Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore menjadi orang tua efektif

menjadi orang tua efektif

Published by perpus smp4gringsing, 2021-12-09 04:27:13

Description: menjadi orang tua efektif

Search

Read the Text Version

pendengarnya. Anak-anak, khususnya menanggapinya dengan perasaan- perasaan dan gagasan-gagasan yang menyenangkan. Perasaan yang sama juga timbul dalam diri pendengar, ia mulai merasa hangat dan dekat pada pengirim pesan. Bila seseorang mendengarkan dengan sungguh-sungguh, ia akan mengerti orang yang berbicara, menghargai pendapatnya, ia dapat menjadi orang utuh dengan menempatkan diri di tempat orang tersebut. Dengan membiarkan dirinya “masuk ke dalam” orang lain, seseorang dapat menimbulkan kedekatan perhatian dan rasa kasih. Berempati dengan orang lain berarti melihatnya sebagai pribadi yang tersindiri, namun mau berada bersamanya. Hal itu berarti “menjadi teman” dalam satu masa dari kehidupannya. Tindakan semacam itu melibatkan rasa kasih yang mendalam. Orang tua yang belajar mendengar aktif dan empatis, menemukan rasa menghargai dan rasa menghormati, suatu rasa kasih sayang yang mendalam dan sebaliknya anak memberikan respons yang sama terhadap orang tua. Mendengar aktif, memudahkan pemecahan soal oleh anak. Pemecahan dan penyelesaian suatu masalah adalah lebih baik bila dapat “dibicarakan” daripada hanya dipikirkan saja. Karena mendengar aktif memudahkan seseorang berbicara, maka hal itu menolong seseorang dalam mencari penyelesaian atas masalahnya. Setiap orang tentu pernah mendengar pernyataan “Saya ingin membicarakannya denganmu” atau “Mungkin dapat lebih menolong untuk membicarakannya denganmu”. Mendengar aktif, mempengaruhi anak untuk mau lebih mendengarkan pendapat-pendapat orang tua. Merupakan pengalaman umum, bahwa bial seseorang mau mendengar pendapat orang lain, maka pendapatnya akan lebih mudah didengar. Anak-anak akan lebih terbuka untuk menerima pendapat orang tua, bial orang tua mau mendengar pendapatnya lebih dulu. Bila orang tua mengeluh bahwa anak-anak tidak mau mendengar mereka, dapat diduga bahwa mereka tidak berusaha secara efektif untuk mendengarkan anak-anak. Mendengar aktif, membuat anak bertanggung jawab. Bial orang tua menghadapi maslah anak-anak mereka dengan mendengarkan aktif, mereka akan melihat bahwa anak-anak mulai berpikir sendiri. Seorang mulai menganalisa masalahnya sendiri, dan mencapai suatu penyelesaian yang konstruktif. Mendengar aktif mendoron anak untuk berpikir sendiri, menemukan diagnosis untuk masalahnya, untuk menemukan penyelesaian masalahnya. Mendengar aktif menimbulkan rasa percaya, sedangkan memberi nasihat, instruksi dan sebagainya, menimbulkan rasa tidak percaya karena mengambil alih rasa tanggung jawab penyelesaian masalah dari tangan anak. Mendengar aktif oleh karenanya merupakan cara yang paling efektif dalam menolong anak untuk lebih mengarahkan diri, bertanggung jawab, dan berdiri sendiri. 43

Syarat-syarat untuk Menggunakan Cara Mendengar Aktif Mendengar aktif bukanlah teknik yang sederhana yang dapat sewaktu- waktu dipergunakan bilamana anak mempunyai masalah. Metode ini memerlukan sikap dasar tertentu. Tanpa sikap ini, metode mendengar aktif tidak akan efektif. Sikap-sikap dasar tersebut adalah: 1. Anda harus mau mendengar apa yang akan dikatakan anak. Ini berarti Anda harus meluangkan waktu untuk mendengar. Bila Anda tidak mempunyai waktu, katakan saja. 2. Anda harus sungguh-sungguh mau menolong anak Anda menghadapi masalahnya pada saat itu. Bila Anda tidak mau, tunggu sampai Anda mau. 3. Anda harus benar-benar dapat menerima perasaan-perasaanya, apa pun perasaan itu atau walaupun perasaan itu berlainan dengan perasaan Anda sendiri atau berbeda dengan perasaan-perasaan yang “seharusnya” dimiliki oleh seorang anak. Untuk mengembangkan perasaan ini diperlukan waktu. 4. Anda harus mempercayai kemampuan anak untuk mengatasi perasaan-perasaannya, dan mencari penyelesaian terhadap masalahnya. Anda akan memperoleh rasa percaya ini dengan melihat anak Anda menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri. 5. Anda harus menyadari bahwa perasaan hanyalah sementar, tidak permanen. Perasaan berubah, benci dapat berubah menjadi cinta, putus-asa dapat segera diganti dengan harapan. Karenaya Anda tidak perlu takut akan ungkapan-ungkapan perasaan; perasaan-perasaan itu tidak akan selamanya berada dalam diri anak. Mendengar aktif akan menunjukkan hal ini pada Anda. 6. Anda harus dapat melihat anak Anda sebagai seseorang di luar diri Anda, seorang pribadi yang unik, seorang individu yang terpisah, yang mempunyai kehidupan sendiri dan identitas sendiri. “Keterpisahan” ini memungkinkan Anda “membolehkan” anak memiliki perasaan-perasaannya sendiri, memiliki cara sendiri dalam memperhatikan segala sesuatu. Hanya dengan merasa “terpisah” Anda dapat merupakan agen penolong bagi anak Anda. Anda harus “bersamanya” dalam mengalami masalah-masalah, tetapi tidak ikut terlibat dengannya. Akibat dari Mendengar Aktif Mendengar aktif jelas meminta penerima menyingkirkan pikiran-pikiran serta perasaan-perasaannya sendiri, untuk dapat memahami pesan anak. Hal itu memeaksanya untuk menerima secara tepat, bila orang tua ingin mengerti pesan sabagaimana diartikan oleh anak, orang tua harus 44

menempatkan dirinya di tepat si anak (dalam frame of reference-nya, ke dalam dunia realitasnya), baru orang tua dapat mengerti arti yang dimaksud oleh si pengirim. Bagian “umpan balik” dari mendengar aktif semata-mata adalah untuk mencocokkan ketepatan orang tua mendengar. Hal ini juga untuk meyakinkan pengirim (anak) bahwa ia dimengerti pada saat ia mendengar pesannya “diumpanbalikkan” secara tepat. Sesuatu terjadi pada seseorang pada waktu ia mengamalkan mendengar aktif. Untuk mengerti dengan tepat bagimana orang lain berpikir atau merasa, untuk menempatkan diri di tempat orang lain, untuk melihat dunia sebagaimana orang lain melihatnya, Anda sebagai pendengar menanggung akibat akan kemungkinan berubahnya pendapat dan sikap Anda. Dengan perkataan lain, orang dapat berubah oleh apa yang sungguh dimengertinya. “Terbuka untuk pengalaman” orang lain, mengundang kemungkinan utnuk menginterpretasikan kembali pengalaman-pengalaman Anda sendiri. Ini dapat menakutkan. Seorang yang “defensif” tidak dapat menghadapi gagasan-gagasan serta pendapat-pendapat yang berbeda dengan pendapatnya sendiri. Seorang yang fleksibel tidak takut untuk berubah. Anak-anak yang mempunyai orang tua fleksibel menanggapi secara positif bila mereka melihat ibu dan ayah mau berubah, mau bersikap manusia. 45

4 Mengamalkan Mendengar Secara Aktif Orang tua pada umumnya kagum terhadap apa yang dapat dicapai melalui mendengar aktif. Akan tetapi untuk mengamalkannya perlu suatu usaha sungguh-sungguh. Meskipun pada mulanyakelihatan sukar, mendengar secara aktif harus sering digunakan. “Dapatkah saya mengetahui bilamana menggunakannya?” tanya para orang tua. “Dapatkah saya melakukannya sedemikian rupa sehingga saya dapat menjadi penasihat yang efektif bagi anak-anak saya sendiri?” Nyonya T, seorang ibu dari 3 orang anak yang pandai dan berpendidikan, mengaku pada orang tua-orang tua lain dalam kelas-kelas MOE kami: “Sekarang saya baru sadar akan kebiasaan saya untuk memberi nasihat atau mengatakan pada anak-anak pendapat saya tentang bagaimana menyelesaikan masalah mereka. Memang ini juga kebiasaan saya pada orang lain, teman-teman, dan suami saya. Dapatkah saya mengubah sikap ‘nyonya serba tahu’ ini?” Jawabannya adalah “dapat”. Sebagian besar orng tua dapat mengubah, dan dapat mempelajari bilamana mendengar secara aktif harus dilakukan, asalkan segera dimulai. Praktek membuat orang merasa mampu. Kepada orang tua yang ragu-ragu, yang pada mulanya merasa tidak dapat mencoba cara baru untuk berbicara, kami katakan: “Cobalah, manfaatnya sebanding dengan usaha mencobanya”. Dalam bab ini, akan kami perlihatkan bagaimana orang tua belajar melakukan mendengar aktif. Sebagaimana halnya dalam mempelajari setiap kegiatan baru, tentu saja orang tua akan menghadapi pelbagai kesulitan, bahkan kegagalan. Tetapi sekarang kita ketahui, bahwa orang tua yang sungguh-sungguh mencoba mengembangkan kepekaan dan ketrampilannya, akan melihat perkembangan anak-anak mereka ke arah kedewasaan, dan akan menikmati hubungan yang lebih mesra dengan mereka. BILAKAH ANAK MEMPUNYAI “MASALAH”? Mendengar aktif paling baik digunakan bila anak menyatkan bahwa ia mempunyai masalah. Umumnya orang tua kan memeprhatikan situasi ini, karena mereka akan mendengar anak mengungkapkan perasaan- perasaannya. Dalam hidupnya, semua anak pernah menghadapi situasi yang mengecewakan, menyakitkan, atau menghancurkan: masalah dengan teman, dengan adik atau kakak, orang tua, guru, lingkungan, dan masalah dengan dirinya sendiri. Anak-anak yang mendapat bantuan untuk mengatasi masalah-masalah itu dapat memepertahankan kesehatan psikologis mereka dan merasa lebih kuat serta lebih percaya diri. Anak-anak yang tidak 46

memperoleh bantuan, akan mengidap masalah-masalah emosional, yang terus berkembang. Untuk mengetahui waktu yang tepat untuk menggunakan cara mendengar aktif, orang tua harus dibiasakan mendengar ungkapan perasaan – “saya punya masalah”. Sebelumnya, ada baiknya untuk menyadari suatu prinsip penting, yaitu prinsip dari “memiliki masalah”. Dalam setiap hubungan manusia, terdapat saat-saat di mana seseorang (A) “memiliki masalah”, yaitu bila beberapa kebutuhannya tidak terpenuhi atau bila ia tidak puas dengan tingkah lakunya. Pada waktu-waktu tertentu dalam hubungannya dengan orang lain ia merasa terganggu, kecewa, dan susah. Hubungan tersebut dirasakan tidak memuaskan A. A “memiliki masalah”. Pada saat lain, kebutuhan A terpenuhi oleh tingkah lakunya, tetapi tingkah laku ini menganggu B dalam memenuhikebutuhannya. Sekarang B yang terganggu, kecewa, dan susah, karena tingkah laku A. Akibatnya, pada saat itu B “memiliki masalah”. Dalam hubungan orang tua – anak, tiga keadaan di bawah ini bisa terjadi: 1. Anak mempunyai masalah karena ia terhalang untuk memuaskan suatu kebutuhan. Masalah itu bukan masalah orang tua karena tingkah laku anak tidak mengganggu orang tua dalam memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Karena itu, anaklah yang memiliki masalah. 2. Anak memuaskan kebutuhannya sendiri (ia tidak mengalami rintangan) dan tingkah lakunya tidak mengganggu kebutuhan orang tua. Dalam hal ini tidak ada masalah dalam hubungan mereka. 3. Anak memuaskan kebutuhannya sendiri (ia tidak mengalami rintangan) tetapi tingkah lakunya merupakan masalah bagi orang tua, karena mengganggu orang tua dalam memuaskan kebutuhan- kebutuhan mereka. Sekarang orang tua memiliki masalah. Tergolong kategori manakah suatu situasi tertentu? Ada baiknya mengingat diagram di bawah ini. Daerah Dapat ANAK MEMILIKI Tingkah laku anak Diterima MASALAH merupakan masalah bagi dirinya Daerah Tidak TAK ADA MASALAH Dapat Diterima Tingkah laku anak ORANG TUA MEMILIKI merupakan masalah MASALAH bagi orang tua Mendengar aktif sebaiknya dilakukan orang tua bila anak memiliki suatu masalah, kurang tepat dilakukan bilamana orang tualah yang memiliki masalah. Memang hal ini menolong anak menemukan penyelesaian bagi 47

masalahnya, namun jarang menolong orang tua menemukan penyelesaian jikalau tingkah laku anak menimbulkan masalah bagi orang tua. (Dalam bab berikut akan diperkenalkan metode-metode bagi orang tua untu mengatasi masalah-masalah sendiri). Di bawah ini ada beberapa masalah yang mungkin dimiliki seorang anak: Tono merasa tidak disukai oleh salah seorang temannya. Hasan sedih karena ia tidak terpilih dalam kesebelasan sepak bola. Sri merasa kecewa karena tidak ada yang mengajaknya berkencan. Sudin tidak dapat menentukan pekerjaan apa yang akan dilakukannya kelak. Tanti ragu-ragu apakah ia akan melanjutkan ke perguruan tinggi atau tidak. Rini tidak senang belajar piano. Andi marah karena ia dikalahkan oleh adiknya dalam permainan tenis meja. Hamid memperoleh nilai buruk di sekolah karena ia membenci gurunya. Anti merasa malu karena gemuk. Dino mengalami kesukaran mengerjakan pekerjaan rumahnya. Masalah-masalah semacam ini adalah masalah-masalah yang mungkin dihadapi anak dalam usahanya mengatasi hidupnya – kehidupannya sendiri. Kekecewaan, keraguan, kesedihan, keprihatinan, bahkan kegagalan- kegagalan adalah masalahnya sendiri, bukan masalah orang tua. Ini adalah suatu konsep yang pada mulanya sukar diterima oleh orang tua. Kebanyakan ibu dan ayah cenderung membuat masalah anak-anaknya menjadi masalah mereka. Dengan demikian, secara sia-sia mereka membuat diri mereka sedih, memperburuk hubungan dengan anak-anak dan kehilangan banyak kesempatan untuk bertindak sebagai konselor ang efektif bagi anak-anak mereka. Bila orang tua menerima kenyataan bahwa masalah-masalah itu adalah masalah anak, ini tidak berarti bahwa orang tua tidak bisa memperhatikan, mengurus atau menawarkan pertolongan. Seorang konselor profesional benar-benar memperhatikan dan ingin menolong tiap anak yang dihadapinya. Tetapi, berbeda dengan kebanyakan orang tua, ia meletakkan tanggung jawab menyelesaikan masalah di tangan anak sendiri. Ia membolehkan anak memiliki masalah. Ia menerima anak sebagai seorang pribadi di luar diri konselor. Dan ia percaya bahwa sumber-sumber di dalam diri anak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Hanya dengan membiarkan anak memiliki masalahnya, dapatlah konselor melakukan mendengar aktif. Mendengar aktif merupakan cara yang tangguh untuk menolong orang lain menyelesaikan masalah yang dimilikinya, asalkan pendengar dapat menganggapnya sebagai milik orang lain itu dan membiarkan orang itu menyelesaikan masalahnya sendiri. Mendengar aktif dapat menambah efektivitas orang tua sebagai penolong anak-anak mereka, tetapi sayangnya bukan cara ini yang biasa dilakukan oleh orang tua. 48

Padahal metode ini akan memperbesar pengaruh orang tua terhadap anak, pengaruh yang berbeda dari pengaruh yang umumnya didesakkan oleh orang tua. Mendengar aktif adalah suatu metode untuk mempengaruhi anak agar mencari penyelesaian terhadap masalahnya sendiri. Umumnya orang tua cenderung untuk mengambil alih persoalan anak, seperti halnya di bawah ini: DODI: “Tomo tidak mau bermain dengan saya hari ini. Ia tidak mau melakukan apa yang saya inginkan.” IBU: “Mengapa tak kau biarkan dia melakukan apa yang ia inginkan? Kau harus dapat bergaul dengan teman-temanmu.” (Menasihati, memberi khotbah) DODI: “Saya tidak mau melakukan apa yang Tomo inginkan dan kecuali itu, saya tidak mau berteman dengan anak itu.” IBU: “Cobalah cari teman yang lain, kalau kau merusak permainan.” (Menawarkan suatu penyelesaian, mengatasi) DODI: “Tomo yang merusak permainan, bukan saya. Dan tidak ada seorang pun yang bisa diajak bermain.” IBU: “Kau susah karena lelah. Besok tentu akan baik lagi.” (Membuat interpretasi, menentramkan) DODI: “Saya tidak lelah dan besok tidak akan berbeda. Ibu tidak tahu betapa bencinya saya pada si kecil itu.” IBU: “Jangan bicara seperti itu. Kalau ibu dengar sekali lagi kau membicarakan temanmu seperti itu, awas …..” (Memerintah, mengancam) DODI: (pergi dan menggerutu) “Saya benci lingkungan sini. Saya ingin pindah.” Di bawah ini adalah contoh bagaimana orang tua menolong anak yang sama, dengan mendengar secara aktif: DODI: “Tomo tidak mau bermain dengan saya hari ini. Ia tidak mau melakukan apa yang saya inginkan.” IBU: “Kau agak marah pada Tomo.” (Mendengar aktif) DODI: “Ya. Saya tidak mau bermain dengannya lagi. Saya tidak mau berteman dengannya.” IBU: “Kau begitu marah sehingga rasanya tidak mau melihatnya lagi.” (Mendengar aktif) DODI: “Ya. Saya kira saya harus tetap berteman dengan Tomo. Tapi sukar menahan marah.” IBU: “Kau ingin bergaul dengan baik tetapi sukar untuk tidak marah terhadap Tomo.” (Mendengar aktif) DODI: “Saya tidak perlu marah, kalau ia mau melakukan apa yang saya inginkan. Ia tidak mau saya perintah lagi.” IBU: “Tomo tidak mudah dipengaruhi sekarang.” (Mendengar aktif) DODI: “Benar. Ia bukan anak kecil sekarang. Walaupun ia lebih menyenangkan.” IBU: “Kau lebih menyukainya.” (Mendengar aktif) 49

DODI: “Ya. Tapi sukar untuk tidak memerintahnya. Saya sudah terbiasa. Barangkali kami tidak akan sering bertengkar kalau sesekali saya biarkan ia berbuat semuanya. Bukankah begitu?” IBU: “Kau pikir bila kadang-kadang mengalah, akan lebih baik.” (Mendengar aktif) DODI: “Ya, mungkin, akan saya coba.” Dalam contoh pertama, ibu menggunakan delapan kategori dari “12 ciri”. Dalam contoh kedua, ibu terus-menerus mempergunakan mendengar aktif. Dalam contoh pertama, ibu “mengambil alih masalah”, dalam contoh kedua, dengan mendengar aktif, masalah tetap merupakan masalah Dodi. Pada contoh pertama, Dodi menolak usul-usul ibu, rasa marah dan kecewa tidak hilang, masalah tetap tidak terselesaikan dan Dodi tidak berkembang. Pada contoh kedua, rasa marah hilang, ia mulai menagadakan pemecahan persoalan dan melihat dirinya lebih dalam. Ia sampai pada penyelesaian masalah dan berkembang menjadi seorang yang bertanggung jawab serta mengarahkan pemecahan persoalan sendiri. Berikut ini situasi lain yang memberi gambaran bagaimana umumnya orang tua menolong anak-anak: TANTI: “Saya tidak mau makan malam ini.” AYAH: “Ayo, makanlah. Manusia harus makan tiga kali sehari.” (Instruksi, membujuk dengan logika) TANTI: “Saya sudah makan banyak siang tadi.” AYAH: “Coba pergi ke meja dan lihat apa yang disajikan.” (Menyarankan) TANTI: “Saya tidak mau makan apa-apa.” AYAH: “Mengapa kau malam ini?” (Menjajagi) TANTI: “Tidak apa-apa.” AYAH: “Kalau begitu, pergilah ke meja makan.” (Memberi perintah) TANTI: “Saya tidak lapar dan saya tidak mau ke meja makan.” Tanti dapat ditolong dengan mendengar aktif seperti di bawah ini: TANTI: “Saya tidak mau makan malam ini.” AYAH: “Kau tidak ingin makan malam ini.” (Mendengar aktif) TANTI: “Ya, perut saya tidak enak hari ini.” AYAH: “Kau merasa tegang hari ini, benarkah?” (Mendengar aktif) TANTI: “Bukan tegang, tapi takut.” AYAH: “Kau benar-benar takut akan sesuatu.” (Mendengar aktif) TANTI: “Ya, saya memang takut. Anton tadi mengatakan bahwa ia ingin berbicara nanti malam. Tidak seperti biasanya, nampaknya kali ini ia sungguh-sungguh.” AYAH: “Kau merasa sesuatu akan terjadi.” (Mendengar aktif) TANTI: “Bisa habis riwayatku! Lebih-lebih saya menduga ia akan berteman dengan Sri.” AYAH: “Itu yang kau takutkan, bahwa Anton akan berkencan dengan Sri.” (Mendengar aktif) 50

TANTI: “Ya, ia selalu menggaet pemuda baik-baik. Betul-betul memuakkan. Sri selalu bisa bergaul dengan ramah pada anak laki-laki. Semuanya menyukai Sri. Selalu saja ada dua atau tiga anak laki-laki di sekitarnya. Saya tidak tahu bagaimana ia bisa begitu, saya tidak pernah bisa bicara di depan anak laki-laki.” AYAH: “Kau ingin bisa mudah berbicara dengan anak laki-laki seperti Sri.” (Mendengar aktif) TANTI: “Ya, saya sangat ingin agar mereka menyukai saya, sehingga saya takut mengatakan sesuatu. Takut salah.” AYAH: “Kau sangat ingin menjadi seoran yang populer sehingga kau takut kalau-kalau berbuat sesuatu kesalahan.” (Mendengar aktif) TANTI: “Ya, tapi akan saya ciba faripada diam saja.” AYAH: “Kau merasa hal itu mungkin lebih baik.” (Mendengar aktif) TANTI: “Ya, pasti. Saya sudah bosan berdiam diri saja.” Pada contoh pertama, ayah Tanti dari permulaan telah gagal menguraikan masalah dan pembicaraan berlangsung sekitar soal makan saja. Dalam contoh kedua, kepekaan ayah dalam mendengar aktif menolongnya untuk menemukan masalah dasar, mendorong Tanti untuk mengatasi masalahnya dan menolong Tanti mempertimbangkan untuk membuat suatu perubahan. BAGAIMANA ORANG TUA DAPAT MELAKUKAN MENDENGAR AKTIF?: Ilustrasi di bawah ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana orang tua melakukan mendengar aktif di rumah bilamana mereka menghadapi masalah anak-anak. Janganlah Anda terlalu melibatkan diri dalam situasi- situasi ini sehingga lupa membuat catatan-catatan. Adi: anak yang sukar tidur Dalam menghadapi situasi ini, seorang ibu yang telah menyelesaikan kursus MOE, menggunakan beberapa respons “12 ciri”, tetapi juga mendengar aktif. Adi, 8 tahun sejak berumur 5 tahun mempunyai “masalah tidur”. Delapan bulan sebelum pembicaraan yang dikutip ini terjdi, ia pindah kamar. Tadinya ia sekamar dengan dua adiknya. Walaupun Adi senang sekali memperoleh kamar sendiri, namun masalah tidur malahan semakin meningkat. IBU: “Sudah malam. Matikan lampu dan tidurlah.” ADI: “Saya tidak mau tidur.” IBU: “Kau harus tidur, sudah malam. Besok kau lelah.” ADI: “Saya tidak mau tidur.” IBU: (Kasar). “Matikan lampu segera!” ADI: (Tegas). “Saya tidak akan tidur.” 51

IBU: (Saya ingin memukulnya. Saya sangat lelah, saya tidak dapat menghadapinya malam ini. Saya pergi ke dapur, mengambil minum, dan memutuskan untuk mencoba mendengar aktif walaupun akan membosankan masuk ke kamar Adi) “Ayolah hari sudah malam. Ibu akan duduk di sini sebentar sebelum mencuci piring.” (Ibu mengambil buku Adi, mematikan lampu, menutup pintu, dan duduk di tempat tidur di samping Adi). ADI: “Berikan buku itu! Jangan matikan lampu. Ibu keluar saja, saya tidak suka Ibu di sini. Saya tidak akan tidur. Saya benci Ibu!” IBU: “Kau marah.” ADI: “Ya, saya benci sekolah dan tidak mau ke sekolah lagi, selamanya!” IBU: (Ia suka sekolah). “Kau jemu dengan sekolah.” ADI: “Menyebalkan! Saya tidak pandai di sekolah. Tidak mengerti apa-apa. Saya seharusnya duduk di kelas dua (ia di kelas tiga). Matematika, saya tidak bisa (ia pandai atematika). Apa guru mengira kita ini murid sekolah menengah?” IBU: “Matematika amat sukar bagimu.” ADI: “Tidak, mudah sekali. Saya hanya tidak suka mengerjakannya.” IBU: “Oh ….” ADI: (Tiba-tiba beralih pembicaraan). “Saya suka main bola. Lebih suka bermain bola daripada sekolah.” IBU: “Kau suka main bola.” ADI: “Apakah seseorang harus masuk ke perguruan tinggi?” (Kakak tertua akan masuk perguruan tinggi dan keluarga asyik membicarakannya). IBU: “Tidak.” ADI: “Berapa lama saya harus sekolah?” IBU: “Kau harus selesaikan SMA.” ADI: “Saya tidak akan kuliah di perguruan tinggi. Tidak harus, bukan?” IBU: “Benar.” ADI: “Saya akan main bola.” IBU: “Main bola memang menyenangkan.” IBU: “Betul.” (Sekarang sudah tenang, tidak marah lagi). “Selamat malam, Ibu.” ADI: “Ibu masih mau duduk di sini sebentar lagi?” IBU: “Ya.” ADI: (Memperbaiki selimut yang tadinya ditendang; menyelimuti lutut ibu dan menepuk-nepuk). “Enak duduk di sini?” IBU: “Ya.” ADI: (Diam sebentar, kemudian Adi mulai mendengus, napasnya sukar karena hidungnya penuh lendir. Adi memang menderita alergi hidung, tetapi gejalanya tidak pernah akut. Ibu tidak pernah mendengar Adi mendengus seperti ini). IBU: “Hidungmu mengganggu?” ADI: “Ya. Apa perlu obat hidung?” IBU: “Apa obat itu bisa menolong?” ADI: “Tidak.” 52

IBU: “Tampaknya hidungmu sangat mengganggu.” ADI: “Ya.” (Menghela napas dengan sukar). “Alangkah enaknya tidur tanpa harus bernapas melalui hidung.” IBU: (Heran mendengar pendapat ini, ingin tanya darimana Adi memperoleh gagasan ini). “Apa kau pikir kau harus bernapas melalui hidung kalau kau tidur?” ADI: “Saya tahu itu harus.” IBU: “Kau merasa pasti.” ADI: “Saya tahu itu. Tono yang mengatakannya dulu.” (Teman baiknya, 2 tahun lebih tua). “Menurut Tono, orang tidak bisa bernapas melalui mulut kalau tidur.” IBU: “Maksudnya, tidak boleh bernapas melalui mulut?” ADI: “Bukankah begitu Ibu? Maksud saya, harus bernapas melalui hidung kalau tidur.” (Penjelasan-penjelasan yang panjang, banyak pertanyaan Adi tentang teman yang dikaguminya “Ia tidak akan membohongi saya”). IBU: (Menerangkan bahwa teman bermaksud menolong, tetapi anak-anak kadang-kadang memperoleh onformasi yang salah. Ibu menekankan berulang-ulang bahwa setiap orang bernapas melalui mulut bila tidur). ADI: (Merasa sangat lega). “Selamat malam, Bu.” IBU: “Selamat malam.” (Adi bernapas dengan mudah melalui mulut). ADI: (Tiba-tiba mendengus). IBU: “Masih takut?” ADI: “Uh-uh. Ibu, apa yang akan terjadi bila saya bernapas dari mulut dan hidung saya penuh lendir – kemudian di tengah malam mulut tertutup?” IBU: (Sadar bahwa selama bertahun-tahun Adi takut tidur karena hanya takut akan tercekik sampai mati; ia berpikir, “Oh, kasihan anakku”). “Kau takut akan tercekik?” ADI: “Ya. Saya harus bernapas.” (Ia tidak dapat mengatakan, “Saya bisa mati.”) IBU: (Menerangkan lagi). “Itu tak mungkin terjadi. Mulutmu akan terbuka – sebagaimana jantungmu berdenyut atau matamu berkedip.” ADI: “Ibu yakin?” IBU: “Ya, Ibu yakin.” ADI: “Nah, selamat malam.” ADI: “Selamat malam, Sayang.” (Mencium. Adi segera tidur dalam beberapa menit). Kasus Adi bukanlah contoh yang unik dari orang tua yang menggunakan mendengar aktif mencapai penyelesaian masalah emosional secara dramatis. Laporan-laporan semacam ini dari orang tua yang mengikuti kursus ini menambah keyakinan kami bahwa orang tua dapat mempelajari keahlian yang digunakan para konselor profesional untuk menolong anak- anaknya yang mempunyai masalah mendalam. Kadang-kadang mendengar aktif terapeutis semacam ini hanya mencapai pelampiasan katarsis dari perasaan-perasaan anak; apa yang dibutuhkan 53

anak adalah pendengar yang baik, sebagaimana halnya Retno, seorang anak cerdas berumur 10 tahun. Ibu Retno menyarankan agar percakapan direkam, sehingga rekaman dapat dibawa ke dalam kelas MOE. Tentu saja hal ini deperbolehkan, dan sekaligus rekaman dapat dipergunakan untuk melatih orang tua lain. Bila Anda mambaca turunan rekaman di bawah ini, cobalah bayangkan bagaimana para orang tua yang belum terlatih menggunakan “12 ciri” dalam menanggapi perasaan-perasaan Retno tentang gurunya. IBU: “Retno, kau segan masuk sekolah besok, ya?” RETNO: “Tidak ada yang dicari di sekolah, Bu.” IBU: “Maksudnya, agak membosankan.” RETNO: “Ya, tak ada yang dilakukan kecuali melihat Ibu Rodah – yang gemuk dan kelihatannya dungu.” IBU: “Kau tidak menyukai apa-apa yang dilakukannya ….” RETNO: “Ya, dan sambil berkeliling ia berkata, ‘Besok akan kuberikan ini padamu.’ Esok harinya ia berkata, ‘Oh, saya lupa. Lain kali saja’.” IBU: “Kau tidak menyukai hal itu.” RETNO: “Ya, ia belum memberikan penjepit kerta yang dijanjikannya padaku dalam bulan September.” IBU: “Ia mengatakan akan melakukan banyak hal, dan kau mengharapkannya, tetapi ia tidak melakukannya.” RETNO: “Dan dalam segala macam rencana perjalanan, antara lain ia katakan kami akan ke perpustakaan satu hari dalam minggu ini ... tetapi kemudian ia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai rencana tersebut – ia hanya mengatakannya saja, hanya itu – dan kemudian ia menjanjikan yang lain lagi.” IBU: “Jadi, ia memberiakn harapan dan semangat, tetapi tidak pernah menjadi kenyataan.” RETNO: “Ya.” IBU: “Kau merasa kecewa.” RETNO: “Ya, satu-satunya yang saya sukaiadalah pelajaran kesenian, karena ia tidak pernah menegur tulisanku. Paling-paling ia menegur: ‘Oh, tulisanmu amat buruk! Mengapa tidak kau perbaiki tulisanmu? Mengapa kau begitu ceroboh?’” IBU: “Seolah-olah ia mengawasimu terus-menerus.” RETNO: “Ya. Pada pelajaran menggambar ia mengatakan warna apa yang harus dipergunakan dan saya tidak menggunakannya .... Saya membuat gambar yang bagus, dan ia mengajarkan bagaimana membuat bayangan ….” IBU: “Selanjutnya kau dibiarkan berbuat semaunya.” RETNO: “Ya. Kecuali waktu membuat atap rumah....” IBU: “Ia menyuruhmu melakukan hal-hal tertentu.…” RETNO: “Huh, saya tidak mau mengerjakannya.” IBU: “Kau tidak suka bila ia memaksakan gagasannya agar kau lakukan….” 54

RETNO: “Saya tidak mau. Saya ingin mengabaikannya tapi kemudian saya menghadapi kesukaran.” IBU: “Bila kau mengabaikan pendapatnya kau takut akan menemui kesukaran.” RETNO: “Ya, biasanya saya tidak berani. Saya selalu harus melakukan apa yang dikehendakinya. Caranya ia memaksa saya membuat nomor dalam Matematika satu A, satu B dan … huh.” IBU: “Kau ingin sekali tidak menuruti kemauannya tetapi kau tetap menurutinya, dan kau merasa benci ….” RETNO: “Segala sesuatu yang ia lakukan memakan waktu lama, ia selalu harus menerangkan segala sesuatu kemudian memberi contoh dan hal ini membuat saya merasa seperti bayi. Ia memperlakukan kita seperti anak taman kanak-kanak.” Kadang-kadang berat bagi orang tua untuk membiarkan pembicaraan berakhir tanpa suatu kesimpulan. Bial orang tua mengerti bahwa hal ini sering terjadi dalam pertemuan-pertemuan konseling, mereka akan lebih mudah membiarkan anak menghentikan pembicaraan dan memberikan kepercayaan pada anak untuk mencari penyelesaian selanjutnya. Para ahli belajar dari pengalaman bahwa anak-anak dapat dipercaya untuk mampu mengatasi masalah hidupnya secara konstruktif. Orang tua sering mengabaikan kemampuan ini. Di bawah ini adalah suatu contoh yang diambil dari wawancara saya dengan seorang remaja. Wawancara ini menggambarkan bahwa mendengar aktif tidak selalu membawa perubahan. Sering kali mendengar aktif hanya memulai suatu rangkaian kejadian-kejadian dan hasilnya mungkin tidak pernah diketahui oleh orang tua atau mungkin tidak tampak untuk sementara waktu. Ini terjadi karena anak-anak acap kali membuat suatu penyelesaian sendiri setelah pembicaraan-pembicaraan berlangsung. Konselor profesional mengalami hal ini terjadi setiap kali. Seorang anak dapat mengakhiri pertemuan di tengah-tengah pembicaraan masalahnya, dan minggu berikutnya mengatakan bahwa masalahnya telah terselesaikan. Hal ini terjadi pada Rudi, berusia 16 tahun, yang dibawa untuk suatu konseling, karena orang tuanya khawatir akan nilai-nilainya di sekolah, senantiasa melawan orang dewasa, menyalahgunakan obat, dan tidak bisa bekerja sama di rumah. Selama beberapa minggu, Rudi menghabiskan pertemuan konseling dengan membela dirinya sehubungan dengan kesenangannya merokok mariyuana dan mencela orang-orang dewasa karena minum alkohol serta merokok sigaret. Ia tidak melihat kesalahannya. Ia menganggap setiap orang harus mencobanya, karena merokok mariyuana merupakan pengalaman yang mengasyikkan baginya. Ia juga meragukan perlunya sekolah. Ia berpendapat bahwa sekolah hanya merupakan persiapan untuk memperoleh pekerjaan. Ia memperoleh angka di bawah rata-rata di sekolah. Bagi Rudi, melakukan sesuatu yang 55

konstruktif adalah sia-sia. Pada suatu hari ia datang dan tiba-tiba mengatakan ia telah memutuskan untuk berhenti merokok mariyuana, tidak akan merusak hidupnya. Walaupun ia belum tahu apa yang akan dikerjakan dalam hidupnya, ia mengatakan tidak akan menyia-nyiakan hidupnya di jalan yang salah. Ia juaga mengatakan akan bekerja keras untuk memperbaiki angka-angkanya. Akhirnya Rudi tamat SMA dengan nilai yang cukup baik dan masuk perguruan tinggi. Saya tidak tahu apa yang menyebabkannya berubah tetapi saya menduga bahwa karena didengar secara aktif, tergeraklah hatinya. Kadang-kadang mendengar aktif hanya menolong anak untuk menerima situasi yang diketahuinya sebagai tidak dapat diubah. Mendengar aktif menolong anak mengungkapkan perasaan-perasaan seperti itu. Ini mungkin gejala yang sama seperti keluhan di lingkungan tentara; orang yang mengeluh biasanya sadar bahwa ia tidak dapat mengubah situasi tetapi tampaknya dapat membantu untuk mengutarakan perasaan-perasaan negatif di hadapan seseorang yang menerima dan memahami perasaan tersebut. Di bawah ini digambarkan pembicaraan berikutnya antara Lisa, 12 tahun, dengan ibunya: JONI: “Saya benci sekali pada guru bahasa Inggris yang baru! Dia guru yang terburuk.” IBU: “Kau dapat guru yang buruk semester ini.” JONI: “Ya! Ia banyak bicara sampai saya bosan. Ingin saya menyuruhnya diam.” IBU: “Kau betul-betul marah padanya” JONI: “Semua orang tidak menyukainya. Mengapa guru semacam itu bisa mengajar di sekolah ini?” IBU: “Kau bingung, bagaimana guru seburuk itu diperbolehkan mengajar.” JONI: “Ya, tapi ia sudah ada di kelas, dan saya harus menghadapinya setiap hari. Ah, saya harus buat pekerjaan rumah dulu.” Tidak dicapai suatu penyelesaian, Lisa tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan. Namun Lisa merasa lega dapat mengutarakan perasaannya dan ibu mengerti serta menerima perasaan itu. Orang tua menunjukkan bahwa bila anak mempunyai kesukaran, ia memiliki seseorang untuk tempat mengadu. KAPAN ORANG TUA MEMUTUSKAN UNTUK MENGGUNAKAN MENDENGAR AKTIF? Apakah untuk menggunakan mendengar aktif harus menunggu timbulnya masalah serius, sebagaimana halnya Adi yang takut tidur? Tidak. Anak-anak mengirim pesan setiap hari yang menandakan bahwa perasaan mereka terganggu. Jari Joni baru saja terbakar, terkena alat listrik. 56

JONI: “Oh, tangan saya terbakar! Ibu, tangan saya terbakar. Oh, sakit, sakit sekali! (menangis) Tangan saya terbakar.” IBU: “Ooo, sakit sekali.” JONI: “Ya, lihatlah lukanya.” IBU: “Kelihatannya lukanya besar. Sakitnya bukan main.” JONI: (Berhenti menangis). “Oleskan sesuatu.” IBU: “Baik, ibu ambilkan es agar lebih dingin, kemudian ibu oleskan salep.” Menanggapi kecelakaan yang biasa terjadi dalam rumah tangga, ibu menghindari pernyataan-pernyataan seperti “Oh, tidak apa-apa”, atau “Nanti akan baik”, atau “Lukanya tidak terlalu besar”. Ibu menghargai perasaan Joni bahwa lukanya besar dan rasanya sakit sekali. Ibu juga menahan diri agar tidak menggunakan tanggapan yang khas dalam menghadapi situasi semacam ini: “Joni jangan seperti bayi. Hentikan tangismu sekarang juga.” (Menilai dan memerintah) Sikap ibu yang mendengar aktif, mencerminkan beberapa sikap penting terhadap Joni: - Ia mengalami suatu saat yang menyakitkan dalam hidupnya – ini adalah masalahnya dan ia berhak memeberikan reaksinya yang unik. - Saya tidak mau mengingkari perasaan-perasaannya sendiri – perasaan tersebut adalah benar baginya. - Saya dapat menerima betapa ia merasakan betapa hebatnya luka bakarnya dan betapa sakitnya. - Saya tidak berani membuat ia merasa bersalah akan perasaan-perasaannya sendiri. Para orang tua melaporkan bahwa mendengar aktif pada saat anak sakit dan menangis sering kali mengakibatkan berhentinya tangis secara tiba-tiba, setelah anak merasa yakin bahwa orang tua tahu dan mengerti betapa sakitnya atau betapa besar rasa takutnya. Memang bagi anak, yang sangat dibutuhkan adalah agar perasaan-perasaannya dipahami. Anak-anak kadang kala dapat sangat mengganggu orang tua bila mereka merasa khawatir, takut atau tidak aman bila orang tua pergi malam hari atau bila merasa kehilangan boneka kesayangannya atau selimutnya, atau harus tidur di tepat tidur yang asing, dan sebagainya. Meyakinkan saja jarang berhasil dalam situasi-situasi seperti ini, dan orang tua menjadi tidak sabar bila anak tidak berhenti merengek atau mencari barangnya yang hilang. “Saya mau selimutku, saya mau selimutku, saya mau selimutku!” “Ibu janganpergi, ibu jangan pergi!” “Saya mau bonekaku. Mana bonekaku? Saya mau bonekaku!” 57

Mendengar aktif dapat menghasilkan sesuatu yang ajaib dalam situasi- situasi seperti itu. Yang terutama diinginkan anak adalah agar perasaan- perasaanya dipahami oleh orang tua. Tuan H melaporkan peristiwa di bawah ini segera setelah mengikuti kursus MOE: Eka, 3½ tahun, mulai merengek ketika ibunya turun dari mobil untuk berbelanja dan meninggalkan Eka di mobil dengan saya. “Eka mau Ibu”, pintanya berkali-kali, walaupun telah saya katakan bahwa ibu akan segera kembali. Kemudian tangisnya semakin keras. “Eka mau boneka Eka, mau boneka Eka”. Segala usaha tidak berhasil mendiamkannya. Kemudian saya ingat metode mendengar aktif. Dengan putus asa saya berkata, “Eka kehilangan Ibu”. Ia mengangguk. “Eka tidak suka Ibu pergi sendiri tanpa mengajak Eka”. Ia mengangguk lagi, masih kelihatan ketakutan. Saya lanjutkan, “Kalau Eka kehilangan Ibu, Eka akan punya boneka Eka”. Ia mengangguk keras. “Tapi bineka Eka tidak ada di mobil dan Eka kangen bonekanya juga”. Tiba-tiba, bagaikan kena sihir, ia berhenti menangis, pindah duduknya mendekati saya dan mulai berbicara tentang orang-orang yang dilihatnya. Pelajaran bagi orang tua, sebagaimana hanya bagi Tuan H, adalah menerima perasaan anak, dan bukan berusaha dengan cara yang langsung untuk menghentikan rengekan melalui ancaman atau bujukan. Anak-anak ingin supaya orang tua memahami betapa susahnya perasaan mereka. Situasi lain di mana mendengar aktif dapat dilakukan adalah bilamana anak mengirim pesan yang dinyatakan secara aneh, sehingga menyukarkan orang tua untuk mengerti apa yang dimaksud. Sering kali, tetapi tidak selalu, pesan-pesan mereka dinyatakan dalam pertanyaan-pertanyaan: “Apakah saya akan kawin?” “Bagaimana rasanya mati?” “Mengapa teman-teman menyebut saya pengecut?” “Ayah, ketika saya masih muda, apa yang ayah sukai pada gadis-gadis?” Pertanyaan terakhir datang dari anak gadis saya pada suatu pagi ketika makan pagi sebelum ia berangkat ke sekolah. Seperti ayah-ayah yang lain, saya ingin mengenang kembali masa muda. Untunglah saya sadar dan menanggapi dengan cara mendengar aktif. AYAH: “Kelihatannya kau ingin tahu supaya bagaimana anak laki-laki menyukaimu, begitu” ANAK: “Ya. Nampaknya mereka tidak menyukaiku entah mengapa.” AYAH: “Kau bertanya-tanya mengapa mereka tidak menyukaimu.” ANAK: “Saya tidak banyak bicara. Saya takut bicara di depan anak laki-laki.” AYAH: “Kau tidak bisa terbuka dan bersikap santai dengan anak laki-laki.” ANAK: “Ya, saya takut saya akan mengatakan sesuatu yang tampaknya bodoh.” AYAH: “Kau tidak ingin mereka menyangka engkau bodoh.” ANAK: “Benar. Kalau saya diam, ha itu tidak akan terjadi.” 58

AYAH: “Lebih baik kau diam.” ANAK: “Ya, tetapi itu pun tidak benar, karena mereka akan menganggap saya menjemukan.” AYAH: “Dengan diam kau tidak akan mencapai sesuatu yang diinginkan.” ANAK: “Benar. Saya kira saya harus berani memanfaatkan kesempatan.” Apa yang akan saya capai bila saya menceritakan tentang masa muda saya bersama gadis-gadis! Berkat mendengar aktif, anak saya memperoleh suatu kesimpulan yang konstruktif untuk mulai mengubah tingkah lakunya. Pesan-pesan yang terselubung, biasanya berbentuk pertanyaan, acap kali berarti bahwa anak menghadapi masalah yang lebih dalam. Mendengar aktif memungkinkan orang tua menolong anak merumuskan masalahnya sendiri. Kesempatan untuk menjadi konselor yang efektif akan terbuang sia- sia bila orang tua memberikan jawaban langsung terhadap pertanyaan terselubung. Ketika mula-mula mencoba melakukannya, orang tua sering kali lupa bahwa mendengar aktif adalah suatu ketrampilan yang mempunyai nilai besar dalam menanggapi masalah-masalah intelektual anak. Anak-anak terus-menerus menghadapi masalah tentang apa yang dibaca ataupun yang didengarnya – protes-protes mahasiswa, keributan-keributan, integrasi, perang, polusi udara, kejahatan, perceraian, pembunuhan dan sebagainya. Yang sering kali mengejutkan orang tua adalah anak-anak pada umumnya menyatakan pandangannya secara polos atau sangat naif. Orang tua ingin segera membenarkan atau menunjukkan pandangan yang lebih luas. Motivasi orang tua di sini bisa lunak – berudaha mengembangkan kepandaian anak. Atau dapat juga mementingkan diri sendiri – menunjukkan keunggulannya. Cara lain, orang tua menggunakan satu atau lebih dari “12 ciri”, yang berakhir dengan menyakitkan hati atau menyinggung perasaan. Kami harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan agar orang tua mulai menggunakan mendengar aktif bila anak-anak mereka menghadapi masalah-masalah, baik masalah pribadi maupun masalah mengenai berita yang mutakhir. Kami bertanya: “Apakah anak Anda harus berpikir seperti Anda?” “Mengapa Anda merasa perlu untuk mengajarnya?” “Apakah Anda tidak dapat bersikap toleran terhadap pendapat yang bertentangan dengan pendapat Anda?” “Tidak dapatkah Anda membiarkan ia menghadapi masalahnya?” “Tidak dapatkah Anda mengingat bagaimana pada masa kanak-kanak Anda memiliki gagasan-gagasan yang ganjil dan lucu mengenai masalah dunia?” Bilamana orang tua mulai menjaga lidah dan membuka telinga, mereka dapat menyaksikan perubahan-perubahan dalam percakapan dengan anak- 59

anak mereka. Anak-anak mulai mengungkapkan masalah-masalah yang tadinya tidak pernah mereka kemukakan pada orang tua – seks, obat- obatan, aborsi, alkohol, moralitas, dan sebagainya. Mendengar aktif dapat membuat rumah menjadi suatu tempat di mana orang tua dan anak bisa terlibat dalam pembicaraan mendalam serta terbuka mengenai masalah- masalah kompleks dan kritis yang dihadapi anak-anak. Bila ada orang tua mengeluh bahwa anak-anak mereka tidak pernah membicarakan masalah-masalah serius di rumah, biasanya ternyata bahwa masalah-masalah itu sudah dikemukakan dengan hati-hati dan ragu-ragu oleh anak-anak, namun orang tua menanggapi dengan cara rutin tradisional: memberi peringatan, memberi khotbah, mengajari, menilai, menyindir, atau mengalihkan perhatian. Lambat-laun anak-anak akan menutup diri dan selanjutnya memisahkan diri dari orang tua. Tidak mengherankan bila sampai terjadi generation gap. Karena dalam keluarga, orang tua biasanya tidak mendengarkan, mereka hanya mengajar, membenarkan, mencela, dan mengejek pesan-pesan yang datang dari anak-anak yang sedang tumbuh itu. KESALAHAN-KESALAHAN UMUM DALAM MENGGUNAKAN MENDENGAR AKTIF Orang tua tidak mengalami kesukaran untuk mengerti apa yang dimaksud dengan “mendengar aktif” dan untuk melihat perbedaannya dengan “12 ciri”. Demikian pula, jarang ada orang tua yang tidak mengetahui keuntungan-keuntungan mendengar aktif. Namun, untuk menjalankannya dengan baik banyak orang tua mengalami kesulitan. Sebagaimana setiap usaha mempelajari ketrampilan baru, kesalahan- kesalahan wajar saja terjadi, baik disebabkan karena ketrampilan itu belum sungguh-sungguh dikuasai maupun karena ketrmpilan itu dipergunakan secara tidak tepat. Beberapa kesalahan akan dijelaskan dengan harapan agar orang tua menghindarinya. Menanggapi dengan “Bimbingan” Beberapa orang tua gagal waktu mulai menjalankan mendengar aktif hanya karena tujuannya salah. Mereka mau menggunakannya untuk membuat anak bertindak atau berpikir seperti yang dinginkan orang tua. Nyonya J dalam pertemuan keempat suatu kursus MOE, mengungkapkan kekecewaan serta kekesalannya sewaktu pertama kali menjalankan mendengar aktif. “Anak saya hanya memandang saya tanpa mengatakan sesuatu pun. Padahal Anda mengatakan bahwa mendengar aktif dapat mendorong anak untuk berbicara. Ternyata tidak!” Atas permintaan pembina, Nyonya J menceritakan apa yang terjadi. Didi, 16 tahun, pulang dari sekolah mengatakan bahwa ia diberi peringatan karena ada dua mata pelajaran bernilai buruk. Segera Nyonya J berusaha 60

mengajak Didi bicara dengan menggunakan cara yang baru dipelajarinya. Didi bungkam dan pergi meninggalkan ibunya. Pembina kemudian menganjurkan agar peristiwa itu dimainkan kembali ia akan berperanan sebagai Didi. Nyonya J setuju, walaupun ia mengatakan bahwa pembina tidak akan bisa berperan seperti anaknya di rumah. Dalam dialog berikut pembina berperan sebagai Didi. Perhatikan tanggapan ibu kepadanya. DIDI: “Wah, saya dapat peringatan hari ini. Dua pelajaran nilainya kurang. Matematika dan bahasa Inggris.” NYONYA J: “Kau merasa susah,” (dingin). DIDI: “Tentu saja saya susah.” NYONYA J: “Kau kecewa,” (tetap dingin). DIDI: “Itu berarti saya tidak akan naik.” NYONYA J: “Kau merasa tidak ada yang dapat dilakukan setelah diberi peringatan.” (ibu mengirimkan pesannya di sini). DIDI: “Maksud ibu, saya harus belajar lebih banyak lagi?” (Didi menangkap maksud ibu). NYONYA J: “Ya, belum terlambat bukan?” (sekarang ibu mendesak keputusannya). DIDI: “Mengapa saya harus mempelajari pelajaran-pelajaran brengsek itu? Saya tidak suka!” Berakhirlah pembicaraan. Didi terpojokkan oleh Nyonya J yang menggunakan mendengar aktif, berusaha membuat Didi belajar lebih giat. Didi merasa terancam oleh ibunya dan menjadi defensif. Nyonya J, seperti kebanyakan orang tua, pada mulanya ingin menggunakan mendengar aktif, karena melihatnya sebagai suatu cara baru untuk memanipulasi anak – suatu cara halus untuk menggiring mereka ke arah yang diinginkan orang tua atau membimbing tingkah laku dan cara berpikir anak. Bukankah membimbing adalah salah satu tanggung jawab orang tua? “Bimbingan orang tua” merupakan salah satu fungsi orang tua yang umumnya disetujui. Namun hal itu juga merupakan sesuatu yang sering disalahartikan. Ini berarti bahwa tangan orang tua memegang kemudi. Sering kali bila orang tua memegang kemudi dan mengarahkan anak kepada suatu arah tertentu, mereka mendapat perlawanan. Anak-anak cepat menangkap maksud orang tua. Mereka segera mengetahui bahwa bimbingan orang tua biasanya berarti kurang diterimanya anak sebagaimana adanya. Anak merasa orang tua memaksakan sesuatu kepadanya. Ia takut akan pengendalian tidak langsung seperti itu. Kebebasannya terancam. Mendengar aktif bukanlah suatu cara bimbingan menuju perubahan yang diarahkan oleh orang tua. Orang tua yang menganggapnya demikian akan 61

mengirim pesan-pesan tak langsung: gagasan-gagasan, tekanan-tekanan halus, dan prasangka-prasangka. Berikut ini contoh pesan-pesan “selundupan” semacam itu. YUNI: “Saya marah pada Asti dan saya tidak mau bermain lagi dengannya.” ORANG TUA: “Kau tidak suka bermain dengannya hari ini, karena hari ini kau sedang marah padanya.” YUNI: “Saya tidak mau main lagi – selamanya!” Perhatikan bagaimana orang tua menyelundupkan pesannya: “Saya harap ini hanya sementara saja, besok kau tidak marah lagi”. Yuni menangkap keinginan orang tua untuk mengubahnya, dan dalam pesan berikutnya menolak kehendak itu. Contoh lain: BOBI: “Apa salahnya mengisap mariyuana? Kan tidak merusak, tidak seperti rokok atau alkohol. Larangan mengisap mariyuana adalah salah. Peraturan harus diubah.” ORANG TUA: “Kau menganggap bahwa peraturannya harus diubah, sehingga akan lebih banyak anak menjadi korban.” Jelas bahwa umpan balik orang tua adalah suatu usaha untuk melarang anak berpikir salah tentang mariyuana. Tidak heran bahwa umpan balik ini tidak tepat, karena berisi pesannya sendiri yang bertentangan dengan pendapat anak. Umpan balik yang lebih tepat adalah: “Kau yakin bahwa mariyuana sebaiknya diizinkan bukan?” Membuka Pintu Kemudian Menutupnya Dalam mencoba memperguankan mendengar aktif, beberapa orang tua pada mulanya mulai dengan tujuan membuka pintu bagi anak-anak untuk berkomunikasi tetapi kemudian mereka menutup pintu tersebut karena mereka tidak sabar mendengar aktif sampai tuntas. Seolah-olah mereka menyatakan, “Ayo, ceritakan apa yang kau rasakan, saya akan mengerti”. Kemudian, setelah orang tua mendengar apa yang dirasakan anak cepat- cepat ditutupnya pintu karena orang tua tidak menyukai apa yang didengar. Agus, 10 tahun, tampak cemberut dan ibunya berusaha menolong: IBU: “Kelihatannya kau tidak senang,” (mendengar aktif) AGUS: “Koko menggoda terus.” IBU: “Kau tidak menyukainya,” (mendengar aktif) AGUS: “Ya. Saya akan menampar mulutnya.” IBU: “Itu tidak baik,” (menilai) AGUS: “Tidak peduli. Saya akan pukul begini,” (mengayunkan tangan kuat- kuat). 62

IBU: “Agus, berkelahi bukanlah cara yang baik untuk menyelesaikan pertikaian dengan teman-teman,” (mengajari). “Mengapa kau tidak menghampiri Koko dan mengatakan kalian sebaiknya berbaik kembali?” (menasehati, menawarkan penyelesaian). AGUS: “Tidak lucu!” (diam). Pintu tertutup bagi Agus, tidak ada komunikasi lagi. Dengan menilai, mengajari, dan menasihati, orang tua kehilangan kesempatan untuk menolong Agus mangatasi perasaan-perasaannya dan mencapai penyelesaian yang konstruktif atas masalahnya sendiri. Agus juga mengetahui bahwa ibunya tidak memberinya kepercayaan untuk memecahkan masalah-masalah semacam itu, bahwa ibunya tidak dapat menerima perasaan amarahnya, bahwa ibunya menganggap dirinya bukan anak yang baik, dan bahwa orang tua tidak bisa memahaminya. Menggunakan mendengar aktif untuk mendorong anak mengungkapkan perasaan-perasaannya, kemudian disusul dengan memberi penilaian atau pendapat, mengajari dan menasihati, adalah suatu kegagalan. Orang tua yang melakukannya akan segera merasakan bahwa anak-anak menjadi curiga dan mengetahui bahwa orang tua hanya memancing mereka bicara untuk kemudian menghakimi atau memberi penilaian. Orang Tua yang Membeo Tuan T merasa putus-asa dengan usaha mendengar aktifnya yang pertama kali. “Anak saya memandang saya dengan geli dan mengatakan agar saya berhenti mengulang apa yang ia katakan”. Tuan T kemudian melaporkan suatu pengalaman yang banyak dialami oleh orang tua bila mereka hanya mengulang atau meniru saja apa yang dikatakan, dan bukan apa yang dirasakan oleh anaknya. Orang tua ini perlu diingatkan bahwa kata-kata anak (isyarat khusus) adalah alat untuk mengkomunikasikan perasaan-perasaan. Isyarat bukanlah pesan; isyarat itu harus diuraikan oleh orang tua. “Ia kutu busuk yang bau!” kata anak menceritakan kemarahannya kepada temannya. Jelas anak mengerti perbedaan antara kutu busuk dan temannya, pesannya bukanlah “Si Adi adalah kutu busuk”. Isyarat khusus ini hanyalah cara yang unik untuk menyatakan kemarahannya. Bila orang tua menanggapi dengan “Kau samakan Adi dengan kutu busuk”, snsk merasa bahwa orang tua tidak menangkap maksudnya. Bila orang tua mengatakan “Kau betul-betul marah pada Adi”, maka anak akan mengatakan “Ya”, dan ia akan merasa dimengerti. Contoh-contoh di bawah ini menunjukkan perbedaan antara tanggapan- tanggapan yang hanya mengulang atau membeo dengan tanggapan- tanggapan orang tua yang lebih dahulu menguraikan isyarat baru kemudian 63

mengumpanbalikkan perasaan-perasaan anak (pesan yang sesungguhnya ingin ia sampaikan): 1. DIDI: “Saya tidak pernah mendapat kesempatan menggiring bola kalau anak-anak yang besar ikut main.” a. ORANG TUA: “Kau tidak pernah mendapat kesempatan menggiring bola bila ada anak-anak yang besar,” (mengulang isyarat). b. ORANG TUA: “Kau ingin main juga dan kau merasa tidak adil kalau mereka bermain sendiri,” (mengumpanbalikkan maksud). 2. WATI: “Tadinya nilai saya baik, tapi sekarang nilai saya buruk sekali – tidak pernah seburuk ini. Apa pun yang saya lakukan tidak bisa memperbaikinya. Buat apa berusaha?” a. ORANG TUA: “Kau tidak pernah memperoleh nilai seburuk ini dan usaha apa pun tidak bisa memperbaikinya,” (mengulang isyarat). b. ORANG TUA: “Kau putus asa dan ingin menyerah,” (mengumpanbalikkan 3. DINO: maksud). “Lihat ayah, saya membuat pesawat udara dengan alat-alat yang baru.” a. ORANG TUA: “Kau membuat pesawat udara dengan alat-alatmu,” (mengulang isyarat). akan pesawat udara buatanmu,” b. ORANG TUA: “Kau bangga (mengumpanbalikkan maksud). Mendengar Tanpa Empati Bahaya bagi orang tua yang mencoba mempelajari mendengar aktif langsung dari buku, adalah ketidakmampuan mereka untu mendengar dengan kehangatan dan empati yang harus menyertai usaha mereka. Empati adalah corak komunikasi membuat pengirim pesan yakin bahwa si pendengar merasa bersamanya, menempatkan diri di tempat si pengirim pesan, ikut hidup biarpun sesaat di dalam diri si pengirim pesan. Setiap orang bila berbicara ingin agar orang lain mengerti perasaannya, tidak hanya mengerti apa yang dikatakan. Anak-anak khususnya adalah makhluk perasa. Oleh karenanya, sebagaian besar ungkapan mereka disertai dengan perasaan-perasaan: senang, benci, kecewa, takut, cinta, marah, bangga, sedih, dan sebagainya. Bila mereka berkomunikasi dengan orang tua, mereka mengharapkan adanya empati dengan perasaan-perasaannya. Bilamana orang tua tidak berempati, anak-anak tentu merasa bahwa hal yang terpenting baginya pada saat itu – yaitu perasaannya – tidak dimengerti. Kesalahan umum yang dilakukan oleh orang tua pada waktu pertama kali mencoba mendengar aktif adalah mengumpanbalikkan sesuatu tanggapan tanpa mengikutsertakan unsur perasaan dari pesan anak. Yani, 11 tahun masuk ke dapur di mana ibu sedang memasak: 64

YANI: “Yanto (adiknya, 9 tahun) nakal! Ia keluarkan semua pakaianku dari lemari. Aku benci Yanto! Aku dapat membunuhnya.” IBU: “Kau tidak suka ia melakukan hal itu.” YANI: “Tidak suka! Aku membencinya!” Ibu Yani mendenar kata-katanya, tetapi tidak perasaannya. Pada saat itu Yani merasa marah dan dan benci. Pernyataan “Kau marah sekali pada Yanto” dapat menangkap perasaannya. Bila ibu hanya mengumpanbalikkan ketidaksenangan Yani, karena Yanto mengaduk-aduk lemarinya, Yani merasa tidak dimengerti dan dalam pesan berikutnya memperbaiki ibu dengan “Tidak suka!” (agak halus), dan “Aku membencinya” (ini yang lebih penting). Di bawah ini adalah percakapan Luki, 6 tahun, dengan ayahnya yang sedang memaksanya turun ke air di tepi pantai, ketika mereka sedang berlibur: LUKI: “Saya tidak mau masuk air. Terlalu dalam! Saya takut ombak.” AYAH: “Airnya tidak terlalu dalam buatmu.” LUKI: “Saya takut! Jangan paksa saya!” Ayah salah menangkap perasaan anak, dan ini tampak dalam umpan baliknya. Luki tidak menyampaikan perkiraan intelektual tentang dalamnya air. Ia menyampaikan suatu permintaan penting pada ayah. “Jangan paksa saya masuk air karena saya sangat takut!” Ayah seharusnya menanggapi dengan, “Kau takut dan tidak mau saya paksa masuk air”. Beberapa orang tua yang mengikuti kursus MOE mengatakan bahwa mereka sangat tidak akrab dengan perasaan-perasaannya sendiri maupun perasaan anak. Seolah-oleh mereka mereka dipaksa mengabaikan perasaan- perasaan anak karena mereka tidak bisa menerima anak memiliki perasaan- perasaan tersebut. Atau mereka ingin cepat-cepat menghilangkan perasaan anak dan oleh karenanya sengaja mengabaikannya. Beberapa orang tua begitu takut terhadap perasaan-perasaan sehingga mereka benar-benar gagal menemukan unsur perasaan dalam pesan-pesan anak. Orang tua seperti ini dalam kursus biasanya belajar bahwa anak-anak (dan orang dewasa) pasti berperasaan. Perasaan adalah bagian terpenting dari kehidupan, bukan sesuatu yang berbahaya ataupun patologis. Keadaan manusia juga menunjukkan bahwa perasaan-perasaan pada umumnya bersifat sementara – datang dan pergi, tanpa meninggalkan cedera pada anak. Kunci untuk menghilangkan perasaan adalah penerimaan dan pengertian orang tua yang disampaikan kepada anak melalui empati mendengar aktif. Orang tua berusaha melakukan hal ini, mengatakan betapa cepatnya perasaan-perasaan negatif menghilang. Heru dan Titi, pasangan yang masih muda dengan 2 anak perempuan, menceritakan suatu peristiwa yang membuat mereka yakin akan 65

kemanjuran mendengar aktif. Keduanya dibesarkan dalam lingkungan agama yang kuat. Orang tua mereka mengajarkan melalui berbagai cara bahwa mengutarakan perasaan-perasaan adalah suatu tanda kelemahan dan seorang “kristen” tidak akan pernah melakukannya. Heru dan Titi belajar: “Membenci adalah dosa”, “Cintailah sesamamu!”, “Tutup mulutmu!”, “Kalau kau bisa bicara sopan pada ibu, baru kau boleh makan bersama- sama!” Dibesarkan dalam suasana demikian, Heru dan Titin sebagai orang tua mengalami kesukaran untuk menerima perasaan anak-anak mereka dan untuk mendengar ungkapan-ungkapan yang penuh perasaan. MOE membuka mata mereka. Mula-mula mereka mulai menerima adanya perasaan-perasaannya dalam hubungan mereka sendiri. Kemudian, sebagaimana halnya dengan banyak orang tua yang mengikuti MOE, mereka mulai mengkomunikasikan perasaan-perasaan antar-mereka sendiri, ditolong dengan mendengar aktif. Merasakan manfaat dari cara ini, Heru dan Titin yakin dan mulai menggunakannya terhadap kedua anaknya. Dalam beberapa bulan, kedua anak berubah. Yang tadinya diam, tertutup dan terhambat, sekarang menjadi lebih spontan, ekspresif, terbuka dan gembira. “Keadaan lebih menyenangkan sekarang”, kata Heru, “Kami tidak perlu merasa bersalah karena perasaan-perasaan tertentu. Anak-anak lebih terbuka dan lebih jujur terhadap kami sekarang”. Mendengar Aktif pada Saat yang Salah Tidak berhasilnya penggunaan mendengar aktif, acap kali disebabkan karena orang tua menggunakannya pada saat yang tidak tepat. Ada saat di mana anak tidak mau bicara tentang perasaan-perasaannya, meskipun pendengarnya berempati. Mungkin mereka ingin membiarkan perasaan-perasaan tersebut untuk sementara. Mungkin sangat menyakitkan untuk dibicarakan saat itu. Mungkin tidak ada waktu untuk berbicara panjang-lebar dengan orang tua. Orang tua harus menghargai kebutuhan anak akan privacy dan tidak memaksanya untuk berbicara. Meskipun mendengar aktif membukakan pintu bagi anak, kadang kala anak tidak mau memasukinya. Seorang ibu bercerita tentang anaknya yang mengatakan bahwa ia tidak ingin bicara: “Saya tahu barangkali berbicara bisa menolong, tapi sekarang ini rasanya saya segan bicara. Janganlah ibu melakukan mendengar aktif sekarang”. Kadang-kadang orang tua membuka pintu dengan mendengar aktif, padahal mereka kurang mempunyai waktu untuk mendengarkan semua perasaan yang terpendam dalam diri anak. Cara ini bukan saja tidak adil bagi anak, tetapi juga merusak hubungan. Anak akan merasa bahwa orang tuanya tidak cukup sabar untuk mendengar. Pesan pada orang tua, 66

“Janganlah mulai menggunakan mendengar aktif kalau tidak mempunyai waktu cukup untuk mendengarkan semua perasaan yang mudah terungkap melalui teknik ini”. Ada orang tua yang ditolak, karena mereka menggunakan mendengar aktif di kala anak membutuhkan pertolongan yang lain. Bila anak membutuhkan penjelasan-penjelasan atau keterangan-keterangan tertentu dari orang tua, ia tidak perlu mengungkapkan sesuatu hal. Kadang-kadang orang tua begitu bersemangat menggunakan cara mendengar aktif, padahal anak tidak memerlukannya atau tidak ingin diselami perasaannya. Dari situasi-situasi di bawah ini akan jelaslah betapa tidak tepatnya penggunaan mendengar aktif: 1. ANAK: “Dapatkah Ibu atau Ayah mengantar saya ke tolo hari Minggu?” ORANG TUA: “Kau ingin diantar ke toko hari Minggu?” 2. ANAK: “Pukul berapa Ibu dan Ayah pulang?” ORANG TUA: “Kau ingin tahu pukul berapa kami pulang?” 3. ANAK: “Berapa banyak saya harus membayar pajak kalau saya membeli mobil?” ORANG TUA: “Kau khawatir tentang besarnya pajak yang harus kau bayar.” Anak-anak ini membutuhkan bantuan yang lain daripada bantuan yang dapat diperoleh melalui mendengar aktif. Mereka tidak mengungkapkan perasaan-perasaan. Mereka menginginkan penjelasan. Menanggapi permintaan semacam ini dengan mendengar aktif tidak saja dirasakan aneh oleh anak, tetapi dapat menimbulkan kekecewaan dan kejengkelan karena yang diperlukan adalah jawaban langsung. Orang tua juga harus mengetahui kapan mereka harus berhenti. Anak menjadi gelisah bial orang tua terus berusaha mendengar aktif sesudah anak selesai menyampaikan pesan. Umumnya, anak akan memberi isyarat – ekspresi wajah, diam, pergi, gelisah, melihat arloji dan sebagainya atau anak akan mengatakan: “Nah, sudah cukup”. “Tidak ada waktu untuk bicara lebih lanjut”. “Saya masih harus belajar”. “Saya terlalu banyak menyita waktu”. Orang tua yang bijaksana segera berhenti setelah menangkap isyarat- isyarat ini, walaupun masalahnya belum teratasi oleh anak. Terapis profesional menyadari bahwa mendengar aktif hanya membuka langkah pertama dari pemecahan-pemecahan masalah – mengungkapkan perasaan- perasaan dan merumuskan masalah. Sering kali dari sini anak-anak dapat mencapai penyelesaian sendiri. 67

5 Bagaimana Cara Mendengarkan Anak-anak yang Masih Terlalu Muda untuk Diajak Bicara? Banyak orang tua bertanya: “Memang benar bahwa mendengar aktif memberikan hasil yang menakjubkan dengan anak-anak berumur tiga, empat tahun atau lebih, tetapi apa yang harus kita lakukan dengan anak- anak yang lebih kecil atau bayi yang belum bisa bicara?” Atau, “Saya memahami bahwa kita harus lebih bertumpu pada kemampuan anak-anak kita untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mereka sendiri, dengan bantuan sikap orang tua yang mau mendengar secara aktif. Tetapi anak-anak yang lebih muda tidak mempunyai kecakapan untuk memecahkan persoalan, dalam hal ini apakah bukan kita yang harus menyelesaikan buat mereka?” Adalah suatu pandangan yang salah bahwa mendengar aktif hanya beguna bagi anak-anak yang sudah cukup besar untuk bicara. Menggunakan cara mendengar aktif dengan anak-anak yang lebih kecil memang memerlukan pengertian tambahan tentang komunikasi tanpa-kata dan bagaimana orang tua dapat bereaksi secara efektif terhadap pesan-pesan tanpa-kata yang dikirimkan oleh anak-anak ini. Lagi pula, orang tua dari anak-anak yang masih sangat kecil sering kali berpikir bahwa karena anak- anak ini untuk banyak kebutuhan mereka tergantung pada orang-orang dewasa maka anak-anak kecil ini hanya sedikit saja mempunyai kemampuan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Hal ini tidaklah benar. Apakah Sebenarnya “Bayi” Itu? Pertama, bayi mempunyai kebutuhan seperti halnya anak-anak yang lebih besar dan orang-orang dewasa. Dan mereka juga mempunyai persoalan mengenai bagaimana caranya kebutuhan tersebut dapat dipenuhi. Mereka merasa dingin, lapar, haus, kecewa, sakit. Menolong bayi-bayi dengan persoalan-persoalan semacam itu meerupakan suatu persoalan khusus bagi orang tua. Kedua, bayi dan anak-anak yang sangat kecil tergantung sekali kepada orang tua mereka dalam memuaskan kebutuhan mereka atau mencarikan jalan keluar bagi persoalan mereka. Sumber dan kemampuan yang ada dalam diri mereka masih sangat terbatas. Belum pernah kita melihat bayi yang haus pergi ke dapur sendiri, mengambil gelas, dan membuat susu buat dirinya sendiri. Ketiga, bayi-bayi dan anak-anak yang masih sangat kecil belum memperkembangkan kemampuan untuk mengkomunikasikan kebutuhan- 68

kebutuhan mereka melalui simbol-simbol verbal. Mereka belum bisa menggunakan kata-kata untuk mengemukakan persoalan dan kebutuhan mereka kepada orang lain. Sering kali, orang tua sangat bingung menghadapi apa yang sednag berlangsung pada anak-anak yang belum mempunyai kemahiran berbahasa, karena bayi tidak dapat mengatakan bahwa mereka membutuhkan perhatian atau bahwa perut mereka kembung. Keempat, bayi-bayi dan anak-anak yang sangat kecil, umumnya tidak tahu apa sebenarnya yang menyusahkan mereka. Hal ini terjadi karena banyak sekali kebutuhan mereka yang sifatnya fisiologik – yaitu, persoalan yang timbul dari kebutuhan fisik (lapar, haus, sakit, dan sebagainya). Juga, karena fungsi pengenalan dan kecakapan berbahasa belum mereka kembangkan, mereka tidak tahu persoalan apa yang sedang dialaminya. Dengan demikian, membantu ana-anak yang sangat kecil memenuhi kebutuhan mereka dan memecahkan persoalan yang mereka hadapi agak berbeda dengan membantu anak-anak yang lebih besar, meski tidak sama sekali berbeda seperti yang dipikirkan kebanyakan orang tua. Memahami Kebutuhan-kebutuhan dan Persoalan-persoalan Bayi Betapapun juga keinginan orang tua agar bayi-bayi dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan memecahkan persoalan mereka sendiri, namun biasanya tergantung pada orang tua juga untuk manjaga Tono kecil cukup makan, pakaiannya kering, hangat, mendapat perhatian, dan sebagainya. Persoalannya adalah: bagaimana orang tua bisa menemukan apa yang tidak menynangkan bayi yang rewel dan cerewet? Kebanyakan orang tua mengikuti “buku pinter” – apa yang pernah dibaca orang tua mengenai kebutuhan bayi umumnya. Tidak dapat disangkal bahwa Dr. Benjamin Spock telah membantu orang tua dengan memberikan informasi mengenai bayi-bayi dan kebutuhan mereka dan hal- hal yang dapat dilakukan orang tua supaya kebutuhan tersebut terpenuhi. Tetapi, seperti yang juga diketahui oleh para orang tua, tidak semua hal dapat dibicarakan oleh Dr. Spock. Supaya dapat secara efektif membantu seorang anak tertentu yang mempunyai kebutuhan dan persoalan yang unik, orang tua wajib memahami anak tersebut. Hal ini dapat dilakukannya terutama karena bayi-bayi berkomunikasi tanpa-kata. Seorang bayi sudah menangis pada pukul 5.30 pagi. Jelaslah ia tentu mempunyai persoalan – ada sesuatu yang tidak beres, ia mempunyai kebutuhan, ia menginginkan sesuatu. Ia tidak dapat mengirim pesan verbal pada orang tuanya, “Saya merasa kurang nyaman dan terganggu”. Dengan demikian, orang tua tidak dapat menggunakan cara mendengar aktif, yang sudah kami kemukakan terdahulu (“kamu merasa kurang nyaman, kamu terganggu oleh sesuatu”). Anak tentu saja tidak akan mengerti hal ini. 69

Orang tua menerima pesan tanpa-kata (menangis) dan ia harus melalui proses “menterjemahkan” pesan tersebut, bila ia ingin tahu apa yang terjadi di dalam diri anaknya ini. Karena orang tua tidak dapat menggunakan umpan balik verbal untuk mencocokkan ketepatan terjemahannya, ia harus menggunakan cara umpan balik tanpa-kata atau melalui tingkah laku. Mungkin orang tua akan menyelimuti anak tersebut (menterjemahkan tangisan anak sebagai “ia merasa dingin”). Tetapi anak masih menangis terus (“Kamu belum memahami pesan saya”). Lalu orang tua mengangkat anak dan mengayun-ayunkan (menterjemahkannya sebagai “Ia ketakutan karena mimpi”). Akhirnya, orang tua memasukkan botol susu ke dalam mulut anak (“Ia merasa lapar”) dan setelah beberapa isapan, anak berhenti menangis (“Itu yang saya maksud – saya merasa lapar – kamu akhirnya mengerti saya”). Menjadi orang tua yang efektif dari seseorang anak yang sangat kecil, seperti halnya dengan anak yang lebih besar, sebagian besar tergantung pada ketetapan komunikasi antara orang tua dan anak. Dan tanggung jawab utama untuk memperkembangkan komunikasi yang tepat, terletak pada orang tua. Ia harus belajar untuk menterjemahkan tingkah laku tanpa- kata dari bayi tersebut, sebelum menentukan apa yang mengganggunya. Ia juga harus menggunakan proses umpan balik yang sama untuk tujuan mencocokkan ketepatan penterjemahannya. Proses umpan balik ini dapat juga disebut cara mendengar aktif; hal ini merupakan mekanisme yang sama dengan yang sudah dilukiskan dalam proses komunikasi dengan anak yang sudah pandai bicara. Tetapi dengan seorang anak yang mengirimkan pesan tanpa-kata (menangis) orang tua harus menggunakan umpan balik tanpa-kata juga (botol di dalam mulut). Perlunya komunikasi dua arah yang efektif semacam ini, dapat menerangkan apa sebabnya perlu sekali bagi orang tua untuk memberikan banyak waktu bagi anaknya, pada dua tahunpertama kehidupannya. Orang tua dapat “mengerti” anaknya, lebih daripada orang lain – yaitu, orang tua mengembangkan kecakapan menterjemahkan tingkah laku nonverbal bayi dan dengan demikian menjadi lebih cakap dari siapa pun juga untuk mengetahui apa yang harus dilakukan untuk memuaskan kebutuhan anak atau mencari pemecahan bagi persoalan-persoalannya. Setiap orang pernah mempunyai pengalaman tidak dapat menterjemahkan tingkah laku anak temannya. Kami bertanya, “Apa maksudnya kalau dia memukul-mukul tiang-tiang tempat tidurnya? Mestinya ia menginginkan sesuatu”. Ibu menjawab, “Oh, ia selalu begitu kalau mengantuk, anak kami yang pertama menarik-narik bajunya kalau ia mengantuk”. Menggunakan Cara Mendengar Aktif untuk Menolong Bayi-bayi 70

Terlalu banyak orang tua yang memiliki bayi tidak menggunakan cara mendengar aktif untuk mencocokkan ketepatan proses penafsiran mereka. Mereka tanpa berpikir panjang mengambil suatu tindakan tertentu untuk menolong anak tanpa menemukan apa yang sesungguhnya mengganggu. Budi berdiri di tempat tidurnya dan mulai merengek, lalu menangis keras. Ibu mendudukkannya kembali dan memberi gelang-gelang. Budi berhenti menangis sebentar, kemudia melemparkan gelang-gelang tersebut ke luar dari tempat tidurnya dan jatuh ke tanah, dan mulai menangis lagi bahkan lebih keras. Ibu mengambil gelang-gelang itu dan menjejalkannya kembali ke tangan Budi sambil berkata seraya marah, “Kalau kamu lempar lagi, tidak akan kuambilkan”. Budi menangis terus dan melemparkan lagi gelang-gelang itu keluar tempat tidur. Ibu memukul tangannya. Budi benar-benar menjerit-jerit. Ibu ini membuat dugaan bahwa ia tahu apa yang dibutuhkan bayinya, tetapi ia gagal “mendengar” bayi ini “berkata” bahwa terjemahannya tidak tepat. Seperti yang dilakukan banyak orang tua lain, ibu ini tidak cukup berusaha untuk menyelesaikan proses komunikasi. Ia tidak memastikan apakah ia benar-benar mengerti apa yang dibutuhkan atau digunakan anaknya. Ana tetap frustasi dan ibu menjadi marah. Dengan cara inilah ditabur benih-benih hubungan yang kurang baik dan anak yang secara emosional tidak sehat. Jelaslah, bahwa makin kecil seorang anak, orang tua makin tidak bisa bertumpu pada sumber-sumber dan kemampuan yang ada dalam diri anak sendiri. Hal ini berarti bahwa makin banyak diperlukan campur tangan (atau bantuan) dalam proses pemecahan persoalan pada anak-anak yang lebih kecil. Setiap orang tua tahu bahwa mereka harus menyiapkan botol susu, mengganti popok, menyelimuti anak, membebaskan anak dari lilitan selimutnya, memindahkan dia, mengangkatnya, mengayunnya, menyayanginya, dan ribuan hal lain yang perlu diperhatikan suapaya anak merasakan kebutuhannya tidak disampingkan. Semua ini lagi-lagi berarti perlunya ada waktu bersama anak dan amat banyak waktu diperlukan. Masa-masa dini ini menuntut kehadiran orang tua yang hampir terus- menerus. Bayi membutuhkan orang tuanya dan membutuhkan mereka secara luar biasa. Hal inilah yang menyebabkan mengapa dokter ahli penyakit anak sangat menganjurkan supaya orang tua ada di dekat anak pada tahun-tahun pertama perkembangan anak, ketika anak masih sangat tak berdaya dan tergantung, tetapi ada di dekat anak saja tidaklah cukup. Faktor yang sangat penting adalah kemampuan orang tua untuk mendengar secara tepat pesan yang disampaikan anak melalui komunikasi tanpa-kata sedemikian rupa sehingga ia tahu apa yang terjadi di dalam diri anak dan dapat secara efektif memberikan kepada anak apa yang dibutuhkannya dan bilamana dia membutuhkannya. 71

Banyak spesialis-spesialis dalam pendidikan anak yang gagal memahami hal ini, sehingga terjadilah penelitian-penelitian yang kurang bermutu dan beberapa interpretasi kurang benar terhadap hasil-hasil penelitian perkembangan anak. Banyak penelitian yang dilakukan untuk memperagakan keunggulan satu metode dibandingkan dengan metode lain – pemberian susu botol dibandingkan dengan susu ibu, pemberian minum sewaktu-waktu dengan minuk menurut jadwa yang teratur, apakah lebih baik “toilet training” (“latihan bercermin”) yang dini atau yang lambat, penyapihan dini atau lambat, disiplin yang ketat atau kebebasan. Kebanyakan dari studi ini gagalmemperhitungkan adanya perbedaan yang besar dalam kebutuhan anak-anak dan perbedaan yang menyolok yang terdapat di antara ibu-ibu dalam menangkap pesan anak-anak mereka. Apakah anak disapih dini atau lambat, misalnya, mungkin bukan merupakan faktor penting yang mempengaruhi kepribadian atau kesehatan mentalnya kemudian. Yang penting adalah, apakah ibu mendengar secara tepat pesan-pesan yang disampaikan oleh anak yang tertentu ini mengenai kebutuhan-kebutuhan makanya, sedemikian rupa sehingga ia akan dapat memilih cara pemecahan yang benar-benar dapat memuaskan kebutuhan- kebutuhan anaknya. Jadi, mendengar dengan tepat, mungkin mengakibatkan seorang ibu lambat menyapih anaknya, ibu yang lain cepat- cepat melakukannya, ibu yang ketiga memilih waktu diantaranya. Saya sangat percaya bahwa prinsip yang sama ini juga berlaku bagi kebanyakan praktek-praktek pendidikan anak lainnya yang selama ini begitu diperdebatkan – seperti bagaimana memberi minum anak, berapa banyak mengelus-elus, derajat perpisahan dengan ibu, cara tidur, “toilet training”, mengisap ibu jari, dan sebagainya. Bila prinsip ini dapat dipertanggungjawabkan, maka dapatlah kami berkata kepada orang tua: “Anda akan menjadi orang tua paling efektif dengan menyediakan bagi anak Anda suatu suasana rumah di mana Anda tahu bagaimana memuaskan kebutuhannya secara tepat, dengan menggunakan cara mendengar aktif untuk memahami pesan-pesannya yang secara khas mengungkapkan apa kebutuhannya.” Berilah Anak Kesempatan untuk Memuaskan Sendiri Kebutuhan- kebutuhannya Sudah barang tentu tujuan utama kebanyakan orang tua seharusnya adalah membantu anak yang masih muda ini untuk secara bertahap mengembangkan sumbernya sendiri – disapih dari ketergantungan pada sumber-sumber yang disediakan orang tua, menjadi mampu untuk memuaskan kebutuhannya sendiri, memecahkan persoalan-persoalannya sendiri. Yang akan menjadi orang tua paling efektif dalam hal ini, adalah orang tua yang secara konsisten memakai prinsip: pertama-tama memberi 72

kesempatan pada anak untuk menyelesaikan persoalannya sendiri sebelum memberikan pemecahan yang sudah disiapkan oleh orang tua. Dalam ilustrasi berikut ini, prinsip tersebut diikuti secara sangat efektif: ANAK: “Mobil, mobil – mobil hilang.” (menangis) ORANG TUA: “Kamu ingin mobilmu, tapi kamu tak bisa mencarinya,” (mendengar aktif) ANAK: (Mencari-cari di bawah sofa, tapi tak menemukan mobil) ORANG TUA: “Mobil tak ada di sana,” (memberikan umpan balik terhadap pesan tanpa-kata) ANAK: (Lari ke kamarnya, mencari, tak dapat menemukannya) ORANG TUA: “Mobil tak ada di sana,” (memberikan umpan balik terhadap pesan tanpa-kata) ANAK: (Berpikir, kembali ke pintu) ORANG TUA: “Mungkin mobil itu ada di halaman belakang,” (memberikan umpan balik terhadap pesan tanpa-kata) ANAK: (Lari keluar, menemukan mobil di bawah pohon belimbing, kelihatan bangga) “Itu dia!” ORANG TUA: “Kamu sendiri menemukan mobilmu,” (mendengar aktif) Orang tua ini meletakkan tanggung jawab pemecahan persoalan kepada anaknya dengan menghindari campur tangan langsung atau memberi nasihat. Dengan bertindak demikian, orang tua menolong anak untuk mengembangkan sumber-sumber sendiri. Kebanyakan orang tua terlalu bernafsu untuk mengambil alih pemecahan persoalan anak-anak mereka. Mereka begitu cemas untuk segera membantu anak atau demikian resah kalau-kalau kebutuhan anak akan tidak terpenuhi sehingga mereka terdorong untuk mengambil alih pemecahan persoalan dan memberi anak pemecahan yang cepat. Bila hal ini sering dilakukan, pasti akan menghambat anak belajar menggunakan sumber-sumbernya sendiri dan menghambat perkembangan ketidaktergantungan dan kemampuannya untuk mencari berbagai macam cara penyelesaian masalah. 73

6 Bagaimana Cara Berbicara Supaya Anak-anak Mau Mendengar Anda? Sering kali ketika orang tua belajar cara mendengar aktif dalam kursus- kursus yang kami selenggarakan, orang tua menjadi tidak sabar dan bertanya, “Kapan kami belajar bagaimana caranya supaya anak mau mendengar kami? Ini yang merupakan masalah di rumah kami”. Tidak dapat diragukan lagi, inilah yang merupakan masalah dalam banyak keluarga, karena mau tak mau, anak kadang-kadang menjengkelkan, mengganggu, dan membuat orang tuanya frustasi, mereka bisa bersikap semau sendiri demi kebutuhan mereka, tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain. Seperti anak-anak anjing, anak-anak bisa bersemangat dan merusak, ribut dan menuntut. Seperti diketahui oleh setiap orang tua, anak dapat memberi pekerjaan tambahan, menghambat Anda bila Anda tergesa-gesa, menjengkelkan Anda bila Anda lelah, bicara bila Anda ingin ketenangan, mengotori baju Anda bila Anda sudah berpakaian rapi, dan seterusnya tanpa batas. Ibu-ibu dan bapak-bapak memerlukan cara efektif untuk menanggulangi tingkah laku anak yang merintangi kebutuhan orang tua. Karena bagaimanapun juga, orang tua mempunyai kebutuhan sendiri. Mereka memiliki hidupnya sendiri, dan mempunyai hak untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari hidup mereka. Tetapi banyak orang tua yang mengikuti latihan MOE (Menjadi Orang tua Efektif), telah pernah bertindak dan bersikap sedemikian rupa sehingga anak-anak menduduki posisi terpenting di rumah. Anak-anak semacam ini menuntut supaya kebutuhan- kebutuhan mereka dipenuhi, tetapi tak mau tahu bahwa orang tua mereka juga punya kebutuhan. Ketika anak menjadi lebih besar, orang tua menyesal karena mereka bersikap seakan-akan tidak tahu bahwa orang tua juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Bila orang tua sampai membiarkan hal ini terjadi, maka anak-anak akan menjalani hidup ini dengan sikap seakan-akan hidup ini merupakan jalan satu arah yang khusus diperuntukkan bagi pemuasan kebutuhan mereka secara terus-menerus. Orang tua dari anak-anak semacam ini biasanya menjadi kecewa, dan merasakan kejengkelan luar biasa terhadap anak-anak mereka yang “tidak tahu terima kasih” dan “mementingkan diri sendiri”. Ketika Ny. Subono mulai mengikuti latihan MOE, ia bingung dan merasa sakit hati, karena putrinya Ratna menjadi makin mementingkan diri sendiri tanpa mempertimbangkan orang lain. Dimanja oleh kedua orang tuanya sejak bayi, Ratna hanya sedikit berbuat sesuatu bagi keluarga, tetapi 74

ia mengharap orang tuanya memenuhi segala yang dimintanya. Seandainya permintaannya tak dituruti, ia akan mengucap kata-kata kasar kepada orang tuanya, marah-marah hebat atau pergi keluar rumah dan tidak kembali untuk beberapa jam. Ny. Subono, dididik oleh ibunya untuk berpikir bahwa konflik atau emosi yang kuat adalah hal yang tidak pantas ditunjukkan oleh keluarga priayi. Maka ia memenuhi hampir semua tuntutan Ratna supaya tidak terjadi pertengkaran, atau seperti dikatakannya, “Untuk menjaga kedamaian dan ketenangan keluarga”. Ketika ratna menjadi remaja, ia menjadi makin sombong dan makin mementingkan dirinya sendiri, jarang mau membantu di rumah, dan hampir tidak pernah mengalah demi kebutuhan orang tuanya. Ia sering berkata kepada orang tuanya, bahwa adalah tanggung jawab mereka sehingga ia dilahirkan, dengan demikian adalah tanggung jawab mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ny. Subono, orang tua yang sungguh-sungguh ingin menjadi ibu yang baik, mulai dihinggapi perasaan jengkel luar biasa terhadap Ratna. Setelah semua dikerjakannya bagi Ratna, ia merasa sakit hati dan marah melihat sikap Ratna yang terlalu mementingkan diri sendiri dan kurang mempertimbangkan kebutuhan- kebutuhan orang tuanya. “Kami terus-menerua memberi, ia selalu meminta”, adalah kalimat yang digunakan ibu ini untuk melukiskan suasana keluarganya. Ny. Subono merasa pasti bahwa ia telah melakukan sesuatu kesalahan, tetapi ia tidak pernah bermimpi bahwa tingkah laku Ratna adalah akibat langsung dari ketidakberaniannya mempertahankan hak-haknya sendiri. MOE pertama-tama membantunya untuk mengakui bahwa ia memang berhak mempunyai kebutuhan-kebutuhan, dan kemudian memberi kecakapan-kecakapan khusus untuk menghadapi Ratna bila tingkah lakunya tidak dapat diterima oleh orang tuanya. Apa yang dapat dilakukan orang tua kalau mereka benar-benar tidak dapat menerima tingkah laku anak? Bagaimana mereka dapat mendidik anak untuk juga mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan orang tuanya? Sekarang kita memusatkan perhatian pada bagaimana seharusnya orang tua berbicara dengan anak supaya mereka mau mengerti perasaan-perasaan orang tua dan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan orang tua. Diperlukan kecakapan komunikasi yang berbeda bila anak menimbulkan persoalan bagi orang tua, dan bila anak menimbulkan persoalan bagi dirinya sendiri. Dalam hal yang kedua, anaklah yang “mempunyai” persoalan; dala yang pertama, orang tualah yang “memiliki” persoalan itu. Bab ini akan menunjukkan pada orang tua kecakapan-kecakapan yang mereka perlukan supaya secara efektif dapat memecahkan persoalan yang timbul oleh anak- anak mereka. BILA PEMILIK PERSOALAN ADALAH ORANG TUA 75

Banyak orang tua mula-mula sulit mengertipemisahan dalam hal “memiliki persoalan”. Barangkali mereka terbiasa untuk berpikir dalam ungkapan “persoalan anak-anak”. Dengan istilah ini, persoalan diletakkan di dalam diri anak, dan tidak diletakkan pada orang tua. Sangatlah penting supaya orang tua memahami perbedaannya. Tanda paling jelas bahwa orang tua sendiri memiliki masalah biala mereka mulai merasa tidak dapat menerima, mulai mempunyai perasaan jengkel, frustasi, marah. Barangkali mereka mengalami ketegangan, merasa tidak nyaman, dan tidak menyukai apa yang dilakukan anak, atau mengawas-awasi tingkah laku anaknya. Misalnya bila: Seorang anak terlalu dekat dengan barang keramik yang sangat berharga. Seorang anak meletakkan di atas kursi Anda yang baru. Seorang anak menarik-narik baju Anda, supaya Anda menghentikan percakapan Anda dengan tetangga. Seorang anak meninggalkan mainannya berserakan di kamar tamu. Seorang anak hampir menumpahkan susu ke atas karpet. Seorang anak menuntut supaya Anda menceritakan satu cerita lagi, satu lagi, dan satu lagi. Seorang anak tidak mau memberi makan binatang kesayangannya. Seorang anak tidak melaksanakan bagian tugas pekerjaannya di rumah. Seorang anak mempergunakan peralatan Anda dan meninggalkannya di halaman depan. Seorang anak mengendarai mobil Anda terlalu cepat. Semua tingkah laku ini secara aktual ataupun potensial mengancam kebutuhan-kebutuhan orang tua. Tingkah laku anak mempengaruhi orang tua secara langsung dan menyolok: Ibu tidak ingin jambangan bunganya pecah, kursinya tergores, karpetnya kotor, percakapannya terhenti, dan sebagainya. Berhadapan dengan tingkah laku semacam ini, orang tua perlu mengetahui cara-cara untuk menolong dirinya sendiri, bukan anak yang memerlukan pertolongannya. Bagan berikut ini membantu untuk memperlihatkan perbedaan yang ada pada peranan orang tua bila orang tua yang memiliki persoalan dan bila anak yang memilikinya. Bila anak pemilik persoalan Bila orang tua pemilik persoalan Anak memulai komunikasi Orang tua memulai komunikasi Orang tua adalah pendengar Orang tua adalah pengirim Orang tua membimbing Orang tua mempengaruhi Orang tua ingin menolong anak Orang tua ingin menolong diri sendiri Orang tua adalah “pemantul suara” Orang tua ingin “bersuara” Orang tua memberikan fasilitas kepada Orang tua harus menemukan anak untuk memecahkan persoalannya pemecahannya sendiri sendiri 76

Orang tua terutama memperhatikan Orang tua terutama memperhatikan kebutuhan anak kebutuhannya sendiri Orang tua lebih pasif Orang tua lebih agresif Bila orang tua adalah pemilik persoalan, ia mempunyai beberapa pilihan: 1. Ia dapat mencoba untuk mengubah anak secara langsung. 2. Ia dapat mencoba untuk mengubah lingkungan. 3. Ia dapat mencoba untuk mengubah dirinya sendiri. Putra Tuan Adam, Jono, mengambil alat-alat ayahnya dari kotak peralatan dan biasanya meninggalkan berserakan di atas rumput. Hal ini tidak dapat diterima oleh Tuan Adam, maka dialah pemilik persoalan. Ia dapat mengkonfrontasikan Jono dengan keadaan ini, mengatakan sesuatu, mengharap bahwa ini barangkali dapatmengubah tingkah laku Jono. Ia dapat mengubah lingkungan Jono dengan membelikannya seperangkat alat-alat, dengan harapan bahwa hal ini dapat mengubah tingkah laku Jono. Ia dapat mencoba mengubah sikapnya tentang tingkah laku Jono, mngatakan pada dirinya sendiri “Dasar anak laki-laki” atau “Pada waktunya nanti ia akan belajar merawat alat-alat”. Dalam bab ini, kami hanya akan membicarakan pilihan pertama, dengan menitikberatkan pada bagaimana seharusnya orang tua berbicara atau menghadapi anak-anaknya, supaya mereka dapat mengubah tingkah laku yang tidak dapat diterima orang tua. Dalam bab-bab yang kemudian, kami akan membicarakan dua pilihan lainnya. CARA-CARA YANG TIDAK EFEKTIF UNTUK MENGHADAPI ANAK-ANAK Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa sembilan puluh sembilan dari seratus orang tua yang mengikuti MOE menggunakan cara komunikasi yang tidak efektif bila tingkah laku anak-anak mereka menghalangi kehidupan orang tua. Dalam suatu kelas yang terdiri dari 25 orang tua pembina membacakan suatu situasi yang agak umum terdapat dalam setiap keluarga, seorang anak menjengkelkan orang tuanya: “Anda sangat lelah setelah seharian bekerja keras. Anda perlu duduk dan istirahat sejenak. Anda ingin beristirahat sambil baca koran sore. Tetapi, anak Anda yang berumur lima tahun terus-menerus merengek meminta Anda bermain dengannya. Ia menarik-narik lengan Anda, naik ke pangkuan, meremas-remas koran. Bermain dengannya adalah hal terakhir yang ingin Anda lakukan pada waktu itu”. Lalu pembina meminta setiap orang untuk menuliskan pada secarik kertas jawaban yang akan diberikan kepada anak tersebut (pembaca bisa 77

mengikuti latihan ini juga dengan menuliskan pada secarik kertas jawaban apa yang akan Anda berikan). Lalu pembina membacakan satu situasi lain kemudian membacakan lagi situasi ketiga, dan meminta setiap orang untuk menuliskan jawaban-jawaban mereka. “Anak Anda berumur 4 tahun mengeluarkan beberapa panci dan aat dapur dari lemari dan bermain dengan barang-barang itu di lantai dapur. Hal ini mengganggu Anda menyiapkan makan buat tamu yang Anda undang. Anda sudah terlambat dari jadwal yang Anda siapkan!” “Anak Anda yang berusia 12 tahun pulang dari sekolah, menyiapkan roti buat dirinya sendiri dan meninggalkan dapur dalam keadaan berantakan padahal Anda baru saja menghabiskan waktu 1 jam untuk membersihkan dapur agar dapur Anda bersih ketika Anda mulai menyiapkan makan malam!” Dari latihan ini kami menarik kesimpulan bahwa umumnya orang tua, dengan sedikit kekecualian, menanggulangi situasi umum ini secara tidak efektif. Mereka mengatakan hal-hal tertentu yang kemungkinan besar akan: 1. Menyebabkan anak menolak usaha orang tua untuk mengubah tingkah laku yang bisa diterima orang tua. 2. Membuat anak merasa bahwa orang tua tidak menganggapnya cukup pandai. 3. Membuat anak merasa bahwa orang tuanya tidak mempertimbangkan kebutuhan yang dipunyai anak. 4. Membuat anak merasa bersalah. 5. Menghancurkan harga diri anak. 6. Menyebabkan anak membuat pertahanan diri yang kuat. 7. Mendorong anak untuk menyerang orang tua atau menimbulkan keinginan membalas dendam kepada orang tua. Orang tua terkejut menghadapi kesimpulan ini, karena jarang sekali ada orang tua yang secara sadar bermaksud melakukan hal ini terhadap anaknya. Kebanyakan orang tua tidak pernah memikirkan akibat-akibat apa yang mungkin timbul dalam diri anak karena perkataan-perkataan orang tua. Dalam kursus yang kami selenggarakan, kami melukiskan cara konfrontasi verbal yang kurang efektif ini dan menerangkan di mana letak ketidakefektifannya. Mengirim Suatu “Pesan Pemecahan” Pernahkan Anda berada dalam suatu situasi di mana Anda sebenarnya sudah siap melakukan sesuatu bagi seseorang (atau siap mengubah tingkah laku Anda untuk memenuhi kebutuhan seseorang) ketika tiba-tiba orang tersebut memerintahkan Anda, memaksa Anda, atau menasihati Anda untuk berbuat persis seperti yang sudah mau Anda lekukan sendiri? 78

Reaksi Anda barangkali adalah, “Saya tak perlu diberi tahu” atau “Sialan, kalau Anda menunggu satu menit lagi saya sudah akan berbuat begitu tanpa Anda beritahu”, atau barangkali Anda jengkel karena Anda merasa bahwa orang itu tidak cukup mempercayai Anda atau menghilangkan kesempatan bagi Anda untuk berbuat sesuatu dengan penuh pertimbangan atas inisiatif Anda sendiri. Bila orang berbuat semacam ini, mereka “mengirim suatu pemecahan”. Inilah yang sering dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka. Mereka tidak menunggu anak melakukan tingkah laku yang penuh pertimbangan; mereka mengatakan apa yang harus atau seharusnya atau semestinya dilakukan. Semua pesan berikut ini termasuk dalam jenis pesan “mengirim suatu pemecahan”: 1. MENGATUR, MENGARAHKAN, MEMERINTAH “Carilah sesuatu yang lain untuk bermain!” “Hentikan meremas-remas koran!” “Singkirkan panci-panci dan alat-alat ini!” “Bersihkan barang-barang yang berantakan ini!” 2. MEMPERINGATKAN, MEMARAHI, MENGANCAM “Kalau kamu tidak berhenti, Ibu akan berteriak!” “Ibu akan marah kalau kamu tidak berhenti mengganggu.” “Kalau dapur tidak kau bersihkan seperti keadaan tadi, akan menyesal kamu.” 3. MEMAKSA, BERKHOTBAH, MENGAJAR MORAL “Jangan menganggu orang yang sedang membaca.” “Mainlah di tempat lain saja.” “Kamu tidak seharusnya bermain-main bila Ibu sedang tergesa-gesa.” “Apa saja yang habis kau pakai selalu harus kamu bersihkan sendiri.” 4. MENASEHATI, MEMBERI SARAN ATAU PEMECAHAN “Kenapa tidak bermain di luar?” “Lebih baik kau kerjakan sesuatu yang lain.” “Tidak dapatkah kamu merapikan barang-barang yang habis kamu pakai?” Jawaban-jawaban verbal semacam ini, mengkomunikasikan kepada anak, pemecahan Anda untuknya – apa yang Anda pikir harus dilakukannya. Anda yang berkuasa; Anda yang mengendalikan; Anda yang mengambil alih; Anda yang memegang kemudi. Anda tidak mengikutsertakan anak dalam pemecahan masalah ini. Jenis pesan yang pertama memerintahkan dia untuk menggunakan pemecahan Anda; yang kedua mengancamnya; yang ketiga memaksanya; dan yang keempat menasihatinya. Orang tua bertanya, ”Apa salahnya mengirimkan pemecahan orang tua – bukankah anak yang menimbulkan persoalan bagi saya?” Memang benar begitu. Tetapi memberi anak pemecahan bagi “persoalan orang tua” bisa menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut: 79

1. Anak menolak diberi tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka mungkin juga tidak suka dengan pemecahan yang Anda buat. Bagaimanapun juga, anak menolak memodifikasi tingkah laku mereka bila mereka diberi tahu bagaimana mereka harus atau seharusnya atau lebih baik berubah. 2. Mengirim pemecahan pada anak juga mengetengahkan pesan lain, “Saya tidak percaya kamu bisa memilih pemecahannya” atau “Saya berpikir kamu tidak cukup peka untuk dapat membantu saya dalam persoalan saya ini”. 3. Mengirim pemecahan adalah mengatakan pada anak bahwa kebutuhan Anda adalah lebih penting dari kebutuhannya, bahwa dia harus melakukan apa yang menurut Anda seharusnya dilakukannya, tidak peduli bagaimana kebutuhannya (“Kamu melakukan sesuatu yang tidak dapat saya terima, jadi pemecahan satu-satunya adalah apa yang saya katakan”). Seandainya seorang teman bertamu ke rumah Anda dan meletakkan kaki di atas kursi yang baru, pasti Anda tidak akan berkata: “Turunkan kaki Anda dari kursi itu sekarang juga”. “Tidak seharusnya menumpangkan kaki di atas kursi baru orang lain”. “Kalau Anda tahu apa yang baik buat Anda, Anda akan menurunkan kaki dari kursi saya”. “Saya usul supaya Anda jangan menumpangkan kaki di atas kursi saya”. Hal ini sangat menggelikan bila menyangkut teman, karena kebanyakan orang memperlakukan teman-teman dengan lebih hormat, orang-orang dewasa ingin supaya teman-teman mereka dapat “menyelamatkan muka”. Mereka juga menduga bahwa seorang teman cukup berotak untuk menemukan sendiri pemecahan persoalan Anda, bila ia sudah diberitahu duduk persoalannya. Seorang dewasa akan mengatakan kepada temannya bagaimana perasaanya. Ia akan membiarkan itu memberi reaksi yang pantas dan menduga bahwa temannya itu akan cukup menaruh perhatian pada perasaan seseorang. Mestinya, pemilik kursi ini akan mengirim pesan-pesan seperti: “Saya kuatir kursi baru saya ini mungkin tergores oleh kakimu”. “Saya seperti duduk di atas bara api karena saya lihat kakimu di atas kursi saya yang baru”. “Saya merasa tidak enak mengatakan ini, tetapi kursi-kursi ini baru kami beli dan saya ingin sekali supaya kursi-kursi ini tidak tergores”. Pesan-pesan semacam ini tidak “mengirim suatu pemecahan”. Umumnya orang mengirim jenis pesan semacam ini kepada teman-teman, tetapi jarang kepada anak-anak mereka sendiri; mereka menahan diri untuk memerintah, memaksa, mengancam, dan menasihati teman-teman untuk mengubah 80

tingkah laku mereka ke dalam suatu pola tertentu, tetapi sebagai orang tua hal seperti ini terus-menerus dilakukan terhadap anak-anak mereka. Tidak mengherankan bila anak-anak bertahan atau bereaksi dengan cara defensif dan bermusuh. Tidak mengherankan bila anak-anak merasa diremehkan, ditindas, dan dikendalikan. Tidak mengherankan bila mereka “kehilangan muka”. Tidak mengherankan bila beberapa di antaranya tumbuh menjadi orang yang penurut dan mengharapkan bahwa orang lain akan memecahkan persoalan-persoalan mereka. Orang tua sering mengeluh bahwa anak-anak mereka tidak mempunyai tanggung jawab dalam keluarga; mereka tidak mempunyai pertimbangan-pertimbangan untuk kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki orang tua mereka. Bagaimana anak akan bisa belajar tanggung jawab bila orang tua tidak memberi kesempatan kepada anak untuk mengerjakan sesuatu yang bertanggung jawab atas prakarsanya sendiri yang dilandasi oleh pertimbangan mereka mengenai kebutuhan-kebutuhan yang dipunyai orang tua mereka. Mengirim Suatu “Pesan yang Meremehkan” Setiap orang tahu bagaimana rasanya diremehkan oleh suatu pesan yang membuat kita merasa disalahkan, dinilai, ditertawakan, dikritik, atau dipermalukan. Dalam menghadapi anak-anak, orang tua biasanya bertumpu pada pesan-pesan semacam itu. “Pesan-pesan meremehkan” semacam ini, dapat dimasukkan ke dalam kategori-kategori di bawah ini: 1. MENILAI, MENGRITIK, MENYALAHKAN “Kamu mestinya tahu sendiri”. “Kamu sangat tidak memikirkan orang lain”. “Kamu memang nakal”. “Kamu adalah anak yang paling tidak punya pertimbangan”. “Kamu yang bisa menyebabkan saya mati, pada suatu hari”. 2. MENGEJEK, MENERTAWAKAN, MEMPERMALUKAN “Kamu anak manja”. “Baiklah, Tuan cerewet”. “Apa kamu ingin jadi benalu yang hanya mementingkan diri sendiri di rumah ini?” “Tidak malu kamu?” 3. MEMBUAT INTERPRETASI, MEMBUAT DIAGNOSIS, MENGANALISIS “Kamu hanya ingin diperhatikan”. “Kamu memang sengaja mau membuat saya marah”. “Kamu hanya ingin tahu sampai kapan saya dapat menahan kemarahan saya”. “Kamu selalu ingin main kalau saya ingin kerja”. 4. MENGAJAR, MEMERINTAH “Tidak sopan memotong pembicaraan orang”. “Anak-anak manis tidak melakukan hal semacam itu”. “Apa kamu senang kalau saya berbuat begitu terhadapmu?” 81

“Kenapa kamu tidak jadi anak baik sekali-kali”. “Berlakulah terhadap orang lain … dsb”. “Kami tidak meninggalkan piring-piring kami dalam keadaan kotor”. Pesan-pesan semacam ini adalah pesan-pesan yang meremehkan seseorang – pesan-pesan ini menghambat watak anak, merendahkan dirinya sebagai seorang pribadi, merusak harga dirinya, menonjolkan ketidakmampuannya, melontarkan penilaian terhadap kepribadiannya. Mereka mempersalahkan anak. Akibat-akibat apa yang mungkin ditimbulkan oleh pesan-pesan semacam itu? 1. Anak-anak sering merasa salah atau menyesa kalau mereka dinilai atau disalahkan. 2. Anak-anak merasa orang tua tidak adil – mereka merasa diperlakukan tidak adil: “Saya tidak melakukan sesuatu yang salah” atau “Saya tidak bermaksud jadi anak nakal”. 3. Anak-anak sering merasa tidak dicintai, ditolak: “Ia tidak menyukai saya, karena saya melakukan sesuatu kesalahan”. 4. Anak-anak sering menunjukkan tingkah laku yang sangat menolak terhadap pesan-pesan semacam ini – mereka mempertahankannya mati-matian. Mengubah tingkah laku yang mengesalkan orang tuanya, merupakan suatu pengakuan bahwa kritik atau penilaian orang tuanya memang benar. Reaksi anak yang umum adalah: “Aku tidak menjengkelkan kamu” atau “Piring-piring itu tidak mengganggu orang lain”. 5. Anak-anak sering membalas orang tuanya dengan bumerang: “Ibu sendiri juga tidak selalu rapi” atau “Bapak selalu letih” atau “Ibu selalu sibuk kalau ada tamu” atau “Kenapa rumah tidak bisa jadi tempat yang menyenangkan?” 6. Meremehkan membuat anak merasa tidak mampu. Keadaan ini mengurangi rasa harga dirinya. Pesan-pesan meremehkan bisa mempunyai akibat yang sangat dahsyat terhadap perkembangan citra diri anak. Anak-anak yang bertubi-tubi dijatuhi pesan-pesan yang meremehkan akan memandang dirinya sebagai orang yang tidak baik, jahat, tak berguna, malas, tak pernah memikirkan orang, tidak punya pertimbangan, “bodoh”, tidak mampu, tidak dapat diterima, dan seterusnya. Karena citra diri yang buruk yang dibentuk pada masa kanak-kanak cenderung untuk bertahan sampai dewasa, pesan-pesan yang meremehkan ini akan menaburkan benih-benih yang menghambat eseorang dalam hidupnya. Cara-cara semcam ini bila digunakan orang tua, hari demi hari berperanan dalam menggerogoti harga diri anak-anak mereka. Seperti titik- 82

titik air yang jatuh ke batu, pesan-pesan semacam ini, yang diberikan setiap hari, secara bertahap tanpa terasa merusak hidup anak-anak. CARA-CARA EFEKTIF UNTUK MENGHADAPI ANAK Apa yang diucapkan orang tua, dapat pula diperbaiki. Kebanayakan orang tua, jika mereka sudah enyadari kekuatan merusak yang ditimbulkan oleh pesan yang meremehkan, biasanya ingin sekali belajar cara-cara yang lebih efektif untuk berkonfrontasi dengan anak-anak mereka. Dalam kursus- kursusyang kami selenggarakan, kami tidak pernah menjumpai satu orang tua pun yang secara sadar ingin menghancurkan harga diri anak-anaknya. “Pesan Kamu” dan “Pesan Aku” Suatu cara yang mudah untuk menunjukkan pada Anda perbedaan antara cara efektif dan cara kurang efektif dalam berkonfrontasi dengan anak adalah dengan mengajak Anda berpikir tentang “pesan kamu” dan “pesan aku” atau “pesan saya”. Apabila kami meinta kepada orang tua untuk memeriksa pesan-pesan yang kurang efektif yang sudah disebut terdahulu, mereka heran karena menemukan hampir semuanya dimulai dengan kata “kamu” atau mengandung perkataan itu. Semua pesan-pesan ini berpusat pada “kamu”: “Kamu hentikan hal itu”. “Kamu tidak seharusnya melakukan itu”. “Jangan sesekali kamu…”. “Kalau tidak kamu hentikan hal itu, maka…”. “Kenapa tidak kamu lakukan hal ini?” “Kamu memang nakal”. “Kamu bertingkah seperti bayi”. “Kamu mau diperhatikan”. “Kenapa kamu tidak jadi anak baik?” “Kamu seharusnya tahu”. Tetapi bila orang tua mengatakan kepada anak bagaimana tingkah laku yang tidak dapat diterima itu membuat orang tuanya merasa, pesan-pesan ini biasanya berubah menjadi “pesan aku”: “Aku tidak bisa istirahat kalau seseorang naik ke pangkuanku”. “Aku tidak ingin main kalau aku lelah”. “Aku tidak bisa masak, kalau aku harus menhindari barang-barang yang berserakan di dapur ini”. “Saya ingin sekali bisa menyiapkan makan malam pada waktunya”. “Saya betul-betul merasa kesal kalau melihat dapur saya yang bersih menjadi kotor lagi”. Orang tua biasanya segera mengerti perbedaan antara “pesan aku” dan “pesan kamu”, tetapi artinya yang sebenarnya baru benar-benar dipahami 83

setelah kami kembali kepada diagram proses komunikasi, yang pertama- tama kami perkenalkan untuk menerangkan cara mendengar aktif. Hal ini membantu orang tua memahami pentingnya “pesan aku”. Bila tangkah laku anak tidak bisa diterima orang tua karena tingkah laku itu menghalangi orang tua menikmati hidup atau menghalangi halnya untuk memuaskan kebutuhannya sendiri, jelas bahwa orang tua yang “memiliki” persoalan. Ia terganggu, kecewa, lelah, cemas, terbebani, dan sebagainya. Dan untuk membiarkan anak tahu apa yang ada di dalam dirinya, orang tua harus memilih kode yang tepat. Untuk orang tua yang lelah dan tidak ingin bermain dengan anaknya yang berumur 4 tahun, diagram kita akan berbentuk sebagai berikut: ORANG TUA lelah proses Kode menterjemahkan “Saya lelah” kode Tetapi bila orang tua ini memilih suatu kode yang berorientasi pada “kamu”, dia tidak akan mengkodekan “perasaan lelahnya” secara tepat: ORANG TUA lelah proses Kode menterjemahkan “Kamu tukang ganggu” kode “Kamu tukang ganggu” adalah suatu kode yang sangat buruk bagi perasaan lelah orang tua. Suatu kode yang jelas dan tepat selalu akan bersifat “pesan aku”: “Saya lelah”, “Saya merasa tidak sanggup bermain”, “Saya ingin beristirahat”. Hal-hal ini mengkomunikasikan apa yang dirasakan orang tua. Suatu kode “pesan kamu” tidak menyertakan perasaan. Kode ini lebih menunjuk anak daripada orang tua. Suatu “pesan kamu” adalah berpusat pada anak, bukan pada orang tua. Perhatikan pesan-pesan ini dari segi apa yang didengar anak: ORANG TUA ANAK lelah proses Isyarat proses “Saya menterjemahkan menterjemahkan jahat” “Kamu kode tukang ganggu” kembali kode 84

ORANG TUA ANAK lelah proses Isyarat proses “Ayah pemberian penguraian lelah” “Saya kode sangat lelah” kode Pesan yang pertama, diuraikan oleh anak sebagai suatu penilaian terhadap dirinya. Yang kedua, diuraikan sebagai pernyataan sebuah fakta tentang orang tua. “Pesan kamu” merupakan cara yang buruk untuk mengkomunikasikan apa yang dirasakan orang ua, karena pesan semacam ini akan diterima anak sebagai sesuatu yang harus ia lakukan (mengirim pemecahan) atau bagaimana jeleknya dia itu (menyaahkan atau memberi penilaian). Mengapa “Pesan Aku” Lebih Efektif “Pesan aku” lebih efektif untuk mempengaruhi anak mengubah tingkah laku yang tidak dapat diterima orang tua, dan pesan-pesanini juga lebih sehat untuk hubungan orang tua – anak. “Pesan aku” tidak mengundang penentangan dan pemberontakan. Untuk dengan jujur mengatakan kepada anak akibat dari tingkah lakunya terhadap diri Anda adalah kurang mengancam dibandingkan bila kita mengatakan bahwa ada sesuatu yang buruk pada dirinya karena ia bertingkah laku seperti itu. Pikirkanlah perbedaan besar yang ada pada reaksi anak terhadap dua macam pesan yang berikut ini, yang dikirimkan orang tua setelah seorang anak menendang tulang keringnya: “Aduh! Saya kesakitan sekali – saya tidak suka ditendang”, dengan “Kalau begini kamu anak jahat. Jangan menendang orang seperti itu”. Pesan yang pertama hanya mengatakan pada anak bagaimana tendangannya itu Anda rasakan, suatu fakta yang tidak dapat dibantahnya. Yang kedua mengatakan pada anak bahwa ia “jahat” dan memperingatkannya supaya tidak melakukannya lagi, kedua-duanya dapat dibantah. Dan barang kali akan sangat ditentangnya. “Pesan aku” juga lebih efektif karena dalam pesan-pesan semacam ini tanggung jawab untuk mengubah tingkah laku diletakkan pada diri anak sndiri. “Aduh! Saya kesakitan sekali” dan “Saya tidak suka ditendang” mengatakan pada anak bagaimana preasaan Anda, tetapi membiarkan anak Anda bertanggung jawab untuk berbuat sesuatu bagi hal itu. Dengan demikian, “Pesan aku” membantu anak tumbuh, membantunya untuk belajar mengambil tanggung jawab bagi tingkah lakunya sendiri. Suatu “pesan aku” mengatakan pada anak bahwa Anda meletakkan tanggung jawab pada dirinya, mempercayainya untuk dapat menanggulangi situasi tersebut dengan baik, mempercayainya bahwa dia akan 85

memperhatikan kebutuhan Anda, dan memberinya kesempatan untuk bertingkah laku konstruktif. Karena “pesan aku” itu pesan jujur, pesan-pesan semacam ini cenderung mempengaruhi anak untuk juga mengirim pesan-pesan yang jujur bilamana dia mempunyai suatu perasaan tertentu. Dalam suatu hubungan timbal- balik, bila satu pihak mengirim “pesan aku” maka pihak lain akan cenderung untuk melakukan hal serupa. Inilah sebabnya, bila terjadi kemunduran dalam suatu hubungan timbal-balik, sering timbul konflik yang berakhir pada saling menyalahkan dan saling menuduh: ORANG TUA: “Kamu tidak punya tanggung jawab sama sekali sekarang. Mencuci piring sendiri sesudah sarapan saja tidak mau,” (“pesan kamu”) ANAK: “Ibu juga tidak selalu mencuci piring tiap pagi,” (“pesan kamu”) ORANG TUA: “Itu lain – Ibu punya banyak pekerjaan lain, membersihkan kamar anak-anak jorok,” (“pesan kamu”) ANAK: “Saya tidak jorok,” (pesan defensif) ORANG TUA: “Kamu sama brengseknya seperti yang lain,” (“pesan kamu”) ANAK: “Ibu mengharapkan supaya setiap orang sempurna,” (“pesan kamu”) ORANG TUA: “Hm, kamu masih perlu banyak belajar banyak dalam hal kebersihan rumah,” (“pesan kamu”) ANAK: “Ibu sekarang cerewet benar,” (“pesan kamu”) Percakapan ini adalah percakapan yang banyak terjadi antara orang tua dan anak-anak, bila orang tua memulai konfrontasinya dengan suatu “pesan kamu”. Biasanya berakhir dengan pertikaian, dan keduanya ganti-berganti bertahan dan menyerang. “Pesan aku” hampir tidak menimbulkan pertentangan semacam ini. Ini tidak berrti bahwa bila orang tua mengirim “pesan aku”, semuanya akan manis seperti madu. Ini dapat dimengerti, karena anak-anak idak ingin mendengar tingkah laku mereka menimbulkan persoalan bagi orang tuanya (sama seperti orang dewasa, yang tidak pernah merasa enak bila seseorang menunjukkan fakta bahwa tingkah lakunya menimbulkan rasa sakit dalam diri orang lain). Bagaimanapun juga, mengatakan pada seseorang apa yang Anda rasakan jauh kurang mengancam daripada menuduhnya sebagai penyebab perasaan yang kurang nyaman. Diperlukan keberanian untuk mengirimkan “pesan-pesan aku”, tetapi keuntungan biasanya cukup berarti dibandingkan dengan risikonya. Diperlukan keberanian dan perasaan aman supaya seseorang dapat membeberkan perasaan-perasaannya dalam berhubungan dengan orang lain. Pengirim “pesan aku” yang jujur mengambil risiko bahwa orang lain akan tahu bagaimana dia sebenarnya. Ia membuka dirinya sendiri – menjadi “nyata”, “transparan”, “tulus”, memperlihatkan “kemanusiaannya”. Ia menunjukkan pada pihak lain bahwa ia adalah seorang pribadi yang dapat 86

disakiti, merasa malu atau takut atau kecewa atau marah atau putus asa, dan sebagainya. Bagi seseorang, memperlihatkan apa yang ia rasakan berarti membuka diri untuk diteliti oleh orang lain. Bagaimana pendapat orang lain tentang saya? Apakah saya akan ditolak? Apakah orang lain akan memandang rendah saya? Orang tua, terutama, merasa sukar untuk bersikap tulus terhadap anak-anak, karena mereka ingin dilihat sebagai orang yang tak punya kekurangan – tanpa kelemahan, tidak mudah tersinggung, seimbang. Untuk kebanyakan orang tua, memang jauh lebih mudah untuk menyembunyikan perasaan mereka di balik “pesan kamu” yang meletakkan kesalahan pada diri anak daripada harus membeberkan perasaan manusiawi. Barangkali, manfaat terbesar yang dirasakan orang tua dengan bersikap tulus adalah bahwa sikap ini memperbaiki hubungan dengan anak. Kejujuran dan keterbukaan membuat akrab – suatu hubungan yang benar- benar antar pribadi. Bila anak saya mengenal saya seperti apa adanya, maka ia akan terdorong untuk menunjukkan kepada saya bagaimana dia sebenarnya. Daripada memperkembangkan hubungan antar-dua orang asing, yang kita perkembangkan adalah suatu hubungan antar-dua orang karib. Hubungan kami menjadi hubungan yang sejati – dua pribadi yang sejati, yang mau mengerti kenyataan pihak lain. Bila orang tua dan anak belajar untuk terbuka dan jujur satu sama lain, mereka tidak lagi “orang-orang asing di satu rumah”. Orang tua dapat berbahagia menjadi orang tua dari suatu pribadi yang benar-benat nyata – dan anak-anak berbahagia karena dikaruniai orang tua yang bertindak selaku manusia-manusia sejati. 87

7 Menerapkan “Pesan Aku” Para orang tua di dalam kursus MOE dengan gembira menyambut pengarahan mengenai bagaimana mengubah perilaku anak yang tidak dapat mereka terima. Bahkan ada yang berseru: “Saya tidak tahan menunggu sampai pulang untuk mencoba menerapkannya pada anak saya yang kelakuannya sudah lama menjengkelkan saya”. Biasanya orang tua yang baru saja mengikuti kursus ini belum memperoleh hasil sebagaimana mereka harapkan. Paling tidak, pada mulanya. Kami dengan demikian membahas kesalahan-kesalahan yang sering dibuat ketika mereka mencoba menerapkan “pesan aku”, dan membantu meningkatkan ketrampilan mereka, dengan memberikan banyak contoh-contoh. ”Pesan Kamu” yang Terselubung Tuan G, ayah dari dua remaja, masuk kelas dan melaporkan bahwa usahanya untuk menerapkan “pesan aku” pertama kali, telah gagal. “Anak saya, Paul, kebalikan daripada apa yang Anda ceritakan pada kami, langsung mulai mengarahkan “pesan kamu”-nya sendiri pada saya, sebagaimana biasa ia lakukan”. “Apakah Anda telah menggunakan “pesan aku”?”, tanya pembina. “Tentu saja – atau saya kira demikianlah; pokoknya saya telah berusaha”, jawab Tuan G. Pembina menyarankan agar situasi tersebut diperagakan di dalam kelas, dia sendiri akan memainkan peran Paul dan Tuan G mengambil peranannya sendiri. Sesudah menjelaskan situasinya di hadapan kelas, Tuan G mulai mengulangi peristiwanya: TUAN G: “Saya rasa, kau boleh melalaikan tugas-tugasmu di rumah.” PAUL: “Maksudnya?” TUAN G: “Yah, misalnya tugasmu memotong rumput. Saya merasa jengkel setiap kali kau kbur begitu saja. Seperti Sabtu yang lalu. Saya gusar padamu karena diam-diam kau pergi tanpa memotong rumput halaman belakang. Saya kira itu tidak bertanggung jawab, dan hal yang seperti itu membuat saya jengkel.” Pada saat ini pembina menghentikan peragaan dan berkata pada Tuan G, “Saya telah mendengar bahwa Anda telah banyak mengemukakan perasaan Anda, tetapi baiklah kita menanyakan pada kelas apakah mereka menangkap sesuatu yang lain”. Salah seorang ayah di kelas langsung menyela, “Dalam beberapa detik Anda telah mengatakan pada Paul bahwa ia lalai, ia gagal, ia licik, dan tidak bertanggung jawab”. 88

“O ya. Betukah demikian? Ya,barangkali demikian”, kata Tuan G malu- malu. “Yang tadi kedengarannya seperti “pesan kamu”. Tuan G, benar. Ia telah membuat kesalahan sebagaimana banyak dilakukan orng tua pada awal mula mengirim “pesan kamu” di bawah selubung penggunaan “Saya rasa” pada awal penyampaian pesan. Kadang kala perlu menghadapkan orang tua kepada situasi sebenarnya, untuk menunjukkan mereka bahwa pernyataan “Saya rasa bahwa Anda seorang pengecut”, sama saja dengan suatu “pesan kamu” seperti “Kamu seorang pengecut”. Para orang tua diberi petunjuk untuk menghilangkan “Saya rasa” dan menyatakan saja apa yang sebenarnya mereka hayati seperti “Saya kecewa”, “Saya ingin agar halaman nampak rapi pada hari Minggu”, atau “Saya kesal karena kupikir kita telah bersepakat bersama- sama bahwa halaman rumah dibersihkan setiap hari Sabtu”. Jangan Terpaku pada yang Negatif Kesalahan lain yang sering dilakukan oleh para orang tua yang baru saja menjalani latihan adalah menyampaikan “pesan aku” untuk menyatakan perasaan-perasaan negatif mereka, dan lupa menyampaikan “pesan aku” mengenai perasaan positif mereka. Ny. K dan anaknya, Linda, telah bersepakat bahwa Linda akan pulang ke rumah tidak melebihi pukul 12.00 malam sehabis nonton film. Linda akhirnya baru muncul pukul 01.30. Ibunya telah berjaga selama satu setengah jam dan khawatir setengah mati kalau-kalau telah terjadi sesuatu atas diri Linda. Peragaan oleh Ny. K mengenai kejadian tersebut adalah sebagai berikut: NY. K: (pada saat Linda memasuki ruangan) “Saya marah padamu.” LINDA: “Saya tahu, saya terlambat.” NY. K: “Saya jengkel padamu karena telah membuat saya tidak bisa tidur.” LINDA: “Mengapa Ibu tidak bisa tidur? Sebaiknya Ibu tidur saja dan tidak perlu khawatir.” NY. K: “Bagaimana mungkin? Saya begitu cemas mengenai kamu dan khawatir setengah mati bahwa teah terjadi sesuatu atas dirimu. Saya betul-betul kecewa terhadapmu karena tidak menepati janjimu.” Pembina menghentikan peragaan dan berkata kepada Ny. K, “Anda telah menyampaikan beberapa “pesan aku” yang baik namun hanya yang negatif saja. Apa yang sesungguhnya Anda rasakan ketika Linda masuk melewati pintu depan? Apakah perasaan yang pertama timbul?” Cepat-cepat Ny. K menjawab, “Saya betul-betul lega bahwa Linda selamat sampai di rumah. Saya ingin memeluk dia dan menceritakan padanya bagaimana senangnya saya melihatnya selamat tanpa kekurangan apa-apa”. 89

“Saya percaya”, sahut pembina. “Sekarang saya akan menjadi Linda kembali, sampaikan pada saya perasaan Anda yang sesungguhnya berupa ‘pesan aku’. Kita coba kembali”. NY. K: “Oh, Linda, syukur pada Tuhan bahwa kau telah selamat sampai di rumah. Saya senang melihatmu kembali. Lega rasanya (memeluk pembina). Saya begitu takut kalau-kalau terjadi sesuatu atas dirimu.” LINDA: “Aduh, Ibu betul senang melihat saya, ya!”. Pada saat itu, kelas bertepuk tangan untuk Ny. K, sebagai pernyataan kekaguman dan kesenangan mereka terhadap pertemuan kedua yang sama sekali berbeda sifatnya, dimulai dengan mengemukakan perasaan “pada keadaan dan saat itu” yang paling dirasakan. Kemudian terjadilah suatu diskusi yang mengasyikkan mengenai kesempatan-kesempatan baik yang telah terlewatkan di mana sesungguhnya orang tua dapat secara terus terang menyatakan perasaan-perasaan positif dan penuh kasih sayang. Karena bersemangat untuk “memberi pelajaran pada anak-anak kita”, kesempatan- kesempatan yang berharga untuk memberi mereka pelajaran yang jauh lebih dasar sifatnya sering terlewatkan. Seperti misalnya, bahwa kita begitu mencintai mereka, bahwa kita sangat menderita apabila mereka sampai terluka ataupun terbunuh. Setelah pertama-tama menyampaikan pernyataan tulus mengenai apa yang terkandung dalam hati sanubari Ny. K, masih ada cukup waktu menghadapkan Linda kekecewaan-kekecewaan ibunya mengenai pelanggaran yang telah dilakukan putrinya itu. Suatu percakapan yang berbeda sama sekali tentu akan terjadi bila pembicaraan dimulai dengan menyampaikan suatu “pesan aku” yang positif. Menyuruh Anak Melakukan Pekerjaan Orang Dewasa Para orang tua di dalam kursus MOE sering mendengar mengenai penggunaan “pesan aku” yang lemah. Banyak di antara mereka mengalami kesukaran pada mulanya untuk menyampaikan “pesan aku” sesuai dengan intensitas atau besarnya perasaan mereka. Biasanya bila ada orang tua yang tidak tepat mengungkapkannya, maka penggunaan “pesan aku” itu tidak mempengaruhi anak dan tidak mengubah tingkah laku. Ny. B melaporkan sesuatu kejadian di mana putranya, Bambang, tidak mengubah tingkah laku yang tidak dapat diterima, sekalipun Ny. B merasa telah menyampaikan “pesan aku”, dengan baik. Bambang, berumur 6 tahun, memukul kepala adik lelakinya yang masih bayi, dengan raket tenis ayahnya, yang sedang dimainkannya. Ibu mengirim “pesan aku”, tetapi Bambang meneruskan dan mengulangi penganiayaan yang berbahaya itu terhadap adiknya. 90

Pada waktu kejadian itu diperagakan di dalam kelas, menjadi jelas bagi orang tua lainnya bahwa Ny. B telah keliru karena mengungkapkan perasaannya secara tidak tepat. Ny. B:”Bambang, saya tidak suka kau memukul Budi” “Saya terkejut, Ny. B”, kata pembina, “Anda mempunyai perasaan begitu lemah mengenai keadaan si bungsu yang dipukul keras-keras dengan raket tenis”. “Oh, saya begitu ketakutan kalau-kalau kepalanya yang kecil itu terluka parah, saya yakin akan melihat darah bercucuran di kepalanya”. “Kalau demikian”, kata pembina, “sertakan perasaan yang begitu kuat itu ke dalam “pesan aku” yang sesuai dengan intensitas perasaan Anda sebenarnya”. Dengan anjuran untuk lebih jujur mengenai perasaannya yang sebenarnya, Ny. Bkemudian dengan tegas berseru, “Bambang, saya takut setengah mati kalau Budi dipukul di kepala! Saya betul-betul tidak akan senang bila ia begitu disakiti. Dan saya menjadi marah sekali bila melihat seseorang yang lebih besar menyakiti orang lain yang jauh lebih kecil. Ooooh, saya begitu takut kepalanya berdarah”. Ny. B dan orang tua lainnya di dalam kelas setuju bahwa untuk kali ini tidak “menyuruh anak kecil menjalankan pekerjaan orang dewasa”. “Pesan aku” yang kedua ini, yang jauh lebih sesuai dengan perasaannya yang sebenarnya mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk mempengaruhi Bambang. Menghadapi Letusan Merapi Beberapa orang tua, sesudah mempelajari “pesan aku”, sesampainya di rumah segera mulai bersemangat menghadapi anak-anak mereka, tetapi berakhir dengan menyemburkan dan memuntahkan emosi mereka yang tertahan itu bagaikan gunung berapi. Seorang ibu kembali ke kelas dan menceritakan bahwa ia menghabiskan minggu itu dengan marah-marah pada kedua anaknya. Satu-satunya ersoalan adalah bahwa anak-anaknya sangat takut dengan ledakan emosi ibu mereka. Ternyata bahwa ada beberapa orang tua yang menafsirkannya sebagai izin untuk melampiaskan perasaan marah mereka terhadap nak-anak, sehingga memaksa saya untuk meninjau kembali fungsi persaan marah dalam hubungan orang tua – anak. Peninjauan kembali yang kritis mengenai perasaan merah ini memberi banyak penjelasan pada pemikiran saya sendiri dan membawa saya pada suatu rumusan baru mengenai sebab- sebab orang tua melampiaskan kemarahan mereka, mengapa keadaan itu berakibat kurang baik bagi anak-anak, dan bagaimana caranya menolong orang tua menghindari rasa marah. 91

Tidak seperti perasaan-perasaan lain, perasaan marah itu selalu diarahkan pada orang lain. “Saya marah” merupakan suatu pesan yang biasanya berarti “Saya marah padamu” atau “Kamu membuat saya marah”. Jelas merupakan “pesan kamu” dan bukan suatu “pesan aku”. Orang tua tidak dapat menyembunyikan “pesan kamu” dengan menyatakan sebagai “Aku merasa marah”. Akhirnya pesan yang demikian itu tertangkap sebagai suatu “pesan kamu” oleh anak-anak. Anak mengira bahwa ia dipersalahkan sebagai orang yang menyebabkan orang tuanya menjadi marah. Diduga pengaruh terhadap anak adalah bahwa ia merasa diremehkan, dipersalahkan, dan merasa berdosa sama dengan akibat “pesan kamu” lainnya. Saya kini yakin bahwa perasaan marah adalah sesuatu yang dibangkitkan oleh orang tua, setelahia mengalami suatu perasaan lain sebelumnya. Orang tua membuat kemarahan sebagai akibat dari suatu perasaan yang primer. Demikian proses kerjanya: Saya sedang mengendarai mobil sepanjang jalan raya dan sebuah mobil lain memotong jalan di dekat bumper kiri depan. Perasaan utama saya adalah takut, tingkah lakunya membuat saya takut. Sebagai akibat dari tindakannya yang membuat saya ketakutan, beberapa detik kemudian, saya membunyikan klakson saya dan “bersikap marah”, dan bahkan mencaci-maki seperti “Bangsat, mengapa kamu tidak belajar mengendarai mobil dengan baik”, suatu pesan singkat yang oleh siapa pun tidak dapat disangkal merupakan suatu “pesan kamu” yang murni. Fungsi dari “sikap marah”itu adalah untuk menghukum pengemudi itu, atau untuk membuatnya merasa berdosa karena telah membuat saya menjadi takut, agar supaya ia tidak mengulanginya. Dalam sebagian besar kasus, orang tua yang marah menggunakan kemarahan mereka untuk memberi pelajaran pada anak. Seorang ibu kehilangan anaknya di dalam sebuah toko serba ada. Perasaannya yang primer adalah takut. Ia takut kalau-kalau telah terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan atas diri anak itu. Apabila ada yang bertanya padanya apa yang dirasakan sewaktu mencari anak itu, ibu ini akan berkata “Saya takut setengah mati” atau “Saya khawatir sekali dan takut”. Apabila ia akhirnya menemukan kembali anaknya, ia lega. Kepada dirinya ia berkata, “Oh Tuhan terima kasih, anakku selamat”. Akan tetapi, pernyataannya berbeda sama sekali. Dengan sikap marah ia akan berseru misalnya “Anak nakal!” atau “Saya marah padamu! Mengapa kamu sebodoh itu dan pergi meninggalkan saya?” ataupun “Sudah saya katakan untuk tetap berada di dekat saya bukan?” Di dalam situasi ini, sang ibu melontarkan kemarahannya (perasaan sekunder), dan hendak memberi suatu pelajaran pada anak atau menghukum dia karena telah membuat dirinya khawatir. Sebagai perasaan sekunder, hampir selalu menjadi suatu “pesan kamu” yang menunjukkan suatu penilaian dan menyalahkan si anak. Saya yakin 92


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook