Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore INI_BANGSA_JUGA_PUNYA_SAYA_Antologi_Cerp

INI_BANGSA_JUGA_PUNYA_SAYA_Antologi_Cerp

Published by e-Library SMPN 8 Talang Ubi, 2020-01-19 13:34:03

Description: INI_BANGSA_JUGA_PUNYA_SAYA_Antologi_Cerp

Search

Read the Text Version

melebihi kedua orang tuanya. Sepanjang masih bernapas dan hidup di dunia tidak boleh membeda-bedakan sesama dan melupakan muasal­ nya.” Meski sudah kaya ia tidak melupakan tanah kelahirannya. Seperti janjinya saat berpamitan meninggalkan desa untuk me­ rantau di hadapan ayah angkatnya. Tiga bulan sekali Salimin dan istrinya selalu mengunjungi ayah angkatnya. Disisihkan harta kekayaannya untuk membangun sebuah masjid yang terletak di samping rumahnya serta menyantuni biaya pendidikan anak- anak yatim piatu yang ada di desa asalnya. Salimin tak memiliki rasa dendam kepada teman-teman sepermainannya yang dulu per­nah mengucilkan dirinya. Ia tetap mengingat tanah kelahir­ annya. Sekarang ia menjadi penyumbang tetap jika ada pem­ bangunan-pembangunan yang bersifat swadaya di desanya. Ia tak merasa sayang ketika para warga desa sepakat meng­ inginkan menjadi kepala desa. Karena cintanya pada desa ke­ lahiran­nya maka ia tinggalkan kehidupan mewah di kota besar. Ditinggalkan warung makan besar yang telah berhasil dibangun menggunakan tetes keringat sendiri. Pengelolaan manajemen warung makan diserahkan kepada kedua anaknya. Salimin berserta istri kembali ke desa. Saat pilkades Salimin maju sebagai calon tunggal melawan kotak kosong. Salimin merasa prihatin setelah menjabat kepala desa. Situasi desa masih tetap seperti saat ia masih kecil. Taraf pendapatan warga masih sangat rendah. Demikian halnya ting­ kat pendidikan generasi mudanya. Banyak anak muda yang tidak melanjutkan pendidikan selepas tamat SMP. Tanah-tanah ladang yang dulu sangat kurus kini menjadi semakin tandus. Tingkat kesuburan tanah menurun drastis. Erosi terjadi di mana-mana bila musim penghujan tiba. Warga masya­ rakatnya sering menebangi hutan sehingga menjadi gundul. Jika musim kemarau tiba sering terjadi kebakaran hutan. Petani jarang memanen hasil pertanian lahan sawah lantaran sering 40 Ini Bangsa Juga Punya Saya

diserang hama tikus maupun hama-hama tanaman lainnya. Pada hal sumber mata pencaharian pokok warganya bersumber dari aset pertanian. Sebagai kepala desa ia merasa bertanggung jawab atas ke­ se­lamatan lingkungan serta keselamatan dan kesejahteraan rakyatn­ ya. Jiwa patriotismenya membara karena sudah pernah merasakan pahit getir sebagai orang miskin maka dalam hati ia bertekad langkah awal yang harus dikerjakan adalah mening­ katkan kualitas sumber daya manusianya. Lalu dikumpulkannya seluruh petani di balai desa. Dibakarnya semangat rakyat ke dalam tungku pembangunan. Baik pembangunan fisik maupun pembangunan nonfisik. Dihadirkannya para petugas pertanian. Semua kelompok tani yang ada di desa namun hidup enggan mati tak mau mulai diaktif-giatkan lagi. Kini Salimin tak lagi memb­ akar daging ayam. Kini ia sibuk membakar semangat war­ ga desanya. Tanah ladang yang kemiringannya cukup curam dianjurkan dirubah menjadi teras-teras bangku agar tidak terjadi erosi. Kemudian dianjurkan melaksanakan penanaman pohon kayu-kayuan, buah-buahan, kopi yang memiliki prospek cerah di masa mendatang. Di bibir-bibir teras disarankan ditanami rumput-rumputan untuk persediaan pakan ternak sekaligus penahan lajunya aliran air yang bisa menimbulkan gugur tanah. Untuk lahan pertanian sawah para petani diajak mengguna­ kan pola tanam serentak guna mematahkan siklus kehidupan hewan yang menjadi hama tanaman. Setelah menanam padi dis­ arank­ an menanam sayuran yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Seusai panen sayur disarankan menanam tanaman pala­ wija kemudian menanam padi lagi. Setiap hari, setiap saat Salimin selalu memberi semangat kepada warganya tanpa mengenal lelah serta tak kenal pamrih. Ia tak melupakan kebiasaannya secara berkala mengeluarkan uang dari saku pribadi memberi santunan pendidikan kepada anak- anak yatim piatu di desanya. Salimin tak pernah bisa melupakan Antologi Cerpen Kebangsaan 41

jasa ayah angkatnya yang telah membantu mengangkat dari jurang kemiskinan dan kebodohan. Karena itulah ia merasa sangat menyayangi anak-anak yatim piatu maupun kaum duafa di desanya serta selalu menyarankan kepada para orang tua agar menyekolahkan putra putrinya setinggi langit. Delapan tahun kemudian menjelang jabatan kepala desa yang disandangnya habis, tingkat pendapatan warganya mening­ kat pesat. Banyak generasi muda yang melanjutkan pendidikan hingga bangku universitas. Salimin berhasil merubah desanya yang semula daerah minus yang kering kerontang menjadi daer­ ah subur dan surplus hijau royo-royo gemah ripah loh jinawi. Setiap musim panen tiba hasil padi, sayur, palawija, kopi dan kayu-kayuan melimpah ruah. Warganya kini bergembira me­ nyongsong masa depan gemilang berkat perjuangan dan pengor­ banan Salimin. Sudah selayaknya bila penduduk desanya me­ nyebut­nya sebagai lelaki perkasa yang tak lupa muasalnya *** Keluarga Studi Sastra Tiga Gunung Temanggung 2019 42 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Aryani Purnama MENDURHAKA NURANI “Dik Broto…,” Ketuk pintu dini hari itu, membangunkan Broto dari tidur nyenyaknya. Dengan malas ia melangkah menuju pintu. “Mas Sam, tumben pagi-pagi!” Sam seperti maling yang takut ketahuan. Ia berbisik ke telinga Subroto. “Ssst…, ada proyek lumayan” “Apa, Mas?” Sam menyorongkan ke muka Broto segepok uang ratus ribu­ an. Mata Broto bak tersihir, tak berkedip. Wajah lugunya tampak heran dan takut. Sambutnya kemudian dengan suara lirih. “Ini dari mana?” “Kamu cukup mencari massa. Gerakkan massa ke kota besok pagi. Di sana nanti telah ada yang memimpin.” Broto tetap tidak mengerti. Ia tidak tahu harus berkata apa dan bagaimana menanggapi kemauan Mas Sam. “Bagikan untuk mereka yang mau bergabung, selembar se­ orang.” Setelah berkata begitu, Sam meninggalkan Broto yang masih terbengong. * Subroto belum beranjak dari tempatnya berdiri. Masih di­ timangnya segepok uang dalam tas kresek hitam itu. Ia belum tahu apa yang harus dilakukannya. Karena merasa tak berdaya, Antologi Cerpen Kebangsaan 43

ia pun terduduk di kursi reyot yang busanya sudah membentuk bokong. Tiba-tiba pikir dan rasanya terbimbing pada suatu peristiwa. Pagi itu Herlina, anak semata wayangnya, berkemas me­ nuju alun-alun. Subroto heran tidak biasanya Herlina begitu sem­ angat untuk pergi. Hari-harinya hanya dihabiskan dengan mencumbui kucing kesayangan. Namun, hari itu dengan mem­ bawa tas penuh kertas, alat pengeras suara dan spanduk, Herlina berpamitan kepada bapaknya. Beberapa hari sebelumnya rumah kecil mereka menjadi base camp anak-anak seusia Herlina. Mereka berdiskusi dan berdebat. Kadang-kadang Subroto mencuri dengar pembicaraan mereka. Yang pasti ada ketidaksetujuan terhadap pemberlakuan sebuah peraturan. “Hati-hati.” Itu saja yang diucapkan sang bapak. Herlina mencium tangan bapaknya lalu pergi. Hari itu agenda Herlina berorasi di depan gedung DPRD. Para mahasiswa yang tergabung dalam kelompok demo, menyuarakan hati nurani. Herlina ikut berperan di dalamnya. Dengan semangat berapi-api, puteri Pak Subroto ini, mengatakan ketidaksetujuan terhadap perubahan RUU yang akan diberlakukan. Awalnya, aksi demo ini berjalan damai. Namun, beberapa lama kemudian datang serombongan orang yang ikut bergabung dan berteriak-teriak me­nyatakan rasa tidak senang terhadap pemerintah. Ketika siang beranjak sore beberapa orang yang berteriak tadi mulai mem­bakar ban-ban bekas. Jalan dan lalu lintas menjadi macet. Dan akhirnya aparat mulai berdatangan untuk membubarkan mereka. Aksi berikutnya menjadi anarkis. Belum pula sang surya tenggelam di ufuk barat, sebuah mobil dengan sirine yang meminta jalan, berhenti di rumah Subroto. Di dalam ambulance terkapar jenazah Herlina, korban amuk massa. “Duh, Nduk kok tegel ninggalke bapak.” 44 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Didekapnya jenazah yang bersimbah darah itu, sambil me­ nangis pilu. “Bakal tak tumpes sing kumawani gawe patine anakku,” sum­ barnya waktu itu. Subroto tidak ingin mengingat itu lagi. Namun, kenangan itu terus menerus menghantui. Ia tidak tahu harus bertanya ke­ pada siapa, mengapa Herlina harus menjadi korban. Subroto yang telah kehilangan si istri dua tahun sebelumnya, harus me­ ne­rima kenyataan kalau kini harus pula berpisah dengan sem­ ata wayangnya. Kini di tangannya terdapat segepok uang. Bayang Mas Sam seolah hadir dan mengatakan inilah saat­ nya membalas dendam. Kematian Herlina harus dibayar. Harus ada yang membayar sakit hati Subroto, terpisah dari si buah hati. Tiba-tiba wajah Subroto memerah. Tangannya mengepal lalu meninju tembok yang telah rapuh digerogoti rayap. Alhasil, beberapa bagian hancur dan berjatuhan di lantai. “Berapa lama lagi kau simpan sakit hatimu, Broto?” Suara itu seakan menyadarkan Subroto. Laki-laki ini me­ nunduk menekan rasa yang sedang berkecamuk. Ia sedang ber­ bicara dengan batinnya. Dipejamkannya matanya dan perlahan wajahnya menengadah. Dalam diam beberapa lama Subroto meredamkan emosi yang menggejolak. “Bagaimana uang yang sudah ada di tanganmu?” Subroto menimbang lagi. Sungguh ia tak pernah punya uang segitu banyak. Kalau toh ia harus mencari massa tentu tidak harus semuanya dihabiskan, bukan? Kata hatinya yang lain. Tiba-tiba pintu rumahnya dikuakkan tangan lagi. Kali ini tamu yang singgah adalah Mimin. Anak usia lima tahun ini kerap menjadi teman Subroto semenjak kepergian Herlina. Ke­ beraniannya mirip Herlina, demikian pula raut wajah manis Herlina seolah menjelma di wajah mungil Mimin. “Pakdhe, Pakdhe….” Antologi Cerpen Kebangsaan 45

Subroto menatap Mimin tajam. Mata ini beradu. “Pak, jangan ikut berdemo. Tak perlu cari massa.” “Kembalikan uangnya, Pak.” Terus saja mata Mimin tajam berbicara, menyuarakan Herlina yang melarang bapaknya. “Cukup aku yang jadi korban.” “Jangan lewat demo, Pak. Biarkan mereka tentukan cara terbaik untuk bermusyawarah.” “Jangan biarkan penyusup, merusak negara ini, Pak.” Subroto menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia mencoba meyakinkan diri, bahwa saat itu Herlina tidak hadir di tempat itu. Namun, tetap saja kehadiran Herlina terasa di dekatnya. “Pakdhe, lihat ini aku bawa bendera,” kata Mimin sam­bil ngelendot ke kaki Subroto. Anak kecil ini benar-benar mengem­ balikan kesadaran Subroto, bahwa yang ada di dekatnya adalah Mimin. Mimin merajuk minta duduk di pangkuan Subroto. Gadis kecil ini tahu benar bahwa Subroto teramat sayang kepadanya. Setelah ada di pangkuan Subroto, Mimin nyerocos melanjutkan ceritanya. “Kata bu guru, kita harus bersatu, Pakdhe. Tak boleh ber­ tengkar. Tak boleh mengkhianati teman dan saudara.” “Mengkhianati itu apa to, Pakdhe?” Subroto belum ingin menjawab pertanyaan Mimin. Baginya yang harus segera dilakukan adalah mengembalikan uang itu ke Mas Sam. “Sebentar, kamu pulang dulu ya, Nduk.” “Nderek….” Mimin bersikukuh ikut Subroto menemui Mas Sam. Per­ mintaan itu tak bisa ditolak. Begitulah Subroto terlalu memanja­ kan Mimin. “Benar-benar bodoh kau ini!” seru Sam di antara kemarah­ annya. 46 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Uang sekian sudah ada di tanganmu. Apalagi?” Sam terus membujuk Broto. Keduanya bersitegang untuk tetap pada pendiriannya. Sebenarnya Sam sanggup untuk men­ cari massa ini. Namun, ia tak ingin terlibat langsung. Ini strategi, pikirnya, supaya selamat dalam tanggung jawab. Ia akan dapat segera lepas tangan ketika ada akibat yang tak disukainya. “Ayolah….Jangan jadi pengecut.” “Ini kesempatan menuntut balas. Kau tidak ingat kematian Herlina?” “Aku tetap tidak mau, Mas,” Sam menarik kerah baju Subroto. Ia merasa tak mampu lagi membujuk Subroto yang telah memutuskan untuk tidak mau mencari massa. “Dasar penakut!” Bersamaan dengan itu tangan kecil Mimin menghalau cengkeraman Sam di leher Subroto. Mata Sam melotot ke arah Mimin. Selanjutnya mata itu tak mampu berkedip, seolah sedang berbicara. “Jangan kau paksa Bapak mencari massa.” “Kau tak boleh melibatkan bapakku dalam rencana jahat­ mu.” Sam seolah ingin bicara tetapi mulutnya hanya komat kamit tanpa suara. Ia menjadi sangat ketakutan. Dilepasnya baju Subroto dan ingin segera berlalu. Namun, Sam seakan tak mam­ pu mengalihkan langkahnya. Baru setelah ia berkomat kamit seolah sedang merunduk meminta maaf, langkahnya tanpa pemberat. Subroto tak yakin akan apa yang dilihatnya. Ia segera me­ meluk Mimin seolah Herlina yang sedang dipeluknya. “Nduk….” Linangan air mata meleleh di pipi Subroto. Ia mendekap Mimin semakin kuat. Antologi Cerpen Kebangsaan 47

“Aduh, sakit…,” seru Mimin sambil meronta ingin lepas dari dekapan Subroto. Kembali Subroto disadarkan kalau yang ada di dalam dekapa­­ nnya, si kecil Mimin. Akhirnya, ia juga tahu kalau uang di dalam tas tadi sudah diambil kembali oleh Sam. Hatinya mulai tenteram. Baginya, sebenarnya berdemo dalam rangka me­nyuarakan aspirasi merupakan hal yang sah. Inilah negara demokrasi. Yang ia takutkan selama ini ketika demo tersebut telah diracuni oleh kepentingan-kepentingan si culas. Ketenteraman hati Broto hanya bertandang sesaat. Ia mulai gelisah saat memikirkan orang-orang yang bakal termakan oleh bujuk rayu Sam untuk berdemo. Isi kepalanya berputar-putar akan kemungkinan yang terjadi. Orang-orang di kampungnya dengan tingkat kesejahteraan rendah tentu akan terpikat uang ratusan ribu yang menjadi iming-iming. Bagi mereka, tidak mudah mengumpulkan uang sejumlah itu. Subroto masih yakin akan kebersamaan dan solidaritas warga. Di satu sisi hal ini berdampak baik. Namun, bagaimana kalau keadaan menjadi sebaliknya? Saat mereka berhadapan dengan situasi yang negatif? Dalam diam Subroto merencanakan sesuatu. Ia harus berusaha menggagalkan rencana Mas Sam. Bau anyir telah tercium di rencana itu. Esoknya…. Orang-orang kampung yang telah ditemui Sam, bersiap berangkat ke kota pagi itu. Sebuah truk telah disiapkan meng­ angkut mereka. Di saat yang sama…. “Kebakaran…kebakaran….” Api telah membumbung tinggi. Angin musim kemarau yang kering memperbesar api. Warga yang bersiap pergi menghambur memberikan pertolongan. Ada yang mengusahakan memadam­ kan api. Ada pula yang mencoba menghalau material yang mud­ ah terbakar di sekitar tempat kebakaran. Karena sungai dan selok­ an tidak terlalu dekat, mereka membawa air secara 48 Ini Bangsa Juga Punya Saya

estafet. Seluruh warga tumpah di tempat kejadian, menjaga agar api tidak merembet ke tempat yang lain. Kebersamaan mereka sangat teruji. Prinsip benar-benar. *** Antologi Cerpen Kebangsaan 49

Bambang Wadoro Al Bador Kayu REVOLUSI NEGERI ENTAH BERENTAH Alam banyak gunung, bersungai, dan berlaut luas ini. Seperti menghendaki terbentuknya negeri ini. Sebuah negeri, yang bernama negeri Entah. Yang letaknya tak jauh dan tak juga dekat dari kita. Wajah dan warna kulit bangsanya, pun hampir sama dengan kita. Itulah bangsa Entah di negeri Entah. Suatu bangsa yang berbeda-beda suku bangsanya. Berbeda cara pandang dan ilmunya. Berbeda adat-istiadat dan budayanya. Berbeda pula sifat dan karakternya. Tapi mereka hidup berdam­ pingan di bumi yang sama. Bergaul, berkomunikasi juga dengan bahasa yang sama. Akan tetapi, setelah sekian lama, perjalanan waktu dalam sejarah kebangsaan. Beberapa suku di negeri ini, merasa diren­ dahkan dan disepelekan. Baik oleh penguasa negeri atau pun oleh suku-suku bangsa lainnya. Hingga pada suatu hari, Pender ketua suku bangsa Pongkor berniat untuk mengumpulkan para ketua suku yang bernasib sama. “Saya tidak ingin ini hanya angan-angan. Ini harus bisa saya wujudkan!” Begitulah kata-kata Pender dalam hati. Hingga terdengar di telingaku. Ketika aku bermeditasi di pertapaan. Ketika aku mohon petunjuk pada Tuhan. Dari suatu keadaan dan permasalahan negeri Entah. Hujan malam belum reda, suara gemuruh di langit juga masih terdengar. Gelegar halilintar masih menyambar-nyambar. Angin pun seperti datang dan pergi. Kadang menyebar, kadang berputar melingkar mengumpulkan sampah-sampah. Malam 50 Ini Bangsa Juga Punya Saya

itu, Pender masih duduk termangu menunggu redanya hujan malam. Niat hati dan angan-angan mengubah suatu keadaan, benar-benar ingin ia wujudkan. Malam ini ia akan melakukan perjalanan. Setelah hujan reda dengan berkendaraan Tong Can ia pergi dari satu tempat ke tempat lain yang berjauhan. Untuk menemui semua para ketua suku yang senasib dan sepend­ erita­ an. Begitu Pender pergi, aku pun mengikutinya ke mana ia pergi. Begitu cepat kendaraan Tong Can itu. Hanya dalam hitung­ an detik, Pender sudah sampai di rumah Petan Di, ketua suku bangsa Ciangkul. Terkejutlah ia atas kedatangan Pender itu. Se­ telah menyampaikan maksud dan tujuannya. Pender pun segera pergi menemui ketua suku bangsa lainnya. Yakni Nelyan ketua suku bangsa Japra dan Petan Gar ketua suku bangsa Tambak. Larut malam hampir pergi. Wajah Pender terlihat seperti ketakut­a­ n. Ia pun segera menyudahi pembicaraan dengan Petan Gar. “Sudah, sudah. Kukira sudah jelas. Aku segera pulang, Gar,” kata Pender. “Kenapa mesti tergesa-gesa, Pen?” “Aku takut kalau-kalau fajar timur segera muncul. Dan matahari memergokiku.” “Memangnya kenapa kalau matahari memergokimu?” tanya Petan Gar. “Ya, mungkin aku tidak bisa kembali ke rumah, Gar,” jawab Pender. “Ooh, begitu ? Ya sudah, silakan!!” Pender pun segera berpamitan dan langsung pergi pulang ke rumah. * Pada hari dan tanggal yang sudah ditentukan. Malam itu, dengan berkendaraan Tong Can mereka datang di suatu tempat. Di tengah hutan, bernama hutan Berantah. Tanahnya cukup tinggi dan jauh dari keramaian. Dari arah selatan, jauh terdengar Antologi Cerpen Kebangsaan 51

suara ombak mendebur-debur. Aku berjalan ke sana ke mari men­ gitari gunung itu. Aku tidak menemukan jalan satu pun. Kemarin-kemarin aku melihat ada jalan di tempat itu. Tetapi kenapa malam ini menjadi hilang. “Mungkinkah ada yang menutupi atau memang benar- benar hilang?” tanyaku dalam hati. Untungnya aku ini bagian dari alam yang diberi segala kele­bihan oleh Tuhan. Kapan dan di mana pun, bila akan terjadi sesuatu perubahan aku mesti ada dan datang di tempat itu. Malam itu, aku kesulitan mencari jalan. Aku berdoa pada Yang Kuasa. Doaku dikabulkan. Aku diberi tahu tempatnya. Dan ketika aku menunduk, badanku sudah berubah menjadi seekor kelelawar. Dan seketika itu aku bergerak terbang. Mengikuti arah naluri indraku, menuju suatu tempat. Begitu sampai di suatu tempat aku hinggap di salah satu pohon dekat mereka ber­kumpul. Mereka tidak tahu kalau aku datang di tempat itu. Untuk mendengarkan apa yang mereka katakan. Dan melihat apa yang mereka perbuat. Mereka duduk melingkar. Terlihat Pender ketua suku Pong­ kor, Petan Di ketua suku Ciangkul, Nelyan ketua suku Japra, dan Petan Gar ketua suku Tambak. Mereka adalah suku-suku bangsa yang nyata. Yang hadir dan tampak terlihat oleh mata kepala. Tetapi yang tidak tampak, yakni para ketua suku bangsa Lelembut. Sampai puluhan ketua suku bangsa, terlihat hadir di tempat itu. Untuk melaksanakan tugas khusus dari Tuhan di muka bumi. Mendampingi dan melindungi, suku bangsa Pongkor, Ciangkul, Japra, dan Tambak. Waktu baru memasuki seperempat malam. Pender ketua suku bangsa Pongkor memulai berbicara. “Saudara-saudaraku, para ketua suku bangsa yang tampak dan yang tidak tampak. Sebelum kita mulai pembicaraan malam ini. Terlebih dahulu mari kita berdoa menurut agama dan keyakinan kita masing-masing. Agar niat baik kita mendapatkan 52 Ini Bangsa Juga Punya Saya

ridho dan diberi kemudahan oleh Tuhan. Berdoa mulai!” Mere­ ka semua berdoa. Setelah selesai, Pender pun melanjutkan pem­ bicaraannya. “Selama ini, sepanjang sejarah kebangsaan kita. Kita semua suku bangsa Pongkor, Cangkul, Japra, dan Tambak. Adalah suku bangsa yang selalu direndahkan dan diremahkan oleh suku bangsa lain. Dan tak terkecuali, juga oleh para penguasa negeri. Sepertinya kita ini tidak memiliki harga diri. Benarkah demik­ ian, saudara-saudara?” tanya Pender. “Benar sekali!” jawab mereka serempak. “Dan kami rasa, mereka seperti suku Indus, Pab, dan Pete. Semakin hari, semakin menyombongkan diri,” kata Petan Gar yang kemudian disaut oleh Petan Di ketua suku bangsa Cangkul. “Benar, kesombongan itu semakin menjadi-jadi. Mentang- mentang banyak uang, punya ilmu, dan teknologi. Puluhan ribu hektar sawah, mereka dirikan bangunan demi bangunan. Mereka dirikan pabrik-pabrik, perumahan, industri-industri, dan jalan tol semaunya. Ratusan ribu hektar hutan, pohon- pohonn­ ya ditebangi secara liar. Lahan-lahannya dibakari hingga tak ter­kendali. “Semua itu hanya demi dolar demi rupiah. Mereka kejar untung, tak peduli orang lain bingung. Mereka tumpuk harta tak peduli orang lain sengsara. Begitu serakahnya para konglomerat jahat itu. Begitu bodoh dan tololnya mereka itu. Kenapa dengan uang, ilmu, dan teknologi. Justru mereka membuat kerusakan dan keresahan di muka bumi ini ? Kurang ajar mereka itu!” kata Petan Di agak marah. “Lingkungan alam dan laut kita menjadi cemar. Sampah plastik menumpuk, menyebar ada di mana-mana. Semua itu juga karena ulah mereka. Terus bagaimana nasib bumi ini dan suku-suku bangsa seperti kita ini?” tanya Nelyan. “Baik, saudara-saudara. Kita mesti harus berbuat sesuatu. Kita mesti harus lawan kesombongan dan keserakahan mereka Antologi Cerpen Kebangsaan 53

itu. Sekarang sudah waktunya mereka kita beri pelajaran,” ajak Pender ketua suku Pongkor. “Terus apa yang akan kita lakukan?” tanya Petan Gar, ketua suku Tambak. “Iya. Kita rakyat kecil. Pendidikan kita rendah. Kelihatannya otak kita tak biasa berpikir yang tinggi-tinggi. Bagaimana mung­ kin, kita bisa melawan kesombongan mereka itu?” tanya Petan Di ketua suku Ciangkul ragu. “Mereka suku Indus, Pab dan Pete memiliki banyak uang. Dengan uang, mereka bisa melakukan kerja sama dengan pe­ nguasa. Dengan begitu, mereka jadi memiliki kekuatan. Karena penguasa memiliki tentara dan senjata. Sementara kita hanya me­ miliki pongkor, cangkul, jaring, perahu dan tambak. Bagaimana mungkin kita bisa melawan mereka ya?” Malam itu semua duduk terdiam, bingung. Suasana menjadi hening, dan senyap. Sepertinya mereka menemui jalan buntu. Aku sendiri pun menjadi bimbang. “Apakah ini sudah saatnya aku memberi bantuan pada mereka? Atau ...., Kupikir kalau tidak aku bantu. Jangan-jangan mereka malah tidak menemukan jalan untuk melawan. Padahal apa yang mereka bicarakan malam ini. Pikiran dan perasaannya, sama persis dengan pikiran dan perasaanku selama ini. Aku menjadi bangga,karena banyak orang yang memiliki pemikiran yang sama. Dan aku setuju, kita harus melawan kesombongan dan keserakahan itu!” kataku dalam hati. Mereka masih terdiam tak ada pembicaraan sedikit pun. Dan aku masih berwujud kelelawar. Kakiku masih berpegangan ranting pohon dekat mereka. Bersegeralah aku berdoa. Tak lama kemudian aku berubah menjadi manusia. Kakiku terlepas dari ranting pohon. “Wess....jleg !” Suara aku turun dari pohon dan berdiri di tengah mereka. 54 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Assalamu’alaikum wr. wb!” Salamku tak langsung dijawab. Karena mereka terkejut dan terlempar ke luar lingkaran. Tak lama kemudian dengan ketakutan mereka menjawab salamku. “Saudara-saudaraku. Jangan takut. Aku ini manusia biasa. Bukan malaikat dan bukan juga iblis. Mendekat sajalah padaku. Duduklah kembali bersamaku. Ayo kita selesaikan persoalan kita. Aku akan membantu kalian sepenuhnya.” Mendengar kata-kataku, sepertinya mereka benar-benar me­ naruh harapan padaku. Adanya petunjuk cara melawan kesom­ bongan dan keserakahan itu. Rasa takut mereka sedikit demi sedikit mulai hilang. Raut wajahnya tampak sedikit gembira. Sambil tersenyum kecil, satu per satu mendekat padaku. Kem­ bali duduk melingkar dan langsung berkata atau bertanya-tanya padaku. “Terima kasih, Tuan sudi hadir di tempat ini.” kata Pender. “Siapa Tuan sebenarnya, kok hadir secara tiba-tiba?” tanya Petan Di. “Aku harap, Tuan benar-benar bisa membantu kami,” pinta Nelyan. “Maaf, Tuan ini berasal dari suku bangsa apa, si?” tanya Petan Dar. Aku masih dalam posisi berdiri. Setelah mereka selesai ber­ kata dan bertanya. Aku pun ikut duduk seperti mereka. Dan aku mulai berbicara, meberikan arahan dan petunjuk pada mereka. “Saudaraku, aku tidak akan menjawab pertanyaan kalian tadi. Suatu saat, nanti kalian akan tahu, siapa aku. Ya benar. Tahu itu memang penting. Tetapi menurutku, laku atau tindakan itu, lebih penting. Mereka tahu, kalau kalian itu suku bangsa yang tak punya harga diri. Yang selalu direndahkan dan disepelekan. Mereka tahu, hidup kalian selalu menderita dan sengsara. Dan di sepanjang sejarah manusia. Mereka tahu betapa pentingnya peran kalian dalam hidup dan peri kehidupan manusia. Tapi mana bukti tindakan dan perbuatan mereka? Mereka hanya janji- Antologi Cerpen Kebangsaan 55

janji. Mereka pandai berdalil dan berteori. Tapi tak ada bukti. Omong kosong! Betulkah demikian, saudaraku?” tanyaku. “Betul! ” jawab mereka serempak. “Sebelum aku meneruskan pembicaraan. Aku perlu bertanya pada kalian. Mestinya kalian tahu. Kedatanganku tidak berjubah. Tidak seperti biksu, pastur, pendeta, kiai, atau syekh. Aku datang hanya bercelana komprang, berkaus oblong, ber-iket dan bercaping. Tubuhku tidak begitu tinggi dan tidak begitu besar. Sementara kalian lihat sendiri. Kedua tanganku juga penuh tato. Bagaimana? Apakah kalian mau menerima diriku seperti apa adanya? Dan apakah kalian juga mau menerima omongan atau kata-kata orang sepertiku?” tanyaku pada mereka. “Tidak ada masalah, Tuan. Karena kami adalah suku-suku bangsa yang sudah terbiasa lebih mementingkan tata batin dari pada tata lahir. Condong pada nurani dari pada badani. Me­man­ dang orang tidak dilihat sisi luarnya. Seperti tubuh, baju, pangkat dan jabatan. Tetapi bagaimana hati, perilaku dan ucapan­n­ ya, Tuan,” jawab Petan Di mewakili teman-temannya. “Baik, kalau begitu.”kataku malam itu. “Lanjutkan, Tuan! Karena menurut nurani kami, Tuan itu orang baik. Orang pandai, waskita, tanggap ing sasmita, dan ber­ budi pekerti luhur.” Pender ketua suku Pongkor memujinya. “Ya, tolong segeralah kami diberi tahu. Bagaimana cara melawan kesombongan dan keserakahan itu!” kata Petan Di, sepertinya sudah tidak sabar lagi. “Ya, sebentar saudaraku. Sebelum aku meneruskan kata- kataku. Kelihatannya aku tidak pas kalau disapa dengan Tuan. Meski­pun usia kalian ada yang lebih tua dari aku. Tapi tolong, sapa saja aku dengan sebutan Bapa! Dan mulai saat ini, aku pun akan menyapa kalian dengan anak-anakku. Bagaimana, apakah kalian setuju dan mau?” pintaku pada mereka. “Setuju, Bapa!” jawab mereka serempak. 56 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Anak-anakku. Selama bertahun-tahun aku menangisi na­ sib­m­ u. Betapa bodohnya mereka dan para penguasa negeri Entah itu. Mestinya kalian semua ini adalah suku-suku bangsa yang tinggi dan ditinggikan derajatnya. Mestinya kalian semua ini lebih pahlawan, sebelum ada sebutan pahlawan-pahlawan lain­nya. Dan mestinya kalian semua ini adalah suku-suku bangsa yang terhormat dan dihormati oleh setiap manusia. Tapi kenapa kalian semua justru malah direndahkan, diremehkan, bahkan dinista­kan oleh mereka? Ayo bangkitlah sekarang! Jangan biar­ kan kesewenang-wenangan mereka! Jangan biarkan kesom­ bongan dan keserakahan mereka! Ayo kita lawan!” kataku me­ nye­m­ angati mereka. Setelah aku selesai bicara, saat itu juga bumi bergetar. Dedaunan dan bunga-bunga jatuh berguguran. Angin bertiup per­lahan seperti membelai kami. Pelan, tercium aroma bunga mawar melati. Sinar cahaya seperti berjalan berseliweran. “Terima kasih, Gusti,” kataku dalam hati. Sementara mereka hanya diam tertegun kagum. Mungkin tahu, mungkin juga tidak tahu. “Pertanda apa, ini semua, Bapa?” tanya Petan Dar sambil me­­ mandangi jatuhnya dedaunan dan bunga-bunga yang menge­n­ ai mukanya. “Iya, kok seperti ada gempa, Bapa?” sela Nelyan. “Tenang saja. Ini semua pertanda baik. Ini berarti alam me­ nyambut kita. Termasuk makhluk Tuhan yang tidak kelihatan. Juga akan mendukung dan membantu gerakan perlawanan kita.” “Sebegitunya, ya Bapa ?” tanya Pender kagum. “Ya. Makanya jangan berhenti sampai di sini. Gelorakan semangat rakyat suku bangsa kalian. Untuk bersama-sama me­ lawan, dengan syarat tanpa pertumpahan darah, meskipun hanya setetes. Bagaimana ? Bisakah kalian ?” tanya Bapa. “Siap!” jawab mereka serentak. Antologi Cerpen Kebangsaan 57

“Begini anak-anakku. Kalian semua merupakan suku bang­ sa penghasil kebutuhan pokok manusia. Suku bangsa Pong­kor penghasil gula. Suku bangsa Ciangkul penghasil padi, jagung, umbi-umbian, palawija, rempah, dan sebagainya. Suku bangsa Tambak penghasil garam. Dan suku bangsa Japra sebagai peng­ hasil ikan. Selama ini para penguasa negeri dan suku bangsa lain. Bisa makan karena kalian. Hidup matinya mereka, sebenarnya tergantung pada suku-suku bangsa kalian. Bukan pada apa-apa dan bukan oleh siapa-siapa. Kenapa kalian bingung?” tegas Bapa. “Maksudnya?” tanya Petan Di. “Coba kalian pikir. Apakah presiden, wakil presiden, dan para menteri dapat menjalankan tugas, tanpa ada nasi dan lauk pauknya? Apakah anggota DPR dan DPRD bisa lantang bicara rakyat. Kalau tidak ada nasi dari beras rakyat? Apakah para kiai, pastur, biksu, dan pendeta bisa berkhotbah tentang sorga, bila perutnya kosong tanpa nasi tiap harinya? Kalau kalian tidak menjual beras, jagung, sayur, ikan, garam, gula dan lain-lainnya. Apakah jabatan, uang, barang mewah, emas, pabrik, jalan tol, dan lain-lain, itu semua bisa dimakan dan mengenyangkan? Tidak bisa. Itulah kelemahan mereka, dan sekaligus sebagai jalan melawan. Atas kesombongan dan keserakahan mereka,” kata Bapa penuh semangat. “Saudara-saudaraku, kukira kata-kata Bapa sudah cukup jelas. Oleh karena itu. Mulai besok kita lakukan aksi tetap pro­ duksi, tetapi stop jual beli. Kita kumpulkan atau kita timbun hasil produksi kita. Tetapi berhenti menjual beras atau nasi. Jagung, garam, gula, sayur, telur, daging, ikan dan lain-lain. Dan berhenti pula membeli apa-apa, kecuali bila terpaksa. Bagaimana?” tanya Pender. “Tidak hanya itu?”sahut Bapa. “Maksudnya?” tanya Nelyan. “Maksudnya, sekaligus saja malam ini, di sini kita dirikan negeri baru.” 58 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Ha?!” Semua terkejut dan terperanjat. Karena mereka tidak berpikir sampai ke situ. Dalam benaknya hanya ingin membuat rencana gerakan atau aksi melawan kesombongan dan keserakahan. “Mendirikan negeri, Bapa?!” tanya Petan Gar. “Ya!” jawab Bapa tegas. “Jadi, kita lakukan revolusi, begitu?” tanya Pender. “Revolusi tanpa pertumpahan darah.” “Mana mungkin bisa, Bapa,” kata Petan Di. “Kenapa tidak mungkin?” tanya Bapa. “Ya, bagaimana mungkin. Kita kan suku-suku bangsa yang lemah dan rendah. Tak punya tentara apa lagi senjata. Punyanya hanya pongkor, cangkul, tambak, jaring dan perahu. Kok mau mendirikan negeri. Ya tak mungkin bisa, Bapa,” jawab Petan Di. “Kenapa tidak mungkin? Justru karena kalian tidak punya tentara dan senjata itu. Maka revolusi dan pendirian negeri ini tak mungkin ada darah yang tumpah. Pendirian negeri ini bukanlah kudeta. Pendirian negeri dan revolusi ini dilakukan secara sunyi. Sudah, jangan berkecil hati. Percayalah pada, Bapa. Kalian mungkin tidak tahu. Pertemuan kali ini, hadir puluh­ an suku bangsa lelembut. Yang akan membantu kalian pada pendirian negeri. Sebagai suatu tindakan nyata untuk melawan kesombongan dan keserahan. Bagaimana, apakah kalian sepen­ dapat dan setuju didirikannya negeri baru?” tanya Bapa mene­ gaskan. “Aku sependapat dan setuju, Bapa,” jawab Petan Di. “Ya, aku setuju,” jawab Nelyan. “Aku setuju juga,” jawab Petan Gar. “Demi untuk melawan. Dan terciptanyan kemakmuran dan kedamaian kami. Kami menuruti semua kehendak, Bapa,” kata Pender. “Baik. Mari kita berdoa untuk berdirinya sebuah negeri. Negeri baru bernama Negeri Berentah. Berdoa mulai!” Antologi Cerpen Kebangsaan 59

Mereka berdoa. Dan setelah selesai, kembali terjadi bumi bergetar. Dedaunan dan bunga-bunga jatuh berguguran. Angin bertiup perlahan seperti membelai-belai. Pelan, tercium aroma bunga mawar melati. Sinar cahaya seperti berjalan berseliweran. Tanda Tuhan merestui. “Terima kasih, Gusti,” kataku dalam hati. “Anak-anakku. Larut malam hampir berganti pagi. Pesan­ ku, bersegeralah kalian untuk pindah dari negeri Entah ke nege­ri Berentah. Ajak semua warga suku bangsamu. Lakukan dengan tanpa memberi tahu pada siapa pun selain wargamu. Bawa semua hasil apa pun yang kalian miliki. Anak-anakku, meskipun saat ini kalian lihat tempat ini masih berupa hutan. Besok setelah kalian pindah ke tempat ini. Sudah tersedia lahan sawah, perkebunan, dan lain-lain. Sesuai yang dibutuhkan kalian sebagai pekerjaan suku bangsa kalian.” “Terus siapa pemimpin kita? Dan bagaimana jalannya pemerintahan negeri ini, Bapa?” tanya Petan Di. “Aku percaya. Kalian semua adalah suku-suku bangsa yang nrima ing pandum. Suku bangsa yang tak pernah haus dan ambisi kekuasaan. Suku bangsa yang tepa selira, demi apa pun, kalian tak mau menyakiti orang lain. Jadi, untuk adanya pemimpin dan jalannya pemerintahan. Biarlah berjalan secara naluri dan alami. Biarlah, alam yang akan membentuk. Menempatkan sesuatu atau orang itu sesuai tempat dan kemampuannya. Anak-anakku, aku beri tahu. Sekeliling negeri Berentah nanti­nya akan dijaga oleh suku-suku bangsa lelembut. Makhluk gaib yang membentengi seluruh wilayah negeri. Tak mungkin negeri ini bisa terjamah. Oleh orang-orang biasa. Dan apalagi orang kotor dan jahat. Negeri ini hanya bisa tembus oleh orang- orang yang berhati suci dan ikhlas. Anak-anakku, hanya itu yang bisa aku berikan. Semoga Tuhan melindungi dan memberi jalan kemudahan.” “Amin. Terima kasih, Bapa. Bapa telah memberi kami jalan melawan,” ucap mereka bersama. 60 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Assalamu’alaikum warohmatullohi wa barokaatuh!” ucap Bapa. “Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokaatuh!” ucap mereka bersama. Seketika itu angin kencang datang dari segala arah. Dari timur, dari barat, dari selatan, dan utara. Datang bersamaan menuju satu tempat Bapa berdiri. Jadilah angin berputar-putar. Sedikit demi sedikit tubuh Bapa terangkat, berputar bersama pusaran. Dan seketika itu Bapa menghilang. Mereka tercengang, memandang ke atas, sudah tak ada bekas. Larut malam akan berganti pagi. Tak lama kemudian para ketua suku itu bergegas. Segera beranjak untuk pulang. * Akibat kesombongan dan keserakahan para penguasa dan beberapa suku bangsa di negeri Entah, hari ini telah berdiri sebuah negeri bernama negeri Berentah. Sebuah negeri yang didirikan oleh beberapa suku bangsa. Yang pada kenyataannya mereka itu adalah para petani. Petani ikan atau nelayan. Petani padi, petani gula, dan petani garam. Dengan keluguan dan keju­ juran mereka. Dan dengan penderitaan dan perlakuan tidak adil yang mereka rasakan. Tuhan berkenan memberikan perlin­ dungan dan bantuan. Dengan mengerahkan makhluk gaib dan para lelembut. Untuk bersama-sama melakukan aksi melawan kesombongan dan keserakahan. Hari demi hari para petani beserta keluarga dan para buruh tani melakukan aksi sunyi dengan migrasi. Pindah dari negeri Entah ke negeri Berentah. Kepindahan mereka memang ada yang menutupi sehingga tidak banyak diketahui. Sehari dua hari, rakyat negeri Entah, belum merasakan hilangnya mereka. Tetapi setelah tiga empat hari sudah mulai ada yang merasakan keanehan dua orang tetangganya. Karena sudah empat hari rumah kedua tetangganya itu sepi. Tidak kelihatan ada orang. Kudrat seorang guru SD di desa Gerlaos. Sore itu mencoba mendatangi kedua rumah itu. Satu, Antologi Cerpen Kebangsaan 61

rumah Sudiman dan satunya lagi, rumah Sukarjo. Dua orang petani padi yang sawahnya cukup luas. Dan setelah ditengok, ternyata kedua rumah itu, benar-benar kosong. Tanpa ada satu pun keluarga yang tinggal. Keesokan harinya Kudrat datang ke balai desa untuk melapor pada Kades. “Maaf, Pak Kades. Ini saya mau lapor.” “Ada apa, Mas Kudrat ?”tanya Kades. “Itu, dua tetangga saya sudah lima hari ini. Menghilang entah ke mana.” “Lho, kok aneh. Dari kemarin laporannya sama, orang hilang. Dan anehnya yang menghilang itu mesti petani, buruh tani, dan penderes. Lha, itu tetangga Mas Kudrat petani juga?” tanya Kades. “Iya, betul Pak Kades.” “Berarti dengan laporan yang kemarin. Hari ini di desa ini. Sudah ada lima puluh orang yang menghilang. Terima kasih ya Mas. Nanti semuanya akan saya laporkan ke tingkat kecamatan.” “Ya, Pak. Permisi!” Kudrat kembali ke rumah. Pak Kades segera melaporkan ke kecamatan. Begitu juga Pak Camat. Setelah menerima laporan dari kades-kades. Ia pun segera melaporkan ke bupati. Dan se­terusnya hingga laporan itu sampai ke presiden negeri Entah. Presiden pun melakukan pengecekan ke bawah. Dan setelah dilakukan, kejadian itu memang nyata. Diketahui bahwa semua petani di semua wilayah negeri Entah benar-benar telah meng­hilang. Presiden, para menteri, DPR, pejabat, konglomerat, pemuka agama, tokoh masyarakat sampai rakyat. Semua dibuat bingung atas misteri hilangnya para petani di negeri Entah. Waktu terus berjalan, sementara mereka setiap hari butuh makan. Akan tetapi, petani yang menyediakan makanan itu saat ini sudah tidak ada satu pun. Mereka jadi bingung, gelisah, dan gundah. Kelaparan dan kekurangan makan, pasti akan terjadi. Dan maut pun segera akan menjemput mereka. 62 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Nyata, seiring perjalanan waktu, persediaan gabah dan beras di gudang-gudang habis. Kelaparan dan kekurangan makan pun di mana-mana terjadi. Penguasa negeri berusaha men­cari beras luar negeri. Impor beras dilakukan berkali-kali. Jumlah­ nya tak terhitung dan tak terkendali. Hingga penguasa negeri mengatakan tekor dan rugi. Dan krisis pangan atau pageblug pun terjadi. Tak terkecuali, rakyat, pejabat, konglomerat dan wakil rakyat. Hampir semua merasakan dan menerima akibat. Satu, dua hingga puluhan orang. Mereka merasakan kelaparan dan sakit. Pagi, siang, sore, hingga malam hari. Orang mati tak ter­ hitung jumlahnya. Negeri Entah benar-benar mengalami musi­ bah. Dan seperti cerita-para nabi. Bila terjadi musibah. Di situ selalu ada keanehan dan keajaiban Tuhan. Kasih dan kuasa Tuhan selalu ada dalam cerita yang mengagumkan. Seperti musibah di negeri Entah. Kasih dan kuasa Tuhan juga menampakkan keajaiban. Mengalir pada beberapa orang yang terpilih. Yang jumlahnya sangat sedikit. Keajaiban yang nam­pak, tidak tahu dari mana asalnya. Beberapa orang itu selalu men­dapatkan makanan. Sehingga mereka tetap sehat dan tidak terkena sakit. Mereka itu adalah orang-orang yang selalu menj­aga hatinya. Agar selalu bersih dan suci. Menyatu terikat pada Tuhan. Sikap dan perilakunya, senantiasa mengedepankan nurani, kejujuran, dan rendah hati. Pagi hari, ketika matahari belum nampak. Udara masih terasa agak dingin. Aku mencoba menggerakkan badan dengan bersih-bersih halaman rumahku. Rumah kuna warisan nenek moyang itu letaknya persis di perbatasan antara negeri Entah dan negeri Berantah. Ketika waktu sudah agak siang dan aku sedang duduk di balai rumahku datang lima orang pemuka agama dari negeri Entah. Ada kiai, biksu, pastur, dan 2 orang pend­­ eta. Mereka itu, orang-orang yang terbiasa menjaga dan mens­ ucikan hati. Antologi Cerpen Kebangsaan 63

Aku sendiri heran, kenapa mereka bisa tahu tempat ini. Dan setelah kuraba dan kulihat dengan mata hati. Ternyata ada salah satu kiai yang cukup tinggi ilmunya. Setelah mereka kuper­ silakan duduk. Langsung sang kiai itu berbicara. “Begini, Tuan,” kata Kiai mengawali. “Maaf, Kiai. Tolong jangan panggil aku Tuan. Panggil saja aku, Bapa !” pintaku. “Terima kasih, Bapa. Begini, Bapa. Saat ini negeri kami sedang terkena musibah. Krisis pangan karena semua petaninya meng­hilang entah ke mana. Kami mohon Bapa dapat menjelaskan kejadian ini. Dan bagaimana kami seharusnya, Bapa.” “Ya, itulah revolusi!” “Lho, kok revolusi?!” tanya Pastur terkejut. “Ini musibah, Bapa,” sela Kiai. “Ya, musibah. Tapi itu kan akibatnya. Akibat dari suatu perbuatan merubah. Merubah dalam waktu singkat itulah yang dinamakan revolusi,” kata Bapa. “Berarti kalau begitu, ada orang yang melakukan perubahan, begitu ?” tanya Kiai. “Kira-kira, siapa itu orangnya, Bapa?” tanya Pendeta. “Akulah orangnya. Kenapa? Bersama para petani aku se­ dang berupaya agar terjadi perubahan di negeri kalian.” Mereka terkejut, setengahnya tidak percaya. Kalau dialah tokoh yang menjadikan negeri mereka terkena musibah. “Maaf, Bapa ini kan orang biasa. Bukan tokoh militer atau pun tokoh partai. Kenapa Bapak bisa melakukan hal itu?” tanya Kiai. “Iya. Orang tangannya saja bertato. Kok bisa-bisanya me­ lakukan revolusi ? Dari mana rumusnya?” sela Biksu. “O, kalau begitu. Sekarang aku minta saudara lepaskan jubah biksunya. Sekarang juga lepaskan! Kalau tidak mau, aku yang melepaskan!” Bapa tersinggung. 64 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“E,e, maaf Bapa. Saya salah,” kata Biksu ketakutan sambil melepas jubahnya. “Saudara belum pantas jadi biksu. Karena nuranimu tum­ pul. Tak bisa membaca hati orang lain. Saudara hanya memen­ tingkan tata lahir dari pada tata batin. Dan hatimu kotor karena berprasangka jelek pada orang lain. Saudara, keluar dari sini! Saudara belum pantas duduk di sini. Keluar!” Bapa terlihat benar-benar marah. Biksu pun keluar dari ruangan. Yang lain terlihat diam ketakutan. Hanya sang kiai yang terlihat tersenyum-senyum. Bapa melanjutkan kata-katanya. “Apa dikira revolusi itu hanya bisa dilakukan oleh militer atau tokoh partai? Justru dari orang-orang biasa itulah awal mula adanya revolusi. Baru setelah itu mereka ikut di dalamnya. Dan apa yang aku lakukan terhadap saudara biksu itu. Adalah bagian dari revolusi yang aku lakukan.” “Maksudnya?” tanya Pendeta. “Aku bersama para petani sedang melakukan revolusi men­ tal. Agar cara berpikir bangsa kalian itu berubah. Contohnya tadi. Biksu itu hanya melihat luarnya saja. Kalau orang seperti aku, karena bertato terus dicap jelek. Orang pakai jas berdasi. Atau orang berjubah seperti kalian itu dianggap orang baik. Benarkah Tuhan mengajarkan demikian? Tuhan pasti hanya akan melihat hatinya. Bukan yang ada di badannya. Bukankah demikian, saudara?” “Ini lho, kok para petani yang digerakkan, kenapa?” tanya Pastur. “Karena aku ingin mengubah cara berpikir bangsa kalian terhadap petani.” “Lho, memangnya kenapa? Apakah selama ini perlakuan kami terhadap petani itu salah?” “Sekarang aku tanya dulu pada kalian. Kalian itu tokoh atau pemuka agama. Pernahkah kalian berpikir atau membayangkan. Antologi Cerpen Kebangsaan 65

Andaikata di muka bumi ini tidak ada beras atau nasi. Bisakah kalian berkhotbah menjual surga ke mana-mana?” tanya Bapa. ‘’Ya tidak mungkin bisa, Bapa,” jawab Kiai. “Makanya kalian bisa berkhotbah itu karena setiap hari kalian makan nasi. Terus nasi atau beras itu siapa yang meng­ adakan? Kan, para petani yang bekerja keras membanting tulang. Tak peduli hujan atau panas. Mereka tetap bekerja. Demi meng­ hidupi orang banyak. Dengan begitu, maka sebelum yang lain masuk surga, mestinya para petani dulu yang masuk surga.” “Masuk surga dan tidaknya itu urusan Tuhan, Bapa,” sela Pendeta. “Ya, aku setuju. Tapi setidak-tidaknya sikap kalian terhadap petani itu berubah. Kalian semua mau mendoakan para petani. Agar mereka semua dimasukkan ke dalam surga.” “Begini, Bapa. Agar musibah di negeri Entah tidak berkepan­ jangan. Dan menurut kami pemikiran Bapa itu baik sekali. Kami berharap Bapa bisa berpidato di gedung DPR. Di depan rapat ber­sama antara wakil rakyat dan presiden dan para menterinya. Bersediakah, Bapa?” usul Kiai. “Siap. Asal kalian semua dapat mengkondisikan mereka. Agar dapat menerima diriku apa adanya. Karena aku takut. Mental mereka itu masih seperti biksu tadi. Besok aku hadir seperti biasa. Aku berpakaian kaos oblong, bercelana komprang. Berikat sarung di pinggang. Dan kepalaku beriket, dan camping di punggung. Tidak lupa tangganku kugambari mirip seperti tato. Bagaimana?” tanya Bapa. “Kami siap. Nanti kami kondisikan,” jawab Kiai. Hari sudah cukup siang, matahari sudah hampir di tengah. Tak lama kemudian dengan bersalaman mereka berpamitan. Biksu sedang duduk di bawah pohon sendirian. Kemudian ia berlari menghampiri Bapa. Meminta maaf sambil bersalaman. * 66 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Siang itu di gedung DPR. Sudah hadir dan duduk di kursi masing-masing. Presiden dengan para menterinya. Para ketua DPR dan segenap anggotanya. Beberapa acara berlalu. Giliranku untuk berpidato. Aku duduk di deretan kursi anggota DPR bagi­ an kiri. Setelah aku dipanggil. Aku bangkit dari duduk. Hadirin tepuk tangan. Aku terus berjalan menuju podium. Sesampai di podium aku tatap semua. Terus aku berikan salam dan peng­ hormatan pada mereka. Tidak lupa kusampaikan juga kata-kata syukur. Aku lihat mereka semua terdiam memperhatikan. “Yang mulia presiden dan para menterinya. Yang terhormat, para ketua dan wakil ketua DPR dan segenap anggota yang aku hormati. Adanya musibah itu karena ulah. Ulah orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Dan tidak bernurani. Orang-orang ini adalah orang-orang yang selalu sombong dan serakah. Karena aku pikir, saudara-saudara bisa hidup, itu karena setiap hari bisa makan makanan. Dan asal adanya makanan itu dari para petani. Tetapi selama ini nurani saudara tumpul. Otak saudara bodoh! Karena tertutup oleh kesombongan dan ke­serakahan. Sombong karena tidak menghargai pekerjaan pe­ tani. Dan serakah karena beribu-ribu hektar sawah ditanami bangunan-bangunan. Semua itu hanya demi keuntungan. Hing­ ga menjadi kaya, betumpuk uang, emas dan mobil mewah. Coba saudara pikir. Kalau terjadi krisis pangan seperti seka­ rang ini. Penting mana pekerjaan DPR dengan pekerjaan para petani? Dan berharga mana antara uang, emas, dan mobil me­ wah dengan beras? Bila saudara mau, lakukan revolusi mental. Mengubah cara pandang terhadap petani. Petani itu punya sawah, sawah beli send­ iri. Menggarapnya dengan biaya sendiri. Hasilnya dibeli dengan harga di bawah sendiri. Petani menghasilkan bahan makanan yang dibutuhkan oleh semua warga negeri. Maka semua warga negeri hendaknya tidak meremehkan dan meren­ dahkan pekerjaan petani. Kalau toh tidak ditinggikan, ya cukup Antologi Cerpen Kebangsaan 67

disejajarkan. Artinya kita sadar sebenarnya, antara pekerjaan bupati atau jabatan lainnya dan petani itu sama pentingnya. Seperti yang sudah dilakukan di negeri Berantah. Karena pent­ingnya bahan pangan bagi semua warga negeri. Maka negeri men­ yediakan lahan sawah yang diberikan cuma-cuma pada petani. Negeri tidak membangun gedung-gedung di lahan sawah petani. Kalau misalnya lahan sawah yang ada itu hak milik petani sendiri. Setidak-tidaknya semua biaya peng­garap­ an, termasuk penyediaan pupuk dan obat-obatan hama ditang­ gung dari anggaran negeri. Dan hasilnya dibeli oleh negeri dengan harga yang memadai. Dengan demikian, negeri ini akan swas­ embada pangan dan tidak tergantung negeri lain. Itulah revolusi mental yang kami jalankan di negeri Berentah. Jika saudara-saudara sependapat dan setuju dengan konsep kami. Silakan bergabunglah dengan negeri kami, negeri baru negeri Berentah. Jika tidak, tidak masalah. Silakan teruskan negeri saudara dalam musibah. Warga negeri saudara tetap dalam kelaparan hingga akhirnya mereka mati. Habislah warga negeri saudara karena musibah. Dan musnahlah negeri Entah. Saudara-saudara itulah tawaran kami. Terima kasih.” Aku mengakhiri pidato dengan memberi salam. Begitu me­ reka selesai menjawab salamku. Di ruang gedung DPR itu datang angin bertiup kencang menuju diriku. Seketika itu ia membawa aku terbang dan menghilang. Terkejutlah mereka akan kejadian itu. Bingung dan bertanya- tanya. Siapa dia sebenarnya? Ratu Piningit atau Ratu Adilk­ ah dia? Dari mana asalnya dan ke mana perginya? Tak lama kemu­ dian pimpinan rapat berbicara. “Saudara-saudara, agar musibah negeri ini tidak berkepan­ jangan dan negeri Entah tetap ada dan berkesinambungan maka tidak ada jalan lain, kita terima tawaran itu. Kita ber­gabung dengan negeri Berentah. Dan secara bersama-sama kita me­ 68 Ini Bangsa Juga Punya Saya

laksanakan revolusi mental. Bagaimana, apakah dapat disetujui, saudara?” Semua hadirin menyetujuinya. Tak lama kemudian pimpinan rapat menutup acara rapat bersama siang itu. Akhirnya negeri Entah dan negeri Berentah sama-sama melaksanakan revolusi yang sama sehingga terjadilah Revolusi Negeri Entah Berentah. ----------------pwt.1 Oktober 2019------------- *** Antologi Cerpen Kebangsaan 69

Budi Wahyono SELONGSONG PUISI YANG LOLOS DARI MATA SUNYI Saya tidak menyangka Endah! kalau akhirnya kita ber­ temu di sebuah acara gerak jalan, di sebuah kota. Saya juga tidak menyangka kalau kamu menginap di sebuah hotel di ketenteraman kota Jogja. Saya tidak menyangka kalau kita pagi itu bisa menyantap gudeg berdua di sebuah resto yang nyaman. Senyaman memandang mata sunyimu yang mengalirkan mag­ net ribuan biji puisi. Di sela-sela antrean pembeli yang berdesakan, kamu seperti terbenam. Tidak sungkan-sungkan untuk meloloskan kalimat yang terasa terdengar merdu di telinga. “Aku letih hidup sendiri,” katamu tiba-tiba. Sorot mripat indahmu meriap bagai peluru. Terasa pedih. Terasa menggaung jauh. Mengingatkan desis kereta menjelang subuh menembus kabut stasiun Nguter, wilayah Sukoharjo di masa muda. Di masa kamu bermain-main mencari capung serta layang-layang sepanjang sulur-sulur pematang. Lalu ibumu sibuk mencarimu. Bertanya pada banyak orang di mana gadis kesayangan. Mungkin takut tubuhmu yang putih bersih akan bermetamorfose menjadi warna sawo matang kemampo. Bahkan mungkin terjatuh pada warna gelap lantaran gosong sinar matahari. “Anak-anak tidak cukup mengusir kesendirianmu Dik Endah?!” saya terlambat menjawab sekaligus menegaskan ten­ tang makna kata kesendirian. Ketika usia makin menua, ah, rasa/makna kata seperti baru kurasakan logika kebenarannya. 70 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Artinya mulut ini tidak asal mengucap menirukan banyak orang tanpa memahami nilainya. Wanita cantik itu termangu. Sadar akan lumernya kata-kata yang berkibas dalam godaan saya: Ia pun tersenyum. Bukan senyum yang dipaksakan tetapi senyum untuk membela sikap. “Sudah berapa tahun ditinggal suami?’’ saya memancing. Membayangkan suaminya dulu yang memiliki tradisi suka ke­ luar malam. Mabuk. Naik mobil, mengantuk, menabrak jembat­ an, dan wafat. “Lima tahunan, Mas .. ,” jawabnya menyerupai desahan. Mem­buka peluang naluriku sebagai lelaki untuk masuk ke bilah- bilah pemikirannya. Sepi terasa berkecamuk tak henti-hen­ti, men­denyut. Merentangkan sejarah kehidupan Endah. “Wanita hebat, dalam tempo lima tahun mengurusi sejumlah anak, sendirian,” pujiku. Batinku bergerilya: mencatat anaknya yang dari SD sampai SMA. Anak yang paling tua bahkan samp­ ai sudah bergelar sarjana dan bekerja di kota Bandung. Sudah mulai bisa membantu sang ibu. Ah, derit ekonomi yang meram­bat pelan-pelan, tetapi akhirnya sampai juga di terminal kepastian. “Pengin nikah di usia empat puluh lima tahun?” kembali saya memancing. Mencuri memandang dagu berhias pipi dengan semburat senyum. “Lha kalau ketemu jodoh to, Mas … ,” rasa pasrah itu terasa mengepulkan ratap. Saya menangkap. Saya membayangkan dua anak perempuan saya. Apakah mereka masih menginginkan ibu baru? Dua anak saya memandang bahwa juga sudah lima tahun saya hidup sendiri. Lebih banyak melancong ke sana ke mari, meliput berita budaya dan pariwisata. Kebetulan kantor juga selalu memberi tugas untuk urusan pemasaran dan kerja keras yang saya lakukan toh tidak mengecewakan. “Hidup harus ada perubahan,” kata kawan dan kebetulan seorang profesor yang sering terlontar di televisi terasa meng­ hantui. Apakah kesendirianku terus berubah dikerucutkan Antologi Cerpen Kebangsaan 71

menjadi sebuah kebersamaan? Terus wanita yang ingin ber­ samaku itu bernama Endah? Sejumlah pertanyaan dan jawaban seperti saling menganyam. Angin tiba-tiba mengencang lebat. Kembali saya melirik so­ sok wanita yang berada di depan persis. Lirikan saya tertangkap. “Mas juga akan bertahan hidup sendiri?” pertanyaan itu me­ nukik. Meyakinkan tebaran data bahwa wanita zaman sekarang cenderung berani berterus terang. Tidak sekadar memberi sinyal- sinyal tebakan. “Iya, tetapi kamu tahu sendiri. Ekonomiku pas-pasan. Gaji hanya empat juta lebih sedikit ... ,” saya harus berkata apa adanya, biar wanita itu, kalau benar-benar dijodohkan pada saya, mampu menjereng pemahaman yang semestinya. Inilah konflik batin yang sebenarnya pedih. Sebagai lelaki tulen mendadak sontak saya menjadi pengecut. Bagaimana tidak? Masih ingin menikahi wanita cantik sesuai idaman, tetapi sudah meng­gelepar tidak sanggup untuk menopang ekonomi secara semestinya. Ah, inilah keterbatasan. Setiap manusia pasti memiliki grafik memuncak dan menurun yang tidak dapat dipaksakan. Naluri di benak dan di hati saya rasakan membisik begitu. Tetapi, kalau saya kembali berpikir positif, bukankah ini juga merupakan kendali agar saya menjadi manusia yang tidak terus-terusan rakus? Lecutan semangat kerja, kerja, dan mencari tambahan penghasilan ada batasnya juga. “Tetapi anak-anak kan sudah tidak memerlukan biaya Kang­ mas,” mirip desakan rasanya kata-kata itu membidik. “Ya, masih membutuhkan dana untuk mantu, suatu saat. Namanya orang tua harus menyokong, meskipun anak-anak juga sudah mandiri,” asal tidak tertangkap terseret dalam kec­ engengan, perlu saya mengatakan. Endah tersenyum. Inilah saatnya untuk saling berbuka diri. Melampiaskan penjajakan sebelum akhirnya nanti kami (mungkin) menikmati percekcokan. Kecewa yang terulur berkepanjangan. 72 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Sama, anakku juga sudah mandiri. Masih kurang dua yang memerlukan biaya sekolah. Ah, siapa tahu nanti mendapat beasiswa,” sambaran harapan itu terlontar serius. Gulungan dana kuliah yang terinci, yang pernah merambat di kepala ma­kin menua terasa terbuka. Ya, bagaimana dulu saya harus me­min­­ jam koperasi kantor, menggadaikan STNK dua sepeda motor di ruko simpan pinjam meskipun semuanya kini lunas. Hidup rasa­ nya sudah mampu melunasi konflik batin yang pan­jang secara sendirian. Kembali saya telisik kehidupan Endah. Wanita sederhana itu sudah menerima kenyamanan hidup di sebuah rumah milik seorang anggota DPRD di sebuah kota di Jawa Tengah. Di kompleks rumahnya ada 12 kamar kos yang dihuni para pegawai dan mahasiswa. Endah mendapat tugas mengurusi kos tersebut sebagai ibu kos. Dari urusan ngepel lantai sampai menagih bayaran bulanan. Berkat kebaikan hati sang wakil rakyat itu pula, Endah sering diajak ikut rapat partai, menginap di hotel, dan mengikuti berbagai acara. Pergaulannya dengan banyak orang telah membuat cara berpikirnya berkembang. Tidak dalam tempurung kemandekan. Inilah barangkali modal untuk menyambung diskusi menarik kami. Karena dia masih cantik, wajar kalau beruntun godaan da­ tang. Dua bulan lalu, ada salah satu dari bapak kos yang diam- diam pengin menjadikan Endah sebagai istri kedua. Saya terharu mendengarnya. “Dan jawabanmu?” seperti takut kehilangan, saya pun, aneh, terdorong untuk menanyakan hal yang sebenarnya bukan sepenuhnya menjadi hak. Aneh pula, tanpa sungkan-sungkan Endah bertutur: “Pria itu baik. Gajinya delapan juta. Dia ingin memberiku tiga juta saban bulan … dan … ” sengaja kalimat dibuat tersendat. “Dan kamu hampir setuju?” pertanyaan saya terasa penuh getar. Ada rasa takut kehilangan yang sangat. Sebagai wanita Antologi Cerpen Kebangsaan 73

yang ditempa kedewasaan, dia sangat memahami semua itu. Kami saling pandang seperti tanpa berkesudahan. Perdebatan batin terasa tak berhenti-henti di anatara kami. Bukan meruncing tentu saja, tetapi lebih pada muara untuk menyelesaikan secara bersama-sama. Lahir dan batin. Kami sud­ ah saling menghargai. Tidak sedikit pun niat untuk saling me­nya­ kiti. Barangkali, rambatan usia telah membingkai kami menjadi dewasa. Mencoba matang dalam memberi sudut pand­ ang. Senja beringsut merambat. Bundar matahari di langit barat berpadu dengan bayang daun-daun yang menghitam. Seolah ingin mengucapkan selamat tinggal. Percakapan dengan Endah akan kami lanjutkan di lobi hotel. Tentu sambil memandang lanskap dari lantai tiga. Di situ, di tempat kami duduk, saya masih ingat ada relief para pahlawan di tembok. Tangan seniman dengan mata batin halus telah mengimajinasikan secara penuh. Ada penyemangat akan pentingnya hidup yang harus berjuang. Hidup terasa dibingkai tidak untuk sekadar mencari makan untuk anak-istri. Ada aroma kebangsaan yang terus menantang. Terlebih ketika sederet stasiun televisi menyiarkan gemuruhnya demo di gedung DPR, di kota-kota besar yang memiliki kam­ pus, naluri seorang demonstran yang mengendap di dada seperti tersulut membara. Apakah Endah yang masih memiliki keturunan etnis tertentu juga menyimpan rasa kebangsaan? Terlintas bayangan buruk yang menikam benak. Ah, saya pun jadi ingat belahan lanskap hidup tiga puluhan tahun silam. Ketika saya berstatus mahasiswa dan sering dijadikan juri baca puisi dan cerpen oleh beberapa kepanitiaan, Endah yang masih berstatus pelajar SMA selalu ikut bertanding membaca puisi. Suaranya melengking bagus, interpretasinya kuat. Saya jadi teringat bagaimana Endah menebarkan daya pukau saat membaca puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” yang heroik. Baris-baris puisi itu, juga puluhan puisi yang lain, seperti menelikung jalan hidupnya yang sesungguhnya berkecukupan. 74 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Tetapi penampilan wanita itu seperti sudah disederhanakan. Dirasuki berlongsong-longsong puisi. Dan saya melihat, dalam temaram lampu dan tembok aroma coklat muda berpadu dengan relief ini … selongsong puisi tersimpan di mata sunyi. Saya menunggu dia meloloskannya. Terbayang kemudian setting serumpun bambu yang kalau tergerus angin akan menyuarakan hawa merdu. Pohon bam­ bu itu menganguk-angguk menjadi tempat berseliweran para burung menyapa pagi. Lalu rumah warna putih dengan kamar mandi di bagian belakang puluhan tahun bersemayam di pinggir rel Kampung Gayam, Sukoharjo. Seorang kakek tua yang tergila-gila dengan atribut kebangsaan merasa terus gagah bersiul-siul mengiramakan lagu “Sepasang Mata Bola”. Disusul “Jembatan Merah”. Saya sering berimajinasi pasti kakek itu dulu jago menyanyi di panggung perjuangan. Panggung tujuh belasan. “Kakekmu pintar bernyanyi Endah, mengapa dulu tidak ikut rekaman?” saya bergurau. Endah tersipu. Matanya sendu. Lalu mengaitkan dengan pelajaran yang diberikan Pak Tugiman, guru SD kami. Itu dulu, dulu itu, ketika Endah masih di kelas lima Sekolah Dasar. “Kakek memang keranjingan dengan lagu-lagu perjuangan Mas. Dulu, nenek terpikat kakek, salah satunya pada suara emas itu,” Endah menerangkan dengan cerdas. Saya manggut-mang­ gut. Ada jalaran nakal untuk mendengar kisah percintaan kakek dan nenek di masa rasa kebangsaan masih berkobar menyala. “Wah, Kakekmu ternyata orang Jawa tulen ya, Endah … ” kalimat ingin menegaskan itu mrucut begitu saja. Tidak mungkin kujilat kembali. “Ah, Bapak saya juga Jawa. Ibu saya yang cantik berasal dari etnis lain Mas,” jawabnya setengah meyakinkan. Dalam batin, dan bertahun-tahun kemudian terbawa bayangan usia, rasa nasio­nalisme itu mengalir dalam tubuh Endah. Saya men­ Antologi Cerpen Kebangsaan 75

dapatinya sekian tahun kemudian ketika ia rajin membaca puisi. Sampai suatu saat, yang penuh daya pikat, dia berucap: “Kakekku senang kalau saya baca puisi-puisi perjuangan Mas. Terutama puisinya Pak Taufiq Ismail dan Chairil Anwar, Mas. Konon, ia juga pernah sering terpikat dengan puisi-puisi penyair Chairil,” penjelasan itu membuat jantungku berdebar. Lalu singgah di benak beberapa deret puisi seperti “Krawang- Bekasi”, “1943” hingga yang sarat kenangan: “Derai Cemara”. Kami pun naik becak berdua, menembus kantor pos, tempat mencari oleh-oleh, menyusur alun-alun. Terbayang sejenak wa­nita yang pernah naik becak berdua denganku, di jalur ini, Dik Kis – wanita dari Kulonprogo itu kelihatannya. Terbayang juga Dik Tuti wanita cantik yang pernah naik becak dari rumah pembuatan bakpia sampai parkiran bis suatu senja. “Maaf, sampai kapan kamu akan bertahan menjanda, Dik?” lirih kalimat yang saya ucapkan. Takut ada getar dada yang me­ nyinggung perasaan. Pembaca puisi itu begitu kampiun mem­ baca tanda-tanda. “Nanti ketika sudah ketemu orang yang tidak meragukan kebangsaanku, Mas,” jawaban itu di luar dugaan. Saya ter­ perangah. “Apa hubungan antara cinta, kasih sayang, dan kebangsaan?” seperti anak kecil saya terpikat ingin tahu. Kutatap lembut wajah­ nya. “Terus, kapan Mas mau menikah juga?” pertanyaan itu terasa menikam. “Nanti kalau sudah ada yang cocok,” kata saya klise. Sekena­ nya. Terkesan asal jawab. “Ya, itu bagus Mas, tetapi jangan terlalu idealis. Cocok sera­tus persen itu mustahil. Tujuh puluh persen sudah bagus. Sisanya saling melengkapi,” seperti psikolog jempolan dia mem­ beri nasihat. Rasa gemetar menjalar di tubuh yang makin tua. Makin sering masuk angin. Makin mengundang istri untuk 76 Ini Bangsa Juga Punya Saya

berpartisipasi mengeriki. Kaukah itu Endah, yang akan terbang di sebentang ranjang?! “Kira-kira apa ya Mas, yang membuat pria tidak berani me­ nyuntingku?” aduh, amukan pertanyaan itu makin lama makin meruncing. Pikiran saya digiring dalam kehimpitan yang pas. “Mungkin tanggung jawab membesarkan anak Dik, terma­ suk menguliahkan … ,” jawab saya sekenanya. Tidak hanya bermaksud mewakili perasaan banyak pria, tetapi juga perasaan pribadi. “Dan Mas juga merasakan ketakutan itu … andai suatu saat bertemu dengan ‘makhluk’ sepertiku?” makin terhimpit nasib saya. Tanpa sadar saya digerakkan untuk mengangguk patuh. “Padahal, dengan adanya dua anakku, aku juga tak terlalu berharap pria yang mendampingiku kelak akan mendanai kuliah anakku … ,” kalimat itu menggelepar. “Maksudmu, Dik?” seperti anak-anak saya minta penjelasan. “Almarhum masih punya tanah. Ratusan meter. Dulu dia pernah berujar kalau membutuhkan dana, tanah itu bisa dijual,” katanya menjelaskan. Lagi-lagi saya manggut-manggut. Menoleh kembali ke wajahnya. Ada gelinjang kelegaan menenteramkan batin. Di sisi lain, adakah ini bentuk keterusterangan Endah padaku untuk siap dijadikan istri? “Mas ...” bisiknya. Pandangannya setajam pedang. “Usia kita sudah berkisar setengah abad. Aku kurang sedikit, Mas lebih sedikit … Masih menunggu apa, Mas?!” saya tidak mampu menjawab. Tetapi tangan saya diam-diam sudah merambat memeluknya. Kehangatan seperti beredar menyusup ke segenap pori-pori. Masih di dalam becak … Matahari di langit senja tembaga menyembul dari gulungan mendung. Dua anak yang biasanya les sebentar lagi pulang. Anak- anak yang lain sudah dewasa. Sudah menemui dunia profesinya. Suara denting piano tua terasa merasuki tubuh. Irama lagu kebangsaan menjulang menggenapi ruang. Istriku yang Antologi Cerpen Kebangsaan 77

memainkan. Dia sudah mandi, sudah cantik, sudah wangi. Sedang saya masih gluprut cat, berpakaian kaos singlet seperti pejuang baru pulang. Teman-teman yang lain, yang kebetulan ada pelukisnya, masih menuntaskan lukisan di tembok batas RW. Di sana saya mengusulkan ada gambar lelaki tua, kakek istriku menyanyikan lagu kebangsaan di sela gambar gempuran perang. Lagu itu terasa menyumbang roh semangat. Gambar lelaki tua juga memberi isyarat bahwa sampai tua pun nila-nilai kebangsaan harus kita tunjukkan. Termasuk tentunya bagi para generasi muda. “Air hangat sudah kugodok Mas, mau mandi sekarang?” tanya istriku. Saya mengiyakan. Bergegas mandi. Byur! Cibur- cibur … Acara spesial kami malam ini, naik taksi ke sebuah kafe. Ada acara menarik di sana: pagelaran anak-anak muda menyajikan lagu-lagu kebangsaan. Dan, itu sumbu baterai bagi kebersamaan kami. *** 78 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Davit Kuntoro PLEGMATIS TUHAN DAN BERKIBARNYA MERAH PUTIH Lelaki tua tersenyum di salah satu waktu dan mulai me­ nitikkan air mata ketika tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar. Sebenarnya lelaki tua itu bukanlah seorang pahlawan atau veteran. Namun, sejak ia melihat ayahnya mati ditembak oleh tentara sekutu Belanda, ia memutuskan untuk memperjuangkan Merah Putih tetap berkibar di Indonesia. Di halaman depan rumah, bendera selalu berkibar menjelang peringatan hari Kemerdekaan Indonesia. Lelaki tua itu buta. Duduk sendiri di halaman depan rumah setiap menjelang senja. Ia tinggal bersama seorang anaknya dan kedua cucunya. Lelaki tua itu sedang menunggu kematian. Suatu saat, malaik­ at maut pasti akan menjemputnya karena kematian ada­ lah ketetapan Tuhan yang tak bisa ia hindarkan. Apalagi, kedua matanya buta dan tubuhnya tua renta. Hanya menunggu waktu saja. Banyak orang, terutama tetangganya, yakin bahwa lelaki tua itu tidak akan bertahan lama. Tentu saja lelaki tua itu tahu, kedua cucunya yang sudah agak besar itu selalu menceritakan apa yang mereka dengar. Namun, karena lelaki tua itu menyadarinya, ia hanya mengangguk dan mengelus kedua kepala cucunya ketika kerap kali cucunya membisikkan ke telinganya. Ini hari ketiga di bulan Agustus, lelaki tua itu memasang bendera di depan halaman rumahnya. Setiap tahunnya, ia Antologi Cerpen Kebangsaan 79

selalu memasang bendera Merah Putih kepunyaannya sendiri, meskipun di kompleksnya sudah disediakan bendera yang lain. Kata lelaki tua itu, bendera Merah Putih yang dipasang di depan halaman rumahnya saat ini adalah keharusan. Tidak boleh di­ ganti atau memasang bendera Merah Putih yang baru. Di dalam lemarinya, ada dua bendera koleksinya. Sejak lelaki tua itu melihat ayahnya dibantai oleh tentara sekutu Belan­ da sampai Indonesia merdeka saat ini, bendera itu selalu dijaga dan dirawatnya dengan penuh cinta dan kehati-hatian. Konon bendera itu adalah peninggalan ayahnya dulu. Ia menjaganya sampai saat ini. Perkara bendera itu sudah lusuh, ia tetap menjaganya. Suatu ketika anaknya membelikan bendera baru untuknya dan menukarkannya dengan bendera yang lusuh miliknya, ia langsung memahaminya. Meskipun matanya tak bisa melihat, kecintaannya pada bendera peninggalan ayahnya membuat insting lelaki tua itu kuat. Jika saja kedua matanya itu masih bisa melihat, anaknya mungkin tidak akan berani menukar bendera lusuhnya dengan bendera yang baru. Memang, hidup lelaki tua itu monoton. Setiap hari hanya memuji-muji bendera lusuhnya, menanyakan hari ini akan datang hujan atau tidak. Yang paling menjengkelkan menurut anaknya ketika lelaki tua itu menyuruh anaknya untuk mencuci bendera lusuhnya dengan wewangian dan berbagai jenis bunga. Yang dilakukan lelaki tua itu bukan lagi menjaga bendera peninggalan ayahnya, tetapi semacam kesyirikan. Terlalu ber­ lebiha­ n mencintai bendera lusuhnya hingga melebihi Tuhann­ ya. Lelaki tua itu tidah pernah tahu bagaimana wajah kedua cucunya dan bentuk dunia saat ini. Semenjak kedua matanya tak bisa melihat, hanya kegelapanlah yang dapat dirasakannya. Namun, ada baiknya untuk lelaki tua itu. Ia tak harus melihat bagaimana wajah orang yang kesakitan, menangis, dan men­ 80 Ini Bangsa Juga Punya Saya

derita. Peristiwa-peristiwa terakhir yang ia lihat pada wajah ayahnya dulu. “Hari akan hujan!” celetuk salah satu cucu lelaki tua itu. “Cepat, tolong ambilkan bendera Eyang sebelum hujan turun!” Ketika kedua cucunya itu sedang sibuk bermain. Lelaki tua itu segera menyeret salah satu cucunya untuk dimintai tolong mengambilkan bendera yang sebentar lagi akan basah tertimpa air hujan. Cucunya itu kemudian melirik dan langsung berlari mengambil bendera itu. Tiba-tiba saja hujan turun, lelaki tua itu coba julurkan tangan, meraih bendera yang hampir saja terkena air hujan. Se­ detik lagi bendera itu akan basah, jika tangan lelaki tua itu tidak menjulurkannya. Hujan sudah semakin deras, beberapa jam lagi mungkin rumah lelaki tua itu akan kemasukkan air yang mengalir dari halaman depan rumah. Karena lantai rumah lelaki tua itu tidak terlalu tinggi dan hujan terus-menerus membesar. Beberapa kali diikuti dengan kilatan petir dan angin yang diselimuti dengan air hujan. Bendera lusuhnya dipeluk erat. Kedua cucunya menangis ketakutan. Entah apa yang ada dipikiran lelaki tua itu. Kedua cucun­ ya dibiarkannya ketakutan dan lebih memilih memeluk erat bendera lusuhnya. Tangisan kedua cucunya itu menjadi. Membuatnya semakin mengacuhkan. Lelaki tua itu tak yakin hujan akan berhenti. Dari telinganya itu, ia masih mendengar rintik hujan dan masih men­ cium aroma hujan yang belum mereda. Akan tetapi, tidak untuk tangisan kedua cucunya. Seketika tangisan kedua cucunya itu berhenti ketika anak dari lelaki tua itu datang dan memeluknya. Kemudian anaknya memaki-maki lelaki tua itu. Semula lelaki tua itu tak yakin, anaknya akan berani memakinya. Namun, melihat kedua cucu lelaki tua itu menangis ketakutan dan lelaki Antologi Cerpen Kebangsaan 81

tua itu hanya mementingkan bendera lusuhnya, memang pantas anak semata wayangnya itu memarahi ayahnya. “Eyang tidak sayang Bibib, Eyang tidak sayang Bibib … ,” begitulah kata-kata yang diucapkan cucunya itu berulang-ulang. Anaknya semata wayangnya melangkah mendekati lelaki tua itu. Kemudian menarik bendera lusuhnya itu dari pelukan lelaki tua dengan paksa. Tarikan kuat ia kira cukup untuk me­ lepaskan bendera lusuhnya dari tangan lelaki tua itu. Memang benar, bendera lusuh milik lelaki tua itu sudah di tangan anaknya. Belum sempat kata terucap dari mulut lelaki tua itu, anaknya telah pergi meninggalkannya. Lelaki tua itu ber­ teriak, meronta hingga ia tersungkur di hadapan kedua cucunya. Rasa dendam ternyata tidak dimiliki oleh kedua cucunya. Bibib dan Bima dengan segera membantu Eyang yang jatuh ter­ sungkur. Saat itu, pikir lelaki tua, kedua cucunya akan mem­ biarkan eyangnya ada di lantai. Akan tetapi, lelaki tua itu salah. Lelaki tua itu kini kembali berteriak dan meronta. Namun, tidak sampai ia tersungkur kedua kalinya. “Apa pun yang terjadi, tolong kembalikan bendera Ayah!” pinta lelaki tua itu pada anaknya yang sudah pergi membawa bendera lusuhnya. “Sudah Eyang, Ayah tidak akan membuang bendera itu. Ayah hanya menyimpan di lemari,” kata Bibib. “Betul Eyang. Eyang jangan menangis!” sahut Bima juga. Hari ini antara lelaki tua dan anaknya tidak ada percakapan. Semula yang setiap menjelang makan malam anak dari lelaki tua itu menjemput ayahnya untuk menuju meja makan, ia memilih membungkam mulutnya dan membiarkan ayahnya berjalan sendiri. “Eyang, sini biar Bibib dan Bima bantu,” ujar Bibib. “Maafkan perilaku Eyang tadi, ya. Sebenarnya Eyang juga sangat sayang Bibib dan Bima.” “Tidak apa-apa, Eyang,” sahut Bima. 82 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Ya, bendera lusuh itu memang benda paling berharga bagi lelaki tua itu. Akan tetapi, menurut anaknya, hal itu adalah ke­ keliruan. Bendera lusuh itu tak bernyawa. Bahkan, tidak memi­ liki rasa sayang. Berbeda dengan kedua cucunya. Kasih sayang selalu melekat pada hati mereka meskipun eyangnya kerap kali tidak memedulikannya. * Barangkali pagi ini adalah pagi yang cerah, seperti cahaya yang dipancarkan oleh lelaki tua itu. Ia memasang bendera di depan halaman rumah. Ia tahu, matanya memang buta. Ia masih ingat betul, bagaimana kedua matanya itu tidak bisa melihat. Air mata yang tak bisa berhenti melihat ayahnya yang dibantai dengan keji itu hingga akhirnya kedua matanya infeksi dan buta. Selepas lelaki tua itu memasang bendera lusuhnya di depan halaman rumah. Percaya atau tidak, tetangganya memberikan semangat pada lelaki tua itu. Ia tidak begitu memperhatikan bagaimana tetangganya memberikan semagat padanya. Namun, di benak lelaki tua itu yang paling penting adalah bendera Merah Putih miliknya bisa terpasang kembali. “Hari akan hujan!” celetuk Bibib. “Cepat, tolong ambilkan bendera Eyang sebelum hujan turun!” Bibib pun dengan cepat menurunkan bendera dari tiangnya dan menyerahannya pada lelaki tua itu. Namun, hujan tidak begitu cepat turun pada hari ini. Hanya gerimis yang datang dan sinar matahari pun masih bersinar terik dari langit. “Tidak jadi hujan, Eyang.” Bendera yang ada di tangan lelaki tua itu sementara diletak­ kan di atas sofa ruang tamu. Karena lelaki tua itu mendengar azan dan akan menjalankan salat zuhur. Keadaan rumah terasa hening karena hanya ada lelaki tua dan kedua cucunya. Sungguh, bukan! Ini bukan kejadian di luar nalar. Melainkan kecerobohan lelaki tua itu. Bibib dan Baim Antologi Cerpen Kebangsaan 83

yang sedang bermain petak umpat, tiba-tiba mengambil bendera milik lelaki tua itu untuk menutupi tubuh dari salah satu cucu lelaki tua itu. Lelaki tua yang sedikit pikun itu, ia lupa sudah meletakkan bendera lusuhnya itu di mana. Insting dari lelaki tua itu kali ini keliru. Kain putih yang ada di atas televisi, dianggapnya sebagai bendera lusuh miliknya. Kain putih itu pun dipasangnya di tiang bendera yang ada di depan halaman rumahnya. Menjelang senja. Kain putih yang dipasang lelaki tua itu membuat kepanikan orang-orang yang ada di sekitar rumah lelaki tua itu. Orang-orang berbondong-bondong menuju rumah lelaki tua itu. Mereka pikir, di rumah lelaki tua itu sedang berduka karena sudah terpasang bendera warna putih. Ketika orang-orang mulai berdatangan dengan pakaian khas melayat, di balik pintu dua cucunya merasa kaget karena melihat orang-orang banyak mendatangi rumah mereka. Dan beberapa pasang mata di rumah itu pun pecah. Merasa cemas juga di benak hati kedua cucu lelaki tua itu. Namun, ter­nyata semua itu tidak berhenti begitu saja. Sesudah kedua cucu lelaki tua itu membuka pintunya, orang-orang langsung berkerumun memeluk Bibib dan Baim. “Kenapa semua pada menangis?” tanya Bibib polos. Semua orang hanya terdiam dan masih menitikkan air matanya. Bingung juga hati Bibib dan Bima melihat keadaan itu. Apalagi setelah orang-orang memeluk Bibib dan Baim sangat erat. Bibib menjerit karena bingung dengan kerumunan itu. Akan tetapi Bima justru menarik tangan Bibib, “Kamu kok menjerit-jerit ... ?” ujar Bima pada Bibib yang tadi sempat men­ jerit sangat keras. Wajah orang-orang semakin tak karuan, “Yang ikhlas ya, Bib, Bim!” ujar salah satu orang di tengah kerumunan dan suara 84 Ini Bangsa Juga Punya Saya

tersedu-sedu. Ini berkait dengan bendera putih yang dipasang di depan halaman rumah. “Di mana Ayah kalian?” “Ayah sedang bekerja, sampai saat ini Ayah belum pulang,” jawab Bima. “Bagaimana bisa orang tuanya meninggal, ia memilih tetap saja bekerja.” Celetuk Imam salah satu warga yang hampir ter­ bakar emosinya. “Siapa yang meninggal? Di sini tidak ada orang yang me­ ninggal, Pak.” Dan tak dinyana-nyana, lelaki tua itu bangkit dari tidurnya dan menuju ke kerumunan itu. “Itu Eyang,” kata Bibib. Bahkan, Pak Untung Ketua RT tak mau ketinggalan me­ nyumbangkan air matanya. Pendeknya, orang-orang merasa keheranan. Ah ... mustahil lelaki tua itu meninggal. Kini yang tengah berdiri di hadapan kerumunan adalah lelaki tua itu. Tentu ini kesalahkaprahan. Ini sungguh tidak lucu. Kematian seseorang dipermainkan. Tidak cuma orang-orang biasa yang sempat menyumbangkan air matanya. Seorang Ketua RT pun ikut terlibat di dalamnya. Gemas dibuatnya, orang-orang yang tadi menitikkan air matanya. Tiba-tiba beberapa pasang mata langsung mengering dan meninggalkan rumah lelaki tua itu. *** Setelah kabar kematian yang palsu. Tanggal 16 Agustus, soal kematian itu benar. Tuhan telah mengirimkan malaikat maut­ nya. Kau tahu, begitu susahnya lelaki tua itu pergi. Di saat napas terakhirnya, lelaki tua itu masih saja memeluk erat bendera lusuhnya. Anak semata wayang dari lelaki tua itu menangis. Rasanya seperti mimpi. Rasanya berat mengatakan pada kedua cucunya Antologi Cerpen Kebangsaan 85

bahwa eyangnya sudah meninggal. Yang Bibib dan Bima tahu, eyangnya hanya tidur lalu bisa bangun kembali. “Tidak Bib, Bim ... Eyang sudah meninggal.” Anak dari lelaki tua itu kini menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera putih. Hingga menjelang zuhur datang, tak ada satu pun orang yang datang melayat. Orang-orang sudah merasa kecewa telah dipermainkan dengan bendera putih itu. Rasanya menyakitkan bila tak ada orang satu pun yang membantu mengurus pema­ kaman lelaki tua itu. Anak dari lelaki tua itu takut, jasad ayahnya yang sudah kaku itu tidak cepat-cepat dimakamkan. Hingga akhirnya, anak dari lelaki tua itu memasang bendera Merah Putih lusuh kepunyaan lelaki tua itu berdampingan dengan bendera putih. Di saat ia memasang bendera Merah Putih, ada yang memergokinya. Anak dari lelaki tua itu tak kuasa membendung air matanya. Hingga akhirnya memunculkan pertanyaan, “Kenapa kamu menangis … bukankah Ayahmu itu tidak jadi meninggal.” “Lihatlah ke dalam, kau akan mengetahuinya sendiri,” sahut anak dari lelaki tua itu. Asdan diam di depan ruang tamu. Akhirnya, ia melihat dengan sepasang matanya, bahwasanya memang benar lelaki tua itu sudah terbujur kaku. Yah, siapa yang tahu Tuhan akan mengirimkan malaikat mautnya. Menjelang peringatan hari Kemerdekaan Indonesia, orang yang sangat cinta dengan bendera Merah Putih menghadap sang Tuhan. Anak dan kedua cucunya terus berjalan, bertahan hidup. Sedangkan bendera lusuh itu sudah berkibar di halaman depan rumah dan juga menemani lelaki tua itu di liang kubur. *** 86 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Diah Panca Setiyarini JANGAN KALAH SAMA BULE Teng! Teng! Teng! Bel berbunyi tanda istirahat telah tiba. Anak-anak ber­ham­ buran keluar kelas., ada yang menuju kantin, ada yang menuju gazebo, ada yang mengambil dan kemudian memainkan bola basket, serta ada yang duduk-duduk di depan kelas sembari mengobrol. “Han, ngantin, yuk! Dah lapar nih,” ajak Maura sambil mengelus-elus perut buncitnya. “Yuk, perutku juga dah nge-dance terus nih,” jawab Jihan membereskan buku-bukunya. “Risa, kamu ikut gak ?” tanya Maura yang dibalas anggukan Risa. Mereka bertiga bergegas ke kantin. Saat melintasi mading tiba-tiba …. “Hei, Han! Coba lihat ada kompetisi dance ini,” kata Maura sambil menunjuk mading. Mereka berhenti dan membaca brosur yang tertempel di mading. “Wah, hadiahnya oke juga tuh, Han,” kata Risa sambil membelalakkan mata sipitnya. “Iya nih, tapi pesertanya tujuh orang, Ra,” jawab Jihan lirih. “Ya kita cari peserta tambahan dong. Susah amat sih,” usul Maura. “Yups bener banget. Kita buat audisi, gimana?” tanya Risa mendukung usul Maura. Antologi Cerpen Kebangsaan 87

“Kita bahas di kantin saja. Aku kalo laper gak bisa mikir,” jawab Jihan menggandeng Maura dan Risa. Sesampainya di kantin, mereka memesan makanan dan du­ duk di pojok kantin. Sambil menunggu pesanan datang, mereka melanjutkan obrolan yang sempat tertunda. “Gimana, Han. Kamu setuju gak kalo kita ngadain audisi untuk melengkapi tim kita?” tanya Maura sambil mengambil men­doan yang tersedia di meja. “Gimana, ya? Ribet gak sih nantinya?” tanya Jihan khawatir. “Ribet gimana sih, Han? Tinggal kita buat brosur dan kita tempelkan di mading, beres kan?” usul Risa. “Betul kata Risa, Han,” jawab Maura dengan mulut penuh mendoan. “Itu mendoannya ditelan dulu, Ra, nanti tersedak lo,” kata Jihan mengingatkan Maura. Maura hanya tersenyum malu mendengar perkataan Jihan. Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Tak ada suara saat mereka makan sepertinya mereka sangat menikmati hidang­ an yang dipesannya. “Alhamdulillah … kenyang,” kata Maura sambil menepuk- nepuk perutnya. “Gimana, Han? Jadi bikin posternya ?” tanya Risa penasaran. “Oke …. Pulang sekolah langsung ke rumahku, ya. Kita buat poster, sapa tau ada yang minat gabung sama kita,” ujar Jihan. Sesuai kesepakatan yang telah dibuat di kantin, mereka langsung menuju rumah Jihan saat bel pulang sekolah berdering. Di sana mereka membuat poster dan keesokan harinya poster itu ditempel di mading sekolah setelah mendapat izin dari pengurus. Setelah audisi berlangsung, terpilih empat orang yang akan bergabung bersama Jihan, Maura, dan Risa. Ketujuh orang tersebut berlatih intens sepulang sekolah. Setelah kurang lebih dua bulan mereka berlatih, hari yang ditunggu akhirnya tiba. Mereka bertujuh menuju Gedung Soetedjo 88 Ini Bangsa Juga Punya Saya

tempat kompetisi berlangsung. Jihan memarkirkan mobil­nya di sisi kanan gedung itu. Peserta kompetisi dance berjumlah 21 tim. Tim Jihan men­ dapat nomor undi 18. Satu demi satu tim maju menunjukkan kebolehannya di depan juri. “Hadirin … kita panggil nomor undi 18,” kata pewara. Jihan, Maura, Risa, dan keempat temannya memasuki pang­ gung. Mereka berlenggak-lenggok mengikuti alunan musik. Gerakan yang mereka tampilkan sangat sempura. Tak lupa se­ sekali mereka tersenyum pada penonton. Riuh tepuk tangan pe­ nonton terdengar saat tim Jihan menyelesaikan tampilan mereka. Mereka kemudian menuruni anak tangga dan menuju kursi baris­an depan. Sambil menikmati penampilan selanjutnya, Jihan terlihat selalu berdoa. Tampak mulutnya komat-kamit. Wajah tegang meng­hiasi ketujuh anak itu saat pewara mengumumkan peme­ nang. “Juara kedua dengan nilai lima ratus delapan puluh sem­bilan diraih oleh … tim Seven Girls Romantic,” kata pewara dengan lan­ tangnya. Seketika itu, Jihan, Maura, Risa, dan keempat temannya bersorak. Rasa kaget dan senang yang teramat sangat membuat ketujuh anak tersebut menangis bahagia sambil berjalan menuju panggung. Walau bukan menjadi yang pertama, tetapi mereka tetap bersyukur, kerja keras mereka selama ini membuahkan hasil. Ketujuh anak itu pulang dengan senyum menghiasai wajah- wajah ayu mereka. “Alhamdulillah ... gak nyangka ya kita bisa juara dua,” kata Jihan sambil mengemudikan mobilnya. “Iya ... Alhamdulillah banget,” jawab teman-temannya serempak. Antologi Cerpen Kebangsaan 89


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook