Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Haji - Catatan & Refleksi - Cetakan 2

Haji - Catatan & Refleksi - Cetakan 2

Published by PT Integra Cipta Kreasi, 2022-07-01 06:46:26

Description: Haji - Catatan & Refleksi - Cet 2 - FULL

Search

Read the Text Version

HAJI

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 1 Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pidana Pasal 113 (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Anis Matta HAJI Catatan & Refleksi

Catatan & Refleksi ISBN: 978-623-92379-8-1 Penulis Anis Matta Penyunting Dadi Krismatono & Achmad Zairofi Penata Letak Aryamuslim Perwajahan Sampul Rohan K. Foto Sampul Agoes Soefiono Cetakan I, Juli 2021 Cetakan II, Juli 2022 Hak Cipta dilindungi undang-undang. All Rights Reserved. Buku ini diterbitkan atas kerja sama antara The Future Institute dan Poestaka Rembug Kopi Diterbitkan oleh Poestaka Rembug Kopi Jl. Veteran No.148, Warungboto, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, D.I. Yogyakarta 55161 vi

Serban Hamka, Ilham Anis Matta Pengantar Redaksi T atkala menginjakkan kaki ke Yogyakarta pada 1924, Hamka belia masih jarang mendapati kaum lelaki Muslim memakai peci. Yang banyak dijumpainya blang- kon, seperti dipakai pemimpin Syarikat Islam, H.O.S. Tjokroaminoto. Tiga tahun kemudian, saat Hamka tiba di Tanah Suci, ia mendapati peci sudah lazim ditemui di kepala jemaah asal Indonesia. Berserban masih jarang ditemui, hanya dipakai oleh mereka yang sudah terbiasa karena pernah pergi haji. Pada masa Hamka belia pula, berserban seperti satu “kemestian” bagi lelaki Islam Nusantara yang telah menunaikan haji. Ia penanda ke publik: absah menuntaskan rukun Islam kelima. Dan penahbisan ini vii

Haji: Catatan & Refleksi dilakukan semasa jemaah masih di Tanah Suci. Yang menjalankan ritual ini lelaki setempat yang digelari syeikh. Tugas utama sang syeikh ini sebenarnya hanya memandu jemaah asal Indonesia. Karena ketidak- tahuan, para jemaah memandang syeikh mereka itu sebagaimana pemuka agama; dihormati sebegitu rupa layaknya ulama. Padahal, tak sedikit para syeikh di jemaah haji asal Indonesia itu bertindak tak patut. Salah satunya “memanfaatkan” kejahilan jemaah kita dalam soal serban. Ada imbalan yang diincar oleh syeikh tersebut. Hamka, yang masa itu masih dipanggil Malik, sudah tentu termasuk yang ditawari untuk menjalani prosesi ini. Dalam Kenang-kenangan Hidup I (cet. 3, 1974), Hamka menceritakan kejadian tersebut. “Menurut kebiasaan, sesudah kepala dicukur atau digunting di hari kesepuluh di Mina itu, berkumpullah haji-haji itu di keliling syeikhnya masing-masing. Pa- kaian sudah ditukar; dan masing-masing telah menye- diakan serban yang akan diikatkan dengan ‘resmi’ oleh syeikhnya itu ke kepala masing-masing berganti-ganti. Yang perempuan menyediakan malaya, yaitu selendang tutup muka. Syeikh duduk di tengah-tengah. Orang haji tampil satu per satu membawa serbannya.” viii

Anis Matta Hamka mencontohkan jemaah itu bernama Badu Ali. Tutur Hamka, sang syeikh akan berkata pada si Badu Ali begini, “Badu Ali! Sekarang engkau sudah haji. Sebab itu sudah boleh memakai serban. Dan nama engkau hendaklah ditukar; untuk menghapus dosa- dosa selama ini.” Posisi Badu Ali sendiri, kata Hamka, sudah serupa dengan orang Katolik menghadap pendeta. Amat takzim dan khusyuk. Lantas, bersimpuhlah Badu Ali pada syeikh yang sebenarnya hanya tukang urus orang berhaji. Sesudah ditanya nama yang disukai sendiri oleh Badu Ali, si syeikh pun berkata, “Sammaituka sammakallah, bil Haji ’Abbas; falyaj’al hajjaka mabruran wa sa’yaka masykuran.” Aku namai engkau, dan Allah menamai engkau Haji ’Abbas. Moga-moga dijadikannya hajimu berpahala dan saimu yang disyukuri. Begitu si syeikh “meresmikan” haji jemaah kita. Selesai? Tentu saja tidak. Para jemaah yang ditahbis memberikan uang ke pinggan di hadapan si syeikh. Tiba giliran Hamka. Para haji mengajak pemuda Malik untuk mengikuti apa yang baru saja mereka lakukan dengan si syeikh. ix

Haji: Catatan & Refleksi “Buat apa? Serban itu bagiku tidak perlu, dan nama yang telah diberikan ayahku kepadaku tidak akan kutukar! Ini hanya perbuatan khurafat semua,” katanya enggan mengikuti. Bagi Hamka, syeikh itu tak lebih manusia biasa, meski jemaah lain memandangnya begitu hormat seumpama ulama besar. Sudah tentu, sikap Hamka ini amat tidak disukai si syeikh. Pembukaan “upacara” jadi terlambat karena pembangkangan Hamka. Hamka tak tahu bahwa beberapa purnama berikutnya, serban itu bakal disebut lagi. Bukan oleh syeikh “jadi-jadian”, melainkan oleh syeikh sebenarnya, bahkan orang yang dikenalnya dari dekat. *** koleksi digital New York Public Library x

Anis Matta Bulan pengujung 1927. Surat dari sang kakak yang memintanya pulang kampung diabaikannya. Pikirnya, guna apa saya pulang? Orang kampung tidak akan menerima saya. Sebab saya “tidak alim.” Tapi, bilamana suami sang kakak, seorang yang dihormati dan turut berjasa dalam perjalanannya selama ini, sukar diabaikan saat memintanya pulang. Sang ipar, A.R. Sutan Mansur, menjemputnya untuk kembali ke kampung halaman. Berhadapan dengan ipar yang juga aktivis Muhammadiyah ini, segan dan takut muncul pada diri Hamka. Perintahnya untuk berkemas, tidak dapat dielakkan Hamka. Hingga akhirnya ia pun berada di hadapan ayahandanya. “Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu?” tanya Haji Rasul, begitu mereka berdua bertatapan mata lagi di rumah. “Abuya ketika itu sedang susah dan miskin,” jawab Hamka. Hamka tentu tak mengabaikan dampak gem- pa bumi di Padang Panjang pada 28 Juni 1926 yang mengakibatkan rumah Haji Rasul hancur parah; belum lagi wafatnya beberapa kerabatnya pada kejadian itu. Di samping tentunya sang ayah memiliki tanggungan sebagai suami dengan banyak istri, dan mamak bagi para kemenakan. xi

Haji: Catatan & Refleksi “Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah.” “Biarlah Buya! Kata Andung, tatkala aku dilahirkan, Buya telah berjanji akan mengirimku belajar di sana sepuluh tahun. Tetapi kemiskinan menghambat cita- cita Buya. Sebab itu, hamba sendiri menebusnya. Sayang tidak sepuluh tahun. Hanya setahun pergi pulang.” Haji Rasul merenung beberapa saat. Begitu dituliskan Hamka di Kenang-kenangan Hidup I. repro dari buku Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka xii

Anis Matta “Mana serban! Mana jubah? Menurut adat jolong pulang itu, baik juga memakai serban dan jubah, pengobat hati orang kampung karena engkau telah pulang kembali,” Haji Rasul berucap lagi. “Tak ada serban, Buya! Tidak ada jubah. Tak ada duit pembelinya.” Hamka berterus terang. Ihwal ketidaksukaan dirinya memakai serban bagi jemaah haji, dan insiden dengan syeikh saat di Mina, tidak disampaikannya. Tampak wajah haru terpancar dari Haji Rasul. Tak lama kemudian ia menuju lemari. Mengambil jubah anggrui, sehelai gamis putih, sadariah syami, dan se- helai serban halabi. “Pakailah ini! Pakaian ini hanya Buya pakai ketika hari raya saja. Buya perbuat di Mekkah, sebelum Buya kawin dengan uaik-mu.” Uaik di sini sebutan Hamka pada ibu kandungnya, yang saat itu telah dicerai Haji Rasul. Tak perlu waktu lama, air mata menggelanggang pada ruangan yang mempertemukan ayah dan anak itu. Pakaian “kebesaran” Haji Rasul itulah yang dikena- kan Hamka. Agak lapang bagi badannya, tapi ini bukan soal. Pas persuaan itu bertepatan dengan hari Jumat. xiii

Haji: Catatan & Refleksi Dekat waktu shalat Jumat tiba, Haji Rasul mengiringi Hamka. Saban mereka bertemu orang-orang, tangan Hamka segera diambil untuk bersalaman. Ada juga yang sampai mencium tangannya. Haji Rasul tak bisa menutup rasa bangganya. Jumat itu pula Hamka dimintanya untuk menjadi khatib. Orang-orang sekampung senang bukan kepalang. Hadirnya Hamka menjadi jawaban atas cemas mereka andaikan sewaktu-waktu Haji Rasul dipanggil Allah. Dan kelak, bukan hanya warga di kampungnya yang turut bangga memiliki alim baru jebolan musim haji 1927 masehi. Negerinya akan mengenalnya sebagai ulama besar, bahkan namanya melampaui kepopuleran sang ayah dan kakeknya, yang sama-sama sosok alim berbudi. Menariknya, serban dan jubah yang pernah “disepelekan” Hamka, akan melekat sebagai ciri pada masa selanjutnya. *** Musim haji 2019 pun tiba. Siapa sangka setahun berikutnya perhelatan akbar Muslimin sedunia itu terpaksa ditiadakan bagi para tamu Allah akibat wabah pandemi COVID-19. Dua tahun kemudian juga masih berlaku sama, entah sampai kapan Baitullah masih harus dilakukan pembatasan untuk pelaksanaan ibadah haji. xiv

Anis Matta koleksi penulis xv

Haji: Catatan & Refleksi Bukan kebetulan bila pada tahun haji 2019, salah satu tamu Allah di antara jutaan jemaah adalah Anis Matta, penulis buku di tangan Anda kini. Sebenarnya momen itu bukan kali pertama Anis Matta berhaji. Tapi, haji 2019—bersama di antaranya kawan diskusinya: Fahri Hamzah—berasa istimewa. Ya, bukan kebetulan ia ingin mencari “serban”; tentu serban dalam makna kiasan. Serban sebagai simbol benda jelas tidak tebersit di benak Anis Matta. Serban yang dicarinya tak lain sa- far mencari ilham. Hal ini akibat buntunya kapasitas pengetahuan yang dimilikinya untuk menerawang masa depan Indonesia. Dalam satu kesempatan, Anis Matta menyebutkan bahwa sejak 2009 lalu ia tersadar pengetahuan yang dimilikinya mentok. Sepuluh tahun kemudian, apa yang dicarinya sedikitnya sudah mem- berikan peta jalan yang hendak dilaluinya. Malahan hari-hari sebelum berhaji, ia sudah mematangkan satu keputusan untuk membuat peta arah baru ke depan, baik bagi Indonesia maupun umat Islam. Bukanlah karena ikut tradisi tatkala Haji Rasul penuh antusias memberikan serban spesialnya pada putranya. Ia melihat pada putranya ada kesungguhan, mampu membuktikan satu perjuangan menimba pengetahuan yang bahkan tanpa peran serta langsung dirinya selaku ulama besar di Nusantara. Hamka justru xvi

Anis Matta mampu membuktikan “kegelapan” asa sang ayahanda pada dirinya di masa lalu adalah keliru. Tak ayal, Haji Rasul tersadar dan membuat satu pembacaan baru untuk anak lelakinya ini. Dan pembacaan Haji Rasul tak keliru. Memberikan mimbar khotbah Jumat pada orang lain bukanlah hal sepele. Satu kepercayaan dimulai pada Hamka. Satu kepercayaan yang diawali serban dan mimbar Jumat. Setelahnya, transfer intensif pengetahuan keislaman di antara ayah dan anak yang sebelumnya tak pernah terjadi sedekat itu. Sementara itu, sebuah kompas yang dicari Anis Matta kini berhasil digenggamnya. Ia tinggal melangkah mengikuti kompas itu, lalu mengajak dan meyakinkan banyak pihak untuk bersama-sama melakukan kolabo- rasi membawa Indonesia ke depan. Dari spiritualisme berhaji pada 2019 itulah, ia matangkan proses mencari jalan keluar dari krisis yang mendera Indonesia. Dari memori iman, pelepasan kerinduan pada prosesi demi prosesi dalam berhaji, hingga renungan perjuangan para nabi ulil azmi hingga para mujtahid-mujahid, Anis Matta mengkristalkan satu peta yang hendak ditem- puhnya ketika berkontribusi bagi negeri ini. Hasil- nya berupa lima kekuatan menghadirkan perubahan revolusioner: karakter ulil azmi, tradisi ijtihad, design thinking, kelenturan, dan doa istilham. xvii

Haji: Catatan & Refleksi xviii koleksi penulis

Anis Matta Risalah renungan haji seorang Anis Matta selayak- nya dibaca oleh pelbagai pihak; tak cuma kalangan Islam. Ada tawaran inspirasi untuk hadirnya satu per- ubahan. Memang tak detail mengingat sajian gagasan- nya dikemas untuk publik digital, terutama warga Twitter. Tapi, kesingkatan yang ada tak mengurangi mutu renungan penulis, terlebih bila pembaca buku ini demen dan loyal mengikuti syarahan Anis Matta yang banyak didokumentasikan di kanal YouTube. Akhirnya, kami mewakili redaksi Poestaka Rembug Kopi berterima kasih untuk sebuah kepercayaan yang diberikan penulis untuk menerbitkan satu renungan yang amat menarik dan menginspirasi ini. Untuk pem- baca budiman buku ini, selamat meresapi kekayaan intelektual dan/atau jiwa penulis dari proses berhaji; semoga bisa menggerakkan kita semua dalam meng- hadirkan kolaborasi kebaikan dan inovasi kemajuan bagi Indonesia. Yogyakarta, 29 Mei 2021 Yusuf Maulana xix

koleksi Izuddin Helmi Adnan xx

Prakata Penulis Assalamu’alaikum Wr. Wb. Buku sederhana yang Anda baca ini merupakan dokumentasi kicauan di Twitter selama perjalan- an haji pada 2019. Pada kesempatan itu, atas izin Allah, saya tidak hanya merasakan pengalaman beribadah melainkan mendapat inspirasi untuk melihat kembali perja- lanan peradaban Islam koleksi penulis dan merenungi semua pemahaman dan pengetahuan saya mengenai hal ini. xxi

Haji: Catatan & Refleksi Ini tulisan yang sangat pribadi, namun saya berha- rap Anda mendapat manfaat dari membaca catatan ini. Saya merasa perlu mendokumentasikannya ke dalam format yang mudah dibaca dan tidak tertimbun oleh lintasan percakapan di lini masa media sosial. Terima kasih kepada seluruh sahabat yang telah mengumpulkan serakan catatan ini menjadi buku yang lebih nyaman dibaca. Pada 2020, tulisan ini telah diterbitkan dalam format digital (e-book), dan— alhamdulillah—tahun ini bisa sampai ke hadapan Anda dalam bentuk buku. Terima kasih kepada Dadi Krismatono, Yusuf Maulana, Achmad Zairofi, Agoes Soefiono, serta seluruh tim The Future Institute dan Poestaka Rembug Kopi yang telah berkolaborasi mewujudkan terbitnya buku ini. Selamat membaca. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Ciganjur, 10 Juni 2020 Anis Matta xxii

Anis Matta “Saya punya kebiasaan memikirkan sesuatu masalah dalam waktu yang lama secara terus-menerus. Ketika saya mempunyai konsentrasi dalam masalah politik, maka saya akan memikirkan masalah politik itu secara intens. Tetapi, saya selalu menyediakan waktu-waktu untuk merenung, berpikir tanpa melakukan apa-apa. Dan juga menyediakan waktu tertentu, biasanya dua atau tiga hari, khusus untuk membaca. Jadi, jika ada masalah besar yang perlu dikaji dari berbagai sisi, maka biasanya saya menyediakan waktu satu hari atau dua hari tidak ke mana-mana, hanya khusus untuk membaca, merumuskan pikiran- pikiran saya tentang masalah itu.” xxiii koleksi penulis

koleksi Roukaya19/Skyscrapercity

1 R asanya ada yang berbeda setiap kali saya menunai- kan ibadah haji. Mungkin bermanfaat untuk saling berbagi cerita. Saya bersyukur bisa menunaikan haji pertama kali pada 1996 atas fasilitas dari Rektor LIPIA saat itu, Syekh Ibrahim Al-Husaen. Suatu hari beliau memanggil saya ke kantornya dan menanyakan, “Sudah haji belum?” Saya jawab, “Belum.” “Mau haji enggak?” Saya jawab, “Tentu mau.” 1

Haji: Catatan & Refleksi Saya memberitahu peristiwa itu kepada kedua sahabat saya, Achmad Rilyadi dan Abu Bakar Al Habsyi. Ternyata mereka berdua juga mau ikut. Saya kembali menemui Syekh Ibrahim dan bersyukur mereka berdua juga dapat kesempatan haji bersama. 2

Anis Matta koleksi Roukaya19/Skyscrapercity Begitulah pada 1996 kami bertiga menunaikan ibadah haji dengan kegembiraan yang tak terkata. Begitu mendadak. Begitu cepat. Dan gratis! Saya bersyukur karena bisa menyempurnakan rukun agama pada usia muda. Tapi saya juga datang dengan semangat lain yang tak kalah bergeloranya, yaitu melakukan napak tilas sejarah. 3

Haji: Catatan & Refleksi dokumentasi Aljazeera English 4

Anis Matta Haji adalah fakta sejarah dari se- buah agama yang tidak pernah selesai bertumbuh, berkembang dan menye- bar. Dan tak akan pernah berhenti bertumbuh hingga kiamat kelak. Haji adalah sejarah iman yang terangkai sejak ribuan tahun lalu. Sejak Nabi Ibrahim, Hajar dan Ismail, hingga Nabi Muhammad SAW. Jadi, haji saya, dan haji semua orang, adalah kesinambungan sejarah iman itu. Tapi mengapa saya datang, padahal saya tidak pernah bertemu Nabi Mu- hammad SAW? Apalagi berjumpa Nabi Ibrahim AS? Saya beriman kepada Allah yang gaib, dan kepada Nabi Muhammad SAW dan Nabi Ibrahim AS yang tidak pernah saya lihat. 5

Haji: Catatan & Refleksi Kerja apakah yang bisa membuat iman seperti ini tumbuh tanpa disertai pandangan mata? Rahasia apakah yang membuat agama ini terus berkembang setelah mata rantai kenabian diputus? Rasulullah SAW menyebut, mereka yang berjumpa dengannya lalu beriman kepadanya adalah “sahabat.” Tapi, kepada mereka yang tidak menjumpainya namun beriman kepadanya, beliau menyebut “saudara.” Sebutan “sahabat” dan “saudara” menjelaskan betapa dalamnya pema- haman Rasulullah SAW tentang kesulitan manusia untuk menerima agama yang dibawanya tanpa harus bertemu dengan pembawa risalah. 6

Anis Matta Faktor visual dalam proses ke- imanan manusia sangat penting. Itu sebabnya beriman kepada yang gaib itu berat. Seperti itulah beratnya beriman kepada pembawa risalah yang tidak pernah kita lihat. Karena itulah Rasul menyebut kita “saudara.” Tapi, bagaimana bisa kita beriman lalu “mencintai” sosok yang tak pernah kita lihat? Bagaimana mungkin sese- orang bisa mengisi seluruh imajinasi kita lalu berubah menjadi keyakinan yang mengisi seluruh rongga hati kita? Saat haji pertama itu saya datang melengkapi rukun agama dan mencari jawaban dari sejarah iman dan cinta itu. 7

Haji adalah fakta sejarah dari sebuah agama yang tidak pernah selesai bertumbuh, berkembang dan menyebar. Dan tak akan pernah berhenti bertumbuh hingga kiamat kelak. 8

2 B egitu memasuki kota Mekkah, lalu rumah Allah, lalu memandang Ka’bah, imajinasi saya langsung tersedot ke dalam pusaran memori spiritual manusia- manusia agung yang memulai semua cerita ini. Jadi, di lembah inilah semuanya dimulai. Lahan ger- sang yang bukan saja tak berpenghuni, bahkan tumbuh- an pun tidak tumbuh di sini. Tapi ke sinilah Ibrahim di- perintah membawa istri dan bayinya. Hajar dan Ismail. 9

Haji: Catatan & Refleksi Saya membayangkan perjalanan panjang ribuan tahun lalu itu. Dari Palestina ke Jazirah Arab. Hanya ada dua manusia dewasa dan satu bayi. Itu pasti bukan kafilah. Betapa mengerikan! Lebih mengerikan lagi mem- bayangkan tempat yang akan dituju: lembah kosong, tandus dan gersang. Tak ada siapa-siapa, tak ada tumbuhan, tak ada kehidupan. Apa makna dari semua ini? Apa yang akan mereka lakukan? Kehidup- an apa yang ingin mereka bangun sementara di tempat itu hanya ada mereka bertiga? Apa yang membuat perintah itu logis? 10

Anis Matta Ahmad Masood/Reuters 11

Haji: Catatan & Refleksi Justru perintah yang datang sesudahnya lebih mengagetkan: “Tinggalkan istri dan bayimu di lembah itu, hai Ibrahim!” Saya tidak pernah bisa membayangkan apa yang ada dalam benak Hajar saat ia mengejar Ibrahim mencari jawab, kecuali setelah ia mengubah pertanyaannya, “Apakah ini perintah Allah?” Begitu Ibrahim memastikan itu adalah wahyu, situasi jadi jelas bagi Hajar. Masalah memang tidak selesai, namun ia yakin tak akan disia-siakan oleh Allah. 12

dokumentasi Aljazeera English Anis Matta 13

Haji: Catatan & Refleksi Inilah momen itu. Saat akal berhenti di depan pintu wahyu. Saat keraguan terurai iman kepada rencana Allah. Saat keterbatasan manusia diregangkan oleh semangat ketaatan. Ka’bah bukanlah permulaannya. Langkah-langkah Hajar berlari mencari airlah awalnya. Sa’i itu maknanya usaha. Kerja sampai batas kemampuan terakhir. Dari hentakan kaki sang bayilah mata air kehidupan bermula. “Zamzam …. Zamzam!!!” Mata air Zamzam menandai awal dari sebuah kehidupan baru yang kelak mengubah wajah gurun tandus itu. 14

Anis Matta Itulah kisah iman tanpa syarat. Keya- kinan tanpa keraguan. Kepasrahan tanpa pertanyaan. Kerja tanpa lelah. Pengorbanan tanpa akhir. Inilah watak dari kerja akidah. Keyakinan selalu melampaui kemampuan. Cita-cita sela- lu melebihi sumber daya. Karenanya, ia selalu dimulai tanpa menanyakan hasil akhirnya. Di batas kemampuan terakhir manusia itulah keyakinan mulai bekerja: adalah pekerjaan Allah untuk menumbuhkannya tanpa henti. Itu bukan pekerjaan manusia. Kewajiban manusia adalah mencapai limit terakhir kemampuannya, lalu berdiri pasrah di situ. Melepas semuanya. 15

Haji: Catatan & Refleksi Di batas kemampuan terakhir manusia itulah keyakinan mulai bekerja: adalah pekerjaan Allah untuk menumbuhkannya tanpa henti. Itu bukan pekerjaan manusia. 16

3 H ajar dan Ismail. Sa’i dan Zamzam. Usaha dan mata air. Daya hidup dan sumber kehidupan. Itu semua menandai makna dasar agama: menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi manusia di bumi. Jadi, itulah tujuan Allah membawa mereka ke lem- bah tandus itu. Menciptakan kehidupan baru, komu- nitas baru, peradaban baru. Memperluas batas hunian manusia dari wilayah bumi yang belum terjangkau. Ini semacam peregangan geografis. Zamzam adalah simbol kehidupan baru, ia menghi- dupi manusia dan mengubah wajah tandus dan kerasnya gurun menjadi makmur dan indah. “Dan dari airlah Kami ciptakan semua yang hidup.” (QS Al-Anbiyaa: 30) 17

Haji: Catatan & Refleksi 18

Anis Matta dokumentasi Saudi Press Agency Itu mengapa secara perlahan Zamzam menjadi titik persinggahan kaum nomaden dan para musafir. Ia menjadi sumber kehidupan dan magnet yang menyedot manusia untuk datang dan menetap. 19

Haji: Catatan & Refleksi Zamzam merupakan awal sebuah persentuhan sosial tercipta dan sebuah komunitas baru terbangun dengan ciri yang sama sekali baru: multikultur! Ibrahim dari Irak menikah dengan Hajar dari Mesir. Putra mereka Ismail membaur dan menikah dengan putri dari kabilah Arab bernama Jurhum yang melintasi mereka. Pembauran yang sempurna. Kelak klan yang turun dari Ismail itu dikenal sebagai salah satu klan utama Arab yang disebut Al-‘Arab Al- Musta’rabah. Artinya, menjadi Arab karena “terarabkan” dari pembauran. 20

Anis Matta Dari hasil pembauran klan Ismail inilah kelak lahir nabi terakhir yang menutup mata rantai kenabian: Muhammad SAW. Jenis klan itu membedakannya dengan klan asli Arab yang dikenal dengan Al-‘Arab Al-‘Aribah yang berasal dari turunan Bani Qahthan. Ada klan Arab lain yang sudah punah dan karenanya disebut Al-‘Arab Al- Baidah. Zamzam ditakdirkan menjadi tempat pembauran komunitas baru dari berbagai etnis. Kelak inilah ciri utama dan paling kuat dari pesan agama nabi terakhir Muhammad SAW. 21

Haji: Catatan & Refleksi 22

Anis Matta Ahmed Jadallah/Reuters “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu ber- bangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling ber- takwa. Sungguh, Allah Maha Mengeta- hui, Mahateliti.” (QS Al-Hujurat: 13) 23

Haji: Catatan & Refleksi Panorama kehidupan apakah yang paling kuat kita rasakan saat berhaji? Keragaman. Semua warna kulit, postur, bahasa, watak, budaya, makanan. Semua tumpah ruah dalam kebersamaan. Tampak acak tapi mengalir teratur. Keragaman dan kebersamaan. Keacak- an dan keteraturan. Itulah integrasi yang menjadi watak dasar agama karena manusia dipersatukan oleh asal dan tujuan yang sama. Keragaman dan kebersamaan itulah yang kita rayakan dalam balutan ihram putih saat wukuf di Arafah. Keacakan dan keteraturan yang kita saksikan dalam putaran thawaf dan perjalanan sa’i. 24

Anis Matta Panorama kehidupan apakah yang paling kuat kita rasakan saat berhaji? Keragaman. Semua warna kulit, postur, bahasa, watak, budaya, makanan. Semua tumpah ruah dalam kebersamaan. Tampak acak tapi mengalir teratur. 25


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook