Langit Merah LANGIT MERAH Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Bahasa Yogyakarta i
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Langit Merah Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Penyunting: Yohanes Adhi Satiyoko Cetakan Pertama November 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Diterbitkan pertama kali oleh: Balai Bahasa Yogyakarta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan d.a. Jalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta 55224 Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667 Katalog Dalam Terbitan (KDT) Langit Merah Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011/ Penyunting: Yohanes Adhi S. [et.al.] – Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta, 2011 (viii, 292 hlm.; 21cm) ISBN 978-979-185-347-7 Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapadengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). ii
Langit Merah Sambutan Kepala Balai Bahasa Yogyakarta VINI VIDI VICI “Vini Vidi Vici” adalah moto yang tidak asing lagi di telinga kita. Semboyan tersebut adalah kata-kata “ajaib” Julius Caesar, sang jenderal dan konsul Romawi tahun 47 SM. Julius Caesar menggunakan kata-kata tersebut dalam rapat senat Romawi yang menggambarkan kemenangan Pharmanaces II atas Pontus di pertempuran Zela. Pertempuran besar yang hampir dianggap mustahil dimenangkan Caesar. Kata-kata yang berarti aku melihat, aku datang, dan aku menang tersebut sekarang sudah tidak lagi menjadi moto dalam perang Julius Caesar, tetapi sudah mulai diejawantahkan di dalam berbagai aspek kehidupan sebagai sebuah semangat untuk menggapai tujuan melalui proses berkelanjutan. Bak sebuah serbuan darah yang mengalir menjelajahi seluruh sistem dalam organ tubuh, semangat Vini Vidi Vici juga semakin mendarah daging di setiap nadi kehidupan manusia. Semangat inilah yang harus diwarisi oleh para penulis muda, ketika mereka sudah melihat dan mau tahu dengan dunia penulisan (Vini), maka idealism, talenta, dan kreativitas dalam diri harus sesegera mungkin diolah (Vidi). Tak ada keraguan lagi, tak ada kebimbangan lagi, tujuan harus diraih, yaitu kemenangan (Vici). Hasil karya tulis di dalam antologi cerita pendek dan esai lomba penulisan kebahasaan dan kesastraan tahun 2010 dan 2011 dalam buku Antologi Cerita Pendek dan Esai Tahun 2010-2011 ini menjadi bukti bahwa para penulis sudah melampaui tahap Vini iii
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 dan Vidi, satu tahapan yang tidak akan dianggap remeh. Tinggal selangkah lagi para penulis akan memperoleh Vici atau kemenang- an, yaitu ketika penulis sudah mulai menetapkan sikap untuk tiada henti berproses mengembangkan talenta kepenulisan. Karya tulis pun harus mampu memberikan nilai keabadian, tidak hanya se- kedar catatan yang akan lenyap ditelan masa. Sumbangsih terha- dap khazanah sastra, budaya, dan bahasa sebagai indeks sosial budaya Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya men- jadi nilai yang tak bisa ditawar lagi. Sastra, budaya, dan bahasa, walau sebagian orang memandang sebelah mata, telah menjadi satu sudut penting yang patut dirujuk dalam uraian perjalanan kehidupan manusia yang berbudaya. Kenapa tidak? Untuk me- naklukkan sebuah “dunia”, tulisan telah menjadi salah satu piran- tinya. Kebudayaan suatu daerah di suatu masa bakal diurai dalam satu karya tulis, baik itu cerita pendek, esai, artikel, novel, puisi, ataupun dalam genre kisah perjalanan (travel writing) sehingga dapat dikatakan bahwa karya tulis dapat mencerminkan kondisi dan dinamika masyarakat tertentu pada masa tertentu. Begitu dahsyatnya karya tulis, sehingga kita dimampukan untuk menge- tahui dan kagum bahwa Colombus (1492) dan Vasco da Gama (1497) dapat diakui telah menemukan “dunia baru” yang bernama Amerika dan India. Begitu juga dengan kisah perjalanan pangeran dari Kashmir, Gunawarman, yang berkelana sampai ke pulau Jawa dan menyebarkan agama Budha pada awal abad ke-5 dapat diketahui dengan membaca karya sastra dari Cina Kao Sêng Chuan. Berkaca dari fakta tersebut, menjadi sebuah keniscayaan bahwa penulis cerita pendek dan esai yang termuat di dalam Antologi Cerita Pendek dan Esai Tahun 2010-2011 akan mampu men- dokumentasikan karya-karya mereka sehingga menjadi cermin kehidupan bagi anak cucu kelak. Selamat berkarya: Vini Vidi Vici. Drs. Tirto Suwondo, M.Hum. iv
Langit Merah Daftar Isi Sambutan Kepala Balai Bahasa Yogyakarta VINI VIDI VICI ............................................................................. iii Daftar Isi ........................................................................................... v NASKAH-NASKAH CERPEN Tahun 2010 PELAUT ULUNG DI ATAS PANGGUNG Fadiah Nur Amalina ........................................................................... 3 TENTANG WAKTU Ofy Arum Subekti ............................................................................. 12 TANAH DI ATAS CAWAN Marinda Noor Eva ............................................................................ 21 MENGGAPAI IMPIAN Aprilia Ningsih .................................................................................. 31 PELANTUN GENDHING Latifatul Khoiriyah ............................................................................ 41 SEINDAH BUNGA MATAHARI Triyanto Prabowo .............................................................................. 49 SAMPAH-SAMPAH BUKAN UNTUKMU, WIBI Zefania Anggita Arumdani ............................................................... 57 SETITIK AIR MATA DI GAZA Muhammad Ismail Anshari .............................................................. 68 GURUKU JUGA IBUKU Arisna Sera Wati Ningsih ................................................................. 77 v
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 RINDU LAVENDERKU Afina Qonita Niswati ....................................................................... 86 NASKAH-NASKAH ESAI Tahun 2011 JAM KARET: ANTARA BUDAYA DAN TOLERANSI Agus Budi Prasetya ........................................................................... 97 SALAM SAPA MILIK KITA Mamlu Atul Karimah ...................................................................... 106 PENGARUH TREN KOREA DI KALANGAN REMAJA INDONESIA Gisela Putri Larasati ....................................................................... 115 SALAH KAPRAH, PELESTARIAN BAHASAKU RENDAH Izzuddien Sobri ................................................................................ 124 TAWA CILIK YANG TERABAIKAN Beta Krisnanovita ............................................................................ 134 LIMA KUNCI MENUJU BAHASA INDONESIA YANG BAIK Latifah Kusuma Dewi ...................................................................... 145 MENULIS ILMIAH DENGAN MINI DAN MAYA Nurvirta Monarizqa ........................................................................ 154 SASTRA DI BALIK TIRAI PENDIDIKAN Eni Puji Utami ................................................................................ 164 SUNGKEM HILANG DIMAKAN GENGSI Siska Rahmawati ............................................................................. 174 IRONI PADUSAN DALAM BELENGGU MAKNA FILOSOFI YANG KABUR Tami Eka Wati ................................................................................. 185 vi
Langit Merah NASKAH-NASKAH CERPEN Tahun 2011 BAPAK BUKANLAH OMBAK Kartika Nurul Nugrahini ................................................................ 197 HATI YANG MENUNGGU Anita Amelani ................................................................................. 207 MENGUNGKAP DIRIKU YANG SEBENARNYA Hega Fitri Nuraga ........................................................................... 217 WARTAWAN DADAKAN KESAYANGAN Nada Salsabila Imari ....................................................................... 228 LANGIT MERAH Claudia Maya Natalie Rooroh ......................................................... 239 GADIS HUJAN DAN PEMUDA YANG TAK PERNAH MENANGIS Anggi Widyastuti ............................................................................ 246 MAAFKAN KAMI PAHLAWAN Oriza Febrianto ............................................................................... 255 HARAPAN YANG SEDERHANA Odilia Enggar Ranum ..................................................................... 266 NAMPAN PENGHARAPAN Suci Nurani Wulandari ................................................................... 276 MEI Brigita Engla ................................................................................... 284 vii
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 viii
Langit Merah NASKAH-NASKAH CERPEN Tahun 2010 1
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 2
Langit Merah PELAUT ULUNG DI ATAS PANGGUNG Fadilah Nur Amalina Aku baru saja menyadari bahwa ternyata reaksi orang terha- dap kesalahan yang dilakukan seseorang ketika ia masih kanak- kanak dengan saat ia telah dewasa akan sangat berbeda. Aku me- nyimpulkannya dari kejadian yang kualami dan itu mengubah kehidupanku secara total. Hari itu, tepatnya tiga hari yang lalu adalah hari yang mem- buatku berhenti untuk bermimpi dan berusaha. Lebih dari sebelas tahun aku menjadi seorang pemimpi, berdiri di baris kedua seba- gai orang yang takkan pernah ditunjuk untuk suatu amanah. Aku telah berdiri sebagai manusia cadangan, duduk dengan penuh sabar sambil menggumamkan doa-doa yang kurang pantas se- perti, “Semoga ia celaka,” atau, “Semoga ia mati,” dan aku akan maju menggantikannya seperti seorang pemenang, padahal aku bahkan belum memulai, lalu aku akan menyadari bahwa aku baru saja berbuat bodoh. Aku selalu mengatakan pada ibuku bahwa aku ingin men- jadi penyanyi seperti Madonna. Ayah menentang, tapi ibu dengan sikapnya yang mengagumkan berbisik di telingaku, “Sri, apapun yang menjadi cita-citamu, raihlah! Aku mendukungmu.” Sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku bergabung dengan kelompok paduan suara di sekolah demi menunjukkan keserius- anku menjadi penyanyi. Sahabatku mengatakan bahwa mustahil 3
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 berharap menjadi penyanyi solo lewat paduan suara karena akan sulit membuat suaraku terdengar lebih menonjol di antara suara- suara merdu lainnya. Bahkan, menurutnya suaraku tidak berkarak- ter. Aku tidak tahu maksudnya, tapi aku teringat akan cerita katak tuli yang terjebak dalam lubang dalam. Katak itu dapat keluar dari dalam lubang karena mengira teman-temannya sedang menyema- ngatinya untuk dapat bebas, padahal justru mereka sedang me- nyuruhnya berhenti berusaha karena lubang itu begitu dalam. Ma- ka aku mencoba menjadikan diriku sebagai katak tuli itu dan meng- abaikan kata-kata sahabatku. Aku senang pendapat sahabatku tidak benar. Terbukti dalam satu semester aku telah dua kali menjadi kandidat penyanyi solo. Aku mengira tinggal satu langkah lagi akan menjadi penyanyi solo sungguhan, tapi yang membuatku sakit hati adalah aku selalu berada di kursi cadangan. Kursi dengan sejuta harapan palsu. Aku hanya berdiri di belakang Madame, siswi teman satu sekolahku yang suaranya membuat bulu kuduk berdiri. Menjadi bayang-bayang Madame sangatlah menyakitkan, dan sejak saat itu aku memutuskan bahwa dia adalah rivalku. Aku ingat suatu ketika dalam sebuah acara yang diselenggara- kan pemerintah kota, pembimbing paduan suara kami menunjukku sebagai penyanyi solo, dan itu adalah pertama kalinya bakatku bisa diakui orang lain. Tapi hari itu bukan hari bahagiaku. Aku melakukan kesalahan pada beberapa kalimat dalam lagu itu se- hingga banyak orang mengomentariku. Aku merasa begitu sedih dan kecewa. Pembimbing kami menyemangatiku dan berkata bah- wa aku telah berusaha dengan baik. Ibu mengajakku jalan-jalan untuk menghilangkan kesedihanku. Beberapa teman juga berusaha membesarkan hatiku meski kedengarannya tidak lebih tulus dari seharusnya. Namun saat itu aku benar-benar yakin betapapun aku melakukan kesalahan, orang-orang akan tetap bersamaku dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku semakin dekat dengan cita-citaku menjadi penyanyi sungguhan. Aku bergabung dengan kelompok paduan suara di Sekolah Menengah Pertama. Kami sering mengisi acara-acara besar 4
Langit Merah dan merajai beberapa lomba paduan suara. Namun impianku un- tuk dapat bersolo karier masih harus kutahan. Hingga ketika aku telah memasuki bangku SMA, kesempatan emas itu datang. “Bulan depan kota kita akan dikunjungi anak-anak pertukaran pelajar dari Australia,” ungkap pembimbing kami mantap. Kami menjulukinya Bu Bebek karena ia senang menggerakkan kedua sikunya ketika melatih kami bernyanyi persis seperti bebek yang berenang di sungai. “Dan pada acara penyambutan, setiap sekolah akan ikut mengisi acara tersebut. Kebetulan sekolah kita diminta mengirim- kan anak-anak paduan suara,” lanjut beliau dipenuhi senyum lebar sambil menggerak-gerakkan sikunya. Seketika ruang latihan riuh redam. Aku melihat ke gerombol- an anak perempuan yang langsung ribut setelah mendengar berita ini dan berbicara dengan temannya dengan penuh semangat. Pem- bimbing kami berusaha menenangkan, seolah inti berita itu belum selesai disampaikan. “Anak-anak, tolong dengarkan ini. Tiap sekolah hanya dimin- ta mengirimkan lima anak untuk bergabung dalam paduan suara pada acara tersebut,” papar beliau tegas. Terdengar nada kecewa dari gerombolan anak laki-laki se- mentara anak perempuan tampak sama kecewanya. Dapat kurasa- kan darahku berdesir. Kuputuskan untuk berlatih keras demi dapat menggondol tiket ini. *** Seminggu berlalu dan aku beserta empat siswi dari SMA- ku terpilih mewakili sekolah kami dan bergabung dengan tim paduan suara yang akan mengisi acara penyambutan anak-anak pertukaran pelajar. Aku berkenalan dengan anak-anak SMA lain dan kami berlatih seminggu sekali setelah pulang sekolah. Ma- dame juga ada di sana mewakili SMA-nya. Pelatih kami seorang wanita tua dengan kacamata berbingkai mengilat yang kami juluki Bu Bulat karena ia sering menyuruh kami membulatkan suara sambil berkata, “Bulat, Bulat.” 5
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Pada hari ketiga latihan, beliau mengumumkan bahwa salah satu dari kami akan dipilih menjadi penyanyi solo. Ketika beliau mengatakan itu, di kepalaku langsung terbayang seseorang tampil sendiri sebagai pemeran utama dalam panggung dan hadirin mungkin hanya akan melihat ke arahnya, lampu sorot menyala ke mukanya, sementara kelompok paduan suara berbaris di bela- kang seperti tidak ada. Suatu anugerah datang ketika aku dijadi- kan kandidat penyanyi solo itu. Aku ingin senang, tapi aku segera menyadarkan diri bahwa aku harus sungguh-sungguh. Kandi- datnya ada tiga orang, Madame salah satunya, sementara sisanya seorang siswi pesolek yang rambutnya seperti untaian sapu ijuk. “Kita lihat siapa nanti yang perkembangannya paling baik,” ujar Bu Bulat. Madame melihat ke arahku sambil menunjukkan senyum yang meremehkan. Si Rambut Ijuk tampak begitu percaya diri. Aku begitu terobsesi untuk mendapatkan posisi penyanyi solo itu hingga segalanya begitu menyebalkan ketika Madame atau Si Rambut Ijuk menerima pujian dari pembimbing kami. Aku berusaha menghilangkan pikiran-pikiran buruk dan mencoba ber- teman baik dengan mereka meski ini semua terasa tidak nyaman bahkan sangat kaku. Ketika hari penentuan tiba, aku telah menyiapkan hatiku sebaik-baiknya untuk hal terburuk. Hari itu jadi hari di mana aku bersedih dalam kesenangan. Yang terpilih adalah Madame. Lagi, aku mengutuk diriku karena dengan bodoh telah menjadi- kannya sainganku sementara mungkin saja dia tidak pernah menganggapku ada. Sisa latihan itu aku habiskan dengan tidak bersemangat. Pada hari pementasan, suasana begitu riuh dan ramai. Anak- anak perempuan kelompok paduan suara mengenakan seragam putih dengan rompi motif kotak-kotak dan rok abu-abu sementara anak laki-laki mengenakan setelan yang sangat elegan dan jas warna biru gelap. Para tamu datang dari kalangan terhormat dan aku menangkap beberapa sosok yang tak asing seperti gubernur 6
Langit Merah dan pejabat-pejabat daerah. Kami semua merasa gugup. Namun yang membuat kami semakin gelisah adalah penyanyi solo kami mendadak kehilangan suaranya. Sebenarnya sudah dua hari ia terkena flu dan batuk, namun kegugupan hari ini telah membuat keadaannya bertambah parah. Dalam situasi seperti ini aku masih sempat berpikir bahwa Madame mungkin tak akan dapat menge- luarkan suaranya walau sekadar mengucap “halo” apalagi me- nyanyi. Kami saling bertukar pandang ketika melihat Madame terus mengeluarkan batuknya yang mengerikan. “Ini mimpi buruk,” desah Bu Bulat cemas. Dan tanpa disangka-sangka beliau langsung menunjukku untuk menggantikan posisi penyanyi solo kami yang sekarat. Aku begitu senang sampai-sampai lupa bahwa aku hanya mengganti- kan orang yang terpilih. Aku hanyalah cadangan, opsi terakhir. Tapi sesaat kemudian aku sadar bahwa aku begitu gugup dan nyaris tak dapat berpikir. Kuharap aku tidak melakukan hal bo- doh seperti yang pernah kulakukan dulu. Jantungku berdetak lebih heboh dari biasanya ketika pem- bawa acara mempersilakan kami untuk naik ke atas panggung. Bu Bulat dengan raut cemas mengatur barisan kami dari balik panggung dan memberi instruksi singkat. “Tenangkan dirimu,” bisiknya di telingaku. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah dari backstage dan sempat menangkap sosok Madame yang terduduk lesu di kursinya dengan tatapan menyedihkan. Aku berjalan sam- bil menunduk. Penonton bertepuk tangan dan suaranya memenuhi seisi ruangan. Aku merasa orang-orang ini telah merebut jatah oksigen- ku sehingga aku merasa begitu sulit bernapas. Bangku terdepan diisi oleh sejumlah orang penting yang tatapan matanya setajam ujung dasi mereka. Di baris berikutnya dapat kulihat anak-anak Australia duduk sangat manis dengan senyuman mereka yang luar biasa manis. Aku berharap wajahku lebih lentur agar bisa tersenyum semanis itu. 7
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Musik mengalun syahdu dan aku melantunkan bait-bait lagu dengan mulus meski di awal nadanya terlalu rendah satu chord. Aku menguasai panggung dan mulai berjalan ke berbagai arah sesuai instruksi pembimbing kami. Aku baru sampai pada reff per- tama ketika tiba-tiba kakiku tersandung gundukan setinggi mata kaki yang tak terlihat olehku. Gundukan itu begitu mengacaukan hingga aku terjerembab ke depan dalam posisi berlutut. Aku ter- cekat. Anak-anak paduan suara yang berdiri di belakangku sebagai backing vocal sempat terkesiap dengan gerakan tiba-tiba itu, namun mereka tetap bernyanyi dan berusaha membuat keadaan normal seolah tidak terjadi apa-apa. Dapat kudengar suara riuh redam orang-orang memenuhi ruangan dan kulihat beberapa penonton di kursi pinggir berbisik-bisik sambil menunjuk ke arahku. Pejabat- pejabat yang menempati baris terdepan terlihat tetap santai meski aku menangkap senyum geli yang ditunjukkan ujung bibir mereka. Anak-anak pertukaran pelajar dari Australia sedikit lebih gamblang mengungkapkan keterkejutan mereka. Mereka tertawa, meski suaranya tidak benar-benar dapat kudengar. Sejauh yang kurasa- kan, semua yang bernapas di ruangan itu tampak terkejut dengan kejadian jatuhnya seorang penyanyi solo di panggung kemenang- annya sendiri. Peristiwa itu terjadi begitu cepat, namun efeknya luar biasa lama hingga aku nyaris tidak dapat melanjutkan sisa lagu itu hingga bait terakhir. Tapi aku mencoba menenangkan diri sambil memikirkan hal-hal baik. Aku teringat pada kata-kata ibu beberapa tahun lalu saat aku melakukan kesalahan pada pertun- jukan soloku yang pertama. “Hidup ini hanya sementara, Sri. Bila berjalan dengan baik, nikmatilah, karena itu tidak akan berlangsung selamanya. Namun bila tidak berjalan baik, jangan khawatirkan, karena itu juga tidak akan berlangsung selamanya.” Memikirkan hal itu membuatku sedikit bersyukur orang tua- ku tidak ada di situ karena mereka pasti akan lebih malu daripada aku. Perlahan aku mulai bangkit dan menguasai keadaan hingga pementasan berakhir. Meski pertunjukkan selesai, tapi aku yakin 8
Langit Merah hingga seminggu ke depan orang-orang akan terus membicarakan hal ini tanpa henti. Hari-hari paling berat kualami ketika esoknya kembali ke sekolah. Beberapa anak yang mengetahui peristiwa itu mencoba membuat keadaan semakin parah. “Hei Sri! Aku melihatmu di koran pagi ini. Kamu lihat, kamu muncul di koran dan fotomu terpasang jelas di sana,” seru seorang anak laki-laki teman sekelasku sambil terkekeh. Aku tak tahu apa- kah ia menganggap hal itu lucu atau memalukan, tapi itu terdengar begitu menyebalkan. Bodohnya, seseorang menimpali, “Dia pasti ingin menjadi pe- main akrobatik setelah ini. Lihat saja gayanya di atas panggung, pakai jungkir balik segala.” Komentar barusan mengundang se- jumlah tawa teman-teman sekelasku, bahkan ada yang mencoba meniru caraku jatuh di atas pentas. Sahabatku duduk di sampingku sambil melingkarkan tangannya di bahuku seolah menaruh sim- pati, tapi ia ikut tertawa. Peristiwa itu begitu mempengaruhiku sampai hari ini. Dalam hati aku bertanya mengapa orang-orang begitu senang melihatku tampak bodoh. Masih teringat olehku kejadian beberapa tahun yang lalu saat aku masih kanak-kanank dan berada di posisi yang hampir sama seperti saat ini. Bedanya tak ada yang memarahiku, tak ada yang menertawaiku, bahkan tak ada yang terlalu mem- besar-besarkannya. Ini semua hanya sugesti. Aku merasa tertekan dengan sikap orang-orang yang seolah hidup mereka sempurna tanpa kesalahan. Aku tengah duduk seorang diri di kantin sekolah ketika se- orang anak perempuan muncul dari pintu masuk dan berjalan me- lewatiku. Sejauh yang kutahu anak itu adalah adik kelasku yang menurut cerita orang-orang sangat pintar, namun tidak pandai ber- gaul bahkan sangat egois. Kuamati lekat-lekat ketika gadis itu ber- jalan ke etalase makanan dan membeli beberapa potong kue. Tiba- tiba aku menyadari bahwa bagian belakang rok anak itu berlumur cairan berwarna coklat seperti cat. Anak itu melangkah riang ke- 9
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 luar dari kantin dengan wajah berbinar. Sesaat kemudian terde- ngar suara tawa yang riuh di luar kantin diikuti seruan-seruan yang menjatuhkan mental. Lalu aku sadar bahwa anak itu mung- kin sedang menerima hukuman atas keegoisannya. Hukuman dari alam. Anak perempuan itu mengingatkanku pada keegoisan dan sikap ambisius yang kutunjukkan demi mendapatkan posisi pe- nyanyi solo tempo hari. Tiba-tiba aku merasa begitu hina dan memalukan. Malam harinya aku menceritakan hari naas itu dan sikap orang-orang yang begitu menjatuhkan mentalku pada ibu. Aku mengeluh dan memaki, sementara ibu hanya tersenyum men- dengarnya. “Aku tidak berharap menjadi penyanyi lagi,” kataku lirih. Ketika aku mulai lelah bercerita, ibu mengeluarkan kata-kata ajaibnya. “Kau tahu, Thomas Alfa Edison telah mengalami ribuan ke- gagalan sebelum akhirnya menjadi penemu bola lampu dan na- manya ada di buku-buku pelajaran sekolah. Ketika ditanya ten- tang kegagalan-kegagalannya itu, Thomas Alfa Edison mengata- kan bahwa ia tidak pernah mengalami kegagalan, melainkan ha- nya menemukan cara-cara yang tidak sesuai dalam menciptakan bola lampu. Copernicus bahkan dipenjara hanya karena menge- mukakan teorinya tentang matahari sebagai pusat tata surya. Na- mun, kini apa yang diungkapkannya itu menjadi keyakinan se- luruh umat manusia,” papar ibu dalam. Hatiku tercenung. “Mereka dan orang-orang besar lainnya tidak menjadi hebat dengan mudah. Semua harus melalui proses yang sulit dan peno- lakan dari orang-orang sampai akhirnya meraih apa yang mereka idam-idamkan. Dan ketika kau tengah putus asa, ingatlah selalu bahwa kau pernah bermimpi dan yakinkan dirimu bahwa kau takkan begitu saja menyerah. Ingatlah juga bahwa pelaut ulung tidak pernah lahir dari laut yang tenang.” 10
Langit Merah Kata-kata ibu membawaku pada sebuah kesimpulan baru, bahwa yang dapat membuat seseorang tetap yakin untuk bermim- pi dan berusaha adalah masa kecil dan orang tua. Aku telah susah payah membangun dan mewujudkan mimpiku menjadi penyanyi sejak kecil. Ibu, ia seperti malaikat. Dan aku akan membuktikan pada ayah bahwa aku bisa berarti di matanya. Waktu berlalu seiring ingatan orang-orang yang mulai hilang akan tragedi di atas panggung itu. Dari cerita orang-orang, aku menjadi tahu bahwa Madame ternyata pernah mengalami hal yang lebih buruk dariku di atas panggungnya sendiri. Ia dilempari kertas dan kacang oleh penonton dalam pertunjukkan solonya. Aku tidak pernah tahu apa yang membuat orang-orang begitu ingin melemparinya dengan kacang, tapi aku dapat merasakan perasaan gusar seorang penyanyi solo yang ketakutan pada pe- nyimaknya sendiri yang mungkin dialami Madame. Ibu benar, pelaut ulung tidak pernah lahir dari laut yang tenang. Kurasa aku mulai belajar untuk mengagumi orang lain sebelum menjadikannya lawan tanding bagiku. Fadilah Nur Amalina, siswa SMAN 1 Yogyakarta. 11
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 TENTANG WAKTU Ofy Arum Subekti Di sini aku berkisah. Pada lembaran-lembaran waktu yang tlah Kau takdirkan. Tentang waktu yang tak pernah berhenti. Tentang waktu yang tak pernah kembali. Tentang waktu yang tak pernah terulang lagi.......... Hari masih pagi, tapi aku sudah terburu-buru memasuki stu- dio milik salah satu stasiun televisi terkenal di Jakarta. Sesekali aku membenahi tatanan rambutku yang mulai rusak. “15 menit lagi kamu take,” perintah sang produser. Aku hanya mengangguk. Memperhatikan beberapa orang yang berlalu lalang di depanku sekadar untuk menyembunyikan rasa kantukku. Lima belas menit pun berlalu. Aku mulai menjalankan ru- tinitasku. Bergaya di depan kamera, berbicara bak seorang putri keraton. Pekerjaan yang menurutku sangat membosankan. Tapi aku tak bisa lari, karena itu duniaku. Dunia yang memberiku segala kemewahan didalamnya. ######## Kata orang, hidupku sempurna. Dengan wajah yang menu- rut mereka terpahat dengan indah, dengan sejuta talenta akting yang kumiliki. Pundi-pundi uang dengan mudah kudapatkan. Kemewahan yang belum pernah dicicipi remaja seusiaku semua 12
Langit Merah sudah kudapatkan. Kata mereka juga, aku adalah artis muda ber- bakat, yang pantas disejajarkan dengan selebriti papan atas di negeri ini. Dan yang terpenting, semua orang mengenalku. Me- ngenalku sebagai artis populer. Menurutku, aku hanya remaja biasa. Sama seperti remaja usia tujuh belas tahun lainnya. Mungkin, aku hanya terlalu berun- tung sempat mencicipi dan merasakan kemewahan dunia. “Jangan lupa, hari ini jadwal kamu jumpa fans di Mall Am- basador, pemotretan untuk majalah remaja, wawancara dengan wartawan infotaiment,” Ibuku membacakan jadwalku hari ini. Aku tergagap. Lamunanku mendadak buyar. “Ya,” jawabku dingin. Sejujurnya, aku tak begitu menyukai pekerjaan ini. Aku tak ingin terkenal, aku tak ingin uang yang banyak dari pekerjaanku, karena duniaku palsu. Menjual kebohongan-kebohongan tentang- ku. Sudah sejak lama aku ingin mengatakan ini pada ibuku, tapi aku takut. Takut jika beliau marah padaku dan mengungkit semua masa lalu itu, tentang perceraiannya dengan bapak. Tentang se- mua keluarga bapak yang menurutnya tak becus. Tentang kehi- dupan kami yang serba kekurangan dulu. Aku....aku hanya tak ingin menyulut bara yang mungkin sebentar lagi padam. Padam karena tertutup oleh ketenaran. “Pia...ngapain kamu ngelamun? Jadwal kita padat. Ayo...!” teriak ibuku. Aku mengangguk, berjalan gontai menuju mobil. Kembali kami membelah padatnya kota Jakarta. “Jadi, gimana sih perasaan kamu saat tahu kamu masuk no- mine?” tanya seorang wartawan padaku. “Bersyukur aja.” Semua pertanyaannya kujawab pendek-pendek. Aku malas menanggapinya. Biasanya Ibuku yang turun tangan, menyusun cerita indah tentang kehidupanku yang tentunya lebih banyak palsunya. 13
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Kamu deket, ya sama Mama kamu?” Aku tertegun. Belum sempat aku menjawab... “Deket banget Mbak. Dia itu semuanya saya yang mengu- rusi,” jawab ibuku. Beliau memelukku untuk meyakinkannya. Tapi perasaanku mendadak kebas. Dan aku tersenyum simpul untuk menutupi kecanggunganku. Waktu terus berjalan. Tak terasa sang mentari mulai kembali ke peraduan. Mempersilahkan sang malam untuk menemani du- nia. Sedangkan aku sendiri masih berkutat dengan rutinitasku. Mungkin sampai pagi kembali menjelang. ######## “Kenapa Ibu tak pernah menceritakan sedikitpun tentang Bapak?” tanyaku suatu hari. “Karena tak ada yang bisa dibanggakan darinya. Tanpanya kita sudah bahagia, Pia,” jawab Ibuku. Aku memutar bola mataku. Mencoba memutar sedikit me- mori tentang ayahku. Sepertinya tak ada yang salah dengannya. Dia memang bukan pejabat, atau pengusaha atau bahkan seorang konglomerat, dia hanya lelaki biasa. Ada sedikit perasaan rindu saat aku mencoba membangkitkan memoriku tentangnya “Karena dia telah menyakiti, Ibu,” kata Ibu lagi. Menyakiti? Benarkah laki-laki pendiam itu berani menyakiti ibuku? Sepertinya tidak. Bukankah kemiskinan yang menyakiti Ibuku? Bukankah kemiskinan yang memutuskan ikatan suci me- reka? Tiba-tiba terbersit ide gila untuk mencari bapakku. Aku ingin bertemu dengannya, meski sebentar. Ingin kukatakan, aku merin- dukannya. Saat tahu ibuku pergi, aku buru-buru menyelinap ke kamar- nya. Tekadku sudah bulat. Aku harus mencari bapakku, di mana pun itu. Cukup lama aku mengaduk-aduk isi lemari ibu. Dan akhir- nya aku menemukan secarik kertas berisi alamat rumah bapak. “Jogja,” desisku. 14
Langit Merah Kuputuskan malam itu juga aku berangkat. Kemudian ku- siapkan beberapa potong baju dan juga perlengkapan lain. Aku memesan tiket lewat telepon. “Maafkan aku, Ibu. Aku harus pergi,” bisikku saat mening- galkan rumah. Dan akhirnya kereta benar-benar membawaku ke Jogja.. ######## Stasiun Tugu Yogyakarta, 19.00 WIB...... Hampir seharian aku duduk sendirian dalam gerbong kereta. Dan sekarang aku tenggelam diantara ratusan orang yang juga turun dari kereta. Tiba-tiba..... Bruuuuukkkk........... tanpa sengaja aku menabrak seseorang. “Maa...ma...af...,” kataku terbata-bata. Takut orang itu marah padaku. Tapi orang itu hanya diam. Menatap wajahku lekat-lekat. Aku menangkap keterkejutan dimatanya. Aku terperanjat. Mata.....mata itu.... Ya, aku sepertinya me- ngenal mata itu. Mata yang mengingatkanku pada seseorang. Tapi siapa???? “Tunggu.....!!!” teriakku. Tapi sayang, orang itu sudah menghilang dibalik kerumunan orang. Dan aku tak mungkin bisa mengejarnya. Aku kemudian melanjutkan perjalananku. Mencari penginapan terdekat karena hari sudah malam. Lagipula tak mungkin jika harus mencari ke- beradaan bapak malam ini juga. Di penginapan aku menimang-nimang foto bapak. Sudah lama sekali aku tak bertemu dengannya. “Masihkah beliau mengingatku?” aku menatap foto itu lekat- lekat. Mendadak aku ingat seseorang yang kutabrak tadi. Matanya sama. Sama seperti mata bapak. Mungkinkah dia bapak? Tapi kenapa dia berperilaku seperti wanita? Bukankah bapak dulu tak seperti itu? 15
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku. Sampai akhirnya aku tertidur dengan sejuta tanya. Menyongsong alam mimpi. ######## Pagi kembali datang. Sang mentari pagi masih malu-malu menampakkan wajahnya. Aku buru-buru bangun. Mempersiap- kan diri untuk melakukan pencarian. Didepan penginapan aku menyewa taksi. Menyerahkan secarik kertas yang kutemukan di kamar ibu tempo hari. Sopir taksi itu mengangguk paham. Dan membawaku ke alamat itu. Tak sampai dua puluh menit taksi itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang sangat sederhana. Aku mengetuk pintu rumah itu pelan-pelan. Tak ada jawaban. Ku ulangi sekali lagi. Tapi tetap saja tak ada jawaban. Rumah itu sepertinya kosong. Aku tertunduk lesu. Kemana lagi aku harus mencari bapak. ######## Berhari-hari aku mencari bapak. Semua tempat yang ada hubungannya dengan bapak kudatangi. Tapi hasilnya tetap saja nihil. Aku putus asa. Kuberesi semua bajuku. Hari ini kuputuskan untuk kembali ke Jakarta. “Mau Mbak?” seorang bocah menawariku nasi bungkus. Aku menggeleng. “Makasih. Masih kenyang,” jawabku berbasa-basi. “Ini ndak ada racunnya kok, Mbak. Kalo ndak percaya, ini saya makan,” katanya mencoba meyakinkanku. Aku tersenyum simpul. Disini masih banyak orang yang tulus mau berbagi, bahkan dengan orang yang tak dikenalnya sekalipun. “Mbak, pasti bukan orang sini. Mbak, lagi mencari sesuatu?” tanyanya. “Ya, aku mencari bapakku,” sambil memperlihatkan foto bapak. Anak itu mencoba mengingat-ingat sesuatu. Sedetik kemu- dian..... “Aku tahu, Mbak,” dia tiba-tiba menyeretku. Aku yang terkejut hanya bisa pasrah mengikutinya. 16
Langit Merah “Itu,” tunjuknya padaku. “Baaapaaakk....,” panggilku takut-takut. Aku takut jika dia bukan Bapakku. Orang itu menoleh. Terkejut melihatku ada di belakangnya. Dia terdiam. Mencoba mengingat-ingat siapa aku. “Aku, Pia Pak,” kataku lirih. “Pi....Pia?” Beliau masih syok melihatku. Aku berdiri mematung. Memandang wajah Bapak yang ter- tutup make up tebal. Tubuh bapak yang terbalut busana wanita itu. Aku terisak. Bapakku banci..... Mendadak semua berputar sangat cepat. Dan semuanya menjadi gelap.... ######## Aku tak tahu apa yang terjadi setelah pertemuan itu. Saat aku membuka mata, aku sudah berada di ranjang. Entah di rumah siapa. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. “Maafkan Bapak, Pi...” Aku hanya membisu. Masih tak bisa menerima kenyataan. Sepertinya bapak mengerti. Beliau buru-buru keluar. “Tak usah buru-buru bangun. Ini rumah Bapak.” Aku kemudian memejamkan mataku. Mencoba untuk tidur. Berharap jika aku bangun nanti, apa yang kualami hari ini hanya mimpi. ######## Sudah tiga hari aku tinggal di rumah bapak. Selama itu pula, aku tak pernah bertegur sapa dengannya. Aku masih tak percaya dengan jalan yang dipilih bapak. “Lihatlah. Dunia mencarimu,” ujar Bapak suatu malam. Aku melirik tumpukan majalah dan koran yang dikumpul- kan bapak. Namaku terpampang jelas di headline koran itu. Aku menghembuskan nafas pelan-pelan. “Aku tak peduli,” kataku lirih. Beliau menghela nafas melihat sikapku yang dingin. “Kenapa Bapak tak pernah mencari kami?” tanyaku. 17
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Karena bapak tahu, kalian berdua sudah bahagia tanpa Bapak.” “Hanya itu? Hanya karena alasan itu Bapak tak pernah se- dikitpun memberi kabar?” Emosiku mulai naik. “Apa kabar membuatmu bahagia?” Bapak balik bertanya. Pertanyaan itu sangat menohok ulu hatiku. Selama ini, aku dikelilingi dunia yang palsu. Hanya disini aku menemukan orang- orang yang tulus yang mau menolongku walaupun mereka tak mengenalku. “Lihat itu, Pi,” Bapak menunjuk gedung-gedung yang menju- lang tinggi, “dan itu,” dia menunjuk rumah-rumah yang sangat sederhana. “Seperti itu juga dunia kita. Kita sangat jauh berbeda.” “Dan karena kita berbeda, Bapak jadi seperti ini?” ada pera- saan muak saat melihat busana-busana yang seharusnya dipakai oleh seorang wanita kini dipakai oleh Bapakku sendiri. “Aku tak mengerti jalan pikiran Bapak. Mungkin memang aku tak pernah bisa mengerti,” kataku. Aku berdiri, berjalan meninggalkannya. Aku ingin tidur. Dalam tidurlah aku bersembunyi dari keruwetan dunia, meski ha- nya sebentar. ######## “Pak....,” aku menyodorkan pakaian untuk Bapak. Pakaian untuk laki-laki tentunya. Beliau menggeleng. Masih asyik memoles wajahnya. Memu- las bibirnya dengan gincu merah menyala. Memakai busana kesu- kaannya. Dan sedetik kemudian pergi entah kemana. Tapi, aku tak menyerah dengan penolakan Bapak. Setiap pagi aku berdiri di pintu kamarnya. Membawa satu stel pakaian. Ber- harap Bapak mau memakainya. Satu tekadku, aku hanya ingin bapak kembali seperti dulu. Bukan menjadi banci seperti itu. Setumpuk pakaian itu tak sedikitpun pernah disentuh bapak. Beliau masih asyik dengan dunianya. 18
Langit Merah “Kapan Bapak mau berubah?” tanyaku “Bapak menunggu waktu.” “Kenapa bukan sekarang atau nanti atau besok, lusa?” aku hampir berteriak putus asa. “Karena kita tak pernah tahu rahasia waktu, Pi,” jawabnya diplomatis. Aku tertunduk lesu. Pergi meninggalkannya sendiri. “Mungkin, hanya karena Bapak tak berani mencoba,” ucap- ku padanya. ######## Jalan Malioboro, 11.00 WIB Seorang lelaki setengah baya memainkan alat musiknya. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dengan gayanya yang kemayu dia menghibur orang-orang disana. Berharap men- dapat sedikit receh dari mereka. “Yah, aku ingin seperti dia,” tunjuk seorang anak kecil. Laki-laki itu tersenyum dan menghampiri anak itu. Mencubit pipinya dengan gemas. “Huusss...tak baik, Nak. Lihat, seharusnya kamu bermimpi menjadi seperti itu,” ayahnya menunjukkannya pada seorang polisi. “Kau tahu, Nak, orang itu hanya laki-laki yang kalah yang tak berani menghadapi kenyataan dan dunia. Dia bersembunyi di dunianya yang lain,” lanjutnya. Berharap anaknya mengerti apa yang dikatakannya. Laki-laki itu berdiri mematung. Kata-kata tadi begitu menu- suk ulu hatinya. “Kenapa Bapak berubah? Tak inginkah Bapak kembali seperti dulu? Aku hanya ingin Bapak berubah” Kata-kata itu kembali terngiang ditelinganya. Lelaki itu ter- sadar. Dihapusnya make-up tebal yang ada diwajahnya. Dia ber- lari..... tak memperdulikan orang-orang disekelilingnya yang meli- hatnya dengan heran. Dia hanya ingin menemui seseorang, anak- nya. Sebelum semuanya terlambat. 19
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 ######## Kutuliskan sepucuk surat untuk Bapak. Aku hendak pulang ke Jakarta. Surat itu kuletakkan di depan pintu. Sepertinya percu- ma aku disini, toh aku tak mungkin membuat bapak menjadi se- perti dulu. Kutatap stasiun itu sekali lagi. Air mataku menetes. Aku mu- lai naik ke gerbong kereta api. Tapi sayup-sayup aku mendengar suara seseorang yang memanggilku. Aku menoleh. Kulihat Bapak berlari. “Piiiiiaaaaaa....tunggu...!!!!!” Bapak berlari menyongsongku. Mataku terbelalak kaget. Beliau memakai baju yang kubeli- kan dulu. Sontak aku memeluknya. “Maukah Bapak berjanji satu hal padaku?” Beliau mengangguk mantap. “Berubahlah untukku” bisikku lirih. “Dan maukah kau juga berjanji padaku?” tanya Bapak. Aku mengangguk. “Tinggallah disini bersama Bapak” Sekali lagi aku memeluknya. Mengaitkan kelingkingku de- ngan kelingking Bapak. Aku memandang langit kota Jogja. Hari ini, mendadak menjadi sore terindah yang pernah aku lihat di Jogja. Waktu tlah membuka rahasianya untukku. Hari ini...... Waktu memang tak pernah berhenti Waktu memang tak pernah bisa kembali Dan waktu memang tak pernah bisa terulang lagi Tapi waktu, menjaga rahasiamu Dan hanya membukanya saat kau sudah siap menerimanya Ofy Arum Subekti, mahasiswa di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. 20
Langit Merah TANAH DI ATAS CAWAN Marinda Noor Eva “Nggak mas, aku akan tetap take this case!” “Ini nggak mudah, lho cah ayu.” “Tapi, Mas, aku merasa sangat terpanggil untuk mengangkat kasus ini. Tolong dong, Mas. Izinkan aku meliput fenomena ini!” “Kok ngebet banget kenapa, to? Memang ada pengalaman pri- badi?” Yang ditanya terdiam. Bingung harus menyodorkan jawaban seperti apa. Wajahnya yang semula kokoh menantang langsung tertunduk. Seperti ada yang disembunyikan. Mas Ndono lantas meraih buku dalam genggaman Siti. Pemiliknya tampak pasrah saja. Lembar demi lembar habis terbaca, tetapi tak sebaris kalimat pun memaparkan masalah apa yang sedang dialami Siti. Mas Ndono pun menyerah. Ia beranjak dari tempat duduknya kemu- dian berjalan sepanjang koridor kantor. Tak berselang lama Siti mengikuti dari belakang. “Boleh, ya Mas?” Siti masih merajuk, “pokoknya, ada alasan- nya! Pribadi sih, tapi...” “Tapi kamu nggak bisa seenaknya begitu, Sit. Kita harus profe- sional. Harus ada alasan yang masuk akal,” tegur Mas Ndono tegas memotong rayuan Siti. “Karena seks bebas sudah sangat menjadi hal yang biasa bagi remaja Jogja, Mas. Coba bayangkan! Mas Ndono pernah tahu? Re- 21
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 maja desa yang dulu terkenal lugu, ramah dan ngabekti marang rama lan biyung, sekarang telah berevolusi menjadi gadis dan pemuda bebas bahkan cenderung liar,” ungkap Siti cepat dan panas. Mas Ndono berhenti dan berbalik memandang anak didiknya. Gadis di hadapannya itupun seorang gadis ndeso yang tergolong berusia labil. Sama seperti tokoh yang diceritakannya. Namun mendengar kata-katanya, seakan lain. Mas Ndono kembali mena- tap dalamnya pandangan mata Siti. Aura ketegangan masih meli- puti keduanya. Satu bulan yang lalu Siti tergabung dalam anggota jurnalis remaja di salah satu mass media di Jogja. Merona bak bunga mawar yang baru saja mekar hati Siti saat ia tahu bahwa ia telah diberi kesempatan bergabung. Ia memang bukan ujung tombak timya, tetapi kehadirannya lebih dari itu. Ide segar dan guyonan renyah- nya bak sejuk tetes embun di padang Sahara. Membuat penat pi- kiran kembali terpacu kencang. Siti meremasi ujung-ujung jemarinya. Ia tak yakin sanggup mengungkapkan serpihan-serpihan alasan yang tersebar dalam otaknya. Raut kebimbangan jelas terpancar dari gestur tubuh mungilnya. Perlahan Mas Ndono meyakinkan Siti agar memanah satu persatu keraguan di dadanya. Agar ia selalu berjalan di atas kekuatan keteguhan hati dan kemurnian nurani. Inilah yang akan menuntun alam bawah sadarnya kearah kesuksesan seperti apa yang ia bayangkan. Degup jantung Siti mulai beraksi tak terkendali. Semburat ga- ris-garis muka orang-orang menanti dalam hangat peluk kelopak mata. Tatap penuh energi di sekitar Siti memaksa bibirnya melan- tunkan syair hatinya. Seperti apa yang ia katakan pada Mas Ndono. Siti ingin membuka mata masyarakat luas bahwa kenyataanya pe- rilaku bebas remaja yang serba permisif dan hedonis telah dengan sengaja atau tidak membawa mereka jauh dari cerdas dan berbudi pekerti luhur. Sekali lagi, jauh dari berbudi pekerti luhur. Siti mema- parkan argumennya dengan beberapa contoh kasus di daerahnya, 22
Langit Merah Bantul. Mulai dari teman-temannya di sekolah swasta sampai di sekolah negeri. “Walaupun memang nggak semua remaja melakukan seks bebas, tapi aku itu mau orang-orang sadar bahwa pergaulan remaja sekarang sudah kelewat batas toleransi. Bayangkan aja bagaimana mereka megekspresikan hubungan pacaran. Temen Siti, kalau pa- caran di bilik warnet. Bayangin aja bilik sekecil itu buat dua orang. Apa aja bisa terjadi kan? Apalagi dengan situs internet ngawe-awe, mereka leluasa membuka ini itu tanpa ada pihak yang mengawasi,” terang Siti. “Hihihi...kayak Siti nggak pacaran aja,” celetuk Rudi. “Ha? Nggak...yeee. Kalau menurut Siti, pacaran itu nggak apa- apa kok, tapi harus pacaran yang sehat. Itu menurut Siti aja. Dan semua dapat tercipta jika kita sudah benar-benar dapat membeda- kan yang baik dan buruk secara akal dan logika, bukan emosi atau perasaan sesaat saja. Jadi kalau udah gede, udah siap menikah hehe....peace,” canda Siti. Pada akhirnya keteguhan hati Siti untuk mempertahankan kasus itu diterima dan secara resmi dialah yang mendapat kehor- matan melakukan liputan. ***** Semalaman Siti mengutak-atik otaknya menyusun draft per- tanyaan sekaligus susunan liputannya. Semua masih berserakan di atas meja belajar. Entah sadar atau tidak Siti belum mengerjaka satu pun pekerjaan rumahnya. Tampaknya tidak, karena ia masih tertidur lelap seakan dunia hanya miliknya seorang. “Heh, Siti! Cepetan bangun, Nduk! Kamu itu lho cah perawan kok kalah sama ayamnya Mbah Sastro?” ibunya mulai terganggu dengan sikap Siti. “Jam pinten, to Buk?” “Loh, sakit kamu, Siti? Matanya kok merah begitu? Ayo cepet bangun?” “Eh..iya. Eh Ibuk itu lho, masih saja panggil Siti. Sejak masuk SMA kan kita sudah sepakat.” protesnya dengan wajah cemberut. 23
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Tanpa menggubris anak gadisnya yang masih kesal dipanggil Siti, Ibunya lantas keluar dari kamar Siti. Hal ini membuat Siti semakin kacau. Ia memandang anggota perhimpunan kamarnya dan menyaksikan pemandangan ajaib. Sudah pukul lima lewat, hampir setengah enam, bahkan sholat subuh pun belum ia kerja- kan. “Gedebug” derap kaki Siti berlari mengambil air wudhu disak- sikan tatapan bingung penghuni rumah. Usai melaksanakan kewajibannya, Siti memburu Ibunya di dapur untuk kembali mengingatkan kesepakatan di antara mereka. Sekali lagi Ibunya tidak mengalihkan perhatiannya dari masakan di hadapannya. Dan sekali lagi, Siti merasa kacau. “Apa nama Siti itu nggak pantas untukmu, Nduk? Siti itu lemah, tanah. Lemah iku tansah gawe tunggahing titah ing alam donya. Yang namanya tanah, pernah kah marah saat diinjak-injak manung- sa? Siti kuwi sabar, jadi manusia harus sabar menerima kehidupan apapun, kritik apapun.” Siti sudah terlanjur berlalu dari hadapan pemilik gua garba yang telah melahirkannya. Berpacu dengan air matanya ia mem- persiapkan diri menuju sekolah. Basah kelopak matanya tadi ma- lam belum sempat kering, sepagi ini sudah kembali disiram. Jadilah bengkak matanya melebihi remaja labil yang baru saja dicampakan. Pohon munggur di sepanjang jalanan sempit berayun mesra membuat iri padi menguning berkilauan disapu sang Fajar. Siti menghembus nafas berat. Dikayuhnya sepeda tua milik ayahnya menuju bukit pengetahuan. Belaian bunga munggur membasuh nurani Siti. Hatinya berkaca menyaksikan rekaman kecintaan ibu dan bapaknya pada dirinya. Laju semakin kencang membawa cinta itu menghujam lurus dalam batin. Aroma gelagat muram Siti menepi sejenak memberi jalan un- tuk sebuah tekat akan hadirnya perubahan. Gadis cantik berjilbab rapi itu berjalan menelusuri koridor sekolah dan berhenti tepat di halaman belakang. Siti memanggil seorang laki-laki dari rombong- an Siswa yang tengah menikmati hidup menurut cara mereka lan- 24
Langit Merah tas berbicara serius. Mas Nanang, begitu Siti memanggilnya, meng- utarakan maksud kedatangan Siti pada teman-temannya. Wajah Siti pucat mendapati tak satupun dari mereka menang- gapi pertanyaannya. Bahkan Mas Nanang hanya tersenyum kecil melihat reaksi teman-temannya. Setelah Siti terus mendesak, salah satu dari mereka menimpali, “Pergaulan bebas itu sudah tidak menganut kaidah moral dan aga- ma. Ra duwe isin. Misal, cium sana peluk sini, bercampur baur nggak tau etika. Jadilah, seks bebas itu tadi.” “Iya, bener banget. Dan kita nggak sampai sejauh itu, kami juga sadar dosa. Organisasi kami cuma main gaple, aplikasi dari logika matematika yaitu teori peluang dan operasi hitung. Percaya atau nggak terserah!” salah satu menambahi. “Tapi, Mas, kan ada mbak-mbaknya yang sering gabung di sini dikeluarin karena MBA,” Siti masih merajuk, merasa yakin mereka pernah melakukannya. “Sit, gimana, ya? Percaya atau nggak terserah. Kami nggak pernah melakukan itu! Kalau dia sih memang lingkungannya yang nggak bener dan di perkumpulan kami nggak ada cewek. Coba cari aja di sekolah pinggiran!” Mas Nanang meradang. Nyali Siti menciut. Ia bak gadis di sarang penyamun. Semua Siswa garang itu kini tengah menatapnya. Sebenarnya ia punya satu nama yang pasti akan mendukung hipotesanya. Namun ia terlalu takut menghadapi sebuah kenyataan. Otak Siti berputar menggali ide lain. Ia meminta Mas Nanang membodyguardinya melakukan reportase ke sekolah pinggiran yang dimaksud. Dua hari kemudian dengan mengorbankan jam sekolah, Siti dan Mas Nanang memulai aksinya. “Wong Jawa ki saiki wis pada kelangan jawane. Nggak peduli mana yang baik, mana yang buruk, disruduk aja. Nggak mikir re- sikonya. Sekolah kita sih mending. Tiap hari tadarus Al-Qur’an. Jadi Siswa sadar atau nggak ruhnya terisi. Nah, misal sekolah lain yang hanya membentuk Siswa ajaran, bukan didikan, mau jadi apa?” Mas Nanang terus saja bersyair di sepanjang jalan. 25
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Cekatan tangan Siti mempersiapkan peralatan. Yang ditung- gu sudah di depan mata. Gentar dada Siti menyaksikan wajah- wajah bringas seakan siap menerkam. Seksama Siti mengatur ba- hasa paling tepat untuk meluluhkan mereka. Tidak juga. Enam mutiara hitam di hadapannya hanya menyeringai tajam. Siti me- nengok Mas Nanang seakan dia dapat menyelesaikan ini dengan sempurna. Sekali lagi, tidak! Mas Nanang sibuk dengan blackbarry- nya. Sulit sekali menembus pertahanan enam Sitwi tersebut. Tidak satupun memberi titik terang. Padahal sudah terlihat jelas secara fisik dan penampilan bahwa mereka adalah sasaran yang tepat. Siti memutuskan menyudahi pertempuran tak berpangkal di se- kolah ini. Saat melewati ruang guru sekolah lain, otak Siti memutar suatu rencana. Dia memasuki ruang kepala sekolah dan bernego- siasi. Gadis mungil itu lantas pucat pasi meninggalkan kepala sekolah salah satu SMA Negeri di Bantul itu. Mas Nanang hanya memandanginya heran. Sudah jelas, berita yang dicari Siti bukan- lah suatu prestasi, malah kebalikannya. Jadi, mana mungkin se- kolah membeberkan aib sendiri. Semangat Siti luntur. Hari hampir senja saat Siti terbaring di kasurnya merasakan kecewa dan marah menggumpal di hati. Bagaimana bisa mereka merasa sombong, tidak mau memberikan informasi sekecil apa- pun kepadanya. Padahal Siti merasa ia sudah cukup hebat dengan mengatasnamakan dirinya sebagai wartawan. Bahkan ia sudah memakai id card. Namun, lima sekolah yang ia datangi memberi- kan respon sama. Hatinya kacau, gelisah tak dapat berbuat lebih. Siti berpikir seandainya saja ia lebih tegas dengan sifat manja dan angkuh para narasumbernya. Andai saja ia lebih sabar menunggu hati narasumbernya luluh. Andai saja ia tak buru-buru kabur saat narasumbernya mengeluarkan kata-kata pedas, melotot, mem- bentak bahkan mengancam Siti pasti sudah pulang dengan hasil gemilang. Namun, itukah permasalahannya? Siti keluar kamar hendak menelepon Mas Ndono. Menyata- kan bahwa ia sudah tidak sanggup mengemban tugasnya. Ia akan 26
Langit Merah mengakui bahwa ia telah dikalahkan oleh para narasumbernya. Bendera putih sudah berkibar di depan matanya. Siti memencet nomor telepon Mas Ndono lantas menunggu si Penerima mema- rahinya. Ibu Siti mengelus rambut putrinya dan memutus saluran telepon. Sekejap mereka berpandangan dan Siti langsung tersedu. Ia curahkan semua keputusasaannya dan rasa bersalah telah menyakiti hati Ibunya. Sekali lagi, Ibunya menyiram hati Siti de- ngan pupuk kekuatan dan ketegaran. Kembali sang Ibu meyakin- kan bahwa seorang Siti tidak akan kecewa dan putus asa begitu saja. Biarpun orang menghujamkan pahitnya lidah, Siti tetaplah tanah perkasa yang akan meluluhlantahkan keangkuhan ma- nusia. Siti lantas menelepon Mas Nanang menanyakan nomor salah satu dari keenam Siswi yang tadi pagi dikenalkannya. Kemudian Siti segera menghubunginya. Ia jelaskan maksud dari reportase- nya berharap Wulan luluh dan memberikan sedikit informasi. Dan untuk kesekian kalinya, Siti kalah. Ia membanting gagang telepon dan masuk ke kamarnya. Siti mengistirahatkan sejenak syaraf-syarafnya. Handpone jadul di kasur disambarnya. Ada enam pesan yang belum ia buka. Salah satunya dari Mas Nanang. Ia mengabarkan bahwa Wulan adalah gadis menyenangkan dan ramah. Siti mengernyitkan dahi. Ia tidak merasa seperti itu. Matanya Siti berhenti pada sederet kata, “ada cara yang lebih sopan untuk memasuki daerah teritorial lawan,” Siti tersadar dirinyalah yang telah angkuh. “Sebelum kembali goyah, aku harus berusaha menjaga se- mangat ini.” Siti memencet tombol redial untuk mengubungi Wulan. Di seberang Wulan kaget terlihat mendengar suara Siti. Namun Siti sigap menjawab kekagetan Wulan dengan kata maaf telah tidak sopan dan rayuan lain. Akhirnya Wulan bersedia memberi infor- masi. 27
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Terik membayang dalam meranggasnya pohon-pohon ce- mara di pinggir jalan. Siti masih menunggu sembari menghitung uang yang ia bawa, takut tidak cukup. Kekhawatiran menginjeksi otak Siti berfikir buruk. Seorang gadis duduk di sampingnya de- ngan tiba-tiba. Setelah meminta maaf karena terlambat Wulan langsung memesan minum. Otak Siti merangsang syaraf pikirannya untuk mengeluarkan kata tepat agar tidak terkesan men-justice Wulan serta meyakinkan bahwa kerahasiaan narasumber terjaga. Perlahan tapi pasti Siti masuk ke hati Wulan. Ia sudah mulai gamblang menceritakan kehidupannya. Mulai dari keikutsertaannya dalam sebuah geng yang berkiblat pada kebebasan dan hedonisme sampai keluarganya. “Sejak masuk SMA, aku termasuk gadis populer. Jadi mudah saja aku menjadi bagian dari mereka. Sebenarnya aku sadar kok telah salah jalan. Kalau kamu dengar apa aja yang sudah aku lakuin, mungkin kamu nggak akan percaya,” Wulan menunduk. Siti sudah tahu arah yang pembicaraan Wulan. Ia tidak ingin mendesak lebih jauh, apalagi Wulan mulai berlinang air mata. Ia hanya mengusap bahu gadis di sampingnya. Seakan empati Siti memberikan kehangatan, Wulan melanjutkan ceritanya. “Dulu kami berenam nggak pernah bersentuhan dengan hal berbau seks. Mungkin ini yang disebut evolusi. Bermula dari se- ring keluar malam sampai ke tempat hiburan, jatuhlah kami ke jurang dosa ini. Lambat laun kami mulai bobrok. Amarah ke- luarga membuat kami semakin brutal dan pergaulan semakin tidak terkendali.” “Wulan nggak berusaha menyudahinya?” “Pernah. Tapi dasarnya setan ada di mana-mana dan iman nggak kuat. Aku nggak tahu kenapa setiap kali dia menyentuhku seakan akal dan imanku menguap begitu saja. Aku tahu ini sudah kelewat batas. Tapi inilah yang terjadi padaku dan yang lain. Pe- ngaruh teknologi dan kurangnya pengawasan memang salah satu faktor penyubur pergaulan bebas remaja. Tapi self control kita yang 28
Langit Merah sebenarnya menjadi kunci utama,” terangnya sambil mengusap air matanya. Siti mendengarkan dengan penuh perhatian cerita Wulan. Ia terharu mendengar orang tua Wulan sudah mulai tidak peduli dengan keberadaannya. Bahkan saat Wulan menuturkan rokok, seks dan gemerlap malam adalah cara terbaik untuk menyelesai- kan masalah, Siti sangat kaget. “Tapi ada juga temenku yang juga pernah melakukannya karena pengaruh blue film. Saat nafsu udah diubun-ubun, jadilah setan menggerogoti keimanan. Terjadilah hal yang tidak diingin- kan. Padahal dia termasuk anak yang taat. Ada juga yang memang sudah berkiblat pada budaya Barat. Kalau mau observasi ikut aja nanti malam,” ajak Wulan. Siti menatap gadis yang sudah mulai ceria dengan tatapan tak percaya. Baru saja ia mengutarakan penyesalannya tetapi tak sampai satu jam ia sudah kehilangan akalnya. Emosi gadis ini memang mudah terombang-ambing. Siti menatap Wulan tajam. Ia ungkap ketidakpahamannya terhadap jalan pikiran Wulan. Su- dah jelas Wulan tahu bahwa yang ia perbuat salah tetapi mengapa ia masih saja akan mengulanginya. Setelah apa yang terjadi pada dia dan keluarganya, mengapa gadis itu tak juga berniat untuk berubah. Memulai dari awal dengan semangat baru. Masa depan lebih gemilang bisa diraih jika ia mau berusaha. “Ingat pidato Bung Karno, ‘Berikan aku seribu orang tua, niscahya aku cabut semeru dari akarnya. Tapi berikan aku sepu- luh pemuda, maka akan aku goncangkan dunia’. Betapa besar energi pemuda. Siapa yang memaksa Sukarno Hatta segera meng- umumkan proklamasi? Siapa pendukung da’wah Nabi Musa? Dan siapa yang memaksa Rasulullah untuk berangkat ke perang Uhud? Golongan muda! Bahkan Hasan Al Bana sering menda- tangi anak muda untuk mendapatka energi baru!” terang Siti. Wulan menatap dingin. Ia bergegas pamit dengan mata ber- kaca-kaca. 29
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Usai pusing menggeluti pelajaran sekolah Siti menghempas- kan tubuhnya di kursi bus kota. Hari ini ia harus melaporkan kinerjanya. Sedang asyik menyusun rencana, Siti mendapat pesan dari Wulan. “Thanks, ya Sit. Mulai sekarang aku dan yang lain akan ber- usaha menjadi lebih baik. Memang benar, tenaga kita masih ba- nyak dibutuhkan untuk hal-hal positif yang bermafaat. Jika ada perlu, silahkan kontak kita lagi.” Mas Ndono takjub anak didiknya dapat mempertanggungja- wabkan kalimatnya. Ia tertegun membaca jawaban narasumber. Bagi pemula seperti Siti, mendapatkan lebih dari lima narasumber dalam reportase hal berbau privasi adalah hal istimewa. Mata Mas Ndono menyoroti lebih spesifik narasumber pasangan suami istri yang harus menikah akibat salah pergaulan. Setelah dibujuk, akhirnya Siti mengaku bahwa narasumber itu adalah mantan pa- carnya. Saat itu hati Siti sakit mendapati pacarnya memutuskan hubungan yang telah dirajut hampir empat tahun karena gadis lain. Memang tampak konyol melihat mereka terlibat adu mulut. Hubungan mereka baru sebatas pacar. Tak ada hak mengekang satu sama lain menyadari janur kuning belum melengkung. Siti tersenyum, “Dia melakukannya dengan sahabatku. Bisa membayangkan kehilangan dua teman baik sekaligus? Kami tinggal di desa dalam balutan ajaran agama, etika dan moral yang tebal. Kami besar bersama dalam pengawasan yang sama. Tapi memang, self control kami berbeda. Dan inilah alasannya, aku ingin membuktikan bahwa orang yang terbelenggu oleh hawa nafsunya tidak akan pernah bahagia. Iya kan? Pecandu narkoba akan kehi- langan akal sehat dan ingatannya. Perokok kehilangan paru-paru- nya. Dan pelaku seks bebas akan kehilangan masa depan dan self defend. Jadi untuk apa berkiblat pada budaya hedonisme padahal kita punya dasar agama dan moral ketimuran yang sedikit banyak akan menjaga dan membimbing kita?” Marinda Noor Eva, siswa SMA Negeri 1 Bantul 30
Langit Merah MENGGAPAI IMPIAN Aprilia Ningsih Sore itu indah sekali. Ombak berdebur dengan literaturnya yang merdu. Buihnya menyapu bibir Pantai Trisik yang sebentar lagi akan menjadi senja. Langit mulai memerah dan inilah sebuah pematang hari yang akan segera tiba yaitu sunset. Rumput gulung yang menjalar pun turut menjadi saksi bisu datangnya senja. Namaku Mei Sinta Pertiwi, aku lulus dari SMP N 1 Galur dengan nilai 39.00, tapi aku harus putus sekolah karena kakek dan nenekku tak mampu membiayaiku sekolah lagi. Orangtuaku meninggal saat aku berumur tiga tahun dalam kecelakaan mobil beruntun. Pedih sekali rasanya, tapi aku yakin “dimana ada kemau- an pasti ada jalan.” Perlahan aku bangkit lalu kuhapus air mataku, akupun pulang dan membantu nenek bekerja, dari mulai mencuci, memasak dan menata rumah. *** Malam begitu indah, bintang berhamburan ditemani bulan dengan sinarnya yang terang dan berkerlipan di angkasa luar yang gelap. Rumah-rumah transmigran diterangi lampu merk electra lima watt seharga Rp 1.500,00 yang biasanya dijual di warung- warung. Angin bertiup pelan, memberikan hawa dingin yang me- nyapu kulit badan, sementara itu kakek sibuk menyiapkan jaring dan perlengkapan lainnya untuk melaut malam ini. Walau kakek 31
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 sudah tua dan pikun tetapi semangat beliau untuk bekerja sangat besar. “ Udah siap semuanya, Kek?” tanyaku semangat. “ Kakek sudah makan, Nduk!” jawab kakek nyleneh. “ Kakek sudah siapkan semuanya?” tanyaku sedikit berte- riak. “ Sudah, Nduk, tidak usah keras-keras, kamu pikir kakek tuli apa!” jawab kakek. “ Kakek… kakek, pikunnya makin lama makin lucu!” kataku lirih. “ Ayo, Pak e, ayo, Nduk nanti kelamaan!” ajak nenek. Setiap hari aku dan nenek selalu mengantar kakek melaut. Walaupun kami hidup dalam kesederhanaan, tetapi kasih sayang diantara kami bertiga mengalahkan kemewahan yang dimiliki oleh orang berduit golongan konglomerat, karena ada pepatah yang mengatakan lebih baik jadi orang melarat yang berkecukupan daripada jadi konglomerat yang kekurangan. Tapi ini beda, karena hidup kami melarat dan kekurangan, akan tetapi ini semua justru membuatku selalu bersyukur. Malam telah larut, aku dan nenek pulang ke rumah karena harus istirahat. Besok pagi-pagi sekali aku harus menjemput ka- kek dan berjualan rempeyek bersama nenek. *** Pagi buta benar aku dan nenek bangun. Kami mengambil air wudhu di tengah hembusan hawa dingin yang menusuk kulit. Lalu kami sholat tahajud bersama. Kulantunkan dengan indah beberapa ayat suci dari Al-quran, inilah melodi cintaku untuk- Mu Ya Rabbi! “Ya Tuhanku berikanlah yang terbaik untukku, wujudkan- lah mimpiku untuk membanggakan kakek dan nenek dan beri- kanlah hamba kesempatan untuk menimba ilmu, amin,” tangisku terisak, nenek memelukku dan mengerti akan batinku. “Maafkan kami, Nduk?” rintih nenek. 32
Langit Merah “Tak apa, Nek. Sinta mengerti, kita harus semangat,” isakku sambil berusaha untuk tersenyum. Dengan pakaian muslim sederhana aku dan nenek menjem- put kakek di Pantai Trisik. Sesampainya disana ternyata kakek sedang sibuk membereskan jaringnya. “Lumayan dapat Rp15.000,00,” kata kakek senang. “Alhamdulillah,” ucapku bersama nenek sambil tersenyum. Kami bertiga pun pulang. Terdengar adzan subuh berku- mandang merdu, dengan segera kami mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat subuh. “ Allahuakbar,” seru kakek mengimami sholat. Hanya dua rakaat untuk sejenak bertemu pada Sang Khaliq, Allah SWT. *** Pagi cerah sekali, sinar matahari menyapa pohon buah naga yang hampir semuanya berbuah merah merekah. Rumput gulung meneteskan embun dari pucuk daunnya, ombak berdebur ber- sama kicau burung yang seakan-akan seperti musik alam dengan melodinya yang menenangkan jiwa setiap orang. TPI (Tempat Pelelangan Ikan) mulai semarak, lalu lalang seragam abu-abu putih di jalan secara tidak langsung menggores- kan satu luka yang mendalam tentang impianku yang sirna. Tapi aku sadar, setiap orang pasti memiliki jalan hidupnya masing- masing dan Allah maha adil, jadi aku harus tetap semangat. Dengan cekatan kuselesaikan menjemur pakaian lalu aku membantu nenek membungkus rempeyek di dapur. *** Gembala kambing berarakan, bebek-bebek sudah berbaris rapi di pinggir jalan. Matahari bersinar terang, kira-kira pukul delapan pagi aku dan nenek sudah jualan rempeyek ke Pantai Trisik. Kami meninggalkan kakek sendirian di rumah yang sedang menanam pohon lombok merah di sepetak kebun samping rumah. “Rempeyek murah, rempeyek renyah, ayo beli!” teriakku dengan semangat begitu pula dengan nenek. 33
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Nek…Dik Sinta sini tak borong semuanya,” teriak Bu Ayu, tetangga jauh kami. Aku berjalan bersama nenek menghampiri Bu Ayu dengan hati gembira karena jarang- jarang dagangan kami habis secepat ini. “Semuanya empat puluh bungkus jadi Rp40.000,00,” kata nenek. “Ini uangnya, sisanya buat Dik Sinta,” kata Bu Ayu sambil tersenyum memberikan selembar uang Rp50.000,00an. “Makasih, Bu,” kataku. “Malah merepotkan, Bu,” kata nenek tersenyum. “Tidak apa-apa. Oh ya, sebenarnya saya mau menawarkan Dik Sinta bekerja, ya bantu-bantu saya jualan soto di kantin SMA N 1 Bantul, gajinya Rp150.000,00 per bulan, ya itu kalau Dik Sinta mau dan nenek mengizinkan, gimana?” tanya Bu Ayu. “Sinta mau. Boleh, ya Nek?” tanyaku pada nenek. “Boleh-boleh saja,” kata nenek sambil tersenyum. Akhirnya kami berdua pamit pulang. Sesampainya di ru- mah, aku langsung teriak. “Kakek…” teriakku menghampiri kakek. “Apa, Nduk, kok teriak-teriak, kamu pikir kakek tuli apa?” kata kakek cemberut. “Ini, Kek, cucumu dapat pekerjaan dari Bu Ayu buat bantu- bantu jualan soto di SMA N 1 Bantul, jadinya kegirangan,” kata nenek bahagia. “Wong meriang kok senang,” kata kakek nyleneh. “Aduh, Kakek. Ada berita penting malah pikun,” kataku. “Eh kamu ini meledek kakeknya sendiri pikun,” kata kakek sambil bercanda mengangkat cangkul. Aku berlari masuk ke dalam rumah diiringi tawa terbahak- bahak nenek. Kakek memang sudah pikun, tapi kalau aku bilang “kakek pikun” pasti kakek dengar, memang aneh bin ajaib. Akhirnya 34
Langit Merah nenek menjelaskan semuanya pada kakek, dan kakek pun bahagia mendengarnya. Pagi tak secerah biasanya, matahari tersembunyi dibalik awan diiringi gerimis yang mengguyur dataran pesisir Pantai Tri- sik. Untunglah semua pekerjaan sudah selesai, dari mulai sholat, menata tempat tidur, beres-beres, cuci baju, sampai memasak. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja. Sekitar pukul 07.30 Bu Ayu sudah membunyikan klakson mobilnya di depan rumahku. Aku langsung berpamitan pada kakek dan nenek. Mereka berdua tersenyum memandangi langkahku. “Ayo Dik Sinta,” teriak Bu Ayu memanggilku. “Iya, Bu,” jawabku sambil berlari. “Mari… mari,” kata Bu Ayu pada kakek dan nenekku. Aku duduk disamping Bu Ayu. Pintu mobil sudah kututup rapat dan kami langsung tancap. Di kursi belakangku sudah penuh perlengkapan untuk jualan soto di kantin SMA N 1 Bantul nanti. Mobil terus melaju melewati jembatan Kali Progo yang megah. Arusnya cukup deras diiringi gerimis yang tak henti-hentinya mengguyur. Beberapa menit kemudian, sampailah kami di SMA N 1 Bantul. Aku dan Bu Ayu turun dari mobil, lalu membawa perlengkapan masuk kantin. Suasana KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) sangat terasa. Ketika aku berjalan, aku bertemu dengan seorang siswa laki-laki, sepertinya dia kelas 2 SMA pikirku. Tapi yang tak kuduga, dia menyapaku. Maka langkahku terhenti se- jenak. “Ikut ibunya jualan di kantin, Dik?” tanyanya. “Iya saya memang ikut jualan di kantin, tetapi ibu itu bukan ibu saya, beliau tetangga saya,” jawabku ramah. “Ya udah, sampai jumpa lagi,” katanya sambil tersenyum berlalu. Sambil terus berjalan menuju kantin aku tersenyum sendirian. “Dik Sinta, sudah selesai?” tanya Bu Ayu. “Sudah, Bu Ayu, tinggal menata di meja,” jawabku. 35
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 Semuanya telah tertata rapi dan bersih, bahan telah siap, tinggal masak saja. Tepat pukul 09.15 terdengar suara bel, tet… tet… tet… . Kantin mulai ramai, aku dan Bu Ayu sibuk melayani pesanan. “Dik… eh, Mbak, eh, Dik apalah, soto 4, es jeruk 2, es teh 2, ya!” kata laki-laki yang menyapaku tadi pagi. “Ya sebentar,” jawabku. Dengan cekatan aku menyiapkan semuanya, lalu dengan cepat kuantarkan ke meja. Hatiku lagi-lagi berdebar, aku sendiri tak tahu apa yang sedang aku rasa. Dengan hati-hati ku letakkan semuanya. “Wah, Dik, ikut The Promotor aja, mirip banget lo sama Rianti Catwright,” celoteh laki-laki di sebelah kananku. Aku hanya tersenyum sambil berlalu. “Eh, Dik, eh ,Mbak, nama saya Rama, kamu?” tanya laki- laki yang tadi pagi. “Sinta,” jawabku lembut sambil tersenyum. “Cie… cie… Rama…,” sorak tiga orang laki-laki di dekat Rama. Kulihat kak Rama menunduk dengan muka merah, mungkin dia malu. Hatiku berbunga-bunga, bahagia sekali. Dalam angan- ku penuh imajinasi tentang seorang Rama yang bertemu dengan Sinta dalam cerita Ramayana. Rama adalah seorang pangeran tampan yang bersifat ksatria dan dia sangat setia pada istrinya yaitu Sinta. Begitu pula dengan Sinta, seorang putri yang berparas cantik, lemah-lembut dan berhati mulia sehingga banyak pujang- ga yang memperebutkannya di masa lalu, tapi akhirnya dia ber- satu dengan Rama. Kutepis anganku, kulanjutkan pekerjaanku bel berbunyi kembali te… tet… tet… .Bu Ayu sibuk menerima uang dari pem- beli, sementara aku sibuk membereskan mangkuk dan gelas. Beberapa waktu kemudian. “Akhirnya selesai juga, oh iya Sinta mau jalan-jalan sebentar, ya biar lebih tahu. Boleh, kan Bu Ayu?” tanyaku. “Boleh,” jawab Bu Ayu mengizinkan. 36
Langit Merah Aku berjalan berjalan menyusuri kelas. Kulihat anak-anak sebayaku sekolah, ingin rasanya bisa seperti mereka. Langkahku terhenti pada sebuah Kelas Sejarah, aku terpana menyaksikan guru laki-laki yang memakai topeng para pahlawan. Ada Kapiten Pattimura, Cut Nyak Dien, R.A. Kartini, dan juga Jendral Sudirman. Semua wajah pahlawan-pahlawan itu tak asing buatku. Aku melihat dari balik jendela, aku memperhatikan pela- jaran. Saat guru itu melontarkan pertanyaan, “Siapa nama suami R.A.Kartini?” siswanya tercengang. Aku berpikir apakah tak ada yang tahu bahwa namanya R.M. Adipati Arya Singgih Djojo Adi- ningrat. Dalam benakku aku ingin menjawab tapi di lain sisi aku bukan siswa di sekolah ini. Guru itu perlahan memperhatikanku, tetapi dia tidak menyuruhku untuk pergi, dia tersenyum padaku, lalu ku balas senyumnya. “Ayo siapa?” tanyanya lagi. “Raden Mas Adipati Arya Singgih Djojo Adiningrat,” jawab- ku lantang. Semua mata tertuju padaku, ya ampun aku malu bukan kepa- lang, rasanya aku ingin menghilang seketika itu tapi mana mung- kin. “Nah itu ada yang bisa,” kata pak guru itu memujiku. Aku tercengang, beliau malah memujiku, kupikir aku akan diusir karena telah mengganggu kegiatan KBM tapi ternyata tidak. “Siapa namamu, Nak?” tanya guru itu ramah. “Sinta, Pak. Maaf saya mengganggu,” jawabku dengan takut. Aku meninggalkan kelas itu dengan perasaan malu. Saat sampai di depan perpustakaan aku terhenti, kulihat papan peng- umuman warna biru menarik. Ternyata Minggu depan ada lomba Cerdas Cermat Sejarah untuk SMA kelas X. “Seandainya aku,” khayalku karena aku sangat menyukai pelajaran sejarah. Bel berbunyi kembali, aku dan Bu Ayu sibuk bekerja dengan semangat. Tak terasa jam menunjukkan pukul 14.00. Semua telah beres, aku bersiap pulang. 37
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 “Udah selesai beres-beres, kan Dik Sinta?” tanya Bu Ayu. “Udah, Bu,” jawabku. Aku dan Bu Ayu telah selesai memasukkan perlengkapan ke dalam mobil. Aku langsung duduk di samping Bu Ayu. Mobil pun melaju. Lega rasanya dapat melewati hari pertama kerja. Se- sampainya di rumah. “Assalamualaikum,” sapaku ke dalam rumah. “Waalaikumsalam,” jawab kakek dan nenek dari dapur. “Sudah pulang, Nduk?” tanya kakek. “Udah, Kek,” jawabku sambil tersenyum, gimana nggak tersenyum, aku kan udah di rumah masak masih ditanya udah pulang belum. “Sholat terus makan dulu sana,” kata nenek. “Ya udah, Sinta sholat dulu ya,” kataku sambil meninggal- kan kakek dan nenek yang sibuk menggoreng rempeyek di dapur. Usai sholat dan makan, kuceritakan semua kejadian hari ini pada nenek dan kakek. Mereka tertawa terbahak-bahak saat tahu kalau aku ngintip pelajaran di ruang sejarah. Tetapi kakek dan nenekku bangga karena walaupun aku putus sekolah, aku tetap bersemangat untuk bekerja dan belajar. *** Kukuruyuk…. Pagi-pagi sekali ayam jago sudah berkokok membangunkan setiap orang yang mendengarnya. Hawa dingin menusuk-nusuk kulit, deburan ombak terdengar keras, pesona pantai Trisik sudah terbuka kembali. Aku bangun begitu pula nenek dan kakek. Kami bertiga melakukan aktivitas masing-masing. Tepat pukul 07.30 kami bertiga telah menyelesaikan semua pekerjaan. Halaman rumah telah kubersihkan, semua ruangan tertata rapi, pakaian telah terjemur, dan tentunya sudah sarapan pagi. Suara mobil Bu Ayu sudah terdengar. “Sinta kerja dulu, ya Kek, Nek,” pamitku. “Hati-hati, ya Nduk,” pesan kakek. “Iya pasti,” kataku.” 38
Langit Merah Aku melangkah menuju mobil. Kutinggalkan kakek dan ne- nek. Aku berharap hari ini lebih baik dari kemarin. “Semangat kerja,” kata Bu Ayu padaku. “Tentu,” jawabku sambil tersenyum. Begitulah hari-hariku seterusnya, aku selalu bekerja dengan penuh semangat, tapi ada suatu kebiasaan baru yang muncul dalam diriku yaitu mengikuti pelajaran dari balik jendela. Setiap hari aku membawa buku tulis untuk mencatat, aku juga menger- jakan soal, tugas dan PR bahkan lebih awal dari siswa-siswi lain- nya. Hingga pada Minggu berikutnya juga ketika aku sedang mengikuti pelajaran matematika, guru sejarah yang tempo hari memujiku mengajakku bicara. “Rajin sekali. Adik pengen sekolah, ya?” tanya beliau. “Maaf, Pak, saya tidak mengganggu kok, saya cuma ingin belajar!” jawabku. “Tidak usah takut. Saya tidak akan marah kok. Saya butuh bantuanmu,” kata Pak guru. “Bantuan apa, ya Pak?” tanyaku. “Besok pagi kamu maju lomba Cerdas Cermat Sejarah di ting- kat Kabupaten bersama kedua murid saya,” kata bapak itu. Aku kaget bukan main. Ini hal yang tak kuduga dalam hidupku. “Bapak bercanda kan?” tanyaku kaget. “Apanya yang bercanda, saya serius, dari kemarin saya dan guru-guru lainnya selalu memperhatikan kamu, kami lihat sema- ngat belajar kamu tinggi dan kami tahu sebenarnya kamu cerdas tapi sayang harus putus sekolah karena tak punya biaya,” urainya. “Tapi, Pak. Apa Bapak yakin,” tanyaku sedikit takut. “Saya sangat yakin kalau kamu bisa,” jawab bapak itu tegas. “Tapi kenapa Bapak tidak menyuruh murid Bapak. Kenapa saya?” tanyaku “Sebentar lagi kamu juga akan menjadi murid saya,” kata ba- pak itu sambil menggandeng lenganku menuju suatu ruangan. Be- tapa kagetnya aku, di ruangan itu ada guru-guru yang sedang du- duk. Aku takut bukan main. Mula-mula aku dipersilahkan duduk 39
Antologi Cerpen dan Esai Pemenang Lomba Tahun 2010-2011 lalu disuruh mengisi biodata, kemudian guru-guru yang duduk tadi melontarkan beberapa pertanyaan padaku mulai dari mate- matika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, sampai aga- ma. Semua pertanyaan telah kujawab dengan lancar. Setelah se- mua selesai bapak ibu guru memberitahukan bahwa aku diterima sebagai siswa SMA N 1 Bantul tahun ajaran 2009/2010 berkat kemauan kerasku. Ketika itu aku langsung sujud syukur, kujabat tangan semua guru. Sepulangnya dari sekolah kuberitahukan pada nenek dan kakek perihal kejadian tadi, Ya Allah mereka langsung sujud syu- kur dan memelukku. Paginya aku bersama kedua temanku dari SMA N 1 Bantul diantar dengan mobil sekolah untuk mengikuti Lomba Cerdas Cermat Sejarah di Kabupaten Bantul. Lomba berjalan lancar, ke- lompokku menjadi juara 1, kami bertiga mendapatkan piagam kejuaraan, uang pembinaan, dan akan dikirim ke tingkat nasional. Sesampainya di rumah, kuberitahukan pada kakek dan nenek, mereka memelukku dengan tangisan haru begitu pula Bu Ayu yang mengantarkanku. “Ini untuk kakek dan nenek,” kataku sambil terisak tangis. “Ya Allah nduk, terima kasih kamu sudah membuat kakek dan nenekmu ini bangga,” ucap kakek sambil menangis haru. Kini semuanya tak sekedar impian, Allah mendengarkan doaku. Satu pedoman yang selalu ada dalam hati dan jiwaku Where there is a will, there is a way. Aprilia Ningsih, siswa SMA Negeri 1 Lendah, Kulonprogo 40
Langit Merah PELANTUN GENDHING DARI SELATAN Latifatul Khoiriyah Pagi masih berembun ketika aku sampai di sebuah kota nan sejuk di ujung paling selatan Kota Yogyakarta. Dua belas jam ber- diam di bus membuatku pegal. Aku hanya mengandalkan bantal kecil yang kubawa dari rumahku di Jakarta sebagai penumpu ke- pala. Itu saja sebenarnya tak cukup. Tapi, apa boleh buat. Kota Projo Taman Sari. Di kota inilah aku berada sekarang. Bukan tanpa tujuan yang jelas. Aku ingin merasakan kehidupan yang berbeda di sini. Aku ingin setiap kali aku bangun, kudengar cicit burung pipit yang bertengger di dahan pohon mangga. Aku ingin tiap kali kubuka jendela, kulihat sinar matahari pagi yang hangat menusuk di celah-celah daun pohon kelapa. Aku ingin bisa berlarian bebas di pantai-pantainya, bersepeda di jalan-jalan yang teduh oleh pepohonan, pergi ke pasar di pagi buta, dan menaiki bukit-bukitnya yang indah. Aku ingin merasakan kehidupan yang damai, menentramkan diri dari masalah yang menghantam ber- tubi-tubi. Aku tak sendiri di sini. Nenekku ada di sini. Di sebuah desa yang lumayan dekat dengan pantai. Beliau sangat senang ke- tika kuberi kabar bahwa aku akan tinggal bersamanya untuk be- berapa minggu. “Sudah Nenek tunggu dari tadi,” sapanya seraya mencium kedua pipiku ketika aku datang. Ia mendekapku erat sekali. Aku tahu ia rindu karena sudah dua tahun aku tak berkunjung. 41
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302