Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore EDISI 1 BULETIN KARDIOLOGI

EDISI 1 BULETIN KARDIOLOGI

Published by khalidsaleh0404, 2021-07-20 15:16:52

Description: EDISI 1 BULETIN KARDIOLOGI

Search

Read the Text Version

Gambar 8. Cine Angiography yang menunjukkan aneurisma sakular pada mid LADyang dilakukan Modified Stent-Assisted Coil Embolization (Kawsara et al., 2018) Dengan teknik ini, mikrokateter biasanya ditempatkan di aneurisma sebelum stenting. Sebuah stent koroner kemudian ditempatkan di segmen aneurisma pada tekanan rendah, dan coil (kumparan) kemudian dapat dilewatkan melalui mikrokateter untuk membungkus stent. Post-dilatation stent kemudian dilakukan. Kumparan tambahan dapat dilakukan melalui stent struts jika diperlukan, tetapi ini bisa sulit dan biasanya tidak diperlukan. Modifikasi lain dari teknik ini disajikan pada gambar berikut. (Kawsara et al.,2018) 238 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 9. Ilustrasi teknik stent-assisted coiling (Kawsara et al., 2018) Berkenaan dengan CAA dengan angina stabil atau tanpa gejala, keputusan untuk mengintervensi arteri aneurisma agak menantang hingga saat ini. Studi CAAR tidak menemukan perbedaan utama saat membandingkan CABG vs PCI, yang menunjukkan efikasi dan keamanan PCI pada pasien dengan CAA, tetapi tidak termasuk bare metal stent karena kejadian MACE dan kematian yang lebih tinggi pada pasien ini. Namun, harus dicatat bahwa sebagai studi registri, CAAR juga memiliki keterbatasan karena sifatnya observasional, dan tidak memberikan informasi seperti yang dilakukan uji klinis.(Núñez-Gil et al., 2020) Namun, perlu dicatat bahwa kekhawatiran mengenai intervensi CAA perkutan masih ada dan juga harus dipertimbangkan, dan ini termasuk:(Zhu et al., 2020) 1) untuk mengurangi risiko stent thrombosis dan stent displacement, ukuran CAA yang tepat, panduan pencitraan intravaskular (IVUS) , micro-mesh stent, self-apposing stent, dan tambahan antikoagulasi jangka pendek harus dipertimbangkan; 2) untuk menghadapi beban trombus yang ekstensif, menggunakan kateter trombektomirheolitik dapat membantu; 239 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

3) penurunan deliverability seperti tortuositas yang berat, kalsifikasi vaskular, atau cabang samping (side-branch) yang berisiko, jika ada, covered stent harus diganti dengan teknik stent-assisted coil embolization karena sifatnya yang kaku dan besar. Pemilihan stent koroner sangat penting, dan diameter CAA memainkan peran penting sehubungan dengan komplikasi pasca prosedur seperti restenosis dan trombosis stent. Diameter yang kurang dari 3 mm berisiko lebih tinggi mengalami restenosis, dan yang lebih dari 4,5 mm berisiko rendah mengalami restenosis.(Vinod et al., 2020) Pada pasien ini PCI tidak menjadi pilihan dan tidak memungkinkan untuk dilakukan karena CAA terletak pada left main coronary artery, ukurannya besar dengan diameter >10 mm, dan melibatkan side branch mayor (bifurcatio). III.4.3 Intervensi Bedah Sampai saat ini, prosedur operasi pembedahan yang ideal belum diteliti secara sistematis. Terapi operatif direkomendasikan untuk aneurisma LMCA yang besar karena predisposisi terhadap terjadinya trombosis dan emboli. Penyakit arteri koroner obstruktif signifikan yang menyertai mungkin penting dalam membuat keputusan untuk intervensi bedah pada pasien dengan aneurisma LMCA. Tingkat keparahan stenosis yang signifikan mungkin memerlukan revaskularisasi dengan operasi bypass atau coated stent. Mengingat fakta bahwa strategi bedah terapeutik standar CAA tidak pasti karena kelangkaan bukti yang kuat, strategi yang disesuaikan untuk setiap pasien harus didasarkan pada evaluasi klinis yang komprehensif (informasi anatomi dan klinis individu), 240 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

yang mengidentifikasi strategi yang paling cocok secara individual sejauh ini hanya berdasarkan pengalaman klinis yang telah dipublikasikan.(Zhu et al., 2020) (Wakeyama et al., 2004) Ada beberapa indikasi untuk intervensi bedah pada CAA, yang menjadikan operasi sebagai terapi lini pertama atau bahkan satu-satunya pilihan pada pasien CAA. Indikasi ini secara umum adalah:(Zhu et al., 2020) 1) penyakit arteri koroner berat / penyakit katup penyerta; 2) CAA di dekat percabangan cabang besar; 3) CAA di left main stem; 4) CAA multipel atau giant (> 20 mm atau dilatasi > 4 kali lipat pembuluh darah normal); 5) komplikasi mekanis seperti pembentukan fistula, kompresi struktur jantung atauvaskular yang berdekatan; 6) kemungkinan ruptur yang tinggi seperti ukuran aneurisma atau pseudoaneurisma yangmembesar dengan cepat, atau bahkan ruptur; dan 7) CAA akibat penyakit Kawasaki (terutama dengan stenosis ostial, multipel, atausegmen panjang) / CAA yang terinfeksi. Penatalaksanaan bedah diindikasikan pada pasien simptomatik yang memiliki penyakit arteri koroner obstruktif atau bukti embolisasi yang menyebabkan iskemia miokard dan pada pasien CAA dengan risiko ruptur. Pembedahan juga diindikasikan pada kasus pembesaran arteri koroner utama kiri progresif seperti yang didokumentasikan oleh pengukuran angiografik serial. Penatalaksanaan bedah CAA biasanya melibatkan 4 jenis intervensi: (1) ligasi aneurisma dan bypass distal; (2) isolated CABG; (3) reseksi, atau (4) marsupialisasi dengan interposition graft. (Doustkami, Maleki and Tavosi, 2014) (Malik et al., 2016) 241 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Dalam sebuah laporan kasus, Izumi dkk melaporkan operasi emergensi pada pria berusia 37 tahun yang mengalami infark miokard akut dengan aneurisma LMCA. Angiografi koroner pra operasi menunjukkan aneurisma sakular besar LMCA dan oklusitotal arteri LAD. Selanjutnya dilakukan CABG emergensi ke LAD dengan arteri torakalis interna sinistra dan arteri LCX dengan vena safena, diikuti dengan ligasi dan eksklusi aneurisma LMCA, dan pasca operasi tidak ada komplikasi.(Izumi et al., 2004) Doustkami et al. juga melaporkan kasus aneurisma LMCA pada pria berusia 72 tahun dengan riwayat hipertensi yang datang karena angina tidak stabil. Elektrokardiogram menunjukkan depresi segmen-ST dan inversi gelombang-T pada sadapan prekordial. Ekokardiografi menunjukkan akinetik dinding anterior, septum, dan apeks, regurgitasi mitral ringan dan fraksi ejeksi 45%. Aneurisma koroner menunjukkan aneurisma sakular pada LMCA berukuran 21 × 18 mm disertai dengan stenosis 90% di bagian proksimal LAD, 99% stenosis di bagian proksimal LCX, dan 80% stenosis di bagian mid RCA. Pasien menjalani CABG dan ligasi aneurisma. Pasien menjalani rawat inap yang lancar dan dipulangkan dengan terapi aspirin dan warfarin. Setelah 6 bulan masa follow-up, pasien tetap asimtomatik.(Doustkami, Maleki and Tavosi, 2014) Meskipun CABG tanpa ligasi atau reseksi aneurisma dijelaskan dalam beberapa laporan, ligasi dan isolasi atau reseksi aneurisma diperlukan untuk menghindari ruptur atau embolisasi. Secara umum sulit untuk melakukan metode pendekatan LMCA secara langsung karena letaknya tepat di belakang arteri pulmonalis utama.(Izumi et al., 2004) Aneurisma aterosklerotik pada LMCA jarang terjadi. Intervensi 242 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

bedah berdasarkan status klinis pasien dan stenosis koroner terkait dianjurkan. Status penyakit aterosklerotik adalah faktor terpenting yang mempengaruhi hasil akhir. Operasi hendaknya didasarkan pada tingkat keparahan terkait stenosis koroner daripada hanya karena adanya aneurisma itu sendiri, hal ini direkomendasikan untuk CAA secara umum. (Enar et al., 2001) Secara umum penderita CAA yang menjalani intervensi bedah memiliki prognosis yang baik. (Wakeyama et al., 2004) Algoritma yang diusulkan untuk manajemen CAA dapat dilihat pada gambar berikut. (Zhu et al., 2020) Gambar 10. Algoritma yang diusulkan untuk penatalaksanaan aneurisma arterikoroner (Zhu et al., 2020) Berdasarkan algoritma di atas, pasien kami dengan CAA simptomatik dan terdapat severe coronary artery disease (CAD2VD + left main disease) dan aneurisma LMCA yang lokasinya 243 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

dekat/melibatkan bifurcatio cabang besar (LAD dan LCX) yang merupakan indikasi CABG dan surgical excision (reseksi atau ligasi aneurisma LMCA). Namun, pasien kami masih belum setuju untuk rencana tindakan pembedahan. Disamping hal tersebut tetap harus dilakukan modifikasi faktor resiko misalnya dengan pemberian antiplatelet (single atau dual), antikoagulan, ACE inhibitor atau ARB, dan statin. Pada pasien kami diberikan clopidogrel 75 mg/24jam/oral, warfarin 2 mg/24jam/oral, candesartan 8 mg/24 jam/oral, dan atorvastatin 20 mg/24 jam/oral. Follow up ketat juga perlu dilakukan yang dapat meliputi angiografi koroner atau MSCTA coronary dan ekokardiografi untuk evaluasi risiko komplikasi CAA seperti trombosis, embolisasi distal, obstruksi mekanis struktur yang berdekatan, diseksi, dan rupturnya aneurisma. Pasien kami belum direncanakan untuk dilakukan follow up angiografi koroner atas pertimbangan cost dan benefit yang kurang optimal terkait preferensi pasien untuk tidak dilakukan operasi atau intervensi lanjutan terhadap CAA nya. Pada pasien ini keluhan angina masih teratasi dengan terapi medikamentosa, namun sebenarnya tetap ada indikasi revaskularisasi terutama untuk tujuan prognosis dimana pada pasien ini terdapat left main disease dengan stenosis >50%, proximal LAD stenosis > 50%, CAD2VD dengan stenosis >50% disertai fungsi LV yang menurun (EF ≤ 35%) dengan kelas rekomendasi kelas I LOE A berdasarkan ESC/EACTS Guidelines on Myocardial Revascularization tahun 2018.(Neumann et al., 2019) Sehingga pada pasien ini memang selayaknya dilakukan usaha intervensi untuk revaskularisasi. Adanya diabetes mellitus, penurunan fungsi sistolik LV (EF ≤ 35%), 244 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

multivessel disease dengan SYNTAX score ≥ 23 (pada pasien ini 30), dan adanya indikasi untuk dilakukan intervensi pembedahan kardiak lainnya yaitu eksisi bedah CAA, maka CABG lebih direkomendasikan dibandingkan PCI pada pasien ini. Selain itu, intervensi PCI akan beresiko pada pasien ini, namun saat ini pasien juga masih menolak untuk dilakukan operasi. 245 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

BAB IV RINGKASAN Telah dilaporkan sebuah kasus seorang laki-laki 72 tahun dengan diagnosis angina pektoris stabil CCS III, heart failure reduced ejection fraction, hypertensive heart disease, dan DM tipe 2 non obese yang masuk ke perawatan dalam kondisi stabil dan direncanakan untuk angiografi koroner standby PCI. Hasil angiografi koroner menunjukkan adanya aneurisma yang besar pada LMCA dengan ukuran 11,86 mm x 9,10 mm dan aneurisma pada proximal LAD ukuran 5,18 mm x 4,44 mm, disertai stenosis yang signifikan pada distal LMCA 80%, proximal LAD 80%, dan proximal LCX subtotal oklusi 99%. Hasil ini didukung oleh MSCT Coronary dimana didapatkan hasil aneurisma pada distal LMCA dengan ukuran 12,08 mm x 9,32 mm. Berdasarkan hasil tersebut, pasien didiagnosa dengan coronary artery disease 2 vessels disease + left main disease, multiple coronary artery aneurysm (large distal left main CAA). Selanjutnya pasien dikonferensikan bersama bagian Bedah Thorax Kardiovaskular (BTKV) dan disarankan untuk dilakukan tindakan revaskularisasi dengan CABG dan eksisi aneurisma LMCA, namun pasien belum setuju untuk rencana tindakan pembedahan. Berkenaan dengan adanya aneurisma LMCA pada pasien ini, terapi antiplatelet dan antikoagulan juga diberikan untuk mencegah resiko terjadinya tromboemboli serta antagonis sistem RAA dan statin sebagaiantiinflamasi. Karena sangat jarangnya kasus aneurima LMCA maka belum ada standar atau konsensus mengenai kapan dan bagaimana cara terbaik untuk melakukan intervensi pada aneurisma LMCA. Sebagian besar tatalaksana CAA yang diusulkan saat ini hanya berdasarkan serangkaian kecil laporan kasus atau studi observasional. Sehingga pendekatan terapi individual untuk penatalaksanaan CAA dapat 246 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

didasarkan pada lokasi, perluasan, morfologi, komplikasi, dan etiologi CAA, serta presentasi klinis, dan karakteristik pasien. 247 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

DAFTAR PUSTAKA 1. Açar, B. et al. (2018) ‘Giant aneurysm of the left main coronary artery: A case report’, Journal of Tehran University Heart Center, 13(1), pp. 35–37. doi: 10.4103/sjmms.sjmms_47_18. 2. Alhamaydeh, M. et al. (2020) ‘Left Main Coronary Aneurysm : A Rare but a Serious Cause of Acute Myocardial Infarction’, 8(6), pp. 150–152. doi: 10.12691/ajmcr-8-6-4. 3. Doustkami, H., Maleki, N. and Tavosi, Z. (2014) ‘Left Main Coronary Artery Aneurysm’,pp. 41–45. 4. Enar, R. et al. (2001) ‘A Large Fusiform Aneurysm of the Left Main Coronary Artery : A Case Report’, (0212), pp. 588–590. 5. Guérios, Ê. E. et al. (2000) ‘Aneurysm of the Left Main Coronary Artery’, Arq Bras Cardiol, 75(6), pp. 534–536. doi: 10.1111/j.1540-8183.1994.tb00455.x. 6. Hernández-Mejía, B. I., Espinoza-Saquicela, E. R. and Saquicela, E. R. E. (2020) ‘GiantRight Coronary Artery Aneurysm’, Case Reports, 6(1), pp. 70– 76. doi: 10.1111/jocs.12779. 7. Izumi, Y. et al. (2004) ‘Emergent operation for aneurysm of the left main coronary artery presenting acute myocardial infarction.’, Annals of thoracic and cardiovascular surgery : official journal of the Association of Thoracic and Cardiovascular Surgeons of Asia, 10(3), pp. 195–197. 8. Kawsara, A. et al. (2018) ‘Management of Coronary Artery Aneurysms’, JACC: Cardiovascular Interventions, 11(13), pp. 1211–1223. doi: 10.1016/j.jcin.2018.02.041. 9. Lamblin, N. et al. (2002) ‘Polymorphisms in the promoter regions of MMP-2, MMP-3, MMP-9 and MMP-12 genes as determinants of aneurysmal coronary artery disease’, Journal of the American College of Cardiology, 40(1), pp. 43–48. doi: 10.1016/S0735- 1097(02)01909-5. 10. Lenihan, D. J., Zeman, H. S. and Collins, G. J. (1991) ‘Left main coronary artery aneurysm in association with severe atherosclerosis: A case report and review of the literature’, Catheterization and Cardiovascular Diagnosis, 23(1), pp. 28–31. doi: 10.1002/ccd.1810230108. 11. Lu, C. H. et al. (2019) ‘Prescribing patterns of coronary artery aneurysm in Taiwan’, 12. BMC Cardiovascular Disorders, 19(1), pp. 1–9. doi: 10.1186/s12872-019- 1172-6. 13. Malik, F.-T.-N. et al. (2016) ‘Correction of a coronary artery aneurysm with a polytetrafluoroethylene-Covered stent: Case report’, Clinical Research and Trials, 3(1), pp. 1–2. doi: 10.15761/crt.1000166. 14. Merchán, A. et al. (2002) ‘Giant left main coronary aneurysm without associated coronary lesions’, Revista Espanola de Cardiologia, 55(3), pp. 308–311. doi: 10.1016/s0300-8932(02)76600-1. 248 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

15. Neumann, F. J. et al. (2019) ‘2018 ESC/EACTS Guidelines on myocardial revascularization’, European Heart Journal, 40(2), pp. 87–165. doi: 10.1093/eurheartj/ehy394. 16. Nichols, L., Lagana, S. and Parwani, A. (2008) ‘Coronary Artery Aneurysm A Review and Hypothesis Regarding Etiology’, Arch Pathol Lab Med, 132, pp. 823–828. doi: 10.1136/bmj.2.5209.1344. 17. Núñez-Gil, I. J. et al. (2020) ‘Coronary artery aneurysms, insights from the international coronary artery aneurysm registry (CAAR)’, International Journal of Cardiology, 299(xxxx), pp. 49–55. doi: 10.1016/j.ijcard.2019.05.067. 18. Rath, S. et al. (1985) ‘Fate of nonobstructive aneurysmatic coronary artery disease: Angiographic and clinical follow-up report’, American Heart Journal, 109(4), pp. 785– 791. doi: 10.1016/0002-8703(85)90639-8. 19. Sheikh, A. et al. (2019) ‘Coronary artery aneurysm: Evaluation, prognosis, and proposed treatment strategies’, Heart Views, 20(3), p. 101. doi: 10.4103/heartviews.heartviews_1_19. 20. Syed, M. and Lesch, M. (1997) ‘Coronary artery aneurysm: A review’, Progress in Cardiovascular Diseases, 40(1), pp. 77–84. doi: 10.1002/clc.4960291005. 21. Topaz, O. et al. (1991) ‘Angiographic features of left main coronary artery aneurysms’, The American Journal of Cardiology, 67(13), pp. 1139–1142. doi: 10.1016/0002- 9149(91)90881-K. 22. Varda, R., Chitimilla, S. K. and Lalani, A. (2012) ‘Coronary Anomalies: Left Main Coronary Artery Aneurysm’, Case Reports in Cardiology, 2012, pp. 1– 3. doi: 10.1155/2012/954951. 23. Villano, N. P., Kwon, M. and Ardehali, R. (2018) ‘Distal left main coronary artery aneurysm resection during 5-vessel coronary artery bypass grafting’, Texas Heart Institute Journal, 45(2), pp. 99–101. doi: 10.14503/THIJ-17- 6230. 24. Villines, T. C., Avedissian, L. S. and Elgin, E. E. (2005) ‘Diffuse nonatherosclerotic coronary aneurysms: An unusual cause of sudden death in a young male and a literature review’, Cardiology in Review, 13(6), pp. 309–311. doi: 10.1097/01.crd.0000159579.77038.dc. 25. Vinod, V. C. et al. (2020) ‘Proximal Left Main Coronary Artery Aneurysm Presenting asST-Elevation Myocardial Infarction Treated by Stenting’, Case Reports in Cardiology, 2020, pp. 1–6. doi: 10.1155/2020/8833917. 26. Wakeyama, T. et al. (2004) ‘Complete proximal occlusion of all three main coronary arteries complicated with a left main coronary aneurysm: A case report’, Journal of Cardiology, 44(5), pp. 201–205. 27. Zhu, X. et al. (2020) ‘Challenges and strategies in the management of coronary artery aneurysms’, Hellenic Journal of Cardiology, pp. 1–9. doi: 10.1016/j.hjc.2020.09.004. 249 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

70 YEARS OLD MALE INCCIDANTELLY BAGIAN ACUTE AORTIC SYNDROMES DO WE NEED AN INTERVENTION ? VIII Khairani Ummah, Idar Mappangara BAB I PENDAHULUAN Aorta, yang disebut 'arteri terbesar' oleh orang dahulu, adalah pembuluh utama yang membawa sekitar 200 juta liter darah ke tubuh dalam rata-rata seumur hidup. Secara anatomis, itu dibagi menjadi komponen toraks dan perut yang masing- masing terletak di atas dan di bawah diafragma. Aorta toraks dibagi menjadi radiks aorta dan segmen asendens, lengkung, dan desendens; dan aorta abdominalis kesuprarenal dan . segmen infrarenal .(Bossone, Labounty and Eagle, 2018) Sebagai 'seluruh organ', aorta dapat dipengaruhi oleh beberapa penyakit bawaan atau didapat, baik akut maupun kronis, yang melibatkan komponen toraks dan/atau abdomen (pendekatan holistik).Sindrom aorta akut adalah konstelasi medis yang mengancam jiwa. kondisi, termasuk diseksi aorta akut klasik (AAD), intramural. hematoma (IMH), penetrasi ulkus aorta aterosklerotik (PAU). (bahkan ruptur aorta toraks), yang memiliki jalur patofisiologis yang sama (kerusakan intima dan media), karakteristik klinis, dan tantangan diagnostik dan terapeutik. .(Bossone, Labounty and Eagle, 2018) The International Registry of Aortic Dissection (IRAD) merupakan multicenter unik, upaya kolaboratif dikembangkan untuk menjelaskan presentasi, evaluasi, manajemen, dan hasil pasien dengan sindrom aorta akut. Karena volume registri, (n 1000), IRAD mewakili sumber daya yang unik untuk mengeksplorasi kontroversi 250 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

pada sindrom aorta akut. .(Bossone, Labounty and Eagle, 2018)(Song, 2004) Sindrom aorta akut adalah istilah modern yang mencakup diseksi aorta, hematoma intramural (IMH), dan ulkus aorta simptomatik. Dalam pengertian klasik, diseksi aorta akut membutuhkan robekan pada intima aorta yang biasanya didahului oleh degenerasi dinding medial atau nekrosis media kistik. Darah melewati robekan yang memisahkan intima dari media atau adventitia, menciptakan lumen palsu. Kebanyakan diseksi dapat berlangsung secara anterograde atau retrograde dari robekan awal yang melibatkan cabang samping dan menyebabkan komplikasi seperti sindrom malperfusi, tamponade, atau insufisiensi katup aorta.(Tsai, Nienaber andEagle, 2005) Baik kondisi yang didapat maupun genetik memiliki jalur yang sama yang mengarah pada kerusakan integritas intima. Semua mekanisme yang melemahkan lapisan media aorta pada akhirnya akan menyebabkan tekanan dinding yang lebih tinggi, yang dapat menyebabkan dilatasi aorta dan pembentukan aneurisma, yang pada akhirnya mengakibatkan perdarahan intramural, diseksi aorta, atau ruptur. .(Tsai,Nienaber and Eagle, 2005) Sindrom Marfan, sindrom Ehlers-Danlos vaskular, ektasia annuloaorta, katup aorta bikuspid, dan diseksi aorta familial adalah kondisi genetik yang sering menyebabkan sindrom aorta akut. Denominator umum untuk kelainan genetik yang berbeda ini adalah patofisiologi serupa yang mencakup diferensiasi sel otot polos pembuluh darah dan peningkatan elastolisis komponen dinding aorta, yang mengarah pada gangguan intima dan diseksi aorta. riwayat keluarga pada pasien yang didiagnosis dengan sindrom aorta akut atau kematian mendadak sangat penting dalam menilai kebutuhan skrining keluarga.(Sundt, 2007) 251 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

BAB II LAPORAN KASUS Pasien laki-laki 70 tahun datang ke instalasi gawat darurat pusat jantung terpadu dengan keluhan utama nyeri dada yang dirasakan sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada yang dirasakan menjalar ke lengan sebelah kiri dan disertai keringat dingin. Nyeri dada dirasakan dengan durasi > 20 menit dan seperti tertekan didaerah dada dan sekitarnya. Nyeri dada dirasakan semakin memberat. VAS saat tiba di IGD 7/10. Mual dan muntah dirasakan tidak ada. Batuk dan demam tidak ada. Sesak nafas tidak ada. Riwayat sesak nafas ada, dirasakan sebulan yang lalu. Riwayat hipertensi ada dan diabetes tidak ada.Riwayat merokok tidak ada. Riwayat penyakit jantung dalam keluarga tidak ada. Riwayat berobat rutin di spesialis jantung sejak 4 bulan yang lalu dan diberikan terapi Micardis 80 mg, fargoxin 0.25 mg dan simarc 2 mg. Dari pemeriksaan tanda vital didapatkan tensi 190/120 mmhg, nadi : 90 kali permenit irregular pernafasan 24x/menit dan suhu 36.6. Pemeriksaan fisis didapatkan konjungtiva tidak tampak anemis dan icterus, bunyi nafas vesikuler, tidak ada ronkhi maupun wheezing .Bunyi jantung S1 tunggal dan S2 fixed split,Murmur sistolik di apex dengan derajat 4/6 dan tidak ada edema tungkai. Dilakukan pemeriksaan tambahan yaitu elektrokardiografi dengan hasil sebagai berikut . 252 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 1 : Elektrokardiografi di PJT 23 Oktober 2020 Kesan : Atrial Fibrilasi Normoventrikular respon. Dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium denganhasil sebagai berikut: WBC 13.7 103/mm3 4-10 x 103/mm3 N/L/M/E/B 88,6/5,5/5,1/0.8/0.2 HGB 14,4 g/dl 12-16 PLT 183000 103/mm3 150-400 x 103/mm3 RBG 165 mg/dl 140 SGOT 32 U/L < 38 SGPT 22 U/L < 41 UREUM 46 mg/dl 10-50 CREATININ 1,49 mg/dl L(<1,3) P<(1,1) PT/APTT 12,7/26,7 second 10-14/22,0-30,0 INR 1.25 - - HsTrop I 8.9 mlU/ml 15-50 Na 141 mmol/L 136-145 K 4.7 mmol/L 3,5-5,1 Cl 106 Mmol/L 97-111 Dari pemeriksaan enzim jantung yaitu troponin I dan juga dari pemeriksaan elektrokardiografi Pasien didiagnosis dengan unstable 253 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

angina pectoris, atrial fibrilasi normoventricular respon, hypertensive heart disease dan Suspek Vulvular heart disease dan direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Sementara itu pasien diberikan terapi dual antiplatelet, high intensitystatin,antikoagulan subkutan,antihipertensi ( Gol ARB) dan B blocker. Karena procedural penangan pencegahan COVID 19 pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan swab nasofaring dan juga CT Scan Thoraks, dimana hasil Swab pasien negative dan pasien selanjutnya dilakukan pemeriksaan CT scan Thoraks tanpa kontras dan didapatkan hasil sebagai berikut : - Cardiomegaly disertai atherosclerosis aortae dan cabang-cabang arteri coronaria - Fibrotik segmen medial lobus medius pulmo dextra. Di hari kedua perawatan keluhan nyeri dada masih ada, nyeri seperti teriris didaerah dada bagian tengan dan menjalar ke kiri. Kadang dirasakan dipengaruhi posisi , sesak nafas dirasakan hilang timbul dan dipengaruhi saat nyeri dada. Pasien juga mengeluh kencing bercampur darah. Dan diputuskan untuk menunda pemberian anticoagulant secara subkutan. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan urinalisa dengan hasil sebagai berikut: 254 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Urinalysis +++ +++ Protein +++ Blood 2058 Leukocyte Erythrocyte 51 sediment Leukocyte sediment Pasien dikonsulkan ke teman sejawat Ginjal Hipertensi untuk memonitoring penurunan fungsi ginjal. Dilakukan evaluasi berkala pemeriksaan creatinin dengan hasil sebagai berikut : 26/10/20 29/10/20 31/10/20 2/10/20 3/10/20 Ureum 64 71 64 82 81 Kreatinin 1.39 1.45 1.62 2.26 2.10 Dari TS GH pasien didiagnosis dengan Aki dd/ acute on CKD dan diberikan terapi nefrosteril 250 ml/24 jam/intravena. Dari evaluasi pemeriksaan fungsi ginjal dicurigai adanya proses malperfusi yang bisa saja disebabkan karena tidak addekuatnya aliran darah menuju ke ginjal yanag bisa saja disebabkan karena masalahdari pembuluh darah coroner ataupun dari pembuluh darah aorta. Dari pemeriksaan urinalisa didapatkan tanda infeksi saluran kemih dan pasien diberikan terapi tambahan moxilofloxacin 400 mg/24 jam/intravena. Pada hari ke 8 perawatan pasien masih mnegeluhkan nyeri dada yang hilang timbul dan nyeri seperti teriris ,pasien juga mengeluhkan sesak nafas, dan batu disertai lendir 255 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

berwarna putih, diputuskan untuk konsul ke TS Pulmonologi untuk dilakukan evaluasi dan dilakukan pemeriksaan foto thoraks,dengan hasil sebagi berikut : Gambar 2 : Foto thoraks 31/11/2020 - Bronkopneumonia bilateral - Aorta overdilatasi suspek aortic aneurysm - Efusi minimal pleura sinistra - Cardiomegaly disertai tanda bendungan paru Dari hasil foto thoraks didapatkan adanya tanda dari bronkopneumonia bilateral. Dari TS Pulmonologi memberikan terapi meropenem 1gr/12 jam/intravenan karena sebelumnya pasien telah diberikan terapi moxilofloxacin dari TS ginjal hipertensi Setelah dilakukan pemeriksaan foto thoraks dengan gambaran overdilatasi dari aorta pasien kami curigai dengan diseksi aorta dan diputuskan untuk memeriksakan D-dimer D-dimer 17,3 256 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Pemeriksaan D dimer merupakan sebuah biomarker untuk kasus- kasus akut aortic syndrome dan ketika didapatkan peningkatan dari d dimer sudah dapat dicurigai adanya sindrom akut aorta , maka dari itu dibutuhkan pemeriksaan lanjutan yaitu MSCT Scan abdomen,dan didapatkan hasil sebagai berikut: - aneurisma fusiform arcus aorta setelah percabangan arteri subclavia kiri,aorta descenden sampai aorta abdominalis (setinggi bifurcation a.iliaca communis ) disertai thrombus ( Standford tipe B) - Penetrating atherosclerosis ulcer segmen proximal aorta abdominalis - Intramural hematoma arcus aorta sampai aorta ascenden - Dilatation a.iliaca communis sampai a.iliaca eksterna bilateral dengan tortous a.iliaca communis dextra. Gambar 3 : Ms CT Scan Thorakoabdominal Dari pemeriksaan Ct scan Abdomen didapatkan adanya Penetrating aortic ulcer disegmen proximal aorta abdominalis dan dan adanya gambaran intramural hematoma pada arcus aorta 257 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

sampai aorta ascenden, maka pasien didiagnosis dengan Sindrom akut aorta yaitu Intramural Hematoma dan Penetratic Aotic Ulcer, Dan terapi anticoagulant dan antiplatelet dihentikan. Terapi yang diberikan selanjutnya adalah farsorbid 10 mg/8 jam/oral, amlodipine 10 mg/24 jam/oral, atorvastatin 40 mg/24 jam/oral, carvedilol 12.5 mg/12 jam/oral. Pasien diedukasi mengenai penyakit yang diderita dan direncanaka untuk dilakukan penanganan operatif namun pasien belum setuju untuk dilakukan tindakan apapun. Pada perawatan hari ke 16 pasien semakin membaik, keluhan nyeri dada dirasakan banyak berkurang.sesak nafas juga berkurang.Tidak ada hematuria dan tidak ada BAB hitam. Pasien akhirnya dipulangkan dan disarankan untuk control rutin dipoliklinik dan menghindari kegiatan fisik yang berat. 258 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

BAB III PEMBAHASAN Sindrom aorta akut, serangkaian kondisi yang sangat morbid yang ditandai dengan nyeri dada yang tiba-tiba, termasuk diseksi aorta klasik (AD) dan perdarahan aorta intramural dengan perjalanan klinis yang bervariasi. Meskipun ada konsensus tentang definisi dan pengobatan klasik AD, pendekatan untuk hematoma intramural akut (IMH) dari aorta tetap sulit dipahami. Sebagian besar kontroversi berasal dari pengetahuan yang tidak lengkap tentang sejarah alamnya. (Ohle et al., 2020) Aorta adalah arteri terbesar di tubuh. Berasal dari ventrikel kiri jantung (ruang utama yang memompa darah keluar dari jantung) dan diisi dengan darah kaya oksigen yang mengalir ke seluruh tubuh. Pada kasus ini pasien didiagnosis awal sebagai sebuah unstable angina pectoris dimana klinis dari pasien dengan aortic syndrome juga sangat mirip dengan kasus UAP.Dimana pada awal masuk ke rumah sakit pasien memiliki riwayat nyeri dada yang khas, yang mengarahkan pasien didagnosis dengan ACS namun sejalan perawatan pasien masih mnegalami nyeri dada dan adanya kecurigaan sindrom malperfusi yang mengarahkan ke diagnosis problem aorta. Dalam kasus ini pasien didapatkan gambaran Intramural hematoma dan Penetrating aortic ulcer pada pemeriksaan CT scan. Hematoma intramural aorta (IMH) adalah suatu kondisi yang ditandai dengan kebocoran darah melalui lapisan terdalam dinding aorta dan mengalir di antara dinding dalam dan luar. Kebocoran ini tidak terjadi karena robekan pada dinding aorta dan oleh karena itu, kondisi ini sulit didiagnosis hingga saat ini. Meskipun kondisinya mirip dengan, dan pernah dianggap sebagai jenis diseksi aorta, komunitas medis sekarang menganggap IMH aorta sebagai kondisi yang 259 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

berbeda karena tidak ada robekan pada dinding aorta saat kondisi tersebut terjadi.(Evangelista et al., 2005) IMH aorta dapat menyebabkan kondisi tambahan, seperti suplai darah yang buruk ke organ lain, dan dapat terjadi di mana saja di dalam aorta. Dimana diwal perawatan pasien mengalami penurunan fungsi ginjal yang dinilai dari meningkatnya kreatinin yang dimana menjadi sebuah kecurigaan akan proses malperfusi pada aliran darah ke ginjal. Entitas yang radiologis berbeda dari diseksi klasik, tanpa tutup intima yang jelas. Penetrasi ulkus aterosklerotik (Penetrating Atherosclerotic Ulcers/PAU), kawah terlihat meluas ke dinding aorta dan berhubungan dengan hematoma dalam media dinding aorta. Hematoma intramural (Intramural Aortic Haematoma/IMH) hadir dimana penebalan signifikan atau peningkatan dari dinding aorta terlihat dengantidak adanya gap atau diseksi. Gambaran klinis dari kedua varian ini mungkin berbeda dari diseksi. Pasien dengan PAU/IMH lebih tua dibanding dengan pasien diseksi tipe A dan B, dan dengan demikian paling umum diantara tujuh dan sembilan dekade. (Bischoff et al., 2011) Pasien dengan PAU/IMH hampir selalu hipertensif (94%). Menembus ulkus aterosklerotik dan Hematoma intramural paling umum dalam aorta desenden (90%dan 71%, masing-masingnya). Penetrasi ulkus aterosklerotik dan Hematoma intramural cenderung muncul dalam banyak aorta yang terdilatasi dan memiliki hubungan dengan aneurisme aorta abdominal. Presentasi ini dengan nyeri dada anterior atau posterior adalah sama, dan dapat dibedakan dari diseksi klasik. Dalam satu tinjauan terhadap 200 kasus yang menunjukkan diseksi aorta, seper sembilan kasus telah diklasifikasi kembali pada PAU ataupun IMH. Namun, PAU/IMH umumnya tidak menyebabkan kompromi badan arteri dan dengan demikian iskemia limbik distal atau iskemia kompromi, cenderung menjadi fokal tanpa 260 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

propagasi. (Corvera, 2016; Salim et al., 2020) Faktor resiko pada kasus ini dimana pasien dengan hipertensi dan usia tuayang dimana itu adalah kausa penting dalam terjadinya akut aortic syndrome. Gambar 4 : Aortic dissection, intramural hematoma, and penetrating atherosclerotic ulcer. (Tsai, Nienaber and Eagle, 2005) Hematoma aorta intramural terjadi ketika darah terakumulasi dalam media vesel tanpa adanya ap. Formasi dari IMH bisa mengikuti ruptur dari vasa vasorum, atau dari luasnya sebuah PAU (yang diidenti kasi dalam 20% IMH). Luas IMH terhadap intima bisa membuat diseksi berair dan subsekuen. Meski mungkin level lingkaran dalam dinding dimana IMH yang muncul menentukan apakah diseksi adalah akut atau hematoma yang berkembang. Hal ini bisa jadi jika darah berkumpul lebih dekat pada adventitia, dimana kecil kemungkinan dari ruptur intimal. Hal ini juga akan menjelaskan tingginya tingkat ruptur eksternal dengan IMH, yang cenderung menjadi lebih ganas dibanding diseksi aorta desending tipikal. (Morello et al., 2021) 261 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Diagnosis IMH memerlukan identifikasi dari meluasnya dinding aorta, biasanya <15 mm, tanpa koneksi dengan lumen aorta. Secara ekokardiografi, diagnostik ketebalan dinding aorta >7 mm; adanya zona echo-lucent yang terlihat dalam ketebalan aorta bulan sabit. (Salmasi et al., 2020) D-dimer adalah biomarker diagnostik yang paling banyak tersedia untuk uji diagnostik AAS dan merupakan yang paling menjanjikan dalam mencapai status' gold standard '. Beberapa investigasi telah menunjukkan bahwa tingkat batas >500 ng/mL (saat ini digunakan untuk emboli paru) sangat sensitif untuk menyingkirkan tanda klasik . AAS dalam 6 jam pertama dari onset gejala. Harus dicatat, bahwa kadar D- dimer <500 ng/mL dapat ditemukan pada pasien dengan IMH, . PAU, dan/atau AAD dengan trombosis lumen palsu. Peningkatan Ddimer pada pasein ini juga didapatkan, dimana menjadikan diagnosis AAS tidak dapat disingkirkan.(Salmasi et al., 2020) Klasifikasi IMH sama dengan klasifikasi diseksi klasik (stanford A dan B mengikuti keterlibatan aorta asending), dan hal ini mempengaruhi pengelolaan. Meta- analisis terhadap 168 pasien dengan IMH telah menunjukkan bahwa sekitar seperempat IMH tipe A berkembang menjadi diseksi atau ruptur. Keseluruhan, kematian 30 hari dengan pembedahan adalah 18% dibanding dengan 60% dengan perawatan medis. Sebaliknya, perawatan medis memperbaiki kematian dibandingkan pembedahan pada pasien tipe B (8% vs 33%, masing-masingnya). IMH tipe B bisa dengan sukses dikelola dengan perawatan medis sendiri, dengan beta-bloker tetap menjadi perawatan yang dinilai tepat. (Evangelista et al., 2005; Gulhane and Litt, 2019) 262 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tampilan dari IMH adalah hematoma dinding aorta yang terkandung dengan perdarahan di dalam media tanpa awal intima. Kausa terjadinya bervariasi, dapat diserap kembali tanpa intervensi apapun, atau dapat berkembang menjadi diseksiaorta klasik, dengan ruptur aorta luar diamati pada 15% sampai 20% pasien. Sekitar 10% sampai 30% pasien dengan sindrom aorta akut memiliki IMH. Mirip dengan diseksi aorta akut, diklasifikasikan sebagai Stanford tipe A (ascending aorta) atau B (keterlibatan eksklusif dari descending aorta). Kebanyakan pasien dengan IMH memiliki Stanford tipe B (50% sampai 85%). IMH berubah menjadi diseksi aorta akutpada 3% sampai 14% pasien dengan keterlibatan aorta desendens dan pada 88% pasien dengan keterlibatan aorta asendens, dengan angka kematian yang tinggi. Secara umum direkomendasikan bahwa pasien dengan IMH tipe A menjalani operasi dini, sedangkan pasien dengan IMH tipe B dapat dikelola secara konservatif tanpa adanya komplikasi. (Evangelista and Eagle, 2009; Corvera, 2016) Sulit untuk membedakan IMH dari diseksi aorta akut dan PAU, tetapi petunjuk dari karakteristik pasien, presentasi klinis, dan teknik diagnostik jantung noninvasif, termasuk ekokardiografi M-mode, dapat memfasilitasi diagnosis IMH. Komplikasi utama dari sindrom aorta akut, hematoma periaortik dan efusi perikardial hemoragik, terjadi lebih sering pada IMH daripada diseksi aorta akut dan dapat berakibat fatal kecuali jika ditangani secara darurat. (Ferrera et al., 2020)Ferrera etal., 2020) Pada kasus ini ada 2 jenis masalah pada aorta yang menjadi focus pembahasanyaitu IMH dan PAU. Penyebab alami PAU masih menjadi bahan perdebatan. ulkus mungkin tetap stabil atau dapat menyebabkan perkembangan aneurisma saccular atau fusiform, pembesaran aorta, ruptur transmural, dan pembentukan hematoma 263 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

medial. Tujuan utama pengobatan PAU adalah untuk mencegah pecah dan berkembang menjadi diseksi aorta akut. Risikonya ruptur aorta untuk PAU simtomatik mungkin sampai 40%, bahkan tanpa diameter aorta yang membesar. Patofisiologi Peristiwa awal yang paling umum yang menyebabkan pembentukan IMH adalah perdarahan di dalam media (intramedial) dinding aorta, yang mengakibatkan melemahnya dinding aorta, tanpa ruptur intima dan tanpa pembentukan celah intima klasik pada diseksi aorta. Peristiwa ini menghasilkan ruang yang mengandung darah yang berorientasi melingkar tanpa diskontinuitas intima. Karena tidak ada istirahat intima, ruang tidak berkomunikasi langsung dengan lumen aorta. Perdarahan pada media mungkin disebabkan oleh ruptur spontan dari vasa vasorum aorta, yang memulai pembentukan IMH, menyebabkan melemahnya dinding aorta dan kemudian menyebabkan diseksi . Mekanisme lain termasuk neovaskularisasi patologis, dengan peningkatan pembuluh darah mikro dan perdarahan spontan pada plak arteri. Mekanisme ini mirip dengan pecahnya plak aterosklerotik koroner, yang mengakibatkan infark miokard, dan fraktur intima dari plak ateromatosa, yang menghasilkan penyebaran intramedial darah dan pembentukan IMH. IMH juga dapat disebabkan oleh robekan mikroskopis di intima aorta atau dari PAU.(Song, 2004;Tsai, Nienaber and Eagle, 2005) PAU berkontribusi pada sebagian kecil IMH, dan meskipun jarang, trauma toraks dapat menyebabkan IMH. PAU, penyebab IMH tipe A yang jarang, adalah suatu kondisi di mana ulserasi plak ateroma aorta awalnya terbatas pada lapisan intima. Ulserasi ini kemudian berkembang, menembus lamina elastis internal dan pecah ke dalam media, yang menghasilkan pembentukan hematoma, 264 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

didefinisikan sebagai IMH sekunder. PAU biasanya melibatkan aorta torakalis desendens dan sangat jarang terjadi pada aorta asendens. Secara keseluruhan, penyebab nontraumatik, termasuk PAU, menyumbang> 90% dari IMH, dan, di antara IMH dengan penyebab traumatis, 75% adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor. (Bossone, Labounty and Eagle, 2018) Gambar 5 : Diagram menunjukkan patogenesis hematoma intramural aorta. Perdarahan akibat ruptur vasa vasorum melemahkan media dinding aorta (A) dan menyebabkan pembesaran diameter aorta (B). Pada hematoma intramural, tidak seperti ulkus penetrasi diseksi aorta, intima tetap utuh. Diadaptasi dengan izin dari Chao et al. Gejala IMH dan PAU sulit dibedakan dari diseksi klasik karena alasan klinis semata. Onset mendadak nyeri dada atau punggung yang parah adalah gejala yang paling umum. Nyeri sering terletak di punggung. Migrasi nyeri mirip dengan diseksi (16%), tetapi jarang mencapai kaki: 2% vs 11%. Beberapa pasien dengan PAU tidak menunjukkan gejala dan diagnosis dibuat secara kebetulan pada tes pencitraan yang dilakukan karena alasan lain. Dibandingkan dengan diseksi klasik, pasien dengan IMH dan PAU jarang mengalami regurgitasi aorta, 265 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

penurunan denyut nadi, atau iskemia ekstremitas bawah. Pada pemeriksaan awal, pasien dengan IMH sering memiliki elektrokardiogram normal (46% vs 30%) dan kecenderungan yang sama untuk tidak memiliki kelainan pada rontgen dada awal dibandingkan dengan diseksi klasik (23% vs 15%) .Gejala IMH aorta juga seringkali sangat mirip dengan yang dialami dengan diseksi aorta dan juga sangat mirip dengan gejala syndrome akut koroner. Gejala biasanya terjadi tiba-tiba dan dapat bervariasi dari satu pasien ke pasien berikutnya. Gejala umumnya meliputi: (Choi et al., 2014)  Nyeri dada yang parah  Sakit punggung yang parah  Sakit perut parah  Sesak napas  Nyeri di lengan atau kaki  Kelemahan  Penurunan kesadaran  Denyut nadi cepat dan lemah  Keringat banyak  Kegelisahan  Kulit pucat  Mual Penyebab dan Faktor Risiko IMH aorta jarang terjadi dan paling sering didiagnosis pada pria berusia antara 60 dan 80 tahun. Namun, wanita dan pasien yang lebih muda dapat mengembangkan kondisi tersebut. Ini terjadi di area aorta yang telah melemah, yang dapat disebabkan oleh: (Tsai, Nienaber and Eagle, 2005)  Tekanan darah tinggi kronis  Sindrom Marfan 266 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

 Katup aorta bikuspidalis  Cedera dada traumatis  Pengerasan arteri yang parah (aterosklerosis)  Peradangan arteri (arteritis Takayasu)  Aneurisma aorta  Koarktasio aorta  Sindrom Turner  Penggunaan kokain  Kehamilan  Angkat besi intensitas tinggi Diagnosis Diagnosis pasien dengan AAS kadang diawali dengan pemikiran kearah ACS dimana presentasi pasien datang kadang memiliki gejala khas yang sangat mirip. Dibutuhkan pemeriksaan yang lebih lanjut untuk dapat mendiagnosis keadaan ini dengan tepat. Dan beberapa pemeriksaan seperti ekg, foto thoraks, echocardiografi , ct scan, MRI dapat menjadi sebuah acuan untuk menegakkan diagnosis AAS.(Evangelista et al., 2019) Diagnosis dengan Elektrokardiografi lebih mengarahkan untuk mengeluarkan kausa infark miokard seperti pada kasus nyeri dada yang begitu mirip antara ACS danAAS, Namun jika ada gambaran ST Elevasi dan tanda iskemik yang bisa menjadi keadaan yang kontras untuk pemberian terapi anticoagulant atau antiplatelet yang dihindari pada pasien AAS. Sama halnya pada pasien ini dimana dari gambaran elektrokardiografi pasien dengan atrial fibrilasi dimana dibutuhkan pemberian obat anticoagulant, yang tidak disarankan diberikan pada pasien dengan AAS.(Gulhaneand Litt, 2019) Diagnosis AAS dalam beberapa kasus juga disebutkan karena ketidaksengajaan. Adanya beberapa gejala dan 267 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

komplikasi yang muncul pada awal dapat mengarahkan beberapa dokter untuk berpikir kearah AAS. Seperti halnya pada pasien ini dimana diawal tidak dicurigai adanya suatu masalah terkait aorta, namun karena keadaaan penurunan fungsi ginjal yang dicurigai sindrom malperfusi akhirnya diagnosis AAS dapat ditegakkan. (Ohle et al., 2020) Sindrom malperfusi dapat terjadi pada pasien –pasien dengan AAS dimana adanya dinding palsu atau false lumen yang terpisah dan menutup akses darah ke organ lainnya. Contoh seperti diseksi aorta yang terjadi pada area abdominalis dan menutup akses darah ke arteri renalis sehingga terjadi kerusakan atau penurunan fungsi ginjal karena tidak mendapat aliran darah yang adekuat. Ini adalah contoh yangjuga menjadi kecurigaan pada pasien ini. Namun setelah dilakukan pemeriksaan lebih lengkap tidak ditemukan adanya flep false lumen yang menutup arteri renalis. (Cho, 2016) Diagnosis pada pasien AAS kadang juga terkendala beberapa sebab, daribeberapa literaltur disebutkan keadaan seperti gejala yang minimal, adanya gangguan malperfusi sindrom seperti penurunan fungsi ginjal yang bisa membuat pemeriksaan CT scan dengan kontras jadi tertunda karena bisa menyebabkan perburukan pada fungsi ginjal. Atau adanya factor perancu pada awal yaitu keterlibatan faktor koroner yang saat ditemukan sudah membuat kesimpulan dan tidak melanjutkan untuk mencari kausa yang lain. (Cho, 2016) Tatalaksana Tatalaksana pada pasien dengan AAS juga harus dikaitkan dengan asal penyebab, lokasi bahkan keadaan pasien itu sendiri, tatalaksana yang diberikan pun masih banyak yang menyarankan untuk tindakan operatif . Namun tidak sedikit juga laporan kasus penanganan yang diberikan adalah pemberian terapi medikamentosa. 268 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Dimana banyaknya pertimbangan pasien-pasien dengan AAS yang sering dipatkan pada usia tua. Dan banyak laporan terkait terapi medikamentosa pada pasien dengan AAS yaitu pasien dengan IMH dan PAU yang diberikan terapi medikamentosa memperlihatkan hasil yang baik. Pada pasien ini tetalaksana yang diberikan adalah terapi medikamentosa yaitu pemberian antihipertensi dan juga golongan B bloker untuk mengatur denyut jantung.(Choi et al., 2014; Salim et al., 2020) Pedoman European Society of Cardiology (ESC) dari 2014 merekomendasikan pengobatan konservatif dengan terapi analgesik dan kontrol BP direkomendasikan pada semua pasien dengan PAU . Obat antihipertensi yang paling umum digunakan adalah beta- blocker dan calcium channel blocker. Kontrol nyeri juga penting untuk membatasi ledakan katekolamin dan selanjutnya takikardia dan peningkatan tekanan darah . Nilai target untuk BP dan denyut jantung masing-masing adalah 100-120 mmHg dan 60-80 bpm, dan sama dengan AAS lainnya.(Możeńska et al., 2020) Penanganan PAU adalah pembedahan yang mengacu riwayat alaminya dan kecenderungan untuk pecah. Bahkan PAU pada area ascending atau arch tanpa gejala harus dikelola secara operatif. Penggantian graft dari aorta asendens adalah pengobatan standar dari PAU dari aorta asendens. PAU lengkung transversal dapat dikelola dengan penggantian cangkok terbuka atau teknik endovaskular sering dengan debranching pembuluh brakiosefalika.(Bischoff et al., 2011)(Możeńska et al., 2020) 269 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

BAB IV KESIMPULAN PAU ditemukan sebagai kondisi yang mengancam jiwa yang mungkin tidak terdeteksi ketika seorang pasien mencari pengobatan kecuali dokter menyadari fitur radiologis yang membedakannya. Seiring bertambahnya usia populasi dan kelangsungan hidup yang berkepanjangan meskipun hipertensi, kejadian IMH dan PAU akan meningkat secara signifikan. Ketersediaan modalitas pencitraan modern untuk patologi aorta memungkinkan dokter yang hadir untuk menyelidiki riwayat alami dan ciri klinis khas dari entitas penyakit ini. Selain diagnosis banding yang benar, studi pencitraan diharapkan memberikan prediktor prognostik yang penting,dan informasi ini akan berguna untuk stratifikasi risiko atau pemilihan strategi terapi bersama dengan variabel klinis lainnya. Pada pasien dengan keluhan nyeri dada yang sering mengarah ke sindrom coroner akut dan didapatkan beberapa factor resiko selamanya tidak selalu sesuai dengan perkiraan. Banyak kausa yang bisa mendasari berbagai gejala yang menyertai dan satu- persatu harus dipikirkan bukan hanya sekali namun berulang kali agar bisa segera memberikan penanganan yang tepat dan cepat. 270 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

DAFTAR PUSTAKA 1. Bischoff, M. S., Geisbüsch, P., Peters, A. S., Hyhlik-Dürr, A. and Böckler, D. (2011) ‘Penetrating aortic ulcer: Defining risks and therapeutic strategies’, Herz, 36(6), pp. 498–504. doi: 10.1007/s00059-011-3513-9. 2. Bossone, E., Labounty, T. M. and Eagle, K. A. (2018) ‘Acute aortic syndromes: Diagnosis and management, an update’, European Heart Journal, 39(9), pp. 739– 749. doi: 10.1093/eurheartj/ehx319. 3. Cho (2016) ‘乳鼠心肌提取 HHS Public Access’, Physiology & behavior, 176(1), pp. 100–106. doi: 10.1177/1358863X15625371.Malperfusion. 4. Choi, Y. J., Son, J. W., et al. (2014) ‘Treatment patterns and their outcomes of acute aortic intramural hematoma in real world: Multicenter registry for aortic intramuralhematoma’, BMC Cardiovascular Disorders, 14(1), pp. 1– 7. doi: 10.1186/1471- 2261-14-103. 5. Corvera, J. S. (2016) ‘Acute aortic syndrome’, Annals of Cardiothoracic Surgery, 5(3), pp. 188–193. doi: 10.21037/acs.2016.04.05. 6. Evangelista, A., Mukherjee, D., et al. (2005) ‘Acute intramural hematoma of the aorta: A mystery in evolution’, Circulation, 111(8), pp. 1063–1070. doi: 10.1161/01.CIR.0000156444.26393.80. 7. Evangelista, A., Maldonado, G., et al. (2019) ‘Intramural hematoma and penetrating ulcer in the descending aorta: Differences and similarities’, Annals of Cardiothoracic Surgery, 8(4), pp. 456–470. doi: 10.21037/acs.2019.07.05. 8. Evangelista, A. and Eagle, K. A. (2009) ‘Editorial: Is the optimal management of acute type a aortic intramural hematoma evolving?’, Circulation, 120(21), pp. 2029– 2032. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.109.907246. 9. Ferrera, C., Vilacosta, I., et al. (2020) ‘Diagnosing aortic intramural hematoma: Current perspectives’, Vascular Health and Risk Management, 16, pp. 203–213. doi: 10.2147/VHRM.S193967. 10. Gulhane, A. and Litt, H. (2019) ‘Acute Coronary and Acute Aortic Syndromes’, Radiologic Clinics of North America. Elsevier Inc, 57(1), pp. 25–44. doi: 10.1016/j.rcl.2018.08.004. 271 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

11. Morello, F., Bima, P., et al. (2021) ‘Development and validation of a simplified probability assessment score integrated with age-adjusted d- dimer for diagnosis of acute aortic syndromes’, Journal of the American Heart Association, 10(3), pp. 1– 27. doi: 10.1161/JAHA.120.018425. 12. Możeńska, O., Wojewódzki, M., Wiligórska, D., Wiligórska, N., Gil, R. J. and Bil, J. (2020) ‘Conservative treatment as a therapeutic option for penetrating aortic ulcer of the aortic arch in a patient with bicuspid aortic valve’, Wiadomosci lekarskie (Warsaw, Poland : 1960), 73(7), pp. 1580– 1582. doi: 10.36740/wlek202007148. 13. Ohle, R., Yan, J. W., et al. (2020) ‘Diagnosing acute aortic syndrome: A Canadian clinical practice guideline’, Cmaj, 192(29), pp. E832–E843. doi: 10.1503/cmaj.200021. 14. Salim, S., Machin, M., Patterson, B. O. and Bicknell, C. (2020) ‘The Management of Penetrating Aortic Ulcer’, Hearts, 1(1), pp. 5–13. doi: 10.3390/hearts1010003. 15. Salmasi, M. Y., Al-Saadi, N., et al. (2020) ‘The risk of misdiagnosis in acute thoracic aortic dissection: A review of current guidelines’, Heart, pp. 1–7. doi: 10.1136/heartjnl-2019-316322. 16. Song, J. K. (2004) ‘Diagnosis of aortic intramural haematoma’, Heart, 90(4), pp. 368– 371. doi: 10.1136/hrt.2003.027607. 17. Sundt, T. M. (2007) ‘Intramural hematoma and penetrating aortic ulcer’, Current Opinion in Cardiology, 22(6), pp. 504–509. doi: 10.1097/HCO.0b013e3282f0fd72. 18. Tsai, T. T., Nienaber, C. A. and Eagle, K. A. (2005) ‘Acute aortic syndromes’,Circulation, 112(24), pp. 3802–3813. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.105.534198. 272 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

CORONARY ARTERY BYPASS GRAFT BAGIAN SURGERY IN SEVERELY REDUCED EJECTION FRACTION : SERIAL CASE IX Albert Sudharsono, Muhammad Nuralim Mallapasi, Jayarasti Kusumanegara, Akhtar Fajar Muzakkir, Andi Alief Utama Armyn BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Revaskularisasi miokard pada pasien dengan coronary artery disease (CAD) merupakan manajemen yang penting untuk memperbaiki keluhan kilinis dan prognosis. Metode revaskularisasi yang ada saat ini adalah Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dan Coronary Artery Bypass Grafting (CABG), meskipun banyak penelitian yang mencoba untuk membandingkan kedua metode tersebut, satu sama lain nya tidak dapat menunjukan superioritasnya terhadap seluruh spektrum pasien dengan CAD. Secara umum, revaskularisasiuntuk CAD disarankan untuk pasien yang tidak responsif terhadap terapi medis yang optimal atau untuk meningkatkan prognosis pasien yang memiliki kelainan anatomi tertentu. Intervensi koroner perkutan (PCI) memberikan pendekatan yang tidak terlalu invasif untuk revaskularisasi, mesikpun demikian, CABG menawarkan hasil revaskularisasi yang lebih patendaripada PCI, terutama pada CAD multivessel kompleks (Deb et al. 2013) Menentukan pilihan apakah pendekatan CABG atau PCI pada populasi CAD dengan ejeksi fraksi rendah akan selalu menjadi perdebatan antara ahli bedah jantung dan intervensionis kardiologi. Namun studi-studi yang ada melaporkan bahwa CABG memberikanhasil luaran yang lebih baik dalam menurunkan angka kematian kejadian mayor kardiovaskular, stroke, dan hospitalisasi akibat infark miokard. 273 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Sebuah studi yang dilakukan oleh Sun dk, mengambil jumlah data besar dengan 12113 pasien dan periode follow up selama5,2 tahun melaporkan pada pasien yang dilakukan PCI meningkatkan angka kematian total (hazard ratio [HR], 1.6; 95% CI, 1.3-1.7), kematian akibat penyakit kardiovaskular (HR 1.4, 95% CI, 1.1-1.6), kejadian mayor kardiovaskular (HR, 2.0; 95% CI, 1.9-2.2), revascularization berulang (HR, 3.7; 95% CI, 3.2-4.3), dirawat akibat infark miokard (HR, 3.2; 95% CI, 2.6-3.8)dan gagal jantung (HR, 1.5; 95% CI, 1.3-1.6) dibandingkan pasien yang dilakukan CABG.(Sunet al. 2020). Pada studi SYNTAX yang merupakan studi tertua CABG, sebuah penelitian yangmengobservasi SYNTAX score setelah 10 tahun setelah era kemajuan PCI dan stent saat ini, operasi CABG masih menjadi pilihan terbaik pada subgroup CAD tertentu seperti multivessel kompleks CAD, Diabetes mellitus, dan pasien dengan SYNTAX score yang tinggi. PendekatanPCI dilaporkan memberikan hasil yang lebih baik pada skor SYNTAX yang rendah, tanpa diabetes, dan pembuluh darah terkena yang kurang dari 3. Pada kasus left main disease, hasil keluaran terhadap kematian tidak berbeda secara signifkan. (Thuijs et al. 2019) Pada pasien ejeksi fraksi rendah (EF) operasi CABG menjadi tantangan besar bagi anestesiolog dan ahli bedah kardio thoraks, stratifikasi risiko dan tindakan profilaksis yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pasca operasi. Cardiopulmonary bypass (CPB) dan aortic cross-clamping atau off-pump coronary artery bypass (OPCAB) adalah pendekatan yang paling umum digunakan selama CABG pada pasiendengan ejeksi fraksi rendah, tetapi sangat tergantung pada kondisi pasien, tingkat kemahiran ahli bedah dan staf. Selain itu terdapat perangkat pompa balon intra-aorta (IABP) yang dapat digunakan untuk memperbaiki peredaran darah dalam operasi jantung. Saat ini, konsensus tentang penggunaan IABP profilaksis belum banyak. Beberapa studi melaporkan penggunaan IABP profilaksis pada 274 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

pasien berisiko tinggi yang menjalani operasi kardiotoraks telah terbukti mengurangi kematian pasca operasi. Dyub dkk. melaporkan bahwa pasien yang dipasang IABP profilaksis sebelum operasi menurunkan resiko kematian dengan rasio odd (OR) 0,41 (95% CI0,21-0,82; p = 0,01).(Dyub et al. 2008) Beberapa penelitian melaporkan manfaat profilaksis IABP, tetapi belum ditetapkan sebagai pedoman standar untuk CABG risiko tinggi. Salah satu penyebabnya adalah komplikasi karena pasien yang telah terpasang IABP dianggap berisiko lebih tinggi untuk perdarahan dan ventilasi berkepanjangan, serta peningkatan risiko reintubasi, trakeostomi, dialisis, dan tinggal ICU yang lama.(Nakamura et al. 2019) Laporan kasus serial ini akan membahas pengalaman operasi sebanyak 2 pasien CAD dengan EF rendahdengan menggunakan profilaksis IABP, ini adalah tindakan operasi CABG resiko tinggi yangmemberikan hasil yang memuaskan. Bagaimana tindakan dan langkah-langkah persiapan preoperasi, intra operasi, dan post operasi akan dibahas menyeluruh. 275 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

BAB II PRESENTASI KASUS Pasien pertama seorang laki-laki usia 56 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan utama nyeri dada. Nyeri dada dirasakan sejak lebih dari 1 tahun terakhir, hilang timbul, terutama jika aktivitas, terasa seperti tertindih, durasi kurang dari 10 menit, menjalar ke lengankiri, tidak disertai keringat dingin. Nyeri dada dirasakan memberat dengan aktivitas seperti naik tangga atau jalan jauh, membaik dengan istirahat dan pemberian nitrat sublingual. Riwayat nyeri dada ada sejak 1 tahun yang lalu. Pasien dengan riwayat ST elevation myocardial infarction (STEMI) dengan onset saat itu di atas 12 jam. Riwayat sesak napas ada, terutama saat beraktifitas berat, berkurang dengan istirahat, sesak tidur jika berbaring terlentang, dan memerlukan penyangga agar tidak sesak.. Mual dan muntah tidak ada. Demam tidak ada, batuk tidak ada. Riwayat hipertensi ada. Riwayat merokok ada, selama 30 tahun sebanyak 1 bungkusper hari, berhenti sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat penyakit jantung koroner dalam keluarga tidak ada. Riwayat pengobatan terakhir : Clopidogrel 1x75 mg, Miniaspi 1 x 80 mg, concor 1 x 2.5 mg, atorvastatin 1 x 20 mg, ISDN 5 mg/sublingual (jika nyeri dada), Ramipril 1 x 5 mg, Nitrokaf retard 2 x 2.5 mg. Pemeriksaan fisis didapatkan kesadaran composmentis, status gizi baik, BB: 75 kg, TB : 173 cm, BMI : 24.8 kg/m2. Tanda-tanda vital saat masuk tekanan darah 130/90 mmHg, frekuensi nadi 70 kali/menit regular, frekuensi napas 18 kali/menit, suhu badan 36,5oC. Konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada. JVP R+2 cmH2O, bunyi napasvesikuler, rhonki dan wheezing tidak ada, bunyi jantung S1 S2 reguler, murmur ada pansistolikdengan punctum maksimum di apex derajat 4/6, peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba, akral hangat, edema ekstremitas tidak ada. Pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan irama 276 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

sinus , HR 100 bpm, regular, normoaxis, gelombang P 0.10 s, gelobang r <3mm in V3, R in V4 kurng daripada gelombang r, Inversi gelombang T di I, avL, V5, V6. (gambar 1.) Gambar 2. 1 Pemeriksaan EKG kesan Irama sinus, normoaxis, poor r wave progression prior anteroseptal MI, ischemic anterolateral Dari Hasil pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan bermakna (Tabel 2.1) Pemeriksaan foto thoraks didapatkan kesan kardiomegali , dilatasi dan atherosclerosis aorta (Gambar 2.2). Dari hasil pemeriksaan MSCT Scan Thorax tanpa kontras (30-09-2020) didapatkan kesan kardiomegali disertai atherosclerosis aortae et LAD dan pulmo kesan normal. Pada pemeriksaan echocardiography didapatkan hasil Severe functional mitral regurgitation Moderate tricuspid regurgitation with high probability of PH Mild pulmonal regurgitation LV systolic function severely abnormal, EF 25.6% (BIPLANE) Segmental Hipokinetik dan Akinetik Dilatation all chamber, LVH eccentric, apical aneurysm, Sec(+), RV systolic function normal, TAPSE 1.9 cm. S’ Lat 13.3 cm/s. (Gambar 2.3) 277 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tabel 2. 1 Hasil pemeriksaan Laboratorium WBC 8840 4-10 x 103/mm3 HGB 14.5 12-16 g/dl PLT 212.000 150-400 x 103/mm3 Neutrofil 70,6 52-75% SGOT 20 <38 U/L SGPT 19 <41 U/L Ureum 32 10-50 mg/dl Creatinin 1.07 <1.3 mg/dl GDS 134 <140 gr/dl Natrium 138 Kalium 3.7 136 – 145 mmol/l Klorida 110 3.5 – 5.1 mmol/l 97 – 111 mmol/l PT 10,9 10-14 detik APTT 37,5 22-30 detik INR 1,05 Asam Urat 8,9 3,4-7,0 mg/dl HbsAg / Anti Non Non HCV reactive Reac / Non tive reactive Swab Nasofaring (17/11/2020) Negatif 278 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 2. 2 Foto thoraks didapatkan kesan kardiomegali Dari pemeriksaan echodoppler vaskular 4 ekstremitas tidak tampak tanda chronic venous insufficiency pada ekstremitas inferior bilateral, tidak tampak tanda deep vein thrombosis pada ekstremitas inferior bilateral, flow lancar, CUS (-), tidak tampak thrombus; dan tampak tanda peripheral artery disease pada ekstremitas inferior bilateral. Dari pemeriksaan angiografi koroner didapatkan: Left Main : Normal, Left Anterior Descending : proksimal stenosis 70%, mid stenosis 70-80%, Left Circumflexa : proksimal total oklusi stenosis, right coronary artery Proximal stenosis 70 %, Mid Stenosis 80%. Kesimpulan : Coronary Artery Disease 3 Vessels Disease (SYNTAX Score 40, Euro score II 1,78%). (Gambar 2.4) 279 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 2. 3 Pemeriksaan Echocardiography Gambar 2. 4 Pemeriksaan Angiografi Koroner didapatkan Coronary artery disease 3 vessel disease Berdasarkan Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang pasien di diagnosis dengan Coronary artery disease 3 vessel disease, Heart Failure reduced ejection fraction, Mitral Regurgitation severe, Tricuspid Regurgitation moderate. Pada saat 18 jam sebelum tindakan pemasangan IABP, posisi IABP diletakan distal 1-2 cm dari take off arteri subclavia kiri yang dikonfirmasi dengan fluorsokopi. dengan mode auto, ECG trigger pattern, Frekuensi 1: 1, augmentasi maksimum, control tambahan diaktifkan, pengisian IABP automatis, inflasi dan deflasi 280 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

automatis pasien stabil, post pemasangan IABP pasien dalam kondisi hemodinamik stabil.Gambar (2.5) Setelah itu dilakukan operasi CABG, pasien posisi supine dalam general anesthesia, dilakukan asepsis dan antisepsis lapang operasi dilanjutkan dengan drapping steril. Insisi tungkai bawah kiri dan kanan dilanjutkan dengan preparasi venasaphena magna, cabang-cabang vena saphena magna diligasi. Vena saphena magna kualitas baik, diameter 3 mm. Saphenektomi dilakukan sampai di bawah lutut kanan dan kiri, kemudian vena disimpan dalam larutan heparin. Luka operasi dijahit lapis demi lapis, kemudian ditutup verban steril dan elastic verban. Gambar 2. 5 Pemasangan IABP Operasi dilanjutkan dengan melakukan sternotomi mediana. Rongga perikard dibuka. Tampak jantung dalam irama sinus dengan ukuran jantung kesan kardiomegali, kontraktilitas kesan hipokinetik anterior, anteroseptal, inferoseptal dan apicoseptal hipokinetik. Diberikan heparinisasi sitemik 25.000 UI, dilanjutkan dengan kanulasi aorta ascendens dan atrium kanan untuk selanjutnya dihubungkan dengan mesin pintas jantung paru (Heart Lung Machine). Setelah dicapai full 281 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

bypass, Observasi jantung tampak Cycatrix luas pada bagian posterior, Tidak dilakukan kardioplegia pada kasus ini, sesuai dengan kesepakatan tim bedah dananestesi. Identifikasi arteri coronaria, Pasang Octopus GEN 3,kemudian dilakukan anastomosis SVG ke OM1 dengan Prolene 7/0. Run off baik. LAD, diameter 3 mm, kalsifikasi ada. Dilakukan anastomosis SVG ke LAD dengan Prolene 7/0. Run off baik, Jahit proksimal SVG ke aorta ascendens (central anastomosis) dengan benang Prolene 7/0. Kontrol perdarahan dari anastomosis. Weaning off dari Heart Lung Maschine (Bypass Time 92 minutes). (Gambar 2.6)Dekanulasi aorta dan vena. Kontrol perdarahan dengan aplikasi 1 FibrinGlue (BeriPlast) . Pasang drain substernal dan intraperikard. Sternum ditutup dengan wire. Luka operasi dijahit lapis demi lapis dan tutup dengan verban steril. Pasien dikirim ke ICU PJT dengan hemodinamik stabil dalam sinus rhythm dengan Norepinephrin 0.02 micro/kgbb/min Pasien ditransfer ke ICU dengan hemodinamik tekanan darah 91/60 mmHg, laju jantung 110 kali/menit, irama EKG sinus rhythm, regular, normoaksis, dengan terapi NaCl 0,9% 500 cc/ 24 jam/ iv, meropenem 1gr/8jam/intravena, metamizole 1gr/8jam/intravena, omeprazole 40mg/12jam/intravena, Vit C 2gr/24jam/Intravena, Vit B complex 2cc/24jam/Intravena, furosemide 20mg/12jam/Intravena, fentanyl 45mcg/jam/syringepump, nitroglycerin 1mg/Jam/syringepump.Pada hari rawat pertama post operasi dilakukan ekstubasi, 12 jam post ekstubasi dilakukan observasi untuk weaning IABP, frekuensi diturunkan hingga 1:4 dalam 2 jam, pengukuran cardiac output hemodinamik 2,2 L/min selama 2 jam, tekanan darah sistolik di atas 100 mmHG, produksi urin lebih dari 30 cc per jam, tidak ada keluhan nyeri dada, tidak ada aritmia ventrikel, LAVI 28 ml/m2 sehingga diputuskan untuk dilakukan aff IABP. Terapi tambahan yang diberikan berupa aspilet 80 mg/24 jam/oral dan atorvastatin 20 mg/ 24 jam/ oral. Pada hari rawat keempat post operasi 282 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

pasien dipindahkan ke ruang HCU dengan hemodinamik stabil tanpa support vasopressor dan inotropik. Selama perawatan post operasi tanda vital dan hemodinamik pasien baik. Pada hari kedelapan post operasi, pasien dipulangkan dengan terapi pulang atorvastatin 20 mg/ 24 jam/ oral, concor 2.5mg/24jam/oral , furosemide 40mg/24jam/oral, candesartan 8 mg/24jam/oral, codein 10mg/8jam/Oral, ambroxol 30mg/24jam/oral, spironolakton 25 mg/24 jam/oral, cefixime 200mg/12jam/oral, paracetamol 500 mg/24jam/oral, omeprazole 40mg/24jam/oral dan aspilet 80mg/24jam/oral. Gambar 2. 6 Tindakan operasi CABG Pasien kedua seorang laki-laki usia 51 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan utamanyeri dada. Nyeri dada dirasakan sejak lebih dari 1 tahun terakhir, hilang timbul dalam 3 hingga 4 bulan, terutama jika aktivitas, terasa seperti tertindih, durasi kurang dari 10 menit, menjalar ke lengan kiri, tidak disertai keringat dingin. Nyeri dada dirasakan memberat dengan aktivitas 283 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

seperti naik tangga atau jalan jauh, membaik dengan istirahat dan pemberian nitrat sublingual. Riwayat nyeri dada ada sejak 1 tahun yang lalu. Pasien dengan riwayat ST elevation myocardial infarction (STEMI) dengan onset di atas 12 jam. Saat itu pasien dilakukan tindakan PCI dengan pemasangan 2 cincin. Riwayat sesak napas ada, terutama saat beraktifitas berat, berkurang dengan istirahat, sesak tidur jika berbaring terlentang, dan memerlukan penyangga bantal agartidak sesak. Mual dan muntah tidak ada. Demam tidak ada, batuk tidak ada. Riwayat hipertensi ada. Riwayat merokok tidak ada, Riwayat penyakit jantung koroner dalam keluarga tidak ada. Riwayat pengobatan terakhir miniaspi 80mg, clopidogrel 75mg, nitrokaf retard 2.5mg, simvastatin 20mg, ramipril 5mg, furosemide 40mg. Pemeriksaan fisis didapatkan kesadaran composmentis, status gizi baik, BB: 65 kg, TB : 168 cm, BMI : 23.0 kg/m2. Tanda-tanda vital saat masuk tekanan darah 100/72 mmHg, frekuensi nadi 100 kali/menit regular, frekuensi napas 18 kali/menit, suhu badan 36,5oC. Konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada. JVP R+2 cmH2O, bunyi napas vesikuler, rhonki dan wheezing tidak ada, bunyi jantung S1 S2 reguler, murmur tidak ada , peristaltik kesan normal, hepar dan lien tidak teraba, akral hangat, edema ekstremitas tidak ada. Pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan Irama sinus, laju jantung 100x/min, axis 500, P wave 0.08s PR Interval 0.16 s, QRS duration 0,06 s, QST elevation V2-V4, Inverted T wave V5- V6 (Gambar 2.7.) 284 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 2. 7 Pemeriksaan EKG kesan Irama sinus, laju jantung 100 kali/min reguler, normoaxis, Old miokardinfark anteroseptal wall, Ischemic Lateral wall Dari Hasil pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan bermakna (Tabel 2.2) Pemeriksaan foto thoraks didapatkan kesan kardiomegali , dilatasi dan atherosclerosis aorta. Dari hasil pemeriksaan MSCT Scan Thorax tanpa kontras (11-12-2020) didapatkan kesan fibrosis segmen anterior lobus superior dan segmen mediolateralbasal lobus inferior pulmo sinistra, cardiomegaly disertai atherosclerosis aorta et coronary artery. (Gambar 2.8) Pada pemeriksaan echocardiography didapatkan hasil Functional mild mitral regurgitation, Mild tricuspid regurgitation with high probability of pulmonary hypertension, severely abnormal LV systolic function, EF 23% (TEICH), EF 22% (Biplane) Decrease RV systolic function, TAPSE 1,2 cm, S’lat 9 cm/s, FAC 22%, segmental hypokinetic and akinetic, all chamber dilatation with eccentric left ventricle hypertrophy, LV thrombus, LV sec, Diastolic dysfunctiongrade 3. (Gambar 2.9) 285 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tabel 2. 2 Hasil pemeriksaan Laboratorium WBC 6.2 4-10 x 103/mm3 Neutr/Lymp/ NLR 55.2/35.9/1 % 12-16 HGB .53 80-97 g/dl MCV 15.5 26.5-33.5 fL MCH 96 31.5-35 Pg MCHC 32 150-400 gr/dl PLT 33 37-48 x 103/mm3 HCT 214 <38 % SGOT 46 <41 U/L SGPT 34 140 U/L GDS 31 10-14 mg/dl PT 102 22-30 detik APTT 12.2 detik INR 27.7 - - Ureum 1.19 10-50 mg/dl Creatinine 53 L<1.3, P Mg/dl 0.94 <1.1 eGFR Ml/min//1.7 93.5 136 – 145 3m Natrium 3.5 – 5.1 Kalium 138 97 – 111 mmol/l Chloride 4.4 mmol/l Rapid Test Covid 113 Non mmol/l IgG/ IgM reactive HBsAg Non Ng/l Reactive Non Anti HCV Reactive Non HS Troponin I Reactive Non Reactive 32.70 17-50 286 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 2. 8 Foto MSCT cardiac didapatkan kesan kardiomegali, stent di proximal RCA dan mid LAD, atehrosekclerosis Dari pemeriksaan echodoppler vaskular 4 ekstremitas tidak tampak tanda chronic venous insufficiency pada ekstremitas inferior bilateral, tidak tampak tanda deep vein thrombosis pada ekstremitas inferior bilateral, flow lancar, CUS (-), tidak tampak thrombus; dan tampak tanda peripheral artery disease pada ekstremitas inferior bilateral. Dari pemeriksaan angiografi koroner didapatkan: Left Main :Distal stenosis 80%, Left Anterior Descending : proksimal hingga distal diffuse stenosis 70-80%, Left Circumflexa : proksimal total oklusi, right coronary artery posterior left ventricular wall stenosis 90 %. Kesimpulan : Coronary Artery Disease 3 Vessels Disease and Left main disease (SYNTAX Score 38, Euro score II 5,09%). (Gambar 2.10) 287 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook