PINDAHNYA ORION Ambar Fidianingsih Orion, canis major dan canis minor adalah konstelasi yang akan selalu bersama di langit. Sebuah kesalahan apabila mereka terpi- sah. Sebuah kesalahan juga jika aku meninggalkan tempat ini, mungkin. *** Angin berhembus pelan menerbangkan pasir-pasir lembut di pinggir pantai. Suara pasir-pasir putih yang saling bergesekan itu berdesir. Sepasang sepatu berwarna hijau menginjakkan kakiknya dengan dalam dan membuat puluhan butir pasir tertahan, tak mam- pu terbang. Pemakai sepatu hijau meringkuk rendah dan meletakkan se- ekor kura-kura kecil di atas pasir. Ia tersenyum. Kura-kura itu berjalan pelan dengan bingung membuat pemakai sepatu hijau me- nujukkan ekspresi tak tega. “Hei Sirius! Aku akan membawa Procyon bersamaku,” seru gadis pemakai sepatu hijau itu dengan pelan pada kura-kura di atas pasir. Gadis itu membuka genggaman tangan lainnya yang berisi seekor kura-kura lain. “Nah, Procyon. Sampaikan salam perpisahanmu pada Sirius,” ujar gadis itu sembari mendekatkan kura-kura di tangannya pada kura-kura yang berada di pasir. Seakan tak bisa menerima perpi- sahan yang mendadak, kedua kura-kura itu menyembunyikan ke- pala mereka ke dalam tempurung masing-masing. “Elayna! Bergegaslah!” seru seseorang dari kejauhan. Gadis bersepatu hijau menoleh ke belakang dengan terkejut. 188 Burung-Burung Kertas
“Ah sayang sekali. Salam perpisahan telah berakhir. Hati-hati Sirius! Semua akan baik-baik saja. Sampai bertemu lagi!” bisik Elay, si gadis bersepatu hijau lalu bergegas menuju sebuah kapal pesiar yang akan membawanya menuju pulau di seberang. Sirius menyembulkan kepalanya dengan sedih. Ia menggerak- kan kepalaya ke kanan-kiri seolah tak rela benda raksasa di depan- nya akan membawa pergi Procyon dan juga ... orion. Tiba-tiba sebuah bayangan teduh menyelimuti Sirius. *** Orion, sang pemburu yang gagah berpose di langit malam. Ia mengamati sebuah kapal yang tengah berlayar di laut malam. Dua ekor anjing dengan setia mengikutinya di belakang. Seekor anjing besar bernama canis major dan seekor anjing kecil bernama canis minor. Mereka mengawasi majikan mereka dengan baik. Sementara itu, bayang-bayang seekor kelinci bernama Lepus dan unicorn ber- nama Monoceros mengikuti Orion secara diam-diam. “Tapi aku menyukai rumah yang lama. Aku menyukai sekolah yang lama. Aku tidak suka dengan sekolah baru. Semua murid baru pasti akan di singkirkan,” seru Elayna keras kepada ibunya. Ibu menatap Elayna dengan tatapan siapa-yang-berkata-begitu. “Kau bahkan belum melihat sekolahmu. Kau tak boleh begitu. Sekeras apapun kau menolak pindah, kau sudah ada di tengah jalan. Jika kau memang ingin tinggal dan sekolah di tempat lama, turunlah dan berenanglah ke rumah yang lama,” ujar ibu dengan sedikit emosi membuat Elayna tertunduk. Ibu bergegas duduk di tempat duduk penumpang meninggalkan Elayna yang beraura biru. Bunyi air yang berhempasan dengan badan kapal membuat Elayna tergoda untuk melihatnya. Ia melongok ke bawah. Buih- buih air putih terlihat menggoda untuk di sentuh. Seketika ia ter- ingat ucapan ibu. “Jika kau memang ingin tinggal dan sekolah di tempat lama, turunlah dan berenanglah ke rumah yang lama...” Berenang. Elayna bisa saja berenang saat ini, jika ia mau. Akan tetapi ia tak mau. Rumah Elayna yang lama sudah sangat jauh sekarang. Berenang saja tidaklah cukup. Ia juga harus menyelam. Burung-Burung Kertas 189
Menyelam berarti menahan napas dalam air. Sebenarnya Elayna bisa saja saja melakukannya, jika ia mau. Akan tetapi ia tak mau dengan alasan kraken. Alasan itu adalah kraken. Kraken. Menurut Elayna, cumi-cumi raksasa yang mendiami lautan di wilayah Irlandia dan Norwegia itu mungkin saja merasa bosan dan akhirnya berjalan-jalan sampai ke Indonesia. Mungkin saja kraken lewat di bawah kapal ini dan mengira bahwa kapal ini merupakan paus penyembur yang menjadi musuhnya. Lalu kraken akan menyembul dan membuat riak air yang menenggelamkan kapal ini. Akan sangat bahaya apabila Elayna telah menyelam lalu kraken datang menyerang kapal dimana ibu Elayna tengah tidur terlelap. “Haaaah,” Elayna menguap. Semua pikiran yang ada di kepa- lanya membuat Elayna kehilangan banyak energi. Elayna me- ngerjapkan matanya berulang kali karena terpaan angin. Angin malam yang bertiup dengan lembut seakan tengah membisikkan kata jahat...jahat...jahat... *** Jahat. Sekolah baru ini pasti jahat. Murid-murid jahat, guru- guru jahat, bahkan bangunannya pun terlihat jahat. Pintu gerbang lebar yang terbuat dari besi seakan berkamuflase dari bentuk asli- nya yang berupa gigi-gigi dan taring penghisap darah. Kacau. Sangat kacau. Atap sekolah yang berwarna merah bata berjejer di atas ba- ngunan menutupi semua dari sinar matahari, hujan, dan mungkin dari meteor jatuh. Sebagian dinding sekolah seolah sedang melakukan mimikri seperti yang dilakukan oleh bunglon. Nuansa polkadot warna pastel dengan indah tertempel pada dinding, akan tetapi polkadot-polkadot ini akan sirna dan berubah menjadi lubang-lubang mengerikan yang membuat kulit bergidik. Guru-guru cantik dengan mata seindah berlian akan berkuasa. Rambutnya yang panjang terurai berubah menjadi ular-ular men- desis saat pelajaran berlangsung di dalam kelas. Medusa. Guru- guru itu adalah medusa yang datang dari buku dongeng Yunani. Sekali kau tak menurut dan membuatnya tak senang, kau akan 190 Burung-Burung Kertas
mendapat sebuah tatapan maut darinya dan membeku menjadi batu. Teman-teman di sekolah baru, jumlahnya hampir sama dengan jumlah nyamuk di saat musim hujan. Nyamuk. Penghisap darah. Teman-teman baru akan menghisap darah. Pelajaran-pelajaran di sekolah baru juga tak kalah mengerikan. Layaknya ular yang melesat di pasir dengan cepat, ia tak akan mudah di tangkap. Matematika, biologi, fisika, kimia, dan semua- nya. Pelajaran-pelajaran yang ia kandung seperti hidra, drakon atau ular yang memiliki sembilan kepala. Jika satu kepala dipotong, maka satu atau dua kepala akan tumbuh kembali. Saat pelajaran sulit telah dimengerti, maka pelajaran sulit lainnya akan muncul. Betapa jahatnya. *** “Adik kecil, bangunlah. Kau tertidur di tepi kapal. Itu menge- rikan,” sebuah suara membuat Elayna terbangun. Elayna bangkit dari duduknya lalu mengikuti tuntunan seorang pemuda untuk duduk di bangku penumpang. “Jangan coba-coba berada di sana lagi jika kau mengantuk,” seru pemuda itu. Elayna mengangguk meskipun ia tak begitu sadar dengan apa yang pemuda itu katakan. Elayna melongok ke arah ibunya yang tertidur di bangku lain. “Ah, ibumu?” tebak pemuda itu setelah mengikuti arah ta- tapan Elayna. Elayna kembali mengangguk untuk mengiyakan te- bakan pemuda yang mungkin berusia 20 tahunan itu. “Kalau begitu pergilah ke tempat ibumu,” perintah pemuda tersebut. Elayna menggelengkan kepalanya. “Aku sedang perang dingin dengan ibu,” ujar Elayna dengan nada datar membuat pemuda tadi mengernyitkan dahinya. Semenit kemudian, seakan berada di kursi pendetektor kebohongan, Elay- na menceritakan semua sampah yang mengganjal pada otaknya. “Semester baru ini aku pindah sekolah karena ayah pindah tugas. Aku tak suka. Aku suka sekolah yang lama. Sekolah yang baru sangat mengerikan,” ujar Elayna dengan nada kesal. Ia bahkan mengepalkan tangannya seakan ingin meninju angin. Burung-Burung Kertas 191
“Mengerikan seperti apa?” tanya pemuda tadi. Elayna terdiam. Ia tak mungkin bercerita soal gedung jahat, guru medusa, lalu murid-murid penghisap darah kepada pemuda ini. Pemuda ini mungkin akan tertawa terbahak-bahak mendengar cerita yang sebenarnya akan Elayna ceritakan pada ibu untuk mencegah me- reka pindah. Kata ayah, ibu suka sekali dongeng saat kecil, mung- kin saja ibu akan percaya, begitu pikir Elayna sebelumnya. Namun, Elayna tak sempat menceritakan cerita karangannya ini pada ibunya. “Aku sering berpindah-pindah sekolah dulu. Dan itu menye- nangkan,” ujar pemuda itu tiba-tiba membuat Elayna mendongak penasaran. “Apanya yang menyenangkan? Anak baru pasti sering di- bully,” timpal Elayna. “Siapa yang bilang?” tanya pemuda itu. “Aaa...teman sebangku,” jawab Elayna ragu. Pemuda itu menahan tawanya. “Teman sebangku ya? Sebenarnya itu tak sepenuhnya salah sih. Memang ada kemungkinan siswa baru itu di-bully, tapi semua tergantung siswa baru itu sendiri,” jelas pemuda tadi. “Tergantung?” Elayna berusaha meminta penjelasan. “I...ya...” pemuda itu sedikit ragu tatkala melihat ekspresi Elayna yang seperti hendak menepuk kawanan nyamuk. “Apa maksudnya?” tanya Elayna. “Begini. Ini hanya berdasarkan pengalamanku saja. Saat kau berpindah-pindah sekolah di daerah yang berbeda, kau akan mendapat lebih banyak teman, lebih banyak pengetahuan, dan ya... banyak pengalaman dibandingkan orang yang jarang... ber- pindah tempat,” jelas pemuda itu. “Berpindah tempat? Tapi semua orang pasti berpindah tempat. Aku baru saja berpindah dari situ,” ujar Elayna sembari menunjuk tepi kapal. “Ya seperti itu perumpamaannya. Saat kau berada di tepi kapal itu, bagaimana rasanya?” tanya pemuda itu bersemangat. “Dingin, gelap,” jawab Elayna. “Nah, lalu di sini?” tanya pemuda itu lagi. 192 Burung-Burung Kertas
“Sama saja,” jawab Elayna datar. “Iya... tetapi pasti ada bedanya, meskipun sedikit. Di sana dingin, di sini juga dingin. Ah, di sana gelap, tapi di sini lebih terang. Seperti itu. Kau yang baru saja tidur di sana dengan ibumu yang hanya duduk di bangku pengetahuan tentang kapal ini akan berbeda. Kau tahu kalau tidur di tepi kapal rasanya dingin, se- dangkan ibumu tidak tahu bagaimana rasanya,” jelas pemuda itu dengan panjang lebar. “Menurutku, meskipun tak tidur di situ, semua orang tahu kalau di situ dingin,” ujar Elayna lagi dengan datar. “Tapi kau merasakannya, dan mereka tidak. Itu kelebihanmu. Aku beri contoh lagi. Di daerah baru itu, kau mempelajari bahasa daerah baru. Meskipun orang-orang di luar bisa belajar bahasa itu juga, tetapi kau mempelajarinya secara langsung. Itu kele- bihannya. Orang yang sering berpindah-pindah tempat itu punya banyak pengalaman,” jelas pemuda itu. Elayna sedang termenung memikirkan penjelasan pemuda tadi sampai tas peliharaannya bergerak. Elayna segera teringat akan Procyon, kura-kura miliknya. Sedetik kemudian ia teringat pada Sirius yang ia tinggalkan di pantai. Rasa penyesalan menjalar ke tubuh Elay seperti aliran listrik. “Orion?” pemuda itu membaca tulisan pada tas milik Elayna. “Oh, itu aku. Aku yang membuat nama panggilan itu sendiri,” ujar Elayna pelan. Di benaknya masih terbayang-banyang cangkang milik Sirius yang mungil. “Namamu? Itu nama rasi bintang, seorang pemburu,” “Memang.” ujar Elayna datar. Sekujur tubuhnya bergetar me- rasa bersalah telah meninggalkan Sirius sendirian dan bertengkar bersama ibu. “Oh kura-kura?” seru pemuda itu ketika Procyon menyembul dari tas Elayna. “Aku meninggalkan saudaranya di pantai,” ujar Elayna sedih. Pemuda itu mengerutkan dahinya bingung. Saudara kura-kura? Pemuda itu kemudian pergi entah ke mana lalu kembali lagi de- ngan sebuah tempurung hijau tua di tangannya. Burung-Burung Kertas 193
“Maksudmu ini?” tanya pemuda itu menunjukkan sesuatu yang tampak seperti batu hijau. Elayna membelalakkan matanya senang. “Sirius! Serius ini Sirius! Terimakasih,” seru Elayna senang. Elayna mengambil kura-kura di tangan pemuda itu dengan senang. “Aku menemukannya di dekat kapal sebelum berangkat. Ta- dinya aku berniat menjualnya, tapi karena itu milikmu, aku akan mengembalikannya,” ujar pemuda itu. Elayna menganggukkan kepalanya mengerti. “Kau tak boleh menjualnya. Sirius, Procyon, dan Orion tidak boleh berpisah,” ujar Elayna sembari memasukkan Sirius ke dalam tas peliharaannya. “Kau bahkan menamai kura-kura dengan nama bintang. Sirius dan Procyon itu adalah anjing, bukan kura-kura,” komentar pe- muda itu. Elayna hanya tersenyum. Di bawah langit malam yang berhiaskan titik-titik berkelip, Elayna tertidur. Ia memikirkan sesuatu. Setelah ini saat ibunya terbangun ia akan meminta maaf. Sekolah baru pasti tidaklah buruk. Rumah baru pasti tidak buruk. Semua yang menurutnya kacau pasti akan baik-baik saja. Dan yang paling penting, Orion, Sirius, dan Procyon telah berkumpul lagi seperti orion, canis major, dan canis minor yang kini menghiasi langit di atas Elayna. *** Elayna melangkahkan kakinya ke dalam kelas baru dengan jantung yang berdegup. Guru-guru medusa, teman-teman nya- muk, pelajaran drakon, dinding-dinding penyebab tryopobhia, apakah mereka ada di sini? “Perkenalkan. Aku Elayna. Aku adalah siswa baru. Salam ke- nal,” ujar Elayna di depan kelas. Elayna melirik ke samping, guru. Tak ada ular-ular di rambutnya, matanya pun tak membuatnya membeku, matanya menunjukkan keramahan. “Yes! Akhirnya aku punya teman sebangku!” seru seorang siswi yang duduk sendirian. Elayna menoleh dan tersenyum. Dia bukan nyamuk yang menghisap darah. 194 Burung-Burung Kertas
“Namaku Putri. Selamat datang di sekolah kita. Selamat da- tang di kelas IX E. Selamat datang di sekolah kita,” bisik teman sebangku Elayna ketika Elayna telah duduk dengan nyaman. Elayna tersenyum dan mengangguk senang. “Terimakasih, aku Elayna. Panggil saja Orion,” balas Elayna. Putri mengernyitkan dahinya, tetapi tersenyum dan mengacung- kan ibu jarinya. *** Di sebuah akuarium, dua kura-kura terdiam berdampingan. Sirius, Procyon, si pendamping pemburu itu telah kembali pada posisi yang benar, mereka bersama-sama. Elayna mengetuk akua- rium itu pelan, lalu Sirius dan Procyon menyembulkan kepalanya pelan seolah bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. “Hey, Sirius! Procyon! Jika aku berkata semua akan baik-baik saja, maka semua akan baik-baik saja. Jika aku berkata semuanya kacau, maka anggap saja aku sedang mengigau,” ujar Elayna sem- bari menempelkan wajahnya ke kaca. Biodata Penulis Ambar Fidianingsih tinggal di Sungapan, Argodadi, Sedayu, Bantul, Yogya- karta, 55752. Saat ini Ambar kuliah di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Hobinya adalah membaca karya fiksi dan membuat desain cover. Jika ingin berkorespondensi dengan Ambar dapat menghubungi: HP 082137334739, email: ambar.fidia @yahoo.com, FB: ambar.fidia, twitter: @Archie Fidia. Burung-Burung Kertas 195
LASKAR DILEM Fajar Wijanarko Geliat mentari tak mampu mengusik rona sang candra. Derap deru angin menggelepar menyambar daun kelapa. Kala malam semakin merasuk dan menusuk, dan pedukuhan masih membisu. Malam bukanlah rantai, dingin angin pun bukanlah gembok yang keduanya mengunci mata untuk tetap terlelap. Keduanya adalah awal dari peluh yang menjadi candu, yang menjejaki mimpi satu demi satu. ***** Mentari pagi belum sempat menampakkan sinarnya, ketika dapur rumahku yang sempit dan penuh sesak telah terdengar kegaduhan. Seperti biasa, ibuku bangun di pangkal pagi, atau bah- kan tengah malam untuk mempersiapkan dagangan yang akan dititipkannya di pasar. Dagangan kue basah yang tidak mewah, tetapi untuk membuatnya membutuhkan waktu lama. Tak jarang semalaman ibuku tidak tidur sama sekali. Namun apa boleh buat, hanya itu yang bisa ibuku lakukan untuk membantu bapakku men- cari nafkah. Apalagi bapakku hanya seorang buruh kasar yang bekerjanya tidak tetap. Terkadang, sebulan bapak tidak bekerja sama sekali, hanya di rumah dan mengurus kebun singkong ke- luarga. Kebun singkong yang tidak cukup lebar, tetapi singkong- nya cukup untuk makan kami sekeluarga. Maka tidaklah jarang singkong menjadi santapan kami untuk menggantikan mewahnya nasi dikala ekonomi benar-benar krisis. Inilah kisahku, kisah bocah singkong yang hidup di Dusun Karangpoh. Terdengar asing dan sadikit menggelitik, tetapi me- mang itulah nama dusun tempat aku tinggal. Dusun yang menjadi 196 Burung-Burung Kertas
anak dari Desa Semin. Desa yang letaknya paling utara dari Ka- bupaten Gunungkidul. Dahulu air adalah barang langka bagi kami, tetapi kini air telah melimpah. Meskipun gubuk reyot dari anyam- an bambu masih tetap menghiasi pedukuhan. Gubuk yang dari celah-celahnya sinar matahari dapat masuk mengintip. Bahkan jalan terjal yang setengah gelap akibat lampu neon yang byar-pet pun masih kerap dijumpai di sini. Beginilah bingkai dari pedukuhan yang sederhana namun tetap nyaman dengan suasana seadanya. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara pasangan Sumi- nem dan Paryanto. Dua nama yang aromanya telah mencerminkan aroma orang desa, tetapi itulah nama ibu dan bapakku. Sedangkan aku bernama Haryanto dan kakakku bernama Priyono. Kami ber- dua masih duduk di bangku sekolah dasar, aku kelas tiga dan kakakku kelas enam. Namun, entah apa yang menjadi sebabnya, kini kakakku tak mau melanjutkan sekolahnya lagi. Bapak sudah membujuk agar mas Pri mau sekolah lagi, tetapi bujukan bapak berbuah mentah. Setiap pagi kegiatannya hanya menyapu halaman dari daun-daun kuning yang mati dan berterbangan. Tak jarang garis-garis goresan sapu lidinya menimbulkan debu dan menyi- sakannya di setiap lebar daun singkong. ***** “Har, tangi mamak diewangi” perintah mamak memotong tidur lelapku ketika subuh saja belum sempat terdengar. “Aku wis tangi mak, tak raup sik” jawabku sekenanya dengan mata yang masih erat menempel dan kaki yang berat dipaksa berjalan menuju arah dapur. Inilah rutinitasku di pangkal pagi, membantu mamak (sebutan untuk ibuku) yang telah lebih dahulu bangun. Bahkan rembulan pun masih jelas bersinar, dan tak jarang pula adzan subuh belum berkumandang. Akan tetapi beginilah keadaannya, setiap hari mamak tidak kenal lelah mengais rejeki untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Rutinitasnya dimulai sejak sore dengan mempersiapkan potongan daun pisang kluthuk dan olahan nasi yang dikaru, dibum- bui santan lengkap oseng tempe sebagai lauknya. Hingga saat pagi buta, dengan sigap olahan nasi tadi di-kepel-nya dengan isian oseng tempe di tengahnya. Kemudian dengan telaten setiap kepelan Burung-Burung Kertas 197
dibungkus dengan daun pisang dan didang hingga matang. Bahkan mamak juga menjual gorengan, mulai dari tahu bacem, tempe bacem, hingga gembus bacem yang semuanya dimasak sendiri. Tak terba- yang bukan kelelahan yang menumpuk dibenaknya. Itulah upaya beliau untuk tetap menyambung biaya sekolahku. Meskipun hanya di sekolah yang sangat biasa, bahkan cenderung buruk menurutku. Tapi tak apa, ilmu dapat dicari dimana pun ketika kita mau untuk mencarinya, dan tentu saja sungguh-sungguh sebagai modalnya. **** “Har, ora turu mengko kecipratan lenga” celetuk mamak ketika mataku mulai rapat menempel akibat kantuk disaat menggoreng tahu bacem. “Ora mak, aku ora turu kok,” sahutku terkaget. Memang, kami adalah orang dusun yang jauh dari peradaban atau kemajuan zaman. Geografislah yang menjadi jarak gemerlapan kota dengan byar-petnya lampu pedukuhan. Maka tak heran ketika bahasa Indonesia pun susah dikuasai ibuku. Di rumah, hanya aku dan kakakku yang bisa berbahasa Indonesia. Bahkan banyak penduduk Dusun Karangpoh yang masih kesulitan menguasainya, terkecuali bagi mereka yang merantau atau mereka yang berpen- didikan. Memang terlihat miris, tetapi inilah potret sungguh dari daerah Gunungkidul. Potret kesatuan dari nusantara yang sesung- guhnya tak benar-benar satu. “Le, wis rampung gorenge? Ndang diwadhahke baskom banjur sholat subuh” perintah mamak kepadaku ketika mengetahui gorengannya hampir selesai. “Iyo mak” sahutku singkat sambil mengerjakan perintah mamak. Selesailah tugas rutin pagiku, saatnya sholat, mandi, dan be- rangkat ke sekolah. Memang aku terbiasa untuk berangkat pukul enam kurang seperempat. Jangan dibayangkan sekolahku seperti sekolahan di kota yang dekat atau sekolahan yang dekat dengan dusun tempat aku tinggal. Sekolahku adalah sekolahan di dusun tetangga yang jarak tempuhnya cukup jauh, terlebih jika ditempuh dengan jalan kaki yang hanya beralaskan sepatu dengan jahitan di pinggirnya yang sudah terlepas dan sedikit sobek. Memang demikian, aku harus ke dusun tetangga untuk menempuh pendi- 198 Burung-Burung Kertas
dikan. Bukan karena tidak diterima di sekolah yang lebih dekat, tetapi ibuku memilih sekolah yang lebih murah. Sekolahku bernama SD Dilem, sekolah yang terletak di Dusun Dilem, dusun setelah Dusun Karangpoh, yang letaknya paling timur dari semua dusun di Desa Semin. Agak sedikit menyayat hati ketika mengetahui kondisi sekolahku. Letaknya berada di dataran tinggi, sehingga butuh tenaga ekstra untuk mendaki ketika akan masuk sekolah. Bahkan kondisinya semakin diperburuk de- ngan jumlah siswanya yang tidak banyak. Dalam satu kelasku saja hanya berisi sembilan siswa. Kondisi mereka pun beraneka ragam. Namun beginilah potret yang harus dijalani, potret masyarakat pinggiran dari pusat pemerintahan. Potrat masyarakat yang adoh ratu, cedhak watu dengan segala keterbatasan untuk tetap meng- gapai asa. ***** “Har, bawa apa kamu pagi ini?” tanya Gadut teman sekelasku. “Biasa, gorengan panas” jawabku sambil menunjukkan da- ganganku. Gadut adalah teman sekelas sekaligus semeja denganku. Ia sering membeli gorengan yang aku bawa, maklum ibunya jarang masak karena pagi-pagi buta harus sudah berjualan di pasar Semin. Sedangkan bapaknya merantau ke Purwokerto untuk mencari pe- kerjaan. “Gorenganmu tidak seperti biasa? Agak sedikit gosong,” tim- pal si Gadut setelah memakan dua buah gorengan yang dia ambil dari baskomku. “Tenane?” jawabku sedikit terkaget “Mungkin karena semalam aku sedikit mengantuk saat meng- gorengnya,” timpalku kembali untuk membela diri sebelum Gadut berbicara lagi. Terdengar aneh bukan? Memang demikian percakapan kami ketika dilakukan dengan bahasa Indonesia. Bahasa yang sedikit asing ditelinga para sesepuh dusun. Terlebih lagi bagi mereka yang tidak sempat merasakan bangku pendidikan. Maka tak jarang ke- tika dalam bercakap-cakap terdapat alih kode dalam bahasa yang digunakan. Mulanya bahasa Indonesia, seiring pembicaraan ber- Burung-Burung Kertas 199
langsung berubah menjadi bahasa Jawa. Tetapi memang beginilah adanya, potret masyarakat yang butuh untuk dimaklumi. Terma- suk pula kami yang berada di dalamnya. ***** Suatu ketika, ujian kelulusan sudah berada di depan mata. Aku sebagai siswa rantau dari dusun seberang tak mau kalah dengan siswa pribumi. Ibuku pun demikian, sehingga beliau me- relakan aku untuk belajar tanpa membantu pekerjaannya sedikit pun. Pengorbanan ibu pun tak ku sia-siakan. Setiap pangkal pagi aku bangun untuk mengulang pelajaran yang ku peroleh di kelas tadi. Hingga pada suatu pagi buta terdengar suara batuk yang cukup sering. Tak lain, suara itu bersumber dari suara batuk ibu yang semakin hari semakin memburuk. Maklum, ibu belum memi- liki kompor gas, kami hanya menggunakan kompor minyak dan kayu bakar untuk memasak. Jadi bukan menjadi sesuatu hal yang mengherankan ketika asap menjadi konsumsi ibu setiap hari. Na- mun, batuk pagi ini sangat berbeda, suaranya terdengar berat. Aku mulai khawatir dengan kondisi ibu. “Mak, mamak rapapa?” tanyaku dengan nada khawatir. “Rapapa Har, diteruske wae sinaune!” jawab mamak sembari me- merintahku untuk melanjutkan belajar. Yah, ibu tahu kalau hari ini adalah hari ujian terakhirku. Aku yakin, ibu tidak ingin merusak waktu belajarku dengan merisaukan keadaannya. Setiap ia batuk, ditenggaknya segelas teh tubruk pahit dan kental yang sudah agak menghitam akibat terlalu lama diren- dam air panas. Tapi, bagaimana pun juga aku tetap khawatir. Wa- laupun demikian, semangat ibu lah yang senantiasa menjadi se- mangatku untuk terus maju. Meskipun, terkadang aku tak habis pikir, apa yang ada dibenaknya ketika kelelahan mendera dan rasa sakit menghampiri. ***** Selang satu bulan, waktu pengumuman hasil ujian pun datang juga. Aku tak sabar melihat bagaimana hasil kerja kerasku. Hingga pada Senin pagi ada seorang guru datang ke gubuk bambu reyot kami, gubuk yang menjadi tempat tinggal aku dan keluarga. Beliau ternyata Pak Wahono, kepala sekolah SD Dilem. Dengan sepucuk 200 Burung-Burung Kertas
surat digenggaman, beliau memberikannya padaku. Waktu itu, bapak dan mamak masih di pasar. Aku hanya tinggal berdua di rumah dengan kakakku. Kami berdua hanya terheran-heran men- dapat surat tersebut. Karena tak menjumpai bapak ataupun mamak, Pak Wahono pun bergegas beranjak dari rumah kami setelah me- mastikan surat tersebut kuterima. Belum sempat kubuka surat itu, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Aku tidak ingin terlambat dihari yang pen- ting ini. Hari pengumuman kelulusan SD Dilem. Sesaat sebelum berangkat, ibuku pulang dengan raut wajah yang pucat. Tak kulihat bapak mendampingi ibu. Aku pun tak banyak berpikir, yang ada dibenakku mungkin ibu kecapaian, sehingga hanya butuh istirahat. Karena dengan istirahat cukup aku yakin nantinya ibu akan segar kembali. “Mak, aku pamit. Aku kesusu budhal sekolah, wis kawanen,” pamitku kepada ibuku yang baru saja pulang dari pasar. “Ngati-ati Har, surate Pak Wahono mau apa isine?” tanya ibu kepa- daku sebelum aku berangkat sekolah. “Durung tak buka, mak. Mengko mulih sekolah tak wacakke,” jawab- ku kepada ibu sambil berlari menuju sekolah karena takut ter- lambat. Ternyata sewaktu pulang dari pasar ibu berpapasan dengan Pak Wahono, sehingga beliau tahu kalau aku mendapat surat dari sekolah. Seakan mengacuhkan ibu, dengan tergesa-gesa aku berlari menuju sekolahan tanpa sempat membacakan isi surat itu un- tuknya. Sampai di sekolah, kulihat, semua murid sudah berkumpul, berbaris di lapangan. Terlihat pula, barisan kelas enam berada di paling barat dengan siswa yang hanya berjumlah sembilan. Setelah melihat posisi barisan kelasku, lekas kubergabung tanpa meletak- kan tasku terlebih dahulu di kelas. Aku berdiri di barisan paling belakang. Terdengar sayup-sayup Pak Wahono memanggil nama- ku dan memintaku untuk maju di tengah lapangan. Tak tahu apa yang dikehendakinya, aku pun hanya dapat menurut dan berjalan menuju tengah lapangan. Burung-Burung Kertas 201
“Sudahkah kau buka surat dari bapak tadi, Har?” tanya Pak Wahono dibantu dengan pengeras suara karena pada saat itu se- dang dalam kondisi upacara bendera. “Belum, Pak,” jawabku dengan sedikit malu dan wajah yang tertunduk. Dengan segera Pak Wahono membetulkan posisi mikrofon yang dirasanya kurang tinggi dan mengumumkan kepada seluruh siswa isi surat yang kuterima tadi pagi. Mendadak aku kaget. Sontak aku tak dapat berkata-kata. Bahkan seluruh warga sekolah pun terheran-heran. Tak kusangka isi surat tersebut menjelaskan bahwa aku menjadi lulusan terbaik dari SD Dilem. Bahkan terdapat kalimat tambahan yang menjelaskan bahwa aku juga menjadi lu- lusan terbaik, siswa tingkat sekolah dasar se-Gunungkidul. Sung- guh mengejutkan, tetapi ini hal yang nyata. Kulihat senyum simpul tersungging dari seluruh siswa dan guru, serta karyawan SD Di- lem. Gemuruh tepuk tangan pun menghujani. Ucapan selamat pun tak henti-hentinya ku terima. Kulihat seluruh rona ceria dan bangga terlukis di wajah bapak ibu guru. Aku yakin, di dalam hati mereka aku adalah siswa yang dapat dibanggakan. Tak selang beberapa lama setelah pengumuman tersebut, ku- lihat di pintu gerbang bapakku datang. Beliau terlihat tersengal- sengal, seperti orang yang baru saja berlari menempuh jarak yang jauh. Segera kuberlari menghapiri bapak. Demikian pula Pak Wa- hono yang ikut berlari setelah melihatku berlari. “Pak, ana apa?” tanyaku gugup dengan suara bergetar dan sedikit khawatir. “Har, kowe isa mulih saiki ra?” tanya bapak kepadaku. “Ana apa, Pak?” jawabku sekenanya dengan nada yang benar- benar panik. “Mamak pengen ketemu kowe saiki,” jawab bapakku singkat, tetapi cukup mengisyaratkan sesuatu hal buruk sedang terjadi. Tak kupikir panjang. Segera kuturuni bukit sekolah yang terjal dengan berlari. Tak peduli setinggi apa, aku tetap berlari. Bahkan rasa lelah pun bukan menjadi penghalang untukku dapat berjumpa dengan ibu segera. Namun apa daya, kakiku mendadak lemas. 202 Burung-Burung Kertas
Peluh yang membasahi sekujur tubuhku pun seakan melepaskan seluruh tulang ini dari kulitnya. Dengan napas yang tersengal- sengal, aku berjalan menuju rumah yang sudah dikerumuni banyak orang. Bendera kuning pun sudah dikibarkan. Kulihat, di tengah rumah, sudah terbaring kaku mamak dengan kain putih yang me- nyelimutinya. Tak kusangka, permohonan izin tadi pagi menjadi pamitan terakhirku kepada ibuku. Bahkan bodohnya, mengapa su- rat dari Pak Wahono tidak aku tinggal di rumah saja, tetapi justru aku bawa ke sekolah, padahal ketika kutinggal surat tersebut, Mas Pri pasti bisa membacakannya untuk ibu. Otakku seketika itu beku. Pikiran dan mulut terkunci. Badanku lunglai, langkah gontai, dan jatuh di depan jenazah mamak dengan disertai air mata yang terus mengalir. Napas yang awalnya terse- ngal-sengal akibat kelelahan berlari, berubah sesegukan karena tak sanggup menerima kenyataan ini. Seratus delapan puluh dera- jat, saat ini berada di depan mata. Sungguh, seharusnya hari ini menjadi hari yang benar-benar bulat, tetapi runtuh seketika. Tak dapat kuterima, bahwa bulat tak berarti utuh. Biodata Penulis Fajar Wijanarko tinggal di Timuran Mg III/09, RT 01, RW 01, Yogyakarta. Saat ini Fajar kuliah di Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah menari dan menulis. Moto hidupnya adalah “Berlarilah ketika orang lain berjalan”. Jika ingin berkorespondensi dengan Fajar dapat menghubungi: HP 08975802008, email: [email protected], FB: Fajar Widjanarko, twitter: @widjanarkof. Burung-Burung Kertas 203
KABAR KEMATIAN Arlina Hapsari Tangan yang gemetaran menari-nari di atas kertas putih. Me- nuliskan huruf demi huruf. Merangkai kata menjadi kalimat. Menyusun paragraf demi paragraf yang mengharu biru. Tertuang- lah sebuah curahan hati yang ditetesi berbutir-butir air mata. Seke- lebatan ingatan mimpi yang timbul-tenggelam terangkai jelas dalam tulisan. Mimpi yang mencekam, mencekik, dan menusuk hingga ke rusuk. Mimpi yang membuat Sari membenamkan kepa- lanya pada lembaran-lembaran buku hariannya, dan menangis. Menangis sekencang-kencang yang dapat dilakukannya di tengah malam yang temaram. Sari, gadis delapan belas tahun itu, memang istimewa. Bukan karena ia keturunan ningrat atau karena ia sangat pandai, melain- kan karena ia memiliki kemampuan mengetahui datangnya ajal seseorang. Melalui mimpinya, ia dapat mengetahui kapan teman atau keluarga dekatnya akan menemui ajalnya. Dalam mimpinya itu, ia didatangi seseorang berjubah putih yang bersuara berat. Sari menangkapnya sebagai suara seorang laki-laki dewasa. Pria bersuara berat nun syahdu itulah yang menyampaikan kepada Sari tentang datangnya kematian. Keistimewaan itu datang pada Sari tepat di malam ulang tahun- nya yang kedelapan belas, satu bulan lalu. Malam itu malam Jumat Kliwon. Bunga-bunga mimpi yang halus membawanya terbang ke taman yang indah, entah taman apa. Rumput-rumputnya hijau, burung-burung berkicauan merdu, dan angin yang berhembus se- poi-sepoi membawa bau menyan yang begitu menusuk. Dari bela- kang, ia dikagetkan oleh sesosok tinggi besar berjubah putih. Ju- 204 Burung-Burung Kertas
bahnya begitu besar hingga Sari tak dapat menerka bentuk tubuh ataupun lekuk rupanya. Hanya telapak tangan dengan jari-jemari yang ramping dan kuku yang panjang saja yang nampak. Kontan Sari ingin berteriak, tapi suaranya tak dapat keluar. Di alam itu pita suaranya seolah telah hilang dimakan angin. Dan kaki yang ingin berayun kencang meninggalkan tempatnya berpijak tak ingin bergerak meski rasa takut menjadi motor penggerak yang kuat. Diam. Stagnan. Seperti dilem dengan perekat yang maha lengket. Membiarkan keinginan kuatnya untuk berlari menjadi basi diitari lalat dan digerogoti belatung. Sang pria kemudian berucap, mengabarkan kematian yang akan menimpa bibi Sari yang berada di Sulawesi. Setelah kabar itu selesai diucapkan, sang pria berjalan membelakangi Sari. Pergi menjauh entah ke mana dengan membawa kitab yang begitu tebal di tangan kirinya. Dua detik kemudian pria itu benar-benar meng- hilang dari pandangan mata Sari. Hilang diterbangkan angin di- ngin yang berhembus dengan kencangnya. Saripun terbangun dari tidurnya yang panjang. Tidak seperti mimpi-mimpi sebelumnya yang begitu mudahnya dilupakan oleh Sari begitu ia terbangun, mimpi bertemu sang pria misterius dan suara pesan yang disampai- kan kepadanya itu masih saja terngiang-ngiang di kepalanya. Sari mencoba untuk tenang. Ia tak ingin percaya pada mimpi. Mimpi adalah omong kosong belaka. Dua hari kemudian, sampailah kabar ke telinga Sari bahwa bibinya yang tinggal di Sulawesi meninggal dunia. Kata-kata sang pria yang berusaha keras ia lupakan terngiang kembali, terngiang dengan jelas seperti baru saja ia dengarkan, tetapi Sari tetap bersi- kukuh bahwa ini adalah kebetulan. Kebetulan semata yang tak berarti apa-apa. Tiga bulan kemudian, sang pria berjubah putih menyambangi mimpi Sari lagi. Ia kembali mewartakan bahwa sahabat karib Sari akan meninggal. Dan, apa yang dikatakan oleh sang pria benar terjadi. Empat hari kemudian, persis seperti apa yang dikatakan oleh pria bunga mimpi, sahabat karib Sari me- ninggal. Sari menangis, menjerit sekuat-kuatnya. Bukan hanya kare- na kehilangan sahabat karibnya, tetapi terlebih karena ia takut, sangat takut pada mimpinya. Mimpi yang meminta nyawa sebagai Burung-Burung Kertas 205
tumbalnya. Mimpi yang haus darah manusia. Mimpi yang seperti drakula. Tidur. Aktivitas itu kini menjadi aktivitas yang paling ditakuti Sari. Ia ingin tidak tidur, tapi ia manusia normal yang dapat merasa ngantuk. Sekeras apapun ia mencoba, bahkan dengan meminum bergelas-gelas kopi hitam panas yang kental seperti bubur sekali- pun, rasa lelah yang mengundang kantuk luar biasa itu tak dapat ditahan. Dan, badannyapun akan ambruk. Tergeletak di kasurnya yang empuk. Sejenak iapun istirahat dengan keterpaksaan, melepas lelah yang telah lapuk menumpuk. Ketika mentari pagi memba- ngunkannya, tubuhnya gemetaran. Beberapa tetes air mata akan mengalir membasahi pipinya. Tak lama kemudian, bibir tipisnya pun akan bergumam menyenandungkan rasa syukur karena tak bertemu dengan si pria berjubah putih. Semoga besok-besokpun demikian. Semoga pria itu tak datang lagi padanya. Begitulah ha- rapan yang selalu ia nyanyikan melalui bibirnya yang kering dan pucat. Sudah dua bulan mimpi terkutuk itu tak datang pada Sari. Ia sangat bersyukur karenanya meskipun setiap akan tidur ia selalu merasa ketakutan, dan kalau ia bisa memilih, ia rela menjadi ma- nusia abnormal yang tidak pernah tidur di sepanjang hidupnya. Menginjak dua hari lebihnya dari dua bulan, tak terduga pria itu datang. Dari kejauhan sosoknya yang kecil membesar, membesar, dan sosoknya menjadi jelas di depan mata Sari. Ia berdiri di hadap- an Sari tanpa rasa bersalah, tanpa muka yang seharusnya dipenuhi dengan dosa. Ia duduk di kursi coklat tepat di hadapan Sari. Entah sejak kapan dan dari mana kursi itu berasal. Tak langsung meng- ucap sepatah kata, pria itu membuka kitab yang selalu ia tenteng di tangan kirinya. Ia menulis, entah menuliskan apa, dengan bulu ayam yang juga entah ia dapatkan dari mana. Lama, lama sekali rasanya ia menulis seperti tak menyadari bahwa ada yang tengah menunggunya. Ia menuliskan sesuatu yang sangat panjang dan rumit dalam kitabnya yang tak bisa dibilang sekelumit. Siapa pria itu? Kitab apa yang ada di genggaman tangannya itu? Mungkinkah itu kitab garis hidup Sari? Ada gejolak rasa ingin tahu yang dalam pada diri Sari. Ingin rasanya ia merebut kitab itu dan membacanya. 206 Burung-Burung Kertas
Tapi, tak mungkin. Pria itu adalah pria yang sakti, dan kalaupun ia bersedia bernegosiasi untuk memberikan kitab itu pada Sari, ia pasti akan meminta imbalan yang besar. Kemungkinan ia akan meminta hal yang sama seperti yang diminta Batara Guru kepada Batara Kresna ketika Batara Kresna meminta Jitapsara, Kembang Wijayakusuma. Sari mengumpat dalam kebisuannya. Jelas kentara ia tak mungkin mendapatkan kembang ajaib itu. Setelah sekian lama beradu dengan pena dan setumpuk jilidan kertas putih, pria berjubah putih itu mengakhiri kesibukannya. Dengan suara yang tenang iapun mulai mengeluarkan suaranya. Suara yang sama sekali tidak ingin Sari dengar. Tapi serapat-ra- patnya Sari menutup daun telinganya, suara yang membawa warta kematian itu akan tetap terdengar dengan jernih dan jelas seperti tak terhalang suatu apapun. Ketika apa yang diwartakan oleh si pria berjubah putih itu benar terjadi, bulu kuduk Sari sontak berdiri. Ia ingin menerima- nya sebagai suatu kebetulan belaka tapi, apakah ini masih dapat disebut sebagai kebetulan? Sesuatu yang dengan jelas ia ketahui dan tanpa meleset sedikitpun benar terjadi? Ia menutup telinga dan memejamkan mata dengan rapat. Ia melawan kenyataan itu. Sekuat tenaga, ia menyangkal segalanya. Kabar kematian itu baru ia dengar dari tetangganya pagi ini, bukan tiga hari yang lalu. Ia menusukkan semua kenyataan palsu itu pada ingatannya, tapi ingatannya melawan, menusuk balik pada kesadarannya. Saripun terjatuh di pekarangan depan rumahnya. Kesadarannya melayang. Pingsan. “Sar, Sari,” suara panggilan yang disertai dengan bau minyak kayu putih yang menyengat membuka kedua kelopak mata Sari. Di sekelilingnya ia dapati para tetangga yang semua pandangannya terarah padanya. Mereka menatap dengan cemas, tapi Sari me- nangkapnya sebagai mimik wajah yang meminta jawaban yang jawabnya mengerikan. Pertanyaan-pertanyaan “Sari, kamu kena- pa?” dalam liang-liang pendengaran Sari diterjemahkan menjadi “Sari, apa waktuku tiba?” Seorang ibu berambut putih di yang duduk di samping tempat tidur Sari ikut mengajukan pertanyaan, “Sari, sudah merasa baik- Burung-Burung Kertas 207
an?” tapi Sari mendengarnya sebagai “Sari, apakah waktu tiba sekarang?” Napas Sari tersengkal-sengkal merasakan ketakutan luar biasa yang menjalari seluruh tubuhnya. Keringat dingin pun menetes tiada henti. Dan jantung, ikut berdetak dengan kencang seolah tak ingin kalah aksi. Sari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, dan dengan teriakannya yang keras, ia meng- usir semua tetangga yang menolongnya. Memaki-maki mereka dengan kata-kata yang Sari sendiripun tak tahu apa. “Sar, Sari, kamu kenapa, Nak?” seorang wanita tengah baya yang berlinangan air mata tetap tinggal. Ia tak sampai hati mening- galkan putrinya seorang diri menghadapi kekacauan dan ketakutan batin yang entah dari mana asalnya itu. “Pergi. Jangan tanya. Jangan bertanya kepadaku!” teriak Sari seraya menangis dan menuding-nudingkan telunjuknya tepat di depan mata wanita yang telah membesarkannya. Sang ibu menangis sejadi-jadinya di samping Sari yang terus- menerus berteriak. Memandang putrinya yang akhir-akhir ini mu- lai berperilaku aneh membuat hatinya tercabik-cabik. Putri semata wayangnya itu kerap murung, berbicara seorang diri, dan jarang tidur. Kesehatannyapun menurun drastis. Sari kerap demam dan badannya yang gemuk menjadi kurus kering. Yang paling menya- kitkan, Sari tak lagi memanggil dirinya dengan sebutan ibu. Sari seakan lupa bahwa wanita berlesung pipi itu adalah orang yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dan membesarkan- nya hingga saat ini. Masih beruntunglah Kunti Talibrata yang tetap diakui ibu, dicintai, dan dihormati oleh Adipati Karna meski ia tak pernah mengasuh dan membesarkannya. Satu minggu kemudian pria berjubah putih kembali datang. Di mata Sari, jubah putih itu tak lagi berwarna putih bersih yang berkilauan, melainkan telah berubah warna menjadi merah mem- bara laksana iblis yang licik dan jahat. Suasana sekitar yang tadinya terasa sejuk, setelah kedatangan tamu mengerikan itu, kini menjadi panas luar biasa. Mendidih Sari dibuatnya, tapi pria itu tak mau ambil pusing. Setelah membuka sejenak kitab coklat tuanya, ia pun langsung menyampaikannya kepada Sari kabar kematian yang seperti biasa kontan membuat Sari terbangun dari tidurnya. 208 Burung-Burung Kertas
Kini ketika mata Sari mulai terbuka, ruang gelap yang pengap dengan suara tangisan yang menyayat hatilah yang menyambut- nya. Dengan tangannya, ia ingin mendorong tubuh wanita tua yang jeritan tangisnya seperti raungan serigala, tapi ia tak sanggup karena kedua tangannya diborgol dengan besi. Ia ingin menen- dang wanita tua itu agar tidak dekat-dekat dengannya, tapi ia tak sanggup karena kakinya diikat dengan rotan. Sari meraung- raung ingin melepaskan semua ikatan yang melilitnya. Ingin memu- kuli siapa saja yang ada di sekitarnya, tapi ia tak sanggup. Ia hanya mampu meronta dan meronta. Menyakiti dirinya sendiri, dan juga sang ibu yang selalu setia merawatnya. Malam yang gelap, bintang yang gemerlap, dan bulan yang bopeng hanya mempu menemani dan menyaksikan. Mereka tak ingin melakukan hal yang lebih dari itu. Dan mimpi yang menye- ramkan dengan pria berjubah putih tetap hadir di kala ia harus menyampaikan kabar kematian. Ia tak peduli betapa kedua wanita itu sangat menderita karenanya. Datang dan terus datang karena kematian pasti akan datang kepada setiap mereka yang hidup, dan esok petang pria berjubah putih akan membawakan warta yang penting, tentang kabar kematian sang Ibu... Biodata Penulis Arlina Hapsari tinggal di Jalan Ringroad Utara, Gandok, Condongcatur No.10, Depok, Sleman, Yogyakarta. Saat ini Arlina kuliah di Jurusan Akuntasi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah membaca, menulis, bercerita. Jika ingin berkorespondensi dengan Arlina dapat menghubungi: HP 085640635505, 0274-540545, email: [email protected], [email protected]. Burung-Burung Kertas 209
CERITA BAHAGIA SELEPAS HUJAN Suci Nurani Wulandari Pada suatu ketika, keindahan setelah hujan selalu menjadi ce- rita bahagia bagi yang percaya. Mengenai bianglala yang memiliki berbagai warna atau tanah basah penyubur pohon pepaya di depan rumah. Aku adalah salah satu yang percaya, namun bukan lagi tentang bianglala atau tanah basah. Hujan baru saja berhenti, lalu cerita bahagia mengalir bersama dengan ketabahan yang dipupuk cukup lama, darimu. Cerita itu, kini akan aku kisahkan kepada para pemberani yang hampir me- nyerah. Sambil minum kopi atau mungkin teh, di sisi kaca jendela yang masih berbekas bulir-bulir air hujan. *** Tawa kami menggema di sepanjang lorong. Betapa hidup te- rasa sangat menyenangkan ketika banyak hal bisa dijadikan lelucon dan ditertawakan bersama-sama. Banyak hal itu, apa saja, asal kesedihan hati tidak terasa terlalu dalam. Juga supaya awet muda, kata orang, maka banyak-banyaklah tertawa. Namun, banyak hal bukan berarti semua hal. Ada juga yang pantang untuk ditertawakan. Bencana alam adalah salah satu yang masuk di daftar teratas. Orang-orang tolol menjadikan bencana sebagai lelucon. Bencana yang bahkan hanya mereka tonton dari televisi atau internet. “Ada temanku yang cerita begini. Dia lari-lari keluar rumah tanpa baju ketika gempa. Tanpa baju sama sekali. Coba bayangkan! Kalau lihat secara langsung pasti aku ketawanya bisa sampai se- harian. Hahahaha,” ujar seorang teman dari Bandung suatu hari. 210 Burung-Burung Kertas
Semua yang kebetulan ada di situ tertawa serempak kecuali aku. Mereka tidak menyadari bahwa aku tidak ikut tertawa dan mukaku berubah pucat. Aku menundukkan kepala hingga ada yang menanyakan keadaanku. “Kamu sakit?” Aku menggeleng. Sesaat kemudian aku mengangkat kepala sambil menunjukkan mata merah menahan tangis juga marah. Semua yang awalnya tertawa tiba-tiba diam, kebingungan. “Kalian tidak akan bisa tertawa seperti tadi kalau Mei 2006 kemarin kalian ada di sini. Kalau saja kalian tahu rasanya kehi- langan hampir separuh keluarga kalian hanya dalam hitungan me- nit, kalian pasti tidak akan bisa tertawa seperti tadi,” kataku geme- taran sambil tetap menahan tangis. Mereka meminta maaf. Aku hanya mengangguk sambil per- misi pulang karena teringat pesanmu bahwa sebaik-baiknya pene- rimaan adalah menyimpan kesedihan agar tidak tertular ke orang lain. Biarlah kesedihan tentang kehilanganmu menetap sebagai pengingat ketika aku tertawa terlalu keras. Agar kebahagian yang tercipta tidak tumpah-tumpah lalu menjadikan sedih bagi orang lain. Sebab, sesuatu yang berlebihan tidak pernah baik. *** Hujan. Aku pernah berpikir bahwa kemungkinan adalah lelucon fa- vorit Tuhan. Ia seringkali menjebak hamba-hambanya, entah yang taat atau yang tidak, ke dalam lubang laknat kemungkinan. Mung- kin hujan akan berhenti hari ini, mungkin juga tidak. Mungkin aku akan lulus tahun depan, mungkin juga tidak. Hari itu, kemung- kinan milikmu adalah sembuh atau tidak. “Hujannya deras.” Aku yang sedang asyik membaca majalah menengok ke arah- mu. Kamu sedang memperhatikan hujan melalui kaca jendela. Aku kembali fokus pada bacaanku. “Dek, cuma kamu yang bisa membantuku meyakinkan Bapak sama Ibu. Tolonglah. Hanya sekali ini aku minta padamu. Aku tidak akan hidup lama. Sebentar lagi…” Burung-Burung Kertas 211
Ucapanmu tidak selesai karena terkejut mendengar majalah yang sedari tadi kupegang dibanting ke lantai. “Bisa berhenti bicara soal kematian? Tuhan yang lebih tahu,” kataku dingin. Kamu menghela napas panjang lalu kembali menatap hujan melaui kaca jendela. “Cuma ini yang aku minta. Sungguh.” Aku menggigit bibir kuat-kuat supaya tidak berteriak keras di hadapanmu. Ada banyak sekali kata yang tidak pernah tersam- paikan. Bukan karena tidak mampu, tapi tidak mau. Aku juga begitu ketakutan terhadap kemungkinan yang ada. Mungkin saja kamu sembuh, mungkin saja kamu mati. Mungkin saja kamu tetap hidup tapi terus menerus sakit. Mungkin saja kamu sembuh. Mungkin saja… *** Masih pagi. Langit bahkan tidak menunjukkan raut muram sama sekali. Mendadak seluruh perangkat komunikasi yang ada sulit digunakan. Kepanikan berubah wujud mirip gelombang bunyi sehingga bisa merambat melalui udara, air, batu, pohon, dan apa saja. Situasi tidak tekendali. Banyak manusia yang memperlihatkan wujud aslinya sebagai binatang. Memanfaatkan keadaan yang ada untuk mencuri, mengintimidasi, bahkan menyingkirkan sesa- manya. Informasi muncul mendadak dan serempak. Dari sisi selatan ada tsunami yang sedang datang. Dari arah utara ada Gunung Merapi yang siap meletus hebat. Semua orang berlarian ke berbagai arah menyelamatkan diri sendiri. Beberapa jam kemudian, keadaan sudah sedikit lebih tenang meskipun kami masih gelisah. Doa bersama digelar mendadak. Sore tiba meski terasa lebih lama dari biasanya. Bantuan tenaga medis, tenda, makanan, dan pakaian bersih telah datang. Melalui para sukarelawan inilah kami tahu bahwa pagi tadi ada gempa berkekuatan 5,9 skala Richter melanda kota ini. Yogyakarta dan kabupaten lain retak, kecuali Bantul. Kabupaten itu hancur, hampir seluruh rumah rata dengan tanah. 212 Burung-Burung Kertas
Dari informasi inilah kepanikan kembali muncul meski hanya pada kami. Sejak seminggu yang lalu, kamu berada di Bantul bersa- ma beberapa saudara lain yang seumuran denganmu. Kalian meng- inap di rumah eyang. Hingga berjam-jam kemudian, hidup seolah hanya berisi kecemasan. Tetap tak ada kabar. Alat komunikasi belum bisa digunakan. Akhirnya bapak nekat menyusul ke rumah eyang. “Mbakmu selamat, tapi cuma dia yang selamat dari rumah eyang,” kata bapak ketika pulang ke tenda pengungsian hampir tengah malam. Ibu yang sedari tadi menangis kini memelukku sambil gemetaran. Aku mengucap syukur. Pada hari itu, semua orang mengira bahwa kamu selamat. Sayangnya, maut lebih lihai daripada akal manusia. Dia tidak bisa ditebak apalagi diperkirakan. Lalu, maut menyusup melalui ketidaksiagaan pertolongan pertama. Maut mengincarmu secara saksama. *** Mei berlalu. Sisa-sisa ketakutan dan keterkejutan akan gun- cangan gempa masih menghinggapi warga Yogyakarta. Namun, hidup harus tetap berjalan. Kamu yang selamat dari reruntuhan bangunan memasuki masa gelap. Gelap gulita. “Nanti HD jam 3 kamu yang anter ya, Dek,” katamu. Aku mengangguk. Biasanya juga selalu aku yang mengantar- mu, tapi kamu masih saja meminta seolah aku tidak mau melaku- kannya. Sudah hampir tiga bulan kamu dinyatakan menderita ga- gal ginjal. Hampir mustahil diterima akal terutama bagi kami yang kurang mengerti medis. Dokter sudah menjelaskan panjang lebar namun masih terasa sulit diterima. Menurut dokter, kamu mengalami gagal ginjal. Korban rerun- tuhan bangunan atau tanah yang selamat berisiko tinggi terhadap komplikasi, terutama gagal ginjal. “Risiko semakin tinggi karena pertolongan pertama salah,” papar dokter. Seharusnya, kamu men- dapatkan cairan NaCl khusus sebelum reruntuhan diangkat. Bah- kan, cairan yang entah seperti apa itu wujudnya, harus diberikan banyak-banyak hingga dirasa cukup. Burung-Burung Kertas 213
Kamu mendengarkan penjelasan dokter yang cukup rumit de- ngan memasang wajah datar, bahkan seperti tidak mendengarkan. Malamnya, aku menangis diam-diam di kamar. Betapa hidup begi- tu rumit dan terasa tidak adil. Bebanmu sungguh terlalu berat. Setelah itu, kamu mulai melakukan hemodialisa atau yang se- ring disebut HD secara rutin. Awalnya sebulan sekali, lalu dua minggu sekali. Pada bulan ketiga, hemodialisa berjalan seminggu sekali di awal, hingga akhirnya seminggu dua kali. Meski begitu, kamu tidak terlihat terpuruk. Agak aneh memang. “Pulangnya mampir toko buku, ya,” katamu membuyarkan lamunanku. “Siap. Asal jangan lama-lama,” ujarku. Kamu pernah berkata bahwa kamu masuk ke dalam kege- lapan. Tidak mati, namun untuk sekadar hidup saja harus berusaha keras. Semenjak itu, seluruh waktumu seperti terbagi menjadi dua. Beribadah dan membaca. “Kamu takut?” tanyaku. Kamu balik bertanya, “Takut apa?” “Gelap.” Kamu menggeleng sambil tersenyum. “Kenapa tanya begitu?” Aku mengangkat bahu sambil mengerutkan kening. “Entah, cuma penasaran. Tenang saja, pasti kegelapan yang kamu sebut- sebut itu bisa digantikan cahaya terang asal kamu percaya. Hehe,” aku terkekeh sendiri karena ucapanku. “Kamu tahu kenapa aku rajin membaca dan beribadah setiap hari?” Aku menggeleng. “Coba tebak,” katamu. “Mmmm.. supaya ada cahaya terang dalam kegelapan melalui iman dan pengetahuan?” jawabku sok pintar. Kamu tertawa cukup keras sambil mencubit lenganku. “Bukan. Jawabanmu mengerikan sekali. Aku rajin beribadah agar terbiasa dalam gelap. Dulu kan sudah biasa di tempat terang penuh cahaya, sekarang mau mencoba bertahan di tempat gelap. Jadi, kalau kamu tiba-tiba kehilangan cahaya, tidak perlu panik. Ada aku. Aku akan membimbingku dalam gelap. Hehe,” jelasmu panjang lebar. 214 Burung-Burung Kertas
Ganti aku yang mencubit lenganmu. Jawaban yang kamu beri- kan tidak kalah aneh dari milikku. “Kamu tahu etiolasi?” tanyamu. Aku menggeleng sambil curiga. “Etiolasi itu pertumbuhan tumbuhan yang sangat cepat di tempat gelap. Namun, pertumbuhan batang juga daunnya kurang kokoh. Kondisi tumbuhan yang mengalami etiolasi sangatlah le- mah. Aku seperti mengalami etiolasi dalam hidupku. Tumbuh cepat dalam gelap. Namun aku kokoh dan kuat karena ada kamu, Bapak, dan Ibu yang selalu ada,” jelasmu. Hampir saja aku menangis karena terharu. Benar, kamu meng- alami etiolasi. Lebih luar biasa lagi, kamu mampu memisahkan proses yang tidak diperlukan sehingga tidak tumbuh lemah mau- pun kurang kokoh. “Eh, lalu kenapa rajin sekali membaca buku? Etiolasi juga?” tanyaku memecah hening. “Bukan. Hanya sedang berkeliling dunia dengan cara murah dan mudah. Hehe.” *** Kamis minggu kedua bulan Maret. Berbahagialah. Keinginanmu terpenuhi. Aku sudah membujuk Bapak dan Ibu memenuhi keinginanmu. Meskipun mereka selalu menolak, tapi pada akhirnya apa yang sungguh-sungguh kamu inginkan terwujud. Hari ini, aku menemui banyak sekali pejuang-pejuang seperti- mu. Lalu aku menceritakan kisahmu sebagai salah satu kampanye pada Hari Ginjal Sedunia. Kisahmu, kisah yang dulu kamu cerita- kan padaku, lalu kuceritakan pada bapak dan ibu. Keluarga penerima donor organmu sering mengunjungi kami. Bahkan, banyak yang ikut kampanye Keep Healthy Kidney dan men- jadi donator. Laki-laki yang menerima korneamu kini menjadi ke- kasihku. Sungguh, tidak ada yang sia-sia. Keinginanmu terpenuhi. Jadi, berbahagialah. *** Burung-Burung Kertas 215
Hujan baru saja berhenti. Kamu sudah pergi. Namun, cerita bahagia setelahnya baru akan dimulai. Semangatmu untuk ber- manfaat bagi yang lain seperti energi. Kekal. Tak bisa dihilangkan. Meski bisa ditambah atau dikurangi, energi harus muncul di tempat lain dengan daya yang sama meskipun berbeda bentuk. Energi tidak bisa dihilangkan, sama dengan semangatmu untuk berman- faat bagi yang lain. Kekal. “Kenapa kamu begitu ngotot ingin mendonorkan semua organmu yang masih bisa difungsikan? Yakin mau didonorkan semua setelah mati? Kornea, hati, jantung, sendi? Astaga.” Kamu mencubit bahuku seperti biasa. “Kamu tahu kan kalau aku suka hujan?” kamu tidak menjawab pertanyaanku dan malah menanyakan pertanyaan lain. “Ya. Sangat suka. Jawab pertanyaanku!” pintaku sedikit me- maksa. “Tapi aku lebih suka ketika hujan berhenti. Sesudahnya muncul banyak sekali laron. Mereka muncul dari sarangnya, lalu terbang mengerubungi cahaya demi bertahan hidup. Biasanya, laron-laron yang terbang dimakan burung atau ditangkap manusia untuk digoreng. Begitulah cara mereka bermanfaat bagi yang lain,” ujarmu panjang lebar. “Tapi mereka tetap mempertahankan diri supaya tidak di- mangsa. Semua makhluk hidup begitu. Hei, jawab pertanyaanku!” kataku galak. Kamu tersenyum. “Salah. Laron tidak mempertahankan diri. Setelah keluar dari sarangnya mereka hanya bisa bertahan hidup sebentar. Ketika sayap-sayap laron lepas dari tubuhnya, mereka tidak akan bertahan hidup lama kecuali kawin. Tapi, ya… jarang sekali yang bisa kawin. Aku ingin seperti laron. Meski hidup se- bentar namun tetap bermanfaat bagi yang lain.” Aku memelukmu. Merekam semua yang kamu ucapkan melalui dekap agar bisa ku- sampaikan pada yang lain. Hujan baru saja berhenti. Masih ada bekas bulir-bulir air hujan di kaca jendela. Laron muncul secara bergerombol. Aku membawa 216 Burung-Burung Kertas
kantong plastik untuk menangkap mereka dan setelahnya digo- reng. Ah, nikmat sekali rasanya, berprotein tinggi, dan selalu bisa mengurangi rinduku padamu. Biodata Penulis Suci Nurani Wulandari tinggal di Plaosan RT 07/RW 18, Tlogodadi, Mlati, Sleman. Saat ini Suci kuliah di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Hobinya adalah menulis, membaca buku cerita. Jika ingin berkorespondensi dengan Suci Nurani Wulandari dapat menghubungi: HP 085643338861, email: [email protected], FB: Ucig Wulandari, twitter: @ucig. Burung-Burung Kertas 217
PAKDHE Anita Meilani Undangan itu baru sampai di telinga Bu Yun dua minggu yang lalu. Terkesan tidak semestinya karena si empunya hajat adalah kakak satu-satunya dari Bu Yun sendiri. Apalagi hajatan ini cukup besar, pernikahan putri pertama sang kakak. Apakah mungkin karena Bu Yun tinggal jauh di Semarang, sementara sang kakak di Jogja, Bu Yun tidak tahu juga. Tetapi di zaman modern ini, jarak bukan lagi menjadi hal yang memperlambat datangnya infor- masi. Jelek-jelek, setidaknya Bu Yun juga mempunyai telepon geng- gam. Dan toh datangnya undangan dua minggu yang lalu itu juga hanya dari telepon sang kakak, bukan undangan secara langsung tatap muka. Maka dari itu Bu Yun sedikit gusar. Suaminya tersinggung atas sikap kakaknya yang menurut sang suami kurang ilok. “Sama adik sendiri kok mengundangnya seperti itu, mbokya jangan hanya lewat telepon, lebih-lebih mendadak lagi,” kata suaminya. Kalau sudah begitu Bu Yun hanya diam saja, toh ucapan suaminya ada benarnya juga. Tapi meskipun terkesan sering marah, suaminya sebentar- sebentar lunak juga. Seperti hari ini, dua hari sebelum pernikahan keponakannya itu, Bu Yun dan dua anaknya yang masih kecil- kecil, sulung kelas empat SD, bungsu TK nol kecil, sudah bersiap- siap akan berangkat ke Jogja. Malam sebelumnya Bu Yun sudah berdiskusi dengan suaminya tentang sumbangan yang akan dibe- rikan kepada kakaknya. Masalahnya, undangan hajatan yang tiba- tiba itu membuat mereka tidak siap dengan pengeluaran tambahan yang tidak sedikit untuk biaya ke Jogja. Akhirnya mereka memu- 218 Burung-Burung Kertas
tuskan menggunakan dulu uang yang akan dipakai untuk memba- yar kontrakan rumah yang sebenarnya sudah jatuh tempo minggu lalu. “Kan Pakdhe itu kangmas-ku satu-satunya to, Pak. Jarang ber- temu dan hajatan ini baru pertama kali. Jadi pakai uang kontrakan ini dulu semuanya, sekali-kali ini,” kata Bu Yun. Suaminya manggut-manggut. “Ya sudah, nanti pinjam lagi saja ke koperasinya Pak Harto buat bayar rumah. Tapi sayanggak usah ikut ke Jogja. Soalnya kalau saya ikut, libur kerja, rugi to. Siapa yang cari uang?” Begitulah. Bu Yun lalu menyiapkan amplop untuk kakaknya. Membeli baju baru untuk anak-anaknya agar terlihat pantas di resepsi pernikahan besok. Uang yang seharusnya untuk membayar kontrakan itu kini tinggal sisa-sisanya. Ya tidak apa-apa, toh uang bisa dicari lagi. *** Di dalam bus ekonomi yang mengantarnya ke Jogja, Bu Yun merenung banyak sepanjang perjalanan. Selama ini, menurut Bu Yun hubungannya dan kakaknya baik- baik saja. Apalagi Bu Yun jarang bertemu dengan kakaknya, kecil kemungkinan ada kata-katanya yang pernah menyinggung pera- saan sang kakak dan keluarganya. Bu Yun pun tak habis pikir, kenapa kakaknya seolah berubah beberapa tahun terakhir ini. Ke- harmonisan hubungan mereka semakin lama semakin merenggang, entah kenapa. Dulu, kakaknya sangat perhatian pada dia, adik satu-satunya. Ditambah lagi kondisi ekonomi Bu Yun yang, kasar- nya, berada di bawah garis kemiskinan, maka setiap lebaran kakak- nya malah yang selalu mengunjunginya, dan sekadar memberi THR pada Bu Yun. Kebetulan waktu itu usaha warung bakso sang kakak sudah mulai mengalami kemajuan dan memberikan peng- hasilan yang layak meskipun masih pas-pasan. Sedangkan Bu Yun, jauh-jauh merantau ke Semarang toh juga hanya jadi buruh cuci, dan suaminya buruh di tempat pencucian mobil dan motor. Tapi belum juga Bu Yun mendapat kehidupan yang lebih baik, kakaknya sudah tidak pernah lagi memberi tunjangan kepadanya. Burung-Burung Kertas 219
Sekarang, kakaknya sudah jadi orang kaya. Anaknya sudah jadi perawat. Mereka hidup makmur jauh di atas garis kemiskinan. Beberapa tahun terakhir perkembangan usaha warung baksonya semakin meningkat, dan kakaknya pun panggilannya sudah jadi juragan bakso. Mobilnya lima, yang empat diusahakan untuk jasa sewa mobil, yang satu dipakai sendiri. Bu Yun seringkali mengira- ngira berapa untung yang didapat kakaknya dari dua usahanya itu dalam sehari. Mungkin sama seperti gaji Bu Yun dalam sebulan yang hanya sebatas UMR. Entahlah. *** “Bu, aku lapar,” rengek bungsu Bu Yun saat mereka berjalan di depan warung-warung makanan di terminal Giwangan. “Sebentar lagi sampai di rumah Pakdhe, kok. Makan disana saja, ya,” kata Bu Yun menenangkan anaknya. “Mbak Nopi nikah ya, Bu. Nanti makanannya enak-enak?” tanya si bungsu lagi. “Iya-iya. Makanya sekarang cari bus lagi dulu ya, buat ke rumah Pakdhe.” Tigapuluh menit kemudian Bu Yun dan anak-anaknya sudah sampai di depan muka rumah kakaknya. Tidak terlalu ramai ka- rena tempat resepsi bukan di rumah tetapi menyewa sebuah ge- dung pernikahan. Pakdhe sedang berbincang-bincang dengan para tetangga yang datang. Saat melihat Bu Yun datang, kakaknya itu lantas menghampiri. “Kok baru datang to, Yun?” tanya sang kakak setelah Bu Yun dan anak-anaknya menyalaminya. “Liburnya kan, tidak bisa lama-lama, Mas. Anak-anak masih sekolah,” kata Bu Yun. “Ya sudah sana ke belakang dulu sana ketemu mbakyu-mu. Istirahat dulu,” ujar kakaknya. Bu Yun masuk ke dalam rumah dan menemui istri kakaknya yang tengah berada di dapur bersama para tetangga juga. “Oalah Yun, Yun. Hanya dari situ kok, baru datang,” ujar Budhe sama seperti kalimat suaminya. “Sini-sini, barang-barangmu ditaruh di sini saja,” kata Budhe lagi sambil menunjukkan kamar di dekat dapur. 220 Burung-Burung Kertas
Bu Yun dan anak-anakanya menurut saja. Bu Yun tengah mengganti pakaian si bungsu ketika anaknya itu berujar, “Katanya mau makan, Bu.” Bu Yun kaget juga. Sudah beberapa waktu disitu tapi Budhe belum juga menawarinya makan. Bahkan minum sekalipun. Ken- dati di rumah kakaknya sendiri, canggung juga rasanya jika tiba- tiba ia minta makan untuk anak-anaknya. Apalagi sambutan sang kakak kepada mereka hanya biasa-biasa saja. Seakan-akan mereka bukan adik yang hanya satu-satunya. Namun karena tidak tega melihat anak-anaknya lapar, Bu Yun keluar juga dari kamar menuju meja makan. Mengambil piring dan nasi untuk anaknya. “Wah, ya itu Yun, ambil saja. Masakannya baru matang kok. Tapi ya, hanya seperti itu,” kata Budhe saat melihat Bu Yun meng- ambil makanan. Entah kenapa, Bu Yun merasa seperti tersengat listrik mende- ngar kata-kata istri kakaknya. Ia memandangi lauk-pauk yang tak hanya sekadar tahu dan tempe di hadapannya. Lalu menoleh me- mandang istri kakaknya. Budhe sedang tersenyum menatap Bu Yun. *** Hari pernikahan tiba. Semua orang sibuk bersiap-siap. Apalagi suami-istri kakak Bu Yun, mereka terlalu sibuk bahkan untuk me- nyapa anak-anak Bu Yun. Di depan rumah berjajartiga mobil dan sebuah bus untuk mengantar ke tempat resepsi pernikahan. Tiga mobil itu milik Pakdhe sendiri. Anak-anak Bu Yun langsung me- rengek minta ikut mobil itu. Bu Yun menenangkan mereka karena rombongan belum akan berangkat. Tiba-tiba Pakdhe menghampiri Bu Yun. “Yun, nanti kamu ikut busnya saja, ya. Mobilnya penuh buat Pak RT sama yang lain,” kata Pakdhe. Bu Yun diam saja. Sampai akhirnya ia pun ikut duduk bersama para tetangga di dalam bus. Sebenarnya Bu Yun tersinggung, dia, satu-satunya keluarga, ditempatkan bersama para tetangga. Tapi yang membuat Bu Yun paling sedih, karena anaknya menangis ingin naik mobil, bukan bus yang sudah biasa mereka tumpangi. *** 221 Burung-Burung Kertas
Resepsi sudah selesai digelar. Bu Yun pamitan. Besok anak- anaknya sekolah dan dia sendiri juga bekerja. Di luar, ia men- dengar kakaknya berbisik kepada istrinya. “Nanti anaknya Yun disangoni limapuluh-limapuluh,” suara Pakdhe. “Ya,” jawab Budhe singkat. Beberapa saat kemudian Bu Yun sudah siap untuk pulang. Ia dan anak-anaknya akan diantar orang suruhan Pakdhe ke terminal. Sebelum mobil yang mengantar mereka berangkat, Budhe me- nyelipkan sesuatu di genggaman anak-anak Bu Yun. “Ini ya, Le. Buat sangu sekolah ya,” kata Budhe. Sekilas Bu Yun melihat uang yang diselipkan di tangan anak- anaknya. Duapuluh ribu… *** Sampai di rumah, suami Bu Yun langsung menyambut dengan gusar. “Kenapa, Pak?” tanya Bu Yun was-was. “Bu, cincinmu yang hanya dua setengah gram itu digadaikan saja,” kata suaminya sambil menunjuk cincin satu-satunya yang melingkar di jari Bu Yun. “Lho, kenapa Pak?” Bu Yun ikut gusar. “Pak Edi tadi datang, mengingatkan uang kontrakan yang belum kita kirim-kirim. Kita harusnya malu to Bu, Pak Edi itu sudah banyak membantu dengan kasih harga kontrakan murah dan tidak naik-naik tiap tahun. Masa ya, kita tetap nunggak terus.” “Katanya mau pinjam di koperasinya Pak Harto dulu?” “Lupa, bunga dan denda tunggakan kita disana kan, masih banyak. Saya nggak mau pinjam disana lagi. Lebih baik pegadaian saja to.” “Waduh, Pak...” Bu Yun refleks mengusap-usap cincin di jarinya. “Tidak apa-apa, Bu. Nanti beli imitasi dulu buat sementara, kayak kalung sama subangmu itu,” ujar suami Bu Yun mafhum. Bu Yun masih menimbang-nimbang usulan suaminya saat telepon genggam keluaran China miliknya bergetar tanda SMS masuk. Bu Yun bergegas membaca. Dari istri kakaknya. 222 Burung-Burung Kertas
“Yun, makasih ya, sumbanganmu memang banyak. Tapi utangmu yang buat bayar kontrakan rumahmu dua tahun lalu itu belum lunas to. Perhitungannya beda sama sumbanganmu ini, lho ya. Jangan digabung- gabungkan.” Selesai membaca itu, Bu Yun langsung membayangkan dirinya dengan tempelan-tempelan perhiasan yang semuanya imitasi, seperti senyum kakaknya yang ternyata juga tinggal imitasi. Biodata Penulis Anita Meilani tinggal di Celep, Srigading, Sanden, Bantul. Saat ini Anita kuliah di FPBS, Universitas Negeri Yogyakarta. Hobinya adalah membaca. Jika ingin berkorespon dengan Anita dapat menghubungi: HP 085743802244, email: [email protected]. Burung-Burung Kertas 223
TIGA BUNGKUS KERUPUK PASIR DI PENGHUJUNG SENJA Nopa Triana Senja datang bersama guguran daun diterpa angin kemarau. Sesekali hembusannya kencang berpilin membentuk leysus kecil, menerbangkan sampah-sampaj plastik, daun, maupun patahan ran- ting. Sudah dua bulan akhir musim penghujan berlalu. Sekarang sudah memasuki musim kemarau yang panas bersama angiin pan- carobanya yang begitu kuat. Aku berjalan menyisir trotoar ber- debu yang sepi. Sinar matahari sore ini berawan jingga. Menerpaku, membuat- ku terpesona sehingga lambat-lambat kunikmati perjalanan pulang selepas sekolah. Seperti biasanya, aku pulang berjalan kaki. Seko- lahku tak begitu jauh, sekitar 2 kilometer dari rumah. Memang awalnya terasa berat berjalan kaki sejauh itu. Tapi setelah tiga tahun aku biasa menempuhnya, sekarang perjalanan ini terasa de- kat sekali. “Va, kok baru pulang?” panggil seseorang. Aku berpaling. Kulihat seorang sahabat masa kecilku mengayuh sepedanya men- dekat. Namanya Dewi. Kami satu sekolah hingga kelas 6 SD. Tapi semenjak berpisah di SMP, kami jarang bersama lagi. “Oh, kamu, Dew,” balasku, “sekolahku memang selalu pulang jam segini, apalagi kalau ada ekskul dan pelajaran tambahan. Bisa lebih sore lagi. Kamu sendiri mau ke mana?” Dewi mengerem sepedanya tepat di sampingku. “Mau beli gula sama telur di warung Bu Yam. Aku boncengin, yuk.” 224 Burung-Burung Kertas
“Makasih, Dew, duluan aja,” tolakku. Arah warung Bu Yam berseberangan dengan kampungku. Selain itu, aku ingin lebih lama menikmati perjalanan sore ini. Sejenak punggung Dewi berlalu bersama kayuhan sepedanya. Aku pun meneruskan langkahku yang pendek-pendek, tidak ter- gesa. Hingga aku tiba di persimpangan, tepat di bawah pohon beringin besar yang memisahkan kampungku dan kampung yang dituju Dewi tadi, arah warung Bu Yam. Lantas aku berhenti, bukan karena capek. Tapi karena kulihat seorang Nenek duduk terpekur di bawah rindangnya pohon itu. Si Nenek berambut putih, rambut digelung asal dengan me- nyisakan helaian awut-awutan di sana-sini. Pakaiannya kusut dan kumal. Sandal yang dipakainya sudah keropos, bahkan bolong cu- kup besar tepat ditumitnya. Nenek itu duduk bersandar dahan beringin yang kokoh, sehingga tampak kontras sekali dengan pera- wakannya yang begitu kecil dan rapuh. Tangan si Nenek merangkul plastik besar dagangan sederhananya. Beberapa bungkus kerupuk nampak menyembul. Melihat penuhnya plastik itu, sepertinya hari ini dagangan Nenek belum banyak laku. Muncul rasa iba dalam hatiku. Perlahan kuteruskan jalannku, berharap langkah kakiku tidak mengganggu istirahat Nenek. Tapi Nenek terbangun juga, matanya terbuka dan melihat ke arahku. “Ndherek langkung, Nek,” sapaku sesopan mungkin. Nenek itu menjawab sapaku dengan senyum. Pastilah Nenek itu cantik sekali dimasa mudanya, sudah serenta ini, wajahnya masih cerah seperti matahari dengan senyum itu, pikirku. Nenek itu tentu tidak tahu kalau bekalku sudah habis dan aku tidak mem- bawa sedikitpun uang sekarang. Makanya dia masih repot-repot menawarkan dagangannya padaku. Tangannya merogoh plastik, mengeluarkan sebungkus plastik berwarna coklat tidak menarik dan memaksakan ke tanganku. Tidak seperti kerupuk udang yang lezat, kerupuk gemplang khas Kalimantan, maupun kerupuk favorit teman-temanku, maicih yang mahal itu. Kerupuk dagangan Nenek itu disebut kerupuk pasir, atau sering pula dinamakan kerupuk miskin. Sebab, alih- Burung-Burung Kertas 225
alih dimasak menggunakan minyak goreng nonkolesterol yang mahal itu, kerupuk ini cuma perlu dimasak dengan pasir. Cukup sesuai dengan kondisi rakyat miskin yang semakin keberatan mem- beli segala jenis minyak, baik BBM maupun minyak goreng. Ah, apa sih aku ini, kok jadi melantur gini. “Maaf, Nek. Saya nggak punya uang,” jawabku. Walaupun ingin sekali aku membeli kerupuk itu sebanyak- banyaknya, namun sama sekali tidak membantu kan kalau aku membelinya berhutang. “Ya sudah, dibawa aja dulu, Nak, tidak apa-apa,” kata Nenek itu memaksakan sebungkus ke tanganku. Aku menolak, dan seketika wajah Nenek itu murung, kelabu datangnya mendung yang tiba-tiba. Aku ingin segalanya berjalan sederhana, menerima kerupuk itu, lalu membayar uangnya pada Nenek itu. Tapi semua menjadi rumit karena aku tidak punya uang sama sekali. Menjelaskan pada Nenek juga pecuma, karena bagi Nenek itu, kerupuk yang terbeli adalah berkah. Walaupun sese- orang membelinya dengan berhutang dulu. Selain itu, bagi bebe- rapa orang yang tidak memiliki apapun untuk dapat diberikan pada orang lain, berhutangkan dagangan yang dimilikinya pada orang yang membutuhkan, seremeh apapun itu, menjadi luar biasa membahagiakan hati. Dan barang kali, di mata Nenek ini, aku adalah anak malang yang begitu capek dan kelaparan tanpa uang, yang perlu ditolongnya melalui sebungkus kerupuk ini. Entahlah. Lantas... saat aku menerimanya, kegembiraan Nenek itu nampak kembali. Jangan tanya darimana aku mengetahuinya? Jangan kau pikir aku sok tahu atau mengada-ada! Nenek itu tidak perlu mengata- kan perasaanya padaku. Sorot matanya yang berbinar sudah men- jelaskan lebih dari kata-kata, ketika Nenek itu memaksakan se- bungkus kerupuk dagangannya padaku, membiarkan aku berhu- tang ketika tahu aku tak punya uang. Badannya yang nampak rapuh untuk sedetik terlihat bersemangat lagi. Begitu hidup. Ber- buat baik, sesederhana apapun dan dengan apapun yang dimiliki merupakan kelebihan sebagian orang miskin. Keikhlasan dan ke- 226 Burung-Burung Kertas
kayaan hati sebagian kaum miskin seperti Nenek itu jauh melam- paui orang-orang kaya. Aku, walaupun tidak menggemari kerupuk itu sehingga akan rela berhutang untuk bisa memakannya, toh tidak mampu menolak kerupuk Nenek. Kuterima juga kerupuk itu. Kumasukkan ke dalam tas dan entah kapan aku akan memakannya. Alasanku hanya satu, ingin membiarkan binar kebahagiaan’karena telah membantu orang lain’ itu tetap bersinar di mata Nenek. Maka aku pun pulang dengan hati tak menentu. Sebungkus kerupuk hutang di dalam tasku, yang beratnya tak lebih dari 1 ons, terasa seperti gunung. Bukan sembarang hutang, melainkan hutang kepada Nenek miskin renta yang kaya hati itu. Tidak lama, aku sampai juga di rumah. Menaruh tas dan se- patu sekenanya di dalam kamar. Melewatkan hidangan tahu-tempe dan sayur orak-arik yang dibuat Ibu. Lalu bergegas memecah ce- lengan kendi ukuran tanggung milikku. Rencananya celengan itu baru akan kubuka saat tiba hari kelulusan nanti. Untuk membeli seragam atau alat tulis baru. Tapi keperluan sekarang kurasa jauh lebih penting dari semua itu. Recehan beterbangan dan jatuh berantakan di lantai kamar. Ibu dan keluargaku yang lain rupanya tidak mendengar segelegar pecahnya celenganku sehingga aku leluasa mengumpulkan recehan- recehan itu dan puing pecahan kendi celenganku tanpa harus menjelaskan apapun pada siapapun. Kuhitung jumlahnya tak lebih dari enam puluh ribu rupiah. Jumlahnya yang sedikit untuk ukuran tabungan selama 3 tahun tidak mengejutkanku, toh aku sadar betul kalau selama ini aku memang jarang menabung. Bukan karena aku boros atau tidak ulet. Tapi karena aku jarang punya uang sisa. Ayah selalu memberiku bekal amat ‘secukupnya’, yang selalu habis untuk membeli seplastik es atau 2 gorengan saja. Kadang- kadang aku bahkan tidak bisa jajan apabila di kelas sedang diada- kan iuran entah apa. Tanpa membuang waktu, aku segera mem- bawa separuh uang itu, berlari sekencang-kencangnya menuju Ne- nek tadi. Berharap dia masih menungguku di bawah besar di per- simpangan kampung. Lantas terbebaslah aku dari beban hutang ‘bukan sembarang hutang’ ini. Burung-Burung Kertas 227
Belum sampai tujuan, kudengar tangis kecil sesenggukan. Nampak sepeda yang kukenal teronggok di pinggir jalan. Kudapati Dewi meringkuk di semak-semak, dengan wajah sembab dan air mata berlinang. “Dewi, kamu kenapa menangis seprti ini?” tanyaku khawatir. Yang kutanya tidak kunjung menjawab, hanya melihatku se- pintas dan kembali menangis. Aku yang mulai tak sabar karena takut akan ketinggalan Nenek tadi, kembali menanyainya. “Jawab- lah kenapa, Dew. Nangis aja?” Telunjuk gadis itu mengarahkan pandanganku pada plastik hitam di ujung stang sepedanya yang ambruk. “Masya Allah”, kataku, “masa udah segede gini jatuh dari sepeda aja nangis.” Mendengar gerutuku, tangis Dewi semakin menjadi. “Aku menangis bukan karena jatuh,” protesnya, “tapi karena telur Ibuku 2 kilo pecah semua. Padahal itu untuk pesanan katering nanti malam. Aku nggak berani pulang.” Benar saja, plastik itu memang berisi pecahan telur. Baunya amis dan mulai mengundang lalat. Kasihan sekali Dewi, apalagi telur-telur itu pastilah amat penting bagi dia dan Ibunya. Dewi sudah tidak punya ayah sehingga penghidupan mereka hanya mengandalkan usaha katering sederhana Ibu Dewi. Memecahkan telur-telur itu tentunya membuat Dewi sangat takut dan sedih. Jadi kuberikan uangku secukupnya untuk membeli 2 kg telur yang baru. *** Uangku habis untuk Dewi membeli telur yang baru, terpaksa aku pulang lagi. Sekuat tenaga berlari ke rumah. Langsung menuju ke kamar dan mengambil sisa uang celenganku. Suara tangis adikku di ruang tengah sesaat mengalihkan perhatianku, untuk sejenak menghentikan langkahku menuju pintu keluar. Sepintas kulihat adikku sedang menangis meraung-raung. Ibu berusaha membu- jukknya. Hingga tidak sempat menanyaiku sedang apa atau hendak ke mana. Ah, apa gerangan yang menyebabkan tangis pilu adikku itu. Tidak banyak waktu yang kumiliki untuk dapat sekadar men- cari tahu. Aku takut, terlambat semenit saja aku akan kehilangan kesempatan menemui Nenek penjual kerupuk. 228 Burung-Burung Kertas
Tidak kupedulikan pedihnya kakiku yang suah berjalan bolak- balik berkilo-kilo meter sejak pulang sekolah tadi, tidak juga sosok Dewi yang sudah ceria mengayuh sepedanya kembali setelah mem- beli telur yang baru. Yang kupikirkan hanya Nenek kerupuk, apa- kah dia masih beristirahat di bawah pohon itu? “Nenek, Nenek, tunggu aku sebentar,” mohonku lirih, berha- rap sepoi angin di penghabisan sore akan menyampaikan pintaku padanya. “Ssssshhh,” demikian jawab semilir angin, sambil meniup ram- butku yang berkibas-kibas seiring kencangnya lariku. Hatiku begitu girang saat kudapati Nenek itu berjalan tertatih, tidak terlalu jauh dari beringin tempatnya beristirahat tadi. Lang- kahnya begitu pelan, kecil, dan lemah. Tak bisa kubayangkan pukul berapa dia akan sampai rumahnya. Seketika semakin kukencang- kan lariku, seperti atlit sprinter yang telah melihat garis finish. “Nek.....Nek!” panggilku. Nenek itu berhenti, lalu menoleh ke arahku. Akupun lega. “Nek, untung Nenek masih di sini,” kataku hampir memeluk Nenek itu saking senangnya. Nenek itu nampak keheranan. Sepertinya beliau sudah lupa padaku, orang yang belum lebih sejam diberinya hutangan ke- rupuk. “Nak ini siapa? Nak mau beli kerupuk, Nenek,” tanya Nenek itu penuh harap. Ternyata beliau memang pangling melihat aku yang sudah ti- dak lagi memakai seragam. “Nek, saya Nova, saya yang tadi berhutang kerupuk sama Nenek”, jawabku. “Ini nek, saya sudah punya uangnya. Berapa Nek, harga sebungkus kerupuk tadi?” “Oalah, Nak to? Memangnya nak sudah punya uang, kenapa terburu-buru sekali membayar kerupuknya? Nenek tidak minta dibayar buru-buru. Besok juga tidak apa, Nak, kan masih ketemu Nenek lagi.” Memang, aku sering bertemu Nenek kerupuk saat pulang se- kolah. “Makasih, Nek, saya sudah ada uang, kok.” Burung-Burung Kertas 229
“Ya sudah, lima ribu sebungkusnya, Nak,” jawab Nenek itu. Aku mengumpulkan recehan dan beberapa lembar ribuan hingga terkumpul lima ribu rupiah. Kuserahkan pada Nenek itu, dan legalah hatiku. Nenek memasukkan uang ke bundhelan ujung selendangnya. Nenek itu tersenyum dan kembali meneruskan per- jalanan pulangnya. Kuikuti sosoknya, dan sesuatu menyuruhku untuk mengejar Nenek itu lagi. Tak tega melihatnya membawa lima Ibu rupiah saja sebagai hasil jualan satu-satunya hari ini. “Nek, kerupuknya kurang. Saya beli 2 lagi, ya,” kataku ter- bata. Nenek itu nampak sumringah, sambil mengucap beribu syukur pada Tuhan, Nenek itu memberikan 2 bungkus kerupuk padaku. “Nak, suka sekali kerupuk Nenek, ya? Matur nuwun ya, Nak. Tadi Nenek sudah sedih dagangan Nenek belum laku satupun hari ini,” jelas Nenek kerupuk, tepat seperti yang sudah kuduga. Kubayarkan sepuluh ribu lagi padanya. Lalu aku pulang mem- bawa 2 bungkus kerupuk miskin sambil menggenggam sisa recehan yang tidak lebih dari lima belas ribu rupiah, uang tabunganku selama 3 tahun yang masih tersisa. Kilau jingga sinar matahari senja menerobos masuk melalui pintu yang kubuka. Adikku si Bungsu masih merengek di pangkuan Ibu. Nafasnya tersengal saking sedih. Ayah belum pulang. Beliau selalu pulang malam sebagai pengayuh becak yang mangkal di stasiun, menunggu rezeki dari para penumpang yang kelamaan tidak mendapat kendaraan. “Adik kenapa menangis, Bu?” “Sepatunya rusak. Dia diejek teman-temannya lagi di sekolah. Makanya, yang biasanya si Bungsu nurut sama Ibu, sekarang sudah tidak bisa dibujuk gini. Adikmu minta dibelikan sepatu malam ini juga,” jelas Ibu padaku dengan isyarat tanpa suara, tak ingin me- mancing ledak tangis adik lagi. Seketika hatiku luruh, hancur berkeping. Celengan yang tadi kupecah seharusnya lebih dari cukup untuk membelikan sepatu Adik. Namun, kudapati kesadaranku kembali, uang yang tersisa di tangan tak lebih dari lima belas ribu rupiah... tentu saja, baru 230 Burung-Burung Kertas
akan cukup untuk membelikan sepatu untuk adik kalau kutam- bahkan 3 bungkus kerupuk pasir yang telah kubeli di penghujung senja ini. Biodata Penulis Nopa Triana tinggal di Tambak Boyo, RT 21/61 Condongcatur, Depok, Sleman. Saat ini Triana bersekolah di SMA N 1 Depok, Sleman. Hobinya adalah bersepeda, mendengarkan musik, dan menulis. Jika ingin berkorespondensi dengan Nopa Triana dapat menghubungi: HP 08999518245, email: [email protected]. Burung-Burung Kertas 231
PULANG Annisa Nur Harwiningtyas Angin musim gugur bergumul cepat, membuat bulu-bulu roma yang merasakannya akan meriang. Daun-daun berwarna merah marun masih bergelantungan pelan di dahan-dahan pohon, sedang lainnya terbang tak terkira mengikuti alur angin. Rumput-rumput yang biasanya berwarna hijau segar, kini bagaikan beludru. Langit sore Kota Paris mulai merendah, memperlihatkan kesejukan di tiap sudut kotanya. Saya, sebagai seekor tupai yang tidak terlalu dihiraukan ke- beradaannya, selalu menyukai suasana sore hari di Kota Mode ini. Ketika senja mulai beringsut di balik pencakar yang manusia sebut dengan Menara Eiffel dan membiaskan tiap sinar lembutnya, men- ciptakan langit dengan warna jingganya, serta membuat tiap awan merona kemerah mudaan. Lampu-lampu kota yang tidak pernah tidur pun terkadang mempermanis kota ini. Angin musim gugur tahun ini terasa lebih dingin dari tahun lalu. Kami para tupai lebih banyak berselimut di dalam sarang dibandingkan mencari makan seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, para Parisian1 dan turis selalu menggunakan jaket tebal untuk bejalan-jalan atau keluar rumah, sama seperti saat musim dingin. Anak-anak sekolah yang di tahun-tahun sebelumnya se- nang bermain tumpukan daun kini jarang saya temui, hanya tiga atau lima orang saja dalam sehari. Bahkan terkadang mereka tidak hadir. Lainnya, mungkin, menonton televisi ditemani camilan dan 1 Parisians: Sebutan bagi penduduk Paris. Burung-Burung Kertas 232
minuman panas kesukaan mereka. Musim tahun ini tidak pernah sama dengan sebelum-sebelumnya. Matahari mulai tergelincir ke balik Menara Eiffel. Angin pun semakin kencang mengibaskan dirinya, menghamburkan dedaun- an yang masih mencoba bertahan di rengkuhan induk pohonnya, layaknya seorang anak yang baru bertemu ibunya setelah sekian lama. Seekor dari kami pun mulai memasukkan biji kenari yang baru saja ditemukannya ke dalam sarang. Setelah itu, terdengar beberapa kali suara cicitan-cicitan halus dari dalam sarang, lalu hening, hanya suara hunusan angin yang terdengar semakin pilu. Berselang beberapa detik, saya melihat seorang gadis beram- but kain satin sedang duduk termenung di bangku taman. Ta- tapannya menerawang ke arah kaki langit yang semakin terbias. Berkas-berkas kelelahan nampak sekali di tiap lekuk wajahnya yang tegas. Matanya terlihat sayu, dan pipinya yang merona akibat kedinginan terlihat sedikit tirus dengan bibir tipis yang pucat ke- ring. Tubuh mungilnya terlihat sedikit menggigil, walaupun sudah dilapisi sweater putih dan jaket tebal berwarna cokelat. Jari-jarinya yang lentik memenuhi satu sama lain, mencoba menghangatkan satu dengan lainnya. Gadis itu terlihat mendesah pelan, lalu membungkam wajah- nya dengan kedua telapak tangannya. Dia sedikit menundukkan wajahnya. Lelah, mungkin. Tiba-tiba, seseorang terlihat mendekat. Seorang lelaki. Ba- dannya agak membungkuk dan rambutnya sedikit putih, tersisir rapi. Kedua tangannya membawa sapu lidi panjang. Si tukang pembersih rupanya sudah datang. Lelaki itu mulai menyapu de- daunan yang mereduksi jalan. Menggerusnya dan mengumpulkan- nya menjadi satu tumpukan. Satu-satu dan pelan. Dia berpindah- pindah dari satu sisi ke sisi lainya. Daun-daun maple kembali jatuh untuk kesekian kalinya hari itu. Cicitan anak-anak angin juga mulai kembali terdengar. Hari itu, hampir dua pertiga pohon habis dipangkas oleh mereka. “Suhu udara hari ini begitu dingin, ya.” Tiba-tiba si tukang pembersih berseru. Matanya sempat melirik sekilas ke arah gadis Burung-Burung Kertas 233
itu. “Apa yang Anda lakukan di tengah suhu yang seperti ini?” tanyanya. Gadis itu kaget. Sempat gelagapan. Lalu menjawab, “Mencoba melepaskan diri sejenak dari keributan pekerjaan tidak disalahkan bukan?” Lelaki itu manggut-manggut.”Pasti Anda begitu sibuk?” ucap- nya, sedikit menoleh ke arah gadis itu. “Iya,” ucapnya, terdengar sedikit parau. “Pekerjaan memang menyita banyak waktu. Tapi, mau bagai- mana lagi, tanpa bekerja kita juga tidak bisa hidup, kan. Hidup memang terkadang terasa serba salah.” Gadis itu tersenyum kecil mendengar ucapan si tukang pem- bersih. Senyum yang menggambarkan bahwa dia mengakui kebe- naran dari ucapan si tukang pembersih. “Memangnya, apa pekerjaan Anda?” “Saya seorang editor majalah mode.” “Majalah yang terkenal itu?” Gadis itu mengangguk. “Pasti Anda sangat senang bekerja di sana.” “Begitulah. Itu merupakan cita-cita saya dari kecil. Dan saya pikir hal itu merupakan pencapaian terbesar saya, karena kerja keras saya selama ini tidak sia-sia. Tapi..,” ucapan gadis itu ter- henti. Dia sepertinya ragu untuk melanjutkan ucapannya. Dahi si tukang pembersih berkernyit, menunggu kelanjutan ucapan dari mulut gadis itu. “Tapi, tiba-tiba saja, sekarang, saya menjadi bingung, tidak tahu. Saya seperti berada pada titik terjenuh dalam hidup saya. Saya merasa saya hilang arah. Saya melek tapi seperti tidak melek. Saya bergerak tetapi otot-otot saya serasa mati rasa. Saya merasa bahwa saya tidak berada di tubuh yang benar. Saya seperti robot yang rusak, usang dan mati.” “Tidak pernah terpikir untuk pulang?” “Pulang?” ulang gadis itu. Sedikit heran. “Iya. Apa Anda tidak mendamba untuk bertemu keluarga Anda? Walaupun hanya berbincang ringan ditemani secangkir teh atau minumam hangat lainnya, tapi paling tidak, itu sudah meng- 234 Burung-Burung Kertas
angkat beberapa beban yang Anda panggul.” Lelaki itu menghen- tikan pekerjaannya sejenak, menatap gadis itu. “Semua orang pada akhirnya harus pulang bukan?” “Tapi, saya tidak tahu harus pulang ke mana. Saya tinggal di negara ini sendirian. Semua keluarga saya ada di negara lain,” ungkap gadis itu. Nada suaranya terdengar bergetar ketika meng- ucapkan sederet kalimat itu. “Saya tiba-tiba merasa seperti seorang tawanan.” “Seorang tawanan pun pada akhirnya menemukan keluarga barunya di dalam sel penjara. Bahkan terkadang, mungkin, dia rindu dengan suasana di dalam sel ketika dia sudah bebas. Sel seperti rumah kedua yang mempertemukan dia dengan keluarga barunya.” Si tukang pembersih mengambil saput tangan yang ada di saku jaketnya. Dia mengelap peluhnya, lalu melipatnya dan memasukkan lagi ke dalam saku jaketnya. “Pulang itu tidak berarti harus pulang. Anda berkunjung ke tempat yang Anda suka dan nyaman bagi diri Anda itu juga sudah pulang.” Gadis itu terdiam. Sepertinya, sedang mencerna kalimat ter- akhir lelaki ini. Lelaki itu beranjak, hendak pindah seperti kebiasaannya ke sisi lain taman ini. “Saya pindah dulu, ya. Mau kerja lagi,” ucapnya, sembari ter- senyum ke arah gadis itu. Lelaki itu melangkah agak jauh. Suara gemerisiknya sapunya sayup-sayup masih terdengar. Gadis itu pun masih terduduk di kursi taman dalam diam. * Sore ini merupakan sore ke sepuluh si tukang pembersih mem- bersihkan taman semenjak sore berangin itu, dan gadis itu belum pernah terlihat lagi. Mungkin dia sudah menemukan apa yang dimaksud pulang oleh si tukang pembersih. Atau mungkin, dia sedang disibukkan dengan pekerjaan sebagai editor dan memilih melupakan kegalauannya mengenai teori pulang yang digagas oleh si tukang pembersih. Entahlah. Saya tidak seharusnya ikut campur. * Burung-Burung Kertas 235
Musim gugur sudah akan berakhir. Suhu udara semakin ren- dah saja dan pohon-pohon semakin meranggas. Malam juga sema- kin cepat menggerogoti hari—seakan berpacu dengan angin yang semakin hari semakin sering datang. Hiruk pikuk Kota Paris pun juga semakin terlihat sepi dari hari ke hari. Hanya lelaki pembersih itu yang masih sering saya lihat sedang membersihkan tempat ini. Tapi sore ini saya belum mendengar suara gesekan sapunya. Padahal, biasanya, dia sudah akan ada di sini saat matahari sudah mulai mendekati kaki langit. Seseorang datang. Tetapi bukan si lelaki pembersih. Dia se- orang wanita. Dan sepertinya saya mengenali wajah yang tertutup slayer itu, serta cara berjalannya yang terlihat sedikit kikuk. Gadis itu datang lagi rupanya. Dia membawa sebuah bingkisan yang dimasukkan ke dalam tas kertas. Entah untuk apa atau siapa bing- kisan tersebut. Yang pasti isi bingkisan itu cukup besar. Gadis itu kembali duduk di kursi yang sama, di waktu yang sama dan suasana yang sama. Hanya suhu udara saja yang semakin dingin. Gadis itu meletakkan bingkisan yang dia bawa di pangkuan- nya. Dia seperti sedang mencari seseorang. Sedari tadi kedua bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri seirama dengan gerakan kepalanya. Beberapa kali ia sempat mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya, lalu dia kembali mencari. Suara gesekan sapu yang bertemu dengan tanah penuh de- daunan kembali terdengar. Seketika kami—saya dan gadis itu— menoleh ke arah sumber suara. Si tukang pembersih. Gadis itu segera mendatanginya sembari membawa bingkisan yang dia pangku sedari tadi. Dengan senyum ceria dia mendatangi lelaki tua itu. Menjabat tangannya dan mengangsurkan bingkisan yang dia bawa. Si tukang pembersih menolak. “Tidak usah repot-repot,” ucapnya, kembali menyodorkan bingkisan yang diberi oleh sang gadis. Gadis itu memaksa. Itu merupakan ungkapan terima kasih darinya atas teori pulang yang diberikan lelaki tua itu kepadanya. 236 Burung-Burung Kertas
Dia akhirnya dapat menemukan rumah barunya di kota ini. Sebuah panti asuhan kecil di pinggiran kota. “Oya, pasti kamu sangat senang,” kata lelaki tukang pember- sih itu dengan riang, seolah-olah telah terpengaruh keceriaan gadis itu. “Di sana tinggal berpuluh-puluh anak, rata-rata balita dan menjelang remaja. Sebagian besar dari mereka tidak pernah kenal siapa orang tuanya. Pengelola panti dan pengasuh-pengasuh di sana juga sangat ramah terhadap saya. Saya seperti menemukan pengganti keluarga saya di sana. Saya kembali menemukan rumah saya yang telah lama hilang.” Gadis itu terlihat sangat bahagia. Matanya terlihat berkaca saat menceritakan semua hal itu. “Sekali lagi terima kasih, karena tanpa Anda mungkin sampai sekarang saya masih akan tetap menjadi orang dingin yang sebenarnya ting- gal di sebuah kotak yang hangat.” “Terima kasih pula atas bingkisan yang telah Anda beri.” Lelaki tua itu mengangkat bingkisan yang diberikan kepadanya. Gadis itu tersenyum hangat. “Saya pamit. Masih ada pekerjaan yang harus saya kerjakan di kantor.” Lalu, dia pergi meninggalkan lelaki tukang pembersih itu sen- dirian. Jelas terlihat tatapan mata lelaki pembersih itu mengikuti langkah gadis itu yang makin menjauh. Senja sudah semakin mengetuk kaki langit. Sepertinya saya juga harus pulang. Keluarga saya sudah menunggu di rumah. Yogyakarta, 17 Juli 2013 Biodata Penulis Annisa Nur Harwiningtyas tinggal di (…) Saat ini Annisa bersekolah di SMA 9 Yogyakarta, kelas X. Hobinya adalah membaca buku-buku karya sastra dan menulis karya sastra. Annisa dapat dihubungi melalui email: [email protected], jejaring facebook: Annisa Nur Harwiningtyas. Burung-Burung Kertas 237
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258