Sambil menarik tali bendera yang dulu dibawa Bapaknya hingga tutup usia, Wirya menahan laju air mata. Dengan bang ga hatinya berkata, “Ini bangsa juga punya saya. Saya putra Indonesia. Saya cinta Indonesia.” *** 140 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Indri Yuswandari MBAH JENDERAL “Ndhuk, siapkan kafan untuk Bapak, sudah dekat wak tunya, Ibumu sudah tiga kali datang, waktunya tidak lama lagi.” Undangan upacara peringatan hari TNI besok tanggal 5 Oktober 2019 dari Kodim dan Kabupaten untuk bapak sudah dikirim hari ini. “Mungkin ini upacara terakhir yang akan Bapak ikuti, nanti kuburkan Bapak di samping makam Ibumu. Anak cucuku biar mudah kalau mau berziarah. Gak usah di Taman Makam Pahlawan.” Senyap ini kian terasa menggigit perasaan dan pikiran. Ru mah segini besarnya, hanya kami berdua yang tinggal sebab semua saudara dan anak-anakku di luar kota semua. “Bapak mau ke sarean dulu … nyekar Mbah Putri dan Ibumu, kamu jaga rumah, jangan ke mana-mana“. Ritual pagi yang selalu spontan, sebab bisa saja dalam seminggu tiga sampai empat kali bapak pergi ke makam, hanya sekadar ingin berbincang dengan ibu. Lelaki sepuh berusia sembilan puluh tujuh tahun. Seorang pahlawan perintis kemerdekaan, pahlawan PETA Blitar, dan seorang mantan asisten wedana/camat.Betapa panjang anuge rah usia yang Allah berikan kepadanya. “Aku sudah capek melihat kehidupan, Ibumu sudah meng ajakku pulang. Kamu rukunlah dengan semua kakak-kakakmu, jangan sampai ada pertikaian. Didiklah anak-anakmu dengan 141Antologi Cerpen Kebangsaan
baik untuk mencintai negerinya, jangan terpengaruh hasutan- hasutan yang tidak bertanggung jawab.“ “Provokasi bisa masuk di segala lini, coba kamu lihat, maha siswa dan anak-anak sekolah dihasut untuk melakukan demo yang sebenarnya mereka sendiri tidak paham maksudnya. Tidak mudah memimpin negara yang begini besar yang penduduknya terdiri atas banyak suku bangsa dan ragam budaya seperti Indonesia.“ “Itu orang-orang yang hanya bisa teriak-teriak menghina pemerintahan yang sah, seolah-olah mereka yang paling ngerti, paling benar, paling pintar, belum tentu bisa memimpin negeri ini. Marilah kita belajar menjadi warga negara yang baik, men dukung pemerintahan yang sah yang dilindungi undang- undang, dengan menjaga kerukunan.“ “Jangan kita bertikai dengan membawa-bawa label agama. Agama itu mutlak milik Gusti Allah, sorga dan neraka adalah hak prerogratip-Nya. Kita tidak akan pernah tahu di mana kelak kita ditempatkan. Apa kalau sudah berjenggot, bersorban, berteriak lantang turun ke jalan menyerukan ayat-ayat Tuhan, menghakimi orang-orang yang tidak sepaham, lantas ada jamin an mereka langsung masuk sorga? Memangnya sorga itu milik nenek moyang mereka? Mari kita beragama dengan benar, meng hormati agama lain, bertoleransi, dan tenggang rasa, sebab kita tidak bisa hidup sendiri. Ini sudah sunatullah.“ Menunggu bapak pulang dari makam, aku duduk di ruang tengah rumah besar kami. Kusapukan pandanganku tepat ke tembok yang memajang foto besar bapak dengan pakaian sera gam veteran lengkap dengan dua lencana penghargaan dari Pemerintah Indonesia yang aku tidak tahu namanya, dan bebe rapa piagam penghargaan yang dibungkus dalam pigura berkaca. Aku lahir setelah bapak tidak lagi menjadi asisten wedana waktu itu.Sehingga aku tidak sempat merasakan kemewahan anak seorang pejabat seperti kakak-kakakku. Bapak tidak mendapat pensiun. Diberhentikan begitu saja dari jabatannya. 142 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Di masa kecilku, aku yang tidak mengerti apa-apa waktu itu hanya sering mendengar katanya bapak tersangkut G30S PKI. Bisakah kau bayangkan kerasnya kehidupan kami waktu itu? Ke mana-mana bapak pergi selalu dicurigai. Mau kerja apa saja selalu diinterograsi. Sementara ada 10 anak yang harus dihidupi dan dibiayai. Beruntung rumah kami di pinggir jalan raya depan pasar besar. Halaman rumah yang sangat luas kami manfaatkan untuk penitipan parkir sepeda. Sedangkan ibu dan Mbah Putri berjualan kecil-kecilan di pasar. Karena tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah, dua kakak lelaki tertuaku merantau ke Kalimantan mencari kerja di sana, satu kakak perempuan tertua dinikahkan dengan kerabat dekat. Tinggal tujuh anak yang harus dibiayai. Bapak orang yang sangat cerdas. Suwargi Mbah Putri pernah cerita, dulu waktu mau masuk sekolah Belanda HIS dan MULO, rumahnya harus diukur dulu, karena Mbah Putri janda yang hidup sendiri dan miskin, bapak yang anak tunggal sejak kecil sudah ditinggal ayahnya, dari mana bisa membiayai anaknya untuk masuk sekolah Belanda. Tapi karena bapak anak yang cerdas, bisa masuk sekolah HIS yang notabene sekolahannya anak-anak Belanda dan orang-orang pribumi yang kaya raya. Orang miskin jangan harap bisa masuk sekolah HIS apalagi sampai MULO. Bahkan, setelah melihat kecerdasan bapak, salah satu guru Belanda malah ingin mengadopsi untuk dibawa ke Belanda dan disekolahkan disana. “Anakmu sangat cerdas, biar aku bawa ke Nederland, se kolah di sana … kelak dia akan jadi orang hebat“. “Jangan Tuan, saya tidak punya siapa-siapa lagi … ia anak saya satu-satunya”. “Jangan khawatir … anakmu akan baik-baik saja di sana … hidupmu juga akan saya jamin … nanti tiap hari kamu saya kasih makan roti.” 143Antologi Cerpen Kebangsaan
Setiap hari guru Belanda itu datang ke rumah membujuk Mbah Putri agar mengizinkan bapak untuk dibawa ke Nederland. Tapi Mbah Putri tetep bersikukuh menolak tawaran itu. “Siapa yang akan menemani aku, kalau anakku yang cuma satu dibawa pergi.” Begitulah, setelah selesai sekolah di HIS MULO, bapak ber gabung dengan para tentara ikut mengangkat senjata bergerilya memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia. Ketika Jepang menduduki Indonesia, bapak bergabung dengan tentara PETA Blitar di bawah komando Supriyadi. Selain lancar berbahasa Belanda, bapak juga fasih berbahasa Jepang, makanya bapak dijadikan juru bahasa dalam kelompok nya untuk berdialog dengan tentara Jepang. Bapak juga pintar mendalang, setiap kali diajak keliling daerah-daerah untuk men dalang, dalam dialog-dialog pewayangan yang dilakonkan bapak selalu menyelipkan orasi-orasi untuk membangkitkan semangat juang penduduk setempat. Tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, dua pendiri bangsa, Soekarno-Hatta mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Bapak mulai bekerja di instansi pemerintah, dari menjadi juru tulis desa sampai menduduki jabatan asisten wedana (camat), menikah dengan ibu, dan melahirkan kami ke sepuluh anak-anaknya. Tak ada yang mulus dalam hidup. Selalu ada batu di setiap tikungan dan tanjakan. Tepat di tahun kelahiranku bapak diberhentikan dari jabatann ya hanya dengan satu tuduhan. “Tersangkut G30S PKI“. Aku lewati masa kecilku dengan banyak tatapan sinis dari orang-orang sekitar. Kalau kami minta surat pengantar ke kantor desa, selalu ada kode X dalam nomor surat dan amplop selalu ditutup dengan stempel di kedua ujung sampulnya. Sering tiba- tiba bapak dibawa ke Koramil dan menginap di sana berminggu- 144 Ini Bangsa Juga Punya Saya
minggu, pulang-pulang wajah dan tubuhnya banyak memar biru bekas dianiaya. Aku yang selalu diajak ibu menengok bapak sambil membawa ransum makanan untuk dua-tiga hari, lalu kami akan datang lagi tiga hari berikutnya. Sekali waktu datang oknum petugas menginterograsi bapak, dan ujung-ujungnya mereka minta duit. Bayangkan, mereka minta duit kepada lelaki kurus yang setiap hari hanya menggantungkan harapan dari hasil menjaga parkir sepeda untuk menghidupi keluarganya. Tapi bapak diam saja, ia turuti semua kemauan oknum yang datang itu, berapa pun duit yang ada selalu dikasihkan. “Suatu saat, anak-anak harus tahu, siapa bapaknya yang sebenarnya“. Begitulah, setelah sekian puluh tahun diam dalam hinaan dan cemoohan, bapak menunjukkan jati dirinya. Berawal ketika kakak perempuanku lulus kuliah dari IKIP Malang, dan mulai membutuhkan surat-surat keterangan untuk mendaftar jadi guru, bapak yang turun tangan langsung menguruskan surat-surat yang diperlukan mulai dari desa, kepolisian, dan kecamatan. Pada setiap petugas yang mengetikkan surat tersebut de ngan tegas bapak berkata, “Tidak usah ditambahi X di bela kang nomor surat, dan amplop tidak perlu dilem dan di stempel belakang sampulnya, kalian tahu apa tentang sejarah?“ Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam dan menunduk tidak berani menatap wajah bapak yang keras dan tegas. Kebenaran mulai terungkap. Kakakku lolos sebagai guru sekolah negeri dan ditempatkan di SMAN terkemuka di kota madya. Berlanjut dengan kakakku berikutnya yang juga lolos sebagai pegawai negeri dan ditempatkan di dinas yang berkom peten hingga hari ini. Mendung mulai tersibak. Setelah puluhan tahun tapa brata bertahan dalam kepahitan, akhirnya tahun 1995, permohonan 145Antologi Cerpen Kebangsaan
bapak untuk mendapat tunjangan pensiun dikabulkan oleh pemerintah pusat. Meskipun terlambat dan hanya satu yang diberikan, yaitu pensiun sebagai veteran perintis kemerdekaan, sedangkan pensiun sebagai asisten wedana tidak bisa dikeluar kan, karena ternyata semua data tentang bapak saat bekerja raib semua, tak ada jejak sama sekali. Kami semua sujud syukur dengan linangan airmata yang tak usai mengering. Tak apa hanya satu pensiun yang diberikan, yang penting pengakuan dari negara bahwa bapak bersih lingkungan, bebas dari G30S PKI sudah dikeluarkan. Satu demi satu pengakuan publik dan masyarakat sekitar mulai bermunculan. Undangan demi undangan berdatangan mulai dari kecamatan, kepolisian, bupati, kodim hingga provinsi terutama saat acara upacara peringatan hari-hari nasional Indonesia. Puncaknya ketika bapak mendapat penghargaan Bintang Gerilya dari Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoy ono waktu itu sebanyak dua kali dan disematkan lang sung oleh Gubernur Jawa Timur di kantor gubernuran bertepatan pada upacara peringatan Kemerdekaan tanggal 17 Agustus dan Hari Pahlawan 10 November (aku lupa tahunnya). Piagam-piagam penghargaan atas perjuangan bapak saat bergabung dengan tentara PETA Blitar berdatangan dari banyak instansi dan yayasan. Hingga hari ini bapak masih menjadi dewan penasihat dalam jajaran pengurus veteran di Blitar. Hanya tinggal dua orang saksi hidup pelaku sejarah perjuangan PETA Blitar, salah satunya bapak. Karena yang satu secara verbal sudah tidak begitu lancar berbicara, otomatis setiap ada acara selalu bapak yang diwawancarai untuk memberikan testimoni. “Sudah ada kavling di Taman Makam Pahlawan untuk bapak panjenengan, Mbak“ kata pejabat Kodim setempat. “Bapak tidak butuh upacara militer, Bapak tidak ingin dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, makamkan Bapak 146 Ini Bangsa Juga Punya Saya
sebagai rakyat biasa, manusia biasa di samping makam Ibumu dan Mbah Putri“. “Ndhuk, Bapak buatin teh … tadi Bapak sudah ngobrol lama dengan Ibumu … Ibumu bilang, ayo, Pak … sudah waktunya panjenengan pulang, tak jemput sebentar lagi.“ “Kamu kabari mbakyu-mbakyumu dan adikmu. Pulang dari sarean tadi Bapak sempatkan juga mampir ke Bulikmu dan Pak Thamrin guru ngaji untuk berpamitan dan minta maaf.“ “Rukunlah kalian semua, jangan ada pertikaian, kalau ru mah ini mau dijual, berembuklah dengan semua saudaramu, jangan ada kemarahan.“ “Kalau anak cucuku ada yang mau menyimpan baju-baju dan barang-barang peninggalan Bapak, silakan … kalau tidak ada yang mau, sumbangkan ke panti asuhan.“ “Didiklah anak-anakmu dengan baik, agar menjadi manusia yang baik, sekolah, ngaji, ibadah, itu nomor satu“ Aku bergegas ke dapur membuatkan minuman teh untuk bapak. Wajahku telah menjelma telaga. *** Kendal, 30.09.2019 147Antologi Cerpen Kebangsaan
Irul S. Budianto PEREMPUAN PEMETIK MAWAR Suki, tokoh imajiner yang dulu pernah kuusir, kini telah kembali. Bersanding denganku lagi. Untuk merayu Suki agar mau kembali padaku, sebenarnya bukan perkara mudah. Suki mengajukan dua syarat dan harus kupenuhi: aku tak boleh bersikap kasar dan mencampakkannya lagi seperti yang dulu pernah kulakukan padanya. Bersama Suki terasa menyenangkan. Mengalir apa adanya dan serasa tanpa beban. Suki sendiri seakan telah melupakan peristiwa pahit yang pernah kuusir secara sepihak. Tanpa alasan yang jelas dan hanya terbawa emosi pribadiku. Bersama Suki, aku benar-benar mendapatkan kebahagiaan, terlebih dia bisa menyemai karakter seperti yang kuharapkan. Berbeda dengan sebelumnya, Suki kini berperangai lebih lembut dan kerap menunjukkan sikap manjanya di hadapanku. Seperti kanak-kanak yang selalu minta ditemani dan dihibur. Anehnya, jika Suki menunjukkan sikap seperti itu justru mem buatku gembira. Aku pun akan melakukan segala sesuatu yang bisa membuatnya tersenyum, senang, dan bahagia. Aku tak ingin menyakiti lagi. Aku tak akan mengulangi kesalahan kedua kalinya di hadapan Suki, bertindak kasar apalagi mengusirnya. Suki sekarang juga punya kesenangan lain yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Nyaris setiap Sabtu sore Suki mengajakku pergi ke taman di pinggiran kota. Sekadar duduk-duduk sambil menikmati indahnya aneka bunga atau melihat beningnya aliran 148 Ini Bangsa Juga Punya Saya
sungai yang tak jauh dari taman. Bisa juga di taman itu aku dan Suki menghabiskan waktu untuk mengurai rumitnya cerita kehidupan. “Sudah beberapa kali kita mendatangi taman ini. Apa yang bisa kau lihat?” tanya Suki tiba-tiba dengan mimik serius. Aku agak terkejut dan tak menduga sama sekali jika Suki tiba- tiba melontarkan pertanyaan seperti itu. Padahal sebelumnya, aku dan Suki tengah serius membahas segala peristiwa yang terjadi belakangan ini dan perlu disikapi dengan hati jernih dan kepala dingin. Mulai dari hoax yang kian menjadi-jadi, lunturnya kerukunan sampai merosotnya nilai kebangsaan. “Apa yang bisa kau lihat?” Suki bertanya lagi. “Indahnya taman yang dihiasi aneka bunga yang meman jakan mata. Kalau bukan itu beningnya aliran sungai di dekat taman atau orang-orang yang datang pergi di taman ini.” “Apa tak ada yang lain?” Aku terdiam sejenak. Pertanyaan itu membuatku harus berpikir berkali-kali untuk mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki Suki. “Belajarlah melihat dengan baik.” “Di taman ini aku hanya bisa melihat seperti yang kusebut kan tadi.” Suki kini tersenyum. “Coba kamu lihat ke arah sudut taman di sebelah sana,” ucapnya sambil tangan kanannya menuding ke arah yang dimaksud. “Di sana hanya ada seorang perempuan setengah baya.” “Apa yang dilakukan perempuan itu?” Aku terdiam, tak bisa menjawab. Pandanganku masih terus tertuju pada sosok perempuan di sudut taman. “Perhatikan dengan seksama. Sebentar lagi perempuan itu pasti akan memetik setangkai bunga mawar.” “Dari mana kau tahu?” “Perhatikan saja.” 149Antologi Cerpen Kebangsaan
Benar ternyata. Baru saja Suki berkata demikian, perempuan itu terlihat mendekati bunga mawar yang tengah mekar. Bunga mawar itu dipandang sekilas dan tak lama kemudian tangannya meraih tangkai bunga mawar dan memetiknya. “Setiap kali berada taman ini, aku selalu melihat perempuan itu dan memetik setangkai mawar, kadang yang berwarna merah kadang yang berwarna putih. Kamu sengaja tak kuberitahu, dengan harapan kamu bisa melihatnya sendiri.” Mataku masih tertuju pada sosok perempuan yang baru saja memetik setangkai mawar. Entah mengapa dan seperti ada dorongan lain, aku pun bangkit dari kursi panjang dan kemudian melangkah pelan mendekati perempuan itu. “Apa kamu juga menginginkan mawar?” tanya perempuan itu begitu aku berada di dekatnya. “Aku hanya ingin tahu, mengapa setiap kali berada di taman ini kamu selalu memetik setangkai mawar?” Perempuan itu tak lekas menjawab. Aku dipandang sekilas, lalu pandangannya tertuju pada bunga-bunga mawar yang tengah bermekaran di sekitarnya. Memandang bunga mawar itu seperti ada kebahagiaan yang memancar dari wajah perempuan itu. Setelah puas memandangi bunga mawar di sekelilingnya, perempuan itu lalu mengangkat setangkai mawar yang sejak tadi berada di tangannya. Setangkai mawar yang kini dipegang dengan kedua tangannya itu ditatap lekat-lekat lalu diciumi berkali-kali. Seperti seorang ibu yang sedang menimang bayi dan menciuminya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Aku yang sejak tadi mengamati perempuan itu dari dekat hanya bisa diam dan bertanya-tanya sendiri dalam hati. Seperti ada keanehan-keanehan yang melingkupinya. Bunga mawar, bagi perempuan itu seakan amat berharga hingga diperlakukan secara khusus. Lama memikirkan apa yang dilakukan perempuan itu dan tak juga menemukan jawaban pasti, entah mengapa anganku 150 Ini Bangsa Juga Punya Saya
lalu melompat-lompat sendiri dan sempat terlintas anggapan, jangan-jangan perempuan itu sudah tak waras atau tengah ter ganggu kejiwaannya. “Kamu masih ingin tahu mengapa setiap berada di taman ini aku selalu memetik setangkai mawar?” Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba perempuan itu menyo dorkan pertanyaan semacam itu. “Bagaimana?” “Aku memang ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu.” Perempuan itu kembali memandangi setangkai mawar di tangannya lalu menciuminya. “Aku melakukan ini karena aku amat mencintai mawar.” “Maksudnya?” “Tuhan menciptakan segala sesuatu tentunya bukan tanpa alasan. Di balik ciptaannya pasti terkandung simbol atau lam bang tertentu. Salah satunya dengan mawar ini.” Aku terbelalak mendengar perkataannya. Kata-kata yang keluar dari bibir perempuan itu menurutku punya makna dan filosofi yang amat dalam. “Mawar ini sebagai lambang kasih sayang. Meski kebanyakan orang paham tentang lambang itu, tapi kenyataannya hanya sedikit orang yang bisa mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari.” “Mengapa itu terjadi?” Perempuan itu tersenyum. Mawar di tangannya kembali ditatap lekat-lekat lalu diciumi. ”Meski mawar sebagai lambang kasih sayang atau cinta damai, tapi orang-orang sekarang cenderung mengabaikannya. Di dada orang-orang sekarang sudah tak ada lagi mawar, tak ada kasih sayang. Karenanya, orang-orang mudah terbakar karena ego pribadinya. Perbedaan yang sebenarnya indah, seperti ditunjukkan dengan warna mawar, merah atau putih, 151Antologi Cerpen Kebangsaan
tapi kenyataannya sering diributkan hingga berujung silang pend apat dan bahkan pertikaian. Akibatnya, perbedaan yang dalam konteks sekarang bisa berupa warna kulit, suku, ras dan lainnya sering diobok-obok oleh orang-orang yang dadanya tak bersemayam mawar untuk meletupkan perpecahan.” Aku manggut-manggut. Aku semakin penasaran dengan perempuan yang kata-katanya mengalirkan makna jelas dan sebuah kebenaran dalam kehidupan sekarang. “Itu yang mesti dipahami. Hanya karena perbedaan sedikit saja bisa menjadikan perkara besar sampai-sampai mengorban kan orang yang tak tahu apa-apa. Makanya, aku selalu memetik mawar, agar orang-orang paham dan hatinya kembali dihiasi mawar,” ucap perempuan itu dengan menempelkan mawar ke dadanya. Aku kembali manggut-manggut. Rasa penasaranku kepada perempuan itu semakin meletup-letup. * Sore ini, saat aku dan Suki kembali ke taman pinggiran kota, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Peremp uan yang selalu kulihat dan memetik setangkai mawar, sekarang tak kujumpai. Rasanya, taman ini kurang lengkap dengan ketidakhadiran perempuan itu. “Ke mana perempuan pemetik mawar itu?” tanyaku pada Suki. “Mungkin saja belum datang.” “Kita sudah lama berada di taman ini, tapi perempuan itu belum juga kelihatan, apalagi ini waktunya sudah menjelang petang.” “Itu dia,” ucap Suki tiba-tiba sambil menuding perempuan yang kini tengah memetik mawar di sudut taman biasanya. Aku tertegun sejenak. Merasa heran mengapa perempuan itu tahu-tahu sudah berada di sudut taman. 152 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“Kalau kamu penasaran dengan perempuan itu, dekati saja.” Tanpa menjawab perkataan Suki, aku pun bergegas meng hampiri perempuan itu. Tapi hari ini ada yang berbeda dengan perempuan itu. Setelah tangannya memegang setangkai mawar dan dipandangi lalu diciumi, matanya mendadak menjadi sembab dan sesaat kemudian air matanya meleleh membasahi pipinya. “Mengapa menangis?” “Entah mengapa tiba-tiba aku teringat kekasihku yang telah meninggal beberapa waktu lalu. Dia juga sangat mencintai mawar, seperti aku. Dalam berbagai kesempatan dia sering menyuarakan tentang indahnya keberagaman dan kebersamaan yang dihiasi dengan kasih sayang. Dia juga selalu berharap agar di dada orang-orang selalu dihiasi mawar. Tanpa memandang perbedaan yang ada,” ucapnya sambil terisak. Aku terkejut mendengar perkataannya. Belum sempat aku melanjutkan pertanyaan, perempuan itu sudah terburu melang kah dan kemudian memetik semua bunga mawar yang tengah mekar di taman sambil berteriak menyebut nama kekasihnya. Pengunjung taman yang sore itu cukup banyak dibuat kaget dan panik. Beberapa jenak kemudian datang dua petugas taman yang kemudian mengamankan perempuan itu keluar dari taman. Dari jarak yang agak jauh aku masih mendengar suara perempuan itu, “Hiasi dada kalian dengan mawar. Agar hidup lebih indah dengan kasih sayang dan cinta damai.” “Sudahlah.” Aku terkejut saat Suki sudah berada di dekatku. “Ketahuilah, perempuan pemetik mawar, petugas taman dan orang-orang yang berada di taman ini semuanya adalah tokoh imajiner. Mereka ada karena terbawa pikiranmu yang tengah gamang melihat kondisi sekarang. Sering terjadi demo 153Antologi Cerpen Kebangsaan
dan kerusuhan serta peristiwa lain yang sulit kau pahami dengan nalar sehatmu,” ucap Suki pelan tapi jelas. Aku terdiam. *** 154 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Junaedi Setiyono KUDA-KUDA DI PELUPUK MATA Mak Tum pagi-pagi mengetuk pintu rumah. Ketukannya pelahan, sangat lembut – hampir tak saya dengar. Untung burung terucuk milik tetangga sedang tidak riuh ramai bernyanyi-nyanyi mewarnai pagi. Ketika tangan saya hendak membuka pintu, telinga saya dapat mendengar hembusan na pasnya yang pendek-pendek rusuh. “Maaf Pak Guru, saya mau ketemu sama Ibu,” begitu kata Mak Tum agak gugup. “Mangga, pinarak,” kata saya mempersilakan perempuan kurus dengan rambut beruban itu duduk. Lalu saya pun memanggil istri yang tengah sibuk di dapur. Selanjutnya saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena selain saya lalu sibuk menyiapkan apa yang harus saya bawa ke sekolah di mana saya mengajar juga mereka bicara dengan suara sangat pelan, lebih-lebih perempuan sepuh itu. Saya mengira ada hal penting yang dibicarakan; kedatangannya yang pukul enam pagi itu pastilah karena ia tahu kami sudah akan berangkat ngajar pukul setengah tujuh. Sepulang kerja, sebelum saya sempat menyentuh minuman atau makanan yang biasa disediakan di meja makan, istri saya menguatkan dugaan saya akan pentingnya kunjungan Mak Tum. Tak biasanya ia meneriaki saya dari dapur. “Mas, ada hal penting yang perlu kita bicarakan segera. Tapi Njenengan makan dulu, sudah saya siapkan,” suaranya 155Antologi Cerpen Kebangsaan
yang tinggi melengking mengalahkan celotehan Si Ned, anak kedua saya, yang nampaknya sedang belajar berhitung. Begitu biasanya istri menengarai hal penting yang akan melibatkan saya. Ia tahu kalau setelah makan siang saya biasanya sudah kembali ngeblas keluar rumah – bisa melanjutkan pekerjaan rutin sekolah yang belum beres, bisa menggarap pekerjaan pesanan kolega, tapi yang paling sering adalah kongkow-kongkow dengan teman-teman di asosiasi pendidik dan kemudian gentayangan di pemukiman kumuh sepanjang rel kereta api bersama mereka. “Tentang Mak Tum?” begitu tanya saya setelah makan siang. Mak Tum adalah tetangga yang anak perempuannya kami mintai tolong untuk momong Si Ned. Semula Ibu, neneknya Si Ned, memaksa saya untuk menjaganya; namun, kini saya tak tega melihat Ibu yang pontang-panting mengawasi Si Ned yang mulai tamb ah nakal setelah ulang tahunnya yang kedua bulan lalu. “Ya, Mak Tum minta tolong kita untuk membantu anak peremp uannya,” katanya. Lalu berceritalah istri saya panjang lebar tentang apa yang diharapkan oleh Mak Tum. Setelah ram pung ceritanya, saya pun menanggapi. “Dik, daripada pinjam uang di bank atas namamu, kukira lebih baik kita pinjami saja. Ingat, bila di bank pasti ada bunganya dan aku khawatir akan memberatkan.” “Itulah yang kupikirkan, Mas. Aku minta pendapatmu bagaimana kalau kita saja yang meminjaminya uang.” Saya kira itulah yang terbaik, maka kami putuskan untuk meminjami Mak Tum uang sebesar yang dibutuhkan anaknya. “Ngomong-ngomong, kenapa kok harus Mak Tum, bukan anaknya sendiri yang menyampaikan pada kita?” “Mak Tum bilang kalau anaknya malu sama kita. Bukankah hutangnya tahun lalu sampai sekarang belum lunas?” “Lalu dia minta tolong emaknya untuk menyampaikan ren cananya. Pinjam uang di bank atas namamu, begitu?” 156 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“Ya, karena menurutnya orang miskin yang tidak punya apa-apa tidak mungkin dapat pinjam uang di bank.” “Wah, kalau begitu kita sudah dianggap orang kaya dong!” saya menepuk dada sampai batuk-batuk. “Ya, kayak monyet!” dada saya dijotosnya hingga saya jatuh telentang di sofa. Dan, seperti biasa kami pun bergumul seperti dua pegulat amatiran yang dua hari tidak makan. * Khataman, ya uang itu untuk khataman. Tidak sedikit me nurut saya. Ternyata uang yang lebih dari satu juta rupiah itu digunakan untuk hal-hal yang menurut saya tidak penting- penting amat. Penghargaan bagi Pak Kyai yang telah mengajari Titi, cucunya Mak Tum, membaca Alquran sebagai salah satu wujud ucapan terima kasih, ternyata besarnya tidak seberapa. Justru yang menguras dana adalah untuk menyewa kuda, mengo ngkosi abid, dan untuk membiayai kepanitiaan. Memang prosesi khataman sekarang ini tidak kalah meriahnya dengan arak-arakan Agustusan. * Saya jadi teringat peristiwa sekitar dua puluh tahun yang lalu, pada saat saya duduk di kelas enam sekolah dasar. Waktu itu saya sedang menunggui Ibu jualan daging sapi di pasar. “Gus, kapan khatamnya? Slamet sudah khatam, juga Edi dan Untung,” tanya ibu sambil me-ngeletek balungan, memisahkan lemak dan daging dari tulang, untuk dijadikan sambelan. “Masih lama, Bu,” jawab saya. Sebenarnya lama dan seben tarnya tergantung saya, dan dalam hal ini memang sengaja saya bikin lama. “Oo, dasar cah bodho,” kata ibu sambil mesem. Ya, tersenyum. Itulah yang membuat saya begitu sayang sama Ibu. Saya tahu bahwa kalau bukan Ibu, tentu senyum itu sudah tidak ada. Se bagai anak penjual daging sapi eceran di pasar, saya paham 157Antologi Cerpen Kebangsaan
betul bahwa kalau azan Asar sudah terdengar sementara daging, balungan, jerohan masih menumpuk di meja, itu tandanya hari itu “kerja bakti”, atau kalau pun ada untung, untungnya akan tidak seberapa. Supaya besoknya masih bisa dijual, Ibu akan menyuruh saya beli es batu; lalu daging, jerohan, dan balungan sisa itu dimasukkan ke dalam panci besar atau dandang kemudian diatur sedemikian rupa agar es batu bisa merata mendinginkan semuanya. Bila besoknya, daging es-esan itu belum juga habis, itu artinya rugi. Ah, tapi Ibu masih juga bisa tersenyum. Saya memang sengaja mengulur-ulur saat khatam saya. Biarlah teman-teman satu kelompok ngaji di surau khatam lebih dulu, lalu saya ikut kelompok berikutnya, dan nantinya di pertengahan, saya akan mulai “memalaskan” diri dan akhir nya tidak ikut sama sekali. Yang penting saya sudah bisa mem baca, dan insya Allah saya tidak kalah fasih dengan teman-teman yang sudah khatam. Saya sungguh tidak tega minta uang pada Ibu untuk khataman, meski saya tahu Ibu akan berusaha men dapatkannya – entah bagaimana caranya. Pada hari saya memutuskan untuk tidak lagi pergi mengaji, setelah sebelumnya memalaskan diri supaya tidak menimbulkan kecurigaan siapa pun, saya bawa Alquran, yang biasa saya pakai untuk mengaji, ke masjid besar Kauman di depan alun-alun kota – masjid yang beduknya konon terbesar di negeri tercinta ini, yang debam suara beduknya bisa sampai ke rumah saya yang jaraknya lebih dari satu kilo. Ketika itu menjelang saat salat Asar. Saya berpakaian seperti ketika akan salat Jumat, termasuk mandi dulu dan memakai wew angian. Saya ambil meja kecil yang ada di sudut serambi masjid dan saya letakkan Alquran di atasnya. Saya duduk bersila di tengah-tengah mesjid yang begitu luas. Saya sungguh nyam an merasakan begitu kecilnya saya di tengah-tengah masjid yang luas dan tinggi itu. Saya akan membaca Alquran dengan memb ayangkan saya sedang dalam prosesi khataman: 158 Ini Bangsa Juga Punya Saya
membaca dengan pengeras suara dengan didengarkan Pak Kiai, Ibu, saudara-saudara, dan para hadirin yang terhormat. Tapi … ah, mengapa lidah jadi begitu kelu. Saya pun hanya duduk membisu. Saya duduk menunduk sekitar setengah jam. Anehnya saya tidak mengantuk seperti pada saat duduk mendengarkan khot bah Jumat. Entah bagaimana saya lalu berbisik lirih, “Ya Allah maafkan saya. Hamba-Mu ini begitu jahat bersiasat agar tidak ikut khataman. Tapi, Ya Allah, itu semua saya lakukan karena saya begitu sayang sama Ibu. Saya tahu Ibu tidak bisa beli jajanan seperti ibu teman saya. Ibu tidak bisa minta uang sama Bapak karena memang Bapak tidak ada entah ke mana. Kami berdua, yang mengalami bahwa makan tiga kali sehari itu sudah merupakan suatu kemewahan, sungguh tak mungkin memaksa kan ikut khataman yang bagi kami suatu mimpi indah. Untuk itu, ya Allah, izinkanlah saya untuk tidak turut khataman, dan maafkanlah saya atas kekurangajaran saya ini …” Entah mengapa air mata deras mengalir membasahi kedua pipi. Orang-orang yang sudah berdatangan untuk menunaikan salat Asar tampak heran melihat saya yang menangis dalam diam. Saya terperanjat begitu menyadari dalam keadaaan beruraian air mata seperti itu. Cepat-cepat saya seka kedua mata saya dengan lengan baju. Saya pun tanpa berpikir panjang ke luar masjid, dan berlari. Dan, terus berlari … berlari menuju rumah – tanpa mempedulikan sepasang sandal jepit saya yang tertinggal di depan undakan masjid. Sesampainya di rumah, saya lihat Ibu sedang di dapur mengatur kayu-kayu di tungku dengan panci besar di atasnya. Ini artinya daging dagangan kemarin hari ini tidak laku dijual, dan Ibu akan memasaknya menjadi abon dan usik juga rambak. Pelan-pelan saya masuk kamar yang sulit disebut kamar kerena “dinding” yang membatasi kamar saya dengan dapur hanyalah sepeda unta tua, bobrok, dan tanpa roda yang konon milik Bapak 159Antologi Cerpen Kebangsaan
yang diselimuti beberapa handuk tua. Saya pun merebahkan diri di dipan pelupuh, dan tak berapa lama lalu jatuh tertidur. “Gus, bangun! Salat Magrib, sudah hampir Isya. Nanti setelah Isya ada khataman, kita bisa lihat bareng …” Ibu mem bangunkan saya yang masih berbaring telentang mendekap Alquran. “Tidak mengapa melihat khataman. Ibu tahu kalau mengaji untukmu berat sekali. Memang tidak mudah. Memang bukan bakatmu barangkali. Kemarin Ibu sudah matur sama Pak Kiai dan beliau dapat mengerti. Hanya beliau sedikit heran karena dulu kamu sangat lancar dan cepat, hanya akhir-akhir ini jadi tampak kurang perhatian, …” dan masih banyak lagi yang Ibu katakan sambil kembali bergegas memasukkan kayu-kayu ke dalam tungku. Ah, Ibu, Ibunda tercinta … satu-satunya manusia di dunia ini yang tangannya saya cium dengan hidung, bibir, dan hati …. * “Pak Agus, nanti kalau ada waktu silakan melihat anak saya yang khataman. Anak saya bisanya ya cuma naik kuda yang sewan ya dua ratus ribuan, tidak seperti Irfan yang naik kuda lima ratus ribuan, tapi tidak apa-apalah, saya sudah puaaass banget bisa lihat anak saya khatam. Saya tidak bisa baca Alquran tidak apa-apa, tapi anak saya harrrusss bisa, begitu kan, Pak Agus?” Saya hanya senyum-senyum saja menanggapi celoteha n riang anak perempuan Mak Tum, dan tidak lupa saya sampaikan ndherek bingah, ikut bergembira dengan keberhasilan Titi anaknya yang sudah khatam Alquran sebelum naik kelas enam sekolah dasar. “Nanti malam saya tidak ada acara, mudah-mudahan dapat bersama-sama jadi pengombyong mengawal Titi,” kata saya sam bil melirik istri yang mengangguk-angguk setuju. Khataman sekarang ini memang jauh berbeda dengan khataman dua puluh tahun yang lalu, kini jauh lebih mentereng 160 Ini Bangsa Juga Punya Saya
dan mahal. Selain sewa kuda yang bisa mencapai setengah juta, yakni yang jenis pianger atau sekurang-kurangnya sandel yang gagah tapi jinak dan bisa berdiri di atas dua kaki belakangnya alias standing, juga ada atraksi abid. Rombongan abid akan memainkan api dengan sedemikian terampilnya. Didukung oleh gelapn ya malam yang makin membuat api jadi makin bende rang, abid menjadi tontonan favorit. Konon rombongan abid ini setiap kali tampil menghabiskan minyak tanah dua ratus liter dan mereka dibayar hampir sejuta rupiah. Saya dan istri yang menggendong Si Ned, yang ternyata tak terlalu tertarik dan jatuh tertidur, berdiri di pinggir jalan melihat arak-arakan itu. Bila anak saya tidak tidur, kami sebenarnya ingin ikut jalan mengikuti arak-arakan di belakang. Entah dapat gagasan dari mana, istri saya nyeletuk, “Mas, besok kalau Si Ned ini khatam, harga sewa kuda yang bisa standing sudah naik banyak, ya?” Dan, saya tidak mampu menanggapi karena entah mengapa air mata mengalir di kedua pipi … * Yang terbayang di mata saya adalah kuda-kuda. Ya, kuda- kuda saat saya dan Ibu melihat arak-arakan bersama. Beliau merangkul erat pundak saya dan waktu itu saya masih mendekap Alquran. Kutahan-tahan setengah mati agar air mata tidak tump ah, sampai leher ini jadi begitu kaku dan nyeri. Di jalan kulihat Arif, teman sekelompok saya, naik kuda warna dhawuk, Rita naik kuda warna jragem, dan siapa lagi? Ah, banyak yang kukenal pokoknya, semuanya senyum-senyum riang, meski kudanya cuma kuda jenis kore atau kacang dan tidak ada atraksi abid. Tiba-tiba Ibu menundukkan kepalanya dan menempelkan mulutnya di telinga saya, “Ibu sebetulnya sudah siapkan biaya untuk khatamanmu, Gus. Nanti akan tetap kuberikan padamu, terserah mau kau pakai untuk apa …” Uang “khatam” itu saya terima keesokan harinya, yang hari berikutnya langsung saya gunakan untuk memperbaiki sepeda 161Antologi Cerpen Kebangsaan
dan membelikannya sepasang roda. Dengan sepeda itulah saya bersekolah. Saya pakai sepeda itu bersekolah di SMP, juga di SMA, dan bahkan sampai menyelesaikan kuliah di IKIP. Sepeda itu sekarang masih ada, masih bisa dipakai sebetulnya, tapi karena sayang kugantung ia tinggi-tinggi di gudang. *** Purworejo, 2005 – diperbaiki akhir September 2019 162 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Kartika Catur Pelita RUMAH PAHLAWAN Antoni sedang menulis naskah untuk pentas teaternya ketika seorang tamu mengetuk pintu kamar. Antoni membuka pintu, seorang lelaki tua berpenampilan ala pejuang kemerdekaan telah berdiri di depannya. Tersenyum. Penuh wibaw a. Antoni terkesima. Lupa menyilakan masuk. Si Pejuang dengan langkah gagah memasuki rumah kontrak kan Antoni yang kecil. Hanya sebuah ruang tamu- merangkap tempat kerja, kamar tidur yang pengap, dan kamar mandi sem pit. Si Pejuang berdiri tegap di depan di kursi bambu, mem belakangi jendela yang terkuak lebar. Kesiur angin siang mem permainkan serumpun pohon bambu di halaman depan rumah. Ia memandang pohon serba guna itu dengan tatapan penuh makna. Sesaat menghela nafas panjang, dan memandangi Antoni lurus-lurus. Antoni tersenyum agak kaku. Melempar pand ang ke seputar ruang. Sepasang mata kelamnya tertumbuk pada mesin ketik yang tiba-tiba gagu. Kertas yang baru separoh dinodai dengan tinta menyembul. Antoni menyobeknya. Sialan, salah ketik melulu. Seandainya dia memiliki komputer tentu dia tinggal men-delete. Tapi … sudahlah. Inilah kehidupan. Tak semudah men-delete yang benar menjadi salah, atau sebalik nya, membenarkan yang salah seolah benar. Kehidupan yang terkadang tak adil. Golongan ekonomi kuat yang menindas ke hidupan masyarakat kecil. Birokrasi pemerintah yang buruk. Korupsi, kolusi dan nepotisme seolah sudah menjadi budaya. 163Antologi Cerpen Kebangsaan
PHK sepihak, pengangguran menggunung, kriminalitas, keke rasa n rumah tangga, kekerasan di sekolah, BBM mahal, harga semb ako membumbung tinggi, pendapatan –upah rendah. Inilah wajah negeriku sekarang, setelah berpuluh-puluh tahun, lebih dari setengah abad merdeka! Antoni hanya bisa menyuarakan ketidakadilan ini lewat pertunjukan teater. Walau sering dibayar murah, tak apa. Ada kepuasan batin yang tak terukur uang. “Boleh saya duduk, anak muda?” “O, silakan, Pak.” Si Pejuang duduk di kursi bambu. Dalam posisi duduk pun dia dalam sikap tegap. Sangat beda dengan Antoni yang bila duduk asal menempatkan pantat. Antoni menyalakan rokok murahannya ketika Si Pejuang berkata, tapi seolah menggumam. “Mengapa kamu merusak diri sendiri dengan membiarkan racun membunuh hidupmu secara perlahan.” Antoni merasa tersindir, bagai terhipnotis, menciumkan seb atang rokok pada ubin yang kering. Baru sekali ini dia me lakukan. Padahal selama ini teman-temannya maklum pada kebiasaan hidupnya yang hanya berputar dari: bangun tidur, makan, menulis, merokok, ngopi, kentut dan berak. “O ya, Bapak dari mana?” Rasa penasaran digelontorkan. Antoni merasa tamunya kali ini beda dengan orang-orang yang selama ini dikenalnya. “Dari berjuang.” “Berjuang?” Kening Antoni berkerenyit. Si Pejuang tersenyum kering. “Boleh Bapak minta air? Bapak haus. Berhari-hari memanggul senjata, ke luar masuk hutan. Sekarang musim kemarau. Sumur-sumur kering.” Antoni mengangsurkan kendi. “Hanya air putih, Pak.” “Dingin?” 164 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“Tak sedingin air kulkas.” “Ya, sama-sama air dingin, tapi air dingin di kendi ini tentu lebih sehat.” Antoni mengangguk setuju. Si Pejuang meneguk air kendi. “Memang zaman susah. Minum hanya air putih. Tak seperti Belanda sialan yang saban hari minum milk atau bir.” Antoni terkesima memandang jakun lelaki tua turun naik. Menahan kemarahan atau menggambarkan kelelahan fisiknya? Menilik pakaian yang dikenakannya dia sudah berhari-hari tak berganti baju. Berhari-hari mungkin tak mandi. Tapi aneh … mengapa tubuhnya tak bau. Siapa sebenarnya dia? Dari mana datangnya? Tadi dia bilang dari pergi berjuang? Berjuang di mana? Kota ini jauh dari Poso, NAD, atau Papua. Antoni penasaran. “Bapak berjuang di mana?” “Tentu saja di medan perang. Apakah kamu tak tahu, Sura baya sedang kacau. Tentara Sekutu datang, ingin merebut ke merdekaan RI!” Antoni menggaruk kepalanya yang berambut gondrong- tapi tak berketombe. Antoni memandang bingung lelaki di depann ya. Benarkah yang dikatakannya? Gila! Pasti dia orang gila! Antoni menajamkan mata, memandang almanak 2007 yang lusuh tertempel di dinding. Gila! Surabaya bergejolak. Tentara Sekutu dan Inggris datang. Arek-arek Surabaya berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mempertahankan kemerdekaan. Peristiwa itu terjadi 62 tahun yang lalu. Padahal lelaki tua itu sudah berusia tujuh puluhan. “Kau bayangkan … ketika kami dengan senjata seadanya melawan mereka yang bersenjata lebih maju. Tubuh mereka pun lebih besar. Sehat. Kuat. Karena gizi mereka baik. Tak seperti kami yang harus berjuang dulu untuk bisa makan, atau makan 165Antologi Cerpen Kebangsaan
seadanya. Tapi kami tak gentar. Belanda menyerang, kita lawan. Belanda memakai bedil, kita cukup dengan bambu runcing!” “Apakah Bapak tidak takut?” “Heh, tak ada kamus takut bagi pejuang. Pejuang memen tingkan kepentingan negara di atas kepentingan golongan dan keluarga. Tanpa pamrih. Rela mati untuk mempertahankan kem erdekaan bumi pertiwi. Indonesia tanah tumpahku. Kau pasti sudah mendengar ketika kemarin para pejuang berhasil merebut Hotel Oranye dan merobek bendera Belanda. Beberapa teman kami berhasil menurunkan bendera triwarna Belanda, setelah sebelumnya terjadi keributan dan beberapa pemberani meregang nyawa karena panasnya timah peluru pasukan Belan da. Tapi pejuang tak gentar, untuk mempertahankan kemer dekaa n di bumi Surabaya, di negeri Indonesia tercinta ini. Kami berhasil naik ke tiang dan menurunkan bendera Belanda, lalu merobek warna biru pada bendera itu. Kemudian kami menaik kan bendera Sang Saka Merah Putih! Kami diselaputi keharuan ketika melihat bendera Merah Putih kembali berkibar. Bendera bangsaku. Merah putih bendera pusaka. Merdeka! Merdeka! Merdeka!” “Bapak gagah berani!” “Itulah modal seorang pejuang. Tak takut menyerahkan nyawa untuk membela negara! Berjuang bukan untuk meminta balas jasa, pangkat, jabatan atau kekuasaan. Baru berjuang seujung kuku sudah meminta emas sebesek-untuk menghidup anak cucu!” Antoni tersenyum mendengar pepatah yang baru sekali ini di dengar. Tapi Antoni paham arti ungkapan ungu itu. ”Berapa ribu nyawa teman kami yang gugur untuk membela harga diri bangsa ini. Agar penjajah enyah dari bumi tercinta ini. Sekali merdeka tetap merdeka!” “Merdeka! Merdeka! Merdeka! “ 166 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Si Pejuang menyeka keringat yang merembes di dahi. Ke banggaan terukir tak hanya di sanubari-bahkan terpancar di wajah. Antoni terkesima “Bapak pantas mendapat gelar pahlawan! Bapak berani berjuang di garis depan.” “Bukan hanya yang memanggul senjata dijuluki pahlawan. Bukan hanya yang berhadapan langsung dengan musuh kau sebut pahlawan. Wanita-wanita yang merawat ketika kami sakit atau terluka … mereka juga pahlawan!” Ibu-ibu yang memasakkan, menyiapkan makan kami, mereka juga pahlawan. Bahkan anak kecil yang kami tugaskan sebagai kurir, dia pantas mendapat gelar pahlawan! Walau sebagian mereka tak pernah menikmati kemerdekaan. Kau pernah dengar tentang veteran atau pejuang yang hidupnya terlunta-lunta, karena tak bisa mengurus bukti bahwa dia pernah turut berjuang, membela kemerdekaan negeri ini. Mereka harus mengurus piagam-kertas sekedar bukti diri- demi ditukarkan sejumlah uang yang nilainya sangat tak sepadan dengan cucuran keringat dan rembesan darah perjuangan! Inilah bukti tak kepedulian pemerintah pada pendahulu, para pejuang kemerdekaan!” Antoni mengangguk. Kesiur angin siang kian berhembus kencang. Beberapa daun bambu kering berjatuhan mengotori halaman depan-sebidang tanah yang luasnya tak seberapa. “Tapi mereka akan menikmati selaksa pahala. Mereka akan mendapat surga-Nya.” “Ya.” “Ketahuilah, pahlawan sebenarnya bukan sebutan untuk se buah nama seseorang yang merasa banyak berjasa. Kita sendiri tak pantas menyebut diri kita pahlawan. Istri pantas menye but pahlawan untuk suami yang mencari nafkah saban hari untuk keluarga. Sebagai istri yang telah merawat, menjaga, dan mendidik anaknya-suami pantas menyebut istrinya sebagai 167Antologi Cerpen Kebangsaan
pahlawan. Murid menjuluki guru sebagai pahlawan- karena guru mengajar berbagi ilmu. Dokter atau tabib yang mengobati orang sakit kita boleh memanggilnya sebagai pahlawan kese hatan. Setiap orang bisa jadi pahlawan, setidaknya untuk diri nya. Karena pahlawan memang selalu ada. Pahlawan selalu ada seiring zaman!” Antoni lama termenung, meresapi. Antoni tersadar ketika si Pejuang menepuk pundaknya. “Kamu juga pahlawan anak muda. Kamu menyuarakan ketidakadilan, mempertunjukkan kenyataan kehidupan yang terkadang getir lewat karya-karya pentas teatermu. Walau di zaman ini masih sedikit orang yang mengapresiasikan karyamu, tapi setidaknya ia adalah bintang yang ada di antara seribu bintang yang bersinar di kehidupan ini.” “Ya … saya setuju ungkapan Bapak yang puitis.” “Kamulah satu-satunya orang yang mengatakan hal ini, anak muda.” “Nama saya Antoni Kartika. Nama Bapak siapa?” “Panggil saja aku si Pejuang!” “Bapak pahlawan!” “Kamu juga pahlawan!” “Kalau begitu kita sama-sama pahlawan. Pahlawan seiring zaman!” “Bapak harus pulang.” “Oya, sebentar saya bungkuskan makanan-hanya singkong rebus. Untuk mengisi perut di perjalanan.” Antoni memasuki kamar. Tapi ketika Antoni ke luar … si Pejuang itu sudah tak ada. Antoni mengejar bayangnya ke ujung perempatan jalan. Antoni hanya menemukan wangi tubuhnya. Antoni bergegas memasuki rumah. Mengurung diri di kamar. Menyelesaikan naskah. Sebentar lagi dia akan jadi pahlawan. *** Kota Ukir, 7 Juli 2016—29 September 2019 168 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Muhisom Setiaki ANTI KORUPSI Aku maling. Ya, benar aku maling. Jujur aku maling. Buat apa aku berbohong segala. Meskipun maling aku bisa jujur. Makanya aku sering heran dengan ucapan ustaz, kiai, atau pendeta. Mereka selalu mengatakan, jangan mencuri. Bagaimana aku tidak mencuri, jika untuk makan saja aku tidak bisa. Pekerjaan tidak ada. Ya, akhirnya aku putuskan dengan kesadaran, akulah maling sejati. Aku jujur kepadamu. Oya tentang perkataan kiai dan lain nya, itu hanya teori. Agama hanya sekadar ucapan. Coba kamu pikir, mereka tidak mencuri, soalnya di rumah mereka makan an melimpah tersedia. Kalau mereka jadi aku, baru hebat. Mak sudku jika mereka tidak punya apa-apa, makanan juga tidak tersedia. Terus di depannya ada roti atau bungkusan nasi, entah itu milik siapa. Kalau kiai atau ustaz atau pendeta mampu tidak memakannya, itu baru agama. Agama itu tidak hanya ucapan, tapi tindakan. Maaf ya jika aku jadi memberi khotbah. Khotbah itu pekerjaan mereka. Pekerjaanku ya mencuri. Aku mau sedikit berbagi tentang pengalamanku. Peng alamanku sebagai maling. Siapa tau pengalaman ini bisa meng inspirasi pembaca. Atau siapa tau kalau nasibku lagi hoki. Aku bisa jadi motivator. Sekarang bertebaran lho para motivator. Bagiku para motivator itu tidak ada bedanya dengan kiai mau pun pendeta. Mereka cuma omong doang. 169Antologi Cerpen Kebangsaan
Aku kalau mencuri selalu pilih-pilih sasaran. Aku tidak pernah nyolong milik orang miskin. Anak kecil juga pantangan. Ibu-ibu juga para wanita. Kalau boleh sombong aku ini termasuk maling budiman. Kalau ada rating atau survei mungkin aku termasuk maling yang banyak dipilih karena kelembutan hatiku. Aku berbeda sekali sama politikus. Juga tidak sama dengan wakil rakyat. Mereka itu banyak tidak jujurnya. Mesti pekerja anku nyolong, aku selalu berusaha untuk jujur. Eh, aku ini lagi mau bercerita kepadamu. Maaf kok sejak dari tadi banyak khotbahnya. Jujur pernah aku dihajar masa. Aku hampir mampus. Ceritanya, aku nyolong burung murai tetangga kampung. Tentu saja milik orang kaya. Kalau dilihat dari megahnya rumah, sangkar burung mewah, dan kicau murai yang menawan. Aku melompat pagar. Sangkar aku gendong menuju gelap malam. Sial. Baru menapak dua langkah, anjing menyalak. Seketika aku digebuk. Serentak aku ambruk. Tiba-tiba kerumunan manusia laksana mendapat umpan untuk mengeluarkan kesumpekan. Aku dihajar bagai samsak tinju. Muka mengucur darah. Badan lemah. Tiba-tiba datang malaikat atau setan? Aku disela matkan. “Hei stop! Jangan main hakim sendiri.” Tiba-tiba dalam ambang sadar dan mati aku lihat dalam gelap, polisi yang baik hati. Aku bisa diselamatkan. Aku diseret. Dilempar ke mobil patroli. Sejurus kemudian, aku tidak sadar diri. Aku tidak merasakan apa-apa. Barangkali angin menampar tubuhku. Dingin malam menyelimuti. Tapi dalam pingsan siapa bisa merasakan dingin. Sakit pun aku tak merasa. Ketika mata aku buka. Hanya bayang lampu bohlam meng hitam di mataku. Beberapa detik aku memandang tentu saja hanya silau. Remuk badan mulai terasa bebarengan dengan terbukanya mata. 170 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Rintih jam di dinding mendesah di pukul sebelas malam. Semua tampak putih. Dinding putih, seprai putih, selimut putih. Bayang-bayang orang di sekeliling makin hitam, kabur. Makin hitam makin terang. Jelas sekarang. Perawat berwajah pucat berp akaian putih. Aku di ambang sadar menebak pasti ini di puskesmas. “Kamu lagi!” Sapaan pertama perawat. Pasti ucapan dengan kebencian. Aku bisa merasakan. “Kamu tidak kapok-kapok.” Aku cuma sedikit menggerakkan kepala. “Dalam sebulan ini kamu sudah berapa kali keluar masuk ruang ini?” pertanyaan perawat yang ketus. Jujur sudah tidak berbilang aku menginap di puskesmas. Bagaimana lagi maunya kalau sakit ya di rumah sakit yang me wah. Yang tarifnya tak kalah galak dengan hotel. Tapi maling ya kalau sakit, atau tepatnya disakiti, digebuki, untung tidak mati, ya dirawat di puskesmas. Lumayan juga, saat sakitnya sudah sedikit menghilang aku bisa makan tidak bayar. Tapi sudah terbayang habis ini pasti dibui. Pasti sekurangnya 3 bulan di kurungan. Di hotel prodeo aku bisa sedikit istirahat, atau cuti, ini istilah pegawai negeri dari pekerjaan. Maksudku bisa istirahat dulu dari pekerjaanku untuk mencuri. Dan, di penjara aku bisa makan gratis. Mesti menunya tidak ada yang menarik selera, tetapi tidak apa yang penting ada yang bisa untuk ganjal perut. Dalam tiga bulan berjalan aku juga bisa instropeksi diri. Aku bisa mempertimbangkan, haruskah pekerjaanku ini, jika sudah ke luar, aku lanjutkan? Atau aku harus mencari pekerjaan lain. Atau aku harus mutasi naik tingkat. Aku selalu merenung panjang. Kalau mencari pekerjaan lain. Harus bekerja apa. Aku hanya lulusan SD sewaktu di desa. Aku tidak bisa mengolah sawah. 171Antologi Cerpen Kebangsaan
Maksudnya mengolah sawah tetangga. Buruh mencangkul milik sawah tetangga. Aduh, cuma berapa upahnya. Capeknya sudah jelas kelihatan. Kalau melanjutkan karier maling ini, sepertinya tidak ada kenaikan, he … he istilahnya tidak ada promosi jabatan. Padahal maling ini resikonya, kamu tahu sendiri. Ya, seperti sekarang ini. Aku hanya mau nyolong burung eh ketahuan. Babak belur sudah pasti. Masuk bui tiga bulan jelas, malah lebih beberapa hari. Aku putuskan setelah keluar mau melanjutkan karier saja. Aku ingin bisa naik tingkat. Jujur saat ini aku bangga sekali. Aku sekarang jadi garong. Sudah 8 toko emas aku bobol. Istri dan anak di rumah desa seka rang lebih sejahtera. Tiap bulan aku kirimi uang tidak kurang dari enam juta. Aku selalu bilang pada mereka, Papa sekarang mengelola tambak udang di sepanjang pantai utara. Karyawan ratusan. Kantor Papa tentu di ibu kota. Paling satu bulan sekali Papa menengok tambak. Tentu saja istri dan anak manggut-manggut gembira. Kalau pulang lebaran. Aku sewa Fortuner. Aku bawa driver pribadi. Sopir ini anak buahku dalam setiap merampok. Aku di desa disambut seperti pahlawan. Aku bagi-bagi duit ke tetangga, saudara, juga teman. Sekarang aku tersohor sebagai dermawan. Siapa yang tidak silau oleh uang? Zaman sekarang semua duit. Semua diukur dengan duit. Orang-orang desa selalu mengatakan, wah Bardi sekarang sukses. Mobil mewah duit melimpah. Selalu begitu ukuran sukses, mobil, rumah, duit. Tetapi orang desa tidak salah. Orang kota saja mengatakan kesuksesan orang bisa dilihat dari rumah megah, mobil mewah, uang berlimpah. Tidak peduli semua itu didapatkan dari nyolong, mencuri, atau korupsi. Coba kamu yang tidak punya apa-apa. Jangan berharap mau “dihitung” meskipun kamu pandai, meskipun kamu alim. 172 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Kalau tidak salah malam ini yang kedua ratus tujuh aku merampok. Aku sudah perhitungkan semuanya. Jam berapa toko Belim bing Emas tutup. Karyawan pulang beberapa menit kemudian disusul satpam. Siapa yang mengunci rolling door toko. Siapa yang membawa emas, siapa yang membawa uang. Kapan jalan mulai sepi. Semuanya sudah rapi. Hari baik untuk bertindak juga sudah aku buka di buku primbon. Semua beres tinggal melaksanakan. Aku bersama tiga anak buah sudah stand by. Kode-kode sudah aku sampaikan kepada teman-teman. Tepat jam dua belas malam lebih empat belas menit operasi dimulai. Aku memimpin penggarongan. Sudin di luar jaga-jaga, kalau-kalau ada yang mencurigakan, Sudin akan bersiul sebagai kode. Aku bersama, Itok, dan Bawor, semuanya garong profesio nal, memanjat genting. Menit memasuki duapuluh delapan aku bertiga sudah masuk menerobos eternit. Langkah berikut aku bertiga turun ke sasaran. Semua gelap. Saat kami bersama menapakkan kaki di lantai dengan pelan. Tiba-tiba, byar semua lampu terang benderang. Hanya silau me nancap mata. Dingin merambat di pelipisku. Aku sadar pistol sudah dikokang. Kalau aku bergerak pasti di desa sudah ada kabar kematian diriku. Sial. Aku diputuskan 14 bulan kurungan. Saatnya lagi aku berinstropeksi. Aku setelah keluar mau berkarier apa lagi. Kalau instropeksi menabrak jalan buntu. Aku mencari refreshing dengan menonton televisi. Jujur sebenarnya nonton televisi lebih menjemukan dari saat diam merenung diri. Acara televisi hanya melulu berita korupsi. Ada kepala seko lah korupsi, camat korupsi, bupati korupsi. Gubernur korupsi, menteri korupsi. Lebih jijik lagi wakil rakyat rombongan korup si. Mulai saat ini aku muak sama yang namanya korupsi. Aku 173Antologi Cerpen Kebangsaan
maling, garong tapi mengambil dari yang kaya. Korupsi meng ambil uang negara membuat si miskin tetap papa. Aku sangat benci korupsi. Aku bersumpah akan aku lawan korupsi. He … he. Tidak terasa 14 bulan sudah terlewati. Karierku makin me nanjak. Perampokan yang aku jalankan dengan kawan-kawan selalu berhasil gemilang. Di desa aku sudah sangat kaya. Sawah berhektar-hektar. Rumah tingkat tiga. Mobil dua. Kini saatnya pensiun. Aku pingin menikmati hari tua. Aku pingin mendekat kepada-Nya. Anakku empat kuliah semua. Nomor satu dan kedua sudah diwisuda. Nomor tiga dan empat kuliah di universitas ternama. Berjalannya waktu, anakku sudah pada bekerja. Sulung jadi DPR, aku mengiyakan saja. Kedua jadi pegawai negeri eselon dua. Nomor tiga dan si bungsu baru melamar kerja. Akulah maling sukses. Sekarang tinggal memetik buah yang halal. Pagi ini aku nonton berita di televisi, aku tidak suka baca koran, aku begitu terperangah. Dalam breaking news terpampang DPR tampan, bernama Muhamad Ardun tertangkap tangan oleh KPK sedang menerima suap berupa dolar dalam kardus besar. Aku masih belum percaya pada mataku. Aku lemas di kursi malas. Aku ganti channel. Juga berita korupsi. Seorang wanita cantik anggun PNS juga ditangkap KPK karena terbukti korupsi beberapa milyar. TV mengabarkan,”Putri Bilkis Adania, tertangkap KPK karena korupsinya yang tidak sedikit itu.” Aku lemas di kursi malas. Nama-nama yang diberitakan korupsi semuanya sangat dekat dengan sukmaku. Dan, korupsi juga sangat dekat dengan rasa benciku, itu dari dulu. Semuanya sangat dekat denganku meskipun paradoks, nama- nama itu adalah nama-nama anakku. Mereka melakukan yang bapaknya sangat benci. 174 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Aku melorot dari kursi malas. Aku menggelongsor di lantai. Televisi masih menyiarkan berita. Tanganku menggapai-meng gapai. *** Parakan, 2019 175Antologi Cerpen Kebangsaan
Mukti Sutarman Espe CERITA DARI TUKANG KENTRUNG Mbah Dikun memberi penanda jeda pada bagian pem buka, memperkenalkan diri dengan tepukan keras pada rebananya. Tukang ketrung itu meneguk air mineral botolan yang sejak tadi terhidang di samping tempat duduknya. Di kota kami, Mbah Dikun merupakan satu-satunya tukang kentrung yang masih hidup. Kini, menurut pengakuan Mbah Dikun sendiri, usianya sekitar 80 tahun. “Mbah lahir kira-kira lima tahun sebelum kedatangan ten tara Nipon di tanah Jawa,“ jelasnya. Dia tidak tahu persis kapan hari dan tanggal kelahirannya. Perihal tentara Nipon itu pun ia dengar dari almarhum simboknya Tidak seperti tukang kentrung lain, yang kebanyakan me ngisahkan Cerita Panji dalam setiap pentasnya. Mbah Dikun lebih suka memilih cerita yang berisi kisah perlawanan para pejuang pinggiran dengan segala kembangannya. Pejuang yang namanya tidak banyak dikenal apalagi dicatat dalam buku sejarah. Mbah Dikun punya banyak persediaan cerita patriotisme. Patriotisme ndeso, begitu orang sekolahan menyebutnya. Menurut kabar-kabur, dahulu orang tua yang kini hidup sebatang kara itu juga ikut mengangkat senjata melawan penjajah di daerah Tuntang. Bekas luka memanjang dari bagian bawah telinga hingga sudut kanan mulutnya konon akibat siksaan tentara KNIL pada agresi militer Belanda yang kedua. 176 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Terdengar rebana dipukul keras. Bunyinya berdentam mengentak tinggi lalu turun kian lama kian pelahan. Dengan suara lantang Mbah Dikun memulai ceritanya. Malam itu cerita yang ia dongengkan bukan kisah pejuang di wilayah garis depan pertempuran, tetapi percintaan yang tumbuh di Dapur Umum sebuah kantong perlawanan gerilyawan. * Neneng Djulaeha nama perempuan tokoh cerita. Orang- orang memanggilnya Teh Neneng Janda muda tak beranak asal sebuah desa kecil di daerah Banjar. Kang Asep, suaminya gugur dalam penyerangan gagal pada markas tentara Belanda di daerah Lembah Tidar, Magelang. Konon, sejak kematian suaminya Teh Neneng jadi sangat pendiam. Lebih dari itu, dia juga terlihat jarang marah, tertawa, atau menangis. Gejolak segala emosi seolah dia sembunyikan rapat-rapat di balik sorot matanya. Orang-orang dekatnya biasa menandai perasaan Teh Neneng hanya dari sorot cahaya matanya. Sorot cahaya mata itu akan terlihat redup bila dia sedang bersedih dan berkilat-kilat bila dia sedang bergembira. Wajah Teh Neneng biasa-biasa saja, kulit hitam, perawakan gemuk agak tinggi. Boleh dibilang tidak ada yang istimewa pada perempuan itu, kecuali satu hal, masakan olahannya sangat istimewa. Hampir semua pejuang yang berkesempatan merasakan masakannya, terutama masakan beresep Sunda, mengatakan, masakan Teh Neneng amat lezat dan membuat lidah siapa pun tak henti bergoyang. Lalu Kopral Salamun, laki-laki tokoh cerita. Lahir di Lereng utara Gunung Ungaran. Jawa tulen. Dalam usia belasan tahun sudah bergabung dengan para gerilyawan di daerahnya. Kata kopral di depan namanya itu bukan pangkat ketentaraan. Namu, bagian nama pemberian orang tuanya. Di kalangan teman- teman seperjuangannya Kopral Salamun dikenal sebagai penyu sup ulung. Kepiawaiannya menyaru dan keberaniannya masuk 177Antologi Cerpen Kebangsaan
hingga jauh ke dalam wilayah pendudukan sudah banyak me makan korban di pihak lawan. Teh Neneng dan Kopral Salamun pertama kali bertemu di Dapur Umum kantong gerilyawan yang berada di lereng selatan Gunung Ungaran. Berawal dari pencegatan konvoi kendaraan di daerah Ambarawa yang gagal total. Di tengah hujan peluru yang dilepas tentara musuh, Kopral Salamun bersama teman- temannya lari tunggang langgang, mencari tempat aman. Dalam keadaan capai dan kelaparan sampailah mereka di dapur umum tempat Teh Neneng berada. Di situ baru diketahui darah mengucur dari lengan Kopral Salamun. Luka lumayan dalam terlihat memanjang. Rupanya sebuah peluru telah menye rempet lengan kanannya. Dan saat itulah tampil Teh Neneng. Serampung menghidangkan makanan, dengan cekatan dia menangani luka di lengan Kopral Salamun. Tidak terjadi sepatah pun percakapan. Proses pembersihan luka, pengobatan hingga pembebatan berjalan dalam diam. Teh Neneng suntuk dengan apa yang tengah dikerjakan sedang Kopral Salamun terlihat menyeringai. Matanya sebentar terpejam sebentar terbuka. Tidak ada yang tahu, apakah dia sedang me nahan sakit atau sedang menikmati tangan halus Teh Neneng yang dengan lembut memegang bagian lengannya yang teluka. Semenjak kejadian itu, Kopral Salamun sering terlihat me ngunjungi Teh Neneng. Awalnya hanya sekadar ingin bertemu, ngobrol, dan mencari makan. “Aku selalu ketagihan masakan Teh Neneng.” Selalu begitu dalih Kopral Salamun kepada setiap orang yang ditemui di Dapur Umum itu. Akan tetapi semua orang di situ sudah mafhum apa yang sebenarnya jadi tujuan utama kedatangan Kopral Salamun. Apalagi setiap datang, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, dia selalu berusaha menemui Teh Neneng. Dari pertemuan ke pertemuan itulah kecocokan terjalin hingga 178 Ini Bangsa Juga Punya Saya
pada akhirnya benih cinta tumbuh subur di dalam kebun hati mereka. “Bila keadaan telah memungkinkan aku akan datang ke orang tuamu,” kata Kopral Salamun, pada suatu malam, lepas beduk isya. Saat itu kebetulan Dapur Umum sedang sepi. Udara selepas hujan mendorong para ibu yang ada di situ lebih memilih rehat di kamar. Sedang para pejuang yang kebetulan singgah memilih berkumpul di tempat tertutup yang tersedia. Seperti biasa, Teh Neneng hanya diam. Ekspresi wajahnya terlihat datar. Hanya tampak sekilas cahaya berkilat di matanya. Sementara itu di hadapannya, Kopral Salamun tampak duduk gelisah. Berkali-kali dia menghela napas. Elahan napasnya ter dengar sangat berat. “Kamu mau jadi isteriku kan, Neng?” Kopral Salamun menatap wajah Teh Neneng dengan penuh harap. Dadanya ber degup kencang. Rasanya dia lebih tenang menghadapi belasa n moncong senjata ketimbang menghadapi seorang perempuan. Terlihat Teh Neneng tidak bereaksi. Hanya menunduk. Matan ya berkilat. Kopral Salamun tidak melihat kilat mata itu. Debar dadanya kian kencang. Keringat mulai menjalar di pung gungnya. “Kamu mau kan, Neng?” Suara Kopral Salamun terdengar gagap. Teh Neneng mengangkat wajahnya. Matanya bersitatap dengan mata Kopral Salamun. Hatinya bergetar. Sesuatu yang aneh, semacam perasaan membuai yang dahulu pernah dia rasakan saat mendengar lamaran almarhum Kang Asep, kini dialaminya kembali. Perasaan yang membuat dirinya seperti terlena dalam ruang yang luas berpanorama serba indah. Mata Teh Neneng terpejam. Tanpa sadar dia menunduk lagi. Kembali suasana jatuh ke tubir sepi. Malam kian beranjak. Semayup-sayup terdengar suara binatang malam dari hutan 179Antologi Cerpen Kebangsaan
lereng selatan Gunung Ungaran. Sekalipun angin membawa hawa dingin, punggung Kopral Salamun kian dibasahi keringat. “Kalau kamu tidak mau ya, sudah, Neng. Aku tidak memak sa.” Kopral Salamun mulai putus harap. Dia terlihat mau berdiri. Namun, ketika dilihatnya Teh Neneng mengangkat wajah dan mem andangnya dengan mata berkilat, buru-buru Kopral Salamun mengurungkan niat. “Kang Salamun serius?” Suara Teh Neneng pelan. Seperti sedang berbisik. Kopral Salamun terlonjak. Debar-debur di rongga dadanya semakin tidak beraturan. Dengan cepat disergapnya pertanyaan itu. “Ya, aku serius sekali!” “Akang sudah tahu statusku?’ Suaranya masih seperti ber bisik. “Sudah!” “Akang tidak akan menyesalinya nanti?” “Segala sesuatunya sudah kupikir dan kutimbang masak- masak.” “Akang tahu juga kalau aku sudah tidak punya orang tua?” Kopral Salamun terdiam. Baru saat itu diketahuinya kalau perempuan yang dicintainya sudah yatim piatu. Sekilas perasaan cemas tumbuh di hatinya. Terus, kepada siapa dan kemana nanti dia mesti datang menyampaikan pinangan? “Kusampaikan itu agar Akang tahu benar siapa sejatinya diriku.” “Ya, ya. Aku paham itu.” Kopral Salamun menggeragap. “Kalau ragu-ragu, belum terlambat Akang mengurungkan niat melamarku.” “Oh, tidak, tidak. Hanya saja….” Suara Kopral Salamun mengambang. “Hanya apa, Kang?” “Kepada siapa aku mesti datang meminangmu?” 180 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“Kang Karjit?” Kopral Salamun terlonjak. Ia berharap telinganya salah mendengar. “Kang Karjit?” tanyanya dengan nada heran. “Ya. Kang Karjit.” Terdengar beberapa kali tarikan napas yang dalam. Dada Kopral Salamun seperti terhunjam batu runcing. Perih sekali. Dia kenal betul siapa Kang Karjit. Salah satu sahabat seperjuangan yang militan. Pejuang tanpa pamrih yang selalu mau berkorban apa pun; pikiran, tenaga, dan harta benda demi tanah tumpah darahnnya. Dia jugalah yang menyediakan rumahnya dijadikan Dapur Umum itu. Lengkap dengan ubarampe yang dibutuhkan. Lantas apa hubungan Neneng dengan Kang Karjit? Teh Cicik! Kopral Salamun baru ingat. Ya, Teh Cicik Djuwaria, isteri pertama Kang Karjit. Perempuan berbadan subur yang telah mendampingi Kang Karjit selama berbelas tahun itulah garis penghubung antara Neneng dan Kang Karjit. Teh Cicik, perem puan yang mengizinkan Kang Karjit kawin lagi lantaran merasa tidak mampu memberi keturunan yang amat didamba-damba suaminya. Kopral Salamun menelan ludah. Tiaba-tiba dia teringat per cakapannya dengan Kang Karjit beberapa bulan lalu, saat kedua nya kembali dari satu pertempuran. “Kamu tahu, Mun, kenapa aku kawin lagi?” tanya Kang Karjit. “Mungkin sampeyan mau merasakan bagaimana beda mojang Sunda dan perawan Jawa ya, Kang?” Kopral Salamun tertawa ngakak. “Gundhulmu, Mun.” Sekalipun tak sengakak Kopral Salamun, Kang Karjit juga tertawa.” “Karena Teh Cicik tidak bisa memberi sampeyan anak ya, Kang?” Nada suara Kopral Salamun merendah. Tanda jikalau dia sedang serius. 181Antologi Cerpen Kebangsaan
“Bukan hanya itu!” “Lalu?” Lalu Kang Karjit bercerita panjang soal rumah tangganya, soal perkawinannya dengan Teh Cicik. Menurutnya, seperti kebanyakan perempuan Sunda, Teh Cicik termasuk perempuan yang kurang pandai mengelola pedaringan. Boros dan pemalas. Lebih suka macak ketimbang masak. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan di depan cermin daripada di dapur. Intinya, Kang Karjit agak menyesal, sebab dulu, tanpa berpikir matang, me nerima begitu saja perjodohan yang ditetapkan kedua orang tuanya. “Pesanku, Mun. Kalau bisa, jangan sampai kamu kawin dengan perempuan Sunda!” Jleb! Pesan terakhir dari Kang Karjit itulah yang membuat dada Kopral Salamun seperti dihunjam batu runcing. Betapa tidak, untuk mendapatkan Neneng dia mesti memintanya ke pada orang yang sudah memberi pesan agar dia tidak kawin dengan perempuan Sunda. “Sampeyan takut menemui Kang Karjit?” Pertanyaan Teh Neneng membuat lamunan Kopral Salamun ambyar. Segera ia tenangkan dirinya. Apa boleh buat, ketka cinta telanjur ter ungkapkan, ketika janji kepalang terkatakan, pantang bagi lelaki sejati untuk kembali menariknya. Toh Neneng Djulaeha bukan Cicik Djuwaria, begitu pikir Kopral Salamun. Maka dengan tegas dia berkata, “Ya, besok pagi akan kutemui Kang Karjit!” Mendengar itu terlihat cahaya mata Teh Neneng berkliat. Dan Kopral Salamun tahu persis apa arti kilat cahaya mata itu. Seperti dugaan Kopral Salamun, Kang Karjit tampak sangat terkejut mendengar apa yang disampaikannya. Begitu terkejutnya dia sehingga ekspresi wajahnya tampak lama terbengong. Baru setelah membakar ujung rokok dan menghisapnya beberapa kali, wajah itu terlihat lagi serinya. 182 Ini Bangsa Juga Punya Saya
“Sudah kau pikir masak-masak dan kau timbang dalam- dalam itu, Mun?” tanya Kang Karjit sambil mengembuskan asap rokoknya ke udara lepas. Kopral Salamun tersenyum. “Sudah, Kang.” “Sungguh?” “Ya!” “Tidak lupa pada pesan yang pernah kusampaikan kepada mu dulu kan?” “Tidak, Kang. Maaf, aku tidak bisa melaksanakannya. Aku benar-benar mencintai Neneng. Selain dari Sampaeyan, sebenar nya aku juga sudah banyak mendengar cerita dan citra buruk perempuan Sunda bila diperisteri orang Jawa. Aku malah ingin menunjukkan kepada siapa pun bahwa banyak juga suami - isteri Jawa - Sunda yang berhasil menjadi pasangan serasi dan bahagia.” “Kalau memang kamu sudah berketetapan hati begitu, ya sudah. Silakan. Aku tak kuasa melarang. Beberapa waktu lalu, ketika mendengar kamu mendekati Neneng, aku beranggapan kamu hanya iseng. Ternyata anggapanku keliru. Kamu ternyata sangat serius. Ya, sudah. Mangga diatur waktunya, kapan kamu ajak orang tuamu ke sini”. Kang Karjit tersenyum. Kopral Salamun berdiri lalu menjabat tangan Kang Karjit. Sesaat keduanya saling peluk. Terlihat Kang Karjit membisikkan sesuatu di telingga Kopral Salamun. Pecah tawa berderai di antara mereka. Pagi itu matahari bersinar terang. Cahayanya te rasa lebih hangat dari biasanya * Terdengar bunyi rebana dipukul keras., tanda Mbah Dikun akan mengambil jeda di tengah ceritanya. Sambil batuk-batuk kecil Mbah Dikun meletakkan rebananya. “Ngelak. Aso ndisik,” kata Mbah Dikun. Tangannya membuka tutup botol air mineral di sampingnya lalu menenggak separuh isinya. 183Antologi Cerpen Kebangsaan
“Tanggung, Mbah. Lanjutkan sampai tamat,” kata seorang penonton. Rupanya Mbah Dikun meluluskan permintaan penonton itu. Sehabis minum dan melahap sepotong jadah goreng, tukang kentrung itu memukul lagi rebananya. Terdengar bunyi ber dentam mengentak tinggi lalu turun, kian lama kian pelahan. * Pada waktu yang telah ditentukan, Kopral Salamun ber sama kedua orang tuanya datang menemui Kang Karjit. Tentu kedatangan mereka berkehendak ingin menyampaikan pinang an. Begitu pinangan diterima, Kopral Salamun berucap syukur, lega tiada tara. Mengingat, untuk membujuk orang tuanya mau memenuhi permintaannya, bukan perkara mudah. Cara berliku mesti dia tempuh. Awalnya, Bapak dan Emaknya melarang keras dia kawin dengan perempuan Sunda. Alasannya kurang lebih sama dengan apa yang pernah disampaikan Kang Karjit. Meskipun berkali-kali Kopral Salamun merengek dan mem bujuk-bujuk kedua orang tuanya, terutama emaknya, bersikukuh melarang. Emaknya bahkan menawarkan Srikanti, gadis sebelah rumah yang sewaktu kecil menjadi teman bermainnya. Dengan halus Kopral Salamun menolak. Setelah berhari-hari memeras pikiran, mencari cara melunak kan sikap orang tuanya, Kopral Salamun memutuskan untuk datang kepada Wak Dasim, adik emaknya. Sekalipun terhitung adik, Wak Dasim sangat dipercaya dan disegani oleh kakaknya. Kopral Salamun tahu benar itu. Singkat cerita, Kopral Salamun dan Neneng Djulaeha resmi jadi pasangan suami isteri. Setelah perang berakhir, keduanya hidup bahagia di pinggiran kota Salatiga. Kopral Salamun be kerja sebagai perangkat desa. Adapun Teh Neneng membuka warung makan spesial masakan Sunda. Dari perkawinan mereka lahir lima anak. Semuanya berhasil menyandang gelar sarjana. 184 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Meski kelima anaknya tinggal terpencar jauh dari mereka, hal itu tidak mengurangi kebahagiaan Kopral Salamun dan Teh Neneng. Karena sedari semula keduanya telah punya kesadaran, menikah dengan siapa pun dan tinggal hidup di mana pun, selagi itu masih dalam wilayah tanah air, bukan hal yang perlu dipersoalkan. Terbukti, anak sulung mereka, laki-laki, menikah dengan perempuan Minang. Tinggal di Padangpanjang. Anak kedua, perempuan, berjodoh dengan laki-laki Bali. Mukim di Tabanan. Anak ketiga, perempuan, disunting oleh pria Aceh. Tinggal di Meulaboh. Anak keempat, laki-laki, menikah dengan perempuan Batak. Tinggal di Jakarta. Si bungsu, laki-laki, kawin dengan gadis Manado, berumah di Surabaya. Kelima anak Kopral Salamun dan Teh Neneng itu memberi delapan cucu yang lucu- lucu kepada mereka. Mbah Dikun menepuk rebana dengan keras. Terdengar bunyi berdentam mengentak tinggi lalu berhenti secara tiba- tiba. Para penonton tahu bahwa cerita sudah berakhir. Tanpa di komando mereka bertepuk tangan panjang. Sementara dengan tangan menjura dan muka tertunduk, tukang kentrung itu mohon pamit. Malam sudah larut. Satu per satu penonton kem bali ke rumah masing-masing. *** Mlati Lor. Kudus, 29 September 2019 185Antologi Cerpen Kebangsaan
Najibul Mahbub KEGUNDAHAN N(E)GERI Tersiar kabar bahwa polisi membabi-buta dalam meng amankan aksi demontrasi di Papua. Seorang jurnalis membuat tweet dan kabar tersebut menyebar seantero nusantara dalam hitungan beberapa detik. Kabar itu menghebohkan dan menjadi tranding topik. Belum kabar perlakuan polisi dalam pengamanan demo di Jakarta dan daerah lain. “Sob, kamu tidak apa-apa kan?“ tanya temanku dari Bali. “Aku, baik-baik saja Bro. Kenapa kau tanyakan itu? Tumben banget?“ Celetukku membalas pertanyaannya lewat obrolan di whatsapp. “Papua rusuh, polisi membabi-buta, menghajar para demon stran.” Ujarnya menimpali balasanku. “Ah, ga seperti yang dihebohkan di Twitter Bro.” Jawabku sembari menjelaskan keadaan sebenarnya yang terjadi. “Papua masih aman Bro, kemarin yang terjadi tidak seperti yang heboh di dunia maya.” “Itu fitnah!” “Ga ada demonstran yang mati, malah justru polisi yang ‘dihabisi’ oleh demonstran, satu meninggal.” “Polisi sangat baik bahkan mereka menolong para demon stran untuk pulang. Tetapi di jalan yang terjadi sebaliknya.” Bajingan, ternyata jurnalis itu tak juga menggunakan kode etiknya. “Tangkap saja orang itu.” Gumamku sambil penuh kemarahan. “Syukurlah Sob, Aku khawatir negeri kita akhir-akhir ini.” 186 Ini Bangsa Juga Punya Saya
Ungkapnya sambil memberi emoticon sedih. “Bung Karno dan Bung Hatta serta para pejuang pasti sangat sedih.“ “Ketika perjuangan mereka tak lagi dihargai, ketika ben dera hasil ijtihad ulama yang tak dihormati lagi, aku sedih!“ Ungkapnya dengan kesedihan yang mendalam. “Persatuan dan kesatuan tak lagi diindahkan. Caci maki di sosial media merajalela. Umpatan binatang tak lagi menjadi hal yang tercela. Bahkan Tuhan pun diatur.” Aku pun kemudian menjawab kegelisahan itu. “Perasaan yang sama juga denganmu Bro. Tetapi kita doa kan negeri ini selalu menjadi yang terbaik buat kita.“ “Sabang sampai Merauke tetap menyatu dalam rangkaian khatulistiwa.“ “Kami di Papua akan selalu ada untuk Indonesia.” Ungkapku dengan penuh harap dan optimisme. Kegelisahan teman karib waktu di pondok dulu menjadi kanku tak bisa tidur malam ini. Walaupun di depannya aku pura-pura tenang. Ancaman disintegrasi bangsa di depan mata semakin berputar-putar kencang di atas kepalaku. Seolah tak ada pikiran lain selain masalah yang sangat penting itu. Aku pun mencoba mengontak beberapa teman yang ada di Jakarta. Menanyakan kabar tentang hal itu. “Asalamualaikum, Kang.“ Panggilan khas pondok kepada yang lebih tua. Namanya Aji. Ia sekarang menjadi staf menteri tenaga kerja yang juga menjadi add interim menteri pemuda dan olahraga karena dicokok KPK. “Ya Bob. Walaikumsalam.” Sahutnya dalam pesan whatsapp. “Ada apa? Tumben malam-malam begini whatsapp saya?“ Tanyanya. “Saya gelisah Kang, begitu juga Kang Made. Ia tadi menyam paikan kegelisahan yang sama seperti yang aku rasakan, Kang.“ Jawabku. 187Antologi Cerpen Kebangsaan
“Lho gelisah tentang apa?“ “Tentang negeri ini Kang, bagaimana kabar terakhir?“ “Kita terancam disintegrasi ya, Kang?” Jawabku to the point atas kecemasanku. “Oh masalah itu.” Jawab Kang Aji. “Insyallah, semoga tidak terjadi. Itu hanya ulah provokator saja yang tidak suka atas keberhasilan pemerintah saja.” “Sebentar lagi reda. Polri dan TNI sudah melakukan upaya mengejar dalang kericuhan yang terjadi di negeri ini.” Jawabnya tenang. “Lho, berarti yang ada di medsos tak separah yang diberita kan ya, Kang?” Sahutku dalam pesan singkat itu. “Semoga saja tidak. Kita doakan saja. Semoga aman.” “Negeri ini adalah negeri doa, negeri hasil buah perjuangan dari para pejuang yang sebagian besar merupakan kiai dan para santri.” Pungkas Kang Aji. “Syukurlah Kang, semoga seperti yang disampaikan Njenengan.” Jawabku mengakhiri chatku di whatsapp. Aku pun semakin penasaran. Aku berselancar di jagad maya. Mencari tahu tentang kondisi negeri ini. Tapi tak semua berita aku percaya. Semua lini sudah dimasuki para perusak negeri. Tak hanya TNI dan Polri, bahkan hampir semua kantor kementerian dan instansi swasta telah dibobolnya. Mereka me rebak ke semua penjuru. Termasuk juga peguruan tinggi pun juga telah terjangkit virus disintegrasi tersebut. Walau tidak semua dosen dan mahasiswa terkena virus itu. Dalam kondisi seperti ini, aku teringat masa kecilku. Aku berbaur dengan teman-teman yang tak seagama, yang tak sama warna kulit, dan juga bahasa. Tetapi rok umpet, gobag sodhor, patok lele, dan perm ainan lainnya kita lakukan bersama dengan sangat indah penuh canda tawa. Kami akrab dalam bergandengan tangan bahkan berkompetisi dalam memenangkan sebuah permainan yang sekarang tak lagi aku jumpai pada anak-anakku. Mereka 188 Ini Bangsa Juga Punya Saya
hanya mengenal telepon pintar dengan asyik memainkan game dan youtube. Anganku tentang masa kecil itu kembali dibuyarkan oleh telepon yang berdering. Aku pun terkaget. Bahkan telepon pintar yang hampir tiap menit tak lepas dari genggamanku itu hampir terjatuh. Aku lihat seorang kawan pondok mengabariku tentang wafatnya Syaikhona Maimun Zubair. Seorang ulama yang menjadi panutan dalam keberagaman dan nasionalisme di negeri ini. Beliau wafat ketika melakukan ibadah haji dan dimakamkan di Ma‘la. Kesedihanku kembali memuncak. Air mataku tak terbendung. Deras keluar tanpa di komando. Kerinduanku untuk bertemu akhirnya pupus hanya foto dan suara yang telah terdokumentasi di youtube yang hanya bisa kunikmati. Melalui beliau lagu „Yalal Wathon“ yang kemarin gencar dinyanyikan dari anak kecil sampai orang dewasa di semua penjuru bahkan sampai ke negeri Malaysia dan bahkan Saudi Arabia. Lagu semangat perjuangan dan nasionalisme terhadap negeri ini. Lagu pembangkit semangat kebangsaaan yang mampu menghidupkan ghiroh kita terhadap negeri yang kita cintai ini. Belum lagi lagu „Sa‘duna“ yang sering beliau dendangkan setiap harinya. Sebuah syair yang mengelu-elukan perjuangan SayyidinaFatimatuzzahra dalam mendampingi nabi berdakwah. “Kyai, maafkan aku.“ Tangisku semakin menjadi. Aku pun menorehkan kesedihanku ini melalui beranda facebookku. Seperti biasanya, berita duka ini pun aku share dengan Al Fatihah. Seraya mulutku juga komat-kamit membaca surat yang aku tulis di statusku itu. Salah satu komentar menuliskan, “Kita harus meneruskan perjuangan Syaikhona Maimun Zubair dalam merangkai negeri ini. Jangan sampai terpecah. Ayo kita galang kekuatan.“ Ujar teman facebook yang juga wartawan foto majalah nasional. Namanya Gunawan. Ia selalu berkelakar sambil memberikan sindiran dengan gaya khasnya. Di facebook aku biasa memanggilnya ‚mbah beb‘. 189Antologi Cerpen Kebangsaan
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308