bahwa marah itu merupakan suatu sikap yang diambil dengan sengaja dan disadari orang tua dengan tujuan menyalahkan, menghukum, ataupun memberi “pelajaran” kepada anak karena tingkah lakunya telah membangkitkan suatu perasaan lain (perasaan primer). Bilamana Anda marah pada seseorang, maka Anda bersandiwara untuk mempengaruhi pihak lain, untuk memperlihatkan apa yang telah ia perbuat, memberikan dia pelajaran, mencoba meyakinkan dirinya untuk tidak mengulang perbuatannya itu. Saya tidak menyatakan bahw perasaan marah itu tidak murni atau tidak sungguh-sungguh. Marah itu justru sesuatu yang sungguh- sungguh dan membuat orang mendidih atau tergoncang dalam dirinya. Saya hendak mengatakan bahwa manusia sendirilah yang membuat dirinya marah. Berikut ini beberapa contoh: Seorang anak bertingkah di sebuah rumah makan. Perasaan primer orang tua adalah perasaan malu. Perasaan yang berikutnya adalah marah: “Hentikan tingkah lakumu seperti anak berumur 2 tahun”. Anak lupa bahwa hari ini hari ulang tahun ayahnya dan dengan demikian ia gagal memberikan ucapan “Selamat ulang tahun” atau memberinya sebuah hadiah. Perasaan primer yang timbul pada sang ayah adalah tersinggung. Perasaan kedua berupa marah: “Kau sama seperti anak-anak lainnya jaman sekarang yang tidak memikirkan orang lain”. Anak pulang dengan buku raport yang penuh dengan C dan D. Perasaan primer dari ibu berupa kekecewaan. Perasaan yang kedua adalah marah: “Saya tahu kamu bergadang terus sepanjang semester ini. Mudah-mudahan masih ada yang bisa kau banggakan”. Bagaimana cara orang tua belajar untuk menghindari penggunaan “pesan kamu” yang bernada marah terhadap anak-anak? Pengalaman di dalam kelas kami agak menggembirakan. Kami membantu orang tua untuk dapat lebih mengerti dan membedakan antara perasaan-perasaan primer dan sekunder. Dengan demikian diharapkan mereka akan lebih menyadari perasaan-perasaan mereka yang primer pada anak-anak mereka dan tidak melontarkan perasaan-perasaan marah yang sekunder itu. MOE membantu orang tua untuk semakin menyadari apa yang sesungguhnya berkecamuk dalam diri mereka apabila mereka sedang marah, setidak-tidaknya menolong mereka mengenali perasaan yang primer. Ny. C seorang ibu yang sangat teliti, menceritakan pada kelas MOE-nya bagimana ia akhirnya mengetahui bahwa luapan marah yang kerap kali dilontarkan terhadap putrinyayang berumur 12 tahun sekedar merupakan reaksi sekunder atas kekecewaannya karena anak itu bukan seorang yang rajin dan berminat terhadap pelajaran sebagaimana ibunya waktu masih anak-anak. Ny. C kini menyadari bahwa keberhasilan putrinya di sekolah mempunyai arti yang 93
begitu besar bagi dirinya, dan setiap kali pendidikan putrinya mengecewakan dirinya ia selalu melontarkan marahnya dengan “pesan kamu”. Tuan J, seorang konselor profesional, mengaku di dalam kelas bahwa ia kini mengerti mengapa ia menjadi begitu marah terhadap putrinya yang berumur 11 tahun sewaktu mereka berada di depan umum. Putrinya itu seorang pemalu, tidak seperti ayahnya yang ramah dalam pergaulan sosial. Setiap kali ia memperkenalkan putrinya itu pada kenalannya putrinya itu tidak mau mengulurkan tangannya untuk memberi salam atau mengatakan suatu yang menyenangkan seperti “Apa kabar” atau “Halo” yang hampir tidak terdengar membuat ayahnya malu. Ia mengaku sebenarnya takut kalau-kalau kenalan- kenalannya menganggap dia sebagai orang tua yang keras dan mengekang sehingga putrinya itu menjadi seorang yang menarik diri dan penakut. Sekali ia sampai pada kesimpulan ini, maka selanjutnya ia dapat mengatasi perasaan marahnya itu. Dan ketika ia berhenti menjadi marah, anaknya berkurang perasaan malu-malunya. Para orang tua dalam MOE belajar bahwa apabila mereka saling melontarkan “pesan kamu” yang bernadakan marah, mereka sebaiknya bercermin dan bertanya, “Apa gerangan yang terjadi dalam diri saya?”. “Kepentingan apa pada diri saya yang terancam oleh tingkah laku anak saya itu?”, “Apa perasaan primer saya sendiri?”. Seorang ibu dengan berani mengakui dalam kelas bahwa ia begitu seing marah pada anak-anaknya, karena ia sangat kecewa: mempunyai anak menyebabkan ia terhalang untuk melanjutkan pendidikannya menjadi seorang guru. Ia menemukan bahwa perasaan-perasaan marahnya itu sebenarnya merupakan perasaan kecewa karena kariernya terganggu. Pengaruh “Pesan Aku” yang Efektif “Pesan aku” dapat memberikan hasil yang menakjubkan. Orang tua sering melaporkan bahwa anak-anak mereka sering tercengang bia mengetahui bagaimana sesungguhnya perasaan orang tua mereka. Mereka mengatakan pada orang tua mereka: “Saya tidak tahu bahwa saya sangat mengganggu Bapak”. “Saya tidak mengetahui bahwa hal itu begitu merisaukan”. “Mengapa sebelumnya tidak pernah dicritakan pada saya mengenai apa yang dirasakan oleh Ibu?” “Kelihatannya perasaan Ibu itu betul-betul kuat dalam hal ini!” Seperti halnya orang dewasa, anak-anak itu sering tidak mengetahui bagaimana tingkah laku mereka mempengaruhi orang lain. Di dalam usaha mencapai tujuannya sendiri, mereka sering kali sama sekali tidak menyadari pengaruh yang mungkin diakibatkan tindakan mereka itu. Apabila mereka suatu kali diberi tahu hal itu, mereka biasanya menjadi lebih memikirkan orang lain. Sikap acuh dapat berubah menjadi sikap memikirkan orang lain 94
jika anak itu sudah pernah mengetahui pengaruh kelakuannya terhadap orang lain. Ny. H menceritakan suatu kejadian yang terjadi waktu liburan keluarga. Anak-anak mereka yang masih kecil-kecil sangat gaduh dan ribut di bagian belakang mobil. Ny. H dan suaminya sekalipun kesal tetap mencoba bersikap sabar, namun akhirnya Tn. H dan tidak dapat tahan lebih lama. Ia mendadak menghentikan mobilnya di tepi jalan dan berseru: “Saya sudah tidak tahan mendengarkan suara gaduh seperti ini serta kelakar yang tidak habis-habisnya di belakang. Saya ingin menikmati masa liburan saya ini dan ingin mendapatkan kesenangan sewaktu mengendarai mobil. Namun persetan, bila ada ribut-ribut di belakang sana, saya menjadi tidak tenang dan benci mengendarai mobil. Saya rasa saya pun punya hak menikmati liburan ini”. Anak-anak terkejut mendengar seruan ini. Mereka tidak menyadari bahwa kegaduhan mereka di bagian belakang mobil itu telah mengganggu ayah mereka. Mereka tadinya beranggapan bahwa ayah mereka dapat menerimanya. Ny. H menambahkan bahwa setelahkejadian tersebut anak-anak jauh lebih hati- hati dan secara menyolok mengurangi ulah mereka. Tn. G,seorang kepala sekolah lanjutan yang menampung anak-anak yang suka memberontak dan menyusahkan, menceritakan sebuah cerita dramatis: Telah berminggu-minggu lamanya saya bersabar terhadap ulah sekelompok pemuda yang terus-menerus tidak mematuhi beberapa aturan sekolah. Pada suatu pagi saya menengok keluar jendela kantor sekolah dan melihat mereka dengan santai menyeberang lapangan rumput sambil membawa botol Coca- cola, hal mana melanggar peraturan sekolah. Karena saya baru saja mengikuti kelas MOE yang menerangkan mengenai “pesan aku”, saya segera lari keluar dan mulai menyampaikan perasaan saya: “Saya begitu putus-asa dengan kalian! Saya telah berusaha melakukan apa saja dengan tujuan membantu kalian agar dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah ini. Dan kalian semuanya hanya bisa melanggar peraturan-peraturan yang berlaku. Saya telah memperjuangkan peraturan yang masuk akal mengenai panjangnya rambut, namun itu pun tidak kalian taati. Sekarang kalian membawa botol-botol Coca-cola, itu juga melanggar peraturan yang ada. Saya rasa lebih baik berhenti dari pekerjaan ini dan kembali bekerja pada SLA biasa, di mana saya dapat merasa mencapai sesuatu. Saya merasa sebagai orang yang betul- betul gagal dalam tugas ini”. Sore itu Tn. G dikejutkan oleh kunjungan kelompok tersebut. “Pak G, kami telah merenungkan kejadian tadi pagi. Kami tidak tahu bahwa Anda bisa marah. Anda tidak pernah marah sebelumnya. Kami tidak menginginkan seorang pemimpin lain di sini; ia pasti tidak akan sebaik Anda. Jadi kami semuanya setuju seandainya Anda mengambil gunting dan mencukur rambut kami. Kami pun akan mentaati peraturan-peraturan lainnya”. Setelah sadar kembali dari kejutan itu, Tn. G kemudian bersama-sama dengan pemuda-pemuda itu menuju ruangan lain, dan masing-masing menyerahkan diri untuk digunting rambutnya sesuai dengan peraturan yang 95
berlaku. Tn. G bercerita pada kelas MOE bahwa hal yang terpenting dari kejadian tersebut adalah kegembiraan yang mereka alami bersama sewaktu pencukuran sukarela dari rambut mereka. “Kami semuanya gembira”, ia melaporkan. Terasa anak-anak dekat dengan dirinya dan dekat dengan sesamanya. Mereka meninggalkan ruangan secara bersahabat, dengan kehangatan dan keakraban yang sering kali menjadi hasil dari sesuatu pemecahan persoalan bersama. Ketika saya mendenga cerita Tn. G, saya mengakui bahwa saya mempunyai perasaan kagum sama seperti para orang tua lainnya di dalam kelas, atas pengaruh dramatis dari “pesan aku” yang dilontarkan Tn. G. Hal tersebutmemperkuat dugaan saya bahwa orang dewasa sering kali menganggap remeh kemauan anak-anak untuk bertenggang rasa terhadap kebutuhan orang dewasa, apabila anak-anak diberi tahu secara terbuka dan langsung mengenai perasaan orang lain. Anak-anak dapat tergerak dan bertanggung jawab, asalkan orang dewasa menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan mereka. Berikut ini ada beberapa contoh lagi mengenai “pesan aku” yang efektif, yang tidak mengandung cercaan ataupun celaan, dan di mana orang tua tidak mengirimkan suatu penyelesaian: Ayah pulang dari kantor ingin membaca koran dan beristirahat. Si anak tak henti-hentinya naik ke atas pangkuannya dan merenggut-renggut koran ayah: “Saya tidak bisa membaca koran bila kau ada di pangkuanku. Saya tidak ingin bermain denganmu sekarang, karena saya sedang lelah dan ingin beristirahat sejenak!” Ibu sedang menggunakan alat pengisap debu. Si anak berkali-kali menarik steker listrik. Ibu sedang dalam keadaan terburu-buru. Ibu: “Saya sedang terburu-buru dan apabila saya setiap kali harus menyabung kembali aliran listrik maka pekerjaan tidak akan selesai-selesai. Saya tidak ingin bermain, selama masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan”. Anak datang ke meja makan dengan tangan dan muka sangat kotor. Ayah: “Saya tidak dapat menikmati makan malam apabila melihat semua kotoran itu. Itu membuat saya tidak enak dan menghilangkan nafsu makan saya”. Ibu dan ayah ingin membicarakan suatu permasalahan yang bersifat pribadi yang menyangkut diri mereka. Anak terus berada di dekat mereka sehingga menghalangi mereka untuk berbicara. Ayah: “Ibu dan saya hendak mendiskusikan bersama, sesuatu yang sangat penting. Kami tidak bisa membicarakannya apabila kamu asa di sini!” Anak sedang membunyikan cassette recorder-nya sedemikan kerasnya sehingga mengganggu pembicaraan orang tuanya di ruangan sebelah. Ibu: “Kami tidak bisa berbincang-bincang jika kaset dibunyikan begitu keras. Suaranya terlalu bising”. Anak telah berjanji menyeterika serbet untuk pesta makan malam. Sapanjang hari ia bermalas-malasan; dan kini tinggal satu jam lagi sebelum tamu-tamu datang ia belum juga melaksanakan pekerjaan itu. Ibu: “Saya betul- 96
betul merasa kecewa. Seharian saya sudah bekerja keras mempersiapkan segala sesuatu untuk pesta malam ini dan kini masih perlu merisaukan serbet-serbet yang diperlukan”. Anak tidak muncul tepat pada waltunya sebagaimana telah disepakati bersama agar ibu dapat membawanya pergi untuk membeli sepatu yang diperlukan. Ibu dalam keadaan tergesa-gesa. Ibu: “Saya betul-betul tidak suka bila saya sudah merencanakan sebaik mungkin jadwal hari ini supaya kita isa bersama-sama pergi ke toko untuk membeli sepatu baru untukmu dan kau tidak juga muncul. Mengirim “Pesan Aku” yang Tanpa Kata pada Anak-anak yang Sangat Kecil Para oran tua yang mempunyai anak di bawah 2 tahun menanyakan bagaimana mereka dapat mengirimkan “pesan aku” pada ana-]k-anak yang masih terlalu kecil untuk dapat mengerti arti kata-kata dari suatu “pesan aku”. Menurut pengalaman kami, banyak orang tua menilai terlalu rendah kemampuan anak kecil untuk mengerti “pesan aku”. Pada umumnya anak- anak di bawah umur 2 tahun telah belajar mengenal apakah orangtua setuju atau tidak, senang atau tidak, suka atas kelakuan anak atau tidak. Pada umur 2 tahun kebanyakan anak telah mengetahui betul arti dari “Ibu tidak mau main”. Demikian pula: “Itu bukan permainan untuk Jimmi”, “Itu panas” ataupun “Itu akan melukai Jimmi”. Anak-anak yang sangat muda juga peka sekali terhadap pesan-pesan yang tidak terucapkan sehingga orang tua dapat menyampaikan perasaan- perasaan mereka pada anak dengan menggunakan isyarat-isyarat tanpa kata- kata. Tobi tidak bisa tenang sewaktu ibu membantunya berpakaian. Ibu secara lembut namun tegas mengekangnya dan melanjutkan mengenakan pakaiannya. (Pesan: “Saya tidak dapat membantu kamu berpakaian selama kamu tidak bisa diam”). Marini melompat-lompat di atas kursi panjang dan ibu takut ia akan menerjang lampu di atas meja pojok. Ibu secara lembut tetapi tegas mengangkat Marini dari kursi panjang dan bersama Marini melompat-lompat di lantai. (Pesan: “Saya tidak suka bila kau melompat-lompat di atas dipan, tetapi saya tidak keberatan bila kau melompat-lompat di lantai”). Jany merajuk dan enggan masuk ke dalam mobil, sedangkan ibu sedang terburu-buru. Ibu meletakkan tangannya pada punggung Joni dan secara lembut tetapi tegas mengarahkannya ke dalam mobil. (Pesan: “Saya sedang terburu- buru dan saya mau kamu masuk ke dalam mobil sekarang juga”). Heni menarik gaun pesta ibu yang baru yang sedang dikenakan untuk pergi. Ibu memindahkan tangan Heni dari gaun itu. (Pesan: “Saya tidak mau kamu menarik-narik pakaian saya”). 97
Sewaktu ayah sedang menggendong Toni di toko serba ada, ia mulai menendang perut ayah. Ayah segera menurunkan Toni. (Pesan: “Saya tidak suka menggendongmu bila kau menendang”). Ari meraih makanan dari piring ibu. Ibu mengambil kembali makanan itu darinya dan memberi Ari bagiannya sendiri dari piring sayur. (Pesan: “Saya menghendaki bagian saya dan saya tidak suka apabila kau mengambilnya dari piring saya”). Pesan-pesan sikap yang demikian dapat dimengerti oleh anak-anak yang kecil. Pesan-pesan tersebut menyampaikan pada anak kebutuhan-kebutuhan orang tuanya, namun tidak mengatakan pada anak bahwa anak itu nakal karena mempunyai kebutuhan sendiri. Dengan demikian jelaslah juga bahwa jika orang tua mengirimkan pesan-pesan tanpa kata-kata, ia tidak menghukum anak. Tiga Masalah pada “Pesan Aku” Para orang tua menjumpai persoalan-persoalan pada waktu menerapkan “pesan aku”. Tidak ada yang tidak dapat diatasi, namun masing-masing memerlukan ketrampilan-ketrampilan khusus. Anak-anak sering kali memberirespons terhadap “pesan aku” dengan mengacuhkan, khususnya pada waktu orang tua baru mulai menggunakan “pesan aku”. Tidak seorang pun akan senang bila mengetahui bahwa ingkah lakunya mengganggu kebutuhan orang lain. Ini pun berlaku bagi si anak. Mereka kadang-kadang lebih suka “tidak mendengar” bagaimana tingkah laku mereka mempengaruhi perasaan orang tua mereka. Kami menyarankan agar para orang tua itu mengirimkan lagi suatu “pesan aku” yang lainnya, apabila yang pertama tidak memperoleh tanggapan. Mungkin “pesan aku” yang kedua ini akan jauh lebih kuat, lebih meneka, lebih keras ataupun, dengan tekanan perasaan yang lebih kuat. Pesan yang kedua memberitahukan kepada anak “Perhatikan, saya tidak main-main”. Ada sementara anak yang acuh tak acuh terhadap suatu “pesan aku” seraya mengangkat bahu seolah berkata: “Apa salahnya?”. “Pesan aku” kedua kali ini lebih kuat, mungkin dapat berpengaruh. Kalau perlu orang tua dapat berkata seperti: “Dengarlah, saya sekarang memberitahu padamu apa yang saya rasakan. Ini penting bagi saya. Dan saya tidak suka diremehkan. Saya benci bila kau pergi meninggalkan saya begitu saja dan tidak mau mendengarkan perasaan saya. Saya rasa kurang adil bila kau acuh tak acuh sementara saya betul-betul mempunyai masalah”. Bentuk pesan ini kadang kala dapat menginsafkan anak atau mengarahkan perhatiannya. Pesan itu memberitahukan padanya, “Saya sedang sungguh- sungguh”. 98
Ada kalanya anak-anak kerap menjawab suatu “pesan aku” dengan memberikan “pesan aku” kembali. Mereka menginginkan agar Anda mendengar perasaan mereka, daripada segera mengubah tingkah lakunya, misalnya seperti pada contoh berikut ini: IBU: “Saya benci melihat ruang tamu yang baru saya bersihkan kotor kembali begitu kamu pulang sekolah. Saya merasa putus asa setelah bekerja keras untuk membersihkannya, enak saja orang lain mengotorinya.” ANAK: “Menurut saya, Ibu terlalu berlebih-lebihan membersihkan rumah”. Dalam hubungan ini, para orang tua yang tidak terlatih sering kali menjadi defensif dan tersinggung, dan serta-merta menangkis kembali sambil menjawab, “Itu tidak betul” atau “Itu bukan urusanmu”. Untuk dapat mengendalikan situasi-situasi yang demikian secara efektif, hendaknya para orang tua mengingat kembali prinsip-prinsip dasar pertama – apabila anak mempunyai perasaan tertentu ataupun suatu persoalan hendaknya Anda menjadi seorang pendengar yang baik. Di dalam kejadian di atas, “pesan aku” yang diberikan ibu menimbulkan persoalan bagi si anak (sebagaimana biasa terjadi). Kini saatnya untuk menunjukkan pengertia dan penerimaan terhadap si anak karena “pesan aku” itu telah menimbulkan persoalan bagi anak: IBU: “Kamu merasa bahwa tuntutan-tuntutan saya dalam soal kebersihan terlau tinggi, bahwasanya saya terlalu berlebih-lebihan?” ANAK: “Ya, benar Bu.” IBU: “Ya, itu mungkin betul juga, saya akan mempertimbangkan hal itu. Namun sementara saya belum berubah, saya betul merasa putus asa bahwa segala pekerjaan saya itu tidak dihargai. Pada saat ini saya sangat kecewa mengenai ruangan ini”. Tidak jarang terjadi, setelah si anak dapat merasakan bahwa orang tuanya telah mengerti perasaannya, ia akan mengubah tingkah lakunya. Yang biasanya diminta oleh anak adalah bahwa perasaan dia dimengerti, sesudah itu ia akan merasa bahwa ia perlu melakukan sesuatu perbaikan demi perasaan Anda. Yang juga mengejutkan kebanyakan orang tua adalah pengalaman bahwa menjadi pendengar yang baik dapat mengeluarkan perasaan- perasaan anak, yang kini dimengerti oleh orang tua, sehingga perasaan tidak menerima dari pihak orang tua dapat menghilang atau berubah. Dengan mendorong anak untuk mengemukakan perasaan-perasaannya, orang tua dapat melihat seluruh situasi dengan lebih jelas. Sebelumnya saya pernah beri contoh mengenai anak yang takut tidur karena takut menutup mulutnya sehingga tidak dapat bernafas. Pesan ini segera mengubah sikap ibu yang tadinya tidak bisa menerima menjadi sikap penuh pengertian. 99
Situasi lain yang dilaporkan oleh salah satu peserta, menggambarkan bagaimana sebagai pendengar yang baik orang tua dapat mengubah perasaan “dirinya sendiri. AYAH: “Saya marah karena piring kotor habis makan malam ditinggal begitu saja dalam bak cucian. Bukankah kita telah bersepakat bahwa Anda akan mencucinya segera setelah makan malam?” GIDO: “Saya begitu lelah setelah makan malam, karena saya telah lembur hingga pukul tiga pagi menyelesaikan pekerjaan rumah”. AYAH: “Kamu sedang mencuci piring-piring itu segera seusai makan malam?” GIDO: “Memang begitu. Kalau demikian saya tidur sebentar sampai setengah sebelas. Saya akan mengerjakannya sebelum tidur. Oke?” AYAH: “Setuju saja” Persoalan yang dijumpai oleh semua orang tua dalam pelaksanaan “pesan aku” adalah bahwa anak kadang kala menolak untuk mengubah tingkah lakunya sekalipun ia sudah mengerti pengaruh tingkah lakunya terhadap orang tuanya. Kadang kala “pesan aku” yang jelas pun tidak ada efeknya – si anak tidak mengubah tingkah lakunya yang mengganggu kebutuhan orang tua. Kebutuhan anak untuk bertingkahlakunya dalam cara tertentu bertabrakan dengan kebutuhan orang tua agar anak tidak bertingkah laku demikian. Di dalam MOE, ini dinamakan situasi “konflik antar-kebutuhan atau antar-motif”. Apabila ini berlangsung, sebagaimana mungkin muncul dalam setiap situasi hubungan antar-manusia, maka ini merupakan saat yang menunjukkan makna sesungguhnya dalam hubungan antar-pribadi yang sedang berlangsung. Mengenai bagaimana situasi “konflik antar-motif” ini dapat dikendalikan akan dibicarakan sebagai inti buku ini, dimulai dalam bab 9. 100
8 Mengubah Tingkah Laku yang Tidak Dapat Diterima dengan Cara Mengubah Lingkungan Hanya sedikit orang tua yang berusaha mengubah tingkah laku anak- anak mereka dengan mengubah lingkungan hidup anak. Mengubah lingkungan lebih banyak digunakan terhadap bayi daripada anak-anak yang lebih tua, karena ketika anak bertambah besar orang tua lebih suka memakai metode verbal, terutama cara yang “meremehkan” atau yang mengancam anak; mereka mengabaikan pengubahan lingkungan dan berusaha mengubah tingkah laku anak yang tidak dapat diterima melalui kata-kata. Hal ini agak merugikan, karena mengubah lingkungan sering sangat sederhana dan sangat manjur untuk anak-anak dari semua usia. Orang tua mulai menggunakan cara ini dengan lebih luas, segera setelah mereka menyadari kemungkinan-kemungkinan besar yang dapat tersedia: 1. Memperkaya lingkungan. 2. Mempermiskin lingkungan 3. Menyederhanakan 4. Membatasi 5. Menciptakan lingkungan “tahan anak” 6. Mengganti satu kegiatan dengan yang lain 7. Mempersiapkan anak untuk mengalami perubahan-perubahan dalam lingkungannya 8. Bersama-sama membuat rencana dengan anak-anak yang sudah lebih besar MEMPERKAYA LINGKUNGAN Setiap guru taman kanak-kanak yang baik tahu bahwa satu cara yang manjur untuk menghentikan atau mencegah tingkah laku yang tidak dapat diterima adalah dengan menyediakan berbagai kegiatan yang menarik – memperkaya lingkungan dengan alat-alat mainan, bahan-bahan bacaan, permainan-permainan, tanah liat, baneka, dan sebagainya. Orang tua yang efektif juga menggunakan prinsip ini; apabila terlibat dalam sesuatu yang menarik mereka tidak akan “melakukan hal kurang baik” atau mengganggu orang tua. Beberapa peserta kursus telah melaporkan hasil yang baik dengan memberi anak suatu tempa khusus di garasi atau sudut tertentu dari rumah atau halaman belakang dan mengatakan bahwa di situ ia bebas menggali, memukul, membangun sesuatu, menggambar, membuat berantakan, pokoknya tempat di mana anak bisa mengerjakan apa yang dia kehendaki tanpa menimbulkan kerusakan. Perjalanan jauh adalah waktu di mana anak-anak biasanya membuat orang tua kesal. Beberapa keluarga mengatasi dengan membawa bahan- 101
bahan permainan, teka-teki, dan sebagainya yang dapat mencegah anak menjadi bosan atau gelisah. Kebanyakan ibu tahu bahwa anak-anak mereka tidak akan menunjukkan tingkah laku yang tidak bisa diterima kalau ada teman-teman yang datang bermain ke ruamah. Sering kali dua atau tiga anak lebih mudah menunjukkan tingkah laku yang dapat “diterima” daripada seorang anak sendirian. Kuda-kuda untuk melukis, tanah liat untuk membuat bentuk, boneka- boneka untuk main sandiwara, keluarga bineka dan rumah boneka, cat untuk dicoret-coretkan, balok-balok untuk membuat bangunan – semua ini dapat mengurangi tingkah laku agresif, gelisah, atau mengganggu. Orang tua terlalu sering lupa bahwa anak-anak membutuhkan kegiatan yang menarik dan penuh tantangan, seperti juga halnya orang-orang tua. MEMPERMISKIN LINGKUNGAN Ada kalanya anak-anak memerlukan lingkungan yang rangsangannya sedikit – misalnya menjelang tidur. Orang tua kadang-kadang terlalu merangsang anak sebelum tidur atau sebelum makan dan kemudian mengharapkan bahwa mereka tiba-tiba menjadi tenang atau terkendali. Pada waktu-waktu ini lingkungan anak sebaiknya dibuat miskin, tidak diperkaya. Banyak tekanan dan kesulitan yang terjadi pada waktu ini dapat dihindarkan bila orang tua berusaha untuk mengurangi rangsangan dalam lingkungan anak. MENYEDERHANAKAN LINGKUNGAN Anak-anak sering berbuat sesuatu yang “tidak dapat diterima” karena lingkungan mereka terlalu sukar atau majemuk bgi mereka, mereka mengganggu orang tua, ingin supaya dibantu, sama sekali menghentikan kegiatan, melempar barang-barang ke lantai, merengek, lari, menangis. Lingkungan rumah perlu diubah dalam banyak hal untuk memudahkan anak mengerjakan hal-hal tertentu bagi dirinya, untuk menggunakan obyek- obyek yang ada dengan aman, dan untuk menghindarkan kekecewaan yang timbul karena ia tidak mampu mengendalikan lingkungannya sendiri. Banyak orang tua secara sadar berusaha menyederhanakan lingkungan anak dengan: - Membuat peti atau tempat pijakan sehingga anak dapat mengambil sendiri pakaiannya di dalam lemari. - Membeli alat-alat makan yang khusus bagi anak-anak. - Meletakkan paku gantungan pakaian di tempat yang rendah. - Membeli cangkir-cangkir dan gelas-gelas yang tidak bisa pecah - Memaku pajangan pintu sedemikian rupa hingga mudah dicapai anak - Mencat kamar anak dengan cat tembok yang dapat dicuci 102
MEMBATASI RUANG GERAK ANAK Bila seorang ibu meletakkan anaknya yang menunjukkan tingkah laku tidak dapat diterima di dalam boks-main yang tertutup, ia berusaha untuk membatasi “ruang geraknya” sehingga tingkah lakunya kemudian dapat diterima oleh ibu ini. Halaman yang dipagari berguna untuk mencegah tingkah laku seperti lari ke jalan, menginjak-injak kebun bunga tetangga, dan sebagainya. Ada orang tua yang mengikat anaknya dengan selendang bila membawanya berbelanja. Orang tua yang lain menyediakan suatu tempat khusus di rumah, di situ anak diizinkan bermain dengan tanah liat, melukis, menggunting-gunting kertas, atau bermain dengan benda-benda lain, sehingga pengotoran hanya terjadi pada daerah yang khusus tersebut. Dapat juga disediakan tempat khusus di mana anak boleh berteriak-teriak, bermain-main dengan lumpur, main kasar, dan sebagainya. Anak-anak biasanya menerima pembatasan ruang gerak semacam itu, bila batas-batas bisa diterima akal dan anak cukup mendapatkan kebebasan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kadang-kadang seorang anak menolak pembatasan dan menimbulkan konflik dengan orang tua. (Dalam bab berikut akan kami bicarakan bagaimana konflik dengan orang tua dapat diselesaikan). MENCIPTAKAN LINGKUNGAN “TAHAN ANAK” Meskipun kebanyakan orang tua menyingkirkan obat-obatan, pisau- pisau tajam, dan bahan kimia yang berbahaya dari jangkauan anak-anak, menciptakan lingkungan “Tahan Anak” juga dapat mencakup hal-hal seperti: - Memutar pegangan panci ke arah belakang, bila sedang memasak. - Membeli cangkir dan gelas yang anti pecah. - Menyingkirkan korek api dari jangkauan anak. - Membetulkan kabel-kabel listrik yang terbuka. - Mengunci gudang, - Menyingkirkan benda-benda berharga yang mudah pecah. - Menyimpan alat-alat yang tajam. - Meletakkan karpet plastik di kamar mandi. - Memasang jendela dengan terali di tingkat atas. - Menyimpan karpet-karpet yang licin. Setiap keluarga harus meneliti sendiri keadaan yang bagaimana yang “Tahan Anak”. Dengan sedikit kesukaran kebanyakan orang tua dapat menemukan banyak cara untuk membuat rumah menjadi “Tahan Anak”, dengan demikian mencegah timbulnya tingkah laku yang tidak dapat diterima. 103
MENGGANTI SATU KEGIATAN DENGAN KEGIATAN LAIN Bila seorang anak bermain dengan pisau tajam, gantilah dengan pisau tumpul. Bila dia selalu ingin memeriksa apa isi laci kosmetik Anda, berilah ia beberapa botol kosong atau kotak untuk bermain-main di lantai. Bila ia akan menyobek majalah yang ingin Anda simpan, berilah ia majalah lain yang boleh disobeknya. Bila ia ingin menggambari tembok Anda dengan pensil berwarna, berilah ia kertas bungkus besar yang dapat dicoret- coretnya. Kegagalan untuk memberikan pengganti sebelum mengambil sesuatu dari anak biasanya akan menyebabkan anak frustasi dan menangis. Tetapi sering kali anak-anak mau menerima pengganti tanpa rewel, bila orang tua melakukannya dengan halus dan tenang. MEMPERSIAPKAN ANAK UNTUK MENGALAMI PERUBAHAN-PERUBAHAN LINGKUNGAN Banyak tingkah laku anak yang tidak dapat diterima dapat dicegah dengan sebelumnya mempersiapkan anak untuk perubahan-perubahan dalam lingkungannya. Apabila pengasuhnya harus pulang ke kampung pada hari Jumat, mulailah bercakap-cakap dengan anak-anak hari Rabu, tentang pengasuh baru yang akan datang. Bila Anda akan berlibur ke pantai, persiapkan anak berminggu-minggu sebelumnya mengenai hal-hal baru yang akan dijumpainya – tidur di tempat tidur yang asing, berkenalan dengan teman-teman baru, sepeda tidak bisa dibawa, ombak yang bergulung-gulung, bagaimana ia harus bertingkah laku kalau ia naik perahu, dan sebagainya. Anak-anak mempunyai kemampuan yang mengherankan untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan-perubahan, seandainya orang tua mau membicarakan perubahan-perubahan ini sebelumnya. Hal ini tetap berlaku bahkan bila anak harus mengalami sakit atau rasa tidak nyaman, seperti misalnya pergi ke dokter untuk disuntik. Mendiskusikan hal ini dengan terus terang, bahkan akan sakit sebentar, dapat membantu anak menanggulangi situasi ini, bila situasi tersebut benar-benar dialaminya. MEMBUAT RENCANA DENGAN ANAK-ANAK YANG LEBIH BESAR Konflik-konflik juga dapat dicegah dengan cara hati-hati mengatur lingkungan para remaja. Mereka juga membutuhkan cukup tempat untuk barang-barang pribadinya, tempat untuk kegiatan independen. Berikut ini beberapa usul untuk “memperbesar tingkah laku anak yang dapat diterima”. 104
- Berilah anak jam beker untuk dirinya sendiri. - Sediakan lemari pakaian yang cukup besar dengan banyak gantungan. - Tentukan sebuah tempat di mana keluarga dapat saling meninggalkan pesan. - Sediakanlah penanggalan pribadi supaya anak dapat saling mencatat janji yang dibuatnya. - Bila Anda membeli peralatan baru, bacalah intruksi penggunaannya bersama- sama. - Beritahukanlah sebelumnya kepada anak bila Anda menantikan tamu, sehingga mereka tahu kapan harus membersihkan kamar mereka. - Sediakanlah kunci pintu rumah yang bertali sehingga dapat dipenitikan pada tas tangan (untuk anak gadis) atau dikalungkan di leher (untuk anak laki-laki). - Berilah uang saku bulanan, jangan mingguan, dan bicarakanlah sebelumnya pengeluaran apa saja yang tidak termasuk dalam uang saku itu. - Terangkanlah macam-macam biaya ekstra dalam pembicaraan telepon. - Diskusikanlah sebelumnya hal-hal seperti pukul berapa ia harus sudah ada di rumah, persoalan-persoalan asuransi kalau ada, apa yang harus dilakukan bila terjadi tabrakan, penggunaan alkohol dan obat-obatan, dan sebagainya. - Bila seorang remaja harus mencuci pakaiannya sendiri, usahakan supaya semua peralatan yang perlu sudah tersedia. - Usulkan ia supaya selalu membawa uang kecil, sehingga kalau perlu ia bisa menelepon sewaktu-waktu. - Suruhlah anak membuat daftar nama dan alamat beserta telepon (kalau ada) dari teman-temannya, untuk memudahkan seandainya anak harus cepat-cepat pulang. - Katakanlah pada anak, makanan-makanan mana dalam lemari makan yang Anda sediakan untuk tamu. - Beritahukanlah sebelumnya diperlukan kerja tambahan karena ada tamu yang akan menginap. - Doronglah anak untuk membuat daftar dan jadwal kegiatan untuk mempersiapkan suatu liburan keluarga. - Beritahukanlah lebih dahulu kepada anak, siapa nama tamu-tamu Anda yang akan datang, untuk mencegah anak menjadi bingung. - Beritahukanlah sebelumnya bila Anda hendak pergi ke luar kota, supaya mereka dapat membuat rencana kegiatan mereka. - Bila Anda mempunyai telepon, ajarlah mereka bagaimana caranya menerima telepon dan mencatat pesan. - Hendaknya selalu mengetuk pintu sebelum masuk kamar. - Bila mau mengadakan pesta, rundingkanlah dahulu “aturan” pesta yang akan diselenggarakan. Kebanyakan orang tua dapat menemukan banyak contoh lain dalam hal- hal tersebut. Makin banyak orang tua mengubah lingkungan makin terasa nikmatnya hidup mereka dengan anak-anak, dan makin sedikit orang tua harus berkonfrontasi dengan anak-anak mereka. Dalam MOE, orang tua yang belajar mengubah lingkungan harus mengalami perubahan-perubahan yang cukup mendasar dulu dalam sikap 105
mereka terhadap anak-anak dan hak-hak mereka di rumah. Salah satu perubahan itu berhubungan dengan pertanyaan: Rumah siapakah ini? Kebanyakan orang tua dalam kursus kami beranggapan bahwa rumah kami adalah rumah mereka; bahwa anak-anak karena itu, harus dilatih dan dididik untuk bertingkah laku pantas dan benar. Hal ini berarti anak harus “dibentuk” dan “ditempa” sampai akhirnya ia tahu apa yang diharapkan daripadanya dalam rumah orang tuanya. Orang tua semacam ini jarang tergerak untuk mengadakan perubahan besar dalam lingkungan rumah, ketika seorang anak lahir di rumah itu. Mereka cenderung membiarkan rumah sama seperti sebelum anak lahir dan mengharapkan agar anaklah yang menyesuaikan diri. Kami mengajukan pertanyaan ini kepada para orang tua: “Apabila hari ini Anda dikabari bahwa minggu depan Anda harus membawa salah satu orang tua Anda ke rumah karena sebagian tubuhnya lumpuh dan kadang- kadang harus menggunakan kayu topang atau kursi roda, perubahan apa yang akan Anda lakukan di rumah?” Pertanyaan ini biasanya akan menghasilkan daftar yang panjang seperti: - Membuang karpet yang licin. - Menambah besi-besi pegangan pada tangga. - Menyingkirkan perabotan rumah, supaya kursi roda lebih leluasa bergerak. - Menempatkan barang-barang yang sering digunakan di rak-rak lemari makan bagian bawah sehingga mudah dicapai. - Menyediakan bel yang bersuara nyaring yang dapat dibunyikan bila ia menghadapi kesukaran. - Memasang pesawat telepon tambahan. - Menyingkirkan meja-meja yang mudah ambruk. - Membuat tangga khusus, hingga ia dapat membawa sendiri kursi rodanya turun ke halaman. - Membeli karpet untuk kamar mandi. Bila orang tua melihat betapa banyaknya usaha mengubah rumah yang akan mereka lakukan demi orang tua mereka yang cacat, maka mereka tentu lebih bersedia menerima usul untuk mengadakan perubahan demi anak- anak. Kebanyakan orang tua terkejut ketika menyadari bahwa sikap mereka terhadap orang tua yang lumpuh amat berbeda dengan sikap mereka terhadap anak-anak ketika dihadapkan pada pertanyaan “Rumah siapakah ini?” Para orang tua mengakui bahwa mereka akan berulang-ulang berusaha meyakinkan orang tuanya yang cacat bahwa rumah mereka sekarang adalah juga rumahnya, tetapi tidak demikian halnya terhadap anak-anak. ”Saya sering heran kalau melihat bagaimana – melalui sikap dan tingkah laku mereka – orang tua menunjukkan bahwa mereka memperlakukan 106
tamu-tamu dengan jauh lebih hormat dibandingkan dengan perlakuan terhadap anak-anak mereka sendiri. Terlalu banyak orang tua yang bertingkah laku seakan-akan anak yang harus melakukan semua penyesuaian terhadap lingkungan mereka. 107
9 Konflik-konflik Orang Tua –Anak yang Tidak Bisa Dihindari: Siapa yang Harus Menang? Semua orang tua pernah mengalami situasi di mana anak tidak juga mengubah tingkah laku mereka, sekalipun situasi sudah diubah dan anak sudah diajak berbicara; anak tetap melakukan hal-hal yang mengganggu kepentingan orang tua mereka. Situasi-situasi semacam ini tidak dapat dielakkan dalam hubungan antara orang tua dengan anak, karena si anak mempunyai “kebutuhan” untuk bertingkah laku demikian, sekalipun ia telah menyadari bahwa tingkah lakunya itu mengganggu atau bertentangan dengan kebutuhan orang tua. Joni masih saja bermain bola basket di lapangan sebelah, padahal ibunya sudah berulang kali memperingatkan bahwa setengah jam lagi mereka harus pergi. Ny. J telah memberitahu pada Mari bahwa ia harus segera berbelanja ke toko X, namun Mari masih saja sebentar-sebentar berhenti melihat-lihat etalase toko-toko sepanjang jalan. Sari tidak mau mempedulikan perasaan-perasaan orang tuanya. Ia bersikeras juga untuk pergi berkemah di pantai bersama teman-temannya akhir pekan ini, sekalipun ia tahu orang tuanya tidak setuju Konflik-konflik antara kebutuhan orang tua dan anak semacam ini tidak hanya tidak dapat dielakkan, tetapi cenderung terjadi berulang kali dalam setiap keluarga. Itu bisa berkisar mulai dari perbedaan-perbedaan kecil sampai pertengkaran-pertengkaran serius. Itu semuanya merupakan persoalan-persoalan bersama – bukan hanya persoalannya anak saja atau orang tua saja. Baik orang tua maupun anak, kedua-duanya terlibat dalam persoalan itu – kepentingan bersamalah yang terancam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persoalannya adalah persoalan hubungan orang tua – anak. Persoalan-persoalan inilah yang timbul apabila metode-metode yang lain tidak berhasil mengubah tingkah laku anak yang tidak dapat diterima oleh orang tua. Suatu konflik merupakan suatu saat penting dalam suatu hubungan – suatu ujian mengenai sehat tidaknya hubungan tersebut, suatu krisis yang dapat melemahkan ataupun menguatkan hubungan tersebut, suatu kejadian berbahaya yang dapat membawa perasaan dendam yang berlarut-larut, sikap permusuhan yang membawa luka psikologis. Konflik dapat menjauhkan seseorang dari yang lain ataupun menarik mereka ke suatu persatuan yang lebih mesra; konflik mengandung benih-benih kehancuran dan benih-benih kesatuan; konflik dapat mencetuskan perang terbuka ataupun saling pengertian yang lebih mendalam. 108
Bagaimana cara konflik itu diselesaikan, mungkin merupakan faktor paling menentukan dalam hubungan antara orang tua dan anak. Tapi sayang kebanyakan orang tua mencoba menyelesaikannya dengan hanya menggunakan dua cara pendekatan dasar yang kurang efektif dan dapat membahayakan anak maupun hubungan itu sendiri. Hanya segelintir orang tua dapat menerima kenyataan bahwa konflik merupakan bagian dari kehidupan dan tidak selalu jelek. Kebanyakan orang tua memandang konflik sebagai sesuatu yang bagaimanapun harus dihindari. Kami sering mendengar suami-suami dan istri-istri yang berbangga bahwa tidak pernah terjadi suatu peselisihan paham yang serius – seolah-olah mau mengatakan bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Orang tua mengatakan pada anak-anak, “Baiklah, hari ini tidak perlu bertengkar sewaktu makan malam, kita tidak ingin merusak suasana makan malam bersama”. Ataupun mereka berseru, “Hentikan pertengkaran itu sekarang juga!”. Orang tua yang mempunyai anak-anak remaja sering kali mengeluh bahwa dengan bertambahnya umur anak-anak mereka, makin banyak timbul perbedaan pendapat dan konflik-konflik dalam keluarga: “Dulu kita telah sepaham mengenai kebanyakan hal”. Atau, “Dulu anak saya selalu menurut dan mudah dikendalikan, namun kini seolah-olah berjalan sendiri-sendiri”. Kebanyakan orang tua enggan terlibat dalam situasi konflik, mereka menjadi sangat risau jika terjadi konflik, dan sangat bingung serta tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasinya secara kontruktif. Sesungguhnya, jarang terdapat suatu hubungan antar-manusia yang bebas dari konflik. Bila dua orang atau dua kelompok berada berdekatan, maka suatu konflik akan terjadi, karena manusia memang berbeda satu sama lain, masing-masing berbeda dalam hal pemikiran, mempunyai kepentingan yang berlainan, dan bukan sering kali menginginkan hal-hal berbeda. Oleh karena itu, konflik tidak selalu jelek – ia timbul sebagai suatu kenyataan dalam setiap hubungan antar manusia. Malahan suatu hubungan timbal-balik yang tidak pernah ada konfliknya, justru dapat merupakan suatu hubungan yang tidak sehat dibandingkan dengan suatu hubungan yang kerap ada konfliknya. Satu contoh yang baik adalah, suatu perkawinan di mana sang istri selalu menuruti kemauan suami yang sangat dominan, atau dalam suatu hubungan antara orang tua dan anak di mana si anak begitu takut pada orang tuanya sehingga ia sama sekali tidak berani menentang mereka dalam hal apa pun juga. Kita sering menjumpai keluarga-keluarga, terutama keluarga-keluarga besar, di mana meski konflik terus terjadi namun keluarga-keluarga itu tetap bahagia dan sehat. Sebaliknya, saya sering baca berita surat kabar mengenai tindak kejahatan anak muda yang orang tuanya sama sekali tidak mengerti 109
mengapa itu sampai terjadi. Mereka tidak pernah mendapat kesulitan dengan anaknya; anaknya selama ini selalu menurut. Konflik keluarga yang dapat dinyatakan secara terbuka dan diterima sebagai gejala wajar, jauh lebih sehat bagi anak-anak. Di dalam keluarga- keluarga demikian, anak paling sedikit mempunyai kesempatan untuk mengalami suatu konflik, belajar mengatasinya, dan akan lebih siap bilamana di kemudian hari mengalaminya kembali. Sebagai persiapan yang perlu terhadap konflik-konflik yang tidak dapat dihindari kelak di luar rumah, maka konflik dalam keluarga bahkan menguntungkan anak, asalkan konflik yang terjadi dalam lingkungan rumah dapat diselesaikan secara konstruktif. Ini merupakan faktor kritis di dalam setiap bentuk hubungan yaitu: bagaimana suatu konflik itu dapat diselesaikan dan bukannya berapa konflik yang terjadi. Saya yakin bahwa hal tersebut merupakan faktor kritis yang terpenting untuk menentukan apakah kelanjutan dari suatu hubungan akan menjadi sehat atau tidak sehat, saling memuaskan atau tidak memuaskan, bersahabat ataupun tidak bersahabat, mendalam atau dangkal, mesra atau dingin. ADU KEKUATAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK Di dalam kursus-kursus MOE, jarang ditemukan orang tua yang memikirkan penyelesaian suatu konflik tanpa istilah menang dan kalah. Orientasi “menang-kalah” ini agaknya mendasari dilema para orang tua dewasa ini – antara mengambil sikap keras (orang tua yang menang) atau bermurah hati (anak yang menang). Dalam membesarkan anak, kebanyakan orang tua melihat seluruh masalah kedisiplinan sebagai suatu pertanyaan apakah harus bersikap keras, ataukah bersikap lunak, kasar ataukah lembut, memaksa ataukah membiarkan. Karena mereka terjerat oleh pendekatan “menang atau kalah”, maka mereka melihat hubungan dengan anak-anaknya lebih sebagai suatu perjuangan adu kekuatan, suatu pertarungan antar-kemauan, suatu perkelahian untuk menentukan siapa yang menang, siapa yang kalah. Mereka bahkan memperbincangkan perjuangan mereka dengan cara yang sama seperti dua negara yang berperang. Salah seorang ayah dalam kursus MOE memberikan suatu ilustrasi yang jelas mengenai hal ini sebagai berikut: “Anda harus sejak awal-mula menunjukkan siapa yang berkuasa. Bila tidak, maka mereka akan mencoba mencari kemungkinan untuk menguasai Anda. Di situ letak kesukarannya dengan istri saya – ia selalu membiarkan anak-anak menang dalam semua pertengkaran. Ia selalu mengalah dan anak-anak mengetahui hal itu”. Seorang ibu dari seorang remaja mencoba menceritakannya dengan gayanya sendiri: 110
“Saya membiarkan anak saya melakukan apa yang ia kehendaki, namun biasanya sayalah yang menderita. Saya seperti diinjak-injak. Bila Anda memberikan padanya satu meter, ia akan mengambil sepanjang satu kilometer”. Seorang ibu yang lain begitu yakin bahwa ia tidak akan kalah dalam “perang mengenai panjang gaun”. “Saya tidak memperdulikan perasaannya, dan tidak jadi soal bagi saya apakah yang dilakukan oleh orang tua lainnya – tidak satu pun anak-anak perempuan saya, saya izinkan mengenakan rok sependek itu, saya tidak mundur setapak pun juga. Saya harus memenangkan pertarungan ini”. Anak-anak pun melihat hubungan mereka dengan orang tua mereka sebagai suatu pertarungan kalah atau menang. Titi seorang pemudi pandai berumur 15 tahun, yang membuat orang tuanya cemas karena enggan bercakap-cakap dengan mereka, pada salah satu kesempatan bercerita pada saya sebagai berikut: “Apa gunanya membantah? Merekalah yang selalu menang. Saya sudah tahu itu sebelum kami terlibat dalam suatu perdebatan. Mereka selalu mau menang sendiri. Bagaimana juga, mereka adalah orang tua saya. Mereka selalu beranggapan bahwa mereka benar. Maka dari itu, saya tidak pernah berusaha untuk berdebat. Saya keluar dan tidak berbicara dengan mereka. Tentu saja mereka marah bila saya berbuat demikian. Tetapi, saya tidak peduli”. Karim, seorang pelajar SLA, menghadapi sikap menang-kalah orang tuanya dengan cara lain: “Apabila saya memang berminat berbuat sesuatu, saya tidak pernah pergi kepada ibu saya, karena reaksi pertama dari ibu adalah selalu “tidak”. Saya akan menunggu sampai ayah pulang. Pada umumnya saya dapat mengajak dia agar mau berada di pihak saya. Ia jauh lebih murah hati, dan biasanya saya mendapatkan apa yang saya kehendaki daripadanya”. Apabila pecah konflik antara orang tua dan anak, maka orang tua pada umumnya mencoba menyelesaikan sesuai dengan apa yang diharapkan sedemikian rupa sehingga orang tua akan menang dan anak kalah. Orang tua lain sekalipun tidak banyak jumlahnya selalu menuruti kehendak anak- anak karena takut terlibat konflik atau takut membuat anak-anak frustasi. Di dalam keluarga-keluarga yang demikian si anaklah yang menang dan orang tua kalah. Dilema utama dari orang tua dewasa ini adalah bahwa mereka hanya mengenal cara-cara pendekatan menang-kalah. Dua Cara Pendekatan Menang-Kalah Di dalam MOE, dua cara penyelesaian konflik dengan pendekatan menang-kalah secara sederhana disebut sebagai Metode I dan Metode II. Dalam kedua metode ini ada orang yang menang serta ada yang kalah – 111
yang satu memperoleh apa yang dikehendaki dan yang lain tidak. Berikut ini akan dijabarkan cara kerja Metode I dalam konflik orang tua – anak: Kebutuhan orang tua bertentangan dengan kebutuhan anak. Orang tua menentukan cara penyelesaiannya. Setelah orang tua memilih cara penyelesaiannya, mereka mengatakannya kepada anak dan berharap anak akan menerimanya. Apabila anak tidak menerima cara penyelesaian yang demikian, boleh jadi orang tua berusaha membujuk anak agar mau menerimanya. Apabila itu pun gagal, maka orang tua biasanya berusaha memaksakan kehendaknya melalui kekuasaan dan otoritas mereka. Konflik berikut ini merupakan konflik antara ayah dan putrinya yang berumur 12 tahun, dan memperoleh penyelesaian melalui Metode I: YANI: “Daag. Saya mau berangkat ke sekolah.” ORANG TUA: “Hari hujan Sayang, kenapa kau tidak memakai jas hujan?” YANI: “Saya tidak memerlukannya.” ORANG TUA: “Tidak memerlukannya? Nanti kau basah kuyup, pakaianmu akan menjadi kotor, dan kamu akan masuk angin.” YANI: “Yah, hanya gerimis.” ORANG TUA: “Cukup deras.” YANI: “Tapi, saya tidak mau mengenakan jas hujan. Saya benci memakainya.” ORANG TUA: “Tapi Sayang, kamu akan lebih hangat dan kering bila mengenakannya. Ayolah, ambil.” YANI: “Saya benci jas hujan itu – saya tidak mau mengenakannya!” ORANG TUA: “Cepat kembali ke kamarmu dan ambil jas hujan itu! Saya tidak akan mengijinkanmu ke sekolah tanpa mengenakan jas hujan pada hari seperti ini.” YANI: “Tapi saya tidak menyukainya....” ORANG TUA: “Tidak pakai ‘tapi-tapi’ – apabila kamu tidak mau mengenakannya kami akan memaksamu.” YANI: (MARAH) “Baik, bapak menang! Saya akan memakai jas hujan keparat itu!” Sang ayah mendapatkan apa yang diinginkan. Keputusan ayah bahwa Yani akan mengenakan jas hujan terlaksana, sekalipun Yani tidak menghendaki demikian, orang tua menang dan Yani kalah. Yani sama sekali tidak senang dengan cara penyelesaian yang demikian, namun ia menyerah terhadap ancaman bahwa orang tuanya akan menggunakan kekuasaan (hukuman). Contoh berikut ini menunjukkan cara kerja Metode II dalam penyelesaian antara orang tua dan anak. Orang tua dan anak terlibat dalam suatu situasi konflik kebutuhan. Orang tua mungkin saja sudah mempunyai suatu cara penyelesaiannya, mungkin belum. Bila ada, ia akan mencoba mempengaruhi anak untuk menerimanya. Sudah jelas bahwa si anak pun sudah mempunyai cara penyelesaiannya sendiri dan ia sedang berusaha mempengaruhi orang tua untuk menerimanya. Apabila orang 112
tuanya menolak, anak akan mencoba mengunakan kekuatannya agar orang tua menurut. Pada akhirnya orang tua menyerah. Sehubungan dengan konflik mengenai jas hujan, maka metode II kira- kira akan bekerja sebagai berikut: YANI: “Daag. Saya mau berangkat ke sekolah.” ORANG TUA: “Hari hujan Sayang, kenapa kau tidak memakai jas hujan?” YANI: “Saya tidak memerlukannya.” ORANG TUA: “Tidak memerlukannya? Kamu akan basah kuyup, pakaianmu akan menjadi kotor, atau kau akan masuk angin.” YANI: “Hanya gerimis saja.” ORANG TUA: “Saya ingin agar kau memakainya.” YANI: “Saya membenci jas hujan itu. Saya tidak mau mengenakannya. Jika Bapak memaksa saya, saya akan marah.” ORANG TUA: “Baiklah, saya menyerah! Pergilah ke sekolah tanpa jas hujanmu, saya tidak ingin bertengkar denganmu lebih lama lagi – kau menang.” Yani berhasil memperoleh apa yang dikehendakinya – ia menang dan orang tuanya kalah. Orang tua itu tentu tidak senang dengan penyelesaian yang demikian, tetapi ia menyerah agar Yani tidak menggunakan kekuatannya (dalam hal ini, menjadi marah terhadap ayah). Metode I dan metode II mempunyai kesamaan sekalipun hasilnya berbeda. Dalam kedua metode tersebut, masing-masing menginginkan agar kemauannyalah yang dituruti dan masing-masing mengambil sikap “Saya mau demikian, dan kalau perlu saya akan memperjuangkannya”. Pada metode I, orang tua tidak mempertimbangkan dan tidak menghargai kebutuhan-kebutuhan anak. Pada metode II, anak tidak mempertimbangkan dan tidak menghargai kebutuhan-kebutuhan orang tua. Pada kedua-duanya, salah satu pergi dengan perasaan terpukul, biasanya disertai perasaan marah terhadap yang lainnya yang menyebabkan ia kalah. Kedua metode ini melibatkan suatu adu kekuatan, dan setiap pihak tidak segan-segan menggunakan kekuatan mereka apabila mereka merasa bahwa hal itu perlu untuk memperoleh kemenangan. Kenapa Metode I Tidak Efektif? Demi kemenangannya, orang tua yang memakai Metode I untuk menyelesaikan suatu konflik membayar mahal sekali. Hasil dari Metode I ini sudah dapat diperkirakan sebelumnya – anak kurang berminat untuk memecahkan persoalan, sakit hati terhadap orang tua, orang tua mengalami kesukaran untuk memaksa pelaksanaannya, dan anak tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan disiplin diri. Apabila dalam suatu konflik orang tua memaksakan cara penyelesaian mereka sendiri, maka baik motivasi maupun kegairahan anak untuk 113
melaksanakan keputusan itu hanya kecil karena anak tidak merasa terlibat, dia tidak diberi kesempatan untuk mengajukan usul. Apa pun motivasinya pelaksanaan itu bukan berasal dari dalam dirinya – tetapi berasal dari luar dirinya. Bisa jadi ia patuh, tetapi hanya karena ia takut dihukum atau ditolak oleh orang tuanya. Tidak ada keinginan dari anak sendiri untuk melaksanakan apa yang diperlukan dan tidak lebih. Pada umumnya anak-anak merasa sakit hati terhadap orang tua mereka bila keputusan bercorak Metode I memaksa mereka menjalankan sesuatu. Mereka merasa diperlakukan tidak adil, mereka marah dan sakit hati terhadap orang tua, yang mereka anggap sebagai yang bertanggung jawab. Orang tua yang menggunakan Metode I kadang kala mendapat sikap menurut dan patuh dari anak-anak mereka, tetapi itu dibayar dengan sikap permusuhan dari anak-anak mereka. Perhatikanlah anak-anak yang baru saja menyelesaikan suatu konflik dengan orang tua mereka melalui Metode I; pada umumnya mereka akan menunjukkan suatu kesalahan dan kemarahan yang nampak pada raut muka mereka atau mengatakan sesuatu yang bernada permusuhan, atau bahkan mereka bisa menyerang orang tua mereka secara fisik. Metode I menaburkan benih-benih yang merusak dalam hubungan antara anak dan orang tua. Dendam dan kebencian akan mengambil alih tempat cinta dan kasih sayang. Orang tua yang menggunakan Metode I harus membayar ongkos mahal lainnya: mereka harus menghabiskan waktu yang lama untuk memaksakan putusan itu, mengawasi apakah anak betul-betul melaksanakannya, mengomel, mengingatkan mendorong. Para orang tua yang datang ke MOE, sering kali mempertahankan pilihan mereka pada Metode I dengan alasan bahwa metode itu merupakan jalan tercepat untuk memecahkan suatu konflik. Keuntungan ini sering kali hanyalah semu belaka, karena begitu banyak menuntut pengorbanan orang tua untuk mendapat kepastian bahwa keputusan itu dilaksanakan. Orang tua yang terbiasa menggunakan Metode I sering kali mengeluh karena mereka harus terus-menerus menegur anak-anaknya. Saya tidak dapat menghitung jumlah percakapan yang telah saya lakukan dengan orang tua di tempat praktek saya, yang serupa dengan percakapan di bawah ini: ORANG TUA: “Anak-anak kami tidak mau membantu mengerjakan pekerjaan- pekerjaan di rumah. Agar mereka mau menolong mengerjakan pekerjaan di rumah, rasanya kami harus selalu unjuk gigi. Setiap hari Sabtu seperti berperang saja rasanya untuk menggerakkan mereka turun tangan mengerjakan tugas-tugas yang harus diselesaikan. Kami betul-betul harus mengawasi mereka untuk melihat apakah pekerjaan diselesaikan atau tidak.” 114
KONSELOR: “Bagaimana caranya memutuskan jenis pekerjaan yang harus dilakukan?” ORANG TUA: “Kamilah yang memutuskannya, karena kami tahu apa yang harus dikerjakan. Kami membuat daftar pada hari Sabtu pagi, dan anak- anak melihat daftar itu dan tahu apa yang harus dikerjakan.” KONSELOR: “Apakah anak-anak memang ingin bekerja?” ORANG TUA: “Oh, tentu tidak!” KONSELOR: “Mereka merasa bahwa mereka wajib melaksanakannya.” ORANG TUA: “Ya, betul.” KONSELOR: “Apakah anak-anak pernah diberi kesempatan untuk menentukan apa-apa yang harus dikerjakan? Apakah mereka mempunyai suara dalam memilih pekerjaan apa yang harus ditanganinya?” ORANG TUA: “Tidak.” KONSELOR: “Pernahkah mereka diberi kesempatan untuk menentukan siapa harus mengerjakan apa?” ORANG TUA: “Tidak, kamilah yang membagi-bagi pekerjaan yang beraneka itu serata mungkin.” KONSELOR: “Jadi Andalah yang menentukan apa yang harus dikerjakan dan siapa yang harus melaksanakannya?” ORANG TUA: “Ya, betul.” Hanya sedikit orang tua yang melihat hubungan antara kurangnya motivasi anak-anak untuk membantu dengan kenyataan bahwa keputusan tentang tugas-tugas di rumah pada umumnya dibuat melalui Metode I. “Anak pemalas” itu sebenarnya sekedar seorang anak yang tidak diberi kesempatan untuk ikut serta dalam kerja sama, orang tua selalu menggunakan Metode I sebagai cara untuk mengambil suatu keputusan. Memaksakan anak mengerjakan sesuatu, tidak membina kerja sama. Hasil lain yang dapat diramalkan dari Metode I adalah bahwa anak tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan disiplin dari – pengarahan “dari dalam” diri, inisiatif, bertingkah laku secara bertanggung jawab. Salah satu mitos yang umum diterima dalam mendidik anak-anak, adalah pendapat bahwa apabila orang tua memaksa anak-anak kecil untuk melakukan sesuatu, maka mereka kelak akan tumbuh menjadi anak yang mempunyai disiplin diri dan berkembang menjadi anak yang bertanggung jawab. Anak-anak yang menghadapi pemaksaan orang tua dengan bersikap menurut, patuh, dan mengalah biasanya tumbuh menjadi orang yang tergantung pada otoritas lain di luar diri mereka sendiri untuk mengontrol tingkah laku mereka. Sebagai remaja maupun orang dewasa, mereka tidak akan memiliki kemampuan mengendalikan diri yang berasal “dari dalam diri mereka sendiri”; sepanjang hidup mereka, mereka akan tergantung dari tokoh atau otoritas satu ke tokoh lainnya yang dapat memberi jawaban- jawaban dalam kehidupan mereka atau dapat mengendalikan tingkah laku mereka. Orang-orang demikian kurang memiliki disiplin diri, pengendalian 115
yang berasal dari dalam dirinya, karena tak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan sikap-sikap semacam itu. Kalaupun hanya satu hikmah dapat dipetik dari buku ini, mudah- mudahan itu adalah: bahwa memaksa anak melakukan sesuatu melalui penggunaan kekuasaan atau otoritas, berarti tidak memberi anak suatu kesempatan belajar mengembangkan disiplin diri dan tanggung jawab atas tindakannya sendiri. Chatib, seorang pemuda berumur 17 tahun yang mempunyai orang tua keras dan selalu menggunakan kekuasaan untuk memaksa Chatib mengerjakan pekerjaan rumah, memberi pengakuan sebagai berikut: “Apabila orang tua saya tidak ada di rumah, saya seolah-olah tak mampu meninggalkan TV. Saya sudah begitu terbiasa diperintah untuk mengerjakan pekerjaan rumah saya, sehingga saya tidak menemukan dalam diri saya sendiri suatu kekuatan yang mendorong untuk mengerjakannya apabila perintah itu tidak ada”. Saya juga teringat sebuah pesan menyedihkan yang ditulis dengan sebuah pemerah bibir pada sebuah cermin di kamar mandi oeleh seorang pembunuh anak, yang bernama William Heirens dari Chicago, segera setelah ia membunuh salah seorang korbannya: “Demi Allah, tangkaplah saya, sebelum saya membunuh lebih banyak lagi”. Sebagian besar orang tua di dalam kursus MOE tidak pernah berkesempatan menguji secara kritis hasil dari “sikap mereka yang kaku” itu. Sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa mereka telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang tua, yaitu menggunakan otoritas mereka. Namun, sekali mereka dibantu untuk melihat akibat-akibat Metode I itu, jarang saja mereka tidak menerima kebenaran itu. Karena pada dasarnya, orang tua pun pernah menjadi anak yang juga mengembangkan kebiasaannya yang sama dalam menghadapi perlakuan orang tua mereka sendiri. Kenapa Metode II Tidak Efektif Bagaimana dengan anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga di mana mereka biasa menang dan orang tua kalah? Apakah akibatnya terhadap anak-anak yang biasa memperoleh apa yang diinginkan? Yang jelas anak- anak ini akan berbeda dari mereka yang berasal dari keluarga yang menggunakan Metode I sebagai cara utama untuk menyelesaikan suatu konflik. Anak-anak yang terbiasa melakukan apa-apa yang mereka inginkan tidak begitu menunjukkan sikap memberontak, bermusuhan, tergantung pada orang lain, agresif, tertutup, menurut, mencari hati orang lain, menarik diri, dan sebagainya. Mereka tidak mengembangkan cara-cara untuk menghadapi kekuasaan orang tua. Metode II menumbuhkan keberanian anak untuk menghadapi kekuasaan orang tua, mengalahkan dan merugikan orang tua. Anak-anak ini tahu bagaimana melampiaskan amukan mereka guna mengendalikan orang tua; bagaimana membuat orang tua mereka merasa 116
bersalah; bagaimana berbicara kurang ajar dan mencela orang tua mereka. Anak-anak yang demikian sering kali sembrono, tidak dapat dikendalikan, tidak dapat diatur, dan impulsif. Mereka menganggap kebutuhan mereka lebih penting daripada kebutuhan siapa pun. Mereka pun kurang memiliki kemampuan mengendalikan tingkah laku mereka sendiri dan menjadi orang yang berorientasi pada dirinya sendiri, menuntut, mementingkan diri sendiri. Anak-anak ini sering kali tidak menghargai milik atau perasaan- perasaan orang lain. Hidup bagi mereka berarti mendapat, sekali lagi mendapatkan dan mendapatkan – mengambil, dan sekali lagi mengambil. “Aku” itulah yang terpenting. Anak-anak yang demikian jarang mau bekerja sama atau membantu di rumah. Anak-anak ini sering kali mengalami kesukaran dalam pergaulannya dengan anak-anak sebaya. Anak-anak lain tidak menyukai “anak-anak yang dimanja” – anak-anak tidak suka bergaul dengan mereka. Anak-anak yang datang dari rumah di mana Metode II amat dominan begitu terbiasa memperoleh apa-apa yang mereka kehendaki dari orang tua mereka, sehingga mereka pun ingin memaksakan kemauannya kepada anak-anak lain. Anak-anak ini pun sering kali mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri di sekolah, yakni lembaga yang mendasarkan diri pada Metode I. Anak- anak yang terbiasa dengan Metode II akan terkejut bila masuk sekolah dan menemukan bahwa kebanyakan guru dan pimpinan biasa menyelesaikan suatu konflik dengan menggunakan Metode I, yaitu berdasarkan sikap otoritas dan kekuasaan. Mungkin pengaruh paling serius dari Metode II adalah bahwa anak-anak sering kali mengembangkan perasaan-perasaan yang mendalam mengenai tidak pastinya cinta kasih orang tuanya. Tidaklah begitu sukar mengerti reaksi demikian, mengingat betapa sukarnya bagi orang tua untuk mencintai dan menerima anak yang selalu menang, sementara orang tua selalu kalah. Pada Metode I kekesalan terpancar dari anak ke orang tua dan pada Metode II dari orang tua ke anak. Pada Metode II anak merasa bahwa orang tuanya sering kesal, mudah terdinggung dan marah padanya. Bilamana kelak ia mendapat pesan yang sama dari anak-anak sebaya lainnya dan mungkin pula dari orang tua lainnya, maka tidaklah mengherankan apabila ia mulai merasa tidak ada yang mencintainya – karena, tentu saja, ia memang begitu sering tidak dicintai oleh orang lain. Ada penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak yang berasal dari rumah tangga yang menggunakan Metode II ternyata lebih kreatif daripada mereka yang berasal dari rumah tangga yang menggunakan Metode I, tetapi kerap kali orang tua harus membayar imbalan yang cukup tinggi karena tidak kuat menghadapi anak-anak yang kreatif tersebut. 117
Di dalam keluarga dengan Metode II, sering kali orang tua menderita. Demikianlah kira-kira gambaran suasana keluarga-keluarga itu, sebagaimana sering kali saya dengar dari cerita orang tua: “Ia melakukan semaunya saja, dan Anda sama sekali tidak dapat mengendalikannya”. “Saya bersyukur kalau semua anak sudah masuk sekolah, dengan demikian saya bisa memperoleh ketenangan.” “Menjadi orang tua itu merupakan suatu beban – sepanjang waktu saya sibuk melayani anak-anak saja.” “Yang saya ingin katakan adalah, kadang-kadang saya tidak tahan lagi – ingin minggat saja.” “Anak-anak jarang sekali menyadari bahwa saya pun perlu hidup.” “Kadang kala – dan saya merasa berdosa untuk mengatakan demikian – saya ingin menenggelamkan mereka dan menyerahkan mereka pada orang lain.” “Saya begitu malu membawa serta mereka berkunjung ke mana-mana atau mengundang kenalan-kenalan ke rumah kami untuk melihat anak-anak itu.” Peranan orang tua dalam Metode II jarang merupakan sesuatu yang menyenangkan – alangkah malang dan sedihnya membesarkan anak-anak yang tidak dapat Anda cintai, atau bahkan Anda benci. Beberapa Masalah Tambahan dari Penggunaaan Metode I dan Metode II Sedikit orang tua yang menggunakan Metode I saja atau Metode II semata-mata. Di dalam banyak keluarga salah satu orang tua menekankan pada Metode I, sedangkan orang tua satunya pada Metode II. Ada beberapa bukti bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam rumah yang demikian punya kemungkinan lebih besar untuk mengidap kesulitan-kesulitan emosional yang parah. Boleh jadi keadaan serba tidak menentu ini lebih berbahaya daripada penggunaan salah satu cara pendekatan saja. Beberapa orang tua mulai dengan menggunakan Metode II, namun setelah anak menjadi lebih besar dan menjadi orang yang semakin tak tergantung dan mempunyai kemauan sendiri, mereka bergeser ke Metode I. Jelas ini dapat merugikan anak yang semula terbiasa memperoleh apa saja yang mereka kehendaki dan kini mulai mengalami keadaan sebaliknya. Beberapa orang tua lain mulai dengan menggunakan Metode I dan kemudian beralih ke Metode II. Khususnya ini sering terjadi pada orang tua yang mempunyai anak yang semula suka memberontak dan menentang otoritas orang tua; lambat-laun orang tua itu menyerah dan kemudian mengikuti kemauan anak. Adapula orang tua yang mulai menggunakan Metode I pada anak sulung mereka dan pada anak kedua berganti dengan Metode II, dengan harapan akan memperoleh hasil yang lebih baik. Di dalam keluarga-keluarga sering terdengar bahwa anak sulung memendam rasa dendam terhadap adiknya, yang boleh melakukan hal-hal yang bagi anak sulung merupakan hal 118
terlarang. Kadang kala anak sulung ini mengira bahwa kejadian itu merupakan bukti bahwa orang tuanya “pilih kasih” terhadap anak kedua. Pola umum yang ada, khususnya di antara para orang tua yang sangat dipengaruhi oleh anjuran untuk memberi kebebasan dan menentang pemberian hukuman, adalah membiarkan anak menang terus-menerus sampai tingkah laku itu menjadi begitu buruk sehingga orang tua secara mendadak beralih ke Metode I. Mereka kemudian merasa berdosa dan kembali bergeser ke Metode II, dan lingkaran itu setiap kali kembali lagi. Salah seorang dari orang tua mengekspresikannya secara jelas sebagai berikut: “Saya membiarkan anak-anak saya sampai saya tidak tahan lagi. Kemudian saya menjadi sangat otoriter sampai sayatidak tahan lagi dengan sikap saya itu.” Namun banyak orang tua, terjerat baik oleh Metode I ataupun Metode II. Dengan keyakinan penuh atau hanya karena tradisi, orang tua menjadi penganjur gigih dari Metode I. Dari pengalamannya ia menemukan bahwa metode tersebut tidak begitu baik hasilnya dan bahkan bisa menimbulkan perasaan bersalah karena menjadi penganut Metode I; ia tidak menyukai dirinya sendiri karena memberi batasan, mendominasi, ataupun menghukum. Namun satu-satunya pilihan lain yang dikenal adalah Metode II – yaitu membiarkan anak menang. Secara naluriah, orang tua itu tahu bahwa hasilnya pun tidak akan membawa kebaikan, bahkan bisa menjadi lebih buruk. Dengan demikian ia berpegang teguh pada Metode I, sekalipun ia tahu bahwa metode itu akan membuat anak menderita dan lebih merusak hubungan orang tua – anak. Kebanyakan orang tua yang menggunakan metode II tidak suka berpindah ke cara pendekatan yang otoriter sifatnya karena mereka mengikuti falsafah yang menentang sikap otoriter terhadap anak ataupun karena kepribadian mereka sendiri memang tidak memungkinkan untuk menggunakan kekuatan yang diperlukan atau karena mereka tidak tahan mengalami konflik. Saya mengenal banyak ibu, dan beberapa ayah, yang menganggap Metode II lebih menyenangkan karena mereka takut terlibat dalam suatu konflik dengan anak-anak mereka (dan umumnya dengan siapa pun juga). Orang tua yang demikian, tidak mau mengambil resiko menggunakan kekuasaan mereka atas anak-anak, mereka memilih cara pendekatan seperti “asal damai” – menyerah, menentramkan, dan pasrah. Dilema yang dihadapi kebanyakan orang tua yang datang ke kursus MOE, nampaknya terjerta dalam Metode I atau Metode II, atau terombang- ambing antara keduanya, karena mereka tidak mengetahui pilihan lain selain dari kedua metode “menang-kalah” yang tidak efektif ini. Kami mendapat kesan bahwa kebanyakan orang tua bukan hanya tahu metode mana paling sering mereka gunakan; mereka pun menyadari bahwa kedua metode tersebut tidak efektif. Nampaknya mereka menyadari bahwa mereka 119
berada dalam keadaan yang sulit, biar metode mana pun yang mereka gunakan, tetapi tidak tahu metode apa yang lebih baik. Kebanyakan dari mereka bersyukur bahwa mereka akhirnya dibebaskan dari perangkap yang mereka buat sendiri. 120
10 Kekuasaan Orang Tua: Apakah Perlu dan Dapat Dibenarkan? Suatu keyakinan yang umumnya sudah berurat berakar mengenai pendidikan anak adalah bahwa orang tua merasa perlu dan berhak menggunakan kekuasaan mereka dalam mengatur, mengarahkan, dan membina anak-anak. Dari beribu-ribu orang tua di kelas kami, hanya beberapa saja yang mempersoalkan atau menanyakan gagasan tersebut. Kebanyakan dari mereka cepat membenarkan penggunaan kekuasaan mereka. Mereka beranggapan bahwa anak-anak membutuhkan dan menginginkan atau menganggap orang tualah yang lebih bijaksana. “Ayah mengetahui yang terbaik”, demikian bunyi pepatah lama. Gagasan yang sulit dihilangkan, bahwa orang tua harus menggunakan kekuasaan dalam menghadapi anak-anak, menurut pendapat saya, selama berabad-abad merupakan penghalang bagi terciptanya perubahan atau perbaikan cara-cara mendidik anak atau cara-cara orang dewasa memperlakukan anak. Bertahannya gagasan ini sebagian karena para orang tua pada umumnya tidak mengerti arti sebenarnya dari kekuasaan atau apa pengaruhnya bagi anak. Semua orang tua sangat mudah berbicara mengenai kekuasaan tetatpi jarang yang dapat merumuskannya atau memerinci sumber-sumber kekuasaan mereka. APAKAH KEKUASAAN ITU? Salah satu ciri dasar dalam hubungan orang tua – anak adalah: orang tua mempunyai “ukuran psikologis” yang lebih besar daripada anak. Kalau kita mencoba menggambarkan masing-masing sebagai sebuah lingkaran, maka adalah salah apabila kita menggambarkannya seperti ini: orang tua anak Berapa pun umur anak, maka ia tahu bahwa orang tua mempunyai “ukuran” yang tidak sama dengan dirinya. Saya tidak membicarakan ukuran fisiknya (walaupun perbedaan fisik tetap ada sampai anak mencapai masa remaja), namun lebih menekankan “ukuran psikologisnya”. Suatu penggambaran yang lebih tepat mengenai hubungan antara orang tua – anak adalah seperti ini: 121
orang tua anak Bagi anak, orang tua selalu mempunyai “ukuran psikologis” yang lebih besar daripada dirinya, ini akan membantu menerangkan ungkapan- ungkapan seperti “Babe”, “Tuan besar”, “Ayah pengendali besar hidup saya”, “Ia orang besar bagiku”, atau “Saya tidak berdaya terhadapnya”, “Saya menggunakan setiap kesempatan di mana saya dapat mengecilkan ukuran mereka.” Berikut ini, suatu kutipan dari tulisan yang diperlihatkan pada saya oleh seorang pemuda yang mengalami kesulitan dan meminta saya menjadi pembimbingnya: “Karena saya seorang anak kecil, saya memandang orang tua saya sebagaimana orang dewasa memandang Tuhan ....” Perbedaan “ukuran psikologis”ini terjadi tidak hanya karena anak-anak melihat orng tua mereka sebagai lebih besar dan lebihkuat, tetapi juga sebagai yang bijaksana dan leih mampu. Bagi anak-anak yang masih kecil agaknya tidak ada sesuatu pun yang tidak diketahui ataupun tidak dapat dilakukan oleh orang tua mereka. Anak sungguh-sungguh mengagumi luasnyapengertian mereka, jitunya ramalan mereka, adilnya penilaian mereka. Anggapan ini pada saat tertentu ada yang tepat dan ada yang tidak. Banyak sifat, ciri maupun kemampuan yang diberikan anak-anak pada orang tua sebenarnya tidak berdasarkan kenyataan yang ada. Hanya beberapa orang tua yang mengetahui sebanyak yang diperkirakan anak- anak. Pengalaman tidak selalu merupakan “guru yang terbaik”, ini akan disimpulkan anak kelak, bila ia menginjak remaja dan menjadi dewasa dan menilai orang tua mereka atas suatu dasar yang lebih luas daripada pengalamannya sendiri. Dan kebijaksanaan tidak selalu seiring dengan umur. Banyak di antara para orng tua sukar mengakui ini, namun mereka yang lebih jujur terhadap diri sendiri akan mengenali bagaimana penilaian anak terhadap ibu-bapak mereka terlalu berlebihan. Sementara segala sesuatu lebih menyokong ukuran psikologis orang tua yang lebih besar; atau banyak orang tua akan mencoba mempertahankan itu. Terhadap anak, mereka sengaja mencoba menyembunyikan keterbatasan-keterbatasan dan kesalahan-kesalahan mereka dalam membuat pertimbangan; atau mereka membuat mitos-mitos seperti “Kamilah yang 122
paling mengetahui apa yang terbaik bagi kalian”, atau “Kalau kamu sudah lebih besar, kamu akan menyadari bahwa kami benar”. Saya selalu tertarik bila memperhatikan bahwa jika oarang tua berbicara mengenai ibu dan bapak mereka sendiri, mereka cepat mengenali kesalahan-kesalahan dan keterbatasan-keterbatasan orang tua mereka; namun mereka akan menolak mati-matian bahwa mereka telah membuat kesalahan yang sama dalam menilai dan bersikap kurang bijaksana dalam hubungan mereka terhadap anak-anak mereka sendiri. Namun meskipun tidak selayaknya, orang tua memang secara psikologis memperoleh ukuran yang lebih besar – hal ini merupakan sumber penting dari kekuasaan orang tua terhadap anak. Oleh karena orang tua dilihat sebagai kekuasaan yang demikian maka usaha-usaha untuk mempengaruhi anak mempunyai arti yang besar. Barang kali akan bermanfaat kalau kita menyebutnya sebagai “otoritas yang terberi” karena anaklah yang memberikannya pada orang tua. Terlepas daripada patut tidaknya, soal ini cukup relevan dengan kenyataan bahwa “ukuran psikologis” memberi orang tua pengaruh atas anak itu. Suatu kekuasaan yang sama sekali berbeda berdasar atas kenyataan bahwa orang tua memiliki hal-hal yang diperlukan anak-anaknya. Ini pun memberikan otoritas bagi mereka. Orang tua mempunyai kekuasaan atas anak-anaknya oleh karena anak-anak begitu tergantung padanya dalam hal pemuasan kebutuhan dasar mereka. Anak-anak dilahirkan di dunia dalam keadaan hampir sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memperoleh makanan dan pengasuhan fisiknya. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan itu. Semuanya itu dikuasai dan dikendalikan oleh orang tua. Dengan bertambahnya umur, dan apabila mendapat kesempatan menjadi lebih tidak tergantung pada orang tua, maka dengan sendirinya kekuasaan itu makin lama makin berkurang. Namun pada usia berapa saja, sampai pada anak memasuki masa dewasa, di mana ia dapat berdiri sendiri dan hampir mampu memenuhi kebutuhan dasar sepenuhnya atas usaha sendiri, sampai tingkat tertentu orang tuanya tetap masih mempunyai kekuasaan atas dirinya. Sehubungan dengan pemuasan dasar si anak, orang tua mempunyai kemampuan untuk “menghadiahi” anak. Ahli psikologi menggunakan istilah “hadiah” atau “ganjaran” untuk segala sesuatu yang dimiliki orang tua yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak (memperoleh hadiah daripadanya). Apabila seorang anak lapar (mempunyai kebutuhan akan makan) dan orang tua memberikannya sebotol susu, kita katakan bahwa anak itu diberi hadiah (kebutuhan makan telah dipuaskan atau dipenuhi). Orang tua pun memiliki cara untuk membuat perasaan anaknya sakit ataupun tidak senang, baik dengan tidak memberi si anak apa yang 123
dibutuhkan (tidak memberi makan pada anak yang sedang lapar) ataupun melakukan sesuatu yang menimbulkan rasa sakit atau tidak senang (memukul tangan anak bila ia menggapai gelas kakaknya yang berisi susu). Ahli psikologi menggunakan istilah “hukuman” sebagai lawan dari “hadiah” atau “ganjaran”. Setiap orang tahu dari pengalamannya sendiri bahwa manusia (dan binatang) cenderung untuk mengulangi tingkah laku yang dapat menghasilkan hadiah dan menjauhi tingkah laku yang tak menghasilkan bahkan mendatangkan hukuman. Dengan demikian orang tua dapat “memperkuat” suatu tingkah laku tertentu dari anak dengan memberikan hadiah, dan menghilangkan tingkah laku lain dengan pemberian hukuman. Anda ingin agar anak Anda bermain dengan permainan baloknya, tidak dengan asbak mahal yang terbuat dari keramik di atas meja tamu. Untuk memperkuat kebiasaan bermain dengan balok-balok, hendaknya Anda duduk bersama dia pada saat ia sedang bermain dengan balok-baloknya, sebentar-sebentar tersenyum, dan menunjukkan sikap menyenangkan atau berkata, “Begitulah anak yang baik”. Untuk menghilangkan kebiasaannya bermain dengan asbak, Anda dapat memukul tangannya, memukul pantatnya, mengerutkan dahi, menunjukkan wajah yang tidak mengiyakan, ataupun mengatakan “Itu bukan anak yang baik”. Anak akan cepat belajar bahwa bermain dengan balok-balok akan menimbulkan suatu hubungan yang menyenangkan dengan kekuasaan orang tua. Dan tidak demikian halnya bila ia bermain dengan asbak. Ini sering dilakukan oleh orang tua untuk mengubah tingkah laku anak- anak. Biasanya disebut sebagai “melatih anak”. Sebenarnya orang tua itu menggunakan kekuasaannya dengan tujuan agar anak melakukan sesuatu sebagaimana dikehendaki ataupun mencegah anak melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki orang tua. Cara yang sama dilakukan oleh pelatih-pelatih anjing untuk mengajarkan kepatuhan, dan oleh mereka dari kalangan sirkus untuk melatih beruang mengendarai sepeda. Apabila seorang pelatih menghendaki agar anjing itu berjalan didekatnya, ia mengikat leher anjing itu dengan tali dan mulai berjalan, sambil memegang ujung tali. Kemudian ia berkata, “Maju”. Apabila anjing itu tidak mau mendekati pelatih, ia akan menerima sentakan yang sakit di leher (hukuman). Bila ia jalan di samping pelatih, ia mendapat belaian di kepala (hadiah). Anjing itu akan cepat belajar untuk berjalan di dekat pelatih dan menuruti perintahnya. Tidak ada yang dirugikan: kekuasaan jelas mempunyai pengaruh. Melalui cara-cara ini anak-anak dapat dilatih untuk bermain dengan balok- balok dan bukan dengan asbak yang mahal harganya; anjing dapat dilatih berjalan atas perintah; dan beruang naik sepeda (bahkan mengendarai sepeda roda satu secara menakjubkan). 124
Pada usia yang sangat muda pun, setelah diberi hadiah dan hukuman secukupnya, anak-anak cukup dapat dikendalikan dengan hanya janji hadiah apabila mereka bertingkah laku tertentu, atau ancaman hukuman apabila mereka bertingkah laku dengan cara yang tidak diinginkan. Keuntungan cara-cara ini jelas, yaitu bahwa orang tua tidak perlu menunggu sampai tingkah laku yang diinginkan terjadi agar dapat memberi hadiah (untuk memperkuat), ataupun menunggu tingkah laku yang tidak diinginkan untuk kemudian diberi hukuman atasnya (untuk menghilangkannya). Pada saat itu ia dapat mempengaruhi si anak hanya dengan memberitahukan akibatnya, “Bila kau berkelakuan tertentu kau akan kuberi hadiah; jika kau berkelakuan lainnya, saya akan memberimu hukuman”. KETERBATASAN-KETERBATASAN SERIUS DARI KEKUASAAN ORANG TUA Apabila para pembaca berpendapat bahwa kekuasaan orang tua untuk memberi hadiah ataupun hukuman (atau menjanjikan hadiah dan mengancam dengan hukuman) nampak sebagai suatu cara yang dapat mengendalikan anak-anak, maka di satu pihak ia betul, namun di lain pihak ia salah: Penggunaan otoritas orang tua, untuk kondisi tertentu nampak efektif, namun tidak untuk kondisi yang lain. (Pada kesempatan lain akan saya kemukakan bahaya-bahaya yang sesungguhnya dari kekuasaan orang tua). Banyak, bahkan barangkali hampir semua akibat sampingannya merugikan. Sebagai hasil “latihan kepatuhan”, misalnya anak-anak sering ketakutan, menjadi penakut, dan gugup; malah sering kali menunjukkan sikap yang bermusuhan dan ingin membalas dendam pada para “pelatih” mereka; dan kerap jatuh sakit atau menjadi emosional di bawah tekanan yang dirasakan pada waktu berusaha mempelajari tingkah laku yang mendatangkan kesulitan atau tidak menyenangkan mereka. Penggunaan kekuasaan dapat menimbulkan akibat-akibat yang merugikan, selain resiko- resiko untuk para pelatih binatang – ataupun anak-anak. Kekuasaan Orang tua pada Akhirnya Surut Penggunaan kekuasaan untuk mengendalikan anak hanya akan berhasil bagi situasi tertentu. Orang tua harus yakin memiliki kekuasaan itu – hadiahnya harus cukup menarik bagi anak dan hukumannya harus cukup kuat, sehingga ada usaha untuk menghindarinya. Anak hendaknya tergantung pada orang tua; semakin anak itu tergantung pada apa yang dimiliki orang tua (hadiah-hadiahnya), semakin besar kekuasaan orang tua. Ini adalah suatu kenyataan yang ada dalam setiap hubungan antar- manusia. Apabila saya sangat membutuhkan sesuatu – katakanlah uang untuk membeli makanan bagi anak-anak saya – dan saya tergantung hanya pada orang lain untuk memperoleh uang tersebut, misalnya majikan saya, 125
maka jelaslah bahwa ia akan mempunyai kekuasaan yang besar atas diri saya. Apabila saya hanya tergantung pada seorang majikan ini, saya cenderung untuk melakukan hampir semua kehendaknya untuk menjamin bahwa saya akan memperoleh apa yang saya butuhkan itu. Namun seseorang hanya mempunyai kekuasaan atas orang lain selama orang yang kedua itu berada dalam kedudukan yang lemah. Yang kekurangan, yang membutuhkan, yang tidak berdaya, yang tergantung. Semakin seorang anak dapat menolong dirinya, kurang tergantung lagi pada orang tuanya, kekuasaan orang tua secara bertahap akan berkurang. Inilah yang menyebabkan mengapa orang tua itu akan kecewa setelah menyadari bahwa hadiah-hadiah dan hukuman-hukuman yang berpengaruh ketika anak masih kecil, kini menjadi kurang efektif setelah anak bertambah umur. “Kami kehilangan pengaruh kami atas anak kami”, demikian keluhan salah satu orang tua. “Tadinya ia menghargai kekuasaan kami, tetapi sekarang kami tidak kuasa mengendalikannya lagi”. Yang lain berkata, “Putri kami telah menjadi begitu tidak tergantung lagi pada kami – kami tidak tahu bagaimana caranya agar ia mau mendengarkan kami”. Seorang ayah dari pemuda berumur 15½ tahun bercerita dalam kelas MOE akan ketidakberdayaannya sebagai berikut: “Kami tidak mempunyai apa-apa lagi untuk mendukung otoritas kami terhadapnya, kecuali mobil keluarga. Itu pun sekarang sudah tidak begitu manjur lagi, karena ia telah mengambil kunci kami dan membuat duplikat untuk dirinya. Pada saat kami tidak ada di rumah, ia menggunakan mobil itu sekehendaknya. Kini sejak kami tidak mempunyai apa-apa lagi yang ia butuhkan, saya tidak dapat menghukumnya lagi”. Kedua orang tua ini mengungkapkan perasaan yang juga dialami oleh para orang tua lain sewaktu anak-anak mereka menjelang dewasa dan mulai melepaskan ketergantungan mereka. Ini jelas akan terjadi sejak anak menginjak masa remaja. Kini ia akan memperoleh banyak hadiah melalui aktivitasnya sendiri (sekolah, olahraga, sahabat-sahabat, prestasi-prestasi). Ia pun mulai memperoleh cara-cara untuk menghindari hukuman-hukuman orang tuanya. Di dalam keluarga-keluarga di mana orang tua tergantung sepenuhnya pada kekuasaan mereka untuk mengarahkan dan mengendalikan anak-anak mereka sewaktu masih kecil, tidak akan dapat dihindari kejutan yang menyakitkan ini setelah kekuasaan mereka menyurut dan pengaruh mereka tinggal sedikit atau bahkan tidak ada lagi sama sekali. Remaja-remaja yang Membuat Cemas Kini saya yakin bahwa kebanyakan teori yang bicara mengenai “tekanan-tekanan dan ketegangan-ketegangan dalam masa remaja” telah melakukan penyorotan keliru pada faktor-faktor seperti perubahan- perubahan fisik, perkembangan kehidupan seksualitasnya, tuntutan-tuntutan sosial yang baru, pergulatan antara dirinya sebagai orang yang sudah 126
dewasa dan sebagainya. Periode ini menjadi periode yang sukar bagi anak maupun bagi orang tuanya, sebagian besar disebabkan oleh karena si remaja menjadi begitu tidak tergantung lagi pada orang tua mereka. Dan oleh karena kebanyakan orang tua begitu mengandalkan diri pada hadiah-hadiah dan hukuman-hukuman, maka para remaja justru bereaksi dengan menunjukkan tingkah laku yang lebih mengandung ketidaktergantungannya, bersikap bertahan, memberontak, dan memperlihatkan sikap yang bermusuhan. Para orang tua beranggapan bahwa sikap berontak dan bermusuhan remaja itu merupakan fungsi tahap perkembangan yang tidak dapat diingkari. Saya kira ini tidak benar – hal tersebut lebih disebabkan karena para remaja itu menjadi semakin mampu untuk bertahan dan memberontak. Ia tidak lagi dikendalikan oleh sistem hadiah orang tua mereka, karena ia tidak lagi begitu membutuhkannya; dan ia kebal terhadap sistem hukuman karena sudah tidak mempan lagi. Remaja biasanya bertingkah laku demikian karena ia telah memperoleh kekuatan dan kemampuan yang cukup untuk memuaskan kebutuhannya sendiri serta memiliki kekuasaan diri yang cukup hingga ia tidak perlu takut menghadapi kekuasaan orang tuanya. Maka, seorang remaja bukannya berontak terhadap orang tuanya. Ia hanya berontak terhadap kekuasaan orang tuanya. Apabila para orang tua tidak begitu mengandalkan pada kekuasaan mereka, dan lebih menggunakan sistem kekuasaan untuk mempengaruhi anak-anak mereka semenjak kecil, maka setelah mereka menjadi remaja kemungkinan untuk memberontak lebih sedikit. Penggunaan kekuasaan untuk mengubah tingkah laku anak-anak dapat dikatakan sangat terbatas sifatnya: Tidak dapat dimungkiri bahwa orang tua akan kehilangan kekuasaan, dan lebih cepat daripada yang mereka perkirakan. Mendidik dan Menggunakan Kekuasaan Membutuhkan Kondisi- kondisi yang Ketat Pembatasan lain dalam hal penggunaan sistem hadiah dan hukuman untuk mempengaruhi anak yaitu: membutuhkan kondisi yang dikendalikan secara sangat ketat selama masa “latihan” pendidikan. Psikolog-psikolog yang mempelajari proses belajar dengan menggunakan binatang-binatang di dalam laboratorium, menemukan banyak kesukaran dengan “binatang percobaan” mereka kecuali dengan menciptakan kondisi-kondisi yang ketat. Banyak syarat-syarat tersebut sangat sulit dipenuhi dalam melatih anak-anak melalui sistem hadiah dan hukuman. Kebanyakan orang tua, hampir setiap hari melanggar salah satu atau mungkin lebih dari “aturan-aturan” untuk melakukan “latihan” secara efektif. 127
1. “Subyek” hendaknya bermotivasi kuat – ia harus benar-benar mempunyai kebutuhan kuat untuk “bekerja guna memperoleh hadiah itu”. Tikus-tikus harus dilaparkan agar dapat belajar bagaimana caranya, melalui jalan-jalan yang berliku-liku, mendapatkan makanan pada ujung jalan. Orang tua sering kali mencoba mempengaruhi anak dengan menawarkan suatu hadiah pada anak yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkannya (menjanjikan pada anak akan menyanyikan sebuah lagu baginya apabila ia pergi tidur pada waktunya, padahal anak tidak menginginkan nyanyian itu). 2. Apabila hukumannya terlalu kejam, subyek sama sekali akan menghindari situasi tersebut. Apabila tikus-tikus itu diberi aliran listrik agar belajar untuk tidak memasuki lorong yang buntu, maka mereka akan “berhenti mencoba” belajar mencari jalan keluar bilamana aliran listrik itu terlalu kuat. Apabila seorang anak diberi hukuman yang terlalu kuat atas suatu kesalahan, boleh jadi ia akan “belajar” untuk tidak mencoba lagi melakukan sesuatu dengan baik. 3. Hadiah hendaknya tersedia dalam waktu yang cukup cepat agar dapat berpengaruh atas tingkah laku subyek. Untuk melatih seekor kucing agar ia dapat menekan tombol yang tepat yang dapat menghasilkan makanan, maka apabila jarak waktu antara penekanan tombol yang betul dengan pengeluaran makanan itu terlalu lama, si kucing tidak akan belajar mengetahui tombol mana yang betul. Coba saja mengatakan pada anak bahwa ia mengerjakan tugas-tugasnya sekarang, maka ia boleh pergi ke Ancol tiga minggu yang akan datang, Anda akan menemukan bahwa hadiah yang terlalu jauh dijanjikan itu kurang kuat untuk mendorongnya melakukan tugas-tugas di rumah saat itu. 4. Harus ada suatu keajekan dalam memberikan hadiah bagi tingkah laku yang diinginkan dan hukuman bagi tingkah laku yang tidak diinginkan dan hukuman bagi tingkah laku yang tidak diinginkan. Apabila Anda memberikan makanan pada anjing di ruang tamu dan memberikan hukuman padanya apabila ia meminta-minta pada saat Anda kedatangan tamu, maka anjing itu akan menjadi bingung dan mengalami frustasi (kecuali apabila ia telah belajar membedakan saat-saat kapan Anda kedatangan tamu, dan kapan tidak). Orang tua sering tidak konsisten dalam menggunakan sistem hadiah dan hukuman. Misalnya: kadang kala anak diperkenankan jajan antara waktu makan, namun ibu melarangnya apabila kebetulan hari itu telah membuat sesuatu yang khusus dan ibu tidak menginginkan anak itu akan berkurang nafsu makannya pada waktu malamnya (mungkin lebih tepat bila dikatakan makan malam dari sang ibu?). 5. Sistem hadiah dan hukuman biasanya kurang efektif untuk mengajarkan tingkah laku yang kompleks sifatnya, kecuali dengan menggunakan metode- metode yang sangat kompleks dan metode “penguatan” yang sangat memakan waktu. Memang benar bahwa ada psikolog-psikolog yang berhasil mengajari burung merpati menggunakan peluru kendali (boleh percaya, boleh tidak), namun prestasi-prestasi demikian membutuhkan latihan yang sangat sukar dan membutuhkan banyak waktu di bawah kondisi yang dikendalikan secara ketat. 128
Para pembaca yang memiliki binatang, tahu betapa sulitnya melatih seekor anjing agar bermain di halaman rumah sendiri, mengambil baju hangat apabila hujan, atau berbaik hati membagi makanannya dengan anjing-anjing tetangga. Namun orang-orang tersebut tidak akan bertanya mengenai kemungkinan mengajari anak tingkah laku yang sama, dengan menggunakan sistem hadiah dan hukuman. Dengan memberikan hadiah dan hukuman, seorang anak dapat diajar untuk tidak menyentuh benda-benda di meja tamu atau mengatakan “tolong ambilkan” apabila meminta sesuatu di waktu makan, namun orang tua akan merasakan bahwa cara ini kurang efektif untuk menghasilkan kebiasaan belajar yang baik, bersikap jujur, bersikap baik terhadap anak-anak lain, ataupun bersikap koperatif sebagai salah satu anggota keluarga. Pola-pola tingkah laku yang kompleks itu sebenarnya bukan diajarkan pada anak- anak; namun anak-anak itu belajar dari pengalamannya sendiri dalam pelbagai situasi, dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor lainnya. Saya baru menunjukkan hanya sedikit dari pelbagai keterbatasan dalam hal menggunakan sistem hadiah dan hukuman untuk melatih anak-anak. Ahli-ahli psikologi yang mendalami soal proses belajar mengajar dan latihan tentu dapat menambah banyak lagi. Melatih binatang atau anak-anak untuk melakukan tindakan-tindakan yang kompleks berdasarkan pemberian hadiah dan hukuman tidak hanya merupakan suatu ketrampilan tersendiri, karena menuntut pengetahuan yang luas dan ketersediaan waktu yang lama dan kesabaran, namun yang lebih penting yaitu: pelatih binatang sirkus yang trampil dan ahli-ahli psikologi eksperimental bukan model yang baik bagi orang tua dalam mendidik anak-anaknya sendiri agar bertingkah laku sebagaimana dikehendaki orang tua. PENGARUH KEKUASAAN ORANG TUA ATAS DIRI ANAK Walaupun kekuasaan itu mempunyai keterbatasan yang serius, anehnya cara ini tetap dipilih oleh kebanyakan orang tua dari pelbagai taraf pendidikan, tingkatan sosial ataupun ekonomi. Para pembina MOE kerap menemukan bahwa pasangan orang tua dari kelas mereka secara mengejutkan menyadari pengaruh jelek dari kekuasaan itu. Kami hanya perlu menanyakan pada orang-orang tersebut untuk mengungkapkan kembali pengalaman mereka sendiri dan menceritakan kepada kami bagaimana pengaruh kekuasaan orang tua mereka sendiri atas diri mereka. Suatu paradoks yang aneh adalah bahwa mereka ingat bagaimana pengaruh kekuasaan yang ditimpakan pada mereka sewaktu masih anak-anak membuat mereka menderita namun “lupa” pada waktu mereka mengenakan kekuasaan atas anak-anak mereka sendiri. Pada setiap kelas, kami meminta untuk membuat suatu daftar mengenai apa saja yang mereka lakukan dalam menghadapi kekuasaan orang tua mereka. Masing- 129
masing kelas membuat daftar dari mekanisme-mekanisme perlawanan yang tidak jauh berbeda dari daftar ini: 1. Mempertahankan diri, menentang, memberontak, menyangkal. 2. Perasaan benci, marah, bersikap bermusuhan. 3. Menyerang, mendendam, memukul kembali. 4. Berbohong, menyembunyikan perasaan. 5. Menyalahkan orang lain, mengadu, menipu. 6. Menguasai, mengatur, memaksakan kehendak. 7. Mau menang sendiri, tidak mau kalah. 8. Membentuk persekutuan, berorganisasi melawan orang tua. 9. Bersikap tunduk, patuh, menurut. 10. Mengambil hati, menjilat. 11. Menyesuaikan diri, tidak memiliki kreativitas, takut mencoba sesuatu yang baru, membutuhkan suatu jaminan akan mencapai suatu sukses. 12. Menarik diri, menghindar, berfantasi, regresi. Mempertahankan Diri, Menentang, Memberontak, Menyangkal Salah seorang di antara orang tua mengenang kembali suatu kejadian yang pernah dialami dengan ayahnya: ORANG TUA: “Kalau tidak berhenti bicara, saya tampar kau.” YANI: “Lakukan, pukullah.” ORANG TUA: (Memukul anak). YANI: “Pukul lagi, kurang keras, saya tidak akan berhenti bicara!” Beberapa anak justru berontak terhadap penggunaan kekuasaan oleh orang tua dengan melakukan hal-hal yang justru berlawanan dengan apa yang diinginkan orang tua. Salah seorang ibu bercerita demikian: “Kami menggunakan kekuasaan kami untuk 3 hal utama, yang harus dikerjakan putri kami yaitu bersikap rapi dan cermat, pergi ke gereja secara teratur, dan menghindari minuman keras. Kami selalu berlaku ketat dalam hal ini. Sekarang kami baru tahu betapa ia menjadi seorang ibu rumah tangga yang paling tidak baik yang pernah saya temui, ia tidak pernah menginjakkan kaki di Gereja dan hampir setiap malam minum alkohol”. Dalam salah satu acara terapi, seorang remaja berkisah demikian: “Saya bahkan tidak pernah berusaha untuk memperoleh angka yang tinggi di sekolah, karena orang tua saya begitu menekan saya untuk menjadi murid teladan. Apabila saya mendapatkan angka yang tinggi, hal tersebut akan membuat mereka senang – seperti merekalah yang benar dan menang. Saya tidak akan membiarkan mereka mempunyai perasaan yang demikian. Makanya saya tidak mau belajar”. Seorang remaja lain berkisah mengenai reaksi-reaksinya terhadap omelan orang tuanya tentang rambut gondrongnya: “Saya kira saya akan memotong rambut saya, asalkan mereka tidak mengomel-omel terus. Selama mereka mendesak saya agar saya memotongnya, saya akan tetap membiarkannya tetap panjang”. Reaksi-reaksi demikian terhadap kekuasaan orang dewasa adalah umum. Dari generasi ke generasi, anak-anak mempertahankan diri dan 130
memberontak terhadap kekuasaan orang dewasa. Sejarah telah mencatat bahwa tidak banyak perbedaan antara generasi muda masa kini dan masa lampau. Anak-anak, seperti halnya orang dewasa, dengan gigih akan memperjuangkan kemerdekaan mereka yang terancam, dan sepanjang jaman kebebasan anak-anak selalu terancam. Salah satu cara anak-anak menanggulangi ancaman terhadap kebebasan dan kemerdekaan adalah berjuang melawan orang-orang yang hendak mengambilnya. Perasaan Benci, Marah, Bersikap Bermusuhan Anak-anak tidak senang terhadap orang yang menguasai mereka. Itu sering dirasakan sebagai tidak adil dan tidak pada tempatnya. Mereka tidak menyukai kenyataan bahwa orang tua atau para guru itu lebih besar dan lebih kuat daripada mereka, jika kelebihan semacam itu digunakan untuk mengendalikan atau mengekang kebebasan mereka. “Carilah orang yang sebaya dengan dirimu”, demikianlah perasaan yang sering kali timbul pada anak-anak apabila seorang dewasa menggunakan kekuasaannya”. Terlepas dari umur seseorang, manusia itu umumnya menunjukkan perasaan tidak senang, dan benci terhadap siapa pun yang sedikit banyak merupakan tempat bergantung untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Banyak diantara mereka yang menunjukkan reaksi kurang menyenangkan terhadap orang yang menggunakan kekuasaan untuk memberi hadiah ataupun menekan pemberian hadiah. Mereka membenci kenyataan bahwa orang lain menguasai cara-cara untuk memuaskan kebutuhannya. Mereka mau agar mereka-mereka sendirilah yang menguasainya. Juga, banyak di antara mereka berharap untuk dapat berdiri sendiri oleh karena ketergantungan pada orang lain mengandung bahaya. Bahayanya adalah bila orang yang digantungi itu pada suatu saat ternyata tidak dapat diandalkan – menjadi bersikap tidak adil, menaruh syak wasangka, bersikap tidak konsisten, tidak mempunyai pertimbangan yang baik; atau orang yang berkuasa memintanya menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan patokan- patokan yang dianutnya sebagai imbalan atas hadiah-hadiah yang telah diberikan. Itulah sebabnya mengapa para pegawai dari majikan yang sangat paternalistis – yaitu mereka yang sangat bermurah hati dalam memberikan “keuntungan-keuntungan” dan “bonus” (dengan syarat bahwa mereka menyetujui sistem kontrol atas dasar otoritas pimpinan) seringkali merasa sungguh-sungguh membenci “tangan yang menyuapi” itu. Ahli-ahli sejarah mengenai hubungan manusia dalam industri, menunjukkan bahwa beberapa pemogokan yang hebat umumnya ditemukan pada perusahaan-perusahaan dengan manajemen yang bersifat “otoriter sepenuhnya”. Ini pun kiranya yang menyebabkan mengapa kebijaksanaan negara-negara “kaya” untuk memberikan pertolongan pada negara-negara yang “miskin” seringkali berakhir dengan sikap permusuhan dari negara-negara yang lemah itu 131
terhadap negera-negera yang lebih kuat, yang kesemuanya ini sering di luar dugaan para “pemberi dana”. Menyerang, Mendendam, Membalas Oleh karena dominasi pihak orang tua melalui sikap otoriter terlalu mengecewakan kebutuhan anak, dan frustasi sering mengarah kepada agresi, maka orang tua yang menggantungkan diri pada sikap otoriter, dapat membuat anak-anak mereka bersikap agresif. Anak mencoba membalas dendam, mencoba untuk dapat menundukkan orang tua, menunjukkan sikap kritis yang berlebihan, sering mengungkapkan hal-hal yang tidak menyenangkan, menggunakan siasat “diam seribu bahasa”, ataupun melakukan salah satu dari seratus tindakan agresif yang kiranya dapat membalas sikap orang tuanya ataupun bahkan menyakiti mereka. Agaknya cara penanggulangan semacam ini dapat dirumuskan sebagai, “Bapak menyakiti saya, maka saya pun akan menyakiti Bapak kembali sehingga kemudian hari barangkali Bapak tidak akan menyakiti saya lagi”. Bentuk ekstrem dari hal ini terlihat pada kasus-kasus yang sering dilaporkan dalam suratkabar, tentang anak yang membunuh orang tuanya sendiri. Tidak perlu disangkal lagi bahwa banyak tingkah laku agresif yang ditujukan terhadap pimpinan sekolah (perusakan lingkungan), terhadap polisi, atau terhadap pimpinan-pimpinan politik didasari oleh keinginan untuk membalas dendam ataupun menghantam orang lain. Berbohong, Menyembunyikan Perasaan Beberapa anak, semenjak kecil sudah sadar bahwa dengan berbohong mereka dapat menghindari hukuman-hukuman. Kadang kala berbohong justru dapat menghasilkan hadiah bagi mereka. Semua anak-anak mulai mempelajari nilai-nilai dari orang tua mereka – dan tahu dengan tepat apa yang disetujui oleh orang tua mereka. Setiap anak yang saya jumpai dalam terapi, sebagai anak dari orang tua yang menggunakan sistem hadiah dan hukuman yang keterlaluan, mengemukakan bagaimana seringnya mereka berbohong kepada orang tuanya. Seorang pemudi menceritakan pada saya: “Orang tua saya melarang saya pergi ke teater mobil, sebab itu saya katakan pada mereka bahwa saya mau pergi ke rumah teman wanita. Kemudian kami pergi ke teater mobil!” Ada yang bercerita demikian: “Ibu tidak mengijinkan saya menggunakan gincu, maka saya baru menggunakan setelah agak jauh dari rumah. Kalau saya pulang, saya menghapusnya terlebih dulu sebelum masuk ke dalam rumah”. Seorang gadis berumur 16 tahun mengakui: “Ibu tidak mengijinkan saya pergi dengan teman pria yang satu ini, maka saya minta pada teman wanita saya untuk menjemput saya dan kemudian mengatakan pada Ibu bahwa kami akan pergi nonton atau apa saja. Sesudah itu saya pergi menemui pacar saya”. 132
Melihat bahwa banyak di antara anak-anak itu berbohong karena orang tua begitu menekankan sistem hadiah dan hukuman, maka saya sampai pada kesimpulan bahwa kecenderungan untuk berbohong itu sebenarnya bukan kodrat manusia. Berbohong merupakan sesuatu yang dipelajari – suatu cara untuk menanggulangi usaha orang tua mengendalikan anak dengan memanipulasi sistem hadiah dan hukuman. Di keluarga di mana mereka diterima dan di mana kebebasan mereka dihargai, anak-anak nampaknya tidak suka berbohong. Orang tua yang mengeluh bahwa anak-anak mereka tidak mau membicarakan persoalan mereka ataupun menceritakan perihal kehidupan mereka, biasanya merupakan orang tua yang banyak menggunakan hukuman pada anak-anak mereka. Akhirnya anak akan belajar juga menggunakan aturan permainan yang berlaku, dan salah satu cara adalah tetap diam. Menyalahkan Orang Lain, Mengadu, Menipu Dalam keluarga-keluarga dengan lebih dari satu anak, anak-anak biasanya berlomba untuk memperoleh hadiah dari orang tua mereka dan menghindari hukuman. Mereka secara cepat mempelajari suatu mekanisme penanggulangan lain yaitu, merugikan orang lain, menjelek-jelekkan anak- anak lain, membuat mereka tampak tidak baik, mengadu, melemparkan kesalahan pada anak lain. Ini merupakan suatu perumusan sederhana – “Dengan membuat orang lain kelihatan buruk (tidak baik), barangkali saja saya akan kelihatan baik”. Alangkah mengecewakan orang tua; mereka menginginkan suatu sikap saling menunjang dari anak-anak mereka, namun dengan menggunakan hadiah dan hukuman mereka justru mengembangkan sikap saling bersaing – persaingan antar-saudara, perkelahian, saling memfitnah antar-saudara kandung. “Ia lebih banyak mendapat es krim daripada saya”. “Mengapa saya harus bekerja membersihkan kebun sedangkan Joni tidak?” “Dia memukul saya dulu – dia yang memulai”. “Ibu tidak pernah menghukum Joni ketika ia seumur saya melakukan apa- apa yang saya lakukan sekarang”. “Mengapa Anda membiarkan Tono melakukan segala hal?” Banyak pertengkaran anak-anak, sebagai akibat dari persaingan dan saling melempar kesalahan, dapat dikembalikan pada bagaimana orang tua menggunakan sistem hadiah dan hukuman dalam mendidik anak-anak. Oleh karena tidak ada yang memiliki waktu, sifat atau kebijaksanaan untuk menggunakan sistem hadiah dan hukuman secara adil dan sama pada setiap saat, maka sebenarnya orang tua tidak dapat menghindari timbulnya persaingan. Hal yang lazim adalah bahwa setiap anak ingin mendapatkan hadiah sebanyak mungkin dan melihat kakak serta adik-adiknya mendapatkan lebih banyak hukuman. 133
Menguasai, Mengatur, Memaksakan Kehendak Mengapa anak ingin mencoba menguasai atau memaksakan kehendaknya atas anak-anak lain yang lebih kecil? Salah satu alasan adalah oleh karena orang tua mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk menguasai dirinya. Itulah sebabnya, bila ia berada dalam kedudukan yang lebih tinggi atas anak lain, ia pun mencoba untuk menguasai dan memerintah mereka. Ini dapat diamati pada waktu anak-anak bermain dengan boneka-boneka. Mereka biasanya memperlakukan boneka-boneka mereka (sebagai “anak-anaknya sendiri”) sebagaimana orang tua memperlakukan mereka, dan ahli-ahli psikologi telah mengetahui ini, mereka dapat mengetahui bagaimana orang tua memperlakukan anak- anaknya melalui pengamatan terhadap anak-anak pada waktu bermain dengan boneka-boneka. Apabila anak itu bersikap menguasai, mengatur, dan menghukum bonekanya ketika ia sedang memainkan peranan itu, maka pasti demikianlah cara anak itu diperlakukan ibunya sendiri. Oleh sebab itu maka secara tidak disengaja orang tua menanggung risiko yang besar dalam mendidik anak-anak, karena anak akan bersikap otoriter terhadap anak-anak lain bia orang tua menggunakan sikap otoriter mereka untuk mengarahkan dan mengendalikan anak-anak itu. Mau Menang Sendiri, Tidak Mau Kalah Anak yang dibesarkan dalam suasana penuh hadiah dan hukuman, akan mengembangkan kebutuhan kuat untuk kelihatan “baik” atau mengejar kemenangan, dan berusaha jangan sampai kelihatan “tidak baik” atau kalah. Ini merupakan salah satu ciri khas dari keluarga-keluarga di mana orang tua sangat berorientasi pada sistem hadiah dan yang memberi penekanan pada apa yang mereka nilai positif, pemberian uang, medali emas, bonus, dan semacam itu. Celakanya banyak orang tua yang demikian, khususnya yang berasal dari kelas sosial menengah dan tinggi. Meskipun saya memang menemukan beberaa orang tua yang sungguh-sungguh menolak pemberian hukuman sebagai metode pengendalian, namun jarang saya berjumpa dengan orang tua yang mempertanyakan manfaat pemberian hadiah. Orang tua dibanjiri tulisan-tulisan dan buku-buku yang menganjurkan untuk kerap memberikan pujian dan hadiah. Banyak di antaraorang tua menerima nasihat ini tanpa kritik, dengan hasil banyak di antara anak-anak itu oleh orang tua mereka dimanipulasi dengan macam-macam pujian, mendapatkan keistimewaan- keistimewaan, aneka hadiah, gula-gula, es krim, dan semacam itu. Tidak mengherankan bahwa generasi anak-anak “manja” ini mempunyai orientasi untuk selalu menang, dipandang baik, selalu menonjol, dan yang paling menyolok adalah menghindari kekalahan. Pengaruh negatif lainnya dari pendidikan anak berdasarkan orientasi hadiah adalah bila kemampuan anak sungguh terbatas, baik di bidang 134
intelektual maupun fisik, yang membuat mereka sukar memperoleh hadiah hadiah. Anak-anak tersebut bila berada bersama dengan saudara-saudaranya dan anak-anak sebaya lainnya yang berbakat lebih, selalu akan “kalah” dalam pelbagai usahanya baik di rumah, di gelanggang permainan, ataupun di sekolah. Banyak keluarga mempunyai satu atau lebih anak yang demikian, yang selama hidup seolah ditakdirkan untuk mengalami rasa sakit, gagal, dan frustasi melihat anak lain mendapat pujian. Anak-anak seperti itu mempunyai harga diri yang rendah, serba tidak berdaya dan patah semangat. Pokoknya: suasana keluarga yang sangat mementingkan sistem hadiah akan lebih merugikan bagi anak-anak yang tidak dapat mencapainya daripada bagi anak yang dapat memperolehnya. Membentuk Persekutuan, Berorganisasi Melawan Orang Tua: Anak-anak yang memperoleh pengawasan dan pengendalian melalui otoritas dan kekuasaan orang tua mereka, pada suatu saat setelah mereka bertamabah besar, menemukan cara lain untuk menanggulangi kekuasaan itu. Pola yang sudah dikenal yaitu anak membentuk persekutuan bersama anak-anak lain, baik di linggkungan rumah maupun di luar. Anak-anak menemukan bahwa “di dalam suatu persatuan” akan terbentuk kekuatan yang lebih besar – mereka dapat “membentuk suatu persatuan” sebagaimana para buruh membentuk persatuan untuk menanggulangi kekuasaan dari para pemilik, dan majikan. Anak-anak sering kali membentuk persekutuan-persekutuan untuk mengahdapi orang tua dengan cara: Bersama-sama sepakat untuk menceritakan hakyang sama. Menceritakan pada orang tua mereka bahwa teman-teman yang lain telah memperoleh persetujuan dari orang tuanya, maka dari itu mengapa mereka tidak? Mempengaruhi teman-teman lain untuk ikut bersama-sama melakukan kegiatan yang dilarang, dengan harapan bahwa orang tua mereka tidak dapat menyisihkan mereka untuk dihukum. Dewasa ini keampuhan kaum muda sungguh-sungguh terasa, timbul dari pengabungan dan gerakan melawan otoritas orang tua ataupun orang dewasa – kegiatan kaum hippi, pelajar, pemogokan di sekolah, demonstrasi para pelajar menentang aturan berbusana, gerakan aksi mahasiswa dalam menuntut hak suara, aksi perdamaian, dan sebagainya. Oleh karena sistem kekuasaan itu berjalan terus dan nampaknya dianggap sebagai salah satu cara yang lebih disukai dalam usaha mengarahkan dan mengendalikan tingkah laku anak, maka dengan demikian para orang tua dan orang dewasa lainnya justru mengundang reaksi yang paling dikhawatirkan- kaum muda justru membentuk suatu persekutuan untuk menjatuhkan kekuasaan mereka itu. Akibatnya masyarakat terpecah jadi dua golongan yang saling berperang – kaum muda bergabung melawan generasi di atasnya, atau dapat pula disebutkan sebagai kelompok “yang tidak punya” melawan kelompok “yang punya”. Dalam 135
hubungan ini, maka bukannya anak mengadakan identifikasi diri dengan keluarganya, melainkan mereka semakin menumbuhkan identifikasi antar- mereka sendiri untuk melawan orang dewasa. Bersikap Tunduk, Patuh, dan Menurut Beberapa anak memilih untuk menyerah pada kekuasaan orang tua mereka karena alasan yang biasanya tidak dapat dimengerti dengan jelas. Mereka bersikap tunduk, patuh, dan menurut. Reaksi terhadap otoritas orang tua ini sering timbul bila orang tua bersikap terlalu keras dalam menggunakan kekuasaan. Terutama apabila hukuman-hukumannya terlalu keras, maka anak-anak belajar untuk bersikap patuh karena sangat takut dihukum. Reaksi anak-anak terhadap kekuasaan orang tua bisa seperti anjing-anjing yang takut memperoleh hukuman keras. Pada waktu anak- anak masih sangat muda, maka hukuman yang keras cenderung mengakibatkan anak menjadi tunduk, karena untuk bereaksi memberontak ataupun bertahan terlalu banyak mengandung bahaya. Reaksi-reaksi mereka terhadap kekuasaan orang tua hampir selalu bersifat patuh dan menurut. Pada waktu anak-anak menginjak masa remaja, reaksi tersebut bisa berubah secara mendadak karena mereka telah memperoleh kekuatan dan keberanian yang lebih besar untuk berusaha mempertahankan diri dan memberontak. Ada beberapa anak yang tetap bersikap tunduk dan menurut sepanjang masa remaja dan bahkan sampai masa dewasa. Anak-anak yang demikianlah yang paling menderita akibat kekuasaan orang tua mereka, oleh karena mereka merupakan orang-orang yang takut terhadap mereka yang berada dalam kedudukan yang lebih tinggi yang mereka jumpai di mana pun di dalam kehidupan ini. Mereka akan menjadi orang dewasa yang tetap bersikap seperti anak-anak sepanjang hidup mereka, bersikap takluk secara pasif terhadap otoritas, menyangkal kepentingan diri sendiri, takut untuk menjadi dirinya sendiri, takut menghadapi konflik, terlalu penurut, tidak mampu mempertahankan pendiriannya sendiri. Mereka inilah yang akan membanjiri tempat praktek psikolog dan psikiater. Mengambil Hati, Menjilat Salah satu cara untuk menghadapi seseorang yang memiliki kekuasaan untuk memberikan hadiah atau hukuman adalah “berdiri di sisinya”, berusaha menarik dirinya dengan cara-cara tertentu agar ia menyukai Anda.cara inilah yang digunakan oleh anak-anak tertentu dalam usaha mendekati orang tuanya atau orang dewasa lainnya. Rumusannya kira-kira demikian: “Apabila saya dapat membuat Anda senang dan Anda menyenangi saya, maka barangkali Anda akan mau memberi saya hadiah- hadiah dan mengurungkan niat memberikan hukuman pada saya”. Anak- anak cepat sadar bahwa pemberian hadiah ataupun hukuman tidak didasarkan pada ukuran yang sama. Orang dewasa dapat dirayu; mereka 136
mempunyai pilih kasih. Ada anak-anak yang dapat mengambil manfaat dari kenyataan ini dan mengambil sikap yang dikenal sebagai “mengambil hati”, “asal bapak senang”, “menjadi anak kesayangan”, istilah-istilah lainnya yang dalam masyarakat yang sehat sepantasnya ditolak. Celakanya, sementara ada anak-anak yang pandai mengambilhati orang dewasa, anak-anak lainnya sangat tidak menyukai hal itu; penjilat-penjilat itu sering kali mendapat cemoohan dan ditolak oleh teman-teman sebayanya yang menaruh curiga terhadap motivasi dan iri hati terhadap kedudukannya yang baik. Menyesuaikan Diri, Tidak Memiliki Kreativitas, Takut Mencoba Sesuatu yang Baru, Membutuhkan Sesuatu Jaminan Akan Mencapai Suatu Sukses Otoritas orang tua lebih menumbuhkan sikap taat daripada menumbuhkan kreativits pada anak-anak, seperti suasana otoritas dalam suatu organisasi juga memadamkan usaha-usaha pembaharuan. Kreativitas bermula dari kebebasan untuk bereksperimen, mencoba sesuatu yang baru dan kombinasi-kombinasi yang baru. Anak-anak yang dibesarkan dalam suasana yang diwarnai oleh pemberian hadiah dan hukuman, tidak akan merasakan kebebasan sebagaimana pada anak-anak yang dibesarkan dalam suasana di mana mereka merasa diterima. Kekuasaan akan menghasilkan sikap takut, dan perasaan takur akan menghambat kreativitas serta menumbuhkan sikap penurut. Rumusannya sederhana saja: “Demi mendapatkan hadiah-hadiah, maka saya lepas tangan dan menurut saja seperti yang dikehendaki dari diri saya. Saya tidak berani bertindak di luar ketentuan, karena terlalu banyak risikonya akan mendatangkan hukuman”. Menarik Diri, Menghindar, Berfantasi, Regresi Apabila keadaan menjadi terlalu sulit bagi anak-anak untuk menghadapi sikap otoriter orang tua, mereka akan mencoba untuk “melarikan diri” atau “menarik diri”. Kekuasaan orang tua dapat menyebabkan anak menarik diri apabila hukuman dirasakan terlalu berat, apabila orang tua tidak konsisten dalam memberikan hadiah-hadiahnya, apabila hadiah itu terlalu sukar diraih, ataupun apabila terlalu sukar untuk belajar tingkah laku sebagaimana diperlukan agar terhindar dari hukuman. Kondisi-kondisi seperti itu dapat menyebabkan anak menyerah untuk terur belajar “mematuhi aturan-aturan yang berlaku”. Singkatnya, ia berhenti untuk mencoba menghadapi realitas – karena terlalu menyakitkan atau terlalu kompleks bila dihadapi. Anak tersebut tidak dapat menemukan penyesuaian diri yang cicik dengan kekuasaan-kekuasaan dalam lingkungannya. Ia tidak dapat menang. Maka dengan deikian, nalurinya menganjurkannya untuk lebih baik melarikan diri agar selamat. Bentuk-bentuk penarikan diri dan pelarian diri dapat berkisar antara penarikan diri dari realitas secara total sampai hanya sesaat saja, termasuk: 137
Melamun dan berkhayal. Tidak aktif, bersikap pasif, apatis. Regresi sampai pada tingkah laku yang kekanak-kanakan. Nonton TV secara berlebihan. Membaca novel secara berlebihan. Bermain sendiri (sering kali bersama-sama teman khayalannya). Menjadi sakit. Lari dari rumah. Minum obat-obatan. Makan secara berlebih-lebihan. Depresi. TINJAUAN LEBIH MENDALAM TENTANG KEKUASAAN ORANG TUA Sekalipun para orang tua di dalam kursus MOE telah menyusun daftar mekanisme-mekanisme penanggulangan mereka sendiri semasa kanak- kanak, bahkan sudah menggunakan daftar kami untuk mengenal mekanisme-mekanisme perlawanan tertentu yang sering digunakan oleh anak-anak mereka sendiri, tetapi sebagian daripada mereka tetap berpendapat bahwa otoritas dan kekuasaan masih dapat dibenarkan dalam mendidik anak-anak sehingga di dalam kebanyakan kursus MOE, sikap- sikap dan perasaan-perasaan tertentu mengenai sikap otoriter orang tua msih perlu dilontarkan untuk didiskusikan secara terbuka. Apakah Anak-anak Memang Tidak menghendaki Sikap Otoriter dan Pembatasan? Suatu pendapat umum yang masih bertahan, baik pada orang awam maupun para ahli (dan sering kali dikemukakan para orang tua di dalam kursus MOE) adalah bahwa pada hakikatnya anak-anak menginginkan sikap otoriter – mereka suka kalau orang tua mengekang dan membatasi tingkah laku mereka. Apabila orang tua menggunakan sikap otoriter, demikian alasan-alasannya, anak-anak akan merasa dirinya lebih aman. Tanpa pembatasan, mereka bukan saja menjadi liar dan tidak berdisiplin, tetapi juga merasa tidak aman. Bila diperluas, pendapat ini berbunyi: Apabila orang tua tidak menggunakan sikapotoriter untuk menentukan pembatasan-pembatasan, maka anak-anak akan merasa seolah-olah orang tua mereka tidak mempedulikan dan tidak mencintai mereka. Saya yakin bahwa pendapat ini banyak penganutnya karena paling sedikit akan membenarkan mereka untuk menggunakan kekuasaan, meski saya tidak akan mengurangi nilai pendapat ini dengan mengatakannya hanya sebagai suatu bentuk rasionalisasi. Pendapat tersebut ada benarnya juga, dan karena itu perlu diteliti lebih lanjut. Pengalaman dan akal sehat menunjukkan bahwa anak-anak memang menghendaki pembatasan dalam hubungan mereka dengan orang tua. Mereka perlu mengetahui seberapa jauh mereka dapat bertindak, sebelum 138
tindakan mereka itu ditolak. Dengan mengetahuinya, maka anak-anak dapat mencegah adanya tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. Dan ini berlaku bagi semua bentuk hubungan manusia. Sebagai contoh: Saya akan merasa lebih aman apabila saya mengetahui tindakan saya yang mana yang tidak dapat diterima oleh istri saya. Saya sedang merencanakan untuk bermain golf atau pergi ke kantor pada saat kami sedang kedatangan tamu. Dengan mengetahui terlebih dahulu, bahwa istri saya tidak dapat menerima ketidakhadiran saya karena ia memerlukan pertolongan saya, maka saya dapat memutuska untuk tidak pergi bermain golf ataupun pergi ke kantor dan menghindari ha-hal yang tidak menyenangkan istri atau menimbulkan kemarahan dan mungkin juga mengundang suatu konflik. Bagaimana juga, anak ingin mengetahui “batas-batas tingkah laku yang dapat diterima oleh orang tuanya”, dan ini tidak berarti bahwa ia menghendaki orang tua menentukan pembatasan atas tingkah lakunya. Kembali pada contoh yang melibatkan istri saya dan saya sendiri: saya akan tertolong apabila saya tahu apa yang diraskan olehnya apabila saya pergi bermain golf atau pergi bekerja pada hari-hari kami sedang menjamu tamu. Tetapi saya tentu saja akan marah dan benci apabila ia mencoba membatasi tingkah laku saya dengan pernyataan-pernyataan seperti: “Saya tidak mengijinkanmu bermain golf atau pergi bekerja pada saat kita sedang menerima tamu. Itu keterlaluan. Kamu tidak dapat berbuat demikian”. Saya sama sekali tidak menghargai cara-cara pendekatan dengan menggunakan kekuasaan seperti ini. Tidak pada tempatnyalah apabila istri saya mencoba mengendalikan dan mengarahkan tindakan-tindakan saya dengan cara yang demikian. Reaksi anak-anak pun tidak akan jauh berbeda dengan reaksi orang tua terhadap cara pembatasan seperti itu. Mereka juga merasa gusar dan kesal apabila orang tua secara sepihak mencoba membatasi tindakan-tindakan mereka. Saya belum pernah menjumpai seorang anak yang ingin agar orang tuanya membatasi tingkah lakunya seperti dalam batasan-batasan berikut ini: “Kau sudah harus berada di rumah sebelum tengah malam – itu batasannya”. “Saya tidak mengijinkanmu menggunakan mobil”. “Kamu tidak boleh bermain dengan mobil-mobilanmu di ruang tamu”. “Kami melarangmu merokok terlalu banyak”. “Kami melarangmu pergi dengan kedua pria itu”. Para pembaca akan mengenal semua komunikasi itu sebagai “mengirimkan pemecahan” (demikian juga semua merupakan “pesan kamu”). Prinsip yang meyakinkan daripada sekedar menyatakan “Anak-anak menghendaki agar orang tua menggunakan otoritas dan menentukan pembatasan-pembatasan”, adalah sebagai berikut: Anak-anak menghendaki dan membutuhkan informasi dari orang tua yang mencerminkan perasaan-perasaan orang tua terhadap tingkah laku mereka. 139
Dengan demikian mereka sendiri dapat mengubah tingkah laku yang barangkali tidak dapat diterima oleh orang tua. Bagaimanapun juga, anak-anak tidak menginginkan bahwa orang tua mencoba membatasi ataupun mengubah tingkah laku mereka itu melalui ancaman penggunaan sikap otoriter. Pendeknya, anak- anak seperti halnya orang dewasa, lebih suka berkuasa atas tingkah lakunya sendiri. Satu hal tambahan: Anak-anak pada dasarnya lebih suka apabila semua tindakannya dapat diterima orang tuanya, sehingga tingkah laku mereka tidak perlu diubah ataupun dibatasi. Saya pun, lebih suka kalau istri saya dapat menerima segala tindakan saya tanpa syarat. Itulah yang lebih saya sukai, tetapi saya tahu bahwa itu bukan hanya tidak realistis, bahkan tidak mungkin. Dengan demikian, para orang tua hendaknya jangan mengharapkan, seperti halnya harapan anak-anak terhadap mereka, bahwa semua tindakan mereka itu dapat diterima. Yang seyogyanya dapat diharapkan anak adalah bahwa kepada mereka diberi tahu apabila orang tua merasa tidak dapat menerima salah satu tindakan mereka (“Saya tidak ingin diganggu dan ditarik apabila saya sedang berbicara dengan seorang teman”). Ini jelas berbeda daripada keinginan agar orang tua menggunakan otoritas mereka guna membatasi tingkah laku mereka. Apakah Sikap Otoriter Itu Dapat Dibenarkan, Apabila Dilaksanakan Orang Tua secara Konsisten? Ada orang tuayang membenarkan penggunaan kekuasaan dengan beranggapan bahwa hal tersebut cukup efektif dan tidak berbahaya, asal digunakan secara konsisten. Di kursus kami, para orang tua terheran-heran ketika diberi tahu bahwa mereka benar dalam hal perlunya pendirian tetap. Para pembina meyakinkan mereka perlunya pendirian tetap, apabila mereka memilih untuk menggunakan kekuasaan dan otoritas. Selain daripada itu, anak-anak lebih senang kalau orang tua mereka bersikap konsisten, apabila orang tua memilih menggunakan otorias. Itu bukan berarti bahwa penggunaan kekuasaan dan otoritas itu tidak merugikan; penggunaan kekuasaan dan otoritas itu akan lebih berbahaya apabila orang tua tidak konsisten. Bukannya anak-anak menginginkan orang tua mereka menggunakan otoritas; akan tetapi apabila hal itu digunakan, hendaknya digunakan secara konsisten. Apabila orang tua merasa bahwa mereka perlu menggunakan otoritas, maka konsistensi di dalam penerapannya akan memberikan kesempatan yang lebih banyak pada anak untuk mengenali tingkah laku mana yang mendapat hukuman dan mana yang tidak. Bukti-bukti percobaan cukup memperlihatkan bagamana ketidaktetapan dalam penggunaan metode hadiah dan hukuman untuk membentuk tingkah laku binatang dapat mempunyai efek-efek yang merugikan. Sebagai contoh, 140
kami ambil saja suatu percobaan klasik yang telah dilakukan oleh seorang psikolog bernama Norman Maier. Maier memberikan hadiah pada tikus- tikus yang berhasil melompat dari suatu ketinggian ke arah pintu berengsel yang telah dicat dengan sebuah motif tertentu, katakanlah sebuah segi empat. Pintu terbuka ke arah makanan dan tikus-tikus tersebut mendapatkan hadiahnya. Kemudian Maier memberikan hukuman kepada tikus-tikus yang melompat ke arah pintu yang dicat bermotifkan sebuah segi tiga. Pintu tidak terbuka, akibatnya tikus-tikus menubrukkan hidung mereka dan jatuh ke dalam sebuah jaring. Ini menyebabkan tikus-tikus itu “belajar” untuk membedakan bentuk segi empat dan bentuk segi tiga. Suatu percobaan bersyarat yang sederhana. Sekarang Maier memutuskan untuk bersikap tidak ajek dalam pendiriannya memberikan hadiah ataupun hukuman. Ia sengaja mengubah- ubah syarat mengenai pembelian motif. Kadang-kadang motif segi empat berada pada pintu yang menuju ke makanan, kadang-kadang ditempatkan pada pintu yang tidak terbuka dan menyebabkan tikus-tikus jatuh. Seperti halnya banyak orang tua, psikolog tersebut tidak tetap dalam pendiriannya mengenai pemberian hadiah dan hukuman. Apa akibat bagi tikus-tikus tersebut? Keadaan itu membuat mereka menjadi “neurotis”; ada yang mengalami kelainan kulit, ada yang mengalami keadaan katatonik, ada yang berlari-lari di sekitar sangkar mereka secara buas dan tidak mau makan. Maier telah menciptakan keadaan “neurotis eksperimental” pada tikus-tikus itu dengan bersikap tidak tetap. Akibat dari ketidaktetapan dalam penggunaan hadiah dan hukuman dapat pula merugikan anak-anak. Ketidaktetapan dalam pendirian ini tidak akan memberikan kesempatan pada mereka untuk belajar melakukan tingkah laku yang “dibenarkan” (yang mendapatkan hadiah) dan menghindari tingkah laku yang “tidak diinginkan”. Mereka tidak akan berhasil. Mereka akan mengalami frustasi, menjadi bingung, marah, dan bahkan “neurotis”. Bukankah Orang Tua Bertanggung Jawab untuk Mempengaruhi Anak? Sebagaimana diekspresikan oleh para orang tua di dalam kursus MOE, sikap yang paling sering dipakai untuk membenarkan penggunaan otoritas adalah karena orang tua dianggap bertanggung jawab untuk mempengaruhi anak-anak mereka bertingkah laku tertentu, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para orang tua ataupun “masyarakat” (apa pun artinya). Pandangan klasis yang dianut sejak dahulu kala mengatakan bahwa penerapan kekuasaan dalam hubungan antar-manusia dibenarkan sejauh digunakan demi kebajikan dan secara bijaksana – “demi kepentingan dan kesejahteraan orang lain” atau “ demi kesejahteraan masyarakat”. 141
Masalahnya adalah, siapa yang memutuskan apa yang paling baik untuk masyarakat? Anakkah? Orang tuakah? Siapakah yang paling tahu? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sukar, dan ada bahayanya untuk bertahan pada ketentuan bahwa pihal orang tualah “yang paling baik memutuskannya”. Ia mungkin saja tidak cukup ijaksana untuk membuat ketentuan ini. Setiap orang dapat membuat kesalahan, dan ini berlaku pula bagi orang tua dan orang-orang lainnya yang memiliki kekuasaan. Dan siapa yang menggunakan kekuasaan, dapat saja membela diri dengan alasan bahwa itu adalah demi kebaikan orang lain. Sejarah umat manusia mencatat adanya banyak penindas yang mengatakan bahwa mereka menggunakan kekuasaanya itu demi kesejahteraan orang yang tertindas. “Saya melakukan ini dekedar demi kebaikanmu sendiri” bukan merupakan suatu pembenaran yang meyakinkan untuk menggunakan kekuasaan. “Kekuasaan itu merugikan, dan kekuasaan mutlak cenderung menyeleweng secara mutlak” demikian ditulis oleh Lord Acton. Dan menurut Shelley “Kekuasaan adalah bagaikan penyakit yang berjangkit, dan akan menodai apa saja yang terjamah olehnya”. Edmund Burke berpendapat bahwa “Makin besar kekuasaan, makin berbahayalah penyalahgunaannya”. Negarawan dan pujangga-pujangga menyadari bahwa bahaya kekuasaan tersebut tetap ada. Penggunaan kekuasaan dipersoalkan sungguh-sungguh dalam hubungan antar-negara. Pemerintahan dunia dengan pengadilan dunia pada suatu ketika akan diperlukan agar manusia tetap bertahan dalam abad atom ini. Penggunaan kekuasaan oleh bangsa kulit putih atas bangsa kulit hitam kini tidak lagi dibenarkan oleh mahkamah agung. Di dalam dunia industri dn wiraswasta, manajemen secara otoriter sudah dianggap sebagai falsafah kuno. Adanya perbedaan kekuasaan antara suami dan istri yang dikenal sejak dahulu, telah berkurang secara berangsur-angsur namun jelas. Akhirnya kekuasaan mutlak dan sikap otoriter dalm gereja kini pun telah diperdebatkan di dalam maupun di luar lembaga itu sendiri. Hubungan antara orang tua dan anak di dalam rumah merupakan bentuk sederhana dari kekuatan dan kekuasaan yang masih bertahan. Suatu tempat serupa adalah sekolah – dalam hubungan antara guru dan murid, di mana otoritas tetap bertahan sebagai metode utama untuk mengendalikan dan engarahkan tingkah laku para pelajar. Mengapa anak-anak dijadikan insan terakhir yang dilindungi terhadap kejahatan potensial dari kekuasaan dan otoritas? Apakah ini disebabkan oleh karena mereka lebih lemah atau karena orang dewasa merasa lebih mudah untuk membenarkan penggunaan kekuasaan mereka terhadap dalih seperti “Ayahlah yang paling tahu” atau “Itu adalah demi kebaikan mereka sendiri?” 142
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257