Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore PROSIDING FI 2019

PROSIDING FI 2019

Published by perpustakaanpublikasi, 2020-05-11 04:06:30

Description: PROSIDING FI 2019

Keywords: Prosiding

Search

Read the Text Version

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL Gambar 1. Alur Kerja Aplikasi Pertanahan Mapaccing Penyampaian syarat permohonan layanan pertanahan, perolehan konfirmasi mengenai ketersediaan data, bukti pendaftaran pemohon, penerimaan kode bayar, pembayaran biaya layanan, hingga proses pemberian informasi pertanahan dilaksanakan secara elektronik melalui aplikasi Mapaccing. Pada proses pemberian informasi, selain diberikan secara elektronik, juga diberikan secara manual pada saat melakukan kegiatan layanan berikutnya melalui proses pemberian tanda pada buku tanah dan sertipikat tanah. Kantor Pertanahan Kabupaten Mamuju dapat dikatakan cukup pro-aktif menjalankan substansi Peraturan Menteri ATR/BPN No. 5 tahun 2017 dalam kegiatan pengecekan. Usaha untuk melayani PPAT agar tidak bolak- balik ke Kantor Pertanahan dan perlahan mengoreksi data pertanahan yang ada merupakan keuntungan bersama yang terwujud melalui layanan online. Kategori kedua terdiri dari Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara, Administrasi Jakarta Barat, Surabaya I, Banjarmasin, Bandung, dan Pekanbaru. Pada kategori kedua, pemberian layanan belum secara keseluruhan dilaksanakan secara elektronik, walaupun Kantah tersebut sudah ditunjuk sebagai pelaksana pilot project layanan informasi pertanahan terintegrasi secara elektronik. Pemohon mengakses aplikasi layanan online yang bernama PPAT online. Penyampaian syarat permohonan layanan pertanahan, perolehan konfirmasi mengenai ketersediaan data, hingga bukti pendaftaran pemohon sementara didapatkan secara elektronik. Penerimaan kode bayar didapatkan secara manual di loket Kantor Pertanahan, setelah petugas front office mendapat kode pembayaran dari aplikasi KKP. Pembayaran biaya layanan dapat dilakukan secara elektronik pada bank yang telah ditunjuk, berdasarkan Surat perintah Setor (SPS) yang diterbitkan oleh aplikasi KKP. Proses pemberian informasi pertanahan masih dilaksanakan secara manual di loket Kantah, setelah PPAT menyerahkan berkas terutama sertipikat aslinya. Belum elektroniknya keseluruhan proses layanan informasi pertanahan –pengecekan- dikarenakan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 5 tahun 2017 belum menghapus ketentuan sebelumnya. Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun 1997 menjelaskan bahwa pengecekan merupakan “pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli” Produk dari kegiatan yang disebut Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun 1997 lebih 26

Septina Marryanti Prihatin, S.Si., M.Si. dan Arsan Nurrokhman, S.Si. KESIAPAN DATA PERTANAHAN MENUJU PELAYANAN ELEKTRONIK spesifik. Pada Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 5 Tahun 2017 hanya menyebut secara umum sebagai “Hasil Layanan Informasi Pertanahan secara Elektronik”. Penyebutan secara umum tersebut bisa dipahami untuk mengakomodir semua bentuk layanan informasi pertanahan selain pengecekan tanah, namun menjadi kurang jelas saat ada aturan lain yang lebih spesifik mengaturnya. PERATURAN MENTERI AGRARIA NOMOR 3 TAHUN 1997 Pasal 97 (3) Apabila sertipikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan, maka Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk membubuhkan cap atau tulisan dengan kalimat: “Telah diperiksa dan sesuai dengan daftar di Kantor Pertanahan” pada halaman perubahan sertipikat asli kemudian diparaf dan diberi tanggal pengecekan. (4) Pada halaman perubahan buku tanah yang bersangkutan dibubuhkan cap atau tulisan dengan kalimat: “PPAT …(nama PPAT ybs)…. telah minta pengecekan sertipikat” kemudian diparaf dan diberi tanggal pengecekan. (5) Apabila sertipikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan, maka diambil tindakan sebagai berikut: a. apabila sertipikat tersebut bukan dokumen yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, maka pada sampul dan semua halaman sertipikat tersebut dibubuhkan cap atau tulisan dengan kalimat : “Sertipikat ini tidak diterbitkan oleh Kantor Pertanahan …………...........”. kemudian diparaf. PERATURAN MENTERI ATR/BPN NOMOR 5 TAHUN 2017 Pasal 10 3) Hasil Layanan Informasi Pertanahan secara Elektronik hanya dapat digunakan untuk kepentingan pemohon dan sesuai dengan tujuan penggunaannya, serta tidak digunakan untuk kepentingan lainnya. (4) Kantor Pertanahan bertanggung jawab atas informasi yang tercantum dalam hasil informasi pertanahan secara elektronik. (5) Dalam hal terdapat ketidaksesuaian hasil Layanan Informasi Pertanahan secara Elektronik dengan Sertipikat Hak atas Tanah maka pemohon dapat meminta klarifikasi secara elektronik atau menghubungi Kantor Pertanahan setempat dengan membawa bukti pendaftaran permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan persyaratan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setelah Peraturan Menteri ATR/BPN No. 5 tahun 2017 sudah terbit, tidak ada ketentuan bahwa Peraturan Menteri Agraria No. 3/1997 tersebut sudah tidak berlaku (sebagian atau keseluruhannya), sehingga menjadikan adanya keambiguan dalam pelaksanaannya. Pemikiran yang berlaku di masyarakat adalah hal yang berharga dari sertipikat tidak saja informasi yang terdapat di dalamnya, namun sertifikat secara fisik masih menjadi barang berharga. Hal ini menjadikan layanan pengecekan secara online masih berat untuk dilakukan oleh karena bukti fisik sertifikat masih dibutuhkan pada saat proses layanan informasi pertanahan. Kategori ketiga terdiri dari Kantor Pertanahan Kabupaten Bangkalan, Garut, Rokan Hulu, Hulu Sungai Selatan, Maluku Tengah, Mamuju Tengah dan Kota Ambon. Pada kategori ketiga, pemberian layanan belum dilaksanakan secara elektronik, dan Kantah tersebut juga belum ditunjuk sebagai pelaksana pilot project layanan informasi pertanahan terintegrasi secara elektronik. Hal ini dikarenakan jumlah permohonan 27

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL masih sedikit sehingga lebih efisien jika PPAT melakukan permohonan dengan langsung datang ke Kantor Pertanahan. 4.2. Proses Implementasi Layanan Informasi Pertanahan Secara Elektronik Sosialisasi mengenai layanan informasi pertanahan secara elektronik tidak dilakukan secara menyeluruh oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Banyak Kantor Wilayah (Kanwil) dan Kantor Pertanahan (Kantah) yang belum mengetahui adanya peraturan tersebut. Salah satu informan menyatakan bahwa “sosialisasi masih pada level pimpinan, belum sampai pada level menengah hingga pelaksana”. Dari aspek kejelasan, Permen tersebut masih belum dipahami dengan baik. Bagaimana pelaksanaannya, bagaimana pencatatan di buku tanah dan sertipikat, serta bagaimana dengan pendeteksian sertipikat palsu, masih menjadi pertanyaan yang sering diajukan oleh informan yang diwawancarai. Meskipun masih belum ada kesamaan informasi, Kementerian ATR/BPN meluncurkan layanan pertanahan Hak Tanggungan Elektronik (HT-el) di Hotel Shangri La, Jakarta pada tanggal 4 September 2019. Tujuannya menurut Bagian Hubungan Masyarakat Kementerian ATR/BPN, yaitu untuk memudahkan pengurusan pertanahan sehingga cita-cita untuk meningkatkan Peringkat Kemudahan Berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) di Indonesia dapat terpenuhi. Sebanyak 42 Kantor Pertanahan di Seluruh Indonesia ditunjuk sebagai Lokasi Pilot Project Layanan Informasi Pertanahan secara Elektronik. Layanan pertanahan yang terintegrasi secara elektronik terdiri dari Layanan Elektronik Hak Tanggungan/HT-el (Pendaftaran Hak Tanggungan, Roya, Cassie, Subrogasi). Layanan Elektronik Informasi Pertanahan, Zona Nilai Tanah (ZNT), Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dan Pengecekan serta Modernisasi Layanan Permohonan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah. Pegawai di Kantor Pertanahan pada umumnya tidak ada yang disiapkan khusus untuk mendukung implementasi Permen tersebut. Kantor Pertanahan mengoptimalkan pegawai yang ada untuk melakukan persiapan layanan secara elektronik. Persiapan yang dilakukan menuju pelayanan online dapat dimulai dengan melakukan validasi data pertanahan yang terdapat di Kantah. Pengaturan anggaran dapat diusulkan oleh Kantah, namun memerlukan persetujuan dari Biro Perencanaan. Inovasi dalam hal pelaksanaan program masih belum dapat diwujudkan, oleh karena keterbatasan perlindungan BPN berkenaan dengan keamanan sertipikat. Fasilitas pendukung implementasi Permen juga belum disediakan alokasi anggarannya. Kantah mendayagunakan fasilitas yang ada untuk memperbaiki data pertanahan. Meskipun kemudian ada bantuan dari pusat berupa alat scanner sebanyak 2 di tiap Kantah untuk membantu proses digitalisasi. Komitmen pelaksana Layanan Informasi Pertanahan Secara Elektronik ini cukup baik, terlihat dari kuatnya kemauan pengambil kebijakan hingga pelaksana kebijakan. Namun kemauan dari pegawai dalam melaksanakan tergantung dari adanya peraturan yang melindungi pekerjaan mereka secara hukum, sehingga perangkat hukum mengenai layanan pertanahan perlu dikaji kembali. Koordinasi dalam bentuk laporan hasil monitoring dan evaluasi berjenjang menjadi sarana dalam proses koordinasi pelaksaan program layanan elektronik. Dalam rangka implementasi layanan informasi pertanahan secara elektronik dibentuk Tim Implementasi Layanan Pertanahan Secara Elektronik Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yang dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan pertanahan Nasional Nomor 451/KEP-100.8.2/VII/2018. 28

Septina Marryanti Prihatin, S.Si., M.Si. dan Arsan Nurrokhman, S.Si. Tim tersebut bertugas untuk memastikan bahwa kebijakan layanan elektronik dapat diterapkan dengan KESIAPAN DATA PERTANAHAN MENUJU baik di lapangan, namun belum berjalan dengan lancar. PELAYANAN ELEKTRONIK 4.3. Kesiapan Data Pertanahan Menuju Pelayanan Online/Elektronik Kementerian ATR/BPN melalui penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) mulai melakukan perubahan, sehingga pelayanan publik diharapkan semakin optimal, efektif dan efisien. Sumber data dan kelengkapan data yang diubah menjadi informasi digital perlu disiapkan sebaik mungkin agar tetap terjaga keaslian dan kerahasiaannya. Penyelenggaraan ini menjadi tantangan bagi Kantor Pertahanan dalam rangka mewujudkan pelayanan publik berbasis digital. Dalam ruang lingkup Pelayanan Pengecekan Hak Atas Tanah, beberapa kondisi data yang diperlukan untuk dilengkapi adalah Buku Tanah yang sudah dialih media digital dalam bentuk tekstual, Buku Tanah yang sudah dialih media digital dalam bentuk raster, kualitas tanah pertanahan baik (KW 1 dan 2), serta Buku Tanah yang sudah Valid. Rata-rata kelengkapan data digital di lokasi sampel adalah sebesar 58,15%. Tabel 2 : Kondisi Data Kantor Pertanahan Buku Buku Kualitas Buku Tanah Rata-rata Tanah Tanah Data Baik Digital Sudah Kelengkapan No. Kabupaten/Kota Digital Digital KW 1 dan Validasi Data Digital Tekstual Raster 2 (%) (%) 1 Kota Adm. Jakarta Utara 79,31 2 Kota Adm. Jakarta Barat (%) (%) 74,50 3 Kota Surabaya I 100,00 88,77 4 Kab. Bangkalan 39,51 98,63 79,10 50,05 5 Kota Bandung 97,87 72,48 6 Kab. Garut 100,00 23,21 94,43 82,49 55,26 7 Kota Banjarmasin 56,40 8 Kab. Hulu Sungai Selatan 99,91 75,00 85,50 94,57 51,91 9 Kota Pekanbaru 100,00 52,14 10 Kab. Rokan Hulu 100,00 0,00 76,87 23,42 53,12 11 Kota Ambon 49,75 12 Kab. Maluku Tengah 99,21 0,00 98,26 91,65 49,92 13 Kab. Mamuju 98,92 42,89 14 Kab. Mamuju Tengah 100,00 0,00 85,94 35,12 37,63 100,00 58,15 Rata-rata 90,36 0,00 67,47 58,92 100,00 100,00 0,00 72,35 36,37 100,00 99,02 0,00 76,62 31,94 27,27 57,22 27,99 8,42 59,05 41,19 0,00 52,28 47,39 5,39 47,79 18,37 0,00 35,30 15,23 12,77 71,98 48,84 Buku Tanah yang sudah dialih media dalam bentuk digital dapat dilihat pada Tabel 2. Bentuk digital dapat dibedakan secara tekstual dan raster. Secara tekstual, buku tanah terekam dalam aplikasi Komputerisasi Kantor Pertanahan (KKP), sedangkan secara raster, buku tanah tersebut dipindai dengan bantuan alat scanner untuk menyalin gambar Buku Tanah yang kemudian disimpan ke dalam memori komputer. Buku tanah yang sudah dialih media secara tekstual sudah terwujud rata-rata sebesar 99,02 %, sedangkan Buku Tanah yang sudah dialih media secara raster terwujud rata-rata sebesar 12,77% di lokasi sampel. Buku Tanah digital dalam bentuk raster belum sepenuhnya dimiliki oleh Kantor Pertanahan. Buku tanah sudah direncanakan sepenuhnya menjadi data yang terdokumen secara elektronik. Dengan memindahkan data buku tanah menjadi dokumen elektronik, maka diharapkan dapat lebih mudah dalam 29

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL proses pencarian data pertanahan. Buku tanah yang ada dilakukan proses scanning, dan disimpan dalam bentuk file pdf. Kualitas data pertanahan di lokasi sampel rata-rata sebesar 71,98% di lokasi sampel. Kualitas data baik tertinggi terdapat di Kota Adm. Jakarta Utara (98,63%), Kota Bandung (98,26%) dan Kota Adm. Jakarta Barat (94,43%), sedangkan terendah terdapat di Kabupaten Mamuju Tengah (35,30%), Kabupaten Mamuju (47,79%), dan Kabupaten Maluku Tengah (52,28%). Kualitas Kantor Pertanahan yang berada di atas rata-rata sebesar 57,14% (8 kabupaten), sebagian besar berada di Pulau Jawa dan merupakan Kantor Pertanahan dengan volume pekerjaan yang tinggi. Hal ini didukung dengan sumber daya manusia yang terampil dan terlatih dengan baik, administrasi pertanahan yang cenderung lebih rapi, serta kondisi infrastruktur yang lebih baik. Kondisi tersebut berbanding lurus dengan kualitas pekerjaan dan kondisi data pertanahan yang juga lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi di luar Pulau Jawa. Peningkatan kualitas data pertanahan perlu didukung dengan sumber daya manusia pertanahan yang baik, infrastruktur pertanahan yang memadai, serta penguatan peraturan terkait administrasi pertanahan. Proses validasi dilakukan dengan menyesuaikan apakah data-data pada buku tanah sudah termuat di dalam aplikasi Komputerisasi Kantor Pertanahan (KKP). Jumlah buku tanah yang sudah tervalidasi secara tekstual di lokasi sampel penelitian rata-rata sebesar 48,84% dari Buku Tanah yang ada. Validasi tertinggi terdapat di Kantor Pertanahan Kota Surabaya I (94,57%), Kota Bandung (91,65%) dan Kota Adm.Jakarta Barat (82,49%). Validasi terendah terdapat di Kantor Pertanahan Kabupaten Mamuju Tengah (15,23%), Kab. Mamuju (18,37%), dan Kab. Bangkalan (23,42). Rendahnya validasi di Kantah tersebut dikarenakan keterbatasan anggaran dan SDM yang menjadi pelaksana validasi. Validasi dilakukan secara pasif jika terjadi proses layanan pertanahan saja, jika tidak maka Buku Tanah tidak divalidasi secara tekstual. Oleh karena itu, di beberapa lokasi yang tinggi nilai validasinya menggunakan pihak ketiga dalam proses validasi tekstual Buku Tanah. 4.4. Akurasi Data Digital Akurasi data digital di Kantor Pertanahan dapat dilihat secara tekstual dan spasial, dimana keduanya memuat data dari Buku Tanah dan Surat Ukur Spasial. Data tersebut tersimpan secara digital dalam aplikasi KKP. Secara tekstual, akan dilihat apakah sepenuhnya data yang terdapat di Buku Tanah sudah termuat di aplikasi KKP. Secara spasial, akan dilihat seberapa besar data spasial yang tumpang tindih. Lokasi sampel dipilih 2 (dua) kelurahan/desa yang mewakili kelurahan dengan jumlah data pertanahan dengan KW1 tinggi dan rendah di setiap Kantor Pertanahan. Akurasi data pertanahan digital di lokasi sampel penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut. Alih media buku tanah ke media digital secara tekstual memuat semua data-data yang terdapat di dalam Buku Tanah. Semakin sesuai antara data yang terdapat di buku tanah dan aplikasi KKP, maka semakin akurat data pertanahan digital. Komponen data yang diamati kesesuaian dalam buku tanah dan dalam aplikasi KKP adalah mengenai nomor hak, tanggal berakhir hak (untuk HGB), nomor seri, penulisan DI 307, penulisan DI 208, asal hak, SK Asal Hak, Penunjuk, NIB, Luas Tanah, Nomor Surat Ukur, Nama Pemilik Pertama, Tempat Tanggal Lahir Pemilik Pertama, Tanggal Pembukuan, Nama Pembukuan, dan Jabatan Pembukuan. Masing-masing dari komponen tersebut dinilai kesesuaiannya antara yang tetulis di buku tanah dan yang tercatat di KKP. 30

Septina Marryanti Prihatin, S.Si., M.Si. dan Arsan Nurrokhman, S.Si. Gambar 2. Grafik Akurasi Data Tekstual di Lokasi Sampel Penelitian KESIAPAN DATA PERTANAHAN MENUJU PELAYANAN ELEKTRONIK Gambar 2 memperlihatkan akurasi data digital tekstual di masing-masing lokasi sampel. Pada grafik tersebut terlihat bahwa buku tanah yang sudah dinyatakan valid di KKP masih terdapat ketidaksesuaian dengan fisik yang tercetak. Rata-rata kesesuaian informasi data digital di lokasi sampel adalah 75,02% (Tabel 3). Kesuaian informasi tertinggi antara Buku Tanah dengan KKP adalah Nomor Hak (99,88%). Kesesuaian informasi tinggi berikutnya adalah Nomor Surat Ukur (97,02%), dan Luas Tanah (96,57%). Informasi tersebut menjadi prioritas kesesuaian di lokasi sampel. Kesesuaian informasi terendah adalah Penunjuk (42,50%), Tanggal Berakhir Hak untuk Hak Guna Bangunan (37,66%), dan Asal SK Hak (33,97%). Informasi Penunjuk seringkali tidak dimasukkan ke dalam KKP, kalaupun ada, isian mengenai informasi yang dijadikan Penunjuk dalam penerbitan sertipikat tidak seragam. Informasi mengenai tanggal berakhir hak untuk Hak Guna Bangunan banyak yang tidak dimasukkan ke dalam KKP. Penulisan informasi asal SK Hak biasanya berupa Surat Keputusan atau surat dari pemohon, seringkali juga tidak menjadi perhatian dalam pencatatan di KKP. Tabel 3 : Kesesuaian Informasi Buku Tanah Digital Tekstual di Lokasi Sampel No. Informasi Buku Tanah Rata-rata Persentase 1 Nomor Hak Kesesuaian (%) 2 Tanggal Berakhir (untuk Hak Guna Bangunan) 3 Nomor Seri 99,88 4 Penulisan DI 307 37,66 5 Penulisan DI 208 70,33 6 SK Hak 79,28 7 Asal SK Hak 90,02 8 Penunjuk 80,33 9 NIB 33,97 10 Luas Tanah 42,50 11 Nomor Surat Ukur 82,63 12 Nama Pemilik Pertama 96,57 97,02 88,81 31

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL No. Informasi Buku Tanah Rata-rata Persentase 13 Tempat Tanggal Lahir Pemilik Pertama Kesesuaian (%) 14 Tanggal Pembukuan dan Pensertipikatan 15 Nama Pembukuan dan Pensertipikatan 76,81 16 Jabatan Pembukuan dan Pensertipikatan 87,22 63,29 Rata-rata 76,43 75,02 Sumber : Olah Data Kuantitatif, 2019 Akurasi data pertanahan digital secara spasial dilihat dari kelayakannya sebagai suatu database spasial dan data publik. Indikator yang digunakan adalah tidak tumpang tindih antar bidang dan penggambaran peta yang tidak melenceng dari lokasinya. Penentuan pergeseran berdasarkan tidak dilakukan mengingat data acuan (foto udara atau citra) yang memiliki koordinat sesuai ketentuan dari Badan Informasi Geospasial (BIG) tidak tersedia dan tidak semua desa sudah memiliki batas desa yang valid, maka indikator penentuan kualitas lebih kepada pengecekan bidang yang saling tumpang tindih. Akurasi data spasial dalam penelitian ini dilakukan dengan mengukur persil yang tidak tumpang tindih dengan bidang sekitar. Tabel 4 : Akurasi Data Spasial di Lokasi Sampel Penelitian Akurasi Kabupaten/Kota Akurasi Data No. Provinsi Data Spasial Spasial (%) (%) 91,68 88,96 1 DKI Jakarta Kota Adm. Jakarta Utara 87,21 90,32 87,19 94,36 Kota Adm. Jakarta Barat 97,76 93,24 2 Jawa Timur Kota Surabaya 1 93,96 87,20 69,78 96,93 Kabupaten Bangkalan 71,70 93,34 3 Jawa Barat Kota Bandung 93,32 96,06 94,23 89,55 Kabupaten Garut 4 Kalimantan Kota Banjarmasin Selatan 93,60 Kabupaten Hulu Sungai Selatan 5 Riau Kota Pekanbaru 83,36 Kabupaten Rokan Hulu 6 Maluku Kota Ambon 82,52 Kabupaten Maluku Tengah 7 Sulawesi Barat Kabupaten Mamuju 93,77 Kabupaten Mamuju Tengah Rata-rata Akurasi Data Spasial Sumber : Olah Data Spasial, 2019 Tabel 4 memperlihatkan bahwa akurasi data spasial rata-rata sebesar 89,55%, yang berarti bahwa tumpang tindih bidang yang terdapat di lokasi sampel sebesar 10,45%. Akurasi terbesar terdapat di terdapat di Provinsi Jawa Barat (96,06%), dengan rincian akurasi di Kota Bandung sebesar 94,36% dan di Kabupaten Garut sebesar 97,76%. Rata-rata akurasi terkecil terdapat di Provinsi Maluku (82,25%) dan di Provinsi Riau (83,36%). Masih terdapatnya bidang tanah yang tumpang tindih memerlukan perbaikan peta bidang tanah dan pemetaan. 32

Septina Marryanti Prihatin, S.Si., M.Si. dan Arsan Nurrokhman, S.Si. KESIAPAN DATA PERTANAHAN MENUJU PELAYANAN ELEKTRONIK Temuan masalah yang terkait validasi spasial di Kabupaten Rokan Hulu dan Kab. Mamuju Tengah adalah banyaknya bidang tanah di wilayah transmigrasi yang sulit divalidasi secara spasial. Kesulitan tersebut disebabkan karena ketidaksesuaian antara sertipikat yang dipegang masyarakat dengan tanah yang mereka kuasai. Baik letak maupun bentuknya berbeda dengan peta pendaftaran yang dimiliki Kantor Pertanahan. Kondisi tersebut hampir menyeluruh terjadi di wilayah pertanian, sehingga memerlukan perbaikan mendasar. 4.5. Strategi Penyiapan Data Pertanahan Menuju Layanan Secara Online 1. Penguatan Peraturan Aplikasi Layanan Pertanahan Permasalahan utama bukan pada kapasitas untuk membuat aplikasi, tetapi pada peraturan yang akan diterjemahkan dalam aplikasi sekaligus payung hukum aplikasi layanan pertanahan. Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 5 Tahun 2017 belum menghapus ketentuan di Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 mengenai prosedur layanan pengecekan, sehingga hasil layanan informasi pertanahan belum sepenuhnya elektronik. 2. Perubahan Pola Pikir Pegawai Belajar dari Kantor Pertanahan yang sudah berani melakukan inovasi pengecekan secara elektronik, kondisi data ternyata bukan jadi penghalang untuk memulai melakukan pelayanan dengan benar- benar online, baik proses maupun hasilnya. Kerumitan seringkali muncul karena hendak melakukan pelayanan online, dengan pola pikir yang masih offline. 3. Perbaikan Kualitas Data menuju Pelayanan Elektronik Strategi yang banyak dilakukan di level Kantor Pertanahan baru sebatas menjalankan tugas dan fungsi masing-masing. Mayoritas bersifat pasif menunggu arahan dan fasilitas dari pusat/kementerian. Alasan yang sering terlontar adalah kesibukan program strategis dan pelayanan rutin yang banyak menyita waktu, walaupun ada juga beberapa Kantor Pertanahan yang memanfaatkan tenaga magang dan pegawai tidak tetap untuk memperbaiki kualitas data di KKP, memvalidasi, melakukan scanning buku tanah dan warkah. Dalam rangka keberhasilan program, perlu disosialisasikan dengan lebih masif mengenai pelaksanaan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 5 Tahun 2017 dan timeline Kementerian ATR/BPN menuju digital dan elektronik. Petunjuk Teknis (Juknis) mengenai format kualitas data tekstual dan spasial serta cara pencapaiannya perlu dibuat, sehingga dapat dilakukan perbaikan data pertanahan secara menyeluruh sesuai dengan Juknis yang ada secara lebih efektif dan efisien. 4. Optimalisasi Kewenangan Struktur Birokrasi Pelayanan online dimaksudkan untuk mempercepat proses pelayanan, namun struktur birokrasi masih menjadi bottleneck yang menghambat pelayanan di Kantor Pertanahan. Inovasi yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN masih menyentuh loket pelayanan tetapi muaranya masih terakumulasi ke pejabat struktural yang sedikit. Oleh karena itu, perluasan kewenangan pengesahan kepada banyak pejabat fungsional bisa menjadi alternatif model pelayanan dengan lebih cepat, sejalan dengan keinginan Presiden dalam memangkas jabatan struktural. 33

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL 5. Perbaikan Data melalui Partisipasi Masyarakat Meskipun kondisi data adalah hal yang perlu disiapkan, sehingga Peraturan Menteri ATR/BPN No. 5 tahun 2017 pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa layanan Informasi Pertanahan secara Elektronik dapat dilakukan setelah data pertanahan tersedia dalam pangkalan data Kementerian, namun pelayanan online sendiri bisa juga menjadi solusi perbaikan data. Strategi perbaikan data bisa juga dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Upaya itu bisa dilakukan dengan membuat syarat dan ketentuan (disclaimer) dalam peraturan yang mengklasifikasikan jenis data tersebut terkonfirmasi atau belum. V. KESIMPULAN 1. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN RI Nomor 5 tahun 2017 tentang Layanan Informasi Pertanahan Secara Elektronik belum terimplementasi secara keseluruhan. Implementasi peraturan tersebut terhambat oleh isi dalam peraturan yang belum selaras dengan peraturan lain yang mengatur hal yang sama. Minimnya sosialisasi, komunikasi dan sumberdaya terkait implementasi peraturan membuat banyak Kantor Pertanahan cenderung kurang peduli terhadap adanya program pelayanan online, walaupun ada juga Kantor Pertanahan yang bertindak selaras dengan substansi pelayanan online. 2. Rata-rata kelengkapan data digital di lokasi sampel adalah sebesar 58,15%, dengan reincian persentase buku tanah digital tekstual (terdapat di KKP) sebesar 99,02%, buku tanah digital raster 12,77%, kualitas data baik (KW 1 dan KW 2) sebesar 71,98%, dan buku tanah digital yang telah valid sebesar 48,84%. Buku tanah yang sudah divalidasi di KKP setelah diperiksa kembali ditemukan kesesuaian rata-rata 75,02%. Kesuaian informasi tertinggi antara Buku Tanah dengan KKP adalah Nomor Hak, Nomor Surat Ukur, dan Luas Tanah. Kesesuaian informasi terendah adalah Penunjuk, Tanggal Berakhir Hak untuk Hak Guna Bangunan, dan Asal SK Hak. Akurasi data spasial rata-rata sebesar 89,55%, yang berarti bahwa tumpang tindih bidang yang terdapat di lokasi sampel sebesar 10,45%. 3. Strategi penyiapan data pertanahan menuju pelayanan elektronik yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1) penguatan peraturan aplikasi layanan pertanahan; 2) perubahan pola pikir pegawai; 3) perbaikan kualitas data; 4) optimalisasi kewenangan struktur birokrasi; serta 5) perbaikan data melalui partisipasi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Hamdi, M. (2014). Kebijakan Publik: Proses, Analisis dan Partisipasi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. Lester, J. P., & Goggin, M. L. (1998). Back to the future: The Rediscovery of Implementation Studies. Policy Currents, 8(3), 1-9. Mustofa (2015). Evaluasi Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan di Badan Pertanahan Nasional. Makalah. Paulina, Christina (2019). Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik dan Satu Data Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Makalah. Payong (2018), Kajian Kesiapan Implementasi E-Government Pemerintah Kota Kupang. Jurnal Hoaq, Teknologi Informasi Vol. 9, No. 2, Desember 2018. 34

Septina Marryanti Prihatin, S.Si., M.Si. dan Arsan Nurrokhman, S.Si. KESIAPAN DATA PERTANAHAN MENUJU PELAYANAN ELEKTRONIK Purwanto, E.A. & Sulistyastuti, D.R. (2015). Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Gava Media. Susianawati (2017), Analisis Kesiapan Inovasi Layanan Sistem Informasi Manajemen dan Pelayanan Perizinan Elektronik (Simppel) di Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Tenaga Kerja Kabupaten Tuban. Publika Vol.6, No.5 (2018). Tjasdirin (2019). Selayang Pandang Pelayanan Online di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Jakarta : Kementerian Hukum dan HAM. Makalah. Wahyudiono, (2018), Kesiapan ASN Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Memberikan Pelayanan Berbasis Online. E-Journal Komunika. Williamson, I., Enemark, S., Wallace, J., & Rajabifard, A. (2010). Land Administration for Sustainable Development. Redlands, CA: ESRI Press Academic. Winarno, B. (2014). Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Studi Kasus). Yogyakarta: CAPS. 35

TOPIK PERTANAHAN 36

JAMINAN KEPASTIAN OBYEK PENDAFTARAN TANAH (DITINJAU DARI TEORI ERROR PROPAGATION TERHADAP HASIL PENGUKURAN BATAS BIDANG TANAH PADA METODE TERESTRIS) Ir. Eko Budi Wahyono, M.si. IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP Ferdy Nugraha, S.tr PERAN APLIKASI SMARTPTSL DALAM TRANSFORMASI PENGUKURAN DAN PEMETAAN MENYAMBUT REVOLUSI INDUSTRI 4.0 Reza Abdullah, S.tr. INTEGRASI E-LAMPID SEBAGAI SISTEM INFORMASI PENDUKUNG PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP DI KELURAHAN PAGESANGAN KOTA SURABAYA Moch. Shofwan, M.Sc. PERTANAHAN 4.0: WAJAH BARU PELAYANAN INFORMASI PERTANAHAN MELALUI OPTIMALISASI PEMANFAATAN PETA DASAR PENDAFTARAN Wasyilatul Jannah 37

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL JAMINAN KEPASTIAN OBYEK PENDAFTARAN TANAH (DITINJAU DARI TEORI ERROR PROPAGATION TERHADAP HASIL PENGUKURAN BATAS BIDANG TANAH PADA METODE TERESTRIS) Eko Budi Wahyono STPN Yogyakarta Email: ebudiw65@yahoo co.id ABSTRAK Jaminan kepastian obyek pendaftaran tanah adalah letak, batas dan luas bidang tanah. Letak dan luas bidang tanah diperoleh dari pelaksanaan pengukuran batas bidang tanah. Dalam teori Adjusment Computation ha- sil ukuran selalu dihinggapi kesalahan. Meskipun kesalahan kasar dan sistematis telah diantisipasi atau dieliminasi, kesalahan acak/random selalu melekat dalam setiap hasil ukuran. Hal ini mempengaruhi hasil penentuan letak dan hitungan luas. Tujuan penulisan mengetahui pengaruh kesalahan acak/random melalui error propagation/perambatan Kesalahan hasil ukuran bidang tanah terhadap standar hasil perhitungan letak dan luas bidang tanah menurut PMNA No. 3/1997 terhadap jaminan kepastian obyek pendaftaran tanah. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental menggunakan simulasi data ukuran dan keteli- tian instrumen alat ukur terestris serta standart ketelitian pengukuran menurut petunjuk teknis PMNA No. 3/1997, kesalahan pengamatan dan kesalahan akibat kondisi lingkungan tidak diperhitungkan sedangkan Ketelitian alat/instrumen dianalogikan sebagai kesalahan acak. Data tersebut digunakan untuk menentu- kan letak dan menghitung luas dengan menggunakan teori error propagation/perambatan kesalahan khu- susnya pada perambatan kesalahan acak. Diperoleh hasil penelitian sebagai berikut : 1) Pemilihan jenis alat ukur untuk pengukuran batas bidang ta- nah akan mempengaruhi nilai luas bidang tanah dari proses perhitungan, sebaiknya jangan menggunakan alat ukur pita ukur/meet band untuk jarak diatas 300 meter, sedangkan untuk alat ukur EDM/Total Station tidak digunakan untuk mengukur jarak diatas 500 meter. 2) Nilai letak dan hasil hitungan luas tidak meru- pakan bilang bulat dan memiliki nilai simpangan baku, sehingga kebenaran nilai luas tersebut terletak di- antara nilai tersebut ± simpangan baku, angka luas yang dituliskan didalam Surat Ukur dan Buku Tanah merupakan pembulatan dengan nilai tunggal. 3) Ketelitian alat menentukan besarnya simpangan baku letak dan hasil hitungan luas, maka perlu ditulis ketelitian alat dalam Gambar Ukur sebagai pertanggung- jawaban hasil hitungan luas. 4) Jaminan kepastian obyek pendaftaran tanah yang diberikan adalah jaminan kepastian nilai relatif, bukan nilai absolut/mutlak. Kata Kunci : Jaminan Kepastian Obyek, Error Propagation, Perambatan Kesalahan Acak. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan Pendaftaran ditandai dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria. Pendaftaran Tanah ini merupakan tugas Pemerintah, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum. Menurut teori klasik Hermanses, 1977, pendaftaran tanah yang diselenggarakan Pemerintah itu untuk memberikan kepastian dan perlindungan pada derajat tertentu. 38

Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si. JAMINAN KEPASTIAN OBYEK PENDAFTARAN TANAH (DITINJAU DARI TEORI ERROR PROPAGATION DARI HASIL Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pada pasal 3 dinyatakan Pendaftaran Tanah dilaksanakan oleh institusi pemerintah yaitu Badan Pertanahan Nasional dengan tujuan : a). untuk PENGUKURAN BATAS BIDANG TANAH) memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, b). untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; c). untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah disebutkan tujuan pendaftaran tanah sebagaimana tercantum pada huruf a merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang diperintahkan Pasal 19 UUPA. Tujuan utama pelaksanaan Pendaftaran Tanah adalah memberikan jaminan kepastian hukum baik terhadap subyek dan obyek pendafataran tanah. Subyek terkait pemegang hak atas tanah dapat dipastikan sebagai pemegang hak yang benar. Terhadap kepastian obyek pendaftaran tanah meliputi jaminan terkait letak, batas dan luas bidang tanah. Letak, batas dan luas bidang tanah dalam kegiatan pendaftaran tanah diperoleh dari kegiatan pengukuran dan pemetaan terhadap batas – batas bidang tanah tersebut. Pasal 24 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa (1) Pengukuran bidang tanah dilaksanakan dengancara terestrial,fotogrametrik,atau metodalainnya. (2) Prinsip dasar pengukuran bidang tanah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah adalah harus memenuhi kaidah-kaidah teknis pengukuran dan pemetaan sehingga bidang tanah yang diukur dapat dipetakan dan dapat diketahui letak dan batasnya di atas peta serta dapat direkonstruksi batas-batasnya di lapangan. Dalam suatu kegiatan pengukuran atau pengamatan seorang (observer) harus menyadari bahwa setiap pengamatan atau pengukuran tidak akan menghasilkan nilai yang mutlak benar. Kebenaran nilai dari hasil suatu pengukuran hanya dapat dicapai pada batas tertentu saja. Karena ada kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dihilangkan. Menurut Ghilani, 2018, bahwa dapat dinyatakan tanpa syarat bahwa (1) tidak ada pengukuran yangtepat,(2) setiap pengukuranmengandung kesalahan,(3) nilai sebenarnya dari pengukuran tidak pernah diketahui, dan dengan demikian (4) ukuran pasti dari kesalahan ini selalu tidak diketahui. Maka dengan demikian produk dari hasil pengukuran dengan metode apapun pasti mengandung nilai kesalahan dan nilai sebenarnya hanya dapat didekati dengan suatu nilai yang bukan nilai sebenarnya. Setiap hasil pengukuran meskipun sudah memenuhi standar operasional pengukuran, ukuran yang pasti dari nilai sebenarnya tidak akan diketahui. Standar operasional pengukuran hanya akan menghilangkan kesalahan yang sifatnya kasar dan sistematis, sedangkan kesalahan yang sifatnya random atau acak selalu melekat dalam hasil pengukuran. Pada akhirnya sangat tidak mungkin memperoleh nilai hasil pengukuran yang benar. Dengan adanya kesalahan acak atau random ini akan mempengaruhi hasil dari kegiatan pengukuran. Hasil pengukuran yang mengandung kesalahan acak ini akan mempengaruhi hasil hitungan seperti posisi/ letak dan luas jika terkait dengan bidang tanah akan terdapat unsur kesalahan. Kesalahan hasil perhitungan dari sejumlah nilai ukuran yang mengandung kesalahan inilah yang dinamakan perambatan kesalahan. Besarnya nilai hasil pengukuran yang mengandung kesalahan acak dapat ditentukan dengan melihat model matematika proses perhitungan dan besarnya nilai simpangan bakunya. Jadi bukan nilai yang mutlak. Padahal tujuan pendaftaran tanah salah satunya adalah Jaminan kepastian obyek terkait dengan letak dan luas bidang tanah yang telah diukur. Nilai hasil ukuran yang sudah terbebas dari kesalahan sistematis dan 39

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL blunder, tetapi masih terkandung kesalahan acak dapat dihitung nilai simpangan bakunya sehingga dapat diketahui nilai sebenarnya yang paling mungkin. Nilai yang diperoleh bukan lagi suatu nilai absolut. Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional melalui Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrariaan telah mengeluarkan Petunjuk Teknis Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengukuran dan Pemetaan Pendaftaran Tanah. Dalam petunjuk teknis tersebut telah diatur bagaimana standar operasional pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan pendaftaran tanah serta tata usaha pengukuran dan pemetaan pendaftaran tanahnya. Berdasarkan petunjuk teknis tersebut, penulisan hasil pengukuran dan pemetaan dalam daftar isian merupakan hasil angka atau nilai pembulatan berdasarkan hasil perhitungan tertentu. Bisa saja angka hasil pembulatan tersebut tidak tepat benar karena adanya perambatan kesalahan dalam proses perhitungan. 1.2. Permasalahan Dalam teori kesalahan dalam pengukuran, bahwa dalam setiap pengukuran selalu dihinggapi kesalahan. Meskipun kesalahan blunder dan sistematis sudah dihilangkan, tetapi selalu dihinggapi dengan kesalahan random/acak. Maka untuk itu kegiatan pengukuran dalam rangka tujuan tertentu, ketelitian alat menjadi persyaratan mutlak. Ketelitian instrumen atau alat tersebut diharapkan dapat mengurangi atau meminimalisasi kesalahan – kesalahan jenis random ini. Meskipun demikian tetap saja terjadi nilai hasil ukuran selalu saja dihinggapi kesalahan. Hal ini berakibat nilai yang diperoleh dari suatu hasil pengukuran bukan merupakan nilai yang mutlak benar, melainkan nilai yang masih mengandung unsur kesalahan. Nilai hasil pengukuran ini yang digunakan untuk proses perhitungan berikutnya yang dijadikan sebagai jaminan kepastian hukum terhadap nilai letak dan luas atas obyek pendaftaran tanah. Tentu saja nilai letak dan luas atas obyek pendaftaran tanah yang diperoleh bukan merupakan nilai yang mutlak benar atau absolut, masih merupakan nilai yang relatif. Sedangkan dalam tatalaksana pendaftaran tanah penulisan posisi/letak dan luas bidang tanah dalam daftar umum : buku tanah, surat ukur, daftar tanah, daftar nama, peta pendaftaran mencantumkan nilai yang absolut. 1.3. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh dan besar nilai akibat kesalahan random dari hasil pengukuran yang telah terbebas dari kesalahan sistematik dan blunder berdasarkan ketelitian instrumen atau alat ukur yang digunakan melalui error propagation (dalam hal ini dipilih perambatan kesalahan acak) hasil ukuran bidang tanah terhadap jaminan kepastian obyek pendaftaran tanah. 2. Menunjukkan bahwa nilai letak dan luas bidang tanah dari hasil pengukuran bukan merupakan nilai yang absolut, melainkan nilai yang relatif. II. METODE Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental menggunakan simulasi data ukuran dan ketelitian instrumen alat ukur terestris serta standar ketelitian pengukuran menurut petunjuk teknis Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengukuran dan Pemetaan Pendaftaran Tanah untuk menentukan letak dan luas bidang tanah, kesalahan sistematis dan kesalahan blunder dianggap sudah tidak ada, kesalahan pengamatan akibat human error, kesalahan akibat kondisi lingkungan dan alam tidak diperhitungkan. Untuk posisi/letak batas bidang tanah 40

Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si. JAMINAN KEPASTIAN OBYEK PENDAFTARAN TANAH (DITINJAU DARI TEORI ERROR PROPAGATION DARI HASIL titik ikat / TDT diukur menggunakan metode RTK GNSS sedangkan batas bidang tanah diukur dengan menggunakan : 1. pita ukur, 2. gabungan teodolit dan pita ukur, dan 3. Total Station. Luasan bidang tanah PENGUKURAN BATAS BIDANG TANAH) dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan standar penulisan angka luas pada Surat Ukur yang dianggap mewakili penulisan angka luas pada daftar umum. Data tersebut digunakan untuk menentukan letak dan menghitung luas dengan menggunakan teknik error propagation dengan Perambatan Kesalahan Acak. Dari hasil perhitungan ini, dilakukan analisis sebagai berikut : Kepastian letak obyek menggunakan data hasil pengukuran terestris dengan menggunakan : 1. teodolit dan pita ukur nilai, 2. Total Station. Kepastian luas dari hasil ukuran jarak antar batas bidang tanah dengan data jarak yang diperoleh dengan menggunakan alat ukur pita ukur dan EDM (Total Station) untuk menentukan luas bidang tanah dan nilai luas bidang tanah dengan kesesuaian penulisan angka luas pada daftar umum dengan petunjuk teknis Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengukuran dan Pemetaan Pendaftaran Tanah. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Jaminan Kepastian Dalam Pendaftaran Tanah Tujuan dari pelaksanaan pendaftaran tanah adalah adanya jaminan kepastian hukum. Menurut Hermanses (1977) Kepastian hukum dalam pendaftaran tanah bukan merupakan tujuan melainkan hanya memberikan kepastian dan perlindungan sampai suatu derajad tertentu. Oleh karena itu di seluruh dunia pemerintah yang ditugaskan untuk melakukan pendaftaran tanah, karena pemerintah adalah sebagai pelindung kepentingan umum yang mencakup kepastian dan perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya. Sesuai dengan pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Pemerintah dengan pendaftaran tanah ini dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak- hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Kemudian pada pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah. Dalam sertipikat hak atas tanah tersebut tercatat mengenai data yuridis dan data fisik. Data yuridis mengenai keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Data yuridis ini terkait dengan subyek dan hubungan hukum antara subyek dan obyek pendaftaran tanah. Data fisik mengenai keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data fisik lebih terkait dengan keterangan dan infromasi mengenai obyek pendaftaran tanah. Dengan demikian jaminan kepastian hukum dalam pendaftaran tanah di Indonesia adalah jaminan terahadap subyek, obyek dan hubungan hukum antara subyek dan obyek pendaftaran tanah. Dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 alinea kedua disebutkan prosedur pengumpulan data penguasaan tanah juga dipertegas dan dipersingkat serta disederhanakan. Guna menjamin kepastian hukum di bidang penguasaan dan pemilikan tanah faktor kepastian letak dan batas setiap bidang tanah tidak dapat diabaikan. Khusus untuk mendukung jaminan kepastian letak dan batas bidang tanah, yang dahulu merupakan sumber sengketa karena letak dan batas bidang tanah yang tidak benar, maka penggunaan teknologi pengukuran dan pemetaan yang terkini dengan ketelitian yang baik akan mendukung jaminan kepastian letak dan batas bidang tanah. 41

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL Di samping pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan ketelitian hasil pengukuran batas bidang tanah dapat juga untuk meminimalisasi kesalahan pengukuran oleh faktor manusia. Berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional tahun 2018 tentang PTSL, salah satu hambatan adalah peran masyarakat dalam menunjukkan batas bidang tanah yang dikuasainya sangat rendah, masih banyak batas bidang tanah yang dipasang dengan tanda batas seadanya tidak memenuhi ketentuan serta ditunjukkan oleh aparat pemerintah desa/Pengumpul Data Pertanahan Desa Setempat / Panitia Lokal tentu ini menjadi kendala tersendiri terhadap jaminan kepastian obyek yang diberikan oleh Pemerintah. Batas bidang tanah yang diukur saat ditunjukkan oleh aparat pemerintah desa/Pengumpul Data Pertanahan/Panitia Lokal yang mewakili warga masyarakat tidak sesuai dengan yang ditunjuk oleh pemilik tanah sesungguhnya. 3.2. Teori Kesalahan dan Reliabilitas Pengukuran Bidang Tanah Dalam suatu kegiatan pengukuran, pasti melakukan suatu kegiatan pengamatan (observasi). Harus disadari dalam setiap pengamatan, tidak sepenuhnya akan diperoleh hasil yang mutlak benar. Nilai kebenaran suatu hasil pengamatan dan pengukuran hanya dapat dicapai pada suatu batas tertentu, karena ada keterbatasn dan kesalahan – kesalahan yang tidak dapat dihilangkan begitu saja. Derajat atau tingkat ketelitian hasil observasi atau pengukuran sangat ditentukan dengan metode pengukuran, alat yang digunakan dan kondisi alam sekitar tempat berlangsungnya kegiatan pengukuran (Widjajanti, 2011). Sumber – sumber yang menjadi kesalahan dalam pengukuran adalah manusia, alat/instrumen pengukuran dan kondisi lingkungan sekitar lokasi pengukuran. Hal inilah yang mengakibatkan hasil pengukuran yang diperoleh dari observasi tidak sepenuhnya memperoleh hasil nilai yang mutlak benar. Kesalahan selalu saja ada setiap hasil pengukuran. Kebenaran suatu hasil pengukuran hanya dapat dicapai pada batas tertentu saja. Tingkat ketelitian ini sangat tergantung dari instrumen/alat ukur yang digunakan, metode pengukuran dan kondisi alam lokasi pelaksanaan pengukuran serta kemampuan dan kompetensi dari petugas ukur. Berdasarkan jenisnya, kesalahan dalam pengukuran dapat dikelompokkan dalam 1)Kesalahan Kasar/ Blunder yaitu kesalahan akibat dari ketidak-becusan, ketidakhati-hatian petugas ukur. 2)Kesalahan Sistematis yaitu kesalahan akibat dari sistem, dapat berasal dari alat, kondisi fisik petugas ukur dan kondisi alam, besarnya kesalahan sistematis cenderung konstan dapat besar atau kecil. 3)Kesalahan Acak yaitu kesalahan yang selalu terjadi dalam setiap kegiatan pengukuran, contoh kegiatan pengukuran berulang yang dilakukan dengan kesalahan blunder dan sistematis sudah dihilangkan akan menghasilkan variasi data ukuran. Maka dengan demikian tidak mungkin hasil ukuran itu terbebas dari kesalahan. Meskipun mustahil untuk memperoleh hasil ukuran yang mutlak benar, maka perlu diusahakan sedemikian rupa agar kesalahannya minimal. Hal ini perlu dilakukan untuk mencapai hasil pengukuran yang berada pada batas toleransi tertentu. Menurut teori kemungkinan, nilai hasil ukuran yang mendekati benar baru dapat diketahui jika pengukuran dilakukan tak terhingga banyaknya. Tetapi hal ini mustahil dilakukan, maka perlu dilakukan beberapa kali pengukuran untuk memilih nilai yang mendekati benar dan seberapa jauh pilihan nilai tersebut dipercaya dengan menggunakan nilai simpangan bakunya. Hal dilakukan untuk menentukan keterpercayaan pengukuran (reliabilitas pengukuran) ditunjukkan dengan presisi, akurasi dan ketidakpastian dari suatu kegiatan pelaksanaan pengukuran. Presisi ditunjukkan dengan nilai hasil ukuran satu dengan yang lain memiliki nilai yang berdekatan. Akurasi ditunjukkan nilai – nilai hasil pengukuran memiliki tingkat kedekatan dengan nilai yang sebenarnya. Untuk menunjukkan kesalahan 42

Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si. JAMINAN KEPASTIAN OBYEK PENDAFTARAN TANAH (DITINJAU DARI TEORI ERROR PROPAGATION DARI HASIL yang mungkin terjadi selama pengukuran berlangsung dapat ditunjukkan suatu selang atau rentang nilai yang disebut ketidakpastian. Nilai Simpangan Baku dapat digunakan sebagai rujukan untuk menunjukkan PENGUKURAN BATAS BIDANG TANAH) ketelitian dari suatu kegiatan pengukuran, semakin kecil simpangan baku akan menunjukkan kegiatan pengukuran tersebut dilaksanakan dengan teliti. Terkait ketelitian suatu alat ukur ditunjukkan dalam spesifikasi teknis alat ukur tersebut. Contoh : pengukuran jarak dengan menggunakan pita ukur berkisar antara 1: 1000 sampai dengan 1 : 3000 (Deumlich, 1982). Alat ukur Total Station merek TOPCON tipe ES 102 memiliki spesifikasi teknis ketelitian Pengukuran sudut 2” sedangkan pengukuran jarak menggunakan prisma : 2 mm + 2 ppm, jika tidak menggunakan prisma/prismless 3 mm + 2 ppm maksimum jarak 300 meter. Instrumen Receiver Global Epoch 50 GNSS memiliki ketelitian untuk metode Statik dan Rapid Statik pada Posisi Horisontal dengan nilai RMS : ± 3 mm + 1 ppm untuk posisi vertikal dengan nilai RMS : ± 5 mm + 1 ppm, sedangkan pada metode kinematik memiliki ketelitian untuk posisi horizontal nilai RMS : ± 10 mm + 1 ppm untuk posisi vertikal nilai RMS : ± 20 mm + 1 ppm. Ketelitian dalam spesifikasi teknis ini untuk menjamin ketelitian hasil pengukuran yang diperoleh sesuai dengan yang ditetapkan. Hal ini berarti suatu nilai hasil pengukuran bukan merupakan suatu nilai mutlak atau absolut nilai tunggal. Dalam spesifikasi alat dan standar ketelitian alat ukur dianggap sebagai kesalahan acak, kesalahan kasar/ blunder dan kesalahan sistematik sudah tidak ada lagi. Kesalahan acak atau random yang terdapat dalam data ukuran (jarak dan sudut) ditunjukkan sebagai spesifikasi alat ini akan digunakan untuk menghitung letak batas dan luas bidang tanah. Sebagai contoh dalam kegiatan pengukuran batas bidang tanah, jika data ukuran baik jarak maupun sudut masih terdapat unsur kesalahan maka hasil hitungan luas berdasarkan data sudut dan atau jarak tersebut pasti masih mengandung kesalahan. Analisis dan evaluasi kesalahan dalam proses perhitungan yang merupakan fungsi kesalahan dalam pengukuran dinamakan Error Propagation atau Perambatan Kesalahan (Mikhail, 1981). Karena kesalahan kasar/blunder dan kesalahan sistematis sudah tidak ada dalam kegiatan pengukuran, yang tersisa adalah kesalahan acak/random. Sehingga untuk mengevaluasi akibat pengaruh kesalahan acak menggunakan teori Perambatan Kesalahan Acak. Rumus umum yang digunakan dalam Perambatan Kesalahan Acak tanpa ada korelasi antar parameter dalam bentuk matrik adalah sebagai berikut (Widjajanti, 2011) : Persamaan dalam bentuk matrik :ΣUW = G ΣXY GT Evaluasi pengaruh perambatan kesalahan acak ini akan menghasilkan besaran simpangan baku. Nilai hasil perhitungan dari data ukuran dengan jangkauan simpangan bakunya akan menunjukkan keberadaan nilai yang benar. Dengan demikian nilai hasil perhitungan yang diperoleh dari pengukuran yang masih mengandung kesalahan acak akan menghasilkan nilai yang tidak mutlak atau absolut. 43

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL 3.3. Standardisasi Pengukuran dan Pemetaan dalam Rangka Pendaftaran Tanah. Kegiatan pengukuran dan pemetaan untuk kepentingan pendaftaran tanah harus diatur baik metode maupun ketelitiannya. Standar Pengukuran dan Pemetaan dalam rangka pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 (PMNA No. 3/1997) tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah beserta petunjuk teknis Pengukuran dan Pemetaan dalam rangka Pendaftaran tanah. Standar Gambar Ukur dan Surat Ukur dikeluarkan oleh Direktorat Pengukuran Pemetaan Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2001. Standar metode pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah menurut petunjuk teknis PMNA No. 3/1997 dapat dilakukan dengan cara terestris, fotogrametris dan metode lain. Dalam metode terestris dan fotogrametris tetap menggunakan instrumen pengukuran yang berbasis metode terestris. Dalam pelaksanaan pengukuran menggunakan instrumen terestris seperti pengukuran jarak pita ukur, pengukuran jarak, sudut dan posisi dengan Total Station. Untuk pengukuran jarak menggunakan pita ukur disyaratkan menggunakan pita ukur baja (menurut Deumlich, 1982 memiliki ketelitian sampai 1 : 10.000), sedangkan untuk Teodolit dan Total Station ketelitian bacaan sudut minimal 20” sedangkan untuk ketelitian jarak elektronis belum disebutkan. Ketelitian yang diharapkan dari hasil pengukuran menggunakan pengamatan GNSS hanya disebutkan dalam fraksi mm sampai dengan cm saja. Tidak ada kuantitatifnya, asumsi yang digunakan di lapangan oleh para petugas ukur Kementerian ATR/BPN berkisar antara 1 cm sampai dengan 10 cm (dalam rentang ukuran patok batas beton bidang tanah). Dari hasil pengukuran di lapangan dan setelah dilakukan pengolahan data, selanjutnya dilakukan pemetaan dan sekaligus penghitungan luas yang akan digunakan sebagai jaminan kepastian hukum atas luas bidang tanah. Luas bidang tanah yang tertulis di halaman 3 Gambar Ukur, Surat Ukur, Buku Tanah, Sertipikat, Daftar Tanah, Daftar Nama merupakan angka – angka yang telah disederhanakan dengan pembulatan mengikuti aturan dan standardisasi penulisan angka luas pada Surat Ukur. Pada Standar Gambar Ukur dan Surat Ukur yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengukuran Pemetaan Badan Pertanahan Nasional Tahun 2001, ketentuan penulisan luas pada surat ukur diatur sebagai berikut : 1. Luas < 1 Ha : Luas hitungan tertulis sampai fraksi satuan meter, misal dari hitungan : 995,6 m2 ditulis 996 m2. 2. Luas 1 Ha s/d 5 Ha : Luas hitungan tertulis sampai fraksi puluhan meter, misal dari hitungan : 45.565,45 m2 ditulis 45.560 m2. 3. Luas 5 Ha s/d 100 Ha : Luas hitungan tertulis sampai fraksi ratusan meter, misal dari hitungan : 857.880, 25 m2 ditulis 857.900 m2 (85,788 Ha ditulis 85,79 Ha). 4. Luas > 100 Ha : Luas hitungan tertulis sampai fraksi ribuan meter, misal dari hitungan : 1255678,25 m2 ditulis 1256000 m2 ( 125,567825 Ha ditulis 125,6 Ha). Penulisan luas dengan menggunakan angka pembulatan menjadi problem sendiri karena angka yang diperoleh dari hasil hitungan menggunakan data ukuran yang masih mengandung kesalahan acak dan kesalahan acak ini akan mempengaruhi besaran nilai hasil hitungan. Angka hasil perhitungan ini bukan angka mutlak atau absolut melainkan angka yang memiliki simpangan baku tertentu. Nilai yang benar menurut reliabilitas pengukuran akan berada pada nilai hasil hitungan dengan rentang nilai simpangan bakunya. 44

Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si. JAMINAN KEPASTIAN OBYEK PENDAFTARAN TANAH (DITINJAU DARI TEORI ERROR PROPAGATION DARI HASIL 3.4. Analisis Perambatan Kesalahan Random Terhadap Kepastian Obyek Untuk mengetahui pengaruh kesalahan random berdasarkan ketelitian yang diharapkan dalam PENGUKURAN BATAS BIDANG TANAH) spesifikasi teknis terhadap nilai hasil perhitungan untuk penentuan letak dan luas dapat menggunakan teori perambatan kesalahan. 1. Analisis Terhadap Letak Batas Tanah. Penentuan letak batas bidang tanah yang berupa koordinat planimetris terdiri dapat dilakukan dengan beberapa metode pengukuran. Pengukuran TDT menggunakan RTK GNSS dengan ketelitian horizontal RMS : 10 mm + 1 ppm. Jika jarak dari base station 1 km maka diperoleh ketelitian horizontal sebesar 11 mm. dengan asumsi simpangan baku terhadap absis dan ordinat sama maka diperoleh nilai σx dan σysama yaitu 7,78 mm. Untuk analisis ini menggunakan metode terestris menggunakan alat ukur : 1. Teodolit dan pita ukur ; 2. Total Station. Kedua pengukuran menggunakan alat ini menggunakan jarak tidak lebih dari150 meter dari titik ikat/titik dasar teknik. Simpangan baku yang menunjukkan ketelitian instrumen digunakan sebagai kesalahan acak yang melekat pada instrumen. Pita Ukur menggunakan pita ukur berbahan fiber yang sering digunakan petugas ukur memiliki ketelitian 1 : 1000 (maka σd = 1/1000 x jarak), Teodolit dengan satuan bacaan sudut terkecil 10” memiliki ketelitian 20” (Berarti σs = 20”), Sedangkan jika diperoleh ketelitian Total Station dalam mengukur jarak sebesar 2 mm + 2 ppm (σd = 2 mm + (2 x jarak ukuran satuan mm : 1000000)). Untuk sudut Horisontal sebesar 2” (σs = 2”). Asimut posisi batas bidang tanah diukur menggunakan ukuran sudut horizontal, Asimut referensi dianggap tidak ada kesalahan, sehingga kesalahan pengukuran asimut sama dengan kesalahan yang ada dalam pengukuran sudut horizontal (σs = σas = 20” untuk teodolit, σs = σas = 2” untuk TotalStation). Posisi planimetris batas bidang tanah dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Absis batas bidang tanah = Xbts = Xtdt + d sin α Ordinat batas bidang tanah = Ybts = Xtdt + d cos α Maka pengaruh kesalahan acak (dianalogikan = ketelitian instrumen) terhadap hasil penentuan posisi dapat dihitung menggunakan perambatan kesalahan acak dengan rumus sebagai berikut ini : ΣUW = G ΣXY GT Besarnya akibat perambatan kesalahan acak pada absis : Σabsis = G ΣX GT Besarnya kesalahan akibat perambatan kesalahan acak absis = √ σxbts2 Besarnya akibat perambatan kesalahan acak pada ordinat : 45

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL Besarnya kesalahan akibat perambatan kesalahan acak absis = √ σybts2 A. Menggunakan Teodolit dan Pita Ukur Hasil simulasi perhitungan posisi dan ketelitian yang diperoleh dengan menggunakan alat ukur teodolit dan pita ukur dengan jarak terhadap batas bidang tanah : 100 m, 200 m, 300 m, 400 m, 500 m Ketelitian pita ukur 1 : 1000 sedangkan untuk nilai azimuth sama yaitu 450 dengan ketelitian pengamatan asimut 20” dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1 : Besarnya Kesalahan Letak Akibat Perambatan Kesalahan Acak Menggunakan Teodolit dan Pita Ukur No Nama Jarak σd Azimut (σAs\"/ d Sin α d Cos α Absis (X) meter (σx )2 Ordinat(=Y) (σ y)2 RMS 206265) meter (meter) Titik (=d) (meter) (=αo) meter TDT 1 10000 6.053E-05 10000 6.053E-05 0.011003 1 bts1 100 0.1 45 20\"/206265 70.71067812 70.71067812 10070.71067812 0.005047 10070.71067812 0.005047 0.100469 2 bts2 200 0.2 45 20\"/206265 141.42135624 141.4213562 10141.42135624 0.020188 10141.42135624 0.020188 0.200938 3 bts3 300 0.3 45 20\"/206265 212.13203436 212.1320344 10212.13203436 0.0454231 10212.13203436 0.045423 0.301407 4 bts4 400 0.4 45 20\"/206265 282.84271248 282.8427125 10282.84271248 0.0807521 10282.84271248 0.080752 0.401876 5 bts5 500 0.5 45 20\"/206265 353.55339060 353.5533906 10353.55339060 0.1261752 10353.55339060 0.126175 0.502345 Sumber : Simulasi Data Berdasarkan tabel tersebut di atas, kesalahan acak yang bersumber dari batasan ketelitian alat ukur, sangat berpengaruh terhadap pengolahan penentuan letak dari suatu batas bidang tanah. Mulai pada jarak 300 m, ketelitian yang diperoleh (nilai RMS, perbedaan posisi planimetris) makin rendah yaitu sekitar 30,147 cm. Berdasarkan Petunjuk Teknis PMNA No. 3 Tahun 1997, pengukuran batas bidang tanah toleransi yang diperbolehkan untuk daerah permukiman adalah 10 cm dan daerah pertanian 25 cm. Sehingga penggunaan alat ukur teodolit dengan ketelitian sudut 20” serta pita ukur berbahan fiber dapat digunakan untuk pengukuran posisi/letak batas bidang tanah dengan jarak maksimum 200 m. Lebih dari 200 m tidak disarankan. Ketelitian yang tertera pada tabel 1 tersebut, pengukuran benar – benar dilaksanakan dengan meniadakan kesalahan – kesalahan yang bersumber pada manusia dan kondisi lingkungan. Hanya berpedoman pada ketelitian alat yang digunakan. Jika kesalahan sentering teodolit, kesalahan tegangan dan pemuaian bahan pita ukur disertakan akan memiliki nilai yang berbeda. 46

Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si. B. Menggunakan Total Station dan Target Prisma. Hasil Simulasi perhitungan posisi dan ketelitian yang diperoleh dengan menggunakan alat ukur Total Station yang dilengkapi target prisma diatas batas bidang tanah dengan jarak 100 m, 200 m, 300 m, 400 m dan 500 m. Ketelitian pengukuran jarak horizontal = 2 mm + 2 ppm, ketelitian sudut pengamatan azimuth 2” dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2 : Besarnya Kesalahan Letak Akibat Perambatan Kesalahan Acak Menggunakan Alat Ukur Total Station dan Prisma No Nama Jarak σd Azimut (σAs\"/ d Sin α d Cos α Absis (X) meter (σx )2 Ordinat(=Y) (σ y)2 RMS Titik (=d) (meter) (=αo) 206265) meter (meter) meter TDT 1 10000 6.053E-05 10000 6.053E-05 0.011003 1 bts1 100 0.0022 45 2\"/206265 70.71067812 70.71067812 10070.71067812 2.894E-06 10070.71067812 2.89E-06 0.002406 45 2\"/206265 141.42135624 141.4213562 10141.42135624 4.764E-06 10141.42135624 4.76E-06 0.003087 2 bts2 200 0.0024 45 2\"/206265 212.13203436 212.1320344 10212.13203436 7.614E-06 10212.13203436 7.61E-06 0.003902 45 2\"/206265 282.84271248 282.8427125 10282.84271248 1.145E-05 10282.84271248 1.14E-05 0.004784 3 bts3 300 0.0026 45 2\"/206265 353.55339060 353.5533906 10353.55339060 1.626E-05 10353.55339060 1.63E-05 0.005702 4 bts4 400 0.0028 5 bts5 500 0.003 JAMINAN KEPASTIAN OBYEK PENDAFTARAN TANAH (DITINJAU DARI TEORI ERROR PROPAGATION DARI HASIL Sumber : Simulasi Data PENGUKURAN BATAS BIDANG TANAH) Dari Tabel 2 tersebut di atas diperoleh, ternyata meskipun jarak yang diukur dari titik kontrol /TDT sampai dengan target yang berdiri diatas batas bidang tanah dengan jarak sampai dengan 500 meter diperoleh ketelitian RMS = 0.005702 meter = 5,7 mm. Ketelitian ini masih dapat diterima dengan menggunakan standar yang digunakan oleh Petunjuk Teknis PMNA No. 3 Tahun 1997, pengukuran batas bidang tanah toleransi yang diperbolehkan untuk daerah permukiman adalah 10 cm dan daerah pertanian 25 cm. Untuk jarak di atas 500 m tidak disarankan untuk digunakan dalam penentuan letak batas bidang tanah. Jika memang akan digunakan untuk penentuan posisi dengan jarak di atas 600 m, maka jarak tersebut harus dikoreksi : faktor kelengkungan bumi, kelembaban dan suhu lokasi pengamatan, kelengkungan sinar dan lain – lain. Hal ini akan tidak praktis untuk kepentingan pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah. Berdasarkan tabel 1 dan tabel 2 diatas, nilai letak batas bidang tanah yang didapatkan dalam hitungan, bukan merupakan angka yang mutlak atau absolut. Nilai – nilai letak tersebut merupakan nilai rentang tertentu. Padahal dalam aspek hukum, jaminan kepastian itu harus merupakan nilai yang absolut/mutlak. Merujuk pada standardisasi dan petunjuk teknis pengukuran dan pemetaan untuk pendaftaran tanah, selama nilai – nilai posisi/letak tersebut masih masuk dalam toleransi yang diperkenankan maka nilai posisi/letak itulah yang dijamin oleh peraturan yang berlaku. 2. Analisis Terhadap Luas Bidang Tanah. Luas bidang tanah yang ditulis dalam daftar umum diperoleh dari proses perhitungan dari data pengukuran berbagai metode. Untuk analisis ini digunakan metode pengukuran. Bentuk bidang untuk simulasi ini menggunakan bentuk bidang persegi agar memudahkan dalam proses hitungan. Perambatan Kesalahan Acak terhadap luas bidang tanah jika diukur secara terestris. Bentuk bidang tanah persegi panjang. Pengukuran batas bidang tanah yang diukur secara terestris menggunakan alat ukur : 1. Pita Ukur yang berbahan fiber ini memiliki ketelitian 1 : 1000. 2. Pengukuran jarak menggunakan jarak elektronis/Elektronic Distance Measurement (ketelitian dengan menggunakan target prisma sebesar : 2 mm + 2 ppm. 47

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL Luas bidang tanah yang berbentuk persegi panjang memiliki rumus : L = Pajang (p) x Lebar (l). Maka pengaruh kesalahan acak (dianalogikan = ketelitian instrumen) terhadap hasil penentuan posisi dapat dihitung menggunakan Perambatan Kesalahan Acak dengan rumus sebagai berikut ini : Σuw = G ΣXY GT Besarnya simpangan baku akibat kesalahan acak terhadap perhitungan luas pada bidang tanah berbentuk persegi panjang adalah : A. Pengukuran Jarak Antar Batas Bidang Tanah Menggunakan Pita Ukur Pengukuran jarak antar batas bidang tanah menggunakan pita ukur untuk menghitung luas bidang tanah pada simulasi ini menggunakan pita ukur berbahan fiber dengan ketelitian 1 : 1000. Bentuk bidang tanah dipilih persegi panjang, dengan luas bidang tanah berkisar < 1 Ha, 1 Ha sampai dengan 5 Ha. Diatas 5 Ha penggunaan pita ukur menjadi tidak efisien dan merepotkan. Simulasi hasil perhitungan luas dan pengaruhperambatan kesalahan acaak dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3 : Pengaruh Perambatan Kesalahan Acak Terhadap Hitungan Luas Dari Ukuran Menggunakan Instrumen Pita Ukur No. Bidang Sisi σp Sisi σl Luas (=L) σL Luas Luas Penulisan Selisih dengan Minimum Maksimum Luas Tertinggi (meter2) No Panjang (meter) Lebar (meter) meter2 (meter2) (meter2) Sesuai (meter2) (p) (l) meter Standar SU meter 11 79.25 0.07925 12.22 0.01 968.435 1.369574 967.0654261 969.8045739 968 1.804573911 22 114.21 0.11421 39.88 0.04 4554.695 6.441311 4548.253489 4561.136111 4555 6.136111159 33 123.12 0.12312 49.97 0.05 6152.306 8.700675 6143.605725 6161.007075 6152 9.007075151 44 225.12 0.22512 201.67 0.20 45399.95 64.20523 45335.74517 45464.15563 45400 64.15562559 55 251.23 0.25123 225.57 0.23 56669.95 80.14341 56589.80769 56750.09451 56700 50.09451342 66 299.54 0.29954 249.15 0.25 74630.39 105.5433 74524.84769 74735.93431 74600 135.9343111 77 322.75 0.32275 261.11 0.26111 84273.25 119.1804 84154.07212 84392.43288 84300 92.43287663 88 351.46 0.35146 299.12 0.30 105128.7 148.6745 104980.0407 105277.3897 105100 177.3896548 Sumber : Simulasi Data Terdapat selisih antara penulisan luas bidang tanah hasil pengukuran dengan menggunakan pita ukur, untuk luasan kurang dari 5 Ha, nilai perbedaan luas antara luas maksimum dengan cara penulisan luas menurut standart SU masih kurang dari 10 meter. Tetapi untuk luasan di atas 5 Ha perbedaan dapat mencapai puluhan bahkan ada yang mencapai ratusan meter. B. Pengukuran Jarak Antar Batas Bidang Tanah Menggunakan EDM. Pengukuran dengan menggunakan jarak elektronis/Elektronic Distance Measurement/EDM ketelitian dengan menggunakan target prisma sebesar : 2 mm + 2 ppm. Hasil Simulasi pengolahan 48

Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si. data ukuran menggunakan EDM yang masih terdapat kesalahan acak untuk mendapatkan nilai luas bidang tanah dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4 : Pengaruh Perambatan Kesalahan Acak Terhadap Hitungan Luas Dari Ukuran Menggunakan Instrumen EDM No. Bidang Sisi σp Sisi Lebar σl Luas (=L) σL Luas Luas Penulisan Selisih (meter) (l) meter (meter) meter2 (meter2) Minimum Maksimum Luas dengan No Panjang (meter2) Sesuai Tertinggi (meter2) (meter2) (p) meter 968.2724093 Standar 4554.44119 968.5975907 SU 0.597590678 11 79.25 0.0021585 12.22 0.0020244 968.435 0.162591 4554.94841 968 -0.051590104 0.0022284 39.88 0.0020798 4554.695 0.25361 6152.024542 4555 0.588258422 22 114.21 0.0022462 49.97 0.0020999 6152.306 45399.21767 6152.588258 6152 0.683133523 0.0024502 201.67 0.0024033 45399.95 0.281858 56669.11573 45400.68313 45400 -29.21352758 33 123.12 0.0025025 225.57 0.0024511 56669.95 0.732734 74629.40138 56670.78647 56700 31.38062058 0.0025991 249.15 0.0024983 74630.39 0.835372 84272.18487 74631.38062 74600 -25.67987175 44 225.12 0.0026455 261.11 0.0025222 84273.25 0.989621 105127.4955 84274.32013 84300 29.93485615 0.0027029 299.12 0.0025982 105128.7 1.067628 105129.9349 105100 55 251.23 1.219656 66 299.54 77 322.75 88 351.46 Sumber : Simulasi Data. Berdasarkan tabel 4 di atas, hasil perhitungan luas maksimum makin mendekati hasil penulisan JAMINAN KEPASTIAN OBYEK PENDAFTARAN TANAH luas menurut standar penulisan luas pada surat ukur. Bahkan ada yang nilainya diatas nilai (DITINJAU DARI TEORI ERROR PROPAGATION DARI HASIL maksimum dari kemungkinan nilai yang paling benar. Perbedaan terendah antara luas maksimum dan penulisan luas menurut standar Surat Ukur sebesar 0,051590104 m2, sedangkan tertinggi PENGUKURAN BATAS BIDANG TANAH) sebesar 31.38062058 m2. Berdasarkan tabel 3 dan tabel 4, ternyata perbedaan penulisan luas menurut standar SU dengan luas maksimum hasil perhitungan menggunakan instrumen, sangat acak/tidak sistematis dan bervariasi tidak urut sesuai luas bidang tanahnya. Secara umum perbedaan antara penggunaan alat ukur pita ukur lebih memiliki perambatan kesalahan yang lebih besar disandingkan dengan menggunakan EDM. Pembulatan angka luas sesuai dengan standar penulisan SU penggunaan instrument EDM masih memenuhi syarat karena perbedaan untuk ukuran luas 5 Ha sampai dengan 100 Ha, pembulatannya sampai dengan fraksi ratusan meter. Padahal jika menggunakan alat ukur pita ukur perbedaan antara pembulatan sesuai dengan nilai luas tertinggi masih ada diatas nilai 100 meter yaitu pada luas bidang nomor 6 dan nomor 8. Hal ini sesuai dengan penentuan letak batas bidang tanah, untuk jarak diatas 300 meter sebaiknya dihindari penggunaan pita ukur untuk mengukur jarak. Luas bidang tanah hasil perhitungan juga bukan merupakan harga yang mutlak / absolut, melainkan nilai luas bidang tanah yang relatif, penggunaan toleransi luas yang digunakan untuk memberi jaminan kepastian luas akan bermasalah jika penggunaan alat yang tidak tepat. IV. KESIMPULAN 1. Nilai letak dan hasil hitungan luas tidak merupakan bilang bulat dan memiliki nilai simpangan baku, sehingga kebenaran nilai luas tersebut terletak diantara nilai tersebut ± simpangan baku, angka luas yang dituliskan didalam Surat Ukur dan Buku Tanah merupakan pembulatan dengan nilai tunggal. 2. Ketelitian alat menentukan besarnya simpangan baku letak dan hasil hitungan luas, maka perlu ditulis ketelitian alat dalam gambar ukur sebagai pertanggung jawaban hasil hitungan luas. 49

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL 3. Jaminan kepastian obyek pendaftaran tanah adalah jaminan kepastian nilai relatif, bukan nilai absolut/ mutlak hal ini perlu dinarasikan dalam produk data fisik dalam pendaftaran tanah. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Buku Charles D Ghilani. (2018). Adjustmen Computations, Spatial Data Analysis. John Wiley & Son, Inc. Hoboken, New Jersey. Deputi Bidang Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah. (1998). Petunjuk Teknis Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Naasional Nomor 3 Tahun 1997, Materi Pengukuran Dan Pemetaan Pendaftaran Tanah. Badan Pertanahan Nasional, Jakarta. Direktorat Pengukuran Dan Pemetaan. (2001). Standar Gambar Ukur Dan Surat Ukur. Badan Pertanahan Nasional. Jakarta. Fritz Deumlich. (1982). Surveying Instruments. Walter de Gruyter, New York Masayoshi Takasaki, Suyono Sosrodarsono. (1997). Pengukuran Topografi Dan teknik Pemetaan. PT Pradnya Paramita, Jakarta. Mikhail, Edward M. Gracie, Gordon. (1981). Analysis And Adjustment Of Survey Measurement. Van Nostrand Company Inc. New York. Nurrohmat Widjajanti. (2011). Statistik Dan Teori Kesalahan. Modul Kuliah, Jurusan teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rueger, J.M. (1996). Electronic Distance Measurement. Fourth Edition, Sydney 50

Ir. Eko Budi Wahyono, M.Si. Nama BIODATA PENULIS JAMINAN KEPASTIAN OBYEK PENDAFTARAN TANAH Tempat/Tanggal Lahir (DITINJAU DARI TEORI ERROR PROPAGATION DARI HASIL Pangkat/Golongan Ir. Eko Budi Wahyono, M.si. NIP Nganjuk, 21 Mei 1965. PENGUKURAN BATAS BIDANG TANAH) Pekerjaan Pembina / IV-a 196505211993031005 Alamat Rumah Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan STPN Dosen Tetap STPN Yogyakarta. Alamat Kantor Dosen Tidak Tetap UMY, Yogyakarta(2011– Sekarang) Dosen Tidak Tetap UPN Yogyakarta(2019 - ….) Alamat Email Jl. Namburan Kidul No. 27/71 Yogyakarta (55131) Organisasi Profesi (07047’00,3” Ls; 110020’35,7”Bt) (0274)371337, Hp: 081391651598. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (Stpn) Jl. Tata Bumi No. 5 Yogyakarta . (07048’45,1” Ls ; 110022’05,3” Bt) (Tlp. (0274) 587239) [email protected] Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) No. Anggota : 151-0311-0031 51

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP Ferdy Nugraha Kantor Wilayah Provinsi Sumatera Barat Jalan Kartini No 22, Padang Pasir, Kota Padang, Sumatera Barat Email: [email protected] ABSTRAK Batas bidang tanah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam proses pendaftaran tanah di Indone- sia. Saat ini belum dijelaskannya secara rinci kondisi-kondisi batas bidang tanah secara menyeluruh. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 hanya membedakan dua kondisi yaitu batas sementara dan batas ditetapkan. Tulisan ini menjelaskan tentang bagaimana perlunya penjelasan lebih rinci tentang prin- sip batas bidang tanah yang digunakan dalam pendaftaran tanah di Indonesia, sebab jika tidak dijelaskan secara rinci dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah kemudian hari. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan mendeskripiskan prinsip batas bidang yang digunakan dalam pendaftaran tanah di Indonesia dan kaitannya dengan peraturan perundang-undangan nasional serta dampaknya terhadap penerapan batas bidang tanah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan dalam pendaftaran tanah di Indo- nesia adalah menggunakan prinsip fixed boundary dalam peraturan yang ditetapkan. Akan tetapi pada im- plementasinya di lapangan untuk mencapai kondisi fixed boundary tersebut sangat sulit disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kondisi wilayah di Indonesia yang beragam, peralatan survei yang digunakan dan keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Selain itu dalam penelitian ini juga menjelaskan bagaimana prospek penerapan general boundary untuk percepatan pendaftaran tanah yang telah di adopsi oleh nega- ra-negara berkembang yang menggunakan pendekatan fit-for-purpose land administration dalam pendaft- aran tanahnya. Diharapkan konsep ini dapat diadopsi sebagai solusi dalam percepatan pendaftaran tanah, sehingga tujuan administrasi pertanahan yang complete terpenuhi. Kata Kunci : Batas Bidang Tanah, General Boundary, Fixed Boundary, Fit-Fur-Purpose, Land Administration. I. PENDAHULUAN Batas bidang tanah merupakan suatu hal penting dalam kehidupan sosial manusia, baik antara manusia dengan Allah S.W.T, serta manusia dengan manusia lainnya. Batas bidang tanah tersebut menandai sejauh mana kepemilikan sesorang atas tanah yang dimilikinya, sehingga untuk memisahkan antara bidang tanah miliknya dengan bidang tanah milik orang lain diberilah suatu penanda batas dan dipagari. Hal ini juga disampaikan dalam Hadits Riwayat Abu Daud yang artinya Rasullullah S.A.W bersabda : “Siapa saja yang memagari sebidang tanah (kosong) dengan pagar, maka tanah itu menjadi miliknya”. Istilah batas bidang sudah lebih dulu diklasifikasikan di United Kingdom (UK) of English. Salah satu ahli yang mengemukakan istilah batas bidang adalah Rowton Simpson (berkebangsaan Inggris) pada tahun 1984. Menurutnya dikenal beberapa jenis batas bidang tanah salah satunya adalah general boundary. General Boundary adalah batas tepat namun belum dipastikan (Simpson 1984, 134). Istilah general boundary sampai saat ini sudah sering digunakan oleh negara-negara di dunia bahkan sering disebut dalam forum internasional. Namun hingga saat ini persepsi mengenai istilah general boundary masih belum sama. Hal ini berdampak banyaknya definisi tentang batas bidang tanah yang akhirnya membuat kerancuan dalam penerapan dan penggunaanya. Walaupun demikian di luar konsep definisi batas bidang tersebut, 52

Ferdy Nugraha, S.Tr IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP hakikatnya batas bidang tanah sangat penting karena untuk memastikan batasan kepemilikan sebuah subjek atas bidang tanah. Di Indonesia batas bidang tanah ini juga diatur dalam pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah di Indonesia masih merupakan isu terkini yang menjadi perhatian Pemerintah dalam pelaksanaannya karena merupakan program strategis nasional. Program ini dimulai sejak dicanangkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah dan disempurnakan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian ATR/ BPN pada tahun 2016, kondisi bidang-bidang tanah yang terdaftar di Indonesia sebanyak 41.800.000 (43%) bidang, dan yang belum terdaftar 54.800.000 (57%) bidang. Terdapat 57% bidang tanah belum terdaftar, artinya bidang tanah tersebut belum diukur dan dipetakan (Kementerian ATR/ BPN, 2017). Hal ini termasuk kategori lambat dalam penyelesaian pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia mengingat peraturan ini sudah berjalan lebih dari 5 (lima) dekade. Penyebab lambatnya proses pendaftaran tanah di Indonesia adalah adanya syarat yang harus dipenuhi jika seorang pemilik tanah ingin mendaftarkan tanahnya, yakni proses penetapan batas. Penetapan batas diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tersebut harus memenuhi kaidah-kaidah yang dinamakan asas contradictoire delimitatie. Asas contradictoire delimitatie memang diperlukan untuk mengetahui batas pasti pemilikan bidang tanah. Namun dalam penerapannya sering terjadi kendala. Menurut Tiku yang melakukan penelitan pada tahun 2015 dalam penerapan asas contradictoire delimitatie pada proses pendaftaran tanah belum berjalan sebagaimana mestinya. Faktor-faktor yang menghambat penerapan asas contradictoire delimitatie dalam penetapan batas pada proses pendaftaran tanah antara lain adanya sengketa batas tanah, tanah tidak dipasangi patok dan batas tanah pun menjadi tidak jelas. Para pihak baik pemohon maupun pemilik tanah yang berbatasan tidak bisa hadir pada waktu penetapan batas tanah, hal ini menghambat dalam pengukuran sehingga memperlambat penyelesaian pendaftaran tanah. Permasalahan lambatnya pendaftaran tanah ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara berkembang lainnya juga mengalami hal serupa. Isu ini pun pernah dibahas dalam forum ekonomi dunia. Pada tahun 2009, International Federation of Surveyors (FIG) bekerjasama dengan World Bank. Agenda tersebut dilanjutkan pada tahun 2014 dan mempublikasikan sebuah buku berjudul Fit-for-Purpose Land Administration (FFP-LA) yang disusun oleh Professor Stig Enemark, dkk dalam bentuk FIG Publication Nomor 60. Tahun 2016, Stig Enemark, dkk bersama GLTN/UN-HABITAT juga menyusun Fit-for-purpose Land Administration - Guiding Principles for Country Implementation. Tahun 2017, kembali Stig Enemark, dkk menulis Fit-for-purpose Land Administration: Developing Country Specific Strategies For Implementation. Intinya, kalangan surveyor yang tergabung di dalam FIG dengan dimotori oleh Professor Enemark, memberikan sebuah cara pandang baru dalam pengelolaan administrasi pertanahan yang berbeda dengan metode konvensional selama ini. Pendekatan metode baru ini lebih menekankan pada terpenuhinya data informasi bidang tanah secara lengkap, sehingga tujuan mulia administrasi pertanahan untuk memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah bisa dinikmati oleh seluruh warga negara (Martono, 2018). Di dalam tulisan Fit-for-purpose Land Administration - Guiding Principles for Country Implementation (Enemark dkk 2016, 17) terdapat 3 (tiga) karakteristik mendasar dalam pendekatan FFP- LA. Pertama, FFP-LA lebih fokus pada tujuan utama administrasi pertanahan dan bagaimana cara terbaik untuk mencapainya; kedua, didesain lebih fleksibel untuk bisa tetap bekerja dalam berbagai keterbatasan dan 53

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL kendala; serta ketiga, menekankan perspektif perbaikan secara terus menerus untuk keberlanjutan ke depan dan kemudahan dalam penerapannya. FFP-LA juga memiliki tiga komponen utama yang terdiri dari kerangka spasial, legal dan institutional. Salah satu hal yang terpenting dalam membangun infrastruktur pertanahan dalam hal pengumpulan data fisik bidang tanah ialah dengan dibuatnya kerangka spasial yang baik. Kerangka spasial bertujuan untuk memetakan setiap bidang tanah sesuai dengan batas penguasaan dan penggunaannya. Skala dan akurasi petanya harus mampu menciptakan kepastian hak atas tanah baik yang sudah terdaftar maupun yang belum, pengaturan hubungan hukum hak atas tanah serta penggunaan tanah dan sumber daya alam melalui kerangka kelembagaan di berbagai institusi yang terlibat. Menurut Enemark, dkk (2016, 19) ada empat prinsip utama untuk menunjang percepatan pengumpulan data fisik bidang tanah yang terdapat dalam kerangka spasial Fit-for-purpose salah satunya adalah penggunaan general boundary lebih disarankan daripada fixed boundary. Istilah general boundary ternyata banyak digunakan oleh negara-negara berkembang, seperti Rwanda yang melaksanakan identifikasi bidang tanah menggunakan foto udara dari tahun 2009 hingga tahun 2013, kemudian juga diikuti oleh Ethiophia pada tahun selanjutnya, dan general boundary digunakan oleh Namibia untuk mendata tanah- tanah komunal/ adat. Hal ini berbeda dengan penerapan batas bidang di Indonesia. Saat ini di Indonesia kondisi-kondisi batas bidang tanah belum dijelaskan secara menyeluruh (Kariyono 2016, 26). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 hanya membedakan dua kondisi yaitu batas sementara dan batas ditetapkan. Menurut peneliti saat ini perlunya penjelasan lebih detail tentang prinsip batas bidang tanah yang digunakan dalam pendaftaran tanah di Indonesia sebab jika tidak dijelaskan secara detail dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah kemudian hari. Masalah yang timbul berkaitan dengan dampak dari penerapan prinsip batas bidang yang digunakan, karena tiap-tiap prinsip batas bidang memiliki karakteristik, keunggulan dan kelemahan masing-masing. Hingga saat ini penetapan batas bidang merupakan salah satu syarat yang harus tetap terpenuhi dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia, termasuk dalam program percepatan pendaftaran tanah yang dinamakan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Sejak tahun 2017 pendaftaran tanah di Indonesia mengalami perubahan yang sangat drastis. Jumlah bidang tanah terdaftar mengalami peningkatan karena adanya program PTSL. Melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ BPN RI (Permen ATR/ BPN RI) Nomor 6 Tahun 2018 dilaksanakan PTSL sebagai salah satu langkah pemerintah untuk mempercepat menyelesaikan Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bergerak dari satu desa ke desa lainnya untuk mewujudkan sistem administrasi pertanahan lengkap baik dari segi kelengkapan data fisik maupun yuridis bidang tanah menyeluruh di satu desa adalah tujuan utama pendaftaran tanah desa lengkap ini. Pada tahun 2016 Kementerian ATR/ BPN RI mencanangkan 21 juta bidang tanah untuk didaftarkan rentan waktu 3 tahun kedepannya, terbagi dalam 5 juta bidang di tahun 2017, 7 juta bidang di tahun 2018 dan 9 juta bidang di tahun 2019. Program ini tentu akan berdampak signifikan untuk mewujudkan cita-cita pendaftaran tanah guna menuju Sistem Publikasi Positif yang direncanakan pada tahun 2025 serta mewujudkan cita-cita Kadaster Lengkap di tahun 2034 nya (Mauliandi 2017, 40). Target yang sangat tinggi dan meningkat tiap tahun ini tentunya menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah seluruh bidang tanah yang teridentifikasi memenuhi standar teknis yang telah ditetapkan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997? Perlu menjadi catatan dalam peraturan tersebut standar teknis yang digunakan 54

Ferdy Nugraha, S.Tr IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah adanya penetapan batas, metode pengukuran teliti dan memiliki akurasi yang tinggi. Namun kenyataanya di lapangan belum sepenuhnya dapat diterapkan. Dalam Permen ATR/ BPN RI Nomor 6 Tahun 2018 membuka peluang digunakannya prinsip general boundary ini dalam pembuatan peta kadaster, juga diterangkan dalam petunjuk teknisnya yaitu dengan memanfaatkan ketersediaan peta foto skala besar untuk keperluan pengumpulan data fisik bidang tanah. Hasil-hasil penelitian yang relevan tentang penggunaan general boundary di Indonesia seperti Wardani, dkk (2016) melaksanakan analisis metode deliniasi bidang tanah pada citra resolusi tinggi dalam pembuatan kadaster lengkap menunjukkan metode deliniasi bidang tanah menggunakan general boundary secara keseluruhan memenuhi toleransi apabila akan digunakan dalam memenuhi kebutuhan geometrik bentuk dan luas. Selanjutnya Kariyono (2018) menunjukkan bahwa dengan menggunakan general boundary memberikan kontribusi yang positif dalam pelaksanaan Sensus Pertanahan di Kota Tangerang Selatan. Begitu banyaknya peneliti yang menerapkan prinsip general boundary membuat peneliti ingin mengkaji lebih jauh lagi tentang prinsip general boundary tersebut. II. METODE Metode penulisan dalam penelitian ini adalah menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong 2008, 6). Sementara pendekatan yang akan digunakan penelitian ini adalah pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif adalah pendekatan dalam suatu penelitian yang berusaha menggambarkan dan menjelaskan “apa adanya” tentang suatu gejala, variabel atau keadaan (Cevilla 1993, 71). Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada (Mardalis 1993, 26). Selain itu peneliti juga menggunakan model pendekatan analisis isi. Analisis isi bersifat pembahasan yang mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Adapun analisis isi bertujuan untuk mengetahui konsep dasar tentang batas bidang berdasarkan literatur yang ada seperti, buku, publikasi, jurnal, disertasi, tesis, skripsi dll. Dari uraian di atas, metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan analisis isi ini dipilih karena akan mengantarkan peneliti memahami lebih detail mengenai konsep batas bidang tanah secara utuh terutama pemahaman mengenai general boundary serta memahami lebih lanjut bagaimana penerapannya dalam rangka percepatan pendaftaran tanah di Indonesia. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Konsep Batas Bidang Tanah Terdapat beberapa pengertian mengenai batas bidang menurut para ahli atau yang pernah disampaikan oleh beberapa pakar dalam tulisannya. Para ahli tersebut antara lain adalah S. Rowton Simpson, Stig Enemark, Arbind Man Tuladhar, dan Peter Dale and John McLaughlin. Menurut Rowton Simpson dalam bukunya Land Law & Registration Chapter 8: Boundaries and Map (1984), menyatakan bahwa terdapat dua klasifikasi batas bidang yaitu general boundary dan fixed boundary. Menurutnya general boundary adalah : “General boundary is the exact line of the boundary has been left undetermined” 55

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL General boundary didefinisikan berupa garis tepat dalam sebuah batas namun tidak dipastikan ke dalam posisi yang lebih detail berdasarkan fitur fisik seperti pagar, dinding dan parit. Sedangkan fixed boundary didefiniskan sebagai garis batas yang tepat hasil dari survei yang dilakukan secara akurat. Tuladhar (1995) juga menjelaskan hal yang sama terkait dua prinsip batas bidang dengan menambahkan wilayah atau area yang tepat untuk penggunaan kedua batas tersebut. Fixed boundary lebih disarankan digunakan untuk daerah urban, sedangkan general boundary lebih disarankan pada daerah rural. Adapun yang menjadi pertimbangan karena untuk daerah urban memiliki harga tanah yang relatif tinggi dibanding daerah rural. Sengketa tanah pun lebih sering terjadi dikarenakan tanah sangat berharga. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui antara general boundary dan fixed boundary memiliki perbedaan wilayah penerapan dikarenakan oleh beberapa faktor salah satunya kepadatan penduduk dan nilai tanah. Menurut Enemark, dkk (2010) dalam Boundary Tools menyatakan terdapat dua kategori batas bidang pertama fixed boundary adalah : “Fixed boundaries are where the precise line of the boundary is determined by legal surveys and expressed mathematically by bearings and distances, or by coordinates“ Selanjutnya general boundary adalah : “General boundaries are where the precise line on the ground has not been determined, although usually, it is represented by a physical feature, either natural or man-made, such as a fence, hedge, ridge, wall (in a strata or condominium parcel), ditch, road, or railway line, and shown graphically on a map — normally, a large-scale topographic map.” Fixed boundary merupakan garis batas yang tepat ditentukan oleh lembaga survei kadastral memiliki nilai secara matematis oleh sudut dan jarak atau dengan koordinat. Karakteristik dari fixed boundary ini adalah memiliki monumen, seperti tiang beton, pipa besi, pasak kayu, batang baja, atau tanda pada batu atau beton dan biasanya ditentukan dan ditandai oleh surveyor kadastral. Adapun fixed boundary lazim diterapkan oleh negara-negara maju, seperti Australia, Swedia, Austria, Selandia Baru dan Jerman. Sedangkan general boundary merupakan sebuah batas yang diwakili oleh fitur fisik, baik alami atau buatan manusia, seperti pagar, pagar, punggungan, dinding, parit, jalan, atau jalur kereta api, dan ditampilkan secara grafis pada peta-peta topografi skala besar. Berdasarkan pengertian di atas peneliti menyimpulkan antara general boundary dan fixed boundary memiliki perbedaan dalam hal wujud/ fisik. Dale & Mc Laughlin (1999) membedakan tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai fixed boundary yaitu : “ a) Defined on the ground prior to development and identified. b) Identified after development. c) Defined by surveys to specified standards”. Syarat di atas menjelaskan bahwa batas-batas yang fixed mengikat secara hukum ketika kesepakatan tercapai antara pemilik bidang tanah dan pemilik bidang tanah berbatasan dengan adanya monumen/ tanda batas. Selanjutnya Dale & McLaughlin (1999) juga membedakan tiga syarat general boundary yaitu : “ a) The situation where the ownership of the boundary feature is not established, so that the boundary may be one side of a hedge or the other or down the middle. b) The indeterminate edge of a natural features. c) The situation where the boundary is regarded as approximate so that the register may be kept free from boundary disputes”. 56

Ferdy Nugraha, S.Tr Ketiga syarat di atas menjelaskan bahwa kekuatan dari prinsip general boundary, adalah tidak menciptakan perselisihan mengenai perpindahan/ pergeseran batas yang terjadi. Pergeseran batas terjadi misalnya dinding/ pagar yang runtuh ketika akan dibangun kembali menyebabkan bergesernya batas ke arah salah satu pemilik bidang tanah. Hal ini lazim terjadi dalam prinsip general boundary, sebab antara pemilik bidang tanah dengan pemilik bidang tanah berbatasan tidak mempermasalahkan hal tersebut terjadi. Pada publikasi Land Administration Guidelines (United Nations 1996) menyatakan terdapat ambiguitas antara fixed boundary dengan general boundary setidaknya ada beberapa konsep yang harus dijelaskan. Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti akan mencoba menemukan perbedaan antara kedua batas bidang tersebut dalam beberapa variabel pada tabel 1 di bawah ini : Tabel 1 : Variabel Batas Bidang Tanah VARIABEL GENERAL BOUNDARY FIXED BOUNDARY SUMBER Bentuk Fisik Kenampakan Fisik/ Batas Adanya tanda batas berupa Rowton Simpson (1984), Asas Contradictoir Alam / buatan seperti Delimitate pagar, dinding, tembok. monumen/ tugu batas. Book Land and Law Ada, dengan kesepakatan Registration IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM berdasarkan fitur fisik PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP yang ada pada saat Ada, selanjutnya bidang Pelaksanaan Land Tenure pelaksanaan survei tanah ditandai dengan Regularitation di tanda Rwanda, Nepal, Namibia, batas berupa monumen/ Vanuatu tugu batas Metode Survei • Deliniasi dengan foto • Survei Kadastral • Dale & Mc Laughin udara/ Berdasarkan Peta • High accuracy (1999) Topografi Berskala Besar • Lower accuracy • Determined • Fit-for-purpose Land • Undetermined Administration • Land Register 2002 • Henri A.L. Dekker 1988 • The Invisible Line: Land Reform, Land Tenure Security and Land Penerapan Wilayah Rural Area Urban Area Arbind M. Tuladhar (1996). Pelaksanaan Pendaftaran Sistematik Sporadik Land Administration for Tanah Sustainable Development (2010) Sumber : Olahan data primer peneliti 2019 Selain penjelasan dengan menggunakan Tabel 1. variabel batas bidang tanah, untuk memudahkan peneliti memahami tentang prinsip general boundary dan fixed boundary, selanjutnya peneliti mencoba membuat mind map tentang batas bidang tersebut yang terdapat pada Gambar 1. : 57

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL Sumber : Olahan data sekunder peneliti 2019 Gambar 1. Mind Map Batas Bidang Pada Mind Map Batas Bidang di atas yang menjadi sentral adalah general boundary dan fixed boundary. Terdapat delapan garis hubung pada tiap prinsip batas yang menggambarkan sebuah hubungan antara fixed boundary dan general boundary dengan variabel-variabel yang ada. Pada penerapan prinsip general boundary dan fixed boundary memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Peneliti akan menjelaskan beberapa pendapat mengenai keuntungan jika menerapkan prinsip general boundary yaitu, Dale & McLaughlin (1999) menjelaskan keuntungan dari general boundary terletak pada standar yang tidak terlalu tinggi dalam survei dimana dalam pendaftaran tanah mengabaikan perubahan/ pergerseran kecil pada posisi batas, sementara untuk haknya terjamin. Deliniasi general boundary terhadap batas bidang yang sudah terbangun, seperti pematang atau tembok, hal ini dapat mengurangi potensi terjadinya konflik karena secara tidak langsung pihak yang berbatasan sudah sepakat dengan batas yang sudah permanen berupa tembok/pagar tersebut (dengan hal ini asas contradictoire delimitatie terpenuhi). Selain memiliki kelebihan general boundary juga memiliki kelemahan yaitu tidak semua jenis batas dapat teridentifikasi dalam media survei yang digunakan (peta foto udara, CSRT, dan peta topografi skala besar), sehingga perlu dilakukan pengukuran tambahan/suplesi untuk mengetahui letak batas bidang yang tidak teridentifikasi tersebut. Begitu juga dengan fixed boundary kelebihan batas ini antara lain; 1) Pemilik bidang tanah memiliki keyakinan penuh atas batas tanah mereka karena dilindungi oleh peraturan; 2) Pemerintah tidak akan menemui kesulitan dan hambatan apabila ada kegiatan pembebasan bidang-bidang tanah tersebut untuk keperluan pembangunan lebih lanjut, hal ini dikarenakan batas tersebut sudah fixed; 3) Tidak perlu ada survei ulang mengenai luas dan batas, karena pemerintah menjamin atas luas dan batas bidang tanah tersebut (Dale & McLaughlin, 1999). Namun fixed boundary juga memiliki kelemahan salah satunya dalam hal proses penetapan batas sering jadi hambatan non teknis, seperti terjadi sengketa, pemilik dan pihak 58

Ferdy Nugraha, S.Tr IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP yang bersebelahan tidak hadir, dan tidak adanya tanda batas, sehingga menurut peneliti kondisi batas fixed tersebut sangat sulit untuk tercapai. Peneliti menyadari bahwa pilihan untuk menggunakan fixed boundary atau general boundary dalam penerapannya di sebuah negara sering dipengaruhi oleh sejarah negara tersebut. Misalnya di negara Inggris yang menerapkan prinsip general boundary. Prinsip general boundary yang digunakan oleh Negara Inggris merupakan suatu hal yang berbeda dibanding negara-negara Eropa lainnya seperti, Swedia, Austria. Hal ini dikarenakan pemetaan topografi telah dilaksanakan pada tahun 1825 oleh Ordnance Survei (Badan Pemetaan Nasional Inggris) yang telah membuat peta topografi skala besar. Jadi batas kepemilikan pada Inggris ditentukan pada fitur- fitur yang tampak pada peta topografi hal ini bisa dilihat pada Gambar 2. : Sumber : www.landregistry-titledeeds.co.uk Gambar 2. Boundary Types dalam Pendaftaran Tanah di Inggris Pada Gambar 2. di atas terdapat tiga batas yang yaitu physical boundary yang merupakan batas dari kenampakan fisik, legal boundary yang merupakan batas dari kenampakan fitur fisik dan kepemilikan yang berbeda namun sudah dilegalkan oleh negara, dan Land Registry Boundary merupakan batas yang akan didaftarkan berdasarkan fitur fisik dari peta topografi tersebut. Berdasarkan penjelasan Gambar 2. di atas Land Registry Boundary tersebut kategori batas yang digunakan adalah merupakan general boundary yang mengacu pada fitur fisik. Adapun penerapan general boundary pada negara-negara akan peneliti jelaskan pada bab selanjutnya. Pada sub-bab selanjutnya peneliti akan menjelaskan tentang konsep batas bidang yang ada serta kaitannya dengan konsep batas bidang yang diterapkan di Negara Indonesia berdasarkan peraturan dan perundang-undangan nasional. 3.2. Batas Bidang Tanah Dalam Pendaftaran Tanah di Indonesia Pada sub-bab ini peneliti akan mencoba menghubungkan variabel-variabel batas bidang hasil temuan peneliti dengan kondisi terkini batas bidang di Indonesia yang di atur dalam peraturan perundang- undangan nasional. Adapun penjelasannya sebagai berikut : 1. Bentuk fisik Bentuk fisik dari batas bidang yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di atur dalam PMNA/ Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 adalah kriteria tentang tanda batas. Dalam pasal 22 menyebutkan : Ayat (1) Untuk bidang tanah yang luasnya kurang dari 10 ha, dipergunakan tanda- tanda batas sebagai berikut: 59

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL a) pipa besi atau batang besi, panjang sekurang-kurangnya 100 cm dan bergaris tengah sekurang- kurangnya 5 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 80 cm, sedang selebihnya 20 cm diberi tutup dan dicat merah, atau b) pipa paralon yang diisi dengan beton (pasir campur kerikil dan semen) panjang sekurang-kurangnya 100 cm dan bergaris tengah sekurang-kurangnya 5 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 80 cm, sedang selebihnya 20 cm dicat merah, atau c) kayu besi, bengkirai, jati dan kayu lainnya yang kuat dengan panjang sekurang-kurangnya 100 cm lebar kayu sekurang-kurangnya 7,5 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 80 cm, sedang selebihnya 20 cm di permukaan tanah di cat merah, dengan ketentuan bahwa untuk di daerah rawa panjangnya kayu tersebut sekurang-kurangnya 1,5 m dan lebar sekurang-kurangnya 10 cm, yang 1 m dimasukkan ke dalam tanah, sedang yang muncul di permukaan tanah dicat merah. Pada kira-kira 0,2 m dari ujung bawah terlebih dulu dipasang dua potong kayu sejenis dengan ukuran sekurang-kurangnya 0,05 x 0,05 x 0,70 m yang merupakan salib; atau d) tugu dari batu bata atau batako yang dilapis dengan semen yang besarnya sekurang- kurangnya 0,20 m x 0,20 m dan tinggi sekurang-kurangnya 0,40 m, yang setengahnya dimasukkan ke dalam tanah, atau e) tugu dari beton, batu kali atau granit dipahat sekurang- kurangnya sebesar 0,10 m persegi dan panjang 0,50 m, yang 0,40 m dimasukkan ke dalam tanah, dengan ketentuan bahwa apabila tanda batas itu terbuat dari beton di tengah-tengahnya dipasang paku atau besi. Selanjutnya pada Ayat (2) juga menyebutkan : Untuk bidang tanah yang luasnya 10 ha atau lebih dipergunakan tanda-tanda batas sebagai berikut : a) pipa besi panjang sekurang-kurangnya 1,5 m bergaris tengah sekurang-kurangnya 10 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 1 m, sedang selebihnya diberi tutup besi dan dicat merah, atau b) besi balok dengan panjang sekurang- kurangnya 1,5 m dan lebar sekurang-kurangnya 10 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 1 m, pada bagian yang muncul di atas tanah dicat merah, atau c) kayu besi, bengkirai, jati dan kayu lainnya yang kuat dengan panjang sekurang-kurangnya 1,5 m lebar kayu sekurang-kurangnya 10 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 1 m, pada kira-kira 20 cm dari ujung bawah dipasang 2 potong kayu sejenis yang merupakan salib, dengan ukuran sekurang- kurangnya 0,05 x 0,05 x 0,7m; Pada bagian atas yang muncul di atas tanah dicat merah; atau d) tugu dari batu bata atau batako yang dilapis dengan semen atau beton yang besarnya sekurang-kurangnya 0,30 m x 0,30 m dari tinggi sekurang-kurangnya 0,60 m, dan berdiri di atas batu dasar yang dimasukkan ke dalam tanah sekurang- kurangnya berukuran 0,70 x 0,70 x 0,40m, atau e) pipa paralon yang diisi dengan beton dengan panjang sekurang-kurangnya 1,5 m dan diameter sekurang-kurangnya 10 cm, yang dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 1 m, dan yang muncul di atas tanah dicat merah. Berdasarkan penjelasan pasal di atas, wujud fisik batas bidang tanah di Indonesia terdapat ciri fixed boundary karena memiliki kriteria, dimensi tentang tanda batas yang disarankan dalam pendaftaran tanah. Lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2. dibawah ini: 60

Ferdy Nugraha, S.Tr Tabel 2 : Kriteria Tanda Batas LUAS < 10 ha KRITERIA BENTUK LUAS> 10 KRITERIA BENTUK ha Pipa Besi Panjang 100 cm dan bergaris tengah 5 cm, Panjang 1,5 m , garis tengah 10 dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 80 Pipa Besi cm, dimasukkan ke dalam tanah cm, dan dicat merah, sepanjang 1 m dan dicat merah Pipa Paralon Panjang 100 cm dan bergaris tengah Pipa Paralon Panjang 1,5 m , garis tengah 10 sekurang-kurangnya 5 cm, dimasukkan ke cm, dimasukkan ke dalam tanah Kayu Besi dalam tanah sepanjang 80 cm, dan dicat sepanjang 1 m dan dicat merah Tugu Batu/ merah, Batako Panjang 100 cm lebar kayu 7,5 cm, Kayu Besi Panjang 1,5 m , garis tengah 10 IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 80 Tugu Batu/ cm, dimasukkan ke dalam tanah PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP Tugu Beton cm dan tanah di cat merah, Batako sepanjang 1 m dan dicat merah Dimensi 0,20 m x 0,20 m dan tinggi sekurang-kurangnya 0,40 m, yang Pipa Paralon Dimensi 0,30 m x 0,30 m dari tinggi setengahnya dimasukkan ke dalam tanah, sekurang-kurangnya 0,60 m, dan berdiri di atas batu dasar yang Dimensi 0,10 m persegi dan panjang 0,50 dimasukkan ke dalam tanah dengan m, yang 0,40 m dimasukkan ke dalam dimensi berukuran 0,70 x 0,70 x tanah, dan di tengah-tengahnya dipasang 0,40m paku atau besi. Panjang 1,5 m , garis tengah 10 cm, dimasukkan ke dalam tanah sepanjang 1 m dan dicat merah Sumber : PMNA/ Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 2. Asas Contradictoire Delimitatie Kepastian hukum pemilikkan bidang tanah, lazimnya terlebih dahulu diawali dengan kepastian hukum letak batas bidang tanah tersebut. Penentuan letak batas melalui asas contradictoire delimitate merupakan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian ini melibatkan semua pihak, masing-masing harus memenuhi kewajiban menjaga letak batas bidang tanah. Setiap perjanjian berlaku suatu asas, dinamakan asas konsensualitas dari asal kata konsensus artinya sepakat. Asas konsensualitas berarti suatu perjanjian sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan, perjanjian sudah sah apabila sudah sepakat. 3. Penerapan Wilayah Dalam PMNA/ Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 belum menjelaskan secara rinci tentang kondisi wilayah penerapan batas bidang. Hanya terbagi menjadi wilayah pertanian dan wilayah non pertanian. Masing wilayah memiliki toleransi pegukuran posisi titik batas bidang yaitu 25 cm untuk wilayah pertanian, dan 10 cm untuk wilayah non pertanian. Berdasarkan syarat toleransi pengukuran yang ditetapkan, peneliti menyimpulkan hal tersebut termasuk kategori fixed boundary karena syarat toleransi tersebut sangat tinggi. 4. Metode Survei Metode survei batas bidang tanah di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua) dasar utama, pertama mengenai persyaratan ketelitian yang harus dipenuhi (ketelitian posisi dan ketelitian geometris) dan posisi batas bidang tanah yang dapat direkonstruksi kembali. 61

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL A. Ketelitian Pengukuran Batas Bidang Tanah Persyaratan ketelitian pengukuran posisi batas bidang tanah dijelaskan dalam Petunjuk Teknis Pengukuran dan Pemetaan PMNA/ Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997. Setiap kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah harus memenuhi persyaratan ketelitian. Persyaratan ketelitian yang dimaksud adalah toleransi kesalahan maksimal yang dihasilkan dari setiap titik bidang tanah. Besaran toleransi maksimal tersebut dibedakan berdasarkan metode pengukuran dan pemanfaatan wilayah. Pengukuran dengan metode terestris dan pengamatan satelit untuk daerah pertanian memiliki toleransi pegukuran posisi titik batas bidang tanah sebesar 25 cm, sementara untuk daerah pemukiman sebesar 10 cm. Pengukuran bidang tanah dengan memanfaatkan hasil blow up foto memiliki toleransi pengukuran sebesar 0.5 mm x skala peta untuk daerah pertanian terbuka dan 0.3 mm x skala peta untuk daerah pemukiman komersil dengan skala peta paling kecil 1:2500 s/d skala yang lebih besar. Toleransi pengukuran hasil blow up peta foto didapatkan setelah membandingkan jarak langsung setiap batas bidang tanah di lapangan dengan jarak hasil deliniasi batas tampak di atas peta foto. Hal ini berbeda dengan besaran toleransi kesalahan pengukuran yang menggunakan metode terestrial dan pengamatan satelit, toleransi dipersyaratkan untuk setiap posisi batas bidang tanah yang didapatkan (koordinatnya). Selain itu Petunjuk Teknis Pengukuran dan Pemetaan PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 ketelitian luasan bidang yang di hitung dengan metode grafis dan digital harus memenuhi syarat toleransi luas sebesar 1/2√L. Penghitungan luas dengan metode grafis dan dijital tidak boleh memiliki selisih lebih dari toleransi tersebut (Mauliandi 2017). B. Rekonstruksi Batas Bidang Tanah Pemberian kekuatan bukti pada peta-peta kadaster dengan undang-undang hanya dapat dipertanggung jawabkan apabila memenuhi dua syarat sesuai dengan PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 24 ayat (2) : Prinsip dasar pengukuran bidang tanah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah adalah harus memenuhi kaidah-kaidah teknis pengukuran dan pemetaan sehingga bidang tanah yang diukur dapat dipetakan dan dapat diketahui letak dan batasnya di atas peta serta dapat direkonstruksi batas-batasnya di lapangan. Rekonstruksi bidang tanah adalah proses pengukuran yang dilaksanakan setelah terbitnya sertipikat hak atas tanah atau yang dilaksanakan kedua atau beberapa kali terhadap suatu bidang tanah dengan menggunakan data ukuran yang dulu digunakan dalam penetapan lokasi dan posisi titik-titik batas tersebut (mengacu pada data pendaftaran tanah pertama kali atau gambar ukur yang sudah ada sebelumnya), jika dimungkinkan menggunakan dan memanfaatkan semua data dan informasi yang masih ada. Kegiatan ini bertujuan untuk menentukan kembali lokasi dan posisi titik- titik bidang tanah di lapangan yang tanda batasnya hilang atau tidak pada tempatnya, yang bisa berdampak pada luas bidang tanah yang berbeda antara bukti kepemilikan dengan kenyataan di lapangan. Berdasarkan dua dasar utama di atas yakni adanya syarat ketelitian dan rekonstruksi bidang tanah peneliti menyimpulkan bahwa hal ini termasuk dalam karakteristik fixed boundary. Pemanfaatan peta foto udara sebagai media survei prinsip general boundary digunakan hanya sebagai peta dasar saja. Peta foto udara/ CSRT yang dijadikan peta dasar selanjutnya dapat digunakan 62

Ferdy Nugraha, S.Tr IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP untuk mengidentifikasi batas bidang yang teridentifikasi pada foto udara/ CSRT tersebut. Namun peraturan mewajibkan bidang tanah hasil deliniasi tersebut tetap diukur kembali di lapangan (Pasal 26 PMNA/ Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997). 5. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Dasar hukum yang mengatur permasalahan pertanahan di Indonesia adalah Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan didalam pasal 19 disebutkan permasalahan pendaftaran tanah. PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah merupakan turunan dari pasal 19 tersebut secara lebih terperinci baik mengenai tata cara, ketentuan, aturan dan hal yang bersifat teknis tentang pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dibagi menjadi dua jenis yaitu pendaftaran tanah sistematik dan pendaftaran tanah sporadik. Adapun peraturan ini juga mengatur permasalahan batas bidang tanah di Indonesia sebagai syarat pendaftaran tanah. Pasal 14 sampai dengan Pasal 19 PP Nomor 24 Tahun 1997 menetapkan bahwa untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemegang hak ditetapkan terlebih dahulu kepastian hukum objeknya melalui penetapan batas bidang tanah. Penetapan data fisik atau penetapan batas pemilikan bidang tanah diatur Pasal 17 PP Nomor 24 Tahun 1997 berdasarkan kesepakatan para pihak. Bila belum ada kesepakatan maka dilakukan penetapan batas sementara, hal tersebut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Antara pendaftaran tanah sistematik dan sporadik dalam hal ketentuan batas bidang tidak dibedakan penerapannya, karena harus mengikuti standar teknis yang ditentukan. PP Nomor 24 Tahun 1997 belum memperinci kondisi-kondisi batas bidang tanah di lapangan secara menyeluruh. Hanya membedakan batas dalam 2 (dua) kondisi yaitu batas sementara dan batas ditetapkan. Batas sementara adalah kondisi telah dilaksanakan pengukuran posisi batas bidang tanah namun terkendala persetujuan batas bidang tanah yang dikarenakan tidak hadirnya pemilik batas bersebelahan atau adanya sengketa batas bidang tanah. Batas ditetapkan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 17-19 peraturan yang sama adalah kondisi yang mana batas bidang tanah telah memenuhi persyaratan administrasi pendaftaran tanah yang ditetapkan oleh pejabat Pemerintah (petugas Kementerian ATR/BPN) dan dituangkan dalam berita acara penetapan batas (Daftar Isian 201) (Mauliandi, 2017). Pada pelaksanaan praktiknya, batas bidang tanah di Indonesia tidak dibedakan dari wujud fisiknya. Apapun bentuk fisiknya dan bagaimanapun kondisi lapangannya, selama belum adanya kesepakatan antar pemilik batas dan belum terukur posisi batas bidang tanahnya maka disebut general boundary. Kondisi batas bidang tanah disebut sebagai batas sementara apabila tetangga berbatasan masih terlibat sengketa sehingga tidak dapat dihadirkan pada saat pengukuran batas sebagai saksi penetapan batas, namun tetap dilaksanakan terhadap batas sementara tersebut. Fixed boundary adalah kondisi yang mana asas contradictoire delimitatie telah dipenuhi oleh pemilik batas, baik kesepakatan batas ini dilaksanakan jauh sebelum terjadinya penetapan ataupun pada saat berlangsungnya penetapan batas dan telah terukur. Batas terjamin adalah kondisi batas bidang tanah yang telah memenuhi unsur administrasi sebagai syarat pendaftaran tanah dan dijamin sebagai produk berkekuatan hukum oleh negara. Terdapat hak atas tanah yang melekat bersama batas terjamin ini. 63

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL Melihat dari klasifikasi batas bidang menurut pakar di dunia jika dihubungkan dengan klasifikasi batas bidang yang ada di Indonesia, serta dengan beberapa standar yang diatur dalam peraturan maka batas bidang tanah di Indonesia dapat dikategorikan approximate boundary untuk batas sementara, dan fixed boundary untuk batas ditetapkan. Approximate boundary merupakan batas sementara yang mana posisi batas belum ditentukan, meskipun lokasi umum bidang tanah ditentukan. Menurut Enemark (2016) approximate boundary tidak setepat dan tidak seakurat general boundary namun anggapan ini dapat menimbulkan perbedaan persepasi karena dalam penerapannya batas sementara yang ada di Indonesia tetap dilaksanakan pengukuran untuk batas tersebut yang artinya memliki nilai, akurasi dan presisi. Kondisi sementara tersebut akan berubah menjadi fixed jika telah diselesaikan melalui jalur kesepakatan/mealui proses pengadilan. Berdasarkan penjelasan tersebut disimpulkan bahwa batas ditetapkan merupakan tingkatan tertinggi dalam klasifikasi batas di Indonesia. Penerapan batas ditetapkan dalam pendaftaran tanah di Indonesia merupakan suatu hal yang mutlak dan harus dijalankan sesuai PP Nomor 24 Tahun 1997. Batas ditetapkan merupakan jaminan dari Negara karena sudah dilaksanakan tahapan-tahapan asas contradictoire delimitatie dan pengukuran sesuai dengan standar yang ditentukan, sehingga bila dikemudian terjadi sengketa atau batas tersebut hilang dapat direkonstruksi kembali. Hal ini sesuai dengan kriteria fixed boundary. Prinsip fixed boundary menuntut adanya suatu nilai yang tetap atau fixed, sehingga untuk memindahkannya harus memiliki ijin dari Negara. Adapun yang menjadi kendala dan temuan peneliti dalam penerapan batas ditetapkan ini yaitu sulitnya terpenuhi kriteria-kriteria yang sudah ditetapkan dalam peraturan tersebut. Kesulitan tersebut antara lain: asas contradictoire delimitatie yang sulit dilaksanakan, batas yang tidak ditandai dengan suatu penanda batas berupa monumen/ tugu (ciri fixed boundary). Belum adanya kesadaran pemilik batas untuk memelihara tanda batasnya merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam pendaftaran tanah. Padahal dalam Sertipikat Hak Atas Tanah sudah dijelaskan pada ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997 yang perlu diperhatikan pada pasal 17 ayat (3) : Penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya, wajib dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, namun dalam penerapannya masih banyak ditemukan bidang tanah yang sudah bersertipikat tidak memiliki tanda batas. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan salah seorang ahli dibidang hukum menyebutkan jika pemilik bidang tanah tidak dapat memelihara tanda batas yang sudah ditetapkan kedepannya dikhawatirkan dapat menimbulkan sengketa dikemudian hari. Hal-hal yang terkait pada ketika terjadi sengketa/ batas hilang dikemudian hari, idealnya pemerintah/ negara dapat mengembalikan kembali batas bidang tanah tersebut. Namun kenyataanya dilapangan tidak semua batas bidang yang sudah ditetapkan dapat dikembalikan ke posisi sebenarnya. Menambahkan kesepakatan batas baru merupakan alternatif dalam penyelesaian masalah tersebut. Ini jelas bertentangan dengan peraturan yang mana negara menjamin batas tersebut. Dampaknya bagi Pemerintah/ Kementerian ATR/ BPN RI sebagai Instansi pelaksana Pendaftaran Tanah di Indonesia dapat dituntut oleh pihak yang merasa dirugikan karena negara tidak bisa mengembalikkan batas bidangnya. Berdasarkan kondisi tersebut peneliti meyakini bahwa untuk 64

Ferdy Nugraha, S.Tr IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP mencapai kondisi fixed dalam batas bidang di Indonesia sulit tercapai. Hal tersebut tentunya bisa menjadi suatu masalah kemudian hari ini bila prinsip batas bidang tanah yang digunakan belum jelas. 3.3. Batas Ditetapkan Untuk Kepastian Letak Bidang Tanah di Indonesia PP Nomor 24 Tahun 1997 sudah jelas menegaskan bahwa batas yang bisa didaftarkan adalah batas yang ditetapkan dengan syarat : adanya asas contradictoire delimitatie, ditandai dengan adanya tanda batas berupa monumen/tugu, serta dilakukan rekam data dengan metode pengukuran yang teliti sehingga memenuhi toleransi yang telah ditetapkan dalam peraturan, kemudian ditetapkan oleh petugas Kementerian ATR/ BPN RI sehingga memenuhi syarat administrasi untuk didaftarkan. Batas bidang tanah yang ditetapkan tersebut tentunya memberikan jaminan dan kepastian atas objek bidang tanah, sehingga bilamana batas tersebut hilang suatu saat bisa dikembalikan dengan rekonstruksi batas bidang tanah. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana penerapan batas ditetapkan dalam rekonstruksi batas bidang? Apakah batas bidang tanah yang hilang bisa direkonstruksi ulang? Tentunya perlu bukti yang kuat untuk menjawab pertanyaan di atas. Selain rekonstruksi batas, terdapat suatu fenomena lainnya yang menurut peneliti merupakan salah satu sulitnya mencapai batas bidang dalam kondisi fixed yaitu ketika dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah menurut Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2012 adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak yang menjadi objek pelaksanaanya adalah bidang-bidang tanah baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar. Adapun dalam hal ini peneliti melihat kondisi untuk objek bidang tanah yang akan dilepaskan haknya secara keseluruhan. Untuk bidang yang belum terdaftar memang diperlukan pengukuran untuk mengetahui bentuk dan luasnya, sedangkan untuk bidang tanah terdaftar idealnya karena sudah terdaftar seharusnya tidak perlu dilaksanakan pengukuran kembali karena untuk luas dan posisi bidang tanahnya sudah terjamin oleh Negara. Namun kenyataannya tidak ada perlakuan berbeda untuk objek bidang tanah belum terdaftar maupun bidang tanah terdaftar dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang mana bidang tanah terdaftar tetap dilaksanakan pengukuran kembali. Hal yang lebih menarik lagi dalam pelaksanaan ganti rugi berdasarkan luas bidang tanah, untuk tanah yang sudah terdaftar luas bidang yang dijadikan acuan untuk ganti rugi adalah luas bidang hasil pengukuran kembali. Tentunya ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan luas sebelum dan sesudah pengukuran kembali antara lain, terdapatnya kesalahan teknis dalam pengukuran sebelumnya dan bidang tanah yang mengalami perubahan dalam hal posisi tanda batas. Ini tentunya merupakan sebuah ironi yang terjadi dalam penerapan batas bidang di Indonesia. Saat ini perlunya kita melihat kondisi nyata bagaimana penerapan batas bidang di Indonesia. Peraturan menegaskan bahwa batas yang digunakan adalah batas yang ditetapkan dalam pendaftaran tanah, sehingga menurut peneliti ini termasuk kategori fixed boundary dalam klasifikasi batas bidang dunia. Jika Negara ingin menggunakan prinsip fixed boundary maka segala kriterianya harus dipenuhi. Fixed boundary akan benar menjadi suatu kondisi yang “fixed” jika dilakukan secara akurat, ketelitian yang sangat tinggi, adanya tanda batas berupa monumen/ tugu. Tentunya untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan biaya yang mahal serta teknologi yang sangat canggih. Berbeda jika negara ingin menerapkan prinsip general boundary. 65

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL General boundary memiliki tingkat ketelitian dan akurasi yang lebih rendah dibanding fixed boundary namun sudah ditetapkan sebagai suatu garis batas dan ditandai biasanya denga fitur fisik alami/ buatan. Adapun yang membedakan antara general boundary dengan fixed boundary adalah metode yang digunakan. Metode untuk fixed boundary adalah dengan pengukuran yang teliti, sedangkan general boundary saat ini bisa menggunakan deliniasi batas pada media peta foto udara/ CSRT. Asas contradictoire delimitatie dalam dua prinsip batas ini tetap terlaksana, karena penetapan batas tersebut dilaksanakan di lapangan dan dihadiri pihak yang berkepentingan. 3.4. Kondisi Ideal Pendaftaran di Indonesia Saat Ini Menurut Gumilar (2018) secara umum dapat diketahui beberapa kondisi dalam memperoleh data pertanahan, pertama, bahwa jika diinginkan data yang teliti dengan biaya murah, maka pengerjaan akan semakin lama, kedua, jika data yang diinginkan teliti dan diperoleh dengan cepat, maka biaya yang dikeluarkan semakin mahal, dan ketiga, jika data yang diinginkan diperoleh dengan cepat dengan biaya yang murah, maka ketelitian semakin rendah (lihat Tabel 3). Tabel 3 : Kondisi Umum Perolehan Data Pendaftaran Tanah Kondisi Pelayanan Terbaik/ Teliti Murah Cepat Kondisi I √ √ - Kondisi II √ -√ Kondisi III - √√ Sumber : Strategi Peyelesaian Pendaftaran Tanah Di Indonesia Dengan Pendekatan FFP- LA (2018) Kegiatan pendaftaran tanah tentu erat hubungannya dengan strategi pelaksanaan, anggaran yang dibutuhkan dan kualitas produk yang dihasilkan. Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat dijelaskan bahwa kondisi I menjelaskan strategi pendaftaran tanah dengan ketelitian produk yang telah memenuhi persyaratan teknis dan berbiaya murah namun tentu akan memerlukan waktu yang cukup lama. Penggunaan metode pengukuran secara terestris memang telah memenuhi standar teknis pengukuran dan pemetaan bidang tanah, namun hal ini akan memakan waktu cukup lama karena akan berhubungan dengan kualitas sumber daya manusia dalam menyelesaikan beban pekerjaan yang tergolong tidak sedikit. Seringkali beban kerja ini akan mempengaruhi kualitas pekerjaan dan tingkat kejenuhan dalam bekerja. Kondisi II menggambarkan pendaftaran tanah dapat berjalan dengan cepat dan menghasilkan ketelitian produk yang sesuai dengan persyaratan teknis pengukuran dan pemetaan namun pasti terkendala dana yang mendukung pelaksanaan kegiatan. Selama ini dana yang dialokasikan pemerintah untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah ini masih jauh dari kata layak baik ketika pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah massal terlebih kegiatan pemeliharaan data-data pendaftaran tanah yang tidak dianggarkan sama sekali. Idealnya kondisi pendaftaran tanah yang harusnya berjalan di Indonesia seminimal mungkin adalah kondisi III. Strategi pendaftaran tanah yang cepat dengan biaya yang murah untuk mewujudkan cita-cita tujuan pendaftaran tanah yang ke 2 dan ke 3 sesuai amanat pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu menyediakan informasi pertanahan bagi kepentingan pembangunan dan menuju terselenggaranya tertib administrasi pendaftaran tanah. Jika data mengenai informasi letak bidang tanah, penguasaan dan pemilikan bidang tanah dan infrastruktur pendaftaran tanah lainnya telah lengkap, maka dengan mudahnya bagi bangsa ini untuk 66

Ferdy Nugraha, S.Tr IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP menentukan arah kebijakan pembangunan yang diinginkan. Seringkali kita mendengar ketika Pemerintah menjalankan program pengadaan tanah baik untuk jalan tol, bendungan dan kepentingan umum lainnya, terkendala masalah untuk memastikan lokasi yang tepat, berapa luasan tanah yang digunakan, berapa orang yang memiliki dan menguasai lahan tersebut, mana yang termasuk tanah negara, tanah komunal dan tanah dengan hak milik. Kesulitan seperti ini seringkali menjadi penghambat dan seringkali dimanfaatkan oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk membuat data fiktif demi meraup keuntungan sendiri. Kondisi III strategi pendaftaran tanah yang mengutamakan kecepatan terlaksananya kegiatan dengan biaya murah sangat memungkinkan penggunaan strategi FFP-LA dalam pelaksanaannya. Fit-for- purpose mengutamakan penggunaan peta foto atau citra satelit sebagai dasar membangun kerangka spasial pendaftaran tanah dirasa menjadi solusi yang tepat mengatasi keterlambatan ini. Proses identifikasi bidang tanah yang cepat, melibatkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh dan dengan biaya lebih murah dibanding dengan survei terestris akan mampu menjadi strategi yang layak untuk dijalankan. Negara-negara berkembang yang telah berhasil menerapkan FFP-LA dalam menata administrasi pertanahannya seperti di Rwanda bisa mencapai kedua tujuan pendaftaran tanah ini karena tidak mempermasalahkan persayaratan teknis pengukuran yang rumit dan justru berbiaya mahal. Persyaratan ketelitian bidang tanah hasil pengukuran dan pemetaan yang dipergunakan sesuai dengan resolusi spasial standar peta hasil deliniasi CSRT yakni sebesar 100 – 40 cm (CSRT Ikonos dan Quickbird). Tentu resolusi spasial seperti ini tidak masuk toleransi ketelitian geometri sebagai dasar pembuatan peta bidang tanah di Indonesia (minimal 5 cm). Justru karena identifikasi batas bidang tanah yang melibatkan partisipasi seluruh masyarakat, permasalahan sengketa batas kepemilikan batas bidang tanah bisa terselesaikan tanpa mempermasalahkan kembali ketelitian batas bidang tanah mereka. Kepastian bentuk, letak, dimensi batas bidang tanah yang terlihat di atas peta citra dan terpenuhinya kesepakatan batas diantara mereka menjadi hal yang lebih penting dari sekedar permalahan persayaratan ketelitian posisi batas bidang tanah. Perlu diingat dan menjadi pertimbangan juga, pendaftaran tanah dengan menggunakan kondisi III akan tidak boleh terlepas dari tujuan pendaftaran tanah yang pertama, sebagai dasar pemberian kepastian hukum atas subyek dan obyek bidang tanah. Bagaimana hal ini dapat terwujud? Semua ada di tangan Pemerintah sebagai stakeholder pelaksana kebijakan. Mengabaikan persyaratan ketelitian geometris dalam pendaftaran tanah tanpa mengabaikan persyaratan administrasinya bisa menjadi sebuah solusi juga dalam proses pendaftaran tanah. Persyaratan ketelitian geometris digunakan apabila orang atau badan hukum mengalihkan hak atas tanah yang berkaitan dengan kegiatan komersialisasi, penilaian tanah, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan kegiatan lainnya yang membutuhkan ketelitian geometri dengan ketelitian berbeda. Dalam hal pencapaian hasil akhir pendaftaran tanah, pada Pasal 19 ayat (2) UUPA, menyatakan bahwa kegiatan pendaftaran tanah yang paling akhir adalah pemberian surat tanda bukti hak, yang dikenal sebagai sertipikat. Namun, menurut Zevenbergen (2002), pendaftaran tanah dapat digambarkan sebagai proses pencatatan kepentingan (kepemilikan dan/atau penggunaan) atas tanah yang diakui secara sah. Artinya, ada catatan resmi (daftar tanah) hak atas tanah atau perbuatan hukum atas tanah yang berupa informasi pertanahan. Informasi yang dibutuhkan untuk keamanan hukum pemilik merupakan bagian penting dari informasi tanah yang dapat ditemukan di sistem informasi pertanahan, dengan perkataan lain, menurut Zevenbergen, tersedianya informasi pertanahan merupakan kegiatan utama dari pendaftaran tanah. 67

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL Rendahnya capaian pendaftaran tanah sehingga terhambatnya penyelesaian pendaftaran tanah di Indonesia, mengakibatkan suatu permasalahan tertentu, antara lain: 1. Belum kuatnya jaminan kepastian hukum hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia sehingga memicu potensi adanya sengketa pertanahan. 2. Tanah yang selama ini menjadi tempat tinggal maupun tempat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat seringkali menimbulkan sengketa. 3. Keterbatasan jumlah tanah, tidak diimbangi dengan terus meningkatnya pertumbuhan penduduk yang memerlukan tanah, sehingga diperlukan perlindungan keamanan yang kuat terhadap kepemilikan tanah agar tidak terjadi perebutan tanah oleh yang tidak berhak. 4. Sengketa atas tanah ini biasanya timbul akibat tidak jelasnya pemilik tanah yang sesungguhnya akibat dari data/informasi pertanahan yang tidak lengkap. Dengan adanya suatu pendaftaran tanah yang efektif, dapat memudahkan pihak pemegang haknya dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dimiliki dan mengetahui hal-hal yang perlu diketahui mengenai tanah yangdikuasainya. Penghambat penyelesaian pendaftaran tanah adalah karena rendahnya jaminan keamanan/kepastian hukum penguasaan tanah, khususnya bagi tanah yang sudah terdaftar, sehingga menimbulkan keengganan masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya karena tidak ada perbedaan efek antara tanah terdaftar maupun belum terdaftar. Menurut berbagai fakta dari hasil penelitian dan keadaan yang berkembang dimasyarakat, bahwa kepastian hukum hak milik atas tanah bersertifikat masih dapat dipermasalahkan, bahkan sampai menjadi perkara di pengadilan (Sugama, 2012). Hal ini juga diperkuat berdasarkan studi pustaka peneliti beberapa hasil putusan pengadilan tentang sengketa batas, dalam putusan yang ditetapkan terdapat beberapa pembatalan terhadap sertipikat yang sudah terbit. Pembatalan tersebut tentunya banyak menimbulkan efek kerugian pada pemilik bidang, pihak yang bersengketa, serta kantor pertanahan sendiri. Perlunya peran Negara dalam meninjau kembali/ merevisi kebijakan dalam hal kepastian hukum subjek dan objek bidang tanah. 3.5. General Boundary Dalam Penerapan FFP-LA di Indonesia Prinsip general boundary dapat diterapkan di Indonesia sebagai solusi tercapainya identifikasi seluruh bidang tanah. Seperti yang peneliti pernah laksanakan dalam kegiatan PTSL Kota Lengkap di Kota Solok. Dalam penerapannya peneliti menggunakan foto udara hasil pemotretan UAV tahun 2018. Identifikasi bidang tanah berdasarkan foto udara dengan melihat fitur fisik yang tampak. Dengan ketelitian resolusi spasial antara 1 cm – 15 cm dan skala 1 : 1000- 1: 100 tampak jelas fitur fisik sebagai penanda batas kepemilikan sehingga dapat diidentifikasi. Adapun sebagai kendali mutu agar tidak menyalahi juknis PTSL yang telah ada peneliti tetap melaksanakan pengambilan koordinat batas pada salah satu sisi saja. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3. di bawah ini : 68

Ferdy Nugraha, S.Tr (A) (B) Sumber : Olahan data sekunder peneliti 2019 Gambar 3. Deliniasi Batas Bidang Pada Foto Udara Hasil Pemotretan UAV Gambar (A) merupakan foto udara hasil pemotretan tahun 2018 di Kota Solok yang mana batas bidang IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM tanah dapat teridentifikasi. Gambar (B) merupakan hasil identifikasi batas bidang yang dilakukan oleh PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP peneliti kenampakan fitur fisik pada foto udara tersebut. Dalam hal ini peneliti menerapkan prinsip general boundary, namun tetap adanya kontrol ukuran pada satu sisi bidang tanah. Pada sub-bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa untuk mencapai kondisi batas ditetapkan sebagai kategori fixed boundary sulit. Hal ini juga dijelaskan oleh Ditjen Infrastruktur Keagrariaan Kementerian ATR/ BPN RI (2019) bahwa untuk mencapai kondisi yang benar fixed tersebut sulit, dan jika itu diterapkan maka dapat dipastikan proses pendaftaran tanah di Indonesia akan tetap berlangsung lama, sebab untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan ketelitian, dan standar yang tinggi. Persyaratan ketelitian yang dimaksud dalam PP Nomor 24 tahun 1997 jo PMNA/ Ka. BPN Nomor 3 tahun 1997 adalah toleransi kesalahan maksimal dari setiap titik bidang tanah. Besaran toleransi maksimal dibedakan berdasarkan metode pengukuran dan pemanfaatan wilayah. Adapun persyaratan ketelitian sudah peneliti jelaskan pada sub-bab sebelumnya. Akibat persyaratan ketelitian yang tinggi, maka dalam pelaksanaan pengumpulan data fisik bidang tanah diperlukan kehati-hatian yang tinggi, waktu yang lama dan peralatan yang memadai untuk dapat mencapai persyaratan ketelitian dimaksud. Hal ini dapat berdampak dimasa yang akan datang dapat menimbulkan suatu masalah baik untuk Kementerian ATR/ BPN RI sendiri maupun pemilik bidang tanah karena terkendala peraturan yang kaku dan standar tinggi. Permasalahan standar tinggi dalam proses pendaftaran tanah juga dialami oleh negara berkembang lainnya, namun lambat laun akhirnya mereka menyadari saat ini yang utama adalah terpenuhinya pendaftaran tanah yang lengkap sesuai dengan tujuan yaitu terdaftar nya seluruh bidang tanah. Negara- negara seperti Rwanda, Namibia, Ethiopia, Vinatau dan Kenya menerapkan pendekatan FFP-LA dengan melaksanakan prinsip-prinsip FFP-LA salah satunya menerapkan general boundary sebagai batas yang digunakan dalam pendaftaran tanahnya. Penggunaan general boundary ini bertujuan untuk mempercepat proses identifikasi batas bidang tanah dan berbiaya murah. Kembali lagi pada tujuan pendaftaran tanah yaitu tersedianya data-data bidang yang lengkap di seluruh Indonesia. Namun sampai saat ini kondisi ini masih belum terlaksana sepenuhnya. Untuk 69

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL mengatasi keterlambatan proses pendaftaran tanah tersebut sudah disiasati dengan adanya program PTSL. Pada program PTSL ini penerapan prinsip general boundary dapat diterapkan dengan memanfaatkan peta foto udara/ CSRT dengan skala yang diatur oleh petunjuk teknis pengukuran yaitu skala 1:2500, 1:1000 hingga skala lebih besar. Dalam pelaksanaanya tetap dilakukan kontrol pengukuran panjangan sisi bidang tanah minimal 1 (satu) sisi (Diatur pada petunjuk teknis pengukuran PTSL 2019 : 01/JUKNIS-300.01.01/ II/2019) . Atas dasar untuk tercapainya tujuan pendaftaran tanah yang lengkap dalam hal ini prinsip general boundary dapat digunakan sesuai dengan tujuannya yaitu terpenuhinya informasi bidang tanah di seluruh Indonesia. Penggunaan prinsip general boundary memiliki kelebihan dalam metode yang digunakan dan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan penerapan fixed boundary. Adapun dalam pelaksanaan FFP- LA akurasi tinggi diperlukan dalam pendaftaran tanah yang terkait dengan pembangunan Infrastruktur ataupun pembaruan peta kadaster. Kebutuhan untuk akurasi berbagai objek pertanahan harus dipertimbangkan dan ditentukan dengan menilai tujuan dari penggunaan informasi. Informasi spasial dengan tingkat akurasi atau ketelitian yang tinggi digunakan untuk mendukung berbagai fungsi administrasi pertanahan seperti pengadaan tanah. Selain memiliki kelebihan, prinsip general boundary juga memiliki kelemahan jika diterapkan di Indonesia saat ini salah satunya penerapan prinsip general boundary sangat erat kaitannya dengan ketersediaan data dasar berupa base map dari CSRT yang belum tersedia secara menyeluruh di Indonesia. Pemanfaatan CSRT sebagai dasar dalam pembuatan peta pendaftaran merupakan perkembangan baru dalam pelaksanaan pendaftaran tanah yang biasanya hanya menggunakan metode terestris dan fotogrametris. Namun, ketersediaan CSRT yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia masih sangat terbatas, padahal ketersediaan CSRT dapat mempercepat dan menghemat biaya pelaksanaan pendaftaran tanah. Menurut Ditjen Infrastruktur Keagrariaan Kementerian ATR/ BPN RI (2018) ketersediaan peta dasar pendaftaran pada tahun 2018 baru mencapai 45% dari luas wilayah non hutan. Kemudian dalam rangka mempermudah penyediaan peta skala besar, Kementerian ATR/BPN RI juga bekerjasama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai penyedia informasi geospasial. Selain itu, dalam rangka pemanfaatan, pengembangan dan optimalisasi data dan informasi geospasial di bidang pertanahan dan tata ruang. Kontribusi BIG sangat berpengaruh dalam menyokong data dasar geospasial di Indonesia, terutama bagi Kementerian ATR/BPN RI. Kelemahan lainnya jika general boundary diterapkan di Indonesia adalah adanya penambahan biaya jika dilaksanakan survei ulang atau merubah kondisi dari general boundary menjadi fixed boundary. Hal ini tentunya perlu kajian lebih lanjut tentang bagaimana kondisi wilayah yang tepat untuk menerapkan prinsip batas bidang yang diinginkan. Dalam penelitian ini penulis menyarankan agar diklasifikasikannya wilayah untuk penggunaan antara general boundary dengan fixed boundary. Adapun pembagian penggunaan prinsip batas yang digunakan dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini : 70

Ferdy Nugraha, S.Tr Tabel 4 : Pembagian Wilayah Penerapan Prinsip Batas Bidang KLASIFIKASI PRINSIP BATAS BIDANG KETERANGAN Urban Fixed Boundary Daerah yang memiliki kepadatan tinggi dan nilai tanah yang tinggi Sub-Urban Mix Fixed dan General Daerah yang memiliki kepadatan sedang dan nilai Boundary tanah yang meningkat tinggi kearah zona urban Rural General Boundary Daerah dengan tingkat kepadatan rendah dan harga nilai tanah yang masih rendah Sumber : Olahan data sekunder peneliti 2019 Adanya pembagian wilayah yang ideal dalam penerapan prinsip batas bidang, antara fixed dan general IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM boundary dapat digunakan secara berdampingan. Namun untuk percepatan identifikasi bidang tanah PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP dalam proses pendaftaran tanah, peneliti menyarankan untuk menggunakan general boundary, kecuali untuk daerah yang padat dan nilai tanah tinggi (urban area). Sehingga setelah tujuan pendaftaran tanah itu tercapai maka peningkatan akurasi secara bertahap dapat dilaksanakan yang mana kondisi general boundary menjadi kondisi fixed boundary. Hal ini juga sejalan dengan rencana yang akan disiapkan oleh Kementerian ATR/ BPN RI dalam rangka menyiapkan Fit-For-Purpose Land Administration di Indonesia. Menurut Kariyono (2018) dengan pendekatan Fit-For-Purpose Land Administration, keakuratan informasi pertanahan disesuaikan dengan penggunaan informasi dan tidak terkendala oleh standar teknis yang sering tidak fleksibel. Secara umum, kebutuhan untuk akurasi jelas lebih rendah di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan yang padat dan bernilai tinggi. Penerapan kerangka spasial FFP-LA di Indonesia dapat berhasil apabila pendaftaran tanah pertama kali secara sistematis dilakukan dengan tingkat akurasi fleksibel sesuai dengan standar yang dibutuhkan berdasarkan karakteristik wilayah pendaftaran tanah. Untuk saat ini Kementerian ATR/BPN merancang konsep percepatan PTSL dengan metode partisipasi masyarakat (fit- for - purpose land registration) dengan membagi akurasi ketelitian hasil pemetaan menjadi delapan kelas (dapat dilihat Tabel 5 di bawah ini). Tabel 5 : Kelas Ketelitian Dalam Kegiatan FFP-LA di Indonesia Kelas Ketelitian Kelas 1 0,1 mm x 1000 = 10 cm Kelas 2 0,1 mm x 2500 = 25 cm Kelas 3 0,3 mm x 1000 = 30 cm Kelas 4 0,5 mm x 1000 = 50 cm Kelas 5 0,3 mm x 2500 = 75 cm Kelas 6 0,5 mm x 2500 = 1,25 m Kelas 7 0,3 mm x 5000 = 1,5 m Kelas 8 0,5 mm x 5000 = 2,5 m Sumber : Kementerian ATR/ BPN RI 2018 Berdasarkan kelas Tabel 5 antara prinsip general boundary dan fixed boundary dapat diterapkan secara bersamaan. Hal ini tergantung pada kelas ketelitian yang disarankan. Kepala Kantor Pertanahan diberi kewenangan untuk memilih dan menentukan kelas akurasi berdasarkan kondisi wilayah masing- masing dengan mempertimbangkan jenis peta dasar/peta kerja, penggunaan lahan dan atau nilai tanah pada lokasi PTSL. 71

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL Menurut Winata (2017) kelebihan jika diterapkan FFP-LA di Indonesia terhadap kegiatan pendaftaran tanah antara lain biaya yang lebih rendah, waktu yang dibutuhkan lebih singkat, dan kerangka kerja yang lebih fleksibel. FFP-LA memiliki tingkat kelayakan yang memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia. Untuk dapat berjalan dengan efektif hal ini perlu didukung dengan adanya revisi PMNA/ Ka. BPN No 3 Tahun 1997 terkait standar ketelitian dan perlu pembentukan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dalam kegiatan FFP-LA di Indonesia (Kementerian ATR/BPN, 2018). Kondisi kependudukan, bentang alam, kerangka spasial, kerangka hukum, dan kerangka kelembagaan di Indonesia memungkinkan untuk disesuaikan dengan prinsip FFP-LA. Prinsip penerapan kerangka spasial FFP-LA yaitu dengan digunakannya foto udara atau citra satelit sebagai peta dasar pendaftaran tanah, adanya keterlibatan masyarakat secara partisipatif dalam kegiatan demarkasi dan adjudikasi batas bidang tanah, adanya peningkatan secara bertahap dari kualitas spasial, dan diterapkannya metode terestrial hanya untuk keperluan pengukuran akurasi tinggi. Penerapan kerangka kelembagaan FFP-LA yaitu dengan melakukan integrasi antara Kementerian ATR/BPN dengan lembaga lintas sektoral melalui kerjasama dan koordinasi dalam mendukung keberlangsungan kerangka spasial dan kerangka hukum dalam sistem administrasi pertanahan. IV. KESIMPULAN/SARAN DAN REKOMENDASI 4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah disampaikan, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan, diantaranya : 1. Cara untuk mengetahui konsep batas bidang adalah dengan mengkaji sumber-sumber kepustakaan yang berhubungan dengan batas bidang, sehingga ditemukan karakteristik, keunggulan dan kelemahan dari batas bidang tersebut. General boundary sebagai batas bidang tanah memiliki karakteristik sebagai berikut: batas bidang yang memiliki wujud berdasarkan kenampakan fitur ( fitur alam/ buatan) , lower accuracy, undetermined, disarankan pada pelaksanaan pendaftaran tanah sistematik, serta memilki metode yang sederhana yaitu dengan menggunakan deliniasi batas bidang pada media foto udara/ CSRT. Keunggulan yang ada pada general boundary adalah dalam pendaftaran tanah mengabaikan perubahan/ pergerseran kecil pada posisi batas. 2. PP Nomor 24 Tahun 1997 jo. PMNA/ Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah belum mengatur dengan jelas mengenai konsep batas bidang tanah, berdasarkan standar yang ada dalam peraturan, hanya ada batas sementara dan batas ditetapkan sebagai klasifikasi tertinggi. Namun untuk mencapai kondisi batas ditetapkan tersebut sangat sulit tercapai berdasarkan penerapannya yang terjadi di lapangan. 3. Prinsip General Boundary dalam pelaksanaan PTSL dapat digunakan dengan media Foto Udara/ CSRT. Selain itu keunggulan yang dimiliki general boundary dapat mengurangi resiko kerugian akibat standar teknis yang ditentukan sangat tinggi. Adanya peningkatan akurasi secara bertahap sesuai dengan pendekatan Fit-for-purpose Land Administration (FFP-LA) dari general boundary ke fixed boundary perlu diatur lebih dalam peraturan perundang-undangan. 72

Ferdy Nugraha, S.Tr IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP 4.2. Saran dan Rekomendasi Adapun saran-saran yang dapat diberikan peneliti adalah Kementerian ATR/BPN RI hendaknya menentukan prioritas tujuan pendaftaran tanah antara memberikan kepastian jaminan hukum atas subjek dan objek bidang tanah atau kelengkapan data dan informasi pertanahan. Kelengkapan data dan informasi pertanahan dapat diprioritaskan terlebih dahulu dengan metode yang sederhana dengan pendekatan Fit- for-purpose Land Administration. Namun apabila kedua tujuan tersebut ingin diwujudkan bersama, maka pemerintah wajib mendukung program percepatan pendaftaran tanah ini dengan anggaran yang memadai, strategi pelaksanaan yang tepat, pembaharuan teknologi pengumpulan data fisik dan yuridis, serta evaluasi dan penyusunan ulang peraturan perundang- undangan tentang pendaftaran tanah yang mengakomodir syarat ketelitian teknis, yuridis dan syarat administrasi pendaftaran tanah. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-Undangan Kementerian ATR/BPN RI (2017), Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2017, Jakarta: Kementerian ATR/BPN. Kementerian ATR/BPN RI (1997), Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 24 Tahun (1997), Jakarta: Kementerian ATR/BPN. Kementerian ATR/BPN RI (1961), Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 1961, Jakarta: Kementerian ATR/BPN. Kementerian ATR/BPN RI (2017), Rencana Aksi Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrariaan untuk Percepatan Program Pertanahan, Dirjen Infrastruktur Keagrariaan. Kementerian ATR/BPN RI (2018), Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, Jakarta: Kementerian ATR/BPN. Kementerian ATR/BPN RI (2018), Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018, Jakarta: Kementerian ATR/BPN. Buku Anonim, (1907), Halsbury’s Laws of England, London Cevilla, CG, dkk, (1993), Pengantar metode penelitian, Jakarta : Universitas Indonesia Enemark, S, McLaren, R & L C (2016, Fit-For-Purpose land administration guiding principles for country implementation, UN-Habitat. Enemark S, Williamson I, Wallace J & Rajabifard A (2010), Land Administration for sustainable development, California : ESRI Press Academic Gumilar, I 2018, Strategi Penyelesaian Pendaftaran Tanah di Indonesia dengan Pendekatan Fit-For- Purpose Land Administration (FFP-LA). Tesis pada Institut Teknologi Bandung. International Federation of Surveyor Congress (1991), “Boundary definition‟, dilihat pada http://www.fao. org/docrep/005/X2038E/x2038e08.htm, tanggal 15 Februari 2019, pukul 20.40 WIB. Kariyono (2018), Evaluasi Kualitas Data Spasial Peta Informasi Bidang Tanah Desa/ Kelurahan Lengkap Hasil Pemetaan Partisipatif‟, Tesis pada Universitas Gajah Mada. Kusmiarto (2015), Restandarisasi Survey Kadaster”, Prosiding Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia : Mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan administrasi pertanahan yang baik, Ikatan Surveyor Indonesia. 73

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL Mardalis, (1999), Metode penelitian suatu pendekatan proposal. Jakarta : Bumi Aksara. Martono, DB (2018), Fit-For-Purpose = IP4T Partisipatif + PTSL, Prosiding Seminar Nasional : Menciptakan strategi untuk bersinergi menyongsong PTSL 2019, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Mauliandi, WS (2017), Implementasi Penggunaan General Boundaries dalam Percepatan Pendaftaran Tanah di Indonesia, Skripsi pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Maynard, J (2017), “Understanding general boundary‟, dilihat pada 15 Februari 2019 pukul 21.55 WIB, http://www.boundary-problems.co.uk Moleong, JL (2008), Metodologi penelitian kualitatif, edisi revisi, cet. XXII, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Nazir, M (1988), Metode penelitian, Jakarta: Rineka Cipta. Nugroho, A (2018), Metode penelitian kualitatif, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Parlindungan, AP (1998), Komentar atas undang-undang pokok agraria, Bandung : Mandar Maju. Simpson, R (1984), Land law and registration surveyor publications, London. Sugama, MFY (2012), Evaluasi implementasi sistem pendaftaran tanah di Indonesia berdasarkan UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 97 tentang Pendaftaran Tanah dalam hal jaminan kepastian hukum, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, Jakarta. Sumardjono, MSW (2008), Tanah dalam perspektif hak, ekonomi, sosial, dan budaya, Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara. Tharcile, D (2015), “A Comparative Study of General and Fixed Boundaries in Rwanda‟, Tesis pada University of Liege : Belgium. Tiku, T (2015), “Pelaksanaan Asas Kontradiktur Delimitasi dalam Proses Pendaftaran Tanah di Kota Makassar‟, Skripsi pada Universitas Hasanuddin. Tuladhar, AM (1995), “Spatial Cadastral Boundary Concepts and Uncertainty In Parcel-based Information System‟, International Archives of Photo and Remote Sensing, Vol. XXXI, University of Twente Netherland. United Nations Economic Commission for Europe, (1993), Land administration guidelines, New York & Geneva. Wardani, AK, Cahyono, AB & Martono, DB (2016), Analisis Metode Delineasi Bidang Tanah Pada Citra Resolusi Tinggi dalam Pembuatan Kadaster Lengkap, Jurnal Teknis ITS Vol. 5, No. 2, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Winata, LE (2017), Kajian penerapan fit-for-purpose land administration di Indonesia, Skripsi Program Sarjana Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung. Zevenbergen, J (2017), Systems of land registration aspects and effects, Publications on Geodesy 51, Netherlands Geodetic Commission. 74

Nama Ferdy Nugraha, S.Tr IMPLEMENTASI BATAS BIDANG DALAM Tempat Tanggal Lahir PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP Agama BIODATA PENULIS Jenis Kelamin Status Perkawinan Ferdy Nugraha Nama Instansi Padang, 25 Februari 1992 Islam Alamat Instansi Laki-laki Jabatan Kawin Pangkat dan Golongan Kantor Wilayah Kementerian ATR/ BPN RI Propinsi Sumatera Riwayat Pendidikan Barat Jalan Kartini No.22 Padang Pasir, Kota Padang, Sumatera Barat. Riwayat Pekerjaan Surveyor Pemetaan Pelaksana Penata Muda/ III a 1. DI PPK STPN Yogyakarta Tahun 2011 2. DI IV Pertanahan STPN Yogyakarta Tahun 2019 1. CPNS Tahun 2013 2. PNS Golongan II/a Tahun 2014 3. Tugas Belajar DIV STPN Yogyakarta Tahun 2015 4. PNS Golongan III/a Tahun 2019 75


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook