Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore EDISI 1 BULETIN KARDIOLOGI

EDISI 1 BULETIN KARDIOLOGI

Published by khalidsaleh0404, 2021-07-20 15:16:52

Description: EDISI 1 BULETIN KARDIOLOGI

Search

Read the Text Version

Pada gambar 22 menjelaskan tentang Lead bipolar menghasilkan energi untuk mempercepat jantung antara dua elektroda yang dijahit langsung ke permukaan epikardial jantung. Lead sealnjutnya menembus generator di perut yang berisi komputer dan baterai untuk alat pacu jantung. 2.6. Prognosis Untuk bradikardi yang Untuk sebagian besar populasi bradikardia, prognosisterrgantung kepada: (4) • Risiko kumulatif dari perlunya revisi sistem pacing selama bertahun-tahun • Efek fisiologis dari berbagai macam cara pacing pada ukuran dan fungsijantung • Resolusi pada penyakit yang mendasarinya • Penyakit jantung bawaan yang berat • Komplikasi, penggantian, dan revisi sistem alat pacu jantung cenderung menjadi pertimbangan. TAVB membawa risiko morbiditas dan mortalitas yang signifikan (15-30%), terutama dalam rahim atau dalam beberapa bulan pertama kehidupan. 63% dari semua kasus yang dilaporkan membutuhkan implantasi alat pacu jantung sebelum mencapai usia dewasa. Faktor- faktor yang diidentifikasi memiliki prognosis buruk meliputi: hidrops janin, detak jantung rendah (<50-55 detak per menit) atau mendadak penurunan denyut jantung yang cepat, fibroelastosis endokardial (EFE) dilatasi kardiomiopati, disfungsi katup, kelahiran dengan berat badan rendah, jenis kelamin pria, kelahiran pada usia kehamilan <34 minggu, dan komplikasi dari prematuritas atau lupus neonatal.(9) 38 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

DAFTAR PUSTAKA 1. Ballou jf, Gray BP, Mancuso P. Bradycardia in a term newborn. J pediatr health care [internet]. 2014 sep [cited 2020 feb 5];28(5):456–60. Available from: https://linkinghub.elsevier.com/ retrieve/pii/s0891524514000571 2. Miller MS, Shannon KM, Wetzel GT. Neonatal bradycardia. Prog pediatr cardiol [internet]. 2000 may [cited 2020 feb 5];11(1):19–24. Available from: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/ pii/s1058981300000321 3. Fleming S, Thompson M, Stevens R, Heneghan C, Plüddemann A, Maconochie I, et al.Normal ranges of heart rate and respiratory rate in children from birth to 18 years of age: a systematic review of observational studies. The lancet [internet]. 2011 mar [cited2020 feb 5];377(9770):1011–8. Available from: https:// linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/s014067361062226x 4. Baruteau A, Perry JC, Sanatani S, Horie M, Dubin AM. Evaluation and management of bradycardia in neonates and children. Eur j pediatr [internet]. 2016 feb [cited 2020 feb 5];175(2):151–61. Available from: http://link.springer.com/10.1007/s00431-015-2689-z 5. Singh Poonam, Thakur Anup, Garg Pankaj, Kler Neelam. Neonatal arrhythmias. Current medicine research and practice [internet] 2017 [cited 2020 april 1] available from: http:// dx.doi.org/ 10.1016/j.cmrp.2017.04.003 6. Webster Gregory and Deal J Barbara. Bradydysrhythmias. Johnwiley & sons ltd [internet] 2018 [cited 2020 april 20] available from: https://www.researchgate.net/publication/323360980_bradydysrhythmias 7. Ban,ji-eun. Neonatal arrhythmias: diagnosis, treatment, and clinical outcome. Korean j pediatr 2017;60(11):344-352 8. Cannon B. Electrophysiologic testing, transesophageal pacing and pacemakers. John wiley & sons ltd [internet] 2018 [cited 2020 mei 20] available from : https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/ 10.1002/9781118635520.ch17 9. Yildirim Ayse, Tunaodluf Sedef And Karaadac Aysu Türkmen. Neonatal congenital heart block. Indian pediatrics [internet] 2013 [cited 2020 mei 20] available from :http://www.indianpediatrics.net/may2013/483.pdf 10. EKG & ECHO learning. Available from : https://ecgwaves.com/topic/sinus- bradycardia-ecg-causes-treatment/ 39 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

11. W Lippincott and Wilkins. ECG Cards : The Indispensable Guide to ECG Interpretation.Fourth Edition. Wolters Kluwer Compeny.2005. 12. Romandini Andra and Scappini Lorena. Clinical Cases in Cardiology: A Guide to Learning and Practice. 2015: 255-265. 13. Jaeggi E, Laskin C, Hamilton R, Kingdom J, Silverman E. The importance of the level of maternal anti-Ro/SSA antibodies as a prognostic marker of the development of cardiac neonatal lupus erythematosus a prospective study of 186 antibody-exposed fetuses and infants. J Am Coll Cardiol 2010;55:2778–2784. 14. Wainwright B, Bhan R, Trad C, Cohen R, Saxena A, Buyon J, Izmirly P. Autoimmune- mediated congenital heart block. Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol. 2020 Apr;64:41-51. doi: 10.1016/j.bpobgyn.2019.09.001. Epub 2019 Oct 8. PMID: 31685414. 15. Friedman DM, Rupel A, Glickstein J, Buyon JP. Congenital heart block in neonatal lupus: the pediatric cardiologist's perspective. Indian J Pediatr. 2002 Jun;69(6):517-22. doi: 10.1007/BF02722656. PMID: 12139139. 16. Carvalho JS. Fetal dysrhythmias. Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol. 2019 Jul;58:28-41. doi: 10.1016/j.bpobgyn.2019.01.002. Epub 2019 Jan 9. PMID: 30738635. 17. Baruteau AE, Pass RH, Thambo JB, et al. Congenital and childhood atrioventricular blocks: pathophysiology and contemporary management. Eur J Pediatr. 2016;175(9):1235-1248. doi:10.1007/s00431-016-2748-0 18. Schwartz PJ, Ackerman MJ. The long QT syndrome: a transatlantic clinical approachto diagnosis and therapy. Eur Heart J. 2013 Oct;34(40):3109-16. doi: 10.1093/eurheartj/eht089. Epub 2013 Mar 18. PMID: 23509228. 19. Bordachar P, Zachary W, Ploux S, Labrousse L, Haissaguerre M, Thambo JB. Pathophysiology, clinical course, and management of congenital complete atrioventricular block. Heart Rhythm. 2013;10(5):760- 766.doi:10.1016/j.hrthm.2012.12.030 20. Javorka K, Lehotska Z, Kozar M, et al. Heart rate variability in newborns. Physiol Res. 2017;66(Suppl 2):S203-S214. doi:10.33549/physiolres.933676 21. Chandler SF, Fynn-Thompson F, Mah DY. Role of cardiac pacing in congenital complete heart block. Expert Rev Cardiovasc Ther. 2017;15(11):853-861. doi:10.1080/14779072.2017.1376655 40 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

22. Ovsyshcher IE, Barold SS. Drug induced bradycardia: to pace or not to pace?. Pacing Clin Electrophysiol. 2004;27(8):1144-1147. doi:10.1111/j.1540- 8159.2004.00597.x 23. Mathews SR, Badyal DK, Mathew R. Phenytoin-induced bradycardia and hypotension. Indian J Pharmacol. 2019;51(2):120-122. doi:10.4103/ijp.IJP_254_173 24. Yuniadi Yoga. Sindrom Bradi-Takiaritmia. Jurnal Kardiologi Indonesia. 2013;34(4). 292-294. ISSN 0126/3773 25. Yang Y, Batres Y, Rottman JN, Berger S, et al. Sinus Node Dysfunction. 2015 [cited 16 May 2021). Available from : http://emedicine.medscape.com/article/158064-overview 26. Kennedy, A., Finlay, D. D., Guldenring, D., Bond, R., Moran, K., & McLaughlin, J. The Cardiac Conduction System. Critical Care Nursing Clinics of North America. 2016;28(3), 269–279. doi:10.1016/j.cnc.2016.04.001 27. Kamphuis VP, Blom NA, van Zwet EW, et al. Normal values of the ventricular gradient and QRS-T angle, derived from the pediatric electrocardiogram. J Electrocardiol. 2018;51(3):490-495. doi:10.1016/j.jelectrocard.2018.01.002 28. Ban JE. Neonatal arrhythmias: diagnosis, treatment, and clinical outcome. Korean J Pediatr. 2017;60(11):344-352. doi:10.3345/kjp.2017.60.11.344 29. Sahu, M. K., Das, A., Siddharth, B., Talwar, S., Singh, S. P., Abraham, A., & Choudhury, A. Arrhythmias in Children in Early Postoperative Period After Cardiac Surgery. World Journal for Pediatric and Congenital Heart Surgery. 2018;9(1). 38–46. doi:10.1177/2150135117737687 30. Kabbani MS, Al Taweel H, Kabbani N, Al Ghamdi S. Critical arrhythmia in postoperative cardiac children: Recognition and management. Avicenna J Med. 2017;7(3):88-95. doi:10.4103/ajm.AJM_14_17 31. Giovanni Peretto, Alessandro Durante, Luca Rosario Limite, Domenico Cianflone. Postoperative Arrhythmias after Cardiac Surgery: Incidence, Risk Factors, and Therapeutic Management. Cardiology Research and Practice. 2014. 1-15 pages. https://doi.org/10.1155/2014/615987 32. Malamed, S. F. (2014). Medical Emergencies in the Dental Office Seventh Edition. St. Louis: Elsevier 33. Gattorno, M., Di Rocco, M., Buoncompagni, A., Picco, P., Meroni, P., & Martini, A.. Neonatal lupus and a seronegative mother. The Lancet. 2004;363(9414). 1038. doi:10.1016/s0140-6736(04)15839-x 41 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

EVALUASI PERIOPERATIF BAGIAN KARDIOVASKULAR PADATINDAKAN PEMBEDAHAN NON-KARDIAK II Mirza Syafaryuni,, Zaenab Djafar BAB I PENDAHULUAN Seiring bertambahnya usia populasi, semakin banyak orang dengan usia lanjut dan terjadi peningkatan jumlah pasien dengan penyakit jantung yang menjalani tindakan operasi non-kardiak.. Identifikasi peningkatan risiko kejadian kardiovaskular dapat memberikan informasi kepada pasien dan tim pembedahan untuk mengetahui manfaat dan risiko dari prosedur pembedahan yang akan dijalani.Diperkirakan untuk pasien dengan usia lanjut membutuhkan penanganan operasi empat kali lipat lebih sering dari sisa populasi yang ada. Hasil luaran Rumah Sakit Nasional di Amerika Serikat menunjukan bahwa jumlah prosedur tindakan pembedahan meningkat hampir pada semua kelompok umur dan peningkatan yang paling banyak terjadi direntan usia paruh baya dan lanjut usia. Demografi pasien yang menjalani operasi menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah pasien lanjut usia yang memiliki penyakit penyerta.1,2 Risiko komplikasi perioperatif bergantung dari kondisi pasien sebelum operasi, prevalensi faktor komorbid, urgensi tindakan pembedahan, jenis tindakan pembedahan dan durasi dari prosedur pembedahan. Lebih spesifik komplikasi penyakit jantung yang dapat timbul pada pasien dengan penyakit jantung iskemik yang terdokumentasi atau yang asimptomatik, disfungsi ventrikel kiri, penyakit katup jantung dan aritmia. Pasien dengan penyakit jantung 42 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

sebelumnya yang menjalani prosedur pembedahan yang berhubungan dengan hemodinamik dan stress kardiak yang berkepanjangan.3,4 Dalam kasus perioperatif dengan penyakit iskemia miokard, terdapat dua mekanisme yang perlu diperhatikan: (i) ketidaksesuaian rasio antara suplai dan kebutuhan aliran darah, sebagai respon terhadap kebutuhan metabolik yang disebabkan adanya stenosis arteri koroner yang menyebabkan keterbatasan aliran darah oleh fluktuasi hemodinamik perioperatif. (ii) Sindrom Koroner Akut (SKA) akibat pecahnya plak aterosklerosis yang rapuh akibat adanya peradangan pembuluh darah, vasomosi yang berubah dan juga hemostasis. Disfungsi ventrikel kiri dan aritmia dapat terjadi dengan berbagai penyebab dan pada semua umur. Karena prevalensi yang meningkat bukan hanya penyakit jantung iskemik tetapi juga penyakit jantung valvular serta aritmia yang meningkat seiring dengan usia, angka mobiditas dan mortalitas sebagian besar merupakan masalah pada populasi orang dewasa yang menjalani operasi non-kardiak.4 43 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Risiko Kardiovaskular Perioperatif Komplikasi penyakit jantung pascaoperatif non-kardiak bergantung pada faktor risiko, dan jenis tindakan pembedahan, yang dilakukan kepada pasien. Dari sudut pandang prosedur pembedahan faktor yang mempengaruhi risiko penyakit jantung berkaitan dengan urgensi, invasi, jenis dan durasi prosedur pembedahan. Dan dari sudut pandang pasien adanya perubahan dari suhu basal tubuh, kehilangandan perpindahan cairan tubuh.4 Setiap tindakan pembedahan menghasilkan respon stres, respon ini dimulaidengan adanya cedera jaringan yang dimediasi oleh faktor neuro-endokrin dan dapat menyebabkan ketidakseimbangan simpatovagal. Adanya perpindahan cairan dalam periode perioperatif menambah stres akibat pembedahan. Keadaan ini menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Tindakan pembedahan juga menyebabkan perubahan keseimbangan antara protombotik dan faktor fibrinolitik yang berpotensi menyebabkan peningkatan trombogenitas koroner. Tingkat perubahan tersebut sebanding dengan luas dan durasi intervensi pembedahan. Faktor-faktor yang dikemukakan diatas yang ditambahkan dengan keadaan pasien, penanganan suhu tubuh pasien, perdarahan dan jenis anestesi dapatberkontribusi terhadap gangguan hemodinamik yang menyebabkan iskemia miokard dan gagal jantung. Pemberian jenis anestesi berbeda dalam hal respon stress yang ditimbulkan akibat tindakan pembedahan. Kurangnya tindakan anestesi secara invasif dapat mengurangi angka mortalitas dini pada pasien dengan resikopenyakit jantung dan dapat membatasi 44 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

komplikasi pasca operasi.4 Tabel 1: Estimasi risiko pembedahan berdasarkan jenis tindakan pembedahan (dikutip dari: 2014 ESC/ESA Guidelines on non-cardiac surgery: cardiovascular assessment and management) Algoritma 1: Diagram assemen risiko preoperatif dan monitoring post operatif.5 (Dikutip dari: Canadian Cardiovascular Society Guidelines on Perioperative Cardiac RiskAssesment and Management for Patients Who Undergo Noncardiac Surgery) 2.2. Evaluasi Kardiovaskular Pra Operatif Pasien yang telah diputuskan untuk menjalani tindakan pembedahan non- kardiak, dilakukan evaluasi risiko komplikasi 45 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

dibidang kardiovaskular. Strategi ini bertujuan untuk mengurangi risiko komplikasi perioperatif penyakit jantung yang harus melibatkan evaluasi jantung dengan mengetahui riwayat medis sebelum prosedur pembedahan. Pasien dengan risiko jantung rendah setelah evaluasi dapat dilakukan tindakan pembedahan dengan aman tanpa penundaan lebih lanjut. Pada evaluasi tahap ini pemeriksaan difokuskan pada sistem kardiovaskular termasuk tekanan darah, pemeriksaan fisik jantung, paru-paru, tungkai dan sistem vaskular, Pengurangan risiko kejadian kardiovaskular dengan pengobatan farmakologis hemat biaya pada pasien dengan peningkatan risiko penyakit jantung. Pemeriksaandibidang kardiovaskular lainnya dilakukan dengan cara teknik pencitraan non- invasif untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko lebih tinggi. Intensitas evaluasipemeriksaan jantung praoperatif harus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien dankeadaan urgensi yang memerlukan pembedahan.1,4 2.2.1.Stratifikasi Risiko Preoperatif Dalam pedoman perioperatif kardiak merekomendasikan untuk menilai risiko yang berfokus pada riwayat dan pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kondisi kardiovaskular yang tidak stabil atau yang tidak terdiagnosa. Estimasi risiko keadaan Major Adverse Cardiac Events (MACEs) dan pasien yang dilakukan tindakan revaskularisasi sebelum operasi. Beberapa indeks risiko telah dikembangkan selama 30 tahun terakhir, berdasarkan analisis multivarian dari data observasi perioperatif yang mewakili hubungan antara karakteristik klinis dan tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. Indeks ini 46 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

dikembangkan oleh Goldman dkk (1977), Detsky dkk (1986) dan yang lebih terkenal oleh Lee dkk (1999) Meskipun hanya estimasi, sistem stratifikasi resiko dapat mewakili alat klinis yang berguna bagi dokter dalam hal untuk evaluasi penyakit jantung, pemberian obat, dan penilaian risiko kejadian penyakit jantung. Indeks Lee atau “the Revised Cardiac Risk Index” (RCRI) adalah sebuah parameter modifikasi dari indeks Goldman yang dirancang untuk memprediksi kejadian infark miokard, edema paru, fibrilasi ventrikel atau henti jantung, dan blokade jantung pasca operasi.6 Tabel 2: Parameter Revised Cardiac Risk Index (Lee Criteria)2 The Revised Cardiac Penjelasan Risk Index (RCRI) Pembedahan risiko tinggi Intraperitoneal, intrathoracic atauprosedur vaskular suprainguinal Penyakit jantung iskemik Riwayat Infark miokard, hasil Tes latihan uji Gagal jantung jantung, keluhan nyeri dada atau sedang mengkonsumsi nitrat, pada EKG Penyakit Serebrovaskular didapatkan gelombang Q, Riwayat CABG Penyakit Diabetes melitus atau PTCA Riwayat gagal jantung kongestif, edema pulmonal, Paroxismal nokturnal Dispnea, pemeriksaan fisik didapatkan ronkhi bilateral atau gallop S3 atau dari pemeriksaan radiolohgi didapatkan redistribusi vaskular pulmonal Riwayat Transient Ischemic Attack (TIA) atauStroke Terapi insulin Kadar Serum kreatinin ≥ 2.0 mg/dL atau > 177 umol/L 47 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Parameter lainnya yang secara prognostik dapat saling melengkapi denganLee Kriteria yaitu the National Surgical Quality Improvement Program (NSQIP) Myocardial Infraction and Cardiac Arrest (MICA) risk.7 Gambar 1. Parameter the National Surgical Quality Improvement Program (dikutip dari: Perioperative Cardiac Risk Assement & Management for NoncardiacSurgery) 2.2.2.Kapasitas Fungsional Pemeriksaan kapasitas fungsional dinilai secara subjektif berdasarkan informasi jawaban pertanyaan yang diajukan kepada pasien. Penentuan kapasitas fungsional merupakan langkah penting dalam penilaian risiko penyakit jantung pra- operatif yang kemudian diukur dalam Metabolic Equivalent 48 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

(MET). Satu MET sama dengan tingkatan metabolisme basal. Pengujian latihan memberikan penilaian objektif dari kapasitas fungsional. Tanpa pengujian, kapasitas fungsional dapat diperkirakan dari kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Satu MET mewakili kebutuhan metabolik saat istirahat; menaiki dua tingkat anak tanggamembutuhkan 4 MET, dan olahraga berat seperti berenang 0.10 METS. Ketidakmampuan untuk menaiki dua anak tangga atau jari jarak pendek (4 MET) menunjukkan kapasitas fungsional yang buruk dan dikaitkan dengan peningkatan insiden kejadian penyakit jantung pasca operasi.8,9 Gambar 2. Estimasi energi yang dibutuhkan dalam berbagai aktivitas (satuan MET) (dikutip dari: 2014 ESC/ESA Guidelines on non-cardiac surgery: cardiovascularassessment and management) 2.3. Pemeriksaan Non Invasif Penyakit Kardiovaskular 2.3.1. Elektrokardiografi Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) 12 sadapan dilakukan sebagai bagian dari penilaian risiko penyakit 49 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

kardiovaskular preoperatif pada pasien yang menjalani operasi non-kardiak. Pada pasien dengan penyakit jantung iskemik, gangguan konduksi, perubahan EKG akibat kelainan elektrolit atau efek obat, pemeriksaan EKG preoperatif memberikan informasi prognostik yang penting danmemberikan prediksi hasil jangka panjang, tidak bergantung pada temuan klinis dan iskemik perioperatif. Aritmia jantung pasca operasi seringkali disebabkan olehfaktor lain selain faktor kardiovaskular.2,8 Tabel 3: Rekomendasi Pemeriksaan EKG Preoperatif (dikutip dari: 2014 ESC/ESA Guidelines on non-cardiac surgery: cardiovascularassessment and management) 2.3.2.Evaluasi Fungsi Ventrikel Kiri Fungsi ventrikel kiri pada saat istirahat dapat dievaluasi sebelum tindakan operasi non-kardiak dengan ventrikulografi radionuklida, Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT), ekokardiografi, Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau Multislice Computed Tomography (MSCT) dengan akurasi 50 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

hasil yangsama. Ekokardiografi adalah jenis pemeriksaan yang paling banyak tersedia di berbagai Rumah Sakit untuk evaluasi fungsi ventrikel sebelum operasi tetapi dapat dilakukan pada pasien asimptomatik dengan risiko tindakan pembedahan yang tinggi. Disfungsi diastolik ventrikel kiri pra operatif, regurgitasi mitral sedang hingga berat dan peningkatan gradient katup aorta berhubungan dengan kejadian penyakit jantung mayor. Nilai prediksi terbatas dari penilaian fungsi ventrikel kiri untuk hasil perioperatif mungkin terkait dengan kegagalan mendeteksi penyakit jantung iskemik yang berat.4,9 Tabel 4: Rekomendasi pemeriksasan Ekokardiografi (dikutip dari: 2014 ESC/ESA Guidelines on non-cardiac surgery: cardiovascularassessment and management) 2.3.3. Biomarker Biomarker merupakan marker biologis yang dapat diukur secara objektif danmerupakan indikator proses biologis saat ini biomarker kardiak merupakan elemen yang sangat dibutuhkan untuk mendiagnosis kejadian akut kardiak seperti infark miokard atau gagal jantung dekompensasi. Termasuk pada pemeriksan perioperatif membuktikan pentingnya pemeriksan biomarker 51 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

untuk memprediksi dan mendeteksi kejadian kardiovaskular.10 Dalam pengaturan perioperatif, biomarker dapat dibagi menjadi penanda yang berfokus pada iskemia dan kerusakan miokard, inflamasi, dan fungsi ventrikel kiri. Biomarker jantung Troponin T dan I (masing-masing cTnT dan cTnI) adalah biomarker yang dipakai untuk diagnosis infark miokard karena menunjukkansensitivitas dan spesifikasi jaringan yang lebih baik daripada biomarker lainnya. Marker inflamasi sebelum operasi mengidentifikasi pasien dengan peningkatan risiko plak koroner yang tidak stabil. Namun, dalam pengaturan tindakan pembedahan saat ini tidak ada data yang mendukung mengenai bagaimana cara marker inflamasi untuk mengurangi resiko kejadian penyakit kardiovaskular.4,11 B-type Natriuretic Peptide (BNP) dan N-Terminal pro-BNP (NT-pro BNP) diproduksi di miosit jantung sebagai respons terhadap peningkatan tegangan pulsatil. Hal ini dapat terjadi pada setiap tahap gagal jantung, terlepas dari ada atau tidak adanya iskemik miokard. Plasma BNP dan NT-proBNP terbentuk sebagai indikator prognostik yang penting pada penyakit jantung. Kadar BNP dan NT-pro BNP pra-operasi memiliki nilai prognostik tambahan untuk morbiditas dan mortalitas jangka panjang kejadian penyakit jantung pasca operasi non-kardiak.4,12 Biomarker troponin adalah protein struktural aparatus kontraktil miokardial yang dilepaskan saat terjadi kerusakan miokardial. Sebuah Penelitian Vascular Events in Noncardiac Surgery Patients Cohort Evaluation (VISION) yang dilakukan oleh Deveraux membuktikan hubungan antara peningkatan nilai troponin pasca 52 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

operasi yang terjadi pada Sebagian besar pasien pasca operasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pelepasan troponin tidak harus disertai dengan gejala klinis seperti nyeri dada atau perubahan elektrokardiografi (EKG). Sebaliknya, tanda iskemik hanya ditemukan pada sepertiga populasi dengan kadar troponin yang naik. Sehingga pada populasi berisiko tinggi sebagian besar pasien yang memiliki nilai troponin yang tinggi tidak terdeteksi tanpa adanya pengawasan nilaitroponin.4,12 Jika terjadi iskemik miokard, pemeriksaan lanjutan perlu dilakukan. Mekanisme infark miokard yang paling umum disebabkan oleh rupur plak dan thrombosis (infark miokard tipe 1). Sebaliknya, terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokard dengan suplai oksigen dan terjadi peningkatan troponin yang juga menyebabkan iskemik miokard (infark miokard tipe 2) kondisi yang berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen seperti takikardia, hipertensi, hipotensi dan anemia yang paling banyak terjadi selama proses tindakan pembedahan. Oleh karena itu banyak pasien yang mengalami infark miokard akut perioperatif yang mungkin disebabkan oleh infark miokard tipe 2. Dari sudut pandang patofisiologi, stategi pengobatan pada infark miokard tipe 1 berbeda dengan infark miokard tipe 2. Pada pasien infark miokard tipe 1, dipertimbangkan untuk tindakan revaskularisasi. Sebaliknya pasien dengan infark miokard tipe 2 tidak menunjukkan keuntungan pada strategi tindakan inasif.12 53 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Algoritma 1: Algoritma tatalaksana infark miokard perioperatif (Dikutip dari: Biomarker-Based Preoperative Risk Stratification for Patients Undergoing Non-Cardiac Surgery). 2.3.4. Pemeriksaan Non Invasif Penyakit Jantung Iskemik Latihan fisik dengan menggunakan treadmill atau sepeda ergometer dapat mengukur kapasitas fungsional, mengevaluasi tekanan darah dan respon detak jantung serta mendeteksi iskemik miokard dengan melihat perubahan segmen ST pada gambaran EKG. Stratifikasi resiko dengan tes latihan tidak sesuai untuk pasien dengan kapasitas latihan yang terbatas, karena ketidakmampuan untuk mencapai target detak jantung. Tingkat kelaianan dalam hasil tes berhubungan dengan tindakan perioperatif: adanya respon iskemik miokard yang diberikan beban kerja yang rendah dikaitkan dengan peningkatan resiko kejadian penyakit jantung preoperatif. Sebaliknya, permulaan iskemik miokard pada pemberian beban kerja yang tinggi hanya dikaitkan dengan peningkatan resiko yang kecil, tetapi lebih 54 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

tinggi dari tes yang normal. Stratifikasi risiko untuk menilai perfusi miokard pada pasien yang memiliki keterbatasan uji latihan beban jantung dapat dilakukandengan pemberian farmakoterapi (dipyridamole, adenosine, atau dobutamine) sebagai alternatif stressor.4 Pemeriksaan Stress Ekokardiografi dilakukan dengan cara latihan atau dengan menggunakan obat (dobutamin, dipyridamole) yang telah banyak digunakan untukevaluasi resiko penyakit jantung praoperatif khususnya pada pasien yang menjalanioperasi aorta abdominalis atau opersi vaskular lainnya. Pemeriksaaan ini menggabungkan informasi mengenai fungsi ventrikel kiri pada saat isitrahat, kelaian katup jantung dan tingkat iskemik miokard termasuk pada beberapa pasien menunjukkan adanya segmen yan akinetik. Secara garis besar, pemeriksaan stress ekokardiografi memiliki nilai prediksi negatif yang tinggi dan hal ini dikaitkan dengan insiden kejadian penyakit jantung yang rendah pada pasien yang menjalanitindakan pembedahan. Namun, nilai prediksi positif relatif rendah (berkisar 25- 45%) hal ini menunjukkan bahwa probabilitas kejadian penyakit jantung pasca operasi yang rendah, tanpa adanya deteksi kelainan gerakan dinding miokard selama pemeriksaan stres ekokardiografi. Beberapa data menunjukkan pemeriksaanStress Ekokardiografi dengan dobutamin aman digunakan sebagai bagian dari penilaian pra operatif pembedahan.4,8 Pemeriksaan Cardiovaskular Magnetic Resonance (CMR) digunakan untuk mendeteksi iskemik miokard, perfusi dan Gerakan dinding miokard yang terdeteksi saat istirahat. Akurasi untuk penilaian isklemik yang tinggi dengan sensitivitas 83%dan 55 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

spesifitas 86%.4 Pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT Scan) dapat digunakan untuk menilai skor kalsium, yang menggambarkan atherosklerosis koroner dan pemeriksaan CT angiografi digunakan untuk mengeksklusi penyakit arteri koroner pada pasien dengan risiko rendah atheroskerosis. Dalam beberapa studi menunjukkan hubungan antara peningkatan skor kalsium dan kejadian kardiovaskular. Pemeriksaan angiotomografi tetap dapat dilakukan sebagaiinstrumen dalam reklasifikasi risiko.4,8 2.3.5.Pemeriksaan Invasif Angiografi Koroner Tindakan Angiografi koroner merupakan prosedur diagnostik invasif yang jarang diindikasikan untuk menilai stratifikasi risiko yang akan penjalani operasi non-kardiak. Secara umum, indikasi angiografi koroner pada periode preoperatif sama pada keadaan lainnya. Tindakan angiografi koroner menyebabkan penundaan jadwal operasi non-kardiak pada pasien dan dapat menambah risiko prosedurpembedahan.2,4 56 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tabel 5: Rekomendasi Preoperatif Angiografi Koroner (dikutip dari: 2014 ESC/ESA Guidelines on non-cardiac surgery: cardiovascularassessment and management) 2.4. Terapi Medikamentosa Risiko Kardiovaskular 2.4.1. Beta blocker Beta blocker memiliki potensi yang menguntungkan bila dikonsumsi ada masa preoperatif. Penggunaan beta blocker perioperatif untuk menurunkan kebutuhan konsumsi oksigen miokard karena peningkatan pelepasana katekolamin dengan jalan mengurangi denyut jantung yang menyebabkan fase pengisian diastolik yang lebih lama dan menurunkan kontraktilitas miokard. Penggunaan beta blocker juga dapat membantu mencegah atau mengendalikan aritmia jantung. Pasien yang telah menggunakan beta blocker dalam jangka waktu yang lama untuk menangani angina berisiko mengalami iskemia dengan menghentikan blokade betareseptor.4 57 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Pengobatan awal dan pilihan yang optimal dari dosis beta blocker sangat erat kaitannya dengan gejala bradikardia dan hipotensi yang harus dihindari. Beta blocker non selektif dapat berinteraksi dengan epinefrin yang digunakan pada kejadian anafilaktik intraoperatif. Dilihat dari manfaat potensial dari blokade beta reseptor intraoperatif, efek samping yang minimal dak konsekuensi dari penghentian pemberian beta blocker secara tiba-tiba direkomendasikan penggunaa beta blocker dilanjutkan selama periode preoperatif selama masa rawat inap di rumah sakit. Dosis beta blocker harus diatur secara ketat selama periode preoperatif untuk menjaga tekanan darah dan detak jantung. Rekomendasi pemberian terapi beta blocker dalam masa perioperatif yaitu: melanjutkan pemberian beta blocker pada pasien yang telah mengkonsumsi beta blocker dalam jangka waktu yang lama, dapat dipertimbangkan inisiasi pemberian beta bloker pada pasien yang dianggap mrmiliki risiko sedang atau risiko tinggi kejadian kardiovaskular dan pada pasien yang memilik skor ≥ berdasarkan RCRI. 13,14 Pada pasien yang tidak dapat konsumsi obat secara oral pemberian beta blocker dapat diberikan secara intravena seperti metoprolol, propranolol dan labetolol. Esmolol juga tersedia untuk digunakan intraoperatif atau pada perawatan ICU tetapi tidak dapat diberikan di ruang perawatan biasa di Rumah Sakit, dengan fungsi ginjal normal, pemberian atenolol harus dimulai dengan dosis harian 50 mg, kemudian disesuiakan sebelum operasi dengan mencapai denyut jantung isitrahat 60-70 kali per menit.13,14 58 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

2.4.2. Nitrat Nitrogliserin digunakan untuk mengurangi iskemik miokard. Efek nitrogliserin intravena perioperatif pada iskemik perioperatif masih diperdebatkan dan tidak ada efek yang ditunjukkan pada kejadian infrak miokard. Pemberian nitratsebagai terapi profilaksis sebaiknya tidak diberikan. Sebuah studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam pemberian prepara nitrat pada kejadian mortalitasdalam 30 hari 4,13 2.4.3. Diuretik Diuretik sering digunakan pada pasien dengan hipertensi atau gagal jantung.Secara umum diuretik dapat dipertimbangkan untuk tetap dikonsumsi hingga hari tindakan pembedahan. Jika penurunan tekanan darah diperlukan sebelum terapi oral jika memungkinkan, pemberian obat antihipertensi lainnya dapat dipertimbangkan. Pada gagal jantung, uptitrasi dosis harus dipertimbangkan jika ada gejala atau tanda retensi cairan. Pengurangan dosis harus dipertimbangkan pada pasien dengan hipovolemia, hipotensi, atau gangguan elektrolit. Secara umum, pengobatan diuretik jika perlu untuk mengontrol gagal jantung, harus dilanjutkan hingga hari operasi dan dilanjutkan secara oral jika memungkinkan. Pada periode perioperatif,status volume pada pasien dengan gagal jantung harus dipantau secara hati-hati dengan pengoptimalkan pemberian loop diuretik atau cairan.14 Adanya gangguan elektrolit harus dipertimbangkan pada pasien dengan terapi diuretik. Dilaporkan adanya hipokalemia pada 34% pasien yang menjalani operasi non-kardiak dan 59 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

diketahui secara signifikan meningkatkan risiko fibrilasi ventrikel dan henti jantung pada penyakit jantung. Gangguan elektrolit, terutama hipokalemia dan hipomagnesemia harus diterapi sebelum operasi. Hipokalemia dapat meningkatkan risiko aritmia perioperatif.14 Saat ini belum ada konsensus tentang penggunaan diuretik dilanjutkan atau ditunda selama periode perioperatif. Pada pasien gagal jantung pemberian diuretikdinilai dari evaluasi status volume dan disarankan untuk dioptimalkan sebelum tindakan operasi. Pada pasien gagal jantung yang terkontrol baik dengan status volume yang stabil, direkomendasikan untuk menunda pemberian diuretik pada pagi hari sebelum tindakan operasi, penggunaan diuretik dapat meningkatkan risikohipotensi intraoperatif walaupun pasien telah lama mengkonsumsi diuretik. Sedangkan untuk pasien gagal jantung dengan riwayat status volume yang tidak stabil direkomendasikan untuk melanjutkan pemberian diuretik.14 2.4.4. Angiotensin Converting Enzym inhibitor dan Angiotensin II Receptor Blocker Penanganan preoperatif pasien yang mengkonsumsi Angiotensin Converting Enzym inhibitor (ACE) inhibitor dan Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) saat ini masih kontroversial. Secara teori ACE inhibitor dan ARB menghambat aktivasi kompensasi renin angiotensin selama operasi dan mengakibat hipotensi yang berkepanjangan. Penggunaan ACE inhibitor dan ARB yang lama telah dilaporkan berkontribusi pada kejadian hipotensi intraoperatif pada pasien yang sedang menjalani general 60 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

anestesi. Peningkatan penggunaan ACE inhibitor dan ARB dalam meningkatkan insidens instabilitas hemodinamik intraoperatif.13,14 Data dari studi observasi menunjukkan bahwa terlepas dari pemberian beta blocker dan statin, ACE inhibitor dan ARB tidak menurunkan jumlah kematian selama 30 hari atau 1 tahun atau komplikasi kardiovaskular setelah operasi mayor pada pasien yang beresiko tinggi. Penggunaan ACE inhibitor dan ARB perioperatif dapat membuat hipotensi berat dibawah pengaruh anestesi. Keputusan untuk melanjutkan atau menunda pemberian ACE inhibitor dan ARB berdasarkan indikasi pemberian obat, tekanan darah pasien, jenis operasi dan anestesi yang direncanakan. Pada beberapa pasien pemberian obat ACE inhibitor dan ARBditunda di pagi hari pasca operasi. Namun bila indikasi pasien dengan penyakit gagal jantung dan hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik dianjurkan melanjutkan pemberian ACE inhibitor dan ARB untuk menghindasi eksaserbasi perburukan kondisi pasien. Disarankan untuk menunda ACE inhibitor dan ARB sebelum operasi dan melanjutkan pemberian 48 jam pasca operasi jika keadaan hemodinamik pasien stabil.14,15 2.4.5.Acetylsalicylic Acid Acetylsalicylic Acid (ASA) atau yang dikenal dengan aspirin yang mekanisme kerjanya menghambat siklooksigenase platelet dapat meningkatkan kehilangan darah intraoperatif dan komplikasi perdarahan. Namun, pada efek yang sama dapat membantu mencegah komplikasi perioperatif vaskular, khususnya komplikasi 61 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

tromboemboli. Anjuran untuk melanjutkan atau menghentikan pemberian aspirin bervariasi bergantung pada jenis operasi yang direncanakan dan indikasi pemberian aspirin kepada pasien. Pemberian aspirin dapat dilanjutkan pada pasien yang yang menjalani operasi minor bagian dental atau tindakan dibidang dermatologis. Direkomendasikan pemberian aspirin ditunda 3 hari sebelum operasi dan melanjutkan pemberian aspirin jika risiko bleeding pasca operasi telah tertangani (8-10 hari setelah operasi mayor non-kardiak), tidak memberikan aspirin sebagai preventif selama masa preoperatif.5 Pasien yang telah mendapatkan pemasangan stent diperkirakan 2-25% akan menjalani operasi non kardiak 5 tahun kemudian. Penatalaksanaan terapi anti- platelet pada pasien yang sedang menjalani pemasangan stent di jadwalkan untuk tindakan pembedahan non kardiak perlu perhatian khusus dari bagian bedah dan bagian jantung untuk terapi Dual Anti Platelet Theraphy (DAPT) selanjutnya. Hal yang perlu dipertimbangkan yaitu risiko adanya trpmbosis pada stent (terutama jikaDAPT diberhentikan), konsekuensi dari penundaan prosedur operasi, dan peningkatan intra dan periprosedural risiko perdarahan pada kondisi jika pemberikan DAPT dilanjutkan. Sebuah penelitian observasional menemukan bahwa risiko komlikasi thrombosis terkait stent paling banyak didapatkan pada 4 sampai 6 minggu pertama setelah implantasi stent. Berdasarkan PARIS (Patterns of Nonadherence to Antiplatelet Regimens in Stented Patients) registry dalam menghentikan pemberian DAPT pada pasien post PCI yang akan melakukan operasi nnon kardiak tidak meningkatkan faktor risiko 62 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

MACE. 4,16 2.4.6.Inhibitor Reseptor P2Y12 Inhibitor reseptor P2Y12 seperti clopidogrel, prasugrel, ticagrelor dan toclopidine digunakan pada pasien yang mengalami kejadian kardiovaskular, sindrom koroner akut, tindakan intervensi koroner, intervensi vaskular dengan pemasangan stent sebelumnya. Cilostazol dianjurkan harus dihentikan setidaknya dua hingga tiga hari sebelum tindakan operasi elektif. Gejala klaudikasio dapat muncul saat pengobatan dihentikan, tetapi dapat membaik setelah cilostazolekembali diberikan setelah operasi.14 2.4.7. Antikoagulan Tatalaksana pemberian antikoagulan pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan bersifat dilematik. Menghentikan pemberian antikoagulan dapat meningkatkan risiko tromboemboli. Pada saat yang bersamaan prosedur pembedahan memiliki peningkatan risiko perdarahan terkait pemberian antikoagulan untuk mencegah tromboemboli. Jika pasien mengalami perdarahan pasca tindakan pembedahan pemberian antikoagulan perlu dihentikan dalam jangkawaktu yang lama, yang mana dapat meningkatkan risiko tromboemboli dalam jangka waktu yang lama.14 Pasien yang mendapatan terapi antikoagulan oral menggunakan antagonis vitamin K dapat meningkatkan risiko perdarahan perioperatif dan pasca prosedur pembedahan. Jika 63 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

nilai INR ≤ 2.0, tindakan operasi dapat dilakukan dengan aman, tetapi pada pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan berisiko tinggi terhadi tromboemboli terutama pada pasien dengan: 1. Atrial fibrilasi dengan skor CHA2DS2-VASc (Congestive Heart Failure, Hypertension, Age ≥ 75 years old, Diabetes Melitus, Stroke, Vascular disease, Age 65-74 tahun, Sex Category), atau 2. Katup jantung mekanik prostetik, pemasangan katup prostetik, atau 3. Repair katup mitral dalam waktu 3 bulan terahir, atau 4. Tromboemboli vena dalam waktu 3 bulan terakhir, atau 5. Thrombofobia Penghentian pemberian terapi vitamin K membutuhkan bridging therapy dengan Unfractionated Heparin (UFH) atau Low molecular weight heparin (LMWH). Adanya bukti pemberian LMWH lebih aman dan lebih baik dibandingkan dengan UFH sebagai bridging therapy untuk tindakan pembedahan. LMWH diberikan secara subkutan dan dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien, diberikan satu atau dua kali sehari secara subkutan. Pada pasien dengan risiko tinggi tromboemboli direkomendasikan dosis terapeutik LMWH diberikan dua kali sehari secara subkutan. Pada pasien dengan risiko rendah diberikan dosis profilaksis satu kali sehari secara subkutan. Pemberian LMWH kepada pasien diberikan tidak lebih dari 12 jam sebelum tindakan operasi. Pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal direkomendasikan pemberian vitamin K antagonis diberhentikan 3-5 hari sebelum tindakan pembedahan 64 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

(tergantung jenis Vitamin K Agonist (VKA)) dengan tercapainya nilai International Normalized Ratio (INR) rata-rata ≤ 1.5 dan pemberian terapi LMWH dan UFH dapat dimulai dalam 24 jam setelah pemberhentian VKA sampai tercapai nilai INR < 2.0.4 Direct Oral Anticoagulants (DOACs) seperti rivaroxaban, apixaban dan edoxaban memiliki waktu paruh yang lebih pendek sehingga pemberiannya lebih mudah dihentikan dan dapat dilanjutkan lebih cepat.14,15 2.5. Penyakit Kardiovaskular Beberapa penyakit spesifik di bidang kardiovaskular memerlukan pertimbangan khusus dalam penilaian pra operatif operasi non-kardiak 2.5.1.Penyakit Jantung Koroner Penyakit jantung koroner disebabkan karena adadnya suplai darah ke miokard yang tidak adekuat yang disebabkan oleh obstruksi arteri koroner yang berasal dari plak aterosklerosis. Penyakit jantung koroner distimulasi dengan gejala angina pectoris, yang terjadi akibat adanya iskemia myokard dan suplai dari kebutuhan oksigen. Beberapa pasien yang dalam keadaan stabil tanpa gejala angina. Kejadian MACE setelah operasi non kardiak sering dihubungkan dengan riwayat penyakit jantung koroner.13 2.5.2.Gagal Jantung Penyakit gagal jantung merupakan salah satu kondisi 65 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

perioperatif yang palingbanyak ditemukan pada pasien yang akan melakukan tindakan operasi non kardiak.Diagnosa gagal jantung ditunjukkan dengan adanya tanda dan gejala gagal jantung. Gagal jantung sering juga diklasifikasikan sebagai gagal jantung denganpenurunan fungsi sistolik (fraksi ejeksi) yang selanjutnya akan disebut sebagai Heart Failure with preserved Ejection Fraction (HFpEF) dengan nilai normal ≥50%, Heart Failure with mid-range Ejection Fraction (HFmEF), Heart Failurewith reduced Ejection Fraction (HFrEF). Secara garis besar, penanganan periopertif pasien dengan gagal jantung sama halnya pada pasien gagal jantung pada umunya yang bertujuan untuk menstabilkan kondisi gagal jantung selama periode peroperatif. Penanganan gagal jantung dapat dilakukan secara farmakologi maupun non farmakologi.13 Pada pasien dengan gagal jantung berat dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan pembedahan kurang lebih selama tiga bulan untuk memaksimalkan terapi atau intervensi dalam rangka meningkatkan fungsi ventrikel kiri dan remodeling ventrikel kiri. Pasien dengan gagal jantung kronik, sebaikanya dalam kondisi euvolemik sebelum tindakan operasi elektif dengan tekanan darah yang stabil dan perfusi organ yang optimal. Pemberian obat gagal jantung kronik yang berpengaruhterhadap kejadian hipotensi perlu dipantau ketat.4,13 2.5.3. Hipertensi Secara garis besar, hipertensi merupakan faktor risiko untuk komplikasi kardiovaskular dalam pembedahan non-kardiak, 66 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

namun adanya peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol merupakan salah satu penyebab dari penundadan operasi. Dalam evaluasi praoperastif ditemukan tekanan darah yang meningkat, disarankan untuk mengevaluaasi apakah ada kerusakan target organ dan bukti patologi kardiovaskular yang terkait (EKG, Pemeriksaan fungsi ginjal, dan buktu gagal jantung) dan memulai terapi untuk menurunkan tekanan darah sesai dengan target.4,14 Dalam periode induksi anestesi, aktivitas simpatis daapat menyebabkan peningkatan tekanan darah 20-30 mmHg dan peningkatan denyut jantung 15-20 kali per menit pada individu dengan normotensi. Lain halnya dengan individu dengan riwayat hipertensi yang tidak ditangani dengan baik. Pada pasien dengan riwayat hipertensi saat periode anestesi berlangsung cenderung mengalami peningkatan tekanan darah yang tidak stabil sehingga dapat menyebabkan iskemik miokard. Pada pasien dengan hipertensi dengan konsumsi obat teratur, dianjurkan untuk tetap melanjutkan konsumsi obat selama periode perioperatif.4,13 2.5.4. Aritmia Aritmia pada jantung merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada periode perioperatif. Aritmia seperti atrial fibrilasi dan ventrikel takikardia yang paling banyak ditemukan pada orang tuan dna sering menunjukkan adanya kelaianan jantung struktrural yang mendasari. Oleh karena itu, deteksi aritmia sebelum tindakan operasi harus dievaluasi dengan pemeriksaan ekokardiografi, angiografi koroner (dengan revaskularisasi), dan dalam kasus tertentu diperlukan studi elektrofisiologi.4 67 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Aritmia supraventrikular dan atrial fibrilasi lebih sering terjadi daripada aritmia ventrikel saat durasi perioperatif. Diperkirakan akitifitas simpatik sebagai mekanisme otonom utama bertanggung jawab sebagai pemicu atrial fibrilasi. Bradiaritmia perioperatif biasanya berespon baik dengan terapi farmakologis jangka pendek. Terapi dengan menggunakan alat pacu jantung sementara jarang digunakan. Pasien yang menggunakan alat pacu jantung permanen dapat dibantu dengan menggunakan elektrokauter unipolar yang dapat memprogram ulang alat pacu jantung tersebut. Alat pacu jantungharus diatur dalam mode asynchronous atau non-sensing pada pasien yang akan melakukan operasi non-kardiak. Hal yangpaling mudah dilakukan adalah meletakkan magnet diatas alat pacu jantung. 4,13 2.5.5.Penyakit Jantung Bawaan Anak-anak, remaja dan orang dewasa dengan penyakit jantung bawaan pada umumnya dianggap berisiko tinggi saat menjalani tindakan operasi non-kardiak. Tetapi risiko ini akan sangat bervariasi berdasarkan severitas gagal jantung, hipertensi pulmonal, aritmia, shunt dengan atau tanpa kondisi desaturasi oksigen terkait dengan kompleksitas penyakit yang mendasari. Pemahaman secara menyeluruh mengenai penyakit jantung bawaan termasuk anatomi, fisiologi, dan identifikasi faktor risiko sangat penting sebelum dilakukan tindakan operasi. Pada pasien dengan defek jantung sederhana, sirkulasi fisiologis normal dapat terkompensasi dengan baik dan risiko intra dan pasca operasi 68 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

mungkin cukup rendah. Pasien dengan komplikasi penyakit jantung bawaan sebaiknya dilakukan evaluasi secara menyeluruh dengan multidisiplin ilmu sebelum menjalani tindakanoperasi non- kardiak4 2.5.6.Penyakit Jantung Katup Pasien dengan penyakit jantung katup meningkatkan risiko komplikasi MACE selama periode tindakan pembedahan non kardiak. Risiko yang terjadi sangat bervariasi, berdasarkan jenis dan severitas dari penyakit jantung katup dan jenis tindakan pembedahan itu sendiri.4,13 2.5.6.1. Aorta Stenosis Stenosis aorta adanya penyakit jantung katup yang paling banyak diderita oleh orang tua. Stenosis aorta merupakan salah satu faktor risiko yang kuat terhadap mortalitas periopertif dan infark miokard. Pada pasien yang harus dilakukan tindakan pembedahan segera, prosedur ini harus dibawah pemantauan hemodinamik invasif untuk menghindari perubahan stastus volume dan perubahan irama jantung. Pada penanganan pembedahan elektif, perlu dievaluasi gejala yang dialami oleh pasien dan jika perlu penanganan penggantian katup aorta dapat dipertimbangkan sebelum dilakukan operasi elektif. 4,13 2.5.6.2. Mitral Stenosis Operasi non kardiak dapat dilakukan pada pasien dengan mitral stenosis ringan (Valve area > 1.5 cm2) dan pasien yang 69 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

asimptomatik dengan mitral stenosisyang signifikan (Valve area < 1.5 cm2) dan tekanan arteri pulmonal <50 mmHg dan tindakan koreksi mitral stenosis perioperatif tidak diindikasikan. Pemberian terapi dengan control denyut jantung untuk menghindari takikardia, yang mana dapat menyebabkan edema pulmonal. Pasien dengan mitral stenosis yang disertai adanya atrial fibrilasi dapat meningkatkan risiko emboli sehingga dapat diberikan obat antikoagulan.4,13 2.5.6.3. Aorta Regurgitasi dan Mitral Regurgitasi Secara independent Aorta Regurgitasi non signifikan dan Mitral Regurgitasi tidak menyebabkan peningkatan risiko komplikasi selama periode pembedahan nonkardiak. Pada pasien yang asimptomatik dengan Aorta Regurgitasi dan Mitral Regurgitasi berat dengan fungsi ventrikel kiri yang baik, pembedahan non kardiakdapat dijalankan.4 70 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

BAB III KESIMPULAN Dalam evaluasi risiko perioperatif kardiovaskular yang akan menjalani operasi non kardiak diperlukan pemeriksaan anamnesa secara lengkap, pemeriksaan fisik dan evaluasi kapasitas fungsional harus dilakukan secara holistic. Evaluasi ini dapat membantu untuk menilai tingkat kejadian MACE pada tiap individu yang di hitung dengan menggunakan indeks stratifikasi risiko. evaluasi ini jarang dilakukan pada pasien dengan risiko rendah tetapi melihat dari penyakit penyerta, jenis tindakan pembedahan dan jenis anestesi yang akan diberikan. Evalusi statifikasi praopeatif sangat membantu dalam proses perioperatif hingga pasca operatif sehingga menghasilkan terapi yang maksimal untuk pasien. Hal yang perlu diperhatikan pada pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan non kardiak adalah obat-obat kardiovaskular yang telah dikonsumsi yang mungkin akan mempengaruhi dalam masa perioperatif. 71 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

DAFTAR PUSTAKA 1. Cohn SL, Fleisher LA, Saperia GM. Evaluation of cardiac risk prior to noncardiac surgery. Waltham, MA: UpToDate. Avaliable Form: https://www.uptodate.com/contents/evaluation-of-cardiac-risk- prior-to- noncardiacsurgery?search= Evaluation%20of% 20cardiac%20risk%20prior%2 0to%20noncardiac%20surgery & source=search_result&selectedTitle=1~150&usage_type=default&displ ay_rank=1 2. Kyo S, et al. Guidelines for Preoperatif Cardiovaskular Evaluation and Management for Noncardiac Surgery (JCS 2014) Digest Version. Circulation Journal. 2017: CJ-66 3. Teruel J, et al. Evaluation of the Age-Based Pre-Anesthesia Screening ECG: An Analysis of Efficacy and Predictive Potential in Outpatient Surgery. Preoperatif Care and Operating Room Management. 2020 Sep 1;20: 100112 4. Kristensen SD, et al. 2014 ESC/ESA Guidelines on non-cardiac surgery: cardiovaskular assessment and management: The Joint Task Force on non- cardiac surgery: cardiovaskular assessment and management of the European Society of Cardiology (ESC) and the European Society of Anaesthesiology (ESA). European heart journal. 2014 Sep 14;35(35):2383-431 5. Duceppe E, et al. Canadian Cardiovaskular Society guidelines on preoperatif cardiac risk assessment and management for patients who undergo noncardiacsurgery. Canadian Journal of Cardiology. 2017 Jan 1;33(1):17-32 6. Ranjeva SL, Tung A, Nagele P, Rubin DS. Morbidity and mortality after acute myocardial infarction after elective major noncardiac surgery. Journal of Cardiothoracic and Vaskular Anesthesia. 2021 Mar 1;35(3):834-42 72 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

7. Scorcu G, et al. Preoperatif assessment of cardiovaskular risk in patients undergoing noncardiac surgery: the Orion study. Monaldi Archives for Chest Disease. 2020 Feb 6;90(1) 8. Gualandro DM, et al. 3rd guideline for preoperatif cardiovaskular evaluation ofthe Brazilian Society of Cardiology. Arquivos brasileiros de cardiologia. 2017Sep;109(3):1-04 9. Raslau D, et al. Preoperatif cardiac risk assessment. InMayo Clinic Proceedings2020 May 1 (Vol. 95, No. 5, pp. 1064-1079). Elsevier 10. Dhir S, Dhir A. Cardiovaskular Risk Assessment for Noncardiac Surgery: AreWe Ready for Biomarkers? Journal of cardiothoracic and vaskular anesthesia. 2019 Oct 11 11. Tuman KJ. Preoperatif cardiovaskular risk: assessment and management. Anesthesia & Analgesia. 2001 Mar 1;92(3):106-12 12. Yurttas T, Hidvegi R, Filipovic M. Biomarker-based preoperatif risk stratification for patients undergoing non-cardiac surgery. Journal of clinical medicine. 2020 Feb;9(2):351 13. Chan SH, So VC, Irwin MG. Preoperative cardiac optimization. Anaesthesia &Intensive Care Medicine. 2020 Aug 14. 14. Muluk V, et al. Preoperatif medication management. UpToDate. Basow, D.,editor. UpToDate. Avaliable From: https://www.uptodate.com/contents/perioperative-medication- management?search= preoperatif%20medication% 20management&source=se arch_result&selectedTitle =1~80&usage_type=default&display_rank=1 15. Yoon, U, et al, 2021. Continuation of Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors on the Day of Surgery Is Not Associated With Increased Risk of Hypotension Upon Induction of General Anesthesia in Elective Noncardiac Surgeries. Journal of cardiothoracic and vaskular anesthesia, 35(2), p.508-513 73 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

16. Levine GN, et al. 2016 ACC/AHA guideline focused update on duration of dual antiplatelet therapy in patients with coronary artery disease: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. Journal of the American College of Cardiology. 2016 Sep 6;68(10):1082-11 74 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

STRESS ECHOCARDIOGRAPHY IN BAGIAN ISCHAEMIC HEART DISEASE III Iznaeny Rahma, Khalid Saleh, Aussie Fitraini Ghaznawie BAB I PENDAHULUAN Angina pektoris stabil (APS) merupakan salah satu manifestasi dari penyakit jantung koroner (PJK), yang ditandai dengan rasa tidak nyaman atau tertekan pada dada atau area sekitarnya atau angina euivalents (sesak, lemas, mual, atau sendawa) yang disebabkan oleh iskemik miokardium yang dapat diprediksi dan dipicu oleh aktivitas fisik atau stres emosional serta gejala menghilang saat istirahat atau dengan pemberian nitrogliserin sublingual.1 Iskemik miokardium dapat dideteksi dengan pemeriksaan invasif dan pemeriksaan non- invasif. Pencitraan kardiovaskular non invasif dapat memberikan informasi penting dalam mendeteksi, menegakkan diagnosis, menentukan tatalaksana PJK, serta memegang peranan penting dalam stratifikasi risiko dan menentukan keputusan klinis.2 Modalitas fungsional non invasif ditujukan untuk deteksi iskemia miokard dengan cara penilaian terhadap perubahan EKG, gangguan gerakan dinding miokard atau gangguan perfusi. Stress echocardiography merupakan kombinasi ekokardiografi 2 dimensi dengan stress fisik atau farmakologi di mana iskemia dicetuskan dengan uji latih atau farmakologis, melalui mekanisme peningkatan beban kerja miokard dan kebutuhan oksigen, atau heterogenitas vasodilatasi perfusi miokard. Walaupun stress ekokardiografi dapat digunakan untuk penilaian berbagai kondisi 75 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

jantung seperti penyakit jantung valvular, kardiomiopati, hipertensi pulmonal, penyakit jantung kongenital, namun pembahasan pada referat ini akan fokus pada penggunaan stress ekokardiografi pada penyakit jantung koroner yaitu kondisi angina 76 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stress echocardiography adalah kombinasi pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi (2D) atau tiga dimensi (3D) dengan exercise stress (bicycle/treadmill) atau pharmacologic stress (dobutamin/vasodilator). Tujuan dari tes ini yaitu untuk mendeteksi iskemia miokard yang dibuktikan melalui perburukan fungsi miokard selama tes berlangsung. Stress echocardiography memiliki akurasi diagnostik dan prognostik yang sebanding dengan radionuclide stress perfusion imaging, dengan biaya yang lebih murah, dan resiko paparan radiasi yang rendah bagi dokter dan pasien.2,3 2.2 Patomekanisme iskemik miokardium dan Stress Echocardiography Iskemik miokardium merupakan jalur akhir yang umum dijumpai oleh berbagai substrat morfologi dan fungsional. Untuk memahami terjadinya iskemia, jantung normal secara skematik dapat dibagi menjadi 3 komponen anatomi dasar yang masing- masing dapat menjadi target kondisi patologis yang menimbulkan iskemia yaitu arteri koroner epikardial, miokardium, dan pembuluh koroner kecil.4 Stenosis pada arteri koroner epikardial dapat bersifat tetap (fix) atau dinamis. Sirkulasi koroner, seperti pada arteri lainnya, memiliki cadangan fungsional yang disebut sebagai coronary flow reserve (CFR) yaitu kemampuan arteri koroner untuk dilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan metabolik jantung atau untuk mempertahankan fungsi normal saat isitirahat 77 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

ketika terdapat proses patologis. Stenosis arteri epikardial 0-40% tidak mempengaruhi CFR sementara stenosis 40-70% menurunkan CFR namun belum mencapai ambang untuk memicu iskemia pada keadaan stress yang biasa. Stenosis lebih dari 70% memicu iskemia miokardium pada keadaan stress namun tidak pada saat istirahat sementara stenosis yang ketat (tight stenosis) > 90% sudah tidak terlihat lagi CFR dan dapat menurunkan aliran darah koroner bahkan saat istirahat. Stenosis yang dinamis pada arteri koroner dapat terjadi karena peningkatan tonus pada plak koroner eksentrik, vasospasme akibat hiperaktivitas sel otot vaskuler lokal, atau thrombosis intravaskuler.4 Pada keadaan arteri epikardial yang normal, hipertrofi miokardium dapat menurunkan CFR melalui beberapa mekanisme yaitu pertumbuhan vaskuler yang tidak adekuat jika dibandingkan pertumbuhan miokardium, penurunan area cross sectional resistensi vaskuler akibat hipertrofi vaskuler, dan penekanan pada pembuluh darah koroner intramural oleh peningkatan resistensi ekstravaskuler. Selain itu, hipertrofi juga meningkatkan kebutuhan konsumsi oksigen pada saat istirahat sehingga akan menurunkan CFR. Pada keadaan arteri koroner epikardial dan massa miokardium yang normal, CFR masih dapat menurun jika terdapat peningkatan resistensi pada pembuluh darah kecil pre-arteriol.4 Pada stress echocardiography, iskemik miokardium dideteksi melalui induksi perburukan fungsi regional jantung yang sementara selama stress. Tanda stress echo adanya iskemik yaitu perburukan fungsi yang diinduksi oleh stress pada 78 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

regio yang memiliki kontraksi normal pada saat istirahat. Tanda stress echo viabilitas miokardium yaitu perbaikan fungsi yang diinduksi oleh stress selama stress tingkat rendah pada regio yang abnormal saat istirahat. Ketidakseimbangan kebutuhan dan antaran oksigen regional yang sementara menyebakan iskemik miokardium, yang merupakan tanda dan gejala yang dapat digunakan sebagai alat diagnostik. Iskemik miokardium berakibat pada serangkaian kejadian khas dimana berbagai penanda terjadi berurutan berdasarkan rangkaian waktu yang telah ditentukan.5 Heterogenitas aliran darah, khususnya antara perfusi subendokardial dan subepikardial, merupakan peristiwa awal iskemia yang diikuti oleh perubahan metabolik, perubahan fungsi mekanik regional, dan pada tahap yang lebih lambat yaitu perubahan pada elektrokardiografi, disfungsi global ventrikel kiri, dan nyeri.6 Konsep patofisiologi kaskade iskemia diterjemahkan secara klinis ke tingkat sensitivitas penanda klinis iskemia yang berbeda dimana nyeri dada berada pada tingkat yang paling rendah dan malperfusi regional menjadi yang paling sensitif. Hal ini menjadi konsep dasar pada kelebihan teknik pencitraan seperti pencitraan perfusi atau stress echocardiography dibandingkan elektrokardiografi (EKG) untuk mendeteksi PJK secara non invasif. Berkurangnya kapasitas koroner merupakan mekanisme patofisiologi umum. Apapun stress dan substrat metabolik yang digunakan, iskemia cenderung untuk menjalar sentrifugal terhadap kavitas ventrikel. Hal ini utamanya melibatkan lapisan subendokardial sementara lapisan subepikardial hanya dipengaruhi pada tahap lanjut ketika 79 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

iskemia menetap. Kenyataannya, tekanan ekstravaskuler lebih tinggi pada subendokardial dibandingkan subepikardial sehingga memicu kebutuhan oksigen yang lebih tinggi (tegangan pada dinding merupakan salah satu penentu utama konsumsi oksigen miokardium) dan peningkatan resistensi terhadap aliran darah. Jika tidak ada PJK, CFR dapat diturunkan pada penyakit mikrovaskuler (misalnya sindrom X) atau hipertrofi ventrikel kiri (misalnya hipertensi arterial). Pada kondisi ini, angina dengan depresi segmen ST dapat terjadi tanpa adanya perubahan perfusi regional, khususnya jika tidak terdapat abnormalitas gerakan dinding saat stress. Abnormalitas gerakan dinding lebih spesifik dibandingkan CFR dan atau perubahan perfusi untuk mendiagnosis PJK.6 Tiga stressor yang paling umum digunakan yaitu uji latih (exercise), dobutamin, dan dipiridamol. Uji latih merupakan bentuk asli stress iskemik dan paling sering digunakan. Stress farmakologi meminimalisir faktor-faktor seperti hiperventilasi, takikardia, hiperkontraksi dari dinding yang normal, dan gerakan dinding dada yang berlebihan yang menyebabkan pemeriksaan ultrasonik sulit dilakukan selama uji latih. Semua faktor tersebut mengurangi kualitas gambar dimana penurunan kualitas gambar dapat menyebabkan variabilitasi interpretasi menjadi semakin tinggi dan keakuratan diagnostik menjadi lebih rendah.7 Dipiridamol (atau adenosin) dan dobutamin bekerja pada reseptor yang berbeda. Dobutamin menstimulasi adrenoreseptor sementara dipiridamol (yang menyebabkan akumulasi adenosin) menstimulasi reseptor adenosine. Iskemia terinduksi melalui mekanisme hemodinamik yang berbeda di mana dobutamin 80 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

utamanya meningkatakan kebutuhan oksigen miokardium sementara dipiridamol (atau adenosin) utamanya menurunkan aliran darah subendokardial (Tabel 1). Ketika terdapat aterosklerosis, dilatasi arterior secara paradoks dapat menimbulkan efek yang berbahaya pada lapisan atau area miokardium yang telah mendapatkan perfusi yang baik saat istirahat sebagai ganti terhadapt area atau lapisan dengan aliran darah yang sulit pada kondisi istirahat.7 Tabel 1. Stress Farmakologi Vasodilator Dobutamin Target reseptor A2 adenosine Adrenoreseptor Mekanisme Mungurangi alpha1;beta1;beta2 hemodinamik pasokan Meningkatkan Target fisiologis Arteriol koroner pasokan Miokardium Target seluler Sel otot polos Miosit Antidot Aminofilin β-blocker Stress Dipiridamol Dobutamin (Adenosin) (Disadur dengan modifikasi dari Sicari R, et al. Eur J Echocardiogr 2008; 9(4): 415-37) Pada vertical steal, keadaan anatomi yang dibutuhkan yaitu adanya stenosis arteri koroner epikardial dan aliran darah pada subendokardium yang berasal dari lapisan subendokardium. Mekanisme yang mendasari vertical steal yaitu penurunan tekanan perfusi melewati area stenosis. Ketika terdapat stenosis koroner, pemberian vasodilator koroner menyebabkan penurunan bermakna pada tekanan post-stenotik, yang kemudian memicu penurunan aliran darah subendokardium absolut bahkan ketika terdapat overperfusi subepikardial. Penebalan regional terkait erat dengan subendokardial daripada 81 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

aliran darah transmural dan hal ini menjelaskan asinergi regional ketika terdapat iskemia, meskipun aliran darah transmural regional meningkat. Karena kebutuhan oksigen endokardium lebih tinggi dibandingkan epikardium, pembuluh darah resistensi pada endokardium lebih dilatasi daripada subepikardium, yang akhirnya menyebabkan hipoperfusi selektif subendokardial.6 Terjadinya horizontal steal membutuhkan adanya sirkulasi kolateral antara dua vascular bed dimana korban steal yaitu mioardium yang diperdarahai oleh pembuluh darah yang lebih stenotik. Cadangan vasodilatasi arteriol pasti masih ada, setidaknya sebagian, pada pembuluh darah donor dan berkurang pada pembuluh darah yang menerima aliran darah kolateral. Setelah vasodilatasi, aliran darah di sirkulasi kolateral menurun dibandingkan pada saat istirahat. Meskipun dengan mekanisme patofisiologi yang berbeda, induksi iskemia ketika dilakukan dengan teknik yang tepat, tes dipiridamol dan dobutamin menunjukkan keakuratan diagnostik yang sama.8 2.3 Indikasi Stress Echocardiography Kecurigaan penyakit jantung koroner dapat dinilai melalui pre-test probability (PTP). Nilai PPT merupakan model prediktif yang dapat digunakan untuk menilai probabiltas PJK obstruktif berdasarkan data usia, jenis kelamin, dan karakteristik gejala yang dikeluhkan sebelum uji diagnostik dilakukan Uji diagnostik non-invasif dilakukan apabila nilai PPT antara 15-75% (Tabel 2). Salah satu pemeriksaan diagnostik non invasif yang dianjurkan yaitu stress echocardiography.9 Pada pasien dengan PTP <15% (low risk) tidak diperlukan pemeriksaan diagnostik lanjutan karena risiko kematian atau infark miokard pada populasi ini 82 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

<1%. Pada kelompok pasien dengan nilai PPT antara 5-15%, pemeriksaan uji diagnostik non-non invasif dapat dipertimbangkan apabila terdapat data klinis tambahan yang dapat meningkatkan kemungkinan PJK (Tabel 3), keluhan yang sangat mengganggu.2 Tabel 2. Probabilitas pre test PJK berdasarkan karakteristik keluhan, usia, dan jenis kelamin Tipikal Atipikal Non-Angina Dispneu Laki Perempu Laki Perempu Usia Laki Perempu Laki Perempu an an an an 1% 1% 0% 3% 30- 3% 5% 4% 3% 3% 2% 12 3% 39 % 11% 3% 20 9% 40- 22% 10% 10% 6% % 22% 6% 27 14% 49 % 24% 10% 32 12% 50- 32% 13% 17% 6% % 59 60- 44% 16% 26% 11% 69 70+ 52% 27% 34% 19% (Disadur dengan modifikasi dari Knuuti J, et al. European Heart Journal 2019;41(3):407- 77) 83 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tabel 3. Data klinis tambahan dalam menilai kemungkinan adanya PJK Meningkatkan kemungkinan Menurunkan kemungkinan PJK PJK EKG abnormal saat istirahat Normal Treadmill test Mempunyai faktor risiko Agastan score = 0 pada penyakit kardiovaskular penilaian skor kalsium (dislipidemia, diabetes, dengan CT hipertensi, merokok, riwayat keluarga PJK) Disfungsi LV yang dicurigai akibat PJK Hasil Treadmill test abnormal Nilai Skor Kalsium CT abnormal (Disadur dengan modifikasi dari Knuuti J, et al. European Heart Journal 2019;41(3):407- 77) American society of echocardiography (ASE) merekomendasikan pemeriksaan stress echocardiography pada pasien dengan gejala atau yang dicurigai memiliki PJK yang dapat dilihat pada tabel 4, yang secara umum indikasi dari tes ini yaitu:3 - Diagnosis penyakit jantung koroner - Prognosis dan stratifikasi risiko (misalnya pada pasien post infark miokard) - Evaluasi setelah tindakan revaskularisasi - Penilaian risiko preoperatif - Evaluasi penyebab sesak nafas saat aktivitas 84 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tabel 4. Rekomendasi Stress Echocardiography pada pasien dengan gejala atau yang dicurigai coronary artery disease (CAD) stabil. Rekomendasi pemeriksaan non ivasif Kelas Tingkat untuk penyakit jantung iskemik rekomendasi Bukti B Pada pasien yang dicurigai CAD stabil, I B PTP intermediate dan EF normal, stress B imaging, seperti stress echocardiography, B dipilih sebagai tes pilihan awal I Pada pasien dengan angina tipikal, imaging stress test, seperti stress echocardiography, direkomendasikan sebagai tes awal untuk diagnosis CAD stabil jika PTP tinggi atau LVEF I menurun Pada pasien yang dicurigai CAD dengan EKG saat istirahat abnormal, yang menghalangi interpretasi perubahan EKG yang akurat saat stress, imaging stress test, seperti stress echocardiography, direkomendasikan I Stress echocardiography merupakan tes pilihan pada perempuan dengan indikasi tes pencitraan non- invasif yang diketahui atau dicurigai CAD karena aman (tidak ada radiasi pada payudara), dan spesifisitas yang lebih tinggi (tidak ada artefak yang dipengaruhi payudara) 85 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

ESE merupakan tes pilihan pada anak- I B anak yang dicurigai IHD karena tidak ada I B radiasi pada jaringan yang masih I B berkembang dan tidak dibutuhkan pemasangan infus intravena, serta dapat IIa B dilakukannya penilain kapasitas latihan IIa B yang penting untuk ke depannya Tes stress farmakologi, seperti DSE, direkomendasikan pada pasien-pasien di atas yang tidak dapat melakukan uji latih (exercise) Stress echocardiography merupakan tes pilihan pada pasien dengan keluhan sesak saat istirahat yang penyebabnya belum diketahui. Pada pasien tersebut, selain penilaian gerakan dinding regional, tricuspid regurgitation velocity dan fungsi diastolic sebaiknya dinilai saat istirahat dan saat stress. Imaging stress test, seperti stress echocardiography, sebaiknya dipertimbangkan pada pasien yang sebelumnya menjalani revaskularisasi arteri coroner (PCI atau CABG) dan gejala kardiak yang baru Imaging stress test, seperti stress echocardiography, sebaiknya dipertimbangkan untuk menilai severitas fungsional lesi intermediate pada angiografi koroner. 86 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Rekomendasi stratifikasi risiko stress Kelas Tingkat menggunakan tes iskemik rekomendasi Bukti B Imaging stress test, seperti I B echocardiography untuk stratifikasi risiko B direkomendasikan pada pasien dengan Tingkat exercise ECG yang tidak dapat Bukti C disimpulkan I Imaging stress test, seperti stress C echocardiography, direkomendasikan untuk stratifikasi risiko pada pasien yang diketahui dengan CAD dan perburukan gejala jika lokasi dan luasnya iskemia akan mempengaruhi pengambilan keputusan klinis IIb Pada pasien asimtomatik dengan diabetes, penyakit vaskuler perifer, atau riwayat keluarga dengan CAD yang kuat, atau ketika tes penilaian risiko sebelumnya menunjukkan risiko tinggi CAD, misalnya skor kalsium arteri koroner ≥ 400, imaging stress test, seperti stress echocardiography, dapat dipertimbangkan untuk penilaian risiko kardiovaskuler yang lebih lanjut. Kelas rekomendasi Rekomendasi re-assessment pada pasien dengan I CAD stabil Exercise ECG atau stress imaging test seperti stress echocardiography direkomendasikan jika terdapat gejala baru atau berulang jika instabilitas telah dapat disingkirkan I Pada pasien simtomatik dengan CAD stabil yang telah direvaskularisasi, stress imaging test seperti stress echocardiography lebih diindikasikan 87 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook