Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore PROSIDING FI 2019

PROSIDING FI 2019

Published by perpustakaanpublikasi, 2020-05-11 04:06:30

Description: PROSIDING FI 2019

Keywords: Prosiding

Search

Read the Text Version

NOTULEN TEMA TATA PERTANAHAN Pusat Penelitian & FORUM ILMIAH (Call for Papers) ”Administrasi Pertanahan dan Tata Ruang di Indonesia Pengembangan Menuju Modern, Digital, dan Terpercaya” NO DESKRIPSI KETERANGAN Tanggapan oleh Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/ Uke Mohammad Bappenas Hussein, S.Si., Pak Eko akan menarik jika dikumpulkan standar error di peraturan-peraturan. MPP. Kemudian mengapa hanya metode terestris. Menonjolkan bentuk atau mempertahankan luas. Akan menarik kalau ditarik ke kebijakan publik. Standar error yang berasal dari peraturan menteri. Apakah bisa diapprove dengan pemilihan alat. Masing-masing spesifik kerja memiliki standar error sendiri. Apabila ini dikumpulkan maka berapa standar error yang bisa diberikan. Pengukuran dalam kajian ini bersifat terestial. BIG itu Ordo 1 dan Ordo 2, itu mungkin bisa digunakan bukan saja terestial. Tetapi dikombinasikan dengan foto udara. Tanggapan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Kalimantan Tengah Drs. Pelopor, 1) Ada suatu default yang cenderung kita abaikan, jadi kita merasa bahwa M.Eng.Sc kesalahan itu tidak ada lagi. Apa yang disampaikan oleh Pak Eko mengingatkan kita. 2) Di saat kita bersaksi kita tidak bisa menyampaikan keterangan seperti Pak Eko. Yang di pengadilan seolah-olah hasil pengukuran kita adalah mutlak. Saat bersaksi tidak bisa yang bisa menjelaskan seperti Pak Eko, sehingga penegak hukum menggunakannya sebagai ukuran absolut. 3) Sehingga ada yang perlu diperbaiki. Produk masa lalu kegiatan kita harus kita perbaiki. 4. Pemaparan oleh pemakalah dengan judul “Implementasi Batas Bidang Dalam Ferdy Nugraha, Pendaftaran Sistematis Lengkap” S.Tr. 1) Batas bidang merupakan sesuatu hal yang penting dalam pemilikan (Pemakalah 2) tanah. Dalam dunia internasional terdapat beberapa klasifikasi terkait badtas bidang. Lambatnya pendaftaran tanah salah satunya dikarenakan kontradiktur delimitasi. 2) Fix boundary dan general boundary. Beberpa variabel yang digunakan adalah wujud, metode, penerapan, dll. 3) Implementasi batas bidang tanah sudah membagi 8 kelas ketelitian. Tanggapan oleh Staf Khusus Menteri ATR/BPN Loso Ludijanto, 1) Perbandingan biayanya berapa kalau dibilang lebih murah? Perbandingan S.Si., M.M., dari kedua metode ini seperti apa. Contohnya biaya, berapa selisih biaya yang M.Stats. terjadi. Apakah signifikan? Apakah lebih cepat. 2) Dampaknya bagaimana? Fixnya saja bermasalah apalagi general boundary. Dengan pendekatan fix kita bermasalah, bagaimana dengan general boundary. Argumentasinya harus jelas pertimbangan dan alasannya 126

NOTULEN TEMA TATA PERTANAHAN Pusat Penelitian & FORUM ILMIAH (Call for Papers) ”Administrasi Pertanahan dan Tata Ruang di Indonesia Pengembangan Menuju Modern, Digital, dan Terpercaya” NO DESKRIPSI KETERANGAN 3) Malah membingungkan antara fix dan general boundary? Perbedaan general boundary dan fix boundary harus jelas dibedakan. Contoh kurang menjelaskan perbedaan dari kedua pendekatan ini. Tabel mebuat membingungkan. Tidak memperjelas antara general boundary dan fix boundary. Tidak mendapatkan fundamental penjelasan dari kedua pendekatan. 4) Pernyataan selama ini biaya pengukuran belum layak? Dana untuk melaksanakan pendaftaran tanah jauh dari kata kurang layak, apakah betul. Pernyataan ini kontradiktif dari kenyataan di lapang. Sehingga perlu diverifikasi. Apakah dana kurang? Hal ini menjadi obyek pemeriksaan. Kita harus hati-hati dalam membuat statement 5) Kesimpulan dan rekomendasi tidak nyambung dengan diskusi. Kesimpulan kurang nyambung dengan apa yang dibahas. Kesimpulan kurang tepat terkait dengan general boundary dan fix boundary. Tanggapan oleh Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/ Uke Mohammad Bappenas Hussein, S.Si., Di ATR/BPN banyak kegiatan yang mirip-mirip. IP4T dan PTSL, disarankan MPP. untuk kegiatan apa general boundary atau fix. Penelitian ini akan baik apabila kita memilah pendekatan tersebut dengan kegiatan-kegiatan yang ada di BPN standar errornya bagaimana. Hal ini lebih relevan dan bermanfaat. Tanggapan untuk Pemakalah 1 dan 2 oleh Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Uke Mohammad Kementerian PPN/Bappenas Hussein, S.Si., 1) Harapannya bisa dibuat suatu visi-misi ke depan ATR/BPN seperti apa dapat MPP. disusun dari himpunan makalah-makalah sehingga dapat terbentuk suatu white paper yang disusun oleh Puslitbang sehingga didapat visi-misi ATR/ BPN yang modern. 2) Menurut pendapat saya, baik penelitian pertama dan kedua, terjadi pencampuran penelitian teknik dan kebijakan publik, sehingga terjadi ambigu. (Untuk Pak Eko dan Pak Fredy) ada ambigu. Penelitian kecampur antara teknik dengan kebijakan publik. 3) Penelitian Bapak-bapak jika ditarik ke kebijakan publiknya maka lebih bunyi kesimpulannya. Tanggapan untuk Pemakalah 1 (Eko Budi) dan Pemakalah 2 (Ferdy Nugraha) Ir. R.M. Adi oleh Direktur Jenderal Infrastruktur Keagrariaan Darmawan, 1) Apakah benar dengan mengejar 135 juta PTSL ini selesai? Fit and purpose M.Eng.Sc. harus dipertimbangkan. 2) Bagaimana kita membuat anggaran dari luar Jawa dengan pendekatan luas. Seperti Papua , NTT dll. Sehingga PTSL dapat selesai. 3) Program-program IKN yang menangani adalah tematik. 127

NOTULEN TEMA TATA PERTANAHAN Pusat Penelitian & FORUM ILMIAH (Call for Papers) ”Administrasi Pertanahan dan Tata Ruang di Indonesia Pengembangan Menuju Modern, Digital, dan Terpercaya” NO DESKRIPSI KETERANGAN 4) Cepat, murah dan teliti berhadapan dengan KJ SKB. Penelitian ini bagaimana mengkombinasikan ketiga variabel ini sehingga PTSL ini diberikan tugas tambahan ditambah dengan land use dan land value. 5) Harga tidak sepadan tetapi masih menginginkan. Apabila daerah timur PNBP sangat minim. Di NTT hanya 50 juta setahun. Apabila dengan PTSL ada pemasukan. Tidak bisa digeneralisasi. 6) Tidak mendikotonomikan kedua pendekatan. Bagaimana dari segi aspek hukum terkait fit and purpose, ini sangat menentukan keberhasilan khususnya untuk di luar Jawa. 7) 300 m apakah tidak digambarkan dengan terrain-nya. Jarak adalah proyeksi apakah sampai situ. Total station kurang dari 500. Tanggapan dari Direktur Survei dan Pemetaan Tematik selaku moderator Dwi Budi 1) BPN hanya bisa melayani cepat, murah, bagus. Hanya bisa dua di BPN Martono, S.T., misalnya cepat, murah tapi bagaimana bagus. M.T. 2) Bagaimana standar error dari peraturan menteri diteliti. Bagaimana kegiatan tidak tumpang tindih 3) Diteliti implementasi fit purpose, diteliti tanah juga tanah ulayat. 4) Dari dua pendekatan tadi dikaji dari unsur biaya, murah, bagus. 5) Penelitian meta data agar dicantumkan di dokumen gambar ukur dll. Tanggapan kembali dari Pemakalah Ferdy Nugraha, 1) Ide awal adalah kegalauan. Begitu masuk ke kantah ada perbedaan saat luas S. Tr. awal dengan setelah pengembalian batas. (Pemakalah 2) 2) Banyak masuk ke dalam tataran luas maka secara hukum itu adalah benar. Apabila dikembalikan ke gambar ukur maka akan menghasilkan ukuran yang berbeda. 3) Apakah kita menyadari apakah ada unsur kesalahannya ini mulai terlupakan terkait dengan hasil suatu produk atau ukuran. Isu lama iya, sudah mulai agak dilupakan. 4) Nilai normal dengan alat ukur yang beda jadi luasnya beda 5) Simulasi data benar. Di tabel 3 kok sama semua. Tidak konstan. 6) Intinya adalah kami kalau dengan alat seperti ini standar errornya seperti apa. CORS sendiri. Kordinat base station dan alatnya dijumlahkan. 7) Sumber kesalahan: manusia, alat dan lingkungan 8) Asal prosedur benar tidak masalah. Kesalahan acak selalu ada. 9) Dalam setiap ukuran mestinya selalu ukuran lebih untuk mengontrol ukuran kita. 10) Yang benar di rentang itu, tapi hasil ukuran tidak absolut. Karena dalam hasil ukuran saja 128

NOTULEN TEMA TATA PERTANAHAN Pusat Penelitian & FORUM ILMIAH (Call for Papers) ”Administrasi Pertanahan dan Tata Ruang di Indonesia Pengembangan Menuju Modern, Digital, dan Terpercaya” NO DESKRIPSI KETERANGAN 5. Pemaparan oleh pemakalah dengan judul “Peran Aplikasi SmartPTSL dalam Reza Transformasi Pengukuran dan Pemetaan di Era Revolusi Industri 4.0 Menuju Abdullah, S. Tr. Pembangunan Satu Referensi Peta Studi Kasus: Kantor Pertanahan Kota (Pemakalah 3) Mataram” 1) Aplikasi berbasis mobile menjadi fenomena yang tidak terhindarkan. 2) Pemberdayaan masyarakat terhadap proses pemetaan menggunakan aplikasi PTSL. 3) Akomodasi aplikasi tersebut dengan basisdata yang ada mendesak untuk segera diwujudkan demi menyesuaikan tuntutan Revolusi Industri 4.0. 4) Aplikasi SmartPTSL menawarkan solusi yang menjanjikan dilihat dari serapan oleh pengguna yang cukup masif. 5) Fitur baru Gambar Ukur Elektronik menambah matang aplikasi ini. Pengembangan aplikasi masih perlu dikawal dengan berpijak pada masukan pengguna. 6) Adanya peluang manipulasi data dari alat alat seperti Theodolite Total Station, GPS Geodetik. Ada memungkinkan kesalahan yang timbul saat pengolahan. Dengan Smart PTSL gambar langsung terukur, tergambar dan terpetakan. 7) Aplikasi PTSL membutuhkan pengembangan juknis agar SmartPTSL dapat optimal Tanggapan oleh Staf Khusus Menteri ATR/BPN Loso Ludijanto, 1) Dari sisi substansi teknologi, sudah terbukti di lapangan sehingga penelitian S.Si., M.M., perlu mendapatkan apresiasi. Terkait kerangka penelitian ilmiah, ada yang M.Stats. perlu diperbaiki agar paper dapat lebih baik. 2) Menurut saya substansi penelitian ini belum terlalu menjelaskan tentang Revolusi Industri 4.0 3) Perlu dianalisis kembali sesuai dengan metode ilmiah, jangan puas dengan komentar-komentar dari playstore (testimonial). Ditinjau dari segi statistik dapat diukur kebermanfaatannya. Tanggapan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Banten Andi T. Abeng, 1) Memang masih banyak yang perlu dibenahi sehingga membutuhkan support A.Ptnh., M.H. di Kementerian. 2) SmartPTSL telah digunakan di Lebak dan sangat membantu menyelesaikan pendaftaran tanah aset pemerintah. Di Banten: 2 minggu Pemda bisa menyelesaikan 720 bidang sampai GU dengan SmartPTSL. Hal itu mendapat apresiasi dari Bupati. 129

NOTULEN TEMA TATA PERTANAHAN Pusat Penelitian & FORUM ILMIAH (Call for Papers) ”Administrasi Pertanahan dan Tata Ruang di Indonesia Pengembangan Menuju Modern, Digital, dan Terpercaya” NO DESKRIPSI KETERANGAN Tanggapan kembali dari Pemakalah Reza Aplikasi SmartPTSL dibangun dari tahun 2017. Dengan menyewa server di Abdullah, S. Tr. google. Google tidak bisa membuka data tersebut. Aplikasi umum masih berada (Pemakalah 3) di playstore karena digunakan oleh masyarakat dan Kemenhut. Server sudah di Pusdatin bagi data-data yang sudah dapat diakses di KKP. Data-data yang bisa ditarik dari KKP untuk SmartPTSL official. 6. Pemaparan oleh pemakalah dengan judul “Integrasi E-Lampid Sebagai Sistem Moch. Informasi Pendukung Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Di Kelurahan Shofwan, M.Sc. Pagesangan Kota Surabaya “ (Pemakalah 4) 1) E-lampid sebagai pendukung program PTSL. E-lampid Pelayanan kependudukan yang berbasis teknologi informasi seperti data kelahiran, kematian dll. 2) Tidak adanya sinkronisasi antara data kelurahan dengan pemerintahan kota Surabaya. 3) E-Lampid memiliki beberapa fitur, yakni akses pada data kelahiran, kematian, penduduk pindah-datang, penduduk pindah-keluar, perkawinan dan perceraian. 4) Dapat digunakan sebagai data pendukung sistem informasi pada pelayanan PTSL di Kelurahan Pagesangan yang masih manual. 5) Kelemahannya yaitu belum terlayaninya secara maksimal program online PTSL, terintegrasi lintas OPD karena dilapangan masih ada teknis pendataan yang masih manual. 6) Keunggulan e-lampid sebagai pendukung PTSL di Kelurahan Pagesangan Kota Surabaya salah satunya standar keterampilan dasar bagian kepengurusan pelayanan data online di pihak dinas sudah mumpuni dalam pelayanan data. Tanggapan oleh Staf Khusus Menteri ATR/BPN Loso Ludijanto, 1) Apa yang betul-betul menghubungkan data kependudukan dengan data S.Si., M.M., kependudukan. Mau diarahkan ke mana. Hubungan antara orang dan tanah M.Stats. di atasnya tidak satu-satu. Kenapa tidak dengan NIK bukan dengan aplikasi E-lampid. Apakah mengada-ada menghubungkan antara demografi dengan PTSL. 2) Apa yg betul-betul berhubungan dengan PTSL demografinya. Kedua apa relevansinya, hubungannya seolah satu-satu keluarga orang/dengan tanah. 3) Bobot dan skor siapa yang membuat. Karena hal ini memiliki aspek subyektifitas yang memiliki kemampuan dibidangnya. Akan keliru apabila pemberian bobot diberikan oleh penulis sendiri karena akan terlihat subyektivitas. Sumber tidak ditulis darimana pembobotan itu apakah berasal dari ahli-ahli. 130

NOTULEN TEMA TATA PERTANAHAN Pusat Penelitian & FORUM ILMIAH (Call for Papers) ”Administrasi Pertanahan dan Tata Ruang di Indonesia Pengembangan Menuju Modern, Digital, dan Terpercaya” NO DESKRIPSI KETERANGAN Tanggapan kembali dari Pemakalah Moch. E-lampid hanya ada di Surabaya. Apabila E-Lampid terhubung dengan NIK Shofwan, M.Sc. nasional tidak bermasalah. E-lampid sudah terintegrasi kependudukan nasional (Pemakalah 4) 7. Paparan penyaji dengan judul “Pertanahan 4.0: Wajah Baru Pelayanan Informasi Wasyilatul Pertanahan Melalui Optimalisasi Pemanfaatan Peta Dasar Pendaftaran“ Jannah 1) Masyarakat hanya mengetahui BPN adalah sertifikat. Padahal terdapat (Pemakalah 5) layanan informasi pertanahan. 2) PTSL perlu ditambah layanan informasi properti, layanan PPAT, peta analisis PGT. 3) Hasil dari kegiatan PTSL, bukan data terkait penguasaan dan pemilikan tanah saja, pemeliharaan data pertanahan (peta pendaftaran) 4) Peta hasil kegiatan PTSL memuat seluruh bidang tanah menggambarkan kondisi suatu daerah lengkap dengan berbagai unsur kenampakan selain bidang tanah. Peta dasar pertanahan digunakan sebagai alat analisis. 5) Penting ATR BPN menciptakan inovasi, untuk menyusun inovasi, modal peta dasar pendaftaran, sesuai kebutuhan 6) Layanan informasi pertanahan yang disarankan adalah: • Layanan informasi property • Layanan informasi WTU • Layanan informasi PPAT = lokasi, layanan, dan tarif untuk mencegah hal- hal yang merugikan masyarakat • Layanan informasi Peta ZNT • Layanan informasi Peta analisis PGT Tanggapan oleh Staf Khusus Menteri ATR/BPN Loso Ludijanto, 1) Belum ada penelitian terkait dengan keinginan masyarakat untuk ikut serta S.Si., M.M., secara sukarela mengikuti PTSL. M.Stats. 2) Revolusi 4.0 kita harus melihat karakteristiknya apa. Apakah kita sudah melakukan Revolusi Industri 4.0. Peta dasar pertanahan bagaimana bisa kita eksploitasi sehingga dapat digunakan beberapa metode yang digunakan/ kabutuhan yang ada di masa datang. Jangan over klaim. 3) PPAT sudah mudah didapat di google map. Di google map sudah ada obyek dan informasi, apa kelebihan yang ada apabila kita membandingkan dengan aplikasi PPAT. Buat apa membuat sesuatu yang sama. ZNT apa kemudian jadi PNBP atau gratis? Tanggapan kembali dari Pemakalah Wasyilatul Bedanya di google dan mengecek PPAT-nya. Tetapi di aplikasi yang dibuat ini Jannah memuat tarif. Peta dasar pertanahan bisa digunakan, namun apabila setelah (Pemakalah 5) PTSL menyebutnya dengan peta dasar. 131

NOTULEN TEMA TATA PERTANAHAN Pusat Penelitian & FORUM ILMIAH (Call for Papers) ”Administrasi Pertanahan dan Tata Ruang di Indonesia Pengembangan Menuju Modern, Digital, dan Terpercaya” NO DESKRIPSI KETERANGAN Tanggapan untuk Pemakalah 3, 4, dan 5 oleh Direktur Pengukuran dan Pemetaan Ir. Embun Sari, Kadasteral M.Si. 1) Aplikasi yang patut diberikan apresiasi. Terdapat beberapa hal yang perlu dibenahi. Bagaimana caranya tidak dua kali entry. Masih ada klarifikasi user. Harus internal di kita untuk usernya. 2) Simpan datanya dimana? Servernya? 3) Ada hal yang menyimpang dari istilah peta dasar pertanahan (di down grade). Padahal kalau sudah hasil PTSL: peta pendaftaran. Tanggapan untuk Pemakalah 3, 4, dan 5 oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Drs. Pelopor, Kalimantan Tengah M.Eng.Sc 1) Saat penunjuk batas tidak jelas juga salah juga ukuran. Masih ada anggapan kegiatan kita sendiri. 2) Untuk kita, joki login KKP ini perlu ditinjau lagi. Cepat disambut dengan memberikan kebijakan untuk menyelesaikan masalah itu. Tanggapan untuk Pemakalah 3, 4, dan 5 oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Asnaedi, A.Ptnh., Hubungan Hukum Keagrarian M.H. 1) Ada hipotesa yang salah tentang PPAT online. 2) Apa yang dilakukan Pak Yagus harus ada input dari Puslitbang. 3) Bagaimana agar klaim pemilik saja agar tidak menjadi masalah hukum. Ukuran fix setelah diminta ukur oleh profesional. 4) Dalam penerapan HT online, orang bank masih ingin agar seperti fidusia online. Kegiatan full di PPAT. Jakarta, 26 November 2019 Notulis 132

133

TOPIK TATA RUANG 134

FRAMEWORK OPTIMALISASI NERACA PENATAGUNAAN TANAH DAN DATA PERTANAHAN DALAM PENENTUAN LOKASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Westi Utami, S.Si., M.Sc. OPTIMALISASI PETA KERJA BERBASIS BIDANG UNTUK INSTRUMEN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG MENUJU ONE MAP POLICY Sukmo Pinuji, S.T., M.Sc. KETERSEDIAAN DATA PERTANAHAN DALAM MENDUKUNG PENETAPAN KAWASAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (KP2B) DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) (STUDI KASUS KABUPATEN BADUNG PROVINSI BALI) Ir. Achmad Taufiq Hidayat, M.Si. IP4T PARTISIPATIF UNTUK IDENTIFIKASI POTENSI LP2B DI DESA BULUREJO (STUDI KASUS: DESA BULUREJO, KECAMATAN JUWIRING, KABUPATEN KLATEN) Fajar Buyung Permadi TINJAUAN KESESUAIAN RENCANA DETAIL TATA RUANG KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TERHADAP PETA BIDANG TANAH Hary Listantyo Prabowo, S.T., M.Eng. 135

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL FRAMEWORK OPTIMALISASI NERACA PENATAGUNAAN TANAH DAN DATA PERTANAHAN DALAM PENENTUAN LOKASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Westi Utami Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Email: [email protected] ABSTRAK Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2017 luas lahan mencapai 7,75 juta Ha sementara di tahun 2018 luas lahan pertanian hanya men- cakup 7,1 juta Ha. Penurunan luas lahan pertanian yang terus berlangsung berdampak terhadap ancaman ketahanan pangan nasional, sempitnya kepemilikan lahan oleh petani, meningkatnya jumlah petani gurem serta berdampak terhadap menurunnya sumber pendapatan bagi masyarakat yang bergantung pada sek- tor agraris sehingga mengakibatkan tingginya angka kemiskinan. Kajian ini bertujuan untuk merumuskan framework penyusunan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dengan mengoptimalkan data-data pertanahan khususnya yang ada pada neraca penatagunaan tanah dan data Inventarisasi P4T (Pemilikan, Penguasaan, Penggunaan dan Pemanfaatan tanah). Metode penelitian dilakukan secara kualitatif melalui desk study terhadap kajian literatur dan kajian peraturan perundang-undangan dengan melakukan analisis terhadap kebutuhan data dalam penyusunan LP2B. Hasil kajian menunjukkan bahwa data-data dalam per- tanahan diantaranya neraca penatagunaan tanah, data kemampuan tanah, peta kesesuaian lahan dengan RTRW/RDTR, peta ketersediaan lahan serta data penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan ta- nah dengan skala besar/detail menjadi variabel penting dalam penyusunan LP2B. Ketersediaan data yang lengkap dengan skala besar ini tentunya menjadi bagian penting dalam menentukan LP2B ataupun menyu- sun lahan cadangan untuk Pertanian Pangan Berkelanjutan. Integrasi data antara Kementerian Pertanian dalam hal ini Dinas pertanian pada tingkat Kabupaten/Kota dengan Kementerian ATR/BPN dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota serta Pemerintah Daerah sangat dibutuhkan agar tersedia data yang lengkap guna penyusunan LP2B. Percepatan penyusunan LP2B diharapkan mampu mempercepat upaya perlindungan lahan pertanian pangan di Indonesia yang semakin terancam keberadaannya. Kata Kunci: Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Neraca Penatagunaan Tanah, Pemilikan, Penguasaan, Penggunaan dan Pemanfaatan tanah. I. PENDAHULUAN Tuntutan pembangunan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi dengan lebih memprioritaskan pembangunan sektor industri, sektor jasa ataupun sektor perdagangan di satu sisi membawa dampak positif terhadap peningkatan ekonomi dan pelayanan publik untuk masyarakat. Akan tetapi disisi lain, dampak negatif yang terjadi akibat adanya pembangunan dan pengembangan yang notabene membutuhkan tanah skala luas menjadikan alih fungsi lahan pertanian dengan kondisi tanah sangat produktif beralih menjadi lahan non pertanian (Pratama 2018). Angka konversi lahan pertanian ini dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan secara masif dan sulit untuk dikendalikan (Kusniati2013). Data BPS menunjukkan bahwasanya pada tahun 2017 luas lahan pertanian mencapai 7,75 juta Ha sementara di tahun 2018 luas lahan pertanian hanya mencakup 7,1 juta Ha. Dari angka tersebut nampak jelas bahwasanya dalam 1 tahun telah terjadi penurunan lahan pertanian secara signifikan sejumlah 0, 65 Juta Ha. Adapun grafik penurunan 136

Westi Utami, S.Si., M.Sc. FRAMEWORK OPTIMALISASI NERACA PENATAGUNAAN luas lahan pertanian setiap tahun disajikan dalam gambar 1 berikut: TANAH DAN DATA PERTANAHAN DALAM PENENTUAN LOKASI Sumber, BPS-Litbang 2019 LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Gambar 1. Data Penurunan Luas Lahan Pertanian Dalam Juta Hektar Ancaman menurunnya ketahanan pangan1 dikarenakan semakin sempitnya ketersediaan lahan pertanian pangan khususnya di Jawa yang notabene jumlah penduduknya semakin meningkat (Soemarwoto 1994) berimplikasi terhadap tuntutan pemenuhan kebutuhan untuk pemukiman serta pembangunan fasilitas umum/fasilitas sosial yang mendesak menjadi satu hal yang sulit untuk dikendalikan. Sementara kondisi yang terjadi diluar Jawa lahan pertanian pangan yang dikelola oleh masyarakat yang tinggal di dalam hutan maupun di luar kawasan hutan mengalami pergeseran karena masuknya perusahaan skala besar yang melakukan ekspansi perkebunan tanaman-tanaman produksi seperti sawit ataupun karet (KPA 2017; Ambarwati 2018). Lemahnya sistem pengelolaan dan pengaturan terhadap penguasaan dan pemanfaatan tanah baik di Jawa maupun di luar Jawa memunculkan semakin meningkatnya petani gurem dan juga masyarakat petani yang tidak memiliki tanah (landless). Kajian yang dilakukan BPS menunjukkan bahwa sejumlah 500.000 petani setiap tahun harus keluar dari lahan pertanian yang sebelumnya mereka kuasai dan mereka kerjakan. Berkurangnya jumlah petani ini mengindikasikan adanya lahan pertanian yang menyempit sehingga sektor pertanian tidak mampu menopang pemenuhan kebutuhan sebagian besar masyarakat. Kondisi yang terus terjadi ini tidak hanya mengancam terhadap keberadaan lahan pertanian pangan namun juga mengancam terhadap keberadaan dan tingkat taraf hidup masyarakat yang sebagian besar menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Konversi lahan yang terus terjadi ini juga mengancam ketahanan pangan dan ketidakseimbangan antara jumlah produksi dengan jumlah pertumbuhan penduduk (Supratikno 2016). Sebagaimana data BPS (2018) menunjukkan di Indonesia telah terjadi stagnasi produksi padi, dimana kenaikan produksi padi dapat ditingkatkan hanya sejumlah 0,28%, namun di sisi lain jumlah pertumbuhan penduduk di Indonesia mengalami kenaikan sejumlah 1,4%. Hal inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia sebagai negara agraris harus melakukan import bahan makanan pokok berupa beras sebagaimana tersaji pada gambar 2 dan berada pada kategori negara tipe B yakni negara yang berdaulat pangan namun memiliki ketahanan pangan yang rendah2. Penyusutan lahan yang terus terjadi ini tentunya 1 Ketahanan pangan memiliki peran terhadap terwujudnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Webb 2003) 2 Rosset (2003) mengkategorikan Tipe negara berdasarkan kemampuan kedaulatan pangan dan ketahanan pangan. Kategorisasi tersebut dibagi menjadi 3 kategori yakni Tipe A merupakan negara yang memiliki kapasitas pangan paling kuat, hal tersebut dikarenakan negara-negara ini memiliki kondisi pangan yang ideal yakni mampu berkedaulatan pangan dan memiliki ketahanan pangan. Negara-negara tipe A ini diantaranya : USA, Canada dan Australia. Sementara Tipe B merupakan negara yang memiliki ketahanan pangan lemah namun berdaulat pangan diantaranya yakni Indonesia, Filipina dan Myanmar. Sementara Negara Tipe C merupakan negara yang tidak berdaulat pangan akan tetapi memiliki fondasi ketahanan pangan yang jauh lebih kuat daripada negara tipe B contohnya adalah negara Jepang, Singapura, Norwegia. 137

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL dapat menjadi penyebab Indonesia berada pada kondisi rawan pangan. Sumber : BPS, 2019 Gambar 2. Grafik Import Beras di Indonesia dari Tahun 2000 hingga Tahun 2016 Indonesia yang sangat terkenal sebagai negara agraris jika disandingkan dengan negara non agraris seperti Australia, Singapura, Taiwan, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya sangatlah timpang perbedaannya dimana para petani di negara lain memiliki lahan pertanian luas serta menerapkan sistem pertanian modern, sehingga petani memiliki tingkat kesejahteraan hidup yang sangat layak. Keberpihakan dan hadirnya negara untuk turun tangan secara serius melindungi lahan pertanian masyarakat dan mengembangkan sektor pertanian tentunya menjadi poin utama apabila ketahanan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang sebagian besar sebagai petani dapat terwujud. Ketersediaan tanah untuk pertanian merupakan faktor utama untuk menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Ketika negara mampu mengatur dan mengelola lahan pertanian ini dengan baik maka permasalahan yang mendasar di republik ini dimana jumlah angka kemiskinan yang masih cukup tinggi dapat berkurang. Sebagaimana data BPS tahun 2018 menunjukkan bahwa kemiskinan yang banyak terjadi hingga saat ini adalah tingkat kemiskinan di daerah pedesaan. Dan sebagaimana kita ketahui masyarakat pedesaan merupakan kelompok masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah dengan menggantungkan hidup pada sektor agraris bekerja sebagai petani atau buruh tani. Permasalahan mendasar kemiskinan tersebut dikarenakan sempitnya lahan pertanian yang mereka kerjakan sehingga hasil panen yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara layak. Terhadap kondisi ini tentunya pemerintah harus serius dan duduk bersama antar stakeholder, antar kementerian/lembaga untuk merumuskan upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan upaya peningkatan produksi pertanian di seluruh pelosok negeri. Tanggungjawab terhadap perwujudan petani yang sejahtera serta ketahanan pangan yang berkelanjutan tentunya bukan hanya tanggungjawab Kementerian Pertanian semata, namun semua kementerian memiliki keterlibatan terhadap upaya-upaya tersebut. Dalam konteks ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ BPN memiliki andil yang cukup besar karena memiliki kewenangan dan tanggungjawab terhadap pengelolaan dan pengaturan tanah dan tata ruang sehingga pengelolaan dan pengaturan tersebut mampu mendukung dan mendorong terwujudnya Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) serta ketahanan pangan yang berkelanjutan. 138

Westi Utami, S.Si., M.Sc. FRAMEWORK OPTIMALISASI NERACA PENATAGUNAAN II. METODE TANAH DAN DATA PERTANAHAN DALAM PENENTUAN LOKASI Kajian ini bertujuan untuk merumuskan framework terkait bagaimana Kementerian ATR/BPN sebagai LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN pihak yang memiliki kewenangan mengelola tanah dan memiliki data persil/bidang tanah secara rinci serta memiliki data terkait kemampuan tanah dan ketersediaan data Neraca Penggunaan Tanah di dalam merumuskan dan menyusun Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Metode kajian dilakukan secara kualitatif analisis data dilakukan secara deskriptif. Kajian ini mendasarkan pada literature review dan dilakukan dengan menginventaris kebutuhan data yang digunakan dalam menyusun LP2B serta menganalisis ketersediaan data yang dapat disediakan dalam Neraca Penatagunaan Tanah yang ada pada setiap Kantor Pertanahan tingkat Kota/Kabupaten di seluruh Indonesia. Di dalam kajian ini penulis merumuskan beberapa gap/permasalahan yang mengakibatkan LP2B kurang berjalan secara optimal untuk selanjutnya merumuskan bagaimana framework yang dapat dilakukan untuk optimalisis LP2B. Studi terhadap aspek-aspek peraturan perundang-undangan juga dilakukan agar kajian yang dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kerangka pikir kajian ini disajikan sebagaimana gambar 3 berikut: Gambar 3. Diagram Alir Penelitian 139

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Problematika Penyusunan Pengaturan Perlindungan LP2B Kajian yang dilakukan Karini (2013, 19) menunjukkan bahwasanya upaya perlindungan LP2B serta perlindungan untuk mencegah alih fungsi terhadap lahan pertanian belum efektif dilaksanakan di Indonesia. Begitu pula hasil analisis yang dilakukan Direktorat Pangan dan Pertanian Bapenas (2015) terhadap 9 provinsi menunjukkan bahwasanya kebijakan LP2B yang disusun oleh pemerintah mengalami banyak kendala dalam implementasinya di lapangan. Kajian ini hendak membahas terkait problematika yang terjadi di dalam perencanaan maupun pelaksanaan LP2B di Indonesia. Pertama, kebijakan LP2B yang telah ditetapkan di beberapa lokasi tidak sesuai dengan kondisi eksisting di lapangan serta Perlindungan LP2B yang telah ditetapkan tersebut tidak selaras dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Permasalahan lain terhadap LP2B terkait tata ruang yakni pada tahap penyusunan LP2B yang ditetapkan hendaknya disinkronkan dengan RDTR, namun pada kenyataannya penetapan LP2B pada sebagain wilayah hanya dimasukkan dalam RTRW. Keterbatasan dan belum tersedianya RDTR pada setiap wilayah menjadi salah satu kendala implementasi di lapangan dan menjadikan LP2B yang telah ditetapkan kurang detail karena hanya sebatas pada RTRW. Permasalahan lain yang sering dijumpai di lapangan adalah penyusunan LP2B baru tidak segera disinkronkan dalam revisi RTRW/ RDTR. Ketidaksinkronan antara pengusulan LP2B yang sangat potensial namun tidak segera dimasukkan dalam RDTR/RTRW ini menjadikan lemahnya kepastian pengaturan penggunaan dan pemanfaatan lahan. RTRW/RDTR sebagai pedoman dalam mengatur arahan penggunaan dan pemanfaatan lahan yang diacu oleh berbagai instansi/stakeholder dalam mengolah dan memanfaatkan lahan apabila di dalamnya tidak sinkron atau tidak memasukkan LP2B maka kebijakan perlindungan tentunya tidak berjalan. Sehingga hendaknya di dalam menyusun Kebijakan Perlidungan LP2B para pemangku kebijakan dapat duduk bersama dan mempertimbangkan aspek-aspek celah hukum yang dapat melemahkan kebijakan tersebut. Kondisi yang cukup krusial antara LP2B dengan RDTR/RTRW yang kurang sinkron ini tentunya menjadikan implementasi perlindungan lahan pertanianan tidak berjalan maksimal. Kedua, perencanaan penyusunan LP2B di beberapa daerah tersebut belum direncanakan secara matang. Hasil kajian Bappenas menunjukkan bahwa pelaksanaan LP2B di beberapa wilayah hanya dianggap sebagai kegiatan rutin, pengalokasian anggaran untuk kegiatan ini juga mengalami keterbatasan sehingga pembiayaan untuk tahap perencanaan maupun tahap implementasi di lapangan kurang optimal. Anggapan bahwasannya kegiatan LP2B hanya semata-mata menjadi tugas Kementerian Pertanian mengakibatkan kebijakan yang ditetapkan tidak sinkron dengan kebijakan-kebijakan lain yang justru sering bersinggungan yang mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian masih terus terjadi. Ketiga, pelaksanaan LP2B di beberapa daerah belum dilaksanakan secara by name dan by addres. Keterbatasan data yang dimiliki Kantor Dinas pertanian dan Pemerintah Daerah serta kurang terlibatnya Kementerian ATR/BPN dalam hal ini Kantor Pertanahan tingkat Kabupaten/Kota menjadikan data-data yang dibutuhkan untuk penyusunan LP2B yang bersifat detail tidak tersusun. Kondisi pendataan tidak mendasarkan by name atau by addres mengakibatkan sulitnya mengidentifikasi dan melakukan monitoring terhadap lahan-lahan yang ditetapkan dalam LP2B. Keempat, pelaksanaan LP2B masih sebatas Top Down dimana hanya pemerintah yang menetapkan, tidak didasarkan pada pendapat dan usulan masyarakat dari bawah. Dalam kegiatan LP2B partisipasi 140

Westi Utami, S.Si., M.Sc. FRAMEWORK OPTIMALISASI NERACA PENATAGUNAAN TANAH DAN DATA PERTANAHAN DALAM PENENTUAN LOKASI masyarakat sangatlah penting, partisipasi dapat dikatakan menjadi indikator keberhasilan LP2B. Senjaya, 2017 dalam kajiannya menyebutkan bahwa Kabupaten Batang menjadi salah satu wilayah yang cukup LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN berhasil menerapkan LP2B dikarenakan masyarakat dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan melalui diskusi terkait status penguasaan lahan, dan keterlibatan masyarakat dalam tahap implementasi perlindungan LP2B. Kelima, politik dan kebijakan pemerintahan yang seringkali kurang berpihak pada aspek pertanian berkelanjutan. Dengan adanya UU otonomi daerah dimana setiap daerah berlomba-lomba dan mengupayakan agar pendapatan asli daerahnya dapat meningkat seringkali menjadi pemicu adanya pembukaan usaha-usaha industri/perdagangan/perkebunan/pertambangan dengan skala luas. Beberapa usaha di sektor-sektor tersebut secara nyata memberikan keuntungan secara langsung kepada pemerintah yakni melalui pajak dan biaya sewa yang dibayarkan oleh perusahaan untuk menyewa lahan atau mendirikan sebuah usaha. Kondisi inilah yang menjadikan masifnya alih fungsi lahan pertanian yang terus terjadi. Sebagaimana kajian Supratikno (2016) menyebutkan bahwasanya apabila pada suatu lokasi lahan pertanian didirikan usaha baru maka kawasan di sekitarnya akan mengalami kenaikan harga tanah. Dan inilah yang menjadi salah satu pemicu masyarakat yang memiliki tanah di sekitar lokasi tersebut menjual lahan produktif mereka. Selain permasalahan tersebut di atas, pada tataran praktik di lapangan sebagaimana kajian yang dilakukan Saputra (2018) menunjukkan bahwa di dalam melakukan penyusunan Kebijakan LP2B belum terjadi sinkronisasi antara stakeholder satu dengan yang lain. Hasil kajian terhadap proses penyusunan LP2B, beberapa pihak yang hendaknya memiliki peran mendasar kurang terlibat dalam proses penyusunan. Sebagai contoh pada penyusunan kebijakan LP2B di Kota Solok Kantor Pertanahan tingkat Kota tidak terlibat dan kurang optimal di dalam meberikan sumbangan data dan pemikiran terhadap penyusunan LP2B. Sementara kita ketahui bersama bahwasanya Kantor Pertanahan memiliki data persil yang tentunya menjadi data penting untuk mengetahui bagaimana penguasaan dan pemilikan tanah pada suatu lokasi yang akan ditetapkan Kawasan LP2B. Selain itu Kantor Pertanahan memiliki data-data kunci untuk menyusun LP2B yakni ketersediaan data Neraca Penatagunaan Tanah (NPGT). Penyusunan LP2B tanpa memperhatikan data-data tersebut tentunya menjadikan kebijakan yang sifatnya kurang implementatif. Dalam penyusunan LP2B hendaknya Tim Penyusun memastikan bagaimana aspek yuridis tanah yang ditetapkan, bagaimana status penguasaan ataupun status kepemilikannya, bagaimana terhadap kondisi tanah yang ditetapkan apakah dalam kondisi clear and clean yakni tanah tidak dalam kondisi sengketa/konflik. Selain itu dengan tersediannya data LP2B dengan menyajikan persil tanah akan lebih memudahkan dalam menginventarisasi pihak-pihak masyarakat yang tanahnya ditetapkan sebagai kawasan LP2B. Hal ini penting dilakukan karena kebijakan perlindungan LP2B sebagaimana diatur dalam Peraturan perundang-undangan ketika sudah ditetapkan secara lebih lanjut akan memberikan insentif dan disinsentif terhadap lahan-lahan yang telah ditetapkan LP2B. 3.2. Neraca Penatagunaan Tanah dan LP2B Tata guna tanah merupakan suatu konsep yang memiliki keterkaitan terhadap penataan tanah secara maksimal, dikarenakan konsep tata guna tanah selain mengatur mengenai persediaan, penggunaan terhadap bumi, air, dan ruang angkasa, juga mengatur terhadap tanggung jawab pemeliharaan tanah, 141

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL termasuk di dalamnya menjaga kesuburannya (Supratikno 2016). Terdapat 4 pokok substansi di dalam penatagunaan tanah yakni: 1. Kegiatan inventarisasi penggunaan, penguasaan, kemampuan fisik, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah, penguasaan dan keterpaduan yang dilakukan secara integral dan koordinasi dengan instansi lain. 2. Penatagunaan tanah dilakukan secara berencana dalam arti harus sesuai prinsip: Lestari, Optimal, Serasi, dan Seimbang (LOSS). 3. Terdapat tujuan yang hendak dicapai, yaitu sejalan dengan tujuan pembangunan untuk kemakmuran rakyat. 4. Harus terkait langsung dengan peletakan proyek pembangunan dengan memperhatikan DSP (Daftar Skala Prioritas) Santoso (2005, 247). Sementara yang dimaksud dengan neraca penatagunaan tanah merupakan pengaturan operasional pemanfaatan ruang perimbangan antara ketersediaan tanah dan kebutuhan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW (Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004). Penyusunan neraca penatagunaan tanah ini memiliki peran dalam mewujudkan pola ruang dan struktur ruang wilayah yang berkelanjutan. Secara mendasar beberapa data yang tersedia dalam Neraca Penatagunaan Tanah (NPGT) memiliki andil penting kaitannya dengan LP2B, dimana dalam data NPGT tersebut mencakup: 1. Penyajian neraca perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lain pada rencana tata ruang wilayah. 2. Penyajian neraca kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lain pada rencana tata ruang 3. Penyajian ketersediaan tanah dan sumber daya alam lain dan penetapan prioritas penyediaannya pada rencana tata ruang wilayah. Sementara apabila disandingkan dengan LP2B di dalam proses perencanaan penyusunan data dibutuhkan beberapa variabel dan data diantaranya adalah: 1. Penyusunan LP2B memerlukan ketersedian data berupa kondisi eksisting penggunaan tanah saat ini; 2. Penyusunan LP2B memerlukan data berupa kesesuaian penggunaan tanah saat ini terhadap RTRW atau RDTR; 3. Penyusunan LP2B memerlukan data dimana saja hamparan tanah yang masih tersedia untuk dapat dialokasikan dan ditetapkan untuk RTRW. 4. Penyusunan LP2B memerlukan data by name dan by addres terhadap bidang-bidang tanah yang akan ditetapkan dalam LP2B; 5. Serta data-data fisik lainnya terkait kemampuan tanah (topografi, jenis tanah, rawan bencana, curah hujan, kelerengan dan ketinggian), infrastruktur dasar (saluran irigasi, jalan) dan produktivitas (Subroto 2016). Mendasarkan pada data sebagaimana tersebut di atas, antara ketersediaan data kemampuan tanah yang dimiliki oleh Kementerian ATR/BPN dengan data-data dan kajian yang terdapat dalam NPGT memiliki kesinkronan data. 142

Westi Utami, S.Si., M.Sc. FRAMEWORK OPTIMALISASI NERACA PENATAGUNAAN 3.3. Framework Optimalisasi Data NPGT dalam LP2B TANAH DAN DATA PERTANAHAN DALAM PENENTUAN LOKASI Kajian ini merumuskan dan memberikan alternatif solusi terhadap ketersediaan data yang dimiliki LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Kementerian ATR/BPN di dalam menyusun LP2B. Hal ini dapat membantu menyusun percepatan bagi daerah-daerah yang hingga saat ini masih belum menetapkan LP2B dan bagaimana hendaknya penyusunan LP2B disusun secara bersama-sama antar stakeholder/kementerian/lembaga agar hasil penyusunan perlindungan LP2B dapat dilaksanakan secara implementatif di lapangan. Sebagaimana diuraikan sebelumnya menyebutkan bahwasanya persoalan alih fungsi lahan yang terus terjadi di berbagai wilayah diantaranya dikarenakan belum disusunnya LP2B pada suatu wilayah. Terhadap kondisi ini maka beberapa analisis dan data-data yang dapat dimanfaatkan untuk percepatan penyusunan LP2B adalah sebagaimana tergambar pada gambar 4 berikut. Gambar 4. Kebutuhan Data dalam Penyusunan LP2B Terhadap perencanaan Penyusunan LP2B maka percepatan kegiatan dapat dilakukan melalui mekanisme pemanfaatan data-data yang sudah tersedia pada Neraca Penatagunaan Tanah yang ada pada setiap Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, data kemampuan tanah, data P4T, data bidang tanah. Adapun skema penyusunan LP2B tersebut dapat dilakukan sebagai berikut: 143

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL Gambar 5. Framework Upaya Percepatan Penyusunan LP2B Kementerian ATR/BPN memiliki beberapa data yang tidak dimiliki oleh instansi lain yakni terkait ketersediaan data bidang tanah/persil, status hak atas tanah, bidang tanah dalam kondisi clear and clean atau tidak bersengketa serta aspek yuridis lain terkait kondisi tanah yang dibutuhkan dalam penyusunan LP2B. Permasalahan LP2B yang belum dilakukan by name dan by addres dalam prakteknya di lapangan menjadi salah satu penghambat untuk memantau dan mengevaluasi keberadaan tanah-tanah yang sudah ditetapkan dalam LP2B, sehingga untuk penyusunan lebih lanjut tentunya Dinas Pertanian dan Pemerintah daerah setempat dapat melakukan koordinasi dengan kantor pertanahan guna mengakses data-data tersebut. Ketersediaan data NPGT yang ada di Kantor Pertanahan hendaknya lebih dioptimalkan dalam penyusunan LP2B. Data perubahan penggunaan lahan dengan skala besar pada NPGT dan data penggunaan tanah terbaru yang juga tersedia di BPN, dimana perolehan data penggunaan tanah eksisting diperoleh dari Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT) dengan tahun terbaru (Taufik 2018) sangat membantu di dalam melakukan analisis untuk menginventarisasi lahan-lahan yang memungkinkan ditetapkan untuk LP2B. Di dalam data NPGT juga terdapat peta kesesuain penggunaan tanah dengan RTRW/RDTR, tentunya data 144

Westi Utami, S.Si., M.Sc. FRAMEWORK OPTIMALISASI NERACA PENATAGUNAAN TANAH DAN DATA PERTANAHAN DALAM PENENTUAN LOKASI ini sangat dibutuhkan untuk menentukan lokasi mana saja yang dapat digunakan untuk penyusunan LP2B ataupun pencadangan LP2B. Sinkronisasi peta penggunaan tanah dengan RTRW/RDTR ini sangat LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN penting, kaitannya dengan implementasi di lapangan agar tanah yang sudah ditetapkan dalam LP2B dapat diatur dan diarahkan keberadaannya sesuai dengan arahan pola ruang yang ada dalam RTRW/RDTR. Peta ketersediaan tanah yang tersaji dalam NPGT juga membantu tim penyusun LP2B dalam menentukan lokasi tanah dimana saja yang masih tersedia dimana dalam data ini sudah disesuaikan dengan status hak atas tanah. Koordinasi dan kerjasama antara kementerian/lembaga serta keterlibatan masyarakat di dalam menyusun LP2B ini harus dilakukan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan ataupun monitoring dan evaluasi di lapangan agar kebijakan yang telah ditetapkan tidak hanya berhenti pada penetapan dalam peraturan semata. Penguatan kapasitas masyarakat, pendampingan serta pembanguan irigasi atau pembangunan akses jalan pada daerah LP2B yang ditetapkan serta kebijakan insentif dan disinsentif harus disertakan agar kebijakan LP2B dapat berjalan berkesinambungan sehingga mampu mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan pekerjaan baru bagi masyarakat petani serta mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Proses perencanaan, implementasi dan evaluasi yang terus berkesinambungan ini diharapkan mampu mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan di negara agraris ini. IV. KESIMPULAN Perlindungan LP2B di Indonesia menjadi salah satu program prioritas yang harus diwujudkan mengingat saat ini negara berada dalam kondisi ancaman darurat ketahanan pangan dan terancaman kedaulatan pangan. Desakan pertumbuhan penduduk, kepentingan pembangunan dan ekspansi usaha di bidang industri, perdagangan dan perkebunan di Indonesia tentunya harus diimbangi dengan percepatan penyusunan LP2B maupun pemetaan cadangan LP2B. Kurang berhasilnya program LP2B diberbagai wilayah disebabkan penyusunan LP2B kurang melibatkan stakeholder lain sehingga perencanaan kurang matang, terjadi ketidaksinkronan dengan RDTR/RTRW, keterbatasan anggaran dalam penetapan LP2B, kurang terlibatnya masyarakat dalam program LP2B, belum tersedianya data by name dan by addres dalam penetapan LP2B. Beberapa permasalahan tersebut dapat dijawab melalui optimalisasi data yang dimiliki Kementerian ATR/BPN diantaranya yakni data NPGT, data P4T, data bidang tanah, data kemampuan tanah serta keterlibatan Kementerian ATR/BPN di dalam mensinkronkan Kebijakan LP2B dengan RDTR atau RTRW. Partisipasi aktif dan penguatan kapasitas petani Indonesia juga perlu ditingkatkan agar pelaksanaan LP2B bukan hanya menjadi slogan semata namun dapat dilakukan secara implementatif dan mampu mencapai goal untuk Indonesia berdaulat pangan dan memiliki ketahanan pangan. 145

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, ME, Sasongko, G, Therik, WMA. (2018). Dinamika konflik tenurial pada kawasan hutan negara (kasus di BKPH tanggung KPH Semarang)’. Solidariti: Jurnal Sosiologi Pedesaan, Vol 6 No 2, Hal 112- 120. Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas, Jakarta Janti,GI,Martono,E,Subejo(2016).Perlindunganlahanpertanianpanganberkelanjutangunamemperkokoh ketahanan pangan wilayah (studi di kabupaten Bantul Yogyakarta). Jurnal Ketahanan Nasional, Vo.22, No.1, https://doi.org/10.22146/jkn.16666. Sakti, Sunarminto,MA, Karini, Dyah May, (2013). Dampak Alih Fungsi Lahan Persawahan Terhadap Produksi Beras Dalam Rangka Ketahanan Pangan, Tesis: Universitas Gadjah Mada. Konsorsium Pembaharuan Agraria. (2017). Reforma Araria di bawah bayangan investasi gaung besar di pinggir jalan. Catatan Akhir Tahun KPA. Kusniati, R. (2013). Analisis perlindungan hukum penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan, Inovatif Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 6 No. 2. Maas, BH, Indradewa, A, Kartonegoro, D, Djadmo, B. (2013). Kajian pemataan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) di Kabupaten Purworejo. Sains Tanah Jurnal, Vol. 10, No. 1, Muryono, S, Bimaseno, AN, Dewi, AR. (2018). Optimalisasi pemanfaatan neraca penatagunaan tanah dalam penyusunan Rencana Tata Ruang wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta, Bhumi Jurnal Agraria dan Pertanahan, Vol. 4, No. 1, DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v4i2.280. Pratama, A, Amin, M, Asmara, S, Rosadi, B. (2018). Analisis spasial lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) di Kabupaten Pesawaran. Jurnal Teknik Pertanian Lampung, Vo. 7, No. 1. Pridasari,SA,Muta’ali,L.(2018).Dayadukunglahanpertanianpangandanpenentuanlahanpertanianpangan berkelanjutan di Kabupaten Bantul, Jurnal BumiIndonesia Rosset, Peter. (2003). “Global Rallying Cry of Farmer Movement, Backgrounder”, Journal of Food Sovereignty. Vol. 9 Num. 4, France: Nyèlèni Santoso, Urip. (2005). Hukum Agraria & Hak Hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Senjaya, IW (2017). Kebijakan public perlindungan lahan pertanian di Kabupaten Batang : Analisis Teori David Easton, Jurnal Hukum Khaira Ummmah, Vo. 12, No. 4 Soemarwoto, O. (1994). Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Bandung: Djambatan Supratikno,SI,Armawi,A,Marwasta,D.(2016).PemanfaatanNeracapenatagunaantanahuntukmendukung penyusunan sistem informasi ketahanan pangan pokok wilayah (studi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Ketahanan Nasional, hlm. 22-41, Vol. 22, No.1 Subroto, G, Susetyo, C (2016). Identifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi penentuan lahanpertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Jurnal Teknik ITS, Vol. 5, No.2. Taufik, M, Kurniawan, A, Pusparini, FM. (2018). Penentuan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) menggunakan metode multi data spasiali di Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan, Jurnal Geoid, Researchgate, DOI: 10.12962/j24423998.v13i1.3679 Webb, Pattrick. (2003). Cultivated Capital: Agriculture, Food Systems and Sustainable Development. Boston: TUFTS University 146

Westi Utami, S.Si., M.Sc. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 07/Permentan/Ot.140/2/2012 Tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan, dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian PanganBerkelanjutan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan Dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. BIODATA PENULIS Nama Westi Utami, S.Si., M.Sc. Tempat dan Tanggal Lahir Bantul, 16 Juli 1983 Agama Islam Jenis Kelamin Perempuan Status Menikah Alamat Perumahan Grand Permata Residen, Blok G-7, Sewon, Bantul, DIY Telepon / handphone 082125666810 Email [email protected], [email protected] Pekerjaan PNS (Dosen STPN, Kementerian ATR/BPN) 1. PENDIDIKAN JENJANG NAMA INSTITUSI JURUSAN PREDIKAT TAHUN MASUK S/D PENDIDIKAN PENDIDIKAN KELULUSAN TAHUN KELUAR 1998 s/d 2001 SMA SMA Negeri 1 Bantul IPA Lulus (Baik) 2001 s/d 2005 S1 Universitas Gadjah Kartografi dan Cumlaude Mada Penginderaan Jauh IPK 3,73 2012/2013 S2 Sekolah Magister Manajemen Cumlaude IPK 4, 00 Pascasarjana UGM Bencana UGM 2. DATA ORGANISASI JABATAN DI INSTANSI TEMPAT TAHUN FRAMEWORK OPTIMALISASI NERACA PENATAGUNAAN ORGANISASI ORGANISASI TANAH DAN DATA PERTANAHAN DALAM PENENTUAN LOKASI NAMA ORGANISASI 2004 Sekretaris Fak. Geografi UGM 2003 LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Geografi Academic Club Bendahara Fak. Geografi UGM 2003 Jamaah Masjid Geografi 2002 Anggota UGM 2002 SP2MP UGM Sekeretaris Fak. Geografi UGM 2002 BEM Geografi Remaja Islam Masjid Ketua Bantul, DIY Ikatan Remaja Muhamadiyah Wakil Ketua Bantul, DIY 147

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL 3. DATA PERLOMBAAN/PENGHARGAAN/SUMMER SCHOOL BIDANG LOMBA TINGKAT POSISI/ TEMPAT TAHUN PERINGKAT Thailand 2018 Presenter dalam Seminar Internasional - 2014 ‘Community Development’ - UGM Sekolah Pasca Lulusan Terbaik Sekolah Pascasarjana (SPS) Sarjana UGM IPK 4,00 UGM Anggota Tim UGM pada Summer School Internasional Participant Ritzumeikhan 2013 Jepang Karya Tulis/artikel ilmiah CPNS BPN RI Juara I 2010 BPN Pusat / Badminton Putri CPNS BPN RI Juara I Jakarta 2010 Peserta EACOS (East Asian Common Space) UGM Participant BPN Pusat / 2005 di Korea Selatan UGM Juara I Jakarta 2003 Bidang Atletik Lari Estafet UGM Juara II 2003 Bidang Atletik Lari 800 m Fakultas IPK 3,73 Korea Selatan 2001 Lulusan Terbaik Fakultas Geografi UGM Provinsi Juara III 1998 Bidang olahraga cabang Atletik lari 800 m UGM UGM UGM DIY 4. PENGALAMAN KERJA BERGERAK DI BIDANG JABATAN PEKERJAAN WAKTU Pertanahan Dosen 2017 NAMA INSTITUSI/PERUSAHAAN Pendidikan Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Penelitian 1 Tahun STKIP Yogyakarta Perbankan Pengolah Data 1 Tahun LPPM UGM Staf 1 Tahun BMT Al- Ikhlas Jogja 5. PELATIHAN LANJUTAN/SEMINAR/KURSUS BIDANG/TEMA TEMPAT, NAMA TINGKAT/TGL LAMA LEMBAGA 2018 WAKTU Pelatihan Pengadaan Tanah STPN 4 Hari Toefl Preparation STPN Februari 2015 Participant Toefl Preparation STPN Juni 2013 Participant Toefl Preparation STPN Juni 2013 Participant Building ‘Water-based Country’ “Membangun Negara UGM Mei 2012 Participant Air”: a Concept by Vandana Shiva Perubahan Iklim di Indonesia Pascasarjana UGM Nasional 1 Hari Optimalisasi Peran Wilayah Pesisir dalam Fakultas Geografi Nasional Pembangunan Daerah Melalui Pengembangan 1 Hari Potensi dan Pengelolaan Risiko Bencana UGM Nasional 1 Hari Merapi Dalam Kajian multidisiplin Nasional 3 hari Kursus Agraria “Kebijakan, Konflik” Pascasarjana UGM Nasional 1 Hari IKatan Surveyor Indonesia (ISI BPN Internasional 2 Hari Castal Ecosistem for Social Prsperity ISI 2011 UGM 3 Hari Leadership Attitude & Leadership Camp Bakosurtanal dan UGM 3 Hari Succes Skill Fakultas Geografi UGM UGM 148

Westi Utami, S.Si., M.Sc. BIDANG/TEMA TEMPAT, NAMA TINGKAT/TGL LAMA LEMBAGA UGM WAKTU Otnomi Daerah dan lingkungan UGM UGM 1 Hari Pengembangan Pribadi unggul untuk meraih sukses UGM UGM 1 Hari Membangun diri dan Bangsa melalui UGM 2 Hari Profersionalisme UGM Suskes Belajar di Perguruan Tinggi dan Sukses UGM 1 Hari meraih Cita dan Cinta UGM Kemandirian dan kesiapan mahasiswa & lulusan PT UGM 1 Hari Indonesia dalam kompetisi Internasional UGM Special Management Skills UGM UGM 3 Hari Self Determining Character Building UGM 3 Hari 6. PUBLIKASI TAHUN BUKU, JURNAL, PROCIDING 2019 Study of social vulnerability as an effort on disaster risk reduction (study on suburban communities in Yogyakarta, Indonesia), Prosiding IOP Conference Series: Earth and Environmental Science terindeks SCOPUS 2019 Jurnal : Analisis Spasial untuk Lokasi Relokasi Masyarakat Terdampak Tsunami Selat Banten Tahun 2018, Bhumi Jurnal Agraria dan Pertanahan 2019 Transformation Of Livelihoods And Land Inequality In Bangka, dipresentasikan pada Interna- tional Conference 2019 di STPN 2019 Spatial Analysis Of Rehabilitation And Reconstruction Of Palu Disasters In 2018 Using Landsat FRAMEWORK OPTIMALISASI NERACA PENATAGUNAAN 2019 dipresentasikan pada International Conference 2019 di STPN TANAH DAN DATA PERTANAHAN DALAM PENENTUAN LOKASI 2019 2019 Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Percepatan Pendaftaran Tanah Daerah Perbatasan, LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2019 Prosiding Seminar Nasional di AAU Yogyakarta 2019 2019 Prociding : Pemanfaatan Data Spasial Dan Data Kerawanan Bencana Sebagai Evaluasi Rencana 2018 Tata Ruang Wilayah (Studi Kasus Pasca Tsunami Di Banten), 2018 Prociding : Efektivitas Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh Dalam Percepatan Penyelesaian 2018 Penguasaan Tanah Kawasan Hutan Di Provinsi Sumatera Selatan 2017 Prociding : Eksistensi Tanah Sultan Ground Sebagai Barier Dalam Mitigasi Bencana Tsunami Kearifan Lokal Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan Di Maluku Deselerasi Program PTSL Pada Wilayah Masyarakat Hukum Adat Evacuation Route Map For Earthquake In Kotagede Expected To Support Disaster Risk Reduction, Prosiding IOP Conference Series: Earth and Environmental Science terindeks SCOPUS Jurnal : Reforma Agraria Di Kawasan Hutan Sungaitohor, Riau: Pengelolaan Perhutanan Sosial Di Wilayah Perbatasan Prociding: Pertimbangan Teknis Pertanahan Sebagai Pendukung Pengurangan Risisko Bencana, disajikan pada Seminar Nasional Geografi di UI. Prociding: Land Consolidation As A Solution For Densely Populated Area (Case Study In Kotagede Yogyakarta). Disajikan pada International Conference Land Consolidation. 2017 Prociding: The Role Of Community Participation And Spatial Data On Vertically Land Consolidation Program In Managing Slum. Disajikan pada International Conference Land 2017 Consolidation 2017 Prociding: Seminar Nasional Agraria di Trisakti Jakarta, Judul: Community Building dalam Reforma Agraria Prociding : Symposium Internasional Geoscience di UGM, judul: Aplikasi Citra GeoEye untuk Pemetaan Kerentanan Fisik 149

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL TAHUN BUKU, JURNAL, PROCIDING 2017 Prociding: International Geography Seminar “Harmony with Nature: Strengthening Relationship betwen Human and Environtment” . Judul: Evacuation Simulation for Earthquake (Case Study in Sayangan Hamlet, Kotagede Complex, Yogyakarta) DOI: 10.1088/1755- 1315/145/1/012064 2017 Jurnal Pertanahan: Pemetaan Pemukiman Kumuh Ditinjau dari Segi Spasial 2017 Jurnal Bhumi : Pengurangan Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan melalui Pemetaan HGU dan Pengendalian Pertanahan 2017 Jurnal : Analisis Pan-Sharpening Untuk Meningkatkan Kualitas Spasial Citra Penginderaan Jauh Dalam Klasifikasi Tata Guna Tanah 2015 Jurnal : Pengaturan Zoning Sebagai Pengendali Pemanfaatan Ruang (Studi Kasus Kawasan 2015 Preservasi Budaya Kotagede) Buku: Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, “Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tanah Lokasi Prona Dengan Metode Klasifikasi Kontekstual Dari Citra Landsat TM dan Aster 2014 Jurnal : Ketersediaan Tanah Bagi Masyarakat Rawan Bencana 2014 Prociding: Infrastruktur Data Spasial Nasional/Daerah Dalam Penyusunan Peta Risiko Bencana Sebagai Upaya DRR (Disaster Risk Reduction) 2014 Prociding: Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Damage Loss And Need Asessment (DaLA) Studi Kasus Pasca Bencana Erupsi Merapi 2010 2014 Kajian Kerentanan Dan Penyusunan Peta Jalur Evakuasi Bencana Gempabumi (Studi Kasus Di Dusun Kesayangan, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul) 2014 Prociding: Pemetaan Partisipatif Jalur Evakuasi Bencana Gempabumi di Dusun Sayangan, Kotagede, Yogyakarta 2013 Jurnal : Pendayagunaan Tanah Terlantar Melalui Reforma Agraria: Solusi Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Serta Pengurangan Konflik Agraria 2005 Visualisasi Data Pariwisata Secara Spasial dan Paket Wisata Berbasis Web Kawasan Pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul 7. PENELITIAN TAHUN JUDUL 2019 Penyelesaian Penguasaan Tanah Kawasan Hutan untuk Sumber TORA di Sumatera Selatan 2018 Reforma Agraria Dan Perhutanan Sosial: Kebijakan Pengelolaan Hutan Desa Dan Peluang Tora di Tebingtinggi Timur Kabupaten Meranti, Riau 2017 Pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia 2015 Konflik Perkebunan Tanah eks. HGU PTPN II di Sumatera Utara (Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai) 2015 Penetapan dan Pendayagunaan Tanah Terlantar PT Perkebunan Tratak di Batang Jawa Tengah 2014 Pemetaan Partisipatif Jalur Evakuasi Bencana Gempabumi di Dusun Sayangan, Kotagede, Yogyakarta 2014 Kajian Kerentanan Dan Penyusunan Peta Jalur Evakuasi Bencana Gempabumi (Studi Kasus Di Dusun Kesayangan, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul) 2001 Visualisasi Data Pariwisata Secara Spasial dan Paket Wisata Berbasis Web Kawasan Pantai Pa- rangtritis, Kabupaten Bantul Yogyakarta, September 2019 ttd Westi Utami, S.Si., M.Sc. 150

FRAMEWORK OPTIMALISASI NERACA PENATAGUNAAN TANAH DAN DATA PERTANAHAN DALAM PENENTUAN LOKASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Westi Utami, S.Si., M.Sc. 151

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL OPTIMALISASI PETA KERJA BERBASIS BIDANG UNTUK INSTRUMEN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG MENUJU ONE MAP POLICY Sukmo Pinuji Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional [email protected] ABSTRAK Secara ideal, penataan pertanahan harus sejalan dan mendukung penataan ruang yang berkelanjutan, dan keduanya harus dipandang sebagai satu kegiatan yang bersifat komprehensif dan bersinergi, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), yang merupakan salah satu bentuk strategi akselerasi pendaftaran tanah di Indonesia, merupakan salah satu titik awal yang penting dalam sinergi tersebut. Data bidang tanah lengkap yang dihasilkan dari kegiatan PTSL merupakan salah satu pintu masuk dalam mengembangkan layanan berbasis bidang tanah yang terintegrasi dalam satu referensi sumber data. Saat ini, peta kerja PTSL baru digunakan sebatas iden- tifikasi bidang tanah yang berstatus K1, K2, K3 dan K4 untuk menentukan subjek PTSL dan referensi dalam updating kualitas data bidang tanah. Dalam penelitian ini, penyusunan peta kerja PTSL diop timalisasi un- tuk melakukan identifikasi kesesuaian penggunaan lahan sesuai dengan RTRW. Beberapa komponen yang dikaji antara lain (i) availabilitas penggunaan peta kerja PTSL untuk identifikasi kesesuaian RTRW, serta (ii) bagaimana strategi optimalisasi pelaksanaannya. Dengan mengambil sampel di Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, hasil pengumpulan data kemudian diolah menggunakan analisis spasial, dengan cara melakukan tumpang susun antara peta kerja yang sudah terverifikasi dengan peta RTRW wilayah Juwiring. Penelitian ini menyimpulkan bahwa: (i) peta kerja PTSL dapat digunakan sebagai instrumen identifikasi kesesuaian RTRW dengan memasukkan beberapa atribut tambahan, (ii) optimalisasi tersebut memerlu- kan beberapa komponen pendukung, yaitu penentuan metode pengumpulan data yang efisien, mengko- laborasikannya dalam perencanaan kegiatan, koordinasi dan kolaborasi lintas sektor, serta ditetapkannya kebijakan berbagi-pakai data yang memungkinkan berbagai stakeholder untuk mengakses data tersebut. Kata kunci: PTSL, Optimalisasi, Peta Kerja, Tata Ruang, Pengendalian Pertanahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hingga saat ini, sinergi antara penataan ruang dan pertanahan masih menyisakan satu pekerjaan besar untuk mencapai kondisi ideal dalam mencapai sinkronisasi dan harmonisasi, baik dari sisi kelembagaan, teknologi, kebijakan maupun teknis pelaksanaannya. Meskipun telah berjalan selama satu periode pemerintahan, kegiatan penataan ruang dan pertanahan masih menyisakan beberapa pekerjaan rumah yang perlu dilakukan. Sebagai lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab dalam melakukan manajemen pertanahan dan tata ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) memiliki fungsi pelaksanaan administrasi pertanahan yang bersifat komprehensif, efektif, efisien, dan berkelanjutan. Dalam konsep land administration function, keseimbangan antara fungsi land market yang efisien dan land use management yang efektif merupakan prasyarat mutlak dalam mencapai sustainable development. Kebijakan dan program terkait land tenure dan land value yang merupakan bagian dari land market yang 152

Sukmo Pinuji, S.T., M.Sc. OPTIMALISASI PETA KERJA BERBASIS BIDANG UNTUK INSTRUMEN PENGENDALIAN PEMANFAATAN efisien, didukung dengan land use dan land development yang efektif, yang merupakan bagian dari land use management, merupakan prasyarat utama dalam mencapai manajemen pertanahan dan pengembangan RUANG MENUJU ONE MAP POLICY yang berkelanjutan (I. Williamson, Enemark, Wallace, & Rajabifard, 2010) (I. P. Williamson, 2001). Hal inilah yang kemudian diterjemahkan sebagai integrasi fungsi pertanahan dengan tata ruang, yang dikelola dalam satu sistem yang terpadu, dengan kebijakan yang saling mendukung, data dan teknologi yang sesuai, dan pengorganisasiannya yang efektif dan efisien. Sebagai lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab dalam melakukan pengelolaan agraria, pertanahan dan tata ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN) telah meluncurkan berbagai agenda dan inovasi yang bertujuan untuk melakukan penataan dan pemanfaatan tanah dan ruang yang berkeadilan dan berkelanjutan. Sebagai contoh, program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang diluncurkan sejak tahun 2017, memiliki ambisi yang kuat untuk memetakan seluruh bidang tanah di Indonesia secara sistematis, dan menargetkan bahwa seluruh bidang tanah di Indonesia dapat terpetakan secara baik dan akurat di tahun 2024 (Wibowo, 2019). Dalam bidang penataan ruang, Kementerian ATR/BPN juga telah menerapkan berbagai macam strategi percepatan penyusunan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) guna memastikan bahwa setiap kegiatan pembangunan pada level daerah dapat dilakukan sesuai dengan arahan rencana tata ruang yang berkelanjutan. Demikian juga dalam bidang penataan agraria, pemerintah juga telah meluncurkan program percepatan reforma agraria melalui redistribusi tanah dan pelepasan kawasan hutan sebagai obyek TORA. Segala macam kegiatan terkait pertanahan dan tata ruang tersebut, pada prinsipnya tidak akan lepas dari kebutuhan akan data bidang tanah/kadastral yang memuat informasi spasial maupun atribut dari bidang-bidang tanah tersebut. Melalui data bidang tanah yang disajikan dalam skala besar (1 : 5000), informasi yang termuat juga akan semakin detil, serta memberikan gambaran yang lebih spesifik mengenai kondisi eksisting bidang tanah, yang tidak hanya memuat informasi terkait pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatannya saja, tetapi lebih jauh juga mampu memotret kondisi sosial ekonomi pertanahan secara lebih mendetail. Meskipun begitu, salah satu masalah yang paling mendasar dalam kegiatan penataan pertanahan dan tata ruang ini adalah terbatasnya ketersediaan data spasial dan data atribut penunjang lainnya yang dapat digunakan sebagai referensi. Sebagai contoh, dalam penyusunan RDTR, data bidang tanah yang memuat informasi pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan (P4T) sangat diperlukan untuk memberikan gambaran eksisting P4T di wilayah tersebut. Demikian juga dalam kegiatan pendaftaran tanah, ketersediaan peta dasar pertanahan ataupun peta kerja yang digunakan sebagai referensi dalam melakukan pengukuran dan pemetaan juga mutlak diperlukan. Terkait dengan hal tersebut, muncul konsepsi multi-purpose cadaster, yang mengusung ide bahwa data pertanahan (kadastral) dapat digunakan untuk berbagai tujuan, yang bahkan tidak hanya pada kegiatan yang terkait dengan pertanahan dan tata ruang saja, tetapi juga mencakup kegiatan lain yang terkait dengan fungsi land administration (Opdam, Steingröver, & Van Rooij, 2006) . Selain masalah ketersediaan data, isu lain yang timbul adalah standarisasi data, yang akan sangat menentukan kualitas dan kompatibilitas data spasial agar dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Terkait dengan hal tersebut, maka konsepsi one map policy, atau dalam istilah Indonesia dikenal juga sebagai Kebijakan Satu Peta (KSP), muncul sebagai jembatan bagi pengelolaan data spasial yang terintegrasi dan terstandarisasi, sekaligus juga dalam melakukan optimalisasi penggunaan data spasial untuk berbagai 153

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL tujuan yang bersifat spatial-based decision making process (Samadhi, 2013) (Feeney, Rajabifard, & Williamson, 2001). Dengan adanya KSP tersebut, diharapkan bahwa segala proses pengambilan keputusan berbasis spasial dapat dilakukan menggunakan sumber data spasial yang standar, akurat dan reliabel, sehingga mengurangi kemungkinan adanya konflik akibat ketidaksesuaian referensi data yang digunakan. Isu lain yang tidak kalah penting adalah pentingnya mengimplementasikan sebuah program kebijakan yang bersifat komprehensif, yang tidak berdiri sendiri hanya untuk satu tujuan saja, tetapi memuat kemanfaatan pada program-program lain yang saling berkaitan. Hal ini sangat berkaitan dengan tujuan dari KSP, dimana peta atau data spasial dapat digunakan sebagai referensi untuk berbagai macam tujuan. Dalam pelaksanaan PTSL, salah satu tahap awal yang dilaksanakan adalah penyusunan peta kerja. Peta kerja tersebut disusun sebagai dasar dalam menentukan obyek pendaftaran tanah, status pendaftarannya (sudah tersertipikat/belum), serta sebagai referensi saat melakukan pengukuran, pengumpulan data yuridis dan pemetaannya. Dalam peta kerja PTSL, data yang dikumpulkan berupa data bidang tanah lengkap dengan delineasi bidangnya, serta data subyek dan obyek bidang tanah tersebut (pemilik, status tanah). Dalam rangka optimalisasi pemanfaatan data bidang tanah, penelitian ini bermaksud untuk mengoptimalkan fungsi peta kerja, yang tidak hanya sebatas kepada tujuan PTSL, tetapi juga untuk pembangunan basis data spasial pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan (P4T) bidang tanah, yang dapat digunakan sebagai dasar pembangunan multi-purpose cadastral, salah satunya adalah untuk melakukan identifikasi monitoring pengendalian pemanfaatan ruang. 1.2. Tinjauan Pustaka 1. Konsep One Map Policy dalam Pertanahan dan Tata Ruang Sejak pertama dicetuskan di tahun 1997 dan diundangkan pada tahun 2011 melalui Undang- Undang No. 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, kebijakan one map policy, atau dikenal juga sebagai Kebijakan Satu Peta (KSP), menjadi dasar bagi negara Indonesia untuk melakukan pengelolaan informasi geospasial yang dilaksanakan melalui kerjasama, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi yang mendorong penggunaan informasi geospasial (IG) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengambilan keputusan yang efektif, efisien dan berkelanjutan (Samadhi, 2013). Dalam konsepsi multi-purpose cadastre dan KSP, desain data spasial yang dikumpulkan dan dikelola sangatlah penting dilakukan sehingga data tersebut dapat secara optimal digunakan untuk berbagai macam tujuan. Sebagai contoh, data bidang tanah dapat digunakan dalam perpajakan, basis data dalam fasilitas layanan umum seperti listrik, air minum, layanan kesehatan, dan lain sebagainya. Selain itu, KSP juga mendorong strategi percepatan penyusunan rencana tata ruang dalam level nasional, regional maupun lokal, melalui penyediaan informasi geospasial dasar dan tematik yang terstandarisasi, yang dibutuhkan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang (Hasyim, Subagio, & Darmawan, 2016). Lebih jauh lagi, dengan adanya sumber data yang terintegrasi dan mencakup berbagai aspek, penyusunan Rencana Tata Ruang dapat dilakukan secara lebih komprehensif dan integratif, melibatkan berbagai sektor, serta mampu memprediksi tantangan ke depan dengan lebih akurat (Davoudi, Crawford, & Mehmood, 2009) (Opdam et al., 2006) (Logan, 1972). 154

Sukmo Pinuji, S.T., M.Sc. OPTIMALISASI PETA KERJA BERBASIS BIDANG UNTUK INSTRUMEN PENGENDALIAN PEMANFAATAN 2. Penyusunan Peta Kerja dalam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap RUANG MENUJU ONE MAP POLICY Dalam kegiatan PTSL, peta kerja merupakan peta yang digunakan sebagai acuan untuk mengidentifikasi, mendelineasi, dan atau memetakan batas bidang tanah yang sudah terdaftar maupun bidang tanah yang belum terdaftar. Berdasarkan petunjuk teknis pelaksanaan PTSL tahun 2019, peta kerja dapat berupa (i) peta citra satelit resolusi tinggi (CSRT), atau (ii) Peta foto udara yang dicetak pada skala paling kecil 1 : 5000. Peta kerja tersebut digunakan untuk identifikasi dan validasi akurasi posisi bidang tanah (K4) dan pengukuran bidang tanah belum terdaftar di lapangan. Peta kerja untuk keperluan PTSL dapat dibuat menggunakan berbagai macam data seperti peta foto, peta CSRT, peta foto drone, peta garis dan sebagainya, selama memenuhi ketentuan skala yang sudah ditetapkan (1 : 5000 untuk peta foto atau resolusi spasial minimal 0,3 meter untuk CSRT maupun peta foto drone). Dalam pelaksanaan PTSL, pembuatan peta kerja dilakukan pada tahap awal (persiapan). Meskipun peta kerja memiliki standar ketelitian spasial tertentu, tidak ada metode baku mengenai langkah kerja pembuatan peta kerja, pada prinsipnya peta kerja merupakan peta dasar pendaftaran yang digunakan untuk membantu proses pengukuran dan pemetaan pada saat dilakukan kegiatan pendaftaran tanah, baik secara sistematis maupun sporadik. Informasi yang terdapat dalam peta kerja PTSL diantaranya adalah keterangan mengenai subyek dan obyek pendaftaran tanah, seperti pemilikan, penguasaan, serta status hak (sertipikat/belum bersertipikat). Saat ini, karena cakupan peta dasar pendaftaran dengan skala besar (1 : 5000) masih jarang tersedia, banyak Kantor Pertanahan di berbagai wilayah Indonesia yang melakukan inovasi penyediaan peta kerja untuk akselerasi PTSL. Salah satu diantaranya adalah dengan menggunakan data UAV/drone yang telah dilakukan koreksi geometris, sehingga batas-batas delineasi bidang dapat dikenali melalui foto udara. 1.3. Rumusan Masalah Salah satu kunci dari sinkronisasi dan harmonisasi antara pertanahan dan tata ruang adalah optimalisasi penggunaan data dan perancangan program yang efisien sehingga bisa saling mendukung satu sama lain. Dalam pelaksanaan PTSL, pra-kegiatan yang harus dilakukan adalah penyusunan peta kerja PTSL yang digunakan untuk mengidentifikasi bidang-bidang tanah yang ada dalam satu wilayah secara sistematis, sebagai acuan untuk mengidentifikasi potensi K1, K2, K3 dan K4 yang kemudian akan digunakan untuk menentukan subyek dan obyek PTSL. Penyusunan peta kerja ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber data yang relevan, serta menggunakan metode yang sesuai. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu kajian mengenai optimalisasi pemanfaatan peta kerja untuk berbagai keperluan kegiatan penataan pertanahan dan tata ruang lainnya, khususnya dalam melakukan pengendalian pemanfaatan ruang. 1.4. Pertanyaan Penelitian Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah peta kerja dapat yang disusun dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang? 2. Bagaimana strategi optimalisasi penggunaan peta kerja agar dapat digunakan sebagai instrumen dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang? 155

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL II. METODE 2.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Bulurejo, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Desa Bulurejo merupakan desa agraris dengan wilayah sawah irigasi teknis yang luas dengan 3 kali panen dalam satu tahun. Selain itu, desa Bulurejo juga merupakan pusat kerajian industri rumahan konveksi, sablon, dan mebel yang juga menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat sekitar, yang telah menembus pasar internasional dengan diekspor ke berbagai tempat. Pemilihan lokasi penelitian di desa Bulurejo ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa selain sebagai wilayah pertanian, lokasi ini juga merupakan sentra industri, sehingga memiliki potensi peralihan perubahan penggunaan sawah yang tinggi. Selain itu, kondisi bidang tanah yang sudah 80% terpetakan juga sangat membantu dalam melakukan analisis. 2.2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan analisis spasial untuk melakukan deteksi kesesuaian antara penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan tata ruang. Penentuan kesesuaian tersebut dilakukan dengan melakukan tumpang susun antara peta RTRW dengan peta kerja yang telah dibuat sebelumnya. Peta kerja disusun dengan melakukan penggabungan dan penyesuaian antara bebera data yang sudah tersedia, diantaranya adalah peta unduh KKP, peta pendaftaran dan Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT) untuk wilayah Bulurejo. Data lain yang dikumpulkan berupa data spasial bidang tanah beserta atributnya, berupa data sosek serta data pelengkap lainnya, yang dilakukan melalui survei lapangan maupun digitasi on-screen. Langkah kerja yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan Peta Kerja secara On Screen Penyusunan peta kerja secara on-screen merupakan pekerjaan studio yang bertujuan untuk melakukan identifikasi bidang-bidang tanah secara on-screen, dengan melakukan penggabungan dan penyesuaian antara berbagai sumber data berupa peta pendaftaran, peta unduh KKP dan CSRT, yang digunakan untuk mengidentifikasi bidang-bidang tanah yang belum termuat dalam kedua peta lainnya, serta mengecek kebenaran datanya. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan cara melakukan tumpang tindih antar dua peta, dan mengidentifikasi bidang-bidang tanah yang bersinggungan, saling tumpang tindih, ataupun saling melengkapi, sehingga didapatkan data bidang tanah dalam satu hamparan. Dalam penyusunan peta kerja on-screen ini dilakukan pula identifikasi potensi bidang tanah yang masuk dalam kategori K1 (belum bersertipikat) dan K4 (sudah bersertipikat). Perangkat lunak yang digunakan dalam proses ini adalah AutoCad Map dan ArcMap 3.0. 2. Verifikasi lapangan Verifikasi lapangan dilakukan untuk melakukan pengecekan antara hasil identifikasi on-screen dengan kondisi di lapangan. Kegiatan ini juga dilakukan dengan tujuan untuk melengkapi bidang-bidang tanah yang belum teridentifikasi di peta kerja hasil identifikasi on-screen, serta untuk orientasi medan, delineasi batas administratif (dusun, RT/RW) dan mengidentifikasi obyek-obyek penting yang ada di wilayah kerja tersebut. Verifikasi lapangan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak MapIt guna memudahkan pengumpulan data spasial yang dapat langsung diekspor dalam format digital. 156

Sukmo Pinuji, S.T., M.Sc. OPTIMALISASI PETA KERJA BERBASIS BIDANG 3. Pengumpulan data IP4T UNTUK INSTRUMEN PENGENDALIAN PEMANFAATAN Setelah seluruh data bidang tanah dapat dikumpulkan secara simultan, tahap selanjutnya adalah RUANG MENUJU ONE MAP POLICY pengumpulan data IP4T. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak MapIt dengan menggunakan smartphone berbasis Android. Data yang dikumpulkan berupa status tanah, peruntukan, penggunaan, penguasaan dan pemanfaatannya, serta data sosek lainnya yang mendukung. Data tersebut diolah menggunakan perangkat lunak ArcMap 3.0, dan disusun dalam satu bentangan berdasarkan satuan wilayah administratif RT. 4. Analisis Kesesuaian Data IP4T dengan RTRW Setelah peta kerja berbasis bidang disusun dan memiliki informasi yang sesuai dengan kondisi di lapangan, langkah selanjutnya adalah melakukan tumpang tindih antara peta RTRW wilayah Kecamatan Juwiring dengan peta kerja, dan melakukan identifikasi kesesuaian antara penggunaan eksisting dengan RTRW. Secara garis besar, diagram alir penelitian dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 1. Diagram Alir Penelitian III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Penggunaan Peta Kerja Sebagai Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sub-bab ini membahas mengenai hasil pelaksanaan kegiatan yang akan memberikan gambaran mengenai availabilitas penggunaan peta kerja sebagai instrumen dalam melakukan identifikasi pengendalian pemanfaatan ruang. Untuk dapat mencapai kesimpulan tersebut, maka pembahasan diurutkan berdasarkan langkah kerja yang sudah dilakukan dan hasil yang diperoleh berdasarkan masing-masing tahap pekerjaan. 157

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL 1. Penyusunan Peta Kerja Berbasis Bidang Penyusunan peta kerja berbasis bidang merupakan kegiatan studio yang dilakukan secara on- screen. Dalam kegiatan ini, dilakukan penyesuaian antara peta pendaftaran dan peta unduh KKP untuk wilayah Desa Bulurejo, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten. Kedua peta tersebut diperoleh dari Kantor Pertanahan Kabupaten Klaten. Penyesuaian dilakukan menggunakan perangkat lunak AutoCad Map. Beberapa kesalahan umum yang terjadi saat melakukan penyesuaian diantaranya adalah: A. Bidang tanah yang terpetakan di peta pendaftaran tetapi tidak termuat di peta persil unduh KKP, atau sebaliknya. B. Bidang tanah yang saling bertampalan (terpetakan di peta pendaftaran maupun peta persil unduh KKP) tapi tidak saling bersesuaian (memiliki geometri dan ukuran yang tidak bersesuaian). C. Adanya bidang tanah yang bersebelahan tetapi tidak bersesuaian (tumpang tindih, batas yang tidak sesuai, dan lain sebagainya). D. Adanya bidang tanah yang tidak sesuai dengan kondisi fisik lapangan, dilihat dari geometri dan ukurannya. E. Adanya bidang tanah yang tidak teridentifikasi statusnya, tetapi terpetakan dalam peta pendaftaran. Hasil penyesuaian peta ini adalah bidang tanah yang tergambar dalam satu hamparan, yang telah disesuaikan berdasarkan sumber data masing-masing sehingga saling bersesuaian dan membentuk bidang tanah yang teratur. Prioritas utama dalam melakukan penyesuaian adalah dengan tetap mempertahankan data dari peta persil unduh KKP, dan apabila terjadi ketidak sesuaian dengan data pada peta pendaftaran, maka data persil unduh KKP mendapat prioritas utama, sementara data dari peta pendaftaran menyesuaikan dengan data KKP. Hasil dari penyesuaian data bidang tanah tersebut kemudian diekspor ke dalam format .shp, agar lebih mudah dalam melakukan pengelolaan data atributnya. Gambar 2 menunjukkan bidang-bidang tanah dari peta pendaftaran dan peta unduh KKP sebelum dilakukan penyesuaian. Sumber: Pengolahan Data Primer Gambar 2. Bidang Tanah dari Peta Pendaftaran dan Peta Unduh KKP Sebelum Penyesuaian 158

Sukmo Pinuji, S.T., M.Sc. Sebelum dilakukan penyesuaian, jumlah total bidang tanah yang terdapat dari peta pendaftaran dan peta unduh KKP adalah 1275 bidang, dengan total bidang dari peta pendaftaran sejumlah 515 bidang dan peta unduh KKP sejumlah 577 bidang. 2. Penyesuaian Instrumen Pengumpulan Data IP4T Saat ini, pengumpulan data IP4T yang telah dilakukan lebih diarahkan kepada restrukturisasi P4T maupun perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah sesuai dengan daya dukung dan daya tampungnya. Demikian pula dalam hal penyusunan peta kerja PTSL, bidang-bidang tanah yang diidentifikasi biasanya hanya memuat informasi mengenai status tanah (sertipikat/ belum sertipikat), untuk mengidentifikasi potensi K1, K2, K3 dan K4 sesuai kriteria dalam PTSL. Dalam rangka optimalisasi penggunaan peta kerja, maka data atribut yang dikumpulkan perlu dilakukan penyesuaian, sehingga basis data yang dihasilkan dapat digunakan secara optimal untuk kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam penelitian ini, data atribut yang dikumpulkan disesuaikan berdasarkan kebutuhan tersebut. Beberapa atribut yang tidak relevan dieliminasi dan disederhanakan, sementara data lain yang diperlukan untuk tujuan pengendalian pemanfaatan ruang ditambahkan dalam formulir. Secara garis besar, formulir pengumpulan data P4T digolongkan sebagai berikut: Data terkait subyek tanah Memuat informasi mengenai pemilik tanah serta data atribut penyerta lainnya seperti data sosek (pekerjaan, pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan lain sebagainya). Data terkait obyek tanah Memuat informasi mengenai bidang tanah serta data atribut penyerta lainnya, seperti penggunaan, pemanfaatan, kondisi bangunan, fasilitas yang ada, dan lain sebagainya. Selain untuk mengidentifikasi potensi obyek PTSL serta memperoleh data kondisi eksisting P4T di OPTIMALISASI PETA KERJA BERBASIS BIDANG lapangan, formulir pengumpulan data ini juga disesuaikan sehingga dapat digunakan untuk melakukan UNTUK INSTRUMEN PENGENDALIAN PEMANFAATAN analisis sosial ekonomi berbasis bidang yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan, tidak hanya terbatas pada identifikasi potensi obyek PTSL dan pengendalian pemanfaatan ruang. Beberapa contoh RUANG MENUJU ONE MAP POLICY yang data sosek yang dikumpulkan diantaranya adalah jumlah anggota keluarga, jumlah anak usia sekolah, pendapatan per bulan, kondisi bangunan, kondisi sosial ekonomi pemilik/penguasa tanah, dan lain sebagainya. Secara lebih jelas, formulir P4T yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 1. Agar memudahkan pengelolaan data atribut, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak MapIt yang dioperasikan menggunakan smartphone berbasis android. 3. Verifikasi Lapangan, Pengumpulan Data dan Penyusunan Basis Data Pertanahan Verifikasi lapangan dilakukan untuk melakukan pengecekan data hasil identifikasi on-screen dengan kondisi sesungguhnya di lapangan. Verifikasi lapangan juga dilakukan untuk mengidentifikasi dan melengkapi data bidang-bidang tanah yang belum terpetakan dalam peta pendaftaran maupun persil unduh KKP, namun teridentifikasi dalam CSRT. Dalam tahapan ini juga dilakukan delineasi batas administratif dalam skala dusun dan RT, yang memudahkan untuk melakukan pembagian wilayah kerja berdasarkan satuan administratif yang telah ditentukan. Hasil dari verifikasi lapangan ini adalah peta kerja yang telah terverifikasi, yang memuat seluruh bidang tanah yang ada di desa Bulurejo, yang disajikan secara sistematis. 159

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL Setelah verifikasi lapangan selesai dilakukan, dilakukan pengumpulan data P4T berdasarkan peta kerja yang telah disusun. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak MapIt yang terinstal dalam smartphone berbasis android. Hasil pendataan P4T tersebut kemudian digunakan sebagai input data atribut berbasis bidang yang digunakan sebagai bahan dalam penyusunan basis data pertanahan. Hasil verifikasi lapangan menunjukkan terdapat perbedaan antara data identifikasi on-screen dengan data sesungguhnya di lapangan. Sebelum dilakukan verifikasi lapangan, total jumlah bidang yang teridentifikasi adalah sejumlah 1275 bidang, dan setelah dilakukan verifikasi total jumlah bidang adalah 1852 bidang. Bidang tanah hasil penyesuaian dapat dilihat pada Gambar 3. Sumber: pengolahan data primer Gambar 3. Peta Kerja Hasil Verifikasi dan Pengumpulan Data 4. Hasil Identifikasi Kesesuaian RTRW dengan Kondisi Eksisting Wilayah Setempat Setelah basis data pertanahan tersusun, langkah selanjutnya adalah melakukan identifikasi kesesuaian RTRW dengan kondisi eksisting setempat. Peta kerja yang memuat informasi penggunaan dan pemanfaatan bidang tanah secara lengkap ditumpangsusunkan dengan peta RTRW wilayah Desa Bulurejo, untuk kemudian diidentifikasi penggunaan tanah dalam satuan bidang, apakah telah sesuai dengan RTRW ataukah belum. Gambar 4 menunjukkan peta RTRW wilayah desa Bulurejo, sementara Gambar 5 menunjukkan hasil identifikasi kesesuaian antara RTRW dengan penggunaan lahan eksisting hasil pengumpulan data. 160

Sukmo Pinuji, S.T., M.Sc. OPTIMALISASI PETA KERJA BERBASIS BIDANG UNTUK INSTRUMEN PENGENDALIAN PEMANFAATAN Sumber: Bappeda Kabupaten Klaten. Gambar 4. Peta RTRW Wilayah Bulurejo Tahun 2015 RUANG MENUJU ONE MAP POLICY Sumber: Pengolahan data primer Gambar 5. Hasil Identifikasi Kesesuaian Penggunaan Tanah dengan RTRW Hasil identifikasi menunjukkan terdapat 1623 bidang yang telah sesuai dengan arahan rencana RTRW, sementara 228 bidang lainnya diidentifikasi tidak sesuai. Dari jumlah tersebut, 27 diantaranya adalah wilayah non pertanian yang dalam rencana tata ruang seharusnya adalah wilayah pertanian, sementara 201 diantaranya adalah wilayah yang dalam rencana tata ruang adalah non-pertanian tetapi digunakan sebagai lahan pertanian. Hasil identifikasi awal menunjukkan bahwa ketidak sesuaian lebih banyak terjadi pada bidang-bidang sawah yang terletak di sebelah timur wilayah Bulurejo, dimana arahan tata ruang menunjukkan bahwa wilayah tersebut adalah untuk permukiman, sementara kondisi eksisting menunjukkan penggunaannya sebagai sawah. 161

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL 3.2. Strategi Optimalisasi Penggunaan Peta Kerja Sebagai Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Dari hasil kegiatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peta kerja dapat digunakan untuk berbagai keperluan yang mendukung kegiatan penataan pertanahan dan tata ruang, tidak hanya terbatas pada kegiatan PTSL saja, tetapi juga untuk membantu identifikasi pengendalian pemanfaatan ruang. Agar peta kerja yang disusun dapat digunakan secara optimal untuk berbagai kegiatan, maka perlu dilakukan beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Sebelum melakukan pengumpulan data untuk penyusunan peta kerja, perlu dilakukan identifikasi tujuan disusunnya peta kerja serta penggunaan lainnya yang dimungkinkan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah desain formulir P4T yang akan disusun, sehingga tidak hanya terbatas pada satu tujuan saja, tetapi dapat secara optimal dimanfaatkan untuk tujuan lain. 2. Menyusun desain pengisian formulir yang efisien, sehingga pengumpulan data di lapangan dapat dilakukan secara efektif dan tidak memakan waktu lama. Formulir yang terlalu panjang dan tidak efisien akan cenderung mengurangi kualitas ketelitian saat pengumpulan data. 3. Kuesioner sebisa mungkin didesain dengan pertanyaan tertutup, serta atribut isian untuk pilihan jawaban telah distandarisasi sebelumnya. Hal ini dilakukan supaya memudahkan pengisian data saat dilakukan survei lapangan, serta penyamaan atribut isian yang sesuai standar sehingga lebih mudah dikelola saat akan disusun dalam basis data. 4. Monitoring dan kontrol kualitas hasil perlu didesain dan diterapkan sejak awal, untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan telah sesuai dengan standar dan syarat yang ditentukan. Dalam penelitian ini, kontrol kualitas dilakukan untuk mengecek kelengkapan data atribut hasil pengumpulan data di lapangan, serta kesesuaian pengisian berdasarkan standardan ketentuan yang telah disepakati. 5. Agar dapat dilaksanakan secara optimal, kegiatan ini harus sudah direncanakan sejak tahap awal (tahap perencanaan). Idealnya, penyusunan peta kerja tidak hanya dilakukan untuk mendata potensi obyek pendaftaran tanah/PTSL saja, tetapi juga dibarengi dengan pelaksanaan pengumpulan data P4T, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan seoptimal mungkin. IV. KESIMPULAN Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa peta kerja dapat dioptimalisasi penggunaannya, tidak hanya untuk kepentingan pendataan status bidang terkait PTSL (K1, K2, K3 dan K4), tetapi juga dapat digunakan untuk berbagai tujuan lain, seperti dalam melakukan identifikasi kesesuaian penggunaan tanah dengan arahan RTRW. Meskipun begitu, perlu digaris bawahi bahwa data hasil identifikasi IP4T tersebut hanyalah bersifat data identifikasi awal dalam melakukan monitoring dan pengendalian pemanfaatan ruang, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan dilakukannya optimalisasi penggunaan peta kerja melalui kegiatan IP4T, hal ini dapat meningkatkan fungsi optimalisasi peta kerja, sehingga kegiatan pertanahan dapat dilakukan secara lebih komprehensif dan efisien. Penggunaan peta kerja sebagai basis pelaksanaan berbagai kegiatan pertanahan, baik dalam kegiatan pendaftaran tanah (melalui PTSL), IP4T maupun pengendalian pemanfaatan ruang dan pertanahan, merupakan salah satu jembatan titik temu integrasi antara pertanahan dan tata ruang. Pemanfaatan sumber data yang sama merupakan salah satu wujud dari implementasi kebijakan satu peta 162

Sukmo Pinuji, S.T., M.Sc. OPTIMALISASI PETA KERJA BERBASIS BIDANG (KSP), yang mengedepankan fungsi optimalisasi data yang sudah ada, penggunaan sumber data yang UNTUK INSTRUMEN PENGENDALIAN PEMANFAATAN sama dan terstandarisasi untuk mencapai harmonisasi, serta penggunaan data spasial untuk pengambilan keputusan yang lebih komprehensif. RUANG MENUJU ONE MAP POLICY Lebih jauh lagi, melalui peta kerja yang memuat informasi P4T secara detil dan terperinci, kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan tidak hanya akan terbatas pada identifikasi kesesuaian penggunaan tanah dengan RTRW, tetapi juga dalam konteks lain terkait sosial dan ekonomi, seperti identifikasi ketimpangan pemilikan penguasaan lahan, perancangan program terkait pemberdayaan pertanahan, dan beberapa contoh lainnya. DAFTAR PUSTAKA Davoudi, S., Crawford, J., & Mehmood, A. (2009). Planning for climate change: strategies for mitigation and adaptation for spatial planners. Earthscan. Feeney, M., Rajabifard, A., & Williamson, I. P. (2001). Spatial data infrastructure frameworks to support decision-making for sustainable development. Hasyim, F., Subagio, H., & Darmawan, M. (2016). One map policy (OMP) implementation strategy to accelerate mapping of regional spatial planing (RTRW) in Indonesia. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 37, p. 12054). IOP Publishing. Logan, M. I. (1972). The spatial system and planning strategies in developing countries. Geographical Review, 229–244. Opdam, P., Steingröver, E., & Van Rooij, S. (2006). Ecological networks: a spatial concept for multi-actor planning of sustainable landscapes. Landscape and Urban Planning, 75(3–4), 322–332. Samadhi, N. (2013). Indonesia ONE MAP: assuring better delivery of national development goals. In Geospatial World Forum (pp. 12–13). Wibowo, H. Y. (2019). Implementation of Complete Systematic Land Registration in Order to Modernize Indonesian Land Administration System. In FIG Working Week 2019. Retrieved from http://www.fig. net/resources/proceedings/fig_proceedings/fig2019/papers/ts01j/TS01J_wibowo_9931.pdf Williamson, I., Enemark, S., Wallace, J., & Rajabifard, A. (2010). Land administration for sustainable development. Citeseer. Williamson, I. P. (2001). Land administration “best practice” providing the infrastructure for land policy implementation. Land Use Policy, 18(4), 297–307. 163

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL LAMPIRAN 1. ID : 2. NUB : 3. Nomor Induk Kependudukan : 4. Jenis Pemilikan * : Sendiri/ Bersama 5. Dasar Pemilikan* : Sertipikat/ Pemilikan Adat/ Tidak Ada Bukti 6. Perolehan Tanah* : Waris/ Jual Beli/ Hibah/ Tukar Menukar/ Lainnya 7. Nama Penguasa : 8. Dasar Penguasaan Tanah* : Gadai/ Sewa/ Pinjam Pakai 9. RT : 10. RW : 11. Dusun : 12. Pekerjaan* : Petani/ Petani Penggarap/ Buruh Tani/ Nelayan/ Peternak/ Pegawai Negeri/ Pegawai Swasta/ Tukang/ Bengkel/ Pengrajin/ Pedagang/ Lainnya. 13. Umur : 14. Status Perkawinan* : Menikah/ Tidak Menikah 15. Jumlah KK : 16. Jumlah Anggota Keluarga : 17. Domisili Saat Ini (khusus : pemilik saja) 18. Menempati Tanah Sejak : 19. Kewarganegaraan* : WNI/ WNA 20. Penggunaan Bidang Saat Ini* : Pertanian/ Non Pertanian/ Tidak Digunakan Untuk Penggunaan Pertanian : Sawah/ Tegal/ Kebun Campur/ Tanaman Keras 21. Pemanfaatan Pertanian* 22. Pemanfaatan Pertanian – jenis : tanaman Untuk Penggunaan Non Pertanian 23. Pemanfaatan Non Pertanian* : Tempat Tinggal/ Kantor Pemerintah/ Fasilitas Umum/ Ruang Usaha 24. Pemanfaatan Non Pertanian : Kantor Pemerintah 164

Sukmo Pinuji, S.T., M.Sc. 25. Pemanfaatan Non Pertanian : Fasum Fasos 26. Pemanfaatan Non Pertanian : Kelontong/ Salon/ Rumah Makan/ Bengkel/ Jahit/ Kerajinan Ruang Usaha* Tangan/ Lainnya 27. Pemanfaatan Non Pertanian : Hunian Saja/ Ternak/ Perikanan/ Kebun/ UKM Rumah Tingal* Untuk Penggunaan Tidak Digunakan 28. Pemanfaatan Tidak : Rumah Terlantar/ Kebun Terlantar/ Tanah Kritis Digunakan* 29. Sengketa/ Konflik Pertanahan* : Sengketa/ Konflik/ Perkara/ Tidak Ada 30. NJOP Bumi : 31. NJOP Bangunan : 32. Harga tanah per m2 : 33. Asuransi Kesehatan* : BPJS/ Swasta/ Tidak Punya 34. IMB* : Ada/ Tidak Ada 35. Kondisi Bangunan* : Permanen/ Tidak Permanen 36. Sanitasi* : Ada/ Tidak Ada 37 Listrik * : Meteran Sendiri/ Meteran Bersama/ Tidak Ada 38 Sumber Air Minum * : PDAM/ Sumur/ Tidak Ada 39 Pendidikan Tertinggi Kepala : SD/ SMP/ SMA/ S1/ S2/ S3/ Tidak Sekolah Keluarga* 40 Jumlah Anak Usia Sekolah : OPTIMALISASI PETA KERJA BERBASIS BIDANG UNTUK INSTRUMEN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG MENUJU ONE MAP POLICY 165

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL Center of Academic Development and Quality Assurance National Land College Tata Bumi Street Nr. 5 Banyuraden Gamping Sleman Yogyakarta [email protected] +62858 6622 5125 Sukmo Pinuji 1. PERSONAL INFORMATION Place/date of birth Magelang, 10 April 1982 Gender Female 2. ACADEMIC SPECIFICATION Geographic Information System for spatial planning and spatial analysis Remote sensing for spatial analysis and environmental studies Urban planning dan spatial planning analysis Spatial Data Infrastructure 3. EDUCATION 2013 – 2015 Master of Science (S2), Geo-Information Science, Wageningen University, specification of Geographic Information Science and Remote Sensing. Thesis : “Predicting oil palm land use following deforestation events using available spatial parameters” 2001 – 2007 Bachelor Degree (S1) Geodetic and Geomatic Engineering, specification of Geographic Information System and Cadastral Mapping. Thesis: “Mobile GIS Application for Cadastral Mapping” 4. SOFTWARE SKILL ArcMap 10.1 Spatial analysis and spatial modelling, cartography, geo-tool IDRISI Selva Satellite image processing, classification, spatial modelling & spatial IDRISI Land Change Modeller analysis Spatial analysis and spatial modelling Envi 5.1 Satellite image processing Erdas imagine Satellite image processing R Programming Statistical analysis for satellite image processing and remote sensing Adobe photoshop Graphic design, digital image processing Corel draw Graphic design 166

Sukmo Pinuji, S.T., M.Sc. 5. LANGUAGE SKILL English Speaking, writing, reading Indonesian Speaking, writing, reading 6. WORK EXPERIENCES Lecturer Candidate and Staff in Academic Quality Assurance of National December 2012 – current Land College, Ministry of Agrarian and Land Use Planning April 2008 – December 2012 Researcher of Centre of Research and Development, National Land Agency June 2007 – January 2008 PT. Satu Bumi, data processing of LMPDP Project (Land Management and Policy Development Program) – in collaboration with National Land September 2006 – March 2007 Agency Researcher Assistance of HI – Link Project UGM : “A Collaborative Geospatial Infrastructure : Facilitating Coordination and Groups Work in Disaster Management” 7. RESEARCHES AND PROJECTS OPTIMALISASI PETA KERJA BERBASIS BIDANG “Identification of National Gini Ratio for Agriculture Land in Indonesia” (2018) UNTUK INSTRUMEN PENGENDALIAN PEMANFAATAN Research Description: Identify and calculate gini ratio of agriculture land in Indonesia, using direct survey and spatial RUANG MENUJU ONE MAP POLICY approach, for 16 Province in Indonesia. This research is a collaborative research between National Land Institute and Center of Research and Development, The Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning. “Multipurpose cadastre: parcel-based thematic map and community interest. Case study: Grobogan Regency, Central Java” (2018) Research Description: analyse the implementation of “Sinden Bertapa”, a land information system developed by Kantor Pertanahan Kabupaten Grobogan, built based on participatory mapping. This research was an interdisciplinary research, collaborating between spatial and social aspect. “Economic valuation processes of agricultural land loss as the consequences of spatial planning at district level in Gatak District, Sukoharjo, Central Java” (2016) Research Description: modelling and measuring agricultural land loss in the research area, as well as to count the economic loss as the consequences of detailed spatial planning in district level. “Community empowerment through natural resource conflict prevention in multiethnic community of small island in Indonesia” (2016) Research Description: Modelling and mapping natural resource of small island (Masalembu Island) to simulate the demand and supply of natural resource. 167

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL “Predicting oil palm land use following deforestation events using available spatial parameters” (2015) Research Description: Integrating available spatial parameters to model and to predict the expansion of oil palm in Riau, East Kalimantan and West Kalimantan, and evaluating the impact of cultivation right to the environment. “Towards one map policy in Indonesia: Questioning the gaps between central and local governments on the implementation of SDI in data sharing activities” (2015) Research Description: Analysing the implementation of Spatial Data Infrastructure (SDI) particularly on the institutional collaborative point of view, between local government and central government/vertical agency in supporting the implementation of local SDI. “Time series analysis for flood pattern modelling in Zambesi Delta after the construction of Cahora Bassa Dam using open source datasets” (2014) Project Description: Collaborative project between WWF (World Wide Fund) and Department of Geo-Information Science, Wageningen University, to model the change of flood pattern in Zambesi delta pre and post the construction of Cahora Bassa Dam using time series analysis data “Monitoring vegetation cover change in merbabu – merapi national park after 2010 mt. Merapi eruption” (2014) Research Description: Using Satellite Image (Landsat) and Global Land Cover Data (GLC Data) to analyse and map the impact of Mount Merapi eruption in 2010, using Normalized Vegetation Difference Index (NDVI) differences. “The role of spatial data infrastructure in supporting land administration in Indonesia” (2013) Research Description: Literature study to study the role of Spatial Data Infrastructure in supporting land administration system in Indonesia. “Database for the European Wood Research Project” (2013) Project Description: Building a database system for collaborative research project of forest and vegetation of universities in the Europe. “Land arrangements at state borders in Indonesia” (2012) Research Description: Analyse the implementation of land arrangement and land management in the state borders in Indonesia, and its implications in land administration system in Indonesia. 168

Sukmo Pinuji, S.T., M.Sc. OPTIMALISASI PETA KERJA BERBASIS BIDANG UNTUK INSTRUMEN PENGENDALIAN PEMANFAATAN “Community empowerment of salt farmers in Madura Island” (2012) Research RUANG MENUJU ONE MAP POLICY Description: Collaborative research of National Land Agency and Trunojoyo University, Madura, in optimizing land use and land utilization of salt farm in Madura to support community empowerment and developing community welfare. “Developing villages-based land administration system” (2011) Research Description: Optimizing land administration at village (desa/kelurahan) level to support land registration and certification in Indonesia. “Reviewing Larasita policy to support land administration system and land registration acceleration ” (2010) Research Description: Analyse the implementation of “LARASITA” (direct service of land registration) in supporting the acceleration of land registration system in Indonesia. “Sharecrop on the perspective of distributive land reform” (2010) Research Description: Analysing the implementation of sharecrop system in Indonesia, and the relationship with social justice and land access, in the context of distributive land reform. 8. PUBLICATIONS “Restructurize natural resources conflicts of agricultural commodity through sharecrop system (as alternative discourse)” Seminar proceeding of National Seminar of Agriculture, Trunojoyo University, 20 October 2011. “Agricultural business justice on the perspective of sharecrop system” Seminar proceeding of National Seminar of Agriculture, Gadjah Mada University, 10 September 2012 “Sharecrop arrangement in the perspective of distributive land reform” Jurnal Pertanahan Vol. 3 No. 1, Mei 2013 “Conflict resolution on Madura salt land as effort to increase salt farmers welfare” Seminar Proceeding of International Student Scientific Conference – PPI Wageningen, Oktober 2013 “Integrating social capital of multiethnic community for land arrangement purpose in small island area: case study of Masalembu Island, Kabupaten Sumenep, East Java” Seminar Proceeding of National Seminar of small island arrangement – Centre of Research and Development, Ministry of Agrarian and Land Use Planning, 18 October 2015. “Spatial data infrastructure and land information system” Jurnal Pertanahan Volume 1 Nr. 1, February 2016 “Integrating land information system and spatial data infrastructure to support one map policy” Jurnal Bhumi Volume 2 Nr. 1, May 2016 169

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL KETERSEDIAAN DATA PERTANAHAN DALAM MENDUKUNG PENETAPAN KAWASAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (KP2B) DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) (STUDI KASUS KABUPATEN BADUNG PROVINSI BALI) Achmad Taufiq Hidayat Kanwil BPN Provinsi Bali ABSTRACT In order to realize sovereignty and food security (sustainable food), as mandated by the law No. 41 of 2009 concerning Sustainable Food Agriculture LandProtection (LP2B), it is necessary to immediately accelerate the establishment of Regional Regulations on Sustainable Food Agriculture / Sustainable Food Agriculture Areas (LP2B/KP2B) that is integrated in the Regional Spatial Planning (Province and District / City). At this time, some District / City governments have established the regional regulations, however they are still limited to numeric area without the spatial mapping of location distribution included. The usage of agricultural land, especially rice fields, both technical and non-technical irrigated are very dy- namic and always leads to the principle of the highest and the best use of land. So, with the accretion and population growth as well as the development of physical project results an occurrence of land conversion es- pecially in agricultural land (rice fields) become non-agricultural purposes (residences/ housings, industries, roads, dam, infrastructures, airports, etc.). Therefore, the availability of digitally land data is very much need- ed which presents the Latest Data on Sustainable Food Agriculture, which can be recommended in supporting the establishment of Sustainable Food Agriculture Areas (KP2B) into Regional Spatial Planning (RTRW). Based on BPS Data (2018) Area of Badung Regency is ± 418,52 Km2 with total population of 643.500 people (Density 1.538 People/Km2). Profile of Badung Regency as a buffer zone, requires comprehensive and inte- grated management among stake holders, so that all existing potential can be optimized. In 2019, the Badung Regency land office declared a Complete District in terms of land registration. Until now, of the total number of land parcels of 281,038 fields, the number of fields are 265,473 fields (94.46%) with a certified field area of 392.132 Km² and the number of unregistered plots of land are 3,228 fields with non-certified fieldsarea are 26,388 Km². The land data itself is one of the basic ingredients for the preparation of spatial patterns and spatial struc- tures, so that with the integration of land data into the RTRW, direction of the plan especially the spatial pat- tern can be integrated. This is one of the objectives of this paper. Meanwhile the implementation of “Data Preparation of LP2B” in the Province of Bali especially Badung re- gency was held in 2018 conducted by National Land Agency Regional Office of Bali Province,Badung Regency Land Office together with instances and related agencies. LP2B data is processed and analyzed using 2 (two) variables, namely physical variables (irrigation system, cropping intensity, rainfall, slope, texture and disaster- prone) and control variables (RTRW, Forest Zone, Location Permit/Land Technical Considerations, Strategic Plans and Land Tenure) by using the assessment method, weighting and scoring. From the total rice field area of 9,109 ha and the moor area of 8,889 ha. The results indicate the recommended processing into LP2B / KP2B is an area of 7,944 ha for rice fields and 13 ha to moor or only 44.21% were recommended to be KP2B. 170

Ir. Achmad Taufiq Hidayat, M.Si. KETERSEDIAAN DATA PERTANAHAN DALAM MENDUKUNG PENETAPAN KAWASAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (KP2B) DALAM RENCANA TATA The Badung Regency Government is currently carrying out the process of revising the RTRW of Regency, po- RUANG WILAYAH (RTRW) (STUDI KASUS KABUPATEN BADUNG PROVINSI BALI) litical will and good will from all stake holders both at the Central and Regional levels in the establishment of KP2B into the RTRW of Badung Regency becomes a necessity. Keywords: Land Data, Sustainable Food Agriculture Areas, Regional Spatial Planning I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedaulatan Ketahanan pangan merupakan topik yang selalu mendapat perhatian para pemangku kepentingan (stakeholders) karena pangan merupakan hak dasar masyarakat yang wajib dipenuhi oleh negara. Undang Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), memfokuskan perlindungan terhadap lahan sawah sebagai upaya pemerintah dalam penyediaan pangan utama yaitu beras sebagai makanan pokok rakyat Indonesia. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, meningkat pula kebutuhan akan konsumsi beras, sehingga penyediaan lahan pertanian (sawah) sebagai sarana utama produksi beras perlu mendapat perhatian dan kepastian baik dari sisi luas, lokasi secara spasial maupun produktivitasnya. Data statistik menunjukkan bahwa penduduk Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 260-270 juta jiwa pada tahun 2025, hal ini akan berdampak pada meningkatnya permintaan tanah dalam upaya memenuhi kebutuhan akan hunian/tempat tinggal, industri, jasa dan kebutuhan bahan pangan dan lain- lain, sementara ketersediaan tanah relatif tetap. Peningkatan permintaan tanah tersebut akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan. Sejalan dengan prinsip the highest and the best use of land maka alih fungsi lahan cenderung dari tanah pertanian menjadi non pertanian. Hal ini akan menjadi permasalahan serius jika tanpa ada perencanaan dan pengendalian alih fungsi lahan sawah, di satu sisi kebutuhan akan tempat tinggal dan aktivitas perkotaan (industri dan jasa) akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, begitu juga dengan kebutuhan akan pangan baik dari sisi jumlah dan kualitas. Berdasarkan data Bali dalam angka tahun 2018, dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2017 di Bali telah terjadi penyusutan lahan sawah sebesar ± 3.000 Ha. Hal ini disebabkan meningkatnya perkembangan pembangunan terutama pembangunan fisik menyebabkan banyaknya terjadi alih fungsi tanah, dari tanah pertanian ke non pertanian seperti permukiman, industri, jasa, dan yang lainnya. Hal ini terjadi juga terhadap tanah pertanian lahan basah (sawah) yang juga mengalami penyusutan sebagai akibat perkembangan pembangunan dimaksud. Penyusutan luas penggunaan tanah sawah terutama sawah irigasi teknis menimbulkan kerugian materi yang cukup besar terutama dengan tidak berfungsinya sarana dan prasarana yang dibangun dimasa lalu dan sekaligus juga dapat menyebabkan instabilitas di bidang pangan, selain itu beras merupakan makanan pokok rakyat Indonesia, yang ketersediaannya sangat tergantung pada produksi beras (luas lahan sawah dan produktivitas lahan sawah). Terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi non pertanian beresiko mengurangi produksi beras nasional, sehingga diperlukan kebijakan yang mampu menyeimbangkan alokasi tanah dan ruang untuk mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan yang muncul akibat pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan pusat-pusat pertumbuhan wilayah, salah satunya adalah melalui kebijakan percepatan penetapan peraturan daerah tentang LP2B/KP2B yang terintegrasi dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) atau Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota (RTRW-P/RTRW-K) sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Peraturan 171

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menyebutkan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) yang ditetapkan pada tingkat nasional, menjadi dasar dalam penepatan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan ruang wilayah di Kabupaten Badung didasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013 – 2033. Pemanfaatan ruang diharapkan dapat dimanfaatkan secara serasi, selara, seimbang, berdaya guna, berhasil guna dan berkelanjutan sehingga dapat mewujudkan keterpaduan dan sinergitas pembangunan antar sektor dan antar wilayah di Kabupaten Badung. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung dalam upaya untuk melindungi pertanian di Kabupaten Badung ditetapkan Kawasan Peruntukan Pertanian dengan luas kurang lebih 21.060,89 Ha atau 50,32% dari luas wilayah kabupaten yang terdiri atas Kawasan Budidaya Tanaman Pangan, dan Kawasan Budidaya Pertanian Hortikultura dan Perkebunan. Yang kemudian akan ditindaklanjuti dengan penetapan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), yang kemudian telah dilakukan pemetaan, identifikasi dan analisis potensi LP2B di Kabupaten Badung pada tahun 2018 dan pada tahun 2019 dalam proses untuk diperdakan. Setelah RTRW berjalan 5 tahun dan setelah dilakukan Peninjauan Kembali (PK) dengan mengakomodir dinamika perkembangan dan mengakomodir sebaran Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) diputuskan untuk dilakukan proses revisi RTRW Kabupaten Badung Pada Tahun 2019 yang masih berjalan hingga tulisan ini dibuat. Berdasarkan PP nomor 50 tahun 2011 sebagian wilayah di Kabupaten Badung termasuk salah satu dari 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di provinsi Bali yaitu KSPN Kuta – Sanur – Nusa Dua dan sekitarnya. KSPN merupakan kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata nasional yang memiliki pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan (PP nomor 50, 2011). Dalam KSPN tersebut Kuta dan Nusa Dua merupakan KSPN yang ada di Kabupaten Badung. KSPN Kuta terbagi dalam 3 klaster pengembangan pariwisata yaitu klaster 1 meliputi Cemagi, Munggu, Pererenan, Canggu, Tibubeneng dan Kerobokan yang diarahkan untuk wisata pantai dan penginapan privat dengan tetap menjaga lahan sawah (sebagai view). Klaster 2 meliputi Kerobokan Kelod, Seminyak, Legian dan Kuta yang diarahkan untuk wisata pantai bertaraf internasional yang diikuti dengan fasilitas penunjang pariwisata yang bertaraf internasional. Sedangkan klaster 3 meliputi Tuban dan Kedonganan yang diarahkan untuk pengembangan pariwisata kuliner laut dengan didukung oleh minawisata dan ekowisata mangrove yang terletak di kelurahan Tuban. Hal ini tentunya akan berdampak cukup signifikan dalam perubahan penggunaan lahan terutama perubahan dari pertanian menjadi non pertanian. Sehingga perlunya segera penetapan LP2B yang kemudian dituangkan dalam peraturan daerah dan juga dalam Rencana Tata Ruang Wilayah / Rencana Detail Tata Ruang dimana untuk menjaga sawah / lahan pertanian dari perubahan menjadi lahan terbangun dengan berbagai dukungan dan insentif kepada pemilik dan pengolah lahan sawah/ lahan pertanian tersebut. Data pertanahan adalah data – data yang tersedia di kantor pertanahan yang meluputi data bidang persil tanah dan data tematik pertanahan yang sesuai dengan tugas dan fungsi kantor pertanahan. Data persil tanah merupakan data bidang tanah berdasarkan kepemilikan dan penguasaan tanah baik perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah. Data tematik pertanahan merupakan data peta dengan 172

Ir. Achmad Taufiq Hidayat, M.Si. tema – tema tertentu dalam bidang pertanahan antara lain zona nilai tanah, penggunaan tanah, penguasaan tanah, kemampuan tanah, dan data sawah dan tegalan dan potensi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Data tanah berbasis persil atau bidang tanah memiliki ketelitian yang sangat tinggi yang tentunya dapat diturunkan menjadi informasi dengan tema – tema tertentu tentunya yang sangat membantu sebagai salah satu peta dasar dalam penyusunan arahan pola ruang dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten / Kota. Data penggunaan tanah dan LP2B (penyiapan data LP2B tahun 2018) tentunya akan membantu dalam proses penetapan LP2B yang kemudian dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah di Kabupaten Badung. 1.2. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan dari makalah ini diantaranya adalah 1. Mengkaji ketersediaan data Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) secara spasial dan tekstual di Kabupaten Badung 2. Tindak lanjut data LP2B yang terupdate di Kabupaten Badung yang diakomodir dalam revisi RTRW Kabupaten Badung 3. Keterkaitan data pertanahan berbasis bidang tanah dengan data LP2B di Kabupaten Badung 1.3. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Badung merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bali yang terletak dibagian selatan atau biasa disebut dengan kaki dari pulau bali. Kabupaten Badung memiliki luas 418,52 km² atau sekitar 7,42 % dari seluruh luas pulau Bali dengan panjang pantai sepanjang 64 km yang terletak pada koordinat 08º14’20” - 08º50’48” LS (Lintang Selatan) dan 115º05’00” - 115º26’16” BT (Bujur Timur), dengan batas- batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara : Kabupaten Buleleng Sebelah Timur : Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar Sebelah Selatan : Samudera Hindia Sebelah Barat : Kabupaten Tabanan Kabupaten Badung, satu dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali, secara fisik mempunyai bentuk KETERSEDIAAN DATA PERTANAHAN DALAM MENDUKUNG PENETAPAN unik menyerupai sebilah “keris”, yang merupakan senjata khas masyarakat Bali. Keunikan ini kemudian KAWASAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (KP2B) DALAM RENCANA TATA diangkat menjadi lambang daerah yang merupakan simbol semangat dan jiwa ksatria yang sangat erat RUANG WILAYAH (RTRW) (STUDI KASUS KABUPATEN BADUNG PROVINSI BALI) hubungannya dengan perjalanan historis wilayah ini, yaitu peristiwa “Puputan Badung”. Semangat ini pula yang kemudian melandasi motto Kabupaten Badung yaitu “Cura Dharma Raksaka” yang artinya Kewajiban Pemerintah adalah untuk melindungi kebenaran dan rakyatnya. Kabupaten Badung terdiri dari 6 kecamatan yang dirutkan dari selatan yaitu Kuta Selatan, Kuta, Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal dan Petang yang terbagi menjadi 62 desa/kelurahan (desa dinas) dan 120 desa adat, seperti yang diuraikan pada tabel 1. Tabel 1 : Data Administrasi Kabupaten Badung No. Kecamatan Luas Wilayah (Ha) Ibu Kota Desa Kecamatan Desa/Kel Adat 1 Kuta Selatan 10.113 Jimbaran 69 2 Kuta 1.752 Kuta 56 3 Kuta Utara 3. 386 Kerobokan 68 173

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL 4 Mengwi 8.200 Mengwi 20 38 18 32 5 Abiansemal 6.901 Blakiuh 7 27 6 Petang 11.500 Petang 62 120 Jumlah 41.852 Sumber: Badung Dalam Angka Tahun 2019 Secara morfologi Kabupaten Badung terdiri dari wilayah berbukit di Selatan, datar hingga bergelombang ditengah dan wilayah pegunungan di bagian Utara. Secara fisik pembangunan di Kabupaten Badung secara cepat terjadi wilayah Selatan (Kuta Utara, Kuta, Kuta Selatan) yang dapat dikatakan semakin ke Selatan semakin urban dan semakin ke bagian Utara wilayah Badung secara fisik lahan terbangun berkurang sehingga dapat dikatakan semakin ke Utara (Mengwi, Abiansemal, Petang) kabupaten Badung semakin rural. Wilayah Selatan memiliki perkembangan pariwisata yang pesat dan sudah dikenal oleh wisatawan dalam negeri atau mancanegara salah satunya Kawasan Kuta dan Nusa Dua. Sedangkan untuk wilayah Utara lebih didominasi oleh pertanian (sistem subak) dan hutan rakyat. Ibukota Kabupaten Badung berada pada Kawasan Perkotaan Mangupura yang telatak di Kecamatan Mengwi. Berdasarkan Perda No. 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung 2013 – 2033, strategi pengembangan wilayah Kabupaten Badung dibagi menjadi 3 wilayah pengembangan (WP) yaitu WP Badung Utara yang mencakup keseluruhan wilayah Kecamatan Petang, Wilayah WP Badung Tengah yang mencakup Kecamatan Abiansemal, sebagian wilayah Kecamatan Mengwi, sebagian wilayah Kecamatan Kuta Utara, dan wilayah pengembangan Badung Selatan yang mencakup sebagian wilayah Kecamatan Mengwi, sebagian wilayah Kecamatan Kuta Utara, seluruh wilayah Kecamatan Kuta dan seluruh wilayah Kecamatan Kuta Selatan. Wilayah Badung Utara memiliki fungsi utama konservasi dan pertanian terintegrasi, wilayah Badung Tengah memiliki fungsi utama pertanian berkelanjutan, Ibukota Kabupaten dan pusat pelayanan umum skala regional, sedangkan wilayah Badung Selatan memiliki fungsi utama kepariwisataan. Kabupaten Badung merupakan daerah terpadat kedua di Provinsi Bali, memiliki jumlah penduduk 656,90 ribu jiwa pada tahun 2018 penduduk tersebar secara tidak merata diseluruh kecamatan di Kabupaten Badung. jumlah penduduk paling banyak berada di Kecamatan Kuta selatan sebanyak 164,78 ribu jiwa atau sekitar 25,08 persen dari total penduduk di Kabupaten Badung. Sementara penduduk paling sedikit terdapat di Kecamatan Petang yaitu hanya 25,76 ribu jiwa atau sekitar 3,92 persen dari total penduduk Kabupaten Badung. Tabel 2 : Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Badung NO. KECAMATAN JUMLAH PENDUDUK (RIBU) LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK/TAHUN 1 Kuta Selatan 2 Kuta 2001 2010 2018 2000-2010 2010-2018 48,57 115,92 164,78 9,13 4,49 48,70 86,48 107,66 5,94 2,78 174

Ir. Achmad Taufiq Hidayat, M.Si. 3 Kuta Utara 53,04 103,72 134,73 6,97 3,32 122,83 131,93 2,46 0,90 4 Mengwi 96,40 1,79 0,54 88,14 92,04 0,36 -0,23 5 Abiansemal 73,84 26,24 25,76 4,64 2,40 543,33 656,90 6 Petang 25,31 JUMLAH 345,56 Sumber: Badung Dalam Angka, 2019 Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Badung mengalami penurunan jika dibandingkan tahun KETERSEDIAAN DATA PERTANAHAN DALAM MENDUKUNG PENETAPAN 2000 – 2010 dan tahun 2010 - 2018 yaitu 4,64 pada rentang waktu tahun 2000 – 2010 dan 2,40 pada rentang KAWASAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (KP2B) DALAM RENCANA TATA waktu 2010 – 2018. Walaupun memiliki laju yang lebih rendah akan tetapi tetap terjadi peningkatan jumlah RUANG WILAYAH (RTRW) (STUDI KASUS KABUPATEN BADUNG PROVINSI BALI) penduduk yang cukup signifikan. Sebagai salah satu tujuan migran di Provinsi Bali, rata – rata kepadatan penduduk di Kabupaten Badung cukup tinggi yaitu 1.570 jiwa/km², dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi terjadi di Kecamatan Kuta yaitu mencapai 6.145 jiwa/km². sementara kepadatan penduduk terendah terjadi di Kecamatan Petang yang hanya mencapai 0,224 jiwa/km². kepadatan penduduk dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi dan keamanan di masing – masing wilayah. Sektor kepariwisataan menjadi faktor terjadinya urbanisasi di Kabupaten Badung. Dengan potensi alam dan budaya yang ada di kabupaten membuat perkembangan pariwisata berkembang sangat pesat. Terdapat banyak obyek wisata baik alami atau budaya yang dapat dinikmati oleh wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2016 tercatat sebanyak 4.729.254 wisatawan yang berasal dari beberapa negara antara lain China, Asutralia, Jepang, India, Amerika dan sebagainya. Sektor kepariwisataan merupakan tulang punggung Kabupaten Badung dimana pada tahun 2018 sektor ini menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) mencapai 3,8 triliun (BPS, 2019) yaitu melalui pajak retribusi hotel dan rumah makan. Sektor kepariwisataan di Kabupaten Badung merupakan yang paling pesat perkembangannya di Provinsi Bali dan merupakan sektor basis di Kabupaten Badung. Kepariwisataan menurut PP nomor 50 Tahun 2011 merupakan keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah daerah dan pengusaha. Dunia kepariwisataan di Badung tidak lepas dari peran pemerintah, swasta dan masyarakat dimana tiap pihak tersebut memiliki fungsi masing – masing. II. METODE 2.1. Metodologi Kuantitatif Data hasil pengolahan kegiatan lapang dilaksanakan oleh Tim LP2B Kabupaten Kota se Provinsi Bali yang selajutnya diolah dan dianalisa menggunakan 2 ( dua ) variabel yaitu variabel fisik dan variabel kontrol dengan menggunakan metode penilaian, pembobotan, dan skoring. Variabel fisik didasarkan pada 6 (enam) variabel umum yang berpengaruh terhadap penyiapan data LP2B yaitu sistem irigasi, intensitas tanam, curah hujan, lereng, tekstur, dan rawan bencana. Variabel kontrol terdiri dari 5 (lima) jenis variabel yaitu RTRW, kawasan hutan, perizinan/PTP, rencana strategis, dan penguasaan . Variabel sistem irigasi diberi bobot 30% dan intensitas tanam diberi bobot 25 %, dengan pertimbangan bahwa variabel tersebut dianggap paling berpengaruh terhadap kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lereng diberi bobot 15 %, curah hujan, tekstur tanah dan rawan bencana masing-masing diberi bobot 175


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook