Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore EDISI 1 BULETIN KARDIOLOGI

EDISI 1 BULETIN KARDIOLOGI

Published by khalidsaleh0404, 2021-07-20 15:16:52

Description: EDISI 1 BULETIN KARDIOLOGI

Search

Read the Text Version

katekolamin harus diberikan dengan dosis serendah mungkin dan durasi sesingkat mungkin.(2) Obat-obatan katekolamin juga memiliki pertimbangan patofisiologisnya berdasarkan dari pengamatan miokardium yang mengalami stunning yang membutuhkan waktu pemulihan fungsional setelah revaskularisasi. Pada waktu tersebut juga harus dijembatani dengan support dari obat-obatan inotropik dan/atau vasopressor. Pemilihan obat- obatan katekolamin didasarkan pada pengalaman individual, kebijakan institusional, dan pertimbangan patofisiologis. Berdasarkan dari suatu meta- analisis menunjukkan mortalitas yang lebih rendah antara norephinerine jika dibandingkan dengan epinephrine atau dopamine, sehingga norephinephrine merupakan pilihan obat vasokontriktor ketika tekanan darah rendah dan perfusi ke jaringan tidak cukup (kelas rekomendasi IIb). Inotropik seperti dobutamin dapat diberikan bersamaan dengan norepinefrin dengan tujuan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung (kelas rekomendasi IIb). (1, 2) Beberapa obat-obatan intropik dan vasopressor dapat dilihat pada tabel 5. 138 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tabel 5. Mekanisme Kerja dan Efek Hemodinamik dari Obat-Obatan Vasoaktif pada Syok Kardiogenik (5) 2.4.3.Mechanical Circulatory Support (MCS) Devices Untuk mengatasi keterbatasan terhadap inotropik dan vasopressor dalam mempertahankan tekanan perfusi yang adekuat dan untuk mencegah atau mengembalikan disfungsi multiorgan, MCS dapat digunakan untuk mengurangi kebutuhan terhadap katekolamin dalam mempertahankan hemodinamik. Meskipun semakin meningkatnya jumlah alat MCS perkutan yang berbeda untuk support ventrikel kiri ataupun ventrikel kanan, data dari uji coba klinis acak mengenai efektivitas, keamanan, indikasi masing-masing alat, dan waktu optimal untuk digunakan masih terbatas. Alat MCS menawarkan keuntungan terhadap kardiovaskular tanpa meningkatkan risiko iskemia miokard dan kemungkinan menurunnya kebutuhan oksigen miokard jika dibandingkan dengan terapi vasopressor. Terdapat data register yang mengindikasikan bahwa penggunaan alat MCS awal berkaitan dengan peningkatan angka bertahan hidup. Oleh karena itu, penggunaan awal MCS merupakan suatu intervensi terapeutik yang penting. Pilihan untuk MCS perkutan fase akut termasuk intra-aortic balloon pump (IABP), axial flow pumps (Impella LP 2.5, Impella CP), left atrial-tofemoral arterial ventricular assist devices (Tandem Heart), venous-arterial extracorporeal membrane oxygenation(ECMO) dapat dilihat pada tabel 6.(2) Ada 3 konfigurasi sirkuit untuk alat MCS, yaitu pemompaan dari (1) atrium kanan / vena sentral ke arteri sistemik, (2) dari atrium kiri ke arteri sistemik, atau (3) dari ventrikel kiri ke arteri sistemik. Nilai puncak aliran dari alat-alat yang tersedia berkisar dari 2.5-7 L/menit. Masih banyak isu mengenai MCS. Hal yang paling penting adalah pemilihan pasien dan waktu 139 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

yang sesuai. Seperti pada IABP-SHOCK II, rata-rata 50-60% pasien dengan syok kardiogenik bertahan tanpa menggunakan alat bantuan. Memasukkan alat pada 50-60% ini tidak memiliki dampak pada angka bertahan hidup dan bahkan memicu terjadinya beberapa komplikasi oleh alat tersebut yang mungkin dapat menyebabkan kematian. Di antara 40-50% sisanya yang tidak bertahan, ditemukan situasi yang sia-sia meskipun alat terbaik yang tersedia tidak mampu mengubah luaran klinis. Situasi sia-sia ini terjadi sekitar 25-25% pasien dengan syok kardiogenik berat atau pasien dengan anoxic brain injury atau dengan sepsis berat yang menyertai. Pada kondisi ini, MCS dapat digunakan sebagai strategi bridge to decision. Tetapi pendukung alat MCS menentang hal ini dengan menjelaskan hasil netral dari trial IMPRESS- in-severe-shock. Berdasarkan trial ini, sekitar 15-25% pasien dengan syok kardiogenik dapat menjadi kandidat yang sesuai untuk menggunakan MCS. (2, 3) 140 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tabel 6. Karakteristik dari Mechanical Circulatory Support(10) 141 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 7. Pertimbangan Penggunaan Mechanical Circulatory Support untuk Prevensi dan Terapi Disfungsi Sistem Multiorgan(2) Pada gambar 7 di atas, dapat dilihat sekitar 50-60% pasien bertahan tanpa menggunakan device apapun (Kohort A, tanpa MCS). Penggunaan MCS pada grup ini tidak memiliki dampak pada angka survival atau bahkan dapat memicu terjadinya beberapa komplikasi akibat device yang mungkin dapat berakibat pada kematian (panah putih ke arah kanan). Sekitar 40-50% tidak bertahan hidup. Pada kelompok ini, terdapat situasi yang sia-sia di mana MCS tidak memiliki dampak terhadap luaran klinis (Kohort C, tidak menggunakan MCS atau MCS sebagai bridge to decision). Berdasarkan pada Kohort A dan C, sekitar 15-25% dari pasien syok kardiogenik dapat menjadi kandidat untuk menggunakan MCS (Kohort B). Pada sudut kanan atas menunjukkan pertanyaan terbuka pada pemilihan penggunaan MCS dan komplikasi yang mungkin terjadi.(2) 142 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

2.4.3.1. Intra-Aortic Balloon Pump (IABP) IABP merupakan satu dari alat MCS tertua dan paling sering digunakan pada awal tahun 1960an. Selama beberapa dekade, tidak ada bukti yang berasal dari uji acak. Hal ini berubah setelah adanya publikasi dari Intra-aortic Balloon Pump in Cardiogenic Shock II (IABP-SHOCKII) yang mengacak 600 pasien dengan syok kardiogenik akibat dari infark miokard akut yang menjalani revaskularisasi awal dengan dan tanpa IABP. Pada trial ini tidak ditemukan perbedaan pada primary endpoints mortalitas 30 hari antara kedua grup dan hasil ini dikonfirmasi dengan sedikitnya efek menguntungkan dari secondary endpoints dan angka mortalitas setelah 1 tahun. Baru-baru ini, data selama 6 tahun mengkonfirmasi tidak ada keuntungan dari IABP padaoutcome jangka panjang. Berdasarkan trial IABP-SHOCK II, alat MCS ini tidak boleh digunakansecara rutin berdasarkan guideline ESC dengan kelas rekomendasi III B. Melalui inflasi pada fase diastolik dan deflasi sistolik segera di aorta, alat ini meningkatkan tekanan diastolik puncak dan menurunkan tekanan sistolik akhir. Meskipun demikian, efek hemodinamik terhadap cardiac output dan MAP tidak signifikan. Sekarang, IABP dapat dipertimbangkan pada pasien dengan komplikasi mekanik (rekomendasi kelas IIa). (2, 5, 11) Sebuah penelitian mengenai pengaruh Intra-Aortic Balloon Pump (IABP) sebelum revaskularisasi terhadap angka mortalitas pasien infark miokard dengan komplikasi syok yang dilakukan oleh Juzar DA tahun 2019 didapatkan hasil bahwa penggunaan IABP pra tindakan revaskularisasi pada pasien infark miokard dengan komplikasi syok dapat menurunkan angka mortalitas, tetapi inisiasi IABP sebelum revaskularisasi tidak dapat 143 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

memperbaiki performa jantung secara mekanik dengan pencitraan ekokardiografi pengukuran global longitudinal strain dan tidak dapat memperbaiki perfusi jaringan global dengan meningkatkan kadar bersihan laktat plasma.(12) 2.4.3.2. Percutaneous Active MCS Devices Active percutaneous MCS devices digunakan pada pasien yang tidak berespon terhadap terapi standard termasuk katekolamin, cairan, IABP, dan juga dapat dijadikan terapi lini pertama.Meskipun demikian, bukti dari efek menguntungkan masih terbatas. Alat-alat yang termasuk jenis ini adalah TandemHeart (Cardiac Assist, Inc., Pittsburgh, USA) yang membuang darah terarterialisasi dari atrium kiri dan kembali ke aorta abdominal bagian bawah atau arteri iliaka melalui kanula arteri femoral dengan perfusi retrograde dari aorta abdominal dan thoracic. Alat perkutan lain adalah impella 2.5 CP atau 5.0 (Abiomed Europe, Aachen, Germany), yang diletakkan melewati katup aorta menggunakan akses femoral baik secara perkutan atau secara bedah. Versi 2.5 liter alat ini telah diuji coba pada percobaan klinis acak kecil pada 26 pasien syok kardiogenik dibandingkan dengan IABP menunjukkan perbaikan cardiac index dengan penggunaan Impella. Meskipun demikian, pada trial kecil lainnya, tidak ditemukan keuntungan mortalitas pada penggunaan Impella CP dibandingkan IABP pada pasien dengan syok kardiogenik yang membutuhkan ventilasi. Alat MCS ventrikel kiri yang lebih baru termasuk HeartMate PHP (Abbott, Lake Bluff, Illinois, USA) diletakkan melewati katup aorta dan membawa darah dari ventrikel kiri ke aorta, mirip dengan golongan impella. Alat investigasional lainnya adalah paracorporeal pulsatile iVAC 2L (PulseCath BV, Arnhem, The Netherlands). Untuk iVAC 144 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

dan HeartMate PHP belum ada tersedia hasil dari uji coba acak. Suatu penelitian meta analisis melaporkan hasil dari uji coba acak pada 148 pasien dengan membandingkan MCS perkutan dan IABP. MCS perkutan tidak menunjukkan perbedaan mortalitas 30 hari. Pasien yang diterapi dengan MCS aktif menunjukkan perbaikan hemodinamik yang ditunjukkan dengan MAP yang lebih tinggi dan level laktat yang lebih rendah, tetapi mengalami perdarahan yang dan komplikasi akses femoral yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil ini, MCS perkutan tidak dapat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada syok kardiogenik. (5) 2.4.3.3. Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO) ECMO terdiri dari pemompa darah, heat exchanger, dan oksigenator. Ada beberapa tipe berbeda dari ECMO tergantung dari sirkuit darah yang dibuat. Pada Venous-Arterial (VA) ECMO yang merupakan ECMO yang paling sering digunakan pada syok kardiogenik, setelah darah pump priming ditarik dari atrium kanan dan dipompa ke heat exchanger, suatu membrane oksigenator, dan kembali ke arteri femoralis. Hal ini menyebabkan peningkatan signifikan pada aliran darah yang sudah teroksigenasi ke perifer. Meskipun demikian, adda beberapa kekurangan dari alat ini seperti ukuran kanula yang besar dan kemungkinan komplikasi iskemik dari ekstremitas bawah, kebutuhan akan perfusionis, kurangnya unloading langsung dari LV, peningkatan afterload, dan waktu terbatas penggunaan alat tersebut. Selama belum ada uji klinis yang menilai endpoints klinis yang bermakna, penggunanaan MCS perkutan termasuk ECMO hanya terbatas pada kasus syok kardiogenik yang refrakter dan berdasar pada pengalaman 145 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

individual untuk pasien-pasien tertentu. Sebagai tambahan akan peningkatan kebutuhan akan katekolamin, peningkatan level laktat dapat membantu untuk mengidentifikasi pasien yang membutuhkan MCS. Kelebihan dari VA- ECMO adalahmembutuhkan biaya rendah dibandingkan dengan alat MCS perkutan, aliran ting membuat dukungan sirkulasi secara penuh meskipun pada situasi resusitasi (pasien syok kardiogenik stage E), kemampuan untuk menyediakan oksigenasi penuhm dan juga mengkombinasikan support untuk ventrikel kiri dan kanan.(2, 5) 2.5. Skor Klasifikasi Risiko pada Syok Kardiogenik Karena konsekuensi serius dari syok kardiogenik, identifikasi dari subgroup pasien SKA dengan risiko tinggi untuk terjadinya syok kardiogenik merupakan hal penting. Pada era fibrinolitik, algoritma telah dikembangkan untuk memprediksikan kejadian syok kardiogenik di rumah sakit pada pasien dengan STEMI dan NSTEMI. Algoritma ini divalidasikan pada trial berikutnya, dengan concordance index yang tinggi yang mengindikasikan bahwa algoritma ini dapat digunakan pada STEMI dan NSTEMI. Survivors dari pasien yang mengalami syok kardiogenik yang berkaitan dengan infark miokard memiliki risiko 18.6% risiko 30 hari readmisi setelah discharge, di mana waktu rata-rata sekitar 10 hari. Adanya penurunan berat dari kontraktilitas miokardium menyebabkan penurunan dari cardiac index, penurunan tekanan darah yang kemudian akan menyebabkan iskemia koroner yang diikuti dengan penurunan kontraktilitas. Paradigma klasik ini juga termasuk dengan vasokonstriksi sistemik sebagai kompensasi awal yang akan menetralkan vasodilatasi patologis lanjutan akibat dari reaksi inflamasi. Penurunan cardiac index menyebabkan hipoksemia jaringan yang berat yang secara sensitif dapat diukur dengan laktat arteri meskipun 146 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

parameter ini tidak spesifik untuk syok kardiogenik. (1, 3) Identifikasi dari kondisi pre-shock menunjukkan dapat menurunkan mortalitas dengan mencegah progresi menjadi syok kardiogenik dengan memulai strategi manajemen yang adekuat.Skor yang paling baik yang telah tervalidasi pada kondisi ini adalah skor ORBI (Observatoire Re´gional Breton sur l’Infarctus) untuk memprediksi terjadinya syok kardiogenik. Berdasarkan 11 variabel yang dikumpulkan pada ruang kateterisasi, skor ORBI secara independen memprediksi terjadinya perkembangan syok kardiogenik in- hospital setelah dilakukan primary PCI (risiko rendah 0-7 poin, risiko rendah hingga sedang 8-10 poin, risiko sedang hingga tinggi 11-12 poin, risiko tinggi >13 poin). Hingga saat ini, hanya ada 1 skor syok kardiogenik yang telah tervalidasi secara internal maupun eksternal, yaitu IABP-SHOCK II trial (tabel 7). Pada skor IABP-SHOCK II membagi menjadi 3 kategori risiko, yaitu risiko rendah (0-2 poin), risiko sedang (3 atau 4 poin), dan risiko tinggi (5-9 poin) dimana memiliki risiko 20-30%, 40-60%, dan70-90% secara berurutan. Skor ini dapat digunakan sebagai alat untuk dilakukannya strategi terapi yang lebih agresif seperti mechanical circulatory support (MCS). Meskipun skor inimembutuhkan validasi yang lebih lanjut pada randomized trials. (2) Tabel 7. Parameter dan Kategori dari Risk Score dari IABP-SHOCK II untuk prediksi awal pasien dengan Syok Kardiogenik yang menjalani percutaneous coronary intervention (PCI) (5) 147 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Suatu tampilan penting dalam penilaian risiko awal adalah terjadinya henti jantung, terutama dengan adanya cedera anoksik otak berat yang sedang berlangsung pada beberapa hari setelah adanya henti jantung yang dapat memodifikasi kapan harus dilakukan intervensi yang lebih agresif. (5) 2.6. Monitoring Semua pasien penyakit jantung kritis seperti pasien syok kardiogenik harus dipantau dengan tujuan untuk mencegah krisis kardiovaskular yang tertunda, membedakan penyebab instabilitas hemodinamik dan syok yang sedang berjalan, memantau respons terhadap berbagai intervensi terapeutik, dan menentukan kebutuhan terhadap MCS. Tahapan dan jenis pemantauan bergantung pada fasilitas lokal dan konteks klinis dari pasien. Jika terintubasi dan terventilasi, monitoring tambahan harus dilakukan selaras dengan panduan pemantauan anestesi. Pada pasien yang ditatalaksana dengan MCS yang lebih lanjut, pemantauan tambahan diperlukan, termasuk perfusionis jika tersedia. (5) Pada tabel 8 dapat dilihat rekomendasi untuk pemantauan pasien dengan syok kardiogenik. Target dari pemantauan hemodinamik harus difokuskan pada modifikasi hemodinamik untuk menghasilkan tanda vital yang stabil dan perfusi jaringan yang adekuat. Pemantauan tekanan darah dengan arterial line, telemetri, dan oksimeter denyut yang berkelanjutan, suhu, pernapasa, dan urine output merupakan parameter dasar dalam pemantauan. Kontrol glikemik dengan target konsentrasi glukosa darah antara 144mg/dL dan 180mg/dL (8- 10mmol/L) untuk menghindarai hipoglikemia direkomendasikan. Profilaksis untuk thromboemboli dan stress ulcer harus mengikuti rekomendasi umum pada pasien dengan 148 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

penyakit kritis. Sampai sekarang belum ada bukti yang cukup mengenai manajemen nutrisi baik secara enteral maupun parenteral. Pada suatu uji acak baru-baru ini di mana syok akibat semua penyebab dimasukkan (19% syok kardiogenik) yang membutuhkan vasopressor, dibandingkan antara nutrisi enteral atau parenteral yang dimulai dalam 24 jam. Nutrisi enteral isokalorik awal dibandingkan dengan nutrisi parenteral isokalorik awal tidak menurunkan mortalitas tetapi berkaitan dengan komplikasi gastrointestinal. Oleh karena itu, tidak diberikannya nutrisi pada fase awal dan kemungkinan pemberian nutrisi parenteral awal lebih dipilih pada pasien syok kardiogenik. (2, 3, 5) Tabel 8. Pemantauan yang direkomendasikan pada pasien dengan syok kardiogenik (5) 149 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

BAB III RINGKASAN Syok kardiogenik merupakan suatu sindrom klinis multifaktorial yang kompleks dengan angka mortalitas yang tinggi. Syok kardiogenik merupakan proses berkelanjutan yang berawal dari gangguan awal (penyebab dasar) hingga terjadinya kegagalan organ dan kematian. Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian paling sering pada pasien dengan Infark Miokard Akut (IMA). Mortalitasnya tetap tidak berubah berkisar sekitar 40%-50% dalam dua dekade terakhir. Tatalaksana syok kardiogenik masih merupakan suatu tantangan meskipun banyakkemajuan dalam pilihan terapi yang tersedia. Keputusan yang dibuat pada tatalaksana invasif awal dari syok kardiogenik akibat infark miokard akut memiliki dampak terhadap progresi dari syok, survival pasien, dan luaran dari syok kardiogenik akibat infark miokard akut. Usaha yang lebih masih diperlukan dan penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk memperbaiki prognosis dari syok kardiogenik. Optimalisasi dari perawatan membutuhkan usaha dari tim multidisipliner untuk mengkoordinasi penilaian awal dan triase (termasuk kemungkinan untuk transfer antar rumah sakit), diagnostik invasif dan non invasif, revaskularisasi koroner, tatalaksana perawatan intensif, termasuk pemahaman yang mengenai patofisiologi dan hemodinamik yang terus berjalan dari syok kardiogenik yang diakibatkan oleh infark miokard akut. Keahlian dalam pengenalan dan klasifikasi yang sistematik dari syok kardiogenik akibat infark miokard akut diharapkan untuk memicu dilakukannya investigasi klinis pada kondisi yang memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi ini serta tatalaksana invasifnya. Area of interest pada studi lebih lanjutmasih terus diberkembang termasuk penggunaan alat MCS, 150 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

dosis inotropik dan vasopressor, pengenalan agen baru, definisi dari target tekanan darah, optimisasi dari manajemen cairan,terapi antithrombotik dan ventilasi. 151 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

DAFTAR PUSTAKA 1. Thiele H, Zeymer U. Cardiogenic shock in patients with acute coronary syndromes. The ESCTextbook of Intensive and Acute Cardiovascular Care. 2015 Feb 26:441. 2. Thiele H, Ohman EM, de Waha-Thiele S, Zeymer U, Desch S. Management of cardiogenic shock complicating myocardial infarction: an update 2019. European heart journal. 2019 Aug 21;40(32):2671-83. 3. Vahdatpour C, Collins D, Goldberg S. Cardiogenic shock. Journal of the American Heart Association. 2019 Apr 16;8(8):e011991. 4. Van Diepen S, Katz JN, Albert NM, Henry TD, Jacobs AK, Kapur NK, Kilic A, Menon V, Ohman EM, Sweitzer NK, Thiele H. Contemporary management of cardiogenic shock: a scientific statementfrom the American Heart Association. Circulation. 2017 Oct 17;136(16):e232-68. 5. Zeymer U, et al. Acute Cardiovascular Care Association position statement for the diagnosis and treatment of patients with acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock: A document of the Acute Cardiovascular Care Association of the European Society of Cardiology. ESCAcute Cardiovascular Care. 2020;9(2):1-13. 6. Baran DA, Grines CL, Bailey S, Burkhoff D, Hall SA, Henry TD, Hollenberg SM, Kapur NK, O'Neill W, Ornato JP, Stelling K. SCAI clinical expert consensus statement on the classification of cardiogenic shock: this document was endorsed by the American College of Cardiology (ACC), the American Heart Association (AHA), the Society of Critical Care Medicine (SCCM), and the Society of Thoracic Surgeons (STS) in April 2019. Catheterization and Cardiovascular Interventions. 2019 Jul 1;94(1):29-37. 7. Rab T, Ratanapo S, Kern KB, Basir MB, McDaniel M, Meraj P, King SB, O’Neill W. Cardiac shock care centers: JACC review topic of the week. Journal of the American College of Cardiology. 2018 Oct 16;72(16):1972-80. 8. Neumann FJ, Sousa-Uva M, Ahlsson A, Alfonso F, Banning AP, Benedetto U, Byrne RA, Collet JP, Falk V, Head SJ, Jüni P. 2018 ESC/EACTS Guidelines on myocardial revascularization. European heart journal. 2019 Jan 7;40(2):87-165. 152 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

9. Hochman JS, Sleeper LA, Godfrey E, McKinlay SM, Sanborn T, Col J, LeJemtel T, SHOCK Trial Study Group. Should we emergently revascularize occluded coronaries for cardiogenic shock: an international randomized trial of emergency PTCA/CABG— trial design. American heart journal. 1999 Feb 1;137(2):313-21. 10. Chioncel O, Parissis J, Mebazaa A, Thiele H, Desch S, Bauersachs J, Harjola VP, Antohi EL, Arrigo M, Gal TB, Celutkiene J. Epidemiology, pathophysiology and contemporary management of cardiogenic shock–a position statement from the Heart Failure Association of the European Society of Cardiology. European Journal of Heart Failure. 2020 Aug;22(8):1315-41. 11. Thiele H, Zeymer U, Neumann FJ, Ferenc M, Olbrich HG, Hausleiter J, Richardt G, Hennersdorf M, Empen K, Fuernau G, Desch S. Intraaortic balloon support for myocardial infarction with cardiogenic shock. New England Journal of Medicine. 2012 Oct 4;367(14):1287-96. 12. Juzar DA. Pengaruh Intra-Aortic Balloon Pump (IABP) Sebelum Revaskularisasi terhadap Angka Mortalitas Pasien Infark Miokard dengan Komplikasi Syok. Universitas Indonesia. Jakarta: 2019. p. 1-117. 153 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

CURRENT THERAPY IN CHRONIC BAGIAN HEART FAILURE V Adi Surya, Peter Kabo, Akhtar Fajar Muzakkir BAB I PENDAHULUAN Gagal jantung merupakan penyakit yang prevalensinya terus meningkat dengan angka mortalitas yang tinggi. Gagal jantung dikaitkan dengan beragam komplikasi yang meyebabkan angka rawat inap meningkat, aritmia yang mematikan, hinggakematian. Selain itu gagal jantung sendiri juga merupakan akhir dari perjalanan penyakit kardiovaskuler lainnya, seperti infark miokard, penyakit jantung katup, dan kardiomiopati. Karena karakteristik penyakit yang unik berbagai terapi baik farmakologis dan non farmakologis telah di kembangkan, untuk mencegah dan menurunkan angka rawat inap dan juga kematian.(1) Prevalensi dari gagal jantung mengalami peningkatan, diperkirakan ada lebih dari 37,7 juta kasus gagal jantung secara global.(2) Angka kejadian cenderung meningkat seiring bertambahnya usia, dan lebih dari 10% diantaranya terjadi pada usia > 70 tahun.(1) Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibandingkan dengan negara Eropa dan Ameriksa, disertai dengan gejala klinis yang lebih berat.(3) World Health Organization (WHO) menggambarkan bahwa meningkatnya jumlah penyakit gagal jantung didunia, termasuk di Asia diakibatkan oleh meningkatnya angka perokok, tingkat obesitas, dislipidemia, dan diabetes. Menurut studi yanag dilakukan Framingham, insiden tahunan pada laki-laki dengan gagaljantung (per 1000 kejadian) 154 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

meningkat dari 3 pada usia 50-59 tahun menjadi 27 pada usia 80-89 tahun, sementara wanita memiliki insiden gagal jantung yang relatif lebih rendah dibandingkan laki-laki.(3) Gagal jantung didefinisikan sebagai sindrom klinis yang terdiri dari dyspnea, malaise, oedema, atau penurunan kapasitas saat aktifitas fisik akibat hilangnya kompensasi dari fungsi pemimpaan jantung akibat kelainan structural dan atau fungsional jantung.(4) Pengenalan terapi baru dan implementasi yang konsekuen dari rekomendasi guidelines yang berbasis bukti telah menjadi tujuan utama untuk menurunkan angka mortalitas dan angka kejadian rawat inap pada pasien gagal jantung dengan penurunan ejeksi fraksi.(5) 155 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI GAGAL JANTUNG Menurut Guidelines ACC/AHA 2013 untuk Heart Failure (HF), Gagal jantungadalah sindroma klinis dari kelainan structural ataupun fungsional dari gangguan jantung dalam menerima maupun mengalirkan darah. Manifestasi klinis dari gagal jantung adalah dyspnea dan fatigue, terdapatnya keterbatasan toleransi aktifitas, dan retensi cairan yang dapat menyebabkan kongesti dari pulmoner, splanknikus, dan edema perifer. Sedangkan menurut Guidelines ESC 2016 untuk Heart Failure, gagal jantung adalah karakter sindroma klinis dari tipikal gejala yang berupa sesak nafas, edema ankle dan fatigue, yang bisa disertai dengan tanda peningkatan tekanan vena jugularis, edema pulmoner maupun perifer yang disebabkan oleh abnormalitas struktural dan atau fungsional dari jantung, akibat penurunan cardiac output dan atau peningkatan tekanan intra kardiak saat istirahat ataupun aktifitas.(2,6) Gagal jantung merupakan suatu kondisi dimana jantung tidak dapat melakukan fungsi pengisian atau mengeluarkan cukup darah yang diakibatkan oleh berbagai macam penyakit seperti epikardium, miokardium, endocardium, gangguan katup, penyakit arteri coroner, penyakit aorta, ataupun gangguan endokrin. Namun dalam banyak kasus, disfungsi dari ventrikel kiri memiliki peran yang lebih besar terhadap gagal jantung dan menjadi faktor yang penting dalam strategi pengobatan dan monitoring. Sehingga beberapa guidelines merujuk klasifikasi gagal jantung sesuaidengan fungsi ejeksi dari ventrikel kiri.(4) 156 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

2.2 EPIDEMIOLOGI GAGAL JANTUNG Prevalensi gagal jantung berbeda menurut definisi dan wilayah, tetapi diperkirakan sekitar 1% sampai 2% di negara maju. Angka prevalensinya cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan >10% pada orang yang berusia > 70tahun. Profil epidemiologi dan etiologi dari HFrEF dan HFpEF berbeda. Dibandingkan dengan HFrEF, pasien dengan HFpEF didominasi usia yang lebih tua, wanita, pasien hipertensi, dan fibrilasi atrium namun memiliki angka infark miokard yang lebih rendah..(1,7) Gambar 1. Epidemiologi Global Gagal Jantung Kemajuan di bidang kardiologi dengan inovasi terapi modern dibidang hipertensi, penyakit katup, dan penyakit jantung koroner dapat menyelamatkan pasien dari kematian dini, dan meningkatkan angka kejadian gagal jantung dikemudian hari. Berdasarkan data NHANES 157 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

(tahun 2009-2012) orang Amerika di atas usia 20 tahun yang mengidap gagal jantung diperkirakan 5.7 juta. Di proyeksikan prevalensi nya akan meningkat 40% menjadi 8 juta pada tahun 2030. Walaupun terapi gagal jantung telah berkembang namun tetap belum dapat menekan angka mortalitas yang tinggi, dan diperkirakan 50% pasien dengan diagnosis gagal jantung akan meninggal dalam 5 tahun.(8) 2.3. KLASIFIKASI GAGAL JANTUNG Terminologi utama yang digunakan untuk mendeskripsikan gagal jantung bersifat historis dan didasarkan pada nilai dari ejeksi fraksi venrtikel kiri. Pasien dengan nilai fraksi ejeksi (EF) yang normal berkisar >50%, dikatakan sebagai HFpEF (Heart Failure Preserved Ejection Fraction), dan untuk nilai ejeksi fraksi <40% disebut sebagai HFrEF (Heart Failure Reduced Ejection Fraction), sedangkan pasien yang memiliki fraksi ejeksi yang berkisar antara 40-49% di definisikan sebagai HFmrEF (Heart failure mid-range Ejection Fraction).(2) Tabel 1. Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung menurut ESC Pasien HFpEF umum nya tidak memiliki dilatasi dari ruang ventrikel kiri namun lebih sering mengalami penebalan dari otot 158 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

ventrikel kiri dan peningkatan ukuran dari atrium kiri yang menyebabkan gangguan pengisian atau gangguan relaksasi dari ventrikel kiri yang biasa disebut dengan gagal jantung diastolik. Sedangkan pada pada pasien HFrEF memiliki gangguan pada ventrikel kiri yang mnyebabkan penurunan fungsi dan pemompaan ventrikel kiri sehingga disebut dengangagal jantung sistolik.(2) Klasifikasi menurut fungsional New York Heart Association (NYHA) telah digunakan untuk menggambarkan gejala severitas dan toleransi aktivitas. Meskipun, gejala berat berhubungan dengan buruknya gambaran pengukuran dari fungsi LV, meskupun hubungan antara beratnya gejala dan angka surviral, pasien dengan gejala ringan pun dapat meningkatkan angka rawat inap dan kematian. The American College of Cardiology Foundation/America Heart Association (ACCF/AHA) klasifikasi menggambarkan stadium gagal jantung berdasarkan perubahan structural dangejala.(2,6) Tabel 2. Klasifikasi NYHA dan Klasifikasi AHA 159 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

2.4. PENGOBATAN KONVENSIONAL GAGAL JANTUNG Pada umumnya dalam tata laksana gagal jantung dan yang mencakup penurunan fraksi ejeksi terdapat tiga target yang perlu dipertimbangkan, yaitu : 1) mengurangi keluhan dan meningkatkan kualitas hidup, 2) mencegah progresivitas dan mengembalikan disfungsi kardiak dan perifer, 3) menurunkan mortalitas. Saat ini farmakologi, terapi perangkat, dan terapi bedah memungkinkan untuk Sebagian besar pasien gagal jantung dengan penurunan fungsi fraksi ejeksi mencapai ketiga target diatas. Seperti yang dibahas pada guideline ACC/AHA, setelah adanya kelainanstruktur jantung pilihan terapi untuk pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi bergantung pada klasifikasi ini terkenal subjektif, dengan variabilitas interobserver besar, namun tetap digunakan dan diterapkan secara luas untuk pasien dengan gagal jantung dari jaman ke jaman. Terapi obat beta blocker, ACE Inhibitor, atau Angiotensin reseptor blocker (ARB), dan Aldosteron Antagonist adalah agen antihipertensi yang disukai karena dapat membantu meningkatkan kelangsungan hidup pasien gagal jantung.(8) 160 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tabel 3. Algoritme tatalaksana gagal jantung.(9) Saat ini juga ARNI telah menjadi terapi utama untuk gagal jantung dengan ejeksi fraksi yang rendah (stage C) pada guideline ACC/AHA 2021.(10) Ivabradin merupakan pengobatan tambahan yang dapat menurunkan heart rate pada pasien dengan gagal jantung kronik dengan ejeksi fraksi yang rendah yang berada dalam irama sinus.(11) 161 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tabel 4. Algoritme Terapi Gagal Jantung menurut ACC/AHA 2021.(10) 2.4.1. Diuretik Loop diuretics merupakan komponen terapi yang esensial untuk pasien dengankondisi gagal jantung kompensasi, namun diperlukan beberapa data untuk memandu cara pemberian. Pemberian loop diuretik dosis tinggi dapat memberikan efek samping yang buruk, termasuk mengaktivasi renin angiotensin dan sistem saraf simpatik, gangguan elektrolit, dan perburukan dari fungsi ginjal.(12) Loop diuretik, seperti furosemide, bumetanide, torsemide, menghambat kotransport 162 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Na+/K+/2Cl secara reversible dibagian distal loop henle. Agar terjadi diuresis, loop diuretik perlu mencapai lokasi target reseptor kotransport dibagian intraluminal. Loop diuretik mencapai intraluminal melalui dua acara filtrasi glomerulus, karena filtrasi protein terikatnya terbatas, dan secara efisien dieksresi oleh sistem transport asam organik ditubulus proksimal. Jadi efektifitas loop diuretik dipengaruhi oleh aliran plasma ke glomerulus secara adekuat dan kemampuan eksresi sistem transport asam organik. Bioavailabilitas furosemide setelah asupan per oral 40-70% dibandingkan dengan budetanide dan torsemide (80%) sehingga obat ini lebih efektif untuk gagal jantung tahap lanjut dan gagal jantung kanan.(8,13) Loop diuretik memperbaiki kondisi gagal jantung melalui dua mekanisme yaitu mengeluarkan cairan dan venodilatasi. Dengan menghambat kotransport Na+/K+/2Cl, ion natrium, kalium, klorida dan hydrogen bertahan di intraluminal sehingga air bebas akan tertahan di intraluminal, tidak dapat filtrasi secara pasif dari intraluminal ke jaringan interstitial dan keluar bersama urin sehingga mengakibatkan hiponatremia, hipokalemia, hipokloremia, dan alkalosis. Venodilatasi akan mengurangi tekananatrium kanan dan tekanan baji kapiler pulmoner.(8) Diuretic Optimization Strategies Evaluation (DOSE) trial menunjukkan bahwa dosis tinggi loop diuretik dibandingkan dengan dosis yang rendah menghasilkan efek yang menguntungkan pada titik akhir sekunder dispnea. Dari penelitian ini tidak ada perbedaan yang terlihat pada primaryendpoint antara continuous therapy ataupun bolus.(12) 163 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 2A. Perbandingan bolus dan continuous infusion pada DOSE trial. Gambar2B. Perbandingan pemberian diuretik dosis rendah dan dosis tinggi pada DOSE trial. The Torsemide Comparison with Furosemide for Management of Heart Failure (TRANSFORM-HF) trial direncanakan untuk merekrut 6000 pasien gagal jantung yang dirawat di Rumah sakit. Trial ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi perbedaan antara furosemide dengan torsemide untuk titik akhir utama semua penyebab kematian. Trial ini masih sementara dilakukan dan diperkirakan berakhir pada agustus 2022.(13) 2.4.2.Angiotensin Converting Enzyme-Inhibitor Penghambat sistem renin-angiotensin melaui angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) merupakan pengobatan utama untuk terapi gagal jantung, oleh karena ACE-I memiliki efek pada remodeling ventrikel kiri hingga batas tertentu, menurut guideline European Society of Cardiology (ESC) untuk gagal jantung merekomendasikan bahwa ACE-I dapat 164 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

diberikan segera setelah diagnosis gagal jantung ditegakkan. Dua uji coba terkontrol secara acak telah menunjukkan bahwa terapi ACE-I dapat menurunkan angka kematian.(14) Selain itu, ACE-I telah terbukti bermanfaat dalam mencegah komplikasi kardiovaskular, nefropati akibat diabetes, dan dalam mencegah kejadian iskemik pada pasien berisiko tinggi. Dari studi CONSENSUS, dimana enalapril diberikan kepada pasien dengan gagal jantung kongestif (menurut kriteria NYHA) dan studi SOLVD dimana enalapril diberikan kepada pasien dengan gagal jantung kronis (terutama NYHA II dan III) disertaipenurunan ejeksi fraksi. Dalam dua studi ini, ACE-I secara signifikan melaporkan berkurangnya angka kematian dibandingkan dengan plasebo. Efek menguntungkan pada mortalitas terutama karena pencegahan kejadian iskemik dan penurunan perkembangan gagal jantung.(15) Dari semua hasil studi yang telah dilakukan memberikan primary outcome terutama pada angka mortalitas, strok volum, serta fraksi ejeksi. Pada angka mortalitas terdapat 13 studi yang melibatkan 1022 pasien dengan 4 obat (captopril, enalapril, lisinopril, dan ramipril) dibandingkan dengan plasebo. Lisinopril dikaitkan dengan semua penyebab kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo (OR 65.9, 95% Crl 1.91 hingga 239.6) atau ramipril (14.65, 1.23 hingga 49.5). Tidak adaperbedaan yang signifikan yang ditemukan pada perbandingan lainnya. Sedangkan pada strok volume terdapat 6 studi melibatkan 423 pasien dengan 3 obat sebagai perbandingan (captopril, enalapril, dan lisinopril) dibandingkan dengan plasebo. Dari studi ini tidak ada perbedaan signifikan yang 165 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

ditemukan pada 4 intervensi ini. Dan untuk fraksi ejeksi menunjukkan hasil dari 5 studi melibatkan 453 pasien dengan 3 obat (captopril, enalapril, dan lisinopril) dibandingkan dengan plasebo melaporkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan diantara 4 intervensi ini.(14) 2.4.3.Angiotensin Receptor Blocker Angiotensin Receptor Blocker (ARB) II bekerja dengan mekanisme yang berbeda dari Angiotensin Converting Enzyme- Inhibitor (ACE-I), meskipun keduanya mengurangi stimulasi angiotensin II. ACE-I memblokir pembentukan angiotensin II, sehingga mengurangi jumlah angiotensin tersedia untuk kedua reseptor AT1 dan AT2. ARB selektif memblokir pengikatan angiotensin II pada reseptor AT1, tetapi tidak memengaruhi AT2. Diantara pasien dengan gagal jantung penurunan ejeksi fraksi.(8) The Evaluation of Losartan in the Elderly Study (ELITE) merupakan uji coba pertama yang membandingkan secara langsung efek ARB dengan ACE-I dalam pengobatan gagal jantung. Pada uji coba ELITE, ada 722 pasien lansia dengan gagal jantung akibat disfungsi ventrikel kiri sistolik yang belum pernah diobati dengan ACE- I secara acak diberikan pengobatan dengan losartan 50 mg, sekali sehari atau captopril 50 mg, tiga kali sehari. Pada hasil uji coba ini terdapat penurunan risiko relatif 64% pada kematian jantung mendadak pada kelompok losartan dibandingkan dengan kelompok captopril (P <0.05). Hasil ini mendukung hipotesis bahwa blokade reseptor angiotensin II lebih unggul dibandingkan dengan ACE-I dalam pengobatan gagal 166 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

jantung, oleh karena itu dilakukan kembali studi dengan skala yang lebih besar yaituELITE II.(15) Gambar 3A. Perbandingan efek ACE-I dan ARB pada ELITE I. Gambar 3B.Perbandingan efek ACE-I dan ARB pada ELITE I dan II.(15) ELITE II merupakan penelitian serupa dimana terdapat 3152 pasien dengan gagal jantung NYHA kelas II hingga IV yang di follow up selama 1.5 tahun. Berbeda dengan hasil penelitian awal, tidak ada keuntungan dari angka kelangsungan hidup dari pemberian terapi losartan ini, bagaimanapun ARB lebih ditoleransi daripada ACE-I dalam penelitian ELITE dan ELITE II.(15) 2.4.4. Betablocker Betablocker merupakan komponen penting dari terapi standar gagal jantung pada pasien dengan gejala atau riwayat gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi.Sejumlah studi besar telah menunjukkan manfaat kesintasan hidup dengan beberapa obat betablocker (metoprolol, carvedilol, bisoprolol) pada pasien dengan gagal jantung. Secara umum ACE-I telah diberikan 167 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

sebelum terapi betablocker. Studi acak (Cardiac Insufficiency Bisoprolol Study/CIBIS III) menunjukkan bahwa hasil sebanding dengan pemberian penyekat beta sebagai terapi awal. Hasil dari uji coba IMPACT-HF dan OPTIMAL-HF registry mendukung inisiasi betablocker pada pasien yang stabil sebelum dipulangkan dari rumah sakit.(8) The Initiation Management Predischarged Process for Accessment of Carvedilol Therapy for Heart Failure (IMPACT- HF) menunjukkan bahwa inisiasi betablocker lebih awal saat dirumah sakit,dibandingkan dengan inisiasi saat pasien rawat jalan, menunjukkan pada hari ke-60 inisiasi tidak didapatkan perburukan gagal jantung, hipotensi, bradikardia.(16) 2.4.5.Aldosteron Antagonist Dua uji coba dengan skala besar telah menunjukkan manfaat dari pemberian antagonis aldosterone pada pasien dengan gagal jantung, hampir semua pasien pada kedua uji coba ini diobati dengan ACE-I dan ARB. Studi Randomized Aldactone Evaluation Study (RALES), spironolakton dievaluasi pada pasien dengan baru atau saat gagal jantung kongestif NYHA IV. Namun uji coba ini dihentikan lebih awal, setelah masa follow up selama 24 bulan, dikarenakan analisis internal menentukan bahwa spironolakton efektif. Ada 386 kematian pada kelompok plasebo (46%) dan 284 pada kelompok spironolakton (35%). Penurunan 30% dalam risiko kematian diantara pasien dalam kelompok spironolokaton ini dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah dari kedua kematian akibat gagal jantung progresif dan kematian mendadak karena penyebab jantung. Frekuensi rawat inap karena memburuknya 168 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

gagal jantung adalah 35% lebih rendah pada kelompok spironolakton dibandingkan pada kelompok plasebo.Selain itu, pasien yang menerima spironolakton mengalami perbaikan gejala gagal jantung yang signifikan, sebgaimana dinilai berdasarkan kelas NYHA.(8,17) 2.4.6.Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibition Aktivasi neurohormonal pada gagal jantung dapat berdampak buruk, misalnya aktibasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS). Salah satu target terapi gagal jantung terdapat inhibisi terhadap aktivasi neurohormonal ini. Augmentasi sistem regulasi- kontra yang menguntungkan seperti peptide natriuretic dapat berfungsi sebagai strategi tambahan untuk mengobati gagal jantung. Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibition (ARNI) dapat meningkatkan kadar beberapa peptide vasoaktif endogen, termasuk peptide natriuretic, bradykinin, dan adrenomedullin dan dengan demikian dapat memiliki efek hemodinamik yang menguntungkan pada pasien dengangagal jantung.(8) Studi Paradigm Shift in the Treatment of Chronic Heart Failure (PARADIGM- HF) merupakan uji klinis yang membandingkan efikasi jangka panjang sacubitril/valsartan dengan enalapril pada 8.3999 pasien gagal jantung dengan penurunan ejeksi fraksi. Penelitian ini melibatkan pasien dengan kriteria NYHA II-IVdengan ejeksi ventrikel kiri (LVEF) <40% dan peningkatan NT-proBNP. Studi ini menunjukkan bahwa sacubitril-valsartan mengurangi mortalitas kardiovaskular dan rumah sakit untuk gagal jantung serta semua penyebab kematian dibandingkan denganACE-I. Sacubitril- 169 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Valsartan mengurangi end-point primer, kematian akibat kardiovaskular atau rehospitalisasi untuk gagal jantung (21.8% vs 26.%; [HR] 0.80; 95% [CI] 0.73-0.87). Terapi Sacubitril-Valsartan mengurangi risiko kematian dibandingkan dengan enalapril (17.0% vs 19.8%; HR 0.84, 95% CI 0.76-0.93). Sacubitril-Valsartan juga mengurangi risiko kematian akibat kardiovaskular (13.3% vs 16.5; HR 0.80, 95% CI 0.71-0.89) dan risiko rehospitalisasi untuk gagal jantung (12.8% vs 15.6; HR 0.79, 95% CI 0.71 untuk 0.89). Kelompok pasien dengan sacubitril-valsartan memiliki proporsi yang lebih tinggi untuk kejadian hipotensi dan angioedema tidak serius, namun proporsi yang lebih rendah untuk gangguan ginjal, hiperkalemia, dan batuk dibandingkan dengan kelompok enalapril.(18) 2.4.7. Ivabradine Ivabradine merupakan penghambat spesifik dari If channel pada nodus SA. Tidak seperti betablocker, Ivabradine tidak mengubah kontraktilitas miokard dan kondukasi intrakardiak, meskipun pasien mengalami gangguan fungsi sistolik. SystolicHeart failure treatment with the If inhibitor Ivabradine Trial (SHIFT) merupakan uji coba pertama yang secara khusus menguji efek penurunan heart rate pada pasien gagal jantung yang melibatkan 6558 pasien yang secara acak diberikan terapi (3268 ivabradine, 3290 plasebo), dengan rerata follow up 22.9 bulan (IQR 18-28). 793 (24%) pasien dalam kelompok ivabradine dan 937 (29%) dari mereka yang menggunakan plasebo memiliki end point primer (HR 0.82,95% CI 0.75-0.90, p<0.0001). Angka kejadian rawat inap oleh 170 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

karena perburukan gagal jantung (151 (5%) vs 113 (3%); HR0.74, 0.58-0.94, p=0.014). Dan lebih sedikit efek samping yang serius terjadi pada kelompok ivabradine (3388 kejadian) dibandingkan pada kelompok plasebo (3847 kejadian). Sekitar 150 (5%) dari pasien yang diberikan ivabradine memiliki gejala bradikardia dibandingkan dengan kelompok plasebo yang hanya 32 (1%).(11) Pengobaran dengan ivabradine dikaitkan dengan penurunan rata-rata denyut jantung 15 bpm dari nilai dasar 80 bpm, yang sebagian besar dipertahankan selama penelitian. Dalam populasi SHIFT, pasien dengan detak jantung lebih tinggi dari median berasa pada peningkatan risiko suatu kejadian dan menerima manfaat pengurangan kejadian yang lebih besar dari ivabradine dibandingkan dengan mereka yang memiliki detak jantung lebih rendah dari median. Hasil temuan ini menunjukkanbahwa manfaat yang terkait dengan ivabradine bervariasi. Kesimpulan ini sejalan padadengan meta-analisis uji coba betablocker pada gagal jantung kronis yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara besarnya penurunan detak jantung, dengan demikian hasil temuan dari uji SHIFT melaporkan bahwa detak jantung memainkan peran penting dalam pengobatan gagal jantung. Dalam studi sebelumnya dengan ivabradine, pada pasien dengan penyakit jantung koroner disertai penurunan ejeksi fraksi ventrikel kiri (LVEF <40%) dan denyut jantung 60 bpm atau lebih, tidak ada efek signifikan pada hasil selain pada pasien dengan detak jantung istirahat 70 bpm atau lebih tinggi, dimana ivabradine mengurangi infark miokard dan revaskularisasi koroner.(11) 171 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

2.5.TERAPI TERKINI PADA GAGAL JANTUNG KRONIK Terapi standar untuk gagal jantung melibatkan penggunaan obat-obatan inotropik, vasodilator, dan loop diuretik. Obat-obat ini dikombinasikan dengan ACE- I, ARB, dan Beta blocker, adalah bentuk terapi berbasis bukti yang efektif. Terapi ini memberikan gambaran yang sukses yang moderat pada terapi gagal jantung (52.6% pasien meninggal dalam 5 tahun), dan saat ini telah dilaporkan beberapa pengobatan terbaru yang dapat memberikan manfaat dalam terapi gagal jantung. 2.5.1.SGLT-2 Inhibitor Sodium glucose co-transporter 2 (SGLT-2) Inhibitor telah menunjukkan hasil yang menguntungkan yang signifikan untuk penyakit kardiovaskular, angka rawat inap, serta penyebab kematian dari gagal jantung. Telah dilakukan trial EMPEROR untuk melihat empaglifozin pada keadaan kardiovaskular dan gagal jantung pada pasien dengan ejeksi fraksi yang rendah atau normal dengan atau tidak adanya diabetes melitus. Sebuah meta-analisis baru-baru ini mengamati bahwa penggunaan SGLT-2 pada 38.723 peserta dari empat CVOT dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dari tingkat MACE 3 poin (kejadian kardiovaskular yang merugikan, kematian oleh karena kardiovaskular, HHF dan semua penyebab kematian dibandingkan plasebo.(19) 172 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 4. Mekanisme efek kardioprotektif dari SGLT-2 Inhibitor.(20) Ada beberapa alasan yang diyakini untuk penggunaan SGLT- 2 pada orang dengan gagal jantung. Obat ini menghambat protein SGLT-2 di tubulus proksimal dari nefron, mengurangi reuptake natrium dan glukosa untuk menginduksi natriuresis dan diuresis osmotic yang dimediasi Tabel 5. Mekanisme SGLT-2 inhibitor sebagai terapi gagal jantung padapasien non diabetes.(21) 173 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

glukosa, sehingga meningkatkan glikemia melalui peningkatan ekskresi glukosa urin dan perbaikan, tekanan darah melalui ekskresi glukosa dan natrium urin. Adapun beberapa spekulasi mekanisme yang menjelaskan dampak penghambat SGLT-2 pada orang dengan gagal jantung diantaranya : 1) menurunkan kardiak preload, 2) shift metabolisme keton, 3) reprogram seluler adaptif, 4) pergantian inhibitor dari hydrogen sodium, 5) meningkatkan fungsi endothelial, 6) menurunkan fibrosis kardiak.(19) Terlepas dari mekanisme kerja, dapaglifozin telah memulai terapi dengan penggunaan SGLT-2 inhibitors pada gagal jantung dengan presentasi kondisi diabetesataupun tidak, pada scenario ini Adapun beberapa trial yang sedang berjalan yaitu dapaglifozin dan SGLT-2 lainnya. Pada kasus gagal jantung dan penurunan ejeksi fraksi, empaglifozin telah dilakukan pada trial EMPEROR-Reduced dan sotaglifozin pada trial SOLOIST-WHF, untuk studi pertama memasukkan pasien dengan atau tanpadiabetes, dan studi kedua hanya memasukkan pasien dengan diabetes saja. Dalam konteks ini, uji coba EMPEROR-Reduced akan memberikan informasi pelengkap yang sangat berguna oleh karena dirancang untuk merekrut pasien dengan gagal jantung yang lebih parah dibandingkan pada uji coba DAPA-HF.(22) 174 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tabel 6. Beberapa Studi yang sedang berjalan untuk SGLT-2 Inhibitors.(22) 2.5.2.Omecamtive mecarbile Omecantiv mecarbil (OM) adalah aktivator miosin jantung selektif baru yang meningkatkan fungsi jantung pada pasien dengan HFrEF kronis. HFrEF merupakan kondisi yang disebabkan oleh hilangnya atau disfungsi kardiomiosit. Obat ini dikembangkan untuk menerangkan hipotesis mengenai aktivasi langsung dari sarkomer yang dapat meningkatkan kinerja dari otot jantung tanpa efek samping dibandingkan dengan agen inotropik konvensional lainnya. Penurunan fungsi kontraktil dan peningkatan tekanan dinding jantung memicu beberapa mekanisme kompensasi yang saling terkait, termasuk aktivasi neurohormonal dan remodeling ventrikel. Remodeling ventrikel menghasilkan peningkatan kebutuhan oksigen miokard dan penurunan efisiensi kontraktil, yang pada akhirnya dapat meningkatkan cedera miokard tambahan dan kematian kardiomiosit mengakibatkan gagal 175 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

jantungbergejala dan akhirnya kematian. Gambar 5. Mekanisme kerja omecamtif mecarbil.(23) Omecamtif mecarbil berfungsi meningkatkan kontraktilitas jantung dengan secara khusus mengikat miosin di lokasi alosterik yang menstabilkan lengan atau tuas dalam kondisi baik, dan menghasilkan akumulasi miosin jantung dalam kondisi prima sebelum terjadinya kontraksi jantung.(24) Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah generator (miosin) yang dapat mengikat filamen aktin dan mengalami powertsroke setelah kontraktilitas jantung dimulai. Dengan menstabilkan keadaan sebelum powerstroke, OM juga menurunkan pergantian adenosin trifosfat (ATP) dengan tidak adanya interaksi dengan filamen aktin, dan 176 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

berpotensi meningkatkan efisiensi energetic keseluruhan sistem dengan mengurangi penggunaan ATP yang tidak terkait dengan pekerjaan mekanis. OM meningkatkan kontraksi kardiomiosit terisolasi dengan aksi langsung pada miofilamen, sebagai miotrope, dengan tidak adanya perubahan transien kalsium kardiomiosit. Kurangnya perubahan dalam kalsium transien membedakan OM dari mekanisme kalsitrop saat ini seperti agonis reseptor b- adrenergik atau inhibitor fosfodesterase.(23) Uji coba GALACTIC-HF merupakan uji coba multisenter, acak, untuk mengevaluasi efikasi, keamanan, dan tolerabilitas OM pada pasien dengan HFrEF kronis. Pada studi ini mencakup 8000 pasien dengan gagal jantung kronis (NYHA kelas II hingga IV), dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri <35%, adanya peningkatan peptida natriuretic, dan rawat inap saat ini untuk gagal jantung ataupun dengan Riwayat rawatinap atau kunjungan gawat darurat oleh karena gagal jantung dan akan di skrining secara acak untuk mendapatkan terapi plasebo oral atau omekamtiv mekarbil yang menggunakan strategi titrasi dosis yang dipandu farmokinetik menggunakan dosis 25, 37.5, atau 50 mg dua kali sehari. Hasil efikasi primer yang dilaporkan adalah waktu terjadinya kematian kardiovaskular atau kejadian gagal jantung pertama, studi ini memiliki kekuatan 90% untuk menilai hazard ratio sekitar 0.80 pada kematian kardiovaskular pada hasil sekunder pertama. Uji coba GALACTIC-HF adalah uji coba pertama yang memeriksa apakah secara selektif meningkatkan kontraktilitas jantung pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang berkurang akan menghasilkan hasil klinis yang lebih baik.(23) 177 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

2.5.3.Stimulator Gyanylate Cyclase (sGC) Enzim stimulator guanylate cyclase (sGC) yang larut dan merupakan obat oral baru. Dimana memiliki fungsi meningkatkan jalur cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dengan secara langsung menstimulasi guanylate cyclase melalui aktivasi darinitrit oxide (NO). Kondisi ini membuat peka terhadap guanylate cyclase yang dapat larut menjadi endogenus nitrit oxide (eNOS) dengan menstabilkan NO yang terikat. Dalam uji coba fase 2b melibatkan pasien dengan gagal jantung yang berat dan ejeksi fraksi yang rendah, verisiguat mengurangi tingkat peptide natriuretic pro-B-tipe terminal-N (NT-proBNP). Dalam studi Vericiguat Global Study in Subjects with Heart Failure with Reduced Ejection Fraction (VICTORIA), menilai adanya efikasi dan keamanan penggunaan verisiguat pada pasien dengan gagal jantung kronis dengan ejeksi fraksi yang rendah.(25) Verisiguat dioptimalkan untuk dosis sekali sehari dalam pengembangan untukgagal jantung kronis. Diluar sifat vasodilatasi, stimulasi sGC dosis rendah dalam model pra-klinis telah terbukti juga memiliki efek antifibrotik secara langsung, menurunkan kejadian remodeling miokard dan meningkatkan relaksasi pada fase diastolik dan tidak memiliki efek hemodinamik, selain itu sGC merupakan reseptor intraseluler untuk ligan eNOS. NO dihasilkan dalam sel endotel melalui rangsangan fisiologis seperti gaya geser aliran darah laminar serta didalam endokardium, NO berdifusi ke jaringan sekitar seperti pembuluh darah atau sel otot jantung dan menstimulasi sGC untuk menghasilkan cGMP dalam sel. Produksi 178 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

cGMP yang dimediasi sGC sangat penting untuk fungsi jantung dan vaskular yang normal.(26) Pada pasien dengan gagal jantung, disfungsi endotel dan oksigen reaktif telah terbukti mengurangi bioavaibilitas NO yang mengakibatkan defisiensi sGC relatif danpenurunan sintesis cGMP. Penurunan aktivitas dari sGC berhubungan dengan disfungsi mikrovaskular koroner, kekakuan kardiomiosit, fibrosis interstisial, dan akhirnya menyebabkan disfungsi miokard yang telah diperkirakan menjadi suatu faktor pendukung yang menyebabkan disfungsi miokard yang progresif. Studi VICTORIA menunjukkan bahwa verisiguat dapat dikembangkan sebagaiterapi gagal jantung karena memiliki fungsi sebagai vasodilatasi secara langsung, memperbaiki fungsi endotel, fungsi diastolik untuk meningkatkan regulasi vasotonal. Gambar 6. Mekanisme sGC pada terapi gagal jantung.(26) Salah satu agen stimulator sGC yaitu riociguat juga dilaporkan pada studi Left ventricular Systolic Dysfunction 179 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Associated with Pulmonary Hypertension Riociguat Trial (LEPHT) yang menunjukkan bahwa sGC memiliki fungsi sama baiknya pada pasien dengan Advanced systolic left ventricle dysfunction dan hipertensi pulmoner sekunder karena gagal jantung yang dapat meningkatkan index kardiak, kualitas hiduppasien, dan penurunan Systemic and Pulmonary Vascular Resistance selama 16 minggu pemberian terapi. Perubahan hemodinamik yang paling terlihat adalah tidak adanya perubahan denyut jantung, tekanan darah yang memiliki potensi manfaat pada pasien dengan gagal jantung. Verisiguat secara structural dan farmakologis berbeda dari riociguat dan telah dioptimalkan untuk penggunaan pada pasien gagal jantung kronis dengan dosis sekali sehari. Verisiguat juga memiliki hipotesis bahwa dapat meningkatkan cardiac outcomes secara langsung terhadap fungsi kardiak tanpa menurunkan tekanan darah.(26) 2.5.4. Tolvaptan Salah satu konsekuensi dari gagal jantung adalah retensi cairan, yang mengakibatkan terbentuk nya edema dan meningkatkan kongesti paru. Penyebab utama dari retensi cairan diantaranya retensi natrium dan abnormalitas dari neurohormonal.(27,28) Kadar Arginin vasopresin (AVP) mengalami peningkatan selama kondisi gagal jantung, dan peningkatan kadar AVP ini menunjukkan karakteristik stadium lanjut dari penyakit ini, jalur regulasi utama yang memiliki peran adalah jalur nonosmotik, dimana penurunan curah jantung dan penurunan tekanan darah menyebabkan aktivasi baroreseptor dan sistem renin-angiotensin 180 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

aldosterone yang menyebabkan peningkatan pelepasan AVP dari kelenjar pituitari.(29) Peningkatan kadar vasopresin dan penggunaan loop diuretic dapat menyebabkan hiponatremia. Pemberian loop diuretic biasa digunakan untuk terapi gagal jantung, meskipun sekitar 30% pasien sudah resisten terhadap tipe terapi ini. Efek samping lain dari terapi loop diuretic termasuk gangguan elektrolit atau hipotensi.(27,28) Tolvaptan merupakan obat oral antagonis reseptor vasopresin tipe 2 yang mempengaruhi ductus dan meningkatkaan diuresis. Volume urin meningkat namun tidak menunjukkan adanya perubahan dalam ekskresi elektrolit. Studi menunjukkan bahwa pemberian tolvaptan meningkatkan kadar natrium serum pada pasien dengan hiponatremia dan memiliki efek yang lebih rendah dalam memperburuk fungsi ginjal dibandingkan dengan diuretik standar.(30) Banyak penelitian menilai efek penggunaan tolvaptan menguntungkan dalam pengobatan gagal jantung. Sebagai contoh, uji coba Efficacy Vasopressin Antagonist in Heart Failure : Outcome study with Tolvaptan (EVEREST) memeriksa keamanan dan keuntungan jangka Panjang dan jangka pendek dari pemberian tolvaptan disamping pengobatan standar dari gagal jantung, studi ini melibatkan 4133 pasien dengan gagal jantung. Hasil dari studi ini menunjukkan adanya perbaikan dispnea pada kebanyak pasien, namun tidak ada peningkatan pada skor HRQOL.(31) 2.5.6 Coenzyme Q-10 Coenzyme Q-10 (CoQ10) merupakan komponen kunci dalam 181 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

mitokondrial ETC untuk pembentukan ATP, dan yang terdapat lebih banyak pada miokardium, dibandingkan dengan organ atau jaringan lainnya. Deplesi dari CoQ10 miokard dihubungkan sebagai mekanisme yang menyebabkan perburukan secara progresif pada pasien gagal jantung. Folkers dkk (Tahun 1985) menunjukkan bahwa tingkat CoQ10 miokard dikaitkan dengan tingkat keparahan gejala dari gagal jantung, dengan gejala ringan yang diamati pada pasien NYHA kelas IV dan pasien NYHA kelas I. Selain itu, juga dilaporkan bahwa CoQ10 melalui efek antioksidannya dapat mengurangi stress oksidatif yang diketahui dapat mempengaruhi fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan CoQ10 juga dapat menstabilkan ductus yang bergantung pada kalsium di miokardium dan meningkatkan sintesis ATP yang efektif.(32,33) Gambar 7. Mekanisme patofisiologi and potensi manfaat dari CoQ10 padagagal jantung.(34) 182 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 8. Peran CoQ10 dalam rantai transport electron.(34) Pada pasien dengan gagal jantung, kadar CoQ10 berbanding terbalik dengan status fungsional dan dengan keparahan gejala dari gagal jantung seperti fatigue, toleransi aktivitas, dan dispnea. Dalam sampel dari 43 pasien dengan gagal jantung dengan etiologi yang heterogen, biopsy endomiokard menunjukkan bahwa kadar CoQ!) miokard berbanding terbalik dengan kelas fungsional NYHA: pada kadar CoQ!)yang lebih tinggi diamati pada pasien yang kurang terganggu (pasien NYHA kelas I dan II); sebaliknya, pasien gagal jantung yang lebih berat (NYHA kelas III dan IV) memiliki kadar CoQ10 miokard yang lebih rendah secara signifikan. Pemberian suplementasi CoQ10 secara efisien memiliki efek memulihkan kadar CoQ10 baik padamiokardium maupun serum.(33,34) Hubungan antara tingkat CoQ10 dan gejala gagal jantung telah diamati pada kohort lainnya, dalam studi Controlled Rosuvastatin Multinational Study in HF (CORONA) dengan sampel sebanyak 1191 pasien tingkat CoQ10 terendah secara signifikan terkait baik dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri rendah atau tinggi nya kadar natriuretic peptida.(35) 183 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tabel 7. Ringkasan uji klinis kontemporer suplementasi CoQ10 pada gagal jantung.(36) 184 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

2.5.7 Terapi Gen Terapi gen telah diyakini dapat menjadi harapan besar untuk penyakit kongenital yang langka, dan mulai banyak ilmuwan berpikir bahwa terapi gen ini jugadapat memberikan manfaat pada bidang kardiovaskular. Suplementasi gen untuk molekul seperti SERCA2a, SUMO1 (S100A1, sensor kalsium), dan PP1 Inhibitor-1 dapat menjadi masa depan untuk terapi kardiologi modern. Cara lain untuk mengobatiinsufisiensi kardiovaskular termasuk mengatur reseptor -adrenergik (dengan menghentikan GRK2 dari penggunaan gen penghambatnya) dan mengekspresikan microRNA secara berlebihan atau jenis RNA lain untuk mengatur ekspresi gen dan mencegah hipertrofi dan fibrosis.(37,38) Kadar kalsium didalam kardiomiosit seringkali tidak seimbang dijantung seseorang dengan insufisiensi kardiovaskular, oleh karena itu protein yang mengatur kadar kalsium menjadi target utama terapi gen. penggunaan SERCA2a, yang mentransfer Ca2+ dari sitosol ke lumen reticulum sarkoplasma, dalam terapi gen menjadi pertanda yang baik. Memasok sel dengan gen untuk SERCA2a mengembalikan konsentrasi kalsium intraseluler dalam fase aktivitas miokard yang berbeda.(39,40) 185 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 9. Mekanisme aksi dari SERCA2a.(38) Sebuah studi observasi selama 12 bulan menyimpulkan bahwa pengobatan dosis tinggi secara signifikan menurunkan risiko kejadian kardiovaskular (HR = 0,12; P = 0,003) dan mengurangi waktu rata-rata rawat inap 11 kali lipat dibandingkan dengan plasebo (P = 0,05). Adapun uji coba tambahan selama 3 tahun membuktikan bahwa terapi gen ini aman dan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular. Duamasalah utama terapi gen untuk CVD meliputi: 1) reaksi sistem kekebalan pasien, yangdapat mencegah penetrasi AAV, dan 2) memburuknya efek terapi dalam jangka waktuyang lama.(41) 186 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

RINGKASAN Gagal jantung merupakan penyakit yang prevalensinya terus meningkat dengan angka mortalitas yang tinggi. Karena karakteristik penyakit yang unik, berbagai terapi baik farmakologis dan non farmakologis telah di kembangkan, untuk mencegah dan menurunkan angka rawat inap dan juga kematian.(1) Terapi standar untuk gagal jantung melibatkan penggunaan obat-obatan inotropik, vasodilator, dan loop diuretik. Obat-obat ini dikombinasikan dengan ACE- I, ARB, dan Beta blocker, adalah bentuk terapi berbasis bukti yang efektif. Terapi ini memberikan gambaran sukses yang moderat pada terapi gagal jantung (52.6% pasien meninggal dalam 5 tahun), dan saat ini telah dilaporkan beberapa pengobatan terbaru yang dapat memberikan manfaat dalam terapi gagal jantung. Meskipun saat ini terapi konvensional sudah cukup memadai untuk menurunkan angka mortalitas dan rehospitalisasi, namun seiring dengan perkembangan ilmu dan jaman maka banyak terapi baru yang memungkinkan menjadi potensi untuk gagal jantung kronik terutama dalam memperbaiki kualitas hidup pasien, baik dalam menurunkan angka mortalitas dan angka rawat inap. Beberapa terapi terbaru seperti SGLT-2 inhibitor, Omecamtiv mecarbil, stimulator guanylate cyclase (sGC), Tolvaptan, Coenzyme Q-10, dan terapi gen dinilai memiliki manfaat dalam mengobati gagal jantung kronis karena dapat mengurangi angka mortalitas, risiko kejadian kardiovaskular dan lama rawat inap sehingga dapat memberikan hasil klinis yang baik. 187 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook