Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau 06 Dec

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau 06 Dec

Published by Ayo Sugiryo, 2022-02-20 02:34:48

Description: Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau 06 Dec

Keywords: Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau

Search

Read the Text Version

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey ISBN: 978-602-5822-80-3 Oleh: Ayo Sugiryo Editor: Suhardiyani Diterbitkan oleh PT. Inspirator Juara Indonesia Inspirator Academy Jl. Attahiriyah, Komplek Warga Indah No. 12 Pejaten Barat, Jakarta Selatan Desain Sampul: viadriel Desain Isi: viadriel Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin dari penerbit.





To my dear wife, thanks for your time to share your story during away from us. It’s really wonderful to share and write together, to remind us the bitter and sweet happened years ago. To my dear son, Fonda, we are very sorry for not caring you well in your childhood. Your Mom and Dad were in a bad condition at that time. To my dear daughters Syawa and Najma, thanks for your charming smiles. These support me so much in writing this story. To my cute little son, Ahlan, you still don’t know anything about this story yet, but you’re going to know it when you grow up. Just keep growing kid!

TESTIMONI NASKAH Banyak cara untuk lepas dari masalah. Banyak jalan untuk membuka peluang. Bukan soal kemampuan tapi kemauanlah yang akan mengubah segalanya. Buku ini menawarkan kepada pembacanya merambah jalan baru mengatasi masalah.” - Saeful Bahri - Penulis buku Lost in Pesantren – “Buku ini bagus sekali, karena bisa jadi inspirasi terutama untuk para single, hehe. Bahan renungan yang bagus agar kita bisa lebih khusnuzon pada Allah dan terjaga akhlak dan kesucian kita sampai sah di KUA. Cocok buat teman- teman yang masih suka pacaran ataupun yang lagi patah hati karena cinta. InsyaAllah, dengan membaca buku ini akan dapat pencerahannya. Aamiin. Selamat Membaca!” - Fitri Rokhayati - Karyawan Swasta. - “Kalau kamu pernah mengalami patah hati, buku ini dapat dijadikan obat penawar hati” - Arum Faiza, penulis 15 buku. - “Patah hati adalah kondisi yang biasa dialami oleh setiap insan. Namun, bagaimana menyikapinya dengan tepat itulah sebaik-baik dari kita. Tulisan dalam buku ini cocok menjadi problem solving bagi hati. Mengatasi masalah tanpa masalah. Alhamdulillah.” – Izzatul Mukminah, penulis buku Hijrahnya adalah bahagiaku –

PENGANTAR PENULIS Dengan mengucap syukur Alhamdulillaah, buku kedua penulis akhirnya terselesaikan dengan segenap rasa yang ada yaitu rasa bahagia. Ada beberapa alasan mengapa kisah yang merupakan perjalanan hidup seseorang yang terangkum dalam catatan ‘Mimpi-mimpi Kecil dan Seribu Kemarau’ ini perlu ditulis. Pertama karena penulis berpikir bahwa setiap orang punya cerita dalam kehidupannya. Dan mengapa cerita itu menjadi penting untuk dikisahkan, jawabannya sederhana saja, karena ada keinginan yang kuat untuk berbagi. Berbagi cerita untuk dikenang, berbagi rasa untuk dirasakan, berbagi pengalaman untuk dijadikan pelajaran, dan berbagi kebahagiaan jika ada bahagia di sana. Kedua, tentunya support yang luar biasa dari semua anggota keluarga dan pembaca setia kisah yang sudah diunggah ke dalam blog besar guru se-Indonesia ‘Gurusiana‘ serta pembaca lain di sosial media. ‘Kisah ini akan menjadikan buku memoriam yang luar biasa jika dibukukan.’ Begitu salah satu komentar pembaca di blog tersebut dan terus terang sangat menggelitik penulis untuk segera membukukan kisah-kisah kecil yang sudah diupload di blog tersebut. Penulis yakin bahwa tidak selamanya kehidupan seseorang itu akan berjalan statis

atau bahkan terseok-seok tak ada akhir. Bahwa seekor ulat menjikikan mengalami beberapa fase penderitaan untuk bisa berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Kehidupan merupakan sebuah metamorfosa yang diharapkan mampu menciptakan suatu perubahan seperti yang diharapkan. Penulis mencoba untuk mengangkat sebuah kisah nyata tentang kehidupan seseorang yang mungkin juga pernah dialami oleh orang lain. Setidaknya ada hal-hal sederhana yang ingin penulis sampaikan yang mungkin bisa menjadi pelajaran berharga dalam menghadapi up and down sebuah kehidupan. Kisah yang berasal dari true story ini akan menunjukan pada pembaca bahwa betapa berharganya arti sebuah pendidikan yang diinginkan untuk orang-orang tercinta bagi tokoh ‘Suryo’ yang tidak serta merta mampu untuk ditempuhnya. Bergulirnya sang waktu yang begitu lambat dan diwarnai dengan berbagai rasa, bitter- sweet untuk mencapai sebuah titik kebahagiaan baik dalam menuntut ilmu maupun dalam berkarya . “Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sangat mendalam untuk orang-orang yang telah mendukung untuk diterbitkannya novel true story ‘Mimpi-mimpi Kecil dan Seribu Kemarau’ ini baik keluarga besar penulis sendiri; ayah, ibu, istri dan anak-anak, maupun pembaca setia blog guru,baik yang secara langsung memberikan Terimakasih yang sebesar-besarnya juga buat Mas Brili Agung Zaky Pradika, the owner of Inspirator Academy yang sudah memberikan support luar biasa untuk penerbitan novel true story ini. Purwokerto, 5 November 2018 Penulis Ayo Sugiryo

DAFTAR ISI 1 6 Prolog Sisi Kehidupan Di Kala Musim Cengkeh Tiba 2 7 Hilangnya Sahabatku Para Mantan Calon Pacar 3 Kakakku Sang Guru Penyelamat 8 4 Keputusan Gila Lukisan Cat Air dan Sepucuk 9 Surat Kakak Langit Merah Di Kota 5 Tangerang Gagal Lanjut Sekolah 10 Surat Sakti

11 19 Menyambut Gembira Tamu Pak Andika 12 20 SMA 24 Tugas Menantang dari Bos Besar 13 21 Berpulangnya Pahlawan Pendidikan Keluargaku Sang Dubber Video 14 22 Maafkan Aku Tak Bisa Jadi Buku Merah Kecil Guru 23 15 Gadis Kecil Penjaja Krupuk Surat Lamaran Salah Alamat 24 16 Cafe Hotel Berbintang Bertemu Panitia Seminar 25 17 Harus Malam Ini Hari Kebodohan Pertama 26 18 Kejadian Aneh Wajah di Balik Gagalan Foto

27 35 Hari Ke 100 Pernikahan Negeri Meteor Garden 28 36 Memilih Jadi Pengedar Surat-surat dari Seberang 29 37 Gantung Dasi Surat Setebal Buku 30 38 Perjuangan Masih Panjang Passion 31 39 Kabar Dari Desa Kabar Tak Terduga 32 40 Keputusan Gila 2 Ada Cemburu Menyelinap 33 41 Keputusan Paling Gila Titik Syukur 34 42 Perempuan Optimis Epilog

1 Prolog Malam ini dan seperti malam-malam sebelumnya aku hanya duduk di depan notebook tua andalan keluarga yang sudah tak berbatre karena jatuh hingga pecah. Dan aku, belum bisa mengganti dengan yang baru. Jemariku masih menari-nari di atas keyboard-nya yang beberapa huruf sudah tidak lagi jelas terbaca. Dan itu tak masalah buatku karena Pak Sukarman, tutor mengetik sistim buta yang pernah menggemblengku dengan gayannya yang khas dan tegas hingga aku mahir mengetik tanpa harus melihat huruf di keyboard. Waktu itu, di tahun 1993, aku pernah mengambil kursus mengetik 10 jari. Rupanya aku masih bangga dengan keterampilanku yang satu ini. Suara dengkuran anak-anak dan istriku menjadi teman setiaku yang mampu membuatku fokus pada momen-momen itu. Momen di mana aku sekarang lupa apakah aku dulu pernah menuliskannya. Apakah dulu aku pernah memimpikannya? Sementara waktu terus merangkak tak kenal berthenti. Tidak seperti alat penunjuk waktunya sendiri yang kadang berhenti ketika kehabisan batre. Begitu pula kehidupan ini. Selalu berjalan tak boleh mengenal berhenti. Betapapun rumitnya dan pahitnya 14

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey kehidupan akan terus berjalan mengikuti setiap lekukan yang ada. Seperti air yang selalu mengikuti bentuk tempatnya. Dan aku akan terus menyusuri semua waktu dan tempat yang pernah aku singgahi dengan notebook tua ini. Di sinilah aku akan memulainya. Pada lembaran pertama yang masih membekas di ingatanku. Lembaran penting yang akan aku buka lebih dulu. **** Kadang aku tak sadar, tempat di mana aku dilahirkan sangat jauh dari peradaban kota. Berada di sebuah ujung desa pegunungan di perbatasan tiga kabupaten (Banyumas, Brebes, dan Cilacap di Jawa Tengah). Seingatku, masa kanak-kanak adalah masa di mana aku bisa bebas berlari dan berkejar-kejaran diantara derasnya hujan. Tidak takut basah. Tidak takut masuk angin. Tidak banyak larangan dari ibuku. Memanjat pohon jambu dan bebas memetik buah matang dan memakannya di atas pohon bagaikan kalong yang sedang melaksanakan hajat hidupnya sebagai kalong, bukan binatang yang lain. Tak ada teguran. Tak ada yang mengkahawatirkan aku jatuh. Bukan! Mereka bukan tidak sayang padaku. Mereka memberi kebebasan hidup seperti yang seharusnya. Tidak banyak peraturan yang dibuat hingga tak banyak pula yang dilanggar. Tidak seperti anak-anak jaman sekarang yang kenyang dengan peraturan tetapi senang pula melanggarnya. Tlaga itu nama desaku di mana aku dilahirkan. Dapat dibayangkan sebuah hamparan air jernih dan udara sejuk dikelilingi hutan pinus yang luas. Sayangnya telaga itu tak kutemukan di sana. Tlaga hanya sebuah nama dan mungkin kalau dulunya ada itu hanya sebuah legenda. Faktanya, kami selalu kekurangan air di musim kemarau. Rumput mengering. Daun-daun di pohon menguning dan berguguran. Para peternak kambing kelimpungan melihat kambing-kambing mereka kurus tak ada nutrisi yang bisa dikonsumsi. Beberapa membawanya ke pasar untuk ditukar dengan harga yang tidak mahal. Hamparan sawah mulai retak dan berubah menjadi ajang bermain bola anak-anak seusiaku. Tlaga yang ada hanya sebuah nama yang tidak pernah ada. Seperti saat desa kami yang kekurangan air di musim kemarau, aku pun mulai merasa 15

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey kehausan akan ilmu. Kegemaranku membaca kadang tidak bisa tersalurkan karena media bacaan saat itu sangat sulit dicari. Satu-satunya sarana baca yang ada yaitu perpustakaan sekolah yang selalu menjadi tempat terfaforitku. Aku lebih sering menghabiskan waktu istirahatku di perpustakaan. Buku-buku sejarah dan cerita bergambar menjadi target bacaanku waktu SD. Masa kecilku mengalir begitu saja seperti aliran sungai kecil yang mengalir dengan sedikit air di musim ini. Aku bahkan tidak mengerti apa itu cita-cita. Menjadi apapun kelak aku tidak pernah tahu. Orang tuaku pun tidak mengerti kalau anak laki-laki satu- satunya ini akan menjadi apa. Ayahku sibuk dengan sawah dan ladangnya. Kadang dia menjadi pedagang kecil di musim cengkeh yang lebih sering mengalami rugi daripada untung. Adalah menjadi hal yang penting bagi mereka jika sawahnya tidak teraliri air. Berangkat sepagi mungkin untuk memastikan air mengalir lebih dulu ke sawahnya. Pulang sepetang mungkin untuk memastikan burung-burung prit tidak menyerang lagi untuk menghisap cairan biji padi muda. Merasa tenang jika lumbung padi masih terisi sampai panen berikutnya datang. Mereka hanya orang-orang yang berpendidikan rendah yang selalu berjuang mati- matian untuk bisa menghidupi anak-anaknya. Mendidik semampunya. Mereka tak punya obsesi tinggi untuk anak-anaknya. Aku hanya ingat ketika itu di kelas enam. Waktu itu kami anak sekelas ditanya pak Kamud, guru kelas VI tentang cita-cita kami. “Coba bapak ingin tahu apa cita-cita kalian jika besar nanti?” Pak Kamud melempar pertanyaan kepada kami siang itu. “Dokter Pak!” jawab salah satu temanku yang berbadan kurus berambut agak ikal. Rupanya dia ingin jadi dokter lantaran terinspirasi oleh penunjukan dirinya menjadi dokter kecil waktu kelas lima. “Kalau kamu, Suryo?” Tiba-tiba Pak Kamud langsung menunjukku yang saat itu belum 16

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey terlintas sama sekali tentang apa cita-citaku. Tanpa berpikir panjang, tiba-tiba mulutku menjawab, “Menjadi guru, Pak!” kataku. Masih banyak lagi jawaban teman-temanku. Ada yang ingn menjadi presiden, pilot, polisi, dan sejumlah profesi terbaik yang lain. Kedengarannya cita-citaku dulu terlalu sederhana dan terdengar tidak hebat kalau dibandingkan dengan teman-temanku sewaktu SD dulu. Aku belum begitu mengerti arti cita-cita. Dan sosok guru di mataku waktu itu begitu penting. Guru menjadi sosok yang pantas aku hormati. Tidak hanya aku, tapi juga teman-temanku dan semua warga desa. Seorang yang setiap pagi berpakaian PSH rapi membawa tas dan menyapa kami dengan berwibawa di depan kelas. Itu yang selalu kusaksikan setiap hari. Kenapa waktu itu aku tidak menjawab menjadi presiden, pilot, atau yang lainnya seperti teman-temanku? Di mataku sosok presiden hanya sebuah foto yang terpampang diam di depan kelas. Presiden dan wakil preseiden tidak menceritakan banyak hal padaku. Apalagi pilot, mereka hanya sosok imajinasi yang pernah aku baca di buku cerita yang ada di perpustakaan atau pernah aku lihat di TV hitam putih yang pernah bapak beli dari hasil jualan cengkeh. Yang aku tahu waktu itu guru bisa membuatku berhitung, membaca, menulis, menggambar, menyanyi, baris-berbaris, membuat kerajinan tangan, dan lain sebagainya yang kalau dihitung ternyata susah untuk menghitungnya. Guru yang kadang bisa membuat kami gembira, tertawa, bahkan ketakutan terutama kalau tidak mengerjakan PR. Guru yang membuatku tidak tahu menjadi tahu. Atau guru yang bisa membuatku bangga. Tentang rasa bangga pada guruku, pernah pada suatu ketika, menjelang malam lebaran. Selain nenekku, akulah satu-satunya orang yang bisa merangkai dan menganyam daun kelapa menjadi ketupat yang siap diisi beras. Karena aku begitu mahir membuatnya. 17

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Aku begitu bangga dan berterimakasih pada pak guru yang waktu itu pernah mengajariku cara membuatnya. Aku masih ingat waktu itu pelajaran keterampilan untuk ujian keterampilan memasak di kelas enam. Dan ketika momen itu datang lagi di lebaran berikutnya, aku selalu ingin mengenangnya dengan membuat ketupat sebanyak-banyaknya dan dibagikan ke tetangga. Tetanggaku senang. Aku bangga bisa membuat mereka senang. Terimaksihku untuk Pak Guru. 18

2 Hilangnya Sahabatku Prestasi sekolahku di SD dulu bisa dikatakan lumayan. Hari penerimaan raport akhir semester selalu kunantikan untuk sekedar tahu kalau aku masih bertahan di posisi antara 3 sampai 5 besar. Itu sudah membuatku sangat berdebar. Ranking satu sudah ada pemilik tetapnya. Dia adalah teman terbaikku, Danu. Danu selalu duduk di sebelahku sejak kelas empat. Namun aku tidak pernah bisa mengalahkannya dalam hal prestasi belajar. Rasa bersaingku saat itu sangat tinggi, namun rupanya kegigihanku dalam belajar belum seberapa dan sulit untuk bisa mengalahkan dia. Dia memang lebih unggul dan lebih pekerja keras. Yang belum bisa aku lupakan dari Danu adalah karena aku pernah membuatnya menangis. Waktu itu sehabis upacara, seperti biasa anak-anak berebut pintu masuk kelas karena panas matahari yang membakar masih terasa di tubuh kami. Aku pun dapat pintu lebih awal daripada Danu. Naluri isengku mendadak menyelinap di pikiranku. Aku menyeret bangku tempat duduknya hingga pada saat dia duduk dia terjatuh di lantai. Dan benar saja. Dia terjatuh dan akhirnya menangis. Aku sangat 19

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey ketakutan telah membuatnya kesakitan hingga menangis. Aku sadar kalau keisenganku itu ternyata sangat berbahaya. Aku benar-benar menyesal karena aku telah khilaf. Satu lagi yang kuingat tentang kehebatan dia selain otaknya yang cemerlang. Dia adalah anak yang sangat rajin dan penurut. Aku sering geleng-geleng kepala melihatnya menunjukan buku rangkuman semua pelajaran yang dia jilid sendiri dari kertas-kertas limbah yang tak terpakai. Hal ini dia lakukan karena dengan segala keterbatasan yang membuatnya menjadi kreatif. Kadang keterbatasan seseorang bisa menjadi pemacu orang tersebut untuk bisa berbuat sesuatu yang melebihi orang lain. Bapaknya yang memiliki fisik kurang sempurna pada tangannya sehingga tidak mampu bekerja dengan normal seperti orang-orang di desa yang lain. Tetapi dia masih mampu menghasilkan karya luar biasa dibandingkan orang normal pada umumnya. Bapak Danu seorang pengrajin bambu yang cukup terkenal di desaku waktu itu. Dia mampu membuat peralatan dapur dan pertanian dari bambu. Sumbul nasi, ayakan bambu, caping, keranjang sampah, sapu, dan kawan-kawannya. Dan sayangnya menjelang akhir masa SD kami, persaingan produk pabrik mulai masuk ke desa. Tukang rongsok berkeliaran menukarkan berambang dengan plastik bekas telah berhasil merubahnya menjadi alat-alat rumah tangga siap pakai dan harga terjangkau. Masyarakat selalu merubung bagaikan semut menemukan onggokan gula untuk menyerbu barang pabrikan yang merupakan hasil proses recycle dari plastik bekas yang mereka tukar dengan berambang itu. Tapi bapak Danu masih tetap mengandalkan produk buatannya sebagai penopang hidupnya. Dan para pembeli perlahan-lahan beralih ke recycle yang menawarkan barang beraneka bentuk dan warna. Perekonomian Bapak Danu mulai goyang. Suatu siang, Danu lari tergopoh-gopoh ke rumahku. Waktu itu langit benar-benar gelap. Onggokan awan yang putih keperakan mendadak bergerombol membentuk gumpalan hitam dan lebar, Comulunimbus. Beberapa titik air dari langit sudah mulai berjatuhan membasahi rambutnya yang kumal tak terawat. “Kamu bersyukur Sur. Punya orang tua yang bisa diandalkan,” katanya masih 20

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey tersengal-sengal sambil mengelap keringat yang bercampur air hujan. “Kamu juga mestinya bersyukur Dan. Orang tua kamu itu pekerja keras. Kamu juga anak yang cerdas dan rajin,” kataku menghibur. Aku pun tak mengerti kenapa Danu tiba-tiba membicarakan tentang orang tua. ”Buat apa punya kecerdasan kalau tidak sekolah. Sia-sia saja, Sur. Ujung-ujungnya tetap saja jadi kuli atau buruh tani,” katanya melemah dan seperti putus asa. Rupanya ini yang dimaksud Danu. Seandainya saja orang tuaku orang kaya, pasti aku akan meminta bapakku untuk bisa membiayai Danu sekolah bersamaku di SMP. Tapi sayang orang tuaku juga pas-pasan. Sekolah SMP-ku juga baru tahap awal waktu itu. Belum tahu kelanjutannya. Kakak-kakakku yang sering memberikan subsidi buat sekolahku di awal tahun pelajaran aku masuk SMP. Otak cemerlangnya selalu membawanya pada ranking 1 sejak kelas 1 SD. Karena keadaannya memaksa dia harus berhenti hingga di situ. Tidak lagi bisa merasakan memakai seragam biru putih seperti aku. “Sabar Dan. Semua itu pasti sudah digariskan Tuhan. Kamu kan anak cerdas dan pekerja keras. Kamu pasti bisa sukses. Tuhan tidak akan membatasi kesuksesan seseorang apabila kita mau berusaha,” kataku terasa seperti menggurui. “Mungkin begitu, Sur. Tapi akut tetap ingin sekolah,” katanya lirih. “Baguslah itu Dan. Kamu memang harus sekolah. Ayolah Dan! Mungkin tahun depan kamu bisa mendaftar. Di swasta nggak papa kan?” jawabku berapi-api. “Engga Sur. Engga mungkin. Mungkin sudah nasibku jadi anak orang ngga punya. Bapakku sekarang sudah ga bisa diandalkan lagi. Orang-orang sudah jarang pakai kerajinan bapakku. Bapakku sudah tidak secepat dulu dalam mengerjakan kerajinan,” katanya pesimis. “Sudahlah Dan. Kamu jangan patah semangat begitu. Aku yakin kamu bisa sekolah tahun depan. Kamu harus sekolah Dan.” Aku optimis. 21

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Semenjak pertemuan hari itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Danu. Bukan karena aku terlalu sibuk belajar mengerjakan tugas-tugas sekolah. Tapi Danu telah pergi dari Tlaga desa kami. Rumah dan pekarangannya dijual. Dia bersama keluarganya pindah ke Lampung, transmigrasi. Waktu itu program trasmigrasi masih dicanangkan pemerintah dan keluarga Danu memilih ikut program itu demi menyelamatkan anak- anaknya. Dengan begitu aku berharap Danu bisa sekolah di Lampung dan menjadi orang sukses. Tapi sampai kisah ini ditulis, aku belum pernah mendengar kabar Danu seperti apa. 22

3 Sang Guru Penyelamat Dan aku ini tidak mau seperti mereka, seperti Danu. Aku memang tidak patuh pada orang tua. Aku telah berhasil menghipnotis orang tuaku untuk memberikan kesempatan bisa lanjut sekolah di tingkat SMP dan siap mencekik leher orang tuaku kapan saja dengan tagihan-tagihan biaya sekolah. Kedua orangtuaku yang hanya lulus SR setara SD di tahun empat puluhan atau limapuluhan hingga merasa ragu untuk bisa membiayai sekolahku di SMP. Hasil panen sawah hanya cukup untuk makan hingga panen berikutnya. Belum lagi jika dikurangi musim kemarau panjang. Nasi putih sarapan sehari-hari akan berubah menjadi nasi hitam- -nasi gaplek--dan nasi kuning--nasi jagung. Aku tidak suka nasi jagung. Makan nasi jagung akan terasa cepat lapar. Makan nasi jagung kebanyakan akan memproduksi angin berlebih di perut hingga kentut keluar berulang-ulang. Aku malu akan diketawai teman-temanku. Tapi itulah adanya. Nasi jagung menjadi nasi favorit di masa sulit. 23

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Bersyukur aku bisa berjalan kaki sepanjang 5 kilometer menuju sekolah di pusat kota kecamatan, di Gumelar, yang diidam-idamkan banyak teman-teman SD-ku yang gagal merayu orang tuanya untuk bisa sekolah di SMP. Teman-temanku itu benar- benar kurang beruntung. Sama seperti ketiga kakakku. Masa pendidikan formalnya hanya berakhir di tingkat sekolah dasar. Waktu itu pemerintah belum mencanangkan Program Pendidikan Sembilan Tahun. Mereka begitu patuh pada orang tuanya. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Penghasilan orang tua mereka dari bertani hanya cukup untuk makan sekeluarga. Pemaksaan diri untuk melanjutkan anak-anaknya ke SMP merupakan tindakan bunuh diri yang siap menceakik lehernya dan berhenti bernafas kapan saja. Keinginanku untuk tetap bersekolah membuat ayahku pasrah dan kalah. Aku berhasil memenangkan egoku di depan bapak ibuku. Egoku untuk tetap mengenyam pendidikan lanjut. Ego untuk tidak mau senasib dengan teman-teman SD-ku yang lain. Egoku untuk ingin menjadi orang kantoran yang sukses. Bukan petani kembang kempis seperti bapakku dan juga paman-pamanku yang hanya sebagai petani penggarap lahan  persil milik perkebunan yang tidak akan pernah punya hak atas tanah yang ditanamnya. Sewaktu aku masih SD kelas VI, aku pernah mendengar percakapan Pak Rusdi dengan bapakku tanpa sengaja. Siang itu sepulang dari mengajar, pak Rusdi tiba-tiba berhenti di depan rumahku dan bercakap-cakap dengan bapak yang sedang menyapu halaman di depan rumah. Aku lari ketakutan hingga menyelinap di kamar ruang depan sambil berusaha menguping percakapan dua orang dewasa itu. Antara Bapak dan Pak Rusdi, kepala sekolah SD. Ada apa Pak Rusdi tiba-tiba mampir ke rumahku? “Beneran lho kang. Jangan sampai Suryo tidak lanjut SMP. Kasihan anak lanang satu- satunya. Pinter lagi sekolahnya.” Pak Rusdi tiba-tiba menasehati bapak. Bapak kelihatan semakin tidak mengerti maksud Pak Rusdi. Untuk apa dia merayu-rayu anaknya untuk lanjut sekolalah? “Nuwunsewu pak kepala. Biaya dari mana untuk si Suryo sekolah SMP? SMP itu kan 24

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey biayanya secikrak. Mau jual apa saya Pak?” jawab bapak jujur. Saat itu, jenjang sekolah tingkat SMP sudah luar biasa di desaku dan luar biasa mahalnya menurut ukuran orang tuaku dan orang tua teman-temanku yang sebagian besar penghasilannya dari bertani. Dari balik dinding bambu kamar, aku memejam-mejamkan mata dan melebar-lebarkan daun telinga untuk dapat konsentrasi penuh dengan percakapan mereka. Hatiku berdebar-debar mendengarkan percakapan mereka yang menggosip tentang diriku. Rupanya Pak Rusdi sebegitu perhatian terhadapku. Sampai-sampai menginginkanku harus lanjut ke SMP. Dalam benakku, apakah semua bapak teman-temanku juga didatangi dan ditanyai seperti itu? Ah, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah bahwa Pak Rusdi benar-benar baik dan dia sedang memperjuangkanku. Ya Allah! Terimakasih engkau telah mengirimkan malaikat terbaik untukku! “Kang Maryo apa tidak kasihan sama Suryo. Suryo itu anak rajin. Di sekolah kerjaannya baca buku di perpustakaan. Dia itu nggak pernah ke warung depan sekolahan pas istirahat. Apa kang Maryo ndak tahu nek si Suryo itu seneng sinau? Seneng mbaca?” begitu Pak Rusdi terus merayu dengan menyampaikan fakta-fakta tentangku. Aku tak menyangka kalau Pak Rusdi tahu aku suka membaca dan belajar. Dari mana Pak Rusdi tahu kalau aku ingin sekolah terus? Aku tak habis pikir mengapa pak Rusdi sangat memahamiku dan mengerti keinginanku. Ah, bagiku Pak Rusdi itu seorang guru yang hebat yang menginginkan anak didiknya tak berhenti hingga sekolah dasar. Dia bagaikan sang penyelemat bumi masa depanku yang hampir kiamat. Bapakku tampak manggut-manggut, mungkin otaknya sedang berfikir keras terkena hasutan malaikat pencatat kebaikan. Antara bisa dan tidak untuk melanjutkan anak lelaki satu-satunya ke jenjang pendidikan SMP. Waktu itu anak-anak desa Tlaga yang sekolah SMP hanya berkisar anaknya pegawai tingkat desa seperti anak mantri puskesmas, anak guru, anak mandor perhutani, dan anak lurah. Untuk anak petani biasa seperti aku, lulus SD harus siap dengan segala konsekwensi masyarakat kalangan bawah. Hanya ada dua pilihan; tetap tinggal di 25

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey desa dan siap membantu orang tua bertani atau pergi ke Jakarta, merantau. Dan sekarang aku telah benar-benar bertengger di atas bukit impianku, melanjutkan sekolah di SMP. Terima kasih Bapak, terimakasih Pak Rusdi! Kalian memang juara! Batinku berteriak penuh luapan terima kasih. 26

4 Lukisan Cat Air dan Sepucuk Surat Kakak Tak terasa lamunanku telah membawaku sampai juga menginjakkan kaki kurusku ke 13 anak tangga yang berderet menuju halaman rumah. Rumahku yang berada lebih tinggi dengan jalan membuat Bapak harus membuatkan tangga untuk bisa naik ke atas. Beberapa pohon teh-tehan begitu orang desa Tlaga menyebutnya, karena daunnya seperti daun teh, yang setiap seminggu sekali aku selalu rajin memangkasnya hingga membentuk bulatan-bulatan seperti bola di depan rumah seperti lampu taman. Dinding rumahku yang satu setengah meter dari lantai terbuat dari batu bata permanen dan dua setengah meter ke atas terbuat dari tabag (dinding anyaman bambu) yang membuat tampang rumah itu seperti rumah gedong separo. Bawahnya plesteran halus tetapi atasnya dinding bambu. Cukup artistik dan eksentrik kata seniman kampung berkomentar. Tapi kalau menurutku, ini adalah model rumah 27

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey keterpaksaan. Bapakku membangunnya ketika dapat sedikit laba berjualan cengkeh dan terpaksa tidak bisa dilanjutkan. Tas cangklong kumal warna hijau daun atau hijau tentara yang membebani selama perjalanannya segera kurebahkan di atas kasur kapuk di kamarku. Lalu segera aku buka resletingnya yang separo sudah menganga. Hampir tamat. Tanpa buang waktu aku segera mengambil sebuah bungkusan plastik kresek hitam dari dalam tas. “Akhirnya aku bisa mendapatkan ini,” gumamku sambil memeluk benda berharga yang aku idam-idamkan sejak sebulan yang lalu. Susah sekali bagiku untuk mendapatkan cat air ini. Harus rela tidak jajan selama seminggu. Untungnya aku tidak terlalu suka jajan. “Sur, Suryo! Makan dulu Sur! Itu kuas sama catnya ditaruh dulu. Kalau sudah makan boleh kamu melukis lagi,” teriak ibuku begitu melihat kedatangan anaknya dan langsung tancap gas, melukis! “Iya, Ma. Suryo cuci tangan dulu ya.” Dengan terpaksa dan sedikit kesal aku meletakkan kuas dan segera mencuci tangan yang sudah berlumuran cat air. Sedikit kecewa tetapi aku juga tidak mau mengecewakan ibuku. Ide melukis yang muncul di kepala sejak tadi membuatku ingin segera menuangkannya ke dalam lembaran kertas manila yang aku beli seminggu yang lalu. “Ngomong-ngomong, kamu beli cat air uangnya dari mana? Perasaan tadi pagi mama gak kasih kamu uang buat beli cat air,” tanya ibu penasaran ketika aku baru menyuapkan nasi ke mulutku. “Iya Ma. Suryo punya uang sendiri.” “Uang dari mana? Dikasih mbayumu?” “Sebagian dikasih mbayu, sama uang tabunganku selama seminggu,” jawabku sambil berusaha mengunyah sayur kacang panjang kesukaanku. 28

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey “Kamu nggak jajan? Uangnya buat beli cat air lagi? Pantesan kamu gak gemuk-gemuk.” “Suryo nggak suka jajan. Mendingan dikumpulkan buat beli cat air,” bantahku membernarkan diri. Ibuku hanya geleng-geleng kepala sambil menatap beberapa lukisan cat air tanpa bingkai yang dipajang di dinding kamarku. Tampaknya ibuku belum pernah melihat keindahan alam yang ada di lukisan-lukisan itu. Sungai, sawah, jalan, gubuk, pohon, daun, dan dua orang petani yang pulang dari sawah tampak kekuningan dan kemerahan. Hampir semua warna didominasi dengan warna kuning, oranye dan merah. Matahari hanya menyisakan semburat cahaya kuningnya yang menimbulkan semua warna menjadi kuning dan merah. Sebuah lukisan cat air yang masih kasar dan sangat standar. Sebagian besar ide lukisan ini berasal dari lukisan pemandangan alam yang pernah aku lihat. Ada juga yang aku lihat dari kalender yang ada di dinding rumah. Ide lukisan ini bukan karya asliku. Semua aku pelajari baik dari komposisi warna, guratan kuas, pencahayaan dan detail yang lain. Sedikit menjiplak tapi ini asli goresanku. Itu pun cukup membuatku puas. Kalau saja pertanyaan yang ada di benak ibuku itu benar- benar terucap, mungkin itu yang akan aku jawab. Ibu juga menatap sebuah lukisan pemandangan di atas meja kamar yang belum selesai dibuat. Tampak sebuah sungai besar yang belum selesai diwarnai dan sebuah pohon kelapa yang bengkok melengkung di atas hamparan air sungai. Tampak pula hamparan sawah dengan tanaman padi yang belum juga diberi warna. Ada gunung menjulang berwarna biru dengan puncaknya yang berwarna putih keperakan. Langit biru dan beberapa gumpalan awan putih berarak di sekitar gunung. Dalam hatinya ibuku merasa sangat bangga melihatku bisa melukis. Dari mana anak lelakinya pandai melukis? Apakah dia nantinya mau jadi pelukis? Wah, kalau dia jadi pelukis, siapa yang akan meneruskan menggarap sawah bapak? . Setelah menghabiskan waktu berminggu-minggu, akhirnya kelar juga lukisanku. Tak kusangka aku telah berhasil menyelesaikan lukisan pemandanganku yang telah 29

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey lama mangkrak kehabisan cat air. Hampir saja mood untuk menyelesaikan lukisan itu hilang. Adalah nenekku yang telah menyelamatkan kemangkrakan lukisan ini. Tiba- tiba saja kemarin nenek minta dibelikan tembaau untuk menginang dan aku diberikan sejumlah uang sebagai ongkos ke warung penjual tembaau. Aku tidak ingin menjadi pelukis. Aku hanya mengagumi lukisan. Aku sangat mengagumi perpaduan warna yang dinamis. Aku sungguh kasmaran dengan lukisan alam yang diciptakan Tuhan yang ditaburkan setiap hari di hadapan mata kita dan aku ingin menduplikat keindahan itu ke dalam kertas manila dan cat air. Aku masih terpaku memandangi hasil karyaku. Kepalaku dimiring-miringkan ke kanan, ke kiri, ke atas, lalu ke bawah. Aku mencoba mengamati dari berbagai sisi. Tetap saja jelek! Tapi ini lukisan jelek terbaikku! Lantas, mataku mulai menjelajah, mencari tempat yang tepat untuk mengekspos lukisan jelek terbaikku ini. Kamarku yang berukuran 2 X 3 meter ini terlalu sempit untuk dijadikan galeriku. Tapi di mana lagi? Di sebelah kanan dipan sudah ada 4 lukisanku yang aku buat semenjak kelas 1 SMP. “Lukisanmu bagus juga, Sur.” Kakak iparku tiba-tiba sudah berada di pintu kamarku lengkap dengan seragam kebanggannya sebagai salah seorang Bau—Kepala Dusun— di desa Tlaga. Dia telah membuyarkan konsentrasiku yang sedang menyusun rencana mini galeriku di kamar pengap ini. “Ah, ngga lah mas. Masih kasar dan ngga jelas, maksudnya ngga jelas alirannya,” jawabku tersipu mendengar pujian kakak iparku. “Kamu memang berbakat Sur. Bakat jadi pelukis,” Puji kakakku lagi. Kakakku itu tahu apa sih tentang lukisan. Dia itu cuma seorang pamong desa. “Cuma hobi saja, Mas.” Kakak iparku hampir sama dengan diriku dalam menilai sebuah lukisan. Syarat bagusnya sebuah lukisan bila lukisan tampak mirip seperti aslinya. Kakak iparku tidak mengerti di daratan Eropa sana, beberapa abad yang lalu, di Caprese, Italia, seorang 30

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey pelukis ternama di masa Renaissance, Michellangelo telahlahir dan karyanya telah mampu menyita perhatian mata dunia yang melihatnya. Atau Leonardo Davinci yang telah mengguncang dunia dan menjadi ikon seni rupa dengan “Monalisa” nya yang bahkan telah tercatat dalam Guinnes Book of Record sebagai lukisan nilai tertanggung asuransi tertinggi di dunia. Lukisan ini benar-benar mengalahkan beberapa golongan mahluk hidup bernyawa yang tidak pernah diasuransikan jiwanya. Contohnya aku dan manusia yang lain termasuk kakak iparku. “Nih ada surat dari Bogor,” kata kakak iparku sambil menunjukan amplop putih bergaris biru merah di sekelilingnya dan bertuliskan air mail. “Asyik!” teriakku. “Maturnuwun mas.” Tanpa menghiraukan kakakku yang masih di pintu aku langsung membuka amplop surat itu dan aku mulai membacanya; Suryo adikku. Maaf mba belum bisa pulang bulan ini. Mungkin 3 bulan lagi. Bulan depan mba harus ke Surabaya bersama dengan keluarga majikan mba. Di sana Majikan mba punya pabrik. Untuk sementara mba akan tinggal di sana. Tolong sampaikan bapak sama mama ya. Kamu sekarang sudah kelas 3 kan ya? Jangan lupa terus belajar. Biar jadi orang sukses. Jangan seperti mbamu. Kamu satu- satunya yang sekolah tinggi di keluarga ini. Kamu harapan keluarga Sur. Semangat ya. Masih suka melukis? Nanti mba pulang lihat lukisanmu ya. Sudah dulu ya. Tunggu mba pulang 3 bulan lagi. Salam buat mba Harti dan mba Ratni. Sofi Aku masih senyum-senyum sendiri membaca tulisan mba Sofi. Rasa kangen yang membuncah terobati. Ada kegetiran dibalik senyum kebahagiannku. Ada rindu yang mendalam di ujung kelopak mataku hingga tak terasa butiran bening jatuh di pipiku. Ada kata-kata yang terus menggelitik dan menggugah semangatku untuk terus 31

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey belajar dan melukis. Tapi ada juga kata-kata yang mencabik-cabik relung hatiku. Mba Sofi, aku kangen! 32

5 Gagal Lanjut Sekolah Mba Sofi adalah kakak terdekatku. Sejak kecil aku selalu bermain bersama. Sebenarnya kami sekeluarga ada empat bersaudara. Kakakku ketiga- tiganya perempuan. Aku anak terakhir dan laki-laki sendiri. Kakak pertamaku, mba Harti tinggal bersama kakak nenekku sejak masih kecil hingga dewasa dan menikah. Dia dibesarkan oleh kakak nenekku karena beliau tidak punya keturunan. Rumah kami berdekatan jadi hubungan kami pun masih cukup dekat. Tapi karena umur kami terpaut jauh, jadi kami jarang bermain bersama. Kakak keduaku, mba Ratni, juga tidak serumah denganku. Kalau dia tinggal dengan adik nenekku yang juga tidak punya keturunan. Adik nenekku ini sangat baik dan merawat mba Ratni sejak kecil hingga menikah juga. Mba Ratnilah yang sering memberikan subsidi biaya sekolahku di SMP karena dia punya warung kelontong yang cukup laris di desa. 33

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Baik mba Harti maupun mba Ratni keduanya dibesarkan oleh kakak dan adik nenekku. Mereka sama-sama tidak punya anak. Maka kasih sayangnya benar-benar tercurahkan semua ke kedua kakak perempuanku. Sayangnya kedua kakak perempuanku itu hanya cukup berbekal ijazah SD selama hidupnya hingga akhirnya melanjutkan ke jenjang pernikahan dini. Mereka berdua tidak pernah menuntut untuk melanjutkan sekolah. Mereka cukup tahu diri kondisi orang tua dan mereka hanyalah anak perempuan desa yang patuh dan kurang tersentuh oleh perkembangan jaman. Tinggallah kami berdua yang serumah dengan bapak dan ibu. Kami bermain bersama sepulang sekolah. Mba Sofi adalah kakakku yang aku kenal hingga kami berdua sangat akrab seolah tak akan terpisahkan sampai tua. Dia tak pernah marah padaku walaupun aku sedikit nakal padanya. Kecuali pada satu peristiwa ini yang membuatnya marah besar. Waktu itu bapakku habis memanen kacang merah. Kacang merah yang masih muda dan biasanya direbus bersama kulit-kulitnya menjadi hidangan nikmat di sore hari dan cukup membuat kami berdua asyik mengemil. Kami membawa sepiring kacang merah rebusan tersebut lalu menikmatinya sambil tiduran di ranjang kamar sambil menyanyikan lagunya Betaria Sonata, Hati Yang Luka. Sambil bernyanyi tiba-tiba kakakku melihat sesuatu di gigiku dan dia mengingatkanku untuk membuangnya. Secara spontan akupun berusaha mengeluarkan selilit kacang itu dengan lidahku dan melontarkannya ke udara dengan kekuatan bibirku. Tanpa aku sadari selilit itu terbang ke udara bagaikan burung walet dan hinggap tepat dimulut kakakku yang sedang menganga, menyanyi. Sontak kakakku langsung memuntahkannya dan saking kesalnya dia mengamuk sejadi-jadinya sambil melemparku dengan sandal jepit yang dipakainya. Semalaman kakakku masih marah dan gak ngajak bicara. Aku hanya tertawa geli sambil berusaha meminta maaf yang tak termaafkan. Masih teringat di malam itu langit begitu mendung seperti akan segera turun hujan. Padahal aku tahu persis kalau saat itu sedang musim kemarau. Mana ada turun hujan. Dia menangis tersedu-sedu di sudut kamarnya yang redup dan hanya diterangi lampu minyak. 34

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Malam itu pamanku, atau tepatnya adik ibuku datang ke rumah. Aku tak tahu persis entah ibuku yang mengundang atau memang pamanku datang secara tidak sengaja. Dan ini sangat kebetulan dan menyakitkan. Saat itu aku baru SD kelas empat. Mba Sofi baru saja lulus SD dan besok pagi dia baru akan ikut tes masuk SMP Negri yang ada di kota kecamatan Gumelar. Syarat untuk bisa masuk SMP negeri harus melalui testing seperti seleksi masuk perguruan tinggi negeri. “Fi, kamu kan anak perempuan. Ndak usah tinggi-tinggi sekolah. Jadi perempuan itu yang penting prigel, dan bisa masak. Kamu ga usah ikut-ikutan temanmu yang bapaknya pegawai. Kamu tahu sendiri kan bapakmu lagi merantau jauh di Lampung. Mamamu ndak punya biaya untuk bayar kamu sekolah kamu. Kasihan mamamu. Besok katanya kamu mau ikut testing. Wis, ndak usahlah. Nanti kalau kamu lulus tesnya tapi mama kamu ga bisa bayar sekolahnya, kamu nanti kecewa. Coba pikirkan lagi.” Suara pamanku seperti petir yang menggelegar seakan menyambar dan membaar gosong isi bumi. Menggeleparlah hati kakakku. Hatiku pun sama. Gender discrimination di masa itu masih sangat kuat. Menganggap bahwa perempuan hanya cukup bisa membaca, menulis, dan berhitung. Tidak lebih. Tugas seorang anak perempuan tidak jauh dari masak, macak, dan manak kata pepatah jawa yang artinya bisa memasak, berdandan, dan punya anak. Padahal R.A. Kartini sudah memperjuangkan persamaan gender lebih dari satu abad silam. Sungguh ironis! Sementara saat itu memang bapak sedang merantau di Lampung. Bekerja jadi kuli di perkebunan kopi ikut sama saudara. Bisa dikatakan saat itu musim paceklik sedang melanda desa Tlaga. Sawah bapak di ujung desa mulai retak-retak kekeringan. Kandang kambing di dekat rumah sudah agak lama tak berpenghuni karena wabah gatal-gatal di bagian leher dan badannya, budukan, dan akhirnya dijual. Kakakku diam dan hanya mampu terisak di balik kain menangis meratapi nasibnya. Aku yang mendengar kata-kata pamanku juga ikut geram. Ingin sekali rasanya aku meremas-remas rambut pamanku yang mulai botak. Aku mengutuk dan berontak. Ibuku yang duduk di dekat pamanku juga hanya diam. Diam dan tampak muram. 35

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Bingung harus berbuat apa. Perasaannya juga ikut hancur dan terkoyak tak tega melihat impian anaknya untuk sekolah yang akan terkubur 36

6 Sisi Kehidupan Di Kala Musim Cengkeh Tiba Bagian ini disebut sebagai bagian kejayaan sebuah musim. Hampir semua warga desa dapat merasakan hingar bingarnya musim ini. Musim yang paling ditunggu. Banyak senyum di ujung bibir para warga ketika kuncup- kuncup bunga cengkeh sudah mulai terlihat. Dari yang hanya beberapa pohon di dekat rumahnya hingga mereka yang memiliki hektaran di kebunya. Semua berbahagia. Yang tidak punya kebun juga ikut tersenyum bahagia. Karena dari jasa merekalah cengkeh dari pucuk-pucuk pohon tertinggi pun bisa digapai dengan tangan-tangannya. Mereka rela melawan angin demi butiran-butiran cengkeh di pucuk pohon nan tinggi. Mereka menjadi pekerja pemetik cengkeh. Juragan-juragan musiman berkeliaran seperti anak-anak ayam lepas dari induknya. Berbagai sistem dihalalkan. Ada yang dikenal dengan sistem tebas - membeli cengkeh 37

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey yang masih di pohon dengan taksiran harga tertentu-, ada sistem ijon – membeli cengkeh ketika kuncup bunga baru terlihat, kadang sering merugikan petani cengkeh. Anak-anak di musim cengkeh ikut juga bereuforia. Seperti aku dan kakakku, setiap pagi bangun tidur sebelum sekolah, aku dan kakakku berlomba untuk mendapatkan butir cengkeh sebanyak-banyaknya. Sambil mengucek mata yang masih malas untuk melihat dunia, langsung bertolak ke belakang rumah untuk memungut bunga cengkeh yang berjatuhan dari pohon dalam semalam. Sebutir sangat bernilai. Aku memungutnya satu persatu dan tak boleh ada yang tertinggal satu butir pun. Satu atau dua cangkir yang digunakan sebagi alat ukur atau timbangan bisa kami dapatkan dalam sepagi. Lumayan, cukup untuk jajan satu hari bahkan lebih. Kantong anak-anak desa itu rata-rata tebal. Yang paling aku tunggu adalah penjual keliling musiman. Mereka berbondong-bondong memikul jualannya berjalan kiloan meter entah dari mana hingga sampai ke ujung desaku di dataran cukup tinggi. Rupanya mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan musim ini. Mencari rejeki demi anak istri hingga ke desa kami. Targetnya adalah kami, anak-anak kecil berkantong tebal. Yang kutunggu tidak lain adalah es potong, harum manis, telor asin, kembang gula, dan enting-enting beras. Enting-enting beras menjadi jajanan terfavoritku. Yang menarik bukan enting-entingnya tapi foto-foto artis seperti Dian Piesesha, Nourma Yunita, Titi Dwi Jayati, Nia Daniati, dan sederet artis papan atas waktu itu. Yang menarik juga bukan foto-foto artisnya tapi syair lagu pop yang ada di belakang foto artis yang selalu aku nanti. Susah sekali mencari syair lagu di jaman itu. Belum ada internet, apalagi aplikasi atau website seperti Stafaband, Joox, UC-browsers, dan semacamnya yang sekarang semua sudah ada di genggaman tangan berbentuk Smartphone. Atau aku harus berebut radio transistor merek National milik nenekku lalu stand by di depannya dan siap menunggu dengan sebuah pulpen dan buku tulis untuk menyimak dan mencatat Syair dan Lagu Pop di RRI Purwokerto. Sang penyiar mengeja kata demi kata dengan sabarnya dan para pendengar di seantero Banyumas dan sekitarnya berjuang untuk mendapatkan syair lagu setiap minggunya. Sungguh kejadian yang aneh yang tidak pernah kutemui lagi di jaman sekarang. 38

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Wajah-wajah orang dewasa dipenuhi dengan senyum di ujung bibirnya. Kebutuhan pangan dan sandang terpenuhi. Perkeonomian berjalan seimbang. Nyaris tak ada kemiskinan. Mungkin bisa dikatakan kemakmuran. Jangankan bunga cengkeh, daun cengkeh yang rontok pun sangat memiliki nilai ekonomis. Di tetangga desa kami ada ketel penyulingan minyak daun cengkeh. Anak-anak sekolah termasuk aku biasanya mengumpulkan daun dari bawah pohon lalu disetorkan ke pengepul untuk kemudian diangkut oleh pengusaha penyulingan. Kebetulan juga kakak iparku selain menjadi aparat desa juga punya bisnis sambilan menjadi pengepul daun cengkeh. Kadar minyak daun cengkeh kering ini bisa berkisar antara 2 sampai dengan 3% tiap 100 kg.daun cengkeh kering diperoleh minyak antara 2 sampai 3 kg. Harga minyaknya antara Rp 40.000, sampai dengan Rp 50.000, per kg. Siang memetik cengkeh malam berpesta di sela-sela acara merontokan bunga cengkeh dari gagangnya. Aneka hidangan tradisional disajikan untuk menjaga mata agar tetap terjaga hingga larut malam. Lampu patromaks berkali-kali dipompa agar tetap menyala. Akupun terus terjaga dengan orang dewasa. Lumayan, setiap kilonya aku bisa mengumpulkan koin Rp.25. Cukup untuk ditukar 5 buah permen. Bagian ini juga masih terekam baik di ingatanku. Bagian di mana musim ini membawa banyak orang jadi lupa diri. Di beberapa sudut rumah yang lain masih ada orang-orang dengan tawa dan teriakan kemenangan atau kekalahannya bermain judi kartu Remi. Mereka yang kebanyakan uang atau yang hobi akan menghamburkan uangnya hingga pagi buta bahkan ada yang sampai siang hari. Ini adalah bagian dari mereka yang lepas kendali dari kehingaran musim ini. Waktu itu judi kartu masih sangat lekat di masyarakat. Jangankan di musim cengkeh seperti ini. Di luar musim pun masyarakat masih hiruk pikuk dengan kegiatan terlarang ini. Tempat paling ramai untuk menyalurkan hasrat berjudi adalah di tempat orang hajatan. Di mana ada bunyi corong tanda warga desa berpesta pernikahan atau sunatan, di situlah para pemburu meja judi akan bermukim. Para istri pemburu kartu remi ini siap-siap untuk ditinggal semalaman. 39

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey Aku masih teringat saat rumahku juga pernah menjadi ajang judi ini. Masih terbayang samar-samar di ingatkanku. Aku pernah marah besar dan membakar kartu-kartu remi itu. Beberapa malam itu rumah bapakku menjadi tempat orang bermain kartu. Aku belum begitu mengerti apakah judi itu dosa bahkan haram untuk memakan uang hasil judi. Aku belum cukup umur dan belum tahu hukum agama. Yang aku tahu hanyalah aku sering merasa terganggu dengan gelak tawa dan teriakan di pagi buta. Aku sering berteriak dan kesal. Bapakku hanya diam dan membiarkan mereka tetap bermain sampai pagi. Bapak ibuku tidak mengerti. Mereka tidak pergi ke masjid untuk mengaji. Orang tuaku masih buta ilmu agama. Dan mereka tidak kuasa untuk menolak tawaran mereka untuk menjadikan rumah kami sebagai tempat bermain kartu. Bahkan ibuku menyediakan masakan dan kopi bagi para penjudi agar bertahan sampai pagi. Mereka hanya orang desa yang polos dan tak tahu yang mereka lakukan dilarang agama seperti yang mereka tahu saat sekarang. Semua seperti digelapkan. Pemerintah desa sebagai pengatur tatanan sosial masyarakat yang seharusnya bersih dari penyakit masyarakat seperti judi, tidak punya kekuatan untuk mendidik masyarakatnya. Bahkan para ulama yang ada pun tak kuasa membendung aktivitas miris waktu itu. Ini yang di sebut lembaran kelabu di balik kejayaan musim ini. Satu hal lagi yang masih menggantung di benakku waktu itu. Dibalik hingar-bingarnya musim ini, masih sangat jarang anak-anak di desaku yang melanjutkan sekolah ke SMP apalagi SMA. Mereka rata-rata hanya mentok di sekolah dasar. Memang pada masa itu pemerintah belum menggencarkan Program Pendidikan 9 tahun. Termasuk ketiga kakakku, saudara-saudaraku, tetanggaku, dan anak-anak pada umumnya cukup puas dengan berijazah SD. Mungkin mereka juga sama sepertiku yang tidak begitu tahu apa itu cita-cita. Setahuku, bukan mereka tidak mampu membayar uang sekolah saja. Tetapi mereka berpikir sekolah hanya buang-buang waktu dan buang-buang biaya. Mereka tidak cukup informasi mengenai dunia luar seperti informasi pendidikan dan kemajuan 40

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey teknologi di luar sana. Pesawat televisi saja masih jarang yang punya. Hanya beberapa orang yang punya pohon cengkeh cukup banyak dan yang cukup berani untuk menjadi saudagar musiman seperti bapakku. TV hitam putih yang ada di rumah hasil kerja bapakku berbisnis cengkeh. Ada sebagian yang takut harta bendanya akan habis untuk menyekolahkan anak- anaknya. Sekolah hanya untuk mereka yang mempunyai wawasan maju ke depan. Sebagian besar beranggapan bahwa sekolah hanya akan menambah beban orang tua. Menghabiskan yang sudah ada. Itulah mengapa di saat musim cengkeh berlalu banyak mereka yang harus bekerja lebih keras lagi untuk bercocok tanam seperti saat sebelum musim cengkeh tiba. Apalagi kemeriahan dan kebahagiaan musim cengkeh sewaktu aku kecil dulu sudah tidak lagi berkibar ketika aku mulai beranjak remaja. Ternyata Tuhan memang maha adil. Hingga pada tahun-tahun berikutnya, hampir semua wilayah di desaku dan juga di seluruh Indonesia banyak pohon cengkeh yang mati karena terserang penyakit pytoptora dan cacar daun. Seandainya tidak, maka panen cengkeh nasional akan sangat melimpah hingga terjadi hiper produksi. Padahal, dalam kondisi hanya over produksi pun, harga cengkeh telah jatuh dari belasan ribu rupiah pada akhir tahun 1970-an, tinggal Rp 2.000, per kg. Hingga akhirnya pemerintah membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dalam praktek justru menjalankan sistem monopoli. Tahun 1990-an adalah puncak kejengkelan petani cengkeh terhadap BPPC. Banyak petani yang menelantarkan kebun cengkehnya. Ada pula yang menuruti anjuran pemerintah untuk menebang tanaman cengkehnya. Selain karena cacar, banyak warga desa yang terpengaruh anjuran pemerintah tadi. Cengkeh tidak lagi seberharga dulu. Cengkeh menjadi komoditi sampah bagi kami. Sumber kemakmuran mulai tumbang seperti tumbangnya pohon cengkeh yang ditebang oleh pemiliknya sendiri. Saat itu batang pohon kemakmuran itu tersusun rapi di samping tungku perapian dapur rumahku. Teronggok tak bedaya dan siap untuk jadi kayu bakar. Setelah pemerintah Orde Baru tumbang dan BPPC dibubarkan, harga cengkeh kembali 41

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey merayap naik. Puncaknya terjadi tahun 2001. Harga cengkeh kering mencapai Rp 80.000, per kg. Namun sayang, bapakku tak menyisakan satu batang pohonpun. Begitu pula dengan petani yang lain. 42

7 Para Mantan Calon Pacar Kakakku Sekarang kembali ke cerita Mba Sofi lagi. Sisa-sisa kekecewaan kakakku masih meradang di hatinya. Tapi kakakku bukan tipe gadis yang mudah putus asa. Walau masih kecewa, kakakku berusaha melupakan peristiwa malam disaat pamanku begitu tega memutuskan harapan seorang anak gadis yang ingin sekolah. Kakakku terus mencoba untuk menghibur diri. Walaupun itu terasa pedih, tetapi sayatan itu mesti tetap dirasakan sampai luka di hatinya itu benar-benar kering. Lambat-laun dia berusaha melupakan peristiwa itu dari pikirannya. Gagal sekolah bukan berarti gagal hidup. Dan di dalam kehidupan itu sendiri banyak sekali yang bisa dipelajari. Kehilangan kesempatan untuk sekolah adalah pelajaran yang sangat berharga. Kegemaranku menulis sudah aku mulai sejak SD kelas enam. Bukan cerpen maupun 43

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey puisi yang aku tulis. Tapi surat cinta. Terlalu muda untukku untuk menulis surat yang bertemakan percintaan. Karena memang surat-surat itu bukan untukku. Surat cinta yang aku tulis khusus untuk surat-surat balasan kakakku buat para lelaki yang ingin dekat dengannya. Di usianya yang mulai menapak ke angka 14, kakakku tumbuh menjadi gadis yang cantik dan rupawan. Banyak remaja dan lelaki dewasa datang ke rumah bagi yang berani. Bagi yang cemen, cukup melayangkan surat saja ketika ingin menjadi teman dekatnya. Merupakan sebuah tradisi di desa Tlaga di kala itu, ketika seorang lelaki menaruh hati pada perempuan mesti diawali dengan melayangkan surat terlebih dahulu yang juga akan melalui jasa titipan kilat. Jasa titipan kilat bisa berupa teman dekat, tetangga, atau saudara. Burung merpati, sudah tidak jamannya lagi. Saat itu kakakku tampak belum ingin memiliki teman dekat atau pacar. Kakakku mengaku tidak pandai merangkai kata-kata dalam menulis puisi apalagi menulis surat cinta. Dia takut bahasanya akan membuat sakit hati bagi yang membacanya. Karena sebagian besar yang dia ingin tuliskan dalam surat-suratnya adalah ‘surat penolakan’. Setiap kali mendapat surat cinta dari lelaki dia selalu meminta biro jasa tulis untuk menulis surat balasan tersebut. Dan oknum biro jasanya adalah adiknya sendiri yaitu aku. Akulah sang biro jasa menulis surat kakakku. “Sur, aku dapat surat lagi nih,” kata kakaku suatu siang. Waktu itu aku baru saja pulang dari sekolah. “Sudah dibaca belum mba?” tanyaku sambil meletakkan tas sekolahku. “Sudah. Nih! Kamu baca ya,” perintahnya sambil memberikan amplop air mail bergaris merah biru di sekeliling amplopnya. Tak sampai lima menit aku selesai membaca surat itu. Aku pun kenal betul siapa orang yang mengirimkan surat ini. Dia adalah seorang pemuda anak satu desa. Namanya Saliun. Dia anak seorang pedagang hasil bumi yang cukup popular di desa itu. Setiap pagi ayahnya selalu mengangkut satu truck hasil tani seperti pisang, kelapa, kapolaga, 44

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey kunyit, jahe, dan hasil bumi yang lain. Yang aku tahu mas Saliun adalah pemuda yang sopan dan baik. Berperawakan cukup gagah dan rupawan. Dia memang sering main ke rumah dan sering menyapaku. Dia sering mengobrol dengan kakak iparku. Tak ada salahnya kalau kakakku akan menerima pernyataan cintanya yang dia tuliskan lewat surat itu. Batinku berkata, mungkin ini lelaki terbaik pilihan kakakku. “Gimana mba? Mas Saliun orangnya baik lho. Dia juga ramah,” tanyaku seraya memberikan rekomendasi sebisaku. “Iya. Dia memang baik. Aku bingung, Sur. Aku juga nggak enak kalau menolaknya,” jawabnya lirih seperti susah untuk mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. “Jadi mba mau terima dia?” jawabku ingin meyakinkan degan ekspresi ceriaku. “Aku gak tahu. Mba pikir dia mba anggap sudah seperti saudara sendiri. Kayaknya mba ngga bisa. Mba bukannya ga suka sama dia. Tapi mba nggak ada perasaan apa- apa sama dia. Mba anggap sudah seperti kakak sendiri.” “Apa mungkin karena umurnya terlalu jauh sama Mba?” tanyaku penasaran. Memang umur kakakku dengan mas Saliun terpaut cukup jauh sekitar 7 tahun lebih tua dibandingkan kakakku. “Kalau soal umur sih mba gak jadi soal. Cuma mungkin nggak sreg saja,” jelasnya. “Oh…Jadi aku harus nulis balasan apa mba?” Aku menawarkan diri seperti biasanya. “Ya, kayak biasa saja lah. Bikin yang bagus ya! Jangan sampai bikin tersinggung,” perintahnya. “Baik mba,” jawabku singkat. Masih berat hati. Aku segera mengambil ballpoint dari tas sekolahku dan menyobek kertas kosong dari bagian tengah buku tulisku. Mulailah aku menuliskan surat penolakan kakakku itu dengan segala perasaan. Antara perasaanku sendiri yang kasihan membayangkan 45

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey ekspresi wajah mas Saliun nanti ketika membaca surat yang aku tuliskan nanti. Surat penolakan kakakku. Maafkan aku mas Saliun. Maafkan kakakku. Mungkin belum saatnya. Siapa tahu suatu saat nanti kakakku akan berubah pikiran dan akan menerimamu. Batinku berkata untuk menghibur diriku yang sedikit kecewa dengan kakakku. Selain mas Saliun, aku juga masih ingat nama-nama mereka. Daftar lelaki penaksir kakakku. Dari yang paling tua hingga yang paling muda. Tak satupun dari mereka yang diterima menjadi pacar kakaku. Salah satu diantaranya ada yang sudah lumayan sukses di Jakarta. Ada yang mahasiswa. Ada yang petani. Ada yang supir. Ada juga yang pengangguran. Hmh.. aku jadi semakin tidak mengerti dunia orang dewasa saat itu. Tapi yang paling aku tidak mengerti kenapa kakakku begitu angkuh sama laki-laki yang ingin mendekatinya. Ah, mungkin belum saatnya, atau masih kecewa karena tidak dapat lanjut sekolah, atau memang belum terpikirkan untuk melangkah ke dunia perpacaran. Kata orang desa, kakakku cantik. Banyak yang menyebutnya kembang desa. Makanya banyak kumbang yang berusaha mendapatkan cintanya. Namun sangat tragis, mereka semua harus mendapatkan surat penolakan yang pernah aku tulis. Aku berusaha untuk memahami perasaan kakakku yang mungkin waktu itu belum ada yang sesuai keinginannya. Dalam menuliskan surat penolakan, sangat dibutuhkan keahlian dan kehati-hatian dalam mengolah kata agar si penerima surat tidak merasa tersakiti atau terhina dengan penolakan kakakku. Dari situlah kebiasaan menulisku berlanjut. Lain halnya dengan Saliun. Dia adalah seorang yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Begitu pula kakakku. Kenal saja tidak. Tiba-tiba suatu petang datanglah seorang Bapak setengah baya ke rumah dan mencari bapakku. Bapakku tampak kaget juga. Tumben saja orang ini datang ke rumah dengan wajah ramah dan penuh harap. Aku pun langsung bisa menebaknya apa tujuan dia datang ke rumah. “Gimana Mar, lagi sehat kan?” Dia menjabat tangan bapakku penuh kehangatan. Aku berusaha mengintip kedatangan tamu tanpa diundang itu. Bapakku tampak 46

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey mengenalnya dengan cukup baik. Dari nada suaranya yang besar dan keras tampak dia seorang yang kondisi ekonominya lebih baik dan terpandang. “Alhamdulillah sehat kang. Njanur gunung, kang. Ada perlu apa?” tanya Bapakku tanpa basa-basi. Njanur gunung adalah bahasa Jawa perumpamaan yang artinya  tumben.  Tumben berarti tidak seperti biasanya datang. Bapakku memang bukan tipe orang yang suka bercerita dan tak banyak bicara. “Ah, engga. Cuma mampir saja. Tadi habis nengok sawah terus langsung ke sini,” katanya tampak sedikit berbohong. Bapakku sedikit tak percaya. Tapi Bapak tidak berusaha untuk mempermasalahkan. “Dengar-dengar si Ratno sudah sukses yang Kang di Jakarta.” Tiba-tiba bapakku menanyakan nama seseorang yang mungkin anak dari tamu itu untuk membuka pembicaraan. “Nah itu dia Mar. Sebenarnya aku lagi bingung. Ngga tahu kenapa sampai sekarang si Ratno masih seperti itu. Belum dapat jodoh. Padahal dia sudah cukup umur. Usahanya pun lumayan di Jakarta,” katanya mulai berkisah. Kami yang menguping dari dalam hampir saja tersedak. Benar pula dugaan kami atas kedatangan orang ini. Pasti lagi mencari jodoh buat anak lelakinya. Kalau memang iya, kenapa harus ke rumah kami? Kenapa harus kakakku yang menjadi targetnya? Segera setelah tamu itu pulang kami langsung memberondong bapak dengan berbagai pertanyaan. Bapak pun menjelaskan kepada kami perihal tamu bersuara besar itu. Sejak saat itu, Bapak bersuara besar jadi sering ke rumah. Dia sering menanyakan kakakku dan pernah memaksanya untuk menemuinya. Kami berdua sebal setengah mati. Dia tampak sok dan begitu berharap suatu saat nanti kakak saya akan jadi menantunya. Dia bilang ke kakakku bahwa dua bulan lagi anaknya hendak pulang kampung. Dia berjanji akan memperkenalkan pada kakakku. Kakakku hanya diam, namun sayang, diamnya kakakku dianggapnya sebagai sebuah penantian terhadap anaknya. Kekonyolan yang terjadi membuat kami geram. Padahal kakakku tak pernah 47

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey memberikan harapan, malah sebaliknya. Kisah pun berlanjut hingga suatu hari mas Ratno itu pulang kampung dan benar-benar datang ke rumah. Kami orang serumah benar-benar terkejut dengan datangnya tamu tersebut. Yang kami lihat bukanlah yang kami bayangkan. Mas Ratno lebih tepat di sebut Pak Ratno karena tampang dan usianya sudah tidak lagi remaja, tetapi Bapak- bapak usia kisaran empat puluhan. Mba Sofi masih remaja belia yang belum siap untuk menikah. Sedangkan orang tua Mas Ratno sangat menantikan anaknya segera dapat jodoh, menikah, dan dapat cucu. Ini benar-benar pemandangan yang gila. Aku yang masih SD saja menganggap hal ini merupakan hal yang sangat mengerikan. Hingga desakan-desakan dari pihak orang tua Mas Ratno yang seolah memaksa untuk Mba Sofi untuk bisa menerima lamaran anaknya. Kami merasa terpojok karena mereka selalu menonjolkan harta benda sedangkan keluarga kami merupakan keluarga pas- pasan. Takut dikira keluarga miskin tapi sombong. Tapi untungnya bapakku sangat bijaksana dan menyampaikan bahwa semua keputusan ada pada anak kami, Mba Sofi. Akhirnya dengan berat hati dan siap untuk dikatakan keluarga tidak tahu diri, mba Sofi memutuskan untuk, MENOLAK! Tak ada cara lain bagi mba Sofi untuk membuang jauh peristiwa-peristiwa yang membuatnya kecewa dan luka selain pergi dan meninggalkan kami semua untuk merantau ke Jakarta. Mba Sofi adalah kakak perempuanku yang kuat. Dia pasti akan mendapatkan kebahagiaan di kemudian hari. Begitulah doaku saat itu. 48

8 Keputusan Gila Di masa SMP aku sudah tidak lagi menulis surat penolakan untuk kakakku. Aku sudah mulai menulis cerpen. Bukan karena kakakku sudah mendapatkan lelaki yang diinginkan, tetapi karena dia juga sudah pergi ke Jakarta untuk merantau dan Alhamdulillah kakakku berhasil mendapatkan pekerjaan di Ibukota. Menjadi pembantu rumah tangga. Cerpen-cerpenku sering dibaca kakak- kakakku yang lain dan untuk bacaanku sendiri. Aku sungguh kehilangan kakakku, teman bermainku. Tinggallah kedua kakakku yang lain. Mereka dua-duanya sudah berkeluarga. Mereka sudah bukan jadi teman bermainku lagi akan tetapi sangat support dengan pendidikanku. Mereka sangat mendukungku untuk melanjutkan sekolah ke SMA setelah lulus nantinya. Tak pernah aku pikirkan sebelumnya untuk bisa sekolah di SMA karena hampir semua keluargaku tidak ada yang sekolah. Aku merasa terlahir menjadi anak yang begitu spesial. Aku memang dilahirkan untuk dibahagiakan. 49

Mimpi-Mimpi Kecil dan Seribu Kemarau A True Story of A Life Journey “Suryo, kamu anak laki-laki satu-satunya. Kamu harus lebih baik dari pada kita. Kamu harus maju dan bisa membanggakan orang tua. Kamu harus lanjut sekolah di SMA.” Nasihat kakak keduaku yang membuatku sungguh bahagia. Aku ingin menjerit gembira begitu mendengar kakaku berbicara soal sekolah. Kegembiraan ini aku rasakan melebihi kebahagiaanku yang pernah aku rasakan. Lalu, aku menghayalkan bisa menjadi satu-satunya kebanggaan keluarga dan bisa menjadi contoh keluargaku yang lain bahwa ternyata anak seorang petani tulen mampu bersekolah hingga SMA. Yea! Aku sekolah lagi. Alhamdulillah. Tuhan sungguh sayang padaku. “Tapi, Mba.” Aku tak yakin. “Aku kasihan Bapak. Dari mana biayanya?” Aku ragu dengan kondisi ekonomi orang tuaku. “Sudahlah, kamu gak usah khawatir. Insyaallah mba akan bantu.” Kakakku meyakinkanku. Dia adalah kakak keduaku yang lumayan sukses berbisnis. Toko kelontongnya lumayan besar dan laris. “Iya Sur, kamu yang penting belajar ndak usah mikirin biaya,” sambung kakakku yang lain. Mereka semua sangat baik dan mendukungku. Bapakk Ibuku tidak berkata apa- apa. Memang mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi aku tahu kalau merekapun sebenarnya sangat ingin melihatku bahagia. Di hari pendaftaran SMA, aku mempersiapkan segala sesuatunya untuk pendaftaran. Aku mendaftar di SMA terdekat, SMA PGRI. Satu-satunya SMA yang ada di kota kecamatanku, Gumelar. Dan aku juga tidak pernah membayangkan untuk sekolah di kota apalagi sekolah favorit. Bagiku bisa sekolah di SMA sudah merupakan anugerah terindah yang pernah kumiliki yang Tuhan berikan padaku. Lag-lagi aku berjalan di atas awan. Aku merasa lega setelah semuanya selesai. Aku hanya membayangkan kalau aku akan memakai seragam putih abu-abu dengan celana satu tiang penuh. Dan aku menjadi anak SMA, itu artinya hanya aku seorang diantara teman-temanku di SD 50


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook