Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Theresa

Theresa

Published by Digital Library, 2021-01-28 01:37:06

Description: Theresa oleh Emile Zola

Keywords: Emile Zola,Sastra,Sastra Dunia

Search

Read the Text Version

PEnERjEMAH ERMAS THERESA



THERESA

Undang-Undang Republik Indonesia Nom or 28 Tahun 20 14 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 1 Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang tim bul secara otom atis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujud- kan dalam bentuk nyata tanpa m engurangi pem batasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pidana Pasal 113 (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak m elakukan pelanggaran hak ekonom i sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda pal- ing banyak Rp10 0 .0 0 0 .0 0 0 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa izin Pencipta atau pem egang Hak Cipta m elakukan pelanggaran hak ekonom i Pencipta sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk Peng- gunaan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp50 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa izin Pencipta atau pem egang Hak Cipta m elakukan pelanggaran hak ekonom i Pencipta sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggu- naan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 4 (em pat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (satu m iliar rupiah). (4) Setiap Orang yang m em enuhi unsur sebagaim ana dim aksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pem bajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lam a 10 (sepuluh) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp4.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (em pat miliar rupiah).

THERESA PENERJEMAH ERMAS

Th e re s a Em ile Zola Judul Asli Theresa Copyright by Em ile Zola Terjem ahan atas izin pem egang hak cipta KPG 59 16 0 11 96 Cetakan pertam a, Mei 20 16 Sebelum nya pernah diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka J aya Cetakan Pertam a, 1984 Pe n e rje m ah Ermas Perancang Sam pul Deborah Am adis Mawa Teguh Tri Erdyan Pe n ata Le tak Deborah Am adis Mawa Zola, Em ile Th e re s a J akarta; KPG (Kepustakaan Populer Gram edia), 20 16 iv + 275; 14 x 21 ISBN: 978-60 2-424-0 54-7 Dicetak oleh PT Gramedia, J akarta. Isi di luar tanggung jawab percetakan.

BAB I KALAU KITA berjalan dari arah sungai dan derm aga, sehabis melalui Rue Guenegaud kita akan sampai ke sebuah arkade, sebuah lorong beratap m elengkung gelap dan sem pit, yang m enghubungkan Rue Mazarine dan Rue de la Seine. Panjangnya, paling-paling tiga puluh langkah sedangkan lebarnya dua langkah, berlantai jubin kuning yang telah usang dan retak-retak, lem bap karena cairan asam . Kaca berpetak-petak yang m engatapinya telah hitam karena kotoran. Nam anya Passage du Point-Neuf. Pada hari-hari cerah di musim panas, ketika matahari memanggang jalan-jalan, secercah sinar keputih-putihan masuk m elalui kaca yang kotor itu lalu m enyebarkan sedikit cahaya terang dalam Passage. Dalam musim salju ketika cuaca sangat buruk, atau pada pagi hari berkabut, kaca itu hanya m am pu m em biaskan kegelapan ke dalam nya. Maka keadaan dalam lorong itu seperti m alam yang kotor dan pengap.

2 Emile Zola Di sebelah kiri, agak mundur ke belakang, berjejer toko- toko kecil yang suram dan rendah, m engem buskan udara dingin seperti dari dalam gudang di bawah tanah. Ada toko buku bekas, toko m ainan anak-anak dan kardus yang telah m enjadi kelabu karena debu, dan pem iliknya terkantuk-kantuk dalam kegelapan. Etalasenya yang terdiri dari kaca-kaca kecil m enem buskan cahaya kehijau-hijauan yang aneh kepada barang-barang di dalam nya. Di belakang etalase, toko-toko yang gelap itu m erupakan lubang- lubang kelam yang m enyerupai gua. Di dalam nya bergerak berbagai sosok tubuh yang fantastik. Di sebelah kanan, sepanjang Passage berdiri dinding tembok. Pada dinding ini pem ilik-pem ilik toko di seberangnya m endirikan lem ari-lem ari pajangan yang kecil. Barang-barang yang tidak bernam a, atau barang-barang yang telah terlupakan selam a dua puluh tahun dipajangkan sepanjang papan-papan lemari yang telah bobrok berwarna cokelat m enyeram kan. Seorang perempuan memajangkan permata-permata imitasi pada salah satu lem ari ini. Dia m enjual cincin-cincin m urah yang diletakkan dengan rapi di atas beludru biru dalam sebuah kotak kayu m ahoni. Tembok itu menjulang melebihi atap kaca, hitam dan lepuh. Karena plesterannya kasar, seakan-akan tem bok itu berpenyakit kusta dan penuh parutan. Passage du Point-Neuf bukanlah tempat untuk berjalan- jalan. Orang m engam bilnya hanyalah karena hendak m enghindari jalan berputar untuk menghemat beberapa menit. J alan itu digunakan oleh orang-orang sibuk yang hanya berkepentingan untuk sampai di tempat tujuan sesegera mungkin tanpa berputar- putar. Yan g serin g terlihat di san a um um n ya m urid-m urid pertukangan dalam pakaian kerjanya, perem puan-perem puan penjahit yang hendak m enyerahkan hasil kerjanya kepada langganannya, laki-laki dan perem puan dengan bungkusan di tangannya. Sekali-sekali ada juga kita lihat orang-orang tua

Theresa 3 berjalan tersaruk-saruk dalam cahaya senja kelam yang m asuk melalui atap kaca, atau sekelompok anak-anak sepulang sekolah yang m em buat kegaduhan berlari-lari dengan sepatu kayunya di atas jubin. Sepanjang hari terdengar suara langkah-langkah cepat di atas jubin dengan iram a yang m engganggu. Tak seorang pun berbicara, tak seorang pun berhenti. Setiap orang bergegas dengan urusannya m asing-m asing, kepala m erunduk, berjalan cepat tanpa sedikit pun melirik ke arah toko-toko. Para pemilik toko m em andang dengan heran kepada setiap orang yang karena suatu keajaiban berhenti di m uka etalase tokonya. Pada m alam hari, tiga buah keran gas yang ada di dalam lentera berat yang berbentuk segi em pat panjang, m enerangi Passage itu. Keran-keran gas ini, m elalui gelas-gelas cem bung m em ancarkan berkas-berkas cahaya pucat kekuning-kuningan yang berkelap-kelip dan sewaktu-waktu seperti m enghilang. Pada saat itu Passage ini tampak seperti sebuah perangkap kematian yang sesungguhnya. Bayangan-bayangan besar terham par di atas jubin, angin yang lem bap m asuk m engem bus dari jalan. Kita akan m erasa seakan-akan berada dalam ruangan bawah tanah yang diterangi dengan redup oleh tiga buah lentera pengurus m ayat. Untuk m enerangi etalase, para pem ilik toko hanya m engandalkan cahaya lam pu gas, yang tidak m encukupi itu, sedang di dalam toko m ereka hanya m enyalakan sebuah lam pu bertudung yang m ereka tem patkan di sudut m eja bayar. Baru pada m alam hari orang lewat dapat m engetahui apa yang ada di dalam gua-gua itu yang sepanjang siang harinya gelap bagaikan m alam . Dari sekian toko yang gelap itu, etalase toko kardus m em ancarkan cahaya. Dua buah lam pu m inyak m enem bus kegelapan m alam dengan nyala kuningnya. Di sebelahnya, sebuah lilin yang ditaruh di dalam semprong lampu membuat permata-permata imitasi dalam kotak berkelap-kelip bagaikan bintang-bintang. Di seberang bangunan-bangunan ini, beberapa tahun yang lalu ada sebuah

4 Emile Zola toko yang kayu-kayunya berwarna hijau botol telah berkeringat dari setiap retak-retaknya. Papan nam anya yang panjang dan sem pit bertuliskan Toko Kelontong dengan huruf-huruf hitam , dan pada salah satu kaca jendelanya tertera nam a perem puan dengan huruf-huruf m erah: Theresa Raquin. Di kanan kirinya terdapat etalase yang m elengkung ke dalam beralaskan kertas biru. Pada siang hari, yang terlihat hanyalah pajangan barang dagangan dalam ‘chiaroscuro’ yang kelam . Di salah satu etalasenya terdapat beberapa perlengkapan seperti: topi perem puan dari bahan tule berom bak yang berharga dua atau tiga frank sebuah, lengan baju dengan kerah kem eja dari kain m uslin—sejenis kain sangat tipis—baju wanita, kaus kaki wanita, kaus kaki laki-laki dan karet penahan kaus kaki. Setiap barang, kuning dan lusuh tergantung di tali kawat dengan kesan m enyedihkan. Etalase itu dari bawah sam pai ke atas penuh dengan barang rom bengan yang sudah luntur warnanya, yang dalam cahaya suram tam pak m em ilukan sekali. Sebuah topi perem puan yang m asih baru, yang putihnya lebih bersih, m em berikan kesan seperti penam bal yang m encolok di atas kertas biru tadi. Kaus-kaus kaki berwarna yang bergantungan sepanjang sebatang tongkat, m enim bulkan kesan gelap terhadap putihnya kain m uslin yang m em ang sudah tidak cerah lagi. Di etalase yang satu lagi, yang lebih sem pit, berjejer gulungan tebal wol hijau, kancing-kancing hitam dijahitkan kepada karton-karton putih, beberapa dus dari berbagai ukuran dan warna, beberapa rajut di atas piring kertas kebiru-biruan, seikat jarum rajut, beberapa contoh sulaman, beberapa gulung pita, dan bermacam- m acam barang yang sudah lusuh dan kum al yang seakan-akan sudah berada di sana selam a lim a atau enam tahun. Kesannya berserakan. Semua barang sudah menjadi kelabu dan kotor karena kelem bapan juga debu yang sekaligus m erusak kayu-kayu toko. Menjelang tengah hari pada musim panas, ketika matahari

Theresa 5 sedang m em anggang lapangan dan jalanan dengan sinarnya yang kuning kemerah-merahan kita akan dapat melihat di belakang topi-topi perempuan dalam etalase, seraut wajah perempuan m uda yang pucat dan serius. Warna wajahnya tam pak m enyolok dalam kerem angan toko yang penuh itu. Dahinya yang rendah dan sem pit m em berikan tem pat bagi hidung yang m ancung runcing. Bibirnya m erupakan dua buah garis tipis berwarna jam bon pucat, dagu yang pendek dihubungkan dengan leher oleh sebuah garis lentur bergelom bang. Tubuhnya yang tersem bunyi di balik kegelapan, tidak kelihatan. Hanya wajah yang sepucat m ayat saja yang tam pak, dengan sepasang m ata yang besar dan gelap, dan seakan-akan terhim pit oleh ram but yang lebat dan hitam . Di situlah, di antara topi-topi yang bernoda karena karat besi tem patnya bergantung, beradanya wajah yang tenang itu untuk berjam -jam lam anya. Pada m alam hari kalau lam pu sudah dinyalakan, kita dapat m elihat bagian dalam toko itu. Letaknya m em anjang. Di salah satu ujungnya terdapat m eja bayar. Di ujung lain sebuah tangga melingkar menuju tempat tinggal di lantai atas. Sepanjang dinding berjejer rak-rak pajangan, lemari-lemari, dan sebaris kotak kardus berwarna hijau. Dan empat buah kursi dan sebuah meja melengkapkan perlengkapan toko itu. Ruangan itu tampak kosong dan dingin karena persediaan barang yang disim pan dalam bungkusan-bungkusan beraneka warna yang ditum pukkan di sudut-sudut, boleh dikatakan tidak pernah meninggalkan tem patnya. Biasanya ada dua orang perem puan yang duduk di belakang m eja bayar itu. Seorang perem puan m uda dengan wajah yang serius dan seorang perem puan tua yang tersenyum kalau sedang tertidur. Yang tua berum ur kira-kira enam puluh tahun. Mukanya yang gem uk dan tenang tam pak putih dalam cahaya lam pu. Seekor kucing besar berbaring melingkar di salah satu sudut meja bayar, m engawasi m ajikannya tidur.

6 Emile Zola Agak jauh ke dalam , seorang laki-laki berum ur sekitar tiga puluhan duduk di kursi sambil membaca atau bercakap-cakap dengan suara perlahan bersama seorang perempuan muda. Perawakannya pendek, kecil, dan lem ah dengan air m uka tak peduli. Dengan ram but yang pirang pucat, janggut yang tipis dan wajah yang berbintik-bintik karena jerawat, ia tam pak sebagai kanak-kanak yang m anja dan penyakitan. Beberapa saat sebelum jam sepuluh, wanita tua itu terbangun. Mereka menutup toko dan seluruh keluarga pergi ke atas untuk tidur. Kucing yang besar m engikutinya sam bil m engusap-usapkan kepala ke pagar-pagar tangga. Lantai atas terdiri dari tiga ruangan. Tangga spiral berhubungan dengan ruangan m akan yang sekaligus berfungsi sebagai ruang duduk. Di sebelah kiri di sebuah relung terdapat sebuah tungku dari ubin, di hadapannya berdiri sebuah lem ari, lalu beberapa kursi bersandar sepanjang dinding. Sebuah meja bundar mengisi tengah-tengah ruangan. Di ujung sana, di belakang penyekat berkaca ada sebuah dapur yang gelap. Di kiri kanan ruang makan terdapat kamar tidur. Setelah m encium anak laki-laki dan m enantunya, perem puan tua itu m asuk beristirahat ke kam ar tidurnya sendiri. Kucing tidur di kursi dapur. Anak dan m enantunya m asuk ke kam arnya pula. Kam ar tidur pasangan ini m em punyai pintu kedua yang berhubungan dengan sebuah tangga lain yang m enuju ke Passage m elalui sebuah gang yang gelap dan sem pit. Sang suam i yang selalu gem etar karena dem am langsung tidur, sedang istrinya m em buka jendela untuk m enurunkan kerai. Biasanya dia berdiri dahulu di sana selam a beberapa m enit, m em andang dinding tinggi dan kasar yang m enjulang m elam paui atap Passage. Pandangannya ham pa, lalu berbalik perlahan-lahan dan pergi tidur juga dengan perasaan bosan kepada sem ua yang berada di sekitarnya.

BAB II MADAME RAQUIN dahulu pern ah m em iliki sebuah toko kelontong di Vernon. Ham pir selam a dua puluh lim a tahun ia hidup dalam sebuah toko kecil di kota itu. Beberapa tahun setelah suam inya m eninggal dia m erasa lelah, lalu m enjual tokonya. Uang sim panannya ditam bah lagi dengan hasil penjualan tokonya berjum lah em pat ribu frank lebih ia tanam kan dan m enghasilkan dua ribu frank setahun. J um lah ini lebih dari cukup baginya. Lalu dia hidup mengasingkan diri, menjauhi suka-duka duniawi. Dia m em bangun kehidupan yang bahagia, dam ai, dan tenteram . Dengan seratus frank setahun dia m enyewa sebuah rum ah kecil yang halam annya berbatasan dengan tepi Sungai Seine. Tem pat itu terpencil dan tersem bunyi, sedikit m engingatkan kita kepada sebuah biara. Ada sebuah jalan sem pit yang m enuju ke tem pat ini, berada di antara padang-padang rum put yang luas. J endela-jendelanya m enghadap ke sungai dan bukit-bukit terpencil di seberangnya. Wanita terhorm at yang ketika itu

8 Emile Zola berumur lima puluh tahun lebih, mengunci diri di tempat terpencil ini, hidup bersam a putranya Cam illas dan kem enakannya Theresa, dan m enem ukan kehidupan yang berbahagia. Ketika itu Cam illus berum ur dua puluh tahun. Ibunya m asih m em anjakannya seperti anak kecil. Ibunya sangat m encintainya karena dia pernah berjuang menantang maut sepanjang masa kecil anaknya yang penuh dengan gangguan penyakit. Anak itu secara bertubi-tubi dirundung segala macam demam dan segala m acam penyakit. Madam e Raquin berjuang selam a lim a belas tahun m elawan penyakit-penyakit m engerikan yang secara terus- m enerus berdatangan hendak m erenggut anaknya. Dia berhasil m engalahkan sem uanya dengan kesabarannya, rawatannya yang cerm at dan kecintaannya yang setia. Setelah terlepas dari kem atian dan beranjak dewasa Cam illus m asih sering terserang kejutan-kejutan yang m em buat tubuhnya sakit. Karena pertum buhannya tertahan, badannya tetap kecil dan tidak sehat. Kaki dan tangannya yang lem ah bergerak lam ban dan kurang tenaga. Ibunya lebih m encintainya lagi karena kelem ahan yang m enekan anaknya itu. Biasa dia m em andang wajah kecil pucat m enyedihkan itu dengan perasaan bangga penuh cinta, dan dia m em punyai perasaan bahwa ia telah m enyelam atkan anaknya dari kem atian sekurang-kurangnya selusin kali. Selam a terbebas dari gangguan penyakit—yang jarang sekali terjadi—anak itu m engikuti sekolah perdagangan di Vernon. Di sana dia belajar m enulis dan berhitung. Yang dicapainya hanya sam pai kepada perkalian dan pem bagian serta sedikit pengetahuan tentang tata bahasa. Kemudian dia belajar kaligrai dan akunting. Madam e Raquin terkesiap darahnya ketika ada orang m enyarankan m engirim kan anaknya ke perguruan tinggi. Dia tahu bahwa anaknya akan m ati kalau jauh daripadanya. Dia m engatakan bahwa pelajaran itu akan m em bunuhnya. Akibatnya,

Theresa 9 Cam illus tetap bodoh dan kebodohan n ya itu m erupakan kelem ahan tam bahan pada dirinya. Pada usia delapan belas tahun, karena tiada pekerjaan dan jem u dengan keadaan penuh kelem butan yang ditaburkan ibunya di sekelilingnya, dia bekerja sebagai pegawai m agang di sebuah toko dengan penghasilan enam puluh frank sebulan. Wataknya yang senantiasa gelisah m enyebabkan ia tak betah menganggur. Dia merasa lebih tenang dan sehat kalau sedang be- kerja keras, duduk di depan m ejanya m enghadapi faktur-faktur dan penjum lahan-penjum lahan yang panjang-panjang, yang dia tekuni dengan sabar angka demi angka. Pada malam hari, dalam keadaan letih dan pikiran bersih, dia m enem ukan kepuasan yang m em biuskan. Pekerjaan itu diperolehnya m elalui pertengkaran dengan ibunya. Madam e Raquin m enghendakinya selalu dekat untuk selam a-lam anya, berselubung baju hangat tebal, jauh dari segala m acam kekerasan hidup. Anak m uda itu dengan tegas menghendaki bekerja seperti anak-anak menginginkan barang mainan, bukan karena dorongan rasa wajib, melainkan karena desakan naluri, sebab bekerja adalah suatu kebutuhan bagi dirinya. Kelem butan dan kecintaan ibunya telah m em buatnya sangat egois. Dia m engira bahwa dia m encintai m ereka yang m enyayangi dan m engelus-elusnya padahal sebenarnya dia m enjalani kehidupan yang terpisah, terbenam dalam dirinya sendiri, tidak m em perdulikan apa pun kecuali kesenangan dirinya pribadi. Dengan berbagai cara yang m em ungkinkan, ia m encari jalan untuk m enam bah kesenangan dan kepuasan dirinya. Ketika kasih sayang Madam e Raquin sudah terasa m engganggu sarafnya, dengan rasa bahagia dia membenamkan diri ke dalam pekerjaan yang tak berarti yang dapat m enyelam atkan dia dari keharusan m inum ram uan-ram uan dan obat-obatan yang disediakan ibunya. Lalu pada m alam hari, sekem bali dari pekerjaan, segera dia berlari ke Seine bersama Theresa.

10 Emile Zola Theresa hampir menginjak usia delapan belas waktu itu. Pada suatu hari, enam belas tahun sebelum nya, ketika Madam e Raquin m asih m enjalankan usahanya, kakaknya yang bernam a Kapten Degans datang berkunjung sam bil m em bawa seorang bayi perem puan. Dia baru saja kem bali dari Aljazair. “Kau lihat bayi in i? En gkau adalah bibin ya,” katan ya tersenyum . “Ibunya telah m eninggal.... Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat dengan anak ini. Aku berm aksud m em berikannya kep ad am u .” Madam e Raquin m engam bil anak itu, tersenyum kepadanya, m encium kedua belah pipinya yang kem erah-m erahan. Degans tinggal selam a sem inggu di Vernon. Madam e Raquin ham pir sam a sekali tidak bertanya apa-apa tentang bayi perem puan yang diserahkan kepadanya. Secara sam ar-sam ar dia dapat m engetahui bahwa bayi itu dilahirkan di Oran dan ibunya seorang pribum i yang cantik sekali. Sejam sebelum pergi, Degans m em berikan akte kelahiran di m ana dinyatakan bahwa Theresa yang diakui sebagai anaknya berhak m enyandang nam anya. Dia pergi, dan m ereka tidak pernah m elihatnya lagi. Beberapa tahun kem udian dia tewas di Afrika. Theresa bertam bah besar, tidur seranjang dengan Cam illus, dijaga dan dirawat dengan kelem butan yang hangat oleh bibinya. Tubuhnya kuat, nam un dim anjakan seperti anak sakit, m inum obat-obatan seperti yang dim inum sepupu kecilnya yang cacat. Berjam -jam lam anya dia harus m eringkuk dengan m urung di depan perapian, m em andangi nyala api tanpa berkedip. Perlakuan bibinya yang dipaksakan seperti kepada anak yang sakit, m enyebabkan dia m enjadi orang yang suka m enyendiri. Timbul kebiasaan untuk berbicara dengan suara perlahan sekali, berjalan tanpa bersuara, duduk diam tanpa bergerak dengan m ata terbelalak tanpa m elihat sesuatu. Apabila dia m engangkat tangan, apabila dia melangkahkan kaki, akan terlihat kelenturan otot-ototnya bagaikan otot-otot seekor kucing. Setum puk tenaga

Theresa 11 dan gairah tersem bunyi dalam daging yang seakan-akan tertidur. Suatu hari sepupunya terserang pusing kepala dan terjatuh. Dia m em bangunkan dan m engangkatnya dalam sekali gerakan, kejadian tiba-tiba itu m erupakan latihan bagi kekuatannya dan m enim bulkan warna m erah m enyala pada pipinya. Kehidupan seperti di biara yang dijalaninya, kam ar sakit tem pat dia harus m endekam , tidak dapat m elem ahkan badannya yang kuat; hanya wajahnya saja yang m enjadi pucat dan m enyebabkan dia tam pak jelek dalam kegelapan. Sewaktu-waktu dia pergi ke jendela untuk m elepaskan pandangan ke rum ah-rum ah di seberang jalan yang bermandikan sinar keemasan matahari. Ketika Madam e Raquin m enjual tokonya dan m engundurkan diri ke rum ah kecil di tepi sungai, dalam hatinya Theresa m elonjak gem bira. Sering kali bibinya berkata kepadanya, ‘J angan gaduh!’ sehingga terpaksa dengan hati-hati dia m enahan gelora dan kegem biraan hati di dalam dada. Theresa m em punyai kem am puan m enguasai diri dengan sem purna dan m em punyai air m uka tenang yang dapat m enyem bunyikan kem arahan yang bergejolak. Perasaan karena selalu berada di kam ar sepupunya, yang ham pir m ati, tidak pernah hilang. Dia dapat bergerak dan bicara sepelan dan setenang nenek-nenek. Kalau m elihat kebun, sungai bening dan padang hijau yang luas m elandai sam pai ke kaki langit, hatinya m elonjak-lonjak didesak keinginan untuk berlari dan berteriak, jantungnya terasa m em ukul-m ukul keras dadanya, nam un tak seutas urat pun di wajahnya bergerak. Dia hanya tersenyum kalau bibinya bertanya apakah dia m enyukai rum ah m ereka yang baru. Setelah pindah kehidupan m enjadi agak baik baginya. Dia tetap penurut, tetap tenang, tetap berwajah tak acuh, tetap m enjadi anak yang dibesarkan dalam ranjang anak yang sakit, nam un di dalam dadanya bergejolak kegairahan hidup. Bila sedang sendirian di atas rumput di tepi sungai, biasa dia berbaring

12 Emile Zola telungkup seperti seekor binatang dengan sepasang m ata yang hitam dan lebar, seluruh tubuhnya m enegang siap untuk m eloncat. Berjam -jam lam anya dia dapat berbuat begitu, tanpa m em ikirkan apa-apa, badan terbakar matahari dan merasa bahagia menggali- gali tanah dengan jari-jem arinya. Dia m em punyai m im pi-m im pi liar; dia m em andang m enantang kepada sungai yang bergem uruh, dia m em bayangkan air sungai akan datang m elanda dirinya, dan seluruh otot-otot dalam tubuhnya m enegang siap untuk m em pertahankan diri, lalu dengan geram nya m encari akal untuk menguasai gelombang air. Malam hari, Theresa biasa m enjahit di sebelah bibinya dengan diam dan tenang. Wajahnya yang diterangi cahaya rem ang-rem ang dari tudung lam pu tam pak m ati. Cam illus duduk terhenyak di kursi, berpikir tentang angka-angka. Kesunyian yang m em bawa kantuk itu hanya sekali-sekali saja dipecahkan oleh sepatah dua patah kata yang diucapkan dengan perlahan-lahan. Madam e Raquin m elihat kedua anaknya penuh keram ahan. Dia telah mengambil keputusan untuk mengawinkan mereka. Masih saja dia m em perlakukan anaknya seakan-akan anak itu berada di am bang kem atian. Darahnya terkesiap apabila teringat bahwa suatu waktu dia akan mati dan meninggalkan anaknya seorang diri dan penyakitan. Dengan m engawinkan m ereka dia dapat m em percayakan Cam illus kepada Theresa. Dia yakin bahwa Theresa akan bersedia m erawat Cam illus dengan cerm at. Kem enakannya itu, dengan wajahnya yang tenang dan kesetiaannya yang m utlak, m enim bulkan kepercayaan yang sem purna padanya. Madam e Raquin pernah m elihat Theresa bekerja dan dia berkeinginan sekali memberikan Theresa kepada anaknya sebagai dewi pelindung. Perkawinan antara m ereka adalah suatu hal yang harus terjadi, harus terjadi. Kedua anak m uda itu sudah m engetahui sejak lam a, bahwa pada suatu hari mereka harus menjadi suami istri. Gagasan itu

Theresa 13 makin lama makin biasa dan wajar bagi mereka. Perkawinan sudah dianggap suatu keharusan, suatu hal yang sudah ditakdirkan. Madam e Raquin pernah berkata, “Kita akan m enunggu sam pai Theresa berusia dua puluh satu tahun.” Dan mereka menunggu dengan sabar, tanpa gejolak perasaan dan tanpa pipi menjadi merah. Cam illus yang darahnya m enjadi encer karena berbagai penyakit sam a sekali tidak m engenal hasrat yang m engasyikkan orang-orang dewasa. Dia tetap seorang anak kecil, dia m encium Theresa seperti m encium ibunya tanpa sedikit pun bergetar. Theresa dianggapnya sebagai kawan yang penurut, yang m enem aninya m enghilangkan kejem uan dan yang sekali- sekali m enggodokkan ram uan obat baginya. Apabila m ereka berm ain bersam a, kalau dia m em eluknya, dia m erasa seperti memeluk seorang laki-laki. Tak ada getaran apa pun timbul dalam dagingnya. Kalau Theresa m enggeliat-geliat dalam pelukannya sambil tertawa gelisah, pada saat-saat seperti itu tidak pernah tim bul pikiran pada Cam illus untuk m encium Theresa pada bibirnya yang hangat. Theresa pun seakan-akan tetap dingin dan tak peduli. Sewaktu-waktu, dia m engarahkan kedua m atanya yang besar kepada Cam illus, lalu m em andangnya untuk beberapa m enit tanpa putus-putus dengan air m uka yang sangat tenang. Kalau sedang begitu hanya kedua bibirnya saja yang bergerak sedikit ham pir-ham pir tidak terlihat. Tak ada sesuatu yang dapat terbaca dari air m uka tegar itu yang berkat kem auan kerasnya tam pak m anis dan penuh perhatian. Ketika soal perkawinan dibicarakan Theresa m enjadi serius dan hanya m engangguk pada setiap kata Madam e Raquin. Cam illus sendiri pergi tidur. Pada suatu malam di musim panas, kedua anak muda itu berlari m enuju tepi sungai. Cam illus m erasa sangat terganggu oleh perawatan ibunya yang tiada henti-hentinya. Sejenak dia berontak,

14 Emile Zola ingin m elarikan diri dari pem anjaan yang m em uakkan. Dalam keadaan itu dia m enarik Theresa ke luar rum ah, m enantangnya bergulat, berguling-guling di atas rumput. Suatu hari pernah dia mendorong Theresa sampai terjatuh. Theresa bangkit garang bagaikan binatang buas, lalu dengan m uka yang m arah dan m ata m enyala-nyala m elom pat kepada Cam illus hendak m enerkam . Cam illus terjatuh. Dia sangat takut. Bulan berlalu dan tahun pun berganti. Hari yang ditentukan untuk pernikahan akhirnya tiba. Madam e Raquin m engajak Theresa berbicara berdua m em bicarakan tentang ayah bundanya dan tentang kelahirannya. Theresa m endengarkan, lalu m encium pipi bibinya tanpa m enjawab sepatah pun. Malam itu Theresa tidak m asuk ke dalam kam arnya sendiri yang berada di sebelah kiri tangga, m elainkan ke kam ar sepupunya yang terletak di sebelah kanan tangga. Itulah satu- satunya perubahan dalam hidupnya yang terjadi pada hari itu. Dan keesokan paginya ketika pasangan suam i istri itu turun ke bawah, Cam illus m asih tetap saja Cam illus yang dahulu, tidak sehat, tanpa gairah, jelek dan egois. Theresa tetap acuh tak acuh dan polos, m enakutkan dalam ketenangannya.

BAB III SEMINGGU SETELAH m en ikah, den gan teran g-teran gan Cam illus m engatakan kepada ibunya bahwa dia m au m eninggal- kan Vernon untuk tinggal di Paris. Madam e Raquin protes. Dia sudah membangun cara hidup sendiri dan tidak berniat untuk m engubahnya sedikit pun juga. Anaknya m enjadi histeris dan m engancam bahwa dia akan jatuh sakit apabila ibunya tidak m eluluskan kem auannya. “Saya tidak pernah m enentang kem auan Ibu,” katanya. “Saya telah m enikahi Theresa seperti Ibu kehendaki. Saya telah m ene- lan sem ua obat yang Ibu berikan. Sekarang saya m em punyai hak untuk m em punyai keinginan sendiri dan paling sedikit Ibu harus m enyetujuinya.... Kam i akan berangkat akhir bulan.” Malam itu Madam e Raquin tidak bisa tidur. Keputusan anaknya telah m enjungkirbalikkan kehidupannya, dan dengan susah payah dia berusaha m encari pola hidup yang baru. Sedikit demi sedikit dia menjadi tenang. Dia berpikir bahwa esok-lusa

16 Emile Zola m enantunya m ungkin akan m elahirkan, dan kekayaannya yang tidak seberapa akan menjadi tidak cukup. Harus ada usaha m enghasilkan uang lebih banyak lagi. Dia harus kem bali berusaha dan harus m encarikan pekerjaan yang m enguntungkan bagi Theresa. Paginya, hatinya telah terbiasa pada pikiran untuk m eninggalkan Vernon. Dia sudah m erancangkan penghidupan yang baru. Pada waktu m akan siang dia gem bira sekali. “Dengar apa yang akan kita lakukan,” katanya kepada anak- anaknya. “Aku akan pergi ke Paris esok, aku akan m encari sebuah toko kelontong kecil, dan kam i—yaitu Theresa dan aku—akan kem bali berjualan jarum dan benang. Ini akan m enyibukkan kam i. Engkau, Cam illus, boleh berbuat apa saja yang kau kehendaki. Engkau boleh berjalan-jalan di sinar matahari, atau bekerja.” “Saya akan m encari pekerjaan,” anak m uda itu m enjawab. Sebenarnya, hanyalah am bisi tolol saja yang m endorong Cam illus m au m eninggalkan Vernon. Dia m au bekerja di sebuah perusahaan besar. Pipinya m erah karena gem bira kalau dia m em bayangkan dirinya duduk di sebuah kantor yang besar, memakai kemeja berlengan panjang dari kain lena, dengan pena m elintang di kupingnya. Theresa tidak diajak berunding. Dia selalu memperlihatkan kepatuhan, sehingga bibi dan suam inya tidak m erasa perlu m enanyakan pendapatnya. Dia pergi ke m ana m ereka pergi, dia m elakukan apa yang m ereka lakukan, tanpa m enggerutu, tanpa penyesalan, bahkan seakan-akan tanpa m enyadari bahwa dia sebenarnya sedang bergerak. Madame Raquin tiba di Paris dan langsung menuju Passage du Point-Neuf. Seorang perawan tua yang tinggal di Vernon m em beri alam at saudaranya yang m em punyai toko kelontong di Passage du Point-Neuf dan ingin m enjualnya. Madam e Raquin berpendapat toko itu agak terlalu kecil dan gelap; tetapi saat berjalan seputar Paris dia sangat m erasa ngeri m elihat jalan yang

Theresa 17 selalu sibuk dan hiruk-pikuk, melihat keindahan pajangan toko barang-barang m ewah; dan Passage yang sem pit itu, dengan etalase-etalasenya yang sederhana, m engingatkan dia kepada tokonya lam anya yang penuh kedam aian. Dia ham pir percaya bahwa tinggal di Passage hampir sama dengan tinggal di luar kota. Madam e Raquin m enarik nafas lega lagi. Dia pikir anak- anaknya akan m erasa bahagia tinggal di tem pat yang jauh dari kehirukpikukan. Murahnya toko itu m enentukan sekali; dia dapat m em belinya dengan harga dua ribu frank. Sewa ruangan toko dan ruangan atas hanya seribu dua ratus frank setahun. Madam e Raquin yang m em iliki sim panan ham pir em pat ribu frank m em perhitungkan bahwa dia dapat m em bayar harga toko dan sewa untuk tahun pertam a tanpa harus m engganggu uang yang ditanam kan di tem pat lain. Penghasilan anaknya dan keuntungan toko, pikirnya, akan cukup untuk m enutup biaya hidup, sehingga dia tidak perlu m engam bil dari penghasilannya sendiri. Dia dapat m em biarkan m odalnya berkem bang, yang berarti akan m enjadi hadiah yang berlipat-lipat bagi cucu-cucunya kelak. Madam e Raquin pulang ke Vernon dengan wajah cerah. Dia mengatakan telah menemukan sebuah harta karun, sebuah tem pat yang m enyenangkan di jantung kota Paris. Lam bat laun, setelah beberapa hari, toko yang lem bap dan gelap di Passage itu telah berubah menjadi sebuah istana kalau dia mengulang m enceritakannya pada m alam hari. Dalam bayangannya dia m elihat tem pat itu sebagai tem pat m enyenangkan, luas, tenang dengan ribuan kebaikan lainnya yang tak terkira. “Ah, Theresa sayang,” katanya, “engkau akan lihat nanti betapa bahagianya kita! Ada tiga buah ruangan yang bagus di lantai atas.... Passage itu selalu penuh m anusia.... Kita akan hias etalase kita seindah m ungkin.... Kita tidak akan m erasa bosan.” Dan dia terus berbicara. Sem ua naluri dagangnya bangkit kembali. Madame Raquin memberi Theresa petunjuk-petunjuk

18 Emile Zola pertama dalam hal menjual, membeli, siasat dan liku-liku perusahaan kecil. Akhirnya keluarga itu m eninggalkan rum ah di tepi Seine; dan m alam nya pada hari yang sam a m ereka sudah pindah ke Passage du Point-Neuf. Ketika Theresa m em asuki toko yang akan m enjadi tem pat tinggalnya untuk selanjutnya dia m erasa seakan-akan terbenam ke dasar sebuah saluran air. Semacam rasa mual mencekik tenggorokannya. Dia bergidik. Matanya m em perhatikan Passage yang kotor dan lem bap, lalu m em eriksa ruang toko, naik ke lantai atas dan m elihat-lihat ruang tinggal. Ruangan-ruangan yang kosong tak berperabotan itu m enakutkan sekali dalam kesunyian dan keterlantarannya. Theresa tidak dapat bergerak, tidak berkata sepatah pun. Hatinya serasa m em beku. Ketika bibi dan suam inya turun lagi, dia duduk di atas sebuah kopor, tangannya kaku; dan ingin ia menangis, tetapi tidak dapat. Menghadapi kenyataan ini Madam e Raquin m erasa bingung dan m alu. Dia m encoba m em bela tindakannya. Untuk setiap keburukan yang ditem ukan, ditem ukan pula obatnya. Kegelapan diterangkan sebagai akibat hari yang m endung, lalu m engakhiri pem belaannya dengan m engatakan bahwa dengan pem bersihan yang sem purna segala-galanya akan m enjadi beres. “Bah!” jawab Cam illus. “Tem pat yang pantas sekali. Selain itu, kita kan, tidak akan berada di atas kecuali pada malam hari.... Saya tidak akan pulang sebelum pukul lim a atau enam sore.... Kalian berdua akan selalu bersam a, kalian tidak akan m erasa jem u .” Anak m uda itu tak akan m au tinggal dalam lubang seperti itu kalau saja dia tidak ingat kepada kesenangan yang akan diperolehnya di tem pat ia bekerja. Dia percaya bahwa dia akan m erasa hangat sepanjang hari di kantornya, dan pada m alam hari siang-siang sudah tidur.

Theresa 19 Selama seminggu toko dan tempat tinggal itu tetap acak- acakan. Hari pertam a Theresa duduk di belakang m eja bayar, dan tetap duduk di sana sepanjang siang. Madame Raquin merasa heran m elihat sikapnya itu. Dia m engharapkan m enantunya yang m asih muda itu akan berusaha mempercantik tempat itu, menempatkan bunga-bunga di jendela, meminta dibelikan kertas dinding, tirai- tirai dan karpet. Ketika Madam e Raquin m enyarankan perbaikan dan sedikit hiasan, Theresa m enjawab dengan polos, “Buat apa? Keadaan sudah lebih dari m enyenangkan, kita tidak m em erlukan kemewahan lain.” Madam e Raquinlah yang terpaksa harus m em bersihkan ruang tinggal dan m engatur toko. Akhirnya Theresa m erasa jengkel m elihat m ertuanya selalu sibuk hilir-m udik, lalu dia m em pekerjakan seorang pelayan perem puan dan m em inta Madam e Raquin duduk di sam pingnya. Sebulan lam an ya Cam illus tidak berhasil m en dapatkan pekerjaan. Dia m enghabiskan waktunya sesedikit m ungkin di dalam toko, berjalan-jalan di luar sepanjang hari. Dia merasa jemu sekali, sehingga pernah tercetus keinginannya untuk kem bali ke Vernon. Akhirnya pekerjaan itu didapatnya juga, di Kantor Pusat Perusahaan Kereta Api Orleans. Gajinya seratus frank sebulan. Mim pinya telah m enjadi kenyataan. Pagi-pagi dia berangkat pukul delapan, berjalan sepanjang Rue Guenegaud ke arah dermaga. Dengan kedua tangan di kantong dia m enyusuri Seine m ulai dari Institut sam pai ke Kebun Raya. Perjalanan yang jauh ini yang harus dia lakukan dua kali sehari, tidak pernah m em bosankannya. Sering dia m em andang air yang m engalir, berhenti untuk m em perhatikan rakit m elaju ke hilir. Tak ada yang dipikirkannya. Sering pula dia berhenti di Notre-Dam e m em perhatikan perancah yang m engelilingi gereja itu yang waktu itu sedang diperbaiki. Batang-batang kayu yang besar m em berikan perasaan senang kepadanya, sekalipun dia

20 Emile Zola tidak tahu apa sebabnya. Lalu, sam bil m eneruskan lagi perjalanan dia melemparkan pandangan ke arah Wine Port, menghitung kereta yang datang dari stasiun. Sore harinya, dengan rasa lesu, kepala penuh dengan cerita-cerita tolol yang didengarnya di kantor, dia m elintasi Kebun Raya untuk m elihat beruang- beruang kalau dia merasa tidak sedang dikejar waktu. Setengah jam dihabiskannya di sana, m elihat beruang-beruang berjalan perlahan-lahan, bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan. Gerak- gerik binatang-binatang besar itu sangat m enyenangkannya. Dengan mulut ternganga dan mata melotot dia menemukan kepuasan yang tak m asuk akal dalam gerakan-gerakan binatang itu. Akhirnya dia pulang, berjalan santai sam bil m em perhatikan orang lalu lalang, kereta-kereta dan toko-toko. Sesam painya di rum ah, segera dia m akan, lalu m em baca. Dia m em beli buku-buku karya Buffon dan setiap m alam dia mewajibkan diri membaca dua puluh sampai tiga puluh halaman, sekalipun bacaan itu sebenarnya m enjem ukannya. J uga dia membaca Sejarah Konsulat dan Kekaisaran karangan Thier dan Sejarah Kaum Girondi karangan Lam artine, atau kadang-kadang juga buku-buku pengetahuan umum populer. Dia pikir dengan cara begitu dia sedang m eningkatkan pengetahuannya. Sekali- sekali dim intanya istrinya m endengarkan dia m em baca halam an- halaman tertentu dan anekdot-anekdot. Sangat mengherankan baginya Theresa dapat diam dan m urung sepanjang m alam tanpa sedikit pun tergerak untuk m em baca buku. Dalam lubuk hatinya dia berpendapat istrinya m em punyai pikiran yang lugu. Theresa tidak tahan membaca buku. Dia lebih suka duduk diam, mata memusat kepada sesuatu dan pikiran berkelana samar- sam ar. Tetapi tabiatnya tidak sulit dan m udah diajak bergaul; seluruh keinginannya sudah ditekadkan, m em buat dirinya m enjadi alat m ati, patuh dan m enghapuskan kepribadiannya sendiri sampai tingkat tertinggi.

Theresa 21 Perusahaan berjalan dengan tenang. Keuntungan setiap bulan ham pir sam a besarnya. Langganan-langganannya adalah para penjahit yang tinggal di pinggiran kota. Setiap lim a m enit ada saja perempuan masuk membeli barang-barang seharga lima sow. Theresa m elayani m ereka dengan kata-kata yang sam a, dengan senyum an otom atis tersungging di bibirnya. Madam e Raquin lebih lincah, lebih suka bicara, dan sebenarnya dialah yang m enarik dan m em elihara langganan-langganan. Tiga tahun lam anya hari berganti hari, sem uanya sam a. Cam illus tidak pernah m eninggalkan pekerjaan. Ibu dan istrinya ham pir tidak pernah m eninggalkan toko. Theresa yang tinggal dalam kegelapan yang lem bap, dalam kekelam an dan kesunyian yang m encekam , m elihat kehidupan di hadapannya kosong m elom pong, m alam nya hanya m em berikan ranjang dingin yang itu-itu juga dan paginya hanya m em bawa hari ham pa yang begitu-begitu juga.

BAB IV SEKALI DALAM sem inggu, yaitu pada hari Kam is m alam , keluarga Raquin m enerim a tam u. Sebuah lam pu besar dinyalakan di ruang m akan, cerek didiangkan di atas api untuk m enyeduh teh. Ini m erupakan peristiwa yang khusus. Kam is m alam m erupakan suatu kekecualian yang sangat berbeda dengan m alam -m alam lainnya. Malam itu tercatat dalam sejarah keluarga sebagai m alam pesta suka ria yang agak liar nam un tetap sopan. Mereka baru masuk tidur pukul sebelas. Madame Raquin bertemu dengan salah seorang kenalan lam anya di Paris, Perwira Polisi bernam a Michaud yang pernah ditugaskan di Vernon selam a dua puluh tahun, dan pernah tinggal satu atap bersam anya. Oleh sebab itu hubungan m ereka akrab. Setelah Madam e Raquin m enjual tokonya dan pindah ke tepi sungai mereka tidak pernah berjumpa lagi. Michaud meninggal- kan Vernon beberapa bulan kem udian, lalu tinggal di Rue de la Seine di Paris, hidup tentram m enikm ati uang pensiunnya yang

Theresa 23 berjum lah seribu lim a ratus frank. Pada suatu hari yang hujan dia bertem u dengan Madam e Raquin di Passage du Point-Neuf, dan pada malam itu juga dia datang makan malam di rumah keluarga Ra q u in . Itulah perm ulaan dari “pesta” Kam is m alam . Sejak itu menjadi kebiasaan pensiunan Perwira Polisi itu untuk datang sekali sem inggu secara teratur. Kem udian dia m em bawa serta putranya, Oliver, seorang laki-laki tinggi dan kurus berum ur tiga puluh tahun. Istrinya, perem puan pendek, lam ban dan kurang sehat. Dia bekerja di Kantor Kepolisian Wilayah dengan gaji sebesar tiga ribu frank sebulan, gaji yang m em buat Cam illus m erasa sangat iri tanpa bisa m enyem bunyikannya. Oliver adalah juru tulis kepala di kesatuan detektif. Sejak sem ula Theresa tidak m enyukai orang ini, laki-laki yang dingin, kaku, tinggi dan kurus yang m erasa dirinya m em berikan kehorm atan kepada toko di Passage du Point-Neuf dengan berkunjung ke situ bersama istrinya yang pucat tidak sehat itu. Cam illus m em bawa tam u lain, seorang pekerja tua kawan sekantornya. Nam anya Grivet. Dia telah bekerja di sana selam a dua puluh tahun. Pangkatnya sekarang juru tulis kepala dengan gaji dua ribu seratus frank. Dialah yang m em bagikan tugas di tem pat Cam illus bekerja dan Cam illus m em punyai rasa horm at tertentu kepadanya. Dalam angan-angannya yang bukan-bukan sering dia m engatakan kepada dirinya bahwa pada suatu hari Grivet akan m ati dan m ungkin sekali setelah kira-kira sepuluh tahun kem udian dia akan m enggantikannya. Grivet sangat senang menerima sambutan Madame Raquin. Dia kembali setiap seminggu dengan teratur. Enam bulan kemudian kunjungan setiap m alam J um at itu sudah m erupakan kewajiban baginya. Dia pergi ke Passage du Point-Neuf sama seperti dia pergi setiap pagi ke kantornya, otom atis dan naluriah.

24 Emile Zola Sejak itu dan selanjutnya acara setiap m alam J um at semakin menggembirakan. Pukul tujuh malam Madame Raquin m enyalakan api, m enem patkan lam pu besar di tengah-tengah m eja, m eletakkan seperangkat kartu dom ino di sebelahnya, membersihkan setelan minum teh. Tepat pukul delapan, Michaud tua dan Grivet akan bertem u di m uka toko, yang seorang datang dari Rue de la Seine dan yang seorang lagi dari Rue Mazarine. Mereka masuk, lalu seluruh keluarga naik ke atas. Di sana semua duduk m engelilingi m eja, m enunggu kedatangan Oliver Muchaud dan istrinya yang selalu datang terlam bat. Setelah sem ua hadir, Madam e Raquin m engisi cangkir teh, Cam illus m engeluarkan kartu dom ino dari kotaknya, m eletakkannya di atas kain perlak, lalu sem uanya asyik berm ain. Tak terdengar suara lain kecuali suara kartu domino. Sehabis setiap permainan, masing-masing m em beri kom entar untuk perm ainan yang baru lewat selam a dua sam pai tiga m enit, setelah itu m enyusul lagi kesunyian seperti tadi yang hanya terganggu oleh suara kartu. Theresa berm ain dengan ketidakacuhan yang m enjengkelkan Cam illus. Sam bil berm ain, sering dia m engangkat Francois, kucing besar yang dibawa Madam e Raquin dari Vernon, m engusap- usapnya dengan sebelah tangan dan m elem parkan kartu dom ino dengan tangan lainnya. Setiap m alam J um at m erupakan siksaan bagi Theresa. Sering dia m engeluh m enyatakan m erasa tidak enak badan atau sakit kepala, sehingga dia dapat duduk berdiam diri setengah tidur. Dengan sebelah sikutnya di atas m eja, pipi bertelekan pada telapak tangannya dia m em perhatikan tam u- tam u m ertua dan suam inya, m elalui cahaya kuning tem aram yang dipancarkan oleh lam pu besar. Setiap wajah m enjengkelkannya. Matanya berpindah dari satu wajah ke wajah yang lain dengan perasaan m ual yang sangat, dan kem arahan yang tertahan. Michaud tua berwajah putih berbintik-bintik merali, wajah seorang laki-laki tua yang pikun. Grivet m em punyai air m uka

Theresa 25 tenang, m ata bundar dan bibir tipis seorang gila. Oliver yang tulang pipinya ham pir m encuat dari kulitnya, berwajah kaku tanpa m akna di atas badan yang m enggelikan. Sedangkan Suzanne, istri Oliver, pucat pasi dengan m ata bersinar sam ar, bibir tanpa warna dan air m uka yang lem but. Dari antara m akhluk-m akhluk ajaib yang m enjadi tem annya terkunci, Theresa tidak m enem ukan seorang pun yang m anusiawi, yang m em punyai kehangatan hidup. Sering kali dia m enjadi korban pikirannya sendiri bahwa dia sedang terkubur bersam a m ayat-m ayat yang m enggerak- gerakkan kepala, kaki dan tangan seperti boneka yang ditarik t a lin ya . Udara yang pengap dalam ruang m akan m em buat dirinya serasa tercekik. Kesunyian yang m enggetarkan, cahaya lam pu yang kekuning-kuningan m em enuhi hatinya dengan kecem asan dan ketakutan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Ada sebuah bel dipasang pada pintu toko, dan dentingnya m enandakan adanya langganan. Theresa senantiasa m em asang kuping. Apabila bel berbunyi dia cepat berlari ke bawah, m erasa lega dan gem bira dapat keluar dari ruang m akan. Dia m elayani langganannya lam bat-lam bat. Kalau langganannya sudah pergi, dia duduk di belakang m eja bayar selam a m ungkin, takut untuk kembali ke atas, menikmati rasa gembira karena dapat terlepas dari keharusan m elihat wajah Grivet dan Oliver. Udara lem bap dalam ruang toko m elem askan ketegangan-ketegangan yang terasa pada kedua belah tangannya. Selanjutnya dia kem bali lagi pada kebiasaannya yang sudah parah: m elam un. Tetapi tak m ungkin dia tinggal lam a-lam a di bawah. Cam illus akan m arah sekali. Cam illus tidak m engerti m engapa Theresa lebih memilih berdiam di toko daripada di ruang makan pada malam J umat. Dia berdiri bersandar pada tangga lain, melihat ke sekitar ruang toko m encari istrinya.

26 Emile Zola “Hai,” teriaknya, “sedang apa kau di sana? Mengapa tidak naik? Grivet sedang m ujur seperti setan. Dia m enang lagi.” Dengan berat Theresa bangkit dan kem bali ke tem patnya di hadapan Michaud, yang tersenyum m enjijikkan dengan bibirnya terkulai. Sam pai pukul sebelas dia duduk gelisah di kursinya sambil memangku dan terus-menerus melihat kucing, agar tidak perlu m elihat boneka-boneka hidup itu m enyeringai kepadanya.

BAB V SUATU HARI Kam is ketika kem bali dari kantor, Cam illus pulang m em bawa seorang anak m uda yang jangkung dan berdada bidang. Dia m enyeret tam unya m asuk ke dalam toko dengan sikap yang akrab sekali. “Ibu,” katanya kepada Madam e Raquin, “m asih ingatkah Ibu kepada Tuan ini?” Madam e Raquin m engam at-am ati anak m uda yang tinggi itu, mengingat-ingat, tetapi tiada berhasil. Theresa memperhatikan adegan itu dengan tenang. “Apa Ibu tidak ingat lagi kepada Laurent kecil, anak Laurent tua yang m em iliki kebun gandum di J eufosse?.... Ibu tidak ingat? Saya satu sekolah dengan dia. Dia biasa m am pir kalau pulang dari rum ah pam annya tetangga kita, dan Ibu biasa m em berinya roti berselai.” Seketika itu juga Madam e Raquin ingat kepada ‘Laurent kecil’, dan berpendapat bahwa anak itu telah tum buh dengan

28 Emile Zola menakjubkan. Dua puluh tahun telah lewat semenjak dia m elihatnya terakhir kali. Dengan menghambur-hamburkan segala kenangan lama dan kehangatan seorang ibu, Madame Raquin mencoba membuat Laurent m elupakan sikapnya yang pelupa ketika m enyam butnya tadi. Laurent m engam bil tem pat duduk, tersenyum m anis, m enjawab pertanyaan-pertanyaan dengan suara yang jernih dan m elihat ke sekelilingnya dengan tenang. “Bayangkan!” kata Cam illus, “dia telah bekerja di Perusahaan Kereta Api Orleans selam a satu setengah tahun, dan kam i baru berjum pa hari ini. Ini m enunjukkan betapa besar dan pentingnya kantor kam i!” Waktu m en gatakan itu, Cam illus m em belalakkan m ata dan mengerutkan bibir, merasa bangga menjadi sebuah roda gigi sederhana dari sebuah m esin yang besar. Lalu, sam bil m enggelengkan kepala ia m elanjutkan, “Tetapi dia sehat, dia dapat m enyelesaikan pelajarannya, dia sudah berpenghasilan seribu lim a ratus frank.... Ayahnya m engirim kannya ke perguruan tinggi, dia belajar ilm u hukum dan juga belajar m elukis. Begitu kan, Laurent?.... Engkau harus m akan m alam di sini.” “Dengan segala senang hati,” Laurent m enjawab tanpa ragu. Dia m elepaskan topinya dan bersikap santai seperti sudah bukan tamu lagi. Madame Raquin segera mempersiapkan makanan. Theresa yang sejak tadi tidak berkata sepatah pun m em perhatikan pendatang baru ini. Dia belum pernah m elihat laki-laki yang sesungguhnya. Laurent yang berbadan tinggi tegap dan berwajah segar sangat m engherankannya. Disertai sem acam rasa kagum , Theresa m em perhatikan dahi Laurent yang rendah di bawah kepala beram but hitam tebal, pipinya tam pak penuh, bibirnya yang m erah, perawakannya yang serasi, tam pan dan riang. Untuk sejenak m atanya berhenti pada leher Laurent yang besar pendek

Theresa 29 dan kekar. Lain waktu dia m em uaskan diri dengan m em andangi kedua belah tangan Laurent yang terletak pada kedua lututnya. J ari-jem arin ya tidak m erun cin g. Apabila dikepalkan pasti kepalannya besar sekali, dan Theresa berpikir, pasti dapat m erobohkan seekor sapi jantan. Laurent benar-benar seorang anak petani, agak kasar dalam tindak-tanduk, punggungnya bundar, gerakannya lam ban nam un pasti, air m ukanya tenang tetapi juga keras. Di bawah pakaiannya dapat dibayangkan otot- otot yang kuat, tubuh yang kekar dengan daging yang keras. Theresa m em perhatikannya dengan seksam a, sebentar m elihat tangannya, sebentar lagi wajahnya, dan m erasakan adanya sedikit getaran dalam dirinya apabila m atanya tertum buk pada leher yang seperti leher sapi jantan itu. Cam illus m em perlihatkan buku-buku karya Buffon dan seri buku-buku lain yang setebal sepuluh sentim eter untuk m enunjukkan bahwa dia pun belajar. Lain seperti m enjawab pertanyaan yang diajukan kepada dirinya sendiri selam a ini: “Tetapi,” katanya kepada Laurent, “engkau pasti m engenal istriku. Ingatkah engkau kepada sepupuku, kawan kita bermain di Vernon?” “Aku dapat m engenalnya seketika,” jawab Laurent sam bil menatap langsung kepada Theresa. Di bawah pandangan yang seakan-akan m enem bus jantungnya, Theresa m erasa sedikit gelisah. Dia m em aksakan diri tersenyum , bercakap-cakap sedikit dengan Laurent dan suam inya. Setelah itu cepat-cepat m enggabungkan diri kepada m ertuanya. Theresa benar-benar m erasa gelisah. Mereka duduk untuk mulai makan. Segera setelah sop dihidan gkan , Cam illus m en gan ggap sudah sepatutn ya kalau m encurahkan pikiran kepada Laurent. “Bagaim ana keadaan ayahm u?” tanyanya.

30 Emile Zola “Entahlah,” jawab Laurent. “Kam i bertengkar; sudah lim a tahun lam anya kam i tidak saling m enyurati.” “Pasti bukan begitu m aksudm u,” kata Cam illus terperanjat m endengar keterangan yang tidak biasa itu. “Mem ang begitu, orangtua itu m em punyai gagasan sendiri.... Oleh karena dia tak henti-hentinya m engadukan tetangga, dia mengirimkan aku ke perguruan tinggi dengan harapan dapat membuat aku menjadi seorang ahli hukum, sehingga aku akan dapat m em enangkan sem ua perkara baginya.... Ah, sem ua am bisi Laurent tua itu bukan tanpa m aksud. Bahkan kalau dapat, m au ia m encari keuntungan dari kebodohannya sendiri.” “Apa engkau sendiri tidak m au m enjadi ahli hukum ?” tanya Cam illus m akin heran. “Tentu saja tidak,” kawannya m enjawab sam bil tertawa. “Dua tahun lam anya aku berpura-pura sekolah, sehingga dapat m enerim a uang tunjangan seribu lim a ratus frank yang disediakan Ayah. Aku tinggal bersam a seorang kawan seperguruan. Dia seorang pelukis dan aku pun mulai belajar melukis juga. Sangat m enyenangkan. Melukis itu m enyenangkan, sam a sekali tidak m elelahkan. Kam i m erokok dan bercanda sepanjang hari.” Raquin sekeluarga terbelalak m atanya. “Sayang sekali,” Laurent m elanjutkan, “Ayah m engetahui bahwa aku bohong. Dia menghentikan tunjangan tanpa memberitahu terlebih dahulu dan meminta aku pulang untuk m em ban tu m en ggarap tan ah. Aku m ulai m em buat lukisan bertem akan agam a—tidak laku.... Ketika m enyadari bahwa aku dapat mati kelaparan, aku bilang persetan kepada seni, lalu m encari kerja.... Ayahku akan m ati pada suatu ketika dan aku menunggu saat itu, sehingga aku dapat hidup senang tanpa harus bekerja.” Laurent berbicara dengan tenang sekali. Dengan kata- katanya yang sedikit itu dia telah m elukiskan gam baran dirinya

Theresa 31 seutuhnya. Pada dasarnya ia seorang pem alas dengan selera m akan yang kuat, penikm at kepuasan yang m udah didapat dan berlangsung lam a. Tubuhnya yang besar dan kekar hanya m enuntut untuk tidak bekerja, hanya m em inta berpesta-pora dalam kem alasan dan kepuasan yang abadi. Yang didam bakannya hanyalah m akan enak, tidur nyenyak, m em enuhi kebutuhan jasm ani sepuas-puasnya, tanpa bekerja, tanpa m au berhadapan dengan risiko untuk m enjadi lelah atau sem acam nya. Pekerjaan di bidang hukum m enggetarkannya, dan dia bergidik kalau ingat kepada bertani. Dia m elem parkan dirinya ke dalam dunia seni dengan pengharapan akan menemukan pekerjaan seorang pemalas. Dia mengira bahwa sukses dalam seni mudah dicapai. Dia m em im pikan kesenangan hidup yang dapat diperoleh dengan sedikit perjuangan, suatu kehidupan hangat yang penuh dengan wanita, kehidupan yang terdiri dari berbaring m alas di atas kursi panjang, kehidupan yang terdiri dari m engisi perut dan mabuk-mabukan. Impian itu terlaksana dan berjalan selama ayahnya m asih m engirim inya uang. Tetapi ketika anak m uda yang sudah berusia tiga puluh tahun itu m elihat kem iskinan di hadapannya barulah dia berpikir. Dia m erasa tidak m em punyai cukup keberanian untuk hidup menderita, merasa tidak akan sanggup tidak m akan dem i keagungan seni walau hanya sehari. Seperti yang diucapkannya dia m engatakan persetan kepada dunia seni lukis ketika disadarinya bahwa m elukis tidak akan dapat m em enuhi selera m akannya yang kuat. Lukisannya yang pertam a bertaraf kurang dari sedang. Mata petaninya m elihat alam sekitar sebagai m em bingungkan dan kotor. Kanvasnya yang berlum uran cat dan garis-garis lukisannya yang buruk dan suram m engundang segala m acam kritik. Pendeknya, dia tidak m em punyai kebanggaan seorang pelukis, terbukti dari sam a sekali tidak m erasa m enyesal ketika m eninggalkan peralatan m elukisnya. Yang disayangkannya hanyalah karena dia harus

32 Emile Zola m eninggalkan studio kawannya, sebuah studio besar di m ana dia telah merasa betah dapat hilir mudik sesuka hati selama em pat atau lim a tahun. J uga m erasa sayang harus m eninggalkan wanita-wanita m odel yang berada dalam jangkauan dom petnya. Dunia kepuasan binatang telah berlalu dari dirinya dengan m eninggalkan jasm ani yang sangat ditekan kebutuhan. Walau dem ikian dia m erasa berbahagia dengan pekerjaannya sebagai juru tulis. Dengan mudah dia dapat merasa sesuai dengan pekerjaan yang tidak m elelahkan dan dapat m em bawa pikirannya ke alam tidur. Hanya dua hal yang m engganggu dirinya: ketiadaan wanita dan m akanan sehari-harinya seharga delapan belas sou yang tidak pernah m am pu m em uaskan nafsu m akannya. Cam illus m en yim ak cerita Lauren t dan m em an dan g wajahnya dengan keheranan yang tolol. Anak m uda penyakitan dengan badan yang lem ah yang belum pernah m engenal getaran berahi, terpengaruh oleh cerita kawannya. Lalu, seperti anak kecil dia m em im pikan kehidupan di studio. Dia m em bayangkan perempuan-perempuan memperlihatkan tubuh telanjang. Dia bertanya kepada Laurent. “J adi,” katanya,”engkau sering m elihat perem puan m em buka baju di hadapanm u? Begitu?” “Tentu saja,” jawab Laurent tersenyum , lalu m engalihkan pandangannya kepada Theresa yang telah m enjadi pucat. “Aneh sekali,” Cam illus m elanjutkan dengan tawa kekanak- kanakan. “Kalau aku, akan m erasa bingung dan m alu.... Engkau pun tentu m erasa kikuk pula pada m ulanya.” Laurent m em buka salah satu tangannya yang besar lalu m enatap telapaknya seakan-akan m enyelidikinya. J ari-jem arinya bergetar sedikit, pipinya kem erah-m erahan. “Pada m ulanya,” katanya seperti kepada dirinya sendiri, “aku kira sangat wajar.... Sangat m enyenangkan, sem ata-m ata seni. Tetapi, persetan, itu tidak menghasilkan satu sou pun.... Pernah

Theresa 33 aku m em punyai seorang gadis cantik beram but pirang sebagai m odel, kulitnya bersih, dagingnya gem pal, payudaranya luar biasa dan pinggulnya selebar....” Laurent m engangkat kepala dan m elihat Theresa di hadapannya m em bisu dan diam . Perem puan m uda itu sedang m em andang Laurent dengan asyik. Matanya yang hitam kelam merupakan dua buah sumur tak berdasar, dan melalui kedua bibir yang m erekah, Laurent dapat m elihat warna jingga dalam m ulutnya. Theresa tam pak seperti bingung, nam un dia m endengar setiap kata Laurent. Mata Laurent beralih dari Theresa kepada Cam illus. Bekas pelukis itu m enahan senyum . Dia m engakhiri kalim atnya dengan sebuah gerakan tangan, gerakan penuh gairah yang diikuti Theresa dengan cerm at. Kopi telah dihidangkan, dan Madam e Raquin turun ke bawah untuk m elayani seorang langganan. Kem udian, setelah taplak m eja diangkat, Laurent yang untuk sesaat seperti sedang berikir, tiba-tiba melihat kepada Camillus. “Aku m esti m elukism u,” katanya kepada Cam illus. Pikiran ini m enarik hati Madam e Raquin dan anaknya. Theresa tetap bungkam. “Sekarang m asih m usim panas,” lanjut Laurent, “dan karena kita pulang kantor pukul empat sore, dalam seminggu akan selesai.” “Bagus sekali,” kata Cam illus, pipinya m erah karena gem bira. “Engkau m akan m alam di sini.... Aku akan m engeriting ram butku dan mengenakan jas hitam.” Lonceng berbunyi delapan kali. Grivet dan Michaud m asuk. Oliver dan Suzanne datang tak lam a kem udian. Cam illus m em perkenalkan kawannya. Grivet m engerutkan dahi. Dia tidak m enyukai Laurent yang gajinya, m enurut pertim bangannya, naik terlalu cepat. Selain dari itu, m enam bah anggota kelompok merupakan langkah berlebihan. Tamu-tamu

34 Emile Zola keluarga Raquin tidak dapat berbuat lain kecuali bersikap dingin dalam menerima pendatang baru. Laurent tidak m erasa tersinggung. Dia dapat m em aham i situasi dan berusaha m enyesuaikan diri sedapat-dapatnya agar dapat segera diterima mereka. Dia bercerita tentang macam- m acam , m em buat suasana m enjadi gem bira dengan tawanya yang riang, bahkan berhasil m erubah Grivet m enjadi kawan. Malam itu Theresa tidak mencoba mencari dalih turun ke toko. Dia tetap duduk di kursinya sam pai pukul sebelas, berm ain domino dan bercakap-cakap, menghindari pandangan mata Laurent, suatu hal yang tidak sukar karena Laurent m em ang tidak m enaruh perhatian kepadanya. Sikap Laurent yang m enarik, suaranya yang cerah-jernih, tawanya yang keras gem bira, bau wangi badannya, m engalutkan pikiran Theresa sehingga ia menjadi bimbang dan gelisah.

BAB VI SEJ AK HARI itu ham pir setiap sore Laurent datang ke rum ah keluarga Raquin. Dia tinggal di Rue Saint-Victor, di seberang Wine Port, dalam sebuah kam ar kecil yang berperabot dengan sewaan delapan belas frank sebulan. Ruangan itu beratap m odel Mansard dan diterangi dari atas dengan kaca atap yang bergantung, yang m em buka sedikit ke langit. Ukurannya kurang dari enam m eter persegi. Laurent biasa pulang ke rum ah selam bat-lam batnya. Sebelum bertem u dengan Cam illus, karena tidak m em punyai cukup uang untuk m akan m inum di restoran, biasanya dia duduk- duduk di sebuah rumah makan kecil untuk makan malam, lalu mengisap cangklong berlama-lama sambil menghadapi secangkir kopi yang dicam pur sedikit brendi seharga tiga sou. Setelah itu bam pulang, berjalan pelan-pelan sepanjang dermaga, kadang- kadang duduk dahulu di sebuah bangku apabila udara terasa panas. Toko di Passage du Point-Neuf sekarang menjadi tempat pelariannya yang m enyenangkan, hangat, tentram , penuh dengan

36 Emile Zola kata-kata ramah dan perhatian. Tidak perlu lagi dia membeli kopi campur brendi sehingga dapat menghemat tiga sou sehari. Sebagai gantinya dia dapat m enikm ati teh sedap dari Madam e Ra q u in . Dia tinggal di rumah Madame Raquin sampai pukul sepuluh m alam , terkantuk-kantuk dan kenyang, benar-benar seperti di rum ah. Sebelum pulang dia selalu m em bantu dahulu Cam illus menutup toko. Suatu sore Laurent datang sam bil m em bawa peralatan m elukis. Dia berm aksud akan m ulai m elukis Cam illus pada keesokan harinya. Selem bar kanvas telah dibelinya, persiapan- persiapan lain yang agak berlebihan sudah dilakukan pula. Esoknya, sang senim an m ulai bekerja di dalam kam ar tidur suam i-istri Cam illus. Katanya, cahaya dalam kam ar itu paling baik. Tiga hari diperlukannya untuk m em buat sketsa kepala Cam illus. Tangannya m eluncur di atas kanvas m em buat garis- garis tipis dengan hati-hati sekali. Hasilnya sebuah coretan yang kaku dan kasar, terlihat aneh seperti karya para pelukis prim itif. Dia m enjiplak wajah Cam illus seperti seorang yang sedang belajar m elukis m odel telanjang, dengan tangan yang ragu-ragu, dengan keseksam aan yang janggal sehingga wajah dalam lukisan itu seperti membersut. Pada hari keempat, mulailah dia memberi wa r n a . Sehabis berpose, Madam e Raquin dan Cam illus selalu m enunjukkan sukacita. Laurent m engatakan supaya m ereka bersabar, sebab kemiripan wajah akan datang kemudian. Sejak melukis dimulai Theresa selalu berada dalam kamar yang sudah berubah m enjadi studio. Dia biarkan bibinya sendirian di belakang m eja-bayar. Selalu ada saja dalihnya untuk pergi ke atas, lalu asyik m em perhatikan Laurent m elukis. Dengan wajah yang selalu serius dan perasaan agak tertekan, m uka lebih pucat

Theresa 37 dan lebih pendiam daripada biasanya, dia duduk m engikuti kuas m enari-nari di atas kanvas. Bukan pem andangan itu yang m em berikan kesenangan tertentu kepadanya. Dia datang ke atas seperti karena suatu dorongan dan tinggal di sana seolah-olah karena terpaku. Kadang-kadang Laurent m elirik dan tersenyum kepadanya dan m enanyakan pendapatnya. Theresa ham pir tidak m enjawab, tetapi tubuhnya gem etar lalu kem bali m eresapi kebahagiaannya. Setiap m alam , dalam perjalanan pulang ke Rue Sain t-Victor, Lauren t berdialog den gan dirin ya sen diri memperdebatkan apakah dia akan atau tidak akan menjadi kekasih Theresa. “Perem puan itu,” katanya kepada dirinya sendiri, “akan menjadi pacarku bila saja aku mau. Dia selalu berada di belakangku, memandangku, memperhatikan dan menimbang- nim bang diriku.... Dia sering gem etar, dia m em punyai pandangan m ata aneh yang bergairah. Tak ayal lagi dia m em erlukan seorang kekasih; aku dapat m elihatnya dari m atanya.... Cam illus yang lem ah pasti tidak m em uaskannya.” Laurent tertawa diam -diam teringat kepada wajah pucat kawannya yang kurus kering. Lalu dia m elanjutkan: “Dia bisa m ati bosan dalam toko itu.... Aku sendiri pergi ke sana hanya karena tak punya tem pat lain untuk berkunjung. Kalau tidak, tak akan aku sering kelihatan di Passage du Point- Neuf yang lem bap dan suram itu. Aku kira seorang perem puan bisa m ati di sana.... Dia tertarik kepadaku, aku yakin, karena itu mengapa tidak aku saja, daripada orang lain?” Laurent berhenti berjalan, terbawa pikirannya yang m enyenangkan tentang kegagahan dirinya, lalu m em perhatikan arus Sungai Seine dengan air muka melamun. “Ya, m engapa tidak?” katanya lagi. “Akan kucium dia begitu ada kesem patan.... Aku berani bertaruh dia akan jatuh dalam pelukanku saat itu juga.”

38 Emile Zola Dia berjalan lagi. Tiba-tiba hatinya m erasa ragu. “Dia tidak can tik,” pikirn ya. “H idun gn ya pan jan g dan m ulutnya besar. Lagi pula, sedikit pun aku tidak cinta kepadanya. Mungkin sekali akan tim bul kesukaran. Lebih baik dipikirkan dulu baik-baik.” Laurent yang m em ang bersifat sangat hati-hati bergelut dengan pikiran ini sem inggu lam anya. Dia m em perhitungkan segala kesukaran yang m ungkin tim bul kalau m em buat hubungan dengan Theresa. Dia akan berani m engam bil risiko hanya kalau sudah yakin betul bahwa hubungan itu m enguntungkan baginya. Baginya, Theresa tidak cantik dan dia tidak m encintainya, tetapi setidak-tidaknya hubungan dengan Theresa tidak akan m em erlukan biaya apa-apa. Perem puan-perem puan yang pernah dia beli dengan murah tidak lebih cantik dan tidak lebih dicintai. Hanya perhitungan ekonom i sem ata-m ata yang m endorong Laurent m au m engam bil istri kawannya itu. Selain itu, sudah lam a betul dia tidak dapat m em uaskan kebutuhannya. Karena tidak ada uang, selam a ini terpaksa dia m enahan nafsunya dan sekarang ia tidak bersedia melewatkan begitu saja kesempatan untuk m enurutkan nafsunya sedikit. Setelah dia pikir sekali lagi, hubungan cinta semacam itu tidak akan membawa akibat buruk. Theresa berkepentingan untuk m enyem bunyikannya, sehingga Laurent bisa m eninggalkannya setiap waktu dia kehendaki. Sekalipun um pam anya Cam illus m em ergokinya dan m arah, dia akan dapat m erobohkannya dengan sekali pukul seandainya Cam illus m encoba hendak m enyulitkannya. Dilihat dari setiap segi Laurent m enganggapnya sebagai suatu hal yang m udah dan m en a r ik. Mulai saat itu hatinya tentram m enyenangkan, m enunggu saatnya tiba. Dia telah m em utuskan akan bertindak lancang be- gitu m elihat peluang. Terbayang dalam pikirannya m alam -m alam yang m enyenangkan di hadapannya. Sem ua keluarga Raquin akan

Theresa 39 berm anfaat dem i kepentingannya. Theresa akan m enenangkan gejolak darahnya. Madam e Raquin akan m em anjakannya seperti seorang ibu, percakapan dengan Cam illus akan m enghindarkan dia dari kebosanan m alam di dalam toko yang lem bap itu. Potret Cam illus ham pir selesai, nam un kesem patan belum juga timbul. Theresa selalu berada di sana, tertekan dan gelisah, tetapi Cam illus tidak pernah m eninggalkan kam ar dan Laurent m erasa kesal karena tidak dapat m engakalinya keluar barang sejam . Akhirnya, tiba saatnya dia harus m engatakan bahwa lukisannya akan selesai esok. Madam e Raquin m engum um kan bahwa mereka harus makan malam bersama dan minum untuk m erayakan hasil karya sang senim an. Hari berikutnya, setelah Laurent m em beri warna-warna terakhir pada kanvasnya, seluruh keluarga berkum pul untuk m engagum i kem iripan lukisan dengan aslinya. Lukisan itu sebenarnya buruk sekali, berwarna abu-abu kotor dengan bintik- bintik keungu-unguan. Bahkan warna-warna yang cerah pun tak dapat Laurent gunakan tanpa m em buatnya suram dan kotor. Yang dapat m erendahkan dirinya lagi sebagai pelukis, Laurent m elebih-lebihkan kepucatan wajah Cam illus, sehingga tam pak kehijau-hijauan seperti wajah orang yang tenggelam . Garis-garis yang kasar m engubah rom an m uka, m em buat persam aannya dengan orang yang m ati tenggelam lebih m encolok lagi. Nam un dem ikian , Cam illus san gat sen an g hatin ya. Katan ya, dalam lukisan itu ia m em punyai sorot m ata yang agung. Setelah m engagum i wajahnya dengan seksam a Cam illus m engatakan ia m au pergi m em beli dua botol sam panye. Madam e Raquin kembali ke toko. Tinggallah sang seniman berdua dengan Th er esa . Perem puan m uda itu tetap di tem patnya, m em andang dengan mata hampa. Seakan-akan sedang menanti dengan malu bercam pur takut. Laurent ragu. Dia m elihat ke arah potret,

40 Emile Zola m em perm ainkan kuasnya. Waktu tidak banyak, Cam illus dapat kembali setiap saat. Mungkin kesempatan seperti itu tak akan kembali. Tiba-tiba pelukis itu membalikkan badan berdiri berhadapan m uka dengan Theresa. Beberapa detik lam anya mereka berpandang-pandangan satu sama lain. Lalu, dengan gerakan yang kasar Laurent m em bungkuk dan m endekapkan Theresa ke dadanya. Kepala Theresa terkulai ke belakang ketika bibir Laurent m enekan bibirnya. Theresa berontak sejenak dengan liar dan ganas, tetapi tiba-tiba perlawanannya m elem ah lalu m enyerah terbaring di atas lantai berubin. Tak sepatah pun m ereka bertukar kata. Adegan itu berlangsung sunyi dan kasar.

BAB VII SUDAH SEJ AK dari sem ula keduanya m erasa bahwa hubungan m ereka yang tidak senonoh itu m erupakan suatu keharusan, suatu hal yang sudah ditakdirkan dan wajar. Ketika untuk pertam a kali mereka berduaan, mereka bercakap-cakap dengan akrab, saling mencium tanpa ragu, tanpa malu, seakan-akan keakraban itu telah berlangsung bertahun-tahun lam anya. Mereka m enem ukan kenikm atan dalam hubungannya yang baru, dengan ketenangan yang sem purna dan tanpa rasa m alu yang sem purna pula. Mereka mengatur bagaimana mereka akan bertemu. Oleh karena Theresa tidak dapat pergi ke luar, m aka Laurentlah yang harus datang. Dengan suara yang jelas dan pasti, Theresa m enjelaskan rencana yang telah dipikirkannya. Pertem uan- pertem uan berikutnya akan berlangsung di kam ar Theresa. Kekasihnya harus datang m elalui gang kecil yang berhubungan dengan Passage, dan Theresa akan membukakan pintu kamar yang berhubungan dengan tangga m asuk. Waktu-waktu itu

42 Emile Zola Cam illus akan berada di kantor dan Madam e Raquin di toko. Rencana itu sangat berani, sehingga pasti berhasil. Laurent setuju. Dengan segala kehati-hatiannya dia juga memiliki suatu kenekatan seorang laki-laki dengan kepalan tangan yang besar. Sikap pacarnya yang tenang, sungguh- sungguh mendesak dia untuk menikmati petualangan asmara yang disodorkan dengan terang-terangan. Laurent m enem ukan dalih, sehingga diizinkan kepala bagiannya untuk m eninggalkan kantor selam a dua jam . Cepat-cepat dia pergi ke Passage du P oin t -Neu f. Begitu m asuk Passage dia m erasakan gairahnya m em uncak. Perem puan yang m enjual perm ata-perm ata im itasi sedang duduk tepat di gerbang pintu gang. Terpaksa Laurent m enunggu sam pai dia sibuk, sampai ada seorang gadis datang membeli sebuah cincin atau sepasang anting-anting perunggu. Lalu dengan cepat dia m asuk ke dalam gang. Dia m enaiki tangga yang gelap dan sem pit, badannya bersentuhan dengan tem bok yang lem bap. Suara kakinya terdengar di tangga batu. Setiap suara langkahnya m engantarkan sem acam tusukan ke dadanya. Sebuah pintu terbuka. Di ambang pintu dia melihat Theresa memakai rok dalam putih. Ram butnya disanggul. Menggiurkan sekali. Theresa m enutup pintu, lalu m erangkul leher Laurent. Bau wangi m enyebar dari badannya, wangi kain lena dan wangi kulit yang baru dibersihkan. Laurent terkejut m elihat Theresa m enjadi cantik sekali. Seakan-akan belum pernah dia melihat perempuan ini. Theresa m em eluknya, m engulaikan kepalanya ke belakang dan terpancarlah pada wajahnya senyum hangat bergairah. Itulah wajah wanita dalam dekapan cinta, selalu mengalami semacam perubahan m enjadi liar sekaligus lem but. Bibir sedikit basah, m ata bersinar cerah. Dengan saraf-saraf yang m enegang tetapi tubuh gem ulai, perem puan itu tam pak cantik dalam kecantikannya yang

Theresa 43 ajaib, kecantikan penuh gairah. Dapat dikatakan bahwa wajahnya m endadak bercahaya berkat sinar yang m em ancar dari dalam tubuhnya. Suasana hangat m enyem bur dari darah yang sedang bergolak dan saraf-saraf yang sedang m enegang. Pada cium an pertam a Theresa sudah m em buktikan dirinya sebagai orang yang sedang haus. Tubuhnya yang dahaga menghempaskan diri secara berani ke dalam kenikmatan asmara. Seakan-akan dia terbangun dari sebuah mimpi abadi dan lahir kembali ke dalam kancah kegairahan. Dia pindah dari tangan Cam illus yang lem ah ke dalam tangan Laurent yang kokoh. Pelukan seorang laki-laki yang gagah m em berikan kejutan kepada dirinya dan m em bangunkannya sekali dari tidur yang selam a ini m em enjara segala desakan kebutuhan jasm aninya. Sem ua nalurinya sebagai perem puan yang sangat peka m eledak sekaligus dengan kekuatan yang dahsyat. Darah Afrikanya yang bergolak dalam pembuluh-pembuluh mulai mengalir dengan deras, m erem bes ke seluruh tubuhnya yang ram ping dan ham pir belum pernah terjam ah pria. Dia m enyerahkan diri tanpa ragu dan malu. Dari ujung rambut sampai ke ujung kaki bergetar dengan hebat. Belum pern ah Lauren t m en em ukan perem puan seperti ini. Dia sangat terperanjat dan gugup. Biasanya, perem puan- perem puan yang dia gauli tidak pernah m enyam butnya dengan kehangatan seperti itu. Dia sudah terbiasa dengan ciuman dingin kaku, dengan asm ara yang lem ah dan jenuh. Desah tangis dan kekejangan urat-urat Theresa ham pir-ham pir m em buatnya takut, tetapi sekaligus juga m em bangkitkan rasa penasarannya. Ketika m eninggalkan wanita m uda itu, dia terhuyung-huyung bagaikan orang mabuk. Keesokan harinya, ketika ketenangan dan pertim bangannya sudah kem bali, dia m enim bang-nim bang baik tidaknya kem bali lagi m engunjungi Theresa yang cium annya sangat m enghangus-

44 Emile Zola kan itu. Mula-mula dengan tegas dia bertekad untuk tidak pergi, tetapi tak laina kem udian tekadnya m elem ah lagi. Dia m encoba m elupakan, m enghilangkan bayangan Theresa sedang telanjang, rayuannya yang hangat penuh gairah, nam un bayangan itu tetap ada, tak tergantikan, dengan kedua belah tangan merentang m en yam but. Bayan gan itu m en im bulkan tekan an yan g tak tertahankan pada dirinya. Dia m enyerah. Diaturnya pertem uan berikut. Dia kem bali ke Passage du Point-Neuf. Sejak hari itu Theresa sudah m enjadi bagian dari hidupnya. Batinnya belum m au m enerim a Theresa secara keseluruhan, nam un dia sendiri sudah dikuasai seluruhnya oleh Theresa. Sering dia mengalami saat-saat penuh ketakutan, atau saat-saat penuh pertim ban gan . Kesim pulan n ya, hubun gan n ya den gan There- sa m em buat hatinya berguncang terus. Tetapi ketakutan dan kegelisahan itu bertekuk lutut di hadapan nafsunya. Pertem uan mereka berlangsung terus menerus, makin lama makin kerap. Berbeda den gan Lauren t, Theresa tidak m em pun yai kekhawatiran sem acam itu. Dia m enyerahkan dirinya tanpa perhitungan, m engikuti langsung ke m ana tarikan nafsunya. Wanita yang selam a hidupnya tertekan oleh keadaan yang akhirnya m endapatkan kem bali kepribadiannya yang asli, m enunjukkan kebutuhan dirinya secara terbuka dan m em enuhinya sepuas- p u a sn ya . Sekali waktu, dia m elilitkan tangan ke leher Laurent sam bil berbaring di sam ping dadanya, dan dengan nafas yang m asih kem bang kem pis ia berkata, “Seandainya engkau tahu, betapa aku m enderita! Aku dibesarkan di kam ar sakit yang hangat dan lem bap. Aku tidur di kam ar Cam illus. Pada m alam hari aku bergeser sejauh mungkin karena mabuk oleh bau tak sehat yang keluar dari tubuhnya. Dia suka m engganggu dan keras kepala. Dia tidak pernah mau minum obat kecuali kalau aku


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook