Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Honeymoon Express

Honeymoon Express

Published by Fairytale, 2021-03-20 06:31:06

Description: Honeymoon Express

Search

Read the Text Version

Iya, saya seharusnya di sana, tapi saya kejebak macet dan sekarang baru masuk Tol Pasteur.” Ferdi terdiam lagi. ”Waduh...” katanya pelan. ”Waduh? Waduh apa? Kok waduh? Kenapa waduh?!” Shera langsung terserang panik dan cemas berlebihan. Ini nggak beres, dan alarmnya otaknya langsung berteriak sama histerisnya. ”Saya lagi mmm... di Setiabudi, Bu. Di penginapan. Soalnya, Pak Alva tadi nyuruh saya pulang ke penginapan. Dia bilang Ibu yang mau ngecek langsung dinner-nya. Sepanjang jalan dari Lembang ke sini, HP saya habis baterai, makanya baru aktif sekarang.” Haduh! Shera menepak jidatnya. Sebetulnya dia kesal, tapi dia nggak mungkin marah sama Ferdi. Ferdi nggak salah kalau memang Alva yang meminta dia pulang. Kejadian kayak gini kok bisa luput dari perhatian dia sih?! Seharusnya dia mengultimatum Ferdi agar tidak pergi meninggalkan lokasi sebelum dia datang. Sekarang sudah telanjur. ”Fer, teleponnya Pak Alva kok nggak aktif juga?” ”Sinyalnya susah, Bu, di sana...” Shera melirik jam tangannya. Pukul 21.15. ”Ya sudah, Fer, nanti saya hubungi kamu lagi.” ”Iya, Bu.” Shera menekan tombol End. Kacau. ”No, ngebut dikit ya.” Nono mengangguk. 99 pustaka-indo.blogspot.com

* Vila kayu yang disewa Shera ada di dalam lokasi wisata bergaya ranch itu. Malam-malam begini, saat lokasi wisata sudah ditutup untuk pengunjung dan cuma ada suara kuda dan jangkrik, rasanya Shera betul-betul sedang berada di ­ild ­ild ­est. Shera buru-buru melangkah ke vila. Mudah-mudahan Alva nggak marah dan kecewa. Seharusnya jam segini urusan dinner sudah beres. Sesuai yang direncanakan Shera, jam enam sore Ferdi dan beberapa orang yang mereka hire secara harian dari tempat wisata akan menata vila menjadi tempat dinner romantis. Pada pelaksanaannya nanti, Shera sudah beren- cana akan mengadakan acara piknik kecil-kecilan di Lem- bang, khusus untuk Alva dan Keisha. Jadi, begitu mereka pulang ke vila, semuanya sudah siap tanpa perlu mereka lihat proses setting-nya. Kalau tadi sih mungkin Alva tetap di situ untuk ikut mengawasi semua. Malam ini, setelah semua tertata, seharusnya Alva mencicipi semua hidangan plus menilai dekorasinya apakah sudah cocok atau belum. Tapi... kalau Shera dan Ferdi nggak ada, masa Alva sendirian? Shera terenyak di depan vila. Konsep yang dia bikin untuk keseluruhan acara di Lembang ini adalah roman- tisme ala co­boy. Acara dinner diadakan di depan api unggun dengan tenda kecil terbuka untuk makan berdua. Untuk makanannya, Shera sudah menyiapkan kambing 100 pustaka-indo.blogspot.com

guling terenak di Bandung, tapi setelah diamati lagi, kayaknya semua hidangan belum tersentuh. Api unggun di depan tenda tampak nyaris padam, sementara bara kambing guling sudah dipadamkan. Semua masih tertata rapi dan utuh. Aduh, Alva mana ya? Memalukan. Shera sudah bikin kacau semuanya. Seharusnya dia nggak bikin janji untuk datang tepat waktu dinner. Lalu lintas zaman sekarang jelas-jelas unpredictable! Kalau Alva marah dan memba- talkan semuanya, Shera seratus persen bisa mengerti. Shera selalu berusaha sportif untuk profesionalisme kerja. Kalau dia salah, ya salah. Shera melangkah masuk ke vila yang pintunya nggak ditutup rapat, ”Al?” dan menemukan Alva ketiduran di sofa. ”Al... Alva...” Shera menepuk-nepuk kaki Alva. Alva membuka matanya pelan. Begitu tahu Shera yang menepuk-nepuk kakinya, Alva spontan bangun dan duduk tegak. ”Eh, Shera. Kamu... nyampe juga.” ”Aduh, Al… aku bener-bener minta maaf. Seharusnya aku nggak perlu janji datang untuk dinner segala. Seha- rusnya aku suruh Ferdi di sini sampe selesai. Aku ngerti kalau kamu kecewa dan mau batalin kesepakatan kita. Aku betul-betul nggak enak. Soalnya tadi itu—” ”Sher... Sher…” Alva memberi kode Shera supaya berhenti ngomong. ”Ngomong apa sih?” Shera melongo. ”Aku udah bikin semuanya berantakan. Pasti kamu kecewa banget. Atas nama Honeymoon Ex- press dan pribadi, aku minta maaf.” 101 pustaka-indo.blogspot.com

”Siapa bilang?” Shera menatap Alva bingung. ”Aku suka konsepnya, Sher. Aku suka api unggunnya, tenda kecilnya, buket bunganya. Aku juga suka kamu pasang lagu kesukaan Keisha, Can’t Smile Without You- nya Barry Manilow. Ternyata kamu memang memper- hatikan semua detail soal Keisha yang aku kasih ke kamu. Aku puas sama hasil kerjamu dan tim di sini. Keisha pasti happy dengan semua ini. Keren.” Tanpa sedikit pun terdengar kesal, Alva mengatakan semuanya dengan te- nang, kalem, dan senyum hangat menghiasi bibir. Shera makin bingung. Kok malah dipuji? ”Eh... aku seneng kamu suka konsepnya, tapi itu kan belum beres semua. Kamu... belum coba makanannya, kan? Aku lihat makanannya belum kamu sentuh. Dan aku, yang seha- rusnya ada di sini untuk ngawasin langsung, malah baru datang. Padahal aku udah janji.” Alva merapikan rambutnya dengan jemari lalu terse- nyum maklum. ”Kamu kan nggak bisa ke sini tepat waktu karena ada kecelakaan di tol.” ”Lho… kok kamu tahu?” Mata Shera membulat. Ja- ngan-jangan, selain berubah jadi lebih dewasa dan gan- teng, sekarang Alva juga menguasai ilmu paranormal? Perasaan Shera belum menyebut soal kecelakaan di jalan tol sama sekali. ”Tadi aku sempat ikut dengar radio bareng penjaga istal kuda yang tugas malam. Aku yakin kamu berusaha tele- pon aku berkali-kali, tapi sejak sampe di sini, sinyal HP- ku jelek banget,” kata Alva tenang. 102 pustaka-indo.blogspot.com

Shera nggak tahu harus ngomong apa. Biasanya klien akan komplain kalau Shera sedikit aja bikin kesalahan yang mereka anggap merugikan. Rata-rata mereka merasa harus mengomel karena sudah bayar mahal. Tapi Alva… kelihatan kesal pun nggak. Pria itu seperti orang yang supersabar atau... nggak punya energi buat marah. ”Al, tapi kan secara profesional, tetap aja aku nggak tepat waktu. Sementara kamu udah mengeluarkan uang untuk ini semua. Kamu jadi dirugikan, kan?” Shera nggak tahu dia tolol atau bodoh. Alva sama sekali nggak marah atas keterlambatannya, tapi Shera malah meminta yang seba- liknya. Alva menatap Shera teduh. ”Kamu sengaja telat?” Shera menggeleng. ”Kamu juga nggak mau telat, kan?” Shera mengangguk. Seperti robot, Shera cuma meng- geleng dan mengangguk. ”Sher, kalau kamu bisa lihat masa depan dan tahu bakal ada kecelakaan di jalan, kamu pasti nggak bakal bikin janji untuk datang tepat waktu. Atau mungkin kamu akan cari cara lain dengan pergi lebih cepat. Tapi kita kan nggak bisa lihat masa depan. Jangankan besok, kejadian sedetik kemudian aja kita nggak tahu. Yang penting aku tahu kamu itu profesional, jadi kamu pasti datang. Aku nggak mau meributkan hal yang nggak perlu. Kalau sedikit-sedikit komplain, bisa-bisa aku ribut sama kamu dan terpaksa pindah biro jasa, dan itu artinya aku harus mengulang dari awal. Buang waktu, buang tenaga.” 103 pustaka-indo.blogspot.com

Shera speechless. Takjub. Omongan Alva logis, tapi Shera malah semakin nggak enak hati dan serbasalah. Kalau diperhatikan, sepertinya seluruh perasaan dan per- hatian Alva dicurahkan habis-habisan. Pria itu merasa nggak perlu memedulikan kelalaian Shera, asalkan per- mintaannya untuk bulan madu ini terlaksana. ”Sher?” Shera jadi gelagapan. ”Thanks ya, Al, atas pengertiannya. Aku... aku bener-bener minta maaf. Terus, itu... makan- annya berarti belum kamu cicipin?” ”Belum. Tapi kalau lihat cara kerja kamu dan konsep- nya, juga dekor yang ada di vila ini, aku yakin pilihan makananmu pasti enak. Jadi aku nunggu kamu nyampe, biar kita coba makanannya bareng. Oh iya, aku mau min- ta tolong sekalian sama kamu, untuk dokumentasi. Bi- sa?” Apa pun yang Alva minta sekarang, Shera pasti me- nyanggupi. Setelah Alva begitu baik dan pengertian, ma- na mungkin Shera menolak, apalagi kalau cuma soal se- pele kayak dokumentasi. ”Iya, bisa dong. Tapi kayaknya kambing gulingnya harus kita panasin dulu.” Alva mengangguk setuju. * ”Silakan...” sambil tersenyum Alva menyerahkan sepiring irisan kambing guling pada Shera yang duduk manis di bawah tenda. 104 pustaka-indo.blogspot.com

”Makasih. Padahal seharusnya aku aja yang nyiapin. Sudah datang telat, aku malah dilayanin kayak gini.” Kalimat ini berasal dari lubuk hati Shera yang paling dalam. Shera sama sekali belum berhasil mengusir rasa bersalahnya gara-gara terlambat tadi. ”Santai aja, Sher.” Alva mengeluarkan sesuatu dari saku. ”Sher, boleh minta tolong untuk dokumentasinya sekarang?” Shera mengangguk. ”Boleh. Mau difoto di mana?” ”Bentar.” Alva mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah gelang anyaman terbuat dari benang berwarna hitam dan emas. Gelang benang sederhana yang sering Shera lihat di toko aksesori, tapi rasanya Shera jarang melihat yang hanya dua warna seperti itu. Alva memakai gelang anyaman itu di tangannya. ”Oke, Sher, aku pegang piringnya ya. Kamu nggak usah foto aku, cukup tanganku dan piringnya aja. Gelangnya harus kelihatan ya, Sher.” Agak sedikit bingung dengan instruksi Alva, Shera mengangguk gamang sambil mengambil kamera dari tangan Alva. ”Itu gelang kesayangan Keisha. Di setiap dokumentasi, gelang ini harus ada, sebagai tanda aja bahwa aku melaku- kan perjalanan ini sambil memakai barang kesayangannya. Bagian dari diri dia.” Alva berkata tenang lalu menge- dipkan sebelah mata. ”Aneh ya?” Shera buru-buru menggeleng. ”Oh, nggak kok. Nggak aneh. Lucu kok idenya.” Shera lalu mengarahkan lagi kamera ke Alva dan mengambil foto sesuai permintaan Alva. 105 pustaka-indo.blogspot.com

Alva mengamati Shera yang melanjutkan makan. ”Jangan bohong, jujur aja. Yang tadi itu aneh, kan?” Shera menggeleng cepat. ”Nggak. Sama sekali nggak. Kan aku udah bilang, aku malah kagum sama kamu. Kayaknya, perkenalan kita yang dulu itu dangkal banget ya? Aku nggak tahu kamu tipe pria yang kayak gini. Aku cuma tahu kalau kamu itu pendiam, pintar, dan pencinta alam. Kalau kata Yulia, daripada harus bersikap romantis, kamu pasti lebih memilih nengokin gorila yang lagi sakit.” Alva tertawa spontan. ”Gitu ya? Nengokin gorila sakit. Yaaa… mungkin dulu aku memang begitu.” Shera menusuk irisan daging di piringnya bersamaan dengan angin yang berembus pelan tapi dingin menusuk. Ternyata semakin malam semakin dingin. Begonya Shera, sudah jelas mau ke Lembang, malah cuma pakai kardigan tipis. ”Dingin ya?” Alva sadar Shera mulai menggosok-gosok tangannya yang kedinginan. ”Bego banget deh aku. Udah tahu mau ke sini, tapi aku nggak bawa jaket yang lebih tebal.” Alva kelihatan berpikir. ”Eh, aku besarin lagi api ung- gunnya ya?” ”Ide cemerlang tuh! Dari tadi dong...” Shera cengenges- an. Bener juga, kok nggak kepikiran gedein api unggun. Yah, biarpun kalau mau tubuhnya langsung hangat, Shera harus melompat masuk ke kobaran api, tapi kalau begitu, sepertinya dia harus kursus debus dulu. 10 pustaka-indo.blogspot.com

Alva membawa seikat kayu bakar ke dekat api ung- gun. Api unggun bukan masalah besar buat Alva, mengingat dia pencinta alam sejati yang kemungkinan saat kuliah lebih sering kemping di hutan daripada di kampus. Alva malah pernah bikin kegiatan survival bersama teman- teman pencinta alam. Mereka bertujuh menginap di alam terbuka dengan perbekalan minim. Pulangnya baik-baik aja tuh. Shera sempat mendengar mereka sempat makan serangga, minum air hujan, sampai nyaris makan jamur beracun—itu bikin Shera ngeri setengah mati. Bayangkan! Makan serangga liar di hutan! Kalau Shera, melihat ke- coak terbang ke arahnya aja langsung lari terbirit-birit sambil histeris. Hiii! Setelah api unggun menyala besar, Alva berdiri, meraih kamera, dan mengambil foto api unggun beberapa kali. Tadi Shera sempat melihat-lihat foto di memori kamera Alva. Ternyata sebelum Shera datang, dia sudah mengam- bil banyak foto. Mulai dari vila, istal, sampai padang rumput tempat pelepasan kuda. Dan di setiap foto, sede- mikian rupa Alva membuat gelang Keisha itu kelihatan. Sepertinya Alva memang sudah mengonsep semuanya dengan matang di kepala. Hawa hangat langsung menyerbu Shera. Dia lega nggak jadi mati beku. Setelah tubuhnya hangat, perha- tiannya kembali terfokus. Artinya sekarang Shera sudah siap untuk bicara serius. Dia nggak mungkin pamit pu- lang sebelum membahas acara malam ini. Itu kan tujuannya ikut survei. 10 pustaka-indo.blogspot.com

”Eh...” Tiba-tiba tatapan Alva tertuju ke arah seorang remaja yang lewat di dekat mereka dan sedang berjalan ke arah istal kuda. ”Jang! Ujang!” Remaja yang dipanggil Ujang itu berjalan menghampiri Alva dengan terburu-buru. ”Iya, Kang? Ada apa?” ”Jang, tadi sore waktu saya jalan-jalan ke istal, kan kamu lagi main gitar. Boleh pinjem?” ”Oh boleh, Kang. Mangga. Sebentar atuh ya, saya ambil dulu di istal.” Ujang mengangguk sopan. Alva mengangguk, lalu Ujang berlari kecil ke arah istal yang bersebelahan dengan vila. ”Kamu kenal anak tadi?” Alva duduk lagi di sebelah Shera. ”Iya. Tadi pas aku jalan-jalan lihat kuda, kebetulan ada dia. Dia itu perawat kuda. Dia yang merawat salah satu kuda yang akan kita pakai besok. Dia juga bakal ikut ngawal.” Bibir Shera membulat. ”Ooo...” Nggak lama Ujang kembali lagi membawa gitar. ”Ini, Kang. Mangga gitarnya.” ”Makasih, Jang. Nanti saya balikin ke kandang ya.” ”Santai ­ae, Kang. Pakai aja. Saya permisi dulu atuh. Mau ngecek kuda,” pamit Ujang sopan. ”Iya, Jang. Nuhun...” Alva langsung memangku gitarnya dengan posisi siap memetik senar. Tangannya dengan lincah menyetel senar gitar dan mengecek suara. Shera tahu sih Alva suka main gitar. Tapi dia sadar, saat di kampus dulu, saat dia diam-diam jatuh cinta pada pria ini, Shera belum pernah sekali pun mendengar Alva bernyanyi. Memangnya dia bisa nyanyi? 10 pustaka-indo.blogspot.com

”Sher, mau lagu apa?” ”Eh, apa, Al?” Shera gelagapan kaget. Sial, ketahuan bengong. ”Sori, sori... agak ngantuk.” ”Kamu ngantuk? Apa mau ke hotel sekarang? Aku ditinggal aja, nggak apa-apa kok.” Aduh. Salah banget alasannya. Kesannya Shera udah capek ngerjain ini. ”Nggak. Cuma gara-gara anginnya nih yang bikin ngantuk. Bukan ngantuk beneran sih. Tadi kan di mobil aku tidur. Kamu bilang apa tadi, Al?” ”Aku nanya, kamu mau lagu apa.” Shera gelagapan. ”Mm... lagu apa ya? Mm... kan acara- nya Keisha. Lagunya Keisha aja.” Alva tersenyum, lalu mengangguk. ”Jangan pingsan ya kalau suaraku jelek,” kata Alva, begitu lembut dan ha- ngat. Alva memetik gitarnya, mulai bernyanyi. You know I can’t smile without you Can’t smile without you I can’t laugh and I can’t sing I’m inding it hard to do anything... Shera menahan napas. Ternyata Alva bisa nyanyi. Oke... suaranya bukan kualitas vokalis band yang ber- vibrasi dan melengking keriting di mana-mana. Suara- nya... mmm... ya setaralah sama Adam Sandler waktu nyanyiin lagu ini di ilm Fifty First Date. Lucu, menye- nangkan, tulus, dan... bikin senyum-senyum sendiri. 109 pustaka-indo.blogspot.com

You see I feel sad when you’re sad... I feel glad when you’re glad... If you only knew what I’m going through… Shera menahan napas lagi. Alva terlihat begitu mengha- yati lagunya. Pikiran Shera menerawang. Gimana rasanya ya jadi Keisha? Mendapat perlakuan semanis ini, dan dinyanyikan lagu seindah ini. Shera tiba-tiba saja ingat, dalam sejarah pacarannya dia belum pernah dapat pacar yang betul-betul menggetarkan hati—apalagi Darren. Iih, amit-amit. Seandainya dulu dia memilih untuk nekat PDKT ke Alva, mungkin.... I just can’t smile without you... Shera membuang napas pelan. Superpelan sampai nya- ris tak terdengar, berbarengan dengan Alva menyanyikan baris terakhir lagunya. Keisha, di mana pun dirimu berada, you’re so damn lucky! Secara profesional, Shera tersanjung bisa membantu pria seperti Alva, yang begitu mencintai dan menghargai perempuan. ”Boleh tanya nggak?” suara Alva membubarkan lamun- an Shera. Shera mengangguk. ”Tanya apa?” Senyum Alva terlihat hangat. Telunjuknya mendorong 110 pustaka-indo.blogspot.com

kacamatanya ke atas. ”Emangnya lagu kesukaanmu apa? Tadi waktu aku suruh pilih lagu, kamu nyuruh aku nyanyiin lagu kesukaan Keisha. Dream a little dream ya?” Shera mengernyit. ”Kok tahu?” ”Soalnya itu ringtone kamu. Hebat kan aku bisa ne- bak!” Shera mendelik sok ngambek. ”Curang.” ”Kamu nginep di mana?” tanya Alva sambil meletakkan gitarnya. Shera buru-buru menendang jauh-jauh sisa kegugup- annya yang belum tuntas. ”Mm, aku nginep di rumah Ivy, sepupuku. Nggak jauh dari sini, di daerah Cipagan- ti.” ”Aku antar ya?” Shera menggeleng cepat. ”Nggak usah. Kan ada si Nono. Paling sekarang Pak Nono lagi tidur di mobil. Besok pagi aku ke sini lagi. Eh, tapiii... sebelum aku pu- lang, gimana revie­ kamu soal hari ini?” Mendadak Shera cemas. Takut ada yang kurang. Insting bisnisnya yang nyaris melayang ke alam mimpi gara-gara terpesona, mendadak balik lagi menggetok kepalanya supaya sadar. ”Hari ini perfect. Aku suka semuanya. Keisha juga pasti sama. Makasih ya, kamu mau bantuin dokumentasinya.” Fiuhh... Shera membuang napas lega lalu beranjak dari duduknya. ”Oke, kalau begitu, aku jalan dulu ya? Kalau kamu ada perlu apa-apa, kasih tahu ke penjaga vila yang stand by atau hubungin aku aja.” 111 pustaka-indo.blogspot.com

Alva mengangkat jempolnya. ”Makasih banyak, Sher. You really are a honeymoon specialist.” Shera tersenyum lagi. Di sepanjang perjalanan ke rumah sepupunya, Shera cuma duduk melamun, membayangkan, kalau memang Alva bukan jodohnya, semoga Tuhan mau mengirimkan pria yang memperlakukan kekasihnya seperti Alva. Yaaah… mungkin di dunia yang katanya tidak ada yang sempurna ini, ada segelintir manusia yang punya kisah cinta sempurna. Oh! Dia harus ngabarin Yulia bahwa hari ini semuanya berjalan lancar dan... profesional! Hahaha! 112 pustaka-indo.blogspot.com

Day II The Phone Call Okeee... Shera memang setuju akan menangani semua deal bulan madunya Alva dan Keisha dengan maksimal, tapi... hari ini, awalnya dia mengira dia cukup duduk manis di boncengan motor Ujang dan mengekor di belakang Alva serta seorang penunggang kuda lain yang bertugas mengawal Alva berkuda. Tapiii... Alva memaksa Shera naik kuda juga! Pertama, mereka sudah bayar full package. Kedua, Alva meminta Shera ikut berkuda supaya dalam perjalanan mereka bisa sambil mengobrol tentang acara berkuda hari ini. Ketiga—ini alasan paling berpengaruh yang bikin Shera akhirnya duduk di atas sadel sekarang—Alva nan- tangin Shera mencoba hal baru. 113 pustaka-indo.blogspot.com

Alva bilang, ”Jangan cuma berani diboncengan motor!” Dan, yang paling nyebelin, Alva menunjuk seorang nenek bercelana jins ketat yang sedang berkuda di lokasi ranch. HELOOO!!! Itu nenek kan naik kuda cuma di sepu- taran dalam area wisata. Nggak bisa dibandingkan dong! Alva kan berencana berkuda ke hutan pinus segala. Siapa yang tahu kelakuan kuda kalau ketemu hutan?! Bisa aja kan, kudanya mendadak liar. Atau... bagaimana kalau mereka ketemu harimau atau beruang kelaparan? Bisa jadi si beruang atau si harimau berniat menerkam kuda- nya, dan karena ada Shera di punggung kuda, dia jadi ikut diterkam! Yah, apa pun prosesnya tadi, sekarang Shera telanjur duduk di punggung kuda hitam sambil menapaki jalan setapak. Di sebelahnya ada Alva yang menunggangi kuda cokelat yang lebih tinggi daripada kuda Shera. Tadi mereka dapat kursus singkat soal dasar-dasar mengendalikan kuda. Kuda-kuda ini sudah biasa trekking ke gunung, tapi tetap saja, demi keamanan, Ujang dan dua orang dari istal mengawal mereka naik sepeda mo- tor. Sebagian perlengkapan untuk lunch di gunung sudah dibawa salah satu kuda yang mengawal mereka, dan beberapa perlengkapan dititipkan di motor. ”Bagus banget ya, Sher. Nggak kebayang Keisha bakal seseneng apa kalau bisa ada di sini...,” Alva berkata pelan dan takjub. Dia menatap kagum hamparan perkebunan 114 pustaka-indo.blogspot.com

teh di daerah Sukawana tempat mereka berada sekarang. Alva lalu mengeluarkan gelang hitam emas Keisha. ”Sher, bisa pegangin gelangnya nggak, buat difoto? Kang, punten, tolong kasihkan ke Bu Shera.” Alva mengoper gelangnya pada Shera, dibantu salah seorang yang mengawal me- reka. Shera mengangguk lalu mengangkat gelang itu tinggi- tinggi supaya saat difoto gelangnya terlihat melayang dengan latar belakang perkebunan pinus dan teh. Shera ikut menatap hamparan kebun teh. Memang indah. Belum lagi udara pagi yang dingin dan menghangat karena sinar matahari. Biarpun Shera yang mengatur acara ini, tapi dia sendiri belum pernah melakukan ini, jadi dia sama sekali nggak tahu bahwa acara berkudanya akan seindah dan seromantis ini. Dalam bayangan Shera, yang bakalan romantis dan cocok dengan tema bulan madu cuma momen piknik di hutan. Dia mengira acara berkuda cuma sebagai pelengkap perjalanan. ”Sabar, Al.... Nanti kan Keisha ke sini juga.” Alva nggak menjawab, cuma menghela napas. ”Teh Shera, Kang Alva, nanti kita berhentinya di atas sana tuh. Sekitar sepuluh sampai lima belas menit lagi.” Kang Asep, si pemandu yang menunggang kuda di depan mereka, menunjukkan jalan sambil menoleh ke bela- kang. ”Sip, Kang....” Alva mengacungkan jempol. Nggak lama kemudian, mereka mulai memasuki hutan pinus. Udara langsung terasa lebih dingin karena cahaya 115 pustaka-indo.blogspot.com

matahari hanya masuk dari sela-sela pepohonan pinus yang rimbun. Shera menahan napas. Ini keren banget dan sangat romantis. Dalam hati, Shera langsung menandai kegiatan ini untuk dimasukkan ke daftar paket yang akan dita- warkan Honeymoon Express. Untung juga dia dimintai Alva ikut survei. ”Sher, lihat deh.” Alva menunjuk ke kanan saat mereka mulai menanjak. Sekali lagi Shera menahan napas. Di sebelah kanan mereka, di bawah sana, tampak hamparan kota Bandung. Mereka berada di titik tertinggi sekarang. ”Ini keren ba- nget, Al. Aku udah pasti akan memasukkan acara berkuda ini ke daftar paket untuk klien-klienku. Makasih banget ya, kamu ngajak aku.” ”Aku yang makasih karena kamu sudah arrange acara ini dan mau dampingin aku.” Shera nyengir. Lima belas menit kemudian, rombongan mereka berhenti. Ternyata, di dalam hutan pinus itu ada lapangan rumput berukuran sedang yang dikelilingi pohon-pohon pinus. Kata Kang Asep, biasanya orang-orang yang meng- adakan offroad atau bermotor trail akan parkir dan ber- kumpul untuk beristirahat di sini. ”Sini, Kang, Teh, kudanya kita kasih minum dulu.” Ujang dan temannya yang tadi mengawal naik motor dengan sigap mengambil alih kuda yang dinaiki Shera dan Alva. 11 pustaka-indo.blogspot.com

Nggak lama kemudian, Ferdi muncul dibonceng meng- gunakan motor lain, membawa beberapa peralatan pik- nik. ”Fer, langsung siapin aja ya.” Ferdi mengangguk. Kegiatan piknik di tengah hutan ini sebetulnya Shera buat simple. Konsepnya betul-betul piknik, dan meman- faatkan suasana tenang sebagai bagian terbaik untuk Alva dan Keisha nikmati berdua sambil makan dari keranjang bekal. Piknik romantis. Mata Alva melebar melihat dekorasi simple yang disiap- kan Shera dan Ferdi. Kain alas duduk, keranjang, bahkan kotak-kotak makanan di dalam keranjang, semuanya dihiasi unsur warna baby blue—warna kesukaan Keisha. ”Kok kamu bisa dapat semuanya warna ini?” Shera tersenyum lebar. ”Kan your-honeymoon-specialist. Pokoknya, semua harus disulap supaya jadi suasana bulan madu.” Shera lalu membuka kotak-kotak bekal dan me- natanya di atas kain alas. Mata Alva melebar kagum lagi. ”Ini semua makanan dan minuman kesukaanku dan Keisha.” ”Jangan lupa kasih ini.” Shera mengeluarkan buket berisi bunga-bunga kesukaan Keisha. ”Terus, sambil duduk di sini, jangan lupa sama ini dan ini.” Shera menge- luarkan papan Monopoly dan kartu. Dalam data yang Alva berikan disebutkan bahwa mereka sangat menyukai dua permainan itu. Menurut Shera, dua kegiatan itu cocok banget untuk menghabiskan 11 pustaka-indo.blogspot.com

waktu di sini. ”Al, untuk kegiatan ini, harus ada yang kamu putuskan. Jadi, coba kamu pastikan, kamu mau ambil paket yang berapa jam. Kalau soal perjalanan kan waktunya sudah cukup pasti karena itu paket dari opera- tor. Tinggal kamu yang menentukan akan menghabiskan waktu berapa lama di sini. Jadi, nanti kamu putuskan ya. Terus, kalau ada yang kurang dari semua yang aku dan Ferdi siapkan, langsung bilang aja. Ferdi bisa langsung jalan untuk nyiapin.” Alva tertegun lalu menatap Shera. ”Hm... semua ini, aku rasa sudah bagus kok. Sudah cukup.” ”Eh, tunggu… ada yang lupa.” Shera tiba-tiba teringat sesuatu. Dia buru-buru mengeluarkan MP3 player dari dalam salah satu tas. ”Jangan lupa ini. Dansa di tengah hutan pinus, kan? Lagu ini, kan?” Shera menekan tombol ON. Lalu terdengar lagu What A Wonderful World-nya Neil Armstrong mengalun lembut. Alva tercekat. Dia berdiri mematung. Mungkin Shera salah lihat, tapi... mata Alva tampak berkaca-kaca. ”Al...?” panggil Shera hati-hati. ”Mmm... kamu kena- pa?” Alva tampak buru-buru mengembalikan ekspresinya. ”Eh, nggak pa-pa. Lagu ini memang selalu bikin merin- ding. Kalau kata Keisha, bikin kita bersyukur—bersyukur bisa hidup dan menikmati semua ciptaan Tuhan.” Alva tersenyum dengan tatapan menerawang. ”Dia bilang, meski lagi kena macet parah di Jakarta, kalau di mobil dengerin lagu ini, macetnya langsung jadi ­onderful.” Alva terkekeh pelan. 11 pustaka-indo.blogspot.com

Shera ikut tertawa pelan. ”Ada-ada aja sih tunangan kamu itu. Tapi bener juga sih.” Alva lalu menepukkan kedua telapak tangannya. ”Any- ­ay, Sher... semua ini cukup bagus. Dengan detail-detail sederhana yang kamu siapin, piknik ini beneran jadi romantis. Kamu memang jago, Sher! Beruntung banget cowok yang nanti bulan madu sama kamu,” Alva meng- godanya. Pipi Shera menghangat, antara ge-er dan bangga. ”Yaaah… berarti aku nyiapin honeymoon-ku sendiri dong? Nggak kayak Keisha, semuanya disiapin sama kamu begini.” Alva tertawa pelan. ”Emangnya kamu mau aku yang siapin? Ntar disangka honeymoon-nya sama aku. Gawat dong.” Shera menelan ludah. Iya, dia tahu dari tadi Alva cuma bercanda, tapi kalimat sesederhana itu, kalau sudah ada rasa, malah bikin ge-er. Yang lebih parah, kalimat itu bikin Shera mengkhayal ke mana-mana. Duh, please deh, Al. Kamu nggak tahu kan, aku nyesel karena nggak pernah ngerasain jadi pacar kamu! Apalagi, bulan madu sama kamu. Merasakan dipeluk kamu, dicium kamu, di—AHHH! Shera ngomel-ngomel sendiri dalam hati. ”Ngarang!” Alva masih tertawa halus. ”Eh, aku foto dulu deh.” Dia lalu meletakkan gelang hitam emas itu di alas piknik, mengambil fotonya bersama satu set piknik yang lain. Alva juga mengambil foto lain, mulai dari kuda dengan 119 pustaka-indo.blogspot.com

gelang Keisha yang diikatkan ke tali kekang, dan foto alam sekitar mereka. Pokoknya semua detailnya dia foto. Rupanya Alva betul-betul serius soal dokumentasi itu. ”Al, emangnya nanti foto-foto itu mau diapain? Dice- tak?” Alva berhenti mengambil foto. Dia menurunkan kamera lalu duduk di samping Shera. ”Iya... setelah dicetak, mau aku jadiin album. Album perjalananku sama gelang ini, hadiah bulan madu buat dia.” Alva lalu tersenyum kikuk. ”Aneh ya?” Shera menggeleng cepat. ”Nggak kok. Yah, memang unik dan jarang, tapi itu hadiah yang benar-benar manis. Aku juga bakal senang kalau ada yang ngasih foto perja- lanan diam-diam seseorang bersama barang yang mewa- kiliku.” Alva melempar senyum ultramanis pada Shera. Bibir- nya bergerak pelan, mengucapkan terima kasih tanpa suara. Shera mengangguk sambil balas tersenyum. Jan- tungnya makin menggila. Memang sih, ini semua nanti memang buat Keisha, tapi saat ini kan bukan Keisha yang bersama Alva menikmati semua keromantisan ini, melain- kan Shera—Shera yang ada di sini sambil menahan perasa- an supaya nggak terbawa suasana, mati-matian berusaha tetap profesional dan nggak kelihatan terlalu menikmati semua ini; momen berduaan dengan Alva. Astaga! Ini sih berarti sampai sekarang masih tetap cinta terpendam dong. 120 pustaka-indo.blogspot.com

Shera merutuki diri sendiri, kenapa progres hubung- annya dengan Eldi berjalan sangat lambat. Dan sekarang, di saat genting kayak gini, dia malah nggak punya pacar—jomblo ngenes. Tahu-tahu HP Alva berdering. Dia mengintip layar HP dan buru-buru mematikan MP3 player. Wajah Alva mendadak gelisah. ”Halo, Mas Darwin. Baik, Mas. Saya... saya di Ban- dung. Sekarang hmm... yang di hutan pinus, Mas. Iya.” Alva melirik Shera sekilas, lalu berjalan menjauh. Tapi Shera masih bisa mendengar samar-samar suaranya. Siapa ya Mas Darwin? Kok tahu soal perjalanan ini? ”Nggak apa-apa, Mas, aku ikhlas kok melakukan ini untuk Keisha. Biarpun mungkin nggak sampai diterima Keisha... tapi aku sudah niat, Mas. Yang penting dia tahu aku melakukan semua ini untuk dia.” Shera menelan ludah, nggak mendengar lagi kalimat selanjutnya. Tunggu… apa maksud pembicaraan tadi? Keisha nggak bisa menerima bulan madu seindah ini? Kok kedengaran janggal? Kenapa Keisha nggak bisa? Apa mungkin Keisha nggak mau menyediakan waktu untuk bulan madu? Memang ada ya wanita yang kayak gitu? Sebetulnya hubungan Alva dan Keisha ini gimana sih? ”Sher... sori, tadi ada telepon.” Tahu-tahu Alva mun- cul. Shera buru-buru mengatur ekspresi. Jangan sampai Alva tahu dia tadi ”nggak sengaja” nguping. 121 pustaka-indo.blogspot.com

Dari sikapnya, Alva sepertinya sama sekali nggak sadar kalau suaranya tadi masih cukup keras sampai terdengar ke telinga Shera. Biarpun cuma samar-samar. ”Ok. Eh, mau food testing nggak nih?” Ekspresi gusar dan serius Alva yang tadi sempat Shera liat, hilang seketika. Alva kembali terlihat tenang dan hangat. ”Iya dong. Emangnya kamu nggak lapar? Bukan- nya cewek-cewek suka brunch?” ”Kamu kok tahu soal brunch segala sih? Itu kan urusan cewek.” Entah dorongan setan genit dari mana, bisa- bisanya Shera menepuk pelan lengan Alva. Sebenarnya itu gerakan biasa, tapi luar biasa karena cinta terpendam Shera. Dia langsung memaki diri sendiri dalam hati. Alva tertawa pelan, lalu mencomot chicken ­ing dari dalam kotak makanan. Shera ikut mencomot chicken ­ing. Sambil mengunyah, Shera nggak bisa berhenti memikirkan pembicaraan Alva yang dia dengar tadi. ”Biarpun nggak sampai diterima Keisha.” Maksudnya, Keisha belum tentu bisa melakukan perjalanan bulan madu, gitu? Masa sih sama sekali nggak ada waktu kosong, sampai kapan pun? Kalau benar Keisha nggak bisa karena terlalu sibuk, kasihan banget Alva. Padahal Alva sudah menyiapkan ini mati-matian, kalau Keisha nggak menikmatinya, sia-sia dong? Yang lebih menyedihkan, masa sih pria sebaik Alva mau menikah dengan perempuan yang nggak mau meluangkan waktu sedikit pun untuk menghargai usahanya? Pria seperti Alva seharusnya mendapatkan perempuan yang bisa menghargai kebaikannya. 122 pustaka-indo.blogspot.com

Mungkin nggak ya, mereka batal menikah karena Alva kecewa? Aduh! Mikir apa sih gue?! Jahat banget pikirannya barusan. Dia kedengaran seperti perempuan iri yang pengin merebut calon suami orang! Lagian, semua yang Alva lakukan menunjukkan cintanya yang besar untuk Keisha. Dari pembicaraan tadi, Alva tahu betul situasinya, tapi dia tetap melakukan semua ini. Sepertinya, kecil kemung- kinan Alva akan kecewa sampai membatalkan pernikah- an. Mungkin ini ya yang namanya cinta buta? Buta sih buta, tapi masa logikanya ikut-ikutan nggak jalan? Memang nantinya nggak capek mati-matian men- cintai orang yang nggak terlalu mencintai kita? ”Al... Keisha itu orangnya gimana sih? Kamu kayaknya cinta banget sama dia. Sudah berapa tahun pacaran?” Alva berhenti mengunyah. Matanya menatap kosong sesaat. Beberapa detik kemudian dia menatap Shera sam- bil tersenyum kalem. ”Keisha itu... baik banget. Dia itu... perempuan hebat. Penyayang... dan nggak kenal kata me- nyerah. Aku... mm… pacaran sama dia sudah lebih dari dua tahun. Dua tahun dua bulan, tepatnya.” Nggak ada satu kata pun dari deskripsi Alva tentang Keisha yang menggambarkan kemungkinan bahwa Kei- sha wanita sok sibuk yang cuek dan nggak bersyukur se- perti yang ada di pikiran Shera. Tapi, helooo... tetap saja! Kenapa Alva harus melakukan 123 pustaka-indo.blogspot.com

semua ini lebih dulu, sebelum honeymoon sesungguhnya bersama Keisha? Toh si Keisha belum tentu bisa berangkat honeymoon. Atau... justru karena Alva pengin banget Kei- sha menikmatinya, sampai dia rela menjalani semuanya sendiri demi bulan madu sempurna yang bisa Keisha nikmati? Sampai segitunya Alva mikirin Keisha. Seistimewa apa sih Keisha itu? 124 pustaka-indo.blogspot.com

Boleh Maju Nggak Sih? Sedikiiit Aja... ”Dipelet gue rasa.” Yulia melotot. ”Sembarangan!” Shera memasang kacamata hitamnya lalu langsung rebahan di kursi santai di pinggir kolam lantai empat apartemennya. ”Habisnya aneh. Sampe segitunya lho, Yul. Pasti ada sesuatu!” Yulia ikut rebahan di kursi di samping Shera. ”Ya cinta mati lah! Lo nggak adil. Kalau lo sendiri fanatik sama hal-hal romantis, seharusnya lo percaya dong ada cinta buta kayak gini. Kenapa malah ngatain Alva dipelet? Lo aja yang nggak rela karena Alva segitu cintanya sama ceweknya, kan?” Uh, resek! 125 pustaka-indo.blogspot.com

Shera manyun. ”Emang aneh kok! Iya, gue percaya ada yang namanya cinta buta, cinta mati, cinta sejati, tapi... ini tuh aneh. Masa sih sampe segitunya si Alva sama cewek yang kelihatannya nggak bakal menghargai apa yang udah dia lakuin?” Yulia memutar kepalanya ke samping lalu mengangkat sedikit kacamatanya. Dia mengernyit menatap Shera. ”Emangnya, ceweknya nggak bisa menikmati karena apa? Lo juga nggak tahu jelas, kan? Mungkin aja Alva mau ngasih surprise tapi takut salah.” Ah, Yulia memang menyebalkan. ”Habis apa lagi coba? Si Mas Darwin itu jelas-jelas tahu soal perjalanan Alva. Kalau ceweknya nggak aneh, ngapain Mas Darwin itu sampe komentar dengan khawatir begitu. Pasti ceweknya ini ­orkaholic sejati yang udah nggak mikirin hal lain, termasuk pernikahannya sendiri. Lagian ya, Yul, waktu itu Alva gue tanya soal tanggal pernikahan tapi dia nggak jawab. Jangan-jangan nikahnya juga belum pasti.” ”Nggak jawab karena emang nggak mau gembar- gembor kali? Kayak artis-artis itu. Butuh privasi.” ”Soal privasi mungkin juga, tapi bisa juga karena emang belum pasti, kan?” Shera masih ngeyel. ”Mmm... iyeee... bisaaa. Apa sih yang nggak mungkin di dunia ini. Biarpun gue tahu, emang lo aja tuh yang berharap pernikahan Alva belum pasti.” Yulia menenga- dah, sok-sok menikmati matahari. ”Gue miris aja lihatnya. Orang sebaik Alva masa dapet cewek yang kayak gitu?” Shera menghela napas. Tetap nggak habis pikir. 12 pustaka-indo.blogspot.com

Yulia menyeruput jus kiwinya. ”Ah, lo bisa nge-judge begitu, padahal nggak kenal orangnya. Si Alva sama aja anehnya, mau-maunya melakukan hal kayak gitu buat cewek yang nggak cinta sama di—Eh, tunggu!” Yulia mendadak bangkit, dan dengan cepat pindah ke tepi kursi Shera. Tangannya mencabut kacamata Shera. ”Aw, silau! Ngapain sih?” Mata Yulia menyipit menatap tajam mata Shera yang terpaksa ikut menyipit gara-gara matahari. Daripada kaca- mata dibuka tiba-tiba dan silau begini, sekalian aja Yulia colok matanya sampai perih. ”Gue baru ngeuh. Jangan bi- lang lo berpikir karena Alva belum pasti menikah dan ce- weknya aneh begitu, lo jadi punya kesempatan buat—?” ”Hah?!” Shera buru-buru memakai kacamatanya lagi. Kalau Yulia menatap matanya, dia pasti bisa menebak saat Shera salting atau bohong. ”Lo ngomong apa sih? Gue kan cuma bilang miris ngeliat hubungan mereka.” SET! Yulia mengangkat kacamata Shera lagi. ”Miris, terus lo berpendapat, seharusnya Alva dapet cewek yang lebih baik. Contohnya lo?” ”Iihh... apaan sih?” Shera sok melirik jam tangan. Dengan sadis Yulia memegang dagu Shera. ”Tatap mata gue!” Kenapa Yulia jadi kayak pesulap? ”Ngapain lo? Mau ngehipnotis gue? Kayak bisa aja…” Yulia nggak senyum sama sekali. ”Jangan aneh-aneh ya, Sher.” Lagak Yulia bagaikan ahli pembaca pikiran orang. ”Gue tahu pikiran lo. Jangan bertindak ngaco, oke? 12 pustaka-indo.blogspot.com

Inget, dia calon suami orang. Lo fokus aja sama Eldi tuh! Biar lambat, asal selamat. ” Yulia memang bisa membaca pikiran orang. Shera memutar bola mata, bete. ”Iya, Yul... iyaaa... Tenang aja, kenapa sih? Gue masih inget gimana sakitnya gara-gara perselingkuhan Darren dan Monna. Gue nggak akan bikin cewek lain ngerasain hal yang sama, oke?” ”Mana mungkin gue bisa tenang. Kelihatan banget lo suka beneran sama Alva. Kalau dia benar-benar nggak jadi nikah dan jomblo lagi, terserah deh, lo mau mepet dia pakai cara normal atau abnormal. Tapi selama dia masih berstatus calon suami orang, mendingan lo nggak usah macem-macem. Urusan lo sama dia ini masih berapa lama lagi sih? Kalau terus kayak gini, gue curiga lo nggak bisa tetap profesional. Muka lo itu kayak siap merobek- robek baju Alva dengan liar, tauk!” ”Sinting lo, Yul. Gue nggak semesum itu!” Shera men- delik, langsung tertegun. Berapa lama lagi ya? Shera me- nimang-nimang. ”Mmm... nggak lama lagi kelar kok. Minggu depan kan ke Bali, terus Singapura, terus udah.” ”Pffftt!” Minuman Yulia menyembur keluar. Matanya juga nyaris melompat keluar. ”Apa lo bilang? Ke Bali? Lo ikut ke Bali dan Singapura?” Reaksi histeris Yulia yang seperti ini sudah Shera per- kirakan sejak awal. Shera menggoyang-goyangkan tangan, menyuruh Yulia santai. ”Biasa aja dong, Yul. Gue seka- lian ada urusan di Bali, jadi sengaja dibarengin.” Alis Yulia berkerut. ”Urusan di Bali yang pameran pariwisata itu?” 12 pustaka-indo.blogspot.com

Shera mengangguk dengan senyum masih mengembang. ”Yup. Eh, tapi kok lo tahu sih?” Ekspresi Yulia berubah datar. ”Tahu dong. Kita kan ngobrolin soal ini bulan lalu karena hotel gue juga ikutan. Bukannya Tyas yang lo suruh ke sana? Lo bareng Tyas?” Shit! Salah lagi nih. Shera meringis, berusaha memaksa- kannya seperti senyuman. ”Mmm... Tyas nggak jadi.” ”Terus, lo yang gantiin supaya bisa dibarengin acaranya Alva,” sambung Yulia. Shera meringis lagi. ”Iya, sekalian.” ”Kenapa lo harus batalin Tyas?” desak Yulia. ”Mmm... yaaa... boros aja, Yul. Kan kalau cuma ke pameran, gue juga bisa. Toh bukan acara resmi, jadi nggak buang-buang ongkos. Lagian, lo tahu Alva suka canggung. Dia lebih nyaman kalau yang dampingin dia itu gue.” Shera nggak bohong. Dia memang nggak punya niat terselubung dengan membatalkan keberangkatan Tyas. Semua demi mengirit ongkos operasional. Lagian, itu berarti Tyas bisa disuruh stand by karena semua konseptor di Honeymoon Express sudah pegang klien. Yulia terdiam. Sahabatnya itu cuma menyeruput jus kiwinya lagi. Shera menatap Yulia dengan ganjil. ”Kenapa sih, Yul? Kok lo diem aja?” Kali ini Yulia nggak melotot atau merepet bawel. Dia duduk menghadap Shera. ”Gue khawatir aja, Sher. Gue pikir, lebih baik kalau ada Tyas, jadi lo nggak berduaan aja sama Alva di Bali.” 129 pustaka-indo.blogspot.com

Shera ikutan bangkit dan duduk menghadap Yulia. Biarpun bawel dan suka nyebelin, Shera tahu sahabatnya itu sayang dan perhatian. ”Gue tahu lo khawatir, tapi tenang aja. Gue bisa jaga diri. Suwer! Gue masih meme- gang komitmen kitaaa: Pantang jadi pengganggu hubung- an orang. Lagian, masa lo menganggap gue bisa ngelakuin hal kayak gitu sih? Kan gue udah bilang, kalaupun gue ada rasa sama Alva, gue bakal simpen sendiri—buat lucu- lucuan.” ”Tapi—” ”Eit... terlepas dari teori lo tentang sinyal antar sesama manusia itu,” potong Shera cepat, sebelum Yulia mulai pidato. ”Pokoknya, lo tenang aja.... Gue nggak ada niat aneh-aneh. Cuma mau menjalani pekerjaan dengan pro- fesional. Kebetulan aja klien gue kali ini Alva dan dengan permintaan khusus kayak gini. Oke?” Yulia masih nggak percaya. ”Yul?” Yulia mengangkat tangan. ”Iyaaa.... Oke! Lo udah gede. Lo tau yang terbaik buat lo.” Shera mencubit pipi Yulia. ”Ya jangan manyun lagi dong. Muke lo kayak ikan! Senyuuum...” Yulia tersenyum paksa, lebih tepatnya menyeringai. Jenis seringai yang bisa banget buat nakut-nakutin anak TK biar ngompol berjamaah. * 130 pustaka-indo.blogspot.com

Disc 50%! Sumpah itu mini dress lucu banget. Shera melangkah masuk ke butik di lantai dasar apartemennya. Setelah itness, Yulia langsung pulang karena ada janji sama Dennis. Shera mendorong pintu kaca butik kecil yang dinding- nya didominasi kaca itu. Lantai dasar ini memang dibuat dengan konsep mini mall. Supermarket, kafe, dan beberapa butik kecil ada di sana. ”Sore, Mbak Sher,” sapa Via, ramah. Shera lumayan sering ke sini karena koleksinya bagus- bagus. Via si penjaga toko sudah familier dengan Shera. Mata Shera nggak bisa lepas dari mini dress beige pucat dengan print tribal hitam di bagian dasar rok itu. Bagus banget. ”Itu... harganya jadi berapa, Vi? Nggak sampe tujuh puluh persen diskonnya?” Senyum Via langsung mengembang. Semacam senyum dengan arti ”gue-udah-tahu-Mbak-Shera-pasti-nanyain- gaun-itu”. ”Dari 650 jadi 325, Mbak. Bagus ya? Tinggal dua, Mbak. Ukuran Mbak Shera ada satu. Mau?” ”Nggak bisa tujuh puluh persen aja, Vi?” ”Yah, Mbak… kalo soal diskon yang nentuin si Ibu. Ini juga didiskon soalnya Ibu besok pulang dari Bangkok bawa barang baru. Tapi nggak mahal kok, Mbaaak. Ini yang waktu itu Ibu bawa dari Korea. Cuma ada lima, jadi nggak pasaran,” Via merayu. Beruntung banget bos butik ini punya pegawai kayak Via. Ramah, manis, jago jualan. 131 pustaka-indo.blogspot.com

Shera mendekati mini dress itu, mengamati sambil sesekali memegang-megang. Duh, bahannya dingin. Enak nih. Pasti keren banget kalau Shera pakai di Bali sambil pakai sandal teplek kulit plus topi co­girl-nya. Siapa tahu Alva ngajak dia jalan-jalan menyusuri pantai dan—Ya ampun! Shera releks melepas pegangannya pada ujung rok mini dress itu. Kenapa dia punya pikiran mau beli baju ini buat jalan-jalan sama Alva?! Shera menelan ludah. Sejak menduga Alva belum tentu jadi menikah, perasaan Shera jadi semakin liar. Shera teringat janjinya pada Yulia—dan sebenarnya bukan hanya pada Yulia, tapi pada diri sendiri juga. Shera harus profesional! ”Mbak?” suara Via membuyarkan perdebatan batin Shera. ”Gimana? Mau ambil? Yang ukuran Mbak Sher kebetulan yang masih di plastik, bukan yang ini.” Shera diam, masih mengamati dengan bimbang. Dia suka banget sih, tapi kenapa tadi kebimbangan itu melin- tas di pikirannya? Masa iya dia beli dress ini karena Alva? Pacar bukan, calon pacar juga kayaknya kecil kemungkinan- nya. Kalau yang muncul di kepalanya alasan lain, mung- kin Shera nggak perlu bingung dan akan langsung bayar. Cuma tiga ratus dua puluh lima ribu. Ini bukan masalah harga! ”Buat garden party atau acara-acara semiformal cakep banget, Mbak. Tinggal pakai high heels atau lat yang modis,” kata Via lagi. Nah itu dia! Shera langsung menatap Via berbinar- 132 pustaka-indo.blogspot.com

binar. ”Pinter kamu, Vi!” Kalau membeli dress ini untuk garden party atau acara semiformal nggak salah dooong? Apalagi Shera terhitung sering ada pertemuan dengan klien dalam suasana semiformal. Dress ini pasti berguna banget. Sekali lagi, bukan karena Alva. Tapi kalau ada kesempatan dipakai pas ketemu Alva, yaaa... nggak pa-pa dong? Shera tersenyum lebar bagai dapat pencerahan. ”Aku mau deh, Vi. Boleh aku coba dulu ya?” Via tersenyum senang. ”Boleh dong, Mbak. Bentar ya.” Nggak sampai lima belas menit, Shera sudah meleng- gang keluar toko sambil menenteng kantong belanjaan. Lima detik kemudian ringtone ponsel Shera berbunyi. Dia buru-buru menekan tombol Ans­er. ”Hei, Al. Aku udah di lantai dasar nih. Jadi ketemu di Kopi Pojok?” Waktu Shera selesai berenang sama Yulia tadi, Alva mengirim BBM dan bilang dia mau mampir sebentar untuk membicarakan beberapa detail di Bali nanti. Pria itu sudah duduk manis di salah satu sofa dekat pantry Kopi Pojok, coffee shop kecil di deretan kafe dan resto. ”Sudah lama, Al?” Shera duduk di hadapan Alva. ”Lumayan. Mbak-mbak itu kayaknya sudah tiga kali melahirkan selama aku di sini.” Shera terbelalak. ”Lebay! Aku nanya serius!” Gigi Alva yang rapi terlihat jelas waktu pria itu tertawa hangat. ”Habis belanja?” Mata Alva tertuju pada kantong kertas di samping Shera. 133 pustaka-indo.blogspot.com

Wajah Shera langsung memanas. Mendadak dia ingat alasan yang sempat melintas di kepalanya tadi. ”Barang diskon. Lumayan lima puluh persen.” Alva mengangguk-angguk. ”Eh, Sher, aku nggak nge- repotin kan mendadak mampir pas kamu lagi libur gi- ni?” ”Nggak kok. Emang lagi nyantai. Tadi juga habis berenang dan itness.” Shera pasang senyum manis. Dulu waktu masih di kampus, Shera nggak pernah membayangkan bisa semudah ini ngobrol sama Alva. Obrolan mereka selalu pendek-pendek dan dia harus mencari alasan khusus karena grogi setengah mati. Dulu, segala spontanitas dan sikap blakblakan Shera langsung padam disergap sikap kalem Alva yang bikin salting. Sekalinya ngobrol agak panjang, itu pas Alva nggak se- ngaja mergokin Shera bro­sing tempat-tempat romantis di Eropa dan baca majalah bulan madu. Sampai sekarang Shera masih nggak nyangka Alva ingat kejadian itu. Well, kalau dipikir-pikir, sekarang mereka sering ke- temu dan ngobrol juga karena ada alasan khusus. Hanya saja... suasananya terasa berbeda. Biarpun lebih banyak seputar kerja sama mereka, tapi selalu terasa menyenang- kan. Mungkin karena topiknya sangat Shera sukai. ”Thanks ya, Sher. Sori aku ribet.” ”Ah, kamu bukan klien yang paling ribet kok. Aku pernah dapet klien yang minta dibikinin lunch di kantin SMA di kota tempat tinggal mereka sebelum pindah ke Jakarta. Di Medan.” 134 pustaka-indo.blogspot.com

Mata Alva melebar. ”Hah? Beneran?” ”Bayangin aja, kan nggak mungkin mereka lunch di kantin pas jam sekolah. Jadi aku terpaksa ngerayu pihak sekolah supaya diizinin pakai kantinnya pas ­eekend. Me- reka juga maunya makanan disediakan oleh para pedagang kantin. Jadi sambil jajan-jajan nostalgia gitu.” Alva melongo. ”Kamu juga ribet sih, tapi nggak aneh.” Shera cengenges- an. ”Kamu ya... terang-terangan ngatain klien ribet.” ”Aku kan cuma berusaha jujur.” Alva tertawa pelan. ”Semuanya harus perfect banget ya, Al? Pasti pesta nikahannya juga perfect.” Alva samar terlihat menegang. ”Emangnya kapan sih? Kasih bocoran tanggalnya dong.” Shera betul-betul nggak bisa menahan diri untuk nggak mencari tahu. Shera masih merasa ada yang aneh waktu Alva kelihatan menghindar saat ditanya soal ini. Apalagi setelah Shera mendengar obrolan Alva di telepon saat mereka di hutan pinus itu. Alva terlihat nggak nyaman. ”Mm... itu masih... tergan- tung Keisha sih. Sher, kamu masih nari nggak? Kamu kan jago banget tari tradisional.” Tuh kan, aneh. Lagi-lagi Alva menghindar soal ini. ”Masih sesekali. Kenapa? Kamu sekarang minat belajar tari? Kalau mau, ntar aku—” Tiba-tiba ponsel Shera berbunyi. 135 pustaka-indo.blogspot.com

Yulia. ”Halo, Yul? Apa? Gue... nggak di kamar. Gue lagi di Kopi Pojok. H-halo, Yul? Yul?” Diputus. Ngapain sih Yulia telepon nggak jelas gitu? ”Yulia?” tanya Alva penasaran. ”Iya, tapi nggak jelas. Dia nanya aku lagi di mana, habis itu teleponnya mati. Dia kan emang nggak jelas. Yang jelas dari Yulia cuma satu: berisik.” Alva tertawa. Suara tawa Alva itu keren. Shera juga nggak tahu apakah memang ada ketawa yang keren, tapi buat Shera, kalau ada suara ketawa yang keren, suara Alva salah satunya. ”Eh... terus tadi nanya soal tari, kenapa? Sini aku ajarin. Mau apa? Jaipong? Pendet? Saman? Atau tarian pemanggil hujan?” Alva tertawa lagi, lebih lepas daripada sebelumnya. Shera ikut tertawa. ”Sher.” Ha? Shera spontan berhenti tertawa. Kok ada Yulia?! ”Lho, Yul... Kok balik lagi?” ”Gue mau ke apartemen lo. HP gue yang satu lagi ketinggalan sebelum berenang tadi. Pinjem kunci deh,” cerocos Yulia sambil melirik Alva, lalu melirik Shera dengan tajam karena sama sekali nggak dikasih tahu tentang kedatangan Alva. ”Hei, Al...” sapa Yulia, garing. ”Baru dateng? Tadi gue juga habis dari sini berenang. Si Shera nggak bilang kalau lo mau ke sini.” Shera mendelik. ”Emang ngapain bilang-bilang sama lo?” 13 pustaka-indo.blogspot.com

”Kan Alva temen gue juga. Ketemu temen lama, emang- nya nggak boleh?” Shera malas menanggapi Yulia. Jelas-jelas si nenek bawel lagi nyindir. ”Gue cuma sebentar, Yul. Ada yang harus gue obrolin sama Shera soal paket bulan madu gue. Kebetulan gue lagi ada kerjaan di deket sini, terus Shera ada waktu, jadi gue mampir deh,” jawab Alva santai, sama sekali nggak mencium aura mencurigakan dari omongan Yulia—yang sudah beberapa kali melemparkan tatapan ala detektif ke arah Shera. Bibir Yulia membulat sambil melemparkan tatapan penuh arti pada Shera. ”Eh, Al, mumpung ketemu. Kantor lo spesialis digital dan animasi gitu, kan? Hotel gue mau ada event Hari Anak besar-besaran. Salah satunya parade profesi. Nah, profesi animator kan unik. Kantor lo mau ikutan nggak? Boleh bebas promosi lho pas event” ”Oh, boleh tuh.” ”Gue for­ard by e-mail aja ya. E-mail lo apa? Gue kirim sekarang.” ”Wah, thanks, Yul.” Alva lalu menyebutkan alamat e-mailnya. Yulia langsung mengutak-atik iPhone-nya. ”Tuh sudah. Eh, mana kunci lo, Sher. Gue ditunggu Dennis di parkiran.” Shera menyodorkan kuncinya. Nggak lama setelah Yulia melangkah keluar dari Kopi 13 pustaka-indo.blogspot.com

Pojok, WhatsApp Shera berbunyi: ”Bener dugaan gue! U’re in love, Sher. Alva bukan sekadar lucu-lucan masa kuliah. Lo beneran suka sama dia sampe sekarang. Kalau nggak, kenapa tadi nggak cerita sama gue kalo lo bakal ketemu Alva? Karena lo ngerasa gue bener, kan? Hati-hati ya, Sher!” Jantung Shera berdegup kencang. Kalau dia bicara dalam hati, nggak bakal ada yang dengar, kan? Shera mau mengaku bahwa yang dikatakan Yulia di WhatsApp se- muanya benar. Dia memang jatuh cinta. Perasaannya untuk Alva bukan lagi lucu-lucuan. Perasaannya masih sama seperti dulu, bahkan semakin besar. Alva yang seka- rang, membuat Shera jatuh cinta, bukan sekadar naksir. Pria itu seperti memenuhi nyaris semua persyaratan pria idamannya—kecuali satu, Alva sudah punya cinta. Kei- sha. 13 pustaka-indo.blogspot.com

Touchdown Bali Just you and I—professionally ”Pagi ini kita ­atersport dulu. Check in-nya nanti siang. Habis itu terserah kamu kalau mau istirahat dulu atau mau jalan-jalan ke mana. Tapi, aku mau ke pameran pariwisata sebentar ya. Oh ya, Al, acara kempingnya nggak bisa malam ini, soalnya kalau malam minggu, pantai di depan vila selalu ramai karena ada acara. Jadi kempingnya dialihin ke besok malam. Gimana?” cerocos Shera, nyaris tanpa jeda. Begitu mendarat di Bali, mendadak Shera jadi kelebihan energi. Padahal waktu di pesawat tadi Shera gagal tidur. Jantungnya berdegup dengan irama asal-asalan karena excited duduk bersebelahan dengan Alva. Ini malu-maluin, macam anak SMA aja! 139 pustaka-indo.blogspot.com

Sial! Semakin lama omongan Yulia terbukti benar. Shera melirik Alva. Loh, malah tidur. Pria itu tidur di bangku sebelah Shera. Sandaran bang- kunya direbahkan ke belakang dan kakinya diselonjorkan ke ruang kosong yang berbatasan dengan kursi depan. Shera sengaja menyewa mobil van ini. Biasanya dipakai untuk orang-orang yang berkeluarga sih. Shera pikir, akan lebih enak kalau mobilnya luas dan kakinya bisa selonjor. Dan terbukti kan, Alva sampai ketiduran nyenyak be- gitu. ”Al! Alva!” Shera menepuk-nepuk dengkul Alva, ge- mas. Mata Alva terbuka. Dengan muka masih mengantuk dan rambut agak acak-acakan Alva menatap Shera. ”Mm... apa, Sher? Sudah sampe?” ”Sampe apaan? Kamu dari tadi tidur, nggak dengerin aku ngomong panjang lebar soal rundo­n kegiatan di sini.” Shera merengut manja, berlagak ngambek. Alva menegakkan duduk. Mukanya masih kelihatan ngantuk. Rambutnya yang sedikit acak-acakan nggak ber- usaha dia rapikan—kayaknya sih nggak sadar. Alva meng- gosok wajahnya dengan tangan lalu menatap Shera lagi. ”Sori, Sher. Ngantuk banget. Flight kita pagi banget. Semalam aku habis lembur. Kamu ngomong apa tadi?” Memang tadi penerbangan mereka pagi banget. Shera sampai menyalakan dua alarm ponsel dan dua weker karena takut kesiangan. Sekarang masih jam sembilan pagi waktu Bali—jam delapan waktu Jakarta. Duh, itu... 140 pustaka-indo.blogspot.com

wajah Alva menggemaskan dan... seksi banget. Pengin dicubit. Tanpa sadar, Shera menelan ludah. Mungkin begini ya wajah Alva kalau bangun pagi di rumah. Lucu banget. Shera nggak keberatan kalau bangun pagi mendapati wajah itu di sebelahnya. ”Uhuk! Uhuk!” Shera terbatuk-batuk sendiri, tersedak karena pikiran ngaconya. ”Sher?” panggil Alva lagi. ”Eh, iya, tadi aku jelasin rundo­n di sini. Tetep sama sih, cuma ada perubahan jadwal kemping aja. Malam ini nggak bisa, jadinya besok.” Alva menyisir rambutnya dengan jemari. ”Oh, nggak pa-pa. Aku setuju aja, Sher. Malah bagus kan, berarti malam ini kita punya waktu bebas.” Shera menelan ludah lagi. Kita? Malam ini? KITA?! Tahu-tahu ponsel Shera berdering. Eldi. Melihat nama pria itu berkedap-kedip membuat napas Shera kembali normal. ”Ya, El? Aku lagi di Bali. Lusa baru pulang. Kenapa? Oh... pas aku pulang dari Bali aja ya. Sekalian nyoba resto baru deket kantor kamu. Gimana? Oke... sip. Bye... see you.” Senyum di bibir Shera masih tersisa waktu dia me- nekan tombol End. ”Eldi yang waktu di rumah sakit itu?” Alva melirik Shera penasaran. ”Iya. Dia tadinya mau ngajak ketemuan. Aku lupa bilang kalau aku mau ke Bali hari ini.” 141 pustaka-indo.blogspot.com

Alva menatap Shera dengan tatapan menyelidik. ”Ka- mu sama Eldi...?” ”Oh, nggak sih. Emang lagi deket aja. Aku ngerasa cocok dan nyaman bareng dia. Lagian, aku masih...” Shera menggantung kalimatnya. Dia nyaris mengungkit masalah Darren. Alva ngga perlu tahu masalah itu. Nggak penting. Cukup orang-orang tertentu yang tahu soal kegagalannya dengan Darren. ”Masih apa?” Shera tersenyum canggung. ”Yaaa… masih penjajakan aja,” katanya betul-betul gagal menyembunyikan nada aneh karena berusaha ngeles. Alva masih menatap Shera. Entah kenapa dia masih penasaran soal Eldi, atau soal apa pun yang tadi batal Shera ceritakan. Gelagat Shera jelas menunjukkan dia nggak mau membahas apa-apa lagi. ”Aku tidur lagi sebentar ya, Sher. Nanti kasih tahu kalau sudah sampe. Kamu nggak ngantuk? Tidur dulu deh....” Alva menepuk-nepuk santai tangan di pangkuan Shera lalu rebahan lagi. Dan tepukan itu sukses membuat Shera mematung, nyaris nggak bisa menggerakkan tangan. Sepertinya dia juga sempat berhenti bernapas. Parah. Ini pasti gara-gara suasana Bali. Padahal dia baru aja teleponan sama Eldi. Semua perasaan dari masa lalu itu memang kembali. Dan sekarang rasanya dua kali lipat! Biarpun sebetulnya ada dua tanda tanya besar yang masih belum terjawab dan membuat Shera penasaran. Apakah Alva... pernah punya 142 pustaka-indo.blogspot.com

perasaan yang sama untuk Shera, walaupun cuma sedikit? Apakah dulu Alva pernah menyadari perhatian Shera? * Oh no! No ­ay! There’s no ­ay she’s going to ride that thing! Shera menatap ngeri pada perahu berbentuk balon pipih warna kuning-biru di depannya. Setelah naik banana boat, parasailing, dan jetski—sesuai rangkaian kegiatan ­ater- sport yang direncanakan—sebetulnya ini adalah puncaknya. Shera sudah menyiapkan sesuatu yang sangat istimewa. Tapi... rencana awalnya Shera nggak perlu ikut naik lying ish ini juga! Tadi dia juga sudah berhasil menolak ikut parasailing. ”Ayo dong, Sher. Masa nggak mau coba?” bujuk Alva, merasa naik lying ish sendirian sungguh nggak seru dan aneh. Waktu naik jetski, Shera memang menolak diboncengi Alva, dia naik sendiri dan dipandu seorang instruktur. Kalau tadi dia menerima tawaran Alva untuk berbonceng- an, itu sama aja cari gara-gara. Jadi, dengan alasan demi mendapat foto yang lebih bagus, Shera lebih memilih naik jetski lain. Tuh, terbukti kan, Shera bisa menahan diri dan pro- fesional. Biarpun Alva mengajaknya berboncengan bukan dengan maksud aneh-aneh—cuma biar ngirit dan nggak perlu sewa jetski lain. ”Sher, jangan bengong. Ayooo... ini kan nggak terbang kayak parasailing,” bujuk Alva lagi. 143 pustaka-indo.blogspot.com

Sejak dulu bolak-balik ke Bali dan ke pantai-pantai lain di berbagai negara, sedikit pun Shera nggak tertarik de- ngan parasailing. Menurutnya, terlalu menakutkan mela- yang-layang di tengah laut dengan mengandalkan seutas tali yang dikaitkan pada speed boat. ”Sama aja ah nge- rinya.” Shera bergidik ngeri membayangkan dirinya harus telentang di atas lying ish dan harus pegangan kuat-kuat. Bagaimana kalau pegangannya lepas? ”Kan pakai pelampung, Sher. Dicoba dulu. Kalau takut banget, kamu bisa udahan. Ya kan, Bli?” Alva menatap salah satu operator, dan operator itu mengangguk so- pan. Shera masih ragu. Kalau pegangannya lepas dan dia terlempar ke laut, pasti sakit. Belum lagi kalau ada hiu. No, no, no... terima kasih. ”Katanya ini puncak acara. Jadi kamu harus coba supaya kamu tahu gimana hasilnya.” Shera tahu kalimat itu bakal bikin dia menyerah. Kalau sudah soal kerjaan, dia pasti menyerah. Sejujurnya Shera memang pengin lihat apakah semuanya sebagus yang dia rencanakan. Akhirnya Shera mengangguk. ”Oke. Bener ya, Bli, dijamin aman?” Operator yang Shera tanyai mengangguk sambil terus sibuk mengikat tali-temali. Alva menepuk tangan Shera. ”Nah, begitu dong!” Lalu mengangkat tangan kanan. ”Tos dulu!” Mau nggak mau Shera tersenyum dan membalas ajakan tos Alva. 144 pustaka-indo.blogspot.com

Operator yang sejak tadi menunggu Alva ikutan senyum. ”Lagi bulan madu ya, Mas dan Mbak?” tanyanya sok tahu. Alva dan Shera spontan saling tatap. Diam sesaat, lalu tertawa bareng. ”Yaaa... bulan madu sih, Bli. Tapi yang bulan madu itu dia.” Shera menunjuk Alva. ”Saya cuma nemenin karena istrinya belum bisa ikut.” Dan si Bli melongo dengan ekspresi yang mengagum- kan. * Shera mencengkeram erat-erat tali pegangan di kanan- kiri. Kakinya menginjak kuat-kuat ke bawah. Seharusnya tadi dia nggak usah sok bilang iya! Ini sih namanya kemakan rayuan Alva. Padahal kalau dipikir-pikir, tanpa harus naik ke benda ini, dia masih bisa melihat semuanya dari pantai. Apa gunanya teropong diciptakan?! Sudah terlambat untuk mundur. ”You’re so brave,” kata Alva sambil menoleh ke arah Shera. Huh! Seharusnya pujian tadi bisa dianggap romantis, tapi… boro-boro gemetar gara-gara ge-er, jantungnya seka- rang sibuk jedar-jeder ketakutan. Harap maklum kalau Shera nggak menjawab apa pun. Daripada dia berbasa- basi, mendingan berdoa. ”Siap ya!” kata si operator yang tampak canggih berdiri 145 pustaka-indo.blogspot.com

di perahu tanpa pengaman apa pun. Dia yang bertugas menyeimbangkan perahu pada saat melayang nanti. Alva mengangkat jempol. ”Yok!” kata si Bli, memberi aba-aba pada temannya yang bertugas mengendarai speed boat. Awalnya pelan, lalu semakin kencang, dan kencang, dan Shera mulai melayang naik. Naik semakin tinggi… sampai badan Shera terasa enteng. Siapa bilang terbang rendah?! Ini tinggi banget! Shera memejamkan mata rapat-rapat. ”Sher! Buka mata dong!” Shera membuka mata pelan-pelan. Si operator tampak berdiri sambil memegang kamera. ”Smile, Sher!” Alva menginstruksi dari samping. Shera menatap Alva panik. ”Eh, ngapain motret aku? Jangan dong! Ini kan buat Keisha. Masa ada fotoku? La- gian, tampangku pasti nggak enak dilihat banget.” Alva tersenyum lebar. ”Justru itu! Ini dokumentasi khusus buat kamu. Bukti bahwa kamu berani naik ini. Biar kelihatan muka kamu yang nyaris mewek.” ”Hah?! Reseh! Nyebelin kamu, Al! Eh, Al... lihat ke sana!” Dengan buru-buru Shera menunjuk ke atas. Kejut- annya sebentar lagi dimulai. ”Siap-siap foto!” Di atas sana, di depan mereka, tampak sebuah parasailing dengan seorang petugas operator melayang di udara. Parasailing itu berputar mencari posisi yang bisa dilihat jelas oleh Alva dan Shera. Beberapa detik kemudian... orang itu membuka gulungan yang dia bawa terbang. 14 pustaka-indo.blogspot.com

Seperti gerakan slo­ motion, bunga-bunga kesukaan Keisha dengan indah bertaburan bagai hujan bunga. Kelopak bunga berputar-putar dan melayang indah bagai rombong- an penari yang meluncur pelan ke permukaan laut. Be- berapa saat kemudian, perahu lying ish mereka berhenti tepat di bawah bunga-bunga yang berjatuhan. Bunga- bunga jatuh di sekitar mereka. Dada Shera berdesir hangat. Bagaimana rasanya jadi calon istri pria yang membuatkan hujan bunga untuk- nya? Semuanya lancar, sempurna, dan romantis. Sesuai ba- yangan Shera. Dia bahkan merinding. Andai dia yang dapat hadiah seindah tadi, dia pasti menangis terharu. Tapi, apakah itu cukup untuk Keisha? Alva memang nggak spesiik meminta hal-hal seperti ini, tapi Alva memercayakan semuanya pada Shera. Jadi, Shera tentu saja punya kewajiban untuk memberikan yang terbaik. Shera melirik Alva. ”Gimana, Al? Kamu suka? Kira- kira Keisha bakal suka nggak?” Alva nggak menjawab. Pria itu tampak terpana menatap langit. Matanya tak berkedip. Dia suka, atau nggak? Apakah yang tadi itu biasa saja? Padahal Shera sudah setengah mati membujuk operatornya. Masalahnya, me- reka juga harus menurunkan tim pembersih untuk mem- bersihkan bunga-bunga itu nantinya. Shera pasrah sih kalau yang tadi itu kurang oke dan Alva minta ganti. Toh Alva nggak keberatan mengeluar 14 pustaka-indo.blogspot.com

uang lagi. Hanya saja, itu berarti Shera dan tim harus memutar otak lagi. Alva berdehem pelan. ”Bagus banget, Sher. Thanks ya,” kata Alva pelan, dengan parau. Shera menoleh cepat. Flying ish mereka menepi pelan- pelan. ”Jadi kamu setuju sama kejutan yang tadi? Kalau kamu mau tambahin sesuatu, kasih tahu aja. Nanti kami yang siapkan.” ”Itu sudah cukup, Sher. Semuanya bagus, tanpa perlu tambahan apa-apa. Keisha pasti suka. Aku nggak kepi- kiran untuk bikin kejutan kayak tadi, kalau bukan karena kamu.” ”Eh, kamu mau nambahin spanduk yang ada tulisan nama dan tanggal pernika—” ”Nggak, nggak perlu,” potong Alva cepat dan agak kaku. Shera terenyak. Alva tersadar dengan perubahan ekspresi Shera. Dia buru-buru pasang senyum lagi. ”Kan aku sudah bilang, Sher, tanpa perlu tambahan apa-apa, semuanya sudah bagus. Perfect.” Perahu mereka akhirnya benar-benar berhenti di te- pian. Alva melompat turun. Shera pelan-pelan bangkit, men- coba menyeimbangkan diri sebelum melompat turun. Perahunya bergoyang-goyang terus. ”Sini... aku bantu.” Tahu-tahu Alva mengulurkan ta- ngan. Tadinya Shera mau minta tolong salah satu opera- 14 pustaka-indo.blogspot.com


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook