Keesokan harinya, kemenangan tim Jihan didengar oleh Bu Soimah, guru tari sekolahnya. Bu Soimah menghampiri Jihan dan teman-temannya yang sedang asyik mengobrol di gazebo. “Anak-anak, selamat ya kalian sudah jadi juara,” kata Bu Soimah sambil mengulurkan tangan ke setiap anak. “Terima kasih, Bu,” jawab Jihan sambil menyambut uluran tangan Bu Soimah. “Ibu bangga atas prestasi yang telah kalian raih,” tambah Bu Soimah. “Terima kasih, Bu,” jawab anak-anak serempak. “Oh iya ... bulan depan ada kompetisi tari kreasi baru di Gedung Soemardjito Unsoed lo. Ibu harap kalian mau mewakili sekolah, ya?” pinta Bu Soimah. “Tari kreasi baru? Tari Jawa maksudnya ya, Bu?” tanya Maura. “Iya ... tari Jawa yang dimodifikasi, itu namanya tari kreasi baru,” jelas Bu Soimah. “Maaf, Bu. Saya tidak bisa kalau tari itu,” jawab Jihan sambil meletakkan kedua telapak tangan di dadanya. “Iya, Bu. Tari Jawa lebih susah dari nge-dance, Bu,” ujar Risa. “Nanti Ibu bantu, Han, Sa. Jangan khawatir. Dengar anak- anak, kita kan harus melestarikan budaya kita juga. Masa nge- dance bisa tari Jawa gak bisa? Kalau bukan kita yang melestarikan siapa lagi?” kata Bu Soimah panjang lebar. “Maaf, Bu. Kalau saya tidak bisa, kalau teman-teman yang lain bisa, silahkan,” jawab Jihan. Bu Soimah memandang satu per satu tim Seven Girls Romantic dengan penuh harap, tetapi semua menggelengkan kepala. “Huuft … ya sudah kalau begitu,” jawab Bu Soimah me ninggalkan mereka dengan hati hancur. Setelah Bu Soimah pergi. “Tari Jawa ? Hellooww … Hari gini masih mau nari Jawa. Apa kata dunia ?” tanya Jihan sinis. 90 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“It’s true… Tari Jawa itu buat nenek-nenek, ya minimal emak- emaklah,” tambah Maura yang dijawab tertawaan dari teman- temannya. Beberapa minggu kemudian. “Han, kamu sudah siapkan pertanyaan-pertanyaan untuk wawancara bahasa Inggris, kan ?” tanya Maura khawatir. “Sudah dong. Jihan gitu loh,” jawab Jihan dengan PD-nya. “Siiipp!” kata Maura sambil mengacungkan kedua ibu jari nya ke Jihan. “Sa, kamu bawa jajan yang banyak ya,” pinta Maura. “Asiaaaap!” jawab Risa sambil memperagakan sikap hor mat. Hari yang ditunggu tiba, anak-anak kelas XII berkunjung ke Yogyakarta dalam rangka pelaksanaan ujian praktik Bahasa Inggris. Hari pertama, mereka mengunjungi Candi Borobudur. “Hi, what’s your name “ tanya Jihan dengan fasihnya. “Namaku Monica,” jawab bule. “Kamu bisa ngomong bahasa Indonesia?” tanya Maura heran. “Sedikit-sedikit,” jawab Monica terbata-bata. “Memang kamu sudah lama ya di Indonesia?” tanya Jihan penas aran. “Saya baru delapan bulan di sini,” jawab Monica. “Delapan bulan ?” tanya Jihan, Maura, Risa serempak. Monica hanya mengangguk. “Kamu berasal dari mana ?” tanya Risa. “Australia,” jawab Monica singkat. “Kamu ke sini untuk berwisata atau sekolah?” tanya Jihan semakin penasaran. “Saya kuliah di IKJ,” jawab Monica tersenyum. “Kamu ambil jurusan apa, Mon ?” tanya Maura. “Seni tari,” jawab Monica menggerakkan tangannya mem peragakan tarian. Antologi Cerpen Kebangsaan 91
Jihan dan teman-temannya kaget mendengar jawaban Monica. “Monica, mengapa kamu pilih seni tari ?” tanya Jihan. “Saya suka tari-tari Indonesia. Saya suka tari Jawa dan tari Bali,” terang Monica. “Monica, kenapa kamu suka tari Jawa? Bukannya dance lebih bagus,” kata Maura. “Tidak, menurut aku tari Indonesia, khususnya tari Jawa dan tari Bali sangat bagus dan unik. Tidak ada negara yang mem punyai tarian seperti itu. Kamu beruntung jadi anak Indonesia yang mempunyai banyak kebudayaan unik yang tak ada duanya di dunia ini. Kalau dance kan di negara-negara lain juga ada, tapi kalau tari Jawa dan Bali hanya ada di Indonesia,” jawab Monica panjang lebar. Mendengar jawaban Monica, Jihan dan kawan-kawannya terdiam. Mereka sepertinya sedang merenungkan perkataan Monica. Tak berapa lama, Monica kemudian pamit. Tak lupa mereka berfoto bersama dan diakhiri dengan berjabat tangan. Perjalanan mereka berlanjut ke kraton Yogyakarta. Di sana mereka melihat Monica dan teman-teman bulenya sedang me narikan sebuah tari Jawa yang diiringi oleh gamelan yang di tabuh oleh orang-orang bule juga. Di sana juga ada bule yang sedang belajar membatik. Jihan merasa malu sekali melihat Monica yang bukan orang asli Indonesia tetapi suka dan mau mempelajari tari Jawa, sedangkan ia yang orang Jawa asli malah tidak mau mempelajari budayanya sendiri. Dalam perjalanan pulang, Jihan terngiang-ngiang dengan perkataan Bu Soimah dan Monica. Jihan membenarkan perkataan Bu Soimah bahwa kitalah yang harus melestarikan budaya kita sendiri bukan bangsa lain. Ia harus bangga menjadi anak Indonesia karena Indonesia mempunyai banyak kebudayaan yang unik. 92 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Dalam hati Jihan berjanji, ia akan mempelajari kebudayaan Indonesia khususnya tari Jawa. Ia tak mau kalah dengan bule- bule yang datang ke Indonesia untuk mempelajari kebudayaan Indonesia. *** Antologi Cerpen Kebangsaan 93
Dwi Prasetyanti SAPARAN Menjelang bulan Sapar tiba selalu ada kesibukan luar biasa di desaku. Bulan Sapar dalam penanggalan Jawa adalah saat yang tepat untuk mengadakan Saparan. Ketika aku masih kecil, bulan Sapar selalu dinanti sebagai ba’da atau hari raya. Suasana saparan selalu identik dengan keramaian desa seperti tanggapan wayang, bancaan yang disertai pasar tiban. Saat itu rumah-rumah selalu memasak aneka hidangan, makan an berat, juga camilan sebagai suguhan. Makanan itu selalu disajikan untuk tamu-tamu yang dating. Hampir setiap rumah memb uka pintu lebar-lebar untuk menyambut setiap tamu yang datang. Barangkali suasananya hampir sama dengan Hari Raya Idulfitri, ada silaturahmi, ada hidangan, dan tentu saja ke ramaian desa. Jauh hari sebelum Saparan tiba, para orang tua terutama para ibu sudah mempersiapkan segala sesuatu. Menu terbaik, terlengkap, dan terlezat tentu saja. Aku melihat ibuku tak hanya memasak satu macam masakan, tapi bisa bermacam-macam seperti opor ayam kampung, sambel goreng ampela, gulai kam bing, ayam goreng, empal daging, aneka sayur, dan oseng-oseng yang menggoda selera. Itu menu yang tersaji di meja makan. Menu yang tersaji di ruang tamu beda lagi. Ada aneka kue kering, rangginang, kue basah, tape ketan, manisan dan masih banyak lagi. Tetangga sekitar rumah pun menyajikan aneka menu tak kalah istimewa. Anak-anak dan orang tua akan bergantian, bertandang dari satu rumah ke rumah lain. Menikmati setiap 94 Ini Bangsa Juga Punya Saya
hidangan dan menikmati aneka tontonan setahun sekali. Benak kanak-kanak kami sering berharap andai setiap hari adalah saparan. Sayang kenangan tentang saparan tak selamanya manis. Saat aku mulai beranjak remaja aku tak lagi terlalu menikmati saparan. Bagiku sangat melelahkan. Bayangkan saja aku harus membantu ibu, berpeluh-peluh di dapur. Belum lagi harus menerima tamu yang terus berdatangan dari pagi usai tahlil dan bancaan di mesjid sampai larut malam. Aku tak terlalu menik mati karena tamu yang datang tak semua kukenal. Aku melihat orang tuaku nampak sumringah setiap kali menyambut tamu datang. Gurat kelelahan tak pernah memudarkan senyum di wajah mereka. Ibuku sering berkata, “Tamu itu datang membawa rezeki bagi keluarga kita. Se makin banyak tamu yang datang berarti rezeki kita akan sema kin berlipat.” Aku tak berani membantah kata-kata ibu, meski dalam hati aku tak sepenuhnya membenarkan semua kata-kata ibu. Rezeki apa? Justru kita yang harus keluar uang banyak untuk menjamu mereka. Belum capeknya, repotnya, huh andai Saparan tak pernah ada. Aku sibuk mengeluh dalam hati. Beruntung saat ini aku sudah duduk di bangku SMA. Karena banyak pertimbangan tertentu, aku sekolah di kota. Sekolahku adalah sekolah swasta terbaik di kota ini. Teman-temanku banyak yang berasal dari luar kota, bahkan luar pulau. Bisa dibilang sekolahku adalah Indonesia mini. Berinteraksi dengan mere ka sungguh membawa pengalaman tersendiri untukku. Peng alaman berinteraksi tak hanya di sekolah. Beberapa dari mereka tinggal satu kos denganku. Karena jarak tempat tinggal dan sekolahku lumayan jauh, akhirnya aku indekos sendiri. Hidup bersama dengan teman yang memiliki latar belakang berbeda, membuat kami belajar menghargai satu sama lain. Temanku ada yang berasal dari Sulawesi, Kalimantan, bahkan ada juga Antologi Cerpen Kebangsaan 95
yang berasal dari Papua. Meski teman-temanku memiliki latar belakang budaya yang berbeda, tapi aku melihat semangat yang sama dari diri mereka yaitu semangat belajar untuk membangun daerah mereka. Seperti yang diceritakan Mieke temanku yang berasal dari Papua. “Kami bisa sekolah di sini karena mendapat beasiswa dari pemerintah daerah. Beasiswa tak hanya sampai tingkat SMA bahkan sampai jenjang perguruan tinggi nanti. Kami tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Kami akan rajin menuntut ilmu, lalu pulang membangun daerah kami. Tanah Papua tercinta.” Ah, kadang terselip rasa malu melihat semangat juang mere ka. Aku tak memiliki cita-cita setinggi itu. Semangatku belajar hanya berkisar untuk masa depan pribadi tak pernah terlintas untuk membangun negeri. Aku juga merasa pengorbananku tak sebanding dengan mereka. Setiap bulan bahkan setiap minggu aku bisa pulang ke rumah. Bertemu dan berkumpul dengan keluar gaku. Sementara teman-temanku yang berasal dari luar Jawa harus menanggung kerinduan bertahun-tahun untuk dapat bertemu dan berkumpul dengan keluarga mereka di kampung halaman. Sabtu ini adalah jatahku untuk pulang ke rumah. Ibu sudah wanti-wanti, Jumat sore aku sudah harus pulang. “Sabtu besok desa kita Saparan, Jumat sore kamu harus pulang. Bantu-bantu Ibu masak.” Ah, mendengar kata Saparan mendadak hatiku merasa enggan. Bayangan kerepotan, juga hiburan yang tak lagi menarik membuatku ingin menyiapkan alasan agar aku tidak pulang. Jika dulu sewaktu kecil, Wayang, Jathilan, Topeng Ireng, adalah hiburan yang selalu kunanti. Kini setelah tinggal di kota, hiburan itu tak lagi menarik. Banyak acara hiburan yang lebih menarik hati di kota. Kerisauanku ternyata ditangkap oleh Mieke. “Ada apa, Sa? Dari tadi aku melihatmu gelisah.” “Ini, Mik. Jumat besok Ibu memintaku pulang. Aku rasanya malas, pengen di sini saja.” 96 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“Lho, memangnya ada apa? Aku saja ingin pulang tak bisa- bisa, selain jauh ongkosnya juga terlalu mahal.” “Ya juga sih, aku malas Mik. Sabtu ini di desaku ada acara Saparan. Capek membayangkan kerepotannya.” “Memangnya Saparan itu seperti apa?” Aku lalu menceritakan acara Saparan di desaku, Mieke memp erhatikan dengan seksama. Tak disangka Mieke justru antusias ingin melihat acara saparan di desaku. Tak hanya Mieke ternyata teman-teman yang lain juga ingin ikut mudik ke desa ku. Jadilah kami berlima aku, Mieke, Tania, Nada, Lisa, pulang ke rumah sepulang sekolah. Kami menaiki bus jurusan Magelang. Desaku terletak di lereng gunung Merbabu. Tradisi Saparan sudah lama dilaksana kan di desa-desa yang terletak di sekitar lereng Merbabu. Tak harus di hari yang sama, bisa di hari yang lain tapi masih di bulan Sapar. Penentuan hari Saparan biasanya ditentukan oleh para sesepuh desa. Kami menikmati perjalanan dengan hati riang. Pemandangan di sekitar lereng Merbabu memang sangat indah. Jalanan yang berkelok seperti ular, gunung yang menjulang, perkebunan sayur, tanaman hias dan buah-buahan nyaris selalu ada di ping gir jalan. Teman-temanku juga mengagumi keindahan alam Indonesia. Mereka bercerita tentang keindahan di daerah mereka masing-masing, pedalaman Kalimantan, hutan dan sungai yang mem anjang, birunya laut Sulawesi, indahnya puncak Jaya Wijaya. Tak terasa bus yang kami tumpangi sampai di pangkalan ojek desa Batur. Kami meneruskan perjalanan dengan menaiki ojek. Sampai di rumah, menjelang petang. Bapak dan Ibu me nyambut kami dengan gembira. “Wah, hari ini anak perempuan Ibu ada lima. Ada yang mau membantu Ibu memasak di dapur?” Antologi Cerpen Kebangsaan 97
“Mauuu ...,” jawab mereka serentak. Mendengar jawaban teman-temanku aku langsung cemberut. Malam itu usai me nyantap makan malam, teman-teman membantu Ibu di dapur. Ada yang memarut kelapa, mengaduk gulai, membungkus madu mongso yaitu makanan yang terbuat dari wajik ketan yang difermentasi seperti tape. Aku sendiri mendapat tugas meng goreng keripik labu. Labu kuning atau kami biasa menyebutnya waluh adalah tanaman pangan yang banyak tumbuh di desaku. Pada awalnya waluh hanya dibuat kolak, tapi lambat laun waluh dikreasi menjadi keripik, bolu, dodol, dan banyak lagi. Teman-temanku dengan semangat mencicipi makanan khas yang tidak pernah mereka temui di daerahnya. Udara dingin yang menusuk sampai tulang terasa hangat dengan kesibukan di dapur. Dapur atau pawon begitu kami biasa menyebut, selain menggunakan kompor juga menggunakan tungku sebagai bahan bakar. Memasak dengan kayu bakar selain mengeluarkan aroma makanan yang sedap, juga berfungsi menghangatkan tubuh. Api kayu yang besar juga membuat makanan cepat matang. Pagi hari yang cerah, kami bergegas pergi ke makam. Acara Saparan biasanya didahului dengan bersih-bersih makam, lalu memanjatkan doa bersama. Setelah itu kami menggelar doa kemb ali di Masjid. Usai berdoa kami menikmati nasi bancaan yang terdiri dari nasi gudangan lengkap dengan telur rebus, remp eyek teri, tempe goreng, sayuran dan sambal kelapa yang lezat. Usai menikmati bancaan, kami bersiap menerima tamu di rumah. Tamu mulai berdatangan dari desa lain, kami sibuk melayani tamu. Ada tradisi unik dari Saparan, setiap tamu yang datang wajib menikmati hidangan yang disajikan. Tamu juga berk eliling dari satu rumah ke rumah yang lain. Tamu tak harus kenal dengan tuan rumah. Semua berhak dijamu, dihargai sebab ada kepercayaan yang melekat kuat, tamu itu sumber rezeki dan kebahagiaan. 98 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Teman-temanku menikmati acara saparan di desaku dengan perasaan riang. Mereka juga kagum dengan keramahan warga desa, sifat dermawan, dan gotong royong yang begitu kuat. Setiap daerah memang menyimpan tradisi dan kebudayaan yang luar biasa. Indonesia tak hanya kaya dengan hasil yang melimpah tapi juga tradisi dan kebudayaan yang membentuk karakter manusia Indonesia. Seharian ini selain bertamu kami juga menikmati hiburan yang ada di desa. Seperti pertunjukan Wayang Kulit, Topeng Ireng, dan Jathilan. Minggu pagi kami terbangun dengan perasaan riang. Wangi nasi jagung menyeruap menggelitik hidung kami. Menikmati sarapan nasi jagung, teh gula aren, jadah goreng, dan madu mongs o. Di sela sarapan teman-temanku banyak bertanya ten tang tradisi Saparan kepada orang tuaku. “Pada awalnya Saparan itu adalah tradisi untuk bersedekah agar terhindar dari bencana. Sedekah dan menerima tamu yang datang siapapun itu selain mendatangkan rezeki juga membawa kerukunan dan kedamaian. Kalian melihat sendiri bagaimana warga bergotong royong, menyambut tamu yang datang baik dari satu desa maupun desa lain. Seringkali kerukunan terusik oleh kesalah pahaman. Dengan adanya Saparan merekatkan kemb ali tali kerukunan antar warga, dari satu desa maupun desa lain. Warga asli dengan pendatang.” Bapak menjelaskan makna Saparan dengan sangat jelas. Teman-temanku juga bercerita bagaimana konflik yang sering terjadi di daerah mereka karena kesalahpahaman antara warga asli dan pendatang yang seharusnya tak perlu terjadi. Sebenarnya banyak upaya untuk merekatkan kembali tali kerukunan karena bagaimana pun juga kita adalah satu kesatuan. Aku bersyukur terlahir di Indonesia, negeri yang penuh keragaman. Aku ber syukur menjadi warga Indonesia yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi sebagai warisan budaya yang tak ternilai. Kedatangan teman-temanku di acara Saparan tahun ini membawa Antologi Cerpen Kebangsaan 99
kesadaran baru bagiku. Rasa lelah, materi yang harus dikeluarkan tak sebanding dengan kebahagiaan yang dirasakan, dan tentunya membawa kedamaian, kerukunan, persatuan bagi kami sebagai bagian dari masyarakat. Melihat perubahanku, Mieke tersenyum menggodaku. “Jadi bagaimana Sa? Masih males pulang karena saparan? Kalau kamu tidak mau, biar kami saja yang jadi anak Bapak dan Ibumu sekaligus mendaftar menjadi warga desa sini.” Tawa kami berderai mendengar guraan Mieke. Ah, Saparan … semoga aku bisa berjumpa kembali denganmu di tahun-tahun yang akan datang. Semoga tradisi ini tetap lestari meski zaman terus berubah. *** 100 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Gunawan Budi Susanto YANG MELAWAN DARI SEBUAH MAKAM Seorang mantan serdadu Belanda, yang alih profesi jadi juru warta, suatu kali meliput Perang Aceh. Sepenuh kekaguman dia melaporkan, pada 11 November 1902, di Gam pong Biheu antara Sigli dan Padang Tiji, pasukan marsose berpatroli rutin. Belasan personel marsose di bawah komando T.J. Veltman itu menyusuri jalanan di Biheu dengan senjata lengkap; karaben dan kelewang. Di sebuah persimpangan, mereka memapasi seorang perem puan. Seorang marsose curiga melihat sesuatu menyembul di balik sarung perempuan itu. Dia menyuruh perempuan itu berhenti. Saat dia hendak menggeledah, perempuan itu meng hunus sebilah rencong dari balik sarung. “Mati kau jika menyentuh tubuhku!” seru perempuan itu. Lalu dia pun melabrak pasukan itu. Namun dia terkulai dengan dua tetakan kelewang di kepala, dua di bahu, dan satu di otot tumit hingga putus. Dia rubuh bersimbah darah dengan tangan kanan erat menggenggam rencong. Namun, dia tak me nyerah. Serdadu itu hendak membunuhnya. Namun, sang koman dan mencegah. Pasukan pun melanjutkan patroli, membiarkan perempuan itu terkapar. Keluarganya menemukan dan mengobati dia. Beberapa hari berikutnya, marsose menemukan dia di balik tumpukan pakaian rombeng di rumah seorang penduduk.* 101Antologi Cerpen Kebangsaan
Penguasa jajahan menangkap dan membuang dia ribuan kilometer dari tanah kelahiran ke sebuah kota kecil yang di kelilingi hutan jati terbaik sedunia. Dialah yang meminta, lantar an tahu di sana hidup sekelompok orang yang secara gigih, tanpa kekerasan, melawan penguasa jajahan. Kota dengan pen duduk yang selalu dirundung kemiskinan. Kota yang selalu seperti kehilangan harapan – tetapi lalu muncul seseorang yang menyebut diri Panembahan Herucakra yang mengobarkan perlawanan tanpa senjata. Di tanah asal, dia panglima perang. Panglima yang tak per nah tunduk, tak pernah takluk, di hadapan karaben, bayonet, kelewang tajam penjajah berkulit putih, berhidung panjang, berambut merah. Namun, kini, dia tak lagi berada di kelebatan hutan belan tara di tanah tercinta. Kini, dia berada di sebuah kota di tengah kelebatan hutan jati yang belum dia ketahui tabiat dan watak penghuninya. Dia hanya boleh bepergian tak jauh dari rumah yang disediakan penguasa jajahan – yang khawatir dia bakal memengaruhi siapa saja untuk angkat senjata. Bahkan penguasa jajahan pun masih sibuk mencari cara menjinakkan dia. Bukan lewat jalan kekerasan, melainkan siasat yang melembutkan: perkawinan! Ya, mereka berupaya agar sang panglima menikah kembali dengan entah siapa, yang belum bisa mereka tentukan – agar tak lagi bermimpi tentang kemerdekaan bagi tanah tercinta karena kemerdekaan pribadi pun kelak sirna justru dalam mahligai rumah tangga. Mereka berupaya mengubah dia menjadi perempuan sebenar-benar betina – yang hanya melahirkan anak tanpa perlu jadi pahlawan bagi siapa pun. Namun gagal. Dia bisa dikalahkan dan ditangkap lantaran pengkhianatan sang suami. Dia dibuang bersama seorang kerabat dan seorang putra yang setia mendampingi melawan perampok kekayaan 102 Ini Bangsa Juga Punya Saya
dan kesucian tanah kelahiran. Putra sulungnya sudah lebih dulu dibuang ke Tondano, Sulawesi. Kini, di tanah yang gersang, di dalam rumah yang selalu diintip telik sandi, dia hidup tanpa pernah tahu: kapan bisa angkat senjata kembali di kelindapan hutan belantara di ujung barat laut negeri kepulauan ini. Di rumah itulah dia tinggal bersama anak hasil pernikahan dengan lelaki yang tak cuma mengkhianati dia. Namun mengkhianati pula tanah suci yang diperuntukkan Allah bagi mereka. “Betapa tega Abu mengkhianati kita, Ma,” ujar sang putra. “Dia pengecut keji, Nak! Tak perlu kausebut dan ingat dia lagi!” sahut dia. “Ya. Dia tak layak saya ingat lagi, Ma,” sahut sang anak. “Camkan Putraku, kita tak pernah menyerah. Kita kalah, tetapi tak pernah menyerah. Sampai kapan pun, Putraku, kita harus terus berlawan!” “Bagaimana mesti melawan, Ma? Sedang kini cuma tubuh milik kita?” “Kita punya pikiran, kita punya hati. Itulah senjata kita!” Begitulah, dia menolak setiap lelaki yang disodorkan peme rintah jajahan. Dia menolak jatuh cinta. Dia tahu, siapa pun lelaki itu adalah umpan, jebakan, agar dia tunduk dalam siasat jahat penguasa. “Tak tersisa celah sesempit apa pun di hatiku bagi kehadiran lelaki. Cintaku telah kulunaskan bagi kejayaan negeriku. Cinta ku pada lelaki melenyap sudah bersama pengkhianatan. Siapa pun hendak merebut hatiku hanya akan beroleh empedu. Siap kah Anda menelan kepahitan dan kenyerian itu?” Tetak sang perempuan kepada setiap lelaki yang datang silih berganti. Para lelaki pun terbirit-birit, serupa anjing yang mengempit ekor di selangkangan. Melesat tanpa mendengking, tanpa me nguik. 103Antologi Cerpen Kebangsaan
Menghadapi jalan buntu, penguasa jajahan mengubah siasat. Mereka sibuk menelisik, mencari, lalu berupa mempertemukan gadis – anak pegawai kolonial dan priayi terpilih -- dengan putra sang panglima. Sang putra jatuh cinta pada seorang gadis – cantik, cerdas, dan perwira. Mereka menikah. Berhasilkah siasat penjinakan itu? *** Perempuan perkasa itu wafat 20 September 1937. Sang Gagah Berani, julukan dari Veltman, dimakamkan di tanah penga singan. Makam itu selalu dijaga sang cucu, Marko – nama yang dia mbil dari seorang digulis. Gambaran sang nenek dengan kaki terpincang-pincang terus melawan penjajah tak lekang dari benak Marko. Ya, be tapa mungkin dia menghapus kepahlawanan sang nenek dari ingatan? Itu pula yang membuat dia sadar, sekali melenceng dari jalan kebenaran, dia bagai menetakkan kembali pengkhianatan pada sang nenek. Kini, dia tak lagi muda. Namun masih setia menunggui makam neneknya, sejak berpuluh tahun lalu. Apa yang membuat dia bersiteguh? Ketika berkesempatan pergi ke kota kecil itu, aku pun me nelisik kebenaran kabar tersebut. Setelah bertanya kian-kemari, aku menjumpai dia di pekuburan tua di tepian kota. “Teuku, maaf mengganggu. Jika tak keberatan, saya ingin berbincang,” ujarku pada lelaki sepuh yang masih pengkuh itu. Dia melengak, menatap tajam. Angin berkesiur. Cecerowet burung melenyap. Daun bambu berkeresik diterpa angin. Aku berdebar, menunggu. “Apa yang ingin kauketahui, Nak?” tanya dia. Suaranya dalam, menggeletar. “Apa yang Anda lawan dengan berdiam diri di makam?” “Kau tahu, makam siapakah ini?” “Nenek Anda.” 104 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“Siapakah nek inoeng-ku?” “Perempuan perkasa yang tak kenal menyerah.” “Kubur siapakah di sebelah nek inoeng-ku ini?” Aku meng geleng. “Istriku,” lanjut dia, lalu terdiam. Sejenak tatapannya melunak. Perlahan dia berdiri dan me langkah. “Ikuti aku,” ujar dia. Aku bangkit, mengikuti dia ke gubuk di tepian makam. Tak jauh dari pusara kedua perempuan itu. “Duduklah.” * Aku likuran tahun saat bergabung dengan laskar dan ber tempur melawan Belanda. Saat itulah aku bertemu seorang gadis sukarelawan. Eng Hwa Nio. Ketika merdeka, kami menikah. Aku keluar dari ketentaraan, membantu Nio berjualan di toko kelontong di rumah kami. Toko kami ramai. Sayang, kami tak dikarunia anak. Di samping toko ada ruang kosong yang acap digunakan kawan-kawan Nio bertemu dan berapat. Akhirnya ruang itu jadi sekretariat organisasi mereka. Mereka berkehendak membaur, menjadi bagian tak terpisahkan dari bangsa dan negara ini. Pem bauran tanpa kehilangan karakter dan ciri kultural. Itu mereka tunjukkan antara lain lewat ketidaksediaan mengubah nama. Bukankah itu bagian dari keragaman kekayaan kita? Mungkin karena sikap itulah, berbelas tahun setelah Belanda mengakui kedaulatan negeri kita, rumah kami didobrak. Toko kami dijarah, istriku ditangkap dan ditahan. Dia meninggal di tahanan tanpa pernah diajukan ke pengadilan. Rumah kami disita dan dijadikan markas militer sampai seka rang. Aku terusir dan kembali ke rumah keluarga peninggalan nek inoeng-ku. Ketika penguasa berganti, aku menuntut pengem balian rumah itu lewat pengadilan dan meminta ganti rugi atas penjarahan toko kami. Namun apa yang terjadi? Aku diintimi 105Antologi Cerpen Kebangsaan
dasi tak henti-henti. Aku tak peduli. Rumah itu hakku. Hak yang kuperoleh secara sah lewat perkawinan dengan Nio yang menerima warisan dari orang tuanya. Aku kalah di pengadilan tingkat pertama. Aku banding, tetapi lagi-lagi kalah. Aku mengajukan kasasi. Menang! Jadi seharusn ya rumah itu dikembalikan bukan? Namun tidak! Bukan itu yang terjadi. Nah, apalagi yang mesti kulakukan untuk mem perjuangkan hak? Aku sudah tua. Kini, tak ada lagi yang kutakutkan. Hak tetap hak. Mesti kurebut, kuperjuangkan. Karena itu, hampir dua puluh tahun sudah aku tinggal di makam ini. Inilah perlawananku. Perlawanan diam. Aku mengukuhi amanat Nek Inoeng; pantang menyerah melawan ketidakadilan dan kebengisan. Secara hu kum aku menang, tetapi ternyata itu tak cukup. Inilah yang bisa kulakukan. Meski berdiam diri, aku tetap melawan. Sampai kapan? Aku tak tahu. Jika aku mati di sini, itulah takdirku. Namun tak perlu berlebihan memaknai perlawananku. Ini tak sebanding dengan perlawanan Nek Inoeng dan Abu. Aku cuma memperjuangkan hak pribadi. Mereka melawan untuk kepentingan jauh lebih besar, jauh lebih agung! * Di kamar hotel, aku menjublek diam menatap layar laptop. Aku nyaris tak berkedip mengamati foto lelaki tua itu yang sedang menekuri kedua makam perempuan tercinta: sang nenek yang perkasa dan istri tercinta. Aku belum tahu kabar atau kisah macam apa yang bakal kutorehkan. Kabar atau kisah yang tak sekadar mengulang peristiwa yang telah dan sedang terjadi. Aku ingin kisah itu bisa membangkitkan kesadaran pembaca: seseorang harus melakoni hidup secara bermartabat – apa pun jalan yang dipilih dan risiko yang dialami. Aku mengeklik dan muncul foto lain: profil perempuan perkasa dengan tatapan tajam menetak. Aku menatap dengan 106 Ini Bangsa Juga Punya Saya
takzim. Dialah panglima perkasa yang gagah berani, panglima yang tak pernah menyerah. Dialah…. Gebyog, 28 Maret 2017: 18.09 *** *) Terima kasih pada, antara lain, Iskandar Norman, “Inong Aceh di Mata Belanda: Ceubeh”, 09 April 2015, archives.portalsatu.com/histori/inong-aceh-di-mata-belanda- ceubeh/ ; “Pocut Meurah Intan, Sang Ratu Perang”, www.atjehcyber.net, Wednesday, August 17, 2011 21:58 WIB. Kisah gubahan ini saya tulis, setelah membaca dua artikel tersebut, sebagai wujud rasa hormat dan penghargaan kepada sang Gagah Berani. 107Antologi Cerpen Kebangsaan
Gunoto Saparie SANG BAUREKSA Hari sudah sore ketika kapal memasuki Port Jacarta. Bayang-bayang loji Inggris memanjang, separuhnya jatuh di tengah Sungai Ciliwung. Dinding kastil yang menghadap ke barat disepuh sinar kemerahan. Sinyo-sinyo kecil, anak para pembesar kompeni yang tinggal di dalam kastil, menonton datangnya kapal yang ditumpangi Van Rijn dari waterport. Dari tingkat atas generaalhuis, tempat tinggal Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieter Zoon Coen menyaksikan utusannya yang disuruh menghadap Sultan Mataram telah datang. Dia ber harap agar Van Rijn, orang tua yang wataknya memenuhi selera orang Jawa karena kalem dan arifnya, dapat menyelesaikan per soalan yang muncul akibat pembuatan loji di Jepara. Malam hari, di dalam generaalhuis, seperti malam-malam biasanya, menyala berpuluh lampu. Di dinding ruangan utama gedung itu tergantung lambang VOC berupa bendera bulat dengan dua gambar perahu layar. Di dinding lain tergantung sejumlah lukisan yang ditata begitu apik. Dua patung gaya renaisans menghiasi sudut ruangan. Van Rijn pun memaparkan hasil kunjungannya ke Mataram. Dia melaporkan bahwa Raja Mataram telah berganti. Panembahan Mas Jolang telah wafat. Yang menduduki singgasana adalah putranya, Raden Mas Rangsang. Ia kemudian berganti nama menjadi Sultan Agung Hanyakrakusuma. Akan tetapi, Sultan Agung agaknya memiliki watak keras. Arah kebijakannya masih merupakan teka-teki. 108 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“Tidak ada penjelasan resmi, apakah hubungan dengan VOC akan dilanjutkan. Sultan Agung bahkan tidak mau menerima utusan kompeni. Yang mengherankan, menurut suara-suara rakyat kecil di Jepara, konon Sutan telah mengangkat Bouraxa menjadi Bupati Kendal. Entah Bouraxa mana yang diangkat menjadi bupati? Apakah Bouraxa yang bajak laut itu ataukah Bouraxa lain. Ini tentu saja mengherankan. Mataram adalah sebuah negara yang memelihara tradisi Islam. Tradisi yang haki katn ya sama dengan tradisi Kristen, di mana orang selalu me melihara kebenaran dan mengutuk kejahatan. Oleh karena itu menjadi tanda tanya besar, mengapa Sultan Agung mengangkat seorang bajak laut menjadi bupati?“ “Bouraxa?”, Coen mencoba mengingat-ingat. „Karta, panggil Appolonius Schatte ke mari.“ Karta yang duduk bersila di lantai bangkit memanggil Appolonius. Appolonius tinggal di salah satu rumah di dalam lingkungan tembok kastil. Coen mengambil peta dan menggelar nya di atas meja. Dia menanyakan tempat yang bernama Kendal. “Saya kira Kendal hanya sebuah daerah kecil yang sama sekali tidak mempunyai arti,“ celetuk Pieter Both. “Saya sudah mencari di peta. Nama kota itu tidak ada.” “Mungkinkan daerah itu tempat persembunyian bajak laut? Mungkin Sultan berusaha menjinakkan bajak laut. Semua bajak laut mungkin di lokalisasikan di daerah Kendal dan dikendalikan oleh pemimpinnya yang bernama Bouraxa itu. Ah, kalau begitu Sultan cukup pintar. Dia mengamankan sebuah daerah pesisir dengan memberi wilayah Kendal kepada para pembajak. Hmmm, tetapi mungkin sebutan itu keliru. Tegal mungkin yang dimaksud. Beberapa kali kapal kompeni dicegat oleh bajak laut bersenjata meriam di dekat Tegal,“ kata Coen. Ia ingin keterangan yang lebih jelas dari Van Rijn. “Hal itu sudah saya tanyakan kepada para juru bahasa. Apakah orang pribumi yang menyebut Kendal itu tidak salah? 109Antologi Cerpen Kebangsaan
Apakah yang dimaksud bukan Tegal? Tetapi jawaban yang saya peroleh tegas bahwa Kendal bukanlah Tegal. Kendal merupakan pelabuhan. Kendal ada sendiri. Tegal pun ada sendiri,” ujar Van Rijn sambil memperhatikan jari-jari Coen yang masih sibuk mencari-cari nama Kendal di peta. Akan tetapi, setelah pencarian nama Kendal di peta itu sia- sia, kertas pun digulung. “Saya kira seluruh pantai Jawa sudah dikuasai bajak laut yang bernama Bouraxa. Appolonius sendiri kapalnya dihantam meriam pembajak dekat Madura. Namun saya pikir, kita tidak perlu cemas. Bukankah Sultan Agung tidak mencabut perjanjian yang telah dibuat VOC semasa pemerintahan Mas Jolang? Saya kira Bouraxa, kalau memang benar yang ditunjuk menjadi Bupati Kendal adalah Bouraxa yang bajak laut itu, biar saja. Dia diberi kekuasan di daerah kecil yang sama sekali tidak memiliki arti dalam perdagangan beras,” tandas Coen seraya mengajak Van Rijn dan Pieter Both duduk di kursi yang lain. Appolonius Schatte memberikan salam. Dia langsung duduk di kursi. Pieter Both menuangkan anggur ke gelas kosong yang ada di meja itu. “Raja yang ini rupanya tinggi hati. Mungkin dia tidak mau menerima utusan kompeni karena VOC selalu mengirim utusan. Untuk menyenangkan raja sebaiknya gubernur sendiri yang datang ke Mataram,” ujar Van Rijn. Namun kata-kata Van Rijn ini tidak ditanggapi oleh Pieter Coen. Dia beralih bicara dengan Appolonius. “Kamu mungkin tahu banyak cerita tentang Bouraxa yang pernah menenggelamkan kapalmu itu, Appolonius.” “Sejauh yang saya dengar Bouraxa orang terkenal dan popu ler di pantai utara Jawa. Dia adalah bajak laut yang melindungi perahu pribumi dan membajak kapal-kapal orang kulit putih. Menurut cerita orang pesisir, dia sangat sakti.” 110 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“Alasan apa yang mendorong Sultan Agung mengangkat Bouraxa menjadi Bupati Kendal? Apakah karena kekebalannya? Popularitasnya? Atau karena berani melawan orang kulit putih?” tanya Coen. Akan tetapi, pertanyaan Coen itu tidak terjawab. Coen pun mengangkat gelas dan minum bersama. Anggur itu dibawa kapal yang beberapa hari lalu datang dari Belanda. “Saya akan datang ke Mataram. Kamu ikut saya, Appolo nius,“ kata Coen tiba-tiba. “Maaf, saya masih ingat apa yang dikatakan Patih Singaranu. Dia menginginkan agar kompeni menjalin hubungan baik de ngan penguasa dan rakyat Jepara. Saya kira sebelum masuk ke Mataram, gubernur perlu juga menemui penguasa Jepara. Mungkin dengan jalan begitu kompeni akan menemukan jalan bagaimana cara menjalin hubungan baik dengan masyarakat Jepara. Betul begitu kan, Karta?“ Both menoleh ke arah Karta yang duduk bersila di lantai. Karta hanya meringis, menunjukkan tawa. Sebaris gigi yang tidak termasuk indah terlihat. Karta sebenarnya mau berkata banyak tentang bagaimana menghadapi orang Jawa. Budaya Jawa sangat lain dengan budaya Barat. Masyarakat Jawa terdiri dari beberapa lapis. Ada yang namanya orang pidak pedaraan, yakni orang dari kalangan rendah. Orang tingkat bawah jika berh adapan dengan orang tingkat di atasnya harus berlaku sopan. Misalnya, kalau bicara tidak boleh menunjukkan sesuatu dengan mengacungkan jari telunjuk. Dia harus menunjukkan sesuatu dengan ibu jari dan dengan badan sedikit membungkuk. Jika berdiri biasa, tangannya harus ngapurancang, yaitu tangan dibiarkan terjulur di depan badan. Ujung-ujung tangan yang bertemu harus berpegangan di bawah perut. Selain itu, orang dari tingkat bawah harus bicara memakai krama madya jika menghadapi sesamanya. Kecuali kalau sudah 111Antologi Cerpen Kebangsaan
kenal betul baru boleh memakai bahasa ngoko. Jika yang dihadapi orang di tingkat atasnya harus menggunakan krama inggil. Orang yang tergolong priyayi, jika bercakap dengan sesama priyayi dan sudah akrab biasa menggunakan bahasa ngoko andhap antya basa. Akan tetapi, semua itu hanya aturan kesopanan. Aturan itu bukan berarti orang yang ada di tingkat atas boleh berbuat semau- maunya kepada orang yang berada di tingkat bawah. Jika orang yang berada di tingkat atas memakai bahasa kasar, maka orang yang berada di tingkat bawahnya pun hilang rasa penghargaan kepadanya. Priyayi bicaranya halus dan kehalusannya menjadi teladan bagi orang tingkat bawahnya. Namun, dalam budaya Jawa, bahasa kadang berbeda de ngan makna yang sebenarnya. Kadang ada jawaban “inggih” atau “ya”, tetapi maknanya justru “tidak”. “Mari makan,” ajakan ini biasa diucapkan kepada tamu yang datang persis tengah hari, yaitu waktunya orang makan siang. Jawaban “ya”, bukan ber arti dia setuju diajak makan. Jawaban “ya” bisa berarti hanya bermaksud menyenangkan orang yang memberi tawaran. Dia sendiri merasa tidak pantas kalau menerima ajakan makan itu sebenarnya. “Sudah makan?“ “Sampun. Sudah,“ jawab orang Jawa. Padahal dia sesungguhnya belum makan. Akan tetapi, seperti itulah adat istiadat orang Jawa. Bagi orang Jawa, yang penting adalah angon ulat, yaitu melihat raut muka orang yang diajak bicara. Senang atau tidak kepada lawan bicaranya bisa dilihat dari raut muka. Namun, orang Jawa juga memiliki hubungan dengan makh luk yang tidak kelihatan. Menurut pandangan kejawen, bukan hanya benda hidup saja yang memiliki ruh, benda mati juga memiliki ruh. Keris, tombak, pohon besar, mata air, sungai, laut, desa, menurut kepercayaan orang Jawa, ada yang menjaga, yaitu ruh halus. Coen masih memeriksa peta. Diamatinya dengan cermat peta itu. Coen ingin menjalin hubungan dengan raja Jawa. Raja 112 Ini Bangsa Juga Punya Saya
yang bertahta di Kerajaan Mataram. Dia memeriksa pelabuhan- pelabuhan yang ada di pesisir utara Jawa. Ketika matanya sampai di kota pesisir bernama Jepara Coen berhenti. Dia melihat tempat itu dengan teliti. Orang Belanda yang akan menghadap Raja Mataram menurunkan jangkar di depan Pelabuhan Jepara. Dari Jepara harus menyeberang melalui selat sempit untuk mencapai daratan Pulau Jawa. Dari sana perjalanan ke Mataram bisa ditempuh dengan berkuda. “Apakah benar raja itu tidak dipilih rakyat, tetapi oleh kekua saan yang tak terlihat? Saya makin tidak mengerti pandangan orang Jawa tentang kekuasaan. Orang Barat memandang ke kuasaan abstrak, tetapi orang Jawa menganggap kekuasaan itu justru nyata. Seorang raja katanya mendapat pengesahan dari alam halus untuk menduduki singgasananya. Dia konon mendapat pulung. Siapa yang tidak menerima pulung dia tidak akan kuat duduk di singgasana. Benar begitu, Karta?“ Kata Coen seraya menoleh ke Karta. “Benar, Tuan. Seorang raja harus sanggup duduk di atas singgasana kerajaan. Orang biasa tidak akan mampu duduk di singgasana itu. Orang biasa bisa njungkel kalau berani duduk di atasnya. Oleh karena itu, untuk mendekati singgasana itu para sentana harus berjalan jongkok dan menyembah. Meskipun raja belum hadir.“ “Kelihatannya banyak sekali benda-benda magis yang mengelilingi seorang raja. Singgasana, tombak, payung kebesar an, ya… mungkin di dalam tubuhnya sendiri bersemayam ke saktian. Itu mungkin yang membuat seorang raja sangat di hormati rakyatnya. Biarpun raja memerintah secara absolut, rakyat tidak akan menentang. Padahal orang Barat tahu bahwa tirani sangat dibenci. Bangsa Scot bahkan mengguriskan dalam undang-undangnya bahwa siapa yang memerintah sebagai se orang tiran akan dijatuhi hukuman bunuh. Namun, rakyat Jawa ikut saja kemauan rajanya.“ 113Antologi Cerpen Kebangsaan
Kata-kata Coen segera disahut oleh Both. Pieter Both seakan telah mengetahui permasalahan yang dibicarakan. “Budaya Jawa memiliki komitmen tinggi terhadap keadilan,“ ujar Both. „Raja dianggap sebagai sumber keadilan. Siapa pun yang melaksanakan kekuasaan raja dianggap melaksanakan keadilan. Raja pasti berbuat adil. Raja Jawa selain seorang politikus juga seorang ulama. Seorang pendeta yang tahu sebelum diberi tahu. Bahkan tahu sebelum peristiwanya terjadi. Keinginan rakyat tersalur dari pengetahuan yang dibisikkan oleh alam halus. Setiap mimpi, gejala alam, kejadian, baik yang ada di luar maupun di luar diri manusia, adalah pertanda yang diberikan oleh dunia halus. Dari hal-hal itulah raja mengetahui berbagai peristiwa yang ada di negerinya.“ Coen mendengar kata-kata Both dengan penuh perhatian. “Mungkin pandangan itu sama dengan pandangan Marcus Aurelius di awal Abad Pertengahan,“ katanya. Tukar pendapat itu tidak diperpanjang. Coen meminta kesediaan Appolonius Schatte untuk ikut ke Mataram. Coen sendiri akan menemui Sultan Agung, Raja Mataram yang baru. Kabupaten Kendal batasnya dimulai dari sebelah timur Pekalongan, membentang sampai Pati. Memang, Semarang, Demak, Kudus, Pati, dan Jepara, dulu masuk ke dalam wilayah Kabupaten Kendal. Di Pelabuhan Jepara ditempatkan kapal- kapal meram dari Angkatan Laut Mataram. Jepara adalah daerah penting bagi tamu-tamu Kerajaan Mataram yang akan menghadap Sultan Agung. Bouraxa yang disebut-sebut oleh Coen, Both, dan Appolonius itu ternyata tak lain adalah Baureksa. Baureksa diberi wewenang untuk mengizinkan atau men olak tamu yang akan menghadap Sultan Agung. Pilihan Sultan Agung yang jatuh kepada Baureksa sebagai Bupati Kendal boleh dibilang sangat tepat. Baureksa bukanlah anak kemarin sore. Ia sangat berpengalaman dalam pelayaran dan kemiliteran. Baureksa pernah lama menjadi awak kapal 114 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Portugis. Kapal yang lebih baik peralatannya katimbang kapal- kapal Mataram. Baureksa sendiri dapat membaca peta. Tahu garis bujur dan garis lintang yang dilalui kapal-kapal bila ber layar di laut. Bukan seperti nelayan pribumi yang tidak tahu- menahu soal peta. Mereka hanya tahu soal tanda-tanda alam, seperti gunung-gunung yang ada di darat, atau matahari, atau bintang-bintang dan bulan bila malam tiba. “Kompeni akan membuat loji di Jepara. Saya heran, me ngapa Sinuwun membuka perdagangan beras dengan kompeni,” kata Baureksa sambil melilitkan kain ke tubuhnya. Dia telah mengenakan baju dalam. Rambutnya sudah disisir dan digelung kecil. “Sudah tahu kalau saya ini sangat benci kepada kompeni, lha kok diangkat jadi bupati. Malah diberi wewenang menguasai Jepara, pelabuhan yang oleh Sinuwun diizinkan untuk dagang beras,“ gerutu Baureksa. Srini tersenyum mendengar gerutuan Baureksa. Ia berdiri membantu melilitkan stagen ke pinggang Baureksa. “Kakang Baureksa tak usah menyesal,“ katanya. “Apa saya ini mau dijadikan jangkrik. Mungkin kalau kom peni macam-macam saya akan dikileni, biar saya bertarung me lawan kompeni ya. Tetapi buat apa saya menunggu dikileni. Sinuwun pasti kecele kalau jangkriknya bertarung sendiri di luar sepengetahuan beliau,“ Baureksa tertawa. “Srini tidak rela kalau Kakang dianggap jangkrik. Kakang manusia. Manusia yang sangat saya cintai,“ kata Srini seraya menyelipkan ujung stagen. “Kakang sangat gagah kalau mengenakan pakaian seperti ini. Andaikata pakdhe dan mbokdhe masih di rumah ini tentu mereka akan bangga. Kakang telah menjadi satria seperti yang mereka harapkan. Satria yang berpakaian bagus dan dihormati,“ ujar Srini lagi sambil menepuk-nepuk stagen yang habis dililitkan ke tubuh Baureksa berkeliling. 115Antologi Cerpen Kebangsaan
“Lama-lama saya menyadari jalan yang ditempuh oleh bapak dan simbok. Mereka sudah merasa tua. Mereka memang lebih baik melupakan soal-soal duniawi, agar pikiran mereka bisa wening, bisa eling pada jalan yang akan ditempuh menuju akhirat,“ kata Baureksa seraya mengenakan baju. Lengan baju itu memang terlalu panjang sehingga harus digulung. Srini pun menggulungnya sampai di batas atas siku. “Kalau saya telah melahirkan akan melihat pertapaan mbokdhe dan pakdhe. Sundana akan saya ajak agar dia tahu siapa embah-nya.” Srini selesai menggulung lengan baju Baureksa dengan rapi. Srini agak mundur, melihat kepantasan pakaian yang dikena kan Baureksa. Blangkonnya agaknya kurang serasi. Srini pun membenahinya. “Kakang kan juga utang budi pada perempuan Portugis Isabella itu. Kakang pernah nyekar ke makamnya?“ “Belum.“ “Kakang jangan lupa. Kalau ke Jepara jangan lupa nyekar ke makam Isabella. Biar ruhnya ikut mendoakan kakang,“ kata Srini seraya jongkok di depan Baureksa. Tangannya usil pura- pura memperbaiki wiron kain. Kain itu sebagian dilipat dan sebagia n dijulurkan. Celana yang dipakai Baureksa menjulur sampai di bawah lutut. Baureksa merasa sangat sayang kepada istrinya. Kandungan Srini telah besar. Srini pun dibimbing diajak duduk. Perutnya dielus-elus. “Saya cuma pergi sebentar. Saya akan menunggui kamu babaran. Kira-kira bayi ini perempuan apa laki-laki?” “Kakinya kadang menendang-nendang di sebelah kanan,“ Srini menunjukkan bagian kanan perutnya. “Itu tandanya laki-laki.“ “Kalau laki-laki kakang yang harus memberi nama. Namanya siapa ya, kakang?“ 116 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“Karena kakaknya bernama Sundana, bagaimana kalau adiknya diberi nama Suwandana?“ “Itu nama yang bagus. Kalau sudah dua, cukup ya, kakang? Jangan lagi …“ Baureksa tersenyum dan mengangguk. Srini pun ikut ter senyum senang. Baureksa mencubit hidung Srini. Srini sangat berharap Baureksa menunggui anak kedua mereka lahir. Apalagi saat kelahiran Sundana, Baureksa tidak sempat menunggui karena ada tugas dari kerajaan. *** 117Antologi Cerpen Kebangsaan
Handry TM IBU NEGARA Hari ini adalah Oktober sebagaimana tahun sebelumnya. Setelah sesiang memanas, selepas maghrib langit pun memburam. Mula-mula angin meliuk lamban, merontokkan dedahanan di tepi jalan besar dan mengotori sebagian aspal. Demikianlah ketika awal badai datang. Orang-orang berteriak “hore” di dalam rumah. Lebih dari enam purnama kota ini dikacaukan musim yang keliru. Kini hujan yang dinanti pun turun sesekali. Di sebuah rumah tua namun bersih dan rapi, seorang ibu sedang berbincang bersama anak gadisnya. Ibu itu berpenam pilan sangat sederhana, sopan dan berwibawa. Sambil menatapi luar jendela, si ibu bercerita tentang makna hujan pada putri remajanya. “Sudah hampir setahun menunggu, kita rindu sekali hujan. Namun air berlimpah dari langit ini kerap disia-siakan?” Ia berkata sambil tetap mencermati kucuran hujan di luar jendela. “Ibu Negara, kopi mulai mendingin. Lama-lama Gendhis tidak mau lagi membuatkan kopi,” Gendhis pura-pura marah. “Oalaah, waah ... iya,” jawab Ibu. Segelas kopi di meja, memang sudah sejak tadi mendingin. Kini Ibu menyerutup sececap demi sececap. “Kopi Tenom ini, oleh-oleh Pakdhemu dari Kinabalu.” “Enakkah, Bu?” Gendhis menunggu jawaban sang Ibu. Gurat mata Ibu semakin mengeriput. Sejak kecil Gendhis menggunakan sebutan 118 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Ibu Negara pada ibunya. Keteguhan hati perempuan inilah alasan utamanya. Gendhis membayangkan ibunya serupa Ibu Negara. Sosok perempuan yang kuat dan bijaksana. Hampir tujuh tahun Bapak meninggalkan mereka, dan Ibu Negara mam pu bertahan hidup bersama anak semata wayangnya. “Tujuh tahun lalu Gendhis masih belum genap setahun. Tiba-tiba malam dan kebetulan hujan. Pintu rumah diketuk sejumlah orang. Dari kesatuan mengabarkan, Bapak gugur di daerah konflik.” Kata-kata Ibu Negara sedikit tercekat tanpa air mata. Senyum nya masih senyum matahari. Tansah bersinar dan pemberani. Gendhis pun beringsut agak menyamping. Pasti sedang menyembunyikan isaknya. Bagaimanapun Bapak adalah pelin dung besar di rumah peninggalan orang tuanya ini. Meski sepanjang hidup Gendhis, Bapak cuma sebuah foto kenangan yang tertempel persis di sebelah almari. “Ibu Negara ….” Yang merasa diundang menoleh. Dilihatnya Gendhis juga menyeruput kopi. “Besok kami hendak turun ke jalan lagi. Adakah nasehat untukku?” Sang Ibu tersenyum. Kembali meminum kopinya seraya menyambung, “Siapa lagi yang kalian demo?” “Para wakil rakyat. Kami ingin mempertanyakan kebijakan pendidikan di negeri ini.” “Bukankah itu sudah kalian suarakan dua bulan lalu?” “Tidak ada tanggapan dari mereka. Kami harus bersuara lebih keras lagi.” ‘Ibu Negara’ tersenyum dan tidak bereaksi. “Negara ini seperti dikepung makelar dan para tengkulak. Para mahasiswa geram dibuatnya. Suara kami hanya menguar di udara hampa, tidak sampai ke mana-mana.” Gendhis berdiri, mengambil sesuatu dari rak buku. Memilih sebuah bendel kemudian dibawanya ke meja. 119Antologi Cerpen Kebangsaan
“Kenapa Ibu Negara tersenyum?” protes Gendhis dengan masih membuka lembar buku Future Sock. Pada lembar tertentu Gendhis memberi lipatan. “Ini Ibu …,” Gendhis menunjukkan lipatan untuk dibaca Ibu. “Alfin Toffler bilang, dunia akhirnya mengalami tiga gelom bang besar yang menakjubkan. Yang paling dahsyat adalah Gelombang Ketiga.” Sekilas Ibu Negara kembali tersenyum. “Kenapa tersenyum lagi?” “Jangan paksa Ibu berpikir keras. Tugas Ibu tidak sama sepertimu.” Gendhis bersungut. “Akan terjadi benturan besar di era pasca industri. Benturan sosial budaya luar biasa dahsyat. Pendidikan menjadi gagu kalau tidak mampu teratasi.” Diam sejenak. “Minum dulu kopinya,” kata Ibu Negara. Gendhis tersenyum, menghirup kopi. * Sisa hujan masih tersisa. Pagi-pagi sekali, sejak lepas Subuh, Gendhis mempersiapkan segala keperluannya. Tas punggung berisi dokumentasi ringan, jaket almamater, serta perbekalan. “Ibu Negara, mohon doa,” ucapnya. “Suarakan aspirasimu keras-keras, langsung mundur kalau terjadi pertikaian.” “Seperti yang tahu saja, Ibu Negara.” “Jangan musuhi aparat, sasaran kalian bukan mereka.” Gendhis adalah mahasiswa cantik dengan gerak tubuh ce katan. Memang tidak lemah-gemulai, ia gadis berambut kepang dua yang anggun jelita. Gendhis mengeluarkan sepeda motor dan meninggalkan rumah, keluar gang, menuju jalan raya. Setelah menempuh per 120 Ini Bangsa Juga Punya Saya
jalanan hampir sepuluh kilometer sampailah melewati gerbang besar berbentuk oval. Kerumunan beratus mahasiswa telah terlihat di sana. Beberapa mahasiswa berteriak ke arahnya: “Gendhiiis ! Gendhiiissss !” “Sudah siap semuanya?” tanyanya. “Menunggu dirimu saja. Siapa yang menjadi juru bicara?” ucap seseorang. “Sapa ya?” Gendhis menggoda dalam bahasa Jawa. “Kan komitmennya kamu?” “Ya wis, yaw is, ha ha ha. Yuuk mangkat!” “Horeeee !!” Teriakan serempak meledak seperti kanak- kanak. Beberapa mahasiswa membantu memarkirkan kendara an, Gendhis digelandang berbaris di deret terdepan. “Ngene ya, janji iki,” pesan Genhis. “Piye, piyeee ???” Mereka menimpali. “Kita akan bicara keras pada mereka, tapi jangan terpro vokasi. Begitu ada yang menancing kerusuhan, kita mundur mengamankan barisan. Yang memancing kerusuhan berarti bukan kelompok kita.” “Kalau aparat menyerang?” “Kita mundur dan aku tetap di podium pasang badan.” “Jangan Gendhis. Itu berbahaya, resikonya besar.” Gendhis tersenyum. “Adakah di dalam hidup ini tanpa resi ko? Aku sudah dapat jaminan dari aparat, mereka akan mem bentuk tim rahasia untuk mengamankan kita.” Para mahasiswa itu seperti tidak punya kata-kata. Meng hadapi Gendhis, seperti menghadapi perempuan dengan azimat. Sejak Gendhis memimpin demo, tidak pernah terjadi kerusuhan. “Agam, Bismo, Erick … bisa ikut mengamankan?” “Siap ! Siap, Mbak Gendhis.” “Sekarang kita berangkat. Yel-yelkan dengan teriakan keras!” Ini bukan perintah biasa. Gendhis adalah sosok pemimpin dengan karakter juara. Barisan merapat, tali pengaman disiapkan, 121Antologi Cerpen Kebangsaan
papan dan lembar protes pun dibentangkan. Para mahasiswa berbaris penuh wibawa. Mereka menyuarakan aspirasi tanpa bergurau apa lagi tertawa-tawa. Sebelum barisan sampai di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, tidak satu pun dari mereka memakan perbekalan, apa lagi melempar sampah di jalanan. Mereka terdiri atas mahasiswa yang berdomisili di Jawa Tengah, nama aliansinya Elang Diponegoro. Hampir tiba di Gedung Gubernur dan DPRD. Polisi mem bantu memberikan jalan, namun pintu gedung wakil rakyat di tutup rapat. Barisan terhadang di depan pintu pagar. Para polisi mulai heran, ada sesuatu yang aneh pada barisan ini. Tidak satu pun dari mereka membentangkan spanduk atau papan bertuliskan protes. Mereka takzim berbaris dan berteriak- teriak dalam satu suara “Kita Indonesia !” Plang - plang yang diangkat ke atas, semua bertuliskan: “Kita Indonesia.” Bismo, Ketua Badan Ekekutif Mahasiswa, memasang po dium sederhana di atas mobil bak terbuka. Ia memerintahkan beberapa mahasiswa ikut mendampingi, termasuk Gendhis. Barisan aparat mulai berjaga-jaga. Mereka merapatkan barisan ke depan, satu dua intel mendekati mahasiswa. “Kita Indonesiaaaa !” Ayo teriakkan yel-yel yang keras !!! “Kita Indonesiaa !” “Kita Indonesiaa …!” Matahari mulai terik. Sisa hujan yang semalam tidak mem bekas. Tanah yang membasah, lambat-laun mulai mengering gersang. Ratusan mahasiswa merangsak ke depan. Aparat tak kalah sigap, semakin memperkokoh barisan. Ketua BEM membuka orasi dengan membakar semangat teman-teman. Kini giliran Gendhis bicara dengan megaphone. “Kita akan saling mengingatkan, bahwa ibu kandung dari kemajuan bangsa adalah pendidikan. Di Indonesia, pendidikan mahal luar biasa. Hanya orang-orang berduit yang bisa men jangkaunya. Dunia pendidikan kita telah dikapitalisasi!” 122 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“Betuuul, betuuul!” Suara Gendhis semakin meninggi. “Tolong Bapak-bapak wakil rakyat yang terhormat, perjuangkan aspirasi kami, agar pendidikan tinggi tidak semakin mahal. Kami juga belum perlu rektor asing. Setujuu ???!” “Setujuu !! Hidup Indonesia !” Tiba-tiba serombongan mahasiswa lain datang dan men desak mahasiswa barisan paling depan. Merek mulai melempari podium dan aparat. Para mahasiswa yang baru datang itu ber gerak tidak terkendali. “Hei, dari mana itu? Jangan bikin kerusuhan !” Teriakan Gendhis terkubur oleh gemuruh suara ricuh mahasiswa. Aparat pun maju, kini berhadap-hadapan dengan mahasiswa. Tiba-tiba Gendhis diamankan oleh dua orang. Ia digelandang turun dan dipisahkan dari rombongan. Sementara kekisruhan di depan gerbang tidak terelakkan. Orang tadi berpakaian preman. Gendhis digelandang masuk ke gerbang, menuju ke sebuah ruangan. “Hendak dibawa ke mana ini, Pak?” “Ikuti kami, kamu dalam posisi aman,” kata salah satu dari dua orang itu. Selang beberapa meter, ada seorang lagi yang lebih senior menunggu.“Hebat kau, Nak, silakan masuk,” sapanya dengan nada berat. Begitu di dalam ruang, dua sosok tegap tadi bicara lirih pada seniornya, dan meninggalkan tempat. Kini hanya berdua, Gendhis dan orang serupa aparat senior itu. “Kami aparat, tenanglah, teman-temanmu sedang kami urus,” katanya. “Maaf Pak, saya harus bersama-sama mahasiswa. Saya koordinator mereka. Kalau terjadi apa-apa, saya harus berada di tengah-tengahnya.” 123Antologi Cerpen Kebangsaan
Di dada orang itu terbaca nama Barlianto Vrisaba. Pasti seorang polisi berpangkat tinggi. “Gendhis …” serunya, Gendhis pun terkaget-kaget karena namanya disebut. “Ya Pak.” “Masih ingat pesan Ibu Negaramu, kan? Jangan berbenturan dengan aparat, tapi kenapa kelompokmu menyerang aparat?” “Bukan kelompok kami Pak, mereka datang belakangan, tak tahu mahasiswa dari mana. Kok Bapak tahu panggilan akrab Ibu saya?” Barlianto tersenyum, menunjukkan WhatsApp di telepon genggamnya. Di layar terbaca “Anggraini: Jaga Gendhis ya Bar, awas kamu kalau sampai cidera.” “Bapak mengenal Ibu saya?” “Anggraini, Ibu Negaramu itu, bersahabat dengan saya. Bagas, Almarhum ayahmu, satu SMA dengan saya. Setiap kali kamu turun ke jalan, saya yang repot. Ibumu pesannya berderet- deret agar menjagamu.” Mata Gendhis membulat, tidak percaya kalau Ibu Negara bukan sekadar ibu rumah tangga biasa. “Maafkan saya, Pak. Ibu Negara …eh Ibu saya memang …” “Teruskan panggilan itu. Ibumu memang pantas menjadi Ibu Negara di keluargamu. Dulu ia juga aktivis sepertimu. Bah kan lebih garang lagi, Ibu Negaramu seorang pemberani. Saya, sahabatnya yang ketika itu sudah jadi polisi, sering kebingungan. Bagaimana mungkin harus bertindak keras pada aktivis yang teman sendiri?” “Ibu Negara seorang demonstran juga?” “Apakah tidak pernah bercerita?” Gendhis menggeleng. Akhirnya pembicaraan menjadi ajang nostalgia. Ketika Gendhis menanyakan nasib mahasiswa yang lain, Pak Barlianto menjamin sudah ditenangkan. Demonstrasi 124 Ini Bangsa Juga Punya Saya
berhasil diakhiri, beberapa perwakilan mahasiswa diantar ma suk ke gedung dewan untuk menyampaikan aspirasi. Gendhis lega. Ia akhirnya pamit kepada Pak Barlianto untuk bergabung bersama mahasiswa lainnya. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa melaporkan, sudah berhasil menemui Ketua Dewan, pembicaraan berlangsung keras namun saling pengertian. Gendhis mengusap peluhnya, sambil mencowel kue bekal dari rumah dengan senyum gembira. “Kenapa seperti sedang berbahagia?” “Ternyata Ibu saya bekas seorang demonstran juga.” *** “Ibu Negaraaa !!!!” Belum sampai pintu pekarangan rumah terbuka, Gendhis sudah berteriak-teriak keras. Wajah Ibu menyembul di balik pintu. “Ibu Negara curang, jahat, keji, bengis !” teriak Gendhis. “Memangnya ada apa,” Ibu menjawab sambil membantu membukakan pintu. Gendhis bergegas memeluk dan mencium kuat-kuat Ibunya. “Ternyata Ibu Negaraku seorang demonstran juga. Gendhis bangg a…” bisiknya. Angin berkesiur lembut. Kendaraan dimatikan, pintu ger bang ditutup, keduanya masuk ke rumah sambil Gendhis masih ceriwis bercerita tentang pengalamannya. Semarang, Oktober 2019. *** 125Antologi Cerpen Kebangsaan
Heri Suritno MENENGOK TANAH LELUHUR Kang, akhirnya impianku terkabul. Setelah sekian lama menunggu-nunggu, akhirnya kesampaian juga aku bisa berkunjung ke tanah Jawa, tanah leluhur, tanah kelahiranku. Sungguh sangat mengesankan. Hanya sayang, aku tidak sempat pulang ke Banyumas. Aku tak bisa berkunjung ke mana-mana. Maafkan, aku tidak bisa bersilaturahmi ke rumahmu dan juga tidak bisa menemui sanak saudaraku yang ada di desa. Lalu, mengapa bisa begitu? Apakah memang aku sudah lupa dengan tanah leluhur tempat kelahiranku? Apakah dengan dalih karena kedua orangtuaku sudah tiada? Apakah karena aku sudah tidak punya kerabat dekat sehingga enggan mengunjungi desa tanah leluhurku? Tidak! Bukan seperti itu, Kang! Sungguh, semua orangtua yang masih ada, kuanggap sebagai pengganti orang tuaku. Semua warga yang ada di desa, kuanggap sebagai kerabat dekatku. Ketahuilah, aku memang tidak punya waktu luang. Ke giatank u padat sekali. Aku hanya punya waktu 3 hari di Solo. Setelah itu, aku harus buru-buru pulang. Pulang ke tanah airku yang baru. Dari Solo, seharusnya aku langsung terbang ke Para maribo, Suriname. Karena tak kuasa menahan kangen pada desa tanah leluhurku, aku akhirnya nekat terbang pulang dari Jakarta. Dari Solo aku naik kereta api menuju Jakarta. Dengan harapan, nantinya aku bisa melihat desa tanah leluhurku walaupun hanya menengok lewat jendela kereta. 126 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Kang, aku tak kuasa menahan tetes-tetes air mata saat kereta yang kunaiki melintasi pinggiran desa tanah leluhurku. Aku terpukau memandang hamparan sawah ladang. Di sana, aku melihat para petani sedang giat bekerja. Berbagai jenis tanaman terlihat menghampar dengan rona hijau menyejukkan mata. Ada tanaman padi, jagung, kacang, dan juga tanaman palawija lainnya yang tumbuh subur. Berbagai jenis burung hilir mudik terbang rendah di atasnya. Kelihatan damai sekali hidupnya. Aku juga melihat deretan rumah bagus-bagus di pinggiran desa. Tak menyangka, ternyata kini orang-orang desa hidupnya su dah makmur. Tidak seperti saat aku masih kecil. Sungguh sangat menyenangkan. Ketahuilah, begitu aku melihat desa tanah kelahiranku, ada sesuatu yang sangat menyayat di hati. Aku menjadi teringat kejadian masa lalu. Ada keping-keping kenangan lama yang telah hilang, tiba-tiba kutemukan lagi. Saat itu bulan purnama. Kita berdua sedang duduk-duduk di pinggiran sawah sambil kelatak-keletik makan keripik singkong. Kita berdua kemudian mengikat janji ingin membangun mahligai rumah tangga jika kelak sudah tercapai cita-citanya. Walaupun kejadiannya sudah hampir empat puluhan tahun, aku masih teringat , Kang. Yah, bagaimana lagi, Kang. Kita memang belum berjodoh. Tidak usah menyalahkan siapa-siapa. Bukankah kamu mengerti, saat itu aku pernah dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuaku. Aku dianggap akan mempermalukan keluarga. Sebagai seorang gadis yang mulai beranjak dewasa, aku dianggap terlalu lancang karena sering berduaan dengan lelaki yang belum ada ikatan apa pun. Bukankah kamu masih ingat, Kang? Memang, dulu kita sering bepergian berdua naik sepeda tua. Melintasi jalan-jalan berliku yang sepi di pinggir desa. Atau, saat-saat menjelang senja, kita sering duduk di pinggiran sawah sambil memandang 127Antologi Cerpen Kebangsaan
langit jingga dan kepak kawanan burung blekok yang sedang pulang menuju tempat huniannya. Kenangan indah itu tak mungk in kulupakan, Kang. Yah, bagaimana lagi. Kita memang belum berjodoh. Tidak usah menyalahkan siapa-siapa. Tidak perlu diratapi. Semua sudah ada yang mengatur dari Atas. Saat itu, sebetulnya aku juga tidak ingin meninggalkanmu. Hanya sebuah kebetulan karena saat itu ada teman kakekku yang sedang pulang dari Suriname. Aku bersedia dibawa ke Suriname karena di sana akan dibiayai sekolah. Andaikan tetap berada di desa, mungkin aku tidak akan bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang tinggi. Bukankah kamu tahu, orang tuaku tiap hari hanya bekerja serabutan. Lantas, andai ada orang bertanya kapan aku akan bisa kem bali lagi berkunjung ke tanah Jawa, tanah leluhurku? Aku tidak bisa menjawab. Entahlah kapan aku bisa mengunjungi lagi? Boleh jadi setahun lagi, atau dua tahun, atau mungkin tiga tahun lagi. Atau bahkan boleh jadi aku sudah tidak bisa kembali lagi ke tanah air, tanah leluhurku. Kalau begitu, apakah memang aku sudah lupa dengan desa tanah leluhurku? Sudah lupa dengan orang-orang desa di tanah kelahiranku? Mentang-mentang aku sudah menjadi orang Suriname? Tidak! Aku tidak akan mungkin melupakan tanah leluhur tempat kelahiranku. Aku tidak akan mungkin melupakan semua nya. Ketahuilah, kerinduan akan kampung halaman tempat lahirku selalu menggebu. Aku sudah puluhan tahun tidak lagi mer asakan kuliner asli dari tanah air. Khususnya makanan asli dari Banyumas. Ah, sedap sekali rasanya, seandainya aku bisa makan dengan lauk sambel goreng walangsangit. Wah, nikmat sekali rasanya, seandainya aku bisa kembali menikmati rujak pace dicampur babal. Ah, segar sekali rasanya, seandainya aku bisa kembali minum sayur bening daun semanggi. Selain itu, aku juga sudah sangat kangen dengan polah ting kah orang-orang desa yang sangat bersahaja, menghormati ter 128 Ini Bangsa Juga Punya Saya
hadap orangtua, dan tepa slira dengan sesama. Aku juga sudah ingin bertemu dan bercengkerama dengan orang-orang desa yang berwatak blakasuta, jujur, dan suka bekerja keras. Lalu, apa sebenarnya tujuan aku beberapa waktu yang lalu berkunjung ke tanah Jawa? Ketahuilah, aku sebenarnya sedang mendapat tugas negara. Aku sedang mendapat tugas menyusun buku yang berkaitan dengan budaya dan tata krama orang Jawa. Termasuk budayanya orang Banyumas. Budayanya para leluhur kita yang adi luhung. Nantinya, buku tersebut akan digunakan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah. Terus terang, sekarang aku sedang bekerja keras sehingga buku yang sedang disusun bisa selesai tepat waktu. Doakan saja, Kang! Semoga saja aku bisa berhasil. Memang, aku punya cita-cita, mudah-mudahan kebudayaan orang Jawa peninggalan para leluhur, tidak hanya berkembang di tanah Jawa, tetapi bisa berkembang menyinari dunia. Kang, bagaimana sekarang kabarmu? Aku ikut bahagia. Menurut kabar yang dapat aku terima dari seseorang, katanya kamu sek arang menjadi seorang kepala sekolah. Hal yang paling membanggakan, katanya kini anak-anakmu menjadi orang suk ses. Selain ada yang masih kuliah, juga ada yang sudah bekerja di instansi pemerintah. Syukurlah. Kudoakan semoga anak-anakmu menjadi anak yang baik. Menjadi anak saleh yang berguna bagi keluarga, bangsa, dan negara. Jangan sampai terpengaruh dengan ajaran atau pun ujaran yang akan memecah belah persatuan bangsa. Semoga tetap kenceng gatholan waton, menjaga keutuhan NKRI. Kudoakan juga semoga anak-anakmu patuh pada ajaran para leluhur yang mengajarkan supaya madhang longan turu longan. Mau hidup prihatin, bertarak. Bisa menahan hawa nafsu untuk tidak berlebih-lebihan. Yah, bagaimana lagi. Kita sudah berpisah jauh. Sangat jauh. Kita sudah beda negara. Dari kejauhan aku hanya bisa andum 129Antologi Cerpen Kebangsaan
slamet. Mendoakan semoga saja Tuhan Yang Mahakuasa selalu memberi keselamatan pada keluargaku di Suriname dan juga memberi keselamatan pada keluargamu semua di Banyumas. Kang, semoga catatan perjalananku ini yang telah kuunggah dalam facebook, bisa kaubaca. Aku sangat menanti komentarmu. Kita harus tetap menjadi saudara walaupun berjauhan. * Jeng, aku baru tahu. Ternyata, belum lama ini kamu baru pulang ke Jawa. Seandainya tidak berjumpa dengan salah satu teman sekolahmu saat di SMP, mungkin aku tidak akan menge tahui keberadaanmu yang sudah puluhan tahun meninggalkan tanah air. Dari temanmu itulah akhirnya aku bisa membaca catatan perjalananmu ke tanah Jawa yang diunggah di facebook. Mataku berkaca-kaca setelah membaca tulisanmu. Air mataku menetes bukan lantaran kecewa tidak bisa berjumpa denganmu. Aku juga tidak sedang meratapi karena kita gagal membangun bahtera rumah tangga seperti yang telah kita janjikan. Tidak! Tidak seperti itu. Bukankah semua sudah ada yang menga tur? Kita tidak bisa menolak takdir yang telah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Yah, apa mau dikata. Kita memang belum berjodoh. Lalu, mengapa air mataku menetes saat membaca tulisanmu? Aku tidak sedang bersedih atau kecewa, tetapi justru sedang merasa bangga yang tiada terkira. Meskipun kamu sudah hidup makmur di Paramaribo, masih perhatian sekali terhadap budaya Jawa, warisan leluhur kita. Kamu rela bersusah payah hanya demi mempertahankan dan mengembangkan budaya Jawa yang adi luhung. Yah, di antara kita entahlah kapan bisa bertemu lagi. Atau boleh jadi kita tidak akan bertemu lagi untuk selamanya. Namun, tali persaudaraan kita jangan sampai putus. Dulu, ketika pergi kamu tidak sempat berpamitan, bukan? Seandainya aku banyak kesalahan terhadapmu, semoga dengan lapang dada kamu bisa 130 Ini Bangsa Juga Punya Saya
memaafkanku. Demikian pula jika kamu akan minta maaf maka dengan tulus jauh-jauh sebelumnya aku telah memberinya maaf. *** Tanah Air tercinta, 2019 Catatan: 1. adi luhung: ‘tinggi derajatnya’ 2. andum slamet: ‘berbagi keselamatan’ 3. babal: ‘buah nangka yang masih sangat kecil’ 4. blaka suta: ‘jujur apa adanya’ 5. kenceng gatholan waton: ‘pendiriannya kuat’ 6. madhang longan turu longan: ‘bisa menahan hawa nafsu untuk tidak hidup berlebihan’ 7. tepa slira: ‘menghormati sesama’ 131Antologi Cerpen Kebangsaan
Ikha Mayashofa Arifiyanti INI BANGSA JUGA PUNYA SAYA “Kau PKI karena Simbah dan Bapakmu PKI! Dalam tubuhm u mengalir darah pembantai, maka hidupmu tak akan pernah damai.” Umpatan yang sudah sangat Wirya hafal sebagaimana lirik lagu wajib nasional yang tiap hari harus ia kumandangkan di awal tatap muka pembelajaran. Dosa turunan yang harus ia emban tanpa pernah paham muasal sehingga menyeretnya sebagai kaum marginal. Sejarah kelam keluarganya menggiringnya pada derita sejak ia dilahirkan ke dunia. Terkadang, Wirya merasa jika bangsa tak berpihak kepada nya. Ia yang dilahirkan jauh setelah tragedi berdarah yang hanya dikenalnya melalui penuturan guru dan buku-buku dalam mata pelajaran sejarah, tanpa boleh menawar harus ikut menanggung kejamnya takdir yang menggariskan ia terlahir dari garis ke turunan yang dianggap membelot sebuah rezim. “Simbah dan Bapak saya bukan PKI! Saya bukan anak PKI!” Begitu seru Wirya membela diri tatkala teman-temannya mengh ujaminya dengan cacian dan perlakuan yang tak manusiawi. Dulu, ia akan meradang diiringi raungan tangis jika teman- temannya kian bengis. Kini, ia tak secengeng seperti masa kanak- 132 Ini Bangsa Juga Punya Saya
kanaknya. Wirya juga meyakini jika tuduhan orang terhadap keluarganya tidaklah benar. “Simbah dan Bapakmu hanyalah korban. Korban salah tangkap. Korban prasangka. Korban muslihat,” begitu penjelasan Ibu, setiap Wirya berusaha ingin tahu. Almarhum Kakek Wirya, Mbah Sumo, dulunya adalah se orang buruh tani biasa. Karena miskin, Mbah Sumo harus meng hidupi istri dan anak perempuannya, yaitu Ibu Wirya, dengan menggarap sawah orang lain. Saat itu, susasana perpolitikan di bumi pertiwi diwarnai dengan bermunculannya banyak partai yang mengusung berbagai kepentingan dan tujuan. Mbah Sumo pun tak ketinggalan. Ia dan beberapa buruh tani turut aktif dalam Barisan Tani Indonesia (BTI), sebuah organisasi yang menaungi para buruh tani dalam memperjuangan hak-hak petani kecil yang tidak memiliki tanah sendiri. Sesungguhnya, niat Mbah Sumo dan beberapa buruh tani bergabung di BTI hanyalah ingin mendapat perlindungan atas kesemena-menaan yang sering mereka terima dari para majikan pemilik tanah. Hanya itu. Tidak ada yang salah sebenarnya dari organisasi ini, sebelum peristiwa tragis pada Subuh, 1 Oktober 1965, terjadi. Peristiwa berdarah yang lebih dikenal orang dengan sebutan pemberontakan G 30 S/PKI ini, menewaskan enam jenderal dan satu perwira angkatan darat melalui drama penculikan dan pembantaian keji di Lubang Buaya, Jakarta, dengan tersangka utamanya adalah Partai Komunis Indonesia. Keesokan harinya setelah tragedi itu terjadi, seluruh aktivis organisasi yang dianggap onderbouw PKI diciduk, termasuk Mbah Sumo, karena ia kader BTI. Selang tiga hari setelah penangkapannya, Mbah Sumo kembali pulang tanpa nyawa. Saat itu usia Ibu Wirya masihlah sangat muda. Label anak PKI menguntit masa remaja Sumi, Ibu Wirya, hingga tiada satu pun pemuda desa yang mau meminangnya. 133Antologi Cerpen Kebangsaan
Nenek Wirya sangat resah karena merasa usianya sudah sangat renta. Ia tak mau meninggalkan anak satu-satunya sebelum tunai segala tanggung jawabnya di dunia sebagai orang tua. Maka, ketika ada seorang pemuda bekas narapidana meminang Sumi, nenek Wirya merelakannya. Tiga bulan sesudahnya, berpulang lah sang nenek pada Yang Maha Kuasa dengan menyisakan rona senyum di wajahnya. Trimo, Bapak Wirya, adalah “alumni” Nusakambangan yang menjadi pesakitan politik karena aktivitasnya di organisasi kepemudaan saat itu. Ia dituduh simpatisan PKI sehingga wajib dibui. Setelah dibebaskan, Trimo masih dikenai wajib lapor dan harus menjalani ritual “santiaji”, sebuah program penyuluhan di zaman Orde Baru yang wajib diikuti oleh mereka yang dianggap terlibat atau simpatisan Partai Komunis Indonesia. Kesamaan nasib itulah yang merekatkan Trimo dan Sumi dalam ikatan perkawinan, hingga Wirya dilahirkan. Tumbuh menjadi “anak PKI” yang sarat diskriminasi harus Wirya jalani hari demi hari. Meski diperbolehkan untuk ber sekolah di sekolah negeri, Wirya tetap mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman-temannya, juga pihak sekolah. Setiap Wirya ingin mengikuti sebuah kompetisi, seolah terjegal hingga gagal. Ketika ia ingin bergabung di sebuah organisasi, semua orang menolaknya dengan dalih takut dipropag anda. Semua menganggap dirinya, juga keluarganya, sebagai sosok yang berbahaya. Semua menyangsikan dirinya, juga keluarga nya, akan besarnya rasa cinta pada negara. Bahkan sebuah ke jadian yang memilukan, belum mampu menjadi bukti jika Wirya dan keluarganya sangat peduli pada simbol negara. Di suatu pagi, selang 30 menit sebelum berlangsungnya upa cara bendera di halaman Balai Desa, Trimo, bapak Wirya, me regang nyawa. Sebuah motor berkecepatan tinggi yang dikemu dikan seorang pelajar menabraknya hingga terkapar. Tampak dalam dekapannya gulungan tali tampar nilon erat melekat. 134 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Sebelum peristiwa nahas itu terjadi, Trimo yang bekerja sebagai pesuruh di Balai Desa, menjumpai tali tiang bendera yang akan digunakan untuk upacara tiba-tiba putus. Sebelumnya, talinya memang sudah rantas. Beberapa kali ia melaporkan ke atasan, tapi tiada mendapat tanggapan. Akhirnya, tali itu putus di waktu yang tak tepat. Trimo sigap. Ia tak ingin bendera gagal dikibarkan. Berlarilah ia menuju rumah Kades Sarozi begitu mendapat perintah dari atasannya itu untuk mengambil tali bekas pakai di gudang rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter dari balai desa. Malang tak dapat ditolak. Tepat 100 lang kah kakinya menapak, ia tertabrak. Setelahnya, tali tampar ber pindah tangan. Upacara tetap dapat dilaksanakan. Bendera dapat dikibarkan. Bersamaan dengan itu, di tempat lain, jenazah Trimo disemayamkan. Beberapa mata melihat peristiwa kecelakaan itu. Beberapa mata menjadi saksi kematian Bapak Wirya demi mengupayakan sang Merah Putih berkibar di angkasa. Namun, sungguh di sayangkan, peristiwa mulia itu cepat terlupakan. Setelah seming gu kepergian Bapaknya, dari desas desus warga diketahui jika pelajar yang menabrak bapak Wirya adalah anak Kepala Desa, teman sekelas Wirya yang baru saja dibelikan motor baru oleh orang tuanya yang kaya raya. Satu tahun berjalan, tak ada pihak yang berani melaporkan, semua tetap diam, dan Bapak Wirya masih tetap dikenang sebagai antek PKI yang harus dienyahkan. Tak ada yang berduka, mungkin hanya Wirya dan Ibunya. Terlebih tak ada lagi lelaki penopang hidup keluarga. Terpaksa kini, ibu Wirya harus bekerja, mengais rupiah untuk menyam bung hidupnya, juga Wirya. Sore itu, langit semakin lindap, menutup indah lazuardi berganti pekat. Padahal senja masihlah lama karena mentari belum berhasrat kembali ke peraduannya. Pukul 16.20 tertera pada jam dinding kusam yang tertempel di dinding muka balai 135Antologi Cerpen Kebangsaan
desa. Masih sore sebenarnya, tapi cuaca memaksa Wirya untuk membereskan lapak dagangannya. Biasanya pada jam-jam seperti ini, ia masih bertahan den gan gelaran bendera kebanggaan Indonesia, Merah Putih, yang ia jual di halaman balai desa. Namun, kali ini ia tak mau mengambil risiko dagangannya basah kuyup tersiram rintik hujan hanya untuk bertahan menyaksikan jalannya latihan pasukan pengibar bendera yang tiap sore menjadi tontonan menarik baginya. Hanya itu yang dapat dilakukannya ketika hasratnya untuk men jadi tim Paskibra di sekolahnya harus pupus karena penolakan yang sudah dapat ia perkirakan. Halaman balai desa yang luasnya laksana alun-alun kota, memang sering digunakan untuk kegiatan seremonial, salah satun ya adalah latihan upacara pengibaran bendera untuk mem peringati hari Kemerdekaan Indonesia. Pada saat proses latihan berlangsung, warga desa yang tidak memiliki kesibukan biasa nya akan menonton beramai-ramai jalannya latihan, layaknya menonton sebuah konser atau pagelaran. Momentum ini pun di manfaatkan oleh beberapa pedagang untuk menjual dagangan nya di area balai desa, termasuk Wirya. Sudah satu bulan Wirya menjadi penjual bendera. Ia sengaja melakukannya untuk membantu Ibunya mencari nafkah. Sejak bapaknya tiada, pekerjaan sebagai pesuruh di balai desa diganti kan oleh ibunya. Kata Kades Sarozi, pengalihan tugas tersebut sebagai bentuk penghargaan atas jasa bapaknya yang rela mengorbankan nyawa demi berkibarnya bendera. Atau mungkin upaya itu dilakukan untuk menutupi kesalahan yang dilakukan oleh Antok, anak lelakinya. Entahlah. Wirya dan ibunya tetap berbaik sangka. Apalagi Wirya diperbolehkan untuk berdagang bendera di halaman balai desa. Sudah cukup bagi mereka untuk memaafkan karena kehidupan terus berjalan. Sepulang sekolah, Wirya menggelar dagangannya di halaman balai desa bersama para pedagang bendera lainnya. Mema 136 Ini Bangsa Juga Punya Saya
suki bulan Agustus, penjual bendera dadakan akan bermuncul an. Bulan tersebut seolah dimanfaatkan para pedagang untuk mengais rupiah dengan menjual bendera dan pernak-pernik yang berbau ke-Indonesiaan. Selain ingin mendapat keuntungan dari hasil penjualan, hasrat menggebu Wirya sebenarnya adalah ketika ia dapat menyaksikan secara langsung para pasukan pengibar bendera berlaga. Ia akan bersuka cita dan ikut mem praktikkan gerakan-gerakan para pasukan dari kejauhan. Ber puluh mata sudah sering menangkap tingkahnya. Berpuluh mata pula menganggap ia gila dengan aksinya. Mungkin hanya mata Pak Warsa, guru olah raganya, yang menangkap polah Wirya dengan makna berbeda. Mereka, para pengibar bendera yang Wirya saksikan setiap sore, beberapa di antaranya adalah teman satu sekolahnya. Sejatinya sudah sejak lama Wirya bercita-cita menjadi pasukan pengibar bendera, sama seperti teman-temannya. Tahun lalu saat masuk kelas satu SMA, ia begitu terkesima melihat atraksi kakak kelasnya dalam barisan Paskibra di ekskul sekolahnya. Ia pun mengikuti ekskul Paskibra dengan harapan dapat terpilih sebagai tim inti Paskibra saat upacara pengibaran bendera. Bahkan, Wirya turut pula mendaftar seleksi tim Paskibra antarsekolah sekecamatan. Namun, sekeras apapun ia berlatih, mimpinya tak pernah teraih. Tahun ini adalah tahun kedua Wirya mencoba peruntungan mendaftar seleksi menjadi Paskibra. Sama seperti tahun sebelum nya, semua usahanya sia-sia. Ia semakin kecewa tatkala Antok, anak Kades Sarozi yang postur tubuhnya sedikit lebih pendek dari dia, yang gerak tubuhnya tak setegas dirinya, justru terpilih sebagai tim inti Paskibra. Betapa bangganya Kades Sarozi me nyaksikan anak semata wayangnya berlaga mengibarkan sang Merah Putih disaksikan seluruh warga. Bukan Wirya namanya jika kesedihan memenjaranya terlalu lama. Ia mudah sekali lupa akan lara hati karena sifatnya yang 137Antologi Cerpen Kebangsaan
mulia, sebagaimana makna yang terkandung dalam namanya. Wirya, “lelaki yang mulia”, begitu Bapaknya mendoa saat me nyematkan nama pada bayi Wirya yang lahir ke dunia. Maka, jadilah ia kini pemuda yang tangguh, pemaaf, penyabar, dan mulia sifatnya. Meski tak terpilih menjadi tim Paskibra, Wirya selalu me nonton setiap kali tim Paskibra berlatih. Baik di sekolah maup un di lapangan balai desa, Wirya tak pernah absen untuk menyak sikannya. Dari jarak beberapa meter, ia akan mengamati sambil menirukan setiap gerakan sebagaimana yang dilakukan oleh para pasukan saat mengikuti instruksi dari pelatih khusus yang ditunjuk. Cara berjalan tegak, hadap kiri dan kanan, haluan kiri dan kanan, jalan di tempat, cara menghormat, sampai teknik mengibarkan bendera, semua terekam utuh di kepalanya. Seperti sore ini, ia sempatkan waktu di sela aktivitasnya berdagang untuk men yaksikan gladi bersih tim Paskibra berlatih. Esok hari, mereka akan bertugas dalam upacara memperingati hari kemer dekaan Indonesia. Namun, mendung yang pekat mengurungkan niatnya untuk menyaksikan latihan hingga purna. Ia masih harus memikirkan barang dagangannya. Karenanya, Wirya pun memutuskan untuk pulang setelah semua dagangannya ia bereskan. Dari kejauh an, Wirya masih mendengar suara aba-aba yang lantang dari pemimpin pasukan. Setelahnya, suara itu hilang ditelan deras nya hujan hingga senja temaram. Pagi harinya, Wirya bersiap untuk mengikuti upacara ben dera di halaman balai desa. Kelasnya ditunjuk untuk mewakili sekolahnya upacara di sana. Pagi-pagi sekali ia sudah berbenah. Tak ada tas berisi buku yang ia cangklongkan, melainkan barang dagangan yang ia bawa karena selepas upacara ia berniat untuk berjualan. “Wirya …, darurat. Kamu segera ikut Bapak sekarang!” kata Pak Warsa tiba-tiba, begitu Wirya sampai di Balai Desa. Tanpa 138 Ini Bangsa Juga Punya Saya
menunggu Wirya berkomentar, Pak Warsa sudah menggelan dang Wirya ke dalam sebuah ruangan. “Copot seragammu sekarang! Ganti dengan yang ini!” perin tah Pak Warsa sambil mengangsurkan satu stel seragam ber warna putih lengkap dengan atributnya kepada Wirya. “Seragam Paskibra? Maksudnya apa, Pak? Ini seragam siapa?” tanya Wirya makin tidak mengerti begitu diketahuinya bahwa baju yang diberikan Pak Warsa adalah seragam Paskibra. “Antok mendadak sakit. Setelah kemarin berlatih hingga larut di tengah hujan, sampai rumah ia demam. Pagi tadi saat ia memaksakan diri hendak bangun, tiba-tiba saja ia jatuh pingsan. Tubuhnya lemas. Kades Sarozi dan istri membawanya ke rumah sakit. Ini seragam punya Antok. Pak Kades yang mengantarnya ke rumah Bapak dini hari tadi. Bagaimanapun juga, Bapak harus mencari pengganti Antok karena dia berada pada posisi penting dalam tim Paskibra. Dia yang bertugas mengibarkan bendera,” jelas Pak Warsa. “Lalu saya harus bagaimana, Pak?” tanya Wirya penuh ke bimbangan. “Kamu gantikan posisi Antok! Pakai seragam ini! Kibarkan sang Merah Putih di angkasa! Bapak yakin kamu bisa karena Bapak sering mengamatimu saat berlatih,” ucap Pak Warsa dengan tegas dan bangga. Mata Wirya berkaca-kaca. Ada gemuruh yang berdesakan di dada. Seolah mimpi, cita-cita yang didamba terwujud nyata. Tanpa menunggu lama, Wirya pun segera berganti seragam, menunaikan kewajiban, menjadi petugas pengibar bendera di hari kemerdekaan. Semua seolah tak percaya ketika Wirya, anak yang di da lam tubuhnya mengalir darah pendosa, tiba-tiba dengan gagah perkasa mengibarkan sang Merah Putih di udara. Semua ter kesima. Begitu pula Sumi, Ibunya. Air mata mengiring senyum bahagia atas kemurahan hati Sang Pemilik Semesta. 139Antologi Cerpen Kebangsaan
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308