Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Dari Tangan Pertama

Dari Tangan Pertama

Published by binarsoeko, 2021-05-21 04:20:38

Description: Kumpulan cerita perjalanan di gunung, hutan, sungai dan laut.

Keywords: Adventure,Gunung,Hutan,Sungai,Laut,Wisata Alam,Koperasi,Petualangan,Indonesia,Pecinta Alam,Wisata Petualangan,Wisata Minat Khusus

Search

Read the Text Version

DARI TANGAN PERTAMA KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT / 1KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT



DARI TANGAN PERTAMA KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

DARI TANGAN PERTAMA KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT Pimpinan Produksi Eko Binarso Penyunting Naskah Anastasia Pingkan Ulaan Melati Aulia Rahmi Hidayati Wahyu Adityo Prodjo Pengantar Aristides Katoppo Perancang Grafis & Tata Letak Yayak M Saat ISBN 978-623-96563-0-0 155 x 210 mm, ii + 236 halaman Tahun Terbit 2021 Diterbitkan oleh: KOPI SETARA (Koperasi Sentra Wisata Alam Nusantara) Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.

LANGKAH AWAL “Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahi dan jangan takut melangkah, hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya.“ – SOE HOK GIE – Setiap langkah kaki yang dijalani pasti memiliki cerita penuh makna yang tak terlupakan, dan akan semakin bermakna jika cerita itu direkam dalam catatan nyata yang kemudian akan menjadi pusaran pengetahuan yang sangat berharga bagi peminat petualangan dari masa ke masa. Dari Tangan Pertama, merupakan sekumpulan catatan nyata kisah perjalanan yang langsung dituangkan oleh para pecinta alam yang telah berpetualang menikmati keindahan tanah air dan pelosok negeri hingga manca negara yang berbeda. Membaca satu per satu catatan pada buku ini, menjadikan kita mengetahui berbagai acaman dan risiko yang bahkan mengintai nyawa pada setiap langkah dan perjalanan yang dilakukan oleh para penulis. Beberapa catatan pada buku ini juga membuat kita memahami bahwa ada langkah dan perjalanan yang akan membawa pada rasa syukur, rasa takjub dan tak henti bergumam memuji ciptaan Tuhan yang begitu indah tak terkira. / 3KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh kontributor penulis, editor, penata letak, dan seluruh mitra yang bersedia membantu proses produksi buku ini. Semoga buku ini menebarkan manfaat bagi setiap pecinta perjalanan. Semoga akan ada catatan dari kisah dan cerita perjalanan berikutnya, hingga terbit buku-buku edisi selanjutnya, karena begitu banyak kisah dan cerita mengenai alam yang menginspirasi dan mengedukasi. Buku ini tentusaja tidak akan berhenti sampai di sini, karena masih begitu banyak langkah-langkah perjalanan yang akan terus dan terus dilakukan. Mari melangkah..., walau sekecil apapun. EKO BINARSO Pimpinan Produksi 4 / DARI TANGAN PERTAMA

PENGANTAR CINTAI ALAM DENGAN MENJAGA KELESTARIANNYA ARISTIDES KATOPPO BBergiat di alam bebas sudah sejak lama saya lakukan. Pertama kali waktu masih SMA di tahun 1950-an. Waktu itu kami kemping di Puncak, Jawa Barat yang sekelilingnya masih sepi dan belum banyak bangunan seperti sekarang. Suasana menjadi tambah sunyi di sore hari karena para polisi yang berjaga disitu mundur ke Posko Cimacan untuk menghindari gerombolan pemberontak Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo. Suasana menjadi tidak aman, beda sekali dengan sekarang. Ketertarikan pertama saya pada alam adalah melalui kegiatan kepanduan. Saya dapat merasakan bahwa dalam kegiatan ini terbangun semacam solidaritas dan kerjasama antarkelompok. Kedisiplinan dan ketertiban juga terbentuk dengan baik. Misalnya, disiplin menjaga kebersihan dimana camping site tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kotor, bahkan harus lebih bersih daripada saat datang. Intensitas bergiat di alam makin tinggi setelah bertemu Soe Hok Gie di Gunung Gede. Kemudian saya ikut merintis terbentuknya Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam) Cinta – dalam arti kata Asih, Asah, Asuh, yang waktu itu keanggotaannya terbatas pada mahasiswa Fakultas Sastra, / 5KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

yang sekarang berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya. Saya sendiri sudah bukan mahasiswa, karena itu status saya adalah Mapala Kehormatan. Soal pilihan nama menjadi bahasan penting kami kala itu. Ada arus yang sangat kuat yang melihat kegiatan di alam sebagai petualangan saja, bahkan semacam sikap sombong karena memperlihatkan kemahiran dan kemampuan ‘menaklukkan’ alam. Padahal nyatanya, saat bergiat di alam kita sesungguhnya menaklukkan diri sendiri supaya tidak sombong dan selalu rendah hati. Tapi cinta alam juga tak lepas dari cinta pada sesama manusia yang ternyata sangat beragam. Saat bertemu masyarakat di Jawa Barat, akan beda rasanya dengan masyarakat di Jawa Tengah, Lampung, atau Papua. Karenanya, dengan kegiatan di alam kita akan mengenal tanah air berupa ragam alam dan manusianya. Bagi saya, kenikmatan terbesar adalah ketika jalan-jalan bersama Soe Hok Gie ke Mandalawangi. Yang kami nikmati adalah kesunyian dan keheningan alam di sana yang memberi pencerahan dan harapan pada jiwa raga. Saya kira prakarsa untuk menyusun dan berbagi cerita serta kisah berjalan di gunung, sungai, hutan dan pantai ini patut disambut dengan baik. Salah satu kenikmatan dalam perjalanan di alam adalah saat kita berbagi cerita suka dan duka. Kadang penderitaan yang kita alami, tapi kemudian lewat duka derita semacam itulah terjadi penguatan karakter. Pengalaman di alam menjadi cemeti bagi pembentukan karakter yang tangguh ke depannya. Ketika terjadi masalah yang menuntut keberanian, pengorbanan, mengatasi ketakutan, mengurangi kesulitan untuk menolong dan membantu teman yang mengalami musibah atau kecelakaan, akan menempa batin, karakter kita. Jadi buat saya, salah satu ciri pecinta alam adalah dia tidak serakah dalam arti kata hanya menikmati keindahan untuk diri sendiri. Dia akan membagi-bagi segala yang ditemui kepada kelompok yang namanya pecinta alam. Dan bercerita seperti dalam buku ini adalah salah satu bentuknya. CINTAI ALAM, KELOLA SAMPAH Sekarang ini alam kita mengalami stres luar biasa, salah satunya adalah soal sampah plastik yang sudah jadi ancaman bagi kelestarian hidup di bumi. Di hutan, jalan setapak pun menjadi jalurnya sampah. 6 / DARI TANGAN PERTAMA

Dulu dengan beberapa teman saya bikin lomba membersihkan gunung, tapi kelihatannya kita selalu gagal atau nyaris kalah menghadapi banjir berbagai barang buangan itu. Ini tantangan yang harus dipikirkan oleh komunitas pecinta alam, jangan hanya perhatian individual. Kita masing-masing harus bisa tidak meninggalkan sampah sedikitpun. Tantangan buat generasi sekarang adalah bisakah memelihara atau membersihkan kotoran-kotoran yang terjadi sangat deras belakangan? Lihat saja sungai-sungai dan pantai-pantai kita yang tidak lagi bisa dikatakan bersih. Padahal dalam kata cinta alam mestinya termasuk unsur merawat, memelihara, dan menjaga kelestarian serta keberlanjutannya. Dengan begitu, adik-adik, putra-putri, dan cucu-cicit kita masih bisa menikmati keindahan alam yang jangan dirusak oleh generasi kita sekarang ini. Saya tidak mau pesimis, tapi tantangan dunia sekarang adalah menghadapi yang disebut ecological disaster, bahkan musibah atau punahnya manusia karena ulahnya sendiri. Kalau bicara menaklukkan alam, maka sesungguhnya yang harus ditaklukkan adalah keserakahan dan kesombongan kita sendiri. / 7KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

DAFTAR ISI 12 KEMBALI ESOK HARI ADRIE CHARVIANDI 17 HANYUT DUA KILOMETER AGUS MULYONO 24 ANTARA AKU, SANDE, DAN MOLLY AMALIA YUNITA 31 ROMANSA INDAH NEGERI DI ATAS AWAN AMIN ALHASANI 37 CILIWUNG: ANTARA PETUALANGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ARI PURWANTO 43 BERSEPEDA MENGISI JIWA ARISTI PRAJWALITA MADJID 44 CERITA BIASA PERJALANAN SUMBING AYU RISMAYANTI AGUSTIN 63 MAMBERAMO: CINTAKU PADA PAPUA AZHARI FAUZI 70 ALAMAT SOKOLA RIMBA KAMI BUTET MANURUNG 81 HARIMAU JAWA MEMANGGILKU DIDIK RAHARYONO

87 NAFTALI SI PENYELAMAT DARI WAMESA EKO BINARSO 96 SAYA DAN SUNGAI, KAMI BERSAHABAT INGE SIANTURI 101 MENEBAR MIMPI DI DALAM PERUT BUMI IRFAN RAMDHANI 107 DOWNHILL CHALLENGE: TANTANGAN SAMPAI DETIK PENGHABISAN JACK JACOBS 116 PENANTIAN PANJANG CARSTENSZ PYRAMID JAMALUDIN 122 MENGAYUH DARI JAKARTA KE JOGJAKARTA KALVARI SITUMORANG 131 TRIP SINGKAT KE CILETUH MEMULIAKAN BUMI UNTUK MENYEJATERAKAN MASYARAKAT MUHAMMAD HAFIDH FERRYNO 136 MENGUJI KESABARAN DI ACONCAGUA SI GUNUNG SETAN NUR WAHYU WIDAYATNO 146 KAYAK VS OMBAK BATU KARAS PRIYO UTOMO LAKSONO 151 KEINDAHAN TERSEMBUNYI DARI LEMBAH MASURAI RAHMAN MUKHLIS 160 MENDAKI BERKEBAYA RAHMI HIDAYATI

166 PERJALANAN DI PENTECOST, VANUATU RIDWAN GUSTIANA 171 PENGALAMAN HIPOTERMIA RONIE IBRAHIM 174 YAKIN, LO! YUK, NANJAK RUDI NURCAHYO 179 MENERUSKAN HASRAT BERPETUALANG SOFYAN EYANKS 190 TERSESAT DI BELANTARA KALIMANTAN SONNY SUPRIYADI 198 MENUJU PEUCANG DI UJUNG KULON SULISTYA PRIBADI 203 LAMALERA PERJALANAN SANG PEMIMPI TITA LUVIA 212 MENJELAJAH KETIDAKNYAMANAN VASSILISA AGATA 218 8 HARI BERGELUT DENGAN KETAKUTAN WAHYU ADITYO PRODJO 225 MENDAKI MOUNT BLANC WIEYANTO SOEHARDJO 234 PERJALANAN MENDAKI GUNUNG SEMERU YULIA NINGSIH



KEMBALI HARI ESOK ADRIE CHARVIANDI HHari itu hati merasa terguncang ketika mengetahui sang kekasih akan dipinang orang. Tapi apa daya, ini sudah kehendak sang kuasa. Tak dapat ditolak apalagi menghindar. Maka terpikir untuk pergi sejenak menghilangkan penat dalam otak dan hilangkan sesak dalam dada. Terbesit lokasi yang dari dulu ingin disinggahi dan dikunjungi. Lokasi yang memang pernah diinginkan untuk ku tapaki yaitu 3S, Sindoro, Sumbing, Selamet. Menjelang akhir tahun 2009 itu, aku mulai merencanakan untuk pergi sendiri. Hanya satu orang yang aku kabari, yaitu teman karib di kampus, satu angkatan di organisasi dan sudah seperti saudaraku sendiri. Aku mengajaknya untuk ikut serta dalam perjalanan namun dia menolak. Akhirnya aku tiitipkan uang kalau dia berubah pikiran lalu memutuskan untuk menyusulku. Aku berangkat menuju lokasi menggunakan bis namun singgah dulu ke beberapa tempat. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, ketika mampir ke sekolahku dulu. Saat bernostalgia itu, telepon selularku berdering, memecah kenangan yang sedang ku telusuri. Ternyata teman karibku mengabari akan menyusul menemani. Dimintanya aku menunggu dan tidak boleh mendaki kemanapun sampai dia datang. 12 / DARI TANGAN PERTAMA

Sambil menunggu si teman muncul, aku bereskan perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan, mengecek kembali semua keperluan dan menyiapkannya. Kali ini aku ingin merasakan yang namanya perjalanan di malam hari seakan-akan hanya aku dan alam saja tanpa ada yang lain. Namun ternyata temanku merapat dengan membawa dua kawan lain. BERPUTAR TAK TENTU ARAH Setapak demi setapak jalan menuju pintu hutan kami lalui, diiringi sapaan demi sapaan orang sekitar, hingga kami sampai di jalur di mana lampu-lampu tak lagi menerangi jalan. Bermodalkan senter dan terangnya bulan, kami menapaki jalur pendakian melalui kebun-kebun warga dan hutan bambu. Malam itu terasa sedikit aneh karena jalur yang kami tapaki mulai bercabang tidak jelas arahnya, menyebabkan kami terus berputar-putar mencari pintu masuk hutan yang dituju. Sampai pada akhirnya salah seorang dari kami terperosok ke dalam lubang yang cukup dalam. Beruntung dia masih bisa berpegang kepada mulut lubang sehingga kami dapat membantu menarik dan mengangkatnya untuk keluar. Karena kejadian itu kami terpaksa mengambil keputusan untuk istirahat. Ternyata perjalanan ini cukup melelahkan. Kami membuat air hangat dan makan. Tak lama kemudian salah seorang dari kami memintaku mengecek lokasi tempat kami beristirahat untuk mengetahui dimana sebenarnya posisi pintu masuk tersebut. Aneh bin ajaib ternyata pintu masuk yang dimaksud ada di belakang lokasi kami beristirahat. Kami hanya bisa tertawa sambil bertanya-tanya, “Kok, bisa ya, pintu itu nggak kelihatan?” Setelah istirahat kami pun langsung berangkat. Dengan semangat baru, kami awali perjalanan. Sambil menapaki jalur kami cari sumber air karena persediaan yang mulai menipis akibat berkutat dalam pencarian pintu masuk tadi. Awalnya kami perkirakan pendakian ini, dari naik ke atas gunung hingga kembali pulang, akan ditempuh kurang lebih 12 jam. Ini berarti sekitar subuh kami sampai ke puncak dan tengah hari sudah kembali berada di perkampungan di bawah. Namun rupanya tak semulus itu perjalanan kami ini. Ada saja kejadian yang membuat kami berputar-putar atau harus berhenti lama. Kenyataannya, kami masih jauh dari puncak kendati sudah mendaki selama 12 jam. Di tengah hari itu awan hitam berdatangan menutupi langit. Angin berhembus kencang saling bersahutan, dan udara mulai terasa dingin. Ini tanda-tanda akan turun hujan. Namun, tak disangka / 13KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

bukan hanya sekedar hujan yang turun, petir dan badai pun ikut mengiringi perjalanan kami. Mendekati puncak, dua teman memutuskan berhenti dan menunggu di pos. Saat itu jalur pendakian yang semakin menanjak dipenuhi bebatuan. Untuk sampai di atas, kami juga harus melewati tebing yang sedikit curam dan licin. Kabut tebal yang menyelimuti seputaran puncak gunung menambah tantangan karena jarak pandang semakin terbatas. Aku dan seorang teman harus berjibaku dengan angin kencang dan kabut tebal. Situasi tersebut membuat kami berdua merasakan kelelahan yang sangat. Namun kami punya tekad yang kuat untuk dapat mencapai puncak. Akhirnya tanah tertinggi Gunung Sindoro itu berhasil kami tapaki kendati kecewa karena pemandangan indahnya tertutup kabut tebal. Tak lama berselang telepon kami berdering. Tak disangka ternyata di atas sana bisa mendapatkan sinyal telepon. Teman kami yang berada di pos bawah menginformasikan bahwa badai sedang datang menerjang. Kami kaget dan bergegas turun menemui teman-teman di pos bawah agar dapat turun dan menghindari badai tersebut. Langkah demi langkah kami ayun dengan cepat. Kami berjalan sambil bersembunyi di balik bebatuan besar yang berada di jalur pendakian, demi menghindari terpaan badai yang menerjang. Kami terjatuh, terguling, bangkit lagi, kembali berjalan dan kemudian berlari berpacu dengan badai dan waktu yang semakin sore. Perasaan lelah tak terasa sedikitpun karena lebih khawatir terjebak badai angin dan gelapnya malam. Akhirnya kami memasuki batas vegetasi hutan dan berjalan tenang kembali karena badai sudah tak terasa dan perkampungan sudah semakin dekat. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil memanaskan air untuk menghangatkan tubuh yang terasa dingin akibat terpaan angin dan hujan sebelumnya. Setelah berasa nyaman, kami melanjutkan perjalanan menuju pintu hutan. Tapi karena kaki mulai terasa berat, aku beristirahat sejenak di tikungan dekat jembatan ke arah perumahan warga. Teman- teman yang lain mengajak aku untuk kembali berjalan menuju camp dimana kami menaruh barang dan akan beristirahat malam ini. Tapi aku merasa perlu beristirahat sejenak sehingga mempersilakan mereka jalan duluan. Tak berselang lama, kabut mulai turun dan gelap malam menyelimuti seiring dengan hilangnya teman-teman dari pandanganku. Setelah merasa sudah lebih baik aku melanjutkan perjalanan untuk menuju camp tanpa penerangan karena merasa sudah berada dekat dengan pemukiman warga. 14 / DARI TANGAN PERTAMA

KAMPUNG YANG HILANG Perasan aneh mulai menyelimuti hati. Situasi sekeliling yang tadinya terang sekarang berubah redup membuat perasaan mulai tak menentu. Rute perjalanan menuju lokasi camp terasa aneh karena suasananya tidak sama saat naik tadi. Aku berjalan dan terus berjalan mengikuti jalur yang ada, menuju bawah. Sekeliling ku berasa sangat sepi dan sedikit mencekam. Akhirnya aku putuskan untuk bertanya kepada warga yang kutemui soal lokasi basecamp yang aku tuju. Menurutnya, aku tinggal mengikuti jalan yang sedang aku lalui itu. “Terus saja. Sudah dekat,” katanya. Saat bercakap-cakap itu kembali muncul pertanyaan yang tak terjawab. Seingatku, sepanjang jalur yang kulalui, tidak ada pabrik tahu. Tapi kenapa lelaki yang ku tanyai ini katanya sedang kerja di pabrik tahu? Rumah di kiri-kanan jalan memang menunjukkan tanda-tanda seperti tempat mengolah kedelai. Berbagai peralatan di situ memperkukuh penjelasan soal itu. Duh, jangan-jangan aku kehilangan arah. Tapi keheranan itu tak membuat aku berhenti, malah sebaliknya membuat aku terus berjalan dan terus berjalan sampai akhirnya aku putuskan untuk beristirahat kembali. Kali ini berhenti di depan rumah warga dan meminta izin pemilik rumah untuk beristirahat sejenak disana. Dia mempersilakan aku duduk dan istirahat di teras rumahnya. Aku disuguhi air hangat dan dipinjamkan selimut. Akhirnya aku tertidur dan tak terasa hari sudah pagi. Ketika terbangun dengan diselimuti kabut, aku sungguh terkejut melihat keadaan di sekitar ku. Kaget sekali ketika menyadari bahwa teras rumah yang aku tempati ternyata hanyalah gundukan tanah di depan rumah kosong yang hanya tersisa sebagian bangunannya saja. Tak mau berlarut dalam pikiran yang aneh-aneh, aku melanjutkan perjalanan menuju basecamp. Sepanjang kaki melangkah, pikiran tak bisa lepas dari kejadian semalam dan pagi ini. Sungguh tak kusangka, ternyata basecamp tersebut tak jauh dari lokasi tempat aku beristirahat. Reaksi teman-teman membuatku mengernyitkan dahi. Mereka tercengang dan merasa heran melihat kondisi ku yang tak kekurangan apapun. Yang pasti wajah mereka teramat sangat lega karena akhirnya kami berkumpul kembali. “Kalau ditanya, bilang aja kemarin sore langsung pulang, terus pagi ini balik lagi ke sini. Biar penjaga basecamp tidak curiga,” kata salah satu teman setelah aku ceritakan pengalaman semalam. Ah, memang sebaiknya kami simpan saja kisah yang tak biasa itu. Kalau ada yang / 15KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

dengar bisa-bisa mereka menganggapku aneh atau jadi takut mendaki melalui jalur ini. Yang penting hati sudah lega bisa kembali pulang ke Jakarta, walaupun masih tetap sedih karena perempuan idaman akan menjadi milik orang. Satu hal yang kusimpan dari perjalanan kali ini, bersahabat dan berprasangka baiklah pada alam, maka alam akan menjagamu. ADRIE CHARVIANDI Lahir di Jakarta tahun 1986, masuk Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas Moestopo (Beragama) tahun 2004, mantan Ketua Umum Perhimpunan Pendaki Gunung dan Penempuh Rimba AGRAWITAKA, saat ini melanjutkan S2 Magister Manajemen di universitas yang sama. Keseharian bergelut dengan isu lingkungan dan bergabung dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta sebagai Dewan Daerah, selain itu sebagai Research Associate di INSWA (Indonesia Solid Waste Association). Hobi travelling, panjat tebing, mendengarkan musik. 16 / DARI TANGAN PERTAMA

HANYUT DUA KILOMETER AGUS MULYONO JJum’at sesudah Magrib, di akhir minggu awal tahun 1979, Herman Lantang, Sinarmas Djati, Henry C Walandouw, Sachlan Salehan biasa dipanggil Lelon, Norman Edwin, dan saya, berkendaraan Datsun van (datvan) dari sekretariat Mapala UI di Asrama Pegangsaan Timur (PGT) 17 Jakarta. Kami bergegas ke rumah Pak Ook, warga Cibodas, yang sering digunakan sebagai tempat transit sebelum mendaki Gunung Gede Pangrango di kawasan wisata alam Cibodas, Kabupaten Cianjur. Di atas atap datvan diletakkan perahu karet merk Avon yang telah dipompa, diikat kuat. Peralatan dayung dan logistik lain teronggok di bagasi mobil. Tiba di Cibodas, sekitar pukul 21.00, hujan tengah turun dengan derasnya. Kami segera masuk ke dalam rumah penginapan, dan melahap hidangan makan malam yang disediakan Bu Ook. Ada nasi, lalapan, sambal, ikan asin, tempe tahu, plus goreng ikan gurame. Setelah perut kenyang, kami isi malam dengan ngopi dan kongkow- kongkow soal rencana menyusuri sungai dan mengemas logistik untuk / 17KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

besok pagi. Pak Ook menginfokan bahwa setiap malam dalam seminggu belakangan hujan turun cukup deras, seperti malam ini. Prediksi saya tinggi muka air (TMA) sungai Citarum akan jauh di atas normal. Risiko dan konsekuensi TMA tinggi menjadi obrolan menjelang tidur. Sinar menegaskan, bila besok TMA terlalu tinggi maka pengarungan ditunda. CITARUM YANG MELEGENDA Bicara soal Citarum, memori langsung terbang ke kejadian tahun 1975 dan 1977. Ketika itu nama Citarum Rally yang diselenggarakan Wanadri mendadak mencuat kepermukaan. Isu ini jadi obrolan utama, baik lokal maupun nasional, lantaran TVRI dan koran-koran kencang memberitakan perihal persiapan dan pelaksanaan yang menelan korban 11 orang tewas. Terlepas berita-berita miring yang beredar, tak dapat dipungkiri bahwa menggulirnya pelaksanaan dua kegiatan tersebut berkontribusi penuh pada embrio berkembangnya arung jeram di Indonesia. Lintasan Citarum Rally ditetapkan panitia dari garis start di bawah jembatan Raja Mandala, Kabupaten Bandung hingga finish di area Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta. Rute tersebut dibagi menjadi tiga etape yaitu Raja Mandala-Bayabang (hari ke-1), Bayabang-Warung Jeruk (hari ke-2), dan Warung Jeruk-Jatiluhur (hari ke-3). Setelah itu, pada periode 1978-1987, anggota Mapala UI dan juga teman-teman sehobi di Wanadri, Bandung memberdayakan jeram-jeram sungai Citarum. Lintasan Raja Mandala-Warung Jeruk, dipilih jadi tempat berdayung dari level pemula hingga pelatih. Namun sejak berfungsinya waduk Cirata, Kabupaten Cianjur pada 1988, lintasan Raja Mandala- Warung Jeruk tersebut tak lagi dapat dinikmati. Jeram yang tadinya asyik dipakai menyalurkan hobi, sudah menjadi flat. Syukurnya kami diberi kesempatan menikmati debaran jantung yang tak henti sejak mempersiapan pengarungan di tahun 1978 itu. Saya dan Norman berstatus yunior dibanding anggota tim lainnya karena belum dua tahun tercatat sebagai anggota Mapala UI. Namun kami berdua sudah punya sedikit pemahaman mengenai arung jeram karena memang belajar, menekuni, dan menggeluti bidang ini. Pertemuan pecinta alam yang dinamakan Gladian ke-4 di Citatah, Bandung, pada Mei 1978, makin membuka mata dan hati kami. Sebelumnya saya, Norman, Sinar, dan Herman rutin berlatih arung jeram di bekas lintasan Citarum Rally ini. Sinar adalah guru dan mitra diskusi saya. Sumber pengetahuan lain saya gali dari buku-buku dan 18 / DARI TANGAN PERTAMA

artikel-artikel arung jeram terbitan Amerika, Eropa, dan Selandia Baru. Ah, malam itu kami lewati di bawah guyuran hujan yang tak henti dan hawa dingin yang membuat tubuh meringkuk rapat. Sabtu pagi, sekital pukul. 09.00 kami bergeser dari rumah penginapan Pak Ook di Cibodas ke lokasi start pengarungan sekitar jembatan Raja Mandala Bandung. Akumulasi curah hujan yang tinggi selama seminggu belakangan ini, tercermin pada papan pengukur angka TMA yang terpasang di bawah jembatan. Astaga, tinggi muka air ada di angka 100. Padahal TMA pengarungan-pengarungan sebelumya paling tinggi 60- 70. Sinar, Norman dan saya sepakat bahwa hari ini batal turun ke sungai karena berbahaya untuk keselamatan tim. Keesokannya, sekitar pukul 09.00 WIB kami sudah tiba kembali di jembatan Raja Mandala. Awan putih mengindikasikan cuaca yang cerah. Sinar, Norman dan saya turun ke tepi sungai dan mendekat ke papan pengukur angka TMA. Permukaan air masih sama seperti kemarin, menyentuh angka 100. Kulirik Sinar yang tetap diam dengan wajah tersenyum penuh makna. Norman nyeletuk sambil nyengir, “Pengen banget jajal pengarungan pada kondisi air banjir.” Saya mengamati alur air yang mengalir dengan arus lumayan kencang. Pandangan mata 200 meter ke hilir tertumpu pada buih air yang memuncrat ke atas permukaan sungai. Ini tanda bahwa hempasan gelombang dan ombak tinggi membentur dinding batu dengan kuat. Ciut hati saya karena sebelumnya arus air tak pernah secepat dan sekuat sekarang ini. Jiwa rasanya tercabut dari raga ketika pikiran kosong dan menerawang entah kemana. Saat itu, saya dan Norman belum pernah mengalami atau mencoba pengarungan dengan TMA tinggi dan banjir pula. Maka bila pagi ini diputuskan pengarungan tetap dilaksanakan, maka akan menjadi pengalaman pertama bagi kami, juga senior lainnya. Lain hal nya dengan Sinar yang berasal dari Dayak Kalimantan Timur. Dia sudah terbiasa dengan gelombang dan ombak tinggi pada pengarungan di hulu-hulu Sungai Mahakam. Tiga senior, yakni Herman, Henry dan Lelon, meski pengetahuan arung jeramnya minim, memiliki semangat, tekad dan mental sekuat baja. Luar biasa. Wajah mereka tak sedikitpun menampakan kegentaran menghadapi kemungkinan terbalik dan hanyut. Tak ada di benaknya pikiran untuk undur diri, balik kanan dan membatalkan pengarungan. Sinar yang berdiam lama kemudian menyentak keraguan dan kebengongan saya. “Jam 10 kita mulai pengarungan di lintasan Raja / 19KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Mandala-Bayabang. Durasinya antara dua hingga empat jam,” ujarnya. Dan kami pun beranjak bergabung dengan yang lain untuk memulai briefing terkait pengarungan dan penyelamatan. ALAM TAK TERPREDIKSI Tujuan awal kami ke Citarum adalah wisata arung jeram. Lantaran kondisi TMA tinggi dan banjir, kegiatan ini sudah bukan lagi sekedar wisata, tetapi tergolong katagori pengarungan tingkat lanjut. Batuan yang membentuk jeram-jeram yang sering kami lewati pada TMA 60-70 tak tampak lagi karena telah berubah menjadi gelombang tinggi dan ombak yang besar di tengah alur sungai. Saya perkirakan, dengan komposisi tim yang tidak seimbang secara pengetahuan dan bobot badan, akan repot mengendalikan manuver dan arah perahu. Berat empat anggota tim yang berlebih pastinya membuka peluang dan berpotensi membuat perahu menjadi obyek tak berdaya dihantam hempasan dan tekanan gelombang. Probabilitas perahu terbalik menjadi tinggi. Perihal ini saya sampaikan kepada Sinar dan responnya, “Nggak apa- apa Gus, hitung-hitung sekalian praktek penyelamatan individu dan tim. Kapan lagi jajalin karakter jeram-jeram dengan air tinggi dan banjir kalau bukan sekarang,” sahutnya. Kepada anggota tim, Sinar mengingatkan bahwa kami yang sudah berkali-kali mengarungi Citarum belum pernah ngalami kondisi TMA setinggi dan sebanjir seperti sekarang. Karena itu, bila perahu terbalik kemungkinan kami semua akan hanyut jauh. Sekitar 15 menit menjelang pengarungan, kami berdiri mengelilingi perahu. Di bagian dalamnya terletak dua karung plastik hitam berisi makanan yang diikat kuat ke badan perahu. Terlihat juga dayung utama, dua dayung cadangan, pelampung, tali kernmantel, dan pompa. “Usahakan selalu posisi badan dan kepala mengarah ke depan atau ke hilir. Pegang erat-erat tali yang diikat di sekeliling perahu, jangan sampai lepas. Satu tangan yang lain pegang dayung supaya tidak hanyut dan hilang. Angkat kedua kaki menyentuh perahu serta perhatikan apakah anggota tim lengkap atau tidak,” kata Sinar mengingatkan. Saat itu disepakati bahwa tugas Sinar, Norman dan saya adalah melompat ke atas perahu yang terbalik secara bergantian, kemudian dengan cepat berusaha membalikkannya ke posisi semula. Sesudah itu semua naik ke perahu. Bila gagal, ikuti saja perahu menghanyut dengan berpegang tali erat-erat. Itulah yang dapat kami lakukan, selebihnya 20 / DARI TANGAN PERTAMA

pasrah dan berdoa. Sebelum briefing ditutup, dengan ekspresi kuatir saya bertanya, “Bagaimana dengan Herman yang nggak bisa berenang? Bagaimana seandainya perahu terbalik dan Herman terlempar ke luar tanpa sempat berpegangan pada apapun, kemudian tergulung ombak dan hanyut?” Herman berkilah, “Kita beberapa kali terbalik ketika melakukan pengarungan di sungai ini, tapi gue nggak pernah lepas dari perahu karena secepatnya pegang tali erat-erat dan selamat.” Lalu Sinar menimpali, “Sebenarnya dari tadi gue berpikiran seperti Agus juga. Solusi spesial untuk Herman, nggak usah memikirkan untuk menyelamatkan dayung. Segera saja selamatkan diri, pegang tali atau pegangan lain diperahu.” Saya belum merasa mantap dengan solusi Herman dan Sinar karena belum menjawab 100% kekuatiran saya. Bagaimana pun kecepatan hempasan gelombang dan ombak tinggi yang kuat kemungkinan bisa melebihi kecepatan reflek Herman. Argumen Henry akhirnya menutup briefing, “Gus, sepertinya Sinar menjamin keselamatan Herman. Tentunya kita juga berdoa mohon keselamatan dariNya.” Yang terpenting, lanjutnya, kita paham dan sudah mengantisipasi bahwa selain kita lakukan penyelamatan diri juga memperhatikan keselamatan Herman, sebagai bagian tak terpisahkan dari tugas penyelamatan tim. Norman dan Lelon diam tak berkomentar. Ini tanda bahwa mereka paham dan setuju dengan inti bahasan briefing. MENGUJI NYALI DAN BERSERAH DIRI Tepat jam 10, perahu diangkat dan diturunkan ke tepi sungai. Satu demi satu masuk, menempati posisi masing-masing. Dari enam anggota tim, saya dan Lelon relatif berbadan kecil, sementara yang lain besar- besar. Ketika berlima sudah duduk di dalam, tampak tigaperempat badan perahu tenggelam. Ini indikasi bahwa bobot anggota tim berlebih dan tidak sebanding dengan kapasitas perahu. Biasanya hanya sepertiga bagian yang berada di bawah permukaan air. Begitu tali tambat saya lempar ke perahu, saya bergegas melompat dan duduk di posisi sebelah kanan. Sinar di belakang dan Herman di depan saya. Sebelah kiri, dari depan ke belakang masing-masing Henry, Lelon, Norman. Perahu didayung mundur, stop, belok kanan. Kemudian didayung maju sekitar 100 meter, mengarah ke posisi tengah lidah air. Sinar sebagai skipper tunggal, hemat, dan pelit berkomentar atau / 21KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

memberi komando. Dia bicara seperlunya saja, menganggap semua sudah paham tugas dan fungsi masing- masing. Perahu yang awalnya serong ke kanan, menjadi lurus menjelang masuk ke ujung tengah lidah air. Hempasan gelombang besar dan ombak tinggi tak membuat perahu terangkat naik karena kelebihan berat penumpang. Akibatnya air menggenang di dalam. Lalu terasa sedotan ombak menarik perahu ke depan dengan cepat, diayun dan dihempas lagi dengan keras. Herman dan Henry sebagai pendayung di bagian depan melorot ke belakang dari posisi duduknya. Mereka menggeser dan menggencet semua anggota pendayung sehingga menumpuk di bagian belakang. Tiba-tiba perahu berdiri tegak lurus, berputar ke kanan, dan terbalik. Semua anggota tim, kecuali Sinar, berada di bawah tertutup perahu. Melewati satu punggungan gelombang, kami bermunculan satu demi satu. Satu tangan memegang tali sekeliling perahu, satu tangan lagi memegang dayung. Herman yang muncul tanpa memegang dayung, segera meraih tali pengaman. Lelon terlepas dari perahu, tapi dengan cepat Sinar menyodorkan dayung yang segera diraih Lelon sehingga dia selamat. Kami ikuti perahu yang dihempas gelombang tinggi, kuat dan bergerak ke arah yang tak terprediksi. Sepanjang hanyut, perahu rata- rata berada di tengah punggungan gelombang yang tinggi dan besar. Dan ketika perahu ditarik atau didorong ombak ke depan, badan terasa seperti ditarik kuda yang berlari kencang. Kami berulang-ulang diayun ke atas lalu ditarik ke depan. Lelah dan pasrah. Berulang kali Sinar, Norman, dan saya melompat ke atas perahu terbalik, dengan harapan dapat mengembalikan posisinya. Tapi lantaran hempasan ombak yang besar dan kuat itu, usaha kami selalu gagal. Baru sekitar dua kilometer dari titik awal perahu terbalik, kondisi gelombang sungai berubah membaik. Sinar bergegas melompat dan berenang menepi ke sebelah kanan. Dia berdiri ibarat tiang anchor menahan perahu agar berhenti. Sedikit demi sedikit tali kami tarik dan kemudian ditambatkan di tepi sungai. Lalu Herman meminta semua berkumpul memanjatkan doa syukur, dilanjut beristirahat selama satu jam. Sambil melahap penganan kecil, sebagian kami merebahkan badan di atas perahu dan sebagian lagi di atas batu di tepi sungai. Sesudah itu pengarungan dilanjut hingga mencapai target finish di jembatan Bayabang. Heran, sesudah terbalik dan hanyut, kinerja dan koordinasi 22 / DARI TANGAN PERTAMA

anggota tim menjadi kompak mengikuti instruksi skipper. Pengarungan tuntas pukul dua siang. Semua selamat dan bisa bernapas lega. Kami menyadari bahwa terbalik dan hanyut hingga dua kilometer pada TMA tinggi dan banjir merupakan bagian materi tak terpisahkan dari rencana dan pelaksanaan ekspedisi arung jeram tingkat menengah dan atau lanjut. Di sini mental dan nyali diuji, kemampuan teknis dipraktikkan dan koordinasi kerjasama tim diupayakan. Latihan seperti ini selalu berpeluang diwujudkan di sungai-sungai berjeram di manapun, kapanpun dan oleh siapapun, baik di Indonesia maupun belahan bumi lainnya. AGUS MULYONO (1953 - 2019) Anggota Mapala UI pegiat arung jeram dan sangat memberi perhatian pada pekembangan arung jeram di Mapala UI khususnya dengan menjadi pelatih bagi tim yang akan bertanding. Agus Mulyono meninggal pada saat berarung jeram bersama anggota muda Mapala UI di Sungai Citarik, Jawa Barat, karena sakit. / 23KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

ANTARA AKU, SANDE, DAN MOLLY AMALIA YUNITA PPagi 16 Januari 2017, kudengar berita, museum Bahari terbakar. Lantas ada rasa gelisah hinggap di pikiranku serta doa, “Ah, semoga dia tak apa-apa.” Kupaksa anakku membawaku melawan kemacetan Jakarta untuk sekedar memasikan dia tak apa. Dan ketika tiba di Museum Bahari, aku dihalangi masuk. Mungkin karena hari sudah gelap. Kutemui kepala museum dan, ah, syukurlah Perahu Sande putih itu tak punah. Hanya sedikit tergores reruntuhan. Pertemuanku dengannya dimulai dari ide yang dilontarkan pelaut ulung almarhum Effendi Soleman yang biasa kami panggil Bang Pendi. Di awal tahun 1990an, Aranyacala Trisakti, klub pencinta alam tempatku menimba ilmu, mulai mengembangkan divisi bahari. Beberapa kali kami melakukan perjalanan ke Pulau Seribu bersama almarhum sambil belajar tentang dunia bahari. Dalam perjalanan itu, almarhum menantang kami untuk melakukan ekspedisi membawa Perahu Sande dari Pare-pare dan memberikannya pada Museum Bahari. 24 / DARI TANGAN PERTAMA

Niatnya serius, terbukti dengan membawa kami berkunjung ke museum yang terletak di pasar ikan. Begitu masuk museum, ada banyak pertanyaan yang mengiang di dalam benak dan rasa prihatin yang sangat di dalam hati. Mengapa kita negeri bahari, tapi museumnya sesederhana ini? Kata lagu jaman kita kecil dulu, “Nenek moyangku orang pelaut.” Lalu apa hanya ini yang tersisa? Perasaan terusik tadi, menjadikan semangat terus membara untuk mewujudkan ekspedisi dengan misi menambah koleksi Museum Bahari. Perahu cadik putih khas Sulawesi Selatan, yaitu Perahu Sande, akan kami pindahkan kesini. Teddy, Yasin, dan Imam akan ikut dalam pelayaran yang dimulai Agustus 1991 untuk mencari Perahu Sande bekas di Ujung Lero, Sulawesi Selatan. PANGGILAN HATI Sahabat-sahabat kami dari Korpala Universitas Hasanudin ikut serta membantu di lokasi. Bahkan Reo, salah seorang dari mereka, ikut mengantar Sande sampai Jakarta. Aku sendiri awalnya tidak masuk dalam tim ekspedisi. Waktu itu Aranyacala Trisakti sedang mepersiapkan ekspedisi penelusuran goa di Serawak. Sebagai Ketua Umum, aku dibutuhkan untuk ‘menjaga kandang’ di Jakarta. Entah mengapa, hati dan pikiranku terus terganggu dengan eskpedisi ini. Ada kecemasan tidak beralasan bahwa aku harus ikut menjaga adik-adik ku, padahal keahlianku di dunia bahari ini tak seberapa. Suatu hari, kami mendengar kabar bahwa cadik perahu patah saat menyeberang dari Sulawesi ke Kalimantan sehingga harus merapat ke Banjarmasin untuk diperbaiki. Saat itulah aku memutuskan untuk terbang ke Banjarmasin dan bergabung bersama tim ekspedisi dalam perjalanan selanjutnya. Perkenalanku dengan Perahu Sande dimulai dari sini. Perahu Sande ini berasal dari pohon damar yang dilubangi tengahnya selebar 90 cm untuk palka. Kiri kanan nya terdapat cadik yang diikat pakai rotan. Di Ujung Lero, semua Perahu Sande dicat dengan warna putih. Konon pada jaman Belanda perahu ini digunakan untuk menyelundupkan senjata karena tidak terdeteksi radar. Kalau diteliti lebih jauh, memang pembuatan kapal ini tidak menggunakan paku, ke empat cadiknya diikat menggunakan rotan, mungkin ini yang jadi penyebabnya. Ketika tim berpamitan dengan tokoh adat di Pare-pare, diutarakanlah bahwa akan ada satu perempuan yang akan bergabung dalam ekspedisi ini. Para Ketua Adat langsung melarang karena tidak / 25KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

boleh perempuan sendirian ikut berlayar dalam perahu. Setelah terus dinego, akhirnya mereka ijinkan dengan syarat aku harus menggunakan peci sepanjang jalan dan harus membawa ayam betina sebagai teman. Itulah pertemuan pertamaku dengan ayam betina yang akhirnya aku beri nama Molly, diambil dari nama tokoh utama perempuan dalam film Ghost yang saat itu sedang populer. Mulai perjalanan keluar dari Muara Barito, perahu diombang ambing begitu keras, hingga cadiknya patah dan terdapat beberapa kerusakan. Akhirnya perjalanan tertunda dan kapal singgah untuk diperbaiki. Mental tim sempat down saat itu, perjalanan terjauh yang akan ditempuh adalah menyeberang dari Kalimantan ke Jawa, belum lagi mulai menyeberang, perahu sudah bermasalah. Di saat kecemasan melanda, tiba-tiba saja perahu kelotok datang menghampiri. Sosok yang muncul di perahu membuat kami semua berteriak kegirangan. “Bang Pendi!!!” Di jaman komunikasi belum secanggih sekarang, rupanya telepati yang bekerja. Buktinya Bang Pendi mencium kegelisahan dan tempat kami berada. Padahal di tengah hutan, di ujung Kalimantan. Dua hari lamanya Bang Pendi membantu kami memperbaiki perahu. Ketika kami harus berlayar kembali, beliau pun kembali pulang ke Jakarta. Ada perasaan galau ketika ‘guru’ kami tak menemani dalam sisa perjalanan. “Ini ekspedisi Aranyacala Trisakti, dan tugas saya mengantar serta mendoakan kalian. Saya yakin kalian akan berhasil. Sampai jumpa di Pulau Untung Jawa. Saya akan sambut kalian di sana,” itulah salam perpisahan kami. PEGUNUNGAN OMBAK Hari-hari pertama berlayar di laut lepas, kondisi badanku benar- benar tak kompromi. Hantaman ombak besar ketika masuk Laut Jawa membuatku mabuk. Selama dua hari aku hanya muntah dan muntah lagi. Perahu Sande ini tak beratap. Kami semua duduk, tidur dan makan di atas para-para bambu yang membentang di antara cadik depan dan belakang perahu. Kalau mau berteduh sedikit dan tidak terkena terpaan angin, kami bisa masukkan badan ke dalam lubang palka yang pas sebesar badan. Hanya saja kepala harus menghadap ke luar, supaya bisa tetap bernafas. Dari bagian depan perahu, Molly terlihat sedih memandangku, seakan dia merasakan apa yang aku alami. Pautan rasa di antara kami terasa mulai erat. Mungkin dia adalah teman sejiwaku dalam perjalanan ini. 26 / DARI TANGAN PERTAMA

Entah dalam keadaan tidur atau sangking lemasnya, aku berhalusinasi seakan-akan aku bersama teman-teman sekapal sudah di hotel yang sangat mewah dengan tempat tidur yang empuk. Dalam keadaan titik terendah itu, tiba-tiba muncul dalam benakku bahwa aku ikut ekspedisi ini untuk menjaga adik-adikku. Kalau aku terus begini, malahan menyusahkan mereka. Dan, ajaib! Tiba-tiba saja aku berhenti mual dan muntah. Ternyata apa yang ada dalam pikiran mengalahkan kelemahan fisik yang ada. Saat melewati Masalembo, kami teringat kecelakaan kapal Tampomas II yang begitu menghebohkan. Tak disangka perahu kami pun dihadang badai di sana. Untuk pertama kalinya aku merasakan berada di tengah pegunungan ombak setinggi rumah tiga tingkat. Hantaman ombak muncul dari mana-mana, dari bawah para-para bambu, dari belakang dan depan kapal. Dalam keadaan seperti ini, layar perahu digulung dan kami duduk di atas palka dengan badan diikat webbing dan diselimuti raincoat agar tak kedinginan terguyur ombak. Kami semua komat-kamit berdoa. Usai badai mereda, kami coba mereka-reka di mana kami berada saat itu. Modal navigasi kami hanya peta yang terbungkus rapi dengan plastik dan kompas laut. Jaman itu kami belum mengenal GPS. Satu cadik perahu patah dan terombang-ambing diterpa ombak. Malam bertemu malam kembali hingga akhirnya kami melihat cahaya panjang di kegelapan. Kami mencoba mendekati cahaya tersebut namun air yang menyurut membuat perahu terhempas di atas karang. Dengan cadik yang patah dan air mulai merembes perlahan dari bawah kapal yang terhempas karang, kami coba meminta pertolongan dari nelayan yang ada di sekitar situ. Kami lepas signal flair ke atas langit dan menunggu datangnya pertolongan. Namun hingga pagi hari tak satu perahu pun menghampiri kami. Rasa senang yang awalnya datang karena melihat pulau dari kejauhan, langsung sirna saat lambung perahu kandas di atas karang. Semalaman kami terus berdoa, semoga perahu terus bertahan sampai bantuan datang. Baru keesokan pagi ada perahu nelayan yang mendekat perlahan, seperti ragu-ragu. Setelah mereka melompat ke perahu kami dan berkenalan, baru kami tahu bahwa malamnya, ketika kami lepas signal flair, masyarakat pesisir Bawean mengira kami adalah hantu laut yang mengeluarkan bola api. Itu sebabnya mereka tak segera datang menolong. Begitulah perkenalan kami dengan masyarakat Pulau Bawean di Utara Pulau Jawa. Masyarakat yang ramah dan punya semangat gotong / 27KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

royong yang tinggi. Tiga hari lamanya kami ditampung di sana. Mereka bergotong-royong membantu perbaikan cadik dan lambung Perahu Sande. “Rambate ratayo!” begitu pekik mereka saat melarung Perahu Sande yang sudah selesai diperbaiki. Berat rasanya berpisah dengan masyarakat yang sangat bersahabat ini, tapi pelayaran harus terus dilanjutkan. Perjalanan selanjutnya ke Pulau Karimun Jawa terasa berbeda, Perahu Sande tak lagi sendiri. Kami lebih sering bertemu ‘teman’ di lautan. Kami selalu ingin tiba siang hari di pulau yang terletak di Utara Jepara tersebut dan tak ingin terjebak di atas karang atau merusak karang seperti kejadian di Bawean. Orang-orang tua di Ujung Lero, tempat kami membeli perahu, bercerita bahwa perahu ini dijaga oleh perempuan yang pemalu. Karenanya, sebelum mendarat di pulau, tiang depan perahu harus ditutup dengan kain. Jika terlambat, maka kami tidak akan bisa mendarat di siang hari karena perahunya ‘malu’. Maka sebelum Pulau Karimun Jawa terlihat, kami selubungi ujung lambung kapal depan dengan raincoat dan kali ini kami mendarat dengan aman di siang hari. Sungguh ini menjadi bagian perjalanan yang paling meyenangkan! Tiba di Karimun, ada kesempatan untuk berkabar ke teman-teman yang menanti di Jakarta. Komunikasi terakhir yang tersambung adalah saat di Banjarmasin. Kami mengirim telegram dan mencoba melakukan komunikasi interlokal di kantor telepon. Walaupun suara di seberang terdengar seperti orang menelan perasaan, semua terharu mendapati perjalanan kami sudah sampai sejauh itu. Mereka menangis mendengar kami semua selamat. Begitulah cara berkomunikasi pada masa itu. BADAI YANG TAK PUTUS Lepas dari Pulau Karimun Jawa, kami menuju Pulau Rakit. Akhir perjalanan terasa semakin dekat namun perjalanan tetap dihadang badai. Entah mendapat firasat dari mana, siang itu ketika cuaca sedang bagus, aku minta teman-teman menggulung layar. Perahu Sande memiliki layar tunggal berbentuk segitiga yang bagian bawahnya melibat pada kayu panjang yang ujungnya berbentuk huruf U, untuk menyangkutkannya dengan tiang utama. Teman-teman sempat heran mengapa tiba-tiba aku meminta menggulung layar. Namun tiba-tiba awan hitam dan angin kencang mulai menerpa, dan layar pun cepat-cepat digulung. Belajar dari kejadian itu, kami mulai percaya dengan firasat-firasat yang datang. 28 / DARI TANGAN PERTAMA

Entah jiwaku sudah menyatu dengan Perahu Sande ini atau seperti kata Reo, ‘penghuni’ kapal ini perempuan jadi maunya berteman denganku. Beberapa jam kami terserang badai dari sore hingga malam hari. Dan ketika reda, kami tak tahu kemana angin membawa perahu kami. Tiba-tiba dari kejauhan muncul kelap-kelip lampu dari mercu suar. Kami hitung frekwensi nyala lampunya dan cocokan dengan peta. Ternyata badai dan arus membawa kami ke pulau tujuan! Pulau Rakit adalah tempat persinggahan kami berikutnya. Di pulau itu terdapat mercu suar yang dibangun sejak jaman Belanda. Paginya kami sampai di Pulau Rakit (saat ini bernama Pulau Biawak) dan bertemu penjaga mercusuar. Kami diajak naik ke bangunan antik setinggi 65 meter yang konon dibuat pada jaman ZM Willem III, tahun 1872. Pulau yang dihuni banyak biawak ini sangat cantik dan alami. Aku salut dengan penjaga mercusuar, karena di pulau yang besar ini mereka tinggal hanya berdua. Dari Pulau Rakit kami bertolak menuju Pulau Damar di kepulauan Seribu. Tiba di sana kami berjumpa lagi dengan Bang Pendi dan teman- teman Aranyacala yang datang menyambut. Kami singgah semalam di sana sebelum mendarat di Pantai Mutiara di mana kami disambut oleh Menpora, Bapak Akbar Tanjung dan Rektor Universitas Trisakti untuk sama-sama menyerahkan Perahu Sande kepada Museum Bahari. Kedua orangtuaku ikut menyambut dan merasa pangling, karena badanku hitam legam terpanggang matahari. Kasihan mamaku, dia tak berhenti menangis ketika tahu apa yang baru kulakukan, sebuah perjalanan ekspedisi menyeberang lautan luas dengan perahu tradisional yang kecil dengan empat teman yang semua laki-laki. “Gimana kamu kalau mau pipis dan buang hajat?” tanyanya. “Ya, tinggal ke belakang dan suruh mereka semua lihat ke depan”, jawabku sambal tertawa. Lantas berbagai pertanyaan muncul, misalnya tentang bagaimana kami makan selama perjalanan. Aku ceritakan, jika air tenang kami menyalakan kompor gas meja di atas palka dan masak mie instan atau makan ransum tentara T2 yang dibekali teman-teman Marinir. Air kami bawa pakai jerigen dari pulau-pulau yang disinggahi. Ada rasa syukur yang sangat bahwa misi ini telah selesai. Melewati badai dan tantangan yang beragam hingga kadang aku merasa nyawaku bergantung pada sekoci darurat kecil pinjaman yang katanya bisa terbuka sendiri dan di dalamnya berisi makanan dan survival kit. / 29KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Jika perjalanan ini dilakukan di masa sekarang, banyak teknologi yang memudahkan, setidaknya ada GPS, mobile phone, dan kompas yang canggih. Namun dari peralatan sederhana itulah kami belajar untuk memperkaya naluri, insting, dan kedekatan yang murni dengan alam. Kami memanjakan telinga dengan suara ombak, meraba arah angin, dan tubuh kami menyesuaikan diri dengan alunan gelombang. Molly, teman seperjalanku, juga survive di bawah terpaan badai dan makan makanan yang kami makan. Dia malahan bertelur ketika tiba di Pulau Bawean. Yang bikin sedih, Molly malahan mati tanpa sebab ketika kuberi dia makanan ayam paling enak setelah pulang ke rumah. Seakan- akan dia memang ikut hanya untuk menemaniku dalam merangkai pengalaman dalam perjalanan yang tak kan pernah terlupakan. AMALIA YUNITA 52 tahun, pegiat dan pengusaha wisata arung jeram, penasihat Pemerintah bidang Wisata Petualangan, pendiri dan pengurus Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI), Asesor Juri International Rafting Federation, relawan bencana (Global Rescue Network), pengajar di program MM Sustainability Universitas Trisakti. 30 / DARI TANGAN PERTAMA

ROMANSA INDAH NEGERI DI ATAS AWAN AMIN ALHASANI SSebagai petualang, juga penikmat buku dan film petualangan, saya pikir perjalanan kali ini tak bisa dikategorikan sebagai petualangan, apalagi penjelajahan. Ini hanyalah perjalanan wisata menjawab rasa penasaran saya akan Negeri di Atas Awan Dieng. Tak ada tantangan yang berarti, tak ada ketakutan yang mendebarkan, ini hanya perjalanan biasa. Namun, dari sini, saya justru mendapatkan pelajaran yang tak biasa. Guncangan bus membangunkan saya. Melirik ke luar jendela, pemandangan yang sebelumnya berupa perkotaan berubah menjadi perkebunan, hutan, dan pegunungan. Di jendela kursi seberang, Gunung Sindoro berdiri elok dengan sejumput kabut di sekitarnya. Saya mengenali betul gunung itu sebagai Sindoro dari rupa kegagahannya. Masih jelas di ingatan, dua tahun lalu saya mendaki Gunung Sindoro dalam misi kemanusiaan mencari pendaki yang hilang. Kini saya kembali ke tanah dingin ini. Hanya saja, kali ini bukan Gunung Sindoro yang ingin saya kunjungi, melainkan Dataran Tinggi Dieng. Pada Agustus 2017 ini, di sana akan digelar prosesi budaya turun- / 31KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

temurun yang telah difestivalkan, Dieng Culture Festival (DCF) yang kedelapan. Saya akan menyaksikannya. Jam di layar ponsel menunjukkan pukul 06.16. Semalam saya berangkat dari Stasiun Pasar Senen pukul 22.30 dan tiba di Stasiun Purwokerto empat jam kemudian. Di sana, saya beserta rombongan yang ikut biro perjalanan dijemput bus. Dengan bus itulah kini saya menuju Dieng, Negeri di Atas Awan yang dipercayai sebagian masyarakat sebagai tempat tinggal para Dewa. Saya kira kami sudah sampai di tujuan ketika bus tiba di pos bertuliskan ‘Selamat Datang di Dieng’. Ternyata perjalanan masih panjang sebab kami baru memasuki kawasan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Jalur yang dilalui makin menanjak dan berliuk-liuk, mengikuti bentuk punggung gunung dan perbukitan. Permukiman yang semula ramai di sepanjang sisi jalan, kali ini sudah tidak ada. Hanya sesekali menemukan rumah dan kerumunan atap di kejauhan. Perkebunan kentang dan sayur menyemut di perbukitan dan punggung gunung. Berterap serupa tangga yang dari jauh tampak menggunduli gunung. Masyarakat di sini memang mengandalkan hasil tani dan perkebunan sebagai sumber penghasilan. Tak lupa saya abadikan bukit berterap kebun sayur itu dan membaginya di akun media sosial. Sinyal internet di sini lumayan bagus untuk provider yang saya gunakan. Perjalanan menanjak melewati pegunungan itu makin menegangkan saat tebing-tebing curam dan kebun-kebun berkemiringan ekstrem mengangakan jurang di sepanjang kanan jalan. Belum lagi kelokan sekaligus tanjakan yang membuat saya harus berpegangan pada sandaran kursi di depan. Sampai kemudian sebuah baliho bertulisan Dieng Culture Festival menyambut di sisi jalan, menampilkan wajah seorang anak perempuan berambut gimbal. Dieng pasti sudah dekat, pikir saya. Benar saja, pukul 08.00 WIB itu kami tiba di salah satu homestay di pusat permukiman Dieng yang sudah disiapkan biro perjalanan. Setelah turun dan mengambil ransel masing-masing di bagasi, tour leader biro perjalanan mempersilakan kami masuk. Sarapan pagi sudah menanti. Usai sarapan, karena perjalanan cukup panjang dan melelahkan dari Jakarta, kami dipersilakan istirahat sampai pukul setengah dua siang. KEINDAHAN DI KETINGGIAN Alih-alih beristirahat, saya taruh ransel di kamar lalu keluar untuk melihat-lihat, berjalan sendirian mengelilingi permukiman tertinggi ini. 32 / DARI TANGAN PERTAMA

Saya bersyukur, rencana lima tahun lalu pergi ke sini akhirnya terlaksana juga. Ya, saya sudah mendambakan berkunjung ke pemukiman tertinggi di Nusantara ini sejak 2012 silam. Saat itu saya masih kelas 2 SLTA dan penasaran dengan cerita seorang petualang mengenai Dataran Tinggi Dieng. Kini saya sudah ada di Dieng, merasakan betapa dingin dan ramahnya alam yang terhampar. Beberapa toko, kafe, dan warung makan sedang ramai pagi itu. Saya kunjungi salah satunya, menikmati secangkir kopi dan mengobrol dengan pemiliknya sambil melihat wisatawan lain berswafoto dan berbahagia bersama, di sela ramainya lalu lintas. Umbul-umbul dan atribut jalanan “Festival Budaya Dieng 2017” berjajar di sepanjang jalan. Saya baru sadar, Dieng seramai dan sehidup ini. Yang saya bayangkan tentang Dieng sebelumnya adalah permukiman di atas gunung yang sepi dan tenang, kompleks Candi Arjuna yang agung dan indah, alam yang menawan dan penuh kedamaian. Ternyata Dieng tak ubahnya Bandung. Untuk menyeberangi jalan saja saya mesti tengok kiri-kanan. Saya harap hiruk-pikuk ini berlangsung saat festival saja. Pada waktu lainnya, Dieng lebih tenang dan lengang seperti dalam bayangan. Selama di sini, saya mengunjungi beberapa tempat wisata populer seperti Kawah Sikidang, Telaga Warna, Puncak Sikunir, dan Batu Pandang Ratapan Angin. Sedangkan dalam rangkaian acaranya sendiri ada Jazz Atas Awan, penerbangan ribuan lampion bersama-sama, pementasan wayang orang, dan kirab budaya. Di hari pertama, setelah beristirahat kami pergi ke Kawah Sikidang yang dipercaya dapat berpindah tempat. Aroma belerang menyengat namun tetap ramai. Bahkan banyak didirikan tempat untuk berswafoto bagi wisatawan. Dari Kawah Sikidang saya dan rombongan tur pergi ke Telaga Warna yang indah dan eksotis. Pada acara kirab budaya nanti, rambut anak gimbal yang telah dipotong akan dilarung di telaga ini. Di sekitar Telaga Warna, banyak gua yang dikeramatkan. Ada satu gua yang memiliki sumur, dinamakan Gua Sumur. Pada waktu tertentu tokoh agama dari Bali pergi ke gua tersebut, mengambil airnya untuk keperluan ibadah. Telaga yang berwarna biru safir ini membuat saya tak tahan sehingga meminta bantuan wisatawan lain untuk memotret saya dan telaga. KERAMAIAN DAN KEGALAUAN Malam harinya ada suguhan lagu-lagu jazz dari artis lokal dan / 33KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

nasional dalam acara bertajuk Jazz Atas Awan. Namun saya putuskan akan berjalan-jalan saja, menikmati malam, keramaian, kentang goreng dan susu jahe. Saya tidak tertarik menonton Jazz Atas Awan. Esoknya, pagi sekali kami berangkat dari penginapan ke Puncak Sikunir. Di sana bertemu pengunjung yang sudah datang sejak tengah malam. Saya dan wisatawan lain bertahan di sana demi menunggu golden sunrise yang muncul di batas langit bagian barat dengan siluet indah Gunung Sindoro. Pada acara festival seperti ini, pengunjung sangat membeludak dan membuat Puncak Sikunir berdesakan. Saya harus bersabar antre mendaki karena banyaknya wisatawan yang ingin menyaksikan golden sunrise yang mahsyur. Puas memandangi matahari terbit, saya dan pasukan wisatawan yang tergabung dalam satu biro jasa perjalanan yang sama pergi ke Batu Pandang Ratapan Angin. Di sini banyak titik untuk berswafoto yang sengaja dibangun. Dari tempat ini hamparan Negeri di Atas Awan terlihat mempesona. Berfoto di tempat ini seperti berfoto di Eropa. Sore hari saya menyempatkan berjalan-jalan keliling Dieng, karena jadwal melihat Candi Arjuna gagal. Candi Arjuna tengah disterilisasi sebab esok akan digelar acara sakral pemotongan rambut anak gimbal di sana. Malamnya, saya memilih ikut menyaksikan lagu-lagu Jazz. Ada juga pementasan teater atau wayang orang tentang anak gimbal, tarian tradisional, dan terakhir ada penerbangan lampion. Namun ada satu hal yang membuat saya miris pada malam itu. Saat pementasaan teater berlangsung, pengunjung mulai ramai memasuki lapangan berpagar besi. Saya termasuk yang terlambat datang. Penonton mulai berjejalan di depan panggung. Hanya pengunjung yang memiliki kartu wisata DCF 2017 yang bisa masuk. Menurut info dari pengunjung lain, malam itu wisatawan mencapai 30.000 orang. Belum termasuk warga yang datang tanpa tiket. Bisa dibayangkan betapa ramainya suasana disitu. Saya menikmati pementasan dari jauh. Lalu saya memutuskan berkeliling area pertunjukan sebelum pengunjung makin memadati lapangan. Beberapa kali saya mengambil gambar dan video untuk dibagikan di instastory. Di luar pagar, terlihat banyak penduduk lokal yang duduk menghadap panggung. Ada anak-anak, pemuda, ibu-ibu, dan bapak-bapak bersarung. Mereka menggenggam besi pagar seperti tahanan di balik jeruji. Saya sempat bertanya, “Kenapa tidak masuk?” Jawab mereka, “Untuk masuk harus punya tiket!” Astaga! Bukankah ini acara milik mereka? Bukankah ini kebudayaan 34 / DARI TANGAN PERTAMA

mereka? Tanpa kebudayaan ini, tanpa kearifan masyarakat menjaganya, acara ini tidak akan berjalan. Saya datang karena ingin mengenal dan melihat kebudayaan mereka lebih dekat. Nyatanya, masyarakat tak dapat menikmati dengan layak kebudayaan mereka sendiri! Saya merasa bersalah berada di dalam pagar sementara masyarakat hanya duduk di tanah sambil memegang jeruji. Kenapa pengelola tidak membagi tempat khusus wisatawan dan khusus penduduk. Mereka bisa duduk di sebelah kanan panggung, atau di barisan paling depan. Ingin rasanya saya berteriak di depan para panitia, wisatawan tak mungkin berdatangan tanpa budaya yang mereka lestarikan! Saya memutuskan keluar pagar! Di luar saya sempat berkeliling. Menikmati jahe panas di sebuah warung. Namun semakin malam pengunjung makin berjubalan. Makin tidak manusiawi. Saya memilih kembali masuk ke dalam pagar. Lagu- lagu Jazz membuat wisatawan menikmati malam yang sangat dingin itu. Acara ditutup dengan penembakan ratusan kembang api dan pelepasan ribuan lampion oleh pengunjung. Di hari ketiga sekaligus hari terakhir di Dieng, saya mengikuti acara Kirab Budaya. Prosesi adat yang sudah dilakukan sejak dulu itu dihadiri 15 Raja dan Ratu Nusantara serta Gubernur Jawa Tengah. Kirab dimulai dengan arak-arakan anak gimbal dari rumah Ketua Sepuh sampai ke Kompleks Candi Arjuna. Anak gimbal dimandikan dengan air khusus sebelum dipotong rambutnya. Saat pemotongan rambut, puluhan ribu wisatawan memadati Candi Arjuna. Sampai pada akhirnya rambut yang telah dipotong dilarung ke Telaga Warna. Siangnya, sebelum pemotongan rambut anak gimbal selesai, saya kembali ke penginapan. Pemandu perjalanan mengingatkan bahwa satu jam lagi harus sudah berkemas dan meninggalkan penginapan, bus pengantar sudah menunggu di depan. Jika kami terlambat, akibatnya bisa tertinggal kereta dari Purwokerto menuju Jakarta. Apa boleh buat, saya harus mengikuti jadwal yang sudah ditentukan panitia meski masih betah berlama-lama di sini. Dieng sudah memikat hati saya. Nuansa tradisional dibalut pesona alam, keramahan penduduk, keceriaan wisatawan, dingin udaranya, dan sejuta memori yang sudah terlanjut melekat di kepala saya tak bisa saya lepas begitu saja. Negeri di atas awan ini bagi saya teramat romantis. Meskipun ada kegundahan yang mengganjal saya rasakan semalam. Dari tempat ini saya menyadari bahwa keromantisan itu tak harus berbalut cinta dengan pasangan. Berpapasan dengan masyarakat dan / 35KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

saling tersenyum itu adalah romantis. Bahagia melihat panorama alam itu adalah romantis. Tersenyum melihat indahnya tarian-tarian tradisional itu adalah romantis. Dieng seakan menyampaikan bahwa romansa indah itu bentuk universal dari segala kebahagiaan. AMIN ALHASANI Sudah menulis empat buku: Pendakian Terakhir (Epigraf, 2016), Titik Awal – Setiap Pejalan Punya Cerita (Epi-graf, 2017), Ogun; Cancer Survivor Menggapai Puncak Dunia (Epigraf, 2017) dan Hari-hari Petualangan Harrie (MDC Wanadri, 2019). 36 / DARI TANGAN PERTAMA

CILIWUNG ANTARA PETUALANGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ARI PURWANTO RRintik hujan menyapa Jakarta di awal 2018, membuat sang fajar malu menampakkan diri. Meski demikian, denyut kehidupan ibu kota tetap berjalan. Senin pagi memang waktunya warga memulai aktivitas yang penuh hiruk pikuk menuju tempat kerja di Jakarta, tidak seperti kami yang mencoba menjajal arus Sungai Ciliwung. Bersama kawan-kawan dari komunitas Ciliwung di Srengseng Sawah, kami berangkat ke Jembatan Panus, Depok. Persiapan sudah dilakukan sejak semalam. Perahu dicek, alat perlengkapan diri tak lupa dibawa. Helm, dayung, pelampung. Dry bag juga wajib disiapkan agar barang bawaan, terutama elektronik, tetap aman sentosa. Kayak dan kano dikemas rapi di atas mobil. Sementara beberapa perahu karet diambil dengan mobil bak dari Depok. Tak lupa kami isi perut dengan penganan khas ibukota, nasi uduk plus gorengan. Sebentar, serius nih main di Sungai Ciliwung? Yes, itu keheranan orang awam. Pertanyaan itu juga saya lontarkan ketika seorang kawan mengunggah Whatsapp Story, ‘Bersiap Main Air di Ciliwung’. “Bro, bukannya Ciliwung bau, kotor, banyak sampah? Apalagi sekarang musim hujan. Gak takut banjir?” tanyaku. Doi dengan santai jawab, “Kalau mau ikut, hayuk aja. Tinggal duduk / 37KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

manis. Semua disiapkan”. Ajigile, pertanyaan nggak dijawab, malah ngajak dengan entengnya. Mau gak mau saya harus datang mencari tahu ada apa di Ciliwung, sekalian buat menjawab tantangan itu. Kembali ke persiapan tim, kami lalu tancap gas. Perkiraan setengah jam kami sampai, setelah melalui lalu lintas Margonda yang lumayan padat. Setiba di Panus, jembatan yang monumental itu, kami cek ulang alat, sembari menunggu datangnya riverboat dari Depok. Saya juga coba orientasi medan dengan melihat-lihat kondisi jembatan dan sekitarnya. Di salah satu sudut terlihat pos pemantau yang bisa memberi informasi debit air sehingga menjadi semacam peringatan bila ada potensi banjir kiriman dari Bogor. Rasa penasaran terhadap tempat ini membuat saya googling. Ternyata Jembatan Panus dibangun oleh insinyur yang juga masih keturunan Depok Lama, Andre Laurens, pada tahun 1917. Panus tentunya bukan nama resmi jembatan ini, namun merujuk pada seseorang bernama Stevanus Leander, warga Depok Lama yang tinggal di sisi timur jembatan, dan bertugas merawat jembatan ini. Konon, sampai sekarangpun keluarga dan keturunan Stevanus Leander masih tinggal di sekitar jembatan ini. Sebelum jembatan ini dibangun, perjalanan darat dari Depok ke Buitenzorg –sekarang dikenal dengan Bogor, harus disela memakai rakit yang disebut eretan, menyeberangi Sungai Ciliwung. Untuk mencapai bibir sungai, saya harus meniti jalan curam. Hati- hati sekali agar tidak jatuh. Ya, jalannya licin. Jika tidak, ya wassalam. Benar saja, brakkk! Seorang kawan terpeleset, jadi korban. Saya mencoba melipir pinggiran kali lebih jauh. Sampah memang jadi tuan rumah di sini. Kali purba yang oleh sementara kalangan dianggap sumber ketenangan, kini jadi korban kejorokan manusia. Untuk bersiap, kami satu per satu turun ke perahu. Instruktur memberikan pengarahan singkat tentang prosedur operasi standar atau SOP. Dijelaskan tentang cara mendayung, menjaga kekompakan dan prosedur keamanan jika terjadi kecelakaan. Ini kegiatan berisiko, bung, jangan lalai! Yang juga tak lupa dilakukan adalah pemanasan. ‘WELCOME TO THE RIVER’ Medan sungai dengan riam-riam kecil menyambut tim yang masih bersemangat. Debit air lumayan tinggi, membuat perahu melaju cukup deras. Guncangan demi guncangan membawa tawa dan sensasi tersendiri. Di kejauhan, pohon beton berdiri kokoh. Kemungkinan, 38 / DARI TANGAN PERTAMA

apartemen yang ada di kawasan Margonda. Ia pamer badan, seakan paling angkuh di antara yang lain, mentang-mentang besar. Tapi, ini juga menjadi sensasi tersendiri. Kalau di tempat lain kalian rafting dikelilingi hijau asri, di Ciliwung kalian berolahraga arus deras dengan latar gedung pencakar langit. Bukan cuma itu, sampah jadi hal lumrah di sini. Di beberapa titik bahkan mencapai dahan tinggi, seperti tupai yang memanjat dengan fasihnya. Hanya tawa riang anak-anak saat kami melewati beberapa spot yang berhasil memancing perhatian saya. Di Jembatan Juanda misal, sekelompok anak yang masih berseragam berteriak. Senang, gembira, jenaka seperti melihat kapal terbang lewat. Mereka berteriak, “Kapaaaal, minta duiiiiit”. Ah, mereka adalah generasi penerus yang harus diberi pemahaman bahwa sungai ini bagian peradaban. Kalian harus menjaganya. Jangan kotori, jangan sakiti. Sebab jika alam mengamuk, manusia yang merugi. Banjir karena sampah, longsor karena tanah gerak. Kami membalas teriakan mereka, “Besok ajak teman-teman dan sekolah kalian turun ke sini, ke Ciliwung. Jangan buang sampah ke kali, yaaaa.” Tak berapa lama, sampailah ke titik ekstrim perjalanan. Riam Kebo Gerang, warga menyebut demikian. Beberapa ratus meter sebelumnya, skipper kami sudah mengingatkan, “Awas Kebo Gerang. Dayung lebih cepat supaya tidak kegulung.” Adrenalin mulai terpacu merasakan detik-detik masuk ke riam ini. Guncangan kami rasakan, hingga akhirnya mereda. Banyak perahu lain, karena terlalu pinggir, akhirnya menghantam batu tepian kali, meski tak sampai terbalik. Sayang, sensasi Kebo Gerang cuma bisa dirasakan saat musim hujan. Kalau kemarau, air menipis. Bahkan ada beberapa kawan yang mengangkat perahu mereka karena mentok batu kanan kiri. Selesai melewati hadangan Kebo Gerang, rombongan menepi di sebuah area yang lumayan lapang, masih dekat riam itu. “Ayolah…, mau ngopi apa ngopi?!” seru salah satu rekan. Maka, kompor lapangan pun diturunkan. Masak air, aduk, lalu menyeruput kopi si hitam manis. Jangan lupa, ada pisang goreng, ada pula lontong. Lapar apa doyan, bro? Pokoknya ajib, deh. Selesai ngopi kami lanjut ngarung lagi. Arus semakin tenang, sampai kami selesai berdayung di garis Saung Bambon, Srengseng Sawah. Terdengar elu-elu warga menyambut kami. “Kayak pahlawan aja kita, bro,” celetuk seorang teman. Experience belum selesai, gan. Masih ada nasi liwet yang menunggu / 39KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

untuk dihajar. Tak pakai lama, sikat! Di sela makan saya sempat berujar ke beberapa kawan, “Menarik jika susur sungai ini dijadikan model pariwisata. Tentu dengan konservasi dan pemberdayaan masyarakat.” WISATA SUNGAI? Dari awal sampai akhir perjlanan ini memang memberikan sensasi tersendiri. Jika pengelolaannya baik, bukan tidak mungkin Ciliwung menjadi destinasi pariwisata alternatif perkotaan. Memang pekerjaan rumah yang panjang. Tapi bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Saya mencoba mengambil contoh kesuksesan Desa Wisata Nglanggeran di Gunung Kidul Yogyakarta atau Desa Wisata Gubuklakah di Malang. Masyarakat di dua lokasi itu bisa bangkit dari keterpurukan dan menjadi sejahtera dengan pendekatan pariwisata. Dulu orang kenal Gunung Kidul sebagai sentra kemiskinan. Masyarakat bahkan cuma bisa makan gaplek, walang, kepompong. Tapi sekarang, siapa tak kenal kawasan yang masuk karst Gunung Sewu tersebut? Pendapatan Asli Daerah jelas meningkat tajam. Nglanggeran saja berhasil mengelola aset Rp 1,2 miliar. Sumber valid dari kawan pengelola wisata di sana. Sementara warga Gubukklakah akhirnya bisa menarik tamu yang biasanya hanya melewati desa mereka untuk lanjut ke kawasan Taman Nasional Bromo, Tengger, dan Semeru. Alhasil, setiap akhir pekan desa yang terkenal dengan ladang apel ini selalu penuh oleh wisatawan. Setelah melewati hari yang menyenangkan itu, saya selalu bercerita ke banyak kawan soal Ciliwung. Bahkan ke narasumber saya. Sekedar informasi, sehari-hari saya menjadi jurnalis di Kedai Pena. Bagaimana responnya? Beragam! Ada yang tertarik, heran, bahkan mencibir. Di antaranya adalah Biem Benyamin, tokoh Betawi yang juga anak dari legenda Benyamin Sueb. Ia sangat antusias dengan konsep pariwisata Ciliwung. Biem sendiri sempat berkunjung untuk melihat potensi Sungai Ciliwung sebagai sebuah destinasi wisata. Dia merasakan sensasi ngopi di pinggiran Ciliwung sambil bercerita tentang kenangannya semasa kecil, dan soal sosok ayahnya yang gemar sekali bermain air di sungai. “Waktu saya kecil, setiap keluar kota dan melihat sungai dengan air jernih, pasti Babeh minta berhenti untuk nyebur, mandi,” ujar Biem yang merasa rindu suasana seperti itu. Dia berharap Sungai Ciliwung juga bisa dipakai berendam tanpa khawatir tercemar berbagai penyakit karena kotoran yang menumpuk di dalamnya. 40 / DARI TANGAN PERTAMA

“Misalnya di sini nanti ada tempat makan, tempat bersih-bersih serta tempat mandi. Bisa dibangun jembatan dan flying fox antara sisi-sisi Ciliwung. Nanti kita tinggal promosikan di sosial media,” ujar Anggota Komisi I DPR RI ini. Sementara itu, owner produsen peralatan alam bebas Avtech, Yudhi Kurniawan yakin sektor pariwisata bisa tumbuh dengan baik di Ciliwung. Yang penting ada komitmen serius antar stakeholder, termasuk warga, komunitas, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan lain-lain. Ia pun berharap, semua elemen membuat master plan pengembangan pariwisata yang mumpuni. Tentu dengan pelibatan masyarakat di sekitar Ciliwung. “Jangan sampai masyarakat cuma jadi penonton. Makanya harus ada master plan yang jelas, daerah mana diperuntukan untuk apa,” sambungnya. Bukan hanya itu, ia pun meminta adanya koordinasi yang baik antar pemerintah daerah. Sebab, Ciliwung melintasi dua provinsi, yakni Jawa Barat dan DKI Jakarta. Kalau koordinasi di tingkat pemerintah, kementerian atau lembaga terkait tidak rampung, mustahil pengembangan wisata Ciliwung akan berjalan baik. Soal pengembangan pariwisata, banyak model yang bisa dilakukan. Selain olahraga air, spot-spot selfie mutlak harus dibangun. Selain hobi foto diri semakin marak, kata Yudhi, semakin banyak foto terunggah, semakin orang mengenal Ciliwung. Setelah itu, dapat dipastikan wisatawan akan berbondong-bondong mendatangi obyek wisata ini. “Spot-nya nggak perlu mahal, bisa dengan menjejerkan hammock bertingkat di antara dua pohon. Atau sepeda di atas kali dengan bantuan sling. Pokoknya yang instagramable , biar orang bisa selfie,” tandas penggiat Pramuka ini. Senada dengan itu, Asisten Deputi Bidang Pendidikan dan Pelatihan Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman, TB Haeru Rahayu berujar konsep wisata Ciliwung akan berkembang dengan tiga syarat. “Pertama ialah atraksinya. Tapi, atraksinya jangan hanya dicontohin orang mandi saja. Mestinya bisa hal lain. Di sini kan lucu, pohon saja ada bajunya, sampah,” kelakar dia. Kedua adalah aksesibilitas yang menurutnya sudah cukup baik. Berbagai lokasi di wilayah DKI Jakarta, hingga saat ini masih mudah terjangkau dan memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai tempat wisata. Memang sih ada kemacetan di beberapa titik, tapi menurut Haeru Rahayu masih tergolong oke. Terakhir, lanjutnya, ialah soal amenity atau fasilitas seperti hotel / 41KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

atau penginapan. Untuk itu diperlukan juga keterlibatan masyarakat dengan cara bahu-membahu membangun kebutuhan wisatawan seperti homestay. “Tinggal bagaimana mengubah mindset masyarakat,” ujarnya. Ya, perjuangan baru saja dimulai. Mimpi menjadikan Ciliwung destinasi wisata perkotaan harus dijaga. Jangan sampai asa itu hilang karena kita tidak mampu merawatnya. Semoga Tuhan selalu bersama orang-orang yang berani bermimpi dan berupaya menggapai mimpi itu. Panjang umur perjuangan. Semoga masyarakat sejahtera, konservasi terjaga, pariwisata membahana. ARI PURWANTO 34 tahun, jurnalis Kedai Pena. 42 / DARI TANGAN PERTAMA

BMEERNSGEISPEI JDIWA A ARISTI PRAJWALITA MADJID Bertualang dengan sepeda itu kadang seperti kopi pekat tanpa gula. MKepahitannya tak pernah membuatku jera. Melakukan sebuah petualangan berupa perjalanan, apapun tujuan dan bentuknya, adalah salah satu insting dasar warisan nenek moyang kita. Walau hanya setitik, terus memanggil dalam hati. Jauh dekat, bukan masalah, sebab tiap perjalanan mengandung segudang pengalaman yang menjadi cerita penuh warna serta pelajaran hidup untuk mengisi jiwa. KETAKUTAN BERUBAH MENJADI KEKUATAN Kuincar sela rusuk samping tubuhnya, dan….DRRZAAAATTTT! Stungun, senjata kejut listrik berukuran kotak rokok berkekuatan 5000 kilo volt itu menembus baju, menggigit kulitnya, dan tanpa ampun menyerang saraf anak muda itu. Aku juga sangat terkejut sebab dia terpelanting menghujam bumi dan teriakannya berakhir dengan erangan lemah. Barusan dia berusaha merenggut handlebar bag hingga sepedaku terjatuh. Saat itu aku sedang menuntun sepeda di daerah cukup sepi, keluar kota Baoding. Jalanan sekitar 92 kilometer menuju Beijing itu / 43KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

memang dalam keadaan rusak. Sempat terlintas pikiran untuk menolong karena bukan korban nyawa yang aku inginkan. Tapi, kemudian dia masih berusaha merenggut menggapai-gapai tungkai bawahku. Kusepak debu jalan berkerikil itu ke arah wajahnya. Lalu cepat kuangkat sepeda dan mengayuh secepat yang kubisa. “Tenang Aristi,” bisikku pada diri sendiri. Sebab jika panik aku pasti sudah lupa akan keberadaan si stungun yang selalu sedia di sakuku. Setelah cukup jauh dari pemuda gila itu, aku baru mampu merasakan ketakutan yang amat sangat. Gemetar, terduduk di pinggir jalan dan aku menangis. Beberapa kawan memang menasihatiku agar tidak meneruskan pengembaraan dengan sepeda hingga melintas daratan tanah Tiongkok. Mereka merupakan WNI keturunan yang justru mengatakan bahwa begitu banyak manusia usil dan jahat di negara tersebut. “Sudahlah, tak aman kamu jalan sendiri melintas Tiongkok lewat darat. Banyak penjahat, copet, rampok dan tukang tipu disana,” ujar seorang kawan yang neneknya lahir di negara tirai bambu itu. Namun, aku selalu percaya bahwa apa yang terjadi pada orang lain, belum tentu terjadi pada diri kita dan begitu pula sebaliknya. Itulah yang membuat sebuah petualangan menjadi banyak kisahnya. Bukan aku tak punya rasa takut, karena manusia tanpa rasa takut adalah manusia yang membahayakan diri dan sekitarnya. Rasa hatiku cukup takut demi membayangkan berkelana dengan sepeda sendirian di negara asing, dengan bahasa dan tulisan yang tak ku mengerti, dengan luasnya dataran yang sangat mungkin membuatku tersesat-sesat. Aku takut, namun aku tak mau gentar. Justru karena rasa itulah aku biasa mengajar diriku untuk berani melangkah dengan segala perhitungan dan kesadaran akan kemampuan diri sendiri serta berdamai dengan batasannya, dalam segala hal. Bertekad, bukanlah nekad. Lagipula, Tuhan telah menciptakan kita dengan lengkap, bahkan sampai cara ajal menjemput. Jika rasa takut membuatku mengurung diri di rumah yang nyaman, apakah itu juga akan menghindarkanku dari tibanya kematian? Tidak. Keluar menuju dunia-dunia baru dengan berbekal pengetahuan, kemauan untuk terus belajar dan beradaptasi demi mengatasi ketakutan, itulah bentuk hidup yang kupilih. MEMELIHARA IMPIAN Aku memilih mewarnai hidupku dengan melakukan perjalanan bersepeda seorang diri. Sebenarnya sih tidak sendiri, karena selalu 44 / DARI TANGAN PERTAMA

bersama Tuhan dan sepedaku itu. Rangka besi roda dua yang berbahan bakar tenaga manusia ini sudah sejak kecil menjadi sobat karibku. Menemaniku sejak belajar dengan roda yang masih tiga, mengantarku sekolah dari dasar hingga lulus kuliah dan bekerja. Sampai satu saat tercapailah kolaborasi yang baik antara waktu, tenaga dan tabungan dana. Kubaca kembali bucket list, impian yang kusimpan dan pelihara sejak di bangku SMP, naik sepeda sendirian ke lain kota atau negara! Tahun 2008 mulai kubuka lipatan peta beberapa negara yang telah lama ku kumpulkan. Smartphone belumlah ada, hobiku membaca peta seakan turut berbisik dengan gembira, buka dan berangkatlah! Kulihat sambungan dataran negara tetangga hingga naik terus ke Republik Rakyat Tiongkok. Tuhan rupanya memberiku kesempatan untuk menjadi salah satu hambanya yang beruntung dapat mewujudkan impian yang telah tersimpan lama namun tak pernah usang. Mulai kuulang pelajaran merombak dan membangun sepeda, mengganti rantai jika putus, menambal ban dan sebagainya. Semua menjadi modal saat aku berkelana sendiri. Sebab tak selamanya bengkel sepeda mudah ditemukan. Apalagi aku merambah negeri asing yang belum pernah kulewati. Dengan sangat bersemangat aku merancang segalanya. Untuk mengirit dana penginapan, kubawa tenda kapasitas satu orang, matras serta hammock. Hanya jika ingin istirahat dua hari di satu kota, aku memasuki losmen murah yang kucermati keamanannya. Biaya kuhitung detail. Makan minum sehari-hari untuk satu hingga dua bulan dan transportasi pulang dengan pesawat dari negara tempat aku menyelesaikan perjalanan nanti. Kupelajari rute harian yang telah kubatasi kurang dari 100 km per hari, agar tubuhku masih sanggup menikmati kayuh. Menjaga untuk fokus dan waspada dengan sekitar dan tidak harus mengayuh di malam hari. Rute perdana yang kupilih adalah Malaysia, terus mengayuh menembus perbatasan darat Thailand, Kamboja, Vietnam, dan kulanjutkan ke Tiongkok. Ya, bagiku sepeda adalah alat transportasi yang memungkinkan kita melebur dengan bumi dan seisinya. Menikmati sudut tersembunyi dunia disertai tempaan fisik dan mental serta mewujudkan arti kemerdekaan yang sederhana di tiap kayuhannya. Bulir-bulir keringat menorehkan cerita. Helaan nafas yang satu-satu membekukan rasa yang tak akan pernah terhapus oleh waktu. / 45KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

REZEKI MUSAFIR Malam itu aku bertenda di halaman sebuah masjid sederhana di Kelantan, Kota Bharu, yang menjadi gerbang perbatasan Malaysia dengan Thailand Selatan. Paginya, sesisir pisang dari dipan di depan rumah imam mesjid yang semalam menemani ngobrol dipindahkan ke tanganku. “Titipan Allah bagi musafir,” ujarnya. Lucu lagi, secarik kertas diselipkannya ke telapakku. “Ini alamat dan nomor telpon rumah kami. Bisa saya dapat nomor telepon anak? Sulung kami pergi kerja di Kuala Lumpur, akhir minggu dia pulang. Saya akan beri nomor anak agar dia bisa berkenalan langsung, mau ya?“ katanya sambil tersenyum. Hohoo, nampaknya aroma perjodohan tak mengenal ruang dan waktu. Nomor telepon genggam kuberikan disertai bisikan dalam hati bahwa menyambung silaturahmi itu adalah hal yang sangat baik. Kebersihan hati yang sederhana seperti beliau itulah yang membuatku yakin, bahwa dengan berkelana, akan lebih sering kutemui manusia-manusia baik di pelosok bumi ini. Saat berhenti makan siang yang lauknya kubeli dari kota Pattani di pagi hari, aku menyandarkan sepeda pada tembok gerbang masuk sebuah vihara sepi yang tak terlalu luas. Aku lalu duduk manis di tanah beralas matras. Lokasinya dalam hitungan cyclometer, sekitar 60 kilometer sebelum kota Hat Yai, Thailand. Hampir habis nasi bungkus berlauk telur dadar dan semacam tahu balado ketika seorang monk atau biarawan melangkah menghampiriku. Seplastik jeruk segar tergantung di tangannya. Monk setengah baya itu tanpa ba-bi-bu menyangkutkan plastik jeruk pada stang sepedaku. Beliau tersenyum melihat wajahku yang masih heran sembari telapak tangannya menyatu memberkati perjalananku tanpa kata tanpa suara. Aku luruh dan menyatu dalam bahasa hatinya. Aku yang terharu kontan membalas dengan senyuman, bahasa dunia yang tak ada tandingannya. Begitu seringnya aku mendapat rezeki berupa makanan atau minuman dari orang-orang asing yang mendadak jadi saudara dalam perjalanan. Aku tak pernah meminta, namun tak pernah pula kutolak jika diberi. Aku sadar, memberi sesuatu pada orang lain dan diterima dengan senyum adalah salah satu rasa bahagia yang sederhana namun hangat di hati. Berulang kali aku makan di kedai pelosok negara-negara yang kulalui, ada saja yang sudah membayari makan tanpa sepengetahuanku. Si kasir mengibas tangan dan menunjukkan kertas ‘cap lunas‘ yang kira-kira artinya, “Sudah di bayar oleh orang tadi.” 46 / DARI TANGAN PERTAMA

Ada pula yang sengaja mendatangi dan mencoba ngobrol denganku. Lucunya, bahasa kami yang sangat berbeda seolah menyatu saat aku bentangkan peta lalu menunjuk pulau Jawa dan dengan bahasa Inggris yang tak dia mengerti kujelaskan perjalananku hingga tiba di Tiongkok. Dia mengangguk angguk saat kuterangkan dan aku terus saja mencerocos, merasa bahwa dia mengerti. Hehehe.... Mereka tak pernah memberikan uang tapi entah itu seplastik buah, minuman ringan, sebungkus permen asam, makanan berat hingga cemilan ringan. Bahkan ada yang memberiku cream anti nyamuk. Dari hal-hal kecil semacam itu, tak terasa lagi ada perbedaan bangsa, agama, budaya dan lain sebagainya. Kontan aku menjadi seorang warga dunia! KETIDAKTAHUAN ADALAH ANUGERAH Seperti hari sebelumnya, aku memulai kayuhan dari kota Narathiwat dengan pemberhentian berikut adalah Pattani. Dalam cuaca panas bersuhu sekitar 40-43 derajat Celcius, terasa bijak saat aku merubah rute hari itu. Dari rencana semula tetap di jalan nasional #42 berubah menyusuri jalan lama #4136 yang terus lurus sejajar dengan pantai laut Cina Selatan dan membentuk Gulf of Thailand . Sepeda ku kayuh ringan memasuki distrik Mai Kaen yang sepi namun menyegarkan mata dengan kerimbunan hijau di sisi kiri, serta pohon-pohon kelapa berjajar di sisi kanan, memagari pantai laut Cina Selatan. Angin laut yang sejuk membuatku betah mengayuh terus dengan kecepatan layaknya seorang pelaku Fun Bike dalam kota. Sesekali aku berhenti, mengambil kamera, membekukan pemandangan yang akan jadi kenangan hari esok. Kusempatkan bermain air di pantai dan selonjor kaki di bawah pohon kelapa sambil menikmati sekotak susu coklat menghangat karena kutaruh dalam tas handlebar yang terus terpapar matahari siang itu. Inilah asyiknya berkelana seorang diri. Suasana sepi terasa meramaikan jiwa dan mewarnai rasa. Bagiku, kemewahan makanan batin seperti ini tak dapat kutemui dalam kesibukan ibukota di sela pekerjaan maupun pergaulan. Hanya muncul saat aku mencumbu aspal dan alam berdua dengan sepedaku. Nah, hampir saja aku terhanyut dan lupa bahwa kota Pattani yang masih sekitar 50 kilometer menantiku untuk menuntaskan perjalanan hari itu. Kembali ku mengayuh di jalur indah dengan hati gembira setelah istirahat mewah tadi. Kayuhan sedikit melambat saat pengendara motor menyejajari ku sambil membunyikan klakson. / 47KUMPULAN CERITA PERJALANAN KE GUNUNG, HUTAN, SUNGAI, DAN LAUT

Demi melihat senapan laras panjang yang tersangkut di badan belakang si pemotor, aku mendadak cemas. Dia memakai topi hitam serta scarf putih kumal penutup leher sekaligus mulut dan hidungnya. Kami sama-sama berhenti. Dentum jantungku mungkin bisa terdengar di tengah hutan sunyi itu saking gemetarnya aku menghadapi seorang manusia bersenjata. Pertama dia tak bersuara, hanya memberi kode bahasa Tarzan bahwa aku tak boleh lewat jalan itu. Lalu suaranya keluar dengan bahasa yang tak sehuruf pun mampu telingaku mencernanya. Dalam pengertianku, si scarf kumal ingin mengantar aku keluar menuju jalan nasional saat dia menunjuk suatu arah. Aku menggelengkan kepala dan memberi sinyal bahwa aku ingin tetap di jalur #4136. Beberapa kali dia berusaha namun aku tetap keras kepala. Hingga dia memberi tanda dua jari ke matanya lalu ke arah mataku, aku mengerti. “Hati-hati, waspada dengan sekelilingmu!” mungkin itu kalimatnya. Scarf kumal bergerak meninggalkanku yang masih terpaku tegang. Aku mulai mengayuh lagi, hingga bertemu dengan banyak blokade-blokade tentara dari kayu kawat dan tumpukan karung . Blokade dihiasi rambu dengan tulisan kriwil bahasa Thailand yang menyulapku jadi buta huruf seketika. Aku tertegun, sepeda semakin pelan kukayuh karena aku merasakan aura yang sangat tidak nyaman. Desa itu seperti mati. Rumah-rumahnya melompong tanpa penghuni. Hanya ada dua ekor anjing lalu lalang di hadapan sepedaku. Namun aku tetap memberanikan diri berhenti untuk mengambil foto suasana mencekam yang mungkin tak akan pernah lagi kutemui. Kulanjutkan kayuh maju kedepan, karena aku harus selesaikan hari yang telah ku mulai. Sekitar 30 kilometer kemudian aku boleh lega demi melihat orang-orang lokal mulai muncul di depan rumah dan berjalan jalan. Beberapa dari mereka melambaikan tangan dan melempar senyuman padaku. Aku memasuki Pattani dengan niat mencari penginapan murah, tidak membuka tenda di halaman masjid atau vihara, karena aku ingin istirahat sehingga bebas mengayuh esok hari. Saat tiba di losmen, beberapa pria sedang ribut berdiskusi sambil salah satunya memegang koran penuh tulisan kriwil itu. Aku bertanya pada anak muda di belakang meja resepsionis yang bisa berbahasa Inggris terbata namun dapat kumengerti. “Ada apa?“ tanyaku. “Kamu datang dari arah mana?” lho malah dia balik bertanya. “Mai Kaen dari Narathiwat,“ jawabku. 48 / DARI TANGAN PERTAMA


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook