Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore EDISI 1 BULETIN KARDIOLOGI

EDISI 1 BULETIN KARDIOLOGI

Published by khalidsaleh0404, 2021-07-20 15:16:52

Description: EDISI 1 BULETIN KARDIOLOGI

Search

Read the Text Version

Gambar 2. 9 Pemeriksaan Echocardiography Gambar 2. 10 Pemeriksaan Angiografi Koroner didapatkan Coronary artery disease 3 vessel disease 288 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Berdasarkan Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang pasien di diagnosis dengan Chronic coronary syndrome CCS III, Coronary artery disease 3 vessel disease with left main disease, Heart Failure reduced ejection fraction. Pada saat 48 jam sebelum tindakan pemasangan IABP, posisi IABP diletakan distal 1-2 cm dari take off arteri subclavia kiri yang dikonfirmasi dengan fluorsokopi. dengan mode auto, ECG trigger, Frekuensi 1: 1, augmentasi maksimum, control tambahan diaktifkan, pengisian IABP automatis, inflasi dan deflasi automatis pasien stabil, post pemasangan IABP pasien dalam kondisi hemodinamik stabil. Setelah itu dilakukan operasi CABG, 1. Pasien posisi supine dalam general anesthesia. Asepsis dan antisepsis lapang operasi dilanjutkan dengan drapping steril. Insisi tungkai bawah kiri dan kanan dilanjutkan dengan preparasi vena saphena magna, cabang-cabang vena saphena magna diligasi. Vena saphena magna kualitas baik, diameter 3 mm. Saphenektomi dilakukan sampai Vena saphena Magna kanan dan kiri, kemudian vena disimpan dalam larutan heparin. Luka operasi dijahit lapis demi lapis, kemudian ditutup verbansteril dan elastic verban. Operasi dilanjutkan dengan melakukan sternotomi mediana. Rongga perikard dibuka. Tampak jantung dalam irama sinus dengan ukuran jantung kesan cardiomegaly, kontraktilitas global tidak baik, segmen anterior tampak post infark hipokinetik dan apical anterior et inferior tampak akinetic. Diberikan heparinisasi sitemik 25.000 UI, dilanjutkan dengan kanulasi aorta ascendens dan atrium kanan untuk selanjutnya dihubungkan dengan mesin pintas jantung paru (Heart Lung Machine), dicapai full bypass. Identifikasi arteri coronaria. Identifikasi Distal LAD diameter 3 mm, kalsifikasi (+). Dilakukan anastomosis SVG ke Distal LAD dengan Prolene 7/0. Run off baik. Dilakukan anastomosis top end ke Aorta Ascenden dengan Prolene7/0. Identifikasi OM1, diameter 2 289 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

mm, dicoba posisikan jantung. Pada sat diposisikan terjadi Ventrikular takikardia, dilakukan kardioversi 10 Joule, 2 kali, jantung kembali sinus. Diputuskan untuk cross clamp Aorta karena sulit memobilisasi jantung. Kardioplegi dimasukkan, jantung Asistole dalam keadaan diastolic arrest. Anastomosis SVG ke OM1 danproximalnya ke Aorta dengan Prolene 7/0. Rewarming. Klem silang aorta dilepaskan (Crossclamp Time 25 minutes). Jantung dalam keadaan sinus ritme. Kontrol perdarahan dari anastomosis. Cabut kanul kardioplegia. Weaning off dari Heart Lung Maschine (Bypass Time104 minutes). Dekanulasi aorta dan vena. Kontrol perdarahan dengan aplikasi 1 FibrinGlue (BeriPlast). Pasang drain substernal dan intraperikard. Sternum ditutup dengan wire. Luka operasi dijahit lapis demi lapis dan tutup dengan verban steril. (Gambar 2.11) Pasien ditransfer ke ICU dengan hemodinamik tekanan darah 96/59 mmHg, lajujantung 82 kali/menit, irama EKG sinus Sinus Rhythm, HR 80 bpm, normoaxis, q patologis v1-v4, T inverted II, aVF, dan v4-v6, dengan terapi NaCl 0,9% 500 cc/ 24 jam/ iv, meropenem 1gr/8jam/intravena, metamizole 1gr/8jam/intravena, lansoprazole 40mg/12jam/intravena, Vit C 2gr/24jam/Intravena, Vit B complex 2cc/24jam/Intravena, dobutamine 5 mcg/min/syringepump, fentanyl 50 mcg/jam/syringepump, ISDN 1 mg/Jam/syringepump. Pada hari rawat pertama post operasi dilakukan ekstubasi, 10 jam post ekstubasi dilakukan observasi untuk weaning IABP, frekuensi diturunkan hingga 1:4 dalam 2 jam, pengukuran cardiac output hemodinamik 2,3 L/min selama 2 jam, tekanan darah sistolik di atas 100 mmHG, produksi urin lebih dari 0.7 cc per jam per kg berat badan, tidak ada keluhan nyeri dada, tidak ada aritmia ventrikel, LAVI 30 ml/m2 sehingga diputuskan untuk dilakukan aff IABP. Pada hari rawat keempat post operasi pasien menderita atrial fibrilasi rapid responpasien mendapatkan amiodaron 200 mg/8jam/oral, atorvastatin 20 mg/24jam/oral, ramipril 290 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

1.25 mg/24 jam/oral, simarc 2 mg/24jam/oral, hemodinamik stabil. Pada perawatan hari ke lima, pasien dipindahkan ke HCU dengan hemodinamik stabil tanpa support vasopressor dan inotropik. Mulai hari keenam perawatan pasien kembali ke irama sinus, pasien di asses denganAtrial Fibrilasi (CHA2DS2VASc Score 5, HASBLED 2), Post PCI di LAD dan RCA (2019), Heart Failure reduced Ejection Fraction. Pada hari kesembilan post operasi, pasien mendapat terapi Amiodaron 200 mg/8jam/oral, Atorvastatin 20 mg/24jam/oral, Ramipril 1.25 mg/24 jam/oral, Simarc 2 mg/24jam/oral, Laxadine 15cc/24jam/oral, Cefixime 200 mg/12jam/oral, Paracetamol 500 mg/8jam/oral, Aspilet 80 mg/24jam/oral, Omeprazol 20 mg/12jam/oral, Vit C 100mg/12 jam/oral, B comp/12 jam/oral, Albumin 1 sachet/24 jam/oral Gambar 2. 11 Tindakan operasi CABG 291 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

BAB III DISKUSI KASUS Tujuan revaskularisasi dengan PCI atau CABG sendiri ialah untuk menghilangkan iskemia miokard dan manifestasi klinis pada pasien dengan stenosis koroner yang signifikan, serta untuk mengurangi risiko kejadian kardiovaskular mayor akut termasuk infark miokard dan kematian.(Xaplanteris et al. 2018) Menurut 2019 ESC/EACTS Guidelines Chronic Coronary Syndrome indikasi revaskularisasi pada pasien CCS dengan keluhan angina didasarkan pada ada tidaknya gejala dan adanya bukti iskemia pada pemeriksaan non invasif. Jika tidak didapatkan gejala, maka revaskularisasi dilakukan tergantung pada beratnya stenosis dan indikasi prognostik (Gambar 3.1)(Neumann et al. 2020) Tindakan revaskularisasi pada 2018 ESC/EACTS Guidelines Myocardial Revascularization menjelaskan bahwa revaskularisasi dengan PCI atau CABG pada pasien CAD dapat secara efektif mengurangi keluhan nyeri dada, meningkatkan kapasitas fungsional jantung dan kualitas hidup dibandingkan dengan strategi terapi medikamentosa saja.(Neumann et al. 2020) Pendapat ini didukung pada studi FAME-2 (Fractional Flow Reserve versus Angiography for Multivessel Evaluation 2) dimana revaskularisasi dapat memperbaiki kualitas hidup, menurunkan penggunaan obat anti angina serta angka terjadinya Infark Miokard spontan(Hazard Ratio 0.62, 95% CI 0.39-0.99). (Xaplanteris et al. 2018) Namun, pendapat di atas dibantah oleh Maron dkk, dalam studi uji acak control ISCHEMIA yang membagi 5179 penderita CAD stabil menjadi kelompok yang mendapat revaskularisasi baik PCI maupun CABG dan kelompok yang mendapatkan terapi medikamentosa optimal, hasil-nya pasien yang mendapatkan terapi revaskularisasi dalam pemantauan jangka pendek 6 bulan memiliki resiko kejadian tinggi 292 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

terhadap kejadian mayor kardiovaskular, walau dalam 5 tahun pemantauan tidak ditemukan perbedaan bermakna dalamkejadian mayor kardiovaskular. 5.3% vs 3.4% 95% CI, 0.8-3.0) dan 16.4% vs18.2%, 95% CI, −4.7 to 1.0). Walau setelah ditelaah pada studi ini tidak dimasukan pasien dengan left main disease dan ejeksi fraksi rendah di bawah 35%, sehingga tidak bisa dbandingkan secara langsung terhadap tindakan revaskularisasi CABG resiko tinggi.(Maron et al. 2020) . Gambar 3. 1 Algortima Penentuan Revaskularisasi pada Sindrom Koroner Kronik (Neumann et al. 2020) Pemilihan tindakan antara revaskularisasi dengan PCI atau CABG perlu dilakukan prediksi resiko mortalitas, kompleksitas anatomi dan antisipasi revaskularisasi komplit. Meskipun saat ini teknologi kedokteran semakin berkembang, tatalaksana pasien dengan CAD dan EF rendah masih menjadi tantangan. Pendekatan CABG terbukti lebih unggul daripada terapi medikamentosa saja untuk pasien EF rendah, namun CABG dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas pasca operasi yang 293 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan fungsi ventrikel kiri normal. Tim bedah Jantung harus mempertimbangkan karakteristik tiap individu dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan apakah operasi CABG adalah pilihanterbaik.(Topkara et al. 2005) Untuk menilai prediksi mortalitas bedah dibuat EuroSCORE II (European System for Cardiac Operative Risk Evaluation) (www.euroscore.org/calc.html) dikembangkan berdasarkan variabel klinis untuk memperkirakan risiko kematian di rumah sakit dalam 30 hari(Nashef et al. 2012) Tidak ada nilai cut-off yang ditetapkan untuk prediksi mortalitas bedah rendah berdasarkan skor EuroSCORE II sehingga pertimbangan individual tetap diperlukan.(Farooq et al. 2013). Pada 2 pasien ini dilakukan perhitungan EuroSCORE II untuk menilai in-hospital mortality pada pasien ini, didapatkan skor 1.78% dan 5.09% walau demikian bukan berarti tindakan CABG tidak beresiko pada pasien ini. Selain menggunakan EuroSCORE II untuk pasien dengan Left Main Disease atau 3 vessel disease, derajat kompleksitas lesi dan anatomi koroner perlu dinilai dengan menggunakan skor SYNTAX (www.syntaxscore.com). Berdasarkan studi SYNTAX pada tahun 2014 skor ini dikembangkan untuk menilai mereka yang memiliki luaran yang serupa antara PCI dengan CABG dan mereka yang memperoleh luaran yang baik secara signifikan dengan CABG. Ada 11 parameter yang dinilai untuk menentukan skor SYNTAX (Gambar 3.2). Pada pasien ini dilakukan perhitungan skor SYNTAX dengan penilaian pertama yaitu menentukan dominansi pembuluh darah koroner. Evaluasi visual dapat dimulai dari arteri koroner kanan (RCA). Selanjutnya melihat segmen mana terdapat lesi dan menilai diameter stenosis-nya. Penting bahwa hanya lesi ≥50% pada pembuluh darah ≥1,5 mm yang harus dinilai. Pada kedua pasien ini didapatkan SYNTAX score sebesar 40 dan 38, dimana nilai tersebut sudah memenuhi kriteria untuk dilakukanya tindakan CABG. (Farooq et 294 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

al. 2013; Zhang et al. 2014; Neumann et al. 2020) Gambar 3. 2 Skema Perhitungan Skor Synergy Between PCI with TAXUS and Cardiac Surgery (SYNTAX) 295 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tabel 3. 1 Rekomendasi Jenis Revaskularisasi pada pasien Penyakit Arteri Koroner Stabil Melihat pertimbangan resiko pasien dan setelah dilakukan diskusi, tim bedah sepakat untuk melakukan pemasangan IABP pada pasien ini, pertimbangan dilakukan pemasangan IABP didasari dari studi yang dilakukan oleh Zangrillo dkk, dalam sebuah meta analisis pemasangan IABP sebelum operasi, studi tersebut melaporkan sebanyak 625 pasien dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan, sebagian dilakukan pemasangan IABP sebagian lagi tidak. Hasilnya pada populasi yang dilakukan pemasangan IABP tingkat kematian 30 hari paska operasi lebih rendah (11 dari 312 (3.5%) versus 33 of 313 (11%), risk ratio = 0.38 (0.20 to 0.73), P efek = 0.004. (Zangrillo et al. 2015) Hal ini juga didukung Deppe dkk dalam studi meta analisis yang lebih luas melibatkan 9122 pasien resiko tinggi yang dipasang IABP pre operasi akan menurunkan resiko kematian sebesar 4.4% (OR 0.43; 95%CI 0.25-0.73; p = 0.0025), resiko infark miokard (OR 0.58; 95%CI 0.43-0.78; p = 0.004), CVA (OR 0.67; 95%CI 296 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

0.47-0.97; p = 0.042), dan gagal ginjal (OR 0.62; 95%CI 0.47-0.83; p = 0.0014), lama rawat inap di ruang intensif (p < 0.0001) dan lama rawat inap di rumah sakit (p < 0.0001).(Deppe etal. 2017) IABP (Intra-Aortic Balloon Pump) sendiri adalah alat bantu mekanik sementara ventrikel kiri yang dipasang di aorta, paling banyak dan sering digunakan untuk membantu sirkulasi mekanik dan digunakan pada pasien bedah maupun non bedah dengan syok kardiogenik. Pertama kali digunakan secara klinis pada tahun 1979 secara perkutaneus dengan ukuran 8,5-9,5 French. Hingga pada tahun 1985 digunakan pada manusia hingga sekarang. Tujuan dari pemasangan IABP sendiri adalah meningkatkan oksigen suplai miokard, meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, meningkatkan cardiac output dan coronary perfusion pressure. Indikasi IABP adalah gagal jantung, unstable angina yang refrakter, Tatalaksana perioperative untuk mencegah komplikasi pada infark miokard, Sebagai perantara sebelum transplantasi jantung. Cara kerja IABP adalah inflate pada diastole dan deflate tepat sebelum systole. Fungsi kerja IABP tergantung pada volume balon, denyut jantung, dan komplikasi aorta. Inflate dan Deflate terinkronisasi dalam cardiac cycle. Inflation dari balon akan meningkatkan diastolic pressure dan deflation akan menurunkan LV after load. Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemasangan IABP adalah ischemic tungkai, pendarahan dari lokasi puncture, trombosis, ruptur katup aorta, infeksi atau sepsis.(Krishna and Zacharowski 2009) Setelah dilakukan pemasangan IABP, kedua pasien menunjukan hasil yang memuaskan, kedua pasien menunjukan hemodinamik yang stabil dan perbaikan dalam indeks kardiak dan cardiac output. Setelah dilakukan pemasangan, waktu yang tepat untuk menghentikan IABP sangat penting, indicator dapat dilakukan weaning adalah sebagi berikut Beberapa indikator 1) frekuensi IABP 1: 3 atau 1: 4; 2) penggunaan 297 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

inotropik minimal atau tidak sama sekali; 3) indeks jantung > 2.0 L / mnt / m2; 4) tekanan darah sistolik > 100 mmHg; 5) tekanan atrium kiri atau PCWP <10-15 mmHg; 6) produksi urin> 30 ml / jam; 7) tidak ada nyeri dada; 8) tidak ada perubahan iskemia pada EKG; 9) tidak ada ventrikel baru aritmia. Pada kedua pasien ini sebelum weaning, Tekanan darah sistol di atas 100 mmHg diperoleh tanpa inotropes atau vasopressor dan produksi urindi atas 0,5 cc/kgbb/jam. Frekuensi pompa dibuat dari 1: 1 hingga 1: 2 dan 1: 4, lalu pompa dimatikan. (Stenz 2006; Oktaviono and Airlangga 2015) Pada pasien dengan ejeksi fraksi rendah, tindakan revaskularisasi masih memberikan keuntungan dibandingkan dengan pemberian terapi medikamentosa bahkan dengan PCI sekalipun. Sebuah meta analisis yang dilakukan oleh Wolff dkk, operasi CABG dengan penyakit arteri koroner dan ventrikel kiri fraksi ejeksi ≤40% yang menelaah hasil luaran utama semua penyebab kematian; infark miokard, revaskularisasi, dan stroke yang dirangkum dari dua puluh satu studi yang melibatkan total 16191 membandingkan dengan pengobatan medikamentosa terdapat penurunan mortalitas yang signifikan pada pasien yang di CABG (rasio hazard, 0,66; IK 95%, 0,61-0,72; P <0,001), juga dengan PCI (rasio hazard, 0,73; IK 95%, 0,62-0,85; P <0,001). Jika dibandingkan dengan PCI, CABG masih menunjukkan manfaat kelangsungan hidup (rasio hazard, 0,82; IK 95%, 0,75-0,90; P <0,001). (Wolff et al. 2017) Studi lain yang dilakukan oleh Hawranek dkk, membandingkan pilihan terapi CABG atau PCI pada populasi pasien ejeksi fraksi ≤ 35% dan menderita multivessel disease sebanyak 1213 pasien dipilih dan dibagi menjadi 761 dan 452 di grup CABG dan PCI. Hanya subjek dengan Hasil luaran utama adalah semua penyebab kematian jangka panjang, hasil luaran sekunder adalah infark miokard berulang, revaskularisasi berulang yang mendesak, dan stroke. Untuk angka kesintasan hasil nya serupa 298 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

pada kedua kelompok (HR, 0,91; CI 95%, 0,65-1,28; p = 0,59). Infark miokard rekuren lebih jarang pada kelompok CABG (HR, 0,44; 95% CI, 0,26- 0,74; p = 0,002). Tindakan revaskularisasi ulang mendesak lebih jarang pada kelompok CABG (HR, 0,50; 95% CI, 0,30-0,84; p = 0,008). Untuk kejadian stroke tidak berbeda antarakelompok (HR, 1,17; 95% CI, 0,62-2,22; p = 0,62). Pada pasien dengan HFrEF dan multivessel CAD, baik CABG atau PCI menghasilkan tingkat kesintasan yang serupa. Namun, pada kelompok PCI terjadi peningkatan risiko MI berulang dan revaskularisasi berulang yang mendesak, sedangkan risiko stroke tidak berbeda pada kedua kelompok. (Hawranek et al. 2018) Selain persiapan IABP, pada kedua pasien diputuskan untuk dilakukan operasi on pump beating heart, teknik ini menggunakan bypass kardiopulmoner namun tidak dilakukan henti kardioplegik atau penjepit silang aorta, teknik ini diterapkan pada pasien CABG berisiko tinggi. Hal ini ditujukan unutk mengurangi efek merugikan dari bypass kardiopulmoner (CPB), penjepitan silang aorta, dan henti kardioplegik. Meskipun OPCAB memiliki kelebihan, prosedur juga memiliki beberapa risiko, seperti curah jantung yang rendah selama operasi dan revaskularisasi yang tidak memadai Oleh karena itu, perdebatan tentang metode revaskularisasi yang optimal terus berlanjut. Xia dkk melaporkan pada kelompok on-beat dibandingkan dengan kelompok Off-beat memiliki LVEF awal pasca operasi yang lebih tinggi secara signifikan (35,6 ± 2,9 vs 34,8 ± 3,3%, p = 0,034). Pasien dalam kelompok on-beat mengalami peningkatan jumlah drainase selama 24 jam pertama (3,7 ± 0,8 vs 2,8 ± 0,6, p <0,001; 715 ± 187 ml vs 520 ± 148 ml, p <0,001, masing-masing), namun tidak ada perbedaan angka mortalitas selama dirawat di rumah sakit atau morbiditas mayor pasca operasi. Selain itu, analisis regresi logistik menunjukkan bahwa teknik pembedahan (CABG jantung berdenyut on-pump vs. CABG off-pump) tidak memiliki pengaruh 299 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

terhadap mortalitas di rumah sakit atau morbiditas pasca operasi mayor pada pasien dengan LVEF kurang dari 35%.(Xia et al. 2017) Teknik On-pump beating-heart (ON-BH) juga didukung oleh Ueki dkk, teknik ini muncul sebagai alternatif untuk populasi pasien berisiko tinggi. Studi meta-analisis yang mereka lakukan mengumpulkan studi yang membandingkan hasil luaran klinis ON-BH CABG dengan CABG jantung secara konvensional. Sebanyak 14 penelitian menggabungkan 2.040 pasien (884 ON-BH CABG dan 1156 CABG konvensional). Studi ini melaporkan untuk risiko kematian dini lebih rendah sebesar 45% dibandingkan dengan CABG konvensional (OR 0,553; interval kepercayaan 95% [CI] 0,376-0,815; P = 0,003). Sedangkan morbiditas perioperatif secara signifikan lebih rendah pada teknik ON-BH CABG, seperti infark miokard (OR 0,294;95% CI 0,141-0,613; P = 0,001), gagal ginjal (OR 0,362; 95% CI 0,209-0,626; P <0,001 ). Sehingga ON-BH CABG bisa menjadi alternatif operasi elektif yang menjanjikan untuk populasi pasien berisiko tinggi. (Ueki et al. 2016) Kelemahan dari laporan kasus ini adalah tidak ada nya pemeriksan viability pada kedua pasien yang memegang faktor penting dalam menentukan apakah tindakan revaskularisasi dirasa cukup optimal. Manfaat menilai viabilitas miokard sebelum operasi pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri telah ditunjukkan dengan sejumlah modalitas pencitraan yang berbeda, termasuk ekokardiografi dobutamin, skintigrafi perfusi miokard dengan agen talium danteknesium, dan PET. Eitzman dkk menunjukkan dalam sebuah studi terhadap 82 pasien denganCAD lanjut dan gangguan fungsi ejeksi ventrikel bahwa pencitraan PET dengan 13N dan 18- fluorodeoxyglucose untuk menilai aliran darah dan metabolisme jaringan dapat mengidentifikasi kedua pasien yang berisiko tinggi untuk pasien yang paling mungkin mendapat manfaat dari revaskularisasi. Saat ini di center kami terdapat alat Magnetic Resonance Imaging (MRI), studi 300 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

klinis melaporkan bahwa MRI adalah metode non-invasif lain yang dapat mengukur pemendekan segmen miokard lokal di seluruh miokardium ventrikel kiri di lokasi di samping ketebalan dinding ventrikel kiri, hal ini akan terkait pada Late Gadolinium Enhancement (LGE) yang terkait dengan kontras pada saat MRI. Ke depan, pada pasien CAD kompleks dan disfungsi ventrikel kiri, penilaian viabilitas melalui MRI jantung dengan kontras dapat memberikan informasi diagnostik dan prognostik yang penting.(Eitzmanet al. 1992; Van Assche et al. 2013) BAB IV RINGKASAN Dilaporkan 2 kasus pria berusia di atas 50 tahun yang terdiagnosis Coronary artery disease 3 vessel disease dengan left main disease, dimana pada keduanya SYNTAX score maupun Euro Score cukup tinggi, sehingga masuk ke kategori pasien yang layak untuk dilakukan operasi CABG. Pada kedua kasus tersbut ejeksi fraksi pada penderita tersebut juga rendah kurang dari 25% sehingga pasien masuk ke dalam resiko operasi tinggi. Berdasarkan guideline dan sejumlah uji coba klinis acak sejauh ini, CABG merupakan metode revaskularisasi yang lebih direkomendasikan untuk CAD multivessel, dimana CABG lebih unggul dalam hal kelangsungan hidup yang lebih tinggi dan tingkat kejadian MI dan revaskularisasi berulang yang lebih rendah dibanding PCI. Dalam pengambilan keputusan untuk memilih apakah CABG atau PCI, Tim Jantung multidisiplin harus mempertimbangkan berbagai aspek/komorbiditas kardiak maupun ekstrakardiak, preferensi pasien, menimbang manfaat dan resiko dari metode revaskularisasi yang dipilih, dan potensi komplikasi periprosedural yang mungkin terjadi. Maka dari itu, setelah dilakukan diskusi konferensi pada pasien 301 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

tersebut diputuskan pasien dilakukan operasi dengan pemasangan IABP terlebih dahulu, dilanjutkan denganTeknik operasi on pump beating heart yang dalam berbagai literatur memberikan efek menjanjikan pada pasien dengan resiko tinggi untuk menjalani operasi CABG. Meskipun memberikan hasil yang maksimal naumun disayangkan pada pada kasus ini belum dilakukan viability study yang tentunya jika dilakukan sebelumnya akan sangat memberikan manfaaat dalam identifikasi operasi dan prognosis pasien ini. 302 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

DAFTAR PUSTAKA 1. Van Assche LMR, Kim HW, Kim RJ. Cardiac MR for the assessment of myocardial viability. Methodist DeBakey cardiovascular journal. 2013. 2. Deb S, Wijeysundera HC, Ko DT, Tsubota H, Hill S, Fremes SE. Coronary artery bypass graftsurgery vs percutaneous interventions in coronary revascularization: A systematic review.JAMA - Journal of the American Medical Association. 2013. 3. Deppe AC, Weber C, Liakopoulos OJ, Zeriouh M, Slottosch I, Scherner M, et al. Preoperativeintra-aortic balloon pump use in high-risk patients prior to coronary artery bypass graft surgery decreases the risk for morbidity and mortality—A meta-analysis of 9,212 patients.Journal of Cardiac Surgery. 2017. 4. Dyub AM, Whitlock RP, Abouzahr LL, Cinà CS. Preoperative intra-aortic balloon pump in patients undergoing coronary bypass surgery: A systematic review and meta-analysis. Journal of Cardiac Surgery. 2008. 5. Eitzman D, Al-Aouar Z, Kanter HL, vom Dahl J, Kirsh M, Deeb GM, et al. Clinical outcome of patients with advanced coronary artery disease after viability studies with positron emission tomography. J Am Coll Cardiol. 1992; 6. Farooq V, Van Klaveren D, Steyerberg EW, Meliga E, Vergouwe Y, Chieffo A, et al. Anatomical and clinical characteristics to guide decision making between coronary artery bypass surgery and percutaneous coronary intervention for individual patients: Development and validation of SYNTAX score II. Lancet. 2013; 7. Hawranek M, Zembala Michal O, Gasior M, Tomasz H, Pyka L, Ciesla D, et al. Comparison of coronary artery bypass grafting and percutaneous coronary intervention in patients with heart failure with reduced ejection fraction and multivessel coronary artery disease. Oncotarget. 2018;9(30):21201–10. 8. Krishna M, Zacharowski K. Principles of intra-aortic balloon pump counterpulsation. Contin Educ Anaesthesia, Crit Care Pain. 2009; 9. Maron DJ, Hochman JS, Reynolds HR, Bangalore S, O’Brien SM, Boden WE, et al. InitialInvasive or Conservative Strategy for Stable Coronary Disease. N Engl J Med. 2020; 10. Nakamura K, Hamasaki A, Uchida T, Kobayashi K, Sho R, Kim C, et al. The use of prophylactic intra-aortic balloon pump in high-risk patients undergoing 303 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

coronary artery bypass grafting. PLoS One. 2019;14(10):1–14. 11. Nashef SAM, Roques F, Sharples LD, Nilsson J, Smith C, Goldstone AR, et al. Euroscore II. Eur J Cardio-thoracic Surg. 2012; 12. Neumann FJ, Sechtem U, Banning AP, Bonaros N, Bueno H, Bugiardini R, et al. 2019 ESC Guidelines for the diagnosis and management of chronic coronary syndromes. EuropeanHeart Journal. 2020. 13. Oktaviono YH, Airlangga U. Case Report : USE OF INTRA-AORTIC BALLOON PUMP ( IABP ) IN HIGH-RISK PERCUTANEOUS. Folia Medica Indones. 2015; 14. Stenz R. Intra-aortic balloon counterpulsation. Anaesthesia and Intensive Care Medicine. 2006.Sun LY, Gaudino M, Chen RJ, Bader Eddeen A, Ruel M. Long- term Outcomes in Patientswith Severely Reduced Left Ventricular Ejection Fraction Undergoing Percutaneous Coronary Intervention vs Coronary Artery Bypass Grafting. JAMA Cardiol. 2020; 15. Thuijs DJFM, Kappetein AP, Serruys PW, Mohr FW, Morice MC, Mack MJ, et al. Percutaneous coronary intervention versus coronary artery bypass grafting in patients with three-vessel or left main coronary artery disease: 10- year follow-up of the multicentre randomised controlled SYNTAX trial. Lancet. 2019; 16. Topkara VK, Cheema FH, Kesavaramanujam S, Mercando ML, Cheema AF, Namerow PB, et al. Coronary artery bypass grafting in patients with low ejection fraction. Circulation. 2005; 17. Ueki C, Sakaguchi G, Akimoto T, Ohashi Y, Sato H. On-pump beating-heart technique is associated with lower morbidity and mortality following coronary artery bypass grafting:A meta-analysis. Eur J Cardio-thoracic Surg. 2016; 18. Wolff G, Dimitroulis D, Andreotti F, Kołodziejczak M, Jung C, Scicchitano P, et al. Survival Benefits of Invasive Versus Conservative Strategies in Heart Failure in Patients with Reduced Ejection Fraction and Coronary Artery Disease: A Meta-Analysis. Circ Hear Fail. 2017; 19. Xaplanteris P, Fournier S, Pijls NHJ, Fearon WF, Barbato E, Tonino PAL, et al. Five-Year Outcomes with PCI Guided by Fractional Flow Reserve. N Engl J Med. 2018; 20. Xia LM, Ji Q, Song K, Shen JQ, Shi YQ, Ma RH, et al. Early clinical outcomes of on-pump beating-heart versus off-pump technique for surgical 304 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

revascularization in patients with severe left ventricular dysfunction: The experience of a single center. J Cardiothorac Surg.2017; 21. Zangrillo A, Pappalardo F, Dossi R, Di Prima AL, Sassone ME, Greco T, et al. Preoperative intra-aortic balloon pump to reduce mortality in coronary artery bypass graft: A meta- analysis of randomized controlled trials. Crit Care. 2015; 22. Zhang YJ, Iqbal J, Campos CM, Klaveren D V., Bourantas C V., Dawkins KD, et al. Prognosticvalue of site SYNTAX score and rationale for combining anatomic and clinical factors indecision making: Insights from the SYNTAX trial. J Am Coll Cardiol. 2014; 305 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

ANOMALI ARTERI KORONER KIRI YANG BAGIAN BERASAL DARI SINUS VALSALVA KANAN (ACAOS):DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA X REVASKULARISASI Hasnawiah, Az Hafid Nashar, Muzakkir Amir BAB I PENDAHULUAN Anomali arteri koroner dari sinus yang berlawanan (ACAOS) adalah penyakit jantung kongenital yang langka dengan spektrum presentasi klinis yang luas, dari gejala asimtomatik hingga iskemik dan bahkan kematian jantung mendadak. ACAOS dengan jalur interarterial dianggap sebagai varian ganas, dan pembedahan direkomendasikan untuk pola ini. Namun, sejumlah pasien ACAOS yang tidak mengalami perjalanan interarterial juga datang dengan gejala iskemik dan penatalaksanaan pasien ini masih kontroversial. Mengidentifikasi semua faktor yang terkait dengan gejala iskemia berpotensi mempengaruhi keputusan tentang memilih tindakan pengobatan yang efektif dan intensitas latihan yang sesuai. Coronary computed tomography angiography (CCTA) adalah teknik cepat dan non-invasif untuk menilai fitur struktural anatomi dari penyakit koroner arteri koroner dan arteri koroner yang anomali. (Lorenz et al., 2006) Seperti yang ditemukan dalam banyak literatur, asal mula arteri koroner kiri dari sinuskanan Valsava terjadi pada 0,15%, sedangkan asal mula arteri koroner kanan dari sinus kiri Valsava terjadi pada 0,92% kasus, sehingga totalnya 1,07 % dari arteri koroner yang timbul dari sinus kontralateral dalam rangkaian 1.950 angiogram secara berturut-turut ditinjau untuk mendeteksi kelainan koroner. Sampai saat ini, coronary artery bypass grafting (CABG) adalahsatu-satunya alternatif pengobatan medis dalam kasus ini. Dimana pemasangan stent telah menjadi alternatif 306 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

yang semakin menarik untuk menangani kelainan kongenital yang mengakibatkan stenosis vaskular, karena keberhasilannya dalam menangani stenosis aterosklerotik. (Lipton et al., 1979) Kami melaporkan kasus seorang wanita berusia 45 tahun dengan bukti iskemia ekstensive anterior dan anomali arteri koroner utama kiri yang berhasil menjalani intervensi koroner perkutan (PCI) dengan panduan ultrasonografi intravaskular (IVUS). ACAOS dari sinus kanan Valsalva merupakan salah satu dari sedikit kelainan arteri koroner bawaan yang berpotensi serius. Kami menyajikan pengalaman kami pada pasien yang berhasil menjalani PCI dengan panduan IVUS, dan mendiskusikan anatomi, evaluasi dan pilihan pengobatan untuk ACAOS. 307 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

BAB II LAPORAN KASUS Perempuan usia 40 tahun rujukan dari RS Grestelina Makassar datang ke Poliklinik Pusat Jantung Terpadu RS Wahidin Sudirohusodo dengan diagnosis rujukan Angina Pektoris Stabil. Keluhan nyeri dada hilang timbul dipicu aktivitas sedang yang mulai dirasakan sejak 1minggu sebelumnya. Riwayat keluhan serupa dirasakan pada tahun 2018 dan dirawat dengan diagnosis Angina Pektoris Stabil CCS III, kemudian disarankan pemeriksaan diagnostik invasif lanjutan. Dari angiografi koroner disimpulkan Single Ostium dengan Left Main disease. Faktorrisiko tradisional kardiovaskular yang dimiliki adalah Diabetes Mellitus yang diketahui sejak 8 tahun yang lalu, saat ini dalam pengobatan insulin teratur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis (GCS E4M6V5), tekanandarah 110/70 mmHg, laju nadi 70 kali permenit regular, respirasi 20 kali per menit, suhu 36,5 C. Konjungtiva mata tampak normal, tidak tampak ikterus. Pada pemeriksaan inspeksi dada tampak gerakan napas simetris kanan kiri, iktus kordis tidak tampak, pemeriksaan palpasi dada didapatkan vocal fremitus normal serta tidak ada thrill, iktus cordis teraba di midclavicular lineICS V sinistra. perkusi dada ditemukan sonor di daerah paru, simetris kiri dan kanan. Dari pemeriksaan auskultasi ditemukan suara jantung S1 dan S2 normal, regular, dan tidak ditemukan murmur. Suara napas vesikuler simetris kiri dan kanan, tidak terdengar ronchi maupun wheezing. Tidak ada ascites pada pemeriksaan abdomen, hepar dan lien tidak teraba, ektremitas hangat dan tidak ditemukan edema tungkai. 308 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 2.1 Elektrokardiografi di RS Wahidin PJT Dari pemeriksaan EKG didapatkan sinus rhythm HR 60 bpm reguler, normoaxis, ST segmen depresi di lead I dan aVL, V2 sampai V6, gelombang T inverted di lead I dan aVL, V1 sampai V6. Kesan iskemik extensive anterior wall. Laboratorium darah lengkap menunjukkan kadar leukosit 9800/uL, hemoglobin 11.7 gr/dl, trombosit 399.000/uL, segmen neutrofil 61%, segmen limfosit 26.5%. Koagulasi darah menunukkan kesan normal dengan nilai PT 11, INR 1, APTT 29. Gula darah puasa dalam kondisi terkontrol dengan nilai 101 mg/dl, HbA1C 10,3. Enzim hepar normal dengan kadar SGOT 21, SGPT 14. Kadar elektrolit natrium 137, kalium 4.3, klorida 105. Fungsi ginjal normal dengan kadar ureum 46 dan kreatinin 0.63. Swab PCR nasofaring negatif Covid-19. Foto thoraks menunjukkan kesan kardiomegali disertai atheroslerosis aortae, pulmo dalam batas normal. 309 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 2.2 Foto Thorax Dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dengan hasil fungsi sistolik LV normal LVEF Biplane 62%, fungsi sistolik RV normal TAPSE 1.6 cm dan FAC >35%, hipertrofi ventrikel kiri konsentrik, fungsi diastolik LV normal, kesan global normokinetik LV, dimensi ruang- ruang jantung dalam batas normal, evaluasi katup kesan aorta regurgitasi dan pulmonal stenosis ringan. Gambar 2.3 Echocardiography Pasien Laporan angiografi koroner 13 September 2018 menyimpulkan single ostia dengan leftmain berpangkal di sinus koronarius kanan dan left main disease. Dianjurkan revaskularisasi koroner. 310 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 2.4 Gambaran Pencitraan Invasive Coronary Angiography Pasien : (Kiri) LAOCranial view ,(Kanan) LAO Caudal View ( Panah Merah LM keluar dari RC sinus, Panah Biru tampak LM distal stenosis 70%) Dari anamnesis dan pemeriksaan penunjang yang ada diputuskan untuk pemeriksaan diagnostik invasif lanjutan dengan angiografi koroner. Didapatkan kesimpulan single osteal, left main disease (distal stenosis 70%), small vessel LAD (mid-distal stenosis 50-80%), dan stenosis LCX moderate (proximal stenosis 50%). Kemudian disarankan untuk ad hoc PCI di left main dengan IVUS guiding. Pasien setuju untuk dilakukan revaskularisasi ad hoc PCI dengan IVUS guiding. Dari pengukuran IVUS didapatkan diameter left main 3.75 mm dengan minimal lumen area distal LM 3 mm2 dan external elastic membrane 7-8 mm2, diameter proximal LAD 2.5 mm, dan diameter proximal LCX 3 mm. Selanjutnya diputuskan untuk tindakan PCI LM dengan predilatasi ballooning distal LM sampai proximal LAD dan LCX dengan balon Accuforce 2.75 x 12 mm yang dikembangkan sampai 12 atm. Kemudian di implantasikan satu stent DES Promus Premier 2.75 mm x 28 mm di distal LM sampai proximal LCX lalu dikembangkan sampai 10 atm. Evaluasi angiografi menunjukkan LAD tertutup. Selanjutnya dilakukan ballooning pertama dengan balon Accuforce 2.75 x 12 mm menyusuri LM - LAD namun gagal. Lalu diputuskan untuk tindakan wiring dengan wire Floppy yang berhasil menembus lesi LAD, kemudian 311 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

dilanjutkan dengan insepsi baloon Accuforce 2.75 x 12 mm namun balon sulit menembus LAD. Selanjutnya diputuskan untuk menggunakan teknik switch flip flop, balon berhasil menembus LAD dan dilakukan predilatasi ballooning dan open stretch stent di LM sampai proximal LAD. Dari evaluasi angiografi didapatkan TIMI flow 3 di LAD. Selanjutnya dilakukan teknik kissing balloon dengan balon NC Emerge 3.5 x 12 mm pada LM-LAD dan LM-LCX yang dikembangkan sampai 6 atm. Evaluasi lanjutan menunjukkan mild dissection di osteal LAD, sehingga dilakukan ballooning selama 20 detik dengan tekanan sampai 10 atm. Kesan evaluasi lanjutan menunjukkan perbaikan. Kemudian dilanjutkan dengan rePOT dan POT di LM-LCX dengan ballon NC Emerge 3.5 x 12 mm yang dikembangkan sampai 12 atm. Evaluasi lanjutan menunjukkan TIMI flow 3dan tidak tampak residual thrombus di LCA. Gambar 2.5 Gambaran Invasive Coronary Angiography Pasien Post PercutanenousCoronary Intervention Evaluasi IVUS post PCI menunjukkan minimal lumen area LM 7-8 mm2, LAD 6 mm2 dengan kesan diseksi ringan, LCX 6-7 mm2 dengan diameter kurang lebih 3.75 mm2. Paska tindakan disarankan untuk pemberian dual antiplatelet dan evaluasi angiografi koroner 3 bulan kemudian. 312 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 2.6 Intravenous Ultrasonography Dalam masa perawatan lanjutan pasien diberikan dual antiplatelet Aspilet 1x80 mg danClopidogrel 1x75 mg, Ramipril 1x2.5 mg, Nitrokaf R 2x2.5 mg, Bisoprolol 1x2.5 mg, Atorvastatin 1x20 mg, ISDN 5 mg prn. Pengobatan DM dilanjutkan dengan kombinasi Metformin 3x500 mg dan insulin short dan long acting. Evaluasi MSCT-scan koroner paska tindakan melaporkan LMA berasal dari satu arteri yang keluar di atas sinus coronarius dextra, kemudian mempercabangkan LMA. LMA melingkari aorta descendens ke aorta posterior kemudian bercabang menjadi LCX dan LAD. Kesan anomalous origin of coronary artery from opposite sinus (ACOAS). Didapatkan aneurisma arteri pulmoner utama dan stenosis proximal LCX yang sudah terpasang stent. 313 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 2.7 MSCT Angiografi Koroner 314 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

BAB III DISKUSI 3.1 Terminologi dan Diagnosis Anomali Koroner ACAOS Sirkulasi koroner yang berasal dari single ostium termasuk kasus yang jarang, dengan laporan insidensi berkisar kurang dari 0.03% dari populasi umum. Kasus ini pertama kali dilaporkan oleh Hyrtl pada tahun 1841. Shirani dkk membuat klasifikasi 2 tipe besar berdasarkan anatomi yang bergantung pada asal dan pola distribusi arteri koronernya. Pada sistem klasifikasi ini tipe I merepresentasikan ostium yang berasal dari sinus koronarius kiri dan tipe II yang berasal dari sinus koronarius kanan. Pembagian subtipe lanjutan bergantung pada distribusi arteri koronernya. (Angelini, 2002) Kelainan arteri koroner ini muncul sejak perkembangan dalam masa fetus, dan kasus yang tanpa disertai kelainan jantung kongenital lain termasuk jarang. Dilaporkan hanya pernah ditemukan pada 0.25 sampai 0.9% pemeriksaan angiografi koroner. Prevelansi gender tidak diobservasi. Dari keseluruhan kelainan tersebut, yang paling banyak dilaporkan adalah ACAOS yang berasal dari RCA. Kelainan arteri koroner ini menjadi potensi kematian mendadak pada anak-anak dan atlet oleh karena iskemik miokard, infark miokard akut, dan SCD. Gejala iskemik ini dapat terjadi jika arteri koroner melewati arteri pulmoner dan aorta, dengan kejadian kematian mendadak oleh karena kompresi ekstrinsik arteri koroner. Koreksi anatomi melalui tindakan bedah pertama kali dilakukan oleh Bett pada tahun 1985. (Angelini,2007) Ada beberapa sistem klasifikasi untuk kelainan arteri koroner. Lipton et al, mengklasifikasikan variasi koroner berdasarkan asal dan perjalanan anatomi yang berkaitan dengan aorta asendens dan batang paru. Tipe L merupakan RCA yang berasal dari batang utama kiri dan tipe R menunjukkan bahwa arteri koroner berasal dari RCA. Jenis ini kemudian 315 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

diklasifikasikan sebagai I hingga III. Kelas I mengikuti kursus anatomi RCA atau LCA. Kelas II menunjukkan satu arteri koroner yang timbul dari bagian proksimal dari arteri koroner yangbiasanya terletak berlawanan. Di kelas III, LAD dan Cx muncul secara terpisah dari bagian proksimal RCA normal. Kelas II dan III kemudian ditetapkan sebagai anterior (tipe A) atau posterior (tipe P) menurut rute mereka dalam kaitannya dengan arteri pulmonalis, atau interarterial (tipe B) jika mengalir antara aorta asendens dan batang paru. Morfologi tipe B telah dikaitkan dengan risiko tinggi konsekuensi klinis bila dikaitkan dengan kursus intramural (2). Baru-baru ini, Angelini dkk (3) mengusulkan klasifikasi yang sedikit berbeda sesuai dengan jalur anatomi dalam sulkus interventrikular dan alur atrioventrikular, serta lokasicabang samping yang menembus.(Lipton et al., 1979) Gambar 3.1 Klasifikasi Single Coronary Artery (Lipton et al., 1979) Ostium koroner tunggal dengan LCA yang berasal dari RCA proksimal telah dilaporkan menggunakan MDCT dengan gerbang retrospektif, tetapi pola percabangan distal tidak dijelaskan. Lipton et al., mengklasifikasikan variasi koroner berdasarkan asal dan perjalanan anatomi yang berkaitan dengan aorta asendens dan truncus pulmonal. Tipe L merupakan RCA yang berasal dari batang utama kiri dan tipe R menunjukkan bahwa arteri koroner berasal dari RCA. Jenis ini kemudian 316 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

diklasifikasikan sebagai I hingga III. Kelas I mengikuti kursus anatomi RCA atau LCA. Kelas II menunjukkan satu arteri koroner yang timbul dari bagian proksimal dari arteri koroner yang biasanya terletak berlawanan. Di kelas III, LAD dan Cx muncul secara terpisah dari bagian proksimal RCA normal. Kelas II dan III kemudian ditetapkan sebagai anterior (tipe A) atau posterior (tipe P) menurut rute mereka dalam kaitannya dengan arteri pulmonalis, atau interarterial (tipe B) jika mengalir antara aorta asendens dan batang paru. Morfologi tipe B telah dikaitkan dengan risiko tinggi konsekuensi klinis bila dikaitkan dengan kursus intramural. (Lipton et al., 1979) Gambar 3.2. Anomali arteri normal kiri yang berasal dari sinus koronarius kanan : variasi berdasarkan distribusi anomali arterinya. (a) Anatomi normal arteri anomaly. (b) ACAOS dengan interatrial course. (c) ACAOS dengan prepulmonary course. (d) ACAOSdengan retroartic course. (e) ACAOS dengan subpulmonic course. ACAOS : anomalous origination of a coronary artery from the opposite sinus. (Lipton et al., 1979) Ketika ACAOS didiagnosis, baik dengan transesophageal echocardiogram (TEE), computed tomography angiogram (CTA) atau coronary angiogram, anomaly selanjutnya umumnya adalah mempelajari lebih lanjut anatomi pembuluh darah. Teknik pencitraan modern non- invasif seperti multidetector computed tomography (MDCT) dan magnetic resonance imaging (MRI) memungkinkan kami untuk mempelajari dengan 317 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

jelas asal dan rute pembuluh darah 10nomaly dengan rekonstruksi tiga dimensi pembuluh darah. Ini melengkapi ahli bedah dan ahli jantung intervensi dengan informasi yang diperlukan untuk menentukan manajemen yang tepat. (Baumgartner et al., 2021) Rekomendasi pencitraan yang diperlukan untuk membantu mendiagnosis kondisi ACAOS telah diatur dalam rekomendasi yang telah diterbitkan oleh ACC AHA 2018 pada bagian evaluasi anomaly arteri coroner. (Stout et al., 2019) Tabel 3.1 Rekomendasi Evaluasi ACAOS (Stout et al., 2019) Pada pasien kami Angiografi koroner menunjukkan ostium koroner tunggal di sinus valsava kanan dan anomali arteri koroner utama kiri (LMCA) berasal dari sinus valsava kanan. Kasus ini di gambarkan anomali Lipton tipe R-II-A di mana LMCA muncul dari sinus kanan Valsava dan berjalan anterior ke batang paru. Pencitraan jantung dilakukan menggunakan angiografi koroner MSCT diikuti dengan pemberian kontras. Ini mengkonfirmasi ostium tunggal di sinus koroner kanan dan tidak adanya ostium koroner kiri di sinus kiri. 318 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 3.3 Perbandingan Gambaran ACAOS RII-A pada Pasien Kami: (Kiri) Gambaran Skematik, (Tengah) Rekonstruksi Computed Tomography Coronary Angiography,(Kanan) Invasive Coronary Angiography 3.2 Patofisiologi terkait ACAOS Mekanisme yang mendasari ACAOS atas terjadinya kejadian kardiovaskular akut belum sepenuhnya diketahui, diduga akibat kelainan anatomis yang beresiko tinggi yang berkontribusi terhadap insufisiensi koroner yang repetitive terutama pada kondisi aktivitas fisikyang kompetitif yang dapat menimbulkan iskemik, jaringan parut dan aritmia ventrikel. Ketika terjadi takikardia dan overload hemodinamik akan menginduksi peningkatan kebutuhan O2 miokard tetapi terjadi penurunan aliran darah coroner. (Gräni et al., 2019) Pada pasien dengan L-ACAOS dengan klinis angina saat istirahat dan tidak ada relevansi dengan stenosis pada arteri koroner , hipotesa yang menimbulkan angina biasanya disebabkan oleh spasme coroner. MI atau myocardial scar akibat ACAOS sangat jarang dan dihubungkan dengan kondisi konkomitan dengan CAD. (Gräni et al., 2019) Patomekanisme Iskemia pada ACAOS Meskipun ada beberapa upaya untuk mengungkap patofisiologi ACAOS selama dekadesebelumnya, mekanisme yang mendasari iskemia tetap ambigu. Secara historis, jalur interarterial dianggap sebagai kelainan penting dengan asumsi mekanisme scissor-like yang diciptakan 319 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

oleh kedekatan aorta dan arteri pulmonalis, terutama selama aktivitas. (Angelini, 2007) Mempertimbangkan kondisi tekanan di masing-masing sistem peredaran darah, tidak mungkin arteri pulmonalis bertekanan rendah akan mengembangkan kekuatan tandingan yangsubstansial untuk menyumbat arteri koroner yang mengalami anomali. Selanjutnya, pada lokasiterdekat aortopulmonal, segmen anomali biasanya berjalan di dalam dinding aorta. Oleh karena itu, jalur interarterial dapat bertindak hanya sebagai pengganti untuk fitur anatomi berisiko tinggi lainnya seperti slit- like ostium, acute take-off angle, penyempitan proksimal / hipoplasia dengan bentuk pembuluh elips dan jalur intramural, yaitu jalur dalam tunika media dinding aorta (gambar 3.4). Akibatnya, terminologi harus fokus pada fitur ini daripada jalur interarterial. Selain fitur anatomi yang didukung oleh banyak bukti, mekanisme postulat lainnya adalah kompresi lateral dinamis dari segmen intramural penutupan ostium yang menyempit seperti flap, dan peningkatan kerentanan terhadap spasme koroner. (Angelini et al., 2003) Namun, spasme koroner jarang diamati dalam praktik klinis, kecuali kanulasi kateter secara tidak sengaja menyebabkan trauma. (Angelini and Uribe, 2018) Khususnya pada ACAOS dengan jalur intramural, spasme koroner tampak tidak masuk akal karena melekatnya ACAOS dalam tunika media aorta, suatu lapisan jaringan elastis tanpa sel otot polos fungsional. Selain itu, pengujian provokatif untuk spasme koroner menggunakan ergonovine tidak menimbulkan spastisitas segmen ektopik yang menunjukkan bahwa spasme tidak berkontribusi terhadap iskemia pada ACAOS (Angelini et al., 2003). Demikian pula, mekanisme penutupan seperti flap tidak diamati dalam praktik klinis dan hanya dilaporkan dalam studi otopsi. Kegagalan dalam mendemonstrasikan mekanisme ini secara in vivo mungkin karena sifat dinamis dari fenomena tersebut, yang mungkin terlewatkan oleh pencitraan. Atau, reproduktifitas mungkin terbatas karena masalah teknis [misalnya, resolusi spasial yang tidak memadai dari pencitraan non-invasif atau blokade flap oleh USG 320 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

intravaskular (IVUS) atau pemeriksaan optical coherence tomography (OCT) selama penilaianinvasif]. Fitur anatomi berisiko tinggi dari slit-like ostium pada asal ektopik didefinisikan sebagai pengurangan 50% dari diameter lumen minimal dibandingkan dengan diameter referensi distal normal [<50% = ostium oval] dan paling sesuai dengan konsep stenosis koroner relevan yang diketahui dari CAD. Dengan demikian, deformasi ostium koroner dengan penurunan luas penampang berlaku sebagai stenosis ostium. Dalam sebuah penelitian kecil, Kaushal et al. membandingkan diameter ostial rata-rata koroner anomali dengan pembuluh darah normal pada 27 pasien muda yang menjalani koreksi bedah ACAOS dan menemukan perbedaan kaliber yang signifikan (diameter rata-rata 1,5 ± 0,4 mm vs 3,3 ± 0,8 mm). (Kaushal et al., 2011) Dengan demikian, penyempitan segmen proksimal mengurangi luas penampang di bagian interarterial, relevansinya dapat diukur dengan menggunakan persen diameter stenosis dari anomali dalam kaitannya dengan segmen distal yang tidak terhalang [yaitu, (area referensi—area stenosis) /area referensi∗100]. (Zhang et al., 2009) Dalam kasus stenosis di atas 50%, revaskularisasi pembuluh darah proksimal dapat dipertimbangkan pada pasien yang lebih tua dengan gejala R-ACAOS. Dari catatan dan mirip dengan lesi aterosklerotik, tidak hanya persen diameter stenosis tetapi juga panjangnya mempengaruhi relevansi hemodinamiksecara langsung. (Zhang et al., 2009) Sudut take-off akut (di bawah 45◦), didefinisikan sebagai jalur aksial dari segmen proksimal tangensial ke lingkar pembuluh darah besar sebelumnya dikaitkan dengan gejala Lebih lanjut, kinking dari anomali arteri koroner selama latihan, yaitu, penurunan sudut take-off akut dan akibatnya meningkatkan penyempitan pada ostium, diusulkan sebagai mekanisme yang menginduksi iskemia. (Grollman, Mao and Weinstein, 1992) 321 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 3.4 Beragam Fitur Anatomi Berisiko Tinggi dan Konsekuensi FisiologiBerisiko Tinggi dari ACAOS (Gräni, Buechel, et al., 2017) Akhirnya, jalur intramural mungkin merupakan gambaran yang paling mengancam dalam hal relevansi hemodinamik. Seperti yang ditunjukkan oleh beberapa penelitian, panjangsegmen intramural dikaitkan dengan peningkatan risiko iskemia. (Frommelt et al., 2011) Selain itu, bentuk pembuluh darah proksimal elips [didefinisikan sebagai rasio tinggi / lebar> 1,3] sering terjadi dalam segmen intramural, dan deformasi [juga disebut kompresi lateral, tergantung dari fase jantung, yaitu, lebih jelas selama sistol. daripada diastol] telah terbukti meningkat selama aktivitas fisik dengan peningkatan tekanan dinding pembuluh darah besar. (De Oliveira, Gomes and Caramori, 2012) Mempertimbangkan hukum LaPlace [tekanan dinding = (tekanan transmural radius)/(2 ketebalan dinding)], tekanan dinding yang bertambah mempengaruhi khususnya segmen intramural, di mana ada penurunan substansial dalam ketebalan dinding aorta. Fenomena terakhir ini juga diperburuk oleh peningkatan 322 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

diameter arteri selama latihan fisik, sehingga menghasilkan kompresi lateral yang cukup untuk menyebabkan iskemia miokard bahkan selama diastol. Fitur anatomi ini tidak hanya relevan karena pengurangan luas penampang dibandingkan dengan bentuk pembuluh bundar, tetapi juga karena resistensi yang lebih tinggi seperti yang ditunjukkan oleh mekanika yang mendasarinya, yaitu hukum Hagen-Poiseuille. (Batchelor and Young, 1968) 3.3 Modalitas Diagnostik ACAOS Mengingat patomekanisme kompleks iskemia miokard pada pasien dengan ACAOS, modalitas diagnostik yang optimal tidak hanya diharapkan untuk mendeteksi keberadaan ACAOS dengan akurasi tinggi tetapi juga untuk mengumpulkan informasi tambahan tentang fitur anatomi berisiko tinggi, iskemia, bukti kemungkinan fibrosis miokard / scar sebagai substrat untuk takiaritmia ventrikel dan CAD secara bersamaan. (Basso et al., 2000) (Tabel 3.2) Elektrokardiogram Elektrokardiogram (EKG) 12 sadapan standar adalah modalitas diagnostik yang penting dalam pemeriksaan klinis harian. Namun, itu tidak berperan dalam mengenali kecurigaan ACAOS. Seperti yang ditunjukkan dalam beberapa laporan, EKG istirahat, bahkan pada pasien bergejala, tidak menunjukkan perbedaan yang khasDemikian pula, tes stres EKG, yang telah memiliki akurasi diagnostik terbatas untuk diagnosis CAD [sensitivitas 68%,spesifisitas 77%], tidak dapat diandalkan untuk mendeteksi iskemia miokard yang bergantung pada ACAOS. (Sperandii t al., 2018) 323 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Tabel 3.2 Perbandingan Modalitas Diagnostik untuk Asesmen ACAOS (Bigler et al.,2021) Ekokardiografi Dengan menggunakan transthoracic echocardiography (TTE), asal dan jalur proksimal arteri koroner dapat dinilai secara non-invasif tanpa paparan radiasi. Biasanya, diagnosis dengan TTE dibuat dari view short axis setinggi aortic root termasuk pemeriksaan color doppler terfokus pada dinding aorta untuk mengidentifikasi jalur intramural. Selanjutnya, TTE memungkinkan penilaian fungsi ventrikel dan katup serta evaluasi cacat jantung bawaan yangmenyertainya. Namun, keterbatasan penting dari TTE adalah penurunan nilai diagnostik pada orang dewasa atau pasien dengan poor echo window (86) serta diperlukannya jam terbang dari pemeriksa. Untuk identifikasi fitur anatomi berisiko tinggi, diperlukan 324 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

ekokardiografi transesofageal resolusi tinggi (TEE). (Frommelt et al., 2003) Computed Tomography Coronary Angiography Dengan kemajuan teknis yang substansial dalam dekade terakhir, Computed Tomography Coronary Angiography (CCTA) telah menjadi modalitas pencitraan pilihan untukdiagnostik anatomi ACAOS pada orang dewasa. CCTA memberikan resolusi spasial non- invasif terbaik dan metode pasca-pemrosesan lanjutan karena tampilan angiografi virtual 3D memungkinkan evaluasi rinci terhadap anatomi berisiko tinggi. Selain itu, pada pasien dewasa (Gräni, Benz, Schmied, et al., 2017), CCTA memungkinkan evaluasi penuh jalur arteri koronertermasuk deteksi CAD aterosklerotik bersamaan. Dalam beberapa tahun terakhir, paparan radiasi selama CCTA telah dikurangi secara dramatis menjadi rata-rata sekitar 0,5-3 mSv dalam praktik klinis sehari-hari. (Ichikawa et al., 2007) Pencitraan Cardiac Magnetic Resonance Pencitraan Cardiac Magnetic Resonance (CMR) menawarkan pencitraan 3D tomografi pada resolusi spasial tinggi [sedikit lebih rendah dari CCTA] tanpa radiasi dengan mengorbankan waktu pemindaian yang lama dan biaya yang lebih tinggi. Hal ini memungkinkan visualisasi dan penilaian asal dan jalur ACAOS dalam kaitannya dengan pembuluh darah besar secara rinci dan tanpa menggunakan agen kontras, menjadikan modalitas ini sangat menarik pada populasi anak. CMR mampu menangkap informasi tambahan yang relevan terkait dengan struktur dan fungsi jantung (Gräni, Buechel, et al., 2017), termasuk nekrosis miokard sebagai substrat untuk takiaritmia ventrikel. Namun, CMR dibatasi oleh kesulitannya untuk menilai segmen distal arteri koroner, serta CAD yang menyertainya. (Basso et al., 2000) 325 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Pencitraan Jantung Nuklir Modalitas pencitraan jantung nuklir [yaitu, single-photon emission computed tomography (SPECT) dan positron emission tomography (PET)] adalah teknik yang established untuk stratifikasi risiko dan penilaian perfusi miokard dalam setting CAD. Beberapa penelitian menggunakan modalitas ini untuk penilaian relevansi hemodinamik ACAOS (De Luca et al., 2004) dan menunjukkan kinerja diagnostik yang baik. Selanjutnya, kombinasi dengan CT memungkinkan alokasi ke wilayah pembuluh darah yang sesuai, situasi yang sering berubah dalam ACAOS. (Gräni, Benz, Possner, et al., 2017) Invasive Coronary Angiography Invasive Coronary Angiography (ICA) telah menjadi standar emas untuk diagnostik anomali arteri koroner selama beberapa dekade, namun kurang cocok untuk memvisualisasikan fitur anatomi berisiko tinggi dan untuk menentukan jalur ACAOS dalam kaitannya dengan pembuluh darah besar. Karena munculnya modalitas pencitraan non-invasif seperti CCTA dan CMR, ICA tidak lagi menjadi modalitas lini pertama untuk menentukan anatomi ACAOS (75, 112). Namun demikian, dalam kombinasi dengan prosedur diagnostik intravaskular seperti USG intravaskular (IVUS) dan optical coherence tomography (OCT), ICA terus memiliki signifikansi klinis. Menurut Angelini et al., IVUS adalah standar emas untuk penilaian segmenintramural karena memungkinkan penilaian spasial terbaik serta demonstrasi kompresi lateral dinamis selama simulasi latihan (46, 54). Keduanya, penentuan gradien tekanan (yaitu, FFR) di segmen anomali serta IVUS, dimungkinkan di bawah simulasi latihan fisik, memungkinkan evaluasi paling komprehensif dari relevansi hemodinamik hingga saat ini (27, 56-59, 66, 113 , 114). Selain itu, pengujian fungsional non-invasif tidak memungkinkan untuk mengungkap kemungkinan iskemia ventrikel kanan yang terisolasi (misalnya, pada R- ACAOS dengan RCA kecil dan dominasi koroner kiri), karena hanya 326 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

miokardium kiri yang dapat dinilai. Meskipun, miokardium yang berisiko mungkin agak kecil dalam situasi ini, orang dapat berargumen bahwa aritmia masih dapat diinduksi dari ventrikel kanan dan harus dinilai menggunakan FFRinvasif. Stress Testing Stress testing yang ideal untuk ACAOS harus dapat menilai komponen dinamis dan statis, dan harus cukup kuat untuk memicu kompresi lateral. Persyaratan ini secara ilustratif ditunjukkan dalam laporan kasus oleh Lim et al. (Lim et al., 2004), menggambarkan pasien wanita berusia 14 tahun dengan L-ACAOS yang menunjukkan nilai FFRAdenosine dan FFRDobutamin (0,87 vs. 0,86) serupa pada denyut jantung 153 bpm (74% dari denyut jantung maksimal) dan dengan demikian, hanya evaluasi dari komponen tetap. Oleh karena itu, beban latihan maksimal sangat penting dan pemeriksa harus bertujuan untuk stres maksimal atau supramaksimal (100% dari prediksi denyut jantung maksimal atau lebih, diperkirakan dengan rumus 220-usia). Sayangnya, sebagian besar stress test yang dilakukan puas dengan 85% dari denyut jantung maksimal (Uebleis et al., 2012), memberikan penjelasan yang mungkin untuk keandalan yang rendah dan korelasi yang hilang dengan gejala klinis dan prognosis. Secara umum, latihan fisik maksimal harus diutamakan. Namun, ini sering tidak layak, terutama dalam pengaturan invasif. Selanjutnya, vasodilator murni (yaitu, adenosin atau regadenoson) tidak dapat memicu komponen dinamis (yaitu, kompresi lateral dinamis dari jalur intramural) dan dengan demikian, cenderung memberikan hasil negatif palsu. Dalam serangkaian kasus dilaporkan, kompresi lateral yang diilustrasikan oleh IVUS selama ICA diprovokasi dengan norepinefrin. Namun, metode ini tidak mensimulasikan latihan fisik yang kuat secara memadai karena hanya sedikit peningkatan denyut jantung dan adaptasi resistensi pembuluh darah koroner yang tidak 327 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

memadai. (YURCHAK et al., 1964) Untuk pengujian stres invasif, Angelini et al. memperkenalkan tes \"SAD\", yang memerlukan tes stres farmakologis dengan infus cepat500 ml saline, infus bertahap dobutamin hingga 40 g/kg/menit dan sebagai tambahan 0,5 mg atropin jika denyut jantung di bawah 140 bpm pada akhirnya infus dobutamin. Walaupun protokol stres ini paling mirip dengan olahraga berat, protokol ini memiliki dua batasan utama. Pertama, detak jantung target tetap 140 bpm tidak memiliki adaptasi terkait usia dan dengan demikian, menyebabkan beban olahraga yang tidak mencukupi di antara pasien yang lebih muda. Kedua, infus salin diperlukan, karena dobutamin menurunkan preload dan karenanya, tekanan darah arteri sistolik, tekanan dinding aorta dan konsumsi oksigen miokard. Namun, seperti halnya denyut jantung tetap, infus saline harus dapat mencegah penurunan tekanan darah selama infus dobutamin dan mempertahankan preload yang memadai daripada nilai tetap. Mengenai prosedur diagnostik invasif, akses radial merupakan situs akses yang disukai. Intubasi ostium anomali dalam kombinasi dengan diagnostik lanjutan termasuk FFR dan pencitraan intravaskular dalam kondisi istirahat dan stres memerlukan pengalaman tingkat tinggi dan harus dikhususkan untuk ahli jantung intervensi yang berpengalaman. (Angelini andFlamm, 2007) 3.4 Rekomendasi Revaskularisasi pada ACAOS CABG adalah strategi invasif terpilih pada kasus unprotected LM, namun belakangan banyak dilakukan tindakan intervensi koroner perkutaneus dengan implantasi DES. Modalitas utama yang dibutuhkan untuk kuantifikasi severitas lesi stenosis pada kasus unprotected LM adalah myocardial frcational flow reserve (FFR) dan intravscular ultrasound (IVUS) walaupun pendekatan scare pembedahan telah diatur dalam rekomendasi yang telah diterbitkanoleh ACC AHA 2018. (Stout et al., 2019) 328 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 3.5 Panduan Tatalaksana ACAOS (Stout et al., 2019) Kelebihan IVUS dibanding FFR selain dapat menilai severitas lesi stenosis, juga dapatmemberi gambaran informasi anatomi koroner seperti ukuran pembuluh darah, adanya kalsifikasi, dan keterlibatan bifurkasio distal. Dibanding dengan angiografi, IVUS terbukti lebih sensitif dalam deteksi dini lesi atherosklerosis. Jasti dkk., membuktikan via pengukuran IVUS prediktor kuat untuk stenosis LM yang signifikan secara fisiologis adalah diameter lumen minimal 2.8 mm dengan area lumen minimal 5.9 mm2, sementara untuk FFR > 0.75 menjadi prediktor kuat penyintas. (Hariharan, Kacere and Angelini, 2002) ACC/AHA guideline tahun 2018 menyatakan pendekatan konservatif dapat dilakukanpada ACAOS kanan yang tanpa disertai bukti iskemik. Namun pada pasien ini dengan adanya bukti iskemik stenosis signifikan , maka pilihan revaskularisasi bedah sebaiknya dilakukan (level evidence B). Adanya penyulit unprotected LM disease dan diabetes mellitus juga menjadiindikasi kuat untuk dilakukan revaskularisasi bedah. 329 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Namun dipilih strategi intervensi revaskularisasi perkutan karena pertama pasien menolak tindakan CABG, kemudian dari pemeriksaan IVUS didapatkan diameter dan area lumen LM yang masih baik untuk tingkat sintasan jika dilakukan implantasi DES. (Stout et al., 2019) 3.5 Strategi pendekatan PCI pada kasus ACAOS Tujuan PCI dapat dibagi menjadi tujuan anatomis dan klinis. Kekakuan struktural stent memungkinkan mereka untuk memperbaiki beberapa fitur anatomi. Ostioplasti dari lubang seperti celah dan pelebaran hipoplasia segmen arteri adalah efek yang diharapkan dari pemasangan stent koroner dalam kasus ini. Selain itu, stent logam dapat mencegah dugaan kompresi interarterial dan perubahan dinamis morfologi lumen intramural selama latihan intensif. Tujuan klinis mirip dengan operasi, tetapi dengan cara yang berbeda. Kontrol gejala iskemik dan koreksi iskemia miokard yang diinduksi harus menjadi tujuan utama PCI untuk populasi target yang berisiko tinggi dilakukan tindakan pembedahan. Pencegahan kejadian sudden cardiac death tentu saja juga diharapkan. Hyun-O Cho et al. melaporkan keberhasilanprimary PCI pada infark miokard akut yang terjadi pada ACAOS, dimana terjadi anomali LCA yang berasal dari sinus valsalva kanan. (Cho et al., 2006) Doorey AJ et al. juga melaporkan keberhasilan revaskularisasi PCI pada 14 pasien dengan gejala iskemia miokard (Doorey et al.,2000) Sifat Mekanik Stent Hasil optimal dari stenting ACAOS masih dalam ketidakpastian. Stent adalah struktur logam yang melawan gaya tekan arteri. Karakteristik mekanik stent belum dipelajari sepenuhnya padakasus ACAOS. Konsep stenting dikembangkan untuk meningkatkan hasil dilatasi balon, dengan kompresi beban aterosklerotik yang lebih baik dan rekoil elastis vaskular yang lebih rendah. Segmen koroner dengan jalur interarterial umumnya 330 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

bebas dari aterosklerosis. Pada dasarnya, tujuan pemasangan stent pada AAOCA adalah melakukan remodeling vaskular. (Aubry et al., 2021) Perencanaan dan Indikasi PCI Pengetahuan kita saat ini di bidang ACAOS mendorong kita untuk memilih pembedahan sebagai terapi lini pertama untuk L-ACAOS, kecuali untuk orang dewasa dengan risiko bedahtinggi. Evaluasi dan manajemen pasien dengan ACAOS yang berisiko sebaiknya didiskusikan dengan tim multidisiplin yang berdedikasi (ahli jantung, ahli radiologi, dan ahli bedah denganpengalaman di bidang ACAOS). Algoritma standar, direvisi secara teratur, harus memungkinkan pengambilan keputusan yang optimal untuk setiap pasien sesuai dengan presentasi awal dan pemeriksaan diagnostik. Pasien berusia di atas 30 tahun dengan R-ACAOSyang terkait dengan gejala iskemik dan/atau iskemia miokard yang terdokumentasi mewakili populasi potensial yang memenuhi syarat untuk PCI. (Darki et al., 2020) Keterbatasan dan Kekuatan PCI Kekuatan PCI dibandingkan dengan pembedahan yang biasanya diamati dalam pengobatan CAD, dengan tinggal di rumah sakit lebih pendek dan efek samping pasca prosedur yang lebih sedikit dengan pendekatan perkutan. Selain itu, yang terakhir dapat dilakukan oleh sebagian besar ahli jantung intervensi. Sebaliknya, tidak banyak ahli bedah jantung mampu memperbaikiACAOS. (Ong, Cameron and Jacobs, 2018) 331 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Gambar 3.6 Diagram Representative kateter ACAOS Secara teoritis, melakukan PCI dalam SCA meningkatkan risiko prosedural, karena komplikasi yang menyebabkan diseksi (misalnya induksi guiding kateter) dari ostium tunggaldapat menjadi bencana besar. Praktis, karena ostium tunggal biasanya berkaliber besar, risiko kerusakan guiding catheter sangat rendah. Gambar 3.7 Algoritma Evaluasi dan Tatalaksana ACAOS (Aubry et al., 2021) 332 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

Pada pasien kami L-ACAOS dengan adanya gejala iskemia disertai penyempitan lumen yang signifikan pada segmen distal LM hingga ke segmen proksimal LCX. Kami memutuskan untuk melakukan revaskularisasi dengan percutaneous coronary intervention yakni ballooningdan pemasangan satu stent DES dengan guiding IVUS. BAB IV KESIMPULAN Diagnosis tepat waktu dari arteri koroner yang anomali sangat penting pada pasien bergejala karena risiko kematian jantung mendadak, terutama pada pasien dengan malignant course. Evaluasi anatomi dan fisiologis harus dilakukan pada pasien dengan anomali aorta koroner. Pengobatan anomali arteri koroner masih kontroversial dan bergantung pada anatomi yang ditemukan. Pembedahan adalah pengobatan utama, meskipun penghambat beta dan penghambat saluran kalsium telah digunakan untuk mengurangi gejala iskemik. ACAOS memiliki beberapa fitur unik yang dapat dievaluasi paling baik oleh IVUS, pemilihan panjang stent sangat difasilitasi oleh pencitraan IVUS yang secara angiografik sulit ditentukan PCI pada ACAOS interarterial sangat terbatas karena kasus yang jarang, pada ACAOSkiri, stent-angioplasti pada segmen yang intususepsi telah dicoba dengan beberapa keberhasilan awal. Secara teknis, ACAOS juga dapat diobati dengan stent. Indikasi saat ini untuk pendekatan perkutan pada pasien dengan risiko bedah tinggi, urgensi atau preferensi pasien. 333 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

DAFTAR PUSTAKA 1. Angelini, P. (2002) ‘Coronary artery anomalies - Current clinical issues: Definitions, classification, incidence, clinical relevance, and treatment guidelines’, Texas Heart Institute Journal, 29(4), pp. 271–278. 2. Angelini, P. et al. (2003) ‘Anomalous coronary artery arising from the opposite sinus:descriptive features and pathophysiologic mechanisms, as documented by intravascular ultrasonography.’, The Journal of invasive cardiology. United States, 15(9), pp. 507–514. 3. Angelini, P. (2007) ‘Coronary artery anomalies: an entity in search of an identity.’, Circulation. United States, 115(10), pp. 1296–1305. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.106.618082. 4. Angelini, P. and Flamm, S. D. (2007) ‘Newer concepts for imaging anomalous aortic origin of the coronary arteries in adults’, Catheterization and Cardiovascular Interventions. doi: 10.1002/ccd.21140. 5. Angelini, P. and Uribe, C. (2018) ‘Anatomic spectrum of left coronary artery anomalies and associated mechanisms of coronary insufficiency’, Catheterization andCardiovascular Interventions. doi: 10.1002/ccd.27656. 6. Basso, C. et al. (2000) ‘Clinical profile of congenital coronary artery anomalies with origin from the wrong aortic sinus leading to sudden death in young competitive athletes’, Journal of the American College of Cardiology. doi: 10.1016/S0735- 1097(00)00566-0. 7. Baumgartner, H. et al. (2021) ‘2020 ESC Guidelines for the management of adultcongenital heart disease’, European Heart Journal, 42(6), pp. 563– 645. doi: 10.1093/eurheartj/ehaa554. 8. Bigler, M. R. et al. (2021) ‘Hemodynamic Relevance of Anomalous Coronary Arteries Originating From the Opposite Sinus of Valsalva-In Search of the Evidence’, Frontiers in Cardiovascular Medicine. doi: 10.3389/fcvm.2020.591326. 9. Cho, H. O. et al. (2006) ‘Anomalous origin of the left coronary artery from the right sinus of valsalva, which presented as acute myocardial infarction’, Korean Circulation Journal. doi: 10.4070/kcj.2006.36.12.817. 10. Darki, A. et al. (2020) ‘Technical success and long-term outcomes after anomalousright coronary artery stenting with cardiac computed tomography angiography correlation’, Catheterization and Cardiovascular Interventions. 334 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

doi: 10.1002/ccd.28453. 11. Doorey, A. J. et al. (2000) ‘Six-month success of intracoronary stenting for anomalous coronary arteries associated with myocardial ischemia’, American Journalof Cardiology. doi: 10.1016/S0002-9149(00)01023-7. 12. Frommelt, P. C. et al. (2003) ‘Prospective echocardiographic diagnosis and surgical repair of anomalous origin of a coronary artery from the opposite sinus with an interarterial course’, Journal of the American College of Cardiology. doi: 10.1016/S0735-1097(03)00503-5. 13. Gräni, C., Buechel, R. R., et al. (2017) ‘Multimodality Imaging in Individuals With Anomalous Coronary Arteries.’, JACC. Cardiovascular imaging. United States,10(4), pp. 471–481. doi: 10.1016/j.jcmg.2017.02.004. 14. Gräni, C. et al. (2019) ‘Diagnosis and Management of Anomalous Coronary Arterieswith a Malignant Course’, Interventional Cardiology Review, 14(2), pp. 83–88. doi: 10.15420/icr.2019.1.1. 15. Grollman, J. H., Mao, S. S. and Weinstein, S. R. (1992) ‘Arteriographic demonstration of both kinking at the origin and compression between the great vesselsof an anomalous right coronary artery arising in common with a left coronary artery from above the left sinus of valsalva’, Catheterization and Cardiovascular Diagnosis.doi: 10.1002/ccd.1810250110. 16. Hariharan, R., Kacere, R. D. and Angelini, P. (2002) ‘Can stent-angioplasty be a validalternative to surgery: When revascularization is indicated for anomalous origination of a coronary artery from the opposite sinus?’, Texas Heart Institute Journal, 29(4), pp. 308–313. 17. Ichikawa, M. et al. (2007) ‘Multislice computed tomographic findings of the anomalous origins of the right coronary artery: Evaluation of possible causes of myocardial ischemia’, International Journal of Cardiovascular Imaging. doi: 10.1007/s10554-006-9165-9. 18. Kaushal, S. et al. (2011) ‘Intramural coronary length correlates with symptoms in patients with anomalous aortic origin of the coronary artery’, Annals of Thoracic Surgery. doi: 10.1016/j.athoracsur.2011.04.112. 19. Lim, M. J. et al. (2004) ‘Hemodynamic abnormalities across an anomalous left maincoronary artery assessment: Evidence for a dynamic ostial obstruction’, Catheterization and Cardiovascular Interventions. doi: 10.1002/ccd.20182. 335 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021

20. Lipton, M. J. et al. (1979) ‘Isolated single coronary artery: Diagnosis, angiographicclassification, and clinical significance’, Radiology, 130(1), pp. 39– 47. doi:10.1148/130.1.39. 21. Lorenz, E. C. et al. (2006) ‘A systematic overview of anomalous coronary anatomy and an examination of the association with sudden cardiac death.’, Reviews in 22. With Congenital Heart Disease: A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines,Circulation. doi: 10.1161/CIR.0000000000000603. 23. Aubry et al. (2021) ‘Place of Angioplasty for Coronary Artery Anomalies With Interarterial Course’, Frontiers in Cardiovascular Medicine. doi: 10.3389/fcvm.2020.596018. 336 | BULETIN KARDIOLOGI, 1-2021


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook