Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau 06 Dec

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau 06 Dec

Published by Ayo Sugiryo, 2022-02-20 02:34:48

Description: Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau 06 Dec

Keywords: Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau

Search

Read the Text Version

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Aku menangkap tatapan mata ketulusan dari orang di sebelahku ini yang tadinya ber- cas-cis-cus dengan bahasa Inggrisnya yang luar biasa. Tampak pula dengan jelas di mataku, senyumnya begitu anggun dan keibuan. Berbeda sekali ketika dia berbahasa Inggris dengan temannya tadi, tampak tegas dan smart. “Enak ya sudah kerja,” tambahnya memuji. “Ya, beginilah. Tapi Mba lebih enakan, jadi anak kuliahan.” Aku memberanikan diri membuka komunikasi dan memprediksi. Aku juga tak menyangka mengapa aku bisa secair ini berbicara. Tapi itu mungkin tergantung lawan bicaranya. Wajahnya yang memancarkan aura kebaikan dan tidak sombong itu yang membuatku berani untuk berbicara. “Ah, engga juga. Saya juga kerja kok di sini Mas. Tapi, ya, nggak fultime,” jawabnya enteng dan enak di dengar. “Oh, Mba ngajar bahasa Inggris ya di sini? Bahasa Inggrisnya bagus banget!” Aku memberanikan diri untuk meyakinkan dan memujinya. Akhirnya, aku berhasil memujinya. “Ah, biasa saja kok Mas. Jangan berlebihan lah. Iya, saya ngajar juga di sini. Untuk mengisi waktu di sela-sela kuliah.” “Wah, enak ya. Bisa kuliah sambil bekerja. Jadi guru bahasa Inggris lagi,” ungkapku kagum. “Memangnya kenapa dengan jadi guru bahasa Inggris? Apa istimewanya?” Dia mengernyitkan dahinya tampak penasaran. “Ya, soalnya saya sangat suka dengan bahasa Inggris. Pelajaran favorit saya waktu sekolah,” jawabku jujur. “Berarti, Mas, oh iya. Mas siapa ya namanya? Saya Dian!” segera dia mengulurkan tangannya dan menyebut namanya pula. 101

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey “Oh iya, maaf, tadi belum berkenalan ya? Saya, Suryo,” ucapku sedikit gugup dan tidak terlalu pede untuk menyebut nama sendiri. Kami mulai akrab walaupun baru saling menyebut nama masing-masing. “Berarti Mas, Mas Suryo bisa bahasa Inggris dong!” “Engga juga. Saya cuma suka saja. Tapi gak bisa ngomong. Takut salah.” Aku jujur lagi. “Lho, ya nggak usah takut Mas. Saya juga sedang belajar, kok,” tuturnya merendah. “Engga lah. Tadi Mba ngomongnya bagus banget. Saya benar-benar kagum lho Mba. Pak Asto benar-benar beruntung punya guru bahasa Inggris sehebat Mba Dian.” “Engga lah Mas. Lho Mas, kenal juga sama Pak Asto?” “Kenal sih engga, cuma tahu. Tahu dari Mas Aris, yang lagi motreti itu lho Mba, sama dari Pak Andika, atasanku.” Gaya bicaraku mulai cair, nyaris tidak ada grogi lagi. “Oh iya, ya.” “Kira-kira boleh ngga kalau saya belajar bahasa Inggris sama Mba Dian?” Aku mencoba peruntungan dengan menanyakan hal konyol ini. Tapi tak apalah. Namanya juga usaha. “Wah, boleh banget Mas.” Ternyata aku berhasil. Dia tersenyum sangat tulus untuk melengkapai jawaban kesanggupannya itu. Aku serasa terbang meliuk-liuk di atas awan saat itu. Tapi apa mungkin? Bukan. Maksudnya apa mungkin bisa belajar bareng? Obrolan berlanjut hingga banyak hal yang aku dapatkan dari dia selama beberapa saat sambil menunggu Mas Aris mencetak foto di studio kami. Selain aku mendapatkan alamat, nomor telepon rumah, aku juga banyak bertukar informasi mengenai hal-hal yang berbau pengetahuan, dunia perkuliahan, public relation, bahasa Inggris, dan masih banyak lagi. Ternyata dia memiliki banyak sekali wawasan apalagi seputar pergaulan dan public relation. Pantesan orangnya sangat supel dan menghargai setiap ucapan dan kejujuranku yang sering aku ungkapkan dalam percakapan ini. Aku 102

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey memang tipe orang yang tidak bisa berbohong dan apa adanya. Tak terasa aku banyak bercerita tentang latar belakangku yang orang desa lah, minderan lah, dan pemalu lah. Perasaan tak ada bedanya antara minderan dan pemalu. Semua aku tumpahkan dalam obrolan itu tanpa ada rasa sungkan sedikitpun. Aneh! Baru kenal berapa detik sudah banyak curhat. Memangnya dia siapanya aku? Psikolog? Teman? Sahabat? Kenal saja baru. Tapi mengapa aku bisa ngobrol sama dia begitu banyak? Padahal aku paling gak bisa ngobrol sama yang namanya perempuan apalagi yang baru dikenalnya. Berbicara soal minder, tidak tahu kenapa selalu ada saja yang dirasa bagi orang minderan seperti aku. Kalau kamu orangnya percayadirian alias PD, pasti kamu tidak pernah tahu apa yang dirasakan orang minderan seperti aku dan para kaum minderan yang lain. Orang minder itu bawaannya: Pertama; kalau mau berbicara di depan orang banyak, mesin pengolah kata yang ada di otak mesti bekerja lebih keras untuk dapat menghasilkan kata-kata yang tepat dan dapat keluar dengan baik melalui mulut. Intinya mesti banyak sekali pertimbangan. Takut salah ucap dan menyakiti perasaan orang yang mendengarnya, takut kata-kata yang keluar terdengar aneh lalu diketawain, takut kata-katanya nggak berbobot nanti dikira bodoh, takut memotong pembicaraan orang nantinya dikira jadi interruptor yang nggak penting. Kedua; kalau mau lewat di depan orang banyak, rasanya semua mata memperhatikan dari ujung rambut samapai ujung sepatu_kalau lagi pakai sepatu. Rasanya orang- orang itu mengamati semua gerak tubuhku saat berjalan, dari lambaian tangan sampai gerakan pinggul. Betapa ribetnya pikiran orang minder di saat seperti itu. Padahal belum tentu juga orang-orang itu sedang memperhatikan aku. Disitulah kadang aku suka ke-geer-an. Ketiga; saat namaku tiba-tiba disebut di dalam sebuah perkumpulan, jantungku berdetak kencang tak beraturan disertai butiran-butiran keringat yang terasa dingin yang sering disebut dengan keringat dingin. Begitu tiba-tiba disuruh menyampaikan 103

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey sesuatu, kalimat yang keluar pasti akan berantakan. Setidaknya itulah yang sering aku rasakan sebagai orang minderan. Masih banyak lagi tapi setidaknya itulah garis besarnya. Kembali ke tempat seminar, Mas Aris tampak sudah kembali ke gedung dengan membawa hasil cetakan foto para peserta yang berhasil dijepretnya. Kami mulai bekerja dengan menggelar foto-foto itu di meja yang berderet memanjang bekas registrasi tadi. Tak ketinggalan teman baruku yang ahli bahasa Inggris itu juga ikut membantu men-display foto-foto yang jumlahnya ratusan itu. Tentunya harapan kami semua foto bisa terjual semua. Sehingga kami pulang dengan hati senang. Horee! Begitu  coffeebreak pertama, para peserta menyerbu kami. Satu per satu foto-foto mulai diambil pemiliknya. Dan kami sibuk mengumpulkan rupiah dari para peserta. Senangnya kami dapat uang banyak dari hasil jual foto spekulasi ini. Benar-benar laris manis! Sesi berikutnya setelah coffeebreak, para peserta berjubel di pintu untuk mengantri masuk kembali ke posisi duduk masing-masing. Kami kembali merapikan foto-foto yang belum terambil. Jumlahnya tinggal sedikit. Mas Aris kembali ke studio untuk mencetak beberapa foto pesanan peserta. Aku pun kembali melanjutkan mengobrol dengan teman baruku ini. Hari yang membahagiakan. Aku dapat teman baru. Mahasiswa sekaligus guru bahasa Inggris yang hebat. Tetapi itu bukan satu-satunya hal yang membuatku lebih dari bahagia. Karena dia ternyata seorang yang sangat low profile dan menghargai aku yang hanya karyawan Photo Studio dan hanya lulusan SMA waktu itu. Walaupun hebat dia tidak menunjukan diri bahwa dirinya hebat. Itulah kehebatan dia. Dia selalu mendengarkan apapun yang aku ceritakan padanya. Itu yang aku belum pernah dapatkan sebelumnya. Ternyata Tuhan telah mengirimkan aku sang pencerah untukku. Dan aku harus segera mengakhiri dunia per-minderan-ku. Never say too old to learn and dare to change! Itu mottoku saat itu. Sesi demi sesi, pembicara pun silih berganti, hingga akhirnya masuk ke sesi penutupan. Para peserta bersorak riuh memberikan big applause kepada para 104

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey pembicara. Para peserta mulai berhamburan keluar dengan membawa segudang ilmu yang baru didapat di seminar. Aku bernafas lega. Hampir semua foto peserta yang dipajang habis terjual. Panitia merapat ke depan panggung tadi, mengambil posisi terbaik untuk berpose dengan para nara sumber. Mas Aris sibuk menata mereka agar komposisi tinggi rendah dan urutan jabatan tertata dengan benar. Dia memang luar biasa dalam soal ini. Itulah mengapa Pak Chandra, bos besarku, selalu memakai Mas Aris untuk memotret even-even besar seperti ini. Sementara aku sibuk mengemasi dan menempatkan sisa foto yang masih tercecer ke dalam kotak plastik yang sudah aku siapkan. Tak lupa juga menempatkan uang hasil jual foto di tempat teraman. Seminar telah usai. Kami berpamitan pada panitia dan juga pada Pak Asto tentunya. Kami saling mengucapkan terima kasih dan Mas Aris menyampaikan beberapa hal mengenai masalah dokumentasi untuk International College dengan Pak Asto. Dari arah belakang, seseorang dengan blazer biru berambut panjang yang ahli bahasa Inggris itu terlihat tergopoh-gopoh menenteng tumpukan snack dan beberapa dus makan siang tadi. Tetapi kenapa dia harus berlari-lari seperti itu? Apa ada yang gawat? “Ini Mas, untuk Mas berdua. Tadi kan gak sempat makan,” serunya disela-sela kerumunan. Jantungku langsung berdegup kencang. Keringat sekujur tubuh mulai bermunculan. Pakain dalamku terasa basah. Kemampuan berbicaraku seperti tercekat. Tapi aku paksakan sebisanya. “Nggak usah, Mba, tadi sudah sempat makan kok.” Akhirnya keluar juga kalimat ini dengan susah payang kubangun. Aku melirik Pak Asto. Dia tersenyum. ”Iya, bawa saja. Masih banyak tuh, di belakang! Sudah nggak usah malu-malu. Ayolah!” Pak Asto ikut-ikutan memojokanku. Iya juga sih. Buat apa malu-malu. Tapi tak sebanyak ini kali! Aku cuma merasa malu saja membawa snack segini banyaknya. Nanti dikira orang rakus. Mungkin karena tampangku kurus jadi tampak perlu perbaikan gizi. Yah sudahlah, anggap saja rejeki anak shaleh. 105

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey “Iya Mas, buat di kos-kosan. Ada teman juga di kos-kosan, kan? Nanti kan bisa dimakan rame-rame,” ujarnya sambil menyodorkan dus-dus tadi. Dengan gemetar, aku meraihnya dan akhirnya menggondolnya pulang. Aku merasa dia sangat perhatian padaku, eh maksudnya pada kami berdua. Benar juga kata mba panitia yang perhatian itu. Teman kosku, Irwan yang asal Aceh Pidi ini begitu rakus makan snack dan nasi bawaanku dari seminar tadi. Aku senyum- senyum sendiri melihat temanku seperti sudah satu minggu baru ketemu nasi. “Ayolah Suryo! Makanlah! Kita berpesta nih. Jangan cuma dilihatin sajalah!” Dengan logatnya yang kemelayuan dan mulut penuh dengan makanan dia terus memaksaku. Tapi entahlah, aku seperti nggak selera makan saat ini. Aku hanya tertawa ngakak melihat gayanya yang innocence  dan rambutnya yang keriting itu pun seperti ikut mentertawakannya. Aku mungkin belum lapar atau memang tidak lapar. Anganku masih terbawa serangkaian kejadian hari ini seperti materi seminar yang kebetulan cocok dengan kepribadianku, Pak Asto yang tegas dan baik, Mas Aris yang profesional dalam bekerja, Panitia seminar yang baik dan ramah, dan tentunya tumpukan snack dan nasi dus yang harus aku bawa dengan terpaksa, dan masih banyak lagi. Akan tetapi yang masih terus terlintas di pikiranku adalah kesempatan bertemu dan mengobrol dengan si panitia yang perhatian itu. Aku merasa jadi manusia yang sangat bodoh hari ini karena hari ini aku merasa ternyata dunia begitu luas. Untuk mengenangnya aku nobatkan hari ini sebagai hari kebodohan pertama dalam hidupku. Mengapa begitu? Karena mungkin aku akan mendapatkan kebodohan yang lain di hari-hari berikutnya setelah ini. 106

18 Wajah di Balik Gagalan Foto Kehangatan cahaya matahari dari ujung timur kota Purwokerto yang menyelusup diantara pepohonan dan pertokoan terasa menghangatkan seisi kota kecil ini. Udara segar dan bersih sisa gerimis semalam terasa menggairahkan. Aku datang lebih awal dibanding biasanya dan semuanya. Honda GL tahun delapan puluhan juga belum terlihat di depan kantor. Mungkin Pak Andika sedikit kesiangan. Dia biasanya berangkat paling awal dibandingkan kami para bawahannya. Mba Ning agak repot setiap paginya karena mesti menyusui bayinya yang baru dua bulan. Ci Yeni yang trengginas dan sedikit rame juga belum tampak di kantor. Mba Ari yang agak pendiam juga belum tampak. Kami berempat, the fantastic four (F4) merupakan tim solid bawahan pak Andika yang setiap pagi siap dikerubuti para sales lokal dan 107

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey daerah yang bertugas mengantarkan hasil cetakan foto orderan hari kemarinnya. “Pagi Pak Suryo! Kok tumben berangkat subuh-subuh.” Mas Yatno yang OB dan merangkap tukang foto copy menyapaku dengan ramahnya. Subuh? “Eh, pagi Mas Yatno. Biasa saja kok Mas.” Aku sedikit mengelak sapaan Mas Yatno. Buru-buru aku melirik jam dinding yang menggantung di atas komputer. Mas Yatno benar. Ternyata aku bukan datang lebih awal, tapi kepagian! Aku hanya senyum sendiri menahan kekonyolanku. Tiga puluh menit kemudian, mulai bermunculan para perusuh itu. Bukan the fantastic four  tapi para sales yang semuanya minta didahulukan untuk pencatatan nota pengantar cetakan foto. Kami the fantastic four belum kumpul. Pak Darsan buru- buru minta dilayani. “Siap, Pak! Emangnya Pak Darsan mau berangkat sepagi ini?” tanyaku meledek. “Iya Mas, ‘Monita’ minta cepet-cepet diantar. Katanya konsumennya mau antri bikin akta kelahiran di catatan sipil. Biasalah, kalau urusannya sudah catatan sipil mesti harus sepagi mungkin.” Pak Darsan menjelaskan. Pak Darsan merupakan sales Top Photo yang menangani toko-toko foto kecil lokal Purwokerto yang belum bisa mencetak foto-foto sendiri. Dia orang yang sangat sabar dan melayani konsumennya dengan baik. Tak sekalipun dia mau mengecewakan para konsumennya. Monita adalah salah satu Toko Photo Studio yang selalu setia mencetak foto ke studio kami melalui sales setianya, Pak Darsan. Kantong-demi kantong, sudah kami notakan. Mba Ning sudah siap membagikan uang bensin masing-masing sales. Semua sales siap berangkat dengan sepeda motor masing-masing ke daerah tujuan yang berbeda-beda. Suasana kantor sudah mulai sepi lagi. Tinggal kami the fantastic four yang ada di ruang itu dan siap menunaikan tugas administrasi foto yang lain. Gairah kerja pagi ini tiba-tiba menggelora tanpa kusadari sepenuhnya. Entah kenapa 108

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey dan tentunya bukan secangkir kopi yang biasanya orang minum untuk menyemangati diri sebelum beraktifitas karena memang aku tidak terbiasa minum kopi di pagi hari. Aku yang biasanya tenang hari ini ikut bernyanyi ketika Everything I Do I Do It For You dari Brian Adam berkumandang di ruang kerja. Dan sikapku yang aneh ini tertangkap oleh geng the fantastic four yang lain. “Kamu lagi kenapa sih Sur? Kayaknya lagi happy banget.” Ci Yeni nyeletuk. Buru-buru aku menghentikan nyanyianku. “Lagi pengin nyanyi aja, Ci. Ini lagunya enak banget. Penyanyi favoritku, Brian Adam,” jawabku sekenanya. “Iya, tapi dari tadi senyum-senyum terus. Kayaknya ada sesuatu.” Mba Ning ikut memperkeruh suasana. “Lagi jatuh cinta ya, Sur?” Ci Yeni main tebak saja. “Kali saja kemarin ketemu gadis idaman di Seminar.” Mba Ari yang biasanya diam ikut-ikutan menyerangku. “Ih, Mba Ari. Sekarang sekongkol ya.” Aku balik menyerang mba Ari. “Kalian ini lagi pada kenapa sih? Emangnya ada yang aneh ya sama aku?” Aku pura-pura bertanya. “Engga sih, cuma beda saja. Biasanya anteng dan suntuk apalagi kalau sudah ngurusi sales.” Mba Ning mengklarifikasi. “Aku cuma inget saja sama Pak Darsan.” Aku meraih kalkulator dan segera membuat rekapan jumlah dan nominal cetakan yang dibawa para sales. “Memangnya Pak Darsan kenapa Sur?” Ci Yeni menoleh kearahku, mengerutkan dahi, dan menunggu segera jawabanku tanpa berkedip. “Lucu aja. Dulu Pak Darsan yang mengantar surat panggilan lamaran kerjaku di sini. Tahu nggak Ci, aku sempat berdebat sama Pak Darsan kalau aku tak pernah kirim lamaran ke Top Photo ini. Tapi sekarang malah aku kerja di sini. Aneh kan?” Aku 109

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey berusaha mencari alasan sebaik-baiknya untuk mengalihkan. Dan, berhasil! “Kok bisa. Terus, bagaimana ceritanya Sur?” Ci Yeni tambah penasaran. Suasana hatiku mulai tertata. Teman-teman mulai mengalihkan perhatian terhadap sikapku yang sedikit berbeda pagi ini dengan cerita baruku mengenai Pak Darsan dan Mengapa aku bisa bekerja di photo studio ini. “Aneh juga ya. Tapi enak kan kerja di sini? Apalagi ada bos kita yang baik hati itu.” Ci Yeni mulai dengan sindirannya. Menyindir Pak Andika. Seseorang membuka pintu kantor. “Pagi semua!” Pak Andika kali ini muncul dengan wajah ceria dan memberi salam hangat tidak seperti biasanya. Ci Yeni melirik ke arah kita mengisyaratkan sesuatu. Kami paham. Hal yang sudah biasa terjadi di tempat kerja. Hubungan antara bawahan dan atasan kadang tidak selamanya selaras dan harmonis. Tapi itu akan menjadi bumbu komunikasi yang sedap ketika kita mau menikmatinya. “Suryo, tadi saya mampir ke International College, ketemu Pak Asto. Ada titipan salam.” Pak Andika meletakkan tas kecil di atas meja kerjanya dan berdiri mengamati layar monitor yang merekam secara langsung kegiatan toko di bagian depan melalui kamera yang terpasang di toko. Toko masih sepi belum ada pengunjung. Hanya beberapa karyawan toko yang sedang mempersiapkan toko dan beberapa sales kami yang masih hilir mudik. “Oh, iya Pak. Salam kembali buat Pak Asto kalau Pak Andika ketemu ya Pak.” Pak Asto memang luar biasa. Tapi cukup mengherankan juga kenapa Pak Asto mesti titip salam segala padahal aku belum begitu mengenalnya. Dia memang orang baik, pantesan anak buahnya juga baik. “Siapa yang bilang Pak Asto titip salam? Bukan, tapi dari anak buahnya.” Pikiranku langsung tertuju pada seseorang. Dan aku berusaha menyingkirkan sesuatu yang menggoda di pikiranku itu. Ternyata aku salah menduga. “Bener kan! Hayo dari siapa?” Ci Yeni langsung refleks menyerangku lagi. 110

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey “Oh, iya ya,” Aku pura-pura tak mendengar ocehan Ci Yeni, tapi keringat di pelipisku tak bisa membohongiku. Aku berusaha menafsirkan arti salam itu. Salam itu artinya selamat. Berarti itu artinya seseorang sedang mendoakan kita agar selamat. Doa yang baik untuk dititipkan ketika kita tidak mampu menyampaikan secara langsung. Tapi teman-temanku mempunyai penafsiran sendiri terhadap arti salam itu. Biarkan saja! Aku berusaha menjelaskan bahwa aku di seminar ketemu banyak teman baru. Mereka semua terutama panitia seminar yang ramah-ramah dan enak diajak bicara. Teman- teman the fantastic four seperti percaya saja. Padahal aku hanya tahu Pak Asto dan hanya kenal seorang panitia yang perhatian itu. Dua hari kemudian, aku baru saja selesai makan, di ruang kantor terdengar ribut- ribut. Teman-teman tak biasanya seribut ini. Aku melihat meja mba Ari dipenuhi dengan lembaran kertas foto gagal cetak. Gagalan foto adalah foto yang sedikit cacat, misal warna yang kurang sempurna, atau sedikit terbakar. Hasil sensor di bagian percetakan dan tidak layak untuk masuk ke kantong foto konsumen akan dihitung oleh tim kami. Dan itu adalah hal yang biasa dan rutin. Jadi, kenapa mereka harus berebut? Pasti telah diketemukan gambar aneh di sana. Aku penasaran dan segera merangsek ikut heboh. “Hei, ada apa yah?” tanyaku sambil berusaha menyeruak diantara kerumunan. “Eh, nggak ada. Nggak ada,” Ci Yeni segera menutup buku rekapan dan terlihat menyembunyikan sesuatu di balik buku tebal itu. Aku semakin penasaran. Aku tetap memaksa mereka untuk menunjukan sesuatu dari dalam buku tebal itu. Mereka menyerah dan memberikan selembar foto ukuran 4R dengan warna kurang sempurna tapi masih terlihat bagus untuk mata awam bukan mata konsumen yang sangat mengerti kualitas hasil cetakan foto. “Oh, ini. Iya, ini salah satu panitia yang waktu itu ketemu di seminar.” Mataku terbelalak dan segera aku meraih foto itu. aku tidak habis pikir bagaimana Mas Aris mengambil foto ini. Di foto itu, aku duduk bersebelahan dengan salah seorang panitia seminar 111

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey yang perhatian itu dan terlihat sedang asyik berbicara. Aku tak tahu kapan Mas Aris menjepret foto ini. Mungkin dari jarak ribuan meter sehingga aku tak mengetahuinya. Tapi kenapa harus masuk ke foto gagal cetak? Padahal hasil cetakannya nyaris tak ada cacat. Mungkin Tuhan sengaja mengirim foto itu agar aku tahu dan mengingatnya lewat foto gagal ini. “Benar, kan? Ada yang sedang jatuh cinta nih.” Ci Yeni terus meledek. “Ah, Ci Yeni. Ada-ada saja. Mana mungkin Ci. Dia kan anak kuliahan.” Aku mengelak. Teman lain ikut bersekongkol dengan Ci Yeni untuk terus mengomentariku pagi ini. Pak Andika yang membawa salam, cuek enggan berkomentar. “Eh, bisa saja Sur. Yang namanya Cinta itu tidak akan mengenal status. Kalau sudah cinta ya cinta saja.” Ci Yeni ngotot. Ini orang kenapa kok ngotot sekali, batinku. “Enggalah Ci. Rasanya nggak mungkin.” Aku terus berusaha mengelak. Sedangkan perasaanku berkata lain dan sok munafik. Tapi memang aku nggak boleh terlalu berharap terhadap sesuatu yang belum pasti. Aku harus bisa realistis dan tidak cengeng. Hari-hari setelah diketemukannya foto itu membuatku sering merenungkan diri untuk memecahkan makna peristiwa yang belakangan ini aku alami. Mengapa harus ada seminar itu? Mengapa aku harus bertemu panitia yang perhatian itu? Megapa ada salam? Mengapa ada foto gagalan itu? Ah, kayaknya aku sudah berlebihan menganggap kejadian-kejadian biasa ini. Semua ini pasti kebetulan yang biasa saja. Bukan sesuatu yang istimewa dan perlu aku pikirkan dalam-dalam. 112

19 Tamu Pak Andika Malamnya, ketika mata dan hati ini belum bisa diajak terpejam, aku mencoba mengajak berbicara sama cicak yang senantiasa menemaniku sepanjang malam-malamku di kosan. Si cicak hanya tersenyum ramah sambil sesekali mencoba menangkap buruannya yang gagal ditangkap. Senyumnya sedikit mengisyaratkan ‘Sudahlah Suryo, kamu tak usah berbohong. Katakan pada dunia kalau kamu sedang terpaut hati dengan seseorang.’ ‘Iih, apaan sih? Dasar cicak sok tahu.’ Tapi mungkin ada benarnya juga sih kata si cicak itu bahwa kata hati ini tak bisa dibohongi. Aku memikirkan hal ini. Hal yang sulit untuk aku jelaskan. Hal yang masih menggantung di sisi gelap dan terang di antara langit yang sering tertutup awan di atas kota Purwokerto. Dan awan-awan itu pun terus menutupinya dari hari ke hari hingga berbulan-bulan. Aku pun tak pernah mendengar lagi tentang Pak Asto, International College, atau pun salah seorang karyawannya yang perhatian itu. Mungkin aku berusaha untuk melupakannya di sela-sela rutinitas di kantorku di Top 113

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Photo yang merupakan perusahaan group photo studio yang lumayan besar dan tersebar di beberapa kota di jawa tengah dan jawa barat. Jadi kesibukanku sebagai karyawan bagian admin itu cukup menyita waktuku hingga aku kadang melupakan hal-hal yang berhubungan dengan perasaanku. Termasuk perasaan yang selama ini aku belum pernah rasakan. Yaitu perasaan gusar. Waktu terus berlalu hingga sampai hitungan bulan aku tidak pernah lagi tahu keberadaanya. Aku masih seperti yang dulu. Aku masih tak ada keberanian untuk menghubunginya walaupun nomor telepon dan alamat rumah sudah di tangan. ‘Dasar pengecut!’ lagi-lagi si cicak di dinding kamarku berkomentar. Pernah aku mencoba memutar nomor telepon itu, begitu ada kata halo di seberang aku tutup kembali teleponnya. Sisi hatiku yang kasar mengatakan, kamu tak perlu melakukan hal yang sia-sia. Meneleponnya atau mengunjunginya tanpa tujuan yang jelas adalah hal yang memalukan dan buang-buang waktu saja. Dia itu mahasiswa dan guru bahasa Inggris yang sibuk. Dia bukan orang yang selevel denganmu. Dunianya berbeda dengan duniamu. Kalau diibaratkan, kamu dan dia itu seperti bumi dan bulan. Tetapi sisi hatiku yang lembut terlalu lemah untuk bisa menyangkalnya. Iya aku sadar itu. Tetapi tak ada salahnya mencoba. Dan mungkin waktu itu akan datang, tapi entah kapan. Walaupun jauh, bukankah bulan bisa memberikan cahaya ke bumi di malam purnama. Mungkin tidak secerah matahari yang mampu menyinari bumi setiap hari. Tapi kedatangan bulan bukankah selalu dinanti? Tapi entah kapan. Dan benar apa yang dikatakan sisi hatiku yang lembut itu. Aku lupa mencatatnya hari itu hari apa tanggal berapa. Sepulang bekerja, sekitar jam lima sore, aku sungguh dikagetkan dengan pertemuan tak terduga. Aku masih ingat betul parasnya yang dihiasi senyum yang sangat ramah dan keibuan. Tapi membutuhkan beberapa detik untuk dapat memastikan bahwa dialah orangnya. Hampir satu langkah kami saling melewati ketika berpapasan. Dia dari arah barat, aku dari arah timur. Karena disibukan oleh konsentrasi masing-masing saat berjalan, aku hampir saja tidak mengenalnya. Mungkin dia juga sama, sudah lupa sosokku yang hanya bertemu satu kali. 114

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Tapi aku masih ingat senyum itu, menyejukkan dan keibuan. Dan penampilannya sedikit berbeda sewaktu aku bertemu dulu di seminar. Dia memakai celana jeans tiga perempat dengan sweater pendek berleher dan menggendong tas kecil terbuat dari anyaman tali kulit kayu, lincah. Setelah yakin, aku spontan menyapanya lebih dulu, “Lho, Mba. Mau ke mana?” tanyaku. “Eh, Mas!” dia berhenti dan terhenyak kaget sempat beberapa detik dia seperti mengingat-ingat siapa diriku dan diapun langsung tersenyum tanda tak lupa sama aku. Kemudian dia menunjuk sebuah toko yang akan dia kunjungi tanpa sempat menyebutkan namanya. Hanya saling menanyakan kabar masing-masing dan sedikit basa-basi, kemudian kami pun berpisah lagi. Aku tak mampu berbicara banyak. Detak jantungku yang tak beraturan membuatku kesulitan untuk berbicara. Waktupun berlalu lagi. Entah berapa purnama lagi lewat begitu saja tanpa ada keberanian. Pertemuan kedua itu sungguh menggetarkan dan membuatku memikirkannya. Aku tak menyangka akan ada pertemuan kedua itu. Akankah masih ada pertemuan ketiga, keempat dan seterusnya. Mengapa aku tidak punya keberanian untuk membuat pertemuan itu? Tetapi benar saja. Tuhan memang telah membuat sebuat rencana manis untukku untuk bisa bertemu dia lagi. Adalah pertemuan ketiga. Aku mengayuh sepedaku, sepeda kantor, setelah habis mengantar surat penting ke sebuah toko foto tak jauh dari Top Photo. Tak lepas dari tatapanku, sesosok perempuan yang sudah tak asing bagiku sedang berdiri di pinggir jalan. Dia tampak lebih rapi kali ini. Aku menghentikan sepedaku tepat di hadapannya dan membuatnya terperanjat kaget. “Menunggu siapa mba?” tanyaku lancar. “Eh, Mas! Nunggu angkot, nih. Mau ke kampus.” Sempat terlintas di pikiranku untuk berbaik hati memboncengkan dia naik sepeda ke kampus. Ah, konyol banget! Tidak! 115

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Mana dia mau diboncengi pakai sepeda. Sempat terbersit dipikiranku adegan film romantis Rano Karno yang sedang berboncengan sepeda dengan Yesi Gusman dalam film-filmnya yang terkenal di tahun delapan puluhan. Dan itu benar-benar nggak mungkin aku lakukan sekarang. “Oh, ke kampusnya sendirian?” “Iya Mas,” “Nggak nyangka ya bakal ketemu di sini,” ungkapku memberanikan diri soal pertemuan ini. “Iya Mas. Nggak nyangka juga. Mas Suryo dari mana atau mau ke mana?” tanyanya ramah diikuti senyumnya yang anggun itu. “Nggak kemana-mana. Main saja.” jawabku sekenanya. “Masa jam kerja begini bisa main.” Aku kaget. Kena, deh! Aku terciduk! “Sedikit ada keperluan sih, nganter surat.” aku berusaha menjelaskan karena aku juga tak mau dianggap karyawan bodoh yang suka korupsi waktu. Belum selesai percakapanku tiba-tiba angkot warna oranye pun datang, dan dia buru- buru melambaikan tangannya dan segera berlalu bersama angkot itu dan aku masih tertegun sendiri duduk di atas sepedaku. Aku melambaikan tangan tanda perpisahan. Pertemuan episode ketiga selesai. Di tempat kos aku merenung. Irwan paham aku terlihat sering melamun. Akhirnya, aku pun membuka diri dengan teman terbaikku ini. Irwan menyalahkanku karena aku terlalu pengecut! “Kamu memang payah, Yo! Ajak dia ke mana gitu. Sekedar makan siang atau ngapain lah! Masa kamu nggak berani,” Irwan teman kosku ngotot ketika aku cerita tentang pertemuan-pertemuan itu dan dia tahu tentang kegusaranku yang dengan mudah 116

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey tertangkap olehnya. “Enak saja Wan. Mana bisa aku ngajak anak perempuan tanpa tujuan yang jelas. Engga lah! Aku kan orang baik-baik,” jawabku yang selalu mendengarkan banyak pertimbangan yang ada di otakku. Takut begini takut begitu. Efek dari karakterku yang masih minder dan cemen. “Tahu nggak Yo, perempuan itu harus didekati, bukan mendekati. Laki-laki itu harus punya keberanian. Lalu buat apa kamu menyimpan rasa itu kalalu kamu tak melangkah untuk mendapatkannya?” jelasnya sok menggurui. “Ah, kamu sok tahu banget sih. Engga lah. Aku nggak bisa seperti itu, kamu berfikir terlalu jauh Wan. Aku biasa saja kok, nggak ada apa-apa.” Aku tetap pada pendirianku walaupun hatiku makin gusar. Kalau memang kata-kata Irwan benar apakah aku tetap mengikuti kata hatiku? Mungkin aku akan tetap seperti ini. Walau ada sedikit keyakinan bahwa suatu saat nanti kalau memang Tuhan sudah membuat rencana baik untukku, pasti akanlah terjadi masa itu. Itu keyakinanku. Suatu siang disela-sela kesibukan kantor, aku dikejutkan dengan dua orang tamu yang salah satunya aku sangat mengenalnya. Dia datang ke kantorku! Ada apa ya? Ini benar-benar seperti yang aku pikirkan. Bakal ada pertemuan-pertemuan selanjutnya yang direncanakan Tuhan untukku. Aku ber-positive thinking pada Tuhan dan pada diriku sendiri bahwa momen ini memang benar-benar sudah tertulis indah untukku. Aku terkejut bukan main. Dia datang bersama seorang ibu bermata sipit dan tampak akrab. Tapi kenapa dia datang dengan ibu-ibu? Mungkin dia ada hal yang serius yang ingin dia sampaikan kepadaku tapi tidak berani menyampaikan sendiri. Aku menjadi semakin gemetar susah mengendalikan detak jantung yang semakin tak karuan. Ci Yeni segera menyuruhku untuk membuka pintu kantor begitu ada bayangan tamu yang terlihat dari dalam ruangan yang hanya dibatasi tembok dan pintu kaca itu. “Oh, Silahkan, silahkan, Mba, Bu.” Buru-buru aku mempersilahkan mereka untuk duduk. Sementara aku sibuk menata hatiku dan mengatur otakku untuk mempersiapkan kalimat-kalimat terbaiknya. Ini benar-benar tamu istimewa. 117

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey “Maaf Mas. Mm, Pak Andikanya ada?” tanyanya seramah mungkin dan tak lupa senyumannya mengembang. Dia begitu formal, dan seolah-olah dia seperti tidak mengenalku. Ah, itu pasti cuma perasaanku saja. “Oh, iya. Ada, ada! sebentar ya.” Aku menjawab seramah mungkin dan langsung berbalik memanggil atasanku, Pak Andika. Pak Andika tampak sibuk. Dengan malas- malasan dia bangkit dari tempat duduk. Pak Andika sempat bertanya dari mana tamunya. Setelah aku jawab anak buahnya Pak Asto dia pun segera keluar ruangannya menemui tamu itu. Aku tak tahu ada urusan apa antara dia, ibu-ibu itu, dengan Pak Andika. Pastinya urusan yang amat serius. Mungkin mewakili Pak Asto dalam urusan kerjasama antar lembaga itu dan Top Photo. Atau mungkin akan ada event besar serupa sehingga membutuhkan kerjasama lagi. Aku berfikir positif lagi karena tampak terlihat dari tembok kaca mereka serius berbicara di ruang tamu. Aku menghela nafas. Ci Yeni dan teman-teman meledekku. Mereka tahu kalau perempuan yang datang itu pernah melihatnya di foto yang mereka jumpai di gagalan foto. Tapi hatiku semakin gusar. Setelah aku tunggu-tunggu hingga berakhirnya pertemuan mereka dengan Pak Andika, tak ada sedikitpun hal-hal yang berhubungan denganku. Aku sedikit berharap ada sesuatu yang disampaikan padaku lewat Pak Andika. Ternyata nihil. Pak Andika tak menyampaikan apapun tentang kehadirannya di kantorku. Oh, ternyata dia datang ke kantor hanya untuk menemui Pak Andika bukan aku. Baiklah, aku menjadi semakin tahu diri tentang keberadaanku. Bahwa aku tak pantas untuk memikirkannya. Langkahku sudah benar. Untung aku tidak terjebak mengikuti saran Irwan teman kosku yang sok tahu itu. 118

20 Tugas Menantang dari Bos Besar Hari ini suasana kantor terasa begitu gersang. Kekuatan AC yang menggantung di atas tak mampu berbuat banyak. Tumpukan nota penjualan cetakan foto di majaku tak sempat kusentuh karena aku tak bisa fokus untuk merekapnya. Aku terhenyak dari tempat dudukku. Pak Chandra tiba-tiba menelponku dari rumahnya. Hari ini Pak Chandra tidak ngantor. “Suryo, besok ada syuting di Cilacap. Kamu berangkat ke Cilacap sama si Salim ya! Kamu harus ikut. Kamu bisa bahasa Inggris kan?” Aku terperanjat dan bingung. Ada apa ini? Pak Chandra menugaskan aku ikut syuting di Cilacap dan tiba-tiba membicarakan bahasa Inggris. 119

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey “Besok? Syuting apa Pak? Memang pengantinnya orang luar negri Pak?” tanyaku masih dalam suasana bingung. “Bukan syuting pengantin, Sur. Ini proyek besar kerjasama dengan PT. Hanjung dari Korea yang sedang menggarap konstruksi semen Nusantara. Si Salim kan nggak bisa bahasa Inggris. Pokoknya kamu temani si Salim biar tidak terjadi miskomunikasi dengan Mr. Korea nanti. Bicarakan juga masalah kontraknya bagaimana, ya!” Aku tambah bengong. Pak Chandra begitu yakin menugaskanku hanya karena aku bisa bahasa Inggris. Pikiranku melambung. Aku merasa dibebani tugas menantang yang sebenarnya ini adalah kesempatan emas buatku untuk bisa menunjukan kemampuanku dalam berbahasa Inggris. Tetapi aku merasa ragu dengan kemampuanku. Aku belum yakin dengan bahasa Inggrisku. Berbicara dengan teman baruku di seminar saja aku masih belum mampu. Apalagi ini dengan orang Korea yang belum aku kenal siapa. Pak Chandra seperti tahu apa passion-ku. Menguasai bahasa Inggris memang sudah menjadi impianku sejak dulu. Sejak pertama kali aku mau masuk SMP di tahun 1987, bahasa Inggris sudah menjadi pelajaran favoritku. Bahkan sebelum memasuki halaman sekolah aku sudah membayangkan betapa aku akan berjibaku dengan bahasa milik orang bule itu. Aku hanya ingin bisa menyanyi dan berbicara dengan bahasa Inggris, itu saja tidak lebih. Berkunjung ke daratan Eropa atau Amerika sepertinya belum masuk ke dalam daftar impianku. Aku tak punya mimpi setinggi Ikal anak Belitong di Laskar Pelangi yang bermimpi ke Paris. Bisa melanjutkan sekolah ke SMP saja sudah luar biasa bagiku. Karena rata-rata teman SD ku tidak melanjutkan ke SMP di masa itu. Sedikit menengok ke beberapa tahun silam pada masa SMP dan SMA ku. Kegandrunganku terhadap Bahasa Inggris di masa SMP dulu membawaku ke hobby baruku yaitu membuat klipping. Klipping ini bukan tugas pelajaran yang biasanya diberikan guru. Tapi aku membuatnya sendiri untuk dibaca sendiri. Aku selalu melirik setiap majalah bekas atau koran dan di mana ada tulisan berbahasa Inggris aku sobek dan aku kumpulkan untuk ditempel dan diklipping. 120

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Betapa susahnya mencari artikel bahasa Inggris pada era itu. Aku dan orang tuaku bertempat tinggal di daerah pegunungan perbatasan tiga kabupaten; Banyumas, Cilacap dan Brebes. Sungguh lokasi itu bukanlah tempat yang memungkinkan untuk mendapatkan media cetak seperti buku, majalah, atau koran. Tapi aku tak menyerah untuk tetap membuat klippingku semakin tebal dan penuh dengan artikel bahasa Inggris. Untuk itu, aku melakukan hal yang aku sendiri merasa berdosa untuk mengakuinya. Aku rajin pergi ke perpustakaan sekolah dan menyobek satu lembar rubrik berbahasa Inggris pada majalah pelajar MOP. Aku hanya berfikir bahwa tak banyak anak-anak yang membaca rubrik itu. Aku berinisiatif untuk mengklippingnya dan menjadikan koleksi pribadiku. Lalu aku baca sendiri klipping itu walaupun banyak kosa kata yang aku tidak mengerti artinya. Dan aku menyalinnya di buku kecilku sebagai tambahan perbendaharaan kata bagiku dan ketika ada sempat aku mencari terjemahannya di kamus milik teman. Tetapi kemampuan bahasa Inggrisku ya masih sebatas itu-itu saja. Menginjak masa SMA aku mulai serius dengan pelajaran bahasa Inggris. Aku bongkar kembali buku-buku bahasa Inggris semasa SMP dulu. Aku harus bisa menguasai bahasa Inggris sungguhan, tidak setengah-setengah. Pada masa itu jiwa persainganku sudah muncul. Aku merasa iri dengan kemampuan bahasa Inggris salah satu temanku. Aku merasa tersaingi hingga emosiku terbakar untuk bisa melebihi kemampuannya. Rupanya usahaku tak sia-sia. Aku didaulat untuk berpidato menggunakan bahasa Inggris oleh guru idolaku Pak Iskandar pada acara farewel. Momen itu tak pernah aku lupakan hingga kapanpun. Aku selalu menjadikan peristiwa itu sebagai pemicu senapanku untuk selalu belajar dan meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisku. “Oh begitu ya Pak? Tapi maaf Pak, bahasa Inggris saya belum lancar,” Aku jujur karena khawatir Pak Chandra kecewa pada akhirnya. “Tapi kamu ngerti kan kalau ada orang ngomong Inggris?” Pak Chandra kembali meyakinkanku dan membuatku sedikit lega. “Ya bisa sih Pak,” ujarku. 121

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey “Ya sudah, tunggu apa lagi. Nanti si Salim akan menghubungimu. Besok teknis berangkatnya gimana silahkan diatur sama si Salim,” perintahnya tegas. Pak Salim adalah satu-satunya kameraman shooting video yang kami miliki. Selain mahir dalam urusan syuting, dia juga terampil dalam editting dan pengisian suara hingga kaset-kaset video siap dinikmati para pelanggan. Pak Chandra memang selalu memilih karyawan yang profesional seperti Pak Salim dan Mas Aris photografer. Karena dengan keberadaan mereka kualitas pelayanan bisa menjadi maksimal. Bekerjasama dengan orang Korea sungguh berbeda. Mereka sungguh sangat menghargai waktu dalam bekerja. Satu detik sangatlah berharga. Mereka begitu disiplin. Mr. Korea yang mengawal pekerjaan kami begitu antusias dan cepat. Kami kewalahan menghadapinya. Sayangnya bahasa Inggris yang sudah aku persiapkan tidak bisa begitu bermanfaat karena ternyata mereka buta bahasa asing termasuk bahasa Inggris. Kami jadi seperti orang bego yang akhirnya lebih banyak menggunakan bahasa Tarzan dalam berkomunikasi. Namun semua itu bisa diatasi. Aku banyak mendapatkan pengalaman baru dalam pekerjaan ini. Termasuk makan makanan khas Korea, Kimchi pertama kali dan makan sup ayam hambar. Sebenarnya bukan supnya yang hambar tapi karena kita tidak tahu cara menyajikan makanannya atau karena perut yang sudah kroncongan. Ternyata semua bumbu sup ayam ada di tempat terpisah dan kami mengetahuinya setelah acara makan selesai. Kami pun tertawa cekikikan mentertawakan kekonyolan kami sendiri. Selain makanan kami juga terpaksa harus menaiki tower setinggi ratusan meter tanpa lift untuk mendapatkan angle video terbaik dari ketinggian. Para pekerja di bawah sana tampak kecil-kecil membuat perutku mual begitu melihat ke bawah. Kami juga dibawa menyeberangi selat Nusakambangan untuk mencapai pulau tempat berkumpulnya para napi kelas kakap se Indonesia. Ini juga pengalaman pertama. Kami menaiki perahu boat untuk mencapai pinggir pulau di mana kami harus mengambil gambar beberapa konstruksi yang juga dibangun di salah satu bagian di pulau itu. Sungguh pengalaman menakjubkan yang aku dapatkan selama bekerja di Top Photo. Aku sungguh beruntung karena tidak semua karyawan mendapatkan kesempatan 122

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey seperti ini. Rupanya keterlibatanku dengan proyek Korea tersebut tidak berhenti sampai di situ. Karena dua hari setelah aku dari Cilacap, Pak Chandra menemuiku di kantor. “Suryo, kamu bisa nggak carikan orang yang bahasa Inggrisnya bagus untuk isi suara video yang kemarin kamu ambil di Cilacap sama Si Salim itu?” Lagi-lagi Pak Chandra menugaskanku tugas berat yang berhubungan dengan bahasa Inggris. Tapi kali ini aku benar-benar dibuat bingung sekaligus ada rasa menyesal di dadaku. Kalau saja bahasa Inggrisku sudah bagus waktu itu pasti Pak Chandra langsung menugaskan job itu ke aku. “Buat kapan Pak?” tanyaku polos. “Secepatnya. Kalau bisa hari ini. Orang Korea itu minta secepatnya. Dan videonya akan didubbing dengan dua bahasa, Korea dan Inggris,” “Lha, untuk bahasa Koreanya bagaimana Pak?” “Bahasa Koreanya mereka sendiri yang akan rekaman. Nah, bahasa Inggrisnya kita harus nyari. Cari yang bagus ya Sur!” perintahnya membuatku pusing saat itu juga. Aku mengangguk menyiyakan. Tapi kepalaku pening dibuatnya. Aku tidak banyak kenal orang-orang yang bisa bahasa Inggris. Ada satu teman kursusku dulu yang lumayan Inggrisnya. Tapi sekarang dia sedang berlayar ke Eropa. Ada lagi juga guru bahasa Inggrisku di desa. Tapi dia sudah cukup umur bahkan mungkin sudah pensiun, jauh pula dari Purwokerto. Ah, gak mungkin. Aku terus memutar otak membongkar memoriku. Aha! Aku ingat! Seketika itu juga aku terpikir teman baruku yang baru ku kenal di seminar. Tapi, kira-kira yang dibutuhkan Pak Chandra laki-laki atau perempuan aku belum tahu. 123

21 Sang Dubber Video Aku tak mau mengecewakan bos besarku. Aku segera menelepon Pak Chandra untuk menanyakan perihal dubber video yang dimintanya, apakah laki-laki atau perempuan. Sedangkan target yang aku punya adalah perempuan. Aku menunggu jawaban pasti dari Pak Chandra dan setelah melalui koordinasi dengan pihak Korea katanya OK. Deal! Perempuan! Aku lega. Aku banyak belajar dari orang Korea. Aku tak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Segera aku mencari buku kecil catatan nomor telepon kantor. Ketemu! International College! Aku langsung merapat ke tempat telpon di meja depan Pak Andika. “Selamat sore, International College dengan Shanti ada yang bisa saya bantu?” Suara lembut dan ramah dari seberang menyapaku. “Selamat sore, Mba. Bisa bicara dengan Mba Dian?” 124

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey “Ms. Dian. Sebentar ya Pak. Maaf ini saya berbicara dengan siapa ya?” “Suryo, Pak Suryo dari Top Photo.” “Oh, baik Pak Suryo. Maaf, Ms. Diannya sedang mengajar di kelas Pak.” “Apa bisa saya menyela sebentar? Barang dua menit.” Aku memelas. “Coba saya tanyakan sebentar ya Pak.” Aku menunggu untuk beberapa saat. Ada kekhawatiran di benakku kalau-kalau Mba Dian tidak bisa diajak kerjasama. Aku tahu dia sibuk kuliah dan mengajar di sana. Ah, nothing to lose! Namanya juga usaha. Aku percaya Mba Dian orang baik pasti dia mau membantu. Aku tak sabar untuk segera memenuhi keinginan Pak Chandra, orang nomor satu di Top Photo ini. “Halo Pak.” “Iya, gimana Mba?” Aku tak sabar. “Maaf Pak. Ms. Dian belum bisa menemui Bapak sekarang. Silahkan nanti Bapak menelepon lagi sekitar setengah jam.” Aku menggelepar. Aku tak sabar menunggu. Ini orang susah sekali sih diajak komunikasi. Apa mereka mengira aku bukan orang baik-baik. “Waduh Mba. Cuma dua menit saja masa nggak bisa Mba?” Keramahanku mulai luntur. “Iya maaf Pak. Saya sudah berusaha untuk menyampaikannya, tapi Ms. Diannya menyuruh Bapak untuk menghubunginya lagi nanti, setengah jam lagi. Bagaimana Pak?” Aku menghela nafas menjaga emosi agar tetap stabil dan tidak sampai tumpah. “Baiklah Mba. Tolong sampaikan ya. Nanti saya akan menelpon lagi,” Aku menutup telepon dalam keadaan mendongkol. 125

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Tiga puluh menit menunggu serasa tiga puluh hari. Menunggu sesuatu yang belum pasti adalah hal yang super menyebalkan yang ada di dunia ini. Akhirnya tiga puluh menit pun berlalu. Lagi, aku tak menyia-nyiakan waktu walau sedetik. Kutekan angka-angka di gagang telepon kantor dengan perasaan lebih berdebar. Jangan sampai aku terlambat hingga mendengar kabar dari resepsionis International College yang ramah itu bilang, maaf Pak! Ms. Diannya sudah pulang. Bapak kelamaan sih! Oh, Tidaaak! Akhirnya aku dipertemukan juga dengan seseorang yang dari tadi aku tunggu. Mba Dian atau ternyata di tempat kerjanya dipanggil Ms. Dian, seorang yang aku kenal sangat baik dan ramah dan mahir bahasa Inggris lagi. Hatiku berkata, aku sangat mengaguminya! Setelah sedikit berbasa-basi di telepon, aku memulai dengan inti percakapan sesuai tujuanku. Aku tidak mau terkesan main-main apalagi bercanda. Ini proyek penting yang harus aku kerjakan dengan profesional. “Jadi begini Mba Dian. Saat ini kami sedang membutuhkan seorang yang mahir dalam bahasa Inggris untuk dubbing video dalam bahasa Inggris yang sedang dalam proses editing. Karena video yang sedang kami garap ini merupakan kerjasama dengan orang Korea, jadi kami ingin mencari yang benar-benar bagus. Dan pilihan kami jatuh ke Mba Dian.” “Wah tawaran yang bagus Mas. Terimakasih atas kepercayaannya. Tapi apa tidak ada calon yang lain yang lebih bagus?” jawabnya merendah namun tetap terkesan profesional. “Tidak ada Mba. Pokoknya saya sudah mencari kemana-mana. Tak ada yang sebagus Mba Dian. Percayalah Mba. Kalau Mba bersedia saat ini juga akan saya jemput Mba Dian untuk menemui Pak Chandra bos saya.” Aku meyakinkan. “Maaf Mas, apa harus saat ini juga? Waduh kalau begitu saya belum bisa memastikan bisa atau tidaknya. Kayaknya terlalu terburu-buru.” 126

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey “Benar, Mba. Ini memang mendesak. Kami dituntut harus segera menyelesaikan pekerjaan ini. Orang Korea memang maunya cepat. Jadi kami mohon bantuan Mba Dian untuk bisa membantu saya. Gimana Mba?” Aku mendesaknya. “Masalahnya bukan saya nggak bisa bantu Mas. Tapi ini kan sudah malam. Dan ini terlalu mendadak belum ada persiapan apa-apa. Saya juga mesti pamitan dulu sama orang tua saya.” “Percayalah Mba sama saya. Saya nanti akan bantu minta ijin sama orang tua Mba Dian,” aku terus mendesak. Sejenak hening. Mungkin dia sedang berfikir. “Jadi saya jemput sekarang ya Mba! Bagaimana Mba?” “Baiklah Mas kalau begitu. Saya tunggu Mas Suryo di kantor sekarang ya!” Dia nyerah. Aku lega. Balon beban yang ada di kepalaku tiba-tiba pecah dan menimbulkan rasa lega yang luar biasa. Finally, semua beres. Walaupun masih ada pekerjaan satu lagi yang masih kupikul. Meminta ijin ke orang tuanya yang belum aku kenal. Dan ini sudah jam tujuh malam. Apakah mereka akan percaya denganku? Kenal saja belum sudah mau membawa anak perempuannya malam-malam. Terlalu berat buatku untuk melakukan pekerjaan seperti ini. Aku yang minder dan kurang percaya diri harus berhadapan dengan orang tua yang belum tahu seperti apa karakternya. Ah, aku harus bisa. Ini tak bisa lagi untuk diratapi. Aku harus melawan penyakit lamaku. Setidaknya aku harus berkata jujur dan apa adanya. Yes! Kejujuran dan kepolosan. Mungkin itu satu- satunya modal yang aku miliki. Aku langsung berkelebat dan menyambar tukang becak yang sedang ongkang-ongkang di depan kantor. Paman becak pun seperti tahu aku sedang buru-buru. Tanpa kenal lelah dia membantu menerbangkanku menemui Mba Dian yang sedang harap-harap cemas menungguku di depan kantornya. Setelah sedikit berbasa-basi dengan ramah dan tampak formal, kami berdua berkelebat lagi menuju rumah orang tuanya untuk 127

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey berpamitan. Aku semakin berdebar ketika dia menunjukan halaman rumahnya. Tuhan memang selalu bersama orang-orang yang berusaha dan yakin. Ternyata semua ini tak sesulit seperti yang aku bayangkan. Memang benar kejujuran dan kepolosan mukaku membuat orang tua Mba Dian langsung mengeluarkan SIPMM (Surat Ijin Pergi Malam-Malam) yang sangat berarti buatku. “Silahkan saja, Nak. Kalau memang itu penting sekali. Tapi pesan ibu, pulangnya jangan kemalaman, ya!” jawaban sang ibu singkat dan lembut melegakan dadaku yang dari tadi penuh sesak. Sang ibu tampak mengerti dengan maksud dan tujuan yang sudah aku jelaskan panjang lebar. Namun ada sedikit rasa khawatir dari tatapan mata sang ayah yang dari tadi cuma menyimak tanpa expresi. Memang seharusnya begitulah seorang ibu dan ayah. Tidak harus selalu seiya dan sekata. Aku menunggu reaksi sang ayah. Dan aku telah siap menerima apa pun. Dan ternyata sang Ayah tidak memberikan respon sama sekali. Seolah-olah semua keputusan ada pada sang Ibu. Itu artinya sang Ayah juga mengijinkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak diucapkan. Dan tugasku adalah hanya membuktikan kalau aku tidak main-main dengan anaknya karena ini hanyalah urusan pekerjaan. Tidak ada yang lain. Urusan perijinan usai dan berjalan lancar. Kami segera berkelebat lagi menuju rumah Pak Chandra yang jaraknya kurang lebih mencapai tiga kilometer. Paman becak masih menunggu kami di halaman rumah dan siap untuk melakukan perjalanan berikutnya. Pak Chandra menyambutku di rumahnya dengan hangat. Aku perkenalkan Mba Dian dengan gaya meyakinkan karena personil yang aku bawa juga sudah meyakinkan. Mba Dian langsung diperkenalkan dengan Pak Salim yang memang sudah berada di situ bersama Pak Chandra. Kami dibawa menuju studio edit dan rekam yang tidak terlalu luas di belakang rumah. Pak Salim langsung menjelaskan ini itu yang berkaitan dengan tujuan dan teknik rekaman. Mba Dian sangat mahir berkomunikasi dengan Pak Salim sehingga mempermudah Pak Salim dalam memberikan segala instruksi. Hari pertama berjalan lancar dan akan dilanjutkan pada hari berikutnya. Sungguh melelahkan namun 128

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey berakhir membahagiyakan. Dan aku bisa membuktikan pada Pak Chandra dalam tugas pekerjaan hari ini. Dan yang tidak kalah penting juga aku bisa membuktikan pada orang tua Mba Dian bahwa semua sesuai yang aku janjikan. 129

22 Buku Merah Kecil Dubbing video proyek Korea kelar sudah. Namun sekarang bukan cuma proyek Korea saja yang membutuhkan suara emasnya Mba Dian dengan bahasa Inggrisnya. Pak Chandra mempercayakan semua video dengan suara Mba Dian baik upacara pernikahan, peresmian gedung, seminar, bahkan upacara kematian dan dengan bahasa apapun mulali dari bahasa Inggris, bahasa Indonesia, maupun bahasa Jawa. Aku merasa bangga dibuatnya. Ternyata aku tidak salah pilih orang. Pak Chandra begitu percaya dengan kemampuan mahasiswa Ekonomi yang luar biasa itu. Dia memang tak hanya cakap dalam bahasa Inggris, tapi cakap pula dalam bergaul dan berwawasan luas. Energinya yang selalu optimis dan positif menghasilkan kerja yang baik dan membuat siapa saja yang bekerjasama akan mendapat kesan nyaman. Di ruangan tak seberapa luas inilah dia mengekspresikan dirinya. Ruangan itu dipenuhi dengan perangkat elektronik dan kaset-kaset video. Aku tak mengerti untuk apa saja fungsi dari perangkat tersebut. Yang aku tahu ada sepasang microphone,  headset, 130

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey untuk merekam suara dan kaset berlabel VHS dan Betamax yang berderet rapi di rak. Pak Salim menghabiskan sebagian waktunya di sini dengan seprangkat alat- alat tersebut untuk menyelesaikan proyek-proyek syuting yang akan menghasilkan video-video para pelanggan. Ruangan ini juga terlihat kedap suara. Dan kami hampir dua malam sekali menyambangi tempat ini untuk mengisi suara video-video hasil syutingan Pak Salim. Pak Salim begitu menghargai kemampuan Mba Dian. Dia sangat mengagumi kemampuannya dalam berkomunikasi dan bergaul. Tidak seperti diriku yang kurang percaya diri dalam berkomunikasi. Akan tetapi kami pun saling menghargai masing- masing. Aku pendiam, susah menyesuaikan diri, dan simpel sedangkan Mba Dian yang cakap dan mudah melebur dengan lingkungan baru. Setelah beberapa hari kami saling berkutat di studio mini itu, timbullah kecurigaan Pak Salim kepada kami berdua. Wajar saja kalau Pak Salim curiga. Kapanpun Mba Dian ada pekerjaan dubbing, aku selalu ada bersamanya. Aku sangat maklum dengan tatapan mata dan ledekannya yang mulai sangsi pada kami dan hingga keusilannya sempat buat kami geram. Tapi entah kenapa aku merasa bungah. “Kemarin aku lihat Mba Dian di depan ‘Sri Ratu’ sama siapa ya?” Pak Salim mulai usil. “Kemarin? Aku nggak kemana-mana kok Pak?” jawabnya serius. “Ciye sama siapa hayo?” aku ikutan meledek. “Engga kok Mas. Siapa bilang?” Mba Dian yang tidak merasa langsung mengelak. “Aku yang bilang!” Pak Salim segera menyahut. “Ah, Pak Salim. Sukanya mengarang cerita. Beneran Pak Salim, kemarin aku tuh di rumah habis dari kampus trus bersihin kandang ayam,” bantahnya sedikit kesal. Aku terus terang kaget dia bilang bersihin kandang ayam. Ternyata itu memang benar. Dia memang rajin membantu ayahnya membersihkan kandang ayam ternaknya. Ayahnya memiliki peternakan ayam yang jumlahnya ratusan. 131

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey “Ha ha ha... Ternyata Mas Yo cemburu,” Pak Salim tertawa ngakak melihat mukaku yang tiba-tiba berubah. Dia memanggilku ‘Mas Yo’. Terserah dia sajalah. Pak salim sengaja memancingku. Dia hanya mengarang cerita agar aku terpancing. Dasar sialan si Bapak ini! umpatku dalam hati. Begitulah kalau pak Salim sudah mulai mengerjai kami. Dia merasa senang melihat kami berdua bersitegang untuk saling mengelak sedangkan dalam hatinya menerima. Entah apa tujuannya aku tak tahu. Faktanya, kami memang tidak ada hubungan spesial seperti yang disangkakan Pak Salim. Pak Salim terlalu cepat menilai bahwa kalau ada laki-laki dan perempuan bersama dengan frekwensi yang intens harus ada hubungan spesial. Pemikiran yang terlalu sederhana. Kami hanyalah teman kerja yang saling menghargai dan saling membutuhkan, itu saja tidak lebih. Kami saling menjaga bahwa ini adalah urusan pekerjaan. Hanya saja aku tidak tega melihat dia untuk melakukan pekerjaan ini seorang diri tanpa ada yang mengantar. Karena aku merasa bertanggung jawab. Eit, tanggung jawab? Tanggung jawab apa? Mengapa aku harus merasa tanggung jawab? Aku benar-benar tidak mengerti seberapa jauh aku harus bertanggung jawab. “Sudahlah Mas Yo, nggak usah malu-malu. Mas Yo single! Mba Dian juga single. Cocoklah! Tunggu apa lagi?” Pak Salim terus mendesak dan seolah ingin kami cepat- cepat untuk mendeklarasikan ke dia bahwa kami pacaran. Aku mengacungkan kepalku ke arah Pak Salim tanpa memberi komentar. Pak Salim ngakak. Mba Dian melempar buku kecil warna merah ke arah Pak Salim. Suasana studio jadi riuh. Sementara pikiranku seketika mengangkat bermacam-macam cerita romantis di film-film Walt Disney yang penuh dengan kekuatan magic para peri. Kemudian beralih ke film-film India yang tiba-tiba ada pertemuan kemudian saling menatap dan jatuh cinta. Alangkah indahnya film film itu dibuat untuk membuat imajinasi kita mengembara. Kisah nyata tidak semudah film Disney maupun film India. Aku harus mampu menghentikan pengembaraan ini. Di sela-sela dubbing, ketika Pak Salim sedang khusyu dengan peralatannya, selalu saja 132

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey ada waktu untuk kami berdua mengobrol. Tapi cara mengobrol kami tidak memancing Pak Salim untuk berkomentar. Karena kami melakukan online chatting via buku kecil warna merah yang selalu setia di tas kecilnya. Kami bergantian menulis di buku merah itu. Maklum, dulu belum jamannya Whatsapp Messenger. “Mba Dian, gimana sih cara belajar bahasa Iggris biar bagus seperti Mba? Kapan dong aku diajarin?” Tulisanku membuka percakapan. Kemudian aku serahkan buku merah kecil serta pulpennya. “Sekarang juga bisa. Tapi Mas Suryo harus ngomong, bukan nulis.” Dia menuliskan kalimat ini. Aku berfikir untuk menjawabnya. “Wah, aku malu, Mba. Bahasa Inggrisku kacau,” jawabku hanya simpel saja. Sebenarnya bukan hanya bahasa Inggrisku yang kacau. Hatiku pun sedang kacau. “Kalau ingin bisa, nggak boleh malu. Terserah Mas Suryo saja kapan mau mulai. Aku tunggu sampai Mas Suryo siap.” Dia menantangku. Aku berfikir lagi mau menjawab apa. Aku memutar-mutarkan pulpen dengan jemariku untuk membantuku menelorkan ide dalam menjawab. “Kapan ya?” Hanya itu yang aku tulis setelah memutar-mutarkan pulpenku. “Kapan, Hayo?” “Lho kok jadi tebak-tebakan. Emang ada hadiahnya?” Aktifitas tulis menulis menjadi tren diantara kami. Buku merah kecil yang selalu dia bawa di tas mungilnya menjadi perantara kami berdua ketika enggan mengatakan sesuatu yang sedikit pribadi. Buku merah menjadi mediator yang menghubungkan suasana hati yang kadang ingin dicurahkan dan tak mampu untuk mengatakannya secara lisan. Hubungan pertemanan yang aneh. Tapi itu nyata. Kadang buku merah kecil ini pulalah yang menjadi ajang untuk belajar bahasa Inggris. Kegiatan dubbing berlanjut hingga paman becak hafal dengan kami berdua. Jalan Sudirman itu selalu kami lalui berdua di atas becak menuju studio rekaman. Jarak dari 133

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey rumah Mba Dian ke studio cukup jauh sehingga banyak waktu di atas becak yang kita gunakan untuk saling bertukar cerita. Kami mulai mengenal pribadi masing-masing. Kami merasa saling nyaman baik ngobrol tentang pekerjaan maupun hal-hal yang bersifat ilmu pengetahuan dan hiburan. Kami seakan merasa saling membutuhkan dan saling menanti. Kadang terlintas di pikiranku kata-kata Pak Salim yang waktu itu aku pungkiri. Tapi aku selalu berusaha untuk menepisnya. Aku tidak mau terburu-buru. Aku belum sepenuhnya yakin dengan diriku sendiri. Aku yakin akan ada waktu yang tepat suatu saat nanti. Aku akui semenjak pertama kali bertemu di seminar dulu, aku merasa ada sesuatu yang aneh yang aku belum pernah rasakan sebelumnya. Selalu ada perasaan ingin bersama dan perasaan sepi ketika tidak ada jadwal dubbing sehingga aku harus menghabiskan malam sendirian. Toko-toko sepanjang jalan Sudirman yang kami lintasi seperti tak satupun yang mengerti dengan suasana hati sepasang teman ini. Mereka tak tahu apa yang kami sebenarnya rasakan. Paman becak pun mungkin tak tahu kalau kami yang selalu berdua ini hanyalah teman biasa. Hanya buku merah kecil yang selalu dia bawa yang akan mengerti perasaan kami berdua. Karena kami selalu bercerita di sana walaupun masih bermakna samar dan belum bisa dimengerti sepenuhnya. Masih ada kegamangan di setiap coretannya. Masih ada makna tersirat dan abstrak di setiap kalimatnya. Apakah kalian bisa bantu ada apa di balik semua ini? 134

23 Gadis Kecil Penjaja Krupuk Aku terkesima dua belas kali mendengarkan dia bercerita malam itu di atas becak sepanjang jalan Sudirman. Dia berkisah tentang perjuangan seorang gadis kecil yang ingin menggapai masa depannya dengan segala keterbatasan dan membuatnya menjadi semakin dewasa dan mengerti betapa hidup perlu diperjuangkan. Sambil berkaca-kaca dia terus berkisah; Genangan air berwarna hitam dari got-got mampet yang berada di samping kiri dan kanan di antara rumah-rumah yang berhimpitan sangatlah berbau busuk dan menusuk. Gadis itu berjalan terseok sambil beringsut menyeka keringatnya yang berusaha mengalir ke pelipisnya dan seperti tanpa mempedulikan dan tetap membiarkan bau itu keluar masuk hidungnya. Got-got itu adalah masalah klasik yang tak terlalu menjadi soal yang perlu penanganan serius bagi masyarakat di 135

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey sana. Sarang nyamuk itu pun tak begitu mengganggu kehidupan mereka. Mereka lebih suka melakukan hal-hal praktis seperti mengoleskan lotion anti nyamuk ke bagian tubuhnya ketimbang harus membereskan saluaran air yang sudah menjadi sarang nyamuk itu. Berulang kali pula gadis kecil itu menyibakkan rambutnya yang terurai seleher dan bagian atasnya mulai memerah karena terbakar panasnya matahari kota Indramayu. Tangannya yang mungil menyangklong wadah yang penuh dengan jajanan dan siap ditawarkan ke orang-orang sepanjang lorong gang. Beberapa ibu di depan rumahnya berusaha memanggilnya untuk membeli jualan titipannya yang dibawanya. Senyumnya mulai mengembang diantara peluhnya ketika barang dagangannya mulai dibeli. Harapan untuk mendapatkan uang jajan hari itu akan terpenuhi ketika dia berhasil menjual semua dagangan titipan hari itu. Dua ribu lima ratus rupiah merupakan uang yang cukup untuk membuatnya bahagia. Orang tuanya yang hidup dengan segala keterbatasan membuatnya dia bekerja keras demi memenuhi keinginan yang sangat lumrah bagi seorang anak kecil yaitu jajan. Bagi dia harga sebuah makanan kecil atau jajan harus ditukar dengan bekerja keras. Setidaknya hal itu bisa diperoleh jika mau membantu sang ibu berjualan krupuk. Dia harus berjalan menyusuri kampung, jalan raya, pasar, sekolahan, mushola, dan stasiun kereta. Kadang dia harus menunggui jualannya di depan mushola sambil ikut mengaji dari luar. Kesempatan mengaji dia lakukan sambil berjualan. Selain menjajakan dagangan titipan atau jualan krupuk ibunya dia juga harus berkorban waktu paginya sebelum jam sekolah dimulai. Setiap pagi dia berusaha berangkat sepagi mungkin demi teman terbaiknya. Si gadis pun harus berangkat lebih pagi untuk berangkat ke sekolah bersama dengan teman dekatnya, Erna. Bahkan dia berusaha sampai rumah temannya itu sebelum dia terbangun. Di sana, gadis kecil itu akan mendapatkan sarapan pagi setiap kali mengajak teman terbaiknya itu berangkat sekolah. Walaupun itu bukan tujuan, tapi karena niat baiknya itulah dia mendapatkan balasannya. Erna anak orang yang serba kecukupan. Papahnya seorang bisnis yang lumayan. 136

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Si gadis hanya merasa heran terhadap anak seprti Erna. Betapa hidangan sarapan pagi yang menurut si gadis itu sangat mewah dan enak. Namun Erna sendiri enggan memakannya. Apa sebenarnya yang terjadi di dunia ini begitu terbalik. Erna yang sedemikian orang tuanya memperhatikan dan mampu memberikan sarapan enak malah tidak bisa menikmatinya. Si gadis yang ingin sekedar menikmati sarapan seadanya pun kadang orang tuanya tak mampu menyediakannya. Si gadis juga punya rasa malu. Sering kali dia menolak untuk sarapan di rumah Erna, namun papahnya selalu memaksanya. Mereka adalah orang kaya yang baik hati. “Ayo Nong sarapan!” begitu dia memanggil si gadis. “Udah Bah! Saya sudah makan,” jawab si gadis sopan. Si gadis memanggil papah Erna dengan panggilan Babah sebagaimana umumnya masyarakat memanggilnya ‘Babah’ untuk sebutan ‘Bapak’ bagi orang keturunan Tionghoa. “Ayolah! Biar Erna ikut makan! Si Erna itu susahnya minta ampun kalau suruh makan!” begitu papah Erna berkeluh merasa khawatir. “Iya Bah,” jawab si gadis berusaha menuruti saran papah Erna. Sejak TK, SD, hingga SMP si gadis tidak pernah membayar biaya sekolah. Biaya pendidikan sudah dibayar oleh seseorang yang memang mampu dan berbaik hati untuk membiayai si gadis. Si gadis memang sudah menunjukan kecerdasannya dan orang kaya tersebut akan merasa bangga dan puas bisa membantu si gadis. Mereka tahu kehidupan si gadis yang serba kekurangan tapi masih mau bekerja keras untuk membantu orang tuanya berjualan di antara jam sekolah dan jam bermain sebagai anak-anak. Si gadis bersekolah di sekolah Kristen dari TK hingga SMP. Baginya sekolah adalah tempat yang paling menarik untuk menghabiskan masa anak-anaknya. Agama adalah kepercayaan yang tidak bisa di beli walaupun dia berada di lingkungan Kristen sedari kecil. Mereka para donatur pendidikan yang membiayainya juga beragama Kristen namun sedikitpun tidak pernah menyentuh masalah agama yang 137

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey si gadis dan keluarganya anut. Mereka hanya beritikad membantu si gadis karena memiliki kepekaan yang tinggi dengan permasalahan sosial. Membantu tidak harus melihat apa agama dan etnis orang yang dibantunya. Itulah yang sudah mereka lakukan terhadap si gadis hingga bisa mengeyam pendidikan sampai SMP di yayasan yang sama. Kesempatan belajar dengan bantuan biaya pendidikan bagi si gadis pun harus berakhir di kelas dua SMP. Bukan karena sang donatur keberatan untuk melanjutkan pembiayaan si gadis. Namun karena si gadis mendapatkan tawaran untuk hijrah ke sebuah kota di Jawa Tengah. “Nok, kalau kamu mau sekolahmu lanjut, Bapak ada kakak di Jawa Tengah. Namanya Pakde Byakto. Dia seorang guru SMA di Purwokerto. Pakde dan budhe Byakto itu tidak punya anak. Kalau kamu mau, Bapak bisa antar kamu ke sana,” Sang bapak menarik nafas dalam-dalam seolah ingin menelan kembali kata-kata yang sudah dikeluarkannya. Mendengar kata Jawa Tengah si gadis langsung mengangguk tanpa berpikir panjang. Yang ada di otaknya ‘Jawa Tengah’ sangat identik dengan pendidikan. Hampir delapan puluh persen guru-gurunya di Indramayu berasaal dari Jawa Tengah. Impiannya untuk bisa bersekolah lanjut di Jawa Tengah sudah mampu mengalahkan segalanya. Semua kehangatan kampung halamannya, kedekatan Ayah dan Ibunya, Kakak dan adiknya, sekolahnya dan tentunya Erna sahabatnya. Si gadis bertekad untuk merantau ke Jawa Tengah dan bersekolah di sana. Dia begitu yakin bahwa masa depannya harus dia rajut di sana. Aku mau belajar di kota pendidikan di Jawa Tengah itu sudah menjadi tekadnya kalaupun dia harus mengorbankan perasaannya untuk berpisah dengan semua orang-orang terdekatnya. Mimpi itu harus dikejar dan diperjuangkan. Hingga pada suatu malam di tengah hujan di mana dia harus menangis sejadi-jadinya karena harus berpisah dengan sang Bapak yang mengantarkannya ke rumah Pakde dan Budenya yang belum dia kenal sebelumnya. Jawa Tengah sudah menjadi tempat yang dia cita-citakan untuk melanjutkan pendidikannya. Deraian air mata dan air 138

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey hujan menyatu dan menjadi saksi tekadnya untuk belajar dan penyemangat hidup si gadis yang saat ini sedang berkaca-kaca duduk di atas becak di sebelahku. Si gadis pejuang ini telah berubah menjadi gadis dewasa yang mandiri dan smart. Aku semakin merasa bangga bisa mengenalnya dan bisa menjadi teman baiknya. Dialah Mba Dian si gadis kecil itu. 139

24 Cafe Hotel Berbintang Malam nanti Mba Dian tidak ada jadwal dubbing. Artinya aku tidak ada acara mengantar dia ke studio rekaman. Aku belum berfikir untuk merencanakan sesuatu untuk nanti malam. Tak ada yang istimewa selain berduaan di atas becak menuju studio. Sebelum ada aktifitas mengantar Mba Dian dubbing, aku biasanya pergi ke bioskop hanya sekedar menelan kesunyian malam sendirian. Teman kosku satu-satunya, Irwan, sudah punya teman spesial yang hampir tiap malam dia kunjungi. Sekarang aku sudah tidak lagi ada keinginan ke bioskop. Sempat terlintas untuk mengajaknya menonton tapi selalu urung. Takut dia tak suka ke bioskop dan tepatnya memang tak ada nyali mengajaknya. Tiba-tiba telepon di depan meja Pak Andika bergetar dan menderingkan suara yang mengerikan di telingaku. Aku tak mengangkatnya. “Mas, telpon buat Mas Suryo, nih.” Mba Ari meneriakkiku. Aku bangkit masih dengan malas-malas. 140

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey “Halo, Mas. Maaf mengganggu.” Suara itu tak asing bagiku. Jantungku berdegup lebih kencang mengikuti irama kegugupanku. “Halo, iya mba Dian. Ada apa yah?” tanyaku formal. “Begini Mas. Saya ada undangan meeting gathering dengan Rotary Club Purwokerto di Cheers Cafe hotel Dinasty. Kami para anggota Rotary muda termasuk saya akan menghadiri acara meeting tersebut. Tapi saya nggak ada teman untuk berangkat ke sana. Mas Suryo ada acara nggak besok malam?” Aku sontak gelagapan tak tahu harus menjawab apa. Cheers Cafe di hotel berbintang itu? Mba Dian ini memang seorang gadis yang luar biasa. Selain sibuk kuliah dan mengajar dia juga masih terjun ke bidang sosial. Dia banyak menghabiskan waktu luangnya untuk berkontribusi di Rotary Club. Di sana dia berperan di Rotary mudanya atau dikenal dengan Rataract. Rotaractor membantu pelaksanaan kegiatan Rotarian dalam kegitatan-kegiatan bakti sosial atau charity. Selain itu dia juga aktif membantu program pertukaran pelajar antarnegara tentunya karena kemampuan bahasa Inggrisnya yang ‘wow’ itu. Kerjanya mengurusi segala keperluan dan kegiatan para pelajar dari luar negeri seperti Amerika, Kanada, Australia, dan negara lainya. Sungguh aku selalu ingin banyak belajar darinya. Selain percaya diri dia juga memiliki seabrek kemampuan. “Kalau malam Minggu besok sepertinya saya ngga ada acara,” jawabku berlagak sok sibuk dan banyak acara. Sebenarnya bukan hanya malam Minggu besok bahkan malam Minggu-malam Minggu yang lain pun akan selalu sama, tidak ada acara. “Iya Mas besok malam. Kira-kira keberatan ngga Mas kalau menemani saya ke acara itu? Itu acara penting Mas. Bisa nambah wawasan dan dijamin banyak ketemu teman. Ada teman-teman saya juga dari Australia Mas. Nanti bisa belajar bahasa Inggris.” Aku sejenak merenung dan berfikir. Kesempatan yang baik sekali bagiku untuk mempraktekan bahasa Inggrisku. “Gimana Mas? Bisa ngga?” Dia mendesakku. 141

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Akhirnya aku pun tak kuasa menolak. Ini akan menjadi suatu pengalaman baru buatku. “Ok bisa! Besok malam saya jemput ya mba?” Aku menjawab lantang penuh optimis. Anganku melambung. Aku berjanji aku akan sebaik-baiknya memanfaatkan kesempatan ini untuk belajar bergaul. Karena bergaul dengan lingkungan baru bagiku ibarat aku akan berangkat berperang yang aku belum tahu senjata apa yang akan kugunakan. Aku hanya punya sedikit tekad menjadi lebih baik. Hotel berbintang berlantai empat itu tampak begitu megah dan memang merupakan hotel termegah di kota Purwokerto saat itu. Biasanya aku hanya melihat bangunan itu dari jalan raya saat melintas depan gedung. Namun kali ini aku benar-benar melangkahkan kakiku yang pertama di dalamnya. Memasuki front door hotel, kakiku terasa berat untuk diajak melangkah menuju Cheers Cafe di lantai satu. Aku merasa mati gaya. Seolah-olah semua mata tak ada yang luput memandang kedatangan kami berdua bak menyambut mempelai pria dan wanita yang sedang berjalan menuju pelaminan. Kami datang terlambat karena becak yang biasa aku pesan sedang absen. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba tangan kami sudah bergandengan dan seakan- akan memproklamirkan bahwa kami adalah sepasang kekasih yang berbahagia. Aku masih tak tahu harus bersikap bagaimana. Keringat dingin mulai membasahi pakaian bagian dalamku. Aku hanya mampu melakukan apa saja yang Mba Dian lakukan. Menebar senyum seramah-ramahnya, bersalaman sehangat-hangatnya, menjawab pertanyaan sesimpel-simpelnya jika ada yang bertanya, atau berdiri mematung ketika Mba Dian sedang asyik berbicara dengan teman-temannya. Beberapa diantaranya ada yang meledek dengan kata-kata yang membuatku ingin segera bergeser dari tempat itu. “Selamat ya Yan! Ganteng, lho!” Mereka memanggil Mba Dian dengan panggilan akrab ‘Yan’. Aku dibuat kikuk. “Wah, surprising Yan! Kayaknya belum pernah dikenalin ya.” Teman yang lain 142

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey menimpali. “Ih, apaan sih kalian? Ini temanku dari Top Photo,” jelasnya. “Teman apa teman?” Yang lainnya menyahut. Mba Dian tidak menggubris. Dia pura-pura tidak mendengar dan langsung menyambangi bapak-bapak yang duduk berseberangan dengan istrinya yang dari tadi senyum-senyum ke arah kami. Aku pun mengikutinya dari belakang. “Ayo Dian, duduk!” Mereka sangat hangat dan ramah. Kami menyalami sepasang suami istri paroh baya tersebut dan tetap berdiri diantara mereka karena belum terlihat ada kursi yang kosong. Dalam posisi itu aku tambah kikuk merasa semakin diperhatikan orang-orang. Akhirnya kami pun menemukan dua kursi kosong di meja besar berdekatan dengan sepasang Opa Oma yang sedang menikmati hidangan malam. Mereka juga menyambut kami dengan sangat hangat dan kami duduk berdesakan di antara mereka. Sesuatu terjadi dan sangat membuatku malu. Aku benar-benar seperti seorang culun kampung yang sedang berusaha menjadi orang kota. Saat kami mencoba mengambil hidangan malam, tanpa aku sadar aku menjatuhkan sendok hingga menimbulkan suara nyaring tak terkira. Keringatku mengucur di seluruh tubuhku. Banyak mata menatap ke arah kami. Opa Oma yang ada di depanku berusaha menghiburku dengan bahasa yang sangat menenteramkan. Mba Dian memandangku dengan senyuman terbaiknya. Aku merasa lebih relax dan tenang walaupun jantungku sudah mau lepas dari pangkalnya. Mba Dian yang aku kenal belakangan ini ternyata belum seberapa. Dia adalah orang yang sangat supel dan populer di gathering itu. Semua orang mengenalnya dengan baik. Banyak diantara mereka sengaja menggunakan bahasa Inggris dengan Mba Dian hanya untuk sekedar menguji kemampuan berbahasa Inggrisnya. Mba Dian meladeninya dengan baik. Mereka para orang sukses yang tergabung dalam kegiatan sosial dan itu luar biasa. Aku harus banyak belajar dari Mba Dian yang bisa begitu 143

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey dekat dengan kumpulan para pengusaha dan beberapa pejabat. Dengan sangat lamban acara gathering Rotary itu usai juga. Hatiku lega bukan kepalang. Aku belum terbiasa dengan party seperti ini. Aku tak becus menjadi orang kota. Impianku untuk menjadi orang sukses di kota ternyata masih sangat terbatasi dengan jiwa minderku. Keluar dari cafe kami berjalan kaki di pelataran parkir menuju jalan raya. Kami tidak menuju tempat parkir karena memang tidak memarkirkan kendaraan. Kami berangkat naik becak. dan langsung menuju pangkalan becak untuk memanggil paman becak yang berderet menunggu calon penumpang di tepi jalan depan hotel. Baru saja tanganku melambai ke arah deretan becak, tiba-tiba sebuah Kijang berhenti di sebelah kami. ”Mau naik apa Yan?” Seorang bapak ramah yang tadi menyapa kami dari dalam mobil dengan tatapan mata sangat bersahaja. “Ini mau naik becak Pak,” Mba Dian segera menjawab. Aku celingukan mencoba memberikan senyum terbaikku tanda mengiyakan. “Ikut saja yuk! Ke Kolonel Sugiyono, kan?” Bapak tadi menawarkan tumpangan. Mba Dian melirikku memberikan isyarat meminta persetujuan. Aku bingung. Sementara paman becak terbengong, jadi dipesan apa engga. “Enggalah Pak. Kami sudah pesan becak,” jawab kami hampir serempak. “Udah, ngga papa. Naik saja. Ayo, kan jauh naik becaknya,” Si Bapak mulai memaksa dan kami harus kalah. Akhirnya malam itu kami pulang naik mobil si Bapak baik itu. Ada rasa malu tapi Mba Dian selalu bisa menetralisir suasana. Aku tahu Bapak dan istrinya ini terasa begitu dekat hubungannya sama Mba Dian. Mereka begitu intim ngobrol seperti satu keluarga tanpa batas. Aku sendiri yang masih belum bisa melebur dengan suasana ini. Aku tenggelam dengan pikiran-pikiranku sendiri yang sulit untuk diajak berkompromi. Aku tak bisa menyimpulkan dengan baik dengan peristiwa malam hari ini. 144

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Kebahagiaan kecil yang aku dapatkan selama bersamanya malam ini begitu tak mudah kulupakan. Meskipun aku masih ragu dengan diriku sendiri untuk ingin jauh lebih dekat lagi dengannya, tapi ada sedikit optimis di dalam hati kecilku. Bahwa aku merasa ada kekuatan yang lain yang selalu ingin mempertemukan kami. Entah itu kebetulan atau memang mungkin Tuhan sedang berencana untuk menyatukan aku dan dia. Banyak sekali kebetulan yang seperti sudah dirancang dengan baik oleh kekuatan itu. Cheers Cafe menjadi saksi malam itu. Para tamu itu menjadi saksi kebersamaan malam ini. Semua tampak sempurna walaupun aku merasa sangat tidak sempurna dengan semuanya. Karena masih ada sesuatu yang masih terasa mengganjal di relungku paling dalam. Aku pun tak tahu ada apa di sana. Semoga misteri hati ini segera terkuak. 145

25 Harus Malam Ini Intensitas pertemuanku dengan Mba Dian menjadi semakin sering seiring dengan berbagai kegiatan yang menjadi ajang pertemuan baik secara kebetulan maupun secara tidak sengaja. Urusan dubbing yang juga semakin sering karena ramainya order video shooting di Top Photo. Belum beberapa kegiatan yang kadang membutuhkan kami untuk menciptakan terjadinya sebuah pertemuan yang tak terhindarkan. Keterbukaan diantara kami selama perjalanan di atas becak semakin terkuak dan menumbuhkan simpati diantara kami berdua. Cerita-cerita tentang keluarga masing-masing mulai kami jadikan pedoman bahwa betapa kami sudah mulai saling membuka sedikit latar belakang kami masing-masing. Pertemuan demi pertemuan membuatku semakin yakin bahwa dialah perempuan yang mungkin bisa diajak bersama dalam pergulatan hidup selanjutnya. Mungkin ini terdengar terlalu naif dan melambung. Namun aku semakin yakin dan akan terus bermimpi bahwa chemistry yang tercipta diantara kami semakin terasa. Kami seperti dua orang yang saling membutuhkan dan menyayangi tetapi ragu untuk 146

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey memulai menyatakannya. Aku pun sedikit dapat menyimpulkan dari setiap pandangan matanya bahwa diam-diam dia pun menaruh hati padaku. Mudah-mudahan ini bukan merupakan kesimpulan konyol yang akan mempermalukanku ketika suatu saat nanti aku akan menyatakan sesuatu padanya. ‘Ibu, tolong anak laki-lakimu ini.’ Ibuku yang di desa pasti ikut merasakan apa yang aku rasakan. Hari ini adalah hari yang kesekian dari kegiatan dubbing video di studio milik Pak Chandra. Siang tadi aku mendapat telepon dari Pak Salim bahwa malam nanti akan ada dubbing lagi. Tentunya aku pun harus segera menghubungi mba Dian untuk  dubbing nanti malam. Aku mencoba menelepon rumahnya dan ternyata dia masih sedang kuliah. Mungkin sebaiknya aku mendatangi langsung saja rumahnya. Ini adalah kesempatan baik buatku untuk mencoba menata hati dan kata bahwa aku mencintainya harus segera aku sampaikan. Keyakinan nuraniku selalu membisikan bahwa tak akan ada lelaki lain yang pantas mendampingi dia selain diriku. Akulah orangnya yang akan pertama kali menyatakan cinta kepadanya. Tetapi logikaku berkata lain bahwa mungkin saja ada lelaki lain yang akan lebih dulu menyatakan hal yang sama kalau aku terus menundanya. Aku semakin dibuat gundah. Aku tak mau mendengar berita bahwa ternyata sudah ada lelaki lain yang lebih dulu menjadi teman dekatnya. Aku tidak siap hal ini akan terjadi. Harus malam ini. Aku sudah membulatkan tekadku untuk menyampaikan kata-kata penting ini di atas becak ketika dalam perjalanan pulang dubbing. Dan ini sungguhan karena ini bukan acara reality show di TV yang akan mendapatkan rating tinggi karena banyak pemirsanya. Rencana ini harus segera aku realisasikan sebelum semuanya terlambat. Waktu berjalan begitu cepat. Jam di kantor tiba-tiba saja sudah menunjukan pukul 17.00 WIB. Saatnya aku berkemas dan segera pulang ke tempat kos. Aku harus menyiapkan mentalku sebaik-baiknya bukan penampilanku. Aku harus siap dengan segala yang akan terjadi sekalipun itu penolakan. Selepas magrib, aku bergegas ke rumahnya. Aku hanya berjalan kaki dari rumah kos ke tempatnya. Karena jarak antara rumah kosku dan rumahnya tidaklah jauh hanya cukup menyebrang dua jalan raya dan cukup mengambil shortcut, sudah sampai. 147

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Kurang lebih satu kilometer. Tak banyak orang di rumah itu sama seperti biasanya. Aku disambut dengan senyum ramah sang ibu yang tampak sangat bijaksana. Memang sudah menjadi kebiasaan. Aku jarang disambut mba Dian langsung karena aku tahu dia pasti masih sibuk di dapur membantu menyiapkan makan malam keluarga. Dia tergopoh-gopoh menyambutku dengan sedikit kerutan di dahinya, terlihat ada kecemasan pada pancaran matanya. Ada apakah gerangan? ”Maaf Nak.” Sang ibu menegurku selesai aku mengucapkan salam. “Diannya, sedang nggak di rumah. Barusan dia pergi sama temannya, Fredi...” katanya terkesan ragu untuk menyampaikan. Aku terhenyak dan serasa tulang-tulangku meleleh. Sekuat tenaga aku berusaha menetralisir keadaan. Tapi anehnya sang ibu tampak begitu cemas dengan keadaan ini. Bukankah kehadiranku juga tanpa ada perjanjian temu sebelumnya, jadi kalau dia sedang ada acara ya sudah menjadi konsekuensiku. Tapi sang ibu sangat menunjukan kecemasannya dan seolah-olah tahu dengan apa yang aku rasakan. “Oh, sedang pergi ya Bu? Ya sudah gapapa kok bu. Saya tadi memang tidak menelpon dulu kalau mau menjemput ada dubbing hari ini. Saya pikir tidak ada acara.” “Tadi sih bilangnya keluar sebentar, entah mau beli apa atau ke mana gitu, ibu gak begitu jelas.” “Nggak apa apa kok Bu. Ya udah saya pamit dulu saja Bu.” “Duduk dulu saja Nak. Kayaknya nggak lama kok. Ditunggu dulu barangkali limabelas menit atau setengah jam dia pulang, soalnya dia bilang nggak lama kok,” kata sang ibu seperti memelas dan merasa bersalah. “Baiklah Bu,” Aku tak kuasa menolak. Antara tujuan profesional dan pribadiku membuatku harus tetap tinggal dan menunggunya. Aku pun menempatkan diri di atas sofa sesantun mungkin. Aku melirik jam dinding yang di atas sana menunjukan pukul 19.15. Sang ibu ikut duduk di depanku. Kami berhadap-hadapan. Tak terasa kami sudah 148

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey larut dalam obrolan yang hangat entah tentang apa saja. Sang Ibu banyak bertanya mengenaiku, akupun banyak bercerita tentang asalku, orang tuaku dan pekerjaanku tanpa aku tutup-tutupi. Rupanya beliau sangat berkenan mengobrol denganku. Beliau menganggapku seolah telah menemukan anak lelakinya kembali yang telah lama hilang. Aku sangat senang bisa ada kesempatan berbicara dengan sang Ibu. Ternyata Beliau begitu ramah dan baik. Aku seperti menemukan orang tuaku sendiri. Pantas saja kalau Mba Dian betah tinggal bersama budenya ini. Banyak hal menarik yang aku dapatkan dengan mengobrol dengan orang tua. Aku bisa menangkap kegelisahan orang tua terhadap anaknya, walaupun Mba Dian bukanlah anaknya, hanya keponakannya. Tapi beliau tampak begitu menyayangi. Hal yang sangat luar biasa dan aku harus banyak belajar dari beliau. Setidaknya obrolanku dengan sang ibu mampu sedikit melupakan tujuan pribadiku untuk menyatakan sesuatu yang sudah aku persiapkan. Tak terasa sudah tiga puluh menit lepas dari jam kedatanganku. Rupanya yang aku tunggu pun tak kunjung datang. Aku pamit dengan sedikit menata hati yang dipenuhi berbagai rasa dan tanya. Selama ini rupanya aku salah mengartikan kedekatan hubunganku dengan Mba Dian. Sebagai lelaki aku merasa terlalu lugu untuk mendapatkan pengalamanku bergaul dengan perempuan. Aku terlalu optimis dengan bualan-bualan anganku sendiri. Aku belum bisa membedakan pemahaman antara teman, partner kerja, dan kekasih. Aku masih terlalu awam untuk bisa lulus ujian pemahaman tingkat dasar ini. Peristiwa itu menjadikan bahan pelajaran terbaik bagiku untuk tidak terlalu cepat menyimpulkan perasaan seorang perempuan. Aku tidak boleh gede rasa mungkin sebaiknya mati rasa. Aku mencoba menyikapi perasaan ini dengan sebiasa mungkin dengan tidak mempengaruhi apapun yang telah menjadi rutinitas pekerjaanku. Aku tetap harus bekerja secara profesional dan tidak mencampurkan antara perasaan seorang lelaki polos yang mencoba jatuh cinta dan pekerjaan. Mba Dian adalah partner kerjaku yang 149

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey baik. Dia pintar dan rendah hati. Aku harus pahami itu dan tidak merusaknya. Akan tetapi perasaan lelaki polos ini tetap saja tak bisa dipungkiri bahwa getaran-getaran elektromagnetik asmara yang halus ini tetap bergetar ketika aku bertemu dengannya. Mungkin itu bagian dari sudut normalku sebagai manusia yang punya rasa. Besoknya, sebelum aku menelpon dia untuk janji dubbing yang gagal semalam, aku terlebih dulu mendapatkan telepon darinya. Aku tak menyangka kalau dia akan bercerita panjang lebar mengenai kejadian semalam. Dia dimarahin habis-habisan sama ibunya. Betapa dia sangat kesal dengan tuduhan ibunya. “Coba bayangkan Mas Suryo,” dia mulai bercerita di telpon. “Masa Mas, aku dimarahin habis-habisan semalam gara-gara aku keluar sama temanku makan malam. Dikiranya aku tuh sudah janjian sama Mas Suryo terus aku pergi sama teman lain. Lucu kan!” ceritanya menggebu. “Hahaha....” aku tertawa “Lho kok mas Suryo malah tertawa!” “Ngga papa. Lucu aja.” “Aku kan gak janji apa-apa sama mas Suryo kan?” tanyanya meyakinkan. “Engga, ngga ada yang janjian,” jawabku mengiyakan. “Nah, aku kan bebas mau pergi ke mana, sama siapa, suka suka aku kan. Anehnya lagi ibuku tuh bilang kalau kita itu katanya pacaran, Mas. Bilangnya, kasihan pacarnya nungguin lama banget di rumah malah enak-enakan keluar sama lelaki lain. Kasihan tuh Nak Suryo, gitu katanya! Terus, ibuku bilang lagi, sebenarnya pacar kamu tuh yang bener yang mana sih? Nak Suryo apa Fredy? Aku ya bingung, aku tuh nggak pacaran sama siapa-siapa.” “Ha ha ha..” Aku ketawa lagi selepas-lepasnya. Semacam ada dorongan syaraf yang seketika membuat organ tertawaku meledak ketika ada beberapa pernyataan penting dari kata-katanya di pembicaraan telepon itu. 150


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook