadaan itu dapat kita lihat perbedaan antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Indonesia dan Amerika Serikat adalah negara yang sama, yaitu sama tergolong lima besar penduduk terbanyak di dunia (Amerika ke-3 dan Indonesia ke-4). Namun, yang membedakan, Amerika adalah negara adidaya penguasa dunia di balik keterbatasan sum- ber daya alam, sedangkan Indonesia adalah negara miskin di balik keterlimpahan sumber daya alamnya. Tentu ini merupakan fakta yang sangat ironi bagi kita (orang Indonesia). Terjadinya keadaan tersebut lantaran kualitas penduduk ke- dua negara sangatlah berbeda. Perbedaan kualitas hidup disebab- kan budaya membacanya. Dari fakta yang telah dijelaskan sebe- lumnya menyatakan bahwa jumlah buku yang wajib dibaca pemuda Amerika adalah 32 buku, sedangkan Indonesia 0 buku. Nah, dari bukti yang telah ada, kita dapat melihat dampak besar di kemudian hari orang yang membaca buku bermutu dibanding dengan yang tidak. 38 Burung-Burung Kertas

Amerika, negara dengan penduduk terbesar ketiga dunia de- ngan keterbatasan sumber daya alam, mampu menjadi penguasa dunia lantaran kualitas penduduknya yang sangat tinggi. Hal itu hanya diperoleh dengan cara membudayakan membaca bacaan bermutu dari usia dini hingga seterusnya. Mengapa kita tidak bisa? Kita, Indonesia, janganlah kalah dengan Amerika. Kelebihan yang kita miliki dari Amerika sangatlah berpotensi besar untuk menjadikan negeri ini menjadi penguasa dunia selanjutnya yang bahkan mampu mengalahkan Amerika dengan jalan meningkatkan minat baca buku bermutu sebagai jalan keluarnya. Masa depan bangsa ini ada digenggaman tangan kita. Oleh karena itu, mari pemuda bawa bangsa kita menjadi macan dunia melalui membaca buku bermutu. Penutup Rendahnya minat baca buku bermutu pemuda kita menjadi suatu keprihatinan bagi kita. Ditambah lagi kesenangan mereka membaca bacaan di dunia maya yang kualitasnya jauh dari kata berkualitas membuat kita menjadi lebih prihatin. Bacaan-bacaan tidak bermutu mampu merusak moral pembaca yang merembet rusaknya tingkah laku kita. Ketika tingkah laku kita menjadi tidak terkendali membuat kondisi menjadi tidak kondusif. Situasi tidak kondusif menyebabkan terhambatnya segala sistem yang bekerja sehingga menyebabkan terhambatnya negara memperoleh kemajuan dalam segala aspek. Itulah sedikit gam- baran jika kita masih menyepelekan masalah minat membaca buku bermutu di kalangan masyarakat terutama pemuda sebagai pene- rus bangsa. Oleh karena itu, penulis berharap pihak-pihak terkait mampu merealisasikan solusi yang penulis gagas dalam esai ini. jika telah terealisasi meningkatlah minat membaca buku bermutu masyarakat terutama pemuda kita. Ketika kita memiliki pemuda berkualitas karena minat baca buku bermutu yang tinggi, terbentuklah negara makmur dan bukan tidak mungkin lagi Indonesia mampu meng- Burung-Burung Kertas 39

ungguli Amerika “Sang Penguasa” dunia melalui membaca buku bermutu. Biodata Surya Jatmika. Tinggal di Pulutan, Pendowoharjo, Sewon, Bantul. Saat ini Surya Jatmika kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta. Jika ingin berkores- pondensi dengan Surya Jatmika dapat menghubungi HP: 085643951994. 40 Burung-Burung Kertas

MENCIPTA TOKOH FIKTIF DALAM KARYA SASTRA Ratu Pandan Wangi Dewasa ini, sastra makin digemari. Berbagai karya sastra di- terbitkan, diulas, dan diperbincangkan. Sastra dijadikan topik da- lam seminar dan forum diskusi. Pelajaran sekolah pun tak lepas darinya. Sastra tampak di mana pun dengan disisipkan dalam ber- bagai buku, majalah, koran, hingga bacaan anak-anak. Karya sastra itu sendiri merupakan sesuatu yang rumit, tak bisa begitu saja dipahami. Tak semua orang bisa menangkap mak- sudnya sebab inti dalam karya sastra dipoles sedemikian rupa dengan berbagai metafora dan tipografi. Tujuannya bukan untuk menyesatkan, melainkan untuk memaksimalkan daya khayal pem- baca. Satu karya sastra bisa diterjemahkan menjadi macam-macam. Kita harus jeli menangkap makna setiap kata, setiap kalimat, setiap paragraf, hingga keseluruhan karya tersebut. Membaca karya sastra adalah suatu proses yang panjang dan lama. Oleh karena itu, tulisan mesti dibuat semenarik mungkin supaya pembaca tidak bosan. Banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya, pandai-pandai menentukan tema, mengembangkan kon- flik, memilih sudut pandang, serta yang tak kalah penting, yaitu menciptakan tokoh fiktif yang memukau. Sebagai contoh, novel legendaris Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson mempunyai tokoh berkepribadian ganda yang sangat unik. Kepribadian yang bernama Dr. Jekyll digambar- kan sebagai seorang lelaki bertubuh tegap dan bagus. Wajahnya tampan, penampilannya bersih dan rapi, pembawaannya ramah, sedangkan kepribadian yang bernama Mr. Hyde sangatlah bertolak belakang. Wajahnya begitu buruk dan memancarkan hawa dingin Burung-Burung Kertas 41

yang menyeramkan. Dua kepribadian tersebut bersatu menjadi tokoh yang menyedot perhatian pembaca sampai akhir cerita. Sebelum mencipta tokoh fiktif, tentukan jenis karya sastra yang hendak ditulis sebab penokohan berbeda-beda untuk setiap jenis cerita. Apabila ingin menulis tentang sejarah ataupun budaya, kita dapat menampilkan tokoh yang sekaligus mencerminkannya. Apabila ingin menulis tentang misteri, kita jangan membuat tokoh yang memperumit isi cerita. Buat saja tokoh yang sederhana, tetapi berbeda halnya apabila ingin menulis cerita mengenai pencarian jati diri. Dalam jenis tulisan ini, penokohan mesti kita buat secara utuh. Salah satu cerita tentang pencarian jati diri adalah Sybil karya Flora Rheta Schreiber. Novel yang berdasarkan kisah nyata dan menggoncang dunia psikologi ini mengisahkan seorang perempu- an bernama Sybil yang mempunyai 16 kepribadian. Dikisahkan pada awalnya, Sybil tak menyadari kemunculan kepribadian-ke- pribadian itu. Lalu, ia mulai mengunjungi psikolog. Dalam perte- muan-pertemuan mereka terkuaklah penyebab Sybil menjadi demikian. Ia melakukan penyembuhan dan akhirnya berhasil. Keenam belas kepribadian itu menyatu. Pembaca pun mendapat penuturan mendetail dari kejadian awal sampai akhir, dari sebab sampai akibat. Biasanya pembaca mudah menyukai tokoh yang mirip dirinya sendiri. Kemiripan itu bisa di permukaan, misalnya, remaja lebih menyukai karya sastra yang tokohnya sesama remaja daripada tokohnya orang tua. Bisa juga kemiripan yang lebih dalam, seperti sifat dan kebiasaan. Namun, kemiripan-kemiripan itu pada akhir- nya dapat membuat bosan sehingga ciptakan juga tokoh yang membuat pembaca penasaran. Sumber ide untuk mencipta tokoh fiktif bisa berasal dari mana saja. Perhatikan orang-orang yang sudah dikenal baik. Kita tentu hafal penampilan, kepribadian, dan latar belakang mereka. Coba tulis deskripsi mengenainya secara terperinci, atau kita bisa pergi ke beberapa tempat, misalnya, taman kota, kedai minuman, se- kolah kejuruan, tempat ibadah, dan lain-lain. Lalu, kita cermati orang-orang yang berada di sana. Apakah lebih banyak anak muda 42 Burung-Burung Kertas

atau orang tua? Apakah mereka berkelompok atau terpisah? Apa saja topik pembicaraannya? Kita coba menebak-nebak yang sedang mereka pikirkan. Kita juga bisa melakukan pengembaraan ke dalam diri sendiri. Pikirkan hal-hal yang kita sukai dan yang tidak, bagaimana me- nyikapi suatu kejadian, apa saja mimpi kita. Mari bercakap-cakap dengan diri sendiri. Korek berbagai kenangan sebab kenangan merupakan sumber ide lainnya. Barangkali kita mempunyai ke- nangan yang sangat berharga. Daripada membiarkannya terlupa- kan, coba diabadikan dalam bentuk tulisan, atau sebaliknya kita mempunyai kenangan pahit dan menyakitkan yang selama ini ter- bayang-bayang. Mungkin jika dituangkan menjadi kata-kata, kita bisa memaafkan dan melupakan kenangan tersebut. Selain kenang- an mengenai peristiwa yang telah terjadi, kita bisa menciptakan kenangan baru. Caranya adalah pergi ke tempat-tempat yang be- lum pernah dikunjungi. Lain kali saat pergi ke restoran, pesan menu yang kelihatannya tak ingin kita pesan, atau bicara dengan orang-orang asing. Semakin banyak kenangan yang dimiliki, se- makin banyak pula peluang untuk memperoleh ide. Ide adalah sesuatu yang murah dan ada di mana pun asalkan kita kreatif. Buka pikiran dan pandangan lebar-lebar. Biarkan ide mengalir deras. Namun, jangan loloskan ide tanpa disaring karena bisa saja ide yang ditemukan sangat klise. Peras pikiran kita dan barangkali ide pertama, kedua, dan ketiga kita klise. Oleh karena itu, kita sebaiknya berpikir dari berbagai sudut pandang. Cari referensi dari buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain. Bisa juga kita mengikuti seminar dan diskusi. Tanyakan pendapat orang lain mengenai ide kita. Mari terus berpikir dan berpikir sampai mendapat ide yang luar biasa. Kita dapat memilih ide yang unik dan tak ada duanya, atau sudut pandangnya dibuat lain sehingga pembaca tak berpikir yang itu-itu saja. Sebagai contoh, kerusuhan Mei 1998 di Jakarta sudah begitu sering dibahas hingga daya tariknya berkurang. Namun, cerpen berjudul Kunang-kunang di Langit Jakarta oleh Agus Noor— salah satu pemenang 20 Tahun Cerpen Pilihan Kompas 1992— 2012—menghadirkan sesuatu yang berbeda. Cerpen ini melukis- Burung-Burung Kertas 43

kan realitas tragedi dengan cara romantis. Para perempuan yang diperkosa dalam kerusuhan itu disimbolkan sebagai kunang-ku- nang dan roh penasaran. Mereka beterbangan bebas di gedung- gedung kosong, sederhana, tetapi menggugah. Setelah mendapat ide, sebaiknya kita segera merealisasikan- nya. Jangan tunggu terlalu lama sebab bisa-bisa lupa atau ide itu kehilangan momentumnya. Ciptakan tokoh-tokoh fiktif yang men- dukung ide tersebut. Tempatkan mereka di posisi yang tepat. Berdasarkan kepentingannya, tokoh dibagi menjadi tiga, yaitu fi- guran, tokoh sampingan, dan tokoh utama. Figuran ialah tokoh yang hanya berada di latar belakang, keberadaannya untuk mela- kukan fungsi sederhana lalu hilang dan dilupakan, sedangkan to- koh sampingan berperan lebih banyak, bisa mempengaruhi cerita, tetapi hanya muncul sebentar. Tokoh utama adalah fokus pembaca sehingga mesti dibuat memukau agar pembaca ingin terus mengikuti kisahnya. Penam- pilannya bisa dibuat menarik, seperti cantik, tampan, rupawan, anggun, eksotis, karismatik. Namun yang penting, ia menarik sim- pati pembaca. Beri peran protagonis sebagai korban atau penye- lamat, penyembuh, pencinta kedamaian, dan sebagainya. Namun, jangan ciptakan tokoh yang terlalu sempurna. Bukannya bersim- pati, bisa-bisa pembaca merasa bosan. Untuk itu, sisipkan keku- rangan atau keburukan pada sang tokoh. Dalam tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, tokoh utamanya dijuluki Ikal. Ia lelaki yang penampilannya biasa saja, tidak kaya dan tidak digilai perempuan, cerdas, tetapi akhirnya menjadi pengangguran. Karakter seperti ini terasa akrab dengan pembaca sehingga mendapat banyak simpati. Ikal adalah orang yang pantang menyerah. Ia bercita-cita menempuh pendidikan di Perancis walaupun keadaannya tak memungkinkan. Berkat usaha keras, dukungan orang-orang terdekat, dan campur tangan Tuhan, akhirnya Ikal bisa mewujudkan keinginannya. Karakter dan plot ceritanya sangat sesuai bagi pembaca untuk menganggap Ikal orang yang dekat dengan mereka. Pembaca ikut menangis saat Ikal me- nangis, tertawa saat Ikal tertawa, dan bangga bukan main saat ia akhirnya berhasil. 44 Burung-Burung Kertas

Tokoh utama juga bisa dijadikan antagonis asalkan memikat. Contohnya adalah tokoh utama dalam novel Out karya Natsuo Kirino yang memenangkan Japan’s Grand Prix for Crime Fiction, na- manya Yayoi, buruh pabrik yang tidak sengaja membunuh suami- nya. Sebelum kejadian tersebut, ia adalah orang yang biasa-biasa saja. Namun, karena harus menyingkirkan mayat itu dengan cara memutilasi, kepribadian Yayoi perlahan-lahan berubah. Ia men- jadi psikopat. Namun, kekejamannya justru memperindah cerita. Baik antagonis maupun protagonis, pastikan tokoh utama sering muncul agar pembaca akrab dengannya. Tonjolkan ia, le- mahkan tokoh lainnya. Kita bisa juga menggunakan sudut pandang tokoh utama itu agar pembaca lebih bersimpati. Dalam bercerita ada sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang keti- ga. Sudut pandang orang pertama sering dipilih penulis pemula sebab sederhana dan terasa alami. Sudut pandang ini digunakan apabila penutur ingin menjadi tokoh yang terlibat dalam cerita, kecuali kita sedang menceritakan diri sendiri, jadikan si penutur orang yang berbeda dari kita. Beri ia kepribadian sendiri. Pastikan gaya bertuturnya mencerminkan kepribadian itu, juga pendidikan dan status sosialnya. Tokoh yang dijadikan penutur mesti hadir di adegan-adegan penting dan minimalkan adegan yang kurang penting baginya. Sudut pandang orang ketiga dibagi jadi dua, yaitu serba tahu dan terbatas. Orang ketiga serba tahu, seperti sebutannya, menge- tahui segala sesuatu. Ia seolah berada di mana pun dan kapan pun. Ia tahu pikiran dan keinginan para tokoh, juga masa lalu dan masa depan, sedangkan orang ketiga terbatas hanya melihat dari sudut pandang salah satu tokoh. Penuturannya tergantung pada yang dilihat orang itu dan hanya bisa menduga-duga. Tokoh yang dijadikan sudut pandang bisa diganti-ganti, con- tohnya, Traveler’s Tale karya Adhitya Mulya, Alaya Setya, Iman Hidajat, dan Ninit Yunita. Ada empat tokoh utama dalam novel itu. Tiap bab menggunakan sudut pandang orang yang berbeda. Terdapat ciri yang jelas dalam pergantiannya walaupun semua bab menggunakan sudut pandang orang pertama sebab dalam bercerita Francis menyebut dirinya “aku”, Retno menyebut dirinya Burung-Burung Kertas 45

“saya”, sedangkan Farah “gue” dan Jusuf “gua”. Dengan demikian, pembaca tidak merasa bingung. Manakah sudut pandang yang sebaiknya dipilih? Tergantung keinginan kita. Apabila ingin pembaca mendalami tokoh-tokoh dalam cerita, pilih sudut pandang orang ketiga terbatas. Namun, jika ingin bermain dengan bahasa, pilih sudut pandang orang ketiga serba tahu atau orang pertama. Sebaiknya kita berhati-hati agar permainan bahasa itu tidak mengaburkan ceritanya. Kita bisa melakukan penjajakan pendapat mengenai karakter tokoh fiktif yang diharapkan orang-orang. Hasilnya bisa sangat berguna, sebagai contoh, kita hendak menulis karya sastra yang sasaran pembacanya para ibu. Kita mesti mengetahui tokoh seperti apa yang mereka inginkan. Apakah tokoh ibu bersifat kuat yang bisa mengangkat isu persamaan gender, tokoh ibu yang lemah dan tidak berdaya, tokoh ibu yang bebas dan modern, atau justru tokoh lelaki yang memesona? Data-data mengenai hal ini akan membantu pemasaran karya kita. Sastra bisa menghubungkan kita dengan banyak orang. Selain menjadikan orang lain sebagai inspirasi penciptaan tokoh fiktif, ada banyak penggemar sastra yang bisa dimanfaatkan. Mari ber- hubungan dengan mereka supaya memperoleh berbagai informasi, misalnya, mengetahui macam-macam penafsiran dari suatu karya sastra. Bisa juga saling bertanya, atau ikuti komunitas sastra, ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan, seperti diskusi, talk show dengan penulis terkenal, bahkan menerbitkan buku antologi anggota. Sastra memang seolah tak mengenal batas. Kita bisa berhu- bungan dengan pencinta sastra dari seluruh dunia. Pengetahuan kita akan makin melimpah. Persediaan tokoh-tokoh fiktif juga makin kaya. Dengan orang Perancis, misalnya, kita bisa mendis- kusikan novel Les Misérables karya Victor Hugo. Novel fenomenal ini menggambarkan dan mengutuk ketidakadilan sosial Perancis pada abad ke-19. Kita bisa bertanya lebih jauh mengenai sejarah dan budaya di novel itu dari penduduk aslinya. Bisa juga mendis- kusikan novel Musashi karya Eiji Yoshikawa dengan orang Jepang, novel legendaris yang membahas situasi Jepang abad 16—17 yang 46 Burung-Burung Kertas

mengandung idealisasi Jepang mengenai harga diri. Tokoh utama- nya memilih jalan hidup yang sangat menarik, yaitu jalan pedang. Ia melenyapkan segala nafsunya akan segala sesuatu kecuali nafsu akan pertempuran. Namun, tak salah juga kita memilih menikmati sastra seorang diri sebab sastra bisa menjadi sesuatu yang sangat universal sekali- gus sangat pribadi. Kita bisa membaca karya sastra di suatu tempat sunyi, kemudian bercakap-cakap dengan diri sendiri dan mencari penafsiran yang paling tepat, tak terbebani pendapat-pendapat orang lain. Sastra bisa menjadi milik pribadi, bisa menjadi pelarian dari hidup yang serba rumit, bisa pula sebagai terapi. Membaca karya sastra merupakan proses berkenalan lebih jauh dengan ke- pribadian, hasrat, dan sisi lain dari diri kita. Alangkah baiknya apabila dalam membaca karya sastra, kita mempunyai pembimbing sebab kegiatan membaca sebaiknya ter- arah sejak awal dan harus ada pegangan yang bersifat luwes. Tak semua buku layak dibaca. Oleh karena itu, kita mesti selektif. Tak perlu membaca buku yang hanya memberi kesenangan semu, cari buku yang menambahkan sesuatu pada diri kita, baik berupa tambahan wawasan, kecerdasan emosi, maupun spiritualitas. Pilih karya-karya yang memenangkan penghargaan, seperti Nobel Sastra, Pulitzer, dan sebagainya. Apabila masih bingung dalam memilih, kita minta saja bantuan orang yang berpengalaman, seperti orang tua, atau guru. Dengan catatan, mereka tidak memberi pak- saan-paksaan atau larangan yang justru membuat orang malas membaca. Sastra membuat kita lebih peka pada berbagai macam emosi, seperti keriangan, kepahitan, kegundahan, keluguan, dan sebagai- nya. Kita menjadi lebih memperhatikan keindahan maupun keburukan sebab kedua hal itu tumpang tindih dalam sastra, bah- kan melebur. Yang tampak indah bisa saja sebenarnya buruk, be- gitu pula sebaliknya. Untuk mengasah kepekaan ini, kita mesti membaca tak hanya dengan mata, tetapi juga dengan hati dan pikiran. Membaca erat kaitannya dengan menulis. Aktivitas membaca yang intens berarti belajar menulis secara alami. Lama-lama kita Burung-Burung Kertas 47

akan hafal porsi untuk pembuka, isi dan penutup supaya tulisan menarik. Kita mengetahui cara memilih sudut pandang. Bagaimana supaya kalimat ringkas dan padat, atau sebaliknya—penuh meta- fora? Bagaimana membuat orang berdebar-debar membaca sampai akhir? Bagaimana mencipta tokoh fiktif yang membekas di benak pembaca? Segala pengetahuan mengenai tulis-menulis tak ada gunanya apabila tidak dipraktikkan. Oleh karena itu, terlintas ide untuk mencipta tokoh fiktif, sebaiknya kita segera mengajukan pertanya- an bertubi-tubi mengenai dirinya. Apa jenis kelamin tokoh itu, laki-laki atau perempuan? Bagaimana penampilannya? Tubuhnya tinggi atau pendek? Memakai kacamata tidak? Bagaimana caranya berdiri dan berjalan? Seperti apa sifatnya? Apakah ia pemarah, pemurung, periang, atau pendengki? Seperti apa teman-temannya? Ia memiliki berapa anggota keluarga? Apa saja hobinya? Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendetail dan menjawabnya, kita akan mendapat gambaran utuh mengenai sang tokoh. Kita juga mesti memikirkan kebiasaan, bakat, dan seleranya. Pastikan kepribadian tokoh tampak dalam dialognya. Beri ia ciri khas dalam berbicara. Tak perlu membuat dialog yang tak ada gunanya. Dialog mesti ikut berperan mengembangkan cerita. Pesan moral juga bisa disisipkan dalam dialog supaya kesannya pembaca tidak digurui. Yang tidak kalah penting adalah menamai sang tokoh. Nama adalah sesuatu yang mewakili seseorang, maka mesti dipilih dengan tepat. Apabila tokoh kita bersifat kejam, kita berikan juga nama yang berkesan kejam supaya pembaca mudah mengidentifi- kasinya. Bisa juga memberi julukan-julukan. Sebaiknya jangan beri nama yang mirip untuk tokoh-tokoh yang berdekatan. Sebagai contoh, apabila tokoh kakak bernama Maria, jangan namai si adik Mirna atau Melisa. Beri nama dengan huruf depan yang berbeda, misalnya Cintia. Beberapa penulis sengaja meniadakan nama tokoh-tokohnya. Salah satu contoh adalah novel berjudul Blindness karya Jose Saramago. Novel ini berkisah mengenai wabah kebutaan yang menjangkit suatu negara. Hampir semua orang menjadi buta. 48 Burung-Burung Kertas

Karena tidak bisa melihat, para tokoh tidak bisa saling mengidenti- fikasi penampilan. Oleh karena itu, nama menjadi sesuatu yang tak penting. Sang penulis hanya menjuluki tokohnya lelaki buta pertama, istri lelaki buta pertama, gadis berkacamata hitam, lelaki bertampal mata, dan sebagainya. Ketiadaan nama ini tidak meng- ganggu pembaca, justru menjadikannya istimewa. Buktinya, novel ini menjadi pemenang Penghargaan Nobel Sastra tahun 1998. Setelah berhasil mencipta tokoh-tokoh fiktif, sebaiknya kita segera menulis. Hambatan utama memulainya adalah rasa takut kalau hasil tulisan kita buruk, padahal itu wajar bagi orang yang baru belajar menulis. Cobalah kita menulis setiap hari. Bisa berupa buku harian atau jurnal singkat mengenai hal-hal yang terjadi hari ini. Kita jadikan menulis sebagai suatu kebiasaan, jangan merasa terbebani. Apabila kegiatan menulis mulai terasa tak menyenang- kan, kita sebaiknya berhenti sejenak, lalu mulai lagi. Kita bisa me- nulis tentang apa saja. Apabila masih terasa sulit, kita cari tempat menulis yang nyaman. Menulis memang bisa dilakukan di mana saja, tetapi gairah menulis bisa lebih tersulut apabila berada di tempat favorit. Mungkin tempat yang udaranya segar dan suasana- nya sunyi, atau justru tempat yang riuh rendah, sebab banyak objek yang bisa dijadikan ide tulisan. Apabila masih juga sulit untuk mencipta tokoh fiktif, kita bisa menulis fan fiction. Itu adalah fiksi yang ditulis oleh fan ‘penggemar’ dari novel, komik, serial televisi, dan sebagainya. Karya-karya tersebut sudah mempunyai berbagai tokoh dengan segala latar belakangnya. Kita tinggal mengubah jalan cerita. Sebagai contoh, kita adalah penggemar dari Harry Potter karya J. K. Rowling. Tokoh utamanya adalah Harry, penyihir yang berusaha menyelamatkan dunia sihir dari Pangeran Kegelapan. Kita bisa menggunakan tokoh itu. Namun ubah ceritanya, mungkin Harry justru berperan sebagai antagonis dan membantu sang Pangeran Kegelapan untuk me- nguasai dunia sihir. Hal itu tentu akan menarik. Dengan mengem- bangkan tokoh milik orang lain, lama-lama kita bisa menciptakan tokoh sendiri. Namun, perlu diingat bahwa fan fiction tidak di- maksudkan untuk mengambil keuntungan berupa materi. Hanya untuk bersenang-senang dan mengembangkan imajinasi. Burung-Burung Kertas 49

Sebaiknya berhati-hati dan konsisten dalam menceritakan to- koh-tokoh kita. Apabila di awal cerita seorang tokoh adalah anak tunggal, di tengah cerita kita jangan membuat adegan ia mengun- jungi kakaknya. Hal demikian terjadi apabila proses penulisan berjeda lama sebab kita bisa lupa. Setelah menyelesaikan suatu tulisan, kita baca tulisan itu berkali-kali dengan cermat. Pastikan tak ada kesalahan penokohan. Bisa juga minta tolong pada orang lain untuk memeriksanya. Mari kita terus menulis. Pada awalnya tak perlu takut pada kualitas. Jangan mencoba menjadi perfeksionis sebab sifat itu ber- bahaya pada awal-awal pembelajaran. Apabila ingin semuanya sempurna, kita menulis akan sangat berhati-hati dan takut meng- ambil risiko. Mutu tulisan mungkin akan menjadi lebih bagus, tetapi produktivitas kurang. Dalam sebulan, barangkali kita hanya akan menghasilkan satu karya. Namun, apabila menulis tanpa takut- takut, kita bisa menghasilkan tujuh karya dalam sebulan, bahkan lebih. Hal itu menjadi lebih baik sebab sesungguhnya kualitas bu- kan ditentukan oleh kehati-hatian, melainkan ditentukan oleh se- berapa banyak kita menulis. Biasanya apabila penulis berusaha mengesankan pembaca, karyanya justru terasa datar sebab kosakata indah dihambur-ham- burkan sampai inti dari tulisan itu sendiri terkubur. Bisa juga kita menggunakan teknik menulis terlalu banyak sehingga karya tidak alami. Padahal yang terpenting dari suatu karya sastra adalah emo- sinya. Lepaskan segala emosi kita saat menulis, niscaya hasilnya akan terasa nyata dan hidup. Pembaca seolah-olah masuk ke dalam dunia yang kita ciptakan. Dalam menulis, upayakan jangan beri celah yang bisa dikritik orang lain. Namun apabila mendapat kritik, kita terima saja dengan lapang dada sebab seperti kata Putu Wijaya, “Tanpa kritik, kesenian akan berpacu tanpa cemeti.” Kritik sebenarnya sangat berguna sebab membuat karya sastra menjadi lebih sederhana dan lebih jelas bagi pembaca. Karya sastra dibedah sedemikian rupa, dibagi-bagi ke dalam fungsi yang mudah dipahami, lantas diberi komentar positif dan negatif. Tak hanya pembaca yang lebih ter- 50 Burung-Burung Kertas

buka pandangannya, sang penulis pun juga. Namun sebaiknya, kita berhati-hati karena kritik adalah pedang bermata dua. Ada sebagian orang yang mencoba menjatuhkan penulis dengan kritik yang bukan-bukan sehinga tak perlu pedulikan kritik semacam itu. Kita bisa menjadi kritikus untuk karya kita sendiri. Baca dengan keyakinan bahwa kita orang lain. Usahakan seobjektif mungkin. Barangkali ada cerita yang menghibur bagi sekelompok orang, tetapi menyinggung kelompok lainnya. Ada kesulitan dan kemudahan dalam segala sesuatu, begitu pula dalam menulis dan mencipta tokoh fiktif. Pada awalnya kita memang sulit, tetapi jangan cepat menyerah! Sesungguhnya, satu- satunya batasan yang ada ialah batasan yang dibuat sendiri se- hingga dorong batas kemampuan kita lebih jauh, jangan bersikap tak sabaran ataupun tamak. Sesuatu berhasil dilakukan apabila kita fokus dan menjalaninya selangkah demi selangkah. Dalam menulis karya sastra, kita mesti menciptakan tokoh fiktif yang menarik agar orang-orang betah membacanya. Kita dapat mengawali dengan mencari ide. Ide bisa ditemukan kapan pun dan di mana pun, terutama dalam proses membaca. Sebaiknya kita membaca karya sastra yang bermutu dan menyerap segala pengetahuan darinya. Selanjutnya, kita praktikkan menulis. Realisa- sikan tokoh fiktif kita ke dalam cerita. Biodata Penulis Ratu Pandan Wangi. Tinggal lahir di di Jalan Lowanu Gang Dahlia UH VI / 686D Sorosutan, Yogyakarta. Saat ini Ratu Pandan Wangi kuliah di Universitas Gadjah Mada, Jurusan Sastra Perancis. Hobinya membaca, menulis dan melukis. Jika ingin berkorespondensi dengan Ratu Pandan Wangi dapat menghubungi HP: 085743655818. Burung-Burung Kertas 51

APLIKASI PINTAR TEBAKU UNTUK MENINGKATKAN MINAT BERBAHASA DAN BERSASTRA PADA REMAJA Sangga Hadi Pratama Latar Belakang Minat sastra dan bahasa di kalangan remaja masih sangat ren- dah. Fakta ini didukung oleh beberapa survai yang dilakukan lembaga kredibel dan pandangan dari beberapa ahli. Hal ini juga disadari oleh objek yang bersangkutan, yaitu remaja itu sendiri. Mereka merasa enggan untuk mendalami bahasa dan sastra. Se- bagian dari mereka mungkin merasa prihatin dan sangat ingin mengatasi masalah ini, karena mereka sendirilah yang mengerti akan apa yang diinginkan dan dibutuhkan. Disadari atau tidak, sesungguhnya banyak celah yang dapat dimanfaatkan untuk me- ningkatkan minat bahasa dan sastra bagi remaja. Kenyataannya, remaja di Indonesia saat ini lebih menggan- drungi barang-barang elektronik impor yang dapat melakukan banyak hal, seperti gadget, smartphone, maupun pc tablet. Namun di antara produk gadget tersebut, smartphone-lah yang paling jamak digunakan. Di era globalisasi yang serba dekat seperti sekarang, alat-alat seperti di atas sudah umum dimiliki remaja di Indonesia dan cukup ampuh untuk membuat ketagihan. Di dalam gadget ter- dapat ribuan hiburan, pengetahuan, dan permainan yang dikemas secara menarik sehingga membuat mereka tidak dapat lepas dari- nya. Selanjunya, apakah premis “ketagihan gadget” dapat diubah menjadi “ketagihan sastra dan bahasa”? Di sinilah penulis ingin menggabungkan keduanya menjadi inovasi yang mutakhir, atau bahkan belum ada dalam sejarah keba- hasaan dan kesastraan di Indonesia. Sebuah aplikasi pintar yang 52 Burung-Burung Kertas

berisi materi-materi menarik tentang kebahasaan dan kesastraan, tetapi tetap mendidik dan mampu memikat minat muda-mudi Indonesia agar mencintai bahasa dan sastra bangsanya sendiri. Selanjutnya, bagaimanakah rancangannya? Hal tersebutlah yang akan penulis kupas di bagian selanjutnya. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang tersebut di atas, penulis menyebut- kan beberapa masalah yang akan dibahas pada bagian pembahasan, seperti bagaimana membuat remaja agar tertarik dengan dunia bahasa dan sastra; aplikasi pintar seperti apa yang mampu me- ningkatkan minat berbahasa dan bersastra remaja Indonesia; dan fasilitas seperti apa yang akan ditanamkan pada aplikasi tersebut untuk menarik minat bahasa dan sastra di kalangan remaja. Tujuan Dengan dibuatnya karya tulis ini, penulis bertujuan meningkat- kan minat berbahasa dan bersastra melalui cara yang disukai oleh remaja Indonesia, kemudian menjadikan Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pelopor dalam hal menjaring segmen remaja untuk peduli terhadap hal-hal yang terkait dengan kebahasaan dan kesusastraan. Yang terakhir adalah menjawab tan- tangan global akan kemudahan dalam mengakses informasi, ter- lebih yang berhubungan dengan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia yang sangat kaya dan beragam. Analisis dan Solusi Indonesia memiliki kualitas dan kuantitas pelajar yang terbi- lang baik dan melimpah. Banyak prestasi yang telah ditorehkan remaja-remaja Indonesia. Prestasi yang ditorehkan ada di banyak bidang studi, seperti matematika, sains, olahraga, dan inovasi ling- kungan. Lingkup prestasinya pun beragam, dari tingkat kota/ka- bupaten hingga tingkat mancanegara. Banyak negara-negara di dunia sudah mengakui kehebatan remaja ibu pertiwi sehingga me- reka akan mempertimbangkan keberadaan Indonesia. Burung-Burung Kertas 53

Lalu di manakah letak prestasi bahasa dan sastra? Ternyata prestasi di bidang ini masih dipandang sebelah mata oleh banyak pihak, padahal untuk berprestasi di bidang ini bukanlah perkara mudah. Prestasi tersebut diperlukan pemahaman yang mendalam dan holistik. Sebut saja prestasi di bidang pembuatan esai, kita membutuhkan wawasan serta kemampuan tata bahasa yang mum- puni. Jika tidak memiliki kelebihan, kita keluar sebagai juara mung- kin hanya akan menjadi angan-angan belaka. Sebuah pertanyaan akan muncul ke permukaan. Bagaimana merangkul pemuda agar gemar mendalami bahasa dan sastra Indonesia demi prestasi yang lebih cemerlang di masa yang akan datang? Jawaban dari pertanyaan di atas telah dijawab oleh perta- nyaan itu sendiri. Jika ingin membuat kawula muda memiliki minat yang tinggi, kita harus “merangkul” mereka dengan cara yang mereka sukai. Bagaimanakah cara yang mereka sukai? Tentu saja dengan masuk ke dunia mereka dengan mengikuti “tren” per- gaulan mereka. Bergaul di sini berbeda dengan makna bergaul dalam arti yang sebenarnya. Bergaul di sini berarti mengenal du- nianya dan mau menerima kebiasaannya. Pergaulan remaja pada beberapa tahun ini telah bergeser ke pergaulan “awan” yang berbeda dengan satu dekade sebelumnya yang lebih condong pada pergaulan “nongkrong”. Pergaulan awan membuat remaja bisa tetap bersosialisasi dengan sesamanya mes- kipun dengan jarak yang jauh dan mengurangi risiko yang ada pada pergaulan “nongkrong”, seperti narkoba, perkelahian remaja, dan maksiat. Hal inilah yang menjadi dasar penulis berusaha untuk menjadikan pergaulan awan sebagai sarana mempromosikan kesa- daran minat berbahasa dan sastra. Selanjutnya, bagaimana caranya memanfaatkan tren ini? Apakah mungkin Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atau instansi yang terkait dengan kebahasaan dan kesastraan “turun gunung” menjadikan momen ini sebagai titik balik di tengah kekeringan sastra dan bahasa di kalangan remaja? Survei yang dilansir Growth for Knowledge (GfK) pada tahun 2012 menunjukkan bahwa pengguna smartphone di Indonesia me- nembus angka 13 juta orang dan diprediksi akan terus tumbuh di 54 Burung-Burung Kertas

angka 20--50% setiap tahunnya sehingga pada akhir tahun 2013 jumlah pengguna smartphone akan menembus 20 juta orang dan dari jumlah tersebut 38% penggunanya ternyata masih berusia di antara 14--24 tahun. Ini merupakan salah satu celah untuk merangkul mereka. Me- manfaatkan banyaknya pengguna smartphone di usia belia dengan membuat sebuah aplikasi yang dapat diunduh secara gratis, me- narik, dan memiliki banyak manfaat. Selanjutnya, apa nilai lebihnya jika kita menggunakan aplikasi pintar pada smartphone dibanding- kan dengan menggunakan media promosi lain? Aplikasi di smartphone dapat diunduh secara gratis. Sesuatu yang gratis, pada umumnya, dapat memikat khalayak ramai untuk memilikinya. Inilah tujuannya, dengan aplikasi yang gratis, diha- rapkan makin banyak pula remaja yang tertarik mengunduh dan menggunakannya secara optimal. Aplikasi pintar yang gratis ini penulis harapkan dapat menyasar semua kalangan, termasuk ke- pada mereka yang tidak memiliki perangkat yang memadai. Cara- nya adalah dengan memasukkannya ke pembelajaran mata pelajar- an terkait, yaitu Bahasa Indonesia. Peran guru pembimbing diper- lukan di sini dengan mengikutsertakan aplikasi ini pada pem- belajaran sehari-hari. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat aplikasi pintar ini juga terbilang sangat murah dan waktu pembuatannya tidak terlalu lama. Cukup dengan membuat sebuah tim IT yang kompe- ten di bidangnya masing-masing dan ditambah dengan sedikit modal teknis, jadilah aplikasi impian ini dalam waktu lebih kurang satu tahun. Namun, penulis berharap, dengan ide dan konsep dasar yang sudah dituliskan dalam karya tulis ini, waktu pembuatannya bisa dipercepat. Belum ditambah dengan peluang iklan yang dapat disematkan pada aplikasi ini sehingga dapat menjadi pemasukan secara kontinu bagi keberlangsungan aplikasi dan tentunya untuk pengembang serta lembaga di belakangnya. Selain itu, pembuatan aplikasi pintar lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan banyak kertas. Penulis juga bersedia terjun langsung ke dalam proyek ini jika memungkinkan. Burung-Burung Kertas 55

Selanjutnya, aplikasi pintar seperti apa yang dapat membuat kawula muda tertarik dengan dunia sastra dan bahasa? Pertama, aplikasi ini harus memberi kesan awal yang menarik dan pengguna tidak menyadari bahwa sebenarnya ini adalah sebuah aplikasi edukasi. Oleh karena itu, nama aplikasi pintar ini harus unik dan menggoda sehingga dapat membimbing mereka untuk mengun- duh dan mencobanya. Penulis pun menamai aplikasi pintar ini dengan nama tebaku. Tebaku adalah akronim dari tebak baku. Tebak baku adalah konten andalan dari aplikasi ini. Inspirasinya ialah guru mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah penulis yang melakukan kuis kata baku dan tidak baku di kelas. Sayangnya, penulis dan teman-teman mendapatkan nilai yang kurang memuaskan. Dari kejadian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan remaja tentang kebahasaan dan kesastraan di Yogyakarta, khususnya, masih cukup rendah sehingga sebuah permainan edukasi mendesak untuk diwujudkan. Tebaku harus memiliki identitas. Mengapa identitas? Tentu agar aplikasi pintar ini memiliki sesuatu yang dapat diingat para penggunanya, misalnya saja, tebaku memiliki sebuah maskot yang menarik dan berjiwa muda, tetapi yang dimaksud identitas di sini tidak hanya sebatas pada pembuatan maskot. Identitas berarti ciri khas yang membuat aplikasi ini berbeda dengan aplikasi lain- nya di smartphone yang umumnya hanya menyajikan permainan, hiburan, berita, wawasan, dan pengetahuan secara terpisah. Hal itu akan menjadi sangat hebat jika tebaku mampu menyajikan semua elemen tersebut menjadi satu aplikasi yang luar biasa. Itulah yang menyebabkan penulis selalu menyebutkan Tebaku adalah sebuah aplikasi pintar, bukan aplikasi biasa. Tebak baku sebagai konten andalan dari aplikasi tebaku, harus memiliki konsep yang kuat, mencakup bagaimana isi materinya, teknisnya, dan lain sebagainya. Di sini, penulis akan membahasnya secara detail ditambah dengan beberapa konten pendukung lain yang tak kalah penting, seperti pencarian kata baku, info unik bahasa dan sastra Indonesia, e-book downloader, pedoman penulisan baku, dan forum diskusi. Tebak baku merupakan sebuah permain- 56 Burung-Burung Kertas

an yang menyerupai kuis berperingkat. Teknis permainannya sa- ngat sederhana. Pengguna akan dihadapkan pada beberapa pilihan kata, bisa dua, tiga, atau lebih, yang salah satunya adalah kata baku sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kita tentu menyadari bahwa hingga sekarang masyarakat awam, terutama remaja, masih bimbang tentang mana kata yang baku dan mana yang tidak baku. Tentu dengan permainan sederhana ini, mereka merasa tertantang untuk menguji sejauh mana kemampuan mereka. Setelah memilih kata yang mereka anggap benar, pengguna diha- ruskan menekan tombol OK untuk mengetahui apakah jawaban mereka benar atau salah. Jika benar, pengguna dapat melanjutkan permainan ke babak berikutnya. Namun, jika salah, pengguna tidak dapat melanjutkan permainan ke babak berikutnya. Sesuai dengan tujuan penulis, aplikasi pintar tebaku tidak boleh hanya sekadar mengedepankan sisi hiburan. Di mana letak aspek edukasinya? Setelah pengguna yang gagal melanjutkan permainan ke babak berikutnya, maskot tebaku, sebut saja dengan nama Ku- baku (singkatan dari Aku Bangga Berbahasa Baku) akan memberi- kan penjelasan, mengapa jawaban yang dipilih pengguna salah, dan mengapa jawaban yang benar adalah jawaban yang lain dengan menyertakan analisisnya. Sedikit “obat candu” diperlukan agar aplikasi ini semakin ba- nyak diminati. Karena permainan ini bertemakan kuis berpering- kat, peringkat para penggunanya wajib disajikan. Dengan mendaf- tar sebagai member tebaku, pengguna akan terdaftar dan tercatat pada server. Server akan mencatat bagaimana perkembangan level dan skor dari para pengguna. Semakin tinggi level dan skor peng- guna tersebut, makin tinggi pula peringkatnya. Perlu penulis informasikan pula bahwa kriteria skor adalah seberapa banyak pengguna mampu menjawab soal tebaku dengan benar, sedangkan level ditentukan berdasarkan seberapa cepat pengguna mampu menyelesaikan kuis tebaku. Semakin cepat pengguna menyelesaikan- nya, semakin tinggi pula levelnya. Dengan adanya sistem ranking ini, penulis memprediksi akan terjadi persaingan untuk memperebutkan peringkat tebaku secara paralel. Akibatnya, pengguna setia tebaku akan terus mengasah Burung-Burung Kertas 57

dirinya untuk lebih banyak mengenal kata-kata baku. Sistem ranking seperti ini tentunya akan menjadikan para penghuni pe- ringkat teratas memiliki tingkat ketenaran yang tinggi. Ketenaran merupakan satu dari beberapa hal yang ingin dimiliki remaja Indonesia. Setelah ranking ditentukan, perlu rasanya memberikan apre- siasi kepada jawara tebaku setiap periodenya. Apresiasinya dapat berupa apa saja, tetapi penulis merekomendasikan untuk tidak memberikan hadiah berupa uang. Akan lebih baik, hadiah tersebut berupa buku pembelajaran yang mendukung program peningkatan kemampuan berbahasa dan sastra. Konten berikutnya dari aplikasi pintar tebaku masih berhu- bungan dengan kata baku dan tidak baku. Konten ini cukup mirip dengan search engine terkemuka di dunia, google.com. Akan tetapi, konten ini dikhususkan untuk mengetahui kata mana yang baku dan tidak baku, misalnya saja, pengguna aplikasi pintar tebaku ingin mengetahui apakah kata “jaman” merupakan kata baku atau bu- kan, pengguna tersebut cukup mengetikkan kata “jaman” di dalam tempat yang disediakan. Setelah selesai, server akan mengeluarkan jawaban bahwa kata yang ia masukkan adalah tidak baku disertai dengan penjelasannya. Secara umum, konten yang satu ini lebih mirip dengan kamus elektronik dan sejenis dengan games tebak baku, hanya saja sisi permainannya dihilangkan. Oleh karena itu, penulis memberikan nama cari baku untuk konten ini. Tampaknya konten aplikasi tebaku masih terlalu sedikit. Oleh karena itu, penulis masih memiliki beberapa konten lainnya, seperti infoku. Infoku adalah sebuah media dalam tebaku yang menyajikan info-info unik dari dunia kebahasaan dan kesastraan, baik di Indo- nesia maupun mancanegara, misalnya saja, penelitian-penelitian di dunia tentang kebahasaan yang membuktikan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling mudah untuk dipelajari ka- rena di dalamnya tidak mengandung kata kerja bentuk aktual, lampau, dan sebagainya. Dapat pula berupa kisah berwawasan, cerita inspiratif, motivasi, ataupun sejarah kebahasaan dan kesas- traan yang ada di Indonesia, seperti tokoh Taufiq Ismail merupa- kan seorang penyair dua era, yaitu angkatan 66 dan reformasi. 58 Burung-Burung Kertas

Setelah infoku, masih ada e-book downloader. E-book downloader adalah fasilitas bagi para pengguna setia tebaku berupa kumpulan buku elektronik gratis yang dapat diunduh. Untuk menambah tantangan disediakan buku-buku elektronik baru yang berkualitas. Namun, untuk mengunduhnya, pengguna diharuskan menjawab pertanyaan atau kuis yang berkaitan dengan wawasan bahasa dan sastra. Pengguna yang hendak membaca buku elektronik tersebut lantas akan mencari tahu jawabannya. Akibatnya, pengetahuan dan wawasan pengguna tebaku pun akan bertambah. Untuk menyelesaikan masalah rendahnya pengetahuan akan bahasa dan sastra yang benar, pedoman penulisan karya tulis atau sastra wajib dimasukkan. Hal ini dilakukan karena referensi yang ada di setiap buku berbeda-beda. Akan lebih indah, panduan ber- bahasa dan bersastra di Indonesia dapat lebih terperinci melalui aplikasi tebaku ini sehingga ke depannya kesalahan dalam penulisan karya tulis dapat dikurangi, atau bahkan dihilangkan. Konten terakhir, agar pengguna tebaku tidak kehilangan wak- tunya untuk bersosialisasi, perlu rasanya kita memberikan sebuah forum diskusi. Forum ini tidak hanya bermanfaat dalam berdiskusi tentang bahasa dan sastra, tetapi juga tentang topik pelajaran lain yang ada di sekolah ataupun kampus. Penulis berharap bahwa tebaku dapat dijadikan sebagai “jujukan” aplikasi berkualitas dan mendidik karena memiliki fasilitas edukasi yang lengkap. Penutup Sebagai penutup, penulis akan menggarisbawahi hal-hal yang menjadi jawaban dari rumusan masalah bahwa untuk membang- kitkan minat remaja Indonesia untuk bahasa dan sastra tidak cukup hanya dengan cara konvensional. Cara luar biasa dan modern ha- rus dilakukan, yaitu dengan cara merebut hati mereka dan mema- suki dunia mereka. Langkah ini dapat dilakukan dengan aplikasi pintar yang telah penulis kemukakan di bagian analisis. Fasilitasnya pun dibuat sedemikian rupa agar lebih menarik karena kami re- maja Indonesia yang aktif, dinamis, kreatif, dan penuh energi. Kami akan menyambut dengan baik kehadiran aplikasi pintar ini karena tebaku sesuai dengan jiwa muda kami. Burung-Burung Kertas 59

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih memiliki banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun akan sangat bermanfaat bagi penulis ke depannya. Adapun sebagai saran, penulis berharap pihak-pihak terkait dapat membantu terwujudnya aplikasi edukasi ini. Semoga karya tulis ini dapat diteliti lebih lanjut agar ke depannya dapat menjadi lebih sempurna. Jika nantinya aplikasi pintar ini dapat terwujud, kekurangan penulis-penulis lain dalam menyusun karya tulis dapat dikurangi. Biodata Penulis Sangga Hadi Pratama. Tinggal di Jalan Sidokabul No. 32 031/008, Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta. Saat ini Sangga Hadi Pratama sekolah di SMA Negeri 2 Yogyakarta. Jika ingin berkorespondensi dengan Sangga Hadi Pratama dapat menghubungi HP: 083840053737, pos-el: [email protected]. 60 Burung-Burung Kertas

PERSPEKTIF: KEBUDAYAAN SEBAGAI ASET PEMBANGUNAN Sri Mulyani Wajah Pembangunan Indonesia, Sebuah Siluet Salah satu karakteristik Indonesia sebagai negara-bangsa ada- lah kebesaran, keluasan, dan kemajemukaannya. Berbentuk negara kepulauan dengan bentang alam dari Sabang sampai Merauke, serta topografi alam lengkap meliputi laut, pegunungan, dan da- taran rendah menjadikan Indonesia kaya sumber daya alam. Indo- nesia juga terdiri atas bermacam wilayah dengan berbagai adat dan kebiasaan, Indonesia kaya dengan budaya. Keberagaman alam, sosial dan budaya tersebut menjadi peluang sekaligus tan- tangan bagi pembangunan nasional. Hal ini sudah disadari sepe- nuhnya oleh para pendiri bangsa. Para pendiri bangsa berusaha menjawab tantangan tesebut dengan melahirkan sejumlah konsepsi kebangsaan dan kenegara- an, yaitu Pancasila sebagai dasar negara, Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 sebagai konstitusi negara, Negara Kesa- tuan Republik Indonesia sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara. Keempat konsepsi tersebut ditujukan sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan untuk me- wujudkan kesejahteraan rakyat, sebuah tugas besar dan berat. Rakyat Indonesia sangat majemuk dengan kondisi tempat ting- gal dan budaya yang berbeda. Hal ini menyebabkan kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki untuk pembangunan pun berbeda. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pilihan yang te- pat untuk mewadahi kemajemukan bangsa, sedangkan Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan negara sebagai modal untuk bersatu. Burung-Burung Kertas 61

Perbedaan tidak menjadi alasan alasan untuk tidak bersatu, karena bersatu bukan berarti sama. Menyesuaikan karakteristik yang beragam, sifat pemerintahan Indonesia yang semula sentralistik kini menjadi desentralistik. Desentralisasi ini, selain hak untuk mengelola daerahnya sendiri, juga diikuti oleh desentralisasi fiskal dari pusat ke daerah. Daerah memiliki hak otonom. Pelaksanaan otonomi daerah, sejak Januari 2001, sejalan dengan pembangunan nasional melalui pembangunan daerah untuk meningkatkan kemandirian daerah. Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945, baik secara konstitusional maupun legal, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pe- layanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Dalam pen- jelasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa melalui otonomi luas daerah diharapkan mam- pu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip de- mokrasi, pemerataan keadilan, keistimewaaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai potensi alam, sosial, budaya di daerah diharapkan dapat dikelola secara maksimal dengan adanya hak otonomi ter- sebut. Akan tetapi, sebagian besar daerah di Indonesia relatif masih bergantung pada dana perimbangan dari pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat dari komponen pemasukan APBD. Artinya, dae- rah belum optimal melakukan pembangunan daerah. Penyebab pertama ialah daerah belum menemukan potensinya untuk dike- lola. Kedua, daerah tidak mengetahui cara mengelola potensinya. Perdagangan, pertanian, peternakan, dan pertambangan me- rupakan potensi fisik-alam yang mudah terlihat. Namun, belum banyak daerah yang memperhatikan potensi budaya daerahnya dan mengelolanya menjadi manuver ampuh untuk pembangunan daerah. Beberapa daerah memang telah memberikan wadah bagi budayanya, tetapi belum tahu cara memberikan nilai terhadap bu- dayanya tersebut untuk “dijual”. 62 Burung-Burung Kertas

Kebudayaan: Hilang atau Termarjinalkan? Kebudayaan memiliki arti luas yang terdiri atas hal-hal yang bersifat tangible dan intangible. Definisi kebudayaan paling tua dikemukakan oleh Taylor, yaitu bahwa kebudayaan adalah kese- luruhan aktivitas-aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, keper- cayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan lain. Koentjaraningrat menyebutkan tiga macam perwujudan kebudaya- an, yaitu 1) kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, nor- ma dan peraturan; 2) kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivi- tas kelakuan berpola manusia dan masyarakat; dan 3) benda-benda sebagai karya manusia. Dengan demikian, pada dasarnya kebuda- yaan melekat pada diri manusia. Eksistensi kebudayaan akan selalu ada seiring dengan berlangsungnya kehidupan manusia. Kebudayaan menjadi simbol dan tingkat peradaban umat manu- sia yang akan berubah dan berkembang seiring perubahan zaman. Namun demikian, pengertian kebudayaan berbeda dalam masyarakat yang masih awam kebudayaan. Pertama, ketika men- dengar “budaya” atau “kebudayaan” apa yang terlintas dipikiran adalah seni pertunjukan, hiburan tradisonal, dan barang-barang kuno. Kebudayaan didudukkan sebagai tontonan dilihat sebagai sarana relaksasi dari penat dan lelah. Kebudayaan seolah-olah ha- nya memiliki nilai seni dan estetika walaupun beberapa pihak terkadang berupaya menggali dan mempertahankan nilai filosofis dari kebudayaan. Diakui ataupun tidak, kebudayaan merupakan bidang nomor sekian dalam pembangunan. Pembangunan dan pengembangan kebudayaan tetap ada, tetapi belum menjadi prioritas. Bukan salah satu pihak atau pihak lain, kondisi perekonomian dan perpolitikan Indonesia masih rentan, demikian juga dengan pendidikan. Akan tetapi, kesedihan sebenarnya ialah tidak sedikit pihak apatis ter- hadap keberadaan budaya Indonesia. Kebudayaan belum dipan- dang sebagai jalan. Dalam sepeda, mungkin kebudayaan adalah satu dari sekian banyak sekrup, keberadaannya tidak terlihat, ke- tiadaannya dalam jangka pendek tidak terasa. Akan tetapi, dengan sekrup itulah sebenarnya roda dapat terbaut dengan kuat, sepeda Burung-Burung Kertas 63

akan lebih tangguh dan cepat menapaki, bahkan jalan terjal dan curam. Ketiga, yang paling tragis adalah ketika kebudayaan itu hilang, tidak diketahui, dan dilupakan. Permasalahan mendasar kebudaya- an di Indonesia adalah keberadaan budaya yang mulai terancam keberlangsungannya. Insentif yang relatif rendah dan pandangan miring bagi pelaku budaya menjadikan keengganan tersendiri un- tuk terjun dalam bidang kebudayaan. Pelestari budaya dan buda- yawan yang tertinggal hanyalah orang-orang yang benar-benar peduli dan cinta dengan kebudayaannya. Hal ini diperparah de- ngan semakin kerasnya tuntutan hidup di era globalisasi dan kema- juan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua hal tersebut cukup hebat mengalihkan perhatian sebagian besar masyarakat terhadap kebudayaan. Singkat kata, kebudayaan belum dipandang sebagai sesuatu yang penting. Jika itu tanaman, kebudayaan belum memiliki tempat pasti untuk tumbuh sehingga tak akan berbuah. Yang harus dila- kukan adalah menentukan quo vadis kebudayaan sebelum kebuda- yaan benar-benar tak dikenal. Quo Vadis Kebudayaan oleh Soekarno “Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap- tiap bangsa mempunyai cara berjoangnya sendiri, mempunyai ka- rakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai keperibadian sendiri. Keperibadian yang ter- wujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam pereko- nomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya.” Pada 1958 silam, Soekarno dengan lantangnya meneriakkan kepercayaan diri bangsa untuk menjadi diri sendiri. Cara berjuang dalam pelaksanaan pembangunan adalah berdasarkan kepribadian bangsa. Kemajemukan adalah kepribadian bangsa Indonesia se- hinga di atas kemajemukanlah seharusnya pembangunan berjalan. Kemajemukan bangsa merupakan kekayaan kita, kekuatan kita, yang sekaligus juga menjadi tantangan bagi kita bangsa Indonesia. Kemajemukan dalam konteks kebudayaan jelas menjadi aset dan 64 Burung-Burung Kertas

sumber daya perekonomian. Kekayaan budaya Indonesia beragam dan berlimpah, mulai dari budaya Aceh sampai budaya Papua, dan apabila didaftar akan mencapai ratusan budaya. Tidak perlu bermuluk-muluk untuk menjadikan kebudayaan sebagai golden manuver bagi pembangunan nasional, tetapi setidak- nya tahu cara mengelola kebudayaan, lebih lagi mengelola kebuda- yaan agar menjadi aset dalam pembangunan. Jangan sampai kedua kalinya Indonesia mengalami Dutch Disease. Dutch Disease merupakan sintesis yang polpuler untuk meng- gambarkan paradoks pertumbuhan yang lamban di negara yang kaya sumber daya alam. Kelambanan ini disebabkan negara tidak mampu mengelola sumber daya alamnya. Sumber daya alam Indo- nesia yang melimpah belum bisa mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.Sebagian besar kekayaan alam Indonesia dinikmati oleh negara lain yang baru disadari ketika sumber daya alam ter- sebut hampir habis. Di tengah kebingungan menipisnya sumber daya alam, sudah saatnya untuk menggali, mengelola, dan mengembangkan sumber daya budaya di Indonesia. Jangan sampai kebudayaan Indonesia yang banyak dan beragam baru disadari kebermanfaatnya setelah hampir hilang. Kebudayaan potensial sebagai aset dalam pemba- ngunan. Terlebih dunia internasional telah cukup mengenal dan ‘memandang’ kebudayaan dan kesenian Indonesia. Sebagai aset pembangunan kebudayaan memiliki peran pendukung pengem- bangan pariwisata daerah dan nasional. Kebudayaan berperan sebagai daya tarik wisata. Apabila dipadukan dengan keeksotisan bentang alam dan sosial Indonesia akan tercipta wisata terpadu di Indonesia dalam skala daerah maupun nasional. Hal senada pun diungkapkan oleh Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan Indonesia, “Indonesia memiliki banyak desainer, se- niman, arsitek, artis panggung, musisi, produser, dan sutradara berkelas internasional. Berbagai produk khas Indonesia, seperti batik, songket Palembang, patung Bali, produk unik dari Papua, berbagai kreasi seni Jawa Barat, dan mebel Jepara bahkan telah diakui mancanegara.” Hal tersebut memberikan optimisme bahwa seni dan budaya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang Burung-Burung Kertas 65

strategis untuk menjawab permasalahan dasar jangka pendek dan menengah antara lain tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing industri di Indonesia. Pengelolaan kebudayaan nasional-daerah untuk mendongkrak pembangunan akan sejalan dengan upaya pemerintah mengem- bangkan ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif merupakan bagian inte- gratif dari pengetahuan yang bersifat inovatif, pemanfaatan tekno- logi secara kreatif, dan budaya. Pertama adalah pengembangan ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya, meliputi perfilman, seni rupa, industri musik, dan seni pertunjukkan. Kedua ekonomi kreatif bebasis media, desain dan iptek yang meliputi media, de- sain, arsitektur, dan fashion. Pengembangan ekonomi kreatif ini ditujukan untuk pengelolaan kebudayaan nasional-daerah untuk mendongkrak pembangunan akan sejalan dengan upaya pemerin- tah mengembangkan ekonomi kreatif. Pemberdayaan kebudayaan sebagai daya dukung dalam ke- rangka pembangunan nasional, tahap yang pertama kali perlu dila- kukan adalah inventarisasi kebudayaan nasional/daerah. Cassier membagi kebudayaan dalam lima aspek, yaitu: 1) kehidupan spi- ritual, 2) bahasa dan kesustraan, 3) kesenian, 4) sejarah, dan 5) ilmu pengetahuan. Pendataan ini akan lebih efisien jika dilakukan dalam tingkat daerah. Dalam inventarisasi, kebudayaan diklasifi- kasikan berdasarkan kelima kategori tersebut di atas. Data nanti- nya akan dikompilasi secara nasional. Meskipun demikian, daerah tetap memiliki arsip potensi budayanya sendiri demi kepentingan perencanaan pembangunan daerah. Tahap kedua adalah pemilihan skala prioritas. Prinsip pengem- bangan kebudayaan tersebut adalah kedaerahan, dengan tujuan untuk menciptakan icon daerah sebagai sarana promosi pariwisata daerah. Akan tetapi, dimungkinkan pemilihan aspek kebudayaan untuk dikembangkan dalam skala nasional. Penetapan skala priori- tas aspek kebudayaan mana yang akan dikembangkan diselaraskan dengan 1) rencana pembangunan daerah jangka panjang dan atau menengah (RPJPD/RPJMD). 2) Masterplan pengembangan daerah, 3) analisis SWOT, dan 4) analisis biaya manfaat. 66 Burung-Burung Kertas

Tahap ketiga adalah rehabilitasi dan revitalisasi aspek budaya yang telah dipilih untuk menjadi prioritas pengembangan. Proses ini disertai koordinasi pengembangan kebudayaan dengan bidang lain yang juga akan dikembangkan daerah, misalnya ekonomi, pariwisata, dan pendidikan. Tahap terakhir adalah finishing, aspek kebudayaan yang telah berhasil direhabilitasi dan direvitalisasi kemudian dikembangkan dengan dipadukan dengan wisata lain, misalnya wisata alam dan kuliner. Upaya ini dilalukan untuk men- dukung terwujudnya wisata terpadu. Apabila sudah mapan, dapat dikembangkan aspek kebudayaan yang lain. Pengelolaan kebudayaan oleh daerah pada dasarnya menye- suaikan sistem pemerintahan Indonesia yang desentralistik. Dalam otonomi daerah tata kelola otonomi secara makro menghendaki interaksi atau kompatibilitas diantara pemerintah (public), swasta (private) dan masyarakat (community). Dengan demikian, pengelo- laan kebudayaan di daerah harus bersifat pemberdayaan dengan masyarakat dan komunitas berperan sebagai subjek, sedangkan pemerintah berperan sebagai fasilitator. Kebudayaan digali dari masyarakat, oleh masyarakat sendiri, dan dikelola masyarakat sehingga hasilnya pun akan dinikmati oleh masyarakat. Simpulan Indonesia sebagai bangsa yang besar, luas, dan majemuk me- rupakan negara yang kaya sumber daya alam untuk pembangunan. Akan tetapi, disadari oleh pendiri bangsa, potensi besar yang dimi- liki Indonesia juga merupakan tantangan yang juga bisa menjadi ancaman. Ductch disease yang pernah dialami Indonesia tidak perlu terulang. Kekayaan alam yang melimpah di Indonesia hampir hi- lang tanpa banyak rakyat Indonesia yang menikmatinya. Ketidak- mampuan mengelola menjadikan sumber daya alam seolah tidak berguna bagi pembangunan nasional. Selain keanekaragaman alam dan sumber dayanya, Indonesia memiliki keberagaman kebudayaan. Di tengah menipisnya sumber daya alam Indonesia, sudah saatnya kebudayaan diberdayakan sebagai aset pembangunan. Pemberdayaan ini akan sejalan dengan Burung-Burung Kertas 67

upaya pemerintah mengembangkan ekonomi kreatif sebagai pendukung pengembangan pariwisata. Tahap pertama yang perlu dilakukan adalah inventarisasi kebudayaan nasional/daerah dan mengategorikan dalam lima aspek, yaitu: 1) kehidupan spiritual, 2) bahasa dan sastra, 3) kese- nian, 4) sejarah, dan 5) ilmu pengetahuan. Tahap kedua adalah pemilihan skala prioritas dengan mempertimbangkan 1) rencana pembangunan daerah jangka panjang dan atau menengah (RPJPD/ RPJMD). 2) Masterplan pengembangan daerah, 3) analisis SWOT, dan 4) analisis biaya manfaat. Tahap ketiga adalah rehabilitasi dan revitalisasi aspek budaya yang telah dipilih untuk menjadi prioritas pengembangan. Pengelolaan kebudayaan ini dilakukan dengan prinsip pem- berdayaan masyarakat dengan melibatkan pemerintah (public), swasta (private) dan masyarakat (community). Swasta berperan sebagai generator, masyarakat sebagai aktor, sedangkan pemerin- tah sebagai fasilitator. Kebudayaan digali dari masyarakat, oleh masyarakat, diolah masyarakat, dan akhirnya kembali ke ma- syarakat untuk peningkatan kesejahteraan. Kebudayaan selalu ada mengiringi kehidupan masyarakat sehingga sebagai aset bagi pem- bangunan nasional, kebudayaan adalah sumber daya yang tidak akan pernah habis. Biodata Sri Mulyani tinggal di Manukan RT 03, Sendangsari, Pajangan, Bantul. Saat ini Sri Mulyani kuliah Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada. Jika ingin berkorespondensi dengan Sri Mulyani dapat menghubungi pos-el: [email protected], atau [email protected] 68 Burung-Burung Kertas

FIKSI MINI: KREATIVITAS SASTRA YANG TIDAK BIASA Muhammad Ikhwan Anas Pendahuluan Fiksi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memiliki arti: bagian dari sastra yang berupa cerita rekaan atau tidak berdasar- kan kenyataan, sedangkan mini memiliki arti: kecil, sedikit. Apabila kedua kata tersebut digabung, pengertian baru akan terbentuk, yaitu fiksi mini. Fiksi mini adalah kisah fiksi yang hanya terdiri beberapa kalimat saja, tidak lebih dari satu paragraf, tetapi sudah memiliki isi cerita. Fiksi mini memiliki sejarah sangat panjang. Sejauh yang telah diketahui, dimulai oleh kisah fabel yang ditulis oleh Aesop (620-- 560 SM) yang berbentuk cerita mini, tetapi sudah mampu bercerita dalam kependekannya. Timur Tengah, terutama kisah-kisah sufi memiliki cerita mini yang tak kalah populer, berbentuk anekdot- anekdot, seperti Narsuddin ataupun Abunawas. Tiongkok me- miliki fiksi mini Zen yang sering dianggap lebih menggugah dari- pada tuturan panjang yang sudah ada. Pada tahun 1920, seorang penulis Amerika, Ernest Hemingway menantang temannya bahwa dia bisa menulis cerita utuh hanya dalam enam kata, dan dia me- nyatakan bahwa tulisan tersebut adalah karya terbaiknya. Fiksi mini berkembang di semua negara, dalam bahasa Inggris kita mengenalnya sebagai flash fiction, sudden fiction ataupun micro fiction, bahkan Sean Borgstrom melontarkan istilah lainnya, yaitu nanofiction. Dalam bahasa Perancis dikenal sebagai nouvelles, orang Jepang menyebutnya “cerita telapak tangan” hal ini tidak lain dise- babkan karena fiksi mini cukup apabila dituliskan pada telapak Burung-Burung Kertas 69

tangan kita. Ada juga istilah lain seperti postcard fiction karena kisah ini cukup untuk dituliskan di selembar kartu pos. Fiksi mini bisa dibilang layaknya kalimat iklan: padat, singkat dan memiliki “efek” yang seringkali melebihi karya sastra yang lebih panjang. Seperti dikutip dari Cortazar, perbandingan novel, cerpen, dan fiksi mini bisa diumpamakan: novel seperti pertan- dingan tinju dua belas ronde, cerpen seperti pertandingan tinju dengan jumlah ronde lebih sedikit dan berakhir KO atau TKO, sedangkan fiksi mini bisa digambarkan sebagai pukulan telak yang langsung menyebabkan lawan KO pada kesempatan pertama. Sebegitu hebatkah fiksi mini? Apakah fiksi mini bisa disebut sebagai kisah fiksi? Apakah fiksi mini bisa diaplikasikan di sekolah? Berapa batasan fiksi mini? Adakah wadah untuk penulis fiksi mini di Indonesia? Bersumber dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, esai ini akan menguraikan “fiksi mini” lebih jelas. A. Fiksi Mini sebagai Kisah Fiksi Fiksi mini memang hanya terdiri atas beberapa kalimat, bahkan tidak sedikit yang cukup terdiri dari beberapa kata. Lalu, apakah fiksi mini bisa dikategorikan sebagai kisah fiksi? Anggapan yang sudah terlanjur berkembang di masyarakat selama ini berpendapat bahwa yang disebut kisah fiksi adalah selalu berbentuk cerpen maupun novel yang hal tersebut terdiri atas satu halaman atau lebih. Padahal secara dasar, kisah fiksi tidak pernah dibatasi oleh berapa jumlah kata, asalkan memenuhi syarat memiliki ide serta penyampaian yang jelas. Dalam berbagai kesempatan, seperti halnya pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dan juga dunia penerbitan, selalu ditekankan bahwa tulisan dengan panjang sekitar 1000 kata disebut cerpen, sekitar 7500 kata disebut novelet, kemudian lebih dari 50000 kata disebut novel. Pakem tersebut sudah ditanamkan semenjak siswa duduk di bangku pendidikan dasar, bahkan diulang kembali di pendidikan menengah pertama dan menengah atas. Melengkapi dasar di atas, ditambah pula syarat bahwa sebuah cerita fiksi lengkap memiliki 70 Burung-Burung Kertas

awal, tengah dan akhir dengan berbagai unsur seperti plot, tokoh, penokohan, suasana, konflik, dan penyelesaian. Ernest Hemingway yang disebut sebagai pembangkit fiksi mini modern pernah mengungkapkan, “Cerita fiksi itu cuma enam kata. Selebihnya hanya imajinasi.” Hemingway menyatakan bahwa hal itu tidak lain karena didasarkan pada karyanya yang lahir berkat sikapnya menantang temannya bahwa dia bisa menciptakan sebuah karya fiksi utuh hanya dengan beberapa kata saja. Mari kita simak fiksi mini yang dimaksud: FOR SALE: Baby shoes, never worn. (DIJUAL: sepatu bayi, tidak pernah dipakai) Fiksi mini di atas yang ditulis pada tahun 1920 menunjukkan tulisan yang sangat singkat, tetapi memberi gambaran dan me- maksa pembacanya untuk memikirkan apa kelanjutan dari cerita tersebut, penulis memberikan ruang sangat terbuka karena meng- izinkan pembaca untuk melontarkan imajinasi mereka tanpa ditun- tun olehnya. Kenyataannya, Julius Caesar juga pernah melontarkan sebuah kalimat yang juga bisa kita sebut sebagai sebuah fiksi mini meskipun dahulu tidak dimaksudkan untuk itu. Kita pasti mengenal kalimat ini: Vini, Vidi, Vici. (Aku datang, aku lihat, aku menang.) Sekali lagi, contoh di atas memang hanya berupa tiga kata yang sangat singkat, meskipun begitu, kalimat ini memiliki ide dan penyampaian yang jelas sehingga mampu menggambarkan sesuatu sehingga bisa disebut sebagai sebuah fiksi mini. B. Fiksi Mini sebagai Sastra Kritik Jika kita sering membaca fiksi mini, tentunya tidak akan jauh dari satu topik paling khas, yaitu kritikan. Meskipun ada yang tidak dimaksudkan untuk mengritik, fiksi mini pada akhirnya akan berujung pada kritik untuk suatu hal. Dengan kesederhanaan Burung-Burung Kertas 71

kalimatnya, fiksi mini menjadi salah satu sastra yang juga sangat efektif berperan sebagai sebuah media penyampai pesan. Mari kita simak dua fiksi mini yang di-tweet oleh akun twitter @sandiskanok dan @rkzvberikut ini: UDIN “Bu, si Udin mau dikubur kapan?” “Setelah UN-nya selesai, Pak Haji.” Oleh @sandiskanok DI KANTOR POLISI “Saya mau lapor kehilangan, Pak.” “Kehilangan apa, Mas?” “Kepercayaan!” Oleh @rkzv Apa yang dirasakan setelah membaca fiksi mini berbentuk dialog sederhana di atas? Tersindir? Miris? Sedih? Setuju? Berma- cam-macam emosi bisa terbentuk sesaat setelah membaca per- cakapan di atas. Coba kita kupas kemungkinan maksud dari fiksi mini tersebut. Fiksi mini pertama merupakan sindiran pada masyarakat luas bahwa masalah UN pun masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian kalangan sehingga urusan pemakaman jenazah pun kalah penting dibanding UN. Fiksi mini kedua menyinggung masalah sensitif yang saat ini sangat sering dibicarakan, yaitu kepercayaan. Digambarkan, be- tapa sangat susahnya mencari rasa kepercayaan pada banyak hal, sampai-sampai masalah ini pun perlu dilaporkan sebagai sebuah berita kehilangan. Akun twitter@rkzv memilih menanggapi berbagai berita negatif yang setiap hari dilihat ataupun didengar di ling- kungan atau media massa dengan menulis sebuah dialog lugu di atas. Sebenarnya, bentuk sastra kritik bisa berupa novel atau cer- pen, bahkan puisi. Namun, tidak semua orang bisa kerasan duduk lebih lama untuk membaca beberapa halaman penuh tulisan. Dengan membaca fiksi mini yang hanya tersusun dari beberapa kalimat, orang bisa merasakan sensasi yang sama seperti yang mereka baca berlembar-lembar cerita dengan inti yang serupa. 72 Burung-Burung Kertas

Lalu, tema apa yang sering dituliskan? Masalah kritik kepe- mimpinan dan ketidakadilan sampai sekarang masih menjadi salah satu topik terlaris untuk ditulis dalam bentuk fiksi mini. Berikut ini beberapa fiksi mini yang menggunakan tema tersebut: MALAM DITIADAKAN “Supaya presiden kalian cepat ketemu,” kata Tuhan. Oleh: @sepertihidup_ MENCARI PRESIDEN DALAM TUMPUKAN JERAMI “Ketemu?” “Tidak. Ini, hanya ada janji-janjinya saja.” Oleh: @penenun_kata BIAYA SEKOLAH NAIK, BENDERA TURUN SETENGAH TIANG “Satu lagi teman kita yang harus putus sekolah,” kata ketua kelasku. Oleh: @puspabr MENGINAP DI RUMAH TEMAN “Keren, di langit-langit kamarnya ada bulan dan bintang.” Oleh: @sibangor C. Membaca Fiksi Mini sebagai Sastra Digital Dalam perkembangannya dewasa ini, fiksi mini lebih dikenal masyarakat luas bukan dari teks cetak, melainkan berkat adanya media online, seperti blog, twitter, ataupun forum dan jejaring sosial. Oleh karena itu, muncul istilah baru untuk menyebut fiksi mini, yaitu sebagai Gambar 1 Logo sastra digital, terlebih ketika twitter mulai naik Fiksimini Indonesia daun. Kenapa twitter? Hal ini tidak lain disebabkan karena situs ini memiliki batasan 140 karakter untuk setiap tweet yang dibuat, maka dari itu, fiksi mini sangat sesuai jika ditulis di jejaring ini. Fiksi mini di Indonesia pun berkembang dengan pesat berkat adanya media twitter ini, yaitu munculnya akun @fiksimini dibuat Burung-Burung Kertas 73

pada17 Maret 2010 oleh Agus Noor (sastrawan dari Yogyakarta) bersama Eka Kurniawan dan Clara Ng yang bertindak sebagai moderator. Salah satu pencapaian terbesar @fiksimini adalah berhasil menggaet lebih dari 132 ribu followers, di mana jumlah fantastis tersebut termasuk sangat jarang dimiliki akun yang berfokus pada sastra. Fiksi mini di Indonesia ini rutin melempar topik baru untuk kemudian ditanggapi pengikutnya dengan menggunakan tweet ber- isi fiksi mini. Contoh kicauan tentang usulan topik sebagai berikut. @fiksimini: Hai fiksiminier, presidennya sudah ditemukan? Mungkin dia ada di balik imajinasimu. Ayo temukan. Mengapa fiksi mini dewasa ini mudah sekali berkembang di Indonesia khususnya di dunia maya? Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari fenomena di atas. Pertama, jumlah pengguna twitter di Indonesia termasuk dalam lima besar negara yang teraktif berkicau. Alasan kedua, disadari ataupun tidak, Indonesia sudah sangat condong pada era digitali- sasi yang masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu membaca artikel di internet daripada di media cetak. Ketiga, untuk berparti- sipasi dalam @fiksimini tidak mengenal latar belakang, semua pengguna bisa mengirimkan fiksi mini mereka bahkan hanya seba- gai pembaca alias tidak ikut memberi kicauan pun bisa. Hal ini kian meneguhkan bahwa fiksi mini pantas disebut sebagai sastra digital. “Ternyata booming, sampai sekarang dan ternyata selain para penulis banyak banget orang biasa yang bisa nulis, juga ikutan gabung dan menulis juga di @fiksimini,” jelas Oddie. Akun ini juga rajin mengadakan temu anggota (gathering) dan juga telah menghasilkan beberapa buku fiksi mini. Salah satunya adalah buku Dunia dalam Mata (2013). 74 Burung-Burung Kertas

Gambar 2 dan 3. Gathering @fiksimini Penutup Sebagai bagian dari sastra dan juga memiliki fungsi media penyampai pesan, fiksi mini berhasil bertahan dan semakin ber- kembang. Fiksi mini bisa ditulis dan dinikmati siapa saja, apa pun latar belakang sosial, profesi, ataupun umurnya. “Hampir di semua kota-kota besar ada komunitas fiksiminiers, termasuk di Bandung. Tak hanya yang aktif mengirim tulisan ke @fiksimini saja, tetapi penikmat (yang hanya sekadar membaca timeline fiksimini-red) saja juga bisa ikutan,” ujar Michan, salah satu anggota aktif @FmersBdg. Selain keaktifan di dunia maya, fiksi mini juga telah banyak merambah dunia cetak. Ini tentu saja memberi napas segar bagi sastra Indonesia dan dunia karena bisa lebih mengenalkan pada masyarakat yang belum terbiasa dengan bentuk sastra yang satu ini sehingga khalayak luas mengetahui bahwa bentuk sastra po- puler yang ada tidak hanya puisi, novel, dan cerpen, tetapi fiksi mini juga dapat mengambil peran. Di sekolah pun, guru bisa ber- inisiatif memasukkan fiksi mini ke dalam materi pelajaran. Tidak semua orang mampu menulis panjang dan menyelesai- kan naskah cerita, tetapi semua orang bisa menulis fiksi mini. Pen- dapat ini sejalan dengan Agus Noor, pencetus @fiksimini yang per- nah menuliskan 14+1 Diktum Fiksimini pada tahun 2010: Diktum Fiksimini 1: Menceritakan seluas mungkin dunia, dengan seminim mungkin kata. Diktum Fiksimini 2: Ibarat dalam tinju, fiksimini serupa satu pukulan yang telak dan menohok. Diktum Fiksimini 3: Kisahnya ibarat lubang kun- ci, yang justru membuat kita bisa “mengintip” dunia secara berbeda. Diktum Fiksimini 4: Bila novel membangun du- Burung-Burung Kertas 75

nia. Cerpen menata kepingan dunia. Fiksimini mengganggu- nya. Diktum Fiksimini 5: Fiksimini yang kuat ibarat granat yang meledak dalam kepala kita. Diktum Fiksimini 6: Ia bisa berupa kisah sederhana, diceritakan dengan sederhana, tetapi selalu terasa ada yang tidak sederhana di dalamnya. Diktum Fiksimini 7: Alurnya seperti bayangan berkelebat, tetapi membuat kita terus teringat. Diktum Fiksimini 8: Serupa permata mungil yang membiaskan banyak cahaya, kita terus terpesona setiap kali membacanya. Diktum Fiksi- mini 9: Seperti sebuah ciuman, fiksimini jangan terlalu se- ring diulang-ulang. Diktum Fiksimini 10: Bila puisi meng- olah bahasa, fiksimini menyuling cerita, menyuling dunia. Diktum Fiksimini 11: Ia tak semata membuat tawa. Karena ia adalah gema tawanya. Diktum Fiksimini 12: Kau kira fiksimini ialah kolam kecil, tapi kau tak pernah mampu men- duga kedalamannya. Diktum Fiksimini 13: Di ujung kisah- nya: kita seperti mendapati teka-teki abadi yang tak bertepi. Diktum Fiksimini 14: Pelan-pelan kau menyadari, ia sebu- tir debu yang mampu meledakkan semesta. Diktum Fiksi- mini Terakhir: Lupakan semua diktum itu. Mulailah menulis fiksimini! Daftar Bacaan Tim Penyusun Kamus. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Biodata Penulis Muhammad Ikhwan Anas. Tinggal di Dhuri, RT 05/20, Tirtomartani, Kalasan, Sleman. Saat ini Muhammad Ikhwan Anas kuliah di Universitas Gadjah Mada, Jurusan Ilmu Komunikasi. Jika ingin berkorespondensi dengan Muhammad Ikhwan Anas dapat menghubungi HP: 081904008875.- 76 Burung-Burung Kertas

EKSPANSI BUDAYA: LUNTURNYA KEBUDAYAAN ASLI INDONESIA Alfiani Dyah Kurnia Sari Kebudayaan itu ibarat sebuah lensa yang seperti halnya saat kita menggunakan lensa, untuk meneropong sesuatu kita harus memilih suatu objek tertentu yang akan dilihat secara fokus. Be- berapa orang awam mengartikan kebudayaan merupakan sebuah seni. Padahal sebenarnya kebudayaan itu bukan hanya sekadar seni. Kebudayaan melebihi seni itu sendiri karena kebudayaan meliputi sebuah jaringan kerja dalam kehidupan antar manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekspansi adalah perluasan wilayah suatu negara dengan menduduki sebagian/seluruhnya wilayah negara lain, hal ini berarti ekspansi budaya adalah perluasan budaya ke negara lain. Anda pasti pernah mendengar kata ini “Annyong haseyo!”. Ya, beberapa tahun terakhir, telinga dan mata saya menjadi akrab dengan kata sapaan itu, yang kurang lebih berarti “Hai, apa kabar!” dalam bahasa Korea. Banyak teman saya yang menggunakan kata itu sejak mereka nonton film-film drama Korea yang diputar di televisi. Banyak juga tambahan kosakata baru seperti “Kamsaham- nida,” (terima kasih), “Sarang haeyo,” (I love you), dan sebagainya. Teman-teman saya (terutama yang perempuan) sering sibuk mem- bahas aktor-aktor drama Korea yang katanya lucu dan ganteng, menghafal lagu-lagu soundtrack-nya, bahkan ada pula yang keran- jingan membahas semua hal yang berbau Korea mulai dari masak- an, pakaian, bahasa, dan sebagainya. Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses me- masok produk-produk budayanya ke pasar global. Gelombang kebudayaan modern Korea atau yang sering disebut Hallyu sejak Burung-Burung Kertas 77

tahun 1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan kawasan lainnya. Di Indonesia sendiri, gelombang Hallyu mulai dirasakan sejak tahun 2000-an ketika film-film Korea banyak diputar di tele- visi nasional dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat In- donesia dan sejak saat itu pulalah kebudayaan asli Indonesia mulai memudar. Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, Indonesia juga sudah diterjang lebih dahulu oleh gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan tentu saja Amerika. Berbagai tanggapan pun muncul menanggapi terjangan budaya asing di negara Indonesia. Selama ini, kita sering kali mengulang-ulang seruan waspada terhadap globalisasi dan ekspansi budaya global. Contohnya, “Ha- ti-hati terhadap bahaya westernisasi!”, “Lindungi generasi muda dari pengaruh buruk budaya asing!”. Seruan semacam itu pada dasarnya tidak salah karena salah satu usaha untuk memperta- hankan budaya dan identitas bangsa kita. Sosiolog, Ibnu Khaldun, menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa yang kalah adalah terjadinya imitasi massal terhadap cara hidup bangsa pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan, gaya arsitektur, jenis makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat ke- biasaan. Ciri-ciri itu sangat relevan dengan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia saat ini yang terkatung-katung dalam peta kebudayaan global. Ya, Indonesia sedang kalah saat ini, tetapi resistensi dan sikap-sikap defensif yang cenderung menutup diri juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena suka atau tidak suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Bagaimanapun juga globalisasi akan sulit dicegah dengan apa pun caranya karena globalisasi bisa dikatakan perubahan global yang mempengaruhi seluruh sudut dunia. Mengenai pengaruh positif dan negatifnya, kita harus bisa menanganinya dengan segala konsekuensi bukan dengan menyuarakan seruan yang sesungguhnya tidak dapat men- cegah masuknya budaya globalisasi yang sebenarnya. Ketakutan yang berlebihan terhadap ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan bahwa kita bangsa yang inferior, yang selalu menjadi objek paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apa pun. Oleh karena itu, strategi bertahan yang paling tepat adalah dengan men- jadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi itu sendiri. 78 Burung-Burung Kertas

Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmo- dernisme yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah. Budaya pop awalnya merupakan hegemoni budaya Barat (terutama Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri budayanya seperti musik, olahraga, fastfood, mode pakaian, dan film-film Amerika di seluruh dunia. Namun, kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel dan berubah-ubah, bu- daya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya mana pun. Globalisasi budaya memungkinkan dibukanya kelas-kelas yoga di New York dan restoran sushi di Kuwait. Peran media massa yang semakin canggih dalam menyebarkan informasi men- jadikan proses ini makin cepat, dengan persinggungan antarbudaya yang mengalir deras melahirkan variasi kebudayaan yang sangat beragam. Dalam situasi seperti ini, pilihannya hanya mempenga- ruhi atau dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, mengapa kita tidak ikut memberi pengaruh? Sudah saatnya kita bersikap serius untuk terjun dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan negara Indonesia kepada dunia. Yang harus kita tentukan pertama kali adalah definisi kebuda- yaan asli negara kita sendiri. Apa itu budaya asli Indonesia? Batik, angklung, wayang, mandau, tari saman, gotong royong, paguyub- an, nagari, apa pun itu, daftarkan satu per satu baik budaya tradisi maupun kontemporer, baik budaya konkret maupun abstrak. Sebe- lum mulai menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan masalah hak cipta, kekayaan intelektual dan kekayaan budaya. Budayawan Jepang, Yamada Shoji, mengatakan bahwa ada dua hal yang bertentangan dalam budaya, yakni perilaku “memi- liki” sekaligus “menyebarkan”. Pernyataan ini kita temukan tatkala terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang negara kita alami akhir-akhir ini dengan negara Malaysia. Ini menjadi satu kesulitan tersendiri karena di satu sisi kita semestinya bangga terhadap luasnya penyebaran budaya kita, tetapi di sisi lain kita merasa hak milik kita dirampas. Kebudayaan Indonesia pun nya- tanya sangat banyak yang merupakan pengaruh kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan barongsai dan potehi Burung-Burung Kertas 79

dalam festival budaya Indonesia? Saya juga tak ingin rakyat India mendemo kita karena memainkan lakon-lakon Ramayana. Oleh karena itu, inventarisasi terhadap aset-aset kebudayaan kita pen- ting untuk dilakukan, tetapi dengan tetap meniscayakan asimilasi dan akulturasi. Berbagai undang-undang perlindungan budaya yang telah ada selayaknya harus dimaksimalkan. Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, kita perlu mempercepat industrialisasi budaya. Industrialisasi budaya adalah usaha menggalakkan industri budaya di suatu negara. Ha- nya dengan memberikan nilai ekonomi yang tinggi, kebudayaan kita akan memiliki daya jual yang meningkatkan daya saing dan kemampuan survival-nya, menjadi pengaruh positif bagi kesejah- teraan masyarakat serta menjadi jalan menuju ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya mendorong eks- pansi budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan pasar yang besar, dan pasar dari industri budaya adalah orang-orang yang berminat terhadap budaya tersebut. Kesuksesan industri bu- daya berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap kali industri tersebut melakukan ekspansi pasar, ia juga telah me- lakukan ekspansi budaya. Adapun ekspansi budaya membutuhkan produk-produk yang agresif, yaitu produk-produk berorientasi atau berkualitas ekspor yang mampu membawa nama negara Indo- nesia ke seluruh penjuru dunia. Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan me- tode penyebaran yang tepat. Meskipun kita telah melakukan in- dustrialisasi batik, permintaan batik di luar negeri tidak akan serta merta melonjak karena pasar harus tertarik lebih dulu dengan produk batik. Lalu, bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak budaya asli negara kita kepada pasar luar negeri? Bahkan untuk memperkenalkan budayanya saja sudah sulit. Budaya pop dan media massa memiliki hubungan simbiotik yang keduanya saling tergantung dalam sebuah kolaborasi yang sangat kuat. Ke- populeran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula media massa hidup dengan cara mengekspos budaya-budaya yang sedang dan akan populer. Oleh karena itu, kita harus memprioritaskan 80 Burung-Burung Kertas

terlebih dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan komunikasi massa. Saya memilih industri film sebagai langkah awal ekspansi bu- daya secara serius. Indonesia terhadap perfilman nasional? Pada umumnya, masyarakat akan menjawab sinis untuk pertanyaan tersebut karena ada beberapa faktor. Pertama, kesuksesan sebuah film berimbas pada berlomba-lombanya sineas film untuk membuat film yang sejenis. Kondisi ini jelas akan membuat jenuh penikmat film nasional. Kasus ini terjadi ketika film “Jelangkung” banyak mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Kemudian muncul film- film horor yang dalam perkembangannya bergeser pada genre film horor “nakal”. Kedua, film bagus adalah film dengan visual effect yang bagus. Sebuah pemahaman keliru bagi penonton awam yang menuntut mutu. The Artist merupakan contoh konkret. Film bisu dan hitam putih yang menjadi film terbaik Academy Award ke-84 tahun 2012 mengalahkan delapan film pesaingnya. Ini me- nunjukkan bahwa tidak selamanya film bagus mesti menampilkan kecanggihan teknologi dalam setiap adegannya. Maklum, melihat masyarakat kita yang mudah terpukau terhadap sebuah kecang- gihan. Ketiga, hanya mengejar profit tanpa disertai kualitas. For- mat audio visual memungkinkan film untuk menarik perhatian lebih besar, menjadikannya efektif dalam komunikasi massa. Alur cerita akan memudahkan para penonton untuk menangkap mak- sud film dengan cara yang menyenangkan, sementara film juga mudah disisipi pesan-pesan sampingan yang tidak begitu disadari seperti iklan dan propaganda. Film merupakan whole package karena mampu mengakomoda- sikan unsur-unsur budaya seperti bahasa, musik, pakaian, adat, kebiasaan, nilai-nilai sikap positif, dan sebagainya. Contohnya suatu film Indonesia akan menampilkan keseharian masyarakat Indonesia, para pemerannya berdialog dengan bahasa Indonesia, menyantap masakan seluruh daerah Indonesia, memamerkan alam seluruh daerah Indonesia, menampilkan hasil budaya seluruh daerah Indonesia. Mengapa harus seluruh daerah Indonesia? Ya, hal ini dikarenakan agar tidak menimbulkan suatu perasaan iri di berbagai daerah jika hanya satu budaya Indonesia yang ditam- Burung-Burung Kertas 81

pilkan. Bagi negara-negara yang sama sekali tidak tahu atau me- ngenal dengan Negara Indonesia, film akan menjadi ajang perke- nalan sekaligus promosi budaya, sedangkan perbedaan bahasa dapat diatasi dengan subtitle dan dubbing. Tugas dari film-film ini adalah untuk menjadi sepopuler mungkin di negara-negara tujuan karena budaya pop menjanjikan suatu kelas fanatik yang sangat setia, yaitu penggemar atau sering juga disebut dengan fans. Selain sebagai konsumen utama produk-produk budaya kita, merekalah yang juga kita harapkan akan mampu menjadi agen budaya kita di samping media massa, seperti televisi, radio, majalah, dan inter- net. Saya ingin mengambil contoh, di sebuah kampus terdapat sebuah klub yang membahas semua hal tentang Jepang. Mereka awalnya adalah fans dari satu atau beberapa produk budaya Je- pang, seperti komik, anime, dan J-dorama. Setiap bulan mereka mengadakan kegiatan membahas bagian tertentu dari budaya Jepang, seperti festivalnya, masakannya, permainannya, kebiasaan- nya, sampai hantunya dan tentu saja mereka tidak dibayar oleh pemerintah Jepang untuk melakukan semua itu. Oleh karena itu, potensi fans sangat besar bagi ekspansi budaya, tergantung dari seberapa besar produk budaya yang digandrunginya kemudian mengarahkannya pada produk lain. Film sebagai media ekspansi yang memiliki pengaruh positif yang besar karena kesuksesannya akan membuka peluang bagi kesuksesan unsur-unsur yang terkan- dung di dalamnya. Industri perfilman Indonesia yang tengah bang- kit saat ini dapat diandalkan untuk memimpin ekspansi budaya kita ke manca negara. Jika ekspor film-film Indonesia sukses di negara-negara tujuan, hal itu diharapkan akan membuka pintu bagi pemasaran produk-produk budaya lainnya. Pemerintah di- tuntut aktif untuk mengawal, melindungi, serta menggunakan lo- binya untuk memuluskan jalan bagi produk-produk budaya kita di negara lain. Target ekspor budaya kita diharapkan mampu men- jangkau kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, hing- ga dunia Barat. Apabila produk-produk budaya kita yang dipelopori oleh per- filman telah berhasil meraih pasar dan menumbuhkan minat ter- hadap budaya Indonesia di manca negara, tugas berikutnya adalah 82 Burung-Burung Kertas

memelihara dan mengembangkan minat itu dari sebuah infiltrasi menjadi suatu gelombang budaya negara Indonesia yang deras. Pada tahap ini, produk-produk budaya lainnya seperti musik, sastra, hingga fashion akan berperan penting untuk menarik dan mengikat minat budaya itu lebih jauh dan lebih kuat lagi. Jika kelompok-kelompok fans telah terbentuk di mancanegara, maka para selebriti Indonesia akan meraih momentumnya untuk go inter- national. Tren-tren yang berlaku di Indonesia akan turut digemari pula di negara-negara yang telah menerima ekspansi budaya kita. Ini dapat diiringi pula dengan masuknya produk-produk lain se- perti beragam manufaktur yang membawa nama dan gaya hidup Indonesia. Selangkah demi selangkah, kita menuju kegemilangan budaya Indonesia. Jika saatnya tiba, kita boleh tersenyum melihat budaya Indonesia berkibar di mana-mana. Avanpeursen mengatakan kebudayaan merupakan gejala ma- nusiawi dari kegiatan berpikir (mitos, ideologi, dan ilmu), komuni- kasi (sistem masyarakat), kerja (ilmu alam dan teknologi), dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana. Sejumlah Resiko Industrialisasi budaya merupakan sebuah pilihan yang mem- bingungkan. Sifat industri yang cenderung berorientasi pasar di- khawatirkan justru akan menurunkan kualitas budaya, karena me- nyerahkannya pada selera pasar yang belum tentu bermutu baik. Hal ini bisa kita perhatikan, misalnya, pada dunia sinetron negara kita yang sangat memprihatinkan. Tayangan yang ada sifatnya membodohi bahkan merusak budaya asli negara Indonesia, seperti ini memang meresahkan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus campur tangan dengan mengontrol kualitas produk-produk budaya sebagai bentuk tanggung jawab sosial budaya sekaligus strategi pencitraan Indonesia di mata dunia. Jangan sampai sine- tron dan film-film sampah bisa lolos ekspor. Sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas produk, pemerintah pun wajib menge- luarkan kebijakan yang memudahkan sektor industri budaya kita. Beban pajak yang tinggi yang selama ini dikenakan kepada produk Burung-Burung Kertas 83

dan aktivitas kebudayaan harus dikurangi, atau pengalokasiannya ditujukan secara jelas bagi perkembangan budaya itu sendiri. Selain itu, pemerintah juga dapat memberlakukan subsidi silang dengan menggunakan pajak-pajak dari sektor budaya pop untuk membiayai keberlangsungan higher culture. Kita semua sangat menanti dukungan dan peran aktif pemerintah. Selanjutnya, ada hal-hal yang masih mengganjal bagi saya me- ngenai kebudayaan kita ini. Sementara kita membicarakan eks- pansi budaya, ada ketimpangan yang sangat nyata dalam perkem- bangan kebudayaan kita selama beberapa 10 tahun terakhir. Ke- bijakan sentralisasi yang dulu diterapkan telah menjadikan Jakarta sebagai satu-satunya episentrum kebudayaan di Indonesia yang memberi pengaruh langsung ke seluruh negeri. Katakan, apa itu film nasional? Apa itu artis nasional? Apa itu surat kabar nasional? Apa itu televisi nasional? Semuanya itu bohong sebab yang ada hanyalah film-film dan artis-artis Jakarta, serta surat-surat kabar dan televisi-televisi Jakarta. Apakah itu Monas? Monumen nasio- nal? Itu juga bohong. Itu adalah monumen yang ada di emblem Pemda DKI Jakarta. Seharusnya kita memang perlu mengingat kembali makna ke- budayaan nasional. Dalam penjelasan pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 sudah diterangkan bahwa kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai pun- cak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sen- diri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Para penyusun undang-undang ini telah menyadari bahwa seluruh masyarakat kita sejak dulu telah memiliki banyak kebu- dayaan, bukan hanya satu. Konsep kebangsaan kita terlihat unik karena memayungi ratusan suku, bangsa, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda ke dalam satu identitas baru, yaitu Indonesia. Harus diakui bahwa konsep kebangsaan kita memang didefinisikan oleh 84 Burung-Burung Kertas

penjajah. Itu menjelaskan penyebab masyarakat Riau harus berbeda bangsa dengan masyarakat Johor meskipun mereka berbudaya yang sama di masa lalu, juga penyebab masyarakat Timor Timur dan Timor Barat harus berbeda bangsa meskipun sesama anak Timor. Begitu juga, putra-putri Dayak, Papua, dan lain-lain yang terbelah oleh batas-batas teritorial yang dulu dibuat para penjajah dan kini diwariskan dalam bentuk negara-negara bangsa (nation- states) modern seperti yang kita kenal saat ini. Oleh karena itu, nasionalisme yang kita miliki sepatutnya dipa- hami secara bijak. Nasionalisme merupakan manifestasi kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan pendorong bagi suatu bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan dari penjajahan maupun sebagai pendorong untuk membangun dirinya, lingkungan masya- rakat, bangsa, dan negaranya. Kita, sebagai warga negara Indo- nesia, sudah tentu merasa bangga dan mencintai bangsa dan ne- gara Indonesia. Hal ini senada dengan pandangan Prof. Sartono Kartodirdjo yang mengungkapkan bahwa nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain. Bangsa Indonesia terdiri atas suku yang berbeda-beda yang dulu memutuskan untuk bersatu karena kesamaan nasib di bawah penjajah yang sama. Nasionalisme kita bertujuan memerdekakan seluruh negeri dari penjajahan sehingga sangat tidak pantas jika Negara Kesatuan Republik Indonesia dijadikan alat penjajahan baru. Bentuk negara kesatuan tidak boleh dijadikan alasan untuk mematikan keragaman identitas bangsa-bangsa yang kini bernaung dalam rumah bangsa Indonesia. Era reformasi saat ini menjadi tantangan masyarakat Indonesia untuk mematahkan dominasi pusat terhadap kebudayaan nasional. Dalam semangat desentralisasi saat ini, saya sangat berharap di masa depan nanti perkembangan kebudayaan nasional kita akan berlangsung lebih adil dan lebih kokoh. Kita membutuhkan lebih banyak lagi pusat-pusat kebudayaan di Indonesia, bukan hanya di Jakarta. Beberapa waktu lalu, saya mendengar berita tentang peresmian Trans Studio di Makassar. Terlepas dari sejumlah kritik Burung-Burung Kertas 85

mengenai efek-efek negatif yang ditimbulkannya, saya cukup salut karena pembangunan pusat hiburan sebesar itu merupakan suatu bentuk keberanian untuk berpaling dari Jakarta. Perkembangan kebudayaan nasional secara dinamis yang didorong oleh desen- tralisasi menghadirkan wajah kebudayaan Indonesia yang lebih integratif dan representatif. Apabila putra-putri Indonesia telah mampu untuk berdiri lebih setara dari Sabang sampai Merauke, kita akan lebih mudah bersatu untuk melebarkan sayap kebuda- yaan asli kita ke mancanegara. Biodata Penulis Alfiani Dyah Kurnia Sari. Tinggal di Rogocolo RT 09, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul. Saat ini Alfiani Dyah Kurnia Sari sekolah di SMA Negeri 1 Sewon, Bantul. Jika ingin berkorespondensi dengan Alfiani Dyah Kurnia Sari dapat menghubungi HP: 083869995570. 86 Burung-Burung Kertas

BUDAYA DAN PERMAINAN TRADISIONAL PEMBANGUN KARAKTER ANAK Dian Andri Ani Pendahuluan Budaya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pikiran, akal budi, atau adat istiadat. Indonesia memiliki banyak ragam budaya tradisional, yaitu dalam kesenian dan permainan. Di Indonesia hampir di setiap daerah memiliki budaya tradisional sendiri-sendiri. Budaya di setiap daerah berbeda-beda dan budaya tersebut telah menyatu dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sangat beragamnya budaya Indonesia membuat masyarakat sulit untuk mengenalnya semua, bahkan ada yang tidak mengenal satu pun budaya di negeri sendiri. Betapa ironisnya negeri ini bila warganya tidak mengenal kebudayaan sendiri. Oleh karena itu, budaya yang dimiliki negeri ini perlu diperkenalkan pada ge- nerasi muda. Budaya dapat diperkenalkan melalui keluarga dan lingkungan sekitar. Di dalam keluarga, budaya dapat diperkenalkan melalui penggunaan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari. Melalui lingkungan sekitar budaya dapat diperkenalkan melalui tontonan tradisional dan teman sepermainan sang anak. Tontonan tradisional biasanya didapati di lingkunga sekitar atau di daerah tersebut. Saat bersama teman sepermainan biasanya anak akan bermain, di situlah budaya bangsa ini dapat diperkenalkan, yaitu permainan tradisional. Tontonan tradisional dan permainan tradisional sangat mem- bantu dalam pembentukan karakter. Oleh karena itu, budaya ter- sebut harus diperkenalkan kepada anak guna membangun karak- Burung-Burung Kertas 87


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook