Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore menjadi orang tua efektif

menjadi orang tua efektif

Published by perpus smp4gringsing, 2021-12-09 04:27:13

Description: menjadi orang tua efektif

Search

Read the Text Version

perlu diingatkan, bahwa dalam keadaan di mana tidak ada orang dewasa, anak-anak sering menyelesaikan konflik mereka dengan metode anti-kalah – di sekolah, di lapangan, dalam permainan dan olahraga, dan di mana- mana. Bila ada orang dewasa, dan orang ini membiarkan dirinya ditarik sebagai hakim atau wasit, anak-anak cenderung untuk menggunakan orang dewasa ini, masing-masing menghimbau kepada kekuasaan yang dimiliki orang ini dalam usahanya untuk menang dan harganya adalah kekalahan yang lain. Biasanya orang tua menyambut metode anti-kalah ini untuk menyelesaikan konflik antar-anak, karena hampir semua orang tua punya pengalaman buruk dalam usaha mereka menyelesaikan suatu konflik; seorang anak merasa bahwa keputusan orang tua adalah tidak adil dan bereaksi dengan kesal dan memusuhi orang tua. Kadang-kadang orang tua membangkitkan kemarahan kedua anak ini, mungkin karena tidak memberikan kepada kedua anak ini apa yang mereka pertengkarkan (“Sekarang tak seorang pun yang boleh main truk”). Banyak orang tua, sesudah mereka mencoba pendekatan anti-kalah dan menempatkan tanggung jawab untuk menemukan jalan keluar pada diri anak-anak sendiri, mengatakan pada kami betapa leganya mereka dapat menemukan jalan untuk tidak berperan sebagai hakim atau wasit. Mereka berkata kepada kami: “Sungguh lega merasa bahwa saya tidak usah harus menyelesaikan pertengkaran mereka. Biasanya saya selalu jadi orang yang jahat tak peduli apa keputusan saya”. Hasil lain yang dapat diramalkan bila anak dibiarkan menyelesaikan konflik mereka sendiri dengan metode anti-kalah adalah bahwa lambat-laun mereka berhenti mengadakan pertengkaran dan pertikaian mereka kepada orang tua. Mereka belajar bahwa pergi kepada orang tua hanya berarti bahwa akhirnya mereka juga yang menemukan jalan keluar sendiri. Akibatnya, mereka meninggalkan kebiasaan lama ini dan mulai menyelesaikan konflik-konflik mereka tanpa tergantung pada orang lain. Hanya sedikit orang tua yang tidak mengakui keunggulan cara ini. BILA KEDUA ORANG TUA TERSANGKUT DALAM KONFLIK ORANG TUA – ANAK Persoalan yang rumit kadang-kadang dijumpai dalam keluarga bila mereka menghadapi konflik dengan anak di mana kedua orang tua mempunyai kepentingan. Setiap Orang untuk Diri Sendiri Yang paling penting adalah bahwa masing-masing orang tua harus memasuki pemecahan anti-kalah sebagai “pelaku bebas”. Keduanya jangan mengharap bahwa mereka mempunyai “satu pandangan” atau mempunyai pendapat sama atas setiap konflik, meskipun kadang-kadang hal ini bisa terjadi. Isi pokok dalam pemecahan anti-kalah adalah bahwa masing- 193

masing orang tua harus mengatakan dengan tepat perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Masing-masing orang tua adalah peserta yang mandiri dan unik di dalam pemecahan konflik dan harus berpikir mengenai pemecahan persoalan sebagai proses yang mencakup tiga atau lebih pribadi yang terpisah, bukan orang tua bersatu melawan anak- anak. Beberapa jalan keluar yang dapat dipertimbangkan selama pemecahan persoalan mungkin dapat diterima oleh ibu tetapi tidak oleh ayah. Kadang- kadang, ayah dan putranya yang remaja mempunyai pendapat yang sama dalam satu hal tertentu dan ibu mempunyai sudut pandangan yang berlainan. Kadang-kadang ibu bersatu lebih erat dengan putranya, sedangkan ayah menghendaki penyelesaian lain. Kadang-kadang ibu dan ayah mempunyai pandangan yang berdekatan dan sudut pandangan anak- anak mereka yang remaja berbeda dengan pandanga mereka. Kadang- kadang masing-masing peserta tidak mempunyai kecocokan dengan yang lain. Keluarga yang mempraktekkan metode anti-kalah menemukan bahwa semua kombinasi ini bisa saja terjadi, tergantung pada sifatkonflik. Kunci untuk pemecahan anti-kalah adalah bahwa perbedaan-perbedaan ini akan terus dibicarakan sampai ditemukan suatu jalan keluar yang dapt diterima oleh setiap orang. Dalam kursus yang kami selenggarakan, kami belajar dari orang tua, macam konflik mana yang paling membawa perbedaan nyata antara bapak- bapak dan ibu-ibu: 1. Para bapak sering sepihak dengan anak dalam hal konflik yang menyangkut luka fisik anak-anak. Pada bapak tampaknya lebih dapat menerima daripada ibu-ibu – hal yang tak dapat dielakkan yaitu bahwa anak-anak suatu waktu akan luka. 2. Para ibu dibandingkan dengan para ayah, rupa-rupanya lebih sepaham dengan anak gadisnya dalam hal hubungan pria-wanita dan semua yang bersangkutan dengan hal ini, yaitu: berdandan, tuntutan potongan baju, kencan, telepon, dan sebagainya. Ayah seringkali menolak melihat gadisnya berkencan dengan pria-pria muda. 3. Para bapak dan para ibu sering tidak sepaham dalam persoalan yang menyangkut kendaraan keluarga. 4. Para ibu dibandingkan dengan para bapak, biasanya mempunyai tuntutan lebih tinggi dalam hal kerapian dan kebersihan rumah. Soalnya ialah,para ibu dan para bapak memang berbeda, dan perbedaan- perbedaan ini seandainya masing-masing orang tua mau benar-benar jujur – mau tak mau akan muncul dalam konflik antara orang tua dan anak-anak mereka. Dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan yang ada antara ibu dan bapak dalam pemecahan konflik – memperlihatkan segi kemanusiaan mereka kepada anak-anak – orang tua akan memperoleh jenis rasa hormat 194

dan kasih sayang baru dari putra-putri mereka. Dalam hal ini anak-anak tidak berbeda dari orang-orang dewasa – mereka juga mencintai orang yang mempunyai sifat manusiawi dan mereka tidak mempercayai mereka yang tidak manusiawi. Mereka menginginkan orng tua seperti apa adanya, tidak bersandiwara memainkan peranan “orang tua” dengan selalu saling setuju, tidak peduli apakah persetujuan itu benar-benar dihayati atau tidak. Salah Satu Menggunakan Metode III, yang Lain Tidak Dalam kursus MOE kami sering ditanya apakah mungkin untuk menyelesaikan konflik dengan Metode III yang anti-kalah itu bila pendekatan ini hanya dilakukan oleh salah satu orang tua saja sedangkan yang lain tidak menggunakannya. Pertanyaan ini muncul karena tidak semua peserta yang mengikuti kursus ini bersama dengan pasangannya, meskipun kami sangat menganjurkan supaya kedua orang tua mengikuti kursus ini. Dalam beberapa kasus, di mana hanya satu orang tua yang menggunakan metode anti-kalah, barangkali seorang ibu, dengan sederhana ia mulai menyelesaikan semua konflik-konfliknya dengan anak dengan menggunakan metode anti-kalah dan membiarkan ayah terus menggunakan Metode I dalam konflik-konfliknya. Ini mungkin tidak banyak menimbulkan kesukaran, kecuali bahwa anak-anak menyadari perbedaan yang terjadi, sering mengeluh kepada ayah bahwa mereka tidak lagi menyukai pendekatannya dan mengharap bahwa ia mau menyelesaikan konflik-konfliknya dengan cara yang digunakan ibu. Beberapa ayah menjawab keluhan ini dengan mengikuti kursus MOE yang berikutnya. Ayah semacam ini adalah ayah yang muncul pada acara pertama kursus MOE dan mengatakan: “Malam ini saya ada di sini sebagai suatu cara untuk mempertahankan diri, saya kira, karena saya mulai melihat akibat-akibat baik yang didapat istri saya dengan metodenya yang baru. Hubungannya dengan anak-anak telah membaik sedangkan hubungan saya tidak. Mereka bercakap-cakap dengan istri saya tapi tak mau bercakap-cakap dengan saya”. Ayah yang lain, dalam acara kursus yang pertama yang diikutinya di mana istrinya sudah lebih dahulu mengikuti kursus sebelumnya, memberikan komentar ini: “Saya ingin mengatakan kepada Anda, para wanita yang mengikuti kursus ini tanpa suami-suami Anda, apa yang mungkin dapat Anda harapkan sehubungan dengan suami Anda. Bila Anda mulai menggunakan cara mendengarkan yang baru dan bagaimana berhadapan serta menyelesaikan, persoalan dengan cara baru, suami-suami Anda akan merasa disakiti dan dikucilkan. Ia akan merasa bahwa perannya sebagai ayah dirampas daripadanya. Anda akan mendapat hasil, sedangkan dia tidak. Saya mengamuk kepada istri dan berkata, “Apa yang kau harapkan dari padaku – aku tak akan mengikuti 195

kursus terkutuk itu”. Pahamkah Anda mengapa sekarang ini saya berkata bahwa saya tidak dapat tidak mengikuti kursus ini?” Beberapa ayah yang tidak mempelajari ketrampilan-ketrampilan baru ini dan tetap puas dengan cara pendekatan Metode I, sering mengalami masa- masa yang kurang menyenangkan. Seorang istri bercerita kepada kami bahwa ia mulai memiliki rasa kesal yang berkembang menjadi permusuhan dengan suaminya karena ia tidak tahan melihat suaminya menyelesaikan konflik dengan kekuasaan. “Sekarang inisaya melihat betapa besarnya kekerasan yang ditimbulkan oleh Metode I terhadap anak dan saya tidak bisa tinggal diam melihat dia menyakiti anak-anak dengan cara ini”, ia bercerita kepada peserta kursus. Seorang lain berkata, “Saya bisa melihat bahwa ia merusak hubungannya dengan anak-anak dan hal ini membuat rasa kecewa dan sedih. Mereka membutuhkan hubungan dengan ayah, tetapi tampaknya hubungan ini memburuk dengan cepat”. Beberapa ibu memohon bantuan peserta lainnya dalam kursus MOE tersebut untuk mendapatkan keberanian untuk secara terbuka dan jujur menghadapi suaminya. Saya ingat seorang ibu muda yang menarik,yang mendapat bantuan peserta kursus untuk melihat seberapa besar sebenarnya rasa takutnya kepada suaminya, dan karena ini ia menghindar untuk membukakan perasaan-perasaannya kepada suaminya sehubungan dengan Metode I yang digunakan suaminya itu. Tidak tahu bagaimana, dengan membicarakan hal ini dalam kursus MOE, ia mendapat cukup keberanian untuk pulang ke rumah dan menyatakan kepada suaminya perasaan- perasaan yang telah ditelitinya di dalam kelas MOE: “Saya terlalu mencintai anak-anak sehingga tak bisa tinggal diam melihat kamu menyakiti mereka. Saya tahu, apa yang saya pelajari dalam MOE adalah lebih baik untuk anak-anak, dan saya ingin kamu juga memepajari metode ini. saya selamanya takut padamu dan saya bisa melihat bagimana kamu juga membuat anak-anak takut padamu”. Akibat keterbukaan ini mengherankan sang ibu. Untuk pertama kalinya dalam hubungan mereka, suami mendengarkannya sampai selesai. Suaminya berkata bahwa dia tidak sadar bagaimana dia menindas istri dan anak-anaknya, dan sebagai akibatnya, dia setuju untuk mengikuti kursus MOE berikutnya. Bila salah seorang terus menerapkan Metode I, keterbukaan tidak selalu berpengaruh baik seperti dalam contoh tadi. Saya yakin bahwa dalam beberapa keluarga tertentu, persoalan ini tidak pernah terselesaikan. Meskipun kami jaran mendengar hal ini, mestinya ada beberapa suami dan istri yang tidak pernah serasi dalam cara mereka menyelesaikan konflik. Atau pada keadaan-keadaan tertentu, salah satu orang tua yang sudah dilatih menggunakan metode-metode MOE barangkali malah kembali kepada caranya yang lama karena tekanan dari pasangannya yang menolak berhenti menggunakan cara kekuasaan untuk menyelesaikan konflik. 196

”DAPATKAH KAMI MENGGUNAKAN KETIGA METODE TERSEBUT?” Kadang-kadang kami menghadapi orang tua yang menerima kebenaran dan percaya kepada keampuhan pendekatan anti-kalah, tetapi tidak mau melepaskan kedua pendekatan kalah-menang yang lain. “Apakah orang tua yang baik tidak menggunakan campuran yang dapat dipertanggungjawabkan ketiga metode ini, tergantung pada sifat dari persoalannya?’, tanya seorang ayah dalam salah satu kursus kami. Memang dapat dipahami ketakutan orang tua untuk melepaskan semua kekuasaan mereka terhadap anak-anak, tetapi sudut pandangan ini tidaklah dapat dipertahankan. Seperti halnya tidak mungkin untuk “sedikit hamil”, juga tidak mungkin untuk “sedikit demokratis” dalam konfik orang tua – anak. Pertama-tama, kebanyakan orang tua yang ingin kombinasi dari ketiga metode ini sesungguhnya bermaksud untuk “menyimpan hak” supaya dapat menggunakan Metode I untuk konflik yang benar-benar genting. Diterjemahkan ke dalam bahasa yang sederhana, sikap mereka adalah: “Dalam persoalan yang tak terlalu penting, saya akan membiarkan mereka turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan, tetapi saya akan mempertahankan hak saya untuk menentukan dalam persoalan-persoalan yang genting”. Pengalaman kami melihat orang tua mencoba menggunakan pendekatan ini adalah, singkatnya, pendekatan ini tidak berhasil. Anak-anak, sekali mendapat kesempatan untuk merasakan bagaimana enaknya menyelesaikan konflik tanpa kalah, merasa tidak senang biala orang tua kembali ke Metode I. Atau mungkin mereka akan kehilangan semua minat untuk melaksanakan Metode III dalam hal persoalan-persoaalan yang tidak penting, karena mereka merasa begitu kesal karena kalah dalam persoalan-persoalan yang lebih penting. Akibat lebih lanjut dari penggunaan pendekatan campuran ini adalah anak-anak memperkembangkan rasa tidak percaya kepada orang tua bila mereka mencoba menggunakan Metode III, karena anak-anak telah belajar, pabila menghadapi kartu mati berupa persoalan yang sangat mempengaruhi orang tua, akhirnya orang tua juga menang. Maka, apa sebabnya mereka harus berusaha mencari pemecahan masalah? Setiap kali terjadi konflik besar, mereka tahu bahwa ayah akan menggunakan kekuasaannya untuk menang. Beberapa orang tua dapat juga berhasil dengan kadangkadang menggunakan Metode I untuk persoalan-persoalan yang tidak menyangkut emosi-emosi yang kuat pada anak-anak – persoalan yang kurang penting – tetapi Metode III harus selamanya dipakai bila suatu konflik sangat genting, mencakup perasaan dan keyakinan yan kuat pada anak-anak. Barangkali merupakan prinsip dalam semua hubungan antar-manusia bahwa bila 197

seseorang tidak terlalu peduli tentang bagaimana menyelesaikan suatu konflik, seseorang mungkin bersedia untuk tunduk pada kekuasaan orang lain; tetapi bila seseorang mempunyai perhatian besar terhadap cara bagimana suatu konflik akan diselesaikan, seseorang ingin mempunyai saham dalam pembuatan keputusannya. ”APAKAH METODE ANTI-KALAH PERNAH GAGAL?” Jawaban terhadap pertanyaan ini sudah barang tentu “tentu saja”. Dalam kursus-kursus kami, kami mempunyai beberapa orang tua yang karena berbagai sebab tidak dapat menggunakan Metode III dengan efektif. Memang kami belum mengadakan telaah sistematik mengenai kelompok ini, tetapi cara mereka berpartisipasi di dalam kelas sering dapat menjelaskan apa sebabnya mereka tidak berhasil. Beberapa orang tua terlalu takut untuk melepaskan kekuasaan mereka. Usul untuk menggunakan Metode III mengancam nilai-nilai dan kepercayaan yang sudah lama mereka anut tentang perlunya otoritas dan kekuasaan dalam membesarkan anak-anak. Orang tua semacam ini sering mempunyai pandangan yang sangat salah tentang sifat manusia. Bagi mereka, makhluk manusia tidak dapat dipercaya dan mereka yakin bahwa menyingkirkan otoritas hanya berakibat anak-anak menjadi buas, menjadi iblis yang mementingkan diri sendiri. Kebanyakan dari orang tua macam ini tidak pernah mencoba menggunakan Metode III. Beberapa orang tidak berhasil melaporkan bahwa pokoknya anak-anak mencoba menolak untuk menggukana pemecahan anti-kalah. Bisanya mereka adalah anak-anak remaja yang sudah lebih tua, yang sudah tidak mau peduli lagi apa yang dilakukan orang tua mereka, sehingga bagi mereka Metode III tampak sebagai suatu cara yang memberi peluang lebih besar kepada orang tua. Saya telah bertemu dengan beberapa dari anak-anak ini dalam terapi pribadi, dan harus saya akui bahwa saya sering merasakan bahwa hal terbaik bagi mereka adalah menemukan keberanian untuk melepaskan diri dari orang tua mereka, pergi dari rumah, dan mencari hubungan baru yang lebih memberi kepuasan. Seorang anak laki-laki yang cukup cerdas, seorang siswa sekolah menengah atas, sampai pada kesimpulan bahwa ibunya tidak pernah akan berubah. Sesudah memahami apa yang yang diajarkan dalam kursus MOE karena membaca buku catatan orang tuanya, remaja yang pandai ini mengungkapkan perasaannya kepada saya: “Ibu saya tidak pernah akan berubah. Ia tidak pernah menggunakan cara yang Anda ajarkan dalam MOE. Saya kira, sebaiknya saya melepaskan harapan bahwa ia akan berubah. Sayang memang, tetapi ia ada di luar jangkauan pertolongan. Sekarang, saya harus mencari jalan supaya dapat menghidupi diri saya sendiri, dengan demikian saya bisa meninggalkan rumah”. 198

Jelas bagi kami semua yang menekuni program MOE bahwa kursus selama 8 minggu, tidak akan mengubah semua orang tua – terutama mereka yang telah menjalankan metode yang tidak efektif selama 15 tahun atau lebih. Untuk beberapa orang tua tersebut, program ini tidak berhasil memberikan suatu titik balik. Inilah sebabnya mengapa kami sangat menganjurkan agar para orang tua mempelajari filsafat baru dalam mengasuh anak ini ketika anak-anak mereka masih muda usia. Seperti halnya dalam semua hubungan antar-manusia, beberapa hubungan orang tua – anak telah sedemikian retak dan mundur sehingga barangkali tidak bisa diperbaiki lagi. 199

14 Cara Menghindari “Pemecatan” Sebagai Orang Tua Semakin sering anak-anak “memecat” orang tua mereka. Pada waktu memasuki masa remaja mereka “memecat” ibu dan ayah mereka, mengenyahkan, memutuskan hubungan dengan ereka. Hal ini dewasa ini terjadi dalam ribuan keluarga, terlepas dari tingkatan sosial ataupun ekonomi. Anak-anak muda meninggalkan orang tua mereka, secara fisik atau psikologis, untuk memberi hubungan yang lebih memuaskan di lain tempat, biasanya dalam kelompok-kelompok anak muda yang usianya sebaya. Mengapa hal ini terjadi? Saya yakin, berdasarkan pengalaman saya bekerja dengan ribuan orang tua dengan menggunakan MOE, anak-anak tersebut telah terusir dari keluarganya karena tingkah laku orang tua mereka – suatu tingkah laku tertentu. Para orang tua dipecat oleh anak mereka jika mengganggu dan memaksa anak-anaknya mengubah keyakinan dan nilai- nilainya. Para remaja memecat orang tua mereka jika mereka merasa bahwa hak-hak dasarnya tidak diakui. Para orang tua kehilangan kesempatan untuk memberikan pengaruh konstuktif pada anaknya karena terlalu bernafsu untuk mempengaruhi anak- anaknya terus-menerus sedangkan anak-anak sangat berkeinginan untuk menentukan keyakinan-keyakinannya dan tujuan hidupnya sendiri. Di sini, seperti yang dilakukan di dalam kelas MOE, saya akan meneliti persoalan kritis ini dan menyajikan metode-metode khusus agar orang tua “tak dipecat” sehubungan dengan masalah-masalah tersebut di atas. Sementara metode anti-kalah dapat secara dramatis berpengaruh, jika ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk menerapkannya sudah dikuasai, terdapat beberapa konflik yang tidak dapat diharapkan akan teratasi; meskipun metode ini telah diterapkan secara mahir, karena konflik itu di luar jangkauan Metode III untuk memecahkannya. Jika para orang tua mencoba untuk melibatkan putra-putranya dalam pemecahan konflik sehubungandengan masalah-masalah ini, mereka akan cenderung gagal. Mengusahakan agar para orang tua mengerti dan menerima kenyataan ini, merupakan suatu pekerjaan yang sulit dalam MOE; karena berarti harus melepaskan pendapat-pendapat dan keyakinan-keyakinan yang sudah sangat lama mengenai peranan orang tua di dalam masyarakat kita. Jika konflik keluarga terjadi karena masalah-maslah yang berhubungan dengan nilai, keyakinan, dan selera pribadi, maka orang tua mungkin harus mengatasi masing-masing konflik dengan cara yang berbeda, karena kerap kali anak-anak tidak ingin memperbincangkan masalah-masalah tersebut, atau diajak untuk memecahkannya. Hal ini tidak berarti bahwa orang tua 200

harus menyerah dan tidak mencoba untuk mempengaruhi anaknya dengan memberikan nilai-nilai tertentu. Namun caranya harus efektif, mereka harus menggunakan pendekatan yang berbeda. MASALAH NILAI-NILAI Pada hakekatnya konflik-konflik antara orang tua dan anak timbul karena tingkah laku yang berhubungan erat dengan keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, gaya, minat, dan falsafah hidup anak. Sebagai contoh pertama misalnya rambut gondrong. Dewasa ini, bagi kebanyakan laki-laki, rambut gondrong mempunyai arti simbolis yang penting. Orang tua tidak perlu mengetahui semua komponen arti simbolis dari rambut gondrong, tetapi adalah penting untuk mengenal betapa pentingnya berambut gondorng bagi anak pria. Ia memberi suatu nilai tertentu pada rambut gondrong. Rambut gondrong adalah suatu yang sangat penting baginya. Ia lebih memilih rambut gondrong – dalam suatu batas tertentu, ia butuh untuk menggondrongkan rambutnya; bukan hanya karena ia ingin. Usaha-usaha orang tua untuk menghambat kebutuhan ini, atau usaha- usaha yang kuat untuk mengambil darinya apa yang sangat bernilai baginya, pasti akan menimbulkan perlawanan atau pertahanan yang keras. Rambut gondrong merupakan suatu pernyataan dari pemuda yang melakukan kehendaknya, menjalankan hidupnya sendiri, melaksanakan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinannya. Cobalah berusaha mempengaruhi anak laki-laki Anda agar memangkas rambutnya yang gondrong dan ia mungkin akan mengatakan sebagai berikut: “Rambut saya sendiri.” “Saya senang rambut begini.” “Tidak usah mengusik saya.” “Saya punya hak untuk memakai rambut saya seperti yang saya inginkan.” “Rambut saya tidak memberi pengaruh apa pun.” “Saya tidak pernah bilang bagaimana ibu harus mengatur rambut, jadi rambut saya tidak perlu dipersoalkan juga.” Pesan-pesan tersebut, jika diuraikan dengan tepat memberikan keterangan kepada orang tua, “Saya merasa bahwa saya mempunyai hak untuk mempertahankan nilai saya sejauh saya melihat bahwa tidak ada pengaruh apa pun terhadap Anda dengan cara yang bagaimanapun juga”. Jika dia adalah anak laki-laki saya, saya harus mengakui bahwa ia betul. Panjang rambutnya, secara kongkret dan jelas terlihat, tidak mengganggu saya memnuhi kebutuhan-kebutuhan saya sendiri: itu tidak menyebabkan saya dipecat, tidak akan mengurangi pendapatan saya, tidak menghambat saya untuk berteman atau mencari teman baru, tidak akan menurunkan prestasi saya sebagai pemain golf, tidak akan mencegah saya untuk menuliskan buku ini ataupun menjalankan keahlian saya, dan pasti tidak akan menghalangi saya untuk berambut pendek. Bahkan tidak 201

mengharuskan saya untuk mengeluarkan uang (sebenarnya, akan menghemat seandainya selama ini saya yang memberinya uang setiap kali ia cukur rambut). Namun, banyak kelakuan anak, seperti cara seorang anak laki-laki mengatur rambutnya, diambil alih oleh kebanyakan orang tua dan dijadikan masalah-masalah yang dirasakan “dimiliki” orang tua. Di bawah ini contoh bagaimana salah satu orang tua dalam kelas MOE menghadapinya. ORANG TUA: “Saya tidak tahan melihat rambutmu begitu gondrong. Rupamu jelek sekali, mengapa tidak kamu potong?” ANAK: “Saya senang begini.” ORANG TUA: “Yang betul saja. Rupamu seperti gembel.” ANAK: “Bodoh, amat!” ORANG TUA: “Kita harus memecahkan konflik ini. saya tidak bisa menerima keadaan rambutmu begitu. Apa yang dapat kita lakukan?” ANAK: “Ini adalah rambut saya dan saya akan mengaturnya sesuka saya.” ORANG TUA: “Pokoknya, dipotong saja sedikit.” ANAK: “Saya tidak pernah bilang sama Bapak bagaimana harus mengatur rambut Bapak, kan?” ORANG TUA: Memang tidak. Tetapi penampilan saya kan tidak seperti gembel.” ANAK: “Yang betul saja, saya tidak seperti gembel. Teman-teman saya menyukainya – terutama teman-teman wanita.” ORANG TUA: “Tidak peduli, rambut itu memuakkan saya.” ANAK: “Ya, kalau begitu, jangan dilihat saja.” Jelas, bahwa si anak tidak ingin diajak untuk mencari pemecahan konflik sehubungan dengan rambutnya, karena seperti dikatakannya: “Ini adalah rambut saya”. Jika orang tua tetap bersikeras untuk mengatasi masalh rambut, maka hasilnya yang terakhir adalah anak laki-lakinya akan menarik diri – segan berbicara dengan orang tuanya, pergi, keluar rumah, atau masuk ke kamarnya. Walaupun demikian, orang tua tetap bersikeras melakukan kegiatan- kegitan untuk mengubah tingkah laku semacam itu, dan sikap ikut campur demikian hampir selalu menyebabkan pertikaian-pertikaian, perlawanan, dan rasa benci dari anak-anaknya dan biasanya hubungan orang tua – anak mengalami kerusakan serius. Pada waktu remaja menentang keras usaha-usaha untuk mengubah pola tingkah laku mereka karena mereka merasa tidak mengganggu kepentingan orang tua, maka sebenarnya sikap mereka itu tidak berbeda dengan sikap orang dewasa. Tidak ada seorang dewasa pun yang ingin mengubah kelakuannya jika ia yakin tidak menyakiti atau mengganggu orang lain. Orang dewasa, seperti halnya anak-anak, akan berjuang keras memeprtahankan kebebasan mereka jika merasa seseorang mendesak mereka untuk mengubah tingkah laku yang tidak mengganggu orang lain. 202

Ini merupakan kesalahan serius yang dibuat orang tua dan merupakan salah satu alasan yang paling sering menyebabkan sikap ini tidak efektif. Seandainya orang tua membatasi usaha-usahanya untuk mengubah tingkah laku anak hanya sampai batas-batas sejauh mengganggu kepentingan orang tua, maka pemberontakan akan jauh berkurang, kurang terjadi konflik- konflik dan sedikit saja hubungan orang tua – anak terganggu. Kebanyakan orang tua secara kurang bijaksana memberi kritik, membujuk, dan menggoda anak mereka untuk mengubah tingkah laku yang tidak ada pengaruh jelas dan kongkret pada orang tuanya. Sebagai langkah pertahanan diri, anak melawan, bertahan, memberontak, atau menarik diri. Tidak jarang, anak-anak bereaksi dengan melebih-lebihkan kelakuan yang justru dilarang oleh orang tuanya, seperti sering terjadi dalam soal rambut gondrong. Anak lain, karena takut terhadap kekuasaan orang tua, akan menyerah pada tekanan-tekanan orang tua tetapi disertai perasaan benci atau kesal yang dalam terhadap orang tuanya karena memaksa mereka untuk berubah. Banyak pemberontakan remaja dewasa ini – protes, pemogokan, perjuangan melawan “generasi tua” – dapat dihubungkan dengan orang tua dan orang dewasa lainnya yang memberi desakan pada remaja untuk mengubah tingkah laku yang dirasakan oleh anak remaja sebagai urusan mereka sendiri. Anak-anak tidak berontak terhadap orang dewasa – mereka berontak terhadap usaha-usaha orang dewasa untuk mengambil kebebasan remaja dan anak-anak. Mereka berontak terhadap usaha-usaha untuk mengubah atau membentuk mereka menurut gambaran orang dewasa, terhadap gangguan orang dewasa, terhadap pemaksaan orang dewasa agar mereka bertingkah laku menurut apa yang oleh orang dewasa dianggap benar atau salah. Tragisnya, jika orang tua menggunakan kekuasaan untuk mencoba mengubah tingkah laku yang tidak mengganggu kehidupan orang tua itu sendiri, maka mereka kehilangan pengaruh untuk mengubah tingkah laku yang benar-benar mengganggu. Pengalaman saya dengan anak-anak dari pelbagai usia menunjukkan bahwa biasanya mereka agak bersedia dan ingin mengubah tingkah lakunya jika jelas bagi mereka bahwa apa yang mereka lakukan pada kenyataannya mengganggu orang lain memenuhi kebutuhannya. Jika orang tua membatasi usaha-usahanya untuk mengubah tingkah laku anak hanya pada tingkah laku yang secara jelas dan kongkret mempengaruhi orang tua, mereka biasanya mendapatkan bahwa anak-anak terbuka terhadap perubahan, bersedia menghargai kebutuhan-kebutuhan orang tuanya, dan dapat menyetujui “pemecahan permasalahan”. Gaya berbusana – seperti rambut gondrong – mempunyai nilai simbolis yang hebat untuk anak-anak. Pada jaman saya masih muda, gayanya adalah 203

celana korduroi kuning yang sudah luntur warnanya dan sepetu kulit yang kotor (selalu sangat kotor). Saya ingat bahwa salah satu kebiasaan saya adalah selalu menggosokkan sepatu kulit baru dengan tanah sebelum memakainya. Dewasa ini gayanya adalah jeans kotor, poncho, kalung mute, sandal, kaca mata ala Ben Franklin, rok mini, tidak memakai beha, dan seterusnya. Saya berjuang keras untuk mempertahankan hak saya memakai selana Korduroi dan sepatu kulit tersebut! Saya sangat membutuhkan simbol- simbol itu. Paling penting, orang tua saya tidak dapat mengajukan suatu perdebatan yang logis bahwa dengan berbusana demikian akan mempengaruhi mereka secara jelas dan kongkret. Ada saat-saat di mana seorang anak akan mengerti dan menerima kenyataan bahwa caranya berbusana akan mempunyai pengaruh yang jelas dan kongkret terhadap orang tuanya. Suatu contoh adalah Yani dan “masalah jas hujan” kotak-kotak yang telah berulang kali saya kutip. Dalam situasi ini, jelas bagi Yani jika ia jalan ke halte bis tanpa perlindungan sesuai, bajunya perlu dikirim ke binatu atau dia bisa jatuh sakit yang akan memaksa orang tuanya membeli obat atau menghabiskan waktu merawatnya di rumah. Contoh kedua yang dapat dikaitkan dengan pemecahan anti-kalah adalah konflik mengenai keinginan anak perempuan saya untuk pergi menginap ke pantai tanpa dijaga orang tua pada waktu liburan Paskah. Dalam kasus ini jelas baginya bahwa kami tidak dapat tidur memikirkannya atau mungkin kami diganggu pada tengah malam kalau kebetulan dia di tengah anak-anak yang digiring ke kantor polisi. Bahkan dalam keadaan yang jarang terjadi konflik mengenai rambut gondrong anak laki-laki mungkin dapat diatasi, seperti halnya yan terjadi dalam satu keluarga yang saya kenal. Ayah adalah kepala sekolah. Ia merasa bahwa ditengah lingkungan yang agak konservatif, pekerjaannya bisa terancam karena masyarakat sekitarnya bisa jadi beranggapan bahwa anaknya yang berambut gondrong merupakan bukti bahwa ayah bersikap terlalu liberal sebagai kepala sekolah. Dalam keluarga ini, anak-anak laki- lakinya melihat dan menerima hal ini sebagai pengaruh yang jelas dan kongkret terhadap kehidupan ayahnya. Ia menyetujui untuk memangkas agak sedikit lebih pendek karena adanya perhatian yang murni terhadap kebutuhan-kebutuhan ayahnya. Mungkin penyelesaian ini tidak akan terjadi dalam keluarga lain dalam situasi yang sama. Yang penting adalah bahwa anak harus dapat menerima logika bahwa tingkah lakunya mempunyai akibat yang jelas dan kongkret terhadap orang tuanya. Hanya dengan demikian maka ia akan bersedia diajak dalam suatu pemecahan anti-kalah. Pelajaran bagi orang tua adalah mereka hatus dapat mengajukan suatu alasan bahwa tingkah laku anak 204

mempunyai pengaruh yang jelas dan kongkret terhadap kehidupan orang tua, karena tanpa hal itu anak tak bersedia diajak berunding. Di bawah ini terdapat beberapa tingkah laku yang tidak dapat dirundingkan karena anak-anak mereka tidak dapat diyakinkan bahwa tingkah laku mereka akan mempengaruhi orang tuanya secara jelas dan kongkret: Gadis remaja senang rok mini. Remaja pria berbusana jeans dekil dan sepatu tenis tua. Anak remaja menyenangi sekelompok teman, sementara orang tua tidak. Seorang anak lamban jika mengerjakan pekerjaan rumah. Anak ingin keluar dari perguruan tinggi dan menjadi pemain musik. Anak remaja putri berbusana gaya hippi. Anak berumur empat tahun masih menyeret selimutnya ke mana-mana. Anak wanita inginditindik kupingnya. Anak wanita senang memakai make up mata yang tebal. Anak yang ditegur guru karena bercanda di dalam kelas. Pemuda yang menolak untuk pergi ke gereja. Ternyata Metode III bukan suatu metode untuk membentuk anak sesuai dengan keinginan orang tua. Jika orang tua menggunakan metode ini untuk tujuan tersebut pasti anak-anak akan mengetahuinya dan bertahan untuk tidak menurut. Dengan demikian orang tua mengambil risiko kehilangan kesempata menggunakana metode tersebut pada masalah-masalah yang jelas dan kongkret mempengaruhinya – seperti jika anak tidak melakukan tugas-tugas di rumah, membuat gaduh, merusak barang, mengendarai mobil ayah terlalu cepat, menaruh pakaiannya dimana-mana, tidak membersihkan kakinya sebelum masuk rumah, menguasai pesawat TV, tidak membersihkan dapur sesudah membuat makanan kecil, tidak mengembalikan alat perkakas ke dalam kotak perkakas, menginjak taman bunga, dan beribu tingkah laku lainnya. MASALAH HAK-HAK ASASI Konflik orang tua – anak sehubungan dengan rambut dan tingkah laku lainnya yang oleh anak dianggap tidak mempengaruhi secara nyata dan jelas pada orang tuanya, bersangkutan dengan hak-hak asasi pemuda. Mereka merasa mempunyai hal untuk mengatur rambutnya dengan cara mereka sendiri, memilih temannya sendiri, berbusana dengan gaya khas mereka dan seterusnya. Kaum remaja dewasa ini seperti pada waktu-waktu lalu, akan mempertahankan hak ini dengan gigih. Remaja, seperti orang dewasa atau kelompok-kelompok atau bangsa- bangsa akan berjuang untuk mempertahankan hak mereka sendiri. Mereka akan melawan dengan segala daya upaya, usaha apa pun untuk merampas kebebasannya atau otonominya. Hal-hal ini merupakan hal-hal penting bagi mereka, tidak untuk dirundingkan atau dicari kompromi atau dihapuskan melalui pemecahan masalah. 205

Mengapa para orang tua tidak dapat melihat hal ini? Mengapa orang tua tidak dapat mengerti bahwa anak laki-laki dan wanita mereka adalah manusia dan adalah manusiawi juga untuk berjuang demi kebebasan jika terancam oleh pihak lain? Mengapa orang tua tidak bisa mengerti bahwa kita sedang berurusan dengan sesuatu yang hakiki dan mendasar – kebutuhan manusia untuk mempertahankan kebebasannya? Mengapa orang tua tidak cepat tanggap bahwa hak asasi harus mulai dari rumah? Salah satu alasan mengapa orang tua jarang memikirkan bahwa anak- anaknya mempunyai hak-hak asasi adalah karena anggapan umum bahwa orang tua “memiliki” anaknya. Berpegang pada anggapan itu, orang tua membenarkan usaha-usahanya untuk membentuk anaknya, mencetak mereka, mengindoktrinasi mereka, mengubah mereka, mengendalikan mereka, menjejali pikiran mereka. Memberikan hak-hak asasi atau kebebasan-kebebasan mutlak tertentu pada anak-anak berarti memandang anak-anak sebagai manusia yang tak tergantung atau mandiri, yang menggenggam kehidupannya sendiri. Tidak banyak orang tua yang mempunyai pandangan demikian terhadap anaknya, pada waktu permulaan mengikuti MOE. Mereka sulit menerima prinsip kami untuk memberikan kebebasan pada anak untuk menjadi apa yang diinginkannya, asalkan tingkah lakunya secara jelas dan kongkret tidak mengganggu kebutuhan orang tuanya. “TIDAK DAPATKAH SAYA MENGAJARKAN NILAI-NILAI SAYA?” Pertanyaan di atas paling sering diajukan dalam MOE, karena kebanyakan orang tua mempunyai keinginan kuat untuk “mewariskan” nilai-nilai mereka yang dijunjung tinggi kepada turunannya. Jawaban kami adalah: “Tentu – Anda tidak hanya dapat mengajarkan nilai-nilai, tetapi pada akhirnya Anda mau tak mau mengajarkan nilai-nilai tersebut”. Orang tua tidak dapat menahan diri untuk mengajarkan nilai-nilainya pada anak- anaknya, karena anak-anak pasti akan belajar mengenal nilai-nilai orang tuanya dengan mengamati apa yang dilakukan ayah dan ibunya, dan dengan mendengarkan apa yang dikatakan orang tuanya. Orang Tua Sebagai Contoh Orang tua, seperti halnya orang dewasa lainnya yang berhubungan dengan anak-anak selama perkembangannya, akan menjadi contoh utntuk anak-anak. Orang tua secara terus menerus memberi contoh untuk keturunannya apa yang diyakininya sebagai nilai – melalui tindakannya, yang lebih memberi pengaruh daripada kata-kata. Orang tua dapat mengajarkan nilainya dengan menjalankannya. Jika mereka menginginkan agar anak-anak mereka menjunjung nilai kejujuran, orang tua harus setiap hari memperlihatkan kejujurannya sendiri. Jika mereka menginginkan agar anak mereka menjunjung nilai kedermawanan 206

atau kemurahan hati, mereka harus bertingkah murah hari. Jika mereka ingin agar anak mereka menganut nilai-nilai “Pancasila”, mereka harus bersikap “Pancasilawan”. Ini adalah cara yang terbaik, meungin satu- satunya cara bagi orang tua untuk dapat “mengajarkan” nilai-nilai mereka kepada anak-anak. “Lakukan yang saya katakan, bukan yang saya lakukan”, bukanlah suatu pendekatan yang efektif dalam mengajarkan anak-anak nilai-nilai orang tua. Sebaliknya, “Lakukan yang saya kerjakan” mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk dapat mengubah ataupun mempengaruhi seorang anak. Orang tua yang ingin agar anak-anak bersikap jujur, akan gagal mencapai tujuannya jika pada waktu menerima undangan yang tidak diinginkan melalui telepon mengatakan di depan anak-anaknya, “O, kita ingin datang, tetapi kita sedang menanti tamu dari luar kota”. Atau jika ayah pada waktu makan malam menceritakan bagaimana pandainya ia menyelewengkan uang kantor. Atau jika ibu mengingatkan anak gadisnya, “Jangan cerita pada ayah mengenai harga lampu meja yang baru”. Atau jika kedua orang tuan tidak menceritakan seluruh kebenaran mengenai kehidupan seks, atau agama. Orang tua yang menginginkan agar anak-anaknya menganut nilai anti- kekerasan dalam hubungan manusia, akan bersikap munafik jika menggunakan hukuman fisik sebagai langkah “disiplin”. Saya teringat film kartun yang tegas menggambarkan seorang ayah sedang memukul pantat anak laki-lakinya yang dibaringkan di atas lututnya sambil berkata, “Mudah-mudahan ini akan mengajar kamu untuk tidak memukul adikmu yang laki-laki”. Orang tua dapat mengajarkan anak-anaknya nilai-nilai tertentu dengan menjalankan hidupnya sesuai dengan nilai-nilai tersebut, tidak dengan memaksa anak-anak untuk hidup menuruti aturan-aturan tertentu. Saya sepenuhnya percaya bahwa salah satu alasan dasar mengapa remaja masa kini memprotes banyak nilai-nilai dalam masyarakat orang dewasa, adalah karena mereka telah melihat betapa orang dewasa dengan berbagai cara gagal untuk melaksanakan apa yang dikhotbahkan sendiri. Dengan kecewa, anak-anak menemukan bahwa buku pelajaran sejarah di SLA tidak membeberakan kebenaran seluruhnya mengenai pemerintah dan sejarah perkembangannya, atau guru-guru membohongi mereka denan cara tidak menceritakan beberapa kenyataan hidup. Mereka tidak dapat menahan marahnya pada orang dewasa yang menghkhotbahkan beberapa prinsip moral seks tertentu, jika mereka telah melihat di layar TV film yang menggambarkan tingkah laku seksual yang dilakukan orang dewasa, yang tidak konsisten dengan moralitas yang dituntut pada anak mereka. Memang orang tua dapat mengajarkan nilai-nilai mereka jika mereka menjalankan nilai-nilai tersebut dalam hidup. Tetapi berapa orang tua yang 207

mempunyai sikap demikian? Anda boleh mengajarkan nilai-nilai, namun dengan memberikan contoh tidak dengan pembujukan lisan atau dengan paksaan kekuasaan. Ajarkanlah apa pn yang telah menjadi nilai bagi diri Anda, tetapi harus dengan menjadi contoh sesorang yang melaksanakan nilai-nilai tersebut. Yang merisaukan orang tua adalah kemungkinan turunannya tidak menerima nilai-nilai orang tuanya. Ini benar – bisa saja tidak. Anak-anak mungkin akan menyukai beberapa nilai-nilai orang tua, atau mereka mungkin melihat dengan tepat bahwa beberapa nilai yang dianut orang tua memberikan hasil (seperti halnya para pemuda masa sekarang menolak patriotisme karena mereka menganggapnya sebagai suatu nilai yang menimbulkan tingkah laku yang kerap mengarah pada peperangan). Jika orang tua khawatir bahwa para pemuda mungkin tidak akan menerima nilai-nilai mereka, maka orang tua selalu beralih pada dalih bahwa kekuasaan dapat dibenarkan untuk menanamkan nilai-nilai mereka pada anak-anak. “Mereka terlalu muda untuk mempertimbangkan sendiri”, adalah pembenaran yang paling sering dinyatakan untuk menanamkan nilai- nilai pada anak-anak. Apakah sebenarnya mungkin untuk memaksakan nilai-nilai pada orang lain yang sehat? Saya pikir tidak. Lebih benar kemungkinannya adalah pikiran-pikiran yang ingin dipengaruhi akan bertahan lebih keras lagi terhadap penguasaan semacam itu, dengan cara kerap membela keyakinan- keyakinan dan nilai-nilainya secara lebih gigih. Kekuasaan dan otoritas dapat mengendalikan tindakan-tindakan orang lain; tetapi jarang dapat mengendalikan pikiran-pikiran, ide-ide, dan keyakinan-keyakinan. Orang Tua Sebagai Konsultan Di samping mempengaruhi nilai-nilai anak melaui teladan, paraorang tua dapat menggunakan pendekatan satu lagi untuk mengajarkan apa yang mereka rasakan sebagai “betul atau salah”. Mereka dapat memperbincangkan bersama dengan anak-anaknya; ide-idenya, pengetahuan mereka, dan pengalaman mereka; sama halnya seperti dilakukan oleh seorang konsultan, jika jasanya dimintakan oleh seorang klien. Dalam hal ini ada yang harus diperhatikan. Konsultan yang sukse, membagi bersama dan tidak memberikan khotbah, memberikan dan tidak memaksakan, menyarankan dan tidak menuntut. Lebih penting lagi adalah, konsultan yang sukses, membagi, memberi, dan menyarankan biasanya tiak lebih daripada satu kali. Konsultan yang efektif memberikan kliennya keuntungan memperoleh pengetahuan dan pengalaman, memang, tetapi ia tidak mengganggunya dari minggu ke minggu, tidak menghinanya jika klien tidak menerima ide-idenya, tidak selalu memaksakan pandangannya terus-menerus jika ia merasakan adanya sikap bertahan dari pihak klien. Konsultan yang berhasil mengajukan ide-idenya, kemudian memberikan 208

tanggung jawab pada kliennya untuk menerima atau menolaknya. Jika seorang konsultan bertindak seperti kebanyakan oran tua, kliennya akan memberitahukan kepadanya bahwa jasa-jasanya tidak dibutuhkan lagi. Pemuda sekarang ramai-ramai “memecat” orang tua mereka – memberitahukan bahwa jasa-jasanya tidak diinginkan lagi – karena sedikit orang tua yang merupakan konsultan efektif terhadap anaknya. Mereka memberi ceramah, memaksa, mengancam, memberi peringatan, membujuk, memohon dengan sangat, memberi khotbah, memperbaiki akhlak, dan merendahkan anak-anaknya; semua dalam usaha ntuk memaksa mereka untuk melakukan apa yang dianggap betul oleh orng tua. Para orang tua bicara pada anak-anaknya setiap hari dengan pesan-pesan mereka yang berupa perintah untuk memperbaiki akhlak. Mereka tidak memberi anak tanggung jawab untuk menerima atau menolak, tetapi mengambil alih tanggung jawab anak untuk belajar sendiri. Sebagai konsultan, sikap kebanyakan orang tua adalah bahwa klien mereka harus menerima apa yang ditawarkan; jika klien-kliennya tidak mau maka orang tua merasa telah gagal. Para orang tua mempunyai rasa bersalah bila “dagangannya sulit laku”. Tidaklah mengherankan jika dalam kebanyakan keluarga, anak-anak disertai putus-asa mengatakan kepada orang tua mereka, “Jangan mengusik saya”, “Jangan memaksakan saya, “Saya mengetahui apa yang sedang dipikirkan, tidak perlu saya diberi tahu setiap hari”, “Hentikan menceramahi saya”, “Terlalu banyak”, “Selamat tinggal”. Pelajaran yang bisa dipetik oleh orang tua adalah bahwa mereka sebenarnya dapat menjadi konsultan yang berguna untuk anak-anak mereka – mereka dapat membagi ide-ide, pengalaman dan kebijaksanaannya – jika mereka ingat untuk bertindak sebagai konsultan yang efektif; agar tidak “dipecat” oleh klien-klien yang ingin mereka bantu. Jika Anda mempunyai pengetahuan yang berguna mengenai pengaruh merokok terhadap kesehatan manusia, beritahu anak-anak Anda mengenai hal itu. Jika Anda merasa agama telah memberikan pengaruh yang penting dalam kehidupan Anda, pada suatu hari ceritakan pada anak-anak Anda. Jika membaca artikel yang baik mengenai pengaruh obat-obatan terhadap kehidupan pemuda, perlihatkanlah majalah atau bcaan itu kepada anak-anak atau bacakan denan keras kepada seluruh keluarga Anda. Jika mempunyai data mengenai manfaat mengikuti sekolah kejuruan, bagilah dengan anak- anak. Jika sewaktu muda Anda telah mengetahui cara agar pekerjaan rumah itu tidak begitu membebankan, tawarkan metode itu pada anak-anak. Jika Anda merasa menjadi ahli seks sebelum masa perkawinan, laporkan penemuan-penemuan Anda kepada anak-anak pada waktu yang tepat. Satu saran lagi berdasarkan atas pengalaman saya sendiri sebagai konsultan, adalah bahwa alat paling berharga pada waktu bekerja dengan 209

klien-klien, adalah mendengar aktif. Sewaktu saya menawarkan ide-ide baru, klien-klien saya hampir selalu mulai memberikan reaksi bertahan dan membela diri, sebagian dikarenakan biasanya ide-ide saya bertentangan dengan kepercayaan atau pola-pola kebiasaan mereka. Jika saya mendengar secara aktif perasaan-perasaan mereka itu, maka sikapsikap di atas biasanya menghilang dan ide-ide baru akhirnya diterima. Orang tua yanghendak mengajarkan anak-anak, nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan mereka, haruslah waspada mengenai perlawanan terhadap pengajarannya, peka terhadap penolakan ide-idenya. Jika Anda mendengar adanya perlawanan, jangan lupa mendengar secara aktif. Cara ini akan berguna jika menjadi konsultan anak-anak Anda sendiri. Dengan demikian kepada orang tua yang mengikuti MOE dan para orang tua yang membaca buku ini, kami katakan, “Tentu, Anda dapat mencoba mengajarkan nilai-nilai pada anak-anak Anda, tetapi jangan terlalu bernafsu menjualnya!” Nyatakan secara jelas, tetapi hentikan pengulangan terus-menerus! Bagikan nilai-nilai tersebut secara royal, tetapi jangan memberikan khotbah. Kemudian mundurlah dengan baik-baik dan biarkan “klien-klien” Anda menentukan apakah mereka akan menerima atau menolak ide-ide Anda. Juga jangan lupa untuk mendengar secara aktif! Jika Anda melakukan hal-hal ini, ada kemungkinan anak-anak Anda akan meminta jasa-jasa Anda lagi. Mereka mungkin akan menggunakan Anda sebagai pegangan, karena yakin bahwa Anda dapat menjadi konsultan yang berguna bagi mereka. Mungkin mereka lantas tidak ingin “memecat” Anda. “Menerima Hal-hal yang Tidak Dapat Saya Ubah” Para pembaca mungkin ingat suatu doa yang kerap dikutip. Kira-kira sebagai berikut: “Tuhan, berikan saya keberanian untuk mengubah apa yang dapat saya ubah; Kemampuan untuk menerima dengan tenang apa yang tidak dapat saya ubah; serta kebijakan untuk mengetahui perbedaan antara keduanya”. “Kemampuan untuk menerima dengan tenang apa yang tidak dapat saya ubah” berhubungan dengan apa yang baru saja saya bicarakan. Karena banyak tingkah laku anak yang mungkin tidak dapat diubah oleh orang tua. Satu-satunya kemungkinan adalah menerima kenyataan ini. Banyak orang tua yang betul-betul melawan ide kami untuk hanya bersikap sebagai konsultan terhadap anak-anak mereka. Mereka katakan: “Tetapi saya mempunyai tanggung jawab terhadap anak saya jangan sampai ia merokok”. “Saya harus gunakan kekuasaan saya untuk mencegah agar anak perempuan saya tidak melakukan hubungan seks sebelum perkawinan”. “Saya tidak bersedia hanya bertindak sebagai konsultan dalam hal narkotik. Saya harus lakukan lebih banyak untuk melindungi anak saya dari godaan itu.” “Saya tidak akan puas jika membiarkan anak saya mengerjakan pekerjaan rumahnya setiap malam”. 210

Dapat dimengerti bahwa banyak orang tua mempunyai perasaan yang kuat mengenai beberapa tingkah laku, sehingga mereka tidak mau menyerah dalam usahanya mempengaaruhi anak-anak mereka; namun akhirnya pandangan yang lebih obyektif biasanya dapat meyakinkan mereka bahwa tidak ada kemungkinan lain kecuali menyerah – yaitu menerima apa yang tidak bisa mereka ubah. Sebagai contoh misalnya, merokok. Anggaplah bahwa orang tua sudah memberi semua data kepada anak remaja mereka (pengalaman mereka sendiri yang pahit, laporan kesehatan Departemen Kesehatan, artikel-artikel dari majalah). Namun si pemuda tetap ingin merokok. Apa yang dapat dilakukan orang tua? Kalau mereka mencoba melarangnya merokok di rumah, ia pasti akan merokok di luar rumah (dan mungkin merokok di rumah jika orang tuanya pergi). Jelaslah orang tua tidak dapat terus mendampingi anak jika ia keluar rumah, atau tinggal di rumah jika anak ada di rumah. Meskipun mereka mendapatinya sedang merokok, apakah yang dapat mereka lakukan? Kalau ia dilarang keluar, ia tinggal tunggu saja sampai masa penahanan berakhir dan mulai merokok lagi. Secara teoritis orang tua dapat mengancam mau mengusirnya dari rumah, tetapi hanya sedikit keluarga yang mengambil langkah begitu ekstrem, dengan menyadari bahwa ada kemungkinan mereka harus melaksanakan ancaman tersebut. Jadi orang tua tidak mempunyai pilihan lain selain menerima ketidakmampuan mereka untuk membuat anak remaja mereka berhenti merokok. Salah satu orang tua menyatakan dilemanya secara tepat pada waktu ia mengatakan, “Cara satu-satunya yang dapat saya lakukan untuk membuat anak perempuan saya berhenti merokok, adalah mengikatnya dengan rantai ke tiang tempat tidur”. Pekerjaan rumah adalah contoh lain dari persoalan-persoalan yang membawa konflik bagi banyak keluarga. Apakah yang dapat dilakukan oleh orang tua jika anak tidak mau membuat pekerjaan rumahnya? Jika ia diharuskan tinggal di dalam kamar, ia mungkin menyetel radionya atau “iseng” mengerjakan yang lainnya yang bukan pekerjaan rumah. Pokoknya, seseorang tidak dapat dipaksa untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau belajar. “Seekor kuda dapat dibawa ke air tetapi tidak dapat dipaksakan untuk minum”, adalah ucapan yang berlaku juga dalam hal membuat anak mengerjakan pekerjaan rumahnya. Bagaimana dengan hubungan seks sebelum perkawinan? Prinsip yang sama berlaku di sini. Tidak mungkin orang tua mengawasi anak-anaknya setiap waktu. Seorang ayah di dalam salah satu kursus MOE mengakui, “Sebaiknya saya menghentikan usaha saya untuk mencegah anak perempuan saya melakukan hubungan seks sebelum perkawinan, karena saya tentu tidak dapat duduk di belakangnya dengan sebuah senapan setiap kali ia pergi berkencan naik mobil”. 211

Tingkah laku lain dapat ditambahkan pada daftar kami mengenai hal-hal yang tidak mungkin diubah orang tua. Pemakaian make up yang berlebihan, minum-minuman keras, membuat gaduh di sekolah, bergaul dengan anak- anak tertentu, berkencan dengan orang yang bersuku bangsa atau beragama lain, narkotik, dan seterusnya. Orang tua hanya dapat memberi pengaruh dengan memberi contoh, menjadi konsultan yang efektif, dan membina hubungan “terapeutis” dengan anak-anak. Sesudah itu, apa lagi? Menurut saya, orang tua hanya dapat menerima kenyataan bahwa akhirnya ia tidak kuasa untuk mencegah tingkah laku semacam itu jika anak bersikeras untuk melakukannya. Mungkin inilah salah satu pengorbanan yang harus dijalankan sebagai orang tua. Lakukan yang sebai mungkin dan harapkan yangsebaik mungkin, tetapi pada akhirnya akan didapatkan risiko bahwa usaha-usaha yang terbai tidaklah cukup baik. Akhirnya Anda jugamungkin harus minta: “Tuhan, berikanlah saya ... kemampuan untuk menerima dengan senang hal-hal yang tidak dapat saya ubah.”. METODE PEMBAGIAN KERTAS UNTUK MEMULAI PEMECAHAN MASALAH “ANTI-KALAH” Di dalam keluarga di mana orang tua telah menggunakan Metode I atau telah mengusik anak mereka sehubungan dengan tingkah laku yang tidak mempengaruhi mereka secara nyata dan kongkret, kerap sukar memulai pemecahan anti-kalah karena hubungan-hubungan dengan anak-anak telah menjadi sedemikian terhambat. Anak-anak sudah marah kepada orang tuanya, mereka merasa harus mempertahankan diri terhadap setiap campur tangan orang tua, dan mereka curiga terhadap usaha baru apa pun untuk mengubah tingkah laku mereka. Kemudian jika orang tua melakukan pendekatan dan menyarankan suatu pertemuan untuk berusaha mengatasi konflik-konflik mereka, anak-anak menolak untuk ikut terlibat atau ikut serta dalam pertemuan dengan tujuan menghindari usaha baru orang tua merampas kemerdekaan mereka. Dalam MOE kami telah mereancang suatu metode yang agak sederhana untu mengatasi perlawanan dan kecurigaan yang dibawa anak-anak pada pertemuan anti-kalah. Yang dibutuhkan orang tua hanyalah sebuah pena dan sehelai kertas. Orang tua dapat memulai pertemuan dengan mengatakan sebagai berikut: “Kita ingin mencoba cara baru untuk mengatasi konflik-konflik yang ada di antara kita. Pada waktu yang lampau kami telah kerap menang dan kamu kalah, atau kamu menang dan kami kalah. Sekarang kita ingin mencoba mencari penyelesaian-penyelesaian terhadap konflik-konflik kita yang dapat diterima oleh kita semua – sehingga tidak ada yang kalah. Aturan pendekatan baru ini adalah, apa pun yang kita putuskan harus dapat diterima semua yang ada di sini, dan kita akan terus mencari pemecahan-pemecahan sampai kita menemukan satu pemecahan yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh semua. 212

Saya membawa sehelai kertas yang dibagi dua ditengah. Kita akan membuat daftar masalah-masalah dan konflik-konflik di atas kertas ini sewaktu diajukan oleh siapa pun dari kita di sini. Di dalam kolom sebelah kiri, saya akan menulis konflik-konflik yang menyangkut tindakan anak-anak yang sebenarnya tidak secara nyata dan jelas mempengaruhi kami orang tua, meskipun telah merisaukan kami. Salah satu yang dapat segera saya ingat adalah pekerjaan rumahmu. Di dalam kolom sebelah kanan, saya akan menulis konflik-konflik yang kita punyai mengenai tindakan-tindakan anak-anak yang betul mempengaruhi kami, hal-hal yang kamu lakukan yang mengganggu secara langsung kehidupan kita. Misalnya membantu membuang sampah. Jika kita telah selesai membuat daftar, kemudian kita berjanji untuk tidak mengganggu ataupun mengusikmu mengenai masalah apa pun di dalam kolom kiri. Kita akan buang masalah-masalah itu – kamu tidak akan diusik-usik lagi. Ambillah contoh masalah pekerjaan rumah. Kita menyetujui untuk tidak mengungkitnya lagi, terserah pada kamu mau dikerjakan atau tidak. Kamu mampu mengatur dirimu sendiri. Namun semua masalah di kolom sebelah kanan bagaimanapun harus dipecahkan sehingga kita mendapatkan suatu penyelesaian untuk masing- masing yang dapat diterima oleh kita semua – tanpa ada yang kalah. Ada pertanyaan sampai di sini? (Sesudah menjawab pertanyaan-pertanyaan). Baik, mari kita mulai membuat daftar masalah-masalah – siapa pun dapat mengajukan masalah-masalah. Satu persatu kita nilai untuk melihat apakah masuk kolom kiri atau kolom kanan.” Jika keluarga-keluarga menggunakan metode ini, anak-anak menjadi begitu kagum dan senang semua masalah di kolom kiri dibuang, kemudian mereka mengadakan penyelesaian masalah-masalah di kolom kanan dengan keinginan yang lebih besar untuk berunding, lebih mempunyai motif untuk memberikan pemecahan-pemecahan, dan untuk menyetujui salah satu yang dapat memenuhi kebutuhan orang tua dan juga anak-anak. Di bawah ini adalah daftar masalah-masalah yang diajukan satu keluarga. Di dalam keluarga ini, seperti kebanyakan keluarga, lebih banyak masalah di dalam kolom kiri daripada kolom kanan. 213

Masalah-masalah yang telah disetujui Masalah-masalah yang harus menjadi tanggung jawab anak. (Tidak dipecahkan perlu pemecahan bersama) 1. Pekerjaan sekolah – apakah belajar 1. Berapa banyak ia membantu pada atau tidak, bila belajar, berapa lama tugas-tugas yang harus dikerjakan di atau berapa banyak dipelajari sekitar rumah 2. Cara mengatur rambut 2. Masalah jumlah uang saku dan apa 3. Waktu tidur yang harus dibeli oleh anak dan apa 4. Makanan yang dimakan yang harus dibeli oleh orang tua 5. Cara berbusana ke sekolah 3. Sering orang tua tidak diberitahu 6. Memilih teman-teman apakah anak-anak makan di rumah 7. Berapa kali mandi dalam sehari atau tidak 8. Cara mengatur kamar 4. Masalah penggunaan kendaraan 9. Tempat-tempat yang didatangi kalau keluarga pergi 5. Sesudah mengotori ruang keluarga, 10. Cara menghabiskan uang saku sering anak tidak membereskan dan membersihkannya kembali 214

15 Orang Tua Dapat Mencegah Timbulnya Konflik Dengan Mengubah Diri Sendiri Konsep terakhir yang kami tawarkan kepada orang tua adalah bahwa mereka dapat mencegah timbulnya bnyak konflik orang tua – anak dengan mengubah beberapa sikeap mereka sendiri. Usul ini diajukan sebagi usul terakhir karena kadang-kadang agak terasa mengancam orang tua jika pada awal sudah dikatakan bahwa kadang-kadang orang tualah yang harus berubah, dan bukannya anak-anaknya. Kebanyakan orang tua lebih mudah menerima metode-metode baru untuk mengubah anak-anaknya dan metode- metode baru untuk mngubah lingkungan daripada menerima ususl mengadakan perubahan-perubahan di dalam diri mereka sendiri. Menjadi orang tua di dalam masyarakat kita dianggap lebih sebagai cara mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak daripada pertumbuhan dan perkembangan orang tua. Menjadi orang tua sering hanya berarti “membesarkan” anak-anak, merekalah yang harus menyesuaikan diri dengan orang tua. Ada “kenakalan anak-anak” tetapi tidak ada “kenakalan orang tua”. Mungkin juga tidak ada masalah hubngan-hubungan orang tua – anak. Meskipun demikian setiap orang tua mengetahui bahwa dalam mengadakan hubungan dengan suami atau istri, teman, saudara, atasan atau bawahan, ada saat-saat ia harus berubah untuk mencegah konflik-konflik serius atau mempertahankan kesejahteraan atau hubungan tersebut. Setiap orang pernah mengalami bagaimana ia harus mengubah sikapnya terhadap tingkah laku orang lain – lebih menerima cara-cara orang lain dengan mengubah sikapnya sendiri terhadap tingkah laku orang tersebut. Mungkin Anda selalu terganggu karena kebiasaan teman yang cenderung terlambat memenuhi perjanjian-perjanjian. Selama berkenalan bertahun-tahun Anda mulai menerimanya, mungkin bergurau mengenai kebiasaan itu dan bercanda dengan teman tersebut mengenai kelakuan itu. Sekarang Anda tidak terganggu lagi karenanya. Anda menerimanya sebagai salah satu sifat teman Anda. Tingkah lakunya tidak berubah. Sikap Anda mengenai tingkah laku itu telah berubah. Anda telah menyesuaikan diri. Anda telah berubah. Orang tua juga dapat mengubah sikap-sikap terhadap tingkah laku anak- anak. Ibu menjadi lebih menerima kebersihan Pratiwi untuk memakai rok-rok pendek sesudah ibu merenung kembali suatu masa dalam hidupnya saat ia dilanda mode rok di atas lutut dengan kaos kaki yang digulung, yang mengecewakan ibunya sendiri. Ayah Yono menjadi lebih menerima sikap hiperaktif yang dipelihatkan anaknya yang berumur tiga tahun itu sesudah ia mendengar dalam suatu 215

kelompok diskusi dengan pasangan orang tua lainnya, bahwa tingkah laku semacam itu memang wajar untuk anak laki-laki umur tiga tahun. Orang tua dengan demikian akan menjadi bijaksana jika menyadari bahwa ia dapat mengurangi jumlah tingkah laku yang dianggapnya kurang dapat diterima dengan mengadakan perubahan pada diri sendiri sehingga ia menjadi lebih dapat menerima tingkah laku anaknya atau anak-anak pada umumnya. Hal ini tidak sesulit yang diduga. Banyak orang tua menjadi lebih dapat menerima tingkah laku anak-anak sesudah mempunyai anak satu, dan lebih lagi sesudah anak dua atau tiga. Orang tua yang menjadi lebih menerima anak-anak sesudah membaca buku mengenai anak-anak atau sesudah mendengarkan ceramah tentang pendidikan orang tua atau sesudah mengalami menjadi pembina remaja. Hubungan langsung dengan anak- anak, atau bahkan mempelajari tentang anak-anak melalui pengalaman orang-orang lain, dapat sangat mengubah sikap orang tua. Masih banyak cara yang bermanfaat bagi orang tua untuk mengadakan perubahan sehingga mereka dapat menerima anak-anak. APAKAH ANDA DAPAT LEBIH MENERIMA DIRI? Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara bagaimana ornag menerima orang lain dengan bgaimana mereka dirinya sendiri. Seorang yang menerima dirinya sebagai suatu pribadi akan cenderung untuk semakin mudah menerima orang lain. Orang-orang yang tidak dapat menenggang banyak hal dari dirinya sendiri biasanya mengalami kesulitan dalam menenggang banyak hal pada orang lain. Orang tua harus menanyai diri sendiri dengan suatu pertanyaan yang mendalam: “Seberapa jauh saya menyukai diri saya?” Jika jawaban yang jujur menyatakan kurang menerima dirinya sebagai pribadi, orang tua itu harus memeriksa kembali seluruh hidupnya untuk mencari jalan agar dapat merasa lebih puas atas keberhasilan yang dicapainya. Orang-orang yang mempunyai kemampuan besar untuk menerima diri dan menghargai diri, biasanya dapat produktif dalam mencapai keberhasilan-eberhasilan dengan menggunakan bakat-bakatnya, mengaktualisasi potensi sendiri, meyelesaikan hal-hal tertentu, berbuat sesuatu. Orang tua yang memuaskan kebutuhan sendiri dengan usaha produktif tanpa menggantungkan diri pada orang lain, tidak hanya menerima diri mereka sendiri; tetapi juga tidak perlu mencari kepuasan kebutuhan- kebutuhannya melalui cara anak-anaknya bertingkah laku. Sebaliknya, jika orang tua tidak memiliki sedikit sumber kepuasan dan harga diri dalam kehidupannya dan menggantungkan kepuasannya pada penilaian orang lain atas anak-anaknya, ia akan cenderung untuk tidak dapat menerima anak-anaknya – terutama tingkah laku mereka yang 216

dikhawatirkan dapat menyebabkan ia tampak sebagai orang tua yang kurang baik. Dengan tergantung pada “penerimaan diri yang tidak langsung” tersebut, orang tua seacam itu bekepentingan agar anak-anaknya bertingkah laku menuruti cara-cara tertentu. Ia juga akan lebih sukar menerima anak-anak dan menjadi marah terhadap anak-anaknya jika menyimpang dari pola dasarnya. Menghasilkan “anak-anak baik” – berprestasi tinggi di sekolah, sukses dalam masyarakat, juara dalam olahraga, dan seterusnya – telah menjadi simbol status untuk banyak orang tua. Mereka mempunyai “kebutuhan” untuk menjadi bangga terhadap anak-anak mereka; mereka perlu agar anak- anak mereka bertingkah laku sedemikian rupa sehingga mereka tampak sebagai orng tua yang baik. Dalam batas-batas tertentu, banyak orang tua yang menggunakan anak-anaknya untuk memberikan suatu perasaan bernilai dan berharga. Jika tua tidak mempunyai sumber nilai diri dan harga diri lainnya, yang melanda banyak ibu di Amerika (dan beberapa ayah juga yang kehidupannya terbatas pada membesarkan anak-anak “baik”), maka panggung kehidupan menyodorkan ketergantungan pada anak-anak yang membuat orang tua selalu cemas dan sangat membutuhkan anak-anak bertingkah laku tertentu. ANAK-ANAK SIAPAKAH MEREKA? Banyak orang tua membenarkan usaha-usaha kuat untuk mencetak anak- anaknya ke dalam suatu pola yang sudah ada dengan mengatakan, “Pokoknya mereka anak saya, bukan?” atau, “Apakah orang tua tidak mempunyai hak untuk mempengaruhi anak-anak mereka sendiri dengan cara apa pun yang dianggapnya terbaik?” Orang tua yang terlalu mau memiliki anak, dan dengan demikian merasa mempunyai hak untuk membentuk anak secara tertentu, akan lebih cenderung untuk tidak dapat menerima tingkah laku ank jika menyimpang dari bentuk yang telah ditentunkan. Orang tua yang memandang anak sebagai seseorang yang agak terpidah dan malahan agak berbeda – sama sekali tidak “dimiliki” orang tua – akan merasa dapat menerima lebih banyak tingkah laku anak karena tidak ada bentuk tertentu, tidak ada pola yang sudah ditetapkan untuk anak. Orang tua semacam itulebih cepat menerima ciri khas seorang anak, lebih dapat memperbolehkan anak menjadi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Orang tua yang bersikap menerima, bersedia membiarkan anak mengembangkan “rencana” hidupnya sendiri, orang tua yang bersikap kurang menerima merasakan suatu kebutuhan untuk memaksakan rencana kehidupan untuk anaknya. Banyak orang tua menganggap anak sebagai “cabang dari orang tua”. Hal ini kerap menyebabkan orang tua berusaha keras mempengaruhi anak 217

menjadi apa yang diartikan orang tua sebagai anak yang baik atau untuk menjadi apa yang gagal dicapai oleh orang tua itu sendiri. Ahli psikologi humanistik dewasa ini banyak membicarakan mengenai “keterpisahan”. Bukti menunjukkan bahwa dalam hubungan sehat antar-manusia masing- masing dapat memperbolehkan yang lainnya “berpisah” darinya. Semakin besar terdapat sikap “keterpisahan” ini, maka semakin kurang kebutuhan untuk mengubah satu sama lain, semakin dapat menenggang ciri khasnya dapat dapat menerima perbedaan-perbedaan tingkah lakunya. Di dalam pekerjaan klinis bersama keluarga yang terganggu dan dengan kelas MOE kerap kali kami perlu mengingatkan orang tua: “Anda telah menciptakan hidup, sekarang biarkanlah anak memperolehnya. Biarkanlah ia memutuskan apa yang ia ingin lakukan dengan hidup yang Anda berikan”. Kahlil Gibran telah mengungkapkan prinsip ini dengan indah sekali dalam buku Sang Nabi: “Anakmu bukanlah milikmu. Mereka adalah putra dan putri kerinduan Sang Hidup terhadap dirinya sendiri. Mereka datang melalui kau tetapi bukan dari engkau. Dan meskipun mereka besertamu tetapi bukan hakmu. Kau boleh memberikan cintamu tetapi bukan pikiranmu, Karena mereka punya pikiran sendiri... Kau boleh berusaha menyerupai mereka, tetapi jangan berusaha membuat mereka seperti engkau. Karena hidup ini tidak berjalan mundur ataupun terpancang pada hari kemarin.” Orang tua dapat mengubah diri mereka sendiri dan mengurangi jmlah tingkah laku yang tidak dapat mereka terima, dengan melihat bahwa anak bukanlah milik, bukan cabang dari diri mereka, melainkan pribadi yang khas dan mandiri. Seorang anak mempunyai hak untuk menjadi apa yang mau dicapainya sendiri menurut kemampuannya, meskipun dangat berbeda dengan cita-cita orang tuanya ataupun pola dasar yang telah dirancang orang tua untuk anak. Inilah hak anak yang tidak dapat diganggu gugat. APAKAH ANDA BENAR-BENAR MENYUKAI ANAK-ANAK ATAU HANYA JENIS ANAK TERTENTU? Saya mengenal orang tua yang menyatakan senang pada anak-anak, tetapi sikapnya memperlihatkan dengan jelas bahwa ia hanya menyukai jenis anak-anak tertentu. Ayah yang menyukai bidang olahraga kerap secara tragis menolak anak laki-laki yang tidak berbakat dan tidak berminat dalam bidang olahraga. Para ibu yang menilai keindahan badaniah menolak anak perempuannya yang tidak sesuai dengan anggapan umum mengenai wanita yang cantik. Orang tua yang hidupnya telah diperkaya dengan musik kerap kali memperlihatkan kekecewaannya pada anaknya yang tidak berbakat musik. Orang tua yang menilai tinggi kemampuan akademis dapat 218

menyebabkan gangguan emosional yang parah pada anak yang tidak mempunyai kepandaian khusus itu. Makin sedikit tingkah laku yang tidak dapat diterima, jika orang tua makin menyadari adanya variasi yang tidak terbatas dari anak-anak yang dibesarkan di dunia ini dan variasi yang tidak terbatas pula dari cara-cara mereka mengarungi hidup. Keindahan alam dan keajaiban hidup merupakan keanekaragaman bentuk-bentuk hidup. Saya kerap memberitahu orang tua, “Jangan menginginkan anakmu menjadi sesuatu yang tertentu; biarkanlah ia menjadi apa yang diinginkannya”. Dengan sikap semacam itu, orang tua akhirnya mendapatkan bahwa mereka merasa dirinya lebih dapat menerima masing- masing anak dan mengalami rasa gembira menyaksikan anak-anak mereka berkembang. APAKAH NILAI-NILAI DAN KEYAKINAN-KEYAKINAN ANDA SAJA YANG BENAR? Jelaslah bahwa orang tua lebih matang dan lebih berpengalaman daripada anak-anak mereka, namun kerap kali pengalaman atau kematangan mereka itu kurang jelas menunjukkan bahwa orang tua secara istimewa lebih bijaksana untuk selalu mempertimbangkan apa yang benar dan apa yang salah. ”Pengalaman adalah guru yang baik”, tetapi tidak selalu mengajarkan apa yang benar; “Pengetahuan adalah lebih baik daripada kebodohan”, tetapi seseorang yang berpengetahuan tidak selalu bijaksana. Bagi saya mengesankan untuk melihat bahwa banyak orang tua yang mempunyai masalah berat dalam hubungannya dengan anak-anak mereka, adalah orang-orang yang mempunyai konsep-konsep yang kuat dan kaku mengenai apa yang benar dan apa yang salah. Terlihat bahwa semakin yakin orang tua atas kebenaran nilai-nilai dari keyakinan-keyakinan mereka, semakin cenderung orang tua itu memaksakannya pada anak-anak mereka (dan biasanya pada orang-orang lain juga). Orang tua semacam itu biasanya juga cenderung untuk tidak dapat menerima tingkah laku yang nampaknya menyimpang dari nilai-nilai dan keyakinan-keyakinannya sendiri. Orang tua yang mempunyai sistem nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang lebih lunak, dan lebih tertembus, lebih mudah berubah, kurang hitam atau putih, cenderung jauh lebih mudah menerima tingkah laku yang nampaknya menyimpang dari nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan mereka. Sekali lagi menurut pengamatan saya, orang tua yang demikian kurang cenderung untuk memaksakan pola dasar arau mencoba mencetak anak- anak ke dalam pola-pola yang sudah dirancang. Orang tua macam inilah yang lebih mudah menerima anak lelaki berambut gondrong atau memakai kalung meskipun mereka sendiri kurang menghargai nilai-nilai tersebut, merekalah yang lebih mudah menerima rok pendek, pola-pola seksual yang 219

berubah, gaya berbusana yang berbeda, protes-protes terhadap generasi tua, pemberontakan terhadap pimpinan sekolah, demonstrasi anti-perang atau pergaulan campuran dengan anak-anak yang berbeda suku bangsa atau warisan kebudayaannya. Orang macam inilah yang agaknya dapat menerima bahwa perubahan tak dapat dielakkan, bahwa “hidup tidaklah mundur atau terpancang pada hari kemarin”, bahwa keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai satu generasi tidak selalu dimiliki generasi berikutnya, bahwa masyarakat kita membutuhkan perbaikan, bahwa hal-hal yang harus diprotes dengan keras, dan bahwa otoritas yang tidak masuk akal dan menekan kerap harus ditentang dengan kuat. Orang tua dengan sikap-sikap seperti itu lebih dapat memahami, membenarkan dan menerima tingkah laku kaum muda. APAKAH HUBUNGAN ANDA DENGAN SUAMI/ISTRI ANDA UTAMAKAN? Banyak orang tua di Amerikayang menganggap hubungan dengan anak- anak mereka sebagai hubungan utama, dan bukan hubungan antara suami- istri. Teruttama para ibu sangat tergantung pada anak-anak mereka untuk memberi kepuasan dan kenikmatan, padahal seharusnya itu timbul dari hubungan perkawinannya. Sering kali ini menyebabkan sikap “anak-anak yang diutamakan dulu”, “berkorban demi anak-anak”, atau sangat tergantung pada seberapa jauh anak-anak “menjadi orang baik-baik” karena hubungan orang tua – anak berperanan besar bagi kepuasan hidup mereka. Tingkah laku anak mempunyai arti yang terlalu dilebih-lebihkan bagi orang tua tersebut. Bagaimana anak berkelakuan menjadi penting sekali. Orang tua ini merasa bahwa anak harus diawasi, diarahkan, dibimbing, dimata- matai, ditimbang, dinilai, secara terus-menerus. Sukat bagi orang tua ini untuk membiarkan anak-anak mereka membuat kesalahan-kesalahan atau jatuh dalam kehidupannya. Mereka merasa anak harus dilindungi terhadap pengalaman kegagalan, dilindungi terhadap semua bahaya yang mungkin ada. Orang tua yang efektif dapat mengadakan hubungan yang lebih santai dengan anak-anak mereka. Hubungan perkawinanlah yang lebih utama bagi mereka. Anak-anak memang mempunyai tempat yang berarti dalam kehidupan mereka, tetapi hampir bersifat sekunder – kalau tidak betul-betul sekunder, pokoknya tidak lebih penting daripada suami-istri. Orang tua ini memberi anak-anak mereka lebih banyak kebebasan dan kesempatan untuk berlatih sendiri. Orang tua ini senang bersama dengan anak-anaknya tetapi hanya untuk batas waktu tertentu; mereka juga senang berdua dengan suai- istri. Kepuasan hidup mereka tidak hanya pada anak-anak mereka; tetapi juga dalam perkawinan mereka. Bagaimana anak-anak mereka bertingkah laku atau seberapa banyak anak berprestasi, dengan demikian tidaklah begitu menggoncangkan mereka. Mereka cenderung berpendapat bahwa 220

anak-anak mempunyai kehidupan mereka sendiri untuk dijalankan maka perlu banyak kebebasan untuk membentuk diri sendiri. Orang tua ini jarang memberi teguran pada anak-anak mereka dan tidak memata-matai kegiatan- kegiatan mereka. Mereka hanya tampil jika diperlukan oleh anak-anak, tetapi mereka tidak mempunyai perasaan yang kuat untuk ikut campur atau tampil dalam kehidupan anak-anak tanpa diminta. Mereka pada umumnya tidak menelantarkan anak-anaknya. Mereka menaruh perhatian tetapi tidak cemas. Mereka mempunyai minat tetapi tidak menyesatkan. “Anak adalah anak” itulah sikap mereka, sehingga mereka dapat lebih menerima anak sebagaimana adanya. Orang tua yang efektif lebih sering merasa sikap anak-anak mereka dan kelemahan-kelemahannya sebagai sesuatu yang lucu, dan bukan sesuatu yang menghancurkan. Orang tua dalam kelompok kedua di atas anak cenderung untuk lebih menerima – hanya sedikit tingkah laku dapat merisaukan mereka. Kebutuhan untuk mengendalikan, membatasi, mengarahkan, mengekang, menegur, dan memberi khotbah lebih sedikit. Mereka dapat membiarkan anak menjadi lebih bebas – lebih terpisah. Orang tua dalam kelompok pertama cenderung untuk kurang dapat menerima. Mereka butuh mengendalikan, membatasi, mengarahkan, mengekang, dan seterusnya. Karena hubungan mereka dengan anak adalah yang utama, orang tua macam itu mempunyai kebutuhan kuat untuk mengawasi tingkah laku anak dan menyusun rencana hidup anak-anaknya. Saya dapat melihat lebih jelas mengapa orang tua yang mempunyai hubungan yang kurang memuaskan dengan suami/istrinya, lebih sukar menerima keadaan anaknya. Mereka terlalu membutuhkan anak untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan-kepuasan yang tidak ada dalam hubungan perkawinan. DAPATKAH ORANG TUA MENGUBAH SIKAP-SIKAP MEREKA? Dapatkah buku ini – atau suatu kursus MOE selama delapan minggu menghasilkan suatu perubahan dalam sikap orang tua? Dapatkah orang tua belajar untuk lebih menerima anak-anak mereka? Sebetulnya saya agak ragu. Seperti halnya mereka yang berpraktek dalam bidang yang berhubungan dengan masyarakat langsung, saya pernah mempunyai prasangka-prasangka yang disebabkan pendidikan formal saya. Kebanyakan dari kami diajar bahwa orang tidak berubah kecuali jika menjalankan psikoterapi intensif di bawah bimbingan seorang dokter ahli, yang biasanya memakan waktu enam bulan sampai setahun atau bahkan lebih lama. Namun dalam tahun-tahun belakangan ini, telah terjadi suatu pergeseran besar-besaran dalam pemikiran para ahli. Banyak dari kami yang telah mengamati orang mengalami perubahan berarti dalam sikap dan tingkah laku sebagai hasil pengalaman dalam “kelompok pengembangan diri” – latihan kepekaan, kelompok pertemuan dasar, kelompok maraton akhir 221

minggu, kelompok latihan potensi manusia, kelompok pertemuan tanpa pimpinan, kelompok-kelompok pasangan,, lokakarya dengan menginap sekeluarga, kelompok-kelompok Synanon, lokakarya kepekaan-sensorik, dan sebagainya. Banyak ahli sekarang menerima pendapat bahwa manusia dapat berubah secara berarti jika mereka memperoleh kesempatan untuk mendapat pengalaman kelompok dan dapat berbicara secara terbuka dan bersikap jujur satu sama lain, bertukar perasaan dan membicarakan masalah-masalah dalam suatu suasana di mana mereka merasa dimengerti secara empati dan diterima dengan hangat. Agaknya MOE adalah salah satu pengalaman semacam itu. Orang tua membahas perasaan-perasaan dan memperbincangkan masalah-masalah satu sama lain dalam ruang kelas yang santai. Mereka duduk dalam satu lingkaran, siapa pun dapat berbicara sewaktu ia inginkan, mereka didorong untuk mengungkapkan perasaan tentang anak-anak mereka; mereka belajar bahwa kebanyakan orang tua mempunyai masalah-masalah yang serupa dengan mereka; pembina mendengarkan dan memberikan contoh bagaimana mencapai pengertian melalui mendengar aktif, pendapat- pendapat atau perdebatan-perdebatan mereka tidak ditimbang atau dinilai; mereka tidak dicemoohkan oleh pembina dan peserta menyadari melalui pengalaman bahwa orang lain sungguh-sungguh menaruh perhatian pada mereka. Di dalam MOE tidak ada ujian-ujian atau angka-angka. Kehadiran bersifat sukarela. Konsep-konsep dan metode-metode baru ditawarkan, tidak dipaksakan. Orang tua dibuat agar merasa bebas untuk menyatakan sikap tidak setuju, untuk berbicara secara terbuka mengenai pertentangan apa pun terhadap gagasan dan metode-metode baru. Orang tua diberi kesempatan untuk melatih metode-metode baru dalam suasana ruangan kelas yang aman sebelum mereka didorong untuk mencobanya di rumah, dan meski diawali secara kaku penggunaan metode-metode baru diterima dan dimengerti oleh kelompok. Hampir semua orang tua yang mendaftarkan untuk ikut MOE menyadari, dan kerap mengakui secara terbuka di dalam kelas, bahwa sikap-sikap dan metode-metode mereka sebagai orang tua saat itu banyak kekurangannya. Banyak yang mengetahui bahwa mereka tidak efektif terhadap satu atau lebih anak-anak mereka; orang tua lainnya takut akibat dari metode-metodenya terhadap anak-anak; semua menyadari secara jelas berapa banyak hubungan orang tua – anak yang mengalami kerusakan jiwa anak menginjak masa remaja. Hasilnya banyak orang tua di dalam MOE mempunyai kesiapsiagaan dan keinginan untuk berubah – untuk mempelajari metode-metode baru yang lebih efektif, untuk mencegah kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat orang tua lain (ataupun mereka sendiri), dan untuk menemukan 222

teknik apa pun yang sekiranya dapat mempermudah tugas mereka. Belum pernah dijumpai orang tua yang tidak ingin membesarkan anak mereka secara lebih baik. Semua ini berlangsung di dalam MOE, untuk kita semua, sehingga tidak mengherankan bahwa pengalaman latihan membawa perubahan yang berarti dalam sikap dan tingkah laku orang tua. Di bawah ini adalah beberapa contoh pernyataan-pernyataan yang dikutip dari surat-surat atau dari kertas evaluasi yang diisi orang tua secara anonim pada akhir kursus sebagai berikut: “Mestinya kami harus mengikuti kursus ini beberapa tahun yang lalu sebelum anak-anak kami menginjak remaja”. “Kami sekarang memperlakukan anak-anak dengan penghargaan yang sama seperti yang kami perlihatkan kepada teman-teman kami”. “Saya merasa beruntung menjadi salah satu orang tua yang telah mengikuti kursus. Lebih dari itu, saya merasa pandangan saya terhadap umat manusia secara keseluruhan telah meluas, dan saya dapat lebih menerima orang lain, sebagaimana adanya, tidak seperti cara saya memandang mereka sebelumnya”. “Saya selalu menyukai anak-anak, tetapi sekarang saya belajar untuk juga menghargai MOE, bukan hanya pendidikan untuk membesarkan anak. Untuk saya juga merupakan suatu falsafah hidup”. “Kursus ini membuat saya menyadari betapa saya menilai rendah anak-anak saya dan melemahkan mereka melalui sikap saya yang terlalu melindungi dan dan terlalu mengkhawatirkan. Saya pernah menjadi anggota suatu kelompok bermutu yang mempelajari pendidikan anak, tetapi akhirnya itu hanya menguatkan perasaan-perasaan bersalah saya dan membuat saya berusaha terus- menerus untuk menjadi ‘ibu sempurna’”. “Semula saya meragukan dan hampir tak percaya sedikit pun pada kemampuan anak-anak. Ketika saya mengetahui bahwa mereka dapat menanggulangi perasaan-perasaan dan masalah-masalah mereka lebih baik daripada saya sendiri, saya merasakan beban dunia terangkat dari pundak saya. Saya mulai hidup untuk diri sendiri. Saya belajar kembali di suatu fakultas, dan saya menjadi seorang yang lebih bahagia dan puas, dengan demikian menjadi orang tua yang lebih baik”. Tidak semua orang tua dalam masa delapan minggu dapat mengadakan perubahan-perubahan sikap yang diperlukan agar dapat lebih menerima anak-anak mereka. Beberapa orang menyadari bahwa perkawinannya tidak saling memuaskan sehingga satu atau keduanya tidak dapat bersikap efektif dengan anak-anak. Mereka jarang punya waktu ataupun tenaga karena kebanyakan dipakai untuk konflik-konflik perkawinan sendiri, atau mereka tidak dapat menerima anak-anak mereka sebab mereka tidak merasa dapat menerima diri mereka sebagai suami atau istri. Orang tua lainnya menjumpai kesulitan untuk melepaskan sistem nilai yang menekan itu, yang telah diperoleh dari orang tuanya sendiri dan yang sekarang menyebabkan mereka menjadi terlalu menghakimi dan tidak dapat 223

menerima anak-anak mereka. Masih ada orang tua lainnya yang mengalami kesulitan mengubah sikap “memiliki” anak atau keprihatinannya yang mendalam untuk menghasilkan anak yang menuruti cetakan yang sudah dirancang: sikap ini terdapat pada kebanyakan orang tua yang telah dipengaruhi secara kuat oleh dogma-dogma beberapa aliran agama tertentu yang mengajarkan bahwa orang tua mempunyai kewajiban moral untuk membuat anak-anak bertobat, meskipun berarti harus menggunakan kekuasaan atau otoritas orang tua atau menggunakan metode-metode untuk mempengaruhi yang tidak begitu berbeda dari cuci otak atau pengendalian pikiran. Untuk beberapa orang tua yang sulit mengubah sikap dasarnya sendiri, pengalaman MOE disebabkan satu dan lain hal, membuka pintu pada pencarian bantua jenis lain – terapi kelompok, konsultasi perkawinan, terapi keluarga, atau bahkan terapi perorangan. Agak banyak orang tua mengatakan bahwa setelah ikut MOE, mereka sama sekali tak punya pikiran untuk tolong psikolog, atau psikiater. Kelihatannya MOE menciptakan kesadaran diri, motivasi, serta keinginan yang lebih besar untuk berubah, walaupun MOE itu sendiri tidak cukup menghasilkan perubahan yang berarti. Sesudah kursus MOE, beberapa orang tua meminta untk meneruskannya dengan pertemuan-pertemuan kelompok kecil yang terdiri dari ibu-ibu dan bapak-bapak, agar dapat membantu mereka menyingkirkan sikap-sikap dan masaah-masalah yang menghalangi meeka menggunakan metode-metode efektif yang baru dipelajarinya. Di dalam “kelompok-kelompok lanjutan” ini orang tua pada dasarnya hanya mengurus hubungan perkawinan mereka, hubungan mereka dengan orang tuanya sendiri, atau sikap-sikap dasar mereka sebagai manusia. Hanya sesudah pengalaman mereka dalam kelompok-kelompok terapi yang lebih mendalam, maka orang tua tersebut memperoleh wawasan yang menimbulkan perubahan-perubahan dalam sikap-sikap yang memungkinkan mereka mengunakan metode-metode MOE secara efektif. Jadi untuk beberapa orang tua MOE itu sendiri mungkin tidak akan menghasilkan perubahan yang cukup berarti dalam sikap-sikapnya, tetapi sudah memulai suatu proses perubahan atau mendorong mereka untuk mulai mengadakan perjalanan untuk menjadi orang atau orang tua yang lebih efektif. Jelaslah, membaca buku ini pun tidaklah sama dengan menjalankan kursus selama delapan minggu bersama sekelompok orang tua lainnya, di bawah bimbingan dan pengarahan pembina terlatih. Meskipun demikian, saya merasa bahwa kebanyakan orang tua akan memperoleh suatu pengertian yang mendalam mengenai falsafah baru tentang cara membesarkan anak ini, dengan membaca dan mempelajari secara seksama buku ini. Dari buku ini banyak orang tua akan mencapai suatu tingkat 224

kemampuan yang lumayan dalam ketrampilan-ketrampilan khusus yang diperlukan agar falsafah ini dapat diterapkan di rumah. Ketrampilan-ketrampilan tersebut mesti sering dan terus-menerus dilatih oleh pembaca selama mungkin sesudah selesai membaca buku ini – tidak hanya dalam hubungan Anda dengan anak-anak, tetapi juga dalam hubungan dengan suami/istri, teman kerja, orang tua, teman-teman. Pengalaman-pengalaman kita menunjukkan bahwa ntuk menjadi lebih efektif dalam membesarkan anak perlu usaha-usaha yang gigih – apakah itu didorong oleh kursus MOE, atau karena membaca buku ini, atau keduanya tidaklah pokok. Yang pokok adalah, adakah suatu tugas yang tidak menuntut usaha gigih? 225

16 Orang Tua Lain Dari Anak-anak Anda Sepanjang hidup anak-anak Anda akan mendapat pengaruh dari orang dewasa lain yang Anda beri tanggung jawab tertentu. Karena orang-p\\orang ini akan menjalankan fungsi orang tua terhadap anak-anak Anda, maka mereka juga akan mempunyai pengaruh besar pada pertumbuhan dan perkembangan anak-anak ini. Yang saya maksud adalah, nenek dan kakek, keluarga lain, pengasuh anak, guru-guru, kepala sekolah, konselor sekolah, pembimbing olahraga, pemimpin pramuka, pemimpin organisasi pemuda, guru-guru sekolah minggu, guru-guru agama, dan sebagainya. Bila Anda melimpahkan tanggung jawab kepada “pengganti orang tua” semacam itu, jaminan apa yang Anda punyai tentang efektivitas mereka? Apakah orang-orang ini akan menciptakan hubungan yang membangun dengan putra-putri Anda ataukah justru akan menciptakan hubungan yang merusak? Sampai sejauh mana mereka dapat berfungsi efektif sebagai “penolong” bagi anak-anak Anda? Dapatkah Anda mempercayakan putra- putri Anda kepada “pengganti orang tua” dan percaya bahwa mereka tidak akan “merusak” anak-anak Anda? Hal ini merupakan pertanyaan-pertanyaan penting karena hidup putra- putri Anda akan sangat dipengaruhi oleh semua orang dewasa yang menjalinkan hubungan dengan mereka. Banyak dari para “pengganti orang tua” ini ikut dalam kursus-kursus MOE yang kami selenggarakan. Kami juga banyak bekerja dengan orang- orang semacam itu dalam program-program pendidikan kami yang khusus menjadi guru efektif, menjadi konselor efektif, menjadi pemimpin efektif. Dalam pengamatan kami, banyak di antara orang-orang dalam profesi tersebut yang mempunyai sikap dan cara bertindak yang hampir sama dengan sikap dan cara bertindak orang tua terhadap anak-anak mereka, mereka juga berbicara kepada anak dengan cara yang merendahkan dan merusak harga diri anak; mereka juga sangat kuat berpegang pada otoritas dan kekuasaan untuk memanipulasi dan mengendalikan tingkah laku anak; mereka juga berpegang teguh pada kedua metode kalah-menang untuk memecahkan konflik; mereka juga merepotkan, mengusik, berkhotbah, dan membuat malu anak-anak dalam usaha mereka untuk membentuk nilai-nilai dan keyakinan anak-anak ini, mencetakkan dengan pola-pola orang tua. Sudah barang tentu ada perkecualian seperti ada juga perkecualian di antara orang tua. Tetapi, pada umumnya, orang-orang dewasa yang mempengaruhi kehidupan anak-anak Anda, kurang mempunyai sikap dan ketrampilan dasar untuk bisa menjadi penolong efektif bagi anak-anak itu. Seperti halnya para orang tua, mereka tidak mendapat latihan yang efektif sehingga bisa menjadi “pelaku yang membantu” dalam hubungan mereka 226

dengan seorang anak atau remaja. Maka, sangat disayangkan, mereka dapat menimbulkan “kerusakan” pada anak-anak Anda. Saya akan mengambil guru-guru sekolah dan pengelola sekolah sebagai contoh, meski ini tidak berarti bahwa mereka yang paling tidak efektif dan paling memerlukan pendidikan. Tetapi merekalah yang mengisi waktu paling banyak dengan anak-anak Anda, merekalah yang mempunyai kemungkinan terbesar untuk mempengaruhi anak-anak Anda, baik atau buruk. Berdasarkan pengalaman kami bekerja di banyak sekolah, jelas bagi saya bahwa sekolah, dengan sedikit perkecualian, pada dasarnya adalah lembaga otoriter yang mencontoh organisasi militer dalam hal struktur organisasi dan filsafat kepemimpinan mereka. Aturan-aturan mengenai bagaimana seharusnya seorang siswa bertingkah laku hampir selalu ditentukan secara sepihak oleh orang dewasa yang ada pada puncak organisasi, tanpa ikut sertanya anak-anak yang diharapkan untuk meatuhi aturan-aturan tersebut. Tidak mematuhi aturan ini menyebabkan hukuman – pada kasus-kasus tertentu, boleh percaya atau tidak, menyebabkan hukuman fisik. Bahkan wali kelastidak mempunyai hak suara untuk menetapkan aturan bertingkah laku, padahal guru-guru ini diharapkan untuk menerapkan aturan tersebut. Guru-guru ini biasanya lebih dinilai berdasarkan sampai sejauh mana mereka efektif dalam mempertahankan aturan di kelas, daripada sampai sejauh mana mereka efektif dalam mendorong anak-anak didik mereka untuk belajar. Sekolah juga menerapkan suatu kurikulum yang oleh kebanyakan anak dinilai sebagai membosankan dan tidak berhubungan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Lalu meskipun sekolah-sekolah ini mengerti bahwa kurikulum semacam itu tidak akan menimbulkan motivasi bagi para siswa baik dari segi minat ataupun relevansi dalam hidup, hampir secara umum sekolah-sekolah menggunakan sistem pemberian hadiah dan hukuman dalam bentuk “nilai” yang dipraktekkan di mana-mana yang hampir menjamin bahwa dalam prosentasi agak besar sejumlah siswa akan mendapat label “di bawah rata-rata”. Di dalam kelas anak-anak sering dimaki dan diremehkan oleh guru-guru mereka. Mereka mendapat hadiah untuk kemampuan mereka menghafalkan apa yang disuruh baca dan sering mendapat hukuman karena tidak setuju atau membantah. Hampir agak umum, sedikitnya pada tingkat sekolah dasar, atau di sekolah lanjutan pertama, atau sekolah lanjutan atas, guru- guru sangat tidak efektif dalam mendorong anak-anak didik mereka dalam diskusi-diskusi kelompok yang bermanfaat, karena kebanyak guru biasanya “bungkam” terhadap saran-saran para siswa. Dengan demikian komunikasi yang terbuka dan jujur biasanya tidak dimungkinkan oleh hampir semua guru, dengan sedikit perkecualian. 227

Bila anak-anak “bertingkah” di dalam kelas, seperti yang memang sewajarnya terjadi dalam suasana yang tidak menimbulkan minat dan tidak mendorong perkembangan, konflik-konflik yang timbul biasanya ditanggulangi dengan Metode I, dalam beberapa kasus dengan Metode II. Anak-anak sering diperintah untuk menemui kepala sekolah atau konselor, yang mendapat tugas untuk mencoba menyelesaikan konflik guru – anak didik – meskipun satu pihak dari yang berkonflik tidak hadir – yaitu, guru. Dengan demikian, biasanya kepala sekolah atau konselor menduga bahwa si anak adalah pihak yang bersalah dan sebagai akibatnya, ia menghukum atau menghotbahi, atau meminta anak berjanji untuk “berhenti mengacau dan bersikap menurut”. Dalam kebanyakan sekolah, para siswa sering tidak mendapatkan hak- hak mereka – hak untuk bicara dengan bebas, hak untuk memilih potongan rambut sendiri, hak untuk memakai pakaian yang mereka sukai, hak untuk tidak setuju. Sekolah juga sering tidak mengindahkan hal anak untuk menolak memberi kesaksian yang bertentangan dengan mereka sendiri. Dan kalau anak berada dalam kesulitan, pengelola sekolah jarang sekali mengikuti prosedur umum yang berlaku bagi “proses hukum”, yang merupakan hak setiap warga negara. Apakah yang diuraikan di atas itu hanya sekedar suatu gambaran “menyimpang” dari sekolah-sekolah? Saya kira tidak! Banyak pengamat sistem sekolah lainnya juga melihat kekurangan atau penyimpangan tersebut di atas. Lebih lanjut lagi, orang hanya perlu bertanya kepada anak- anak muda bagaimana perasaan mereka terhadap sekolah atau guru-guru sekolah. Kebanyakan anak berkata bahwa mereka membenci sekolah dan bahwa guru-guru mereka memperlakukan mereka dengan tidak hormat dan tidak adil. Kebanyakan anak sampai pada pengalaman mengenai sekolah sebagai tempat ke mana mereka harus pergi; mereka mengalami belajar sebagai sesuatu yang jarang saja menyenangkan atau menggembirakan; mereka mengalami sebagai suatu kerja keras dan mereka melihat guru-guru sebagai polisi yang tidak ramah. Bila anak-anak diserahkan dalam pengawasan orang dewasa yang perlakuannya terhadap mereka menghasilkan reaksi negatif semacam itu, orang tua tidak dapat diharapkan untuk memikul semua beban kesalahan sehubungan dengan bentuk akhir anak-anak mereka. Orang tua dapat disalahkan, pasti, tetapi orang-orang dewasa lain harus ikut memikul beban kesalahan ini. Apa yang dapat dilakukan oleh orang tua? Apakah mereka dapat menanamkan pengaruh membangun kepada “orang tua-orang tua lain” dari anak-anak mereka? Apakah mereka mempunyai hak suara untuk menentukan bagaimana anak-anak mereka harus dihadapi atau diperlakukan oleh orang-orang lain? Saya percaya bahwa mereka berhak dan harus 228

menggunakan hak ini. Tetapi mereka harus tidak lagi pasif dan tunduk seperti masa-masa lalu. Pertama-tama, mereka harus dapat menemukan bukti bahwa dalam lembaga yang memberi pelayanan kepada kaum muda, anak-anak mereka dikendalikan dan ditekan oleh orang-orang dewasa yang menunjukkan kekuasaan dan otoritas. Mereka harus menentang dan berjuang terhadap mereka yang menerapkan “sikap keras pada anak-anak”, yang menggunakan kekuasaan terhadap anak di bawah lindungan panji-panji “hukum dan aturan”, yang membenarkan otoriter atas dasar prasangka bahwa anak tidak dapat dipercaya untuk bertanggung jawab atau mempunyai disiplin diri. Orang tua harus berani bertindak melindungi hak-hak anak-anak mereka, bila anak diancam oleh orang-orang dewasa yang merasa bahwa anak-anak tidak mempunyai hak semacam itu. Orang tua dapat pula menyarankan dan membantu program-progran yang mengetengahkan gagasan-gagasan baru dan metode-metode yang ditujukan kepada pembaharuan sekolah – misalnya gagasan yang mengemukakan perlunya perubahan kurikulum memperbaharui sistem penilaian, memperkenalkan metodologi instruksional baru, memberi lebih banyak kebebasan kepada anak didik untuk belajar sendiri dan dengan irama mereka sendiri, menyarankan instruksi individual, memberi kesempatan pada anak untuk mengambil bagian bersama orang dewasa dalam proses pengelolaan sekolah atau mendidik para guru supaya lebih manusiawi dan lebih mendorong berkembangnya hubungan mereka dengan anak-anak didik. Program-program semacam ini sudah ada dalam kelompok-kelompok masyarakat yang ingin memperbaharui sekolah-sekolah mereka. Lebih banyak lagi yang sedang diramu dalam tahap perencanaan. Orang tua tidak perlu takut menghadapi program pendidikan baru semacam ini, orang tua justru harus menerimanya dengan terbuka, mendorong para pengelola sekolah untuk mencoba program tersebut dan menilai bagaimana hasilnya. Program yang paling saya kenal adalah program kami sendiri yang terdiri dari dua kursus: MGE dan MPSE (Menjadi Guru Efektif dan Menjadi Pengelola Sekolah Efektif). Kursus-kursus ini sudah banyak diberikan di sekolah negeri dan swasta. Hasilnya, tampaknya cukup memuaskan. Pada salah satu sekolah lanjutan pertama di Copertino, California, program kami ini mempunyai pengaruh sedemikan rupa sehingga kepala sekolah mengikutsertakan guru-guru dan anak-anak didik dalam suatu proyek untuk mengkaji kembali semua aturan tingkah laku yang berlaku bagi para siswa. Kelompok orang dewasa yang bekerja sama dengan para siswa ini, menyingkirkan buku aturan mereka yang tebal dan kuno dan 229

menggantikannya dengan dua aturan sederhana: tidak seorang pun yang berhak merintangi proses belajar orang lain, dan tidak seorang pun yang mempunyai hak untuk menyakiti orang lain! Kepala sekolah melaporkan sebagai berikut: “Pengurangan kekuasaan dan otoritas yang digunakan terhadap para siswa menimbulkan akibat meningkatnya jumlah siswa yang lebih bisa mengatur diri sendiri, anak-anak didik yang lebih bertanggung jawab terhadap tingkah laku mereka sendiri dan juga tingkah laku orang lain”. Pada lain sekolah, di Palo Alto, California, dengan menggunakan Metode III dalam memccahkan konflik di sebuah kelas yang hampir berantakan karena tidak adanya disiplin, guru berhasil mengurangi jumlah tingkah laku yang “tidak dapat diterima dan mengancam” dari 30 tingkah laku setiap jam pelajaran menjadi rata-rata 4½ setiap jam pelajaran. Suatu kuisioner tindak lanjut menunjukkan bahwa 76 % dari para siswa merasa bahwa kelas dapat memberikan hasil lebih banyak setelah digunakan cara pemecahan persoalan ini, dan 95% merasa bahwa suasana kelas “menjadi lebih baik” atau “sangat lebih baik”. Kepala sekolah lanjutan atas Apollo yang terletak di Lembah Simi, menuliskan manfaat latihan Menjadi Guru Efektif bagi dirinya dan bagi sekolahnya: 1. Persoalan disiplin berkurang sedikitnya 50%. Saya merasakan cara ini sebagai suatu metode yang memuaskan dan efektif untuk menanggulangi persoalan tingkah laku tanpa “menskors” siswa. Saya belajar bahwa “menskors” siswa hanyalah menyelesaikan persoalan untuk 3 atau 4 hari, dan cara ini tidak menyingkirkan apa yang menyebabkan tingkah laku tersebut. Ketrampilan yang saya pelajari dalam kursus MGE mendorong tercapainya pemecahan persoalan di antara siswa, antara staf guru dan pengelola sekolah, dan antara guru dan siswa. 2. Kami mengadakan pertemuan-pertemuan sekolah yang kami rasakan dapat mencegah konflik sebelum konflik tersebut timbul. Kami menggunakan metode pemecahan persoalan dari Dr. Gordon, dan telah berhasil mencegah konflik menjadi persoalan tingkah laku. 3. Hubungan saya dengan para siswa menjadi sangat bertambah baik, dengan membiarkan para siswa bertanggung jawab terhadap tingkah laku dan tindakan mereka sendiri, dan memberi mereka hak istimewa untuk menyelesaikan persoalan mereka sendiri. Kepala sekolah dari suatu sekolah dasar di La Mesa, menuliskan tanggapan mengenai program Menjadi Guru Efektif seperti ini: Sebagai seorang kepala sekolah dasar yang kebanyakan anggota stafnya mendapat didikan dalam program Menjadi Guru Efektif (16 dari 23), saya melihat adanya perubahan tingkah laku baik dari pihak staf guru maupun dari pihak siswa, dan perubahan ini dapat langsung dikaitkan dengan program latihan ini: 1. Guru merasa yakin akan kemampuannya untk menanggulangi masalah tingkah laku yang sulit. 230

2. Suasana emosional di kelas tampak lebih santai dan lebih sehat. 3. Anak didik ikut serta dalam menentukan aturan tentang bagaimana mengatur pengalaman belajar mereka dalam suatu struktur. Karena hal ini, mereka mempunyai komitmen pribadi terhadap terlaksananya aturan-aturan ini. 4. Anak didik belajar bagaimana caranya memecahkan persoalan sosial tanpa menggunakan paksaan ataupun manipulasi. 5. Jauh lebih sedikit “kasus-kasus disiplin” yang diajukan kepada saya. 6. Tingkah laku guru jauh lebih sesuai, yaitu konseling untuk siswa dilakukan kalau siswa itu memang mempunyai persoalan dan konseling tidak dilakukan bila guru yang mempunyai persoalan. 7. Kemampuan guru untuk menyelenggarakan pertemuan yang berarti antara orang tua dan guru, telah menjadi meningkat. Perubahan-perubahan yang berarti dapat dihasilkan di sekolah-sekolah dengan memberikan kepada pengelola dan guru, latihan ketrampilan yang sama seperti yang telah kami berikan kepada orang tua dalam MOE. Tetapi kami juga menemukan bahwa sekolah-sekolah tertentu tidak terbuka untuk perubahan, yaitu sekolah-sekolah yang terdapat dalam masyarakat di mana kebanyakan orang tua mempunyai komitmen untuk mempertahankan “status quo”, takut terhadap perubahan, atau terpendam dalam tradisi perlakuan otoriter terhadap anak muda. Harapan saya adalah bahwa lebih banyak orang tua dapat dipengaruhi supaya mau mendengarkan anak-anak mereka bila mereka mengeluh tentang perlakuan yang mereka terima dari banyak guru, pembimbing, guru sekolah minggu, dan pemimpin-pemimpin pemuda. Mereka dapat mulai percaya kepada kebenaran perasaan putra-putri mereka kalau mereka berkata bahwa mereka membenci sekolah atau tidak senang dengan cara mereka diperlakukan oleh orang-orang dewasa. Orang tua dapat menemukan apa yang salah dalam lembaga ini dengan mendengarkan anak- anak mereka dan tidak selalu membela lembaga tersebut. Hanya oleh orang tua yang sudah sadar, lembaga ini dapat dipengaruhi supaya menjadi lebih demokratis, lebih manusiawi, dan lebih mendorong perkembangan. Yang diperlukan lebih dari apa pun juga adalah filsafat yang sama sekali baru mengenai bagaimana caranya menghadapi anak dan remaja, suatu undang-undang mengenai hak pemuda. Masyarakat tak lagi bisa memperlakukan anak sebagaimana halnya mereka diperlakukan 2000 tahun yang lalu, sama juga seperti masyarakat tidak lagi bisa memperlakukan kelompok minoritas seperti di masa yang lalu. Saya mengusulkan suatu filsafat yang dapat digunakan dalam hubungan orang dewasa – anak, dalam bentuk suatu “ aku percaya”, atas dasar mana program MOE, telah kami tegakkan. Ditulis beberapa tahun yang lalu dalam usaha untuk menjadikan filsafat MOE, suatu pernyataan yang jelas, singkat, dan mudah dimengerti, “aku percaya” ini kami teruskan kepada 231

para pengikut kursus dan kami persembahkan di sini sebagai suatu tantangan bagi semua orang dewasa. AKU PERCAYA PADA KAUM MUDA “Kau dan aku berada dalam suatu hubungan yang aku hargai dan ingin kupertahankan. Tetapi masing-masing daripada kita adalah suatu pribadi yang mandiri yang mempunyai kebutuhan-kebutuhannya sendiri, yang unik, dan mempunyai hak untuk mencoba memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Aku akan berusaha untuk benar-benar menerima tingkah lakumu bila kau berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanmu atau bila kau mempunyai persoalan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Bila kau membagi persoalan-persoalanmu, aku akan berusaha untuk mendengarkan dan memahaminya dengan sepenuh hati, dengan suatu cara yang dapat mendorongmu, supaya kau dapat mencari pemecahan sendiri dan tidak menggantungkan pemecahannya kepadaku. Bila kau punya suatu persoalan karena tingkah lakuku mengganggu pemenuhan kebutuhanmu, kuanjurkan padamu supaya kau katakan padaku secara jujur dan terbuka bagaimana perasaanmu sebenarnya. Pada waktu-waktu itu, aku mendengarkan dan lalu mencoba mengubah tingkah lakuku, seandainya aku bisa. Tetapi, bila tingkah lakumu mengganggu pemenuhan kebutuhanku, sehingga menyebabkan aku merasa tak dapat menerimamu, aku akan membagi persoalanku ini denganmu dan mengatakan dengan sejujur dan seterbuka mungkin bagaimana perasaanku, dan percaya bahwa kamu cukup menghormati kebuthan-kebutuhanku sehingga kamu mau mendengarkan dan lalu berusaha mengubah tingkah lakumu. Bila sampai pada suatu keadaan di mana tak seorang pun di antara kita dapat mengubah tingkah lakunya untuk memenuhi kebutuhan yang lain dan menemukan bahwa kita punya konflik dalam hal kebutuhan dalam hubungan kita, marilah kita tetapkan buat diri kita sendiri bahwa kita akan menyelesaikan konflik semacam itu dengan tanpa pernah menggunakan kekuasaanku atau kekuasaanmu untuk menang di atas puing kekalahan yang lain. Aku hormati kebutuhan-kebutuhanmu, tetapi aku juga harus menghormati kebutuhanku sendiri. Maka, marilah kita selalu berusaha untuk mencari pemecahan yang dapat kita terima terhadap konflik-konflik kita yang tak terelakkan. Dengan cara ini, kebutuhanmu akan terpenuhi, tetapi demikian pula halnya dengan kebutuhanku – tak ada seorang pun yang akan kalah, kita berdua. Sebagai akibatnya, kau dapat tetap berkembang menjadi suatu pribadi dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhanmu, demikian pula aku. Dengan begitu hubungan kita akan selalu berupa hubungan yang sehat karena memuaskan kedua belah pihak. Masing-masing dari kita dapat mengembangkan kemampuannya, dan kita dapat tetap saling berhubungan 232

dengan rasa saling menghargai dan saling mengasihi dalam suasana damai dan bersahabat. Bahwa saya tidak ragu-ragu kalau “aku percaya” ini diambil alih dan dipraktekkan oleh orang-orang dewasa yang bekerja dalam lembaga yang memberi pelayanan kepada pemuda, pada waktunya akan menghasilkan pembaharuan yang membangun, saya juga menyadari bahwa perubahan semacam ini mungkin akan memakan waktu lama. Bagaimanapun juga, yang dewasa hari ini adalah anak hari kemarin, dan mereka sendiri adalah hasil dari menjadi orang tua yang kurang efektif. Kita membutuhkan generasi baru dari orang tua-orang tua yang mau menerima tantangan mempelajari ketrampilan baru untuk mendidik anak- anak yang bertanggung jawab di rumah. Karena di sinilah tempatnya semua ini harus mulai. Dan memang hal ini bisa mulai di sini, hari ini, menit ini – di rumah Anda sendiri. 233

APENDIKS 1. MENDENGARKAN PERASAAN (Suatu Latihan) PETUNJUK: Anak mengkomunikasikan kepada orang tua lebih daripada hanya kata-kata atau ide-ide. Di balik perkataan sering terletak perasaan. Yang berikut ini adalah beberapa “pesan-pesan” khas yang dikirim anak- anak. Bacalah tiap-tiap pertanyaan satu per satu, berusahalah untuk mendengarkan secara hati-hati perasaan-perasaan yang ada di balik pernyataan itu. Lalu dalam kolom sebelah kanan, tuliskanlah perasaan atau perasaan-perasaan yang Anda “dengar”. Buanglah “isinya” dan tuliskan hanya perasaannya – biasanya satu atau beberapa kata. Beberapa dari pernyataan ini mungkin berisi beberapa perasaan – tuliskan semua perasaan utama yang Anda dengar, dengan mencantumkan nomor pada tiap perasaan yang berbeda. Apabila Anda telah selesai, bandingkan daftar Anda dengan daftar yang ada dalam kunci, berikan nilai sesuai dengan petunjuk pada kunci. Anak berkata Anak merasa CONTOH: “Saya tak tahu apa yang salah. Saya tak bisa 1. Bingung menemukannya. Barangkali saya harus 2. Kecil hati berhenti berusaha”. 3. Terdorong untuk menyerah 1. “Ha, ha! Sepuluh hari lagi liburan sekolah mulai”. 2. “Lihat Pak, saya membuat pesawat terbang dengan alat-alat saya yang baru ini”. 3. “Maukah Ibu memegangi tangan saya kalau kita memasuki Taman Kanak-kanak?” 4. “Ih, saya sama sekali tak gembira. Saya tak bisa memikirkan sesuatu yang bisa saya kerjakan”. 5. “Saya tak akan pernah sebaik Jono. Saya latihan terus dan latihan terus, dan dia masih tetap lebih baik daripada saya”. 6. “Guru saya yang baru memberi terlalu banyak pekerjaan rumah. Saya tak mungkin bisa menyelesaikannya. Apa yang harus saya lakukan?” 7. “Semua orang pergi ke pantai. Saya saja yang tak punya teman main seorang pun”. 8. “Orang tua Jono memperbolehkan Jono naik sepeda ke sekolah, saya bisa menunggang sepeda lebih baik daripada Jono”. 9. “Seharusnya saya tidak begitu jahat terhadap si kecil Jono. Saya kira saya ini jahat sekali”. 10. “Saya ingin punya rambut panjang – rambut ini kepunyaan saya sendiri, bukan?” 11. “Menurut Bapak, laporan saya ini betul atau tidak? 234

Apakah laporan ini cukup baik?” 12. “Mengapa si tua itu menyuruh saya tinggal di sekolah? Yang ngobrol bukan hanya saya saja. Saya ingin sekali meninju hidungnya”. 13. “Saya bisa mengerjakannya sendiri. Tak usah dibantu. Saya sudah cukup besar untuk mengerjakannya sendiri”. 14. “Berhitung itu sulit sekali. Saya terlalu bodoh untuk dapat memahaminya”. 15. “Pergi! Biarkan saya sendiri. Saya tak ingin berbicara dengan ibu atau siapapun juga. Ibu toh tak peduli apa yang terjadi pada saya”. 16. “Untuk berapa waktu saya bisa mengerjakannya dengan baik, tetapi sekarang ini lebih buruk daripada sebelumnya. Saya berusaha keras, tetapi sepertinya tidak ada hasilnya. Apa gunanya?” 17. “Saya benar-benar ingin pergi, tetapi saya tak mampu mengajaknya. Bagaimana seandainya dia menertawakan saya karena berani mengajaknya pergi?” 18. “Saya tidak pernah ingin main dengan Pam lagi. Ia brengsek dan menyebalkan”. 19. “Saya benar-benar senang karena saya terlahir sebagai anak Papa dan Mama, daripada terlahir sebagai anak orang lain”. 20. “Saya kira saya tahu apa yang harus dilakukan, tetapi mungkin tidak benar. Sepertinya saya selalu mengerjakan sesuatu yang salah. Menurut Bapak, apa yang harus saya lakukan Pak, kerja atau melanjutkan sekolah?” SEKARANG COCOKKAN JAWABAN ANDA DENGAN KUNCI PENILAIAN YANG TERSEDIA DAN NILAILAH JAWABAN-JAWABAN ANDA: 1. Tulislah nilai Anda di sebelah kiri nomor jawaban Anda. 2. Jumlahkanlah semua nilai yang Anda peroleh dan tuliskanlah nilai total jawaban Anda. 235

KUNCI PENILAIAN Mendengarkan perasaan PETUNJUK: 1. Senang 11. Merasakan keraguan 1. Lega 1. Tidak pasti Berilah nilai 4, 2. Bangga 12. Marah, benci 1. Merasa hal itu tidak bila jawaban 1. Senang adil Anda sama atau 3. Takut,ketakutan 13. Merasa kompeten 1. Tidak membutuhkan hampir 4. Bosan bersamaan 1. Bingung dengan Kunci 5. Merasa tidak mampu pertolongan Penilaian. 1. Berkecil hati 14. Merasa frustasi 6. Merasakan pekerjaan 1. Merasa tidak mampu Berilah nilai 2, tersebut terlampau berat 15. Merasa disakiti bila jawaban 1. Merasa terpukul 1. Merasa marah Anda hanya 7. Ditinggalkan 2. Merasa tidak ada sebagian cocok 1. Kesepian yang mengasihi atau bila Anda 8. Merasa orang tua tidak 16. Berkecil hati tidak mengenali adil 1. Ingin menyerah saja suatu perasaan 1. Merasa kompeten 17. Ingin pergi tertentu. 9. Merasa bersalah 1. Takut 1. Menyesal 18. Marah Berilah nilai 0, tindakannya 19. Berterima kasih, senang bila sama sekali 10. Tidak menyukai campur 1. Menghargai orang tua salah tangan orang tua 20. Tidak yakin, tidak pasti NILAI TOTAL ANDA ------------------------------------------------------------------------ KEMAMPUAN ANDA MENGENALI PERASAAN: 61 – 80 : Kemampuan istimewa untuk mengenali perasaan 41 – 60 : Kemampuan yang di atas rata-rata untuk mengenali perasaan 21 – 40 : Kemampuan yang di bawah rata-rata untuk mengenali perasaan 0 – 21 : Kemampuan istimewa untuk mengenali perasaan 236

2. MENGENALI PESAN-PESAN TAK EFEKTIF (Suatu Latihan) PETUNJUK: Bacalah setiap situasi dan pesan-pesan yang disampaikan oleh orang tua. Dalam kolom KIRIMAN YANG SALAH KARENA, tuliskan alasan mengapa pesan orang tua tersebut bukan merupakan kiriman yang efektif. Gunakanlah daftar “kesalahan-kesalahan kiriman” sebagai berikut: - Menyalahkan, - Mengirimkan pemecahan, perintah menilai - Melampiaskan perasaan-perasaan sekunder - Pesan tak langsung, - Memberikan “julukan” (“cap”) sarkasme - Tabrak lari Situasi dan Pesan Kiriman yang Salah Karena: CONTOH: Sekarang anak berumur 10 tahun meninggalkan pisau pramuka di Menyalahkan, menilai lantai kamar bayi. “Bodoh amat. Bayi ini bisa saja kena celaka”. 1. Anak-anak meributkan program TV mana yang akan dilihat. “Berhentilah berkelahi dan matikan TV saat ini juga”. 2. Anak gadis tiba di rumah pada jam 01.30 pagi, padahal ia sudah berjanji untuk pulang pada waktu tengah malam. Orang tua sudah sangat cemas memikirkan bahwa sesuatu mungkin terjadi atas dirinya. Orang tua lega ketika akhirnya ia pulang. “Hm, kamu tak bisa dipercaya rupanya. Saya sangat marah padamu. Kamu tak boleh keluar selama sebulan”. 3. Seorang anak 12 tahun membiarkan terbuka pintu yang menuju ke arah kolam, membahayakan adiknya yang berumur 2 tahun. “Apa yang mau kamu lakukan? Menenggelamkan adik kecilmu? Saya marah sekali padamu”. 4. Guru mengirim surat ke rumah menyatakan bahwa anak yang berumur 11 tahun itu berbicara terlalu kasar dan kotor di kelas. “Coba sini dan jelaskan mengapa kamu memalukan orang tua dengan mulutmu yang kotor”. 5. Ibu sangat marah dan mengalami frustasi karena anak berlambat-lambat sehingga dia terlambat untuk memenuhi suatu janji. “Ibu ingin kamu lebih 237

memperhatikan kepentingan orang lain”. 6. Ibu pulang ke rumah dan mendapatkan ruang tamu berantakan padahal ia telah mengatakan kepada anak-anak supaya menjaganya tetap rapi karena akan ada tamu. “Saya harap kamu sangat bersenang hati siang ini, saya jadi pembayarnya”. 7. Ayah jijik oleh bau dan rupa kaki anak gadisnya yang kotor. “Apakah kamu ini tak pernah mandi seperti orang lain? Ayo cepat mandi”. 8. Anak mengganggu Anda karena dia menarik perhatian tamu-tamu Anda dengan berjumpalitan. Ibu berkata: “Kamu, tukang pamer”. 9. Ibu marah pada anak karena piring-piring tidak disimpan setelah dicuci. Ketika anak berlari untuk tidak ketinggalan bis sekolah. Ibu berteriak: “Saya sangat kecewa padamu pagi ini, tahu atau tidak?” Bandingkanlah jawaban-jawaban dengan yang berikut ini: 1. Mengirimkan pemecahan 5. Menyalahkan menilai 2. Menyalahkan, menilai 6. Pesan tak langsung Melampiaskan perasaan sekunder 7. Pesan tak langsung Mengirimkan pemecahan Mengirimkan pemecahan 3. Menyalahkan, menilai Menyalahkan, menilai Melampiaskan perasaan sekunder 8. Memberikan julukan 4. Menyalahkan, menilai 9. Tabrak lari TULISKANLAH “PESAN-PESAN AKU” YANG SEPADAN UNTUK SETIAP SITUASI YANG DISEBUTKAN DI ATAS. HINDARILAH SEMUA “KESALAHAN-KESALAHAN KIRIMAN”. 1. . 2. . 3. . 4. . 5. . 6. . 7. . 8. . 9. . 10. . 238

3. MENGIRIM “PESAN – PESAN AKU” (Suatu Latihan) PETUNJUK: Bacalah setiap situasi, perhatikanlah “Pesan-pesan Kamu” yang ada dalam kolom ke dua, lalu tuliskanlah “Pesan-pesan Aku” dalam kolom ketiga. Bila Anda telah selesai mengisinya, bandingkanlah “Pesan-pesan Aku” yang Anda buat dengan “Pesan-pesan Aku” yang tertulis dalam kunci,yang terdapat pada halaman. Situasi “Pesan-pesan Kamu” “Pesan-pesan Aku” 1. Ayah ingin membaca koran. Anak tak “Jangan sekali-kali mengganggu henti-hentinya naik ke pangkuannya. seseorang, kalau ia sedang membaca”. Ayah merasa kurang senang. 2. Ibu sedang menggunakan alat “Kamu nakal”. penyedot debu. Anak tak henti- hentinya menarik kabel sehingga terlepas. Ibu tergesa-gesa. 3. Anak datang ke meja makan dengan “Kamu bukan anak besar yang pandai. muka dan tangan yang sangat kotor. Hanya bayi yang melakukan apa saja yang ingin kamu lakukan”. 4. Anak terus-menerus menunda pergi “Kamu tahu sekarang ini sudah melewati tidur. Ibu dan ayah ingin jam tidurmu. Kamu memang sengaja membicarakan sesuatu persoalan menggangu kami. Kamu perlu tidur”. yang sangat pribadi. Anak tak mau pergi, sehingga mereka tidak bisa bicara. 5. Anak tak henti-hentinya merengek “Kamu tak pantas pergi nonton film minta diajak nonton film. Tetapi ia karena kamu sudah tak begitu belum membersihkan kamarnya untuk memperhatikan kepentingan orang lain, beberapa hari, suatu pekerjaan yang dan terlalu memperhatikan kepentingan dia sanggupi untuk mengerjakannya. diri sendiri”. 6. Anak merajuk dan kelihatan sedih “Ayolah. Berhentilah merajuk. Kamu sepanjang hari. Ibu tak tahu harus bergembira atau kamu harus alasannya. keluar kalau kamu mau merajuk. Kamu ini terlalu memandang serius persoalan- persoalan sih”. 7. Anak membunyikan tape recorder “Apakah kamu ini tidak bisa sangat keras. Suara yang terlampau memperhatikan kepentingan orang lain? keras ini mengganggu percakapan Mengapa kamu menyembunyikannya orang tuanya yang ada di kamar sedemikian kerasnya?” sebelah. 8. Anak berjanji untuk menyetrika serbet “Kamu bermalas-malas sepanjang hari yang akan dipakai untuk perjamuan dan lalai melakukan tugasmu. makan. Sepanjang hari ia bermalas- Bagaimana kamu bisa sampai tak malas; sekarang ini satu jam sebelum bertanggung jawab seperti ini?” tamu mulai datang dan ia masih tetap belum mulai. 9. Anak lupa muncul di rumah pada “Kamu seharusnya merasa malu. waktu yang telah dijanjikan. Ibu Bagaimanapun juga saya sudah setuju bermaksud untuk membawanya pergi untuk membawamu, tetapi sekarang membeli sepatu. Ibu tergesa-gesa. kamu yang tidak memperhatikan waktu”. 239

KUNCI 1. “Saya tak dapat membaca sambil bermain. Saya benar-benar merasa terganggu bila saya tidak bisa punya sedikit waktu buat diri sendiri untuk santai dan membaca koran”. 2. “Saya sedang sangat tergesa-gesa dan akan benar-benar marah kalau setiap kali saya harus membetulkan kabel. Saya tak ingin bermain kalau saya ada pekerjaan”. 3. “Saya tak dapat menikmati makanan saya kalau melihat semua kotoran itu. Itu membuat saya mual dan kehilangan nafsu makan”. 4. “Ibu dan saya mempunyai persoalan penting yang harus dibicarakan. Kami tak dapat membicarakannya bila kamu ada di sini, dan kami tidak bisa menunggu sampai kamu mau tidur”. 5. “Saya tak punya minat untuk mengerjakan sesuatu bagimu, sedangkan kamu tak menepati janjimu, mengenai kesediaanmu untuk membersihkan kamar. Saya merasa ‘diperalat’ kalau begini”. 6. “Saya menyesal melihatmu begitu sedih, tapi saya tak tahu bagaimana harus menolongmu karena saya tak tahu mengapa kamu merasa begitu sedih”. 7. “Saya merasa semacam ditipu. Saya ingin berbicara berdua dengan ayahmu dan suara yang keras itu menyebabkan kami jadi gila”. 8. “Saya benar-benar merasa ditelantarkan. Saya sudah bekerja sepanjang hari menyiapkan pesta kita ini, dan sekarang ini saya masih harus cemas dengan serbet makan”. 9. “Saya merasa kurang senang bila saya sudah hati-hati merencanakan keiatan saya sehingga saya bisa membawamu membeli sepatu baru, lalu kamu tidak muncul”. PETUNJUK PENILAIAN 1. Pertama-tama, hitunglah semua “L”, yang dilingkari di belakang angka-angka GANJIL (1, 3, 5, 7, dan sebagainya). 2. Kedua, hitunglah semua “L”, yang dilingkari di belakang angka-angka GENAP (2, 4, 6, 8, dan sebagainya). 3. Masukkan jumlah tersebut dalam tabel di bawah ini dan tuliskanlah jumlah dari semua “L” Jumlah Angka ini menunjukkan sampai sejauh mana Anda menggunakan hukuman L GANJIL atau mengancam untuk menggunakan hukuman untuk mengendalikan anak Anda atau untuk memaksakan pemecahan Anda terhadap persoalan. Angka ini menunjukkan sampai sejauh mana Anda menggunakan hadiah L GENAP atau insentif untuk mengendalikan anak-anak Anda atau memaksakan pemecahan Anda terhadap persoalan. L TOTAL Angka ini menunjukkan sampai sejauh mana Anda menggunakan kedua sumber kekuasaan orang tua untuk mengendalikan anak-anak Anda Penggunaan hukuman Penggunaan hadiah Penggunaan kedua macam sumber kekuasaan Nilai Rating Nilai Rating Nilai Rating 0–5 Sangat sedikit 0–5 Sangat sedikit 0 – 10 Tidak otoriter 6 – 10 Kadang-kadang 6 – 10 Kadang-kadang 11 – 20 Agak otoriter 11 – 15 Sering 11 – 15 Sering 21 – 30 Cukup otoriter 16 – 20 Sangat sering 16 – 20 Sangat sering Sangat otoriter 31 – 40 240

4. DAFTAR TENTANG AKIBAT CARA BEREAKSI ORANG TUA TERHADAP ANAK MENGATUR, MENGARAHKAN, MEMERINTAH Pesan-pesan ini menyatakan kepada anak bahwa perasaan-perasaan atau kebutuhan-kebutuhannya adalah tidak penting; ia harus menuruti perasaan atau kebutuhan orang tua. (“Saya tak peduli dengan apa yang mau kamu lakukan. Masuk ke rumah, saat ini juga”). Pesan-pesan ini juga mengkomunikasikan bahwa anak tidak diterima sebagaimana adanya pada saat itu. (“Berhentilah berputar-putar”). Pesan-pesan ini menghasilkan rasa takut terhadap kekuasaan yang dipunyai orang tua. Anak mendengar ancaman akan disakiti oleh seseorang yang lebih besar dan lebih kuat daripada dirinya. (“Pergi ke kamarmu – dan bila tidak kamu lakukan, lihat saja nanti”). Pesan-pesan ini mungkin membuat anak merasa tidak senang dan marah, sering kali menyebabkannya mengutarakan perasaan-perasaan bermusuhan, menunjukkan “kemarahan hebat”, melawan kembali, menolak menguji sampai di mana kekuatan orang tua. Pesan-pesan ini mengkomunikasikan kepada anak bahwa orang tua tidak mempercayai pendapat atau kemampuan anak.(“Jangan pegang piring itu”, “Jangan dekati adik kecilmu”). MEMPERINGATKAN, MEMARAHI, MENGANCAM Pesan-pesan ini dapat membuat seorang anak merasa ketakutan dan taat. (“Kalau kamu lakukan itu, kamu akan menyesal”). Pesan-pesan ini juga bisa menimbulkan rasa tidak senang dan rasa bermusuhan seperti halnya dengan mengatur, mengarahkan, memerintah. (“Bila kamu tidak segera pergi tidur, kamu akan mendapatkan cubitan”). Pesan-pesan ini dapat mengkomunikasikan bahwa orang tua tidak menaruh hormat terhadap kebutuhan atau keinginan anak. (“Kalau kamu tidak berhenti memukul-mukul kaleng, saya akan jadi sangat marah”). Anak-anak kadang-kadang bereaksi terhadap peringatan dan ancaman dengan mengatakan,”Saya tak peduli apa yang terjadi, saya masih tetap merasa begini”. Pesan-pesan ini juga mengundang anak untuk menguji sampai di mana kebenaran ancaman orang tua. Anak-anak kadang-kadang tergoda untuk melakukan sesuatu yang sudah dilarang, hanya untuk melihat apakah konsekuensi- konsekuensi yang dijanjikan orang tua memang benar-benar terjadi. MENGANJURKAN, MENGAJAR MORAL, BERKHOTBAH Pesan-pesan semacam ini menunjukkan kepada anak kekuasaan otoritas dari luar serta kewajiban. Anak-anak mungkin bereaksi terhadap “keharusan”, “mesti”, “wajib” dengan menolak atau mempertahankan sikap mereka dengan lebih kuat. Pesan-pesan ini dapat membuat seorang anak merasa bahwa orang tua tidak mempercayai penilaian mereka – bahwa ia lebih baik menerima apa yang oleh “orang lain” dianggap benar. (“Seharusnya kamu melakukan hal yang benar”). Pesan-pesan ini dapat menimbulkan perasaan salah dalam diri anak bahwa ia “jahat”. (“Tidak seharusnya kamu berbuat begitu”). Pesan-pesan ini bisa membuat anak merasa bahwa orang tua tua tidak mempercayai kemampuannya untuk mengevaluasi validitas nilai-nilai atau pendapat-pendapat orang lain. (“Kamu harus selalu menghormati guru-gurumu”). MEMBERI NASIHAT, MEMBERI SARAN ATAU PEMECAHAN Pesan-pesan semacam ini sering dirasakan oleh anak sebagai bukti bahwa orang tua tidak mempunyai kepercayaan terhadap penilaian atau kemampuan anak untuk mencari pemecahannya sendiri. 241

Pesan-pesan ini bisa mempengaruhi anak supaya tetap tergantung pada orang tua dan untuk berhenti berpikir bagi dirinya sendiri. (“Apa yang harus kulakukan, Pak?”). Kadang-kadang anak-anak sangat tidak menyenangi usul-usul atau nasihat- nasihat orang tua. (“Biarlah saya memikirkannya sendiri”, “Saya tidak ingin diberi tahu apa yang harus saya kerjakan”). Nasihat kadang-kadang mengkomunikasikan sikap-sikap superior Anda kepada anak. (“Ibumu dan saya tahu apa yang terbaik”). Anak dapat pula merasakan inferioritas. (“Mengapa saya tidak berpikir begitu?”, “Ibu selalu tahu yang lebih baik”). Nasihat bisa membuat anak merasa bahwa orang tuanya sama sekali tidak memahaminya. (“Kamu tak akan mengusulkan itu kalau kamu benar-benar tahu apa yang saya rasakan”). Nasihat kadang-kadang berakibat anak memberikan semua waktunya untuk bereaksi terhadap usul orang tuanya sehingga ia tak punya waktu untuk memperkembangkan gagasannya sendiri. MENGULIAHI, MEMBERIKAN ARGUMEN LOGIS Tindakan mencoba mengajar orang lain sering membuat si “siswa” merasa bahwa Anda membuatnya tampak rendah, bawahan atau tidak mampu. (“Kamu selalu berpikir bahwa kamu tahu segalanya”). Logika dan fakta sering membuat anak menjadi bertahan dan kurang senang. (“Kamu pikir saya tak tahu hal itu?”). Seperti halnya orang tua, anak-anak kurang suka kalau ditunjukkan bahwa mereka bersalah. Sebagai konsekuensinya, mereka mempertahankan posisi mereka sampai titik terakhir. (“Kamu salah, saya benar”, “Kamu tidak dapat meyakinkan saya”). Anak-anak umumnya membenci kuliah orang tua. (“Mereka terus dan terus bicara dan saya hanya harus tunduk mendengarkan”). Anak-anak sering mengambil cara-cara nekat untuk menolak fakta yang dikemukakan orang tua. (“Yah, kamu terlalu tua untuk tahu apa yang terjadi”, “Ide- ide Anda sudah kuno dan ketinggalan jaman”). Sering kali anak-anak sudah tahu benar fakta yang dipaksakan orang tua untuk diajarkan kepada mereka dan kurang senang terhadap implikasi dari hal ini, yaitu bahwa mereka tak tahu. (“Saya tahu semua itu, kamu tak usah mengatakannya kepadaku”). Kadang-kadang anak-anak memilih mengacuhkan fakta. (“Saya tak peduli”, “Lalu, kenapa?”, “Itu takkan terjadi padaku”). MENILAI, MENGRITIK, TAK SETUJU, MENYALAHKAN Pesan-pesan semacam ini mungkin lebih daripada yang lain, membuat anak merasa tidak mampu, rendah, bodoh, tak berharga, jahat. Citra diri seorang anak dibentuk oleh penilaian orang tua. Bagaimana orang tua menilai anak, demikian pula anak menilai dirinya sendiri. (“Saya begitu sering mendengar kalau saya jahat, saya mulai juga merasa bahwa saya mestinya memang jahat”). Kritik negatif menimbulkan kritik balasan. (“Saya pernah melihatmu mengerjakan hal yang sama”, “Kamu sendiri tidak seperti itu”). Evaluasi sangat mempengaruhi anak untuk menyimpan sendiri atau menyembunyikan perasaan-perasaan mereka dari orang tuanya. (“Kalau kuceritakan pada mereka, mereka hanya akan mengritik saja”). Anak-anak, seperti halnya orang dewasa benci dinilai negatif. Mereka menjawab dengan sikap bertahan, hanya untuk melindungi citra diri mereka. Sering mereka menjadi marah dan merasakan kebencian terhadap orang tua yang menilai ini, bahkan bila penilaian ini benar. 242


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook