BYURRRRR Dua badut yang baru datang mengambil air terpeleset dan menumpahkan airnya pada Samsol dan Pak rofiq, lengkap dengan embernya. Suasana tegang pun berubah menjadi riang, semua tertawa senang, kecuali Pak Rofiq. Setelah semua yang terjadi barusan, Saya masih belum bisa tenang,karena bukan berarti setan yang merasuki Samsol itu hilang dari kontrakan ini. Rencana untuk mencari informasi dengan seorang medium pun gagal total gara-gara objek nya salah pilih sasaran, sedangkan masih ada beberapa hari yang harus Saya lalui di kontrakan. Kepala yang basah membuat Saya bisa sedikit berpikir jernih, ada seseorang yang bisa memberikan Saya informasi tanpa harus melalui tragedi seperti ini lagi, dan orang itu adalah Sandy. Mungkin dia tidak tahu banyak tentang asal-usul Restoran dan Kontrakan ini, tapi dia pasti bisa menjelaskan apa saja yang sudah dia alami selama berada disini. \"Kami numpang kamar mandinya ya Pak Danil, tolong jangan kapok gara-gara malam ini kita gagal, besok malam kita pasti datang lagi Pak\" Ujar Pak Rofiq yang disambut dengan paduan suara.. “HAAAAAAAAAAH??? LAAAAAAAAAGIIIIIIIIII???“ Ya! Semua sudah lelah semua sudah trauma, termasuk Saya. \"Maaf Pak Rofiq, besok malam Saya tidak ada di kontrakan. Ada kerabat Saya yang terkena musibah dan Saya merasa tidak enak kalau tidak menjenguknya. Kita lanjutkan lagi besok lusa, sekalian Saya ajak kerabat Saya kesini\" Ucap Saya \"Memang kerabat sampean yang mana yang kena musibah Pak?\" Tanya Pak Atmojo \"Sahabat lama Saya, Ibunya baru meninggal. Semoga saja dia bersedia untuk Saya ajak kesini, karena bagaimanapun sebelum Saya dan Samsol....DIALAH PENGHUNI KONTRAKAN INI” ----‘’---- 150
THE OLD MAN Saya tidak pernah diajarkan menjadi seorang Ayah yang baik...... Itu tidak akan terjadi pada Saya yang lahir dari seorang Ayah kriminal, Dan Ibu yang dengan senang hati meninggalkan Saya di panti asuhan. Saya tumbuh besar, dewasa, lalu tua di jalanan, walau demikian.... Saya belajar dari semua pengalaman. Saya tidak pernah percaya kutukan! Tapi saya percaya nasib buruk adalah turunan. Karena saat ada kesempatan bagi Saya untuk berkeluarga, semua itu kandas di pertengahan. Ironis.... Mengingat betapa benci nya Saya pada kedua orang tua, Sementara Anak saya satu-satunya justru mengalami nasib yang sama... Apakah Kamu membenci Ayah? Vivi................ 10 Januari 20xx, 06.00 WIB KREK Saya membuka pintu rumah dan mempersilahkan tamu Saya untuk masuk. Walau begitu, wajah Saya bukanlah wajah yang wajar untuk menerima seorang tamu. Perempuan ini adalah orang terakhir yang saya harapkan untuk menginjakkan kaki di rumah ini, terutama untuk bertemu dengan Vivi. Terlepas dari itu, Saya mengantarkan perempuan ini ke Kamar Vivi, gadis kecil itu sedang bermain dengan bonekanya, ditemani oleh Bi Yati, tetangga sebelah yang memang sering Saya minta untuk menjaga Vivi bila tidak sedang di rumah. Vivi menurunkan boneka yang sedang dipeluknya, memandang heran pada perempuan berjilbab di samping Saya yang tiba-tiba saja menangis, lalu berlari memeluk Vivi. Saya memberikan isyarat pada Bi Yati untuk keluar kamar, beliau pun mengerti dan segera pergi. Di atas kursi rodanya, Vivi masih bingung bagaimana dia harus bereaksi, perempuan itu memeluknya erat, sambil menangis sejadi-jadinya. Anehnya.... Saya sama sekali tidak terharu, pertemuan Ibu dan anak ini memang sangat menyedihkan, tapi bagaimanapun... Saya tidak bisa menyembunyikan rasa yang sejak tadi saya tahan, rasa itu adalah..... \"AMARAH\" Saya tidak akan pernah lupa apa yang sudah dia lakukan pada Saya, pada Vivi, pada keluarga kecil Saya. \"Kaesy! jika bukan karena Vivi, Saya tidak akan sudi melihat wajahmu lagi\" Ucap saya dalam hati. 151
Vivi memandangi Saya, berharap petunjuk tentang siapakah perempuan yang sedang memeluknya ini. Kaesy melepaskan pelukannya, menyapu air mata yang sepertinya percuma, karena tangisnya yang tidak bisa berhenti. \"Vivi.... Vivi... sudah besar sekali kamu Nak.....\" Ucap Kaesy yang membuat tangisnya semakin tak terkendali \"Tante....?? Tante siapa??? Kenapa tante menagis?\" Sudah cukup! Saya tidak tahan lagi melihat pemandangan ini. Saya pergi keluar kamar, memberikan Kaesy waktu untuk menjelaskan semuanya pada Vivi, tentu saja ada batasan yang tidak boleh didengar oleh anak seumuran Vivi, dan sebuah kesepakatan bahwa Vivi tidak boleh tahu, kalau Kaesy adalah Ibunya. Di ruang tamu, Saya mencoba menghubungi Lora, pemilik toko Kasta Tinggi di kota Oseng. Karena sampai sekarang, Saya belum mendengar kabar darinya. Saya mulai curiga, hanya saja saya terlalu takut untuk mengira-ngira. Masih Saya ingat jelas reaksi Riska ketika Saya tidak sengaja menyentuh jam tua itu, Dia sangat marah seolah tidak rela benda antik itu disentuh orang lain. Tapi.... reaksi yang berbeda dari Riska, saat Oma yang memberikan ijin pada Saya untuk membawa Benda Antik itu pergi. Saat itu, Riska hanya... TERSENYUM \"Aaaaah! Kenapa Saya malah khawatir dibohongi? Tidak mungkin! Mereka semua orang baik, tidak mungkin membohongi Saya\" Sepuluh menit pun berlalu, waktu yang sudah jauh dari kesepakatan Saya dan Kaesy. Baru saja Saya akan menyusul mereka ke kamar, tapi Kaesy dan Vivi sudah lebih dulu keluar. Mereka berdua sudah tampak akrab, mungkin memang benar..... Ikatan batin ibu dan anak, adalah tali yang tidak dapat diputuskan, apalagi oleh ego seorang Ayah. \"Saya akan bawa Vivi sekarang\" Ujar kaesy Melihat ekspresi wajah Vivi yang bingung dan takut, Saya mendekatinya untuk memberi pemahaman. \"Bapak ada pekerjaan di luar kota selama seminggu, Bi Yati juga gak bisa nemenin Vivi di rumah, jadi sekarang Vivi ikut tante dulu ya!\" \"Enggak.... Vivi mau sama Pa'e!\" Rengek Vivi hampir menangis. Mungkin penyampaian saya terdengar seperti pengusiran di telinga polosnya. \"Nanti bapak nyusul Vivi kesana...., abis itu kita jalan-jalan, terus pulang deh... Ok?\" Merayu anak kecil memang sangat mudah, tapi membohonginya adalah hal yang berbeda. Ada rasa bersalah yang tidak akan mungkin bisa sayatebus bahkan jika suatu saat Saya mengakuinya. Vivi tersenyum manis di kursi rodanya. Kaesy mendorongnya keluar rumah, lalu menyuruhnya berpamitan. 152
\"Janji! Jangan nakal di rumah tante ya!\" Pesan saya pada gadis kecil berambut kepang ini. \"Iyaaaa pa'e.... pa'e juga janji jangan lupa jemput vivi yaaaa!\" Ucap Vivi seraya memberikan jari kelingkingnya. Perpisahan Saya dengan Vivi hanyalah sementara, tapi melihatnya pergi bersama Ibunya, Saya merasa sangat sedih. Seperti.... sudah tidak dibutuhkan lagi. Kaesy membawa Vivi masuk ke dalam mobil sedan merah milik suami barunya, yang sedari tadi menunggu di dalam. Sejak menikah lagi, Banyak yang berubah dari mantan istri Saya itu. Penampilan sederhana ala gadis desa nya berubah menjadi wanita metropolitan dengan bunyi perhiasan emas setiap kali dia melambaikan tangannya. Kaca mobil sedan itu terbuka, tampak Vivi melambaikan tangannya pada Saya yang masih berdiri di depan pintu rumah. Gadis kecil itu berteriak dengan suara mungilnya.... \"Dadaaaaaaaaaa pa'eeeeeeeeeeeeeeeeee\" Saya tersenyum sedih, dan membalas lambaian tangannya. Kali ini Vivi membuang pandangannya pada pintu garasi di samping rumah, lalu berteriak \"Dadaaaaaaaaaaaah Bu Deeeeeeeeeee\" ----‘’---- 11 Januari 20xx, 02.00 WIB \"Assalamualaikum, benar ini nomor Pak Lukmanul Hakim?\" \"Waalaikumsalam ya, benar! Ini Saya sendiri\" \"Saya Nizam Pak, karyawan toko Kasta Tinggi\" \"Ah Iyaaa iyaaa, jadi gimana?? Kapan kira-kira Saya bisa menemui Lora\" \"Emmmm..... jadi begini bapak Lukman, Lora meminta bapak untuk menjemput kembali barang yang bapak bawa!\" \"Apaaa? Kenapa?\" \"Saya tidak tahu alasannya pak, cuma.... Lora titip pesan buat Pak Lukman\" \"Kembalikan Jam ini ke tempat semula, dan temui saya dengan membawa satu botol kecil berisi air pertama yang diambil dari sumur di malam jumat legi\" Entah..... Saya harus senang, atau susah. Lora mengundang saya ke dhalem nya, adalah kesempatan Saya untuk berdiskusi langsung dengan orang yang mengerti tragedi ini. Di satu sisi.... Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa tertipu 153
oleh Oma dan Riska. Dari sini Saya mulai Yakin, mereka semua pasti terlibat dalam semua kegilaan ini. Saya kembali melanjutkan perjalanan. Ah! walaupun masih tersisa rasa sedih karena harus berpisah dengan anak sendiri, hati kecil Saya justru merasa bebas karena tidak ada lagi alasan untuk pulang lebih cepat. Menghabiskan waktu sampai tengah malam bersama teman-teman, adalah relaksasi gratis bagi pekerja keras seperti kami. Tapi.... itu artinya Saya harus mengemudi pulang dengan rasa kantuk yang hampir tidak tertahan. \"Vivi.... apa maksud ucapan dia tadi pagi? Apa mungkin.... gadis itu masih melihat perempuan berambut putih di rumah? Aaaaah! Tidak! Itu tidak mungkin. Sudah beberapa hari sejak kejadian di garasi itu, dan tidak sekalipun Saya melihat si rambut putih lagi\" Saya sedang senam batin, mungkin saja dengan menyibukkan pikiran pada sesuatu yang menyeramkan, rasa kantuk saya menjadi hilang. Dan hasilnya..... percuma! Ini sudah ketiga kalinya mata saya terpejam tanpa Saya sadari, dan ketika itu terjadi untuk keempat kalinya..... rasa kantuk Saya harus memakan korban.. TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN BRUAAAAAAAAAAAAAAK!!!!! Nafsu tidur saya berubah menjadi panik, karena baru saja saya menabrak seorang pelajan kaki. \"Jangan mati....... jangan mati.......... jangan matiiiiiiiiiiii\" Saya tergopoh gopoh keluar dari mobil, dengan bayangan jeruji besi di kepala ini, karena kalau orang itu mati, kesanalah Saya akan pergi. Tapi ternyata..... Saya bisa bernafas lega, walaupun harus dengan wajah heran, karena tidak ada korban jiwa dalam tabrakan ini, bahkan SAMA SEKALI TIDAK ADA KORBAN YANG TERLIHAT Saya mengelilingi mobil, memeriksa setiap sudut jalan yang sepi.... karena walaupun sedang mengantuk, Saya masih sadar apa yang saya lihat. Lagipula..... bunyi benturan itu terlalu nyata untuk sebuah ilusi. Sudah cukup! Saya tidak mau ambil resiko berlama-lama di jalanan sepi ini. Entah itu kucing, anjing, atau apapun yang saya tabrak barusan, yang jelas mahluk itu sudah pergi jauh dan itu artinya Saya selamat dari ancaman jeruji besi. BRMMMMMMMMMM Saya melanjutkan perjalanan pulang, yang tertunda karena kelalaian Saya. Tapi baru beberapa meter saya tancap gas, mobil ini kembali Saya hentikan. Kali ini.... Saya benar-benar kehilangan nafsu untuk terlelap. Mata ini terbuka lebar akibat melihat sesuatu yang sangat tidak ingin Saya lihat. Dari spion tengah mobil, Saya melihat seseorang sedang duduk di Bak belakang. Dia menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan sambil bertepuk tangan, 154
seperti anak kecil yang sedang bermain. Tapi Saya tahu betul! Gaun hitam itu...... dan bau busuk ini........ DIA ADALAH PEREMPUAN BERAMBUT PUTIH Saya berdebat dengan hati Saya sendiri, antara turun dan berlari, atau tancap gas dan kebut pulang. Tapi sepertinya.... Kaki Saya punya pendapat berbeda, tanpa pikir panjang Saya menginjak pedal gas dan memaksa mobil tua ini untuk berlari lebih cepat dari biasanya. BRMMMMMMMMMMMMMMMMMM Walaupun jendela kaca terbuka lebar, dan angin malam yang masuk ke hidung Saya, lebih banyak daripada nafas yang Saya keluarkan. Tapi Bau busuk wanita itu, seakan-akan terus mengejar. Saya perhatikan Spion tengah, berharap ada kabar baik dari cermin kecil itu. Dan ternyata........ PEREMPUAN ITU SUDAH TIDAK ADA \"Alhamdulillah.......\" Saya pun kembali melihat ke depan. DCIIIIIIIIIIT…. Suara ban berdecit, melengking di tengah malam. Spontan Saya menginjak rem, karena tiba-tiba...KEPALA SETAN ITU BERADA DI KACA DEPAN, DENGAN TUBUHNYA YANG BERADA DI ATAP MOBIL \"Astaghfirullah...... Astaghfirullah......Astaghfirullah......\" Dzikir Saya semakin keras, seiring laju mobil yang semakin cepat. Kaki kanan Saya kram otomatis, mustahil memindahkannya dari pedal gas. Saya harus mengendalikan mobil tua yang berkecepatan tinggi, sementara di depan Saya... Perempuan itu masih saja menggoda, kali ini dia menjilat-jilat kaca mobil dengan lidah nya yang dipenuhi belatung. Tidak hanya menghalangi pandangan, perempuan itu juga hampir membuat Saya pingsan. Saya memejamkan mata, pasrah kemana mobil renta ini akan membenturkan bumper depannya, tapi mulut Saya masih komat-kamit, berharap Tuhan masih mendengarkan Doa Saya. Dan ternyata.... TUHAN MAHA MENDENGAR Wajah mengerikan itu tidak lagi terlihat, Saya berusaha mengambil alih kaki kanan Saya lagi, lalu perlahan-lahan menurunkan kecepatan Mobil. \"Ya Allah..... hampir saja! Sedikit lagi, mobil ini pasti membentur pembatas jalan\" Puji Syukur selalu saya panjatkan, walaupun ada sedikit perasaan tidak tenang, karena Bau busuk ini tidak kunjung hilang. Rasanya.... perempuan itu masih berada di sekitar Saya. Untuk memastikan bahwa Saya sudah aman, Saya memeriksa Bak belakang mobil.... KOSONG Kemudian melihat ke spion kanan mobil... TIDAK ADA SIAPA-SIAPA Kali ini.... Saya benar-benar bisa bernafas lega, Saya semakin yakin bahwa tidak ada yang mampu melawan kuasa Tuhan, apalagi sesosok setan terkutuk.... 155
EH??? Tiba-tiba bahu Saya terasa geli, sangat geli seperti digerayangi sesuatu. Saya pun mencoba menggaruknya dengan tangan kiri. Sesuatu yang Lembek, lembut dan berdenyut, memenuhi bahu ini, lalu dengan cepat menyebar ke tangan Saya. Ternyata..... sesuatu itu adalah.... BELATUNG Barulah Saya sadar..... dimana posisi perempuan itu sekarang, karena saat Saya melihat spion tengah untuk terakhir kalinya.... PEREMPUAN ITU SEDANG MEMELUK SAYA DARI BELAKANG ----‘’---- 11 Januari 20xx, 02.30 WIB Deru mesin mobil tua, dini hari di jalan yang sepi. Terombang ambing ke kanan dan ke kiri, mencoba berlari dari sebuah ilusi. Di dalamnya.... Saya masih berjuang untuk lolos dari cengkraman perempuan berambut putih. Berusaha agar mata ini tetap terbuka, dan mengatupkan bibir menahan muntah. Lidah busuknya berkeliaran di belakang telinga, nafas beracunnya menggantikan aliran oksigen ke hidung Saya. Semua ini terasa sangat menyiksa, belum lagi Saya harus menjaga konsentrasi agar mobil tua ini tidak berakhir di dasar jurang. HIHIHIHIHIHIHI…. \"Kenapaa?? Kenapa doa dan dzikir Saya seolah tidak punya pengaruh apa-apa padanya?\" Saya mempertanyakan kuasa Tuhan saat hambanya sedang dalam bahaya, bukankah janji-Nya adalah melindungi dari mahluk-mahluk seperti ini? Leher saya semakin panas, paru-paru ini mulai terasa kosong karena menahan nafas, tapi di depan sana.... cahaya lampu berjejer di pinggir jalan, pertanda Saya sudah masuk ke pemukiman warga. Rumah dan toko terlihat di kiri dan kanan, tapi tidak ada satu orang pun yang dapat saya temukan. Tentu saja.... hanya mahluk seperti inilah yang keluyuran di tengah malam begini. Saya menginjak rem mobil, hal yang seharusnya Saya lakukan dari tadi. Tapi... Saya tidak mau terjebak di pinggir jalan yang sepi dengan setan terkutuk ini. BRMMMmmmmm…. Mobil Saya berhenti tepat di depan sebuah ruko dan sebuah warung bakso, Saya pun berhasil membuka pintu walaupun semua itu percuma kalau Saya tidak bisa lepas dari cengkraman perempuan ini. Dari spion tengah, dapat Saya lihat wajahnya yang semakin menyeramkandi samping wajah saya yang semakin memerah karena menahan nafas. Saya tidak bisa membiarkan ini berlangsung lebih lama lagi, karena walaupun kecelakaan mobil bisa Saya hindari, Saya akan tetap mati karena setan ini. \"HUUAAAAAAAAAHHHHH... HHHHHHH..... HHHHHHH..... HHHHHHH.......\" 156
Persetan dengan bau busuk yang menyengat, Saya membuka mulut dan menghirup udara sebanyak yang saya bisa. Walaupun akibatnya adalah...... HUEEEEEEEEEEEEEKKKK…. Isi perut ini berceceran di celana, sendal dan mobil. Dapat saya lihat nasi sisa makan malam saya tadi, yang perlahan-lahan bergerak diantara cairan kental itu. Belum selesai rasa jijik saya akibat pemandangan itu, samar-samar Saya rasakan sesuatu bergerak di dalam mulut dan tenggorokan saya. Kesadaran Saya hampir hilang kala membayangkan di dalam mulut saya banyak sekali belatung...... BAPAK....... \"Suara siapa itu?\" \"Bapak......?? Pak.......?\" Seperti terhempas kembali ke dunia nyata, Suara itu adalah tamparan keras yang mengembalikan kesadaran Saya. Di samping saya, seorang laki-laki bertopi dan berkalung handuk sedang menggoyang-goyangkan bahu ini. \"Bapak... bisa minta tolong pindahin mobilnya donk, Saya mau pulang nih...\" Ujar bapak itu. Saya melihat ke spion mobil..perempuan berambut putih itu sudah tidak ada. Saya melihat keadaan sekitar, mencari penjelasan dari apa yang orang ini katakan. Dan setelah melihat rombong bakso di depan mobil, barulah Saya mengerti. \"Ah ummmm maaf mas, maaf\" Saya segera memindahkan mobil yang menghalangi rombong Bakso milik orang itu. Sambil masih bertanya-tanya... KEMANA PERGINYA MUNTAH SAYA TADI? Mobil ini bersih, seolah apa yang Saya alami barusan hanyalah mimpi. Saya memarkir mobil di depan masjid yang tidak jauh dari warung bakso barusan. Lantunan ayat suci berkumandang, pertanda subuh hampir menjelang. Biarlah saya tenang sejenak disini.... di rumah pun tidak ada Vivi. Seiring pikiran yang semakin jernih, mulai muncul sebuah deduksi di kepala ini. Semua tragedi yang menimpa Saya dan Vivi dimulai ketika Hanggareksa beralih kepemilikan. Kalau Saya mengesampingkan fakta bahwa karyawannya telah banyak membantu Saya, sebenarnya mereka tetaplah orang yang misterius. Dan lagi..... apa maksud surat yang diberikan Oma lewat Ratna ketika Saya masih di rumah sakit? Kata-kata dalam surat dengan amplop putih berisi uang itu.... sama sekali bukan ucapan yang wajar untuk orang yang sedang sakit. Danu sudah bahagia.... sudah tidak lagi memikirkan kita. Segera sehat nak Lukman, mari berkorban bersama demi masa depan Hanggareksa, dan masa lalunya.... ----‘’---- 157
HANGGAREKSA RESTAURANT 11 Januari 20xx, 06.30 WIB Semua karyawan terlihat bersemangat, mereka sedang serius pada tugasnya masing-masing. Kalaupun ada orang yang terlihat lemas, mengantuk dan tidak bergairah, itu adalah Saya. Saya tertidur di mobil dan baru bangun setelah sholat jamaah subuh di masjid selesai, lalu pulang hanya untuk sholat dan mandi tanpa sempat sarapan. Berangkat kerja tanpa Vivi, rasanya ada yang kurang. Dan sepertinya bukan hanya Saya yang merasa begitu.. \"Pak Lukmaaaan..... gimana kabar dek Vivi?\" Tanya Resti \"Vivi sudah mendingan, sudah mulai belajar jalan lagi, kata dokter dalam bulan ini sudah tidak lagi pakai kursi roda\" Jawab Saya. Tentu saja saya tidak perlu memberitahu tentang keadaan Vivi sebenarnya. Bahkan penyebab cederanya pun saya sembunyikan. Resti adalah orang yang paling peduli dengan Vivi, mungkin karena lima tahun pernikahannya masih juga belum dianugerahi anak. Hal serupa juga dialami oleh saudara kembarnya, hanya saja anak pertama Ratna harus meninggal dalam kandungan, dan belum ada tanda- tanda kehamilan lagi sampai sekarang. Itulah yang membuat mereka dan Vivi sangat akrab. Di satu sisi... Vivi juga membutuhkan sosok Ibu. Saya melanjutkan apa yang jadi kewajiban Saya, membawa barang-barang ini ke gudang. Sejak perempuan berambut putih itu memulai terrornya... gudang ini tidak lagi menyeramkan. Bukan karena penghuninya berhenti mengganggu Saya, tapi karena gangguan mereka terasa lucu jika dibandingkan si rambut putih. BRUK Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di belakang Saya. Sengaja tidak Saya lihat dan lanjut memasukkan sayuran ke dalam kulkas. Dengan nada bergurau Saya berkata.. \"Ayoooooo balikin lagi ke tempat semula, nanti dimarahin Oma lhooo\" Konyol nya Saya berkata demikian, tapi saat ini Saya benar-benar tidak punya waktu untuk meladeni mereka. Saat semua barang sudah di kulkas, Saya pun pergi meninggalkan gudang dan tentu saja... tidak ada barang atau benda apapun yang tergeletak di lantai. Sepertinya setelah ini, hantu di gudang ini akan bosan mengganggu Saya. Seperti biasa.. setelah ini Saya menemui Riska untuk mengurus pembayaran. \"Kentang yang kemarin kok cepet banget busuk ya pak? Bilang ke pak haji, kalau terus kaya gini.. kami mau pindah supplier saja\" Keluh Riska tentang kualitas sayur yang disediakan Bos Saya. 158
Saya hanya mengiyakan saja, karena kentang busuk itu bukanlah tanggung jawab Saya. Lagipula... Saya tidak suka kentang, pelanggan di restoran SFTH pun sangat benci dengan yang namanya \"KENTANG\" Namun, ada sesuatu yang sejak kemarin menganggu Saya, yaitu... JAM ANTIK BARU DI SAMPING MEJA KASIR Pertama kali melihatnya terpajang disini, Saya tidak terlalu mempedulikannya. Sejak Riska dan yang lain mengambil alih Hanggareksa, banyak perabotan antik yang menghiasi restoran milik Habib ini, karena itu Saya tidak kaget kalau mereka memilki jam antik lain selain yang Saya bawa ke kota Oseng. Tapi.....APAKAH WAJAR KALAU SEMIRIP ITU? Tidak hanya model dan warnanya, jarum patah, kaca retaknya, dan goresan di kayunya pun sangat mirip dengan yang Saya bawa. Entah kebetulan, atau memang..... \"Pak Lukman..\" \"Ah iya iyaaa! Sudah selesai??\" Tanya saya yang sedikit canggung karena lamunan saya barusan ditegur oleh Riska. Riska memberikan uang dan nota pada Saya, seharusnya urusan Saya disini sudah selesai. Tapi hari ini... ada sesuatu yang harus Saya lakukan. Saya pun pamit pada Riska untuk menemui Oma di dapur. Seperti biasa... dapur ini bagaikan sebuah orkestra dimana Oma adalah konduktornya, dan perkakas itu adalah instrumentnya. Di usianya yang sudah senja, beliau masih sangat lihai memotong sayur dan daging itu. Sebenarnya sungkan untuk mengganggunya, tapi Saya tidak bisa pulang dengan tenang jika tidak menemuinya sekarang juga. \"Ada apa Pak Lukman?\" Tanya oma. Beliau menghentikan kegiatannya sejenak. \"Emmmm ada yang ingin Saya bicarakan sama sampean\" Ucap saya. Oma meletakkan pisaunya dan mempersilahkan Saya duduk. \"Ada apa pak? Kok kayaknya penting sekali?\" Saya melihat ke belakang, memastikan tidak ada karyawan lain yang mendengar. \"Jangan khawatir.... tidak ada yang mendengar, termasuk orang yang sedang menguping pembicaraan kita di balik pintu\" Siapa? Siapa yang Oma maksud? Ah! Siapapun itu, yang jelas oma sudah memberikan lampu hijau, Saya pun mulai bicara. \"Sebenarnya... Saya sungkan menanyakan ini, tapi waktu itu... Kenapa sampean membolehkan Saya membawa jam antik itu? Bukankah itu jam yang sangat berharga?\" 159
Dahi Oma mengkerut, seakan heran kenapa baru kali ini Saya bertanya. Beliau pun menjawab... \"Karyawan kami lebih berharga dibanding jam tersebut, antik bagi kami... hanyalah kata lain dari usang. Dan barang usang sudah sepantasnya dibuang. Lagipula... melihat bapak memohon-mohon seperti itu hanya demi sebuah jam, Saya jadi tidak tega. Bukan berarti Saya percaya sama cerita bapak tentang hantu, dan kutukan, tapi kalau itu satu-satunya yang bisa Saya bantu, kenapa tidak?\" Masuk akal... jawaban oma memang masuk akal, tapi saya masih merasa ada sesuatu yang beliau sembunyikan. Oma bukan tidak percaya cerita Saya tentang gudang dan perempuan berambut putih, tapi..... BELIAU SUDAH TAHU. Riska, Resti, Ratna, BQ dan Oma sudah pasti tahu tentang apa yang sedang terjadi. Tapi mereka tidak peduli, mereka sengaja menutup-nutupi. Ini hanya dugaan, karena kalau memang semua karyawan di Hanggareksa ini menyimpan rahasia yang mengerikan, kenapa BQ justru dengan bebas menceritakannya pada Saya? “Pak Lukman?” \"Eh iyaa iyaaaa\" Oma menyadarkan saya yang sedang termenung. \"Ada lagi?\" \"Ya! Satu lagi....\"Oma memandangi Saya, menunggu pertanyaan apa yang akan saya berikan untuknya. \"Lukisan di depan, apakah sampean kenal dengan perempuan yang ada di lukisan itu?\" Butuh waktu yang lama bagi Oma untuk menjawab, bukan karena beliau sibuk memikirkan jawabannya, tapi karena beliau tertawa dengan pertanyaan Saya \"Kalau Saya bilang itu adalah lukisan saya, apakah sampean percaya?\" Tanya Oma \"Eh? Beneran?\" Hampir saja saya menganggap serius omongan Oma, ternyata beliau hanya bercanda \"Hahahaha.... ya bukan lah pak! Saya malah tidak tahu perempuan dengan bunga mawar itu siapa. Lagipula lukisan itu sudah ada disini sebelum Saya dan yang lain menempatinya\" Lagi-lagi... jawaban Oma masuk akal. Banyak sekali lukisan di restoran ini, Riska dan karyawan yang lain mendekorasi restoran ini dengan sangat baik. Banyak diantara lukisan itu adalah lukisan perempuan, dan hanya lukisan perempuan dengan bunga mawar itulah yang sudah ada di sini sejak dulu. \"Tunggu dulu! Darimana Oma tahu kalau yang Saya maksud adalah lukisan wanita dengan bunga mawar? padahal... saya sama sekali tidak menyebut bunga mawar \" pertanyaan itu tiba-tiba mencelos dalam hati Saya. 160
\"Kalau sudah tidak ada lagi yang mau bapak tanyakan, Saya mau lanjutkan memasak ya?\" \"Oh silahkan silahkan.. maaf sudah mengganggu sampean\" Saya mengucapkan terimakasih atas waktu Oma, lalu pamit pergi. Masih belum hilang di pikiran ini, tentang jawaban Oma yang terasa janggal barusan. Beliau tidak mungkin menutup-nutupi kebenaran tentang lukisan itu, kalau memang tidak ada sesuatu. Sementara di luar dapur, BQ sudah menunggu Saya. \"Gimana kabar anak Bapak?\" Tanya BQ \"Alhamdulillah sudah mendingan\" \"Syukurlah kalau begitu.... kalau boleh tahu, apa yang bapak bicarakan dengan Oma di dalam?\" Saya terkejut dengan pertanyaan BQ. Bukan karena dia terkesan ikut campur, tapi.... \"BQ.... kamu nguping Saya sama Oma barusan?\" \"Ummmm iyaaa sih, tapi dari jauh... itu pun gak kedengaran\" Ya! BQ sengaja menguping Saya dan Oma dari luar. Bukan masalah besar bagi Saya karena Saya punya firasat kalau BQ ada di pihak Saya, yang jadi masalah adalah DARI MANA OMA TAHU KALAU BQ SEDANG MENGUPING? ----‘’---- 11 Januari 20xx, 07.00 WIB Keluar dari restoran dengan perasaan lega karena niat Saya untuk bertanya langsung pada Oma berjalan sesuai rencana, tapi itu tetap tidak bisa menghilangkan rasa gelisah saya. Semakin saya berusaha untuk keluar dari masalah ini, semakin banyak pintu yang menyesatkan jalan Saya. Tapi bagaimanapun... Saya harus segera menyelesaikan misteri ini. Semalam keberuntungan masih memihak Saya, tapi tidak ada jaminan Saya akan bertahan dari terror perempuan berambut putih itu lagi. Saya menaikkan keranjang ke bak mobil. Hari ini memang cerah dan tidak ada tanda-tanda akan turun hujan, tapi saya tetap memasang terpal karena rute selanjutnya adalah jalur Kemitir menuju ke Kota Oseng. Sebelum berangkat, mungkin sebatang rokok mampu menghilangkan stress di pikiran. Berharap semua masalah saya lenyap bersama kepulan asap tembakau. Sialnya.. korek Saya tidak bisa Saya temukan. TSSS 161
Seseorang menyalakan koreknya untuk Saya, saya pun berterimakasih dan menyulut kretek 69 yang sudah melekat di bibir Saya. Orang itu adalah..... KUSNADI. Saya menawarinya rokok, dan dalam sekejap terciptalah obrolan hangat antara dua bapak-bapak ahli hisap. \"Gimana kerjaan? Lancar?\" Tanya Kusnadi \"Yaaaa beginilah, Alhamdulillah masih diberi sehat untuk cari uang, sampean sendiri?\" \"Yaaa sama! Restoran ini tambah hari tambah ramai saja, sepertinya mereka harus memperluas tempat parkir\" Begitulah kira-kira tema perbincangan di depan mobil tua ini, tapi itu hanyalah pembuka.. karena sekarang Kusnadi mulai mengajak saya masuk ke tema utama \"Jujur saya salut sama sampean, soalnya masih betah kerja disini\" Ujar Kusnadi \"Gaji besar, Bos Sabar, pelanggan Bayar... kurang apa lagi coba? Pastinya Saya betah lah!\" Jawab Saya mantap \"Hahahaha! Yaaaa... Saya ngerti, tapi pasti ada harga mahal dibalik semua itu kan?\" Saya menggigit rokok yang tinggal separuh ini. Karena kalau telinga Saya tidak salah dengar, Kusnadi baru saja berbicara seolah dia tahu harga mahal apa yang sudah saya bayar. Tapi saya hanya diam, karena sepertinya dia belum selesai bicara \"Satu orang Karyawan sudah hengkang dari restoran ini, sepertinya gadis itu tidak setangguh sampean\" Nova? Mungkinkah yang dimaksud Kusnadi adalah Nova? Ya! Kalau bukan Nova siapa lagi? Kabar tentang pengunduran diri Nova bukanlah hal yang aneh jika diketahui Kusnadi. Yang aneh adalah.... cara dia bicara seolah-olah tahu tentang apa yang sudah Nova alami, hal yang bahkan Saya pun tidak mengetahuinya. \"Hahaha bicara apa sampean ini? Nova itu pekerja keras, kalaupun dia berhenti dari sini, itu pasti karena ada sesuatu yang mendesak...\" “Sesuatu yang juga menyebabkan anak sampean kecelakaan?” Kusnadi menyela. Saya berhenti tertawa, karena percakapan dua orang tua ini sudah tidak lucu lagi. Saya terima ajakan Kusnadi untuk ngobrol dengan tema yang lebih serius. \"Ok.... sepertinya sampean tahu lebih banyak tentang Saya dan Nova. Mungkin sampean bersedia untuk menjelaskan?\" Tanya Saya sedikit jengkel. Kusnadi membuang puntung rokoknya. Dan mulai berbicara dengan serius. \"Perempuan berambut putih adalah sosok yang sering Saya lihat berdiri di pintu restoran setiap kali restoran ini tutup, mahluk yang juga menyebabkan terror di rumah sampean. Dengar.... Kita punya nasib yang sama, jadi Saya ingin sampean tahu kalau kita juga ada di pihak yang sama\" Tutur Kusnadi. 162
\"Kita tidak mungkin duduk disini dan membahas masalah ini kalau kita tidak di pihak yang sama. Tenanglah, Saya percaya sama sampean\" Ucap saya dengan nada yang lebih serius. Kusnadi pun menjawab, \"Bagulah kalau begitu.... sekarang karena kita ada di pihak yang sama, saya ingin sampean membantu Saya\" \"Bantu? Saya kira disini sampean yang mau membantu Saya....?\" Tanya Saya heran, karena belum apa-apa Kusnadi sudah meminta bantuan. \"Oh itu pasti!! Saya punya informasi yang mungkin sedang sampean cari\" Saya mengangkat kepala lebih tinggi karena antusiasme saya akan informasi dari Kusnadi pun sangat tinggi. \"Info..... informasi apa??\" Kusnadi meletakkan tangannya di telinga Saya, seolah itu dapat meredam suaranya... \"Perempuan berambut putih itu..... adalah orang yang sama dengan yang ada di lukisan gadis dengan bunga mawar. Dia adalah pendiri Hanggareksa yang sudah lama meninggal. Perempuan itu bernama.... ROSMARY ANGGRAINI.” Ini aneh.... bagaimana mungkin saya bisa ketakutan hanya karena mendengar sebuah nama yang bahkan tidak saya kenal. Rosmary... terdengar seperti bukan nama orang pribumi. Lagipula bukan benar atau tidaknya informasi tersebut, saya justru lebih tertarik dengan dari mana Kusnadi mendapatkan Informasi itu... \"Baiklah, saya sudah memberikan sampean informasi yang Saya janjikan.. sekarang giliran sampean membantu Saya....\" Ujar Kusnadi. \"Apa yang bisa saya bantu? Saya tidak punya informasi apa-apa untuk sampean\" Jawab saya. \"Saya hanya ingin bertanya... pernahkah sampean memeriksa setiap barang yang sampean antarkan ke Hanggareksa? Ummm maksud saya......SETIAP DAGING YANG HANGGAREKSA PESAN.” ----‘’---- 11 Januari 20xx, 07.15 WIB Pertanyaan Kusnadi tentang daging membuat Saya takut memikirkan jawabannya. Karena kalau ternyata ada sesuatu yang ilegal dan mengerikan dibalik daging itu, sudah pasti Saya termasuk orang yang harus bertanggung jawab. \"Apa maksud sampean? Apa ada yang salah dengan daging itu?\" Tanya saya sedikit jengkel. 163
\"Ya!\" Kusnadi menjawabnya dengan singkat dan mantap. Tidak ada rasa sungkan sedikitpun hingga pertanyaannya barusan mulai terdengar seperti tuduhan. Tentu saja Saya tidak pernah memeriksa setiap barang yang pelanggan Saya pesan, mereka pun tidak pernah protes, dan itu artinya Saya tidak pernah salah kirim barang. Lalu apa maksud dari pertanyaan Kusnadi ini? \"Hati-hati dengan tuduhan sampean, Saya tidak pernah merasa mengirimkan barang ilegal. Semua bahan makanan di restoran ini dan pelanggan Saya lainnya masih segar dan Halal, Saya bisa menjamin itu!\" Tegas Saya pada Kusnadi \"Hati-hati Pak Lukman! Jangan sampai jaminan sampean itu malah jadi menanggung dosa orang lain. Lagian jam kerja sampean hanyalah di pagi hari, itu artinya sampean sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di malam hari\" \"Ma... malam hari? Memang ada apa di restoran ini kalau malam? Tolong jangan bicara berbelit-belit!\" Kusnadi bicara seolah-olah dia tahu segalanya, tapi disaat bersamaan dia juga membuat Saya seolah tidak tahu apa-apa, dan itu sangat menjengkelkan. \"Saya tidak bisa memberi tahu detilnya, tapi anggap ini sebagai peringatan untuk sampean. Beberapa orang menggunakan restoran ini untuk melakukan sesuatu yang laknat dan mengerikan, sesuatu yang sangat dikutuk Tuhan, sebuah ritual pemujaan setan\" \"OMONG KOSONG!\" Teriak Saya menanggapi cerita Kusnadi barusan. Ritual pemujaan setan? Di restoran? Hanya orang gila yang punya pikiran seperti itu, Saya merasa obrolan ini sudah tidak lucu lagi, karena itu Saya pun beranjak pergi. \"Silahkan pergi! Percaya atau tidak, itu adalah hak sampean, Saya hanya ingin memperingatkan, agar sampean lebih teliti lagi dengan apa yang sampean bawa ke Hanggareksa, karena jika tidak..... itu artinya secara tidak langsung Sampean juga terlibat dalam ritual gila mereka\" Saya mencoba untuk tidak peduli dengan omong kosong Kusnadi, tapi saat sudah berada di dalam mobil, rasa penasaran ini tidak bisa Saya bendung lagi. \"Pak Kus.... memangnya, daging apa yang sampean maksud?\" Kusnadi menghampiri Saya, lalu berbisik... \"Sesuatu yang suci, yang terlahir tidak diinginkan, yang mati tanpa sempat melihat dunia. Tidakkah sampean curiga kenapa semua karyawan di Hanggareksa adalah perempuan, tapi tidak satu pun dari mereka yang memilki keturunan?\" Saya begidik mendengar itu semua, terlalu mengerikan untuk jadi kenyataan, dan semakin mengerikan lagi karena Saya adalah bagian dari kenyataan itu. Saya memilih diam, karena untuk berkomentar pun Saya tidak punya kata yang tepat, 164
akhirnya Saya pergi meninggalkan Hanggareksa, dan teori Kusnadi yang semakin gila. ----‘’---- KASTA TINGGI 11 Januari 20xx, 16.00 WIB Sebuah toko barang antik sekaligus padepokan milik tokoh spiritual di Kota Oseng, tempat yang dijanjikan untuk Saya bertemu dengan sang pemilik, Lora Husein. Resiko menemui orang penting adalah kita harus betah dan sabar duduk lama di ruang tunggu. Ini sudah hampir tiga jam, tapi giliran Saya belum juga tiba. \"Maaf pak, sampean juga mau konsultasi sama lora?\" Tanya saya pada orang tua yang duduk di sebelah, Beliau sudah datang lebih dulu daripada Saya. \"Oh endak, Saya cuma mengantarkan istri dan anak saya yang sekarang masih ada di dalam\" Jawab orang tua itu yang berarti, sebentar lagi adalah giliran Saya KREK Seorang wanita tua keluar dari ruangan dengan memapah seorang gadis yang sedang menangis. Mereka berdua keluar membawa bungkusan hitam yang bisa jadi adalah obat dari Lora. Pak tua di samping Saya bergegas bangun dan menghampiri keduanya, lalu mereka bertiga pergi. \"Pak Lukmanul Hakim\" Akhirnya tibalah giliran Saya, Saya pun dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan yang sangat terang dan tidak ada apapun kecuali karpet, meja, dan kotak kecil di tengah ruangan dimana Lora Husein sedang duduk. Saya pun berjalan menunduk menghampiri beliau, walaupun masih heran dengan suasana ruangan ini yang sama sekali tidak mirip kamar seorang para normal atau dukun. Saya duduk bersila di depan Lora Husein, jarak kami hanya dipisahkan oleh meja kayu kecil mirip dengan yang sering digunakan Vivi untuk menggambar. Penampilan lora pun sangat jauh dari gaya dukun yang sering Saya tonton di TV. Beliau menggunakan kemeja merah, celana hitam dengan rambut ikal nya yang berantakan. Wajahnya juga bersih dari jenggot dan kumis, bahkan kacamata beliau lebih cocok dipakai oleh dokter daripada seorang para normal. Tiba-tiba dua orang ajudannya datang membawa Jam tua milik Hanggareksa dan meletakkannya di sebelah Lora Husein. Setelah kepergian kedua ajudannya tersebut, Lora pun mulai berdawuh... \"Mohon maaf kalau hasilnya tidak sesuai yang sampean harapkan, tapi benda ini memang bukan sumber dari masalah yang sampean ceritakan tempo hari\" 165
Saya mengangguk paham, \"Enggeh Lora, Saya juga tidak menyangka kalau Jam ini ternyata hanyalah jam biasa.\" Mendengar kata-kata Saya tersebut, Lora Husein menggeleng-gelengkan kepala. \"Bukan begitu maksud Saya! Jam ini memang bukan sumber dari masalah sampean, tapi bukan berarti benda ini hanyalah jam tua biasa. Dari apa yang Saya rasakan, sepertinya jam ini pernah menjadi kunci hidup dan mati seseorang, bahkan mungkin banyak orang, Saya jadi penasaran dari mana sebenarnya Sampean mendapatkan Jam ini?\" Pertama Pak Kusnadi, sekarang Lora Husein, kenapa hari ini orang-orang selalu bicara hal-hal yang mengerikan tentang Hanggareksa? Belum cukup seram kah terror dari penunggu gudang dan perempuan berambut putih itu? Haruskah Saya menceritakan semuanya pada Lora? Ya! Mungkin memang seharusnya Saya terbuka, karena saat ini hanya beliau orang yang bisa membantu Saya. \"Mohon maaf sebelumnya Lora, apakah masuk akal kalau Saya bilang Jam itu ada di sebuah restoran tempat Saya bekerja. Restoran yang konon katanya sering digunakan untuk sebuah ritual sesat dengan menggunakan manusia sebagai tumbal?\" Saya sedikit ragu dengan pertanyaan itu, karena apa yang saya sampaikan hanyalah teori Kusnadi yang bahkan Saya pun tidak mempercayainya, tapi ternyata Lora punya pendapat berbeda... \"Kalau memang begitu ceritanya, berarti apa yang saya lihat menjadi masuk akal. Dengar Pak Lukman, sebaiknya sampean segera berhenti dari restoran itu, masih banyak pekerjaan halal yang pastinya jauh dari kemusyrikan. Karena sekali manusia bersekutu dengan Iblis, maka mereka tidak akan bisa berhenti, bahkan setelah mereka mati\" Ini sama sekali diluar dugaan Saya, niat untuk mengungkap misteri perempuan berambut putih malah merambat lebih jauh lagi. Lalu apa yang harus Saya lakukan? Apakah hal seperti itu benar-benar terjadi di Hanggareksa? Kalau benar, apakah Oma dan yang lainnya adalah pelakunya? Sebenarnya urusan Saya hanyalah dengan perempuan berambut putih itu, saya tidak mau ikut campur dengan ritual sesat yang dilakukan oleh orang lain, selama itu tidak berakibat buruk pada Saya dan Vivi, tapi kalau apa yang dikatakan Kusnadi benar. Hanggareksa bekerja sama dengan mendiang Ko Danu untuk menyediakan tumbal yang diselundupkannya di mobil itu, maka sesunggunya.. SAYA SEDANG DALAM MASALAH BESAR \"Lora Apa yang harus Saya lakukan? Adakah cara untuk menghentikan ritual mereka? Apakah dengan berhenti dari restoran itu, perempuan itu juga berhenti menghantui Saya dan anak Saya?\" Tanya Saya yang mulai tidak bisa mengontrol emosi. 166
\"Mohon maaf Pak Lukman Saya tidak bisa membantu, untuk menangani manusia- manusia terkutuk seperti itu bukanlah bidang Saya, mungkin bapak bisa menghubungi Polisi\" Yang benar saja! Kalau polisi sampai turun tangan, pastilah Saya kebagian getahnya. Bingung dan takut membuat beberapa menit waktu saya di ruangan ini terbuang percuma karena Saya hanya melamun. Untungnya Lora segera menyadarkan Saya... \"Begini saja Pak Lukman, sampean kembalikan jam ini ke tempatnya, lalu segera temukan benda yang tepat. Sesuatu yang tanpa sengaja sampean sentuh, pindahkan, buang, hancurkan, atau gunakan. Saya tidak bisa langsung turun tangan karena sampean tidak punya wewenang di restoran itu, kecuali pemiliknya yang meminta Saya datang maka Saya akan datang\" Ya..... Solusi dari Lora cukup untuk Saya bawa pulang, tapi belum cukup jelas untuk Saya kerjakan. Saya tidak ingat pernah menyentuh apalagi merusak barang milik restoran, lalu kemana lagi Saya harus mencarinya? Belum lagi setelah perbincangan Saya dengan Kusnadi tadi, Saya malah takut untuk minta bantuan BQ. Akhirnya Saya pun pamit pulang.... Ajudan Lora membantu Saya menaikkan Jam tua ini ke Mobil, dan karena Saya adalah pasien terakhir, Lora dengan senang hati mengantarkan Saya sampai ke pintu toko. Hari sudah semakin petang, dan Saya harus melalui jalur Kemitir dengan membawa benda angker? Apakah hari ini bisa menjadi lebih buruk lagi? \"Pak Lukman....\" Tiba-tiba Lora memanggil Saya. Beliau mendekati Saya dengan wajahnya yang mendadak berubah panik. Sambil memegangi pundak Saya, Lora Husein berkata... \"Sepertinya sampean tidak perlu mencari benda itu, karena tanpa sampean sadari sampean sudah membawanya kesini\" Ucap Lora husein sembari memandangi MOBIL MILIK HANGGAREKSA ----‘’---- JALUR KEMITIR 11 Januari 20xx, 19.00 WIB Banyaknya spanduk \"Hati-hati di jalan\" dari kepolisian bukanlah tanpa alasan, karena jalur ini memang rawan kecelakaan, dan Saya harus melaluinya dengan mengendari mobil terkutuk ini? Malang sekali diri ini. Masih Saya ingat kata-kata Lora barusan.... \"Hantu perempuan itu tidak mengikuti sampean, tapi sampeanlah yang setiap hari membawanya pergi, bahkan ke rumah sampean sendiri. Biar Saya tebak, mobil ini 167
adalah mobil restoran tempat sampean bekerja bukan? Kalau benar begitu sebaiknya sampean pulang dengan Bus saja, tinggalakan mobil itu disini, biar kami yang mengurusnya.\" Andai saja Saya bisa melakukan perintah Lora, mungkin Saya tidak perlu pulang dengan nyawa terancam seperti ini. Tapi sekali lagi, ini bukan mobil saya! Saya tidak mungkin meninggalkannya disana tanpa ijin dari pemiliknya, belum lagi pelanggan saya yang lain pun akan kebingungan karena mobil ini adalah satu- satunya alat transportasi yang saya gunakan untuk mengirimkan barang. \"Saya harus sampai ke rumah dengan selamat, setelah itu baru memikirkan apa yang harus Saya lakukan dengan mobil ini\" Saya berusaha menenangkan diri, karena sudah separuh perjalanan pun belum ada tanda-tanda kehadiran si rambut putih. Tapi sayangnya Saya harus berkendara lebih lambat lagi karena di depan ada sebuah truk yang kelebihan muatan dan berjalan pelan sekali. TIIIIIIIIIN….TIIIIIIIIIIIIIN…. Saya berharap setidaknya klakson itu bisa menyadarkan sopirnya kalau dibelakan banyak kendaraan yang terganggu karena kelalainnya tersebut. Akhirnya salah seorang warga yang membantu mengamankan jalan memberi aba-aba untuk maju, Saya pun maju perlahan. Sudah jadi kebiasaan saattruk macet, penumpangnya akan turun ke jalan, memasang rambu lalu meminta recehan, saat saya memberikan selembar uang dua ribuan pada warga itu, dia berkata... \"Makasih Pak, hati-hati di jalan pak....., HATI-HATI DI JALAN JUGA BU….\" Saya berhenti mendadak. Melihat ke samping, ke atas, ke belakang mencari seseorang yang baru saja dipanggil Ibu, tapi memang hanya ada seorang bapak di mobil ini. TIIIIIIIIIIIIIIIIIIN….TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN…. Sialan! Saya tidak bisa berhenti disini, sehingga dengan terpaksa Saya harus terus berkendara. Setelah lumayan jauh dari keramaian karena truck macet barusan, barulah Saya menepikan mobil untuk istirahat sejenak sekaligus memastikan bahwa Saya tidak sedang membawa penumpang ghaib. SAYANGNYA.. Kaki kanan Saya seperti dicengkram oleh tangan yang sangat dingin, kuat sekali sampai pedal gas mobil terinjak penuh. Mobil tua ini melesat bak kuda lari dari cemeti tuannya. “HWAAAAAAAAAAAAAA….” Saya berusaha mengurangi kecepatan, tapi kaki ini tetap tidak bisa digerakkan, dan parahnya saat saya berusaha menginjak pedal rem, hal yang sama juga terjadi pada 168
kaki kiri Saya, sehingga sekarang... SAYA BENAR-BENAR TIDAK PUNYA KENDALI TERHADAP MOBIL INI \"Astaghfirullah apa yang harus Saya lakukan???\" Saya berusaha keras untuk menyeimbangkan kemudi, Saya tidak ingin mati konyol di tempat ini. Saya mulai ragu untuk berdzikir, karena terkahir kali mencoba, tidak ada ada pengaruh apa-apa. Tapi saat ini hanya itu yang bisa Saya lakukan.Sekarang jalanan masih sepi, benturan dan tabrakan masih bisa Saya hindari, tapi saat saya merasa masalah sedikit teratasi, masalah yang baru muncul lagi. Kali ini tangan saya seperti digenggam kuat sekali dan dengan kasarnya mengambil alih kemudi. \"KEPARAAAAAAAAAAAT!!! APA MAU KAMU SEBENARNYAAAAAAAA??\" Tiba-tiba kepala perempuan berambut putih itu muncul dari bawah kursi, bersamaan dengan bau menyengat yang sudah jadi ciri khasnya. HIHIHIHIHIHI…. Celakanya dia muncul disaat yang buruk, sebuah truk datang dari arah yang berlawanan, sementara baru Saya sadari kalau mobil ini berada di jalur yang salah. TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN…. TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN…. Supir truk itu memberi peringatan, sayangnya dia tidak tahu kalau mobil naas ini sedang dikemudikan setan. “LEPASKAN!!! TOLONG LEPASKAN!! SAYA TIDAK MAU MATI.... SAYA TIDAK MAU MATI....!! “ Tidak disangka-sangka, tangisan Saya membuat si rambut putih Iba, wajahnya tidak lagi terlihat di bawah kursi, dan Saya bisa menggerakkan kaki dan tangan Saya lagi, walaupun itu terlambat... Truk itu sudah ada di depan mata, membuat Saya banting setir dengan gegabah. Rasa takut membuat Saya tidak sadar keadaan sekitar, sehingga mobil ini membentur Bus yang mencoba mendahului Saya. \"Maafkan Bapak Nak.....\" BRUAAAAAAKKKKKK!!!!! ----‘’---- 12 Januari 20xx, 19.00 WIB Saya sudah siap sejak dulu..... Profesi ini dan segala resikonya.... Untuk mati di jalanan pun kemungkinannya sangat besar.... Tapi disaat seperti ini barulah Saya sadari.... 169
TIDAK ADA MANUSIA YANG SIAP UNTUK MATI \"AAAAAAAAAAAAAARRRRRRRRRGGGGGGGH\" Decit ban mobil melengking beradu dengan pekiknya suara klakson Bus, suara yang selalu berakhir dengan sebuah benturan keras, lalu hilangnya nyawa seseorang. Tapi tidak hari ini! Suara keras di belakang mobil barusan menyadarkan Saya betapa mengerikannya mati, lebih mengerikan dari apa yang sudah Saya alami. Saya bisa bertahan dari gangguan setan, tapi Saya tidak siap untuk bertemu dengan Tuhan. Akhirnya dengan sedikit keberuntungan dan kuasa-Nya, tabrakan ini berhasil Saya hindari. Bus itu pun mendahului Saya dengan selamat, sementara Truk di depan Saya berhasil berhenti di saat yang tepat. Hanya sekian centimeter jarak antara mobil tua ini dengan Bus barusan, jarak sedekat itu sudah menyelamatkan sisa umur Saya yang mungkin tidak panjang lagi. Sumpah serapah oleh para pengendara dan pengemudi Saya terima dengan anggukan maaf, walaupun Saya tahu itu tidak cukup bagi mereka. Masih dengan kaki lemas setelah sempat kaku beberapa saat, Saya mengemudi pelan mencari tempat untuk berhenti sejenak. Setelah cukup jauh dari lokasi naas barusan barulah saya parkir di pinggir jalan. Segera setelah turun Saya memeriksa bagian belakang mobil dimana suara benturan keras itu terdengar, tapi ternyata.. TIDAK ADA TANDA-TANDA BENTURAN DI BAGIAN BELAKANG MOBIL. Barulah saat Saya membuka terpal Saya tahu jawabannya. Jam tua Hanggareksa jatuh tercerai berai. Tidak hanya serpihan kaca, tapi juga potongan kayu berserakan di bak mobil. \"Aduuh! Padahal Saya sudah nyuruh ikat yang bener, tapi asisten Lora gak mau denger\" Saya naik ke bak mobil dan merapikan kembali posisi jam antik itu, tidak bisa Saya bayangkan gimana marahnya Riska kalau melihat kondisi jam kesayangannya sekarang. Tapi persetan dengan jam tua ini! Persetan dengan mobil terkutuk ini! Sudah berkali-kali nyawa Saya terancam olehnya, bahkan nyawa anak Saya pun diincarnya. Beberapa menit Saya termenung, memikirkan apa yang akan Saya lakukan selanjutnya. Jika apa yang dikatakan Kusnadi benar, jika benar Oma dan yang lain selaknat itu, itu artinya tidak ada alasan lagi bagi Saya untuk berada di pihak mereka. Saya tidak bisa bertindak tanpa bukti dan tidak akan dapat bukti tanpa tindakan, akhirnya otak tua ini pun kewalahan. \"Saya bukan sekutu Hanggareksa, Saya juga tidak mau berpihak pada Kusnadi yang tidak jelas motifnya apa. Satu-satunya kubu yang harus Saya perjuangkan sampai mati adalah, Keluarga\" 170
Kata-kata itu berhasil menepis keraguan di batin dan otak Saya, antara perasaan dan logika. Usai membereskan Jam antik yang berantakan ini, Saya pun menutup terpal dan kembali mengemudi. Kali ini sebelum sampai di Kota Gambir, Saya harus mengantarkan jam tua ini ke tempat asalnya, tempat yang sangat pantas untuk benda terkutuk ini YA TEMPAT YANG SANGAT PANTAS. ----‘’---- 12 Januari 20xx, 22.00 WIB Setelah mengemudi dengan sisa-sisa adrenalin yang terkuras karena nyaris mati, akhirnya Saya berhasil sampai di kota Gambir. Perjalanan selanjutnya adalah mencari kebenaran yang tidak bisa saya tunda barang sejenak. Sebuah jawaban yang tidak bisa Saya tukar dengan tidur nyenyak walau hanya semalam. Jalan Kalimaya tampak asing dan berbeda, mungkin karena ini pertama kali Saya melewatinya di malam hari. Kali ini saya datang bukan sebagai karyawan, bukan pula untuk urusan pekerjaan, tapi untuk seseorang yang berhutang banyak penjelasan, dan orang itu adalah \"Kusnadi\". Saya memarkir mobil cukup jauh dari Hanggareksa, dan berjalan melewati trotoar merah di pinggir jalan. Saya melewati rumah kecil di samping restoran, rumah ini sudah lama kosong dan baru beberapa hari ini Saya perhatikan sudah ada yang menempati. \"Apa habib juga menjual rumah ini ke Riska? Setahu Saya beliau tidak pernah mengontrakkannya pada orang lain?\" Tiba-tiba penghuni rumah itu keluar, seorang pria bersarung dan mengenakan sweater berwarna kuning. Orang ini tampak sedang kebingungan mencari sesuatu, atau seseorang. Sebagai pejalan kaki yang sopan, Saya pun menundukkan badan \"Permisi Mas....\" Diluar dugaan Saya, orang itu justru menghampiri dan memegang tangan Saya, dengan wajah ketakutan pria yang sedikit botak ini berkata... \"Om... temani Saya Om, Saya sendirian disini... Saya takut Om... please Om....\" Naluri Saya mengatakan bahwa orang ini adalah ancaman, entah bagi fisik maupu kejiwaan Saya. Saya pun dengan tegas menepis tangan pria itu.... \"Ma.. maaf Pak, Sa... Saya ada urusan....\" Lalu Saya pergi dengan terbirit-birit seolah berhasil kabur dari mara bahaya. Di depan adalah pangkalan becak yang entah kenapa sekarang ramai sekali, atau memang pangkalan ini hanya ramai pada malam hari? Setiap pagi saya kesini, tidak pernah Saya lihat ada lebih dari dua becak yang mangkal, dan diantara kerumunan tukang becak itu adalah orang yang jadi tujuan Saya datang kesini \"Kusnadi.\" 171
Mendengar panggilan Saya, Kusnadi dan yang lainnya menghentikan sejenak kegiatan mereka. Seolah mengerti maksud kedatangan Saya, Kusnadi berpamitan pada para tukang becak itu, dan mengajak Saya ke tempat duduknya di dekat pintu masuk halaman parkir Hanggareksa. Awalnya Saya menolak karena resiko untuk Saya terlihat karyawan sangat besar, tapi Kusnadi meyakinkan Saya bahwa semua aman dan terkendali. \"Jadi... bagaimana? Sudah memutuskan untuk terbuka masalah daging yang Hanggareksa pesan itu?\" Baru saja kami berdua memulai percakapan, kalimat pertama Kusnadi sudah membuat Saya naik pitam. Nada bicara seolah-olah dia masih menduga Saya terlibat dalam penyelundupan ilegal itu. \"Berhenti menuduh Saya! Saya kesini bukan untuk jadi kambing hitam sampean!\" Tegas Saya pada Kusnadi. \"Hahahaha iyaaa iyaaa Saya cuma bercanda. Jadi apa gerangan yang membawa sampean menemui Saya disini? Malam hari pula\" Candaan Kusnadi sangat tidak lucu, terutama di usia kami yang sudah rapuh untuk sebuah komedi. Tapi kali ini Saya memilih untuk menahan diri demi sebuah informasi. \"Kusnadi... kurang lebih sebulan sudah sampean jadi tukang parkir disini, dan itu adalah waktu yang sangat singkat untuk bisa mengorek informasi dari Hanggareksa, terutama informasi yang sangat tabu untuk didengar orang luar. Saya bingung sebenarnya darimana sampean bisa tahu semua itu? Dan tolong kali ini jawab pertanyaan saya dengan serius tanpa bertele-tele, karena jawaban sampean akan menentukan langkah Saya selanjutnya\" Kusnadi tersenyum dengan kretek di bibirnya, hembusan angin singkat tapi keras keluar dari hidungnya dan membuat asap rokok itu pudar. Seolah-olah dia sedang tertawa dengan pertanyaan Saya. \"Hahaha Saya bukan siapa-siapa, sama seperti sampean Saya hanyalah korban dari kegilaan yang dilakukan keempat perempuan di dalam. Bedanya Saya lebih cepat menyadarinya daripada Sampean. Dengar Pak Lukman, Kita berdua punya masalah yang sama dan Saya ingin sampean berada di pihak Kami, tapi kalau sampean memilih jalan yang berbeda maka kami pun akan mengambil tindakan tegas.\" Jawab Kusnadi kali ini dengan sangat serius \"Tunggu dulu! Apa maksud sampean dengan Kami? Apakah ada orang lain yang tahu tentang masalah ini?\" Kusnadi membuang puntung kreteknya, dan menginjak sisa tembakau kering itu. Tangan kanannya menunjuk tepat ke arah dia duduk barusan, lalu Kusnadi menjawab, \"Semua yang ada di pangkalan becak itu, tahu betul tentang kejahatan Hanggareksa.\" 172
Saya terkejut dengan penuturan Kusnadi, sudah bertahun-tahun Saya bekerja ke restoran ini, tapi dibandingkan mereka yang baru satu bulan bekerja, Saya justru tidak tahu apa-apa. \"Sejak kapan? Sejak kapan restoran ini digunakan sebagai tempat ritual? Kenapa Saya yang sudah bertahun-tahun keluar masuk Hanggareksa tidak sekalipun mendengar ada hal mengerikan di restoran ini?\" Tanya Saya yang mulai sedikit terbawa emosi. Kusnadi mencoba mengubah suasana menegangkan ini dengan menepuk pundak Saya.\"Tenang dulu Pak Lukman, Saya tahu yang sampean rasakan. Tapi kejadian ini baru dimulai ketika Habib menyerahkan Restoran ini pada Riska, jadi wajar saja kalau sampean tidak tahu apa-apa. Nah karena sekarang Sampean sudah tahu semuanya, Saya ingin sampean membantu Kami membongkar kebusukan Hanggareksa dan mengurung para penganut aliran sesat itu di balik jeruji besi\" Mudah diucapkan daripada di lakukan, membongkar rahasia Hanggareksa akan mengakhiri karir Saya. Mungkin Saya akan kehilangan satu pelanggan, tapi bagaimana dengan mobil? Mobil yang Saya pakai ketika bekerja dengan Habib pun sudah beliau bawa keluar kota. Saat ini apapun yang Saya pilih beresiko besar mengubah hidup Saya selanjutnya, tapi disaat seperti inilah bayangan Vivi muncul, satu-satunya orang yang akan Saya perjuangkan masa depannya, tanpa sedikitpun membahayakan nyawanya. \"Kusnadi.... sampean sadar kan kalau yang kita hadapi ini adalah kasus besar, maksud Saya... penjualan organ tubuh manusia adalah illegal, terlebih sesosok mayat bayi yang walaupun meninggal karena keguguran atau aborsi, menjadikannya tumbal tetaplah bukan tindakan yang berperikemanusiaan. Ini akan jadi berita besar yang tidak hanya akan mengakhiri Hanggareksa, tapi juga pasar tempat Saya memasok daging tersebut.\" Kusnadi mengangguk paham, Saya pun melanjutkan, \"Kalau Riska dan yang lain bisa melakukan ini dengan sangat rapi selama berminggu-minggu, itu artinya dia punya pengaruh yang besar di pasar itu. Atau paling tidak seseorang yang kebal hukum sudah membantunya selama ini. Lalu Sampean pikir seorang sopir, seorang tukang parkir dan beberapa tukang becak bisa melawan mereka semua? Tidak! Ini jelas bunuh diri\" Pungkas Saya. Kusnadi masih mengangguk tapi kali ini dengan sebuah senyuman kecil yang membuat kekhawatiran Saya barusan tidak berarti. Kusnadi pun menjawab, \"Kita tidak sendirian Pak Lukman, ada orang besar yang selalu mengawasi dan melindungi setiap langkah kita. Seseorang yang punya pengaruh penting di kota ini, seseorang yang amat sangat disegani oleh masyarakat Gambir, bahkan bupatinya sendiri, seseorang yang punya tidak hanya satu, tapi delapan cabang usaha di kota Gambir, dan salah satunya adalah Hanggareksa, sebelum akhirnya beliau 173
menyerahkannya pada Riska. Dan Saya yakin sampean sudah tahu siapa orangnya.... Ya...... beliau adalah…. HABIB ALI MURTADLA.” Benar-benar hari yang penuh kejutan. Terlalu banyak rahasia terbongkar di hari ini, dan seolah belum cukup mengejutkan, kali ini Saya harus mendengar nama Habib Ali dalam perbincangan keramat ini. \"Sampean kenal dengan Habib?\" Tanya Saya dengan rasa penasaran yang tidak tertampung lagi di pikiran ini. Semakin saya dijejali dengan informasi, semakin haus rasanya. Saya ingin tahu semuanya, dan mengakhiri ini untuk selama- lamanya. \"Ah ya! Saya adalah ajudan beliau yang ditunjuk untuk mengurus kepindahan Riska dan kawan-kawannya ke restoran ini. Saya yang menjadi komando tukang untuk menurunkan dan menata kursi, meja serta perabotan lain milik Riska dan komplotannya. Bahkan Saya juga ikut merenovasi interior restoran ini, semua itu kami lakukan sebelum mereka berempat pindah kesini. Saya dan beberapa tukang harus menginap beberapa malam di Hanggareksa, dan sejak itulah pengalaman mengerikan kami dimulai\" Sekarang semua semakin jelas, termasuk kemana seharusnya Saya berpihak. Habib Ali adalah orang yang banyak sekali membantu Saya dan keluarga, tidak ada keraguan di benak Saya untuk membantu beliau membersihkan nama restorannya. \"Terus sekarang, gimana nasib tukang-tukang itu?\" Tanya Saya pada Kusnadi. Dia pun menjawab, \"Alhamdulillah mereka baik-baik saja, sekarang mereka punya profesi baru yaitu....TUKANG BECAK.” ----‘’---- 174
ANOTHER MEETING Asap di dapur Hanggareksa masih mengepul ketika asap di rumah Sandy baru saja padam. Pelanggan mereka masih bersantap dengan tenang saat para tamu Danil baru saja ketakutan. Dan jam tua itu masih berdenting saat jam di mobil Pak Lukman hancur berserakan. Mereka mulai sadar, bahwa melarikan diri bukanlah jalan keluar. Tapi menghadapinya seorang diri pun bukanlah penyelesaian. Tidak pernah ada yang paham bagaimana cara kerja sebuah kutukan... Tapi semua percaya itu adalah perbuatan setan... Dan siapapun yang dengan sengaja bersekutu, Maka mereka tidak akan bisa berhenti... Tidak bahkan sampai mereka Mati.... 12 Januari 20xx, 10.00 WIB Tidak satu langkahpun yang Danil lewati tanpa mengingat Soko Gede, kampung halaman yang sudah beberapa hari ini ditinggalkannya. Suara aliran deras air di sungai, lengkap dengan teriakan anak-anak kecil yang telanjang bulat. Kicauan indah burung-burung baik yang ada di dalam sangkar, maupun yang hinggap di bambu, dan suara ternak yang semakin menunjukkan kesan pedesaan dengan bunyi lonceng di kalungnya. Kira-kira itulah yang dirasakan Danil sekarang kala melewati jalan kecil menuju ke rumah Sandy. Ini tidak jauh berbeda dengan terakhir kali Danil mengunjungi rumah sederhana di dusun kecil Kali Siji, hanya saja kali ini rumah itu semakin sepi setelah meninggalnya Ibu Sandy. Kadang nostalgia kita harus berhenti saat tempat yang kita kunjungi terasa berbeda karena seseorang sudah lebih dulu pergi. \"Ah... melewati jalanan desa, berpapasan dengan ibu-ibu yang membawa keranjang cucian, seolah suara suling muncul sebagai musik latar di kepala ini\" Gumam Danil dalam hati. Sampailah dia di tempat tujuan. Rumah ini sedikit lebih ramai dari yang danil perkirakan, tapi apa boleh buat? Jika kita selalu berbaik hati pada orang, orang membalas kebaikan kita bahkan ketika sudah meninggal. Tampak para tetangga silih berganti memasuki dapur, mereka semua sedang menyiapkan nasi bungkus untuk acara tahlilan almarhumah malam ini. Di dalam rumah, Sandy melihat Danil dari balik jendela kaca dan segera membuka pintu untuk sahabat lamanya itu. \"Bang?\" Melihat sang tuan rumah, Danil akhirnya tahu dimana harus memarkir motornya. Ada dua motor yang saat itu sudah lebih dulu berada di depan teras rumah Sandy, Danil memarkir motornya diantara kedua motor tersebut. Sandy menyambut kedatangan Danil dengan mengajaknya bersalaman, tapi Danil punya cara tersendiri untuk membalas uluran tangan Sandy. 175
PLAK! \"Aaaaaaaaaw sakit bang?!!\" Teriak Sandy sembari memegang telapak tangannya. Danil tidak peduli walaupun Dia sudah menganiaya sang tuan rumah, tanpa membuang senyum palsunya Danil berkata.... \"Di desa Saya Tuan rumah kampret seperti Kamu itu, harus disambit pakai celurit. Untung ini bukan desa Saya, jadi itu aja cukup\" Ujar Danil sambil memegangi telapak tangannya yang sebenarnya juga sangat sakit. Tanpa dipersilahkan oleh Sandy, Danil masuk begitu saja sambil mengucapkan salam... \"Assalamualaikum\" \"Walaikumsalam....\" Danil sedikit kaget karena yang menjawab salamnya adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sedang duduk di ruang tamu. Sandy sebagai tuan rumah kampret pun segera memperkenalkan Danil pada kedua tamunya tersebut. \"Kenalin Bang, ini Chandra dan Sabrina mereka berdua teman Saya. Chandra, Sabrina, kenalin ini Bang Danil teman Saya waktu sekolah dulu\" Mereka bertiga pun saling berjabat tangan, dan tentu saja kali ini Danil berjabat tangan dengan baik dan benar. Hari ini adalah penentuan bagaimana langkah mereka selanjutntya, masih berharap semua kepingan misteri yang dibawanya masing-masing dapat terangkai menjadi sebuah gambar utuh, yang akan membimbing mereka untuk keluar dari kutukan HANGGAREKSA. ----‘’---- 12 Januari 20xx, 10.10 WIB Pagi masih belum meninggalkan mereka, yang duduk dalam satu lingkaran tapi tak saling sapa. Terlalu asing bagi Chandra dan Sabrina untuk memulai percakapan dengan laki-laki berambut panjang dan jenggot tipis yang tumbuh jarang. Danil pun tidak tahu topik apa yang pantas untuk basa-basi dengan kedua remaja kota itu, dan memilih fokus untuk memecahkan skor Candy Crush milik istrinya. Beruntung Sandy datang dengan jamuan yang diharap bisa mencairkan bekunya suasana. Kopi dan teh yang masih hangat, serta biskuit kalengan dengan gambar ibu dan kedua anaknya. \"Tolong jangan bilang kalau isinya adalah kerupuk!\" Celetuk Danil yang berhasil memancing tawa Sabrina dan Chandra, tapi tidak Sandy. 176
\"KALAU GAK MAU SAMA ISINYA, MENDING MAKAN KALENGNYA AJA BANG!\" Setidaknya itu yang ingin Sandy katakan, tapi Sandy terlalu takut dan sungkan karena walaupun keduanya akrab, Sandy dan Danil sudah lebih tiga tahun tidak bertemu. Akhirnya mereka berempat berada di posisinya masing-masing, hanya menunggu siapa yang akan memulai percakapan lebih dulu. Tugas mulia itu akhirnya jatuh ke tangan Sandy, setelah Sabrina, Chandra dan Danil sama-sama melototi Sandy seolah memaksa tuan rumah untuk segera angkat bicara. \"Emmmm gimana kabarnya Bang, sehat? Diklatnya lancar?\" Tanya Sandy pada Danil. Sandy tahu benar bahwa itu adalah basa-basi yang bodoh, terutama setelah melihat reaksi Danil yang sewot maksimal. \"Eh emmmm Rin, Ndra, Bang Danil ini temen Gue yang Gue ceritain tadi. Dia yang menempati kontrakan selama Gue pulang\"Tutur Sandy, sekaligus memperbaiki kalimat pembukanya yang gagal barusan. Sabrina dan Chandra melihat Danil seraya mengangguk, wajah mereka seakan berkata... \"Oooooow…\" \"Mungkin lebih tepatnya, Saya adalah tamu yang ditelantarkan sama Tuan Rumahnya yang pengecut.\" Timpal Danil. Sabrina dan Chandra melihat Sandy sambil menggelengkan kepala, wajah mereka seakan berkata... \"Hmmmmmm\" Suasana kembali canggung, Sandy sama sekali tidak punya persiapan menghadapi tamu seperti Danil. Setelah berbagai metode basa-basi digagalkan, Sandy memutuskan untuk membahas sesuatu yang jadi tujuan Danil ke sini. Sesuatu yang akan menyatukan pikiran ketiga tamunya pada satu topik, yaitu Hanggareksa. \"Oh ya Bang, malam ini Gue mau balik ke Kontrakan. Sejak Ibu wafat, Gue gak punya alasan lagi buat tinggal disini. Lagian Gue punya urusan yang belum selesai sama Hanggareksa\" Ujar Sandy. Danil terkejut karena dengan mudahnya Sandy menyebut nama Hanggareksa di depan Sabrina dan Chandra. \"Ehm!\" Kode yang Danil kirim barusan adalah peringatan, agar Sandy tidak melanjutkan pembahasannya tentang Hanggareksa. Setidaknya tidak di depan Chandra dan Sabrina. Tapi kekhawatiran Danil berhasil diredam Sandy \"Tenang aja Bang, Sabrina dan Chandra sudah tahu tentang Hanggareksa. Bahkan mereka lebih dulu tahu daripada Elo Bang\" Seketika itu juga Danil melihat kedua tamu Sandy, muncul berbagai pertanyaan tentang apa dan bagaimana kejadian yang sama bisa menimpa mereka berdua. 177
Danil pun meredakan egonya dan memilih untuk jadi pendengar, mungkin pengalaman mereka bisa jadi petunjuk penting untuk langkah Danil selanjutnya, Tidak! untuk langkah mereka selanjutnya! \"Saya pengen denger semuanya dari kalian. Tentang restoran itu, dan hubungannya dengan kalian bertiga\" Ujar Danil. Akhirnya Sandy berhasil mengendalikan ruang tamunya lagi. Masing-masing dari mereka bercerita panjang dan lebar tentang Hanggareksa, tentang Nova dengan segala detil dan dugaan masing-masing. Danil terperangah karena apa yang didengarnya sangatlah menyeramkan, tidak bisa dibayangakan jika Dia berada di posisi mereka. Akhirnya cerita Sandy menjadi pamungkas dari rentetan kejadian yang mereka bertiga ceritakan, itu artinya sekarang giliran Danil berbicara. \"Tunggu sebentar!\" Seru Danil sembari mengeluarkan sesuatu dari tas nya, yakni sebuah Handy Cam milik Sandy. \"Apa pernah kamu melihat hasil dari video yang kamu rekam?\" Tanya Danil pada Sandy sambil menyodorkan Handy Cam-nya. Sandy menerimanya dengan ragu, dan wajahnya itu adalah jawaban bagi Danil bahwa tidak sekalipun Sandy pernah melihatnya. Masih dengan keraguan dan ketakutan akan nostalgianya dengan mantan kontrakan, Sandy menyimak baik- baik semua video yang ada di kameranya. Hampir semua video Sandy tonton dengan ekspresi heran, seakan-akan dia tidak percaya bahwa semua itu dia yang merekam. \"Kenapa videonya jadi gini?\" Tanya Sandy pada Danil. Dia masih belum mengerti kenapa hasil rekamannya berbeda dengan saat kejadian berlangsung. Semua video yang direkam di kontrakannya, dipenuhi dengan suara- suara aneh bahkan lebih nyaring daripada suara asli dari rekaman tersebut. Video yang direkam saat malam terakhir Sandy di kontrakan pun, sama sekali tidak merekam sosok Nova, tapi kali ini Sandy bisa memakluminya karena yang direkamnya memang bukanlah Nova. \"Saya juga gak tahu, tapi satu-satunya video yang jelas gambar dan suaranya adalah video orang-orang aneh berjubah hitam itu\" Chandra dan Sabrina tidak bisa menahan hasrat ingin nontonnya, mereka berdua mengambil posisi di samping Sandy dan bersama-sama menyaksikan, video berisi ritual aneh yang dilakukan oleh orang-orang berjubah hitam itu. Ini bukan pertama kalinya bagi Sandy dan Chandra, tapi bagi Sabrina.... video tersebut sangatlah menjijikkan. \"Itu.... apa yang ada di piring mereka?\" Tanya Sabrina sembari menutup mulut dan hidungnya dengan kedua tangan. Tidak satu pun yang bisa menjawab pertanyaan Sabrina, karena saat itu, mereka sedang mempertanyakan hal yang sama. Suasana menjadi hening sesaat, nafsu pada kopi dan teh pun hilang selamanya. Rekaman itu meruntuhkan keraguan 178
mereka tentang eksistensi orang-orang berjubah hitam yang selama ini Sandy dan Chandra anggap hanyalah sesosok penampakan. Tapi jika lensa kamera Sandy dapat merekamnya dengan jelas, sudah barang tentu mereka semua adalah... MANUSIA. \"Orang-orang ini yang bertanggung jawab atas penculikan Nova\" Ujar Sandy. \"Sial! Apa-apaan benda merah di atas piring mereka itu? Gue gak bisa bayangin apa yang akan terjadi sama Nova, kalau kita terlambat pergi ke Hanggareksa malam itu\" Gerutu Chandra. \"Memangnya apa yang ada di pikiran kalian tentang daging berlumurcairan merah itu? Please... jangan mikir terlalu ekstrim!\" Sahut Sabrina, sambil masih menahan gemetar di tangannya. \"Ah dasar bocah! Kasus penculikan seperti ini harusnya sudah kalian laporkan ke polisi sejak awal!\" Seru Danil. \"Percuma Bang.... Ibu Nova memilih tidak memperkarakan kasus ini, bahkan Nova sendiri membuat pengakuan bahwa dia tidak pernah merasa diculik.\" Sahut Chandra. \"Kok gue jadi curiga sama Ibu Nova ya! Yang dilakukannya itu tidak sewajarnya dilakukan orang tua yang memang menyayangi anaknya. Kalau gak salah baca, di diary itu juga ditulis kalau Ibunya yang memperkenalkan Nova dengan manager Hanggareksa\" Ujar Sandy. Suasana kembali hening, tapi disaat yang bersamaan juga semakin mencekam. Mereka ingin segera keluar dari terror Hanggareksa, tapi tidak satupun yang tahu pintu manakah yang harus mereka buka untuk bisa lolos dari kutukan restoran angker itu. \"Maaf kalau terkesan egois, Saya cuma ingin tinggal dengan tenang di kontrakan itu tanpa peduli dengan ritual sesat Hanggareksa, dan juga teman kalian yang bernama Nova. Tapi sepertinya keinginan saya tidak akan terwujud selama kedua misteri tersebut belum diselesaikan. Jadi apapun yang kalian rencakan, Saya ikut!\" Ujar Danil. Tidak ada yang menduga pertemuan pertama mereka berakhir menjadi sebuah rapat strategi. Bagi mereka... menghentikan kegiatan sesat Hanggareksa bukanlah tanggung jawab mereka, tapi selama itu masih mengganggu ketenangan dan keselamatan keluarganya, maka apapun yang terjadi semua ini harus dihentikan. \"Gue sama Bang Danil berencana pergi ke rumah pemilik kontrakan, tujuan utamanya adalah komplain sih, tapi kami juga akan berusaha untuk cari informasi tentang asal-usul restoran setan itu.\" Ujar Sandy. \"Kalau gitu, gue mau pergi jenguk Nova, udah hampir seminggu Gue gak kesana. Siapa tahu Nova sudah mau terbuka, dan memberi kita petunjuk tentang siapa sebenarnya orang-orang berjubah hitam itu\" Ujar Chandra. 179
\"Kalau gitu Aku ikut Chandra.\" Timpal Sabrina. \"Ok lah! Kalau tidak terlalu malam, abis dari rumah pemilik kontrakan, Gue sama Bang Danil bakal nyusul kalian berdua. Alamat rumah Nova dimana?\" Tanya Sandy, Chandra pun memberikan kartu bertuliskan alamat lengkap rumah Nova, dengan sebuah nama tercetak besar... NY. YUANITA ANGGRAINI. ----‘’---- 12 Januari 20xx, 12.45 WIB Perbincangan Sandy, Danil, Sabrina dan Chandra masih berlanjut namun perlahan jauh meninggalkan Hanggareksa. Ruang tamu yang suram kembali hangat walaupun teh dan kopi di meja sudah semakin dingin. Kehadiran Hady di tengah- tengah mereka menambah warna baru dan haru saat mendengar musibah kebakaran yang terjadi tadi malam. Tapi memasuki kamar Sandy yang saat ini penuh dengan lukisan, perasaan kagum menyelimuti Danil, Chandra dan Sabrina. Tidak banyak yang bisa diselamatkan dari kebakaran semalam, tapi lukisan yang ada mampu Membuat mereka lupa bahwa mereka sedang berada di rumah duka. Tuhan mengambil sesuatu yang berharga dari Hady, tapi menganugerahkan sesuatu yang luar biasa padanya, sebuah bakat yang tidak dimiliki banyak orang. Siang berganti sore, rasa lelah dan bosan pun datang, setelah makan bersama mereka berempat memutuskan untuk pergi ke tempat yang sudah direncanakan. \"Apa gak sebaiknya kita pergi ntar malam aja Dy? Kamu kan harus ikutan tahlil?\" Tanya Danil. \"Gak usah bang, doa para tetangga yang datang jauh lebih diterima daripada doa anak kaya gue\" Alasan yang tidak masuk akal, tapi Danil terima karena malas berdebat. Lagipula dia tahu, dia tidak bisa pulang terlalu malam karena teman satu kontrakannya masih terbaring lemah akibat ritual ruwatan semalam. Tidak mudah bagi Sandy berpamitan dengan keluarganya yang terus mendesak agar Sandy ikut tahlilan, tapi tidak mudah juga bagi mereka untuk membujuk Sandy yang keras kepala, lagi pula Bapaknya seperti tidak peduli padanya. Akhirnya berangkatlah mereka berempat, Sabrina mengendarai motor Sandy karena untuk sebuah alasan, dia tidak ingin dibonceng Chandra. Mereka berempat berpisah di persimpangan jalan, dimana tanah bebatuan berubah menjadi aspal. Saat ini Sandy sangat berharap bisa berada di dua tempat sekaligus, karena firasat Sandy mengatakan bahwa Nova adalah kunci dari masalah ini. Wajahnya yang mirip dengan waitress itu pasti bukanlah kebetulan, tapi saat ini Sandy hanya bisa mempercayakan semuanya pada Sabrina. 180
\"Jadi kita kemana nih?\" Tanya Danil yang memutuskan untuk mengemudi setelah tahu tentang kecelakaan yang dialami Sandy. \"Ke rumah Haji Asnaf Bang, di Kali Batas\" Danil mengorbankan satu hari Diklat nya demi tidur tenang untuk beberapa hari di kontrakan, walaupun ragu tapi dia berharap semoga ini tidak buang-buang waktu. DI TEMPAT YANG BERBEDA 15.30 WIB GUBRAK!! Malang sekali nasib meja belajar di ruangan itu, tendangan dari kaki kekar dengan betis berbulu itu hampir saja menyisakan lubang di kayunya. Tapi karma tidak pandang bulu, Samsol terbangun dan segera memegangi kakinya yang ngilu. \"Huwaaaa.... sakit bingiiiiiiiit, dasar meja kurang ajar!\" Selesai mengaduh Samsol mulai menyadari kondisinya saat ini, dia kenal betul dengan kamar kontrakannya tapi dia heran karena baju yang dipakainya sekarang raib dari tubuhnya. Samsol melihat sekeliling kamar, dan menemukan kemejanya tergantung di balik pintu, dengan pikiran yang masih awut-awutan dia menghampiri pintu dan mengambil kemeja putihnya. \"Aduuuh? Apa-apaan ini?\" Samsol kaget bukan kepalang, karena tiga kancing baju nya hilang. Sedikit demi sedikit ingatannya pulih, dan kejadian semalam pun samar-samar tergambar. Samsol masih ingat wajah teman-temannya yang datang untuk acara dzikir bersama, sayangnya di lupa apa yang sudah terjadi selanjutnya, dan karena ingatan tidak dapat membantunya, Samsol pun mulai menggunakan instingnya. \"Tunggu dulu deh! Aku pingsan, Bajuku berantakan, kancingnya juga copot, terus bangun-bangun udah di atas ranjang....jangan-jangan….” \"OOOO MY GOD........ KURANG AJAR KALIAN SEMUA, BERANI-BERANINYA MELAKUKAN INI SEMUA PADAKU! SETELAH SELESAI KALIAN TINGGALIN AKU SENDIRIAN DISINI? DASAR PENGECUT! PENGECUUUUUUUUUUUUUUUUT!\" Tidak ada satupun yang mendengarkan teriakan Samsol, dia masih kesal namun tersipu karena khayalannya sendiri. KEDIAMAN NY. YUANITA ANGGRAINI 17.30 WIB \"Assalamualaikum.....\" Tidak seorangpun menjawab salam Sabrina, kecuali Chandra yang membalasnya dengan tawa kecil. 181
\"Gak bakal ada yang jawab salam Elo disini!\" Sahut Chandra. Melihat kalung yang dikenakan Chandra, Sabrina mengerti apa maksudnya, Dia hanya tersenyum malu sambil menggigit bibir bawahnya. Chandra menekan bel di samping gerbang berwarna hitam itu, tidak berapa lama kemudian seorang wanita keluar dari rumah kecil berlantai dua yang tidak lain adalah rumah Nova. Wanita itu tersenyum melihat Chandra, tampak sekali rona bahagia terpancar di wajahnya. Wanita itu menghampiri Chandra dan Sabrina lalu membuka gerbang. Dari dekat tampak sekali usianya sekitar tiga puluhan, tapi masih cantik dan ramping. \"Tante kira siapa, ternyata kamu Ndra. Terus ini?\" Tanya wanita tersebut sembari melihat Sabrina. Sabrina masih tertegun dengan kecantikan wanita yang sedang berdiri di depannya, sehingga Chandra harus mewakilinya untuk menjawab, \"Ini sabrina tante, temen Nova juga. Rin! Kenalin ini Ibunya Nova\" Perkenalan singkat mereka di depan gerbang harus segera berakhir, Ibu Nova membawa kedua tamunya masuk. Ini kali pertama Sabrina datang ke rumah Nova, tapi yang saat ini sibuk tolah-toleh justru adalah Chandra. Dia masih bingung dengan adanya sebuah mobil yang sedang parkir di halaman rumah Nova. \"Mungkin ada tamu...\" Pikir Chandra. ----‘’---- 12 Januari 20xx, 17.45 WIB Di sisi lain kota gambir tepatnya di daerah Kali Batas, sebuah rumah megah berdiri tepat di ujung gang Pakistan. Luasnya dapat menampung kurang lebih sepuluh Bus, diakui atau tidak pemandangan mewah itu sempat membuat Danil ragu untuk singgah, tapi tidak dengan Sandy. \"Bang, buruan!\" Seru Sandy pada Danil yang bengong di luar gerbang. Danil memarkir motornya di taman rumah setelah seorang satpam membukakan gerbang. Danil tahu ini bukan waktunya terlena dengan pemandangan istana milik H. Asnaf, Dia dan Sandy berjalan mengitkuti satpam yang mengantarkannya ke pendopo dimana H. Asnaf biasa menerima tamu. \"Mari silahkan duduk mas, Pak haji masih sholat\" Sandy dan Danil pun duduk walaupun dengan perasaan tidak enak karena bertamu ba'da maghrib. Pendopo H. Asnaf sangat rapi dan bersih, permadaninya pun bebas dari debu, bahkan dengan sekali menyentuhnya Danil dan Sandy tahu betapa mahalnya benda tersebut. Tidak hanya itu, mereka berdua mendapat jamuan makanan dan minuman layaknya tamu terhormat. 182
\"Bang... kalau kaya gini, gue malah sungkan mau komplain\" Bisik Sandy sembari menuangkan sirup anggur ke gelasnya. \"Hati-hati Dy! Rob Stark dan para pengikutnya mati karena lengah oleh jamuan tuan rumah. Kita makan dan minum seadanya, tapi tetap waspada\" Bisik Danil sembari mengambil lima potong pisang goreng keju ke piringnya. Sandy hanya geleng-geleng kepala, bukan karena dia tidak tahu siapa Rob Strark, tapi karena ucapan Danil sangat kontras dengan banyaknya makanan yang diambilnya. Terbiasa hidup di kota membuat Sandy memahami konsep tidak ada yang gratis di dunia ini, dan konsep itu sedang diterapkan H.Asnaf pada keduanya. Semua jamuan mewah tersebut harus dibayar mahal dengan waktu mereka, karena sudah hampir satu jam tapi tuan rumah tidak muncul juga. \"Siaaal.... ngapain aja sih Pak Haji itu?\" DI WAKTU YANG BERSAMAAN 18.10 WIB Sabrina dan Chandra sedang menunggu di ruang tamu, walaupun sepertinya Nova enggan menemui mereka berdua. Ibunya bilang saat ini seorang dokter sedang memeriksa kondisi Nova, karena sejak kejadian itu Nova lebih sering mengurung diri di kamar, bahkan makanan nya pun harus diantar. \"Mungkin mobil yang di luar itu mobilnya dokter.\" Pikir Chandra. Tiba-tiba Ibu Nova datang, masih dengan senyuman ramahnya, hanya saja kali ini terkesan dipaksa. Ada guratan kesedihan di wajah Ibu Nova, dan seabagai perempuan Sabrina bisa merasakan itu. \"Mari masuk, siapa tahu dengan kehadiran Chandra dan Sabrina, Nova mau bicara\" Tanpa ragu-ragu Sabrina dan Chandra mengikuti Bu Yuanita menuju ke kamar Nova. Rumah ini sangat sederhana, tipikal rumah di perumahan kelas menengah, sempit memang tapi cukup untuk dihuni Nova dan Ibunya. KREK! Pintu kamar Nova dibuka dan tampaklah sebuah ruangan kecil yang sangat berantakan untuk standar kamar perempuan. Bukan karena pemiliknya malas untuk bersih-bersih, tapi berantakannya lebih seperti kamar yang habis diacak- acak pencuri. Di sudut kamar Nova berbaring di ataskasurnya, tubuhnya kelihatan sangat kurus sekali, rambut coklatnya berantakan dan bahkan dari jauh pun Chandra dan Sabrina dapat melihat lingkaran hitam di mata Nova. Di samping Nova duduk seorang pria botak mengenakan jas dan celana serba putih. Tangannya menggenggam sebuah botol berisi air atau apapun cairan bening itu yang jelas orang ini sama sekali tidak tampak seperti dokter, begitu pikir Sabrina. 183
\"Nova!\" Seru Chandra yang segera menghampiri Nova dan duduk di sampingnya. Tangan Nova terasa sangat dingin, walaupun tidak sedingin tatapannya yang acuh tidak hanya pada Chandra, tapi juga ibunya. Nova sangat menyayangi ibunya, dan melihatnya seperti ini seakan-akan orang yang sedang berbaring di atas ranjang ini bukanlah Nova. Sabrina menyusul Chandra, dia pun duduk di sisi lain ranjang. Sabrina selalu kagum dengan cara Nova tersenyum, baginya melihat senyum Nova mengingatkan pada senyuman adiknya yang masih kecil, sangat jujur dan polos. Tapi kali ini Nova hanyalah jasad yang jiwanya sedang berkelana entah kemana. Bu Yuanita tampak sedang menahan tangisnya, dia hanya bisa berdiri di pintu memandangi Nova walaupun dia merasa anaknya tidak sedang disana. Terjadi keheningan sesaat, sebelum akhirnya pria botak itu bangkit dan menghampiri Ibu Nova. Keduanya saling berbisik, walaupun Sabrina tidak mendengarnya tapi dia tahu bahwa mereka berdua sedang membicarakan sesuatu yang sangat penting. \"Kalian berdua, bisa tunggu di luar sebentar?\" Tanya pria botak itu. Chandra sangat tidak senang dengan cara pria itu bicara, tapi melihat Bu Yuanita sangat percaya pada pria itu, Chandra pun menurut. Dia dan Sabrina beranjak dari ranjang dan melangkah pergi “TUNGGU!” Sabrina dan Chandra menoleh dengan cepat, secepat mereka mengenali bahwa itu adalah suara Nova. Mereka berdua segera berlari menghampiri gadis malang itu. Wajah Nova masih terlihat mati, tapi air matanya yang mengalir itu seolah pertanda bahwa masih ada kehidupan di hatinya. Nova mengambil sesuatu dari balik bantalnya, sebuah buku diary dengan sampul merah, dan sambil menangis Nova memberikan Diary itu pada Chandra \"Buang! Bakar! Tenggelamkan! Apapun caranya bawa dia pergi dari sini! Bawa dia pergi dari sini........\" Tangis Nova pecah, sangat pilu untuk didengar tapi terasa aneh di mata mereka. Suara tangis dan air mata itu keluar dari wajah datar Nova yang sama sekali tidak ada raut kesedihan. Untuk kedua kalinya pria botak itu meminta Chandra dan Sabrina untuk pergi, walaupun banyak hal yang ingin Chandra tanyakan pada Nova. Pria itu meneteskan air dari botol kecilnya ke wajah Nova tapi ternyata.... NOVA SAMA SEKALI TIDAK BERGEMING. Chandra dan Sabrina tidak punya waktu untuk menyaksikan hal tersebut, mereka masih memikirkan kata-kata Nova barusan, hingga muncullah sebuah pertanyaan.. \"Apa kita harus bakar Diary itu?\" Tanya Sabrina. 184
\"Entahlah.... walaupun itu permintaan Nova, tapi tetap saja ini adalah diary kesayangannya. Dia senang sekali waktu beberapa hari yang lalu Gue kesini buat balikin Diary nya, lagian Gue juga masih gak yakin Nova sadar akan apa yang dikatakannya barusan\" “Bakar saja!” Timpal Bu Yuanita. Chandra dan Sabrina semakin bertambah bingung, mereka teringat cerita Sandy tentang bagaimana hantu waitress itu berkomunikasi dengannya melalui Diary Nova. Kebingungan Sabrina dan Chandra semakin bertambah manakala Bu Yuanita mengucapkan sesuatu yang janggal.. \"Bakar saja.... setidaknya itu akan menjauhkan Nova darinya\" Chandra benci mengakuinya, tapi kali ini dia mulai mencurigai Bu Yuanita. Wanita ini sedang menyimpan sesuatu, sebuah rahasia besar yang mungkin ada hubungannya dengan Hanggareksa. Apapun itu yang jelas karena keegoisannya, Nova harus menanggung akibatnya. \"Darinya? Dari siapa? Siapa yang tante maksud?\" Tanya Chandra. HIHIHIHIHI…. Suara tawa itu mengalihkan perhatian Chandra, Sabrina dan Bu Yuanita pada sebuah pemandangan yang tidak akan mereka lupakan seumur hidupnya. Pria botak itu sedang meregang nyawa, mulutnya terbuka lebar, mata terbelalak dengan pupil yang mengarah ke atas. Tidak ada harapan bagi pria tersebut untuk kabur, karena... NOVA SEDANG MENCEKIK LEHERNYA. ----‘’---- 12 Januari 20xx, 18. 35 WIB BANG!! Pintu kamar Nova tertutup, memisahkan Bu Yuanita dari Chandra dan Sabrina yang masih berada di dalam kamar. Chandra dengan sigap menghampiri pria botak yang sedang meregang nyawa tersebut, sementara Sabrina memeriksa pintu kamar Nova. BRAK! BRAK! BRAK! \"Novaa?!! Apa yang terjadi nak? Nova?\" Teriak Bu Yuanita dari balik pintu. Sabrina berusaha membukanya tapi gagal, pintu itu seperti terkunci rapat walaupun kuncinya masih ada di lubang pintu, tapi memutarnya terasa sangat berat. Sama beratnya dengan pergelangan tangan Nova yang masih melekat di leher pria botak itu. Chandra berusaha sekuat tenaga untuk melepaskannya, tapi tenaga Nova saat ini jauh lebih kuat darinya. 185
\"Sialan!! Gue gak bakal biarin elo nyakitin orang lain pakai tubuh Nova lagi!\" Teriak Chandra. \"Tante... cari sesuatu yang bisa membuka pintu ini, walaupun harus dipaksa.\" Seru sabrina yang direspon dengan teriakan Bu Yuanita dari balik pintu \"Ok! Tunggu sebentar\" Chandra semakin kewalahan, dan disaat seperti ini lah dia harus membuat pilihan. Chandra mengambil Diary Nova yang diletakkannya di ranjang, dan melemparkannya ke Sabrina sembari berkata, \"Rin! Bakar! Atau Robek semua halamannya!\" Belum sempat Diary itu mendarat di tangan sabrina, secara ajaib buku kesayangan Nova itu berhenti dan melayang di udara. Sabrina dan Chandra tidak punya banyak waktu untuk merasa heran, karena secara perlahan sosok Waitress itu muncul di antara mereka dengan tangan kananya yang penuh luka bakar, sedang memegang Diary milik Nova. HIHIHIHIHI…. Di saat yang bersamaan, Nova melepaskan tangannya dari leher si pria botak. Tubuh Nova lemas dan jatuh ke ranjang, Pria botak itu pun tersungkur dan menggelepar berusaha memasukkan oksigen ke paru-parunya sebanyak yang dia bisa. UGGHWEEEK UHUK… UHUK… \"Om... om gak apa-apa?\" Tanya Chandra Pria botak itu memberikan botol kecilnya pada Chandra, dan dengan suara paraunya dia berkata.. \"Cepat siramkan ini ke kening, dan tubuh gadis itu, sebelum mahluk itu merasukinya lagi\" Chandra mengerti apa yang harus dilakukan, sayangnya waitress itu pun mengerti hal yang sama. Keduanya adalah mahluk yang berbeda ruang, tapi saat ini sedang berkompetisi dalam waktu yang sama. Chandra membuka tutup botol itu secepat yang dia bisa, sementara waitress itu melayang secepat kilat ke tubuh Nova, dan akhirnya... PLASH! Chandra berhasil membasahi kening nova dengan air dari pria botak itu, lalu memperhatikan sekeliling ruangan, tidak ada lagi tanda-tanda waitress berambut Coklat, dan itu artinya Nova sudah aman. Sabrina yang sedari tadi hanya bersandar pada pintu, tanpa disadarinya sudah duduk di lantai, kakinya terlalu lemas untuk menopang tubuh langsingnya. 186
\"Nova... sadar Nova!\" Chandra berusaha menyadarkan Nova, tapi gadis lugu itu tidak kunjung kembali. Pria botak itu memberikan sebuah kalung milik Nova, walaupun tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya, karena lehernya masih merah dan bengkak. Chandra tahu maksud dari pria tersebut, dia membenahi rambut coklat Nova yang berantakan dan mencoba memakaikan kalung perak itu... HEGH Kalung itu pun jatuh ke lantai, karena secara tiba-tiba... nova mencekik leher Chandra. \"CHANDRAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!\" Teriakan Sabrina terdengar sampai ke gudang dimana Bu Yuanita berada. Wanita itu dengan paniknya mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk membuka pintu, dan pilihannya pun jatuh kepada sebuah linggis. Bu Yuanita segera kembali ke lantai dua dimana kamar Nova berada, berharap logam yang dibawanya dengan susah payah dapat membuka pintu yang terkunci secara tidak wajar. Sementara di kamar Nova... Sabrina dan Pria botak itu berusaha melepaskan cengkraman tangan Nova di leher Chandra, tapi apalah Daya.. jari nova tidak bergerak sedikitpun. BRUAK! BRUAK! BRUAK! Suara pintu kamar yang sedang dihantam oleh linggis, tapi di tangan Bu Yuanita linggis itu tidak lagi efektif. Baru beberapa kali besi itu dihujamkannya ke pintu, tenaga Bu yuanita sudah habis terkuras. Rasa putus asa hinggap di pikirannya, tapi bagi seorang ibu tidak ada kata menyerah demi memperjuangkan keselamatan anaknya. \"Tinggalkan Nova...... Saya mohon, tinggalkan Dia......\" Tangis Bu Yuanita pecah, bersimpuh memeluk linggis di depan pintu kamar Nova. Lirihnya tangisan Bu Yuanita menambah pekiknya suasana di dalam, tapi diluar dugaan.... Nova menoleh ke arah pintu kamar lalu menghempaskan tubuh Sabrina dan Pria botak itu ke lantai. Di saat yang bersamaan pintu kamar pun terbuka. Kali ini Nova dapat melihat dengan jelas wajah Ibunya, begitu juga Bu Yuanita yang semakin lemas kala melihat Nova dengan bengisnya masih mencekik leher Chandra. \"Tolong... jangan lakukan ini pada Nova... kami... kami akan mengakhirinya, kami janji akan mengakhirinya\" Teriak Bu Yuanita. Wanita itu memohon pada waitress berambut coklat yang sedang merasuki tubuh Nova, tapi sepertinya iblis itu punya cara lain untuk menjawabnya. Perlahan-lahan linggis yang dipeluk Bu yuanita bergerak, semakin lama semakin kuat. 187
\"Tolong.... Aku mohon jangan lakukan ini......\" Tangan Bu Yuanita semakin lemah, sementara linggis itu sudah berada di ujungnya. \"Tolong.... tolong jangan lakukan ini......\" Bu Yuanita berusaha menahannya tapi gagal. linggis itu pun terlepas sepenuhnya dari genggaman Bu yuanita dan melesat dengan cepat... ke arah Chandra. \"TOLONG HENTIKAN.........MAMA…” ----‘’---- 12 Januari 20xx, 18.45 WIB Asap rokok menari-nari dari hidung dan mulut Sandy, lima buah puntungnya terendam dalam sisa sirup anggur. Tidak sopan di mata Danil, tapi saat ini dia sedang malas untuk menegur. Berapa batang lagi yang harus Sandy habiskan, agar Pak Haji keluar dari kediaman? Danil pun mulai tampak bosan, tidak mungkin lagi baginya memperpanjang kesabaran. \"Kita balik besok aja yok! Saya belum sholat maghrib, bentar lagi juga udah isyak\" Tidak ada alasan untuk menolaknya, walau itu berarti Sandy harus bermalam di kontrakan lamanya. Rasa kecewa bercampur lelah sudah mengalahkan antusias mereka untuk bertemu tuan rumah, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pulang. Tapi belum sempat Danil mengangkat pantanya, pintu di depan pendopo terbuka. Seorang pria seumuran ayah Sandy datang menghampiri mereka. Hidung mancung, alis tebal dan jenggot panjangnya membuat darah arab pria tersebut mudah dikenali, ditambah lagi gamis dan sorban putihnya yang beraroma hajar aswad, mengingatkan Danil akan bapaknya di kampung. Pria itu mempersilahkan duduk Danil dan Sandy yang terlanjur berdiri, entah sebagai penghormatan atau karena nyaris pulang. Pria keturunan arab ini adalah H. Asnaf, pemilik kontrakan Sandy. \"Sampean yang ngontrak di rumah Saya itu kan?\" Tanya H. Asnaf membuka percakapan. \"Iyaaa pak haji, nama Saya Sandy dan ini Bang Danil yang sekarang menggantikan Saya di kontrakan itu.\" Jawab Sandy bersamaan dengan anggukan kepala Danil. \"Menggantikan? Memang nak Sandy sudah tidak disana lagi? Kenapa?\" Danil dan Sandy saling pandang, diskusi bisu mereka tentang siapa yang harus menjelaskan. Akhirnya Danil angkat bicara, karena memang itulah tujuan Sandy mengajaknya kesini. \"Mohon maaf sebelumnya Pak Haji, teman Saya ini tidak kerasan tinggal di rumah milik sampean. Bukan karena fasilitas nya, tapi karena alasan keamanan dan kebersihannya.\" Ujar Danil. 188
H. Asnaf mengerutkan dahinya, keamanan dan kebersihan adalah prioritas utamanya sebelum menyewakan rumah itu, dia sama sekali tidak menduga akan ada pelanggan yang komplain tentang hal tersebut. Tapi kemudian raut wajah H. Asnaf berubah, karena baru saja dia mengingat sesuatu, sesuatu yang mungkin jadi alasan sebenarnya kedua pemuda ini menemui dirinya. \"Ini ada hubungannya dengan restoran itu kan?\" Tanya H. Asnaf. Sandy mengangkat dadanya pelan, pertanyaan tersebut membangkitkan rasa penasaran, marah dan kecewanya secara bersamaan. Kata-kata H. Asnaf barusan bukan hanya pertanyaan, tapi juga jawaban dari kegelisahan Sandy selama ini. Pria ini tahu sesuatu, bahkan mungkin tahu segalanya tentang Hanggareksa, untuk itu Sandy tidak akan membiarkan kesempatan ini terbuang percuma \"Ada apa sebenarnya dengan Hanggareksa? Apa yang sebenarnya terjadi disana? Lalu mereka yang masih gentayangan di kontrakan, siapa mereka sebenarnya? Kenapa sampean seolah tidak peduli dan masih saja menyewakan rumah angker itu pada orang lain?\" \"SANDY!\" Tegur Danil, melihat Sandy sudah tidak bisa mengontrol emosinya. \"Maaf\" Ucap H. Asnaf seraya menundukkan kepalanya. Hal tersebut membuat canggung suasana, Danil dan Sandy pun salah tingkah dibuatnya. Selain karena dia adalah tuan rumah, H. Asnaf juga jauh lebih tua dari mereka, jadi tidak pantas baginya untuk minta maaf sambil membungkuk begitu. Tapi sepertinya kalimat H. Asnaf tidak berhenti di kata maaf.... \"Kontrakan itu bukan milik Saya, begitu juga dengan rumah ini. Saya hanyalah abdi yang bertugas menjaga properti milik tuan saya. Kabar tentang kontrakan itu sudah sampai ke pemiliknya, jadi nak Danil dan nak Sandy tidak perlu khawatir, semua itu akan segera kami tindak lanjuti, dan mengenai Hanggareksa........ sayangnya kami tidak bisa berbuat apa-apa karena saat ini restoran itu sudah bukan milik tuan Saya lagi.\" Ujar H. Asnaf. \"Jadi sebenarnya siapa pemilik kontrakan dan restoran itu?\" Tanya Danil. \"Kontrakan itu adalah milik Habib Ali, beliau adalah pengusaha asal Surabaya yang dulu sempat menetap di kota ini. Sedangkan Hanggareksa adalah milik Widianto Hermawan sahabat Habib Ali, sebelum akhirnya Pak Widi pergi meninggalkan istri dan anak perempuannya. Semenjak itu Istri beliaulah yang meneruskan usahanya. Kalau tidak salah ingat namanya......NY. ANGGRAINI.” Tutur H. Asnaf. Danil mendengarkan dengan seksama cerita dari H. Asnaf, banyak nama yang muncul secara bersamaan tapi sedikit informasi yang dia terima. Sementara Sandy hanya menggaruk kepalanya mencoba mengingat sesuatu... \"Kok Gue kaya pernah denger nama itu ya? Tapi dimana?\" Gumam Sandy. 189
\"Terus kalau memang Ny. Anggraini yang mengambil alih Hanggareksa, gimana ceritanya sampai bisa jatuh ke tangan Habib Ali?\" Tanya Danil. Wajah H. Asnaf terlihat ragu, entah kenapa sampai disini dia tidak ingin melanjutkan ceritanya. Tapi Danil dan Sandy berhak tahu, kedua pemuda ini adalah pelanggan habib yang harus dia layani kebutuhan dan keluhannya. Tapi karena informasi yang akan dia ceritakan sesaat lagi sangat rahasia, H. Asnaf perlu membuat kesepakatan... \"Tolong... cerita yang nak Danil dan nak Sandy dengar jangan sampai dibawa keluar dari rumah ini, maksud Saya jangan sekali-kali membicarakannya di depan orang lain\" Danil dan Sandy mengangguk dengan sangat mantap, walaupun di dalam hati mereka menolak dengan mantap pula. H. Asnaf mengambil nafas panjang untuk cerita yang mungkin akan sangat singkat, tapi juga sangat berat. \"Pernah terjadi tragedi di Hanggareksa, jauh sebelum Saya menjadi ajudan Habib. Peristiwa yang mungkin sudah dilupakan oleh warga kota ini, tapi tidak oleh keluarga korban. Konon dari berita yang Saya dengar....” H. Asnaf menarik nafas, kemudian melanjutkan kalimatnya, “KARYAWAN HANGGAREKSA MEMBUNUH SEMUA PELANGGANNYA DALAMA SATU MALAM.” Pisang goreng di perut Danil belum dicerna dengan baik, tapi perutnya sudah lebih dulu sakit mendengar cerita H. Asnaf. Begitu juga dengan Sandy yang tampak sangat terkejut, dia sudah menduga sesuatu yang buruk pernah terjadi di restoran itu, tapi tidak seburuk ini. Ini sama sekali bukan tragedi kecelakaan seperti yang dibayangkannya, melainkan sebuah pembunuhan, tidak! ini sebuah.. pembantaian. Melihat betapa terkejutnya kedua tamunya itu, H. Asnaf sempat berpikir untuk berhenti sampai disitu tapi sekali lagi, mereka berhak tahu. \"Malam itu sedang dilangsungkan sebuah pesta di Hanggareksa, Ny. Anggraini mengundang semua kerabat dan rekan bisnisnya. Tidakdiketahui pesta apa, dan apa yang melatar belakangi pembantaian tersebut, tapi malam itu hampir dua puluh orang keracunan makanan, beberapa diantaranya mati di tempat dan sisanya dilarikan ke rumah sakit, walaupun banyak yang tidak selamat.” “Sepertinya semua itu sudah direncanakan dengan sangat rapi, dengan banyak sekali pihak yang terlibat. Hingga polisi pun baru datang ke Hanggareksa keesokan harinya, dan tentu saja sudah banyak tersangka yang melarikan diri kecuali Ny. Anggraini. Polisi menemukan mayatnya tergeletak di dekat pintu masuk restoran, bersama dengan tubuh dan mayat pelanggannya yang lain.” “Hasil otopsi menyatakan bahwa Ny. Anggraini meninggal karena racun yang sama dengan yang ada di tubuh para pelanggannya, hingga muncul dugaan sementara bahwa Ny. Anggraini adalah korban, dan tersangka utamanya adalah juru masak 190
restoran. Sayangnya polisi tidak bisa berbuat apa-apa karena mayat sang juru masak.... DITEMUKAN HANGUS TERBAKAR.” Danil dan Sandy saling pandang tapi yang saat itu ada di pandangan mereka adalah wajah hitam penghuni dapur yang selama ini menerornya. \"Terus.... apa yang terjadi setelah itu?\" Tanya Sandy. \"Restoran naas itu harus tutup untuk beberapa bulan, karena setelah peristiwa itu pun Pak Widi masih belum diketahui keberadaannya, dan satu-satunya kerabat Ny. Anggraini, yaitu adik perempuannya juga ikut menjadi korban keracunan di malam itu. Sampai sekarang tidak satu orang pun yang tahu latar belakang pembantaian tersebut. Sebagian orang menganggap Ny. Anggraini sudah gila, tapi sebagian lain berpendapat bahwa itu adalah kecelakaan, karena tidak mungkin Ny. Anggraini ikut meracuni ADIK PEREMPUANNYA SENDIRI.” ----‘’---- DI SAAT YANG BERSAMAAN.... 18.45 WIB BUK! Suara linggis jatuh ke kasur satu jengkal sebelum menembus mata Chandra. Cengkraman tangan Nova di lehernya melemah, memberikan celah bagi Chandra untuk melepaskan belenggu maut Nova. Chandra jatuh ke lantai, mengerang kesakitan dan mengatur nafasnya secara bersamaan, pandangannya masih buram karena baru saja melihat kematian. Sementara itu Nova bangkit dari ranjang, berjalan layaknya mayat hidup menghampiri Bu Yuanita. Kali ini semuanya hanya terdiam, semuanya terlalu lelah untuk melawan, hanya bisa melihat betapa pasrahnya Bu Yuanita. BODOH! Ucap Nova di tepat di depan wajah Ibunya. Bu Yuanita menangis tapi disaat yang bersamaan dia mengangguk membenarkan ucapan Nova barusan. \"Yaa.... Aku memang bodoh, aku sangat bodoh! Harusnya Aku tidak pernah keluar dari sana.....\" “HARUSNYA AKU MATI BERSAMA YANG LAINNYA! DARIPADA HIDUP MENANGGUNG KUTUKAN INI!” Teriak Bu Yuanita. Sabrina, Chandra, dan Pria botak itu terdiam di tempatnya masing-masing. Bukan hanya karena menahan sakit, tapi karena mereka tidak tahu lagi apa yang sebenarnya terjadi, siapakah sosok yang merasuki tubuh Nova? Kenapa Bu Yuanita memanggilnya Mama? Lalu kutukan apa yang dimaksud ibu Nova? Chandra dan Sabrina merasa menjadi korban, tapi mereka tidak tahu siapa penjahat sebenarnya. 191
Perlahan tangan Nova mendekat ke leher Ibunya, pemandangan itu membuat Sabrina bangkit dan berusaha menghentikannya, tapi saat Sabrina berhasil mengangkat kedua lutunya, tangan Nova sudah lebih dulu sampai ke pundak Ibunya. Nova mendekatkan bibirnya ke telinga Bu Yuanita lalu membisikkan sesuatu yang membuat perempuan itu meneteskan air mata lebih banyak dari sebelumnya. Apapun yang dibisikkan Nova, Chandra dan Sabrina hanya bisa menerka-nerka, walaupun mereka berdua tahu tangis Bu Yuanita adalah tangis haru dan bahagia. Entah apa yang sudah terjadi, tiba-tiba tubuh Nova lemas dan jatuh ke pelukan ibunya. Chandra dan yang lain pun bisa bernafas lega. Tidak ada yang mengerti arti dari kejadian barusan, tapi Chandra merasa satu masalah berhasil diatasi, walaupun.... BU YUANITA MASIH BERHUTANG BANYAK PENJELASAN PADANYA. \"Sabrina bantu tante tidurin Nova\" Pinta Bu Yuanita. Sabrina segera bangun dan membantu Bu Yuanita membawa Nova ke tempat tidurnya, tubuh Nova terasa sangat ringan seolah masalah yang berat baru saja meninggalkannya. Nova pun berbaring dengan damai, rona wajahnya kembali seperti sedia kala, tangannya terasa hangat di pipi Bu Yuanita. Tetesan air mata membasahi tangan Nova, membangunkannya dari tidur panjang yang hampir merengut nyawanya. \"Ibu?\" Semua tersenyum senang, karena kali ini yang keluar dari mulut Nova adalah suaranya sendiri. Nova terkejut karena Chandra dan Sabrina ada di dekatnya, begitu juga dengan Profesor Bastian, pria botak yang ternyata adalah guru spiritual Bu Yuanita. Beliau yang selama ini membantu merawat Nova, walaupun kasus yang dihadapinya kali ini lebih rumit dari yang pernah dia temui. Sabrina meraih tangan Nova, dan memberikan kalungnya yang sudah lama Nova abaikan. \"Jangan pernah lepas kalung ini lagi, agar kamu senantiasa dilindungi\" Ucap Sabrina. Nova sudah terbiasa bangun tanpa ingat apapun, dia tersenyum pada Sabrina \"Makasih Sabrina, tapi bukannya kamu diajarkan untuk tidak percaya pada kalung ini?\" Tanya Nova. \"Mungkin... tapi aku percaya Tuhan kita selalu melindungi hambanya yang beriman, walaupun cara berdoa kita berbeda tapi aku yakin Tuhan pasti mendengarnya.\" Jawab Sabrina. Suasana haru tersebut tidak dibiarkan berlarut-larut, kondisi Nova yang masih lemah mengharuskannya untuk banyak-banyak istirahat. Akhirnya semuanya pergi meninggalkan Nova bersama diarynya yang masih tersisa beberapa halaman lagi untuk Nova tulis, dan kali ini tanpa tinta merah. 192
\"Sabrina bantu tante nyiapin minum ya! Pak Bastian dan Chandra bisa menunggu di ruang tamu, tenang saja! Nova sudah aman kok di kamarnya, lagipula.....ADA BANYAK YANG INGIN KALIAN TANYAKAN SAMA TANTE KAN?” KEDIAMAN HAJI ASNAF 19.00 WIB Semakin lama cerita dari H. Asnaf semakin tidak baik bagi kesehatan Danil dan Sandy. Kali ini mereka tidak hanya berpikir tentang apa yang harus dilakukan, tapi juga tentang apa yang sudah terjadi. Danil bisa saja pindah ke penginapan yang disediakan oleh panitia diklat, tapi dia takut kalau salah satu penunggu Hanggareksa mengikutinya kesana seperti yang dilakukan waitress itu pada Sandy. Walau demikian, mereka berdua tidak punya kekuatan untuk menghentikan terror restoran angker itu. \"Mohon maaf Pak haji, gimana ceritanya Hanggareksa bisa jatuh ke tangan habib?\" Tanya Sandy. \"Karena setelah banyaknya pinjaman modal yang tidak kunjung lunas, Habib Ali mengambil alih restoran milik sahabatnya itu setelah lebih satu tahun tutup. Tentu saja membukanya kembali adalah tantangan tersendiri mengingat peristiwa itu masih menyisakan sesuatu yang menyeramkan di Hanggareksa. Selain karena kekayaannya, Habib juga disegani karena ilmu agamanya, rasa segan itu dirasakan juga oleh Ny. Anggraini bahkan sampai dia mati, akhirnya setelah beberapa renovasi dan ritual dzikiran, restoran itupun kembali dibuka. \" Tutur H. Asnaf. \"Lalu bagaimana dengan pemiliknya yang sekarang? Bukannya sampean bilang kalau restoran itu bukan milik Habib lagi?\" Tanya Danil. \"Ya! Saya tidak tahu apa alasannya habib menjual restoran itu pada Riska dan kawan-kawan, sebelum akhirnya Saya tahu siapa mereka....” “ARISKA ANGGRAINI, RESTI YULIA ANGGRAINI, RATNA YULIA ANGGRAINI, DAN ROSYANA ANGGRAINI.” \"Bukan kebetulan jika nama belakang mereka sama, dan bukan kebetulan juga jika kali ini mereka berada di restoran yang sama. Mereka pasti merencanakan sesuatu, sesuatu yang membuat para penunggu Hanggareksa kembali terusik, sayangnya kami belum punya cukup bukti untuk berasumsi lebih jauh\" Baru pertama kali ini Danil mendengar nama para karyawan Hanggareksa, sedangkan Sandy sudah pernah membacanya di Diary Nova, walaupun begitu tetap saja nama Aggraini terdengar sangat menyeramkan setelah cerita H. Asnaf barusan. Berbicara soal bukti, tiba-tiba Danil teringan sesuatu, \"Apa kecurigaan sampean ada sangkut pautnya dengan ritual aneh yang mereka lakukan?\" H. Asnaf terkejut mendengar pertanyaan Danil, \"Da... darimana sampean tahu tentang ritual itu?\" Tanya H. Asnaf. 193
Danil membuka ranselnya dan mengeluarkan Handy cam milik Sandy. “PAK HAJI BUTUH BUKTI? KAMI BUTUH SOLUSI!” ----‘’---- HANGGAREKSA RESTAURANT 12 Januari 20xx, 22.30 WIB KREK! Pintu utama Hanggareksa sudah ditutup, seiring dengan kepergian pelanggan terakhir barusan. Lampu masih terang benderang, piring kotor dan bekas tumpahan makanan masih berserakan, tapi semua karyawan justru duduk manis di kursi pelanggan. Mereka duduk melingkar menunggu Oma datang untuk memulai rapat. \"Orang itu masih di luar?\" Tanya Riska \"Sepertinya begitu\" Jawab Resti \"Sialan! semakin lama keberadaan Kusnadi semakin membuat aku gak nyaman. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan Bibi\" Gerutu Ratna sembari mengunyah potongan timun yang jadi cemilan dietnya. Riska yang mendengar percakapan mereka, mencoba menenangkan kedua ponakan kembarnya yang mudah panik itu. \"Sudahlah.... bukan rahasia lagi kalau Kusnadi dan komplotannya adalah suruhan Habib untuk memata-matai kita. Tapi selama mereka tidak mengganggu, aku rasa tidak ada masalah\" Ujar Riska. \"Oh ya bi, sudah ada kabar dari Pak Lukman belum? Kapan dia mau balikin barang yang dia pinjam itu?\" Tanya Resti. \"Entahlah.... orang tua itu terlalu terobsesi dengan jam tersebut, kalau kita tidak memberinya jalan, dia pasti akan balik mencurigai kita, dan itu artinya musuh kita bertambah\" Ujar Riska. Akhirnya Oma hadir di tengah-tengah mereka, bersama dengan BQ yang sedang membantu Oma berjalan. Oma duduk di kursi yang berbeda seakan-akan di Hanggareksa ini dialah ratunya. \"Riska kan sudah bilang sama Mama, kalau gak enak badan ya gak usah ke restoran.\" Protes Riska yang iba melihat kondisi Ibunya yang semakin lemah. Oma hanya tersenyum memberi isyarat bahwa dirinya baik-baik saja. Kini semua karyawan Hanggareksa berkumpul di satu meja, tentu saja tanpa kehadiran Nova. Tidak ada percakapan berarti antara mereka berempat selain canda tawa yang semakin lama terdengar semakin seru. Hingga tiba-tiba.... SEMUA TERDIAM 194
Tidak satu pun berani bersuara, semuanya serentak menghapus senyuman dari wajah mereka, semua itu dilakukan tepat saat BAU BUSUK TERCIUM OLEH HIDUNG MEREKA. \"Kita mulai!\" Sepatah kata dari Oma membubarkan konfrensi meja makan itu. Semua karyawan pergi ke dapur kecuali BQ yang pergi ke arah gudang. Satu persatu lampu restoran dimatikan, dan lilin merah mulai dinyalakan. Tidak ada yang tahu apa yang selanjutnya mereka lakukan, hanya saja di luar restoran seseorang sedang memperhatikan. “Sepertinya mereka sudah mulai.“ Ujar Pak Kusnadi pada Pak Lukman yang malam ini masih setia menemaninya. Bagi Pak Lukman ini kali pertama dia melihat keadaan Hanggareksa di malam hari, dan setelah apa yang Pak Kusnadi ceritakan, restoran itu terlihat semakin menyeramkan. \"Apa setiap malam Riska dan kawan-kawan selalu pulang larut?\" Tanya Pak Lukman. \"Tidak juga.... kadang seminggu tiga kali, empat kali, tidak ada yang tahu jadwal rutinitas gila mereka. Yang jelas setiap kali lampu restoran mati sebelum karyawan pulang, kami selalu memeriksa sekeliling restoran. walaupun tidak pernah melihat bahkan mendengar apapun dari dalam sana.\" BEEEEEEEEEEEEP… BEEEEEEEEEEEEEEP… Tiba-tiba handphone Pak Kusnadi berbunyi, sebuah panggilan masuk dari H. Asnaf. Untuk alasan tertentu Pak Kusnadi menjauh dari Pak Lukman. Tidak ada percakapan berarti yang bisa Pak Lukman dengar selain, Ok, Iya, dan Siap. Akhirnya setelah beberapa menit, Pak Kusnadi kembali ke tempat duduknya. \"Dua orang penghuni kontrakan sebelah mendatangi rumah Bos Saya, mereka berdua memberikan REKAMAN VIDEO RITUAL HANGGAREKSA.” ----‘’---- 12 Januari 20xx, 22.30 WIB Sebagai pusat kota Gambir, alun-alun ini tidak pernah mati. Bahkan hampir tengah malam pun masih terdengar euforia pemuda dan pemudi. Mayoritas dari mereka adalah orang yang haus keramaian, karena yang haus kasih sayang biasanya mencari tempat sepi. Duduk di pinggir jalan dengan sebatang rokok di tangan, Chandra terlihat lelah tanpa gairah. Alasan dia masih belum pulang ke rumah, adalah untuk menunggu kedatangan Danil dan Sandy. Penantian Chandra berakhir setelah dua orang yang ditunggu tiba. Danil dan Sandy turun dari motornya, menghampiri Chandra dengan wajah gelisah namun tetap melangkah pelan. Sekitar 195
lima belas menit yang lalu mereka memutuskan untuk bertemu di tempat ini, masing-masing membawa cerita tersendiri dan siap untuk berbagi, walaupun sepertinya mereka tidak siap untuk mendengar. \"Jadi gimana? Sudah ketemu sama Ibunya Nova\" Tanya Sandy pada Chandra. Chandra selesai dengan rokoknya, tapi baru akan memulai ceritanya... Jadi begini… KEDIAMAN NY.YUANITA ANGGRAINI 19.30 WIB \"Kalian percaya kutukan?\" Tanya bu Yuanita, yang dijawab dengan reaksi berbeda dari kedua tamunya. Chandra mengangguk, sedangkan Sabrina geleng-geleng kepala. \"Oh! Tapi untuk bisa memahami cerita tante, kalian berdua harus percaya dengan kutukan, karena itu adalah awal dari semua masalah di keluarga ini.\" Ujar Bu Yuanita. Hal yang menyeramkan sudah lebih dulu memenuhi kepala Sabrina, kutukan apakah yang mampu membawa begitu banyak kesialan di hidup Nova. Tidak hanya itu, kutukan itu juga yang membuat orang di sekitar Nova menjadi korban. Pak Bastian yang sedari tadi hanya diam tampaknya tidak tertarik dengan cerita Bu Yuanita, tentu saja karena dia sudah tahu semuanya. Semua dimulai dari sebuah nama, Aggraini adalah nama keluarga yang akan selalu disandang oleh setiap anak anak perempuan di keluarga kami. Mungkin bagi sebagian orang ini terdengar tidak wajar, karena tidak sesuai dengan budaya di negara kita, tapi entah siapa yang memulai, bagi keluarga kami nama Anggraini adalah sebuah kewajiban, karena kalau tidak KAMI AKAN DIHAPUS DARI SILSILAH KELUARGA. Nama itu berubah menjadi kutukan setelah salah seorang kerabat melakukan sesuatu yang melanggar norma dan aturan keluarga. Dan setiap aturan pasti memiliki hukuman, tapi anehnya semua perempuan di keluarga kami tetap menerima hukuman walaupun nama Anggraini sudah melekat padanya sejak lahir. Satu persatu anak perempuan kami meninggal karena penyakit, sisanya menjadi cacat dan tidak mungkin lagi menjalani hidup dengan normal. Kami mencoba berpikir positif dan menganggap semua ini adalah suratan takdir, lalu kembali menjalani hidup seperti biasa. Tapi kami salah! Lambat laun kami mulai menyadari bahwa tidak ada hidup normal bagi seorang Anggraini. Kami selalu gagal dalam banyak hal termasuk urusan rumah tangga. Perselingkuhan, kematian, kemandulan, dan kemiskinan, entah kenapa nasib sial selalu punya cara tersendiri untuk merenggut kebahagiaan kami. Hukuman mulai terasa seperti kutukan, dan kali ini kami tidak tinggal diam. Berbagai usaha dilakukan untuk menghentikan kutukan tersebut, tapi semuanya gagal... 196
Hingga akhirnya orang itu datang, Rosyana Anggraini, kehadirannya membuat keluarga besar kami murka, karena bagi kami dia adalah keturunan seorang penghianat. Yana dan Tante adalah teman akrab sejak kecil. Sebelum kami berdua lahir Ibu Yana yang bernama Rosmary Anggraini memutuskan untuk pindah ke kota Gambir dan menikah dengan pemuda pribumi yang membuat keluarga besar Anggraini murka dan menghapus namanya dari silsilah keluarga. Kedua orang tua Rosyana tidak menyerah dan membuktikan bahwa bagi mereka nama besar keluarga tidak ada artinya. Restoran yang mereka dirikan berhasil menjadi salah satu restoran terbesar di kota Gambir, semua warga bahkan wisatawan yang datang pun pasti pernah mendengar nama…. HANGGAREKSA RESTAURANT Sayangnya keluarga kami tetap bersikeras mengusir Rosyana dari rumah tanpa sedikitpun mendengarkan penjelasannya. Kedatangan Rosyana adalah untuk menawarkan solusi dari masalah yang sedang kami alami. Walaupun menerima penolakan dari mayoritas keluarga, beberapa kerabat justru menemuinya diam- diam hanya untuk mendengarkan jalan keluar yang ditawarkan Rosyana. Mereka yang datang karena putus asa akhirnya membuat kesepakatan yang menjadi cikal bakal dibukanya kembali Restoran peninggalan Rosmary Anggraini, dan awal dari rentetetan masalah yang menimpa Nova...... KALIMAT TERAKHIR BU YUANITA DIIRINGI AIR MATANYA YANG KEMBALI MENGALIR Terlalu banyak sejarah kelam yang harus Chandra dan Sabrina dengar, mereka tidak tahu lagi apa sebenarnya hubungan antara kutukan nama Anggraini dengan Hanggareksa. Untuk bertanya pada Bu Yuanita pun Sabrina masih sungkan, Tapi tidak dengan Chandra... \"Sebenarnya solusi apa yang ditawarkan Rosyana? Kenapa keluarga besar Anggraini menyian-nyiakan kesempatan itu, hanya karena sebuah kesalahan sepele yang pernah dilakukan Ibu Rosyana? bukankah mereka semua ingin lepas dari kutukan itu?\" Sabrina mencubit paha Chandra karena bagi Sabrina ini bukan waktu yang tepat untuk mencerca Bu Yuanita dengan banyak pertanyaan. Tapi sudah terlambat, Bu Yuanita menyeka air matanya, jawaban dari pertanyaan Chandra bukanlah hal yang menyedihkan, lebih tepatnya adalah HAL YANG MENGERIKAN. \"Selain menikah dengan orang pribumi, Ibu Rosyana juga sudah melakukan dosa yang tidak mungkin ditebus bahkan dengan nyawanya sendiri. Saat itu tante dan Rosyana terlalu kecil untuk mengerti semuanya, tapi saat mama membawa kami berdua keluar lewat pintu belakang restoran, saat air mata mama menetes di pipi sewaktu mencium kening kami, saat itu tante mengerti sesuatu yang mengerikan sedang terjadi di restoran, terlalu mengerikan untuk mata tante dan Rosyana. Barulah ketika menginjak usia remaja tante mengerti semuanya..... malam itu....\" 197
HANGGAREKSA MERACUNI SEMUA PELANGGANNYA HINGGA TEWAS \"Dan dalang dibalik pembantaian itu adalah Rosmary Anggraini, ibunda Yana. Saat pertama tante mendengar kebenaran ini dari mulut Yana, tante mulai membenci diri sendiri, membenci mama yang ikut terlibat di dalamnya, membenci nama Anggraini. Kebencian tante semakin memuncak setelah perpisahan tante dengan ayah Nova, seolah semua itu adalah kutukan dari Tuhan atas hal gila yang dilakukan oleh seorang Anggraini. Kalian tahu.... betapa tidak adilnya Tuhan, menghukum tante dan Nova atas dosa orang lain hanya karena namanya mirip.” “Sejak saat itu Rosyana dan yang lain melakukan ritual penyucian yang membutuhkan sebuah tumbal yaitu MAYAT BAYI YANG KEGUGURAN.” Tutur Bu Yuanita. Ini terlalu mengerikan dan menyedihkan bagi Chandra dan Sabrina, mereka sama sekali tidak menduga Hanggareksa menyimpan rahasia yang jauh lebih kelam dari bayangan mereka. Rasa takut Chandra berubah menjadi emosi yang tidak bisa ditahannya lagi, dengan nada tinggi dia berkata.... \"Jadi karena itu tante pindah ke kota Gambir untuk menyusul Rosyana dan memaksa Nova terlibat dalam usahanya untuk menghapus kutukan Anggraini? Ibu macam apa tante ini!?\" \"Chandra!\" Seru Sabrina mengingatkan Chandra. \"Ya! Tante memang bukan orang tua yang baik... tante tahu apa yang dilakukan Yana dan kawan-kawannya bukanlah sebuah jalan keluar yang baik, tapi kalau itu adalah satu-satunya cara agar Nova tidak mengalami apa yang tante alami... kalau itu satu-satunya cara agar Nova tidak merasakan apa yang tante rasakan, maka seburuk apapun cara yang ditempuh, tante akan memaksanya...\" “TANTE SENDIRI YANG AKAN MENGANTARKANNYA KE HANGGAREKSA, DAN MEMBARINGKANNYA DI ALTAR PENYUCIAN.” Seketika itu juga wajah Chandra merah padam, kali ini tidak ada yang bisa meredam letupan amarahnya. \"JADI TANTE ADALAH DALANG DIBALIK PENCULIKAN NOVA MALAM ITU? BEJAT SEKALI KELAKUAN TANTE!! DAN APA MAKSUD TANTE YANG DENGAN MUNAFIKNYA MEMINTA CHANDRA MENCARI NOVA?\" PRAK! Serentak semua mata tertuju ke arah lantai di bawah tangga, dimana diary Nova tergeletak. Tentu saja buku itu tidak terbang dengan sendirinya, karena ternyata Nova sedang berdiri di tangga. Tangannya memeluk pegangan tangga untuk menopang tubuh lemahnya. Sontak semua yang melihatnya berlari menghampiri gadis malang tersebut, entah sudah berapa lama Nova disana, entah sudah berapa banyak yang dia dengar, tapi walaupun mengerikan... gadis itu masih berusaha tersenyum.... 198
\"Nova... Ibu minta......\" \"Ibu gak usah minta maaf, Nova sudah dengar semuanya kok Bu...\" Mata orang lain akan selalu melihat buruk, … Bahkan dari sisi terbaik sekalipun… Pikiran orang lain akan selalu menilai buruk, … Bahkan untuk prestasi tertinggi sekalipun… Mulut orang lain akan selalu bicara buruk, … Bahkan untuk cerita terindah sekalipun… Bukan karena kita lebih buruk dari mereka, tapi … Karena mereka selalu mencari alasan untuk terlihat lebih baik dari kita… Mereka tidak akan mengerti walaupun kita sudah menjelaskan… Tapi marahnya seorang ibu, cubitan seorang ibu, pukulan seorang ibu,… Adalah hal yang tidak perlu dijelaskan… Setiap anak pasti akan mengerti.... walaupun banyak yang terlambat… -Alm.Ny.Hj. Dhaifatin Masruroh Al-Aluf. Bu Yuanita masih punya banyak sisa air mata, dia masih bisa menangis lebih keras dan lebih lama dari sebelumnya. Semakin kering air matanya semakin jernih pikirannya. Bu Yuanita sadar bahwa sebagai Ibu dia terlalu ambisi untuk terlihat baik, agar mantan suaminya terlihat buruk di mata Nova. Dia terlalu berambisi agar nasib Nova tidak seperti dirinya, tapi justru membuatnya lebih buruk dari nasibnya. Sembari memeluk anak semata wayangnya itu dia teringat kata-kata mamanya tadi... \"Satu-satunya cara untuk terbebas dari kutukan adalah dengan percaya bahwa kutukan itu tidak ada. Mama sudah berkorban nyawa untuk mengeluarkanmu dari restoran jahanam itu, jadi jangan bertindak bodoh dengan mengirim Nova kembali kesana! Nasib burukmu adalah tanggung jawabmu, begitu juga dengan Nova Ellisa.” ----‘’---- ALUN-ALUN KOTA GAMBIR 12 Januari 20xx, 22.40 WIB Kepala Danil sudah penuh dengan cerita H.Asnaf, hingga tidak ada ruang untuk Nova dan ibunya. Tapi Sandy masih mampu mencerna setiap kalimat Chandra dengan baik dan benar, hanya saja ekspresi wajah Sandy yang tidak bisa benar. Sandy bingung antara marah, sedih dan kaget karena semua yang diceritakan Bu Yuanita sangat mirip dengan cerita H.Asnaf, kali ini Sandy tahu kenapa nama Anggraini terasa sangat familiar. Namun muncul pertanyaan baru di benak Sandy.. \"Seperti yang diceritakan Pak haji, Rosyana adalah karyawan Hanggareksa yang paling tua sekaligus putri dari Rosmary pendiri Hanggareksa. Kalau Ibu Nova dan Rosyana seumuran......SEBENARNYA BERAPA USIA BU YUANITA?” 199
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302