Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore menjadi orang tua efektif

menjadi orang tua efektif

Published by perpus smp4gringsing, 2021-12-09 04:27:13

Description: menjadi orang tua efektif

Search

Read the Text Version

Saya sendiri berpendapat bahwa semakin banyak orang mulai mengerti secara lebih menyeluruh ihwal kekuasaan dan otoritas ini dan menerimanya sebagai suatu yang kurang etis, makin banyak di antara orang tua yang akan menerapkan pengertian-pengertian ini dalam hubungan orang dewasa – anak; akan mulai merasa bahwa hubungan yang demikian tidak bermoral, dan kemudian terpaksa mencari metode-metode baru yang tidak menggunakan kekuasaan, yang kreatif, yang dapat mereka kenakan pada anak-anak dan kaum muda. Tetapi terlepas dari masalah moral dan etis dari penggunaan kekuasaan, pertanyaan orang tua seperti, “Apakah bukan tanggung jawab saya untuk menggunakan kekuasaan guna mempengaruhi anak saya?” menampakkan suatu tafsiran umum yang salah mengenai efektivitas kekuasaan sebagai salah satu cara untuk mempengaruhi anak-anak. Kekuasaan orang tua pada hakikatnya tidak “mempengaruhi” anak-anak; melainkan memaksa anak bertindak bertindak sesuai apa yang telah ditentukan. Kekuasaan tidak “mempengaruhi” dalam arti membujuk, meyakinkan, mendidik, ataupun memotivasi anak untuk bertingkah laku tertentu. Melainkan, kekuasaan itu memaksa atau mencegah suatu tindakan. Memaksa atau mencegah suatu tindakan melalui kekuasaan bukanlah sesuatu yang meyakinkan. Malahan, umumnya anak akan kembali pada cara-cara terdahulu segera setelah kekuasaan atau otoritas itu hilang, karena kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginannya sendiri itu tidak berubah. Tidak jarang pula terjadi bahwa anak akan membalas orang taunya sebagai akibat dari frustasi atas kebutuhan-kebutuhannya maupun karena ia merasa diremehkan. Dengan demikian kekuasaan adalah “senjata makan tuan”, kekuasaan menciptakan perlawanannya sendiri, mendorong kehancurannya sendiri. Pada hakikatnya, orang tua yang menggunakan kekuasaan, sebenarnya mengurangi pengaruh mereka atas anak-anak karena kekuasaan itu sering kali menumbuhkan sikap memberontak (anak menghadapi kekuasaan justru dengan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan apa yang diharapkan orang tua). Saya mendengar ada orang tua berkata: “Pengaruh kai atas anak kami akan lebih besar apabila kami menggunakan otoritas kami agar dia melakukan hal-hal yang berlawanan daripada apa yang kami kehendaki. Dengan demikian justru ia akan melakukan apa yang kami kehendaki”. Memang seperti bertentangan, namun benar bahwa orang tua justru kan kehilangan pengaruhnya bila menggunakan kekuasaan dan akan mempunyai pengaruh yang lebih besar apabila mereka mengurangi penggunaan kekuasaan mereka atas anak-anak mereka, atau bahkan menolak untuk menggunakannya. Orang tua akan lebih berwibawa atas anak-anak mereka apabila cara pendekatan yang mereka gunakan adalah tanpa paksaan, dan tidak menumbuhkan pemberontakan dan tingkah laku yang reaktif. Cara-cara 143

pendekatan yang tidak menggunakan kekuasaan akan mendorong anak untuk lebih mempertimbangkan pendapat ataupun perasaan orang tua sehingga mereka mengubah tingkah laku mereka sedemikian rupa ke arah yang dikehendaki orang tua. Mereka tentu saja tidak selalu akan mengubah tingkah laku, tetapi adakala mereka lakukan juga. Sebaliknya anak yang memberontak jarang mau mengubah tingkah lakunya karena mempertimbangkan kebutuhan orang tuanya. Mengapa Kekuasaan Masih Digunakan dalam Mendidik Anak? Pertanyaan ini begitu sering dilontarkan di dalam kursus MOE, sehingga membuat saya berpikir lebih lanjut dan merasa ditantang. Sukarlah mengerti kenapa setiap orang membenarkan penggunaan kekuasaan di dalam mendidik anak atau di dalam hubungan apa pun antar-manusia, meskipun sudah mengetahui hal-ihwal kekuasaan dan akibatnya atas orang lain. Setelah bekerja sama dengan orang tua, saya kini yakin bahwa semua, kecuali sebagian kecil orang tua, benci menggunakan kekuasaan atas anak- anak mereka. Hal itu membuat mereka merasa tidak enak dan membawa mereka pada perasaan bersalah. Sering kali orang tua meminta maaf pada anak-anak mereka setelah menggunakan kekuasaan mereka. Ataupun mereka mencoba menenangkan perasaan bersalah mereka dengan menggunakan rasionalisasi: “Kami melakukan itu semata-mata demi kesejahteraan dirimu!”. “Pada suatu hari kamu akan merasa berterima kasih pada kami untuk hal ini”. “Apabila kelak kau menjadi orang tua, kau akan mengerti mengapa kami mencegahmu berbuat demikian”. Selain perasaan bersalah, banyak orang tua mengakui bahwa penggunaan kekuasaan tidak begitu efektif, terutama bagi anak-anak yang sudah cukup besar untuk mulai melawan, mengatakan hal yang tidak sebenarnya, sembunyi-sembunyi, ataupun melawan secara pasif. Saya sampai pada kesimpulan, bahwa di masa yang lalu orang tua tetap menggunakan kekuasaan mereka karena mereka memiliki sedikit, kalaupun ada, pengalaman hidup bersama yang menggunakan metode-metode mempengaruhi tanpa menggunakan kekuasaan. Kebanyakan orang semenjak masa kanak-kanak dan seterusnya, telah dikendalikan oleh kekuasaan-kekuasaan yang dikenakan padanya oleh orang tua, pimpinan sekolah, pelatih-pelatih, guru-guru agama, paman, bibi, nenek dan kakek, pemimpin pramuka, pemimpin regu perkemahan, perwira-perwira ABRI, dan para atasan. Orang tua tetap menggunakan kekuasaan karena kurang pengetahuan dan pengalaman mengenai metode lain sehubungan dengan penanggulangan konflik dalam hubungan antar-manusia. 144

11 Metode “Anti-Kalah” untuk Menyelesaikan Konflik Bagi orang tua yang secara tradisional terbiasa dengan metode-metode “kalah-menang” dalam menyelesaikan konflik, pengetahuan akan adanya alternatif lain sering terasa seperti terbukanya tabir rahasia. Hampir tanpa kecuali, para orang tua lega bahwa ada metode ketiga. Meskipin metode ini mudah dimengerti, namun untuk mahir menggunakannya orang tua biasanya memerlukan pendiikan, latihan, dan bimbingan. Alternatif itu adalah metode “anti-kalah” dalam pemecahan konflik di mana tidak ada orang yang kalah. Dalam MOE kami menamakannya sebagai Metode III. Meskipun Metode III bagi hampir semua orang tua dianggap sebagai suatu gagasan baru bagi pemecahan konflik orang tua dengan anak, namun mereka segera mengenali metode ini karena sering digunakan dalam hubungan-hubungan lain. Suami-istri sering kali menggunakan Metode III untuk menyelesaikan perbedaan pendapat antarmereka melalui kesepakatan bersama. Partner-partner dalam usaha, mengandalkannya untuk mencapai persetujuan bagi konflik yang sering kali terjadi antar-mereka. Serikat-serikat buruh dan peminmpin-pemimpin perusahaan menggunakannya untuk merundingkan kontrak-kontrak yang akan ditaati kedua belah pihak. Dan konflik-konflik hukum yang tak terhitung jumlahnya diselesaikan lewat persetujuan-persetujuan di luar sidang pengadilan, melalui Metode III. Metode III sering digunakan untuk menyelesaikan konflik antar-individu yang mempunyai kekuasaan sama atau hampir sama. Bila hanya sedikit atau tak ada perbedaan kekuasaan antar-dua orang, tidak ada alasan tepat dan jelas mengapa tidak ada satu diantara keduanya mencoba untuk menggunakan kekuasaan untuk menyelesaikan konflik-konflik. Bila orang tidak mempunyai kekuatan berlebih, maka penggunaan metode berdasarkan kekuasaan hanya merupakan kebodohan yang akan mengundang cemoohan orang saja. Saya dapat membayangkan reaksi istri saya bila saya mencoba menggunakan Metode I untuk menyelesaikan suatu konflik yang kadang-kadang kami hadapi – mengenai berapa orang yang akan kami undang bila kami hendak menjamu tamu. Saya umumnya lebih menyukai kalau orang yang datang lebih banyak daripada yang disanggupi istri saya. Andaikan saya berkata kepadanya: “Saya telah memutuskan bahwa kami akan mengundang sepuluh pasang suami-istri, tak kurang dari itu”. Setelah sadar dari awal keterkejutan dan ketidakpercayaannya, ia mungkin akan kembali dengan mengatakannya kira-kira: “Kamu telah memutuskan”, atau “Kalau begitu, saya memutuskan bahwa kita tidak jadi mengundang siapa- siapa”, atau 145

“Bagus! Saya harap kamu sendiri memasak makanan malam dan mencuci piring!” Saya cukup bijaksana untuk sekedar menyadari betapa menggelikannya usaha saya menggunakan Metode I dalam situasi seperti itu. Istri saya memiliki kekuatan (kekuasaan) yang cukup besar dalam hubungan kami berdua untuk menolak usaha saya mengalahkannya. Mungkin dapat dianggap prinsip bahwa manusia yang mempunyai kekuasan yang sama atau relatif sama (suatu hubungan setara) jarang menggunakan Metode I. Bila suatu waktu mereka mencobanya, bagaimanapun juga orang lain tak akan mengizinkan adanya penyelesaian konflik secara ini. Akan tetapi bila seseorang berpikir atau bila ia yakin bahwa orang lain mempunyai kekuasaan lebih besar, maka orang itu tak ada pilihan lain selain menerima, kecuali bia ia memilih untuk menolak atau berjuang dengan kekuasaan apa pun yang dianggapnya dia memiliki. Jelaslah kini bahwa Metode III merupakan metode tanpa kekuasaan – atau lebih tepat metode “anti-kalah”; konflik diselesaikan tanpa ada salah satu yang menang maupun kalah. Kedua-duanya malah dapat dianggap menang karena penyelesaian harus dapat diterima oleh dua belah pihak. Hal ini meupakan penyelesaian konflik dengan persetujuan bersama. Dalam bab ini, saya akan melukiskan bagaimana jalannya metode itu. Pertama-tama sebuah paparan singkat mengenai Metode III: Orang tua dan anak menghadapi situasi konflik kepentingan. Orang tua meminta anak untuk bersama orang tua mencari beberapa penyelesaian yang dapat diterima oelh kedua belah pihak. Salah satu atau kedua belah pihak dapat menyodorkan kemungkinan penyelesaian. Mereka bersama menilainya secara kritis dan membuat keputusan akhir yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Setelah keputusan dipilih, tidak perlu lagi merisaukan kemungkinan pemecahan yang lain, karena kedua belah pihak telah menerimanya. Tidak diperlukan kekuasaan untuk memaksakan kepatuhan, karena tidak ada pihak yang menolak keputusan itu. Masalah jas hujan yang telah diuraikan sebelumnya dapat diselesaikan dengan menerapkan Metode III seperti berikut: YANI: “Daag, saya pergi ke sekolah.” ORANG TUA: “Hari hujan Sayang, kenapa tak memakai jas hujan?” YANI: “Saya tidak memerlukannya.” ORANG TUA: “Saya pikir hujannya cukup deras dan saya khawatir kamu akan basah kuyup atau menjadi pilek, dan ini akan mempengaruhi kami semua.” YANI: “Ah, saya tak mau mengenakan jas hujan itu.” ORANG TUA: “Kamu kelihatannya sungguh-sungguh tak mau mengenakan jas hujan itu.” YANI: “Ya, betul saya membencinya.” ORANG TUA: “Kamu benar-benar benci jas hujan itu?” YANI: “Ya, jas hujan itu berkotak-kotak.” 146

ORANG TUA: “Jadi sesuatu yang coraknya kotak-kotak kamu benci, ya?” YANI: “Ya, di sekolah tak seorang pun mengenakan jas hujan berkotak- kotak.” ORANG TUA: “Kamu tak mau menjadi satu-satunya orang yang mengenakan sesuatu yang berbeda.” YANI: “Jelas tidak. Semua orang memakai jas hujan putih polos, biru atau hijau.” ORANG TUA: “Kalau begitu, baiklah kita benar-benar bertentangan saat ini. Kamu tak mau mengenakan jas hujanmu karena jas hujan itu kotak-kotak, saya tidak ingin membayar ongkos cuci, dan tidak senang kalau kamu menjadi pilek. Dapatkah kamu memikirkan suatu cara pemecahan yang dapat sama-sama kita terima? Bagaimana kita dapat menyelesaikan hal ini agar kita berdua sama-sama senang?” YANI: Diam sejenak. “Mungkin saya dapat meminjam jas-mobil Ibu hari ini.” ORANG TUA: “Bagaimana coraknya? Apakah putih polos?” YANI: “Ya, putih.” ORANG TUA: “Apakah kau pikir Ibu akan mengizinkanmu untuk meminjamnya hari ini?” YANI: “Saya akan menanyakannya.” (Kembali lagi beberapa menit kemudian dengan mengenakan sebuah jas-mobil; lengannya yang terlalu panjang nampak tergulung). “Kata Ibu, boleh.” ORANG TUA: “Kamu senang dengan jas itu?” YANI: “Tentu, ini bagus.” ORANG TUA: “Ya, saya yakin kamu akan tetap kering. Jadi kalau kamu senang dengan cara pemecahan ini, saya juga demikian.” YANI: “Ya, daag.” ORANG TUA: “Daag. Selamat bersekolah.” Apakah yang terjadi di sini? Jelaslah bahwa Yani dan ayahnya menyelesaikan konflik mereka dengan memuaskan kedua belah pihak. Konflik ini juga diselesaikan dengan cukup cepat. Ayah tidak perlu membuang waktu menjadi “salesman”, yang membujuk-bujuk, mencoba menjual cara penyelesaiannya sendiri, sebagaimana terjadi dalam Metode I. Tak ada masalah kekuasaan – baik dari pihak ayah maupun dari pihak Yani. Sesudah memecahkan persoalan, keduanya berpisah dengan penuh kehangatan. Ayah mengatakan: “Selamat bersekolah” secara tulus, dan Yani pergi ke sekolah dengan perasaan bebas dari kekesalan yang ditimbulkan oleh jas hujan yang berkotak-kotak. Di bawah ini adalah contoh konflik lain yang sering dihadapi oleh orang tua, diselesaikan dengan Metode III. Tidaklah perlu kami melukiskan bagaimana konflik ini dihadapi dengan Metode I dan II; bukankah para orang tua sudah amat terbiasa dengan “perang” bekepanjangan mengenai kerapian dan kebersihan kamar tidur anaknya? Sebagaimana dilaporkan 147

oleh salah seorang ibu yang telah selesai mengikuti kursus MOE, inilah yang terjadi: IBU: “Wiwin, saya pusing dan bosan menegurmu karena kamarmu jorok, saya yakin kamu juga bosan mendengar omelan saya itu. Sekali-sekali kamu memang membereskannya, tetapi lebih sering kamarmu itu berantakan; dan saya marah. Marilah kita coba suatu cara baru yang saya pelajari dalam kursus! Mari kita lihat apakah kita dapat mencari suatu penyelesaian yang dapat kita terima bersama. Suatu penyelesaian yang memuaskan kita berdua. Saya tidak ingin memaksamu membersihkan kamarmu sehingga kamu merasa tertekan, tetapi saya juga tidak mau sedih, tertekan, dan marah kepadamu. Bagaimana kita dapat menyelesaikan masalah ini supaya beres seterusnya? Dapatkah kamu mencoba?’ WIWIN: “Yah, akan saya coba, tapi saya tahu bahwa saya akhirnya harus mempertahankan kebersihan kamar saya.” IBU: “Bukan. Saya mengajakmu mencari penyelesaian yang dapat kita terima bersama, bukan oleh saya saja.” WIWIN: “Ya, kalau begitu saya punya usul. Ibu tak suka masak tapi suka bersih- bersih, saya tak suka bersih-bersih tapi suka memasak. Selain itu saya ingin lebih banyak belajar dalam masak-memasak. Bagaimana jika saya memasak makanan malam dua kali seminggu untuk ibu, ayah dan saya, lalu ibu dapat membersihkan kamar saya satu atau dua kali seminggu.” IBU: “Apakah kamu yakin ini dapat terlaksana?” WIWIN: “Ya, saya benar-benar menyukainya.” IBU: “Baik, marilah kita coba. Apakah kamu juga menawarkan diri untuk mencuci piring?” WIWIN: “Tentu saja.” IBU: “Baik. Barangkali kini kamarmu akan bersih sesuai dengan patokan kebersihan saya. Lagi pula, saya akan melakukannya sendiri.” Kedua contoh tentang penyelesaian konflik melalui Metode III ini mengungkapkan suatu segi sangat penting yang pada mulanya tak mudah dimengerti oleh para orang tua. Dengan menggunakan Metode III ini, setiap keluarga akan menemukan penyelesaian yang berbeda-beda atas masalah yang sama. Ini merupakan suatu cara untuk sampai pada beberapa penyelesaian yang dapat diterima oleh baik orang tua maupun anak di setiap keluarga, bukan metode untuk mendapatkan suatu penyelesaian utama yang “paling baik” untuk semua keluarga. Dalam menyelesaikan masalah jas hujan suatu keluarga lain yang menggunakan Metode III mungkin muncul dengan usul bagi Yani untuk memakai payung. Dalam keluarga lain lagi mungkin mereka setuju agar ayah mengantarkan Yani dengan mobil ke sekolah hari itu. Dalam keluarga keempat, mereka mengkin sepakat bahwa Yani mengenakan jas hujan berkotak-kotak hari itu dan ayah akan membelikan Yani jas hujan baru kemudian. Sudah banyak bacaan-bacaan mengenai pendidikan orang tua terarah pada “pemecahan masalah”; orang tua dinasihati untuk menyelesaikan 148

suatu masalah khusus dalam pengasuhan anak dengan cara penyelesaian bercorak “resep masak-memasak” yang dianggap merupakan patokan yang terbaik oleh para ahli. Orang tua telah ditawari “penyelesaian terbaik” bagi masalah tidur anak, bagi anak yang rewel di meja makan, bagi masalah TV, kamar tidur yang berantakan, masalah kerja rutin, dan selanjutnya sampai tak terhingga. Pendapat pokok saya ialah bahwa orang tua hanya memerlukan Satu Metode Tunggal untuk Menyelesaikan Konflik, metode yang dapat digunakan untuk anak segala usia. Dengan cara pendekatan ini, tak ada cara pemecahan “terbaik” yang dapat diterapkan pada semua keluarga atau bahkan pada kebanyakan keluarga. Suatu penyelesaian terbaik bagi satu keluarga – yakni penyelesaian yang dapat diterima oelh orang tua dan anak tertentu – mungkin bukan merupakan yang terbaik bagi keluarga yang lain. Di bawah ini digambarkan bagaimana suatu keluarga menyelesaikan konflik tentang pemakaian sepeda mini baru dari anak. Ayah melaporkan sebagai berikut: “Robi, umur 13½, dibelikan sepeda mini. Beberapa hari kemudian seorang tetangga mengeluh karena Robi mengendarai sepeda mininya di jalan bebas hambatan, hal ini merupakan suatu pelanggaran terhadap aturan yang berlaku. Seorang tetangga lain mengeluh bahwa Robi telah mengendarai sepedeanya masuk ke halaman mereka, mengayuh sepedanya, dan merusak rumput-rumput. Ia juga telah merusak taman bunga Ibunya. Kami menyelesaikan masalah ini dan muncul dengan beberapa kemungkinan penyelesaian: 1. Tak boleh memakai sepeda kecuali waktu berkemah. 2. Tak boleh mengendarai sepeda kecuali di daerah milik kami. 3. Tak boleh mengendarai sepeda di taman bunga Ibu. 4. Ibu menggiring Robi ke taman untuk beberapa jam setiap minggu. 5. Robi dapat pergi ke lapangan bila ia ingin memakai sepedanya. 6. Robi dapat membuat jalur khusus di halaman tetangga. 7. Tak boleh mengendarai sepedea di lapangan rumput milik orang lain. 8. Tidak boleh meletakkan sepeda di taman rumput Ibu. 9. Menjual sepeda mini. Kami meniadakan penyelesaian no1,2,4, dan 9. Tapi kami mencapai persetujuan bagi semua yang lain. Dua minggu kemudian semuanya berjalan baik. Semuanya tenang”. Dengan demikian, Metode III adalah suatu metode yang memungkinkan orang tua tertentu dengan anak tertentu, dapat menyelesaikan tiap konflik mereka yang tertentu dengan menemukan cara-cara pemecahan khas mereka sendiri yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Metode ini nampaknya bukan hanya merupakan suatu pendekatan yang lebih realistis bagi pendidikan orang tua tapi juga melatih orang tua untuk efektif dalam mendidik anak menjadi lebih sederhana. Bila kita menemukan satu metode tunggal yang dapat dipakai oleh kebanyakan orang tua untuk menyelesaikan konflik-konflik, maka harapan kami bagi meningkatnya 149

efektivitas orang tua pada masa mendatang menjadi semakin besar. Mempelajari efektivitas orang tua mungkin bukan merupakan suatu tugas rumit seperti sebelumnya diyakini oleh para orang tua dan para ahli. KENAPA METODE III BEGITU EFEKTIF? Anak Tergerak untuk Melaksanakan Penyelesaian Metode III menghasilkan derajat motivasi yang lebih tinggi pada anak untuk melaksanakan keputusan, oleh karena metode ini menggunakan prinsip partisipasi: Seseorang lebih terdorong untuk melaksanakan suatu keputusan kalau kelutusan itu dapat dibuat dengan mengikutsertakan dirinya daripada kalau keputusan itu dipaksakan kepadanya oleh orang lain. Kebenaran prinsip ini telah terbukti berkali-kali dengan eksperimen- eksperimen dalam industri. Bila para pegawai turut membantu dalam membuat suatu keputusan, maka mereka akan melaksanakan keputusan itu dengan motivasi yang lebih besar daripada bila keputusan dibuat oleh atasannya secara sepihak. Dan para atasan yang mengundang partisipasi bawahan dalam soal-soal yang juga mempengaruhi mereka, mempertahankan produktivitas yang tinggi, kepuasan kerja yang tinggi, semangat kerja yang tinggi, dan sedikitnya pekerja yang berpindah. Meskipun Metode III tidak menjamin bahwa anak-anak akan selalu melaksanakan pemecahan sebagaimana telah disetujui, namun Metode III memberi kemungkinan besar bahwa anak-anak akan melaksanakannya. Anak-anak juga merasakan bahwa keputusan melalui Metode III adalah keputusan mereka juga. Mereka merasa telah melibatkan diri dalam suatu pemecahan, dan mereka merasa mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakannya. Mereka juga memperlihatkan kesan gembira karena orang tua mereka melepaskan kemungkinan untuk menang atas anak. Penyelesaian-penyelesaian yang dihasilkan dalam Metode III sering kali merupakan usul anak sendiri. Dengan sendirinya hal ini meningkatkan keinginan anak untuk melihat bagaimana hasilnya. Orang tua yang telah mengikuti kursus MOE, memberikan contoh penyelesaian konflik dengan Metode III: Yuyun, 4 tahun, ingin bermain-main dengan ayahnya segera setelah ayahnya pulang dari pekerjaannya tiap malam. Sebaliknya, ayah merasa lelah setelah pulang dari mengendarai mobil lewat jalan-jalan raya yang padat dan ia memerlukan istirahat. Yuyun biasanya naik ke pangkuan ayah, mengaduk- adukkoran, dan terus-menerus merepotkan ayahnya dengan minta ini – itu dan merayunya. Ayah mencoba Metode I dan Metode II. Ia tak puas kalau mengecewakan anaknya bila ia menggunakan Metode I dan menolak untuk bermain-main, dan ia menyesal kalau ia mengalah bila ia menggunakan Metode II. Ia menyatakan kesulitan ini pada Yuyun dan menyarankan agar dicari penyelesaian yang dapat disetujui dua belah pihak. Dalam beberapa menit mereka menyetujui suatu penyelesaian: Ayah berjanji untuk bermain dengan 150

Yuyun asalkan menunggu sampai Ayah selesai membacakoran dan minum segelas air. Keduanya memegang perjanjian mereka ini dan kemudian Yuyun mengatakan kepada ibunya, “Sekarang Ibu tidak boleh mengganggu ayah selama ayah sedang istirahat”. Beberapa hari kemudian, waktu seorang teman bermainnya mendekati ayahnya untuk bicara atau bermain, Yuyun secara bersungguh-sungguh mengatakan kepadanya bahwa ayahnya tak boleh diganggu selama ia sedang istirahat. Kejadian ini melukiskan betapa kuatnya motivasi yang ada pada seorang anak untuk melaksanakan dan menerapkan suatu keputusan, bila anak berpartisipasi dalam membuat keputusan itu. Dalam membuat keputusan melalui Metode III nampaknya anak-anak merasa bahwa mereka membuat sautu keterlibatan – mereka telah mempertaruhkan sebagian dari dirinya sendiri dalam proses pemecahan masalah. Juga orang tua menampilkan sikap percaya kepada anak untuk menepati janjinya. Bila anak-anak merasa bahwa mereka dipercayai, mereka lebih dapat bertindak dengan cara yang dapat diandalkan. Lebih Banyak Kemungkinan untuk Menemukan Pemecahan yang Bermutu Selain menghasilkan pemecahan-pemecahan yang lebih disetujui dan lebih mungkin terlaksana, Metode III menghasilkan pemecahan yang lebih bermutu daripada Metode I dan Metode II – lebih kreatif, lebih efektif dalam menyelesaikan konflik; penyelesaian-penyelesaian yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang tua maupun anak, dan yang tak seorang dari kedua pihak ini dapat menemukan sendiri. Cara penyelesaian konflik tentang kebersihan kamar antara ibu dan anak tadi – di mana anak gadisnya kemudian mengambil alih beberapa tugas masak – merupakan ilustrasi yang baik mengenai betapa sangat kreatifnya suatu penyelesaian dapat terjadi. Baik ibu maupun anak gadisnya mengakui bahwa penyelesaian akhir merupakan suatu yang menakjubkan bagi mereka. Satu cara penyelesaian lain yang bermutu tinggi muncul dari suatu keluarga yang menggunakan Metode III untuk menyelesaikan konflik antara orang tua dan dua anak gadisnya yang masih kecil mengenai kebisingan pesawat TV yang mereka menikmati sewaktu makan malm bersama orang tua. Satu di antara dua anak itu menyarankan agar mereka menikmati acara itu tanpa suara – hanya melihat gambarnya saja. Semua setuju pada cara penyelesaian ini – suatu cara yang baru, memang, meskipun cara ini tak dapat diterima oleh anak-anak dari keluarga lain. Metode III Mengembangkan Ketrampilan Berpikir Anak Metode III mendorong – sesungguhnya meminta – anak-anak untuk berpikir. Orang tua memberi aba-aba kepada anak: “Kita ada konflik, marilah kita bersama-sama memikirkannya – marilah kita cari satu pemecahan yang baik “. Metode III merupakan suatu latihan penalaran, 151

baik bagi orang tua maupun bagi anak. Metode ini hampir menyerupai sebuah teka-teki yang menggugah dan memerlukan “pemikiran tuntas” atau “mencari penyelesaian”. Saya tak akan heran bila penelitian di masa depan membuktikan bahwa anak-anak dalam keluarga yang menggunakan Metode III mengembangkan kemampuan-kemampuan mental yang lebih unggul daripada anak-anak yang keluarganya menggunakan Metode I dan II. Rasa Bermusuhan Berkurang – Cinta, Bertambah Orang tua yang secara konsisten menggunakan Metode III, umumnya melaporkan bahwa rasa bermusuhan pada anak-anak mendadak berkurang. Ini tidaklah mengherankan; bila tiap-tiap dua orang menyetujui suatu cara penyelesaian, maka penyesalan-penyesalan serta rasa bermusuhan jarang terdapat. Dalam kenyataan, bila orang tua dan anak menyelesaikan secara tuntas “mengolah” suatu konflik sampai pada suatu penyelesaian yang menyenangkan bagi kedua belah pihak, mereka sering merasakan perasaan cinta dan kemesraan yang mendalam. Konflik, bila diselesaikan dengan suatu pemecahan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, akan mendekatkan mereka yang berkonflik. Mereka bukan saja lega bahwa konflik telah dilenyapkan, tapi masing-masing lega bahwa dirinya tidaklah kalah. Akhirnya, masing-masing secara tulus menghargai kesediaan orang lain untuk mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhannya dan menghargai hak-haknya. Dengan jalan ini maka Metode III memperkuat dan memperdalam hubungan antar-manusia. Banyak orang tua telah melaporkan bahwa segera setelah pemecahan suatu konflik, tiap orang merasakan suatu perasaan gembira yang istimewa. Mereka sering tertawa, menyatakan perasaan-perasaan mesra terhadap anggota-anggota keluarga, dan sering berpelukan atau berciuman. Kegembiraan dan rasa cinta semacam itu nampak jelas dari ringkasan rekaman tape recorder dari suatu pertemuan dengan seorang ibu, dua gadis remaja, dan satu anak laki-laki remaja. Keluarga ini seminggu yang lalu baru saja menyelesaikan beberapa konflik dengan Metode III. ANNA: “Kami lebih saling cocok kini, kami semuanya menyukai satu sama lain.” KONSELOR: “Anda benar-benar merasakan suatu perbedaan dalam seluruh HESTI: sikap Anda, dalam cara Anda merasakan hubungan satu sama lain.” “Ya saya benar-benar menyukai mereka kini. Saya menghormati Ibu dan kini saya suka pada Tedi, jadi saya merasa semua menggembirakan.” KONSELOR: “Anda sungguh senang bahwa Anda termasuk dalam keluarga ini.” TEDI: “Ya, saya pikir kami senang.” Sekitar satu tahun kemudian salah satu orang tua menulis kepada saya sebagai berikut: 152

“Perubahan-perubahan dalam hubungan keluarga kami meski kecil tapi nyata. Khususnya anak-anak yang lebih tua amat menghargai perubahan- perubahan ini. Pada suatu kali rumah kami diliputi “mendung” – penuh kritik, penyesalan, rasa bermusuhan yang tertahan hingga beberapa soal kecil mencetuskan suatu ledakan. Sejak MOE dan sejak kami menerapkan ketrampilan baru itu bersama anak-anak semua, maka “mendung” ini hilang. Udara menjadi cerah dan tetap cerah. Kami tidak diliputi ketegangan di rumah kecuali ketegangan yang diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan jadwal kegiatan sehari-hari. Kami menangani masalah-masalah bila timbul masalah, dan kami semua menyesuaikan diri dengan perasaan orang lain serta perasaan kami sendiri. Anak laki-laki saya yang berusia 18 tahun mengatakan bahwa ia merasakan ketegangan di rumah tamn-temannya, dan ia menghargai kurangnya ketegangan dalam rumah kami. MOE telah menutup “jurang antar-generasi” bagi kami. Dan oleh karena kami dapat berkomunikasi secara ebas, anak-anak saya bersikap lebih terbuka terhadap pelajaran yang saya berikan tentang sistem nilai saya dan pandangan saya tentang kehidupan. Pandangan-pandangan mereka pun lebih memperkaya pandangan saya.” Kurang Butuh Pemaksaan Metode III memerlukan sangat sedikit pemaksaan, oleh karena sekali anak-anak bersepakat atas suatu pemecahan yang dapat diterima, mereka biasanya melaksanakannya, sebagian oleh karena mereka menghargai bahwa mereka tidak dipaksa untuk menerima suatu pilihan di mana mereka kalah. Dengan Metode I, umumnya diperlukan pemaksaan, karena pemecahan orang tua sering kali tidak dapat diterima anak. Semakin suatu pemecahan kurang dapat mereka terima, padahal merekalah yang harus mengerjakannya, semakin besar kebutuhan untuk memaksa – mengganggu, merayu, menyindir, mengingatkan, menyusahkan, memeriksa, dan selanjutnya. Seorang ayah dari kursus MOE menjadi sadar akan berkurangnya kebutuhan melakukan pemaksaan: “Dalam keluarga kami setiap Sabtu pagi selalu terjadi perdebatan besar. Tiap Sabtu saya “berperang” dengan anak-anak mengenai apa tugas mereka di rumah. Tiap kali sama saja yang terjadi – perdebatan besar, kemarahan, dan kepahitan. Setelah kami menggunakan Metode III untuk menyelesaikan masalah tugas-tugas rutin, anak-anak seolah-oleh melakukan tugasnya atas kesadaran sendiri. Mereka tidak perlu diingatkan dan dipaksakan”. Metode III menghilangkan Kebutuhan Akan Kekuasaan Metode anti-kalah menyebabkan bahwa penggunaan kekuasaan oleh orang tua atau anak menjadi tidak perlu. Bila Metode I dan II menumbuhkan perebutan kekuasaan, maka Metode III menuntut adanya suatu sikap yang sama sekali berbeda. Orang tua dan anak tidak berkelahi satu sama lain, melainkan bekerja bersama-sama untuk suatu tugas bersama, hingga anak-anak tidak perlu mengembangkan metode yang mana pun untuk menyesuaikan diri dengan kekuasaan orang tua. 153

Dalam Metode III, sikap orang tua adalah sikap yang menghormati kebutuhan anak. Tapi ia juga menghormati kebutuhannya sendiri. Metode ini menyampaikan kepada anak: “Saya menghormati kebutuhan- kebutuhanmu serta hakmu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, tapi saya juga menghormati kebutuhan-kebutuhan saya dan hak saya untuk memenuhi kebutuhan saya. Marilah kita cari suatu penyelesaian yang dapat diterima oleh kita berdua. Dengan cara ini kebutuhan-kebutuhanmu akan dipenuhi, tapi demikian juga kebutuhan-kebutuhan saya. Tak ada yang kalah – dua-duanya menang”. Seorang gadis berusia 16 tahun pada suatu malam pulang ke rumahnya dan mengatakan kepada orang tuanya: “Bapak-Ibu tahu, saya merasa lucu di antara teman-teman saya waktu mereka semua berbicara dan mengeluh betapa tidak adilnya orang tua mereka. Mereka terus-menerus bicara tentang kemarahan serta kebencian mereka terhadap orang tuanya. Saya berdiam diri saja karena saya tidak punya perasaan seperti itu. Saya benar-benar di luarnya. Seseorang menanyakan kepada saya mengapa saya tidak merasa benci pada orang tua saya – apa bedanya dengan keadaan di keluarga kami. Mula-mula saya tak tahu apa yang harus saya katakan, tapi setelah memikirkannya, saya mengatakan bahwa dalam keluarga kami tidak seorang pun melakukan sesuatu secara terpaksa. Tidak ada ketakutan bahwa orang tua akan memaksa seorang anak untuk melakukan sesuatu atau menghukum seorang anak. Orang selalu merasa bahwa ia punya kesempatn untuk berkembang”. Orang tua dalam MOE secara cepat dapat menangkap apa artinya mempunyai keluarga di mana masalah kekuasaan dapat dibuang. Mereka melihat implikasi-implikasi yang menggembirakan – suatu kesempatan untuk membesarkan anak-anak yang bebas dari mekanisme-mekanisme penyesuaian diri yang merusak dan defensif. Anak-anak mereka hampir tidak perlu mengembangkan pola-pola kebiasaan untuk menolak dan memberontak (tak ada yang patut mereka tolak atau berontak); jauh lebih sedikit kebutuhan untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan untuk mengalah dan menyerah secara pasif (tidak ada penguasa yang harus ditaati); jauh lebih sedikit kebutuhan untuk menjauhkan diri atau melarikan diri (tak ada hal yang patut dihindari atau dijauhi); jauh lebih sedikit kebutuhan untuk mengadakan serangan balasan dan merendahkan orang tua (orang tua tidak mau menang sendiri dengan memanfaatkan ukuran psikologisnya yang serba lebih). Metode III Mengena pada Masalah Sebenarnya Bila orang tua menggunakan Metode I, mereka sering kali kehilangan kesempatan untuk menyelidiki apakah yang sesungguhnya mengganggu anaknya. Orang tua yang cepat-cepat memutuskan pemecahan mereka sendiri dan kemudian menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan pemecahan-pemecahan yang cepat itu, menghambat anak 154

mengkomunikasikan perasaan-perasaan yang terletak jauh di lubuk hatinya dan yang pada waktu itu merupakan penentu yang lebih berarti bagi tingkah lakunya. Jadi Metode I menghalangi orang tua untuk memahami masalah yang lebih dasar, dan metode ini menghalangi anak menyumbangkan sesuatu yang jauh lebih berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dalam jangka panjang. Metode III sebaliknya, merupakan awal dari suatu reaksi berantai. Anak diperbolehkan terjun ke dalam masalah-masalah rumit yang sesungguhnya, yang menyebabkan anak bertingkah laku secara khusus. Sekali masalah yang sesungguhnya ditemukan, maka pemecahan yang cocok bagi konflik itu sering kali menjadi hampir jelas. Metode III sebenarnya merupakan proses pemecahan masalah: metode ini umumnya memungkinkan anak dan orang tua mampu merumuskan apakah masalah yang sebenarnya, yang memperbesar kemungkinan mereka untuk mencapai penyelesaian yang sungguh-sungguh memecahkan masalah dasar, bukan masalah yang “disajikan” pada awal yang sering kali merupakan masalah yang dangkal yang menggejala di permukaan. Sebuah olustrasi yang baik adalah “masalah jas hujan”, yang ternyata disebabkan oleh rasa takut anak untuk mengenakan jas hujan bercorak kotak-kotak. Dan di sini dikemukakan beberapa contoh lain. Freddy, 5 tahun, menolak pergi ke taman kanak-kanak beberapa bulan setelah dia mulai sekolah. Mula-mula ibunya beberapa kali memaksa dia tiap-tiap pagi. Kemudian dia mengikuti cara pemecahan maslah, ia melaporkan bahwa hanya diperlukan sepuluh menit untuk menemukan penyebab sesungguhnya: Freddy takut bahwa ibunya tidak akan menjemputnya dan jarak waktu antara selesainya sekolah dan kedatangan ibu terasa lama sekali, tak kunjung berakhir. Ia juga bertanya-tanya apakah ibu mencoba mengesampingkan dirinya dengan mengirimnya ke sekolah. Ibu mengatakan kepada Freddy bagaimana perasaannya: Ia tidak mencoba mengesampingkan Freddy dan ia senang kalau Freddy di rumah. Tetapi ia juga menghargai sekolahnya. Dengan proses pemecahan masalah melalui Metode III, beberapa cara pemecahan muncul dan mereka memilih satu: ibu sudah harus berada di sekolah untuk menjemputnya sebelum sekolah usai. Ibu melaporkan bahwa setelah itu Freddy berangkat ke sekolah dengan senang hati dan bahwa ia sering menyebutkan perjanjian mereka, sambil menunjukkan betapa pentingnya hal ini baginya. Konflik sejenis dalam keluarga lain diselesaikan dengan cara yang lain karena proses Metode III menggali masalah dasar yang berbeda. Dalam keluarga ini, Bonnie, 5 tahun, juga menolak bangun dan berpakaian untuk berangkat ke taman kanak-kanak, hingga setiap pagi menjadi masalah bagi keluarga. 155

Di sini akan dilukiskan sebuah rekaman ulang yang agak panjang tapi cantik, kata demi kata, di mana Bonnie dan ibunya menggarap suatu pemecahan yang kreatif. Contoh ini tidak hanya menggambarkan bagaimana proses ini membantu orang tua menemukan masalah yang dasar, tapi juga betapa pentingnya “mendengar aktif” dalam pemecahan konflik melalui Metode III ini, dan bagaimana Metode III ini menghasilkan persetujuan yang tulus ikhlas terhadap suatu pemecahan. Akhirnya hal ini dengan tajam melukiskan betapa dalam Metode III anak-anak maupun orang tua sama yakin bahwa sekali suatu cara pemecahan telah disepakati maka itu akan dilaksanakan. Ibu baru saja menyelesaikan suatu masalah yang menyangkut keempat anak-anaknya. Kini ia mengarahkan percakapannya kepada Bonnie, dan memberikan suatu masalah yang ia hadapi hanya dengan Bonnie. IBU: “Bonnie, ada masalah yang ingin saya kemukakan yakni bahwa setiap pagi Bonnie demikian lambatnya berpakaian hingga mengakibatkan semua yang lain terlambat dan kadang-kadang menyebabkan Terri tertinggal bis sekolah, dan karena begitu lama menolong Bonnie berpakaian, Ibu tidak ada waktu lagi untuk menyiapkan sarapan pagi bagi orang-orang lain, dan Ibu harus buru-buru dan berteriak kepada Terri untuk cepat-cepat mengejar bis. Jadi masalahnya besar.” BONNIE: (Keras) “Tapi saya tak suka berpakaian pada pagi hari.” IBU: “Kamu tak suka berpakaian untuk pergi ke sekolah.” BONNIE: “Saya tidak senang pergi ke sekolah – saya senang tinggal di rumah melihat buku-buku bila Ibu bangun dan semua orang berpakaian rapi.” IBU: “Kamu lebih suka tinggal di rumah daripada pergi ke sekolah?” BONNIE: “Ya.” IBU: “Kamu lebih suka tinggal di rumah dan bermain-main dengan ibu?” BONNIE: “Ya, … seperti bermain-main dan melihat-lihat buku.” IBU: “Kamu tak banyak kesempatan untuk melakukannya.” BONNIE: “Tidak. Saya tidak mendapat kesempatan untuk bermain-main seperti yang diadakan pada waktu perayaan ulang tahun – kami tidak melakukannya di sekolah – kami melakukan jenis-jenis permainan yang berbeda di sekolah.” IBU: “Kamu senang dengan permainan yang dilakukan di sekolah.” BONNIE: “Tidak terlalu suka oleh karena ita selalu memainkan yang itu-itu.” IBU: “Kamu pernah menyukainya, tapi kamu tidak terus-menerus menyukainya.” BONNIE: “Ya, karena itu saya senang memainkan beberapa permainan di rumah.” IBU: “Karena permainan-permainan itu lain daripada permainan yang dilakukan di sekolah; dan kamu tidak suka melakukan hal yang sama setiap hari.” BONNIE: “Ya, saya tidak suka terus-menerus melakukan hal yang sama setiap hari.” IBU: “Tentunya senang ya, untuk melakukan sesuatu yang agak lain.” 156

BONNIE: “Ya, seperti mengerjakan prakarya seni di rumah.” IBU: “Apakah kamu melakukan prakarya seni di sekolah?” BONNIE: “Tidak, kami hanya mewarnai, melukis, dan merekat pada papan.” IBU: “Kedengarannya yang paling tidak kamu senangi di sekolah ialah bahwa kamu tetap melakukan hal-hal yang sama berulang-ulang kali – benar?” BONNIE: “Tidak tiap hari – kami tidak mengerjakan permainan yang sama setiap hari.” IBU: “Kamu tidak mengerjakan permainan yang sama setiap hari?” BONNIE: (Frustasi) “Saya mengerjakan permainan yang sama setiap hari tetapi kadang-kadang kami mempelajari permainan-permaian baru – tapi saya tidak suka. Saya senang tinggal di rumah.” IBU: “Kamu tidak suka mempelajari permainan yang baru.” BONNIE: (Sangat kesal) “Ya, betul ….” IBU: “Tapi lebih senang tinggal di rumah.” BONNIE: (Lega) “Ya, saya benar-benar senang tinggal di rumah dan memainkan berbagai permainan, melihat buku-buku serta tidur – bila Ibu ada di rumah.” IBU: “Hanya bila saya ada di rumah.” BONNIE: “Bila Ibu tinggal di rumah sepanjang hari, saya ingin tinggal di rumah. Bila Ibu pergi, saya pergi ke sekolah.” IBU: “Kedengarannya Ibu tidak cukup tinggal di rumah.” BONNIE: “Ya, Ibu selalu harus pergi ke sekolah mengajar di pagi hari atau malam hari.” IBU: “dan kamu lebih suka Ibu tidak demikian banyak pergi (keluar).” BONNIE: “Ya.” IBU: “Kamu merasa tak cukup banyak bertemu dengan Ibu.” BONNIE: “Tiap malam saya hanya bersama seorang baby sitter bernama Susinah, bila Ibu pergi.” IBU: “Dan kamu lebih senan bersama Ibu.” BONNIE: (Tegas) “Ya.” IBU: “Dan kamu pikir mungkin di pagi hari bila Ibu di rumah ….” BONNIE: “Saya tinggal di rumah.” IBU: “Kamu ingin tinggal di rumah supaya dapat bersama Ibu.” BONNIE: “Ya.” IBU: “Baik, mari coba pecahkan. Ibu harus mengajar. Ibu bertanya-tanya apakah kita dapat menyelesaikan masalah ini dengan satu atau lain cara. Apakah kamu ada usul?” BONNIE: “(Ragu-ragu) “Tidak.” IBU: “Ibu sedang memikirkan mengenai kemungkinan meluangkan sedikit waktu supaya kita dapat cukup bertemu, lebih-lebih di siang hari bila Ricky sedang tidur.” BONNIE: (Gembira) “Itu yang saya inginkan!” IBU: “Kamu menyukainya.” BONNIE: “Ya.” IBU: “Kamu ingin mengisi waktu berdua saja bersama Ibu.” 157

BONNIE: “Ya, tanpa Randy, tanpa Terry, tanpa Ricky – hanya dengan Ibu dan saya bermain-maian serta membaca buku-buku cerita. Tapi saya tak akan senang kalau Ibu membaca buku-buku cerita, karena nanti Ibu akan mengantuk – bila Ibu membacanya, Ibu selalu….” IBU: “Ya, benar. Lalu kamu ingin barangkali bukannya tidur tapi – ini merupakan masalah lain, juga kamu akhir-akhir ini tidak tidur siang, dan Ibu pikir barangkali kamu tidak memerlukan benar.” BONNIE: “Saya tak suka tidur siang – tapi kita kan tidak membicarakan masalah tidur siang.” IBU: “Betul kita tidak bicara soal tidur, tapi saya sedang memikirkan, daripada tidur barangkali kita dapat menyisihkan waktu itu – waktu yang biasa kamu pakai untuk tidur – kita dapat menggunakan waktu itu untuk kita sendiri.” BONNIE: “Buat kita sendiri ….” IBU: “Ya. Lalu mungkin kamu tak akan begitu merasa bahwa kamu ingin tinggal di rumah pada pagi hari. Apakah bagimu akan menyelesaikan masalah?” BONNIE: “Saya tak mengerti apa yang Ibu katakan.” IBU: “Saya mengatakan bahwa barangkali bila kita mempunyai waktu beberapa jam di siang hari di mana kita bisa sekedar bersama-sama dan melakukan hal-hal yang ingin kita lakukan saja, dan waktu itu Ibu bahkan Ibu tak akan bekerja apa-apa – selama melakukan hal-hal yang kamu inginkan – barangkali kamu lalu ingin pergi ke sekolah di pagi hari, karena tahu bahwa siang hari ada waktu untuk bermain bersama Ibu.” BONNIE: “Ya, itu yang saya ingin lakukan. Saya ingin pergi ke sekolah pagi- pagi dan bila sudah waktunya tidur siang – karena kita tidak ada waktu istirahat di sekolah – waktu itu Ibu kan tidak bekerja. Ibu tinggal di rumah dan melakukan apa yang ingin saya kerjakan,” IBU: “Kamu ingin agar waktu itu Ibu hanya bermain denganmu dan tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah.” BONNIE: (Tegas) “Ya, tidak mengerjakan pekerjaan rumah.” IBU: “Baiklah, apakah kita akan mencobanya? Kapan kita mulai – besok?” BONNIE: “Baik, tapi kita harus mencatat ini karena Ibu bisa saja lupa.” IBU: “Lalu kalau saya tidak ingat, kita harus mulai lagi memecahkan persoalan kita.” BONNIE: “Ya. Tapi, Ibu mungkin bisa mencatat dan meletakkannya di pintu kamar, atau di dapur agar Ibu ingat, dan bila Ibu turun dari tempat tidur, Ibu akan ingat karena Ibu akan melihat catatan Ibu.” IBU: “Dan saya tak akan secara kebetulan melupakannya dan mulai tidur atau melakukan pekerjaan di rumah.” BONNIE: “Ya.” IBU: “Baik, ide yang bagus. Saya akan membuat catatan itu.” BONNIE: “Dan buatlah nanti malam bila saya sedang tidur.” IBU: “Baik.” BONNIE: “Dan setelah itu Ibu dapat pergi rapat.” 158

IBU: “Baik, saya rasa kita telah menyelesaikan masalah ini, bukan?” BONNIE: (Dengan senang hati) “Ya.” Ibu ini, yang dengan begitu efektif menggunakan Metode III untuk memecahkan masalah yang umumnya menjengkelkan, kemudian melaporkan bahwa Bonnie telah menghentikan tingkah laku seenaknya dan keluh-kesahnya di pagi hari. Beberapa minggu kemudian Bonnie mengumumkan bahwa ia lebih suka pergi keluar dan bermain-main daripada menggunakan demikian banyak waktu bersama ibunya. Pelajaran yang diperoleh dari sini ialah bahwa sekali kebutuhan-kebutuhan sebenarnya dari anak telah diketemukan melalui cara pemecahan masalah, dan sekali satu pemecahan yang cocok ditemukan bagi kebutuhan- kebutuhan sementara dari anak telah dipenuhi. Memperlakukan Anak Sebagai Orang Dewasa Cara pendekatan Metode III menyampaikan kepada anak-anak bahwa orang tua menganggap kebutuhan-kebutuhan mereka adalah penting juga, dan bahwa anak-anak sebaliknya dapat dipercayai akan mempertimbagnkan kebutuhan orang tua. Ini berarti memperlakukan anak-anak seperti kita memperlakukan teman-teman atau pasangan kita. Metode ini terasa baik sekali untuk anak-anak karena anak-anak senang sekali dipercaya dan diperlakukan setaraf dengan orang dewasa. (Metode I memperlakukan anak seolah-olah anak adalah kurang matang, tak bertanggung jawab, dan tanpa otak). Seorang lulusan MOE melaporkan percakapan berikut ini: AYAH: “Saya bermaksud mengajakmu menyelesaikan masalah tidur malam. Tiap malam Ibu dan saya atau dua-duanya harus memarahimu dan kadang-kadang memaksa kamu untuk tidur pada waktu yang teratur, pukul 8 malam. Saya tak begitu senang melakukan hal ini sebenarnya dan saya bertanya-tanya bagaimana kamu merasakannya.” LAURA: “Saya tak senang ayah mengomeli saya … dan saya tak suka tidur begitu cepat. Saya sudah besar sekarang dan saya harus bisa berjaga lebih lama daripada Joni (adik, 2 tahun lebih muda).” IBU: “Kamu merasa bahwa kmi memperlakukanmu sama seperti Joni dan memperlakukan secara demikian menurutmu tidak adil.” LAURA: “Ya, saya dua tahun lebih tua dari Joni.” AYAH: “Dan kamu merasa bahwa kami harus memperlakukan kamu sebagai seorang yang lebih tua.” LAURA: ”Ya!” IBU: “Kamu benar dalam hal itu. Tapi bila kami biarkan kamu tidak tidur cepat lalu kamu bermain-main terus, saya takut kamu benar-benar akan tidur terlambat.” LAURA: “Tapi saya tak bermain terus bila saya dapat berjaga lebih lama.” AYAH: “Saya ingin tahu apakah kamu dapat menunjukkan kepada kami bagaimana kau bisa membantu kami menjelang tidur, kalau demikian kami bisa mengubah waktu.” 159

LAURA: “Itu juga tidak adil.” AYAH: “Akan tidak adil untuk memintamu “bekerja” bagi waktu tidur yang lebih lambat, ya?” LAURA: “Saya pikir saya harus dapat bangun lebih lama karena saya lebih tua (Diam). Mungkin jika saya tiduran di tempat tidur pukul 8 dan membaca di tempat tidur hingga pukul 8.30?” IBU: “Kamu akan berada di tempat tidur pada waktu yang sama seperti sekarang tapi lampu dapat terus dinyalakan sementara kamu membaca?” LAURA: “Ya, saya senang membaca di tempat tidur.” AYAH: “Kedengarannya ini baik sekali bagi saya – tapi siapa yang akan melihat jam?” LAURA: “Oh, saya yang akan melakukannya. Saya akan mematikan lampu segera setelah pukul 8.30.” IBU: “Kedengarannya usul yang cukup baik Laura. Akan kita coba sementara?” Hasil telah dilaporkan oleh ayah seperti berikut: “Kami sesudah itu hanya sedikit mempermasalahkan waktu tidur. Pada waktu-waktu di mana lampu Laura belum dimatikan pada pukul 8.30, satu di antara kita akan mengkonfrontasikan Laura dengan peringatan seperti: “Sekarang sudah pukul 8.30, Laura, bukankah engkau sudah berjanji akan mematikan lampu?” Terhadap peringatan-peringatan ini ia selalu tanggap dan dapat menerimanya. Cara pemecahan ini memberi kesempatan bagi Laura menjadi ‘anak yang sudah besar’ dan membaca di tempat tidur seperti Ibu dan Ayah”. Metode III Sebagai “Terapi” bagi Anak Sering kali Metode III membawa perubahan-perubahan dalam tingkah laku anak, yang banyak mirip dengan perubahan-perubahan yang terluhat bila anak sedang menjalani terapi pada seorang terapis profesional. Ada sesuatu yang secara potensial terapeutis dalam menyelesaikan konflik atau memecahkan masalah dengan metode ini. Seorang ayah yang ikut MOE mengajukan dua contoh di mana penggunaan Metode III menghasilkan perubahan-perubahan “terapeutis” seketika pada anaknya yang berusia 5 tahun: “Ia telah mengembangkan minat yang besar dalam bidang keuangan dan sering kali mengambil uang kembalian recehan yang terletak di laci saya. Kami mengadakan percakapan untuk menyelesaikan konflik dengan Metode III yang menghasilkan persetujuan bahwa kami akan memberinya lima puluh ribu rupiah sehari sebagai uang saku. Hasilnya, ia berhenti mengambil uang dari laci, dan selama ini sangat konsisten menabung untuk membeli barang-barang yang diinginkannya”. “Kami cukup prihatin mengenai minat anak kami yang berusia 5 tahun atas film fiksi ilmiah dalam TV, yang nampaknya menyebabkan ia gelisah di malam hari. Suatu acara lain di TV pada saat yang sama cukup mendidik sifatnya dan tidak mengerikan. Ia juga menyenangi program ini tapi jarang memilihnya. 160

Dalam percakapan memakai Metode III, kami semua memutuskan suatu pemecahan bahwa ia akan secara sili-berganti melihat program itu. Sebagai hasilnya, mimpi yang menakutkan menghilang dan akhirnya ia mulai lebih sering menonton program pendidikan dari pada film fiksi ilmiah.” Orang tua lain telah melapoekan perubahan-perubahan yang menyolok pada anak-anaknya setelah orang tua menggunakan Metode III selama satu jangka waktu tertentu – di sekolah nilai-nilai bertambah baik, hubungan dengan teman sebaya lebih baik, lebih terbuka dalam menyatakan perasaan, jarang marah-marah, berkurangnya sikap bermusuhan terhadap sekolah, lebih bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan dalam rumah, lebih berdikasi, lebih percaya diri, lebih bergembira, kebiasaan makan lebih baik, dan perbaikan-perbaikan lain yang disambut baik oleh orang tua. 161

12 Kekhawatiran dan Ketakutan Orang Tua Terhadap Metode Anti-Kalah Metode anti-kalah sebagai cara untuk menyelesaikan konflik, mudah dan cepat dimengerti oleh para orang tua peserta MOE, sebagai alternatif baru yang menjanjikan efektivitas. Meskipun demikian, ketika dari diskusi- diskusi teoritis dalam kelas mereka harus melangkah ke pelaksanaanya di rumah, banyak orang tua yang mengalami kekhawatiran yang memang wajar dan dapat dimengerti. “Kedengarannya bagus dalam teori”, begitu kami pernah dengar; “Tapi dapatkah metode ini dipraktekkan?” Memang wajar bila manusia mencurigai setiap hal baru dan menginginkan keterangan sedalam- dalamnya mengenai hal baru itu, sebelum meninggalkan sesuatu kebiasaan lama. Juga, para orang tua agak enggan “bereksperimen” dengan anak- anak yang amat mereka sayangi. Sebagai permulaan, di sini akan dikemukakan beberapa kekhawatiran dan ketakutan terpenting dengan harapan bahwa para orang tua akan sungguh-sungguh mencoba metode anti-kalah. HANYA NAMA BARU BAGI MUSYAWARAH KELUARGA BIASA? Beberapa orang tua mula-mula menolak Metode III karena mereka pikir kedengarannya sama seperti “musyawarah keluarga” yang pernah dicoba oleh orang tua mereka dulu. Waktu kami minta mereka melukiskan bagaimana musyawarah keluarga mereka itu berlangsung, hampir semuanya melukiskan sesuatu yang mirip dengan gambar ini: “Tiap hari Minggu, Ibu dan Ayah menyuruh kami duduk mengelilingi meja makan untuk mengadakan musyawarah keluarga guna membicarakan masalah- masalah. Bisanya merekalah yang mengemukakan masalah-masalah, tapi kadang-kadang kami anak-anak mengungkapkan juga beberapa hal. Ayah dan Ibu paling banyak bicara, dan Ayah yang memimpin rapat. Sering kali mereka memberikan sejenis ceramah atau wejangan. Biasanya kami mendapat kesempatan untuk menggunakan pendapat kami, tapi mereka hampir selalu memutuskan apa pemecahannya. Mula-mula kami merasa lucu, tetapi kemudian jadi membosankan. Kami tidak dapat mempertahankannya terlalu lama, seingat saya. Hal-hal yang kami bicarakan adalah pekerjaan-pekerjaan rutin dan waktu tidur, dan bagaimana kita dapat bersikap dengan lebih mempertimbangkan Ibu.” Meskipun hal tersebut tidak mewakili semua musyawarah keluarga, pertemuan-pertemuan ini cukup terpusat pada orang tua, ayah jelas merupakan ketua, anak “diajari” atau “disadari”, pemecahan masalah- masalah umumnya agak abstrak dan tidak kontroversial dan biasanya suasana cukup menyenangkan dan bersahabat. 162

Metode III tidak sama dengan pertemuan tapi merupakan metode menyelesaikan konflik, sedapat mungkin segera setelah terjadi. Tidak semua konflik melibatkan seluruh keluarga; kebanyakan menyangkut salah satu orang tua dan salah satu anak. Orang-orang lain tidak perlu dan tidak boleh hadir. Metode III juga bukan merupakan alasan bagi ibu-ibu dan anak-anak untuk memberi wejangan atau “mengajar”, “mendidik”, yang biasanya mengandaikan bahwa guru atau “penceramah” sudah mempunyai jawabannya. Dalam Metode III, orang tua dan anak mencari jawaban mereka sendiri yang unik dan biasanya tidak ada jawaban yang baku terhadap masalah-masalah yang muncul bagi suatu pemecahan “anti-kalah”. Juga tidak ada “ketua” atau “pemimpin”, orang tua dan anak merupakan pelaku setara yang bekerja keras untuk menemukan suatu pemecahan atas masalah mereka bersama. Umumnya, Metode III diterapkan dengan cara singkat, saat ini dan di sini, kami menamakannya sebagai pemecahan “sambil berdiri”, karena peserta menangani konflik segera setelah konflik terjadi, dan tidak menunggu dulu untuk dikemukakan secara abstrak pada suatu pertemuan keluarga yang dilakukan “sambil duduk”. Akhirnya suasana selama menyelesaikan konflik dengan Metode III tidak selalu menyenangkan dan bersahabat. Konflik antara orang tua dan anak sering kali menjadi agak emosional dan perasaan-perasaan sering berjalan dengan cukup memuncak. Ayah perlu mobil untuk pergi ke rapat, tapi Joko mau menggunakan juga karena sudah ada janji (dengan pacarnya). Sally berkeras untuk pergi (dengan pacarnya) memakai sweater baru milik ibunya. Timmy masih kecil ingin pergi berenang padahal ia sedang selesma. Ucok memainkan gitarnya dengan volume amat kuat pada amplifiernya. Konflik semacam ini biasanya melibatkan perasaan-perasaan sungguh- sungguh. Bila orang tua mulai mengerti perbedaan-perbedaan antara musyawarah keluarga menurut gaya lama dengan cara pemecahan konflik ini, maka menjadi jelaslah bahwa kamu bukan menghidupkan tradisi kuno di bawah nama yang baru. METODE III DILIHAT SEBAGAI KELEMAHAN ORANG TUA Beberapa orang tua, khususnya para ayah, mula-mula menyamakan Metode III dengan “mengalah” kepada anak, “menjadi orang tua yang lemah”, “berkompromi dengan mengurbankan keyakinan sendiri”. Seorang ayah, setelah mendengar rekaman pembicaraan Bonnie dan ibunya dalam menyelesaikan konflik pergi ke sekolah, dengan agak marah memprotes, “Mengapa, ibu itu jelas-jelas mengalah pada anaknya! Kini ia harus menyisihkan waktu satu jam dengan anaknya yang manja itu tiap-tiap siang. Anak itu menang, bukan?” Tentu saja anak itu menang, tapi demikian juga 163

ibunya. Ibu tidak perlu mengalami suatu ketegangan emosional 5 kali dalam seminggu. Para pembina memahami reaksi ini, mereka pernah mendengarnya pada hampir semua kelas karena orang tua sudah terbiasa memikirkan konflik- konflik dalam kerangka “menang-kalah”. Mereka pikir bila seseorang mendapat apa yang diinginkan, yang lain pasti gagal memperoleh keinginannya. Harus ada yang kalah. Pada mulanya sukar bagi orang tua untuk mengerti bahwa ada suatu kemungkinan bagi kedua orang untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Metode III bukan Metode II di mana anak memperoleh apa yang diinginkannya dengan mengurbankan keinginan orang tua. Pada mulanya orang tua umumnya berpikir, “Bila saya lepaskan Metode I, maka saya tinggal mempunyai Metode II”. “Bila saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan, anaklah yang akan mendapat apa yang ia inginkan”. Ini merupakan pemikiran “ini atau itu” yang lazim dalam konflik-konflik. Orang tua harus mengerti perbedaan dasar antara Metode II dan Metode III. Mereka perlu diingatkan secara berulang-ulang bahwa dalam Metode III, mereka juga harus berusaha memenuhi keinginan mereka sendiri, mereka harus juga menerima penyelesaian akhir. Bila mereka merasa telah mengalah, maka mereka sebenarnya telah menggunakan Metode II, bukan Metode III. Misalnya, dalam konflik antara Bannie dengan ibunya (Bonnie tak mau pergi ke sekolah), ibu harus benar-benar rela memberi perhatian khusus kepada Bonnie selama satu jam seperti terjadi dalam kasus tadi. Kalau tidak, maka ia sebenarnya mengalah pada Bonnie (Metode II). Beberapa orang tua mula-mula gagal melihat bagaimana ibu Bonnie juga beruntung karena ia tidak perlu lagi mengomel dan berdebat setiap pagi, mereka juga gagal melihat bahwa ibu juga tidak merasa bersalah lagi setiap kali Bonnie berangkat ke sekolah, dan ibu puas karena mengetahui Bonnie ternyata mempunyai kebutuhan yang tak terpenuhi, bahkan menemukan suatu cara untuk memenuhinya. Bagaimanapun juga beberapa orang tua memandang Metode III tak lain sebagai suatu “kompromi” dan bagi mereka kompromi berarti menurunkan atau mengurangi apa yang mereka inginkan, membuat orang tua menjadi orang yang “lemah”. Bila saya mendengar mereka menyuarakan perasaan seperti itu, saya sering ingat apda ucapan John F. Kennedy pada pidato pelantikannya, “Jangan takut berunding, tapi jangan sekali-kali berunding karena takut”. Metode III berartti berunding tapi bukan berunding tanpa keberanian untuk bertahan agar penyelesaian memenuhi baik keinginan orang tua maupun keinginan anak. Kami tidak menyamakan Metode III dengan istilah “kompromi” dalam arti menerima lebih sedikit daripada apa yang kita inginkan, karena menurut pengalaman kami pemecahan-pemecahan yang terjadi hampir selalu 164

menghasilkan lebih banyak daripada yang diharapkan baik oleh anak maupun orang tua. Pemecahan-pemecahan semacam inilah yang sering kali disebut oleh para psikolog sebagai “pemecahan yang elegant” – hasilnya baik, sering kali malah terbaik, bagi kedua belah pihak. Jadi Metode III bukan berarti bahwa orang tua tunduk atau mengalah. Bahkan sebaliknya. Perhatikan konflik berikut ini yang melibatkan seluruh keluarga dan perhatikan betapa menggembirakannya apa yang kemudian terjadi itu bagi orng tua dan anak-anak. Seorang ibu berkisah demikian: “Kami sedang merencanakan pesta ‘Thanksgiving’ (pesta syukuran khas Amerika). Seperti lazimnya ada kebutuhan untuk menyiapkan makan malam bersama yang terdiri dari ayam kalkun sambil mengadakan pertemuan keluarga secara resmi. Ketiga putra saya dan suami saya menyatakan keinginan yang berbeda-beda, sehingga kami mesti memecahkan masalah. Ayah ingin mencat rumah dan tak suka membuang- buang waktu untuk suatu acara makan malam yang tentu berlangsung lama bila ada tamu yang diundang. Putra saya yang di perguruan tinggi justru ingin mengajak ke rumah kami seorang teman yang keluarganya belum pernah merayakan sungguh-sungguh pesta ’Thanksgiving’. Putra saya yang masih SMA ingin pergi ke Bungalow keluarga selama empat hari penuh. Si bungsu mengeluh bila harus berpakaian rapi dan merasa tersiksa bila harus menghadiri upacara makan malam ‘resmi’. Dengan sendirinya saya mendambakan keluarga yang merasa bersatu waktu berkumpul dan saya juga ingin menjadi ibu yang baik dengan cara menyiapkan acara makan malam yang anggun dengan suguhan aya kalkun.” “Rencana yang dihasilkan lewat proses pemecahan masalah ialah bahwa saya harus menyiapkan makan mlam kalkun yang akan dibawa ke bungalow setelah ayah selesai menct rumah. Putra saya yang diperguruan tinggi akan mengajak kawannya ke rumah dan semua anak akan membantu ayah mencat rumah agar kami semua dapat lebih cepat pergi ke Bungalow. Hasilnya: Tidak ada pintu yang dibanting, tak ada kemarahan. Semuanya senang waktu itu, hari ‘Thanksgiving’ yang terbaik yang pernah dialami oleh keluarga kami bersama-sama. Bahkan semua anak saya menolong mencat. Baru pertama kali terjadi bahwa anak-anak menolong ayahnya mengerjakan suatu pekerjaan di rumah tanpa perdebatan yang besar. Ayah senang sekali, dan saya merasa senang menjalankan peran saya dalam acara itu. Padahal saya tidak banyak pekerjaan seperti biasanya terjadi kalau harus mempersiapkan makan malam yang besar. Hasilnya lebih baik daripada mimpi kami yang paling indah. Saya tak akan pernah lagi mendiktekan keputusan-keputusan keluarga!” Dalam keluarga saya sendiri, pernah timbul suatu konflik yang serius sekali mengenai libur paskah, dan Metode III menghasilkan suatu pemecahan baru yang di luar dugaan dapat diterima oleh kami semua. Saya dan istri saya 165

sama sekali tidak merasa lemah pada akhirnya; kami merasa beruntung bahwa kami telah dapat menghindari “mimpi buruk Newport Beach”. “Anak gadis kami yang berusia 15 tahun ingin memenuhi undangan untuk meleewatkan liburan Paskah bersama beberapa teman wanitanya di Newport Beach (“tempat mangkal cowok-cowok” di California, pusat bir, ganja, dan polisi). Saya dan istri saya benar-benar mengkhawatirkan kemungkinan terpengaruhnya anak kami oleh kejadian-kejadian yang menimpa ribuan anak sekolah pada pertemuan tahunan semacam itu, seperti sering kami dengar. Kami menyatakan kekhawatiran-kekhawatiran, yang oleh anak gadis kami didengar juga tapi tidak begitu diindahkan oleh karena keinginannya untuk bersama dengan teman-temannya di pantai itu sedemikian kuatnya. Kami tahu bahwa kami akan kurang tidur dan takut dipanggil tengah malam untuk menarik anak kami itu dari kesulitan yang sungguh besar. Melalui mendengar aktif telah terungkapkan sesuatu hal yang di luar dugaan – kebutuhan utamanya adalah untuk bisa bersama dengan seorang teman wanita tertentu, dan untuk berada di salah satu tempat di mana terdapat anak-anak laki-laki, dan untuk berada di pantai agar ia dapat kembali ke sekolah dengan warna kulit yang coklat karena sinar matahari. Dua hari setelah timbulnya konflik, yang masih belum diselesaikan, anak kami muncul dengan pemecahan baru. Dapatkah kita mempertimbangkan suatu akhir pekan sambil main golf (“Kita sudah lama tidak main golf, bukan?”). Ia dapat mengajak temannya dan kita semua akan tinggal di motel di salah satu padang golf yang saya sukai, yang kebetulan juga letaknya dekat pantai. Bukan pantai Newport, tapi pantai lain di mana mungkin ada juga anak- anak laki-laki. Kami hampir-hampir saja melompat gembira atas usul itu karena sangat lega setelah mendapatkan cara unuk menghindari semua kekhawatiran yang mungkin timbul bila anak kami ke Newport tanpa pengawasan. Ia juga senang, karena semua kebutuhannya terpenuhi, kami melaksanakan rencana itu. Kami semuanya senang pada malam setelah saya dan istri saya main golf dan anak-anak menghabiskan waktu di pantai. Kebetulan hanya beberapa anak laki-laki di pantai itu, hal ini cukup mengecewakan anak-anak. Tapi tak ada anak yang mengeluh kepada kami atau menyatakan perasaan apa pun yang menunjukkan penyesalan terhadap kami atas keputusan yang telah dicapai.” Situasi ini juga melukiskan bagaimana beberapa cara penyelesaian keputusan melalui Metode III ternyata tidak sempurna. Kadang-kadang, di luar dugaan, apa yang sebelumnya nampak sebagai suatu cara pemecahan yang memenuhi kebutuhan semua orang, ternyata kemudian mengecewakan seseorang. Bagaimanapun juga dalam keluarga-keluarga yang menggunakan Metode III hal ini nampaknya tidak menyebabkan penyesalan dan kekecewaan, mungkin karena jelas bahwa bukanlah orang tua yang menyebabkan kekecewaan anak (seperti pada Metode I) tapi agaknya nasib, atau kebetulan saja, atau cuaca, atau keberuntungan. Mereka dapat menyalahkan kekuatan-kekuatan yang tak dapat diramalkan, tapi tak 166

dapat menyalahkan orang tua. Faktor lain adalah, tentu saja karena Metode III membuat anak-anak merasa bahwa penyelesaian merupakan penyelesaian bersama. “KELOMPOK TAK DAPAT MEMBUAT KEPUTUSAN” Biasanya orang percaya bahwa hanya individu yang mampu membuat keputusan-keputusan, bukan kelompok. “Sebuah panitia yang bermusyawarah mengenai bagaimana membuat seekor kuda, akan menghasilkan seekor unta”. Lelucon ini sering kali dikemukakan oleh orang tua untuk menyokong pendapatnya bahwa kelompok tidak dapat membuat keputusan atau kalau membuat keputusan, keputusan itu rendah mutunya. Pernyataan lain yang sering dikemukakan orang tua pada kursus MOE ialah bahwa, “Seseorang akhirnya harus memutuskan untuk kelompok”. Mitos ini bertahan karena demikian sedikitnya orang yang diberi kesempatan untuk ikut serta secara aktif dalam kelompok pengambil keputusan. Sepanjang hidupnya, kebanyakan orang tua tak mendapat kesempatan ini karena dihambat oleh mereka yang berkuasa yang menggunakan Metode I secara konsisten untuk menyelesaikan masalah- masalah atau konflik-konflik – orang tua, guru, bibi, pemimpin pramuka, pelatih olahraga, pengasuh anak, pemimpin militer, majikan, dan seterusnya. Kebanyakan orang dewasa dalam masyarakat kita yang “demokratis” ini jarang diberi kesempatan untuk mengalami dan melihat adanya kelompok yang secara demokratis menyelesaikan masalah-masalah dan konflik-konflik. Tidaklah mengherankan bahwa orang tua meragukan kemampuan kelompok untuk memutuskan: “Mereka belum pernah mendapat kesempatan menyaksikannya”. Akibat lanjutnya cukup mencemaskan apalagi bila diingat seringnya pemimpin-pemimpin mengamanatkan pentingnya mendidik anak-anak agar menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Mungkin inilah sebabnya mengapa beberapa orang tua pada kursus MOE kami, memerlukan sangat banyak bukti-bukti bahwa sebuah kelompok seperti keluarga dapat membuat keputusan-keputusan yang bermutu tinggi dalam menyelesaikan masalah, bahkan masalah yang sering kali menjengkelkan dan ruwet, seperti konflik mengenai: uang, khususnya uang saku, perawatan rumah, pekerjaan-pekerjaan rutin, pembelian barang-barang untuk keluarga, penggunaan mobil, penggunaan TV, liburan, tingkah laku anak-anak, pada waktu pesta di rumah, penggunaan telepon, waktu tidur, waktu makan, penentuan tempat duduk di mobil, penggunaan kolam renang, penyediaan makan, pembagian kamar dan lemari, keadaan kamar. Daftar ini dapat dibuat lebih panjang lagi – keluarga sebagai kelompok terbukti mampu membuat keputusan, dan buktinya akan terlihat tiap-tiap hari bila keluarga itu menggunakan metode anti-kalah. Tentu saja orang tua harus bersungguh-sungguh menggunakan Metode III dan harus memberi 167

kesempatan kepada mereka sendiri maupun anak-anaknya untuk mengalami bagaimana sebuah kelompok sesungguhnya mampu mencapai penyelesaian yang kreatif dan dapat diterima oleh kedua belah pihak. “METODE III TERLALU BANYAK MEMAKAN WAKTU” Dugaan bahwa MOE banyak memakan waktu guna memecahkan masalah, membuat para orang tua khawatir. Tuan W, seorang pegawai yang sibuk di mana tugasnya menyita banyak waktu, mengatakan “Tak mungkin saya punya waktu satu jam untuk bersama anak-anak saya satu per satu, tiap kali muncul suatu konflik; itu mustahil”. Nyonya B, ibu dari lima orang anak, mengatakan: “Saya tak akan selesai dengan pekerjaan di rumah bila saya harus menggunakan Metode III dengan tiap anak yang semuanya ada lima orang itu”. Tak dapat disangkal bahwa Metode III memerlukan waktu. Beberapa banyaknya waktu yang diperlukan tergantung dari masalahnya dan kesediaaan orang tua dan anak untuk mencari cara penyelesaian- penyelesaian anti-kalah. Berikut ini dikemukakan pengalaman para orang tua yang telah melakukan usaha sungguh-sungguh dengan Metode III: 1. Banyak konflik merupakan masalah-masalah sensitif dan “pemberontakan” yang memerlukan waktu beberapa menit hingga 10 menit. 2. Beberapa masalah memerlukan waktu lebih banyak misalnya uang saku, pekerjaan-pekerjaan rumah, penggunaan TV, waktu tidur. Meskipun demikian, sekali masalah itu diselesaikan dengan Metode III, masalah- masalah itu umumnya tetap selesai. Tidak seperti halnya keputusan- keputusan dengan Metode I, keputusan dengan Metode III umumnya tidak muncul berkali-kali. 3. Dalam jangka panjang, orang tua menghemat waktu karena mereka tak perlu menggunakan waktu berjam-jam untuk mengingatkan, menguatkan, memeriksa, berdebat. 4. Bila Metode III baru pertama kalinya diperkenalkan dalam keluarga, sidang- sidang permulaan Metode III biasanya memakan waktu yang lebih lama oleh karena anak-anak (dan orang tua) tidak berpengalaman dengan proses yang baru itu, karena anak-anak mungkin tidak percaya akan maksud baik orang tuanya (“Apakah teknik baru ini bermaksud mengendalikan kami”); atau karena masih mempunyai sisa-sisa kejengkelan atau masih mempunyai kebiasaan mengambil sikap menang-kalah (“Saya harus memperoleh apa yang saya inginkan”). Hasil paling besar yang diperoleh, keluarga-keluarga yang menggunakan cara anti-kalah mungin justru penghematan waktu; ini sebenarnya sama sekali tak saya duga: setelah suatu waktu tertentu, konflik-konflik sering tidak muncul. “Kami seakan-akan kehabisan masalah untuk dipecahkan”, demikian dilaporkan oleh seorang ibu kepada kami setelah mengikuti MOE selama kurang-lebih satu tahun. 168

Seorang ibu lain, sebagai jawaban terhadap permintaan saya untuk memberikan contoh-contoh mengenai Metode III dalam keluarganya, menulis, “Kami ingin menanggapi permintaan Anda untuk memberikan kasus, tapi kami nampaknya tidak banyak mengalami konflik akhir-akhir ini untuk dapat berlatih lebih lanjut dengan Metode III”. Dalam tahun terakhir, dalam keluarga kami sendiri, demikian sedikit terjadi konflik anak – orang tua, hingga saya terus terang tak dapat mengingat satu konflik pun karena masalah-masalah demikian mudah terselesaikan tanpa menjadi suatu konflik yang meruncing. Saya menduga bahwa konflik-konflik tetap akan terjadi, dari tahun ke tahun, dan saya yakin bahwa semua orang tua mengira demikian juga. Tetapi mengapa terjadi pengurangan konflik? Saya baru mengerti sekarang setelah saya memikirkannya: Metode III memberikan suatu pandangan yang secara radikal berbeda mengenai hubungan antara anak dengan orang tua. Setelah mengetahui bahwa orang tua tidak lagi menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh apa yang diinginkannya, untuk menang dengan jalan menindas kebutuhan-kebutuhan anak-anak, maka anak-anak tidak ada alasan untuk memaksakan keinginan mereka atau untuk mempertahankan diri terhadap kekuasaan orang tua. Akibatnya, benturan kepentingan hampir seluruhnya hilang. Sebagai gantinya, seorang anak jadi menyesuaikan diri, ia menghargai kebutuhan-kebutuhan orang tua seperti juga menghargai kebutuhan-kebutuhan sendiri. Bila orang tua mempunyai kebutuhan-kebutuhan, mereka menyatakannya dan anak-anak mencari cara- cara untuk menyesuaikan diri. Bila salah satu mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri, maka hal ini lebih akan terlihat sebagai suatu masalah yang perlu diselesaikan daripada melihatnya sebagai suatu pertarungan yang harus dilakukan. Satu hal lain terjadi: Orang tua dan anak mulai mencari cara untuk menghindari konflik. Seorang remaja putri meninggalkan catatan untuk ayahnya di depan pintu, untuk mengingatkan ayahnya bahwa sang remaja perlu memakai mobil malam itu. Atau ia sebelumnya bertanya apakah ayah terganggu bila ia mengundang teman putrinya untuk makan malam Jumat depan perhatikan bahwa ia bukan minta izin. Minta izin atau restu orang tua adalah suatu pola yang dihasilkan oleh keluarga dengan Metode I, dan mengandaikan bahwa bahwa orang tua berkuasa untuk memberi atau tidak memberi izin. Dalam suasana Metode III, anak mengatakan: “Saya ingin melakukan apa yang saya senangi, kecuali bila saya mengetahui bahwa hal itu akan mempengaruhi kesenangan Anda”. “ORANG TUA BOLEH MENGGUNAKAN METODE I, BUKANKAH MEREKA LEBIH BIJAKSANA” Pandangan bahwa orang tua boleh menggunakan kekuasaan terhadap anak-anaknya karena ia lebih bijaksana dan lebih berpengalaman, sudah 169

sangat kuat berakar. Tadi kami telah mengemukakan rasionalisasi atau pembenaran yang biasa dilancarkan: “Berdasarkan pengalaman, kami paling mengetahui”, “Kami melarang demi kebaikanmu sendiri”, “Bila kamu sudah dewasa kelak, kamu akan berterima kasih kepada kami karena memaksamu melakukan hal-hal ini sekarang”, “Kami hanya ingin mencegahmu melakukan kesalahan-kesalahan yang sama seperti yang telah kami lakukan”, “Kami sungguh-sungguh tak dapat membiarkanmu melakukan sesuatu yang kami tahu akan kau sesali di kemudian hari”, dan lain sebagainya. Banyak orang tua yang menyampaikan pesan-pesan ini atau pesan-pesan lain yang sejenis kepada anak-anaknya, sungguh percaya akan apa yang mereka katakan. Tidak ada sikap lain yang lebih sulit untuk diubah dalam kursus-kursus kami daripada sikap orang tua yang merasa berhak menggunakan kekuasaan, bahkan merasa mempunyai tanggung jawab untuk menggunakan kekuasaan. Oleh karena mereka lebih tahu, lebih pandai, lebih bijaksana, lebih matang, atau lebih berpengalaman. Sikap ini bukanlah sikap yang hanya dianut oleh para orang tua. Sepanjang sejarah, para tiran telah menggunakan alasan-alasan ini juga untuk membenarkan kekuasaan mereka memandang rendah sekali kaum tertindas, apakah itu disebut budak, petani, barbar, orang-orang hutan, orang-orang kulit hitam, imigran gelap, orang Kristen, penantang agama, massa, “orang biasa”, pekerja, buruh, orang Yahudi, Amerika Latin, orang-orang Timur, atau para wanita. Hampir merupakan gejala umum bahwa mereka yang menggunakan kekuasaan terhadap orang lain bagaimanapun harus merasionalisasi atau membenarkan penindasan dan perlakuan tak manusiawi yang mereka lakukan, dengan mengatakan bahwa orang-orang yang tertindas itu adalah lebih hina. Bagaimana kita dapat menolak pikiran bahwa orang tua lebih bijaksana dan lebih berpengalaman daripada anak-anak? Ini memang nampak sebagai suatu kebenaran yang nyata. Meskipun demikian, bila kami menanyai para orang tua dalam kursus-kursus kami, apakah orang tua mereka sendiri pernah membuat keputusan-keputusan Metode I yang tidak bijaksana, mereka serempak menjawab, “Ya”. Betapa mudahnya orang tua melupakan pengalaman sendiri sebagai anak! Betapa mudahnya untuk melupakan bahwa anak kadang-kadang lebih mengetahui daripada orang tuanya kapan mereka sedang lapar atau mengantuk, mereka juga lebih mengetahui sifat- sifat teman-temannya, cita-cita dan tujuan-tujuannya, bagaimana guru-guru mereka memperlakukan murid, anak-anak lebih mengetahui dorongan- dorongan dan kebutuhankebutuhan di dalam tubuhnya, siapa saja yang mereka cintai dan siapa yang tidak, apa yang mereka hargai dan apa yang tidak mereka hargai. 170

Orang tua selalu bijaksana daripada anak? Tidak, tidak tentang banyak hal yang menyengkut anaknya. Orang tua memang memiliki banyak kebijakan dan pengalaman, dan kebijakan serta pengalaman itu memang tak perlu dikubur begitu saja. Banyak orng tua dalam MOE mula-mula melupakan hal pokok bahw baik kebijakan orang tua maupun kebijakan anak kedua-duanya digunakan dalam metode anti-kalah. Tidak ada salah satu yang dihilangkan dalam pemecahan masalah (sebaliknya Metode I mengabaikan kebijakan anak, Metode II mengabaikan kebijakanorang tua). Seorang ibu dari dua anak gadis yang kembar, yang luar biasa pandainya, melaporkan suatu sidang yang berhasil mengenai apakah si kembar itu harus “melompat” satu kelas di sekolah agar pelajarannya menjadi lebih menarik dan menantang, atau tetap di kelas mereka yang sekarang bersama teman-temannya. Ini merupakan jenis masalah yang biasanya diselesaikan oleh “para ahli”, yakni guru-guru dan orang tua. Dalam kasus ini meski orang tua mempunyai gagasan-gagasan, tapi ia juga percaya akan kebijaksanaan dan perasaan anak-anak gadisnya, pada penilaian mereka sendiri mengenai apa yang terbaik bagi mereka. Setelah beberapa hari menimbang pro dan kontra, termasuk mendengarkan usul- usul dan sumbangan-sumbangan pikiran dari ibu serta juga keterangan- keterangan yang diberika guru kepada mereka, si kembar menerima keputusan bahwa mereka didahulukan naik kelas. Hasil dari keputusan keluarga ini ternyata menyenangkan, tanpa kecuali, baik untuk kebahagiaaan anak maupun untuk prestasi sekolahnya. “DAPATKAH METODE III DITERAPKAN KEPADA ANAK- ANAK KECIL?” “Saya dapat mengerti bagaimana Metode III berhasil pada anak-anak lebih tua yang lebih verbal, lebih matang, dan lebih mampu mengdakan penalaran, tetapi pada anak-anak yang lebih muda, antara dua dan enam tahun, tak akan berhasil. Mereka terlalu muda untuk mengetahui apa yang terbaik bagi mereka, jadi apakah kami tidak diharuskan untuk menggunakan Metode I?” Pertanyaan ini diajukan dalam tiap kursus MOE, namun demikian, pengalaman keluarga-keluarga yang menggunakan Metode III terhadap anak-anak muda usia telah membuktikan bahwa metode ini dapat berhasil juga. Di sini akan dikemukakan suatu percakapan singkat antara seorang anak gadis berusia 3 tahun dengan ibunya: CATHY: “Saya tak mau pergi ke babysitter lagi.” IBU: “Kamu tak mau pergi ke rumah Ny. Crockett bila saya bekerja.” CATHY: “Ya, saya tak mau.” 171

IBU: “Saya perlu bekerja tapi kamu pasti tak senang tinggal di rumah. Apakah ada sesuatu yang dapat dilakukan supaya kamu dapat lebih senang tinggal di situ?” CATHY: (Diam) “Saya dapat tinggal di tepi jalan sampai Ibu pergi.” IBU: “Tapi Ny. Crockett perlu melihat kamu di dalam rumahnya bersama anak-anak yang lain supaya ia tahu kamu ada di sana.” CATHY: “Saya dapat melihat dari jendela bila Ibu pergi.” IBU: “Apakah itu akan menyenangkan bagimu?” CATHY: “Ya.” IBU: “Baik. Mari kita coba lain kali.” Seorang anak berusia 2 tahun menjawab cara “tanpa kekuasaan” dalam kejadian dilukiskn oleh ibunya ini: “Pada suatu sore saya sedang memasak untuk makan malam, dan anak gadis saya sedang mengoceh dengan asyiknya di ats kuda-kudanya. Kemudian ia mengambil kulit pengikat yang digunakan untuk mengikatkan anak pada kuda- kudaan itu dan mulai mencoba mengikatkan tali kulit itu sendiri. Mukanya menjadi merah dan ia mulai berteriak dengan nada tinggi ketika frustasinya memuncak, saya merasa menjadi marah karena teriakkannya, hingga saya pakai cara yang biasa saya lakukan, saya membungkukkan badan untuk membantunya. Tetapi ia melawan saya dan tetap menjerit-jerit. Saat itu saya siap untuk mengangkatnya bersama kuda-kudaannya dan meletakkan mereka dalam kamar, membanting pintu untuk menghindari keributan. Lalu, suatu ilham masuk dalam benak saya. Dan saya membungkukkan badan, meletakkan kedua belah tangan saya di atas tangannya dan mengatakan, “Kamu marah sekali karena kamu tak dapat mengerjakannya sendiri?” Ia menganggukkan kepalanya, “Ya”, berhenti menjerit, beberapa isak tangis dan sesuah itu senang lagi. Dan saya pikir. “Demikian sederhananya…”. Kepada ibu yang agak keheranan ini seharusnya saya ingin mengatakan, “Tidak, tidak selalu sesederhana itu”, tapi Metode III benar-benar berhasil baik sekali pada anak-anak yang lebih kecil. Saya masih ingat pada insiden dalam keluarga kami: “Waktu anak kami berusia 5 bulan, kami pergi berlibur selama satu bulan dan tinggak di sebuah villa di tepi telaga untuk sekedar memancing. Sebelum tamasya itu kami merasa beruntung karena anak kami tak pernah memerlukan minum susu antara pukul 11 malam hingga pukul 7 pagi. Perubahan lingkungan membawa juga perubahan dalam keberuntungan kami. Ia mulai bangun pukul 4 pagi untuk minta minum. Untuk bangun pada jam itu guna memberi minum anak, sangat tidak menyenangkan. Di sebelah utara Wisconsin pada bulan September, villa sangat dingin dan satu-satunya yang kami miliki adalah tungku pemanas dengan kayu sebagai bahan bakarnya. Ini berarti bahwa kami harus bersusah-payah untuk membuat perapian, atau sama buruknya, meringkuk dalam selimut dan mencoba untuk tetap merasa hangat pada jam itu untuk menyiapkan susu, memanaskan botol dan memberinya minum. Kami benar- benar merasakan hal ini sebagai ‘situasi konflik kebutuhan’, yang memerlukan pemecahan masalah secara bersama-sama. Setelah bersama-sama dipikirkan, istri saya dan saya memutuskan untuk memberianak itu suatu pemecahan 172

alternatif dengan harapan bahwa ia akan dapat menerimanya. Kami tidak membangunkan dan memberinya minum pada pukul 11, tapi keesokan malamnya kami membiarkannya tidur hingga pukul 12, lalu memberinya minum. Pagi itu ia tidur hingga pukul 5.00 pagi. Sampai di situ baik. Keesokan malamnya kami melakukan usaha khusus untuk menyuruh dia minum susu lebih dari biasanya dan menidurkannya sekitar pukul 12.30. ini berhasil, ia menyukainya. Pagi itu dan pagi-pagi berikutnya ia tidak bangun sebelum pukul 7.00 waktu kami bangun untuk pergi memancing ke danau. Tak ada pihak yang kalah, kami semua menang”. Menggunakan Metode III dengan anak kecil bukan hanya mungkin; hal ini penting untuk dilakukan selagi anak masih muda. Makin cepat dimulai, makin cepat pula anak belajar bagaimana ia harus mengadakan hubungan dengan orang lain secara demokratis, bagaimana menghargai kebutuhan- kebutuhan orang lain mengakuinya bila kebutuhan-kebutuhan sendiri dihargai. Orang tua yang mengikuti MOE setelah anak-anaknya lebih besar dan memperkenalkan Metode III kepada anaknya setelah mereka terbiasa memakai metode perjuangan antara dua kekuasaan, selalu lebih banyak menemui kesulitan daripada orang tua yang mulai menggunakan Metode III sejak awal. Seorang ayah mengatakan kepadateman-teman peserta kursus MOE bahwa pada waktu-waktu ia dan istrinya mencoba menggunakan Metode III, putra sulungnya berkata: “Apakah teknik psikologi baru yang Bpak-Ibu cobakan ini merupakan cara baru untuk memaksa kami melakukan apa yang Bapak-Ibu inginkan?” Putra yang perseptif ini, yang terbiasa dengan cara pemecahan menang-kalah (biasanya anak-anak yang kalah), sulit untuk mencapai itikad baik orang tuanya dan keinginan mereka yang sungguh- sungguh untuk mencoba metode anti-kalah. Dalam bab berikut, saya akan menunjukkan bagaimana menangani hambatan-hambatan dari anak-anak remaja seperti itu. “APAKAH ADA SAAT-SAAT METODE I HARUS DIGUNAKAN?” Hal yang menggelitik pada pembina MOE bahwa dalam hampir tiap kursus baru, tentu ada orang tua yang menantang kebenaran atau keterbatasan Metode III melalui satu atau dua pertanyaan: “Tapi bagaimana kalau anak lari ke jalan dan ada mobil? Apakah kita tidak harus menggunakan Metode I?” “Tapi bagaimana kalau anak kita terserang apendisitis yang berat. Apakah Anda tidak harus menggunakan Metode I supaya anak mau pergi ke rumah sakit?” Jawaban kami terhadap kedua pertanyaan ini ialah: “Ya, tentu saja”. Kedua keadaan ini merupakan keadaan-keadaan kritis yang menuntut 173

dilakukankannya tindakan segera dan tegas. Tetapi sebelum keadaan kritis ini terjadi, metode-metode “tanpa kekuasaan” dapat digunakan. Bila seorang anak mengembangkan kebiasaan untuk berlari-lari ke jalan raya, orang tua mula-mula dapat mencoba untuk membicarakan mengenai bahaya mobil, berjalan dengan anaknya melingkari tepi halaman, dan mengatakan kepadanya bahwa segala sesuatu yang berada di luar halaman tidaklah aman, menunjukkan sebuah gambar dari seorang anak yang ditabrak mobil, membangun pagar di sekitar halaman, atau mengawasi naka untuk beberapa hari waktu ia sedang bermain-main di halaman muka, dengan tiap kali mengingatkannya bila ia melampaui batas-batas. Meskipun dalam hal ini saya memilih pendekatan melalui hukuman, saya tak akan mempertaruhkan nyawa anak saya atas dasar asumsi bahwa hukuman saja dapat mencegahnya pergi ke jalan raya. Saya akan melaksanakan metode- metode yang lebih tegas dalam tiap kesempatan. Dengan anak-anak yagn sakit dan memerlukan operasi atau suntikan atau obat, cara-cara tanpa kekuasaan juga dapat sangat efektif. Dalam situasi berikut, seorang anak berusia 9 tahn dan ibunya sedang mengendarai mobil menuju ke klinik alergi untuk memulai suatu pengobatan suntikan dua kali seminggu untuk penyakit demamnya. Ibu hanya menggunakan cara mendengarkan dengan aktif. BETTY: (Dengan melolong yang panjang). “Saya tak mau disuntik. Siapa yang mau disuntik?…. Suntikan sakit… Barangkali untuk seterusnya saya harus disuntik… Dua kali seminggu… Lebih baik saya pilek dan bersin terus… Untuk apa Ibu membawa saya kemari?” IBU: “Hm… mm.” BETTY: “Ibu, ingatkah Ibu ketika saya banyak kemasukan duri di lutut saya dan sesudah itu saya disuntik?” IBU: “Ya, saya ingat. Kamu mendapat suntikan anti-tetanus setelah dokter mengeluarkan duri-duri itu.” BETTY: “Perawat berbicara kepada saya dan mengatakan kepada saya supaya saya melihat gambar yang ada di dinding, hingga saya tidak tahu kapan jarum suntikan itu dimasukkan.” IBU: “Beberapa perawat dapat menyuntik tanpa terasa.” BETTY: (Waktu tiba di klinik) “Saya tak mau masuk.” IBU: (Melalui pundaknya waktu berjalan masuk) “ Kamu lebih senang untuk tidak masuk.” BETTY: (Berjalan masuk dengan sangat lambatnya) Ibu ini kemudian melukiskan hasilnya. Betty akhirnya masuk, menepati janjinya sebagaimana direncanakan, ia mau disuntik, dan mendapat pujian dari perawat karena kerjasamanya. Ibu Betty juga menambahkan sebagai berikut: “Sebelum MOE, saya mungkin akan memberi ceramah kepadanya tentang pentingnya menjalankan rencana pengobatan dokter, atau saya akan mengatakan kepadanya betapa banyak menolong suntikan-suntikan anti-alergi 174

yang pernah saya alami, atau mengatakan bahwa suntikan tidaklah demikian sakitnya, atau memberi wejangan mengenai betapa beruntungnya dia bahwa dia tak punya masalah kesehatan yang lain atau kalau tidak saya akan menjadi sangat jengkel dan menegurnya agar berhenti mengeluh. Jelas, saya tak akan memberi kesempatan kepadanya untuk mengingat perawat yang memberi suntikan ‘tanpa kita tahu kapan jaru disuntikkan’”. “APAKAH SAYA TAK AKAN KEHILANGAN WIBAWA?” Para orang tua, terutama para ayah, takut bahwa dengan menggunakan Metode III anak-anak tak akan menghormati mereka lagi. Mereka mengatakan: “Saya takut anak-anak akan menginjak-injak saya.” “Bukan anak-anak harus menghormati orang tuanya?” “Saya pikir anak-anak harus menghargai orang tuanya?” “Apakah Anda menyarankan bahwa orang tua harus memperlakukan anak- anak sebagai sederajat?” Banyak orang tua bingung pada istilah “hormat”. Kadang-kadang bila mereka menggunakan istilah ini dalam “hormatilah kekuasaan saya”, mereka sebenarnya memaksudkan sebagai “takut”. Mereka takut bahwa anaknya akan kehilangan rasa takut pada orang tua, dan kemudian tidak taat atau menolak usaha-usaha untuk mengendalikannya. Bila dihadapkan pada definisi ini, beberapa orang tua mengatakan: “Tidak, bukan itu yang saya maksud – saya ingin mereka menghormati saya atas kemampuan-kemampuan, pengetahuan saya, dan seterusnya. Saya kira saya benar-benar tidak ingin mereka menjadi takut pada saya”. Kemudian kami tanyakan kepada orang tua seperti itu, “Bagaimanakah Anda menghormati seorang dewasa lain atas kemampuan-kemampuan yang yang ia miliki dan pengetahuannya?”. Biasanya jawabannya adalah “Ya, ia harus menunjukkan kemampuan-kemampuannya, melalui cara itu ia akan membuat saya menaruh hormat”. Biasanya menjadi jelas bagi orang tua ini bahwa mereka pun harus merebut rasa hormat anak-anaknya dengan menunjukkan atau memamerkan kemampuan atau pengetahuannya. Kebanyakan orang tua, bila mereka berpikir jernih, mengetahui bahwa mereka tak dapat menuntut penghormatn dari seseorang – mereka harus menghasilkannya. Bila kemampuan dan pengetahuan mereka berharga untuk mendapat penghormatan, anak-anak mereka akan menghormatinya. Kalau tidak, tidak akan ada rasa hormat bagi mereka. Orang tua yang telah sungguh-sungguh berusaha untuk menggantikan metode menang-kalah dengan Metode III biasanya menemukan bahwa anak-anaknya telah mengembangkan sejenis rasa hormat baru terhadap mereka, bukan rasa hormat yang didasari rasa takut, tapi rasa hormat yang didasari atas pengalaman bahwa orang tua adalah pribadi. Seorang kepala sekolah menulis surat yang mengharukan ini kepada saya: 175

“Saya adalah orang yang dapat menceritakan sebaik-baiknya apa arti MOE dalam kehidupan saya dengan mengatakan kepada Anda bahwa putri tiri saya tidak menyukai saya sejak saya muncul dalam hidupnya waktu ia berumur dua setengah tahun. Ini benar-benar meresahkan saya – kebenciannya. Anak-anak biasanya menyukai saya, tapi Sally tidak. Saya mulai tak menyukainya bahkan benci padanya. Demikian besar benci saya kepadanya hingga pada suatu pagi saya bermimpi di mana perasaan-perasaan saya terhadapnya demikian bertentangan, demikian meresahkan sampai-sampai saya terkejut dan terbangun. Saya tahu bahwa saya perlu pertolongan. Saya menjalani terapi. Terapi itu membantu saya untuk bersikap lebih santai, tapi Sally masih tak menyukai saya. Enam bulan setelah terapi, Sally telah berusia 10 tahun waktu itu, saya mengikuti MOE dan kemudian mulai mengajarkannya. Dalam satu tahun antara Sally dan saya terjalin hubungan yang kaya seperti yang saya inginkan dan impikan. Ia kini berusia 13 tahun. Kami saling menghargai, kami saling menyukai, kami tertawa, berdebat, bermain bekerja dan kadang-kadang saling menangis. Saya menerima “tanda lulus” dari Sally kira-kira sebulan yang lalu. Keluarga kami sedang makan di sebuah restoran Cina. Sementara kami semua sedang membuka “kue keberuntungan” (fortune cookies), secara diam-diam Sally membaca keberuntungan dan kemudian memberikannya kepada saya sambil mengatakan: “Ini sebaiknya untuk Ayah”. Tulisannya adalah, “Anda akan merasakan kebahagiaan pada anak-anak dan mereka pada Anda”. Anda lihat sekarang bahwa saya mempunyai alasan untuk berterima kasih kepada Anda yang telah mengajarkan MOE kepada saya”. Kebanyakan orang tua akan setuju bahwa rasa hormat Sally terhadap ayah tirinya adalah jenis rasa hormat yang sesungguhnya diinginkan oleh orang tua dari anak-anaknya. Metode III memang menyebabkan anak kehilangan “respek” yang didasarkan atas rasa takut, tetapi apakah yang hilang dari orang tua bila sebagai gantinya orang tua memperoleh rasa hormat yang jauh lebih baik? 176

13 Melaksanakan Metode “Anti-Kalah” Bahkan setelah dalam kursus MOE, para orang tua merasa yakin dan ingin mulai menggunakan metode anti-kalah, mereka masih juga mengajukan pertanyaan mengenai bagaimana mereka harus mulai. Juga, beberapa orang tua mengalami kesulitan pada mulanya. Berikut ini adalah beberapa petunjuk mengenai bagaimana memulainya, bagaimana menanggulangi persoalan yang paling umum dijumpai orang tua, dan mengenai bagaimana menyelesaikan konflik yang menjengkelkan yang timbul di antara anak-anak. BAGAIMANA ANDA HARUS MULAI? Orang tua yang mendapatkan sukses gemilang ketika ia menggunakan metode anti-kalah, benar-benar melaksanakan nasihat kami untuk duduk sejenak bersama anak-anak dan menerangkan kepada mereka apa sebenarnya metode ini. Ingat, baik anak-anak maupun orang tua sama-sama belum terbiasa memakai metode ini. Karena sudah terbiasa menyelesaikan konflik dengan Metode I dan Metode II, maka pada mulanya mereka perlu diberi tahu di mana letak perbedaan Metode III ini. Beberapa orang tua menggunakan diagram yang sama seperti yang digunakan pembina MOE di dalam kursus. Mereka menggambar ketiga metode ini dan menerangkan perbedaan-perbedaan yang ada. Mereka mengakui bahwa mereka sering menang dan anak-ana kalah, dan sebaliknya. Kemudian secara bebas orang tua mengemukakan keinginan untuk tidak menggunakan metode menang-kalah, dan mencoba metode anti-kalah ini. Biasanya anak menjadi tergerak oleh “pengantar” semacam ini. Mereka ingin mengetahui Metode III dan ingin mencobanya. Beberapa orang tua pertama-tama menerangkan bahwa mereka sedang mengikuti kursus tentang bagaimana menjadi orang tua yang lebih efektif dan metode ini adalah salah satu hal yang ingin mereka coba. Tentu saja pendekatan ini kurang tepat untuk anak-anak kecil di bawah 3 tahun. Dengan mereka, Anda mulai saja tanpa penjelasan. KEENAM LANGKAH ANTI-KALAH Sangat bermanfaat bagi orang tua untuk mengerti bahwa metode anti- kalah sebenarnya terdiri dari 6 langkah yang terpisah-pisah. Bila orang tua mengikuti langkah-langkah ini, mereka akan lebih banyak mengalami keberhasilan: Langkah 1: Membuat identifikasi dan menentukan konflik. Langkah 2: Melahirkan pemecahan pengganti yang mungkin. Langkah 3: Menilai pemecahan-pemecahan pengganti. Langkah 4: Menentukan pemecahan paling baik yang dapat diterima. 177

Langkah 5: Memikirkan cara-cara untuk melaksanakan pemecahan atau keputusan. Langkah 6: Melakukan tindak lanjut untuk menilai bagaimana hasilnya. Ada beberapa hal penting yang harus dipahami dalam masing-masing langkah ini. Bila orang uta memahami dan melaksanakan hal-hal penting ini mereka menghindari banyak kesukaran dan kesulitan. Meskipun beberapa konflik “kecil” dapat diselesaikan tanpa melalui keenam langkah ini, orang tua akan lebih berhasil bila mereka tahu apa yang tercakup di dalam tiap- tiap tahap. Langkah 1: Membuat Identifikasi dan Menentukan Konflik Bila orang tua sungguh-sungguh ingin mengikutsertakan anaknya, maka fase ini sungguh menentukan. Mereka harus mendapatkan perhatian anak dan kemudian memperoleh kemauan anak untuk ikut serta dalam pemecahan persoalan. Kesempatan untuk mendapat semua hal ini adalah lebih besar bila mereka ingat untuk: 1. Memilih waktu ketika anak tidak sibuk atau sedang mengerjakan sesuatu atau ingin pergi, dengan demikian anak tidak akan menolak atau marah karena diganggu atau menjadi terlambat. 2. Katakan dengan jelas dan ringkas bahwa ada sesuatu persoalan yang harus dipecahkan. Jangan berputar-putar atau menenggang rasa dengan mengemukakan pertanyaan yang kurang efektif semacam ini, “Maukah kamu melakukan pemecahan persoalan?”, atau “Saya pikir sebaiknya kita mencoba menyelesaikan hal ini”. 3. Katakan dengan jelas kepada anak dan sekeras yang Anda rasakan, tepatnya perasaan-perasaan apa yang Anda punyai atau kebutuhan- kebutuhan Anda yang mana yang tidak dipenuhi atau apa yang menjengkelkan Anda. Di sini sangat pentinglah mengirim “pesan- pesan saya”. “Saya merasa tidak senang bila saya melihat dapur yang sudah saya bersihkan dengan susah payah menjadi berantakan lagi setelah kamu menggoreng telur”, atau “Saya cemas bahwa mobil saya akan hancur dan kamu luka, kalau kamu terus-terusan ngebut”, atau “Saya akan merasa diperlakukan tidak adil kalau harus mengerjakan begitu banyak pekerjaan di rumah tanpa bantuan kalian”. 4. Hindari pesan-pesan yang mengecilkan arti diri atau menyalahkan anak seperti “Kamu jorok benar di dapur”, “Kamu sembrono dengan mobil saya”, “Di rumah ini, kalian semua benalu”. 5. Jelaskanlah bahwa Anda ingin mereka ikut bersama Anda menemukan pemecahan yang dapat diterima kedua pihak, dan pemecahan yang dapat kita laksanakan bersama, di mana tidak ada 178

yang kalah dan kebutuhan kedua belah pihak dapat terpenuhi. Sangat pentinglah agar anak-anak percaya bahwa Anda dengan setulus hati menghendaki suatu pemecahan anti-kalah. Mereka harus tahu “nama permainan” ini adalah Metode III, anti-kalah, dan tidak lagi menang- kalah dalam bungkus baru. Langkah 2: Melahirkan Pemecahan-pemecahan Pengganti Dalam fase ini, kuncinya adalah melahirkan bermacam-macam pemecahan. Orang tua dapat mengusulkan: “Hal-hal apa saja yang mungkin kita lakukan?” “Marilah kita pikirkan pemecahan-pemecahan yang mungkin.” “Marilah kita kerahkan pikiran untuk menemukan pemecahan yang mungkin.” “Mestinya ada banyak cara untuk menyelesaikan persoalan ini.” Titik-titik kunci yang berikut ini dapat membantu: 1. Usahakanlah supaya anak mengemukakan pemecahannya terelebih dahulu, kemudian Anda dapat menambahkan pemecahan yang Anda pikirkan. (Anak-anak yang lebih kecil mungkin tidak dapat menyodorkan pemecahan terlebih dahulu). 2. Penting sekali: jangan menilai, jangan menghakimi, atau meremehkan pemecahan yang diajukan. Ada waktu untuk melakukan semua hal ini pada fase berikutnya. Terimalah semua usul pemecahan. Untuk persoalan yang kompleks, sebaiknya ditulis di kertas. Bahkan jangan menilai suatu pemecahan sebagai “baik”, karena hal ini bisa mengandung arti bahwa cara pemecahan yang lain yang ada dalam daftar adalah kurang baik. 3. Pada fase ini cobalah untuk tidak membuat pernyataan bahwa pemecahan yang diusulkan itu tidak dapat Anda terima. 4. Bila menggunakan metode anti-kalah dalam suatu persoalan yang mencakup beberapa anak, bila seorang anak tidak mengemukakan pemecahan, sebaiknya Anda mendorongnya untuk mengeluarkan pendapat. 5. Usahakanlah terus-menerus supaya dikemukakan pemecahan- pemecahan pengganti yang mungkin hingga seolah-oleh tidak ada lagi yang bisa diusulkan. Langkah 3: Menilai Pemecahan-pemecahan Pengganti Dalam fase ini, adalah pada tempatnya untuk mulai menilai berbagai pemecahan yang diusulkan. Orang tua berkata, “Baiklah, mana dia antara pemecahan-pemecahan ini yang teras paling baik?” atau “Sekarang mari kita lihat, mana di antara pemecahan-pemecahan ini yang kita pilih” atau “Bagaimana pendapat kita semua tentang berbagai pemecahan yang sudah kita usulkan ini?” atau “Mana yang lebih baik dibanding yang lain-lain?” 179

Biasanya, pemecahan-pemecahan ini akan dipersempit sampai menjadi satu atau dua yang dirasa paling baik dengan menghilangkan yang tidak dapat diterima oleh baik anak ataupun orang tua (apa pun alasannya). Pada tahap ini orang tua yang harus ingat bahwa ia harus dengan jujur mengemukakan perasaannya, “Saya tak akan senang dengan hal itu” atau “Hal itu tidak sesuai dengan kebutuhan saya”, atau “Saya pikir, yang itu tidak akan adil buat saya”. Langkah 4: Menentukan Pemecahan Paling Baik yang Dapat Diterima Langkah ini tidak sesukar seperti yang dibayangkan oleh para orang tua. Bila langkah-langkah lain sudah dilaksanakan dan pertukaran gagasan dan reaksi berlangsung secara terbuka dan jujur, suatu pemecahan yang bagus biasanya muncul secara wajar dari diskusi-diskusi ini. Kadang-kadang, orang tua atau anak mengusulkan jalan keluar yang sangat kreatif yang nyata-nyata merupakan pemecahan yang terbaik – dan juga dapat diterima setiap orang. Beberapa petunjuk untuk sampai pada putusan akhir adalah: 1. Menguji jalan keluar yang ada terhadap perasaan anak-anak dengan pertanyaan-pertanyaan semacam, “Apakah jalan keluar semacam ini dapat disetujui sekarang?”, “Apakah kita semua puas dengan jalan keluar semacam ini?”, “Apakah jalan keluar yang ini akan dapat dilaksanakan?” 2. Jangan berpikirbahwa suatu keputusan adalah final dan tidak mungkin diubah. Anda mungkin isa berkata, “Baiklah, marilah kita coba yang ini dan melihat bagaimana jadinya”, atau “Sepertinya kita menyetujuai jalan keuar yang ini – marilah kita mulai melaksanakannya dan akan kita lihat apakah jalan keluar yang ini benar-benar dapat menyelesaikan persoalan kita”, atau “Saya bersedia untuk menerima yang ini, apakah kamu bersedia untuk mencobanya?” 3. Bila jalan keluar yang diusulkan mencakup beberapa pokok, sebaiknya dibuat catatan supaya tidak dilupakan. 4. Pastikanlah bahwa setiap orang benar-benar memahami komitmennya untuk melaksanakan keputusan yang sudah diambil: “Baiklah, nah, inilah yang kita setujui untuk dilaksanakan”, atau “Kita setuju, ini yang merupakan persetujuan kita bersama dan kita berjanji untuk melaksanakan bagian tugas kita seperti tertuang dalam perjanjian ini”. Langkah 5: Melaksanakan Keputusan Sering kali setelah mencapai suatu keputusan, perlu untuk menjabarkan secara terperinci bagaimana keputusan ini akan dilaksanakan. Baik orang tua maupun anak mungkin perlu untuk bertanya pada diri mereka sendiri, “Siapa yang akan mengerjakan apa, dan kapan harus melaksanakannya?” 180

atau “Sekarang apa yang perlu kita lakukan supaya keputusan ini dapat terlaksana?” atau “Kapan kita mulai?” Dalam pertentangan tentang tugas-tugas rumah tangga, misalnya, ”Berapa kali?”, “Pada hari-hari apa saja?”, dan “Bagaimana ukuran pekerjaan dapat diterima?”, adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering kali harus didiskusikan. Dalam pertentangan tentang waktu tidur, suatu keluarga barangkali perlu untuk merundingkan siapa yang harus memperhatikan waktu dan mengingatkan yang lain. Dalam pertentangan tentang kerapian kamar anak, pertanyaan tentang “Apa artinya rapi” dapat dibahas lebih lanjut. Kadang-kadang untuk melaksanakan keputusa perlu ada pembelian sesuatu barang, misalnya sebuah papan tulis untuk menulis pesan, keranjang pakaian untuk anak, setrika baru, dan sebagainya. Dalam keadaan semacam ini, mungkin perlu untuk ditentukan siapa yang harus membeli semua keperluan ini atau bahkan siapa yang harus membayarnya. Pertanyaan-pertanyaan tentang pelaksanaan sebaiknya ditunda sampai ada persetujuan tentang keputusan final yang diambil. Pengalaman kami bahwa sekali sudah tercapai keputusan final, pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana pelaksanaannya biasanya dapat diselesaikan dengan relatif mudah. Langkah 6: Melakukan Tindak Lanjut Tidak semua keputusan dari metode anti-kalah merupakan keputusan yang baik. Sebagai akibatnya, orang tua kadang-kadang perlu menanyakan kembali kepada anak apakah dia tetap menyukai keputusan yang diambil itu. Anak-anak kadang-kadang menetapkan suatu keputusan yang kemudian ternyata sukar untuk dilaksanakan. Atau orang tua barangkali menemukan bahwa sulit untuk berpegang pada apa yang telah ditetapkan, karena bermacam-macam alasan. Orang tua barangkali bisa menanyakan kembali setelah beberapa waktu, “Bagaimana jadinya dengan keputusan kita?”, “Apakah kamu tetap puas dengan keputusan yang sudah kita buat?” Hal ini bisa menunjukkan kepada anak-anak bahwa Anda memperhatikan kebutuhan mereka. Kadang-kadang peninjauan ini menghasilkan keterangan yang menunjukkan perlunya dilakukan perubahan terhadap keputusan yang mula-mula diambil. Barangkali tidak perlu membuang sampah setiap hari; atau ketentuan bahwa anak-anak sudah harus sampai di rumah pada pukul 11.00 malam tidak mungkin terlaksana pada malam Minggu ketika anak- anak pergi menonton dua buah film sekaligus. Suatu keluarga menemukan bahwa pemecahan anti-kalah yang mereka buat sehubungan dengan tugas rumah tangga ternyata tidak adil bagi putri bungsu mereka. Putri bungsu ini yang setuju untuk mencuci piring bekas makan malam, ternyata dalam 181

seminggu rata-rata memerlukan waktu lima sampai enam jam. Sedangkan putri yang lebih tua yang tugasnya adalah membersihkan kamar mandi dan kamar rekreasi, seminggu rata-rata hanya memerlukan waktu tiga jam. Putri bungsu mereka menganggap hal ini tidak adil, maka keputusan ini diubah setelah dicoba selama beberapa minggu. Tentu saja cara membuat keputusan anti-kalah tidak selamanya berjalan teratur mengikuti keenam langkah tersebut, kadang-kadang satu ketegangan dapat diselesaikan hanya dengan satu usul. Kadang-kadang jalan keluar final sudah terlontar pada langkah ketiga, ketika mereka masih dalam fase menilai berbagai jalan keluar yang sudah diusulkan sebelumnya. Tetapi bagaimanapun juga, ada gunanya untuk mengingat keenam langkah itu. Kebutuhan untuk Mendengar Aktif dan “Pesan Aku” Karena metode anti-kalah menghendaki pihak-pihak yang bersangkutan bersama-sama mencari pemecahan persoalan, maka adanya komunikasi yang efektif merupakan suatu prasyarat. Akibatnya, orang tua harus banyak sekali mendengarkan secara aktif dan harus mengirim “pesan-pesan aku” yang jelas. Orang tua yang tidak memiliki kecakapan ini jarang berhasil menggunakan metode anti-kalah ini. Mendengarkan secara aktif diperlukan, pertama-tama karena orang tua perlu memahami perasaan-perasaan atau kebutuhan-kebutuhan yang dipunyai anak. Apa yang mereka kehendaki? Mengapa mereka terus ingin melakukan sesuatu bahkan setelah mereka mengetahui bahwa hal tersebut tidak dikehendaki oleh orang tua? Kebutuhan-kebutuhan apa yang mendorong mereka bertingkah laku tertentu? Mengapa Bonnie menolak pergi ke taman kanak-kanak? Mengapa Yani tidak mau memakai jas hujan yang itu? Mengapa Freddy menangis dan meronta kalau ditingga ibunya pergi? Kebutuhan-kebutuhan apa yang dipunyai putri saya sehingga pergi ke pantai dalam liburan puasa merupakan suatu hal yang sangat penting? Mendengar secara aktif merupakan suatu alat penting untuk menolong kaum muda membuka diri dan mengemukakan kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan yang sebenarnya. Apabila hal ini dipahami orang tua, biasanya mudah untuk memikirkan suatu cara lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tanpa mengikutsertakan sautu tingkah laku yang tak dapat diterima orang tua. Karena emosi-emosi yang kuat sering muncul selama proses pemecahan persoalan – baik berasal dari orang tua atau anak, maka mendengar secara aktif merupakan hal yang sangat perlu untuk membantu menyalurkan perasaan sedemikian rupa sehingga pemecahan persoalan yang efektif bisa berlangsung terus. Akhirnya, mendengar secara aktif merupakan suatu cara penting supaya anak mengetahui bahwa jalan keluar yang mereka usulkan dipahami orang 182

tua dan diterima sebagai usulan yang dibuat dengan tujuan baik; dan bahwa pikiran-pikiran dan penilaian mereka sehubungan dengan pencarian jalan keluar, memang diinginkan dan diterima. “Pesan-pesan aku” merupakan hal utama dalam proses anti-kalah sehingga anak-anak tahu apa yang dirasakan orang tua tanpa mengecilkan pribadi anak atau membebaninya dengan rasa salah atau malu. “Pesan-pesan kamu” dalam pemecahan konflik biasanya menimbulkan “Pesan-pesan kamu” balasan dan menyebabkan perundingan menjadi perdebatan yang produktif dan para pelaku yang terlibat saling berebutan untuk melihat siapa yang paling berhasil memukul yang lain dengan hinaan-hinaan. “Pesan-pesan aku” juga harus dipakai untuk menunjukkan kepada anak bahwa orang tua mempunyai kebutuhan yang sungguh-sungguh berhasrat untuk memperlihatkan bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak akan dikesampingkan hanya karena anak muda ini mempunyai kebutuhan. “Pesan-pesan aku” mengungkapkan keterbasan-keterbatasan orang tua – apa yang dapat ditenggang oleh orang tua dan apa yang tidak ingin dikorbankan oleh orang tua. “Pesan-pesan aku” mengandung pesan, “Saya adalah seseorang yang mempunyai kebutuhan dan perasaan”, “Saya mempunyai hak untuk menikmati hidup”, “Saya mempunyai hak di dalam rumah kita bersama”. Usaha Anti-Kalah yang Pertama Kepada orang tua dalam MOE dianjurkan supaya acara pemecahan persoalan anti-kalah mereka yang pertama sebaiknya menyangkut konflik yang sudah berlangsung lama, dan bukan suatu konflik yang baru terjadi akhir-akhir ini. Adalah bijaksana kalau pada acara pertama ini anak-anak diberi kesempatan untuk mengemukakan beberapa persoalan yang mengganggu mereka. Dengan demikian, usaha pertama dari acara pemecahan konflik anti-kalah dapat diketengahkan oelh para orang tua dalam bentuk seperti: “Sekarang setelah kita semua memahami apa yang disebut pemecahan anti- kalah (atau Metode III), marilah kita mulai mencatat konflik-konflik yang ada dalam keluarga kita. Pertama-tama, menurut kamu anak-anak, persoalan apa yang kita punyai? Persoalan apa menurut kamu perlu diselesaikan? Situasi macam apa yang menimbulkan rasa tak senang pada kamu semua?” Keuntungan untuk mulai dengan persoalan yang dikemukakan oleh anak agak jelas juga. Pertama, anak-anak merasa senang karena cara baru itu bisa menimbulkan keuntungan pada mereka. Kedua, hal ini akan mencegah timbulnya pikiran yang kurang benar pada anak-anak, yaitu orang tua mereka sedang menjalankan cara baru supaya kebutuhan orang tua dapat terpenuhi. Sebuah keluarga yang mulai dengan cara ini, akhirnya sampai pada suatu daftar yang isinya keluhan tentang tingkah laku ibu mereka: Ibu jarang ke pasar, sehingga di rumah tidak ada makanan. 183

Ibu menjemur pakaian-pakaian dalam di kamar mandi, sehingga tidak cukup tempat untuk mandi. Ibu sering tidak mengatkan kepada anak-anak, pukul berapa kira-kira ia akan sampai di rumah. Ibu terlalu sering menjadikan anak yang tertua (laki-laki) sebagai supir dari dua orang saudara perempuannya. Setelah mereka mengeluarkan keluhan mereka, anak-anak remaja ini lebih dapat menerima keluhan-keluhan ibu tentang tingkah laku mereka. Kadang-kadang terasa bijaksana bila suatu keluarga mulai dengan membicarakan aturan-aturan dasar yang diperlukan agar acara pemecahan konflik anti-kalah dapat berjalan efektif. Orang tua misalnya dapat menyarankan supaya semua orang membiarkan seseorang berbicara sampai selesai, tanpa interupsi. Harus dengan jelas dikemukakan bahwa cara pemungutan suara tidak bileh digunakan – yang dicari adalah sebuah jalan keluar yang dapat diterima oleh semua pihak. Buatlah persetujuan supaya yang tidak berkepentingan keluar dari ruangan, bila ada dua orang sedang menyelesaikan suatu konflik yang tidak menyangkut anggota-anggota lain. Buatlah persetujuanbahwa tidak ada perkelahaian fisik selama mencari pemecahan persoalan. Suatu kelaurga bahkan membuat persetujuan bahwa selama sidang pemecahan persoalan; mereka tidak akan menjawab telepon. Banyak keluarga merasakan manfaat penggunaan papan tulis atau alat tulis lain dalam membantu mereka menyelesaikan persoalan yang rumit. PERSOALAN-PERSOALAN YANG AKAN DIHADAPI ORANG TUA Orang tua sering membuat kesalahan dalam usaha mereka untuk melaksanakan cara baru ini. Dan anak-anak juga butuh waktu untuk belajar bagaimana menyelesaikan konflik tanpa kekuasaan, terutama untuk kaum remaja yang selama bertahun-tahun terbiasa dengan metode menang-kalah. Baik orang tua maupun putra-putri mereka harus membuang pola tingkah laku lama dan memperlajari beberapa pola tingkah laku baru, dan tentu saja wajar kalau hal ini tidak selalu berjalan lancar. Dari para orang tua dalam kursus-kursus MOE yang kami selenggarakan, kami telah mempelajari kesalahan-kesalahan apa yang paling sering dilakukan dan persoalan apa saja yang merupakan persoalan umum. Rasa Tak Percaya dan Penolakan Beberapa orang tua menghadapi penolakan terhadap metode anti-kalah – hal ini selalu terjadi bila anak-anak yang tersangkut adalah remaja yang terbiasa dengan pertarungan kekuasaan yang melawan orang tua. Mereka melaporkan: “Yanti sama sekali menolak duduk bersama kami”. “Bono menjadi marah dan meninggalkan acara pemecahan persoalan karena kehendaknya tidak dituruti”. “Pam hanya duduk diam tanpa reaksi”. 184

“Jono mengatakan bahwa seperti bisanya kehendak kami jugalah yang akan terjadi”. Cara terbaik untuk menanggulangi rasa tidak percaya dan penolakan seperti tersebut di atas adalah dengan cara engesampingkan dulu pemecahan persoalan dan mencoba untuk memahami (disertai dengan empati) apa yang sebenarnya dikatakan oleh anak. Hal ini mungkin mendorong anak untuk lebih mengekspresikan perasaan mereka. Apabila mereka melakukan hal ini, sudah merupakan kemajuan karena sesudah perasaan mereka tersalurkan, anak-anak muda ini biasanya bersedia memasuki pemecahan persoalan. Apabila mereka tetap menarik diri dan tidak bersedia berpartisipasi, orang tua sebaiknya mengemukakan perasaan- perasaan mereka – tentu saja dalam bentuk “pesan-pesan aku”. “Saya tidak mau lagi menggunakan kekuasaan saya dalam keluarga ini, tetapi saya juga tidak mau menyerahkannya kepada kamu sekalian”. “Kami benar-benar bermaksud menemukan suatu jalankeluar yang bisa kamu terima”. “Kami tidak berusaha membuat kamu menyerah dan kami juga tidak mau menyerah”. “Kami bosan dengan pertengkaran-pertengakaran yang terjadi dalam keluarga ini. Kami pikir, kita bisa menyelesaikan pertentangan kita melalui cara baru ini”. “Saya benar-benar berharap bahwa kamu mau mencobanya. Kami tahu bahwa kamu akan berhasil”. Biasanya pesan-pesan semacam ini bermanfaat untuk menghilangkan rasa tak percaya dan penolakan. Seandainya tidak, orang tua bisa membiarkan persoalan tak terselesaikan untuk satu-dua hari dan kemudian mencoba lagi metode anti-kalah. Kami katakan kepada orang tua, “Coba ingat, bagaimana Anda bersikap curiga dan tidak percaya ketika pertama kali Anda mendengar kami membicarakan anti-kalah. Kejadian ini barangkali bisa membantu Anda memahami reaksi curiga yang diperlihatkan oleh anak-anak Anda”. “Bagaimana Seandainya Kami Tak Bisa Menemukan Suatu Jalan Keluar yang Dapat Diterima?” Ini adalah salah satu ketakutan yang sering dialami orang tua. Meskipun hal ini benar pada beberap kasus, mengherankan bahwa hanya sedikit dari percakapan pemecahan konflik anti-kalah yang gagal memperoleh jalan keluar yang dapat diterima. Bila suatu keluarga menghadapi jalan buntu semacam ini, bisanya karena orang tua dan anak masih dalam kerangka berpikir menang-kalah dan masih ada dalam perjuangan untuk menentukan siapa yang berkuasa. Nasihat kami pada orang tua adalah: “Cobalah semua hal yang dapat Anda pikirkan dalam keadaan-keadaan semacam ini”. Misalnya: 1. Bicaralah terus. 185

2. Kembalilah ke langkah 2 dan carilah lebih banyak jalan keluar. 3. Tundalah konflik sampai pertemuan kedua besok. 4. Buatlah permintaan yang sungguh-sungguh seperti, “Ayolah mesti ada jalan untuk menyelesaikan ini”, “Marilah kita sungguh berusaha untuk mencari jalan keluar yang disepakati”, “Apakah kita sudah meninjau semua jalan keluar yang mungkin?”, “Marilah kita berusaha lebih keras”. 5. Bawalah kesukaran. Bicarakanlah kesukaran ini secara terbuka dan cobalah untuk menemukan apakah ada persoalan lain yang mendasari atau ada suatu “agenda tersembunyi” yang menghalangi tercapainya kesepakatan. Anda misalnya dapat berkata, “Apa ya, yang menghalangi kita menemukan suatu jalan keluar?”, “Apakah ada hal- hal lain yang mengganggu yang belum kita utarakan?” Biasanya, satu atau beberapa pendekatan ini membuat pemecahan persoalan bisa mulai lagi. Kembali ke Metode I bila Metode III Mengalami Kemacetan “Kami mencoba metode anti-kalah dan tidak mendapat kemajuan apa- apa. Maka istri saya dan saya harus mengambil alih persoalan dan membuat keputusan”. Beberapa orang tua tergoda untuk kembali ke Metode I. Biasanya hal ini membawa konsekuensi yang cukup parah. Anak-anak menjdi marah; mereka merasa dibohongi supaya percaya bahwa orang tua mereka sedang mencoba cara baaru; dan bila kemudian metode anti-kalah ini dicoba lagi, mereka akan bersikap lebih tidak percaya dan curiga. Orang tua sangat dianjurkan untuk menghindari kembali ke Metode I. Juga, sama jeleknya untuk kembali ke Metode II dan membiarkan anak- anak menang, karena bila lain kali metode anti-kalah ini dicoba lagi, mereka cenderung untuk terus-menerus bertengkar, sampai mereka mendapatkan apa yang mereka mau. Apakah Pemberian Hukuman Juga Harus Dimasukkan Sebagai Bagian dari Kesepakatan yang Dibuat? Orang tua telah melaporkan kembali bahwa mereka (atau anak-anak), sesudah tercapai suatu kesepakatan anti-kalah, ternyata memasukkan unsur hukuman atau denda di dalam persetujuan ang telah mereka buat. Hukuman ini akan dilaksanakan bila anak-anak tidak menjalankan apa yang telah mereka setujui. Dahulu, reaksi saya terhadap laporan semacam ini adalah dengan mengusulkan bahwa denda dan hukuman yang sudah disetujui mungkin cukup baik, bila hal ini juga berlaku untuk orang tua, seandainya mereka tidak menepati apa yang mereka sepakati. Sekarang, saya berpikir lain tentang hal ini. 186

Adalah jauh lebih baik bagi orang tua untuk menghindari penggunaan denda atau hukuman untuk kegagalan menepati apa yang telah disetujui atau gagal melaksanakan suatu keputusan yang diambil melalui Metode III. Pertama-tama, orang tua ingin menyampaikan kepada anak-anak muda ini bahwa hukuman sama sekali tidak akan digunakan, bahwa bila hal ini diusulkan oleh anak-anak, seperti yang biasanya terjadi. Kedua, lebih banyak yang bisa dicapai melalui sikap percaya – percaya kepada maksud baik dan integritas anak-anak. Anak-anak muda berkaca kepada kami, “Bila saya merasa sipercaya, saya lebih tidak mungkin mengkhianati kepercayaan itu. Tetapi bila saya merasa orang tua saya atau seorang guru tidak mempercayai saya, saya malah bisa melakukan apa yang mereka pikir sdah saya lakukan. Dalam pikiran mereka, saya sudah merupakan sesuatu yang buruk. Saya sudah kalah, mengapa tidak sekalian saja melakukannya”. Dalam metode anti-kalah, orang tua sebaiknya berpijak pada dugaan bahwa anak-anak akan melaksanakan kuputusan yang dibuat. Hal ini merupakan bagian dari metoe yng baru – saling mempercayai, percaya bahwa komitmen yang dicapai akan dilaksanakan, memegang janji, berpegang pada apa yang sudah disetujui. Pembicaraan tentang denda dan hukuman akan mengungkapkan rasa tidak ercaya, keragu-raguan, keputusasaan. Hal ini tidak berarti bahwa anak-anak akan selalu memegang apa yang sudah mereka setujui. Tidak: Yang hendak kami katakan adalah, orang tua harus mempunyai dugaan bahwa mereka akan melaksanakannya. “Tidak bersalah sebelum dibuktikan bersalah” atau “Bertanggung jawab sebelulm dibuktikan tidak bertanggung jawab”, adalah falsafah yang kami anjurkan. Bila Persetujuan Dilanggar Tidak dapat dihindarkan bahwa anak-anak kadang-kadang tidak menepati janji mereka. Di bawah ini ada beberapa alasan yang mungkin: 1. Mereka menemukan bahwa mereka telah menyetujui melakukan sesuatu yang terlampau sukar untuk dilaksanakan. 2. Mereka tidak mempunyai pengalaman dalam hal disiplin diri dan melaksakan sendiri. 3. Sebelum ini mereka menggantungkan diri pada kekuasaan orang tua untuk disiplin dan kontrol diri mereka. 4. Barangkali mereka lupa. 5. Barangkali mereka sedang menguji metode anti-kalah – menguji apakah Bapak dan Ibu benar-benar mempunyai maksud sama dengan apa yang mereka ucapkan, apakah yang diperoleh anak-anak bila melanggar janji. 6. Barangkali mereka menerima keputusan yang dibuat hanya karena mereka bosan dengan acara pemecahan masalah yang membosankan. 187

Para orang tua melaporkan alasan-alasan ini sebagai sebab mengapa anak- anak gagal memenuhi koitmen mereka. Kami mengajar orang tua untuk menghadapi secara langsung dan jujur, setiap anak yang tidak mematuhi persetujuan. Kuncinya adalah untuk mengirimkan kepada anak suatu “pesan aku” – tidak ada yang salah, tidak ada pengecilan arti diri, tidak ada ancaman. Juga, sidang harus diusahakan secepat mungkin, misalnya semacam ini: “Saya kecewa karena kamu tidak mematuhi persetujuan”. “Saya heran bahwa kamu tidak memegang janjimu”. “Heh Jono, saya merasa diperlakukan tidak adil karena saya menepati janji saya sedangkan kamu tidak”. “Saya pikir kita telah menyetujui untuk -, dan sekarang saya dapatkan bahwa kamu tidak melaksanakan janjimu, saya tidak suka hal ini”. “Saya punya harapan bahwa kita sudah menyelesaikan persoalan kita, dan saya kesal karena ternyata kita belum menyelesaikannya”. “Pesan-pesan aku” semacam ini akan menimbulkan jawaban dari pihak anak yang akan memberi Anda keterangan lebih banyak dan menolong Anda untuk mengerti alasannya. Sekali lagi, saat ini adalah saat untuk mendengarkan secara aktif. Tetapi selalu, pada akhirnya orang tua harus menjelaskan bahwa dalam metode anti-kalah, tiap-tiap orang diharapkan untuk bertanggung jawab sendiri dan dapat dipercaya. Dan komitmen yang suda dibuat, diharapkan untuk dipatuhi. “Yang kita lakukan bukanlah permainan, kami benar-benar berusaha untuk memperhatikan kebutuhan masing-masing orang”. Hal ini memerlukan disiplin yang sungguh-sungguh, integritas yang benar-benar, dan kerja yang berat. Tergantung dari apa alasannya seorang anak tidak menepati perkataannya, orang tua dapat (1) sampai pada kesimpulan bahwa “pesan-pesan aku” adalah tidak efektif (2) sampai pada kesimpulan bahwa mereka perlu untuk membuka kembali persoalan dan menemukan jalan keluar yang lebih baik; atau (3) ingin membantu anak mencari cara yang dapat menolongnya supaya ia ingat. Bila seorang anak lupa, orang tua dapat menimbulkan persoalan tentang apa yang sebaiknya dilakukan supaya dia ingat lain kali. Apakah dia perlu jam, weker, catatan untuk dirinya sendiri, pesan pada papan komunikasi, seutas benang pada jarinya, sebuah penanggalan, suatu tanda dalam kamarnya? Apakah orang ta harus mengingatkan anak-anak ini? Apakah mereka harus mengambil tanggung jawab untuk mengingatkannya kapan dia harus melaksanakan apa yang ia sudah setujui? Dalam MOE dengan tegas kami katakan tidak. Selain menimbulkan hal yang kurang mengenakkan bagi orang tua, hal ini juga mempunyai akibat membuat anak tetap tergantung, memperlambat perkembangan disiplin diri dan tanggung jawab diri. Mengingatkan ank untuk melakukan apa-apa yang sudah mereka janjikan 188

sendiri sama dengan memanjakan mereka – hal ini sama dengan memperlakukan mereka, seakan-akan mereka tidak dewasa dan tidak bertanggung jawab. Dan mereka akan tetap tinggal begitu, kecuali orang tua sejak dari mula memindahkan tanggung jawab kepada anak, yang memang sehatusnya demikian, kemudian, bila anak “lupa”, kirimkanlah suatu “pesan aku”. Bila Anak Sudah Biasa Menang Sering kali, orang tua yang banyak menggunakan Metode II, melaporkan kesukaran untuk berpindah ke Metode III karena anak-anak mereka, sudah biasa mendapatkan apa yang mereka tuntut, sangat menolak untuk ikut serta dalam suatu metode pemecahan persoalan yang mungkin mengharuskan mereka untuk sedikit memberi, untuk mau bekerja sama, dan berkompromi. Anak-anak semacam ini begitu terbiasa untuk menang dan bayaran kekalahan orang tua mereka sehingga wajarlah kalau mereka segan melepaskan posisi kompetitif yang sangat menguntungkan ini. Dalam keluarga-keluarga semacam ini, bila orang tua menemui rintangn kuat terhadap metode anti-kalah, mereka biasanya menjadi takut dan berhenti mencoba metode ini. Sering kali mereka ini adalah orang tua yang melaksanakan Metode II karena merasa takut akan kemarahan dan air mata dari anak-anak mereka. Karena itu suatu perubahan ke Metode III untuk orang tua yang tadinya permisif, sangat menuntut kekuatan dan ketegasan lebih daripada yang sudah biasa mereka tunjukkan kepada anak-anak mereka. Orang tua ini perlu menemukan sumber kekuatan baru supaya mereka dapat beranjak dari sikap “damai, berapa pun harganya”. Sering kali berguna untuk mengingatkan mereka harga luar biasa mahal yang harus mereka bayar pada hari kemudian bial anak-anak mereka selalu menang. Mereka harus diyakinkan bahwa sebagai orang tua mereka juga mempunyai hak. Atau mereka harus diingatkan bahwa kebiasaan mereka untuk mengalah kepada anak telah membuat anak hanya mementingkan diri sendiri dan tidak bisa memperhatikan orang lain. Orang tua semacam ini perlu diyakinkan bahwa orang tua dapat merupakan sesuatu yang menyenangkan, bila kebutuhan-kebutuhan mereka juga terpenuhi. Mereka harus mau berubah, dan merka harus siap untuk menghadapi banyak tantangan dari anak bila mereka berpindah ke Metode III. Selama masa peralihan, orang tua harus siap untuk menghadapi berbagai perasaan- perasaan mereka sendiri dengan menggunakan “pesan-pesan aku” yang jelas dan baik. Dalam suatu keluarga, orang tua mempunyai kesukaran dengan nak gadisnya yang berusia 13 tahun yang selalu dituruti kemauannya. Pada usaha mereka yang pertama untuk menggunakan Metode III, ketika tampak pada anak bahwa ia tidak akan mendapat apa yang ia mau, ia menyemburkan kemarahannya dan lari ke kamarnya dengan berurai air mata. Orang tua tidak 189

menghibur atau membiarkannya seperti yang biasa mereka lakukan, ayah membuntuti anak dan berkata, “Saya sangat marah padamu sekarang ini! Kita membicarakan sesuatu yang kurang menyenangkan buat Ibumu dan buat saya, dan kamu lari! Hal ini buat saya menunjukkan sepertinya kamu tidak mau tahu kebutuhan-kebutuhan kami. Saya tiak suka hal ini! Saya pikir tidak adil. Kami ingin supaya persoalan ini diselesaikan sekarang. Kami tidak ingin kamu kalah, tapi kami jelas tidak mau jadi yang kalah sementara kamu jadi pemenang. Saya kira, kita bisa mencari jalan keluar supaya kita berdua menang, tapi hal ini tidak akan mungking kecuali kalau kamu kembali lagi ke meja. Nah, sekarang maukah kamu berhenti menangis dn kembali ke meja untuk mencari jalan keluar yang baik?, Sesudah menghapus air matanya, anak gadis ini kembali bersama ayahnya dan dalam beberapa menit sampai pada suatu jalan keluar yang memuaskan bagi anak dan orang tua. Sesudah itu, gadis ini tidak pernah lagi lari dari acara pemecahan persoalan. Ia berhenti berusaha untuk memegang kendali dengan kemarahannya ketiak jelas baginya bahwa orang tuanya tidak berminat untuk membiarkannya mengendalikan mereka lagi. METODE ANTI-KALAH UNTUK KONFLIK ANTAR-ANAK Kebanyakan orang tua mendekati konflik-konflik antar-anak, yang tidak dapat dielakkan dan memang sering terjadi, dengan orientasi menang-kalah seperti yang mereka pergunakan dalam konflik orang tua – anak. Orang tua merasa bahwa mereka harus berperan sebagai hakim, wasit, atau penjaga garis – mereka berpikiran bahwa mereka bertanggung jawab untuk mendapatkan fakta, menetukan siapa yang salah dan siapa yang benar dan menentukan bagaimana jalan keluarnya. Orientasi semacam ini mempunyai banyak kekurangan dan biasanya menimbulkan akibat yang tidak menyenangkan bagi semua pihak yang bersangkutan. Metode anti-kalah umumnya lebih efektif untuk menyelesaikan konflik semacam ini dan lebih ringan untuk orang tua. Ini juga memegang peranan penting dalam mempengaruhi anak-anak untuk menjadi lebih dewasa, lebih bertanggung jawab, lebih tidak tergantung, lebih mempunyai disiplin diri. Bila orang tua mendekati konflik anak-anak sebagai hakim atau wasit, mereka membuat kesalahan karena berpikir bahwa merekalah yang mempunyai persoalan. Dengan bertindak sebagai pihak yang dapat memecahkan persoalan, mereka tidak memberi kesempatan kepada anak untuk mengakui tanggung jawab bahwa merekalah yang punya konflik. Dan mereka juga tidak memberi kesempatan kepada anak untuk belajar bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut melalui usaha mereka sendiri. Hal ini menghalangi anak-anak untuk berkembang dan menjadi dewasa serta barangkali akan menyebabkan mereka selalu tergantung pada suatu otoritas untuk menyelesaikan konflik-konflik mereka untuk mereka. Dari sudut pandangan orang tua, pengaruh paling buruk dari cara pendekatan menang-kalah adalah bahwa anak-anak mereka akan terus membawa semua konflik-konflik mereka kepada orang tua. Sebagai ganti menyelesaikan 190

konflik mereka sendiri, mereka lari kepada orang tua untuk membereskan pertengkaran dan pertentangan mereka: “Mama, Jono mengganggu saya – suruh dia berhenti”. “Papa, Maggie tidak mengizinkan saya main dengan bonekanya”. “Saya mau tidur tetapi Frankie bicara terus, suruh dia diam”. “Dia yang lebih dulu meninju, itu salahnya. Saya tak berbuat apa-apa padanya”. “Himbauan pada kekuasaan” semacam ini adalah biasa dalam kebanyakan keluarga karena orang tua membiarkan diri mereka terbawa dalam pertengakaran anak-anak mereka. Dalam MOE, orang tua perlu diyakinkan supaya mereka mau menerima pertengkaran-pertengkaran ini sebagai pertengkaran anak-anak mereka, dan bahwa anak-anaklah yang memiliki persoalan. Kebanyakan pertengkaran dan konflik antar-anak termasuk di dalam golongan Persoalan yang Menjadi Milik Anak daerah atas dari diagram kami: Persoalan yang menjadi milik anak Tidak ada persoalan Persoalan yang menjadi milik orang tua Bila orang tua dapat menempatkan konflik-konflik ini pada tempat yang sebenarnya, mereka dapat menanggulangi persoalan ini dengan cara yang tepat: 1. Sama sekali tidak mencampuri konflik. 2. Membuka-jalan, undangan untuk berbicara. 3. Mendengar aktif. Jono dan Tono, dua bersaudara, saling memperebutkan sebuah truk mainan, seorang menarik bagian depan dan yang lain bagian belakangnya. Keduanya menjerit dan berteriak, salah seorang menangis. Masing-masing berusaha menggunakan kekuatannya untuk mendapatkan apa yang dimauinya. Bila orang tua tidak mencampuri konflik ini, anak-anak ini mungkin akan menemukan pemecahannya sendiri. Bila demikian, memang baik sekali, mereka diberi kesempatan untuk belajar bagaimana memecahkan sendiri persoalan mereka. Dengan tidak ikut campur, orang tua sudah membantu kedua anak itu untuk sedikit berkembang. Bila anak-anak ini terus bertengkar dan orang tua terdorong untuk ikut campur dan memberi bantuan supaya mereka dapat memecahkan persoalan mereka, maka orang tua dapat bertindak sebagai “pembuka jalan”. Begini caranya: “Aku mau truk! Kasih saya! Lepas!” “Saya dulu yang dapat! Dia datang merebut! Kembalikan!” JONO: TONO: 191

ORANG TUA: “Saya lihat kamu betul-betul punya konflik, mengenai truk itu. Apa kamu mau membicarakan hal itu? Saya mau menolong kalau kamu mau membicarakannya.” Kadang-kadang hanya membuka jalan semacam itu dapat segera membawa penyelesaian. Seakan-akan sepertinya anak-anak lebih senang untuk menemukan jalan keluarnya sendiri, daripada harus menghadapi proses mencari jalan dengan berdiskusi di hadapan orang tua. Mereka berpikir, “Ah, sebenarnya tidak sepenting itu.” Konflik tertentu mungkin menghendaki peran orang tua yang lebih aktif. Dalam hal semacam ini, orang tua dapat mendorong memecahkan persoalan dengan menggunakan cara mendengar aktif dan menjadi transmission belt, dan bukan sebagai wasit. Proses yang terjadi adalah begini: JONO: “Aku mau truk! Kasih aku! Lepas! Lepas!” ORANG TUA: “Jono kamu benar-benar ingin truk itu.” TONO: “Tapi saya yang lebih dulu dapat. Dia yang merebut, kembalikan!” ORANG TUA: “Tono, kamu merasa kamu yang mesti dapat truk karena kamu yang dapat lebih dahulu. Kamu marah pada Jono, karena dia merebut. Saya lihat kamu benar-benar punya konflik. Apa kamu melihat suatu cara untuk menyelesaikan persoalan ini? Ada usul?” TONO: “Ia harusnya membiarkan saya mendapatkannya.” ORANG TUA: “Jono, Tono mengusulkan jalan keluar yang ini.” JONO: “Ya tentu, karena dia lalu yang akan dapat truk.” ORANG TUA: “Tono, Jono, berkata bahwa ia tak suka jalan keluar yang ini, karena kamu akan menang dan dia kalah.” TONO: “Hm, dia boleh main dengan mobil-mobilan saya, sampai saya selesai main dengan truk ini.” ORANG TUA: “Jono, Tono mengusulkan jalan lain – kamu boleh main dengan mobil-mobilannya yang lain dan dia akan main dengan truk itu.” JONO: “Apa saya bisa main dengan truk setelah ia selesai, Bu?” ORANG TUA: “Tono, Jono ingin kepastian bahwa kamu akan membolehkan dia main dengan truk itu sesudah kamu.” TONO: “Oke, saya akan segera selesai main truk.” ORANG TUA: “Jono, Tono berkata bahwa memang kamu boleh main dengan truk setelah dia selesai.” JONO: “Baik deh!” ORANG TUA: “Saya rasa, kamu berdua sudah menyelesaikan persoalan ini, benar?” Dalam kejadian itu, orang tua sudah melaporkan banyak pemecahan yang berhasil dalan konflik antar-anak. Orang tua mula-mula mengusulkan metode anti-kalah dan kemudian memberi sarana komunikasi di antara mereka yang “berperang” dengan mendengar aktif. Orang tua yang mempunyai kesukaran untuk percaya bahwa mereka dapat mengikutsertakan anak-anak mereka dalam pendekatan anti-kalah 192


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook