Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Princess - Jean P. Sasson

Princess - Jean P. Sasson

Published by haryahutamas, 2016-05-29 05:21:44

Description: Princess - Jean P. Sasson

Search

Read the Text Version

kekuasaan atas urusan anggota keluarga yang masihhidup. Setelah kematian ayah Samira, kakak ayahnyayang tertua yang sekarang jadi penjaga. Dalam sebuah keluarga, jarang ada dua orang laki-laki memiliki karakter yang serupa. Bila ayah Samirapenuh kasih sayang dan kelonggaran, pamannya adalahlelaki yang keras dan kaku. Sebagai orang yang sangattaat beragama, ia kerap mengungkapkanketidaksukaannya pada kemandirian anak perempuandari adiknya. Karena merasa malu, ia tidak mau bicarapada ayah Samira sejak Samira mendaftar di sebuahsekolah di London. Karena tidak suka pendidikan untuk anakperempuan, menurutnya lebih baik anak perempuanyang masih muda dinikahkan pada laki-laki yangberpengalaman dan bijak. Ia baru saja menikahi anakberusia tiga belas tahun, yang baru saja mendapatmenstruasi pertamanya beberapa bulan belakangan danmerupakan anak perempuan dari laki-laki yang usianyasepadan dengan dirinya. Paman Samira adalah ayah dari empat orang putridan tiga putra; putri-putrinya sudah menikah pada saattanda puber pertama muncul. Mereka mendapat lebihsedikit pendidikan dan itupun hanya pelajaran memasakdan menjahit. Mereka hanya mendapatkan pelajaranyang mencukupi dalam membaca Alquran. Setelah orang tuanya meninggal, Samiramendapatkan goncangan kedua. Ada perintah daripamannya, yang sekarang menjadi kepala keluarganya: 'Kembali ke Riyadh dengan pernerbangan palingawal. Bawa semua barang milikmu.'

Ketakutan akan mendapatkan hidup yang kejam dibawah asuhan pamannya menyebabkan Samiramengumpulkan keteguhan hatinya dan tanpa pikirpanjang masuk ke jalan yang tak dikenalnya. Dalam apayang kemudian menjadi kesalahan fatalnya, Samira danLarry melarikan diri bersama-sama ke California. Ketidakpatuhan yang menyolok dari seorang anakperempuan membuat penjaga Samira yang baru terbakaremosi. Pada saat itu, ia tidak mengetahui kekasih asingSamira. Ia tidak mengerti dengan ketidakpatuhangadisnya, karena ia tidak memiliki pengalaman denganperempuan yang keras kepala. Di akhir bulan itu, dengan tidak mengetahui di manaSamira berada, ia membayangkan keponakannya sudahmeninggal, tubuhnya membusuk di negeri orang kafir. Perburuannya tanpa hasil, sampai akhirnya, atasdesakan putra tertuanya, ia mengalah dan memakai jasaagen detektif untuk mencari jejak anak tunggal adiknya. Di suatu pagi, paman Samira yang kejam, marahmarah datang ke rumah Tahani, setelah mendapatpetunjuk dari seorang agen. Ia meminta kakakku,sebagai teman terpercaya Samira, menunjukkan tempattinggal 'keponakannya yang tidak beriman dan kekasihkafirnya'. Ia menggambarkan situasi itu dengan mata terbukalebar. Tahani heran dengan kemarahan sang paman,yang membentur-benturkan kepalanya ke dinding rumahTahani; berseru pada Allah agar membantunyamembunuh keponakannya. Dengan pengaduan sengit, iaberjanji akan membalas dendam pada kekasih kafirSamira. Ia mengutuk saat kelahiran anak saudaranya

itu. Ia berdoa pada Tuhan untuk mendatangkan bencanapada keponakannya yang durhaka. Ia menyatakan bahwaSamira akan menghancurkan kehormatan keluargabeberapa generasi mendatang. Karena takut dengan teriakan dan kekerasan, Tahanimelarikan diri dari rumah dan pergi ke kantor suaminya,Habbib. Ketika keduanya pulang ke istana, pamanSamira baru saja pergi, namun bukan tanpameninggalkan peringatan pada para pelayan bahwa siapapun yang memberikan perlindungan pada keponakannyaakan merasakan kemurkaannya. Untuk menghilangkanketakutan Tahani, Habib mencari paman itu danmenenangkan kemarahannya. Ia meyakinkan pria itubahwa keponakannya tidak pernah berhubungan lagidengan Tahani. Terisolasi di negara lain, Samira tidak menyadaribahwa pamannya, yang tidak pernah berhenti mencarikeponakannya, sekarang menyita semua surat keluarga. Agar bisa memantau semua hubungan yangdilakukan keponakannya, ia mengancam seluruhkeluarga. Suatu saat Samira pasti rindu untukberhubungan dengan keluarganya; ketika Samira si'orang yang berdosa besar', begitu julukan yang diberikanpamannya, telah lemah, ia tak akan lolos dari matawaspada sang paman. Sang paman hanya perlumenunggu. Sementara itu, di California, Larry mulai tak yakinakan cintanya, dan Samira bingung seperti orang hilang. Ketakacuhan kekasihnya sangat menusuk hatinya;ia menelfon Tahani dengan sangat ketakutan dan tak

tahu akan masa depannya. Apa yang harusdilakukannya? Ia hanya memiliki sedikit uang dan takpunya banyak teman di negara baru ini. Tanpa menikahdengan Larry, ia tak akan diizinkan tinggal di Amerika.Habib, walaupun membebaskan Tahani bersahabatdengan Samira, menolak permintaan istrinya itu untukmengirimi Samira uang. Hanya dengan beberapa ribu dollar yang tersisa direkening banknya, Samira, dalam keadaan putus asa,menelpon bibi tersayangnya, adik bungsu ayahnya. Sangbibi, karena takut dengan kekuasaan kakaknya, denganpatuh melaporkan telfon keponakannya. Diberitahutentang kesulitan keponakannya, sang paman denganhati-hati merencanakan penangkapannya agar Samirabisa kembali di bawah kekuasaannya. Samira dibujuk ke Kairo dengan janji akan diterimakembali dengan damai di keluarga yang telahditinggalkannya. Uang dikirim untuk biaya perjalananpulangnya. Samira menelpon Tahani dan dengan beruraiair mata menceritakan bahwa ia tak punya pilihan. CintaLarry sudah pupus, dan ia tak sudi membantunya secarafinansial. Ia belum menyelesaikan sekolahnya sehingga iatak bisa mencari penghasilan. Ia tak memiliki uang. Iamenelpon ke kedutaan Saudi di Washington dan London. Staf kedutaan tidak ramah. Setelah ia menjelaskansituasinya, ia dengan kasar disuruh kembali kekeluarganya. Lari dari kenyataan itu tidak mungkin; iaharus kembali ke Arab Saudi. Samira berkata pada Tahani, ia harap-harap cemaskalau bibinya mengatakan yang sebenarnya, karenamereka bersumpah bahwa saudara laki-laki mereka telahmelunak dan setuju membiayai pendidikannya di

London. Barangkali, setelah segalanya, pamannya akanmerawat anak tunggal adiknya ini dengan baik. Tahani,yang yakin kalau kemarahan sang paman tak akanpernah hilang, tak dapat memberi peringatan, karena iasangat tahu keadaan Samira. Samira dijemput di Kairo oleh dua bibi dan duasepupu laki-lakinya. Mereka menenangkan kecemasanSamira dengan membicarakan perjalanan kembali keLondon, segera setelah ia memperbaiki hubungankeluarga. Dengan gembira, Samira menyimpulkan bahwasemuanya akan berjalan baik. Samira kembali ke Riyadh. Ketika telepon dari Samira tak kunjung datang,Tahani menjadi sangat depresi. Ia akhirnya menelponkerabat Samira, dan ia hanya mendapat kabar bahwaSamira sedang demam dan merasa tidak cukup sehatuntuk menerima telpon dari temannya. Tahani mendapatjaminan bahwa Samira akan menelponnya jikakesehatannya sudah membaik. Minggu kedua kepulangannya, salah satu bibiSamira menjawab permintaan Tahani denganmengabarkan bahwa perkawinan Samira sudah diatur,dan Samira berharap pada Tahani untuk berhentimenghubunginya, karena calon suaminya tidak melihatkeuntungan bersahabat dengan teman masa kecilistrinya. Samira akhirnya berusaha menghubungi Tahani. Kata Samira, harapannya hancur seketika ia melihatpamannya yang telah menunggu. Kemarahan sang

paman memuncak saat keponakannya yang 'tak beriman'itu datang. Sejak malam kepulangannya, Samira dikurung dikamarnya, menunggu putusan dari pamannya. Tak adaanggota keluarga yang berani mengajukan protes atasperlakuan terhadapnya. Ia berbisik pada Tahani bahwaperkawinannya sedang dipersiapkan. Ia akan menikahdalam satu bulan ini. Samira takut dengan gagasan itu,karena hubungannya dengan Larry sudah sangat jauh: iasudah tak lagi perawan. Kami hanya sedikit mengetahui tentang perkawinanitu, karena tak seorang pun di luar keluarga Samira yangdiundang. Kami tahu pasti itu bukanlah perkawinan yangmenggembirakan. Kami diberitahu kalau pengantinprianya sudah berusia pertengahan lima puluh tahundan Samira adalah istrinya yang ketiga. Kemudian, Habbib mendapat gosip tentang keluargaitu dari salah satu sepupu laki-laki Samira. Iamengatakan bahwa pada malam pertama Samiramelawan suaminya dengan sekuat tenaga. Suaminyahampir saja tidak bisa merenggut apa yang merupakanmiliknya. Sang suami bertubuh pendek, gemuk dan tidakterlalu jantan. Tentu saja darah keperawanan sudah takada. Dalam pertempuran sengit, ia tak memiliki waktuuntuk membuktikan keperawanan istrinya. Ketika bertanya kepada bibi Samira, yang sekarangmenyesal karena telah ikut menjebak keponakannya,Tahani mendapat jawaban bahwa pada awalnya sangsuami sangat cinta dengan harimau betina yangditangkapnya. Penghinaan dan pertahanan Samira yangsangat berani tak banyak menghilangkan niatnya untukmenaklukkan Samira dengan paksa. Namun, seiring

waktu berlalu, sang suami mulai jemu dengan sikapmenghina Samira yang kasar dan menyesal telahmembawa Samira ke rumahnya. Samira membual pada bibinya bahwa kesulitanhidup telah membuatnya berani meneriakkan rasa bencike wajah suaminya. Bermodalkan pengalaman bercintadengan lelaki sejati, Samira mengejek kemampuanbercinta suaminya dan membandingkan dengan pacarAmerikanya yang tinggi dan tampan. Tanpa basa-basi, Samira dicerai dan diantar kedepan pintu rumah pamannya. Dengan marah bekassuami Samira mengatakan pada sang Paman bahwakeluarga ini tak punya martabat dan sengajamenikahkannya dengan seorang perempuan yang tak lagisuci. Secara rinci, ia menceritakan semua tindakanSamira yang 'memalukan' yang menaiki ranjangpengantin dengan ingatan ke laki-laki lain. Marah tanpa dasar, sang paman mencari petunjukAlquran, dan menemukan ayat yang memperkuatnyauntuk mengurung orang yang membuat malu keluarga.Bekas suami Samira, yang merasa sakit hati karenakejantanannya dihina, selanjutnya bersumpah akanmemberitahukan ke semua orang kerendahan martabatkeluarga paman Samira, kecuali Samira dihukum secaraserius. Habbib menyampaikan berita sedih pada Tahanibahwa Samira telah dijatuhi hukuman kurungan di'ruang perempuan', sebuah hukuman yang sangat kejam. Ruang itu terletak di lantai paling atas rumahpamannya. Kamar itu tanpa jendela yang memang dibuat

untuk memenjara Samira. Jendelanya ditutup dengansemen. Penyekatan dilakukan untuk membuat teriakan takterdengar. Pintu dibuat secara khusus, dengan sebuahlobang kecil di bawahnya untuk memasukkan makanan. Sebuah lubang di lantai untuk tempat pembuangankotoran. Jika ada pekerja asing yang curiga, ia akan diberitahu bahwa salah satu anggota keluarga menderita sakitotak alias gila akibat kecelakaan; dikhawatirkan ia bisamenyakiti dirinya sendiri atau mungkin orang lain dikeluarga ini. Aku dan saudari-saudariku berkumpul untukmenghibur Tahani, yang sangat berduka cita ataspengurungan orang yang paling dekat di hatinya. Kamisemua merasa sakit, karena Samira merupakan salahsatu dari kami, perempuan Saudi yang tak memilikipenolong untuk melawan ketidakadilan. Sementara aku selalu merencanakan skemapenyelamatan, kakak-kakakku melihat situasi denganlebih jernih. Mereka mendengar kisah perempuan lain dengankasus yang sama, dan mereka jadi tahu bahwa tak adaharapan untuk membebaskan Samira dari isolasi itu. Selama beberapa malam aku tak bisa tidur. Akuterbawa oleh perasaan putus asa dan tak berdaya. Akujuga mendengar rumor tentang perempuan terhukumlainnya di negeriku yang menerima hukuman dikurung di'ruang perempuan', namun aku tak pernah mendugabahwa tangisan penderitaan itu berasal dari seseorangyang kukenal, seorang perempuan yang menjadi harapan

dan jiwa bagi negeri kami, seorang perempuan yangsekarang hidup dalam kegelapan, tanpa cahaya dansuara untuk menopang hidupnya. Aku terbangun di tengah malam karena mimpiburuk. Ketentramanku hilang ketika aku menyadaribahwa mimpi buruk itu nyata adanya; tak akan adaorang-orang yang mengenal Samira dan fakta bahwa iasekarang menderita dan tak berdaya dalam penjara danisolasi total. Pertanyaan yang tak pernah berakhirberkeliaran dalam otak-ku: Kekuasaan apa di bumi iniyang bisa membebaskannya? Ketika aku menatap kelangit malam padang pasir yang bertabur bintang, akuharus menyimpulkan: tak seorang pun bisa.

18. ISTRI KEDUA SELASA, 28 Agustus 1980, adalah hari yang takkan pernah kulupakan. Aku dan Karim baru saja kembali ke Riyadh dari sebuah tempat peristirahatan dipegunungan yang sejuk di Taif. Saat itu aku sedangbermalas-malasan di sofa sementara salah satu pelayanFilipina memijat kakiku yang terasa pegal. Anak-anakkami berada di perkemahan di Dubai, Emirat, dan akumerasa hampa tanpa kehadiran mereka. Ketika aku melongok ke tumpukan surat kabar yangterkumpulkan selama dua bulan kepergian kami, adasebuah artikel menarik dari halaman surat kabarterbaru. Salah seorang kerabatku, gubernur Asir,Pangeran Khalid al Faisal, baru-baru ini mengambilkebijakan untuk mengendalikan membengkaknya biayaperkawinan di propinsinya dengan membatasi harga maskawin atau mahar yang harus dibayar mempelai priakepada mempelai perempuan. Sang Pangeran menetapkan 25.000 Riyal Saudi($7.000) sebagai angka maksimal yang boleh dimintaorangtua pengantin perempuan. Dalam artikeldisebutkan bahwa instruksi itu disambut baik oleh parabujangan yang sudah memenuhi syarat untuk menikah.Hal ini dikarenakan pada tahun 1980, harga rata-ratapengantin perempuan telah mencapai 100.000 RiyalSaudi ($27.000). Dengan harga semahal itu, banyak anakmuda di Arab Saudi yang tak mampu membeli seorangistri. Artikel itu kubacakan kepada pelayan Filipina, tapi

ia tak begitu memerhatikan; ia tidak terlalu tertarikdengan keadaan menyedihkan perempuan Saudi yangdiperjualbelikan. Sekadar bisa bertahan hidup sudahmerupakan beban yang sangat berat bagi sebagian besarorang Filipina. Mereka pikir kami, perempuan Saudi,sudah cukup beruntung dengan memiliki waktu luangyang tiada kira dan uang belanja yang sangat banyakuntuk membeli apa pun yang diinginkan. Sebagai ibu dua orang putri, aku tak begitu pedulidengan harga seorang pengantin perempuan, karena bilasaat menikah datang pada anak-anak kami, hargapengantin perempuan tak begitu menjadi perhatian. Akudan Karim sudah sangat kaya. Uang tak lagi membuatkuputus asa di setiap harinya. Tapi aku melihat para laki-laki dalam keluargaku cenderung mengalamikemunduran. Mereka berbicara fasih tentang kebebasanperempuan, namun dalam kebijakan hukum yangmereka buat, mereka justru mempertahankan tekanantinggi terhadap status quo dan keinginan kembali kezaman primitif. Aku baru puas bila mas kawin dihapuskan samasekali. Berapa lama lagi kami para perempuan takdiperjualbelikan seperti properti? Aku mulai resah dan gelisah, karena semua kakakperempuanku, kecuali Sara, masih berada di luar negeri.Kakak yang paling kucintai sedang menjalani masa akhirkehamilannya yang keempat dan menghabiskan sebagianbesar waktunya untuk tidur. Hidupku, yangkurencanakan dengan baik sejak muda, tidak berjalanseperti yang kubayangkan. Sebaliknya, aku justruterpaku dalam rutinitas seperti yang dilakukan kakak-kakakku dan putriputri kerajaan lain yang menjadi

sahabatku. Karena anak-anak sarapan paginya disuapi parapelayan dan dijaga sepanjang hari, aku biasanya barubangun di siang hari. Setelah memakan buah-buahansegar, aku akan berendam di dalam bak mandi dengansangat santai. Setelah berpakaian, aku akan bergabungdengan Karim atau, jika ia sedang sibuk, dengan kakak-kakakku untuk makan siang yang terlambat. Kami akanbermalas-malasan dan membaca-baca setelah makan. Kemudian aku dan Karim akan tidur siang sejenak. Sesudah itu, ia akan kembali ke kantor ataumengunjungi sepupunya, sementara aku menghabiskanwaktu dengan anak-anak. Aku menghadiri pesta-pesta yang diadakan kaumperempuan di sore hari dan kembali ke istana sebelumpukul delapan malam. Aku dan Karim bersepakat makanmalam bersama anak-anak untuk mengetahui aktifitasmereka seharian. Kami hampir selalu menghadiri pestamakan malam, karena kami termasuk kelompok terpilihyang suka pergi bersama pasangan. Secara umum, kamihanya berkumpul dengan anggota keluarga kerajaan, tapipada kesempatan tertentu, juga dengan orang asingkalangan atas, para menteri luar negeri, dan keluarga-keluarga pengusaha kaya Arab Saudi. Karena belumdiberi kebebasan sosial, kami sebagai generasi yang lebihmuda memutuskan untuk mendapatkannya dengankekuasaan. Kami tahu, kelompok-kelompok agama marahmelihat kami bergaul dengan orang asing, namun merekatak melakukan apa-apa untuk menekan Khalid, Rajapujaan kami yang saleh.

Dalam pertemuan sosial seperti itu, para perempuanberpakaian wah, karena mereka hanya memiliki sedikitkesempatan untuk memamerkan perhiasan dan pakaian. Aku dan Karim sering keluar hingga jam dua atautiga pagi. Rutinitas ini jarang terganggu kecuali kalaukami sedang keluar negeri. Satu pertanyaan yang selalu menghantuiku: untukapa semua ini? Aku tak lagi bisa menyangkal kenyataan ini. Aku,Sultana yang berapi-api, telah menjadi orang biasa,perempuan Saudi yang tumpul dan tanpa gairah; tak adasesuatu yang penting mengisi hari-hariku. Aku bencikemalasan dan kehidupan mewahku. Tapi aku tak tahulangkah apa yang bisa kuambil untuk menghilangkankebosananku. Setelah kakiku dipijat, aku ingin sekali berjalan-jalandi taman. Dalam merancang taman, aku merujuk padataman indah Nura. Tak ada yang bisa membuatku lebihdamai kecuali di bawah teduhnya hutan kecil yang selaludisirami dan dirawat dengan penuh semangat oleh duabelas orang pekerja dari Sri Langka. Kami tinggal di salahsatu padang pasir paling panas di dunia, namun rumahkami dikelilingi oleh taman hijau yang subur. Denganbanyaknya uang dihabiskan untuk mendatangkan airberlimpah dari kota pelabuhan untuk siram-siram empatkali sehari, kami orang Saudi yang kaya bisa melepaskandiri dari sengatan pasir merah yang menunggu secuilkesempatan untuk merusak kota kami danmenghapuskan jejak kami di bumi. Pada waktunya,padang pasirlah yang akan menang, namun sekarangkami adalah tuan di negeri sendiri.

Aku berhenti beristirahat di sebuah gazebo yangkhusus dibangun untuk putri kami tertua, Maha, yangakan segera merayakan ulang tahun kelimanya. Mahaadalah bocah pemimpi yang menghabiskan waktuberjamjam bersembunyi di dalam alat mainan yangtertutupi tumbuh-tumbuhan merambat, melakukanpermainan rumit dengan teman-teman imajinasinya. Iamirip aku waktu masih kecil. Hanya saja, ia beruntungtak mengalami revolusi kepribadian berat seperti ibunya,karena Maha mendapatkan cinta ayahnya dan tak perluharus memberontak. Aku memetik bunga-bunga yang menjalar di atastempat favorit Maha. Aneka macam mainan Mahadibiarkan bertumpuk tak beraturan. Aku tersenyumheran betapa sifatnya sangat berbeda dengan adiknya,Amani, yang sekarang berusia tiga tahun. Amani sangatperfeksionis, mirip dengan bibinya, Sara. Ketika aku berfikir tentang anak-anakku, akumerasakan tekanan yang sangat kuat. Aku mengucapkanrasa syukur pada Allah karena seorang putra dan duaputriku sehat. Namun aku menitikkan air mata ketikaingat kenyataan bahwa aku tak lagi bisa melahirkananak. Setahun yang lalu, saat aku melakukan pemeriksaanrutin di Rumah sakit dan Pusat Penelitian Raja Faisal,aku didiagnosa mengidap kanker payudara. Aku danKarim terkejut, karena kami pikir penyakit itu hanyamenimpa orang yang sudah berumur. Sebelum itu, akutak pernah kena penyakit apa pun dan melahirkan duaanak terakhirku dengan mudah. Dokter yakin bahwasekarang aku sudah bebas dari sel berbahaya itu, namunaku kehilangan satu payudara. Selanjutnya aku

diperingatkan agar tidak hamil lagi. Sebagai tindakan pencegahan agar tak berhasratmemiliki anak lagi, yang akan membahayakanku, makadengan persetujuan Karim, aku melakukan operasisterilisasi. Aku sangat takut seandainya aku tak bisahidup terus dan melihat ketiga anakku tumbuh dewasa. Aku resah dengan pikiran tentang sebuah keluargakecil. Saat itu, di Arab Saudi, jarang ada perempuan yangberhenti melahirkan anak; hanya umur yang akanmenghentikannya; tak ada yang lain. Suara Karim menyela pikiranku yang sedang kacau. Aku melihatnya berjalan dengan cepat melintasirumput tebal. Dalam setahun terakhir, kami lelahbercekcok, akibat penyakit yang menekan hidup kami.Tiba-tiba aku memutuskan untuk menjadi Sultana yangdulu, gadis yang bisa membuat suaminya tertawa lepasdan gembira. Aku tersenyum melihat kaki-kakinya yang panjangdan atletis, terbungkus dalam thobe nya yang ketat. Memandangnya masih membuat hatiku bahagia. Ketika ia sudah dekat, aku menjadi tahu, pikirannyasedang kacau. Aku mencari-cari penyebabnya. Ia perlubeberapa saat untuk mengungkapkan apa yangmenyusahkannya. Aku memberi isyarat dengan tanganuntuk menyuruhnya duduk di sampingku. Aku inginduduk serapat mungkin, sehingga tubuh kami bisabersentuhan, asalkan tak ada yang melihat. Karim membuatku kecewa karena ia duduk di ujungterjauh gazebo. Ia tak membalas senyum sambutanku.Pasti sesuatu yang berbahaya telah menimpa anak kami!

Aku melompat dan bertanya ada berita buruk apa. Iatampak terkejut karena aku dapat meraba kabar yang takmenyenangkan. Kemudian Karim mengucapkan kata-kata yang tak pernah kuduga bisa terdengar darimulutnya. 'Sultana, sejak beberapa bulan yang lalu, aku telahmembuat keputusan, keputusan yang sangat sulit. Akutidak mendiskusikan ini denganmu, karena kamu sedangsakit.' Aku mengangguk, tidak tahu apa yang sedangmenungguku, meskipun aku takut mendengarnya. 'Sultana, kamu istri yang paling penting dalamhatiku dan akan selamanya begitu.' Aku masih belum bisa menduga pesan yang ingindisampaikan suamiku, namun aku yakin kata-katanyamenunjukkan bahwa ia sedang mempersiapkan akuuntuk menerima berita yang mungkin tak sanggup akupikul. Tanpa sadar air mata mengalir di wajahku. Aku takingin ia mengungkapkan apa yang akan segera menjadikenyataan. 'Sultana, aku laki-laki yang masih bisa menurunkanbanyak anak. Aku ingin sepuluh, dua puluh, sebanyakmungkin anak yang menurut Allah pantas bagiku.' Ia berhenti sejenak namun rasanya sangat lama. Akumenahan nafas ketakutan. 'Sultana, aku akan menikah lagi. Istri keduaku ituhanya akan berperan melahirkan anak. Aku takmenginginkan apa pun, selain anak. Cintaku selaluhanya untukmu.' Bunyi yang bertalu-talu di kepalaku membuatku tak

bisa mendengar apa-apa. Aku terperangkap dalamrealitas gelap yang tak kupercaya. Tak pernah, takpernah, tak pernah kubayangkan kemungkinan sepertiitu. Karim menunggu reaksiku. Pertama-tama aku takbisa bergerak. Nafasku akhirnya kembali ke tubuhkumelalui hembusan yang dalam dan keras. Maklumat yangdisampaikannya perlahan merasuk ke dalam otakku danmulai hidup. Saat kekuatanku pulih, aku menjawabnyadengan serangan tiba-tiba yang membuat kami jatuhberguling di lantai. Dalamnya luka yang kurasakan, tidak bisadiekspresikan dengan kata-kata. Aku ingin Karimmemohon maaf padaku ketika aku mencakar wajahnya,menendang kunci pahanya, dan mencoba dengan putusasa membunuhnya. Karim berjuang agar bisa berdiri. Aku berubahmenjadi kasar dan kuat akibat kegilaan yang tiba-tibamerasukiku. Untuk mengendalikanku, Karim harusmenekanku ke tanah dan duduk mengangkangi tubuhku. Teriakanku memecah suasana. Sebutan-sebutanyang kuberikan pada suamiku menyebabkan parapelayan yang berkumpul menjadi kaku. Seperti hewanliar, aku meludahi wajah suamiku. Kulihat ia merasaheran dengan amukan yang ia picu. Karena takut dengan apa yang disaksikan, parapelayan berlarian ke berbagai tempat dan bersembunyidalam bangunan dan di balik rerumputan. Akhirnya kemarahanku berakhir. Aku diam setengahmati. Akal sehatku sudah pulih. Aku katakan pada Karimbahwa aku ingin cerai. Aku takkan pernah bisa

menerima penghinaan berupa suami yang menikah lagi.Karim menjawab, tak masalah bercerai asalkan anak-anak diserahkan padanya dan dibesarkan oleh istrikedua. Ia tak akan pernah mengijinkan anak-anakmeninggalkan rumahnya. Sekilas aku melihat kehidupan yang ada dihadapanku. Dengan menikah lagi, Karim jauh darimartabat dan sopan-santun laki-laki yang beradab. Sebagian besar laki-laki dan perempuan mengertibatas-batas yang dapat ditanggung. Dalam filosofiku, akutak memiliki watak untuk ikut berpesta pora yangberlebih-lebihan. Karim bisa mengeluarkan kata-kata tipu daya yangdisukainya. Tapi aku mengerti implikasi kalau iamenikah lagi. Ia sungguh tak bermaksudmempertahankan anak anak. Persoalannya tetap sederhana. Kami sudah menikahselama delapan tahun. Ia hanya ingin mendapatkan suratizin untuk melakukan hubungan seksual denganperempuan lain. Jelas, suamiku sudah bosan memakanhidangan yang sama dan berhasrat mencari makananbaru yang lebih eksotik sesuai dengan seleranya. Aku marah besar karena Karim menganggap akuadalah perempuan yang tidak cukup pintar untukmenerima penjelasannya yang manis. Ya, aku memangakan menerima apa yang ditakdirkan Allah untukku,namun tidak jika berkaitan dengan suamiku di dunia. Kukatakan pada Karim untuk enyah darihadapanku; karena hari ini aku tak mau adapembunuhan.Untuk kali pertamanya, aku benar-benar mengalami

perasaan tidak suka terhadap suamiku. Wajahnya bijakdan baik; namun isi perutnya licik dan egois. Aku telahtidur di sampingnya selama delapan tahun; namun iatibatiba menjadi orang asing yang tak kukenal samasekali. Aku menyuruhnya menghilang dari pandanganku.Muak melihat ia hanyalah kerangka manusia tanpa otak. Aku melihatnya berjalan menjauh, dengan kepalamenunduk, dan bahu turun. Bagaimana mungkin satujam sebelumnya aku sangat mencintainya? Namunsekarang aliran cintaku melemah. Aku menyukai sifatKarim yang hebat, menghargainya lebih dari laki-laki laindalam masyarakat kami. Tapi, menyedihkan, intikehidupannya tak lebih dari kebanyakan laki-laki. Ya, kami telah melalui satu tahun yang sulit. Ya,perkawinan bersifat membatasi dan kadangmenjengkelkan. Kami telah menikmati tujuh tahun masayang sangat bahagia dan hanya selama setahunmenderita kekacauan dan perubahan. Mungkin saja,sedikit kesenangan segar, perempuan baru yang tidakcerewet, masuk ke dalam mimpi suamiku. Parahnya, ia laki-laki yang bisa mengancam padaorang yang melahirkan anak-anaknya. Tanpa malu, iamenyanjung-nyanjung istri kedua dan menetapkankebahagiaan bagi anak-anakku yang tersayang. Itu tentusaja mengingatkanku akan realitas dominasi laki-laki ditempatku. Ketika telah muncul rencana dalam otakku, akukasihan pada suamiku. Ia lupa telah menikah denganperempuan yang suka memberontak. Tak mudah anak-anakku terlepas dari tanganku.

19. PELARIAN TAK seperti kebanyakan suami-suami di Saudi, Karim menyimpan paspor keluarga di tempat yang mudah dijangkau istrinya. Dan aku orang yang pintar meniru tanda-tangannya. Stempel pribadinya tersimpan di atas mejatulis di ruang kerjanya. Pada saat aku menghimpun pikiran dan kembali kerumah, Karim sudah pergi. Jadi, ia penakut juga. Akuyakin ia akan menginap di istana ayahnya selama satuatau dua malam. Mendadak pikiranku melayang ke Norah. Aku marahmembayangkan mertuaku tersenyum-senyum melihatkeadaanku yang sulit ini. Ia pasti telah memilihkan istrikedua untuk anak sulungnya. Sampai saat itu aku belumtahu siapa yang akan menjadi istri barunya; mungkin iasepupu kerajaan yang masih kanak-kanak, karena kamicenderung menikah dalam satu keluarga besar Akudengan tenang menyiapkan koper dan mengambil uangsimpanan ratusan ribu dolar dari peti. Seperti kebanyakan keluarga kerajaan, Karimmemiliki harta simpanan sebagai persiapan menghadapikemungkinan munculnya revolusi yang sering terjadisecara tak terduga di negeri yang diperintah olehmonarki. Kami telah membicarakan cara menyelamatkanhidup jika si lemah menumbangkan si kuat. Akumemanjatkan doa yang kejam agar penganut Syiah yangminoritas di Provinsi Timur menggulingkan para

pemimpin Sunni kami. Bayangan kepala Karim yangditusuk menimbulkan senyuman di mukaku yangcemberut. Setelah mengemas semua perhiasanku ke dalam se-buah tas kecil, aku mempersiapkan surat-suratperjalananku tanpa kesulitan. Akhirnya aku siap. Aku tidak bisa memercayai saudari-saudariku,karena mereka sangat mungkin tergoda untukmembocorkan kepergianku pada suami-suami mereka. Dan para laki-laki itu kompak; Karim akan segeradiberitahu. Aku panggil pelayan kepercayaanku, karena ia pastiorang pertama yang akan ditanya Karim. Aku katakanpadanya, jika suamiku bertanya tentang aku, bilang sajaaku pergi ke Jeddah selama beberapa hari. Aku menelpon pilot langgananku danmemberitahukan padanya bahwa kami sekeluarga akanterbang ke Jeddah satu jam lagi; ia sudah harus ada dibandara tepat pada waktunya. Aku menelpon parapelayan di Jeddah dan memberi tahu mereka bahwa akuakan mengunjungi seorang teman di kota itu; mungkinaku akan datang ke rumah. Bila Karim menelpon daningin bicara denganku, katakan padanya bahwa akusedang berada di rumah teman dan aku akan menelponbalik sesegera mungkin. Kebohonganku itu dimaksudkan untuk mengulur-ulur waktu agar Karim tidak mengetahui pelariankuselama mungkin. Ketika aku sedang dalam perjalanan ke bandara, akumelihat dengan takjub keramaian orang di jalan-jalanRiyadh di hari Kamis malam. Kota itu dipenuhi oleh para

pekerja asing, karena orang-orang Saudi tidak maumelakukan pekerjaan-pekerjaan kasar. Suatu hari orang-orang yang kurang mampu ini akan bosan denganperlakukan buruk dari kami; bangkai kami akan menjadimakanan sekumpulan anjing liar yang berkeliaran dikotakota kami. Ketika pilot Amerika melihat bayangan hitammelangkah ke arahnya, yang tak lain aku sendiri, iatersenyum dan melambaikan tangan. Ia telahmengantarku ke banyak perjalanan. Ia mengingatkankupada pilot-pilot ramah dan bersahabat yangmenerbangkan aku dan ibuku untuk menemui Sarabeberapa tahun yang lalu. Kenangan itu membuat hatikutak tenang dan jadi rindu pada pelukan ibu yangmenentramkan. Ketika masuk ke dalam pesawat, kukatakan padapilot bahwa rencana berubah; salah satu anak kami sakitdi Dubai, dan aku baru saja menerima telepon dari Karimyang menyuruhku agar pergi menemui anak itu danmembatalkan penerbangan ke Jeddah. Karim sendiriakan menyusul besok, jika sakitnya benar-benarmengkhawatirkan. Aku dengan mudah sekali berbohong ketikakukatakan pada pilot itu bahwa kami rasa anak bungsukami hanya rindu rumah dan kehadiranku akanmembuatnya tenang. Aku tertawa ketika aku bilangbahwa anak-anak telah meninggalkan rumah selama tigaminggu, waktu yang terlalu lama untuk seorang anakkecil kami. Tanpa bertanya lebih lanjut, pilot itu mengubah jalurpenerbangan. Ia telah menerbangkan keluarga kamiselama bertahun-tahun dan mengenal kami sebagai

pasangan bahagia. Ia tak punya alasan untuk meragukanperintahku. Segera setelah sampai di Dubai, aku menyuruh pilotuntuk tinggal di hotel yang biasa ia tinggali, HotelSheraton Dubai. Aku akan menelponnya besok atau lusauntuk memberitahukan rencanaku selanjutnya. Kukatakan padanya bahwa ia bebas tugas untuksementara waktu karena Karim tidak memerlukan diadan pesawatnya dalam beberapa hari. Kami memiliki tigaLear jet; salah satunya selalu siap untuk digunakanKarim. Anak-anak gembira luar biasa melihat ibunya datangtanpa terduga. Pimpinan Summer Camp dari Inggrismengangguk-anggukkan kepalanya dengan simpatiketika kukatakan bahwa nenek anak-anak sakit keras. Aku akan membawa pulang anak-anak secepatnyabersamaku ke Riyadh. Pimpinan itu terburu-buru pergike kantornya untuk mengambil paspor anak-anak. Ketika aku menjabat tangan laki-laki itu sebagaitanda perpisahan, aku katakan bahwa aku tidak bisamenemukan para pelayan yang menemani anak-anak keDubai. Mereka tak menjawab teleponku; aku rasa merekasedang makan malam. Maukah Anda menelpon merekaesok pagi dan memberitahukan kepada mereka bahwaaku menyuruh pilot, Joel, menunggu mereka di HotelSheraton Dubai. Mereka harus segera berangkat danmenemui pilot itu dengan surat ini. Bersamaan denganitu aku mengulurkan sebuah amplop berisi surat yangdialamatkan pada pilot Amerika tersebut. Dalam surat itu aku meminta maaf karenamenggunakan jasanya dengan cara yang curang; aku

cantumkan kata-kata tambahan untuk Karim yangmenceritakan bagaimana aku membohongi si pilot itu. Aku tahu Karim akan sangat marah kepadanya.Tetapi kemarahannya akan segera reda jika ia tahusituasinya. Pilot itu, Joel, adalah pilot kesayangan Karim. Iapasti tak akan kehilangan pekerjaannya. Aku dan anak-anak naik ke dalam limosin yangmenunggu, yang akan mengantar kami ke bandara. Penerbangan langsung ke London akan berangkatsatu jam lagi. Aku akan menggunakan kebohongan apapun untuk mendapatkan empat kursi di pesawat. Ternyata aku tak perlu berdosa pada Allah. Hampirtak ada penumpang; sebagian besar orang terbangkembali ke Teluk pada akhir musim panas, bukannyaberangkat pergi meninggalkan wilayah ini. Anak-anakmengantuk, dan tak banyak bertanya; aku katakankepada mereka bahwa mereka akan mendapat kejutan diakhir perjalanan. Ketika anak-anak tidur, dengan tegang aku mem-bolak-balik halaman sebuah majalah. Tak ada isinyayang menarik perhatianku. aku sedang memikirkanlangkah selanjutnya dengan sangat hati-hati. Sisahidupku tergantung pada kejadian-kejadian beberapaminggu ke depan. Perlahan, aku merasa seseorangdengan maksudtertentu sedang menatap langsung ke arahku. Apakah pelarianku dari Karim sudah diketahui? Aku melihat ke seberang kursi. Seorang perempuanArab berumur sekitar tigapuluh tahun menatap tajam

padaku. Ia menggendong gadis kecil berusia sekitar tigaatau empat tahun. Aku lega melihat orang yangmembuatku kalut ternyata seorang perempuan, seorangibu. Tatapan tajamnya membuatku bertanya-tanya. Akuberdiri, menyelinap di antara kereta dorong dan duduk dikursi kosong di sampingnya. Aku bertanya padanya adamasalah apa. Apakah aku telah mengganggunya? Wajah dinginnya mulai memudar, dan iamenyemprotkan kata-kata ke arahku: 'Aku ada dibandara ketika kamu datang, kamu dan anak-anakmu.'Ia menatap jijik pada anak-anakku. 'Kamu hampir sajamenabrak kami ketika kamu check-in di penjualan tiket!'Ia melihat dengan benci ke mataku ketika ia menyebutkebangsaanku: 'Kalian pikir, orang Saudi bisa membelidunia?' Hari yang melelahkan telah menguras kekuatanku. Namun air mataku yang jatuh lebih mengejutkandiriku ketimbang perempuan itu. Sambil terisak-isak,aku menepuk bahunya dan mengatakan padanya akuminta maaf. Aku sedang mengalami masalah besarsehingga harus mengejar-ngejar penerbangan. Dengan airmata yang mengalir di pipiku, aku kembali ke tempatdudukku. Perempuan itu gampang iba, karena ia takmembiarkanku pergi begitu saja setelah akumemperlihatkan kesedihan. Ia dengan hati-hatimeletakkan anaknya ke kursi dan berlutut di kursisampingku. Badanku menjadi kaku, kemudian aku berbalik,namun ia terus bergerak menghadapkan wajahnya kewajahku dan berkata: 'Tolong, maafkan aku. Aku juga

sedang mengalami masalah besar. Jika kukatakanpadamu apa yang terjadi pada anak perempuanku dinegaramu, mungkin sekali di tangan beberapa laki-laki dinegaramu, kau akan mengerti mengapa aku sangat bencidengan orang Saudi.\" Setelah melalui begitu banyak hal menakutkanketimbang yang bisa ditanggung oleh orang dalamhidupnya, aku tak ingin lagi mendapatkan gambaranketidakadilan dalam pikiranku. Tak kupercaya, akumengucapkan kata-kata 'aku minta maaf. Perempuan itutampaknya mengerti kalau aku sedang dalam puncakkegalauan, sehingga ia bersedia pergi dari sisiku. Namun perempuan itu bersikeras inginmenceritakan peristiwa mengerikan yang menimpanya,dan sebelum penerbangan berakhir, aku mengetahuipenyebab luka hatinya. Setelah mendengar ceritanya,aku semakin benci terhadap masyarakat patriarkhis yangmengancam semua perempuan, bahkan anak-anak, yangberani menginjak tanah Arab Saudi, apa pun kebangsaanmereka. Perempuan itu bernama Widad; ia berasal dariLibanon. Kekacauan yang terus-menerus akibat perangsipil di negeri kecil yang dahulu indah itu telah memaksawarganya mencari pekerjaan di Arab Saudi dan negara-negara Teluk. Suami Widad termasuk orang yangberuntung karena mendapat pekerjaan sebagai eksekutifdi salah satu bisnis yang sedang berkembang di Riyadh. Setelah merasa mapan, ia membawa istri dan anak-nya yang masih kecil ke ibu kota padang pasir ini. Widad senang hidup di Riyadh. Perang di Libanon te-lah menghapuskan keinginannya untuk kembali ke

tempat kelahirannya itu di mana peluru beterbangan danbanyak orang tak berdosa mati. Ia bahagia hidup ditempat yang baru. Ia bisa mengontrak sebuah rumahyang bagus, membeli perabotan, dan semua anggotakeluarga bisa bersatu kembali. Widad sangat terkesandengan sidikitnya kejahatan di negeri kami. Denganhukuman yang sangat berat terhadap orang-orang yangbersalah, hanya ada sedikit orang yang berani berbuatjahat di Arab Saudi, pencuri yang tertangkap akankehilangan tangan, dan seorang pembunuh ataupemerkosa akan kehilangan kepalanya. Dengan pikirantenang seperti itu, ia lalai menjaga anak perempuannyadari bahaya orang asing. Dua bulan lalu, Widad mengadakan pesta kecildengan teman-teman perempuannya. Sama sepertiperempuan Saudi, di negeri kami istri-istri orang asingtak punya banyak kesibukan. Widad menyajikanmakanan ringan, dan tamu-tamunya bermain kartu. Duadari perempuan-perempuan itu membawa anak-anakmereka, sehingga anak perempuan Widad benar-benargembira bermain di taman. Setelah para tamu pergi, Widad membantu duapelayan India-nya membersihkan rumah untukmenyambut suaminya pulang malam itu. Teleponberbunyi, dan Widad bercakap-cakap cukup lama daribiasanya. Ketika ia melongok keluar melalui jendela, iatak melihat apa-apa. Ia memanggil salah satu pelayannyadan menyuruhnya membawa masuk putrinya. PutriWidad tak ditemukan. Setelah mencari-cari dengan rasacemas, tamu terakhir ingat bahwa anak itu sedangduduk-duduk di pinggir trotoar di depan rumah sambilmenggendong bonekanya. Suami Widad pulang, dan

turut mencari sampai ke tetangga. Tak seorang punmelihat putrinya. Setelah berminggu-minggu melakukan pencarian,Widad dan suaminya hanya bisa mengira bahwa putritunggal mereka telah diculik dan kemungkinan besardibunuh. Ketika semua harapan terhadap putrikesayangannya hilang, Widad merasa tak bisa lagi tinggaldi Riyadh. Ia pun kembali ke keluarganya di Libanonyang hancur karena perang. Untuk melanjutkan hidup,suaminya tetap bekerja di Riyadh dan tinggal di rumahyang sama. Sepuluh hari setelah Widad sampai di Beirut, iamendengar ketukan keras di pintu apartemennya. Takutdengan pertempuran milisi yang baru saja terjadi ditempat tetangganya, ia berpura-pura bahwa di rumahnyatak ada orang hingga ia mendengar teriakan tetangganyayang menyampaikan kabar dari suaminya di Riyadh. Tetangga itu baru saja menerima telepon dari suamiWidad. Teleponnya sudah diputus, namun tetangga itutelah mencatat pesan yang sulit dipercaya untuk Widad. Widad harus naik kapal ke Cyprus dan segera pergike kedutaan Saudi di negeri itu. Visanya untuk masukkembali ke Arab Saudi sudah menunggu. Ia harus segerakembali secepat mungkin ke Riyadh. Putri mereka masihhidup! Perlu tiga hari perjalanan kapal dari Jounieh diLibanon ke Larnaca di Cyprus. Di sanalah visanya bisadistempel, baru kemudian perjalanan diteruskan dengannaik pesawat ke Riyadh. Pada saat Widad sampai diRiyadh, teka-teki menghilangnya anak merekadiungkapkan.

Setelah reda rasa terkejutnya karena saat pulang kerumah mendapati putrinya berdiri di pintu gerbang,suami Widad membawa putrinya itu ke klinik untukmemastikan apakah putrinya telah diperkosa, sebuahperistiwa yang paling ia takutkan. Setelah dilakukanpemeriksaan menyeluruh, hasilnya mengerikan. Doktermengatakan pada suami Widad bahwa anaknya tidakmenderita serangan seksual, tetapi baru saja menjalanioperasi besar. Salah satu ginjalnya telah diambil. Lukabekas operasinya buruk, dan infeksi terjadi karenalukanya tak bersih. Para staf rumah sakit saling berspekulasi ketika me-lakukan pemeriksaan. Mereka bertanya-tanya tentangtipe donor dan prosedur operasi. Hampir pasti anak initidak menjalani operasi di Arab Saudi; karena pada saatitu operasi pencangkokan ginjal belum umum dilakukandi kerajaan Saudi. Setelah polisi mengadakan penyelidikan, merekaberkesimpulan bahwa anak ini telah dibawa ke India olehseorang Saudi yang sangat kaya, yang anaknya butuhtransplantasi ginjal. Mungkin saja orang kaya itu telahmenculik lebih dari seorang anak untuk kemudian dipilihsatu yang paling cocok. Tak seorang pun mampumenceritakan kejadian sebelum pengambilan ginjal,karena sang anak hanya bisa mengingat mobil panjanghitam dan bau tak sedap dari saputangan yangditutupkan ke mulutnya oleh seorang laki-laki besar. Iabaru terbangun setelah merasakan sakit yang amatsangat. Ia ditempatkan dalam sebuah kamar denganperawat yang tak bisa berbicara bahasa Arab; ia takmelihat orang lain. Ketika ia hendak dilepaskan, matanyaditutup kain, dinaikkan ke mobil lama sekali dan tanpa

diduga-duga diturunkan di depan pintu rumahnya. Tak diragukan lagi, orang yang telah menculik anakini pastilah sangat kaya, karena ketika ayahnyamelompat dari mobil untuk memeluknya, anak itumenunjukkan sebuah tas kecil penuh dengan uang lebihdari dua puluh ribu dollar dan perhiasan mahal yangbanyak. Dapat dimengerti, Widad menganggap hina negerikudan terhadap kekayaan minyak yang telah membentuksebuah masyarakat yang menganggap harta merekadapat mengatasi semua rintangan hidup. Merekamengambil bagian tubuh yang suci dari seorang anakkecil yang tak berdosa dan meninggalkan uang untukmenghilangkan kemarahan orang-orang yang terluka! Ketika Widad melihat pandanganku yangmenyangsikan ceritanya, ia buru-buru memperlihatkanpadaku anaknya yang sedang tidur dan membuka lukamerah panjang yang dengan jelas menunjukkankedalaman moral yang akan disepakati oleh beberapaorang. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, me-rasa ngeri. Widad menatap gadis kecil yang sedang tidur itudengan penuh kasih; kepulangan anaknya tak lebih darisebuah keajaiban. Kata-kata perpisahan dari Widadmenghapus kebanggaanku yang rentan terhadapbangsaku: 'Aku masih simpati terhadap perempuanSaudi. Selama tinggal sebentar di Arab Saudi, aku telahmelihat cara hidup kalian. Jelas, uang bisa membuatlancar segalanya, tapi orang-orang seperti bangsa Sauditak akan bertahan lama.' Ia berhenti sejenak merenung,

sebelum kemudian melanjutkan: 'Walaupun benar bahwakesulitan uang telah mendorong orang-orang asingdatang ke Arab Saudi, kalian orang Saudi tetap dibencioleh semua orang yang mengenal kalian.' Aku lihat Widad terakhir kali di bandarainternasional London, saat ia memeluk hangat anakkesayangannya. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan medis pa-da putrinya di London, Widad lebih memilih mengambilrisiko terkena bom musuh-musuh Libanon ketimbangmenghadapi kemunafikan dan kejahatan yang tak dapatdibayangkan dari orang-orang di negeriku, Saudi. Aku dan anak-anak menginap semalam di London.Kami menyeberangi Channel dengan kapal feri dan tiba diPerancis di hari berikutnya. Dari sana kami pergi naikkereta api menuju Zurich. Ketika aku mengambil seluruhuang dari rekening putraku di bank Swiss, akutinggalkan anak-anak di hotel selama beberapa jam.Dengan uang lebih dari enam juta dollar di tangan, akumerasa aman. Aku menyewa mobil dan sopirnya untuk pergi keJenewa; dari sana kami kembali terbang ke London dankemudian ke Kepulauan Channel (Channel Islands). Disana, aku mendeposito uang ke sebuah rekening atasnamaku, dan menyisakan uang tunai yang kuambil daripeti di Riyadh untuk biaya pengeluaran kami. Kemudiankami terbang ke Roma, di sana aku menyewa sopir untukmengantar kami kembali ke Paris. Di Paris, aku menyewa seorang pegawai rumahtangga, seorang sopir dan seorang pengawal. Kemudian,atas nama tertentu, aku menyewa sebuah rumah di

daerah pinggiran kota Paris. Dengan perjalanan yangberliku-liku itu, aku yakin Karim tak akan pernah bisamenemukan kami. Sebulan kemudian, aku terbang ke Frankfrut,sementara pengawasan anak-anak kuserahkan padapegawai rumah tangga. Di sana, aku masuk ke sebuahbank dan mengatakan bahwa aku berasal dari Dubai daningin mendepositokan uang dalam jumlah besar. Akumendapat perlakuan istimewa dan dikawal menujukantor menejer bank. Di sana aku mengeluarkansejumlah besar uang dari tasku dan meletakkannya diatas meja menejer Ketika menejer terkejut melihat uangitu, kukatakan padanya bahwa aku ingin menelponsuamiku yang sedang berbisnis di Arab Saudi. Tentu sajaaku bukan sekadar ingin membayar biaya telpon danmeletakkan lima ratus dollar di tangannya. Dengan cepatmenejer itu berdiri dan hampir saja kakinya terkilirketika ia mempersilakanku untuk menelpon selama yangkubutuhkan. Ia menutup pintu dan bilang bahwa jikamembutuhkannya, ia berada di sebuah kantor, setelahtiga ruang ke bawah. Aku menelpon Sara. Aku tahu bayinya sekarangsudah lahir, dan kemungkinan besar ia berada di rumah. Aku bernafas lega ketika salah seorang pelayanmengatakan ya, nyonya ada di rumah. Sara berteriakgembira ketika mendengar suaraku. Aku segera bertanyakepadanya apakah teleponnya disadap, dan iamengatakan tak tahu. Dengan suara terburu-buru, iamenambahkan bahwa Karim sangat khawatir danmelacakku dari Dubai sampai London, tapi takmendapatkan jejak apa-apa. Pada keluarga besar, Karimmenceritakan apa yang terjadi dan benar-benar

menyesal. Ia tak menginginkan apa pun kecuali aku dan anak-anak kembali ke rumah. Karim bilang, kami harusbicara. Aku minta Sara menyampaikan sebuah pesansingkat pada suamiku. Aku ingin ia tahu bahwa akumerasa jijik padanya; ia tak akan pernah melihat kamilagi. Lagi pula, aku sedang menguruskewarganegaraanku dan anak-anak di negara lain.Setelah aku merasa aman di negara baruku, aku akanmemberitahu saudarisaudariku tentang kehidupanbaruku, tapi Karim tak boleh tahu di mana kami berada.Untuk membuat lebih khawatir, kuminta Sara untukmengatakan pada Karim bahwa Abdullah, putranya, takingin lagi berhubungan dengan ayahnya. Dengan cara itu, aku memberi pelajaran pada Karim.Aku gembira, mengetahui Sara melahirkan anak laki-lakidan keluargaku yang lain berada dalam keadaan sehat.Sara bilang bahwa ayah dan Faruq sangat marah;keduanya menyuruhku kembali ke Riyadh dan menurutiapa yang diinginkan Karim, karena istri berkewajibantunduk pada suami. Aku tak mengharapkan lagi sesuatudari kedua orang itu. Sara mencoba melunakkanku dan berkata bukankahlebih baik tinggal bersama madu daripada menjalanihidup di tempat pengasingan. Aku bertanya padanyaapakah ia akan menerima hidup seperti itu dengan Asad. Ia diam tak menjawab. Selesai menelpon, aku memasukkan kembali uangkuke dalam tas dan keluar dari bank tanpa pemberitahuanlebih lanjut dari sang menejer. Aku merasa menyesal

telah melakukan tipu daya, namun aku tahu, jikamenelpon dari telepon bayaran, aku bisa membahayakandiriku, karena operator mungkin akan segeramemberitahukan negara penelpon pada mesin perekamtersembunyi, yang terhubung ke Karim. Ketika merenungkan kata-kata Sara, wajahkutersenyum lebar. Rencanaku berhasil. Namun aku pikirlebih baik membiarkan Karim merasakan penderitaanyang dalam. Ia perlu beberapa waktu untuk tahu bahwaaku tak akan pernah menerima keberadaan istri yangbanyak, tak peduli harga yang harus kubayarkan. Sebenarnya, anak-anak tak tahu apa-apa tentangdrama kehidupan kami. Secara meyakinkan, akuceritakan bisnis ayah mereka yang harus pergi ke Timurselama beberapa bulan. Karena itu, daripada tinggal diRiyadh dan menderita kebosanan, ayah menyarankankita untuk menikmati waktu yang menyenangkan dipinggir kota Perancis. Abdullah heran mengapa ia takpernah menerima telepon dari ayahnya. Untuk mengatasiini aku buat dia sibuk dengan pelajaran dan aktifitassosial. Pikiran anak muda lebih cepat beradaptasi dariyang kita bayangkan. Kedua putri kami masih terlalukecil untuk memikirkan keadaan yang menakutkan. Mereka menghabiskan hari dengan berjalan-jalan.Yang terasa hilang adalah ketidakhadiran ayah mereka. Aku melakukan yang terbaik untuk menggantinya. Aku menghibur diriku dengan memikirkan alternatifalternatif. Aku tak bisa menerima bila anak-anak harus hidupdengan orangtua mereka yang kacau balau terusmenerus. Hidup tanpa ibu tidak lazim. Jika Karim

menikah lagi, sangat mungkin aku akan membunuhnya.Dan aku tak mungkin mengasuh anak-anakku tanpakepala, karena sudah pasti kepalaku akan dipisahkandari tubuhku setelah aku membunuh ayah mereka!untuk sesaat aku memikirkan mata pisau tajam pedangalgojo dan ngeri jika suatu hari akan merasakandinginnya pedang itu. Aku tahu aku beruntung berasaldari keluarga kerajaan, karena aku, seperti Faruqbeberapa tahun yang lalu, dengan mudah bisa melewatisituasi hukum dan etika yang sulit tanpa campur tanganpara penjaga agama. Kalau aku bukan keluarga kerajaan,aku akan mendapat lemparan batu yang mengakhirihidupku akibat tindakan seperti yang kulakukan ini.Kami keluarga kerajaan menjaga dan menyimpanskandal di dalam dindingdinding istana kami; taksatupun orang di luar keluarga yang akan tahu tentangpelarianku. Hanya Karim yang bisa menyebabkankematianku, dan tak peduli apa pun tindakanku, akutahu dengan pasti bahwa suamiku tidak memiliki nyaliuntuk menumpahkan darahku. Aku menelpon Sara sekali sebulan. Selama jauh darikeluarga dan negeraku, hari-hariku terasa gelisah. Tetapiada keuntungan yang didapat: ketetapan hati dankesabaranku akan membatalkan rencana Karim untukmengacaukan kehidupan kami dengan beristri lagi. Setelah lima bulan hidup di pengasingan, aku setujuberbicara dengan Karim melalui telepon. Aku terbang keLondon untuk menelpon. Dari pembicaraan itu aku yakinbahwa Karim sangat sedih, sangat ingin sekali bertemudenganku dan anak-anak. Ia sekarang akan memasukiperangkapku yang kedua. Kami merencanakan pertemuan di Venice di akhir

pekan depan. Suamiku benar-benar kaget melihatkuditemani empat pengawal Jerman yang kekar. Kukatakanpada Karim, aku tak lagi memercayai kata-katanya; iamungkin saja menyewa penjahat yang kejam untukmenculikku dan membawaku kembali ke Riyadh untukmenghadapi cara tak adil sistim hukum di negara kamiterhadap istri yang tak patuh! Wajahnya memerah. Iabersumpah wajahnya merah karena malu. Tapimenurutku, ia gusar karena tak mampu mengendalikanistrinya. Kebuntuan kami berakhir dengan kesepakatan. Akuhanya akan kembali ke Riyadh jika Karimmenandatangani dokumen hukum yang menyebutkanbahwa sepanjang ia dan aku terikat pernikahan, ia takakan menikah lagi. Jika ia melanggar janji, aku akandiceraikan, dan mendapatkan hak pengasuhan anak danseparuh kekayaannya. Tambah lagi, di bawah kendaliku,aku berhak menyimpan uang yang kuambil dari rekeningputraku di Swiss. Karim harus mengganti dana milikAbdullah. Di samping itu, ia akan mendepositokan satujuta dollar atas nama masingmasing putri kami direkening bank Swiss. Aku akan menyimpan sendiripasporku dengan surat-surat yang selalu di perbaharuisehingga aku bisa bepergian tanpa larangan. Kukatakan pada Karim bahwa setelah iamenandatangani kertas-kertas penting itu, aku akantetap di Eropa dengan anak-anak sebulan lagi. Aku telahmemperingatkannya dengan kebulatan tekadku;mungkin saja hasratnya padaku akan lenyap setelah iapertimbangkan. Aku tak tertarik untuk mengulangi laginyanyian yang sama. Karim mengerinyit atas kata-kataku, yang kusampaikan dengan keras dan jarang

didengarnya. Aku menemani Karim ke bandara. Ia jelas tidaksenang. Tapi aku sendiri tak begitu puas, tak sepertiyang sebelumnya kubayangkan. Hal ini dikarenakanpermainan terbesar dalam kehidupanku telahmenghasilkan kemenangan yang memilukan. Aku merasatak begitu gembira memaksa seorang laki-laki melakukanapa yang benar. Satu bulan kemudian aku menelpon Karim untukmendengar keputusannya. Ia mengaku bahwa akuadalah kekuatannya, hidupnya. Ia ingin keluarganyakembali, dengan semuanya seperti dulu. Terus-terangkukatakan padanya bahwa ia jelas saja tidak bisaberharap memutuskan cinta dengan pisau dinginketidakacuhan dan kemudian menginginkan perkawinantanpa cacat. Kita adalah pasangan paling beruntung yangmemiliki cinta, keluarga dan kekayaan tak terbatas. Iayang merusak semua itu, bukan aku. Aku kembali ke Riyadh. Suamiku menunggu, denganbibir bergetar dan senyum ragu-ragu. Abdullah dankedua putriku berlari senang melihat ayah mereka.Melihat kebahagiaan anak-anak, kegembiraanku punpulih perlahan-lahan. Aku merasa menjadi orang asing di rumahku, tanpagairah dan tidak bahagia. Jika melihat ke belakangsetahun yang lalu, terlalu banyak yang terjadi padadiriku. Aku membutuhkan tujuan yang nyata, sebuahtantangan. Aku memutuskan, aku akan kembali kesekolah; sekarang sudah ada universitas untukperempuan di negaraku. Aku akan mencari kehidupan

normal dan meninggalkan rutinitas kosong putri-putrikerajaan. Sedangkan terhadap Karim, aku hanya bisamenunggu waktu untuk menghapus kenangan burukperilakunya. Aku telah melewati sebuah transisi dalamperjuangan mempertahankan perkawinanku darikehadiran perempuan lain. Karim telah menjadi figurutama dalam hidupku sampai ia melemahkan fondasiperkawinan kami dengan mengatakan akan menikahiperempuan lain. Bagian penting dari cinta kami sudahrusak. Sekarang ia hanya menjadi ayah dari anak-anakku, dan sedikit lebih dari itu. Aku dan Karim mulai membangun kembali rumahtangga dan memberikan ketentraman pada anak-anakkami, karena kami sangat berharga bagi mereka. Iamengatakan benar-benar merasa kehilangan cinta kami. Ia berani menebus kesalahannya di mataku. Ia ber-kata, jika aku tetap tak dapat memaafkan tingkahlakunya dulu, kita semua dan anak-anak mungkin akankehilangan kegembiraan di masa-masa selanjutnya. Akuhanya berkata sedikit tapi aku tahu kalau yangdikatakannya itu benar. Trauma perang pribadi sudah berlalu, namun rasadamai jauh dari manis. Aku sering mengenang lukaemosional yang kudapat dalam hidupku; dan sedihnya,semua luka itu ditimbulkan oleh laki-laki. Akibatnya, akutak bisa menjadi orang yang sangat menghargai lawanjenisku itu.

20. HARAPAN BESARTIBA-TIBA, Agustus 1990.Sebuah pesta makan malam sedangberlangsung di rumah kami di Jeddahketika kami mendengar beritamengejutkan bahwa dua tetangga kami terperangkapdalam perjuangan melawan kematian saat melintasiperbatasan negara kecil, Kuwait. Berita itu diteriakkanoleh putra kami, Abdullah, yang sedang mendengarkanBBC melalui radionya. Aku dan Karim sedang menjamudua puluh tamu dari lingkaran eksklusif. Setelah tenangbeberapa saat, bunyi riuh yang sukar dipercaya bergemadi seluruh ruangan. Beberapa orang Saudi, termasuk angota keluargakerajaan yang terlibat dalam negosiasi antara Kuwait danIrak, benar-benar percaya bahwa Saddam Hussein akanmenginvasi Kuwait. Karim hadir pada konferensi yangberakhir dengan kebuntuan pada hari itu, 1 Agustus1990, di Jeddah. Putra Mahkota Kuwait, Sheikh Saud AlAbdullah Al Salem Al Sabah, baru saja kembali ke Kuwaitdengan harapan perang dapat dihindari. Ketika putra kami berteriak bahwa pasukan Iraksudah dahulu masuk ke kota Kuwait, terbuktilah adanyaserangan itu. Aku ingin tahu apakah keluarga besar AlSabah bisa menyelamatkan diri. Sebagai seorang ibu,pikiranku tertuju pada anak-anak yang tak berdosa.Aku lihat wajah Karim di ruangan yang penuh sesak. Di balik wajahnya yang tenang, ia sangat marah. Iraktelah melanggar janji mereka; akibatnya, para pemimpin

pemerintahan kami harus memainkan peran untukmeminimalkan bahaya. Mata coklatnya berkilat. Akutahu bahwa ia, bersama-sama dengan keluarga Al Saudyang hadir, akan segera pergi memenuhi panggilantergesa-gesa konferensi keluarga. Aku sering mendengar Karim berbicara tentangkekejaman rezim Baath di Irak. Ia mengatakan berulangkali bahwa bangsa Irak pada dasarnya agresif dancenderung melakukan kekerasan dalam kehidupanpribadi mereka. Ia pikir hal itu bisa menjelaskanpersetujuan tanpa protes rakyat Irak terhadap sebuahnegara polisi yang brutal. Aku sendiri tak tahu banyak tentang politik diwilayah itu, karena berita-berita di Saudi disensordengan sangat ketat, dan para lelaki tidak banyakmengungkapkan aktifitas politik pada para istri mereka.Namun pendapat Karim dibenarkan oleh sebuah ceritayang aku dengar dari orang Irak. Beberapa tahun yanglalu, ketika sedang makan malam di luar di kota London,aku, Karim, Asad, dan Sara mendengar dengan kagetseorang kenalan berkebangsaan Irak membual bahwa iatelah membunuh ayahnya karena bercekcok soal uang. Si anak itu mengirimi ayahnya penghasilan yangdidapatnya dari berinvestasi di Paris. Ayahnya yang dudaterpikat dengan seorang perempuan desa danmenghabiskan uang kiriman dari anaknya untukmembeli hadiah mahal bagi istri barunya itu. Ketikakembali ke Irak untuk berkunjung, si anak tahu bahwauangnya telah dihabiskan. Ia tahu apa yang harus ialakukan, yaitu menembak mati ayahnya. Dengan teriakan keras, Karim protes terhadaptindakan yang tak masuk akal itu. Orang Irak itu terkejut

melihat suamiku yang bingung dan tidak percaya, danmerespon: 'Ayahku telah menghabiskan uangku! Uangitu milikku!' Dalam pandangan laki-laki itu, ia memilikialasan kuat untuk membunuh ayahnya. Karim tak bisa membayangkan tindakan orang Irakitu dan merasa jijik sehingga, tidak seperti perilakunyayang biasanya lembut, ia melompat ke arah lelaki itu danmenyuruhnya meninggalkan meja kami. Orang Irak itupergi dengan terburu-buru. Karim bergumam bahwatindakan seperti itu sudah biasa di Irak, namun akalnyatak bisa memahami bagaimana masyarakat Irakmembiarkan seorang anak membunuh ayahnya. Karim, seperti sebagian besar laki-laki Saudi, sangatmemuja dan menghormati ayahnya. Tak pernahterpikirkan olehnya untuk meninggikan suaranya ataubahkan membelakangi ayahnya. Dalam banyakkesempatan, aku lihat Karim meninggalkan ruangandengan berjalan mundur. Seperti kebanyakan orang Arab, maaf harus kuakui,aku adalah perokok berat, namun aku tak pernahdiizinkan merokok di depan ayah Karim. Sebagai bagian dari sebuah monarki yangketinggalan zaman, Karim menaruh banyak perhatianterhadap gerakan-gerakan di Timur Tengah yang berhasilmengusir keluarga kerajaan dari singgasana. Dalamsejarah Arab diungkapkan bagaimana para Raja dibuangdengan kasar, dan banyak dari mereka yang mati denganlubang peluru di tubuh mereka. Sebagai salah satuanggota keluarga kerajaan, Karim merasa takut jikakemungkinan tersebut terjadi di negeri kami.

Tambah lagi, seperti kebanyakan orang Arab, Karimmerasa sangat malu dengan tontonan seorang Muslimberperang melawan Muslim lainnya. Karena sebagianbesar dari kami orang Saudi telah meletakkan senjatasejak wilayah kami diubah dari negeri para suku menjadisebuah kerajaan yang bersatu. Membiarkan darahmengalir bukanlah cara yang dipilih para lelaki kamiuntuk melawan musuh; membeli kekuasaan dianggapcara menang yang lebih beradab. Namun, sekarang, hidup kami dihadapkan dengandrama perang yang sesungguhnya. Ketika para lelakidengan tergesa-gesa turut campur dalam pengambilankeputusan diplomasi yang penting, kami para perempuanmenyuruh Abdullah membawa radionya ke ruang duduk. Beritanya hanya sepotong-sepotong, tapi berganti-ganti dari yang buruk ke yang semakin buruk bagibangsa Kuwait yang malang. Sebelum kami lelah, kamimengetahui bahwa Kuwait sudah diduduki, negara kamisudah diserbu oleh ribuan pengungsi. Kami merasa dirikami jauh dari bahaya dan tak memikirkan keselamatanpribadi kami atau bahaya untuk negara kami. Minggu berikutnya keyakinan terhadap pengamatankami mulai goyah. Ketika tentara Saddam ditarik keperbatasan negara kami, berkembang rumor bahwaSaddam akan menelan dua tetangganya dalam sekalisantapan. Orang-orang Saudi di wilayah timur mengungsibersama-sama dengan orang-orang Kuwait. Kamimenerima telepon dari anggota-anggota keluarga yanggelisah, yang menyampaikan berita bahwa Riyadh sudahdipenuhi ribuan orang yang panik. Banyak orang Saudisegera merasa bahwa Riyadh tidak aman; penerbangan

dan jalan-jalan menuju Jeddah macet. Kekacauanmeledak di kerajaan kami yang tenang. Aku dan Sara gemetar mendengar bahwaperempuan-perempuan Kuwait, yang diizinkanmengendarai dan tidak memakai cadar, juga ikutmemenuhi jalan raya dan jalan kecil di ibu kota kami. Tak seorang perempuan Barat pun dapatmembayangkan perasaan kami yang bercampur aduk.Kami sedang menerjang sebuah badai dan, ketika kamimerasa gembira campur takjub, saat itu juga kamimerasa cemburu bahwa saudari-saudari kami sesamaArab boleh mengendarai mobil dan menampakkan wajahmereka di negeri kami! Apakah pokok-pokok kehidupan kami, cadar danadat Saudi, sekarang dianggap tak lebih dari sebuahkekacauan, yang mudah dibuang di tengah panasnyapermusuhan? Hidup tampak mudah bagi perempuanperempuan Kuwait, sama sekali bertolak belakangdengan beban yang harus kami tanggung menghadapikekuasaan lelaki. Kepedihan karena cemburu mengalir diurat nadi kami. Meskipun kami bersimpati padaperempuan perempuan yang kehilangan negara ini,rumah dan orang-orang yang mereka cintai, kami jelasmerasa sebal pada orang-orang yang menyiarkan situasipuritan kami yang tak masuk akal. Betapa kami sangatmenginginkan hakhak seperti yang telah merekadapatkan dengan begitu mudah. Di bulan Agustus yang muram itu, aku mendapatkonfirmasi dari Karim soal rumor terbaru bahwa Rajakami setuju tentara asing masuk ke negara kami. Akumembayangkan bahwa hidup kami akan berubah.

Dengan kedatangan tentara Amerika, ada harapanbagi impian paling ambisius para tokoh feminis di Saudi. Tak satupun lelaki Saudi yang pernahmembayangkan melihat perempuan berpakaian militerdan menjaga benteng pertahanan terakhir kekuasaanlakilaki, Arab Saudi. Itu tidak mungkin! Para ulamaterkejut sekali dan berbicara keras tentang datangnyabahaya di negeri kami. Gangguan terhadap kehidupan kami tidak pernahbisa diukur. Tak ada gempa bumi yang bisamenggoncang kami lebih dari ini. Sementara aku senang dengan perubahan ini, danyakin dengan manfaat yang ditimbulkannya, banyakperempuan Saudi yang marah karena jijik. Merekaadalah orang-orang yang kuanggap bodoh, yang resahterhadap kemungkinan perempuan asing ini mencurisuami mereka. Aku pikir kegelisahan itu wajar, karenasebagian besar perempuan Saudi merasa ragu bercampurtakut ketika suami mereka pergi ke luar negeri, sedikitdari mereka yang percaya bahwa suami mereka akantetap setia di tengah-tengah godaan perempuan-perempuan Barat yang pirang. Banyak dari temankumenentramkan hati mereka dengan pikiran bahwa hanyaseorang pelacur atau perempun aneh yangmempromosikan dirinya, yang akan mempertimbangkanhidup bersama dengan laki-laki asing, sesuatu yangmerupakan sebuah kemunduran moral. Dari bisik-bisiknya, perempuan-perempuan Saudi mengatakanpernah membaca berita bahwa perempuan-perempuanAmerika ini dizinkan masuk tentara semata-mata untukmelayani laki-laki dan memenuhi kebutuhan seksualmereka.

Perasaanku berkecamuk menyikapi perempuan-perempuan super ini yang datang dan pergi sesuaikemauan mereka di negara yang bukan milik mereka. Kami tidak tahu banyak tentang tentara perempuanAmerika, karena negara kami menyensor semua beritatentang para perempuan yang menentukan nasib merekasendiri agar tak berpengaruh terhadap warga negara ArabSaudi. Bila sesekali kami melakukan perjalanan ke luarnegeri, kami hanya menuju pusat-pusat perbelanjaan,bukan ke pangkalan militer. Ketika Asad membawakanSara kopian majalah dan surat kabar Amerika dan Eropayang tak disensor, kami heran melihat tentaraperempuan sungguh menarik. Banyak dari merekaadalah seorang ibu. Pemahaman kami tidak mampuuntuk membayangkan kebebasan seperti itu. Keinginankami sangat sederhana: melepaskan penutup wajah,mengendarai mobil dan bekerja. Negeri kami sekarangmenjadi tempat yang dipenuhi oleh orang-orang berjeniskelamin sama dengan kami yang dipersiapkan denganbaik untuk menghadapi laki-laki dalam pertempuran. Perasaan kami, perempuan Arab terombang ambing. Pada satu saat kami membenci semua perempuanasing, orang Amerika dan Kuwait, yang ada di negerikami. Namun pada saat yang sama, perempuan-perempu-an Kuwait menghangatkan hati kami denganpertunjukkan mereka menentang tradisi kuno berabad-abad supremasi laki-laki. Meskipun masih konservatif,mereka tidak mengalah pada adat masyarakat yangkeranjingan dengan dominasi laki-laki. Rasa cemburudatang dan pergi ketika kami menyadari bahwa

bagaimanapun juga mereka mengangkat status sebagaiperempuan Muslim dalam setiap sikap mereka,sementara kami perempuan Saudi tak berbuat banyakuntuk memuliakan kehidupan kami kecuali denganmengeluh. Di mana letak kesalahan kami? Bagaimanamereka berjuang agar bisa melepas cadar mereka danmemperoleh kebebasan mengendarai mobil dalam waktuyang bersamaan? Kami merasakan sakit cemburu namun juga ke-gembiraan luar biasa. Bingung dengan semua yangterjadi di sekeliling kami, kami, para perempuan bertemusetiap hari untuk membahas perubahan sikap dankesadaran universal tiba-tiba berkenaan denganmalapetaka yang menimpa perempuan Saudi. Di masadulu, sangat sedikit perempuan yang maumengungkapkan keinginan mereka tentang pembaharuanIslam di Arab Saudi, karena kemungkinan berhasilnyabegitu kecil dan hukuman menantang status quo terlaluberat. Bagaimanapun, negara kami adalah rumah Islam;kami orang Saudi adalah 'penjaga agama Islam.' Untukmenutupi rasa malu atas penindasan yang dipaksakan,kami katakan dengan bangga warisan kami yang unikpada saudari-saudari kami Kuwait: kami perempuanperempuan Saudi adalah penjunjung tinggi simbol agamaIslam di seluruh dunia. Tetapi, tiba-tiba, perempuankelas menengah Saudi melemparkan belenggu yangmengekang mereka. Mereka pun menghadapi parafundamentalis dan berteriak pada dunia untukmembebaskan mereka sebagaimana dunia telahmembebaskan perempuan perempuan Kuwait! Aku kaget ketika Sara terburu-buru masuk ke dalam

istana sambil berteriak. Aku sedang memikirkan bahankimia yang memenuhi udara dan dihirup oleh anak-anakku! Apakah pesawat musuh yang mengangkut bornkimia telah luput dari pengawasan pasukan yangmenjaga negeri kami? Aku berdiri diam, menahan nafas,belum memutuskan akan pergi kemana dan apa yangakan kulakukan. Kemungkinan besar aku akanmenggeliat di lantai, memikirkan gagasan terakhirku.Aku memaki diriku! Aku seharusnya mengikuti nasehatKarim dan membawa anak-anak ke London, jauh darikemungkinan mati perlahan yang menyakitkan. Kata-kata Sara akhirnya menghapus ketakutanku,dan berita yang dikatakannya berdering seperti perayaandi telingaku. Asad baru saja menelfonnya; Saudi, yaperempuan Saudi benar-benar mengendarai mobil danturun ke jalan-jalan di Riyadh. Aku berteriak senang; Aku dan Sara berpelukan danmenari-nari. Putri bungsuku mulai terisak-isak takutketika ia masuk ke dalam ruangan dan melihat ibu sertabibinya berteriak dan bergulingan di lantai. Akumenenangkan ketakutannya dengan memeluknya dipangkuanku dan meyakinkan dia bahwa apa yang kamilakukan hanyalah ungkapan dari perasaan gembira;doaku sudah terjawab. Kehadiran orang Amerika telahmengubah kehidupan kami menjadi menakjubkan! Karim menerobos masuk dengan tatapan matasuram. Ia ingin tahu apa yang terjadi; ia bisa mendengarteriakan kami dari taman. Apakah ia tidak tahu? Para perempuan telahmenghancurkan rintangan pertama, mereka menuntut

hak mereka untuk mengendarai mobil! Respon Karimmenenangkan reaksi kami. Aku tahu opininya tentangmasalah ini; ia akan mengatakan, dalam agama tak adalarangan tentang hal ini. Seperti banyak laki-laki Saudi,ia menganggap tidak diizinkannya perempuan untuk me-ngendarai merupakan sesuatu yang absurd. Dengan rasa lelah, sekarang suamikumengemukakan hal yang tak masuk akal. 'Ini benar-benar jenis tindakan yang kami tak ingin dilakukanperempuan! Kita telah bertengkar sengit dengan orang-orang fanatik agar ada kelonggaran! Ketakutan terbesarmereka adalah kelonggaran yang diberikan hanya akanmembuat perempuan maju terus menuntut hak. Manayang lebih penting bagimu, Sultana,' teriak Karim,'apakah memiliki tentara untuk melindungi hidup kitadari ancaman orang Irak atau memilih mengendaraimobil saat ini?' Aku sangat marah pada Karim. Beberapa kali ia pro-tes menentang adat bodoh yang merantai perempuanSaudi di rumah mereka, dan sekarang ketakutannyapada orang-orang fanatik memunculkan jiwapengecutnya ke permukaan. Betapa aku ingin sekalimenikah dengan seorang ksatria, seorang laki-lakidengan nyala api kebajikan memandu hidupnya. Dengan marah, aku menjawab bahwa kamiperempuan tidak bisa 'mencuri-curi keadaan'. Kamiharus mengambil kesempatan sekecil apa pun yang adadi hadapan. Sekaranglah saatnya bagi kami, dan Karimharus berpihak pada kami. Tentu saja, singgasana takakan jatuh hanya karena kami perempuan mengendaraimobil di jalan-jalan di kota kami! Kali ini suamiku marah pada semua perempuan dan

mengatakan padaku dengan suara keras bahwa insidenini akan menunda hak-hak perempuan selama berpuluh-puluh tahun. Ia menyatakan, kegembiraan kami akanberubah menjadi duka cita ketika kami menyaksikanhukuman yang akan dijatuhkan pada orang-orang yangbegitu bodoh. Saat yang tepat akan datang bagiperempuan untuk mengendarai, ia mengingatkan, namunini bukanlah saatnya untuk drama seperti itu. Kata-katanya mengambang di udara ketika ia pergi. Seoranglaki-laki telah bicara! Karim telah mencuri kegembiraan kami yang barusesaat. Aku menggeram seperti kucing di belakangnya,dan bibir Sara bergetar ketika ia menarik kembalisenyumnya. Ia menolak kata-kata Karim dengan jijik. Iamengingatkanku bahwa para laki-laki di keluarga kitaberbicara simpati terhadap hak-hak perempuan, tapikenyataannya mereka tidak terlalu jauh berbeda denganpara ekstrimis. Semua laki-laki seperti beban yang beratdi kepala perempuan. Padahal kami ingin beberapabeban berat itu diangkat. Suami dan ayah kami adalahkeluarga kerajaan yang memerintah negeri ini; jikamereka tidak bisa membantu kami, siapa yang lagi? 'Orang Amerika!' Aku berkata sambil tersenyum.'orang Amerika!' Kata-kata Karim terbukti benar. Empat puluh tujuhorang perempuan pemberani yang berdemonstarasimenentang larangan informal mengendarai menjadikorban kambing hitam para mutawa (Polisi Syariat). Mereka perempuan dari kelas menengah, para pe-ngajar perempuan lain atau para pelajar pemikir danpara pelaku. Akibat dari keberanian mereka, hidupmereka hancur oleh tindakan yang mereka lakukan;

paspor diambil, kehilangan pekerjaan dan keluargamereka diusik. Ketika sedang berbelanja di mall lokal, Aku dan Saramendengar pelajar-pelajar sekolah agama yang masihmuda sedang mengajak para laki-laki Saudi untukmenentang perempuan-perempuan tersebut denganmengatakan mereka adalah pemimpin kejahatan danmenjalani hidup sebagai pelacur; mereka telah dicela dimasjid dengan celaan seperti itu oleh para laki-laki yangmempunyai akal untuk mengetahui! Aku dan kakakku berdiri di jendela toko untukmendengar anak muda itu, yang dengan kerasmenyatakan bahwa godaan yang datang dari Barat akanmenyebabkan kehormatan semua orang Saudi hancur! Aku ingin menemui para perempuan itu, untukbergabung dalam kebesaran mereka. Ketika akukemukakan ide itu pada Karim, reaksinya menutupkemungkinan itu. Ia mengancam untuk mengurungku dirumah jika aku mencoba melakukan pemberontakanseperti itu. Pada saat itu aku benci suamiku, karena akutahu ia dapat melakukan ancamannya. Ia tiba-tibasangat cemas pada negara, secemas ia pada malapetakayang dapat ditimbulkan oleh kami perempuan terhadapkeluarga kerajaan. Dalam beberapa hari aku membangun keberaniankudan mencoba menemui perempuan-perempuanpemberani itu. Aku kembali ke mall. Ketika aku lihatsekelompok lakilaki di sebuah bundaran, aku katakanpada sopir Filipinaku untuk pergi ke mereka danmengatakan ia adalah seorang Muslim (ada beberapaMuslim Filipina di Saudi Arab), kemudian meminta kertasdan nomor telepon 'perempuan yang berdosa (fallen) itu.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook