Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Penelitian Evaluasi Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah dan Ketertiban Pemanfaatan Ruang: Penentuan Formula Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah

Penelitian Evaluasi Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah dan Ketertiban Pemanfaatan Ruang: Penentuan Formula Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah

Published by perpustakaanpublikasi, 2021-02-09 07:07:09

Description: Buku Evaluasi Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah dan Ketertiban Pemanfaatan Ruang: Penentuan Formula Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah

Search

Read the Text Version

PENELITIAN Evaluasi Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah dan Ketertiban Pemanfaatan Ruang: Penentuan Formula Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah Disusun Oleh: Dwi Suprastyo Ambar Nur Hadi DITERBITKAN OLEH: PUSAT PENGEMBANGAN DAN STANDARISASI KEBIJAKAN AGRARIA, TATA RUANG DAN PERTANAHAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BPN 2020 NDIN HAERUDIN, ST ROMI NUGROHO, S.SI SURYALITA, A.PTNH

PENELITIAN EVALUASI KUALITAS RENCANA TATA RUANG WILAYAH DAN KETERTIBAN PEMANFAATAN RUANG: PENENTUAN FORMULA INDEKS PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DI DAERAH TIM PENYUSUN : Dwi Suprastyo, S.P., M.Si. : Ambar Nur Hadi, S.T., M.P.P., M.Eng. Koordinator : Eka Putri Anugrahing Widi, S.T. Pembantu Peneliti : Nabila Tryani Putri Annahru, S.Pt. Tenaga Ahli Sekretaris Peneliti Diterbitkan Oleh: Pusat Pengembangan dan Standarisasi Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Jl. Akses Tol Cimanggis, Cikeas Udik, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16966 Cetakan Pertama - 2020 ISBN: Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

KATA PENGANTAR Penelitian dengan judul Evaluasi Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah dan Ketertiban Pemanfaatan Ruang: Penentuan Formula Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah merupakan salah satu penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Pengembangan dan Standarisasi Kebijakan Agraria, tata Ruang dan Pertanahan (PPSK-ATP) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2020. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan anggaran DIPA PPSK-ATP. Laporan penelitian ini telah melalui berbagai tahapan/proses sesuai kaidah penelitian dimulai dari penyusunan rancangan dan instrumen penelitian, pengumpulan data lapang, pengolahan data dan seminar akhir. Dari awal hingga akhir proses penelitian terdapat banyak dukungan, saran dan kritik yang memberikan perbaikan pada kualitas penelitian. Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu terwujudnya penelitian ini. Tanpa mengesampingkan peran yang lain, perkenankan kami berterima kasih kepada: 1. Bapak Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN yang telah memberikan arahan, pemikiran dan motivasi untuk seluruh jajaran PPSK-ATP; 2. Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama yang memberikan masukan dalam merancang berbagai tema-tema penelitian yang harus dikaji oleh PPSK-ATP; 3. Para narasumber dan moderator yang turut mengawal dan memberikan masukan, seperti Bapak Ir. Harris Simanjuntak, M.Dev.Plg., Aria Indra Purnama, S.T., MUM., Dr. Ir. Ibnu Sasongko, M.T., Adjie Pamungkas, S.T., M.De.Plg., Ph.D., Tatang Gustawan, S.T., M.PSDA., Vera Juntriesta Vardhani, S.T., M.T., Adiyana Rachman, S.T., Aditomo Herlambang, S.H., Ahmad Al Faruq, S.T., Widi Hari Nugroho, S.T., M.T., Supa’at, S.H., M.H., Joko Purwoko Suranto, S.T., M.T., Muhammad Abdullah Tsani, S.T., M.T., Kris Sinta Indra K, S.STP., H. Agus Permadie, S.T., M.M., dan H.. Asep Suhali, S.T., M.Si; ii



PRAKATA Penataan ruang yang berkualitas dilakukan dengan penyelenggaraan penataan ruang yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang yang juga berkualitas. Namun sejauh ini penyelenggaraan penataan ruang belum mampu sepenuhnya memenuhi tujuan penataan ruang itu sendiri untuk menciptakan wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Berbagai isu strategis penyelenggaraan penataan ruang daerah bermunculan, seperti belum efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang, belum efektifnya kelembagaan penataan ruang, dan dokumen RTRW belum dijadikan sebagai acuan pembangunan sektor dan daerah. Kondisi demikian juga diperkuat dengan potret kinerja penyelenggaraan penataan ruang kabupaten/kota se-Indonesia pada tahun 2019, yang menunjukkan bahwa dari 500 kabupaten/kota hanya 13% kabupaten/kota memiliki kinerja penyelenggaraan penataan ruang yang baik, sedangkan 43% kabupaten/kota berkinerja sedang dan 44% kabupaten/kota berkinerja buruk. Oleh karena itu, dari beberapa permasalahan yang ada di setiap aspek penyelenggaraan penataan ruang maka dipandang perlu merumuskan indeks penyelenggaraan penataan ruang yang ada di Indonesia, guna mendapatkan gambaran penyelenggaraan penataan ruang yang berkualitas dan menjawab berbagai permasalahan yang sejauh ini bermunculan dalam penerapannya. Disamping itu, juga untuk mencukupi kebutuhan indeks penyelenggaraan penataan ruang pada Rencana Strategis Kementerian ATR/BPN Tahun 2020-2024 guna mengukur capaian kinerja sasaran strategis “Peningkatan Kualitas dan Pemenuhan Rencana Tata Ruang dan Tertib Pemanfaatan Ruang: Penentuan Formula Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah”. Dari permasalahan yang ada melalui penelitian Evaluasi Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah dan Ketertiban Pemanfaatan Ruang: Penentuan Formula Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah dihasilkan data dan informasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan penataan iv

ruang, prioritas faktor-faktor tersebut dalam mempengaruhi penyelenggaraan penataan ruang, dan rumusan indeks penyelenggaraan penataan ruang. Semoga melalui laporan penelitian ini dapat memberikan gambaran secara lengkap terhadap perumusan indeks penyelenggaraan penataan ruang khususnya di daerah yaitu kabupaten/kota. Di samping itu, melalui indeks penyelenggaraan penataan ruang dapat bermanfaat untuk mengetahui kinerja serta upaya-upaya peningkatan dalam rangka memperbaiki kekurangan penyelenggaraan penataan ruang di daerah selama ini. Bogor, Desember 2020 Tim Peneliti v

INTISARI Penelitian “Evaluasi Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah dan Ketertiban Pemanfaatan Ruang: Penentuan Formula Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah” merupakan penelitian pertama mengenai indeks penyelenggaraan penataan ruang yang dilakukan di Indonesia. Penelitian ini memiliki tiga rumusan masalah dan tujuan untuk menghasilkan indeks penyelenggaraan penataan ruang. Ketiga tujuan dari penelitian meliputi: 1) mengkaji dan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan penataan ruang; 2) mengkaji dan menentukan prioritas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan penataan ruang; dan 3) mengkaji dan menentukan indeks penyelenggaraan penataan ruang. Ketiga tujuan penelitian ini dicapai melalui pengumpulan data yang didapat dari responden di lokasi penelitian. Lokasi penelitian ini dipilih secara purposive sampling berdasarkan proporsi persentase hasil kajian Pengawasan Teknis Penyelenggaraan Penataan Ruang tahun 2019 yang telah dilakukan oleh Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang sebelumnya. Lokasi penelitian sebanyak 5 (lima) kabupaten/kota yang memiliki penyelenggaraan penataan ruang dengan kategori buruk, sedang, dan baik. Pengumpulan data kepada responden di setiap lokasi penelitian dilakukan melalui pengisian kuesioner untuk kemudian diolah atau dianalisis dan dapat menjawab tiga rumusan masalah dan tujuan penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 25 (dua puluh lima) faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan penataan ruang, dan masing-masing memiliki nilai prioritas atau bobot yang menunjukkan peranan pentingnya mempengaruhi penyelenggaraan penataan ruang, serta dapat disimpulkan jika penyelenggaraan penataan ruang kabupaten/kota di Indonesia secara umum berada pada kategori kurang. Oleh karena bermanfaat untuk perbaikan penyelenggaraan penataan ruang kedepannya, maka direkomendasikan kepada Direktorat Jenderal vi

Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah agar dapat mengaplikasikan hasil perhitungan indeks penyelenggaraan penataan ruang untuk seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Rumusan indeks penyelenggaraan penataan ruang juga direkomendasikan dapat diaplikasikan oleh kabupaten/kota untuk mengukur pencapaian penyelenggaraan penataan ruang yang mereka laksanakan. Kata Kunci: Tata Ruang, Penataan Ruang, Penyelenggaraan Penataan Ruang, Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang vii

ABSTRACT The research \"Evaluation of the Quality of Regional Spatial Planning and Orderliness of Spatial Use: Determining the Index Formula for Spatial Planning in the Regions\" is the first study on the index of spatial planning implemented in Indonesia. This research has three problem formulations and objectives to produce spatial planning implementation index. The three objectives of the research include: 1) to study and determine the factors that influence spatial planning; 2) assessing and prioritizing factors that affect spatial planning operations; and 3) review and determine the spatial planning implementation index. The three objectives of this study were achieved by collecting data obtained from respondents at the research location. The location of this study was selected by purposive sampling based on the percentage proportion of the results of the 2019 Spatial Planning Implementation Technical Supervision study that was carried out by the previous Directorate of Spatial Use Control. The research locations were 5 (five) districts / cities that had spatial planning in bad, medium, and good categories. Data collection for respondents at each research location was carried out through filling out a questionnaire to then be processed or analyzed and could answer three problem formulations and the objectives of this study. The results show that there are 25 (twenty five) factors that influence spatial planning, and each of them has a priority value or weight which indicates its important role in influencing spatial planning, and it can be concluded that the implementation of spatial planning in regencies / cities in Indonesia in general are in the less category. Because it is useful for improving spatial planning in the future, it is trusted to the Directorate General of Spatial Use Control and Land Control to be able to apply the results of the spatial planning index calculation for all districts / cities in Indonesia. The spatial planning management index formulation can also be applied by districts / cities to measure the spatial planning arrangement they carry out. Key Words: Spatial, Spatial Planning, Spatial Planning Implementation, Spatial Planning Implementation Index viii

DAFTAR ISI JUDUL PENELITIAN i KATA PENGANTAR ii PRAKATA iv INTISARI vi ABSTRACT viii DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xiii I. PENGANTAR 1 1 A. Latar Belakang 4 1. Rumusan Masalah 7 2. Manfaat Penelitian 7 8 B. Tujuan Penelitian 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 8 10 A. Kerangka Teoretis 20 1. Konsep Dasar Penataan Ruang 21 2. Penyelenggaraan Penataan Ruang 46 3. Desentralisasi Penataan Ruang 48 4. Evaluasi Kinerja Penataan Ruang 51 5. Peran Indeks dalam Evaluasi Kinerja Penataan Ruang 58 6. Kajian Terdahulu 78 7. Best Practices dari Negara Lain 79 8. Sintesa Kajian Pustaka 79 80 B. Kerangka Konseptual 80 III. METODE PENELITIAN 82 84 A. Penentuan Lokasi 85 B. Pengumpulan Data 88 90 1. Teknik :Pengumpulan Data 95 2. Penentuan Narasumber dan Responden 95 C. Analisis Data 1. Analisis Faktor-Faktor Berpengaruh 2. Analisis Prioritas Faktor-Faktor 3. Analisis Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil dan Pembahasan Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Penataan Ruang ix

B. Hasil dan Pembahasan Analisis Prioritas Faktor yang 101 Berpengaruh terhadap Penyelenggaraan Penataan Ruang 104 C. Hasil dan Pembahasan Analisis Indeks Penyelenggaraan Penantaan Ruang 119 D. Penyesuaian Hasil Penelitian dengan Undang-Undang Cipta 121 Kerja 121 123 V. PENUTUP 126 A. Kesimpulan B. Saran VI. DAFTAR PUSTAKA x

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tahapan Penilaian Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah 37 Tabel 2.2 Tahapan Penilaian Ketertiban Pemanfaatan Ruang 41 Tabel 2.3 Aspek dan Indikator dalam Pengawasan Teknis Kinerja 50 Penyelenggaraan Penataan Ruang Tabel 2.4 Kajian Faktor-Faktor Berpengaruh terhadap 58 Penyelenggaraan Penataan Ruang Tabel 2.5 Faktor-Faktor Berpengaruh terhadap Kinerja 62 Penyelenggaraan Penataan Ruang Tabel 2.6 Definisi Operasional Faktor-Faktor Berpengaruh terhadap 64 Kinerja Penyelenggaraan Penataan Ruang Tabel 3.1 Lokasi Penelitian 80 Tabel 3.2 Narasumber dan Responden Penelitian 83 Tabel 3.3 Teknik Analisis Data Penelitian 85 Tabel 4.1 Hasil Uji Validitas 96 Tabel 4.2 Hasil Uji Reliabilitas 97 Tabel 4.3 Nilai KMO Measure of Sampling Adequacy dan 99 Signifikansi Tabel 4.4 Nilai Output dari Faktor Berpengaruh untuk Seluruh 100 Aspek Tabel 4.5 Nilai Prioritas Seluruh Faktor/Subaspek/Aspek 102 Tabel 4.6 Ketentuan Penilaian Faktor 105 Tabel 4.7 Nilai Faktor 108 Tabel 4.8 Kategori Klasifikaksi 111 Tabel 4.9 Penyebab Faktor-Faktor yang menjadi Kelemahan 118 Kabupaten/Kota (Why) Tabel 4.10 Upaya Mengatasi Faktor-Faktor yang menjadi Kelemahan 118 Kabupaten/Kota (How) Tabel 4.11 Tinjauan Undang-Undang Cipta Kerja 120 xi

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Hierarki Produk Perencanaan Tata Ruang Wilayah 14 Gambar 2.2 Kedudukan Kegiatan Evaluasi Rencana Tata Ruang 23 Gambar 2.3 Gambaran Implementasi Rencana Tata Ruang 35 Gambar 2.4 Tahapan Penilaian Kualitas Rencana Tata Ruang 40 Wilayah Gambar 2.5 Piramida Data 47 Gambar 2.6 Sistem Perencanaan Tata Ruang di Inggris 52 Gambar 2.7 Sistem Perencanaan Tata Ruang di Amerika Serikat 53 Gambar 2.8 Kerangka Konseptual Penelitian 78 Gambar 3.1 Tahapan Analisis Tujuan 1 87 Gambar 3.2 Tahapan Analisis Tujuan 2 90 Gambar 3.3 Formula Pembagian Klasifikasi menjadi Tiga Kategori 93 Gambar 4.1 Ketentuan Penilaian Indeks Penyelenggaraan Penataan 110 Ruang Gambar 4.2 Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang Kabupaten 112 Majalengka Gambar 4.3 Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang Kabupaten 113 Pekalongan Gambar 4.4 Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang Kabupaten 114 Banyumas Gambar 4.5 Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang Kota Bandung 115 Gambar 4.6 Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang Kabupaten 116 Purwakarta Gambar 4.7 Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang Potret Secara 117 Umum Kabupaten/Kota xii

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Kuesioner Analitycal Hierarchy Process 130 Lampiran 2 Kuesioner Penilaian Penyelenggaraan Penataan Ruang 141 xiii

I. PENGANTAR A. Latar Belakang Berdasarkan program ketujuh dari Nawacita yang dicanangkan oleh Kabinet Presiden Joko Widodo, disebutkan bahwa pemerintah akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan pembangunan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, yang salah satunya dilakukan dengan membuat kebijakan guna memperkuat neraca perdagangan dan mendorong investasi langsung (Riyadi dalam Buletin Penataan Ruang, 2019). Berkaitan dengan kebijakan percepatan invetasi, Indonesia sebagai negara besar akan membutuhkan sebuah landasan pengaturan program-program pembangunan, salah satunya landasan dalam pengaturan penataan ruang (Windyawati dalam Buletin Penataan Ruang, 2019). Penataan ruang yang berkualitas membuat investasi dan pembangunan dapat berjalan selaras dengan koridor keberlanjutan (Redaksi Buletin Penataan Ruang, 2019). Penataan ruang yang berkualitas dilakukan dengan penyelenggaraan penataan ruang yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang yang juga berkualitas (Arnita, 2015). Namun sejauh ini penyelenggaraan penataan ruang belum mampu sepenuhnya memenuhi tujuan penataan ruang itu sendiri untuk menciptakan wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan (I Made, 2011). Berbagai isu strategis penyelenggaraan penataan ruang daerah bermunculan, seperti belum efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang, belum efektifnya kelembagaan penataan ruang, dan dokumen RTRW belum dijadikan sebagai acuan pembangunan sektor dan daerah (Andi, 2017). Kondisi demikian juga diperkuat dengan potret kinerja penyelenggaraan penataan ruang kabupaten/kota se-Indonesia pada tahun 2019, yang menunjukkan bahwa dari 500 kabupaten/kota hanya 13% kabupaten/kota memiliki kinerja penyelenggaraan penataan ruang yang baik, sedangkan 43% kabupaten/kota berkinerja sedang dan 44% kabupaten/kota berkinerja buruk (Pengawasan Teknis Penyelenggaraan Penataan Ruang, 2019). 1 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Penyelenggaraan penataan ruang bila dilihat dari pelaksanaan perencanaan tata ruang, telah menghasilkan perda RTRW sebanyak 97% dan cakupannya menjangkau seluruh wilayah administrasi. Saat ini, perda RTRW provinsi sudah 100%, perda RTRW kabupaten sudah 95%, dan perda RTRW kota sudah 96%. Perda RTRW yang memasuki masa peninjauan kembali tahun 2019 sebanyak 24 provinsi, 334 kabupaten, dan 80 kota, sedangkan untuk perda RDTR yang telah dilegalkan baru sejumlah 54 RDTR dari 1800 RDTR yang harus disusun (Info Data Buletin Penataan Ruang, 2020). Disamping itu, kualitas kedua rencana tata ruang tersebut (RTRW dan RDTR) kurang maksimal dalam mendukung proses perizinan di daerah, dikarenakan KUPZ yang merupakan bagian dari RTRW kualitasnya belum memadai untuk dijadikan dasar perizinan, sedangkan untuk RDTR yang dilengkapi dengan PZ dan merupakan operasional dari RTRW dalam perizinan tidak disusun mencakup seluruh wilayah administrasi kabupaten/kota (Perdana dalam Buletin Penataan Ruang, 2019). Penyelenggaraan penataan ruang bila dilihat dari pelaksanaan pemanfaatan ruang, terjadi beberapa simpangan pemanfaatan ruang di lapangan yang dapat ditinjau dari hasil sinkronisasi antara peta rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Dalam sinkronisasi tersebut, ditemukan tumpang tindih pemanfaatan ruang antar rencana tata ruang yang mencakup 17,7 juta hektar (9,3%) permasalahan tumpang tindih di Indonesia yang terjadi akibat tidak selarasnya peruntukan pola ruang antara perda RTRW provinsi dan kabupaten/kota (Prihartono dalam Buletin Penataan Ruang, 2020). Selain itu, terdapat ketidaksesuaian antara rencana pembangunan daerah dengan rencana tata ruang dikarenakan adanya perbedaan visi kepala daerah baru yang dituangkan dalam RPJMD dengan visi yang tertuang dalam RTRW dan adanya perubahan pembagian kewenangan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Ketidaksesuaian ini teridentifikasi melalui sinkronisasi program rencana pembangunan dengan rencana tata ruang, yang didapatkan bahwa 49% kabupaten/kota memiliki kesesuaian buruk dan 9% kabupaten/kota dengan kesesuaian sedang (Pengawasan Teknis Penyelenggaraan Penataan Ruang, 2019). PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 2

Penyelenggaraan penataan ruang bila dilihat dari pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang, terdapat ketidaksesuaian perizinan dengan rencana tata ruang dikarenakan terbatasnya waktu yang diberikan untuk melakukan koordinasi dan kajian usulan investasi dengan rencana tata ruang, serta kurangnya pemahaman dalam membedakan jenis izin yang membutuhkan atau tidak membutuhkan rekomendasi teknis. Implementasi instrumen pengendalian di daerah juga masih minim dilakukan baik untuk pemberian izin, pemberian insentif dan disinsentif, maupun pengenaan sanksi. Dalam hal perizinan sebanyak 38% kabupaten/kota mengeluarkan rekomendasi teknis tata ruang tidak sesuai dengan KUPZ/PZ. Dalam hal pemberian insentif dan disinsentif terdapat 94% kabupaten/kota yang belum memiliki aturan dan belum menerapkan pemberian insentif dan disinsentif. Dan dalam hal pengenaan sanksi, 87% kabupaten/kota belum memiliki aturan pengenaan sanksi serta 63% kabupaten/kota belum pernah mengenakan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang, yang mana jumlah pelanggaran yang teridentifikasi seluruh Indonesia sejumlah 49 ribu, baru dapat ditangani sebanyak 27 ribu (55%) kasus pelanggaran dan sudah dikenakan sanksi (Pengawasan Teknis Penyelenggaraan Penataan Ruang, 2019). Penyelenggaraan penataan ruang bila dilihat dari pembinaan penataan ruang, terdapat kekurangan koordinasi penataan ruang di daerah dikarenakan belum terbentuknya kelembagaan TKPRD, koordinasi antar OPD masih lemah, pengalokasian anggaran untuk kegiatan TKPRD masih sangat rendah, dan perhatian kepala daerah terhadap pelaksanaan TKPRD masih belum optimal. Permasalahan lainnya dalam hal pembinaan masih terdapat 56% kabupaten/kota yang belum melakukan sosialisasi bidang penataan ruang, 48% kabupaten/kota yang belum melakukan penyebarluasan informasi bidang penataan ruang, 66% kabupaten/kota belum memiliki sistem informasi penataan ruang, dan 73% kabupaten/kota belum memiliki inovasi penataan ruang (Pengawasan Teknis Penyelenggaraan Penataan Ruang, 2019). Penyelenggaraan penataan ruang bila dilihat dari pengaturan penataan ruang, terjadi backlog rencana rinci tata ruang dikarenakan kuantitas dan kualitas SDM terbatas, keterbatasan anggaran, ketidakjelasan fungsi kelembagaan daerah, 3 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

terkendala proses rekomendasi gubernur, dan perlu menyesuaiakan muatan rencana tata ruang mengikuti pedoman yang baru diterbitkan. Disamping itu, masih terdapat 19% kabupaten/kota yang belum memiliki SK TKPRD, sedangkan dari 81% kabupaten/kota yang memiliki SK TKPRD sebagian besar TKPRD tersebut tidak aktif dalam melaksanakan rapat koordinasi (Pengawasan Teknis Penyelenggaraan Penataan Ruang, 2019). Oleh karena itu, dari beberapa permasalahan yang ada di setiap aspek penyelenggaraan penataan ruang maka dipandang perlu merumuskan indeks penyelenggaraan penataan ruang yang ada di Indonesia, guna mendapatkan gambaran penyelenggaraan penataan ruang yang berkualitas dan menjawab berbagai permasalahan yang sejauh ini bermunculan dalam penerapannya. Disamping itu, juga untuk mencukupi kebutuhan indeks penyelenggaraan penataan ruang pada Rencana Strategis Kementerian ATR/BPN Tahun 2020-2024 guna mengukur capaian kinerja sasaran strategis “Peningkatan Kualitas dan Pemenuhan Rencana Tata Ruang dan Tertib Pemanfaatan Ruang”. 1. Rumusan Masalah Penataan ruang menjadi salah satu landasan dalam mendukung kebijakan percepatan investasi. Penataan ruang yang berkualitas membuat investasi dan pembangunan dapat berjalan selaras dengan koridor keberlanjutan. Penataan ruang yang berkualitas dilakukan dengan penyelenggaraan penataan ruang yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang yang juga berkualitas. Namun, sejauh ini penyelenggaraan penataan ruang belum mampu sepenuhnya memenuhi tujuan penataan ruang itu sendiri untuk menciptakan wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Dengan demikian, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu: a. Bagaimana mengkaji dan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan penataan ruang? b. Bagaimana mengkaji dan menentukan prioritas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan penataan ruang? PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 4

c. Bagaimana mengkaji dan menentukan indeks penyelenggaraan penataan ruang? Penelitian “Evaluasi Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah dan Ketertiban Pemanfaatan Ruang” membatasi ruang lingkup pada penilaian penyelenggaraan penataan ruang di kabupaten/kota. Berdasarkan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang dan PP 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, maka penelitian ini juga menilai aspek-aspek yang menjadi bagian dari penyelenggaraan penataan ruang. Dikarenakan pengawasan penataan ruang merupakan upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dan pengawasan merupakan bagian dari penyelenggaraan penataan ruang yang dilakukan terhadap aspek pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan, maka penelitian ini melakukan penilaian aspek pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan menggunakan sudut pandang pengawasan. Ruang lingkup dari penelitian ini guna menjadi pemahaman bersama antaranya: a. Rencana Tata Ruang Wilayah dalam penelitian ini adalah dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. b. Rencana Detail Tata Ruang dalam penelitian ini adalah dokumen Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten/Kota. c. Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah dalam penelitian ini adalah baik atau buruknya dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan dokumen Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten/Kota. d. Ketertiban Pemanfaatan Ruang dalam penelitian ini adalah kepatuhan terhadap prosedur pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di tingkat Kabupaten/Kota. e. Penataan Ruang dalam penelitian ini adalah mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. f. Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam penelitian ini adalah mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu 5 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

upaya kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. g. Pengaturan Penataan Ruang dalam penelitian ini adalah mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang. h. Pembinaan Penataan Ruang dalam penelitian ini adalah mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, i. Pelaksanaan Penataan Ruang dalam penelitian ini adalah mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. j. Pengawasan Penataan Ruang dalam penelitian ini adalah mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. k. Perencanaan Tata Ruang dalam penelitian ini adalah mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. l. Pemanfaatan Ruang dalam penelitian ini adalah mengacu pada Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. m. Pengendalian Pemanfataan Ruang dalam penelitian ini adalah mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. n. Pengawasan Teknis dalam penelitian ini adalah mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 6

yaitu pengawasan terhadap keseluruhan proses penyelenggaraan penataan ruang yang dilakukan secara berkala. o. Indeks Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam penelitian ini adalah hasil pengawasan teknis sebagai alat ukur indikator capaian kinerja 3 (tiga) aspek penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, serta 3 subaspek dari pelaksanaan yaitu perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu perencanaan wilayah dan kota dalam memperkaya pengetahuan terkait peningkatan kualitas rencana tata ruang dan tertib pemanfaatan ruang serta penyelenggaraan penataan ruang. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat memberikan kontribusi bagi pimpinan/pengambil kebijakan di lingkungan Kementerian ATR/BPN dalam hal diperolehnya rumusan formula penilaian kualitas rencana tata ruang dan tertib pemanfaatan ruang atau indeks penyelenggaraan penataan ruang sebagai alat ukur capaian kinerja sasaran strategis di bidang tata ruang. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. mengkaji dan menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan penataan ruang; 2. mengkaji dan menentukan prioritas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan penataan ruang; dan 3. mengkaji dan menentukan indeks penyelenggaraan penataan ruang. 7 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Konsep Dasar Penataan Ruang a. Ruang Ruang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Dalam rangka memelihara kelangsungan hidupnya, masyarakat melaksanakan kegiatan sosial ekonomi dengan memanfaatkan ruang (Priyono, 2015). Kegiatan pembangunan masyarakat yang memanfaatkan ruang harus diimbangi oleh pemerintah yang berperan sebagai pengatur dan penertib pemanfaatan ruang dengan merumuskan berbagai kebijakan dan pedoman penataan ruang daerah (Priyono, 2015). Ruang perlu diatur ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan yang dapat memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta makhluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal (Fujiastuti, 2014). b. Tata Ruang Tata ruang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial, ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang mengharuskan penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif. Selain itu, penataan PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 8

ruang juga dituntut kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya demi menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan antar daerah, antar pusat dan daerah, antar sektor, dan antar pemangku kepentingan (Priyono, 2015). c. Penataan Ruang Penataan Ruang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 juga menjelaskan penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan runag dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara umum penataan ruang mengandung pengertian sebagai suatu proses yang meliputi proses perencanaan, pelaksanaan atau pemanfaatan tata ruang, dan pengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan ruang yang harus berhubungan satu sama lain (Sugiarto, 2017). Dengan demikian, dalam rangka mewujudkan penataan ruang yang efektif dan efesien maka penataan ruang yang terdiri dari tiga elemen utama yakni perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian 9 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

pemanfaatan ruang haruslah saling berkaitan satu sama lain dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlangsungan untuk jangka panjang (Fujiastuti, 2014). Penyelenggaraan penataan ruang daerah harus dilakukan secara terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor ekonomi, sosial, budaya, dan kelestarian lingkungan hidup. Selain itu, wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang tersebut juga harus didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif (Priyono, 2015). 2. Penyelenggaraan Penataan Ruang Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang (UU Nomor 26 Tahun 2007). Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan untuk mewujudkan pembangunan Indonesia yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan (Andi, 2017). Namun, penyelenggaraan penataan ruang sejauh ini belum mampu sepenuhnya memenuhi harapan terwujudnya ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan (I Made, 2011). Pada implementasi di lapangan terdapat berbagai isu strategis penyelenggaraan penataan ruang daerah seperti belum efektifnya pengendalian pemanfaatan ruang, belum efektifnya kelembagaan penataan ruang, dan RTRW belum dijadikan sebagai acuan pembangunan sektor dan daerah (Andi, 2017). Diperlukan langkah-langkah yang sistematis yang diharapkan mampu mengefektifkan penyelenggaraan penataan ruang (I Made, 2011). Penyelenggaraan penataan ruang dapat dilaksanakan dengan baik untuk mengatasi isu strategis di lapangan dengan cara: 1) meningkatkan ketersediaan regulasi tata ruang yang efektif dan harmonis; 2) meningkatkan pembinaan kelembagaan penataan ruang; 3) meningkatkan kualitas pelaksanaan penataan ruang; serta 4) melaksanakan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang melalui pemantauan dan evaluasi yang terukur (Andi,2017). PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 10

a. Pengaturan Penataan Ruang Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang(UU Nomor 26 Tahun 2007). Pengaturan penataan ruang diselenggarakan untuk: 1) mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang; 2) memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan 3) mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh aspek penyelenggaraan penataan ruang (PP Nomor 15 Tahun 2010). Pengaturan penataan ruang disusun dan ditetapkan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Selain penyusunan dan penetapan peraturan seperti peraturan daerah mengenai rencana tata ruang maupun instrumen pendgendalian, Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dapat menetapkan peraturan lain di bidang penataan ruang sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota mendorong peran masyarakat dalam penyusunan dan penetapan standar dan kriteria teknis sebagai operasionalisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman penataan ruang (PP Nomor 15 Tahun 2010). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010, pengaturan penataan ruang oleh pemerintah maupun pemerintah daerah meliputi penyusunan dan penetapan: 1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan peraturan pelaksanaan dari undang-undang mengenai penataan ruang yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah; 2) rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional yang ditetapkan dengan peraturan presiden; 3) pedoman bidang penataan ruang yang ditetapkan dengan peraturan Menteri; 11 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

4) rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang kawasan strategis provinsi, dan arahan peraturan zonasi sistem provinsi yang ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi; 5) ketentuan tentang perizinan, penetapan bentuk dan besaran insentif dan disinsentif, sanksi administratif, serta petunjuk pelaksanaan pedoman bidang penataan ruang yang ditetapkan dengan peraturan gubernur; 6) rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota, rencana detail tata ruang kabupaten/kota termasuk peraturan zonasi yang ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota; 7) ketentuan tentang perizinan, bentuk dan besaran insentif dan disinsentif, serta sanksi administratif, yang ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota. b. Pembinaan Penataan Ruang Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat (UU Nomor 26 Tahun 2007). Pembinaan penataan ruang diselenggarakan untuk: 1) meningkatkan kualitas dan efektifitas penyelenggaraan penataan ruang; 2) meningkatkan kapasitas dan kemandirian pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan penataan ruang; 3) meningkatkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan 4) meningkatkan kualitas struktur ruang dan pola ruang (PP Nomor 15 Tahun 2010). Pemerintah melakukan pembinaan penataan ruang kepada pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan masyarakat. Pemerintah daerah provinsi melakukan pembinaan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dan masyarakat. Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan kepada masyarakat. Masyarakat dapat berperan aktif dalam pelaksanaan pembinaan penataan ruang untuk mencapai tujuan pembinaan penataan ruang. Pembinaan penataan ruang dilakukan secara sinergis oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pelaksanaan pembinaan penataan ruang dari Pemerintah kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dapat dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi melalui mekanisme dekonsentrasi. Dalam melaksanakan pembinaan PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 12

penataan ruang, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan masyarakat (PP Nomor 15 Tahun 2010). Bentuk pembinaan penataan ruang meliputi: 1) koordinasi penyelenggaraan penataan ruang; 2) sosialisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman bidang penataan ruang; 3) pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang; 4) pendidikan dan pelatihan; 5) penelitian dan pengembangan; 6) pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang; 7) penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat; dan 8) pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat (PP Nomor 15 Tahun 2010). c. Pelaksanaan Penataan Ruang 1) Perencanaan Tata Ruang Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang (UU Nomor 26 Tahun 2007). Pelaksanaan perencanaan tata ruang diselenggarakan untuk: 1) menyusun rencana tata ruang sesuai prosedur; 2) menentukan rencana struktur ruang dan pola ruang yang berkualitas; dan 3) menyediakan landasan spasial bagi pelaksanaan pembangunan sektoral dan kewilayahan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan perencanaan tata ruang meliputi prosedur penyusunan dan penetpana rencana umum tata ruang serta prosedur penyusunan dan penetapan rencana rinci tata ruang (PP Nomor 15 Tahun 2010). Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menyerasikan berbagai kegiatan sektor pembangunan, sehingga dalam memanfaatkan lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal, efisien, dan serasi sehingga dihasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang (Jazuli, 2017). Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang secara berhierarki mencakup Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Rencana rinci tata ruang mencakup rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional, 13 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

rencana tata ruang strategis provinsi, rencana detail tata ruang kabupaten/kota, dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota. Rencana rinci tata ruang disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang. Rencana rinci tata ruang disusun apabila rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, serta rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana umum tata ruang tersebut memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan (Priyono, 2015). Gambar 2.1. Hierarki Produk Perencanaan Tata Ruang Wilayah Sumber: UU Nomor 26 Tahun 2007 2) Pemanfaatan Tata Ruang Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya (UU Nomor 26 Tahun 2007). Pelaksanaan pemanfaatan ruang diselenggarakan untuk: 1) mewujudkan struktur ruang dan pola ruang yang direncanakan untuk menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat secara berkualitas; dan 2) mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan dilaksanakan secara terpadu. Pelaksanaan pemanfaatan ruang merupakan pelaksanaan pembangunan sektoral dan pengembangan wilayah, baik PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 14

yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah maupun oleh masyarakat, harus mengacu pada rencana tata ruang. Pelaksanaan pemanfaatan ruang dilakukan melalui: 1) penyusunan dan sinkronisasi program pemanfaatan ruang; 2) pembiayaan program pemanfaatan ruang; dan 3) pelaksanaan program pemanfaatan ruang (PP Nomor 15 Tahun 2010). Dalam pemanfaatan ruang dilakukan: 1) perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang; 2) perumusan program sektoral dan kewilayahan dalam rangka perwujudan struktur ruang dan pola ruang; dan 3) pelaksanaan pembangunan sektoral dan pengembangan wilayah sesuai dengan program pemanfaatan ruang. Dalam pelaksanaan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang ditetapkan kawasan budi daya yang dikendalikan dan didorong pembangunannya (PP Nomor 15 Tahun 2010). Penyusunan program pemanfaatan ruang merupakan kegiatan untuk menghasilkan program pemanfaatan ruang yang meliputi program jangka panjang, program jangka menengah, dan program tahunan. Penyusunan program pemanfaatan ruang dilakukan berdasarkan indikasi program utama yang termuat dalam rencana tata ruang. Penyusunan program pemanfaatan ruang dilakukan melalui sinkronisasi program sektoral dan kewilayahan baik di pusat maupun di daerah secara terpadu. Sinkronisasi program dilaksanakan dengan memperhatikan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan masyarakat dengan berdasarkan pada skala prioritas untuk kepentingan pengembangan wilayah. Sinkronisasi program dilakukan melalui berbagai forum dan rapat koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Program pemanfaatan ruang merupakan program yang disusun dalam rangka mewujudkan rencana tata ruang meliputi: a) program penataan ruang; b) program pengembangan wilayah; c) program pengembangan perkotaan, termasuk pengendalian kota besar dan metropolitan; d) program pengembangan perdesaan; e) program pengembangan kawasan dan lingkungan; f) program pembangunan sektoral; dan g) program lainnya yang dibutuhkan dalam mewujudkan rencana tata ruang. Program pemanfaatan ruang dituangkan dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana pembangunan tahunan 15 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (PP Nomor 15 Tahun 2010). Pelaksanaan program pemanfaatan ruang merupakan kegiatan pelaksanaan rencana pembangunan. Pelaksanaan program pemanfaatan ruang harus memperhatikan standar kualitas lingkungan, aspek kelaykan ekonomi dan finansial, aspek kelayakan teknis, dan standar pelayanan minimal. Dalam pelaksanaan program dapat disusun rencana induk masing-masing sektor sebagai acuan pelaksanaan pembangunan fisik. Pelaksanaan pembangunan fisik dilakukan secara terpadu, yang lokasinya harus mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Pelaksanaan program pemanfaatan ruang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Dalam pelaksanaan program pemanfaatan ruang dapat dilakukan kerja sama antara Pemerintah dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lainnya, dan pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan masyarakat. Kerja sama dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (PP Nomor 15 Tahun 2010). Pembiayaan program pemanfaatan ruang meliputi perkiraan biaya pelaksanaan, sumber pembiayaan, dan jangka waktu pembiayaan. Perkiraan pembiayaan disusun melalui analisis biaya manfaat terhadap keseluruhan program. Pembiayaan program pemanfaatan ruang dapat berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Jangka waktu pelaksanaan pemanfaatan ruang terdiri atas: a) pemanfaatan ruang jangka panjang selama 20 (dua puluh) tahun; b) pemanfaatan ruang jangka menengah selama 5 (lima) tahun; dan c) pemanfaatan ruang tahunan selama 1 (satu) tahun Ketentuan mengenai pedoman penyusunan program pemanfaatan ruang, pembiayaan program pemanfaatan ruang, dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang, ditetapkan dengan peraturan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional (PP Nomor 15 Tahun 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan program pemanfaatan ruang merupakan aktifitas pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk mewujudkan rencana tata ruang yang dilakukan secara PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 16

bertahap sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang (Jazuli, 2017). Secara singkatnya, pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang melalui penatagunaan lahan (Ramandey, 2015). Hal terpenting dalam pemanfaatan ruang adalah mempertemukan penggunaan lahan yang bervariasi dengan jumlah ketersediaan lahan yang ada dimana tetap memperhatikan kesesuaian lahan untuk tiap-tiap jenis pemanfaatan (Fujiastuti, 2014). Oleh karena itu, dalam menentukan suatu aktivitas yang akan dilakukan pada suatu ruang perlu adanya perhatian dari sisi demand dan supply yang bertujuan untuk mengurangi konflik yang terjadi dalam pemanfaatan ruang (Fujiastuti, 2014). 3) Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang (UU Nomor 26 Tahun 2007). Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan untuk menjamin terwujudnya tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui pengaturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi (PP Nomor 15 Tahun 2010). Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu piranti manajemen pengelolaan ruang yang diperlukan untuk memastikan bahwa perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pemanfaatan ruangnya telah sesuai dengan rencana yang ditetapkan (Sugiarto, 2017). Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang untuk meminimalisir adanya ketidaksesuaian pemanfaatan ruang sehingga terjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan rencana tata ruang (Jazuli, 2017). Priyono (2015) juga menjelaskan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang untuk mewujudkan tertib tata ruang yang mengatur ketentuan mengenai peraturan zonasi yang merupakan ketentuan persyaratan pemanfaatan ruang, perizinan yang merupakan syarat untuk pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi, yang keseluruhannya merupakan perangkat untuk mendorong terwujudnya rencana tata ruang sekaligus 17 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

untuk mencegah terjadinya pelanggaran penataan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang tercermin dalam dokumen pengendalian pemanfaatan ruang yang mengatur mekanisme pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi dan mekanisme pengenaan sanksi (Ramandey, 2017). Andi (2017) menjelaskan bahwa pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan untuk menjamin terwujudnya tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Namun dalam prakteknya terdapat bermacam isu pengendalian pemanfaatan ruang yang muncul seperti: 1) kualitas rencana tata ruang; 2) kelengkapan instrument pengendalian pemanfaatan ruang; 3) kesadaran masyarakat; dan 4) kepastian hukum pemanfaatan ruang. d. Pengawasan Penataan Ruang Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan (UU Nomor 26 Tahun 2007). Pengawasan penataan ruang diselenggarakan untuk: 1) menjamin tercapainya tujuan penyelenggraan penataan ruang; 2) menjamin terlaksananya penegakan hukum bidang penataan ruang; dan 3) meningkatkan kualitas penyelenggaraan penataan ruang (PP Nomor 15 Tahun 2010). Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pengawasan penataan ruang sesuai dengan kewenangannya. Masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan penataan ruang. Dalam rangka meningkatkan efektifitas pengawasan penataan ruang yang dilakukan oleh masyarakat, Pemerintah/pemerintah daerah menyediakan sarana penyampaian hasil pengawasan penataan ruang (PP Nomor 15 Tahun 2010). Pengawasan penataan ruang dilakukan melalui penilaian terhadap kinerja: 1) pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang; 2) fungsi dan manfaat penyelenggaraan penataan ruang; dan 3) pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang (PP Nomor 15 Tahun 2010). PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 18

Pengawasan penataan ruang terdiri atas kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Pemantauan merupakan kegiatan pengamatan terhadap penyelenggaraan penataan ruang secara langsung, tidak langsung, dan/atau melalui laporan masyarakat. Evaluasi merupakan kegiatan penilaian terhadap tingkat pencapaian penyelenggaraan penataan ruang secara terukur dan objektif. Pelaporan merupakan merupakan kegiatan penyampaian hasil evaluasi (PP Nomor 15 Tahun 2010). Bentuk pengawasan penataan runag meliputi pengawasan teknis dan pengawasan khsuus. Pengawasan teknis penataan ruang merupakan pengawasan terhadap keseluruhan proses penyelenggaraan penataan ruang yang dilakukan secara berkala. Pengawasan khusus penataan ruang merupakan pengawasan terhadap permasalahan khusus dalam penyelenggaraan penataan ruang yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Pengawasan teknis penataan ruang meliputi kegiatan: 1) mengawasi masukan, prosedur, dan keluaran, dalam aspek pengaturan penataan ruang, pembinaan penataan ruang, dan pelaksanaan penataan ruang; 2) mengawasi fungsi dan manfaat keluaran; dan 3) mengawasi ketersediaan dan pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. Pengawasan khusus meliputi kegiatan: 1) memeriksa data dan informasi permasalahan khsusu dalam penyelenggaraan penataan ruang; 2) melakukan kajian terhadap permaslaahan khusus dalam penyelenggaraan penataan ruang (PP Nomor 15 Tahun 2010). Pengawasan penataan ruang menghasilkan laporan yang memuat penilaian yaitu penataan ruang diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan penataan ruang diselenggarakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penataan ruang yang diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan menghasilkan rekomendasi untuk mendukung peningkatan kinerja penyelenggaraan penataan ruang. Penataan ruang yang diselenggarakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan menghasilkan rekomendasi untuk dilakukan penyesuaian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau untuk 19 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

dilakukan penertiban dan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (PP Nomor 15 Tahun 2010). Tindak lanjut hasil pengawasan penataan ruang meliputi: 1) penyampaian hasil pengawasan kepada pemangku kepentingan terkait; 2) penyampaian hasil pengawasan yang terdapat indikasi pelanggaran pidana di bidnag penataan ruang kepada penyidik pegawai negeri sipil; dan pelaksanaan hasil pengawasan (PP Nomor 15 Tahun 2010). 3. Desentralisasi Penataan Ruang Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam artian daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi nyata dan tanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah (Kaloh, 2007). Smith (1985) yang dikutip oleh Muluk (2006) mengungkapkan bahwa desentralisasi mencakup beberapa elemen yakni: a. Desentralisasi memerlukan pembatasan area, yang bisa didasarkan pada tiga hal (pola spasial kehidupan sosial dan ekonomi, rasa identitas polistik, dan efisiensi pelayanan publik yang bisa dilaksanakan) b. Desentralisasi yang meliputi pula pelendegasian wewenang, baik itu wewenang politik maupun kewenangan birokratis. Pemerintah Daerah memiliki kewenangannya sendiri dalam desentralisasi spatial. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 14. PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 20

Tugas negara dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi dua hal, yaitu police making ialah penentuan haluan negara dan task executing ialah pelaksanaan tugas menurut haluan yang telah ditetapkan oleh negara. Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud diatas, negera memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Penyelenggaraan penataan ruang itu dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Hariyanto, 2017). 4. Evaluasi Kinerja Penataan Ruang Evaluasi menurut Cronbach (1982) adalah suatu proses penggambaran, pengumpulan informasi dan menyajikannya untuk sebagai bahan penelitian, pertimbangan, dalam memutuskan suatu kebijakan atau keputusan. Prosesnya tetap harus berlanjut sampai kemungkinan untuk merevisi kembali apabila terdapat adanya kesalahan. Evaluasi menurut Charles O. Jones dalam Mokodongan (2019) adalah “Evaluation is an activity which can contribute greatly to the understanding and improvement of policy development and implementation” (evaluasi adalah kegiatan yang dapat menyumbangkan pengertian yang besar nilainya dan dapat pula membantu penyempurnaan pelaksanaan kebijakan beserta perkembangannya). Pengertian tersebut menjelaskan bahwa kegiatan evaluasi dapat mengetahui apakah pelaksanaan suatu program sudah sesuai dengan tujuan utama, yang selanjutnya kegiatan evaluasi tersebut dapat menjadi tolak ukur apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan layak diteruskan, perlu diperbaiki atau dihentikan kegiatannya. Evaluasi kinerja adalah evaluasi tentang sesuatu yang dicapai, prestasi, dan atau kemampuan kerja (tentang sesuatu). Evaluasi kinerja merupakan salah satu bagian dari proses manajemen yang suatu siklus yang berulang. Pengukuran kinerja dilakukan untuk membandingkan suatu hasil dengan suatu standar-satndar yang telah ditetapkan sebelumnya. Melalui Evaluasi kinerja ini dapat diketahui 21 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

penyimpangan-penyimpangan yang terjadi untuk kemudian dilakukan tindakan- tindakan perbaikan (Arifianto, 2010). Pengukuran kinerja penataan ruang telah mulai berkembang sejak tahun 1970-an melalui penilaian kinerja kota. Pengukuran ini dilakukan oleh banyak lembaga dengan tujuan yang berbeda-beda. Sejumlah lembaga melakukan pengukuran untuk mendapatkan informasi mengenai kota terbaik untuk melakukan investasi. Sementara itu sejumlah lembaga melakukan pengukuran kinerja kota untuk mengukur keberhasilan program kinerja pemerintah. Dan yang terakhir berkembang menjelang tahun 2000-an adalah pengukuran kinerja kota untuk mengukur keberhasilan suatu pembangunan kota di dalam meningkatkan kualitas hidup para penghuninya (Arifianto, 2010). Pemantauan kinerja kota dilakukan pertama kali oleh negara-negara Eropa Barat pada akhir 1960-an atau awal 1970-an, guna mengidentifikasi kota- kota atau daerah-daerah yang terbelakang. Konsep yang menjadi landasan adalah pemikiran bahwa negara bertugas untuk memberik esempatan yang sama bagi semua penduduk. Alasan lainnya berkaitan dengan Perang Dingin, yaitu untuk menjaga agar daerah yang berbatasan dengan Eropa Timur jangan sampai terlantar. Pengukuran kinerja pada saat itu dipakai untuk mengukur kemampuan berkompetisi sebuah kota terhadap kota-kota dalam satu wilayah (Arifianto, 2010). Pada perkembangan selanjutnya pengukuran dilakukan untuk menilai kinerja pengelola kota dalam kurun waktu tertentu – misalnya dalam masa jabatan seorang walikota. Keberhasilan perbaikan infrastruktur dan pelayanan terhadap masyarakat, disamping perbaikan ekonomi, selalu menjadi kriteria terpenting dalam menilai prestasi seorang walikota. Program kerja Pemerintah kota dalam periode tertentu harus dipresentasikan melalui indicator yang disepakati dan pada akhir periode tertentu dapat digunakan sebagai legitimasi politik bagi mereka yang duduk di tingkat eksekutif (Arifianto, 2010). Perkembangan terakhir yang berkembang sejak akhir tahun 1990-an atau pada awal tahun 2000-an adalah pengukuran kinerja kota yang bertujuan untuk mengukur keberhasilan suatu pembangunan kota di dalam meningkatkan tidak PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 22

saja dalam hal pendapatan namun juga dalam kualitas hidup (akses terhadap kebutuhan dasar, kesehatan, pendidikan, lingkungan serta berbagai aspek yang mencerminkan pembangunan kota berkelanjutan). Studi pengukuran kinerja dengan tujuan seperti ini pertama kali dilakukan oleh United Nation Centre for Human Settlement (UNCHS/UN-HABITAT) pada tahun 1996 dan telah menghasilkan publikasi seperti Global Indicator Database dan State of World Cities Report yang diterbitkan setiap tahun. Studi lainnya adalah studi yang dilakukan Asian Development Bank pada tahun 2001 yang menghasilkan publikasi Cities Data Book 2001. Dan yang terakhir adalah program Bank Dunia yang diberi nama Global City Indicator Facility (GCIF). Pada tahun 2009 GCIF mengeluarkan laporan GCIF mengenai status kota-kota yang bergabung di dalam program tersebut (Arifianto, 2010). Evaluasi kinerja kota juga dapat dilakukan melalui evaluasi rencana tata ruangnya, yang tidak terlepas dari kegiatan penyusunan rencana ataupun kegiatan revisi, karena didalam suatu mekanisme penanganan rencana tata ruang yang utuh, kegiatan tersebut satu dengan lainnya merupakan satu sikuensis, dimana output kegiatan yang satu akan merupakan input bagi kegiatan lainnya. Secara diagramatis, kedudukan evaluasi dalam rencana tata ruang dapat dilihat pada gambar berikut ini (Yusri, 2017). Gambar 2.2. Kedudukan Kegiatan Evaluasi Rencana Tata Ruang Sumber : Yusri, 2017 Dari gambar tersebut terlihat bahwa untuk melakukan evaluasi rencana tata ruang diperlukan adanya masukan yang berasal dari monitoring mengenai implementasi suatu rencana tata ruang. Adapun keluaran evaluasi dapat berupa suatu informasi yang akan dipergunakan sebagai dasar terbentuknya suatu kebijaksanaan sehubungan dengan kemungkinan adanya perbaikan/revisi rencana atau penyusunan rencana tata ruang yang baru (Yusri, 2017). 23 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

a. Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa semua tingkatan administrasi pemerintahan, mulai dari nasional, provinsi, kabupaten/kota diwajibkan menyusun Rencana Tata Ruang (RTR). Setiap daerah perlu mempunyai pedoman dalam pemanfaatan ruang yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). RTRW merupakan rencana pemanfaatan ruang kawasan yang disusun untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka penyusunan program-program pembangunan daerah dalam jangka panjang (Fujiastuti, 2014). Hingga saat ini, sebagian besar RTRW di daerah telah disusun dan dilegalkan dalam bentuk Perda (Ulenaung, 2019). Fungsi RTRW adalah sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang/pengembangan wilayah. Dengan kata lain, rencana pemanfaatan ruang suatu wilayah digunakan untuk menentukan penggunaan lahan yang sesuai untuk ruang terbangun dan ditujukan penggunaannya untuk kepentingan bersama (Fujiastuti, 2014). Disamping sebagai “guidance of future action” RTRW pada dasarnya merupakan bentuki intervensi yang dilakukan agar interkasi manusia/ makluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/ makluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (sustainability development) (Hariyanto, 2007). Berdasarkan Final Report Institution Building for the Integration of National-Regional Development and Spatial Planning dari Kementerian PPN/Bappenas (2011), dijelaskan bahwa kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut: 1) Kondisi peraturan perundang-undangan di tingkat nasional yaitu UU Nomor 25 Tahun 2004 dan UU Nomor 26 Tahun 2007 berkaitan dengan ketiadaan arahan untuk integrasi antardokumen perencanaan pembangunan dan perencanaan tata ruang. Keluarnya UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) telah mengubah sistem perencanaan pembangunan di PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 24

Indonesia yang tadinya didasarkan pada Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan kemudian diubah menjadi Propenas (Program Pembangunan Nasional) 2000-2004. UU SPPN ini mengamanatkan perlunya pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten, kota) menyusun rencana pembangunan jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun), dan tahunan. Sementara pada saat itu Indonesia sudah memiliki sistem perencanaan pembangunan spasial berdasarkan sistem penataan ruang yang diamanatkan melalui UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Belakangan disadari bahwa UU No. 25 tahun 2004 ini belum mempertimbangkan keberadaan sistem penataan ruang yang telah diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 1992. Dengan demikian, di awal penyusunan produk-produk UU ini (RPJMN, RPJPD, RPJMD) kurang memperhatikan keterkaitannya dengan produk yang diamanatkan dari UU 24/1992 (RTRW). Namun kekeliruan ini segera disadari dan diperbaiki. UU No. 26 Tahun 2007 yang merupakan revisi dari UU 24/1992 tentang Penataan Ruang sudah mengamanatkan keterkaitan antara RTRW dengan RPJP (N/D) dan RPJM (N/D), demikian juga PP No. 8 tahun 2008 yang merupakan turunan dari UU No. 25 tahun 2004 juga sudah mengamanatkan bahwa penyusunan RPJPD dan RPJMD harus mengacu pada RTRW. Namun demikian, sampai saat ini belum ada arahan yang jelas (pedoman) mengenai bagaimana caranya melakukan integrasi antardokumen tersebut. Namun demikian, dalam melakukan pengintegrasian ini perlu juga dicermati kualitas dari masing-masing dokumen perencanaan tersebut. Apabila kualitas dari dua dokumen tersebut (RTRW dan RPJP/RPJM) ternyata belum memenuhi standar, maka sebenarnya upaya pengintegrasiannya menjadi kurang bermakna. Tetapi, di lain pihak, upaya pengintegrasian ini juga perlu segera dilakukan mengingat pengembangan kapasitas seperti ini tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang panjang. Hal ini dapat dipelajari dari proses peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah yang telah dilakukan selama ini terkait dengan penyusunan RTRW dan/atau RPJPD/RPJMD. 25 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

2) Ketiadaan regulasi rinci untuk penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penyusunan RTRW di daerah sudah mengalami proses yang sangat panjang, yaitu sejak UU No. 24/1992. Dalam proses yang panjang tersebut tentunya diharapkan kapasitas aparat Pemda terkait dengan penyusunan RTRW sudah meningkat. Tetapi dengan keluarnya UU No. 26/2007, maka proses peningkatan kapasitas ini perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan amanat UU tersebut. Sehubungan dengan itu, maka perlu dilakukan sosialisasi secara intensif ke daerah-daerah mengenai amanat UU No. 26/2007 beserta peraturan-peraturan rinci turunannya untuk meningkatkan kapasitas aparat Pemda dalam melakukan penyusunan RTRW sebagaimana diatur oleh UU tersebut. Hal ini memunculkan isu baru. UU 26/2007 mengamanatkan agar semua peraturan daerah provinsi tentang RTRW Provinsi disusun atau disesuaikan paling lambat dalam waktu dua tahun sejak UU tersebut diberlakukan (tahun 2009); sementara semua peraturan daerah kabupaten/kota tentang RTRW segera direvisi dan selesai pada tahun kabupaten/kota disusun atau disesuaikan paling lambat tiga tahun sejak UU tersebut diberlakukan (Tahun 2010). Namun demikian, ternyata peraturan pelaksana dari UU itu sendiri baru keluar belakangan, yaitu PP 15/2010 keluar pada Tahun 2010 sementara peraturan Menteri PU tentang pedoman penyusunan RTRW provinsi, Kabupaten, dan kota baru keluar pada bulan Juli 2009. Kelambatan ketersediaan pedoman teknis tentang penyusunan RTRW tentunya mempengaruhi proses penyusunan RTRW dalam dua hal. Pertama, proses penyusunan menjadi lambat dan tidak dapat memenuhi target yang diamanatkan dalam UU, dan kedua, kualitas RTRW yang dapat disusun dengan cepat belum tentu sesuai dengan arahan yang diberikan dalam pedoman teknis tersebut. Selama ini proses sosialisasi UU 26/2007 dan semua peraturan pelaksananya serta peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah terkait dengan penyusunan RTRW daerahnya masing-masing (baik dalam bentuk Bintek dan Bantek) telah dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum yang memiliki kewenangan untuk itu. Namun PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 26

demikian, tampaknya daerah masih mengalami kesulitan dalam melakukan proses penyusunan tersebut. Hal ini terkait dengan isu SDM perencana di daerah. 3) SDM aparat perencanaan daerah dengan kapasitas yang sulit dibangun apabila adanya mutasi/rotasi yang terlalu sering. Seringnya terjadi mutasi/rotasi aparat pemerintah daerah yang kurang memperhatikan latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja aparat, menjadi kendala dalam membangun kapasitas aparat pemerintah daerah dalam aspek perencanaan pembangunan daerah. Rotasi/mutasi mengakibatkan investasi yang telah dilakukan dalam membangun kapasitas aparat perencana daerah hilang dengan berpindahnya aparat tersebut ke tempat yang lain. Sementara aparat perencana membutuhkan kemampuan yang spesifik untuk dapat merumuskan perencanaan pembangunan daerah yang baik. Sebagai contoh, tidak semua aparat dari berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja akan mampu menguasai teknis penyusunan RTRW. Untuk dapat melakukan penyusunan RTRW yang baik dan berkualitas dibutuhkan aparat dengan kemampuan teknis bidang penataan ruang dengan pengalaman kerja yang cukup. Kurangnya kapabilitas SDM aparat perencana ini akan mempengaruhi kualitas dokumen perencanaan yang dihasilkan. Padahal dokumen perencanaan ini akan menjadi acuan dalam penyusunan program dan kegiatan tahunan pembangunan daerah. Isu rotasi aparat ini sebenarnya sangat signifikan dalam upaya peningkatan kapasitas aparat perencana daerah dan kualitas RTRW. Hal tersebut dapat menjadi salah satu kendala untuk berbagai upaya peningkatan kapasitas terkait penataan ruang yang telah dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum selama ini. 4) Ketersediaan konsultan pendampingan dan kualitasnya. Dengan adanya permasalahan dalam kapasitas aparat perencana di daerah seperti yang dijelaskan di atas, maka penyusunan dokumen-dokumen perencanaan daerah biasanya diserahkan kepada pihak ketiga, yaitu konsultan pendamping. Di sini muncul pula isu yang lain. Tidak semua daerah memiliki 27 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

konsultan pendamping, atau kalau pun ada kapasitasnya pun tidaklah selalu sesuai dengan yang dibutuhkan. Dalam kondisi seperti ini, daerah terpaksa memilih di antara tiga alternatif yang ada, yaitu (i) menggunakan konsultan pendamping yang ada dengan kapasitas seadanya; (ii) menggunakan konsultan pendamping yang berasal dari daerah lain (umumnya dari Pulau Jawa) dengan konsekuensi konsultan tersebut hanya berada di daerah pada waktu yang terbatas sehingga pemahaman akan situasi dan kondisi lokal kurang optimal; atau (iii) mengerjakannya sendiri dengan membangun tim penyusun yang bersifat lintas-SKPD. Ketersediaan dan kapabilitas konsultan pendamping yang terbatas ini tentunya berpengaruh besar terhadap kualitas dokumen RTRW yang dihasilkan. Masalah ini ditambah lagi dengan ketiadaan Tim Teknis dari pemerintah daerah yang dapat memberikan arahan yang jelas dan rinci kepada konsultan tersebut. Apalagi bila belum terdapat pedoman teknis yang memadai. Menurut Lanya (2012) pembiayaan dan kualitas tenaga ahli yang rendah sering berpengaruh terhadap kualitas produk dokumen RTRW. Penyusunan dokumen tata ruang didahului oleh kajian akademik yang meliputi analisis aspek fisik, lingkungan, ekonomi, sosial budaya. Analisis berbagai aspek tersebut diperlukan spesifikasi tenaga ahli yang sesuai dengan kepakarannya. Anggaran RTRW yang rendah berdampak pada kualitas dan kepakaran tim penyusun yang rendah pula. Bahkan beberapa nama pakar hanya sebatas dicantumkan. Namun dalam pelaksanaannnya sering tidak terlibat. Penyusunan RTRW dan penataan ruang lainnya, seperti rencana detail tata ruang (RDTR), rencana strategis atau rencana rinci, sering dikerjakan oleh pihak ketiga. Pihak ini mengerjakan RTRW di beberapa daerah. Anggapannya proses penyusunan RTRW sudah baku merupakan kelemahan, karena intuisi keilmuannya kurang dan hanya mengejar keuntungan, maka sering ditemukan adanya autoplagiat atau copy paste. Oleh karena itu, dalam draf laporan final sering ditemukan kata dan kalimat yang sama dengan dokumen RTRW daerah lain. Kedekatan antara para pengambil keputusan di tingkat Pemda dengan pelaksana pihak ketiga merupakan salah satu faktor rendahnya kualitas keahlian dan kepakaran dalam penyusunan PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 28

RTRW dan RDTR atau perencanaan lainnya. Rendahnya kualitas ini ditambah dengan ciri swasta yang melakukan pekerjaan secara efisien dan kurang mementingkan kualitas produk, berdampak pada dokumen RTRW hanya merupakan koleksi. Selain itu, dalam pelaksanaan penyusunan RTRW juga sering menggunakan data lama dan berkualitas rendah. Akibatnya banyak lokasi perencanaan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahannya untuk kawasan-kawasan tertentu. Secara ringkas Lanya (2012) menjelaskan permasalahan yang mempengaruhi kualitas RTRW yaitu (1) kebijakan dan integritas para kepala daerah, (2) Pembiayaan dan tenaga ahli/kepakaran di bidangnya dalam penyusunan dokumen, (3) tingkat ketelitian dan keterbaruan data base, (4) konflik kepentingan, (5) ekonomi, (6) sosial budaya, (7) kelestarian lingkungan hidup, (8) politik, (9) pertumbuhan penduduk, (10) keamanan, dan (11) masalah institusi (kurang efektif dan efisien, perencanaan program tidak tepat dan tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan, dokumen tata ruang yang tidak digunakan dan hanya disimpan karena tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan). Dengan kata lain, banyak faktor maupun actor yang berperan dalam proses penyusunan RTRW pada akhirnya akan berkontribusi pada kualitas RTRW yang dihasilkan (Octaria dalam Buletin Penataan Ruang, 2019). Prihartono dalam Buletin Penataan Ruang (2020) menyebutkan jika salah satu kriteria baiknya kualitas rencana tata ruang adalah terjaminya kelestarian lingkungan hidup guna menjamin pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu, penyusunan kajian lingkungan hidup strategis tetap menjadi prasayarat dalam penyusunan rencana tata ruang dimana perlu disusun suatu NSPK bersama yang mengatur terkait pengintegrasian penyusunan rencana tata ruang dan kajian lingkungan strategis sebagai satu kesatuan. Dengan, pengintegrasian tersebut, penyusunan rencana tata ruang dapat dipercepat dengan tetap memperhatikan kualitas rencana tata ruang yang mempertahankan prinsip pembangunan berkelanjutan. Ditambah lagi, untuk menjaga kualitas rencana tata ruang yang disusun oleh Pemerintah Daerah juga dilakukan persetujuan substansi rencana tata ruang 29 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

yang merupakan persetujuan yang diberikan oleh Menteru yang menyatakan bahwa materi muatan teknis rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang telah mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang, kebijakan nasional, dan rencana tata ruang lainnya secara hirarkis. Terdapat lima substansi yang dikawal dalam persetujuan substansi yakni kesesuaian terhadap peraturan perundangan, integrasi proyek strategis nasional, pemenuhan ruang terbuka hijau publik, kawasan hutan, lahan pertanian pangan berkelanjutan dan aspek kebencanaan. Dengan demikian melalui persetujuan substansi ini diharapkan dapat menjamin kualitas tata ruang serta tahap awal pelaksanaan pembangunan dan program strategis nasional baik di provinsi/kabupaten/kota (Direktorat Pembinaan Perencanaan Tata Ruang dan Pemanfaatan Ruang Daerah dalam Buletin Penataan Ruang, 2019). Hal tersebut juga dipertegas pada hasil Pengawasan Teknis Kinerja Penyelenggaraan Penataan Ruang oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (2019) bahwa RTRW yang baik adalah RTRW yang sudah memuat substansi penting seperti Kawasan Bencana (KRB), Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk kota, dan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) untuk kabupaten. Yusri (2017) menjelaskan bahwa untuk mengukur kualitas RTRW dapat dilakukan dengan menggunakan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah. Pengukuran tersebut dilakukan dengan cara menilai muatan dari RTRW. b. Ketertiban Pemanfaatan Ruang Berdasarkan Final Report Institution Building for the Integration of National-Regional Development and Spatial Planning oleh Kementerian PPN/Bappenas (2011), dijelaskan bahwa kepatuhan atau ketertiban pemanfaatan ruang merupakan persoalan keintegrasian perencanaan tata ruang dan pembangunan, karena kedua jenis dokumen perencanaan ini menjadi syarat berjalannya pembangunan di daerah. Hubungan antara perencanaan tata ruang dengan pemanfaatan serta pengendalian pemanfaatan ruang adalah keterkaitan antara RTRW dengan perencanaan pembangunan. RTRW hanyalah salah satu sisi PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 30

dari penataan ruang. Dalam hubungan seperti itu, maka RPJP dan RPJM sebagai perencanaan pembangunan dan penataan ruang merupakan dua hal yang terkait dan saling membutuhkan. Bila arahan yang dimuat dalam RTRW tidak diintegrasikan atau diterjemahkan ke dalam RPJMD, maka RTRW tersebut tidak akan terimplementasikan yang berarti penyusunannya menjadi kehilangan makna. Hal ini dikarenakan proses penganggaran hanya dilakukan melalui jalur sistem perencanaan pembangunan ini, yaitu dari RPJMD diturunkan ke dalam RKPD yang kemudian masuk ke proses penganggaran. Namun praktek yang sering terjadi menunjukkan bahwa RTRW sering menjadi acuan terbatas, yaitu hanya untuk perijinan kegiatan saja, dan kurang menjadi dasar dalam perencanaan pembangunan. Sebaliknya, RPJPD yang seharusnya juga menjadi dasar utama dalam perencanaan pembangunan daerah juga kurang menjadi acuan, karena dianggap isinya terlalu makro dan tidak dipahami. Daerah umumnya mendasarkan rencana pembangunannya pada RPJMD karena dianggap lebih operasional daripada RPJPD. Dengan demikan ada dua persoalan mendasar yaitu peran RTRW yang terdegradasi dari acuan pembangunan wilayah menjadi alat operasional perijinan dan kurang diacunya RPJPD karena isinya yang kurang dapat dipahami. 1) Permasalahan Penyimpangan Implementasi Rencana Tata Ruang Nasir (2004) menjelaskan kegiatan implementasi tata ruang merupakan tahap penting untuk mencapai tujuan kegiatan penataan ruang. Tanpa adanya kegiatan implementasi, maka seluruh strategi pemanfaatan dan pengelolaan tata ruang hanya akan menjadi dokumen perencanaan yang tersimpan sebagai arsip penghias lemari pemerintah daerah yang belum teruji kualitasnya dan tidak berfungsi sebagai instrumen regulasi dalam kegiatan penataan ruang. Signifikansi kegiatan implementasi tata ruang bahkan lebih dominan dibandingkan dengan kegiatan penyusunan rencana tata ruang itu sendiri, karena produk perencanaan yang berkualitas baik tidak akan mampu mencapai tujuan yang diharapkan bila proses implementasinya buruk, sementara rencana dengan kualitas rata-rata atau bahkan di bawah rata-rata akan relatif lebih mampu mencapai tujuan yang diharapkan bila proses implementasinya baik. 31 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Keharusan untuk mengimplementasikan rencana tata ruang kemudian menjadi lebih tegas ketika produk kegiatan perencanaan tata ruang tersebut ditetapkan sebagai peraturan daerah (perda) oleh pemerintah daerah selaku pengelola kegiatan pembangunan daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD selaku wakil formal masyarakat daerah dalam lembaga legislatif (UU No. 26 Tahun 2007), karena telah menjadi dokumen hukum yang mempunyai kekuatan hukum dan bersifat mengikat, sehingga harus ditaati oleh setiap pihak yang terkait dengan kegiatan pemanfaatan ruang pada lingkup wilayah administrasi yang bersangkutan. Ditambah lagi, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses implementasi rencana tata ruang yang secara umum terdiri atas empat kelompok faktor, yaitu kelompok perencanaan dan substansi rencana, implementasi, monitoring dan evaluasi serta lingkungan eksternal (Nasir, 2004). Ulenaung (2019) juga menambahkan dalam pelaksanaan kegiatan- kegiatan dalam rencana tata ruang tentu terdapat faktor-faktor atau permasalahan yang akan menghambat pelaksanaannya, antaranya: a) Sumber Daya Manusia, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia masih rendah. b) Partisipasi Masyarakat Masih Rendah, hal ini disebabkan tidak tersampaikannya informasi tentang Peraturan Daerah mengenai RTRW dan kurangnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi penetapan pemanfaatan ruang. c) Kepastian Hukum, dalam pemanfaatan ruang belum maksimal sehingga pelanggaran mengenai RTRW belum ada. d) Kurangnya tenaga teknis pada beberapa daerah terkait elaborasi kebutuhan pemanfaatan ruang antar kabupaten dan kota dalam provinsi yang memang kompleks dan rumit. e) Rencana yang tersusun tidak memperhitungkan keserasian, keseimbangan, dan kelestarian lingkungan. Karena itu, jika rencana tersebut dijalankan sebagaimana yang ditetapkan maka diperkirakan dalam waktu jangka panjang PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 32

akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. f) Tidak adanya ketegasan hukum bagi setiap orang yang melanggar ketentuan dalam ruang. Artinya, bahwa setiap orang yang melakukan penyimpangan penggunaan rencana tata ruang tidak pernah diberikan sanksi. g) Dalam perencanaan tata ruang selalu disatukan dengan rencana pengembangan, sehingga penetapan rencana tata ruang menjadi kabur karena simpang siur dengan rencana pengembangan. Seharusnya rencana pengembangan mengacu pada rencana tata ruang. h) Dalam penetapan rencana tata ruang lebih banyak di dominasi oleh keputusan politik, sehingga obyektifitas terhadap karakteristik wilayah menjadi tidak dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan Isradjuningtias (2017) disebutkan bahwa penataan ruang menggariskan pelaksanaan pembangunan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, guna tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Dengan demikian pemanfaatan ruang termasuk di dalamnya struktur ruang, pola ruang, dan kawasan strategis selayaknya disesuaikan dengan rencana tata ruang agar tidak terjadi penyimpangan. Permasalahan penyimpangan tata ruang erat kaitannya dengan kepatuhan atau ketertiban implementasi tata ruang. Adanya penyimpangan tata ruang berarti terjadi ketidakpatuhan implementasi tata ruang yang tidak hanya sekedar penyimpangan semata tetapi berakibat meluas kepada beberapa aspek terkait lainnya. Menurut Nasir (2004), akibat dari penyimpangan tata ruang akan menyebabkan beberapa hal seperti terjadinya pelanggaran terhadap aturan hukum yang secara sah berlaku karena kedudukan rencana tata ruang telah dikuatkan sebagai peraturan daerah, proses perkembangan kota secara acak yang dapat menimbulkan kesemrawutan, upaya penyediaan infrastruktur menjadi mahal dan tidak efisien, pelipatgandaan biaya pembangunan akibat aktivitas spekulasi lahan dan terancamnya kelestarian lingkungan oleh kegiatan pemanfaatan lahan, serta berkurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap profesi perencana ruang 33 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

terhadap arti penting rencana tata ruang dalam kegiatan pembangunan dan terhadap ilmu perencanaan wilayah dan kota. Banyaknya permasalahan penyimpangan tata ruang yang terjadi dapat disebabkan karena dominasi kebijakan sektoral yang didasari oleh kepentingan tertentu di tiap sektoral, perencanaan tata ruang tanpa Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), belum tepatnya kompetensi sumber daya manusia dalam bidang pengelolaan tata ruang, rendahnya kualitas dari rencana tata ruang, ketidaksesuaian antara tata ruang kota/kabupaten, provinsi, dan nasional, rendahnya partisipasi masyarakat dalam penataan ruang, belum diacunya perundangan penataan ruang sebagai payung kebijakan pemanfaatan ruang bagi semua sektor, hingga perencanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan penataan ruang atau bahkan tanpa disertai rencana tata ruang yang komprehensif. Disisi lain, lemahnya aspek penegakan hukum dan ringannya sanksi yang dijatuhkan menjadi salah satu penyebab terjadinya pelanggaran penataan ruang. Kenyataan ini menggambarkan keberadaan UU Penataan Ruang belum mampu dijadikan ruh perbaikan penataan ruang di Indonesia (Jazuli, 2017). Isradjuningtias (2017) menambahkan jika kecenderungan penyimpangan tersebut dapat terjadi karena pada saat penyusunan produk rencana tata ruang kurang memperhatikan aspek-aspek pelaksanaan pemanfaatan ruang atau sebaliknya bahwa pemanfaatan ruang kurang memperhatikan rencana tata ruang yang telah disusun. Dengan kata lain, kecenderungan penyimpangan terhadap tata ruang yang telah ditetapkan dapat disebabkan oleh berbagai faktor baik produk tata ruang maupun pada tahapan implementasi. Oleh sebab itu, diperlukan evaluasi terhadap rencana tata ruang yang ada untuk melihat apakah rencana tata ruang tersebut berjalan sesuai dengan pemanfaatannya atau telah terjadi penyimpangan. Selain itu, dalam melakukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengelolaan ruang harus sebijaksana mungkin sehingga keharmonisan dapat terwujud guna mendukung proses pembangunan. 2) Evaluasi Penyimpangan Implementasi Rencana Tata Ruang Meskipun kegiatan implementasi mempunyai peran yang signifikan terhadap keberhasilan kegiatan penataan ruang, namun kegiatan implementasi PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 34

bukan merupakan kegiatan yang mudah untuk dilaksanakan. Proses implementasi bahkan lebih sulit untuk dilaksanakan dibandingkan dengan proses perumusan/penyusunan kebijakan penataan ruang itu sendiri. Kesulitan untuk mengimplementasikan kebijakan penataan ruang kemudian menyebabkan potensi kegagalan proses implementasi menjadi sangat besar. Kondisi tersebut kemudian membentuk kesenjangan antara substansi rencana tata ruang yang dirumuskan dengan pelaksanaannya dilapangan. Dengan kata lain, adanya penyimpangan tata ruang yang akibatnya harapan untuk mencapai tujuan perencanaan juga menjadi minimal (Nasir, 2004). Mokodongan (2019) menjelaskan bahwa untuk melihat terjadinya penyimpangan tata ruang atau mengukur ketertiban/kepatuhan pemanfaatan ruang dapat dilakukan dengan menggunakan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 2017 tentang Pedoman Pemantauan dan Evaluasi Pemanfaatan Ruang. Pengukuran tersebut dilakukan dengan cara menilai kesesuaian pemanfaatan ruang yang ada dengan rencana tata ruang. Dengan kata lain, penilaian terhadap upaya untuk mewujudkan program struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Gambar 2.3. Gambaran Implementasi Rencana Tata Ruang Sumber: Andi, 2017 35 PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

c. Ketentuan Penilaian Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah Dan Ketertiban Pemanfaatan Ruang Ketentuan penilaian kualitas rencana tata ruang wilayah dapat berpedoman pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (Yusri, 2017). Sedangkan, ketentuan penilaian ketertiban pemanfaatan ruang dapat berpedoman pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang Pedoman Pemantauan dan Evaluasi Pemanfaatan Ruang (Mokodongan, 2019). 1) Tata Cara Penilaian Kualitas Rencana Tata Ruang Wilayah Penilaian kualitas rencana tata ruang wilayah dapat dilaksanakan dengan menelaah hasil peninjauan kembali (Yusri, 2017). Peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun, dilakukan pada tahun kelima sejak RTRW diundangkan (Permen ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2017 dan UU Nomor 26 Tahun 2007). Dalam hal kondisi lingkungan strategis tertentu, peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Kondisi lingkungan strategis berupa bencana alam skala besar, perubahan batas teritorial negara, perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang (Permen ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2017). Tahapan peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah terdiri dari penetapan pelaksanaan, pelaksanaan, dan perumusan rekomendasi hasil pelaksanaan, yang dilakukan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak ditetapkannya surat keputusan penetapan pelaksanaan peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah. Dalam hal peninjauan kembali melampaui jangka waktu dihentikan dan pelaksanaannya diulang mengikuti tahapan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri. Pelaksanaan peninjauan kembali rencana tata ruang dilaksanakan melalui tahapan pengkajian, tahapan evaluasi, dan tahapan penilaian. (Permen ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2017). PPSK-ATP Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 36