Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore INI_BANGSA_JUGA_PUNYA_SAYA_Antologi_Cerp

INI_BANGSA_JUGA_PUNYA_SAYA_Antologi_Cerp

Published by e-Library SMPN 8 Talang Ubi, 2020-01-19 13:34:03

Description: INI_BANGSA_JUGA_PUNYA_SAYA_Antologi_Cerp

Search

Read the Text Version

BALAI BAHASA JAWA TENGAH Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019

Ini Bangsa Juga Punya Saya Antologi Cerpen Kebangsaan Penulis: Alfiah Ariswati, dkk. Penanggung Jawab: Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah Penyunting: Desi Ari Pressanti, Dian Pranawengtyas, Drajat Agus Murdowo, Ery Agus Kurnianto, Inni Inayati Istiana, Kahar Dp, Kustri Sumiyardana, Moch. Fikri, Shintya Pracetak: Sri Ernawati, Umiluningsih, Slamet Priyono, Bambang Surono Desain Sampul: Rohmad Hernowo Penerbit: BALAI BAHASA JAWA TENGAH BADAN PENGEMBANGAN BAHASA DAN PERBUKUAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Jalan Elang Raya 1, Mangunharjo, Tembalang, Semarang 50272 Telepon (024) 76744357, 76744356, Faksimile (024) 76744358 Posel: [email protected] Laman: www.balaibahasajateng.kemendikbud.go.id Katalog dalam Terbitan (KDT) Ini Bangsa Juga Punya Saya: Antologi Cerpen Kebangsaan. Alfiah Ariswati, dkk. Semarang: Balai Bahasa Jawa Tengah, 2019 x + 296 hlm., 14,5 x 21 cm. Cetakan Pertama, November 2019 ISBN: 978-623-7358-22-0 Hak cipta dilindungi undang-undang Isi di luar tanggung jawab percetakan

KATA PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA JAWA TENGAH Dari hasil survei oleh lembaga internasional yang mendata persoalan minat baca masyarakat di berbagai negara di dunia, diketahui bahwa minat baca masyarakat Indonesia pada 2016 hanya 0,01 persen. Hal itu berarti, jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penduduk Indonesia, dari 10.000 orang hanya satu orang yang berminat baca tinggi. Percaya atau tidak, tetapi hasil penelitian Perpustakaan Nasional RI pada 2017 memb­ uktikan bahwa minat baca kita memang rendah. Dari hasil penelitian itu terbukti bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3--4 kali per minggu dengan durasi waktu mem­ baca per hari rata-rata 30--59 menit. Sementara, jumlah buku yang dibaca sampai tamat per tahun rata-rata hanya 5--9 buku. Jika memang benar minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah, kita berani mengatakan dengan tegas bahwa di dalam sistem yang berkaitan dengan upaya pencerdasan bangsa yang dilakukan selama ini pasti ada yang salah; walaupun terka­ dang kita maklum—dan pada akhirnya tidak menuding itu salah siapa— akibat dari peliknya persoalan sosial, ekonomi, budaya, politik, geografi, dan sebagainya. Hanya saja, dalam memandang persoalan ini, kita tentu tidak boleh bersikap pesimis, apalagi apatis. Sebagai warga bangsa Indonesia yang masih dan akan tetap mencintai bangsa ini, kita dituntut terus berupaya keras agar bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas dan bermartabat di mata bangsa-bangsa lain di dunia. Sebagai sebuah lembaga pemerintah yang memang ditugasi untuk mengelola permasalahan bahasa dan sastra di Provinsi Antologi Cerpen Kebangsaan iii

Jawa Tengah, Balai Bahasa Jawa Tengah, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan (sampai akhir 2018 namanya masih Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa), Kementerian Pen­didikan dan Kebudayaan, mencoba melakukan serangkaian kegiatan yang diharapkan mampu memberikan andil positif dalam upaya mengatasi kenyataan tentang rendahnya minat baca masyarakat seperti yang telah dikatakan di atas. Dari serangkaian kegiatan itu, salah satu di antaranya adalah penyusunan dan penerbitan buku kebahasaan dan/atau kesastraan; dan buku- buku ini akan sangat penting artinya jika memang benar salah satu faktor penyebab rendahnya minat baca adalah terbatas atau sulitnya akses bahan bacaan (buku). Buku berjudul Ini Bangsa Juga Punya Saya ini merupakan salah satu wujud nyata dari upaya Balai Bahasa Jawa Tengah menye­ diakan bahan bacaan bagi masyarakat. Buku ini berisi 35 cerpen yang ditulis oleh cerpenis dari berbagai kota di Jawa Tengah. Diharapkan apa yang disajikan di dalam buku ini bermanfaat bagi kemajuan sastra di Jawa Tengah, khususnya cerpen. Kami, atas nama Balai Bahasa Jawa Tengah, menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada berbagai pihak, terutama kepada penggagas, penulis (kontributor), penilai, pe­ nyun­ting, panitia, dan pencetak sehingga buku ini dapat hadir menemani pembaca (masyarakat). Semua orang yakin bahwa tiada gading yang tak retak, dan retak-retaknya gading, demikian juga buku ini, dapat diperbaiki dan diselamatkan dengan cara yang arif dan bijaksana. Kita akan menjadi lebih arif lagi jika dapat menempatkan dan memanfaatkan buku ini dengan baik. Terakhir, semoga buku ini memperoleh tempat yang layak di hati dan pikiran pembaca. Semarang, November 2019 Dr. Tirto Suwondo, M.Hum. iv Ini Bangsa Juga Punya Saya

SESIRIH SEKAPUR Cerpen merupakan salah satu karya sastra yang mempunyai fungsi menghibur sekaligus memberi semangat, ide, dan penge­ tahuan terhadap pembaca. Di dalam cerpen tidak hanya termuat imajinasi cerita yang disusun oleh pengarangnya, tetapi juga persoalan-persoalan hidup yang ada dalam masyarakat. Situasi dan kondisi masyarakat menjadi menu para pengarang dalam mencipta cerpen sehingga pembaca menjadi larut apabila mem­ bacanya. Cerpen tidak jarang menjadi alat bagi pengarang untuk me­nyampaikan gagasan, ide, dan paham untuk memengaruhi pembacanya. Cerpen bisa memengaruhi pola pikir pembaca terhadap sesuatu yang ‘dilemparkan’ oleh pengarang. Pola pikir dan perilaku pembaca terhadap sesuatu bisa berubah drastis setelah membaca cerpen. Berangkat dari sini, Balai Bahasa Jawa Tengah berinisiatif menerbitkan Ini Bangsa Juga Punya Saya se­ buah kumpulan cerpen kebangsaan untuk menyikapi rasa kebangsaan yang pada akhir-akhir ini terkoyak. Ibu pertiwi me­ ratap dan menangis melihat mudahnya rasa kebangsaan bangsa ini dikoyak, dipelintir, dan difitnah sehingga saudara dengan saudara saling serang bahkan membunuh. Alhamdulilah dengan dukungan para sahabat, sastrawan, dan penikmat sastra, Balai Bahasa Jawa Tengah melalui Sanggar Sastra Smara Muruhita menerima hasil seleksi sejumlah 35 cerpen dari berbagai wilayah di Jawa Tengah. Hal ini menunjukkan betapa besarnya warga Jawa Tengah menaruh rasa kebangsaan agar bangsa ini bisa menjadi bangsa yang rukun, kuat, dan sentosa. Segala ide tentang persoalan bangsa yang dibalut dengan imajinasi disajikan secara menarik oleh pengarangnya. Antologi Cerpen Kebangsaan v

Persoalan kebangsaan diurai dengan untaian kata, kalimat, dan paragraf yang indah sehingga mampu memengaruhi pola pikir dan perilaku pembacanya tentang kebangsaan. Diharapkan setelah membaca antologi cerpen kebangsaan ini pola pikir masyarakat Jawa Tengah dapat lebih mencintai bangsa dan negara ini sehingga ketahanan nasional dapat terwujud. Besar harapan Balai Bahasa Jawa Tengah melalui Sanggar Sastra Smara Muruhita, cerpen kebangsaan ini dapat dan mampu menangkal perilaku masyarakat yang anarkis dan rasis sehingga bangsa ini ke depan semakin solid dan cinta tanah airnya. Akhir kata, mari kita wujudkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tangguh, bangsa yang beradab, dan bangsa yang cinta tanah air. Semarang, 23 Oktober 2019 Ketua Sanggar Sastra Smara Muruhita vi Ini Bangsa Juga Punya Saya

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA JAWA TENGAH.............................. iii SESIRIH SEKAPUR............................................................................v DAFTAR ISI...................................................................................... vii Alfiah Ariswati KARENA AKU CINTA DESA DUKUH.........................................1 Aloeth Pathi RAHASIA SI MATA ELANG.........................................................12 Amelia Putri Revani UNTUK INDONESIA......................................................................25 Ariadi Rasidi LELAKI YANG TAK LUPA MUASAL.........................................36 Aryani Purnama MENDURHAKA NURANI............................................................43 Bambang Wadoro Al Bador Kayu REVOLUSI NEGERI ENTAH BERENTAH..................................50 Budi Wahyono SELONGSONG PUISI YANG LOLOS DARI MATA SUNYI....70 Antologi Cerpen Kebangsaan vii

Davit Kuntoro PLEGMATIS TUHAN DAN BERKIBARNYA MERAH PUTIH...79 Diah Panca Setiyarini JANGAN KALAH SAMA BULE...................................................87 Dwi Prasetyanti SAPARAN ........................................................................................94 Gunawan Budi Susanto YANG MELAWAN DARI SEBUAH MAKAM.........................101 Gunoto Saparie SANG BAUREKSA.........................................................................108 Handry TM IBU NEGARA ................................................................................118 Heri Suritno MENENGOK TANAH LELUHUR..............................................126 Ikha Mayashofa Arifiyanti INI BANGSA JUGA PUNYA SAYA............................................132 Indri Yuswandari MBAH JENDERAL.........................................................................141 Irul S. Budianto PEREMPUAN PEMETIK MAWAR.............................................148 Junaedi Setiyono KUDA-KUDA DI PELUPUK MATA...........................................155 Kartika Catur Pelita RUMAH PAHLAWAN................................................................163 viii Ini Bangsa Juga Punya Saya

Muhisom Setiaki ANTI KORUPSI..............................................................................169 Mukti Sutarman Espe CERITA DARI TUKANG KENTRUNG......................................176 Najibul Mahbub KEGUNDAHAN N(E)GERI.........................................................186 Pensil Kajoe DAUN-DAUN YANG TAK LAGI HIJAU..................................192 Pipiek Isfianti SENJA DI KAKI GUNUNG CAHAYA.......................................197 Reyhan M. Abdurrohman BOCAH PEMBAWA PESAN........................................................208 Roso Titi Sarkoro ORANG-ORANG DUKUH POROT............................................217 Setia Naka Andrian AGAMA AIR...................................................................................224 Siti Isnur Hidayati Sumini ENGKAU TETAP INDONESIAKU.............................................231 Soekoso DM BARA API KEBANGSAAN .........................................................238 Sus S. Hardjono LENCANA....................................................................................... 242 Tegsa Teguh Satriya MUSUH KITA KINI.......................................................................251 Antologi Cerpen Kebangsaan ix

Triman Laksana KEPADA SENJA.............................................................................258 Yosinta Dewi Safitri UTOPIA DI UJUNG CAKRAWALA...........................................264 Yuditeha TANAH LETUNG..........................................................................273 Yuktiasih Proborini TIGA KATA.....................................................................................279 BIODATA PENULIS......................................................................284 x Ini Bangsa Juga Punya Saya

Alfiah Ariswati KARENA AKU CINTA DESA DUKUH Aku terdiam menatap gedung sekolah di hadapanku. Ge­ dung yang tak bisa dibilang bagus. Cat yang semula kuning telah berubah menjadi kecokelatan. Kotor di sana sini. Bah­kan, nampak di beberapa tempat dindingnya mulai me­ ngelupas tak terawat. Kaca-kaca jendela juga nampak buram, bukan karena tak tersentuh lap, namun karena sudah terlalu usang. Halamannya apa lagi. Penuh dedaunan kering berserakan hingga jika kita berjalan di atasnya, terdengar suara daun kering terinjak kaki. Benar-benar keterlaluan. Bagaimana mungkin aku ditempatkan di sebuah sekolah desa pelosok seperti ini? Aku benar-benar me­rasa seperti berada di suatu negeri antah berantah. Negeri di mana seorang pun tak akan pernah bisa menemukanku! Awalnya aku sangat bahagia mendengar pengumuman CPNS tiga minggu yang lalu, saat namaku masuk dalam daftar se­pul­uh guru Bahasa Indonesia yang diterima di kabupaten ini. Per­juanganku setelah lima kali mengikuti tes penerimaan CPNS terbayar sudah. Aku begitu bangga dan berbahagia hingga tak memp­ ermasalahkan akan ditempatkan di mana saja sesuai per­ janji­an. Tak pernah kusangka sama sekali bahwa sekolah tempat­ ku menga­ bdi lokasinya sangat jauh dari kota kabupaten dengan akses jalan yang tak bisa dibilang layak, tak ada angkutan umum bers­ eliweran, tak ada telepon, dan tak ada listrik! Kalau saja aku tak ingat betapa sulitnya perjalanan yang harus kutempuh demi menjadi seorang pegawai negeri, sudah pasti aku tak mau tinggal di desa pelosok seperti ini! Antologi Cerpen Kebangsaan 1

“Selamat pagi, Ibu,” seorang lelaki berusia kira-kira lima puluh tahun, dengan kaos yang sama kumalnya dengan gedung sekolah ini, berlari-lari kecil menyapaku dari samping gedung. “Selamat pagi,” jawabku enggan. Perlahan-lahan, aku merasakan hawa dingin merasuki tu­ buh­ku. Aku pun tersadar. Sekolah ini terletak di lereng Gunung Lawu. Pantas saja lama-lama aku merasakan hawa yang berb­ eda dengan tempat asalku, Semarang. “Ibu guru baru yang dari Semarang, ya?” tanya lelaki itu ramah. Namun, karena aku sedang kesal, keramahannya ku­ sikapi dengan senyum dingin dan anggukan kepala. “Mangga, Ibu. Kantornya di sini,” lelaki itu memintaku mengi­kutinya. Dan, tanpa bersuara, aku berjalan di belakangnya. “Saya Ratman, Bu, penjaga sekolah ini,” kata lelaki yang ter­ nyata bernama Ratman itu. “Rumah saya di seberang hutan karet ini,” lanjutnya sembari menunjuk ke suatu arah. Aku mengangguk. “Sekolah masuk jam setengah delapan, Bu,” Pak Ratman membuka ruang kantor guru. Aku pun tersadar. Jam tangan Bonia di pergelangan tangan­ ku menunjukkan enam lebih seperempat dan belum ada seorang pun yang datang kecuali Pak Ratman. Pantas saja dari tadi tak nampak orang di lingkungan sekolah. Ternyata sekolah masuk pukul setengah delapan. “Sepi sekali desa ini, Pak Ratman,” kataku entah bernada kesal atau keluhan. Kuletakkan tas ranselku di atas sebuah meja. Pak Ratman tersenyum. “Barang-barang Ibu di mana? Biar saya bawakan ke rumah yang nantinya akan Ibu tempati,” Pak Ratman celingukan men­ cari barang bawaanku. “Saya titipkan di warung ujung sana, Pak. Di perempatan jalan itu. Tadi angkudesnya menurunkan saya di sana. Saya nggak kuat bawa barang-barang ke sini. Jadi, saya titipkan.” 2 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Pak Ratman mengangguk-anggukkan kepalanya. Sungguh sangat mengesalkan. Angkudes saja hanya mau masuk ke desa ini sehari dua kali. Pagi pukul lima, menjemput warga desa yang hendak ke pasar, dan siang hari, mengantar warga desa pulang dari pasar. Selebihnya, warga desa harus berjalan kaki menyusuri jalan bebatuan naik turun berkelok-kelok bila hendak ke kota. “Nanti saya ambilkan, Bu. Ibu istirahat saja sambil minum teh panas ini. Ibu pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh,” Pak Ratman menghidangkan teh panas di depanku. Aroma teh perlahan merasuki hidungku. Hmm … nampak­ nya teh ini istimewa. Dari harumnya saja sudah berbeda dengan teh yang biasa kuminum. “Ini teh Kemuning, Bu. Teh asli desa ini yang sudah terkenal sampai ke luar negeri,” Pak Ratman seakan tahu isi pikiranku. Aku pun tersenyum. Lelaki ini ternyata baik juga. Sekalipun aku dari tadi berwajah suntrut, tapi ia tetap saja melayaniku dengan ramah. “Terima kasih, Pak. Ternyata desa ini dingin juga, ya,” kata­ ku sembari membetulkan kerah baju sedikit ke atas agar leherku terasa sedikit hangat. Kemudian, segelas teh yang ter­nyata memang benar-benar istimewa perlahan-lahan masuk meng­ hangati kerongkonganku. Usai ngobrol sedikit tentang sekolah, Pak Ratman mohon diri melanjutkan pekerjaannya. Sementara itu, suara anak-anak yang mulai berdatangan membuat sekolah yang tadi begitu senyap menjadi lebih hidup. Tinggal di tempat sesepi dan sedingin ini meski dengan alasan demi mencerdaskan anak bangsa, tetap saja terasa me­ nyiksa. Semua sangat berbeda. Aku terbiasa tinggal di Semarang, ibu kotanya Jawa Tengah. Kota di mana segala fasilitas mudah diakses dan didapatkan. Aku terbiasa jalan-jalan di mal, nonton bioskop, nongkrong di kafé, dan sebagainya. Kini tiba-tiba saja aku berada di tempat terpencil, tanpa listrik, dan tanpa kamar Antologi Cerpen Kebangsaan 3

mandi. Ya, Tuhan. Tak pernah terbayangkan aku harus mandi di sendang, sebuah mata air di bawah pohon beringin besar, bebetan kain dan mandi bersama dengan banyak orang. Belum lagi jika ingin buang air besar, aku harus turun ke kali, mencari tempat yang sepi agar tenang buang hajatnya. Benar-benar tak pernah terbayangkan. Satu hal yang membuatku tetap berangkat ke desa ini meski semua keluargaku melarang adalah idealismeku yang tinggi. Aku merasa inilah karya baktiku yang nyata kepada tanah airku tercinta, menyumbangkan ilmu yang kupunya demi anak-anak di pelosok desa. Iya sih, idealismeku ini sempat menjadi bahan tert­awaan teman-temanku. Mereka berpikir aku sok idealis, sok cinta tanah air, sok peduli pada bangsa ini, dan sok-sokan yang lainnya. Toh, aku tetap saja berangkat, tetap saja datang ke desa ini meski awalnya sempat shock dan kesal karena ternyata kondisi desa ini tak seperti yang kubayangkan. Tadinya kupikir desa yang ada di Jawa Tengah ini paling tidak mempunyai akses jalan yang bagus, ada listrik, dan sudah kenal WC, serta kamar mandi. Tapi aku salah besar. Ternyata meski terletak di Jawa, desa ini masih sangat parah dan terbelakang. Jalannya masih dari bebatuan yang ditata rapi. Tak ada satu pun warga yang mem­ iliki WC dan kamar mandi, serta tak ada hiburan televisi karena listrik belum sampai ke desa ini. “Sugeng enjang, Bu Guru,” seorang perempuan tua meng­ gendong tenggok berisi berbagai sayuran menyapaku ramah. Kuanggukkan kepalaku dan tersenyum seramah mungkin. Sudah seminggu aku di desa ini. Tapi rasanya seluruh desa telah mengenaliku sebagai guru di SMP Dukuh. Setiap kali aku ber­ jalan menuju ke sekolah atau pulang dari sekolah, semua yang bertemu denganku akan menyapa. Seringkali aku merasa risih karena mereka seolah bersikap berlebihan menghormatiku. Na­ mun, kata ibu kos tempatku tinggal, memang begitulah orang desa Dukuh. Mereka sangat menghargai guru. Mereka berpikir 4 Ini Bangsa Juga Punya Saya

guru adalah manusia yang sangat pandai dalam hal apa pun. Sehingga dalam setiap kegiatan, gurulah yang memegang peran­ an penting. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan kota asalku. Di Semarang, guru bukanlah sosok istimewa. Justru terkadang profesi guru dipandang sebelah mata. Mencermati hal ini, aku tersenyum. Masyarakat Desa Dukuh memang terbelakang da­ lam banyak hal. Tapi dari segi etika dan bersosialisasi, mereka lebih cerdas dari orang kota. “Bagaimana, Bu Sofie, kerasan berada di desa ini?” tanya Pak Waskito, kepala sekolahku. Aku tersenyum simpul. Kerasan? Entahlah. Aku menikmati saja hari-hariku di desa ini. Menikmati indahnya pemandangan desa, menikmati keramahan masyarakatnya, menikmati masakan- masakan istimewa kiriman para tetangga, dan menikm­ ati hawa dingin yang seringkali terasa menusuk tulang. “Saya jamin, setelah sebulan berada di sini, ibu akan jatuh cinta pada desa ini,” kata Pak Waskito, “masyarakat di sini sangat peduli pada lingkungan, Bu. Mereka ramah dan penuh ke­ke­ luargaan.” Aku mengiyakan. Memang begitulah yang terjadi. Hari per­ tama aku berada di kamar kos sendirian, aku merasa tak punya siapa-siapa. Bahkan aku tak yakin apakah hubunganku dengan Mas Yan, kekasihku, akan tetap berlanjut karena jarak yang jauh dan tak ada akses komunikasi telepon. Bagaimana mungkin setelah kami menikah, Mas Yan akan bersedia tinggal di desa sesepi ini? Air mataku sempat menetes ingat hal itu. Namun, aku segera tersadar dan memasrahkan segalanya pada Tuhan. Bukank­ ah lahir, jodoh, dan mati adalah rahasia-Nya? Aku tak perlu mencemaskan karena aku yakin pada-Nya, bukan? Maka setelah itu, tak butuh waktu lama aku mulai terbiasa sendiri. Terbiasa tanpa mas Yan dan terbiasa dengan masyarakat desa. Hidup terus berjalan. Hari berganti bulan. Suka atau tidak, aku tetap mengajar dan menjadi guru di desa ini dan Mas Antologi Cerpen Kebangsaan 5

Yan tetap bekerja di Semarang. Namun, meski berjauhan, ter­ nyata Mas Yan tak lama membiarkanku merasa sendirian. Ia mulai rutin menulis surat untukku sebulan dua kali. Pak pos yang mengantarkannya dari kota kecamatan dan dibawa ke sekolahku. Saking seringnya surat dari kekasihku kuterima, pak pos menyebut dirinya sendiri dewa cinta yang berjasa menjaga ikatan cinta kami. Lucu sekali. Surat-surat Mas Yan akhirnya mem­ ang mampu menepis segala kerinduanku padanya, pada ke­luargaku, dan pada kota kami Semarang. Mas Yan sangat men­jaga komitmen cinta kami berdua. Hal ini tentu saja mem­ buatk­ u makin menghormati dan mencintainya. Pagi ini cuaca begitu cerah. Namun, hawa dingin tetap saja menyergap kulit sampai menusuk tulang. Orang desa bilang ini adalah musim bediding, yaitu masa memasuki musim panas. Di musim ini hawa dingin memang sedang pada puncaknya. Maka tak heran meski matahari muncul siang hari, namun yang tetap terasa adalah hawa yang sejuk dan cenderung dingin. Seperti biasa, sekolah masih sepi. Baru beberapa anak yang nampak berseliweran. Melihat kedatanganku, mereka serentak menghampiri dan bersalaman sembari mengucap salam. Sung­ guh anak-anak yang luar biasa. Tak kusangka meski anak-anak desa, mereka sangat hangat dan penuh kekeluargaan. Sama persis dengan para pendahulu di desa ini. Mereka juga rajin, penurut, dan penuh perhatian. Susah menemukan anak yang bolos atau melanggar aturan di sekolah ini. Dari kecil mereka memang di­ didik untuk disiplin dan penuh tanggung jawab. Untuk berang­ kat sekolah, banyak dari mereka yang harus berjalan kaki ber­ kilo-kilometer karena tak ada angkutan. Sedangkan untuk naik sepeda juga tidak memungkinkan mengingat jalan yang berbatu dan naik turun. Sepulang sekolah, mereka juga harus mencari rumput untuk ternak kelurga mereka atau harus ke sawah mem­ bantu orang tuanya. Semua penduduk desa ini memang pekerja keras. 6 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Pagi, Bu Sofie,” sebuah suara memecah lamunanku. Sontak aku menoleh ke arah suara yang begitu kukenal itu. “Mas Yan!” seruku gembira. Tak percaya rasanya kekasihku tiba-tiba berdiri di hadapanku. “Jam berapa dari Semarang?” Tak menjawab, Mas Yan justru tersenyum penuh arti. “Kamu kerasan di desa ini, Fie?” tanya mas Yan. Aku mengangguk dengan cepat. Toh tak ada alasan bagiku untuk tidak kerasan di desa ini. Kugandeng Mas Yan menuju ruang tamu sekolah. “Kamu nggak ingin pindah ke Semarang?” Mas Yan duduk di sofa ruang tamu warna hijau. Ini kali ketiga Mas Yan me­ nanya­kan tentang hal itu. Sebelumnya ia pernah dua kali me­ nanyakannya padaku di surat yang dikirimkannya. “Aku ada teman di Kanwil Pendidikan. Kalau kau mau, aku akan mengaturnya agar kau bisa pindah ke Semarang.” Aku tertegun. Pindah? Tak terbersit sedikit pun dalam pi­ kiran­ku untuk pergi dari desa Dukuh secepat itu. Entah me­ ngapa. Atau aku memang sudah benar-benar kerasan tinggal di sini? “Fie?” Mas Yan memecah lamunanku, membuatku sedikit tergagap. “Bagaimana?” desaknya menunggu jawabanku. “Nanti kita bahas hal ini, Mas.” Mas Yan mengernyitkan dahinya kebingungan. Aku tahu, jawaba­ nku memang rasanya aneh. Mestinya aku bahagia men­ dengar kabar itu dan tanpa berpikir panjang mengiyakan ucapan­ nya. Tapi ini? Apa sebenarnya yang terjadi padaku? Kedatangan Mas Yan yang cuma sesaat cukuplah membuat rasa kangenku terobati. Kami sempat ngobrol panjang lebar meski waktu rasanya begitu cepat mengejar kami. Mas Yan me­ mang langsung pulang karena ia juga tak bisa meninggalkan pekerjaannya terlalu lama. Hanya kebetulan hari itu ia bisa mampir karena ada tugas dinas ke Solo. Jadi, sekalian men­ Antologi Cerpen Kebangsaan 7

jalankan kewajiban dinas, ia menyempatkan menjengukku di desa. Sementara itu, tawarannya untuk pindah ke Semarang masih menggantung karena aku belum mengiyakan. Hari demi hari berganti. Pembicaraan tentang pindah tak lagi ada. Mas Yan terlalu sibuk dengan pekerjaannya di Sema­ rang. Demikian juga aku. Rasanya otakku hanya berisi obsesi dan idealisme bagaimana memajukan sekolah dan desa ini. Aku sangat menikmati saat-saat berkumpul bersama anak-anak. Kutularkan kegemaranku membaca, menulis, dan berpuisi. Anak-anak begitu tertarik dan ingin mencoba. Saat-saat seperti inilah yang terekam manis di otakku hingga sayang rasanya men­ ingg­ alkan mereka. Meski di desa, semangat mereka untuk maju patutlah diapresiasi. Aku sedang sibuk menulis cerpen ketika serombongan anak- anak muda Desa Dukuh menemuiku. Wajah mereka sumringah, ciri khas warga desa ini. “Maaf mengganggu, Bu Sofie,” kata Nurkolis, ketua Karang Taruna Dukuh Muda. Entah apa yang membawa para pemuda desa ini menemuiku. “Ada yang bisa dibantu, Mas Kolis?” tanyaku ramah sem­ bari mempersilakan kelima anak muda itu masuk ke ruang tamu. Setelah bersalaman, mereka duduk di kursi yang banyak berjajar di ruang tamu. Beginilah desa. Ruang tamunya sangat luas. Cukup untuk menampung lima puluh orang lebih! “Kami mau minta tolong, Bu. Karang Taruna Desa Dukuh berencana mendirikan perpustakaan desa. Saya mohon Ibu ber­ sedia membantu untuk mewujudkannya,” lanjut Nurkolis, diikuti anggukan kepala teman-temannya. Aku pun tersenyum. Virus literasi yang kutularkan melalui anak-anak di sekolah ternyata telah berimbas hingga ke pemuda desa. Syukurlah. Maka tanpa ba bi bu, aku pun menyatakan ke­ sediaanku membantu mereka. Sontak mereka serempak meng­ ucap alhamdulillah bersama-sama. 8 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Kesibukanku pun akhirnya bertambah. Selain mengajar, wak­tu banyak kuhabiskan bersama pemuda desa untuk mem­ bangun perpustakaan desa. Mulai membuat proposal-proposal permohonan bantuan hingga pengadaan buku. Dan karena kesibukan itulah, aku beberapa kali tak sempat membalas surat Mas Yan sampai akhirnya ia memintaku untuk menyempatkan diri pulang ke Semarang. Awalnya aku berpikir untuk tidak peduli pada permintaannya mengingat pemuda karang taruna sedang giat-giatnya membangun perpustakaan desa. Namun, setelah kupikir-pikir, akhirnya aku memutuskan untuk pulang menemui Mas Yan dan keluargaku tentu saja. “Akhirnya, kamu lepas juga dari kesibukanmu, Bu Guru,” ujar Mas Yan tersenyum menyambut kedatanganku. Sungguh aku tak menyangka akan sedemikian hangat sam­ butannya. Kupikir Mas Yan akan cemberut, marah, emosi kare­ na beberapa kali suratnya tak kutanggapi. Tapi dugaanku salah. Kekasihku ini ternyata punya kesabaran yang berlapis-lapis se­ perti iklan Tango. “Kan kamu yang memintaku pulang,” kataku merajuk sem­ bari pura-pura cemberut. Lagi-lagi Mas Yan tergelak mencubit manja pipiku. Tak berapa lama kemudian, aku sudah berada di boncengannya menyusuri jalanan Kota Semarang. Anganku pun terlarut dalam kenangan di sepanjang jalan. Kota ini adalah kota kami. Tak bisa kami pungkiri itu. Di setiap jalan yang kami lewati, tercecer kenangan yang tak mungkin hilang dari otak kami. “Jadi, bagaimana keputusanmu, Fie?” akhirnya terlontar juga per­tanyaan itu dari mulut Mas Yan setelah kami tiba di rumah­nya. Aku terdiam. Mas Yan telah berbicara panjang lebar tentang angannya untuk segera menikahiku. Ia tak mau menunda lagi. Usia kami hampir mendekati tiga puluh tahun dan itu bukan usia yang bisa dipandang muda untuk memulai berumah tangga. Antologi Cerpen Kebangsaan 9

Aku benar-benar bingung. Mana mungkin aku meninggalkan Desa Dukuh dalam keadaan seperti ini? Tekad Mas Yan sudah bulat. Jika upayaku untuk pindah tak bisa dilaksanakan, ia ma­ lah bersikeras memintaku untuk keluar dari pekerjaanku meski untuk itu aku harus melepas statusku sebagai pegawai negeri. “Mas, aku mohon pengertianmu,” kataku lembut. Kuelus lengannya dengan penuh kasih sayang. Aku tak boleh terbawa emosi untuk menyelesaikan masalah ini. “Desa Dukuh sebenarnya tak jauh, kok. Letaknya masih di Jawa Tengah. Hanya memang agak pelosok. Siapa tahu seiring perkembangan zaman, Desa Dukuh juga akan berkembang. Jalannya diperbaiki dan listrik juga akan masuk ke desa.” “Aku hanya ingin setelah kita menikah, kita bisa serumah, Fie,” ucap Mas Yan tajam. Aku tercenung. “Misalkan kamu mencoba mencari kerja di sana, gimana?” kuberanikan diri menyampaikan usul yang sudah sekian lama mengendap di otakku. Aku mengerti, Mas Yan mungkin akan marah karena per­ mintaanku ini. “Kamu serius?” Mas Yan menatap tajam wajahku. Aku pun menatap wajahnya tajam sebagai bukti keseriusan ucapanku. “Kamu sangat mencintai Desa Dukuh, ya, Fie?” Mendengar pertanyaan itu hatiku tergetar. Mencintai Desa Dukuh? Entahlah. Aku hanya begitu menik­ mati profesiku sebagai guru di sana dan senang berinteraksi dengan anak-anak serta warga desa Dukuh. Aku kagum dengan cara mereka bersosialisasi, kagum dengan cara mereka meng­ hargai orang lain, dan kagum pada semangat kerja keras mereka. Aku tak peduli teman-teman memandang sinis komitmenku untuk bertanggung jawab pada profesiku sekalipun harus ting­ gal di desa. Aku tak peduli mereka menyebutnya sok idealis. Aku tak mau peduli itu. Bagiku warga Dukuh adalah keluarga. Ia mempunyai hak yang sama dengan warga Indonesia lainnya 10 Ini Bangsa Juga Punya Saya

untuk mendapat pendidikan dan kehidupan yang layak. Per­ juanganku belum selesai. Aku masih berpikir bagaim­ ana caranya mencari bantuan agar warga Desa Dukuh men­dapat akses jalan yang bagus sehingga melancarkan roda perekonom­ i­an warga desa. Aku juga berpikir suatu saat Desa Dukuh akan diterangi oleh listrik dari PLN. Dan … “Baiklah, Fie … jika kamu tidak ingin pindah, aku yang akan mengalah. Aku akan mencari pekerjaan di sana. Tapi se­ belum itu, kamu mau kan menikah dulu denganku? Aku ingin menyusul ke sana dalam keadaan kita sudah halal.” Seperti tak percaya, kudengar Mas Yan mengucapkan kalimat itu. “Kamu yakin dengan keputusanmu, Mas?” tanyaku se­ tengah berteriak. Mas Yan mengangguk penuh keyakinan. “Demi calon istriku yang begitu mencintai bangsa ini, aku akan mengalah. Tetaplah menjadi guru di sana, Fie, aku selalu mendukungmu.” Aku tersenyum bahagia. Sangat bahagia. *** Karanganyar, 29 September 2019 Kudedikasikan cerpen ini untuk SMPN 2 Ngargoyoso dan semua warga Desa Dukuh. Terima kasih telah dua puluh satu tahun bersama kalian. Antologi Cerpen Kebangsaan 11

Aloeth Pathi RAHASIA SI MATA ELANG Pria berjumper hitam meletakkan beberapa lensa di dekat jen­dela. Nampak sebagian wajah terlihat gelap, tertutup tudung kepala. Ia mulai membidikkan kamera digital, sambil sekali memutar lensa. Mengatur jarak pemotretan pada cuaca minim cahaya. Celana jeans kumal sobek lututnya serta leher berkalung syal merah menjadi ciri khas yang dikenali warga. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam hutan, untuk memotret apa saja yang ada di dalamnya. Jenis tanaman, burung, serangga. Untuk berburu objek foto ter­ kadang juga tak menghiraukan risiko bagi dirinya, hanya untuk menemuk­ an angle tepat ia harus rela menembus hujan deras, tak memperhitungkan tubuh menjadi basah kuyup, sakit menggigil sesudahnya, diserang gerombolan babi hutan atau dihadang ular piton, semua tak menyurutkan niatnya, meski hanya memperoleh satu hasil jepretan foto, tapi itu merupakan usaha yang memuaskan dan fantastis. “Pergerakan pemuda akan menemui jalannya sendiri meski banyak aral melintang. Mereka tumbuh mewarisi pertempuran masa lalu, saatnya menyusun kekuatan besar, memposisikan diri menjadi tim strategi, serta mengawal barisan muda agar tidak mud­ ah dibaca lawan, sebab musuh kita sangat rapi dan sudah sul­it ditebak.” Setiap ucapan selalu mengobarkan semangat mem­bara. Pria separuh baya yang selalu ditemui Safitri duduk di tumpukan balok kayu bekas gergajian. Guratan wajah menua, membatik di garis liku perjalanan. Tas di pundaknya ber­isi bebe­ 12 Ini Bangsa Juga Punya Saya

rapa lensa kamera. Pria berjumper hitam bergerak menemb­ us kabut di pinggir hutan lindung. Pengkhianatan masa lalu yang dilakukan Aris, membuat pria berjumper hitam sangat hati-hati menjalin komunikasi dengan orang lain, di samping masih ada beberapa kawan seperj­uangan yang mengalami traumatik atas kejamnya permain­an para centeng yang sangat rapi dalam melakukan aksi pem­babatan dan pembakaran hutan, semua disetting, terkesan kebakar­an hutan terjadi akibat kemarau panjang, kekeringan men­jadi faktor se­ bagai pemicu, sehingga kobaran api menjalar di seluruh hutan. Ini diklaim sebagai bencana alam yang sulit dicegah, padahal terj­adinya kebakaran besar, biasanya sering dilaku­kan oleh ke­ salahan orang, seperti pembakaran lahan gambut yang tidak bisa dikontrol. Kebakaran hutan mengakibatkan lahan itu menjadi hangus dan tandus, oleh kepala desa dan para pengembang perumahan dianggap sebagai tanah yang kurang produktif. Lalu atas dalih pem­bangunan serta kemajuan desa mereka menancapkan patok- patok di atas lahan bekas kebakaran. Padahal sebagian warga yang peduli terhadap lingkungan, telah mengadakan gerakan pemulihan hutan, dengan mengagendakan reboisasi serentak. Akan tetapi mereka begitu beringas mengobrak-abrik bibit pohon. Kondisi yang kurang kondusif antara masyarakat pro dan kontra terhadap program desa, mereka memang sengaja meme­ lihara kemelut ini untuk memperuncing masalah, hingga sam­ pai batas titik klimaks, bila sampai terjadi gesekan fisik di antara keduanya. Hal ini bisa digunakan sebagai alasan oknum aparat untuk membenarkan tindakan-tindakan represif kepada warga. Sebagian warga kontra terintimidasi, mereka tak kuasa me­ lawan teror, tak kuat menahan derita, hingga banyak yang me­ lacurkan diri. Berkhianat dengan perjuangan kawan-kawan. Semua hanya akan menjadi mimpi, kalau kita patah semangat, diam, bersikap masa bodo, tak melakukan perlawanan. Maka Antologi Cerpen Kebangsaan 13

apa ada harapan menjaga bumi sebagai tanah kelahiran? Semua akan kandas, menjadi perjuangan sia-sia karena dihadapkan pa­ da persoalan pelik. Aksi brutal masa lalu itu tak bisa dimaklumi. Itu sudah digolongkan tindakan sadisme. Mereka mampu mengendorkan daya mental usia-usia belia pada saat itu. “Aku sendiri tak mampu mengulurkan tangan waktu itu, untuk bergandeng tangan sambil menyanyikan lagu ‘Darah Juang’ tak mungkin aku lakukan, apalagi sampai menggenggam tanganmu jelas tak sanggup, sebuah pukulan tongkat rotan akan selalu menghantam kepalaku, bila aku kepalkan tangan ke udara, tentu sabetan rotan itu makin kencang, apalagi bila disertai pekik perlawanan,” timpalnya sambil membetulkan jumper hitamnya. “Gimana kita berangkat sekarang?” Safitri mengajak pria berjumper hitam menuju kediaman Lik Narso. Pria itu mengge­ lengkan kepala, tangannya mengibaskan, menyuruh Safitri sege­ ra pergi. Ia tak mau bicara lagi. “Sudah kamu berangkat dulu, nanti aku nyusul, bila tak segera diurai, Malah semakin tambah sakit!”. Satu pesan yang selalu diingat Safitri, dari si Jumper Hitam, “Jangan kendor! terus melangkah, maju mudurnya gerakan ini ada di tanganmu, merapat dan bergeraklah, bersiap-siaplah kawan, di pundakmu kami sandarkan harapan!” Pria berjumper itu menepuk-nepuk pundak Safitri. Yang se­ dang berdoa di atas pemakaman ayahnya. Lalu memutar motor meninggalkan Safitri yang masih terbengong dengan semua ucapa­ nnya. Motor tua Ariel 1956 yang menjadi teman yang selalu meng­ antarkan ke mana saja ia pergi. Bodi motor gede sangat pas dikendarai pria macho berpostur gagah. Motor jenis ini termasuk kategori antik dan langka, banyak diburu para kolektor motor klasik. Suara mesin berderu seperti macan tua yang mengaum. Jantung Lik Narso terasa berdegup kencang bila motor besar itu lewat samping rumahnya. Ia selalu menutup telinga rapat-rapat. 14 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Raum knalpot itu seperti suara hantu yang selalu mengusik hidup­nya. Mengingatkan kedua sahabatnya, Rambani dan Sawiji, yang hilang tiga puluh tahun yang lalu. Mereka selalu me­ngendarai motor kuno. Teman seperjuangan yang selalu mene­riakkan tentang konsep kemandirian sebuah desa dalam ruang-ruang diskusi. Keduanya tersesat di hutan ketika kebakar­ an hutan melanda sebagian hutan lindung. Lik Narso juga teringat ketika ikut demo, sementara tubuh mulai menua dan gampang sakit-sakitan. Ia juga ikut turun ke jalan. Ada seorang anak muda berjumper hitam, tiba-tiba me­ mapah dan menggandengnya ikut bersama rombongan demon­ stran pascareformasi, ia turut mengawal kumpulan kepala desa se-Nusantara yang selalu meneriakkan UU Desa, untuk ke­­ mandirian sebuah desa. Pria itu juga mengendarai motor tua. Setiap orasinya semangat membara, membakar massa agar se­ lalu siap berani bergerak menyampaikan aspirasinya. Wajah anak muda itu mirip sahabatnya yang hilang. Akhirnya harapan- harapan perangkat desa itu didengar DPR, kemudian disahk­ an menjadi UU Pedesaan oleh pemerintah, dengan alokasi dana untuk pembangunan desa 10 persen dari APBN. Cita-cita ber­ sama itu baru bisa diwujudkan tahun 2013. Pria bersorot mata cekung tajam, tak pernah berbicara, yang muncul baru setengah tahun di desa. Ia penghuni hutan ini yang hidup seorang diri, dekat gubuknya ada dua makam kerabatnya. Ia memiliki tanah warisan di pinggiran hutan lindung. Pria bermata elang itu menjadi incaran Gerombolan Erlangga. Yang selalu mendesak Pak Lurah untuk segera mengeluarkan Perdes tentang penertiban pemilikan tanah warga yang dimiliki orang di luar desa. Pak Lurah selalu mendapat masukan pendapat dari tokoh-tokoh masyarakat, untuk selalu menjunjung tinggi kesepakatan warga, untuk selalu melindungi hak semua warga tanpa terkecuali. Antologi Cerpen Kebangsaan 15

Safitri berkunjung ke desa terakhir. Desa yang dijadikan prog­ ram percontohan reboisasi, rimbun hutan lindung di sepan­ jang tapal batas desa menjadi perseteruan antara dua kelom­ pok warga pro dan kontra lahan sengketa. Ia bersikukuh untuk meneruskan perjuangan para leluhur menjaga hutan dari kerusakan. Apalagi klaim tanah oleh pihak investor demi kepen­ tingan perluasan kawasan perumahan. Ini menjadi perlawanan panjang bagi para aktivis lingkungan hidup. Selain menjadi seorang jurnalis perempuan, Safitri sangat aktif dalam kegiatan sosial, pecinta alam, ikut terlibat gerakan perlindungan satwa dan hutan. Serta mengadakan pendampingan advokasi hukum di masyarakat sekitarnya. Keindahan hutan ini, kenapa harus dirusak oleh proyek yang tidak ramah lingkungan, bahkan ada kecenderungan untuk merusak potensi alam. Seharusnya pohon itu dibiarkan tumb­ uh menjadi habitat bagi flora dan fauna. Ada beberapa jenis pohon yang keberadaannya dilindungi undang-undang. Seperti pohon cendana, jati besar. Selain itu hutan lindung dijadi­kan kawasan paru-paru dunia yang bisa memfilter dari polusi udara yang tercemari limbah pabrik dan asap beracun. Di dalam hutan juga tumbuh tanaman langka yang hampir punah. Kenapa harus jahat pada masa depan, bukankah anak cucu kita kelak yang menikmatinya, kenapa mewariskan kerusakan alam pada mereka. Bukankah lebih baik meninggalkan kelestarian alam yang dapat memberi manfaat hidup mereka, memberi kebahagiaan kelak generasi yang akan datang. Safitri menelusuri hutan rimba, berdecak kagum atas peman­ dangan alam yang menakjubkan, ia berdiri di bawah hutan lebat dikelilingi pohon besar berlumut ijo yang menjadi cagar alam, terkadang daun gugur sangat penting untuk diabadikan, lensa tepat membidik momen itu. Baginya, hutan juga menjadi upaya pengh­ apusan luka, karena kesehatan jiwa sangat penting disembuhkan. Awalnya Safitri sangat membenci karena ada 16 Ini Bangsa Juga Punya Saya

kesuraman hidup di masa lalu yang membuatnya trauma pada hutan. Kenangan pahit itu bukan untuk dipelihara dengan sikap membenci, tapi perlu diakrabi dengan mengikhlaskan semua yang sudah terjadi. Ini menjadi satu-satunya jalan yang ditem­ puh Safitri menuju kedewasaan menghadapi persoalan hidup. Seseorang membuntuti, sembunyi di antara semak-semak di bawah lebatnya hutan. Ia membidikkan kamera bertele panjang. Mengambil gambar Safitri di balik pohon jati. Sosok pria me­ rangkak di antara pohon besar mengawasi gerak-gerik Safitri. Sementara itu, ada seorang lagi yang mengikuti dari belakang. Si pria pembawa kamera menunduk menembus ke dalam hutan, menuju areal tanah sengketa. Di punggungnya ada sebilah belati yang sewaktu-waktu bisa dihunuskan bila keadaan terdesak. Sambil pasang kuda-kuda ia hendak menyerang sosok itu, tapi kehadiran pria di belakangnya hampir saja terjadi kegaduhan. Sementara pria satunya sudah siap kunci inggris di tangan, jaga- jaga bila diserang. Orang itu membuka topinya, “Laopo ning kene?” Cahyadi menarik Kang Sulih. Mereka merunduk di sela pohon jati. Kang Sulih membisikkan di telinga kang Cahyadi kemudian ia segera membuka kamera, untuk menunjukkan foto tentang rapat gelap yang diadakan pengusaha dengan para centeng di tengah hutan. Cahyadi ter­ kejut melihat Safitri di samping seseorang berjumper hitam dan beberapa pengusaha perumahan berdiri di depan bangunan tua bekas markas polhut yang sudah tak terpakai. Hasil bidikan foto Kang Sulih resolusinya rendah, sangat blur hingga kurang jelas untuk diidentifikasi, ibu jari Kang Sulih memejet tombol next, mencari foto motor Ariel 1956 di samping mobil Jepang milik konglomerat. Untuk menunjukkan bukti kuat bahwa ini foto asli bukan rekayasa. Di samping itu, untuk meyakinkan bahwa gerakan mereka yang tulus murni sebenarnya telah terkhianati. Foto-foto yang diambil Sulih dari jarak 30 meteran dengan menggunakan lensa jarak jauh. Memberi kesan pada Cahyadi Antologi Cerpen Kebangsaan 17

bahwa ada perbincangan yang amat serius antara Safitri dan pengusaha properti. Yang menjadi tanda tanya Cahyadi kenapa Kang Sulih banyak membidik foto Si Jumper hitam itu daripada Safitri. Hampir separuh foto-foto Kang Sulih tentang pria itu. Yang menarik bagi Cahyadi ada foto emblem yang dipakai pria itu, lamb­ ang segitiga di ujungnya ada mata elang berwarna Merah Putih. “Ini simbol apa, Kang? Logo partai atau apa?” rasa penasaran Cahyadi kian menjadi ketika Kang Sulih mengeluarkan emblem dari sakunya. “Hati-hati dengan lambang ini, organisasi terlarang. Mereka mendekati, menelusup, dan menyebar seperti gerombolan yang terorganisir, dan kehadirannya selalu menjadi target peng­awas­ an pihak yang berwenang.” Kang Sulih menjelaskan semuanya, berdasarkan cerita yang diperoleh dari Lik Naryo, yang juga seorang aktivis di era 90- an. Ia sampai sekarang juga masih aktif bergerak di kepedulian lingkungan. Ia sering terlibat dalam aksi penggalangan dana dan solidaritas tanggap bencana, meski tubuhnya lemah digerogoti penyakit dalam. Ia menceritakan awal terbentuk lembaga itu sampai bubarnya organisasi itu. Lik Narso mewanti-wanti jangan sampai terjebak organisasi ini. Diduga lembaga ini mendapat kucuran dana dari orang asing, perlunya hanya untuk mengambil foto-foto domestik lalu di­kirimkan ke luar negeri. Itu sama saja menjual data kita kepada orang asing. Organisasi ini sudah hilang di tahun 90-an, men­jadi organisasi terlarang, yang dianggap pemerintah Orde Baru sebagai OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), Lik Naryo salah satu mantan anggotanya. Sedangkan dua kawannya hilang, saat terjadi kebakaran hutan. Beliau membeberkan semua tentang ke­ burukan organisasi ini. Makanya aku mengawasi Safitri, jangan sampai gerakan kita ditunggangi kepentingan asing. Kemu­dian 18 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Sulih mohon pamit pada Cahyadi, ia menjauh setelah mem­ perlihatkan foto-foto pertemuan itu. Cahyadi adalah teman Safitri, yang juga kawan seperjuangan untuk mempertahankan tanah perbatasan yang rimbun ditum­ buhi pohon-pohon besar. Mereka tergabung dalam persaudar­ a­­­ an perlindungan cagar alam dan budaya. Mereka juga pern­ ah terlibat dalam pameran foto bersama tentang kelestari­an alam. Mereka mengambil tema “Hutan Lindung di Ambang Kehan­ curan”. Keduanya menguasai beberapa teknik pemotretan yang bagus, dengan memperhitungkan kualitas kamera, angle, penc­ ahayaan, dan pose yang menarik. Selain itu, karya foto mereka mengedepankan kreativitas yang cenderung provok­ atif, tujuannya untuk menyampaikan pesan positif serta menum­ buhkan kepedulian terhadap kelestarian hutan dan lingkungan hidup. Safitri berangkat meninggalkan desa terakhir. Mereka ber­ temu dengan beberapa aktivis dari LBH. Di sana telah berkum­ pul para tokoh dari lintas komunitas dari berbagai kota di nusantara. Si Jumper Hitam merangsek menembus blokade pria berpostur kekar, berbaju batik yang sedang mengawal per­ temuan di kediaman Lik Narso. Mereka sedang berdiskusi di ruang tengah. Ada para rohaniawan dan seniman melingkar di antara Lik Narso yang duduk di kursi roda. Safitri bercerita ten­ tang hutan lewat dokumentasi beberapa foto yang ia paparkan di layar proyektor. Ia menyoroti betapa lincahnya para pe­ ngembang perumahan yang mencoba membenturkan antar para pendukung dan penolak Perdes. Safitri dengan kamera DSLR juga ikut mengabadikan momen itu. Ia sangat aktif membuat provokasi di dalam maupun di luar negeri. Untuk mengabarkan kekeringan yang melanda seluruh wilayah, serta seringnya terjadi kebakaran hutan. “Ini bukan persolan pribadi, bukan dari satu golongan atau suku agama tertentu, tapi ini sudah menjadi persoalan bersama Antologi Cerpen Kebangsaan 19

dan harus dicarikan solusinya, bukan saling menjatuhkan atau mencari kebenaran sendiri.” Penjelasan Safitri ketika diwawancarai reporter televisi lokal. Konsentrasi massa di luar pertemuan semakin bertambah. Teriakan dan yel-yel agar Pak Lurah segera diturunkan. Ada beber­ apa ibu-ibu dan anak-anak ikut barisan itu dengan mem­ bawa spanduk-spanduk akan ada aksi demontrasi menuju kelur­ ahan. Sementara pria berjumper hitam membaur dengan masyarakat, mencari letak yang tepat untuk membidikkan kamera. Sepulang pertemuan di rumah Lik Narso, Safitri berhenti melihat Cahyadi keluar dengan matanya lembab. “Pak Lurah dikeroyok warga, rumahnya dibakar massa.” Sulih yang semula mendampingi lurah menjadi ciut wajah, melihat Cahyadi menjelaskan kronologi penyerangan rumah Pak Lurah. Safitri cepat temui warga untuk menenangkan massa yang bergerombol di depan warung Lik Parti. Ia menyuruh Cahyadi untuk menemui Lik Narso yang usai menjamu tamu­ nya. Bantu beberapa aktivis yang disekap centeng-centeng di kantor pengembang. Safitri cepat temui Sulih untuk mencegah agar tidak menggerakkan massa ke kelurahan. Di sana ada konsentrasi massa, kelompok Erlangga yang pro pengembang perumahan mendesak agar tuntutan segera dikeluarkan Perdes Si Jumper Hitam segera melebur ke tengah massa, mem­ bidikkan lensanya bagai mata elang, ia meresek menuju ke deretan kursi kelurahan kemudian naik di atas tembok dekat gapura. Lincah membidikkan kameranya, seperti lelaki 30 tahun yang lalu, meski peralatan kameranya masih manual tak secanggih kamera digital sekarang. Sementara massa bergerak mendorong papan tulis kelurahan. Sambil membidikkan kamera di kerumunan massa, mengambil beberapa gambar, juga aksi Sulih dalam mengambil gambar juga tak luput dari jepretan pria itu. 20 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Ya, tunggu sebentar” emosi Lik Narso tak bisa disembunyi­ kan, ia pamitan sebentar ke belakang. Kang Sulih mendorong kursi rodanya, ia menemui Safitri dan bertanya perihal pria berjumper hitam, “Kamu tahu nggak siapa dia?” dengan nada agak tinggi Lik Narso, meski suara agak cadel akibat stroke. Kemudian Lik Narso menjenguk kembali ke halaman kelu­ rahan. Ia berangkat bersama beberapa orang mengurusi rumah Pak Lurah yang dibakar massa. Mereka berhasil menahan keru­ munan massa dari tiga pedukuhan. Mereka berangkat menyusul belakangan. Sebelumnya Safitri merobek satu pamflet berisi beberapa foto di depan balai desa. Kemudian mereka bertiga meluncur ke lereng menemui Cahyadi dan kawan-kawan. Safitri membuka lembaran pamflet yang ada beberapa foto provokatif. Foto Erlangga sedang menindih perempuan di dalam hutan. Sedangkan foto wajah perempuan dibikin blur. Hal ini menyulut amuk massa kelompok Erlangga. Safitri terdiam, kemudian pamflet itu dikepal-kepal dibuang di tong sampah. Cursor komputernya mengklik folder my document untuk memindah foto-foto hasil jepretan seminggu ini di laptopnya. Ia juga mendapat foto-foto baru dari seorang yang kebetulan menemukan kotak kecil bertali mirip kalung jimat bermata elang. Benda itu terjatuh waktu chaos kemarin, kalung berisi memory card, ada beberapa foto penting tersimpan. Cahyadi kaget lihat foto-foto yang dibuka dari laptop Safitri. “Lho ini Sulih yang memberikan amplop sama penduduk untuk pergi ke kelurahan, orang ini mengajak ketemu Pak Lurah.” Safitri menepis tangan Cahyadi, ia sendiri jadi korban bulan-bulanan anak buahnya Pak Lurah. “Tidak ... kita dibingungkan sikap Pak Lurah, Erlangga itu masih sepupunya Pak Lurah ... gimana mau bersikap? Mau ikut warga yang pernah mendukungnya jadi lurah atau ikut paguyuban pengembangan properti. Mereka selalu mendesak Antologi Cerpen Kebangsaan 21

untuk lepaskan tanah warga dengan alasan itu kehendak negara. Yang tak mau dianggap berpengkhianat pada negara atau tak mau dukung program pembangunan,” Safitri menjelaskan de­ ngan lirih. “Waah semua dibohongi sama Sulih, padahal keduanya ada­lah kaki tangan Lik Narso” sambung Cahyadi sambil menyo­ dorkan kameranya, memberikan bukti-bukti baru tentang kede­ katan Lik Narso sama pengembang. Di situ juga ada foto-foto para centeng, serta oknum aparat yang terlibat memback up se­ tiap gerakan pro pengembangan perumahan. Safitri dibuat ter­ cengang oleh sikap Lik Narso yang membuat bingung segala pergerakan. “Aslinya Lik Narso itu pro apa kontra dalam masalah ini?” Cahyadi menunjukkan kepada Safitri tentang tombol segi­ tiga bermata, LSM yang dulu dibentuk Lik Narso dan dua orang kawannya. Cahyadi mendapat info dari Kang Sulih, meski berita yang didapat salah, akibat doktrin yang berlebihan Lik Narso kepada Kang Sulih, tapi tak membuat putus asa Cahyadi untuk mencari informasi tentang masa lalu Lik Narso dan lembaga Swadaya Masyarakat yang dibangun bersama Sawiji, salah satu yang hilang di dalam hutan ketika kebakaran terjadi di tahun 90-an. “Narso itu Sengkuni, mau mengadu domba warga sini bro, dia menggunakan cara-cara halus, seakan tangannya bersih tak berlumuran darah, percayalah sebenarnya dia pengkhianat.” Pria berjumper hitam dengan logo mata elang membuka tudung kepalanya, ia berkata kepada Safitri bahwa Lik Narso sebenarnya adalah orang dibalik datangnya para investor yang mengubah hutan lindung menjadi rumah mewah di lereng bukit desa. Penjahat masa lalu yang harus dihentikan sepak terj­angnya. Dia adalah Aris Sunarso yang mengkhianati teman seper­juangannya. Sambil melemparkan amplop coklat ke meja Cahyadi yang berisi foto-foto lama, tentang perjuangan mem­ 22 Ini Bangsa Juga Punya Saya

per­tahankan hutan lindung dari ulah para investor. Foto dan beberapa lembar surat-surat penting sudah cukup kuat untuk menyeret Aris Sunarso ke penjara. Aku bukan warga sini, alang­ kah baiknya, segera berkumpul menuju gerakan yang benar. Kemarin kita tidak jelas mana kawan mana lawan, sekarang saat bersatu di pihak yang benar melawan kebatilan. Rumah Safitri yang selalu ditumbuhi bunga-bunga menam­ bah cantik rumah kecil. Apa ada yang salah pada kami untuk menjaga hutan kami, bagaimana hak kami untuk memperoleh kesejahteraan sebagai manusia dan warga. Bagaimana kami bisa hidup layak bila selalu diusik dengan apa yang kami kurang pahami. Teringat tangan-tangan kekar menjamah tubuhnya di dekat pohon jati, sampai pingsan melihat kupu-kupu ber­ terbangan di antara bunga di pinggir desa. Si Jumper Hitam mencoba memberi rasa tenang ketika Safitri menceritakan masa lalunya, di rimbun pohon jati. Erlangga mestinya bertanggung jawab dan mengawininya. Aib memalu­ kan ini dijadikan senjata Lik Narso untuk melumpuhkan Pak Lurah lewat sepupunya. Kini Erlangga merasa bersalah, setelah semua masa lalunya terbongkar dengan foto-foto hasil jepretan Si Jumper Hitam. Ia ditangkap aparat atas semua tuduhan yang lengkap beserta bukti foto. Ia dibawa mobil polisi, dianggap seba­gai biang kerusuhan dan perusakan kantor balai desa. Se­ mentara Sulih dan Lik Narso menyerahkan diri ke kepolisian, sambil menunggu gelar sidang perkara di pengadilan tentang kejahatan-kejahatan di masa lalu. Pria berjumper itu memancing semuanya dalam kemelut itu, pada akhirnya kebenaran akan terungkap, Safitri sendiri merasa lepas dari dendamnya. Safitri menangis di pundaknya. Semua perasaan tertumpah. Kerinduan serta keinginan terus ber­ sama tak terpisahkan oleh apapun. Kalung bermata elang yang dipakai pria itu menarik perhatian Safitri. Mengingatkan pada foto seseorang yang ada di dekat ayahnya 23 tahun yang lalu. Antologi Cerpen Kebangsaan 23

Dekapan itu berubah menjadi hasrat. Siapa pria berjumper hitam itu? Rambani, anak salah satu aktivis 98. *** 24 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Amelia Putri Revani UNTUK INDONESIA “Hiduplah Indonesia Raya...” “Kepada sang Merah Putih, hormaatttt grak! Tegaakkk grak!” Semua kegiatan yang sempat tertunda lagu “Indonesia Raya” kembali menyibukkan warga SMA Nusantara. Mengumandang­ kan lagu “Indonesia Raya” setiap pagi adalah salah satu tradisi di sekolahku. Aku sangat menyukainya. Rasa nasionalisme yang tinggi. Meskipun tidak sedikit yang bermain-main, mengobrol saat menyanyi, bahkan yang tidak hormat pun ada. Temanku termasuk di dalamnya. Sudah berkali-kali aku mengomel ten­ tang itu, berkali-kali juga mereka mengabaikanku. Sekarang iya, besok lupa. Sekarang maaf, besok diulang lagi, maaf lagi, ulang lagi, maaf lagi, itu terjadi terus menerus. Seperti pagi ini, saat menyanyi, Ra dan Feby justru ber-selfie di pojok kelas. “Ra! Feby! Kalian harusnya ikut hormat. Pahlawan kita udah berjuang seluruh jiwa raga buat bendera itu. Kalian harusnya menghormati. Kalo tidak ada bendera itu, takkan ada presiden Indonesia. Bahkan mungkin sekarang kita lagi diserbu tentara Jepang gak ada mereka.” “Itu udah garis takdirnya kali, Din. Jangan marah-marah mulu lah. Cantiknya ilang loh.” Feby justru bercanda cengenges­ an. Aku yang mulai panas, memilih meninggalkan mereka me­ nuju bangkuku. Kriiinnggg…. Kriiinnggg…. Kriiinnggg... Antologi Cerpen Kebangsaan 25

“Selamat pagi anak-anak.” Seorang guru berwajah cantik dengan beberapa buku di tangannya masuk ke ruang kelas XI SOSIAL 8. Usianya sekitar 50-an, tubuhnya gempal, rambutnya keriting, dan kulitnya putih. Ia adalah Bu Rini, guru sejarahku. Aku sangat suka sejarah. Berbanding terbalik dengan kedua temank­ u yang sangat benci pelajaran mengenang masa lalu. Menurutku, sejarah itu menyenangkan. Setiap ceritanya seperti puzzle masa lalu yang menjelaskan kehidupan masa kini. Puzzle yang tak ada habisnya, sangat sulit dipecahkan dan penuh ke­ ajaiban. Aku ingin menggenapkan puzzle tersebut menjadi lukisan yang indah. Namun, ada yang berbeda hari ini. Bu Rini tidak datang sendiri. Di belakangnya ada seorang lelaki seumuranku. Kulitnya putih bersih, rambutnya rapi, badannya tegap, ia mengenakan seragam putih abu-abu sepertiku, tetapi dengan badge berbeda. Ia jelas bukan siswa sekolah ini. “Anak-anak, hari ini kita kedatangan teman baru. Nak, silahkan perkenalkan dirimu.” Ucap guru penyabar itu. “Hai. Namaku Raden Muhammad Fajar. Panggil aja Raden. Aku dari Jogja. Salam kenal. Semoga kalian mau berteman denganku.” Ucap lelaki itu tersenyum. Deg. Aku terkejut. Bukan karena apa, tapi aku seperti me­ ngenalnya. Aku tidak asing dengan bentuk mukanya, senyum­ nya, dan suaranya. Tapi, aku tak pernah punya kenalan bernama Raden. Aku bahkan belum pernah bertemu dengan anak ini sebelumnya. “Hai. Bolehkan aku duduk di sini?” suara seseorang me­ narik­ku kembali dari dunia penuh imajinasi yang kubuat sen­ diri. Ternyata lelaki tadi. “Boleh.” Aku menjawab singkat. Kesadaranku belum se­ utuh­nya kembali. “Raden.” Ia mengulurkan tangannya, tersenyum ke arahku. 26 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Ardiana Hanathan. Adin.” Kuterima uluran tangannya, balas tersenyum. Bu Rini menuliskan tugas di papan tulis sebelum mening­ galkan kelas karena ada urusan penting. Raden yang duduk di sebelahku fokus mengerjakan tugas. Sesekali membuka catatan, lalu tersenyum sendiri. Kurasa, Raden suka sejarah. “Apa kau suka sejarah?” aku memutuskan bertanya, mem­ buka pembicaraan. “Sangat.” Aku lega mendengarnya. Raden selesai dengan cepat. Ia berkenalan dengan teman-teman di sekitarnya. Raden orang yang menyenangkan, sangat mudah bergaul. Buktinya, sekarang ia sudah punya teman dekat, Alfaro dan Samuel. Manusia-ma­ nusia pemuja ruang BK. Kata mereka, ruang BK sangat menye­ nangkan, ada AC, banyak makanan, sepi. Entahlah, mungkin mereka terkena gangguan jiwa. Setelah berkenalan singkat itu, kami saling bercerita se­ panjang pelajaran. Mulai dari Ra dan Feby yang menceritakan tentang sekolah, Al dan Sam yang curhat tentang banyaknya tugas, guru cantik, guru killer, peraturan sekolah yang setebal kamus Inggris-Indonesia, dan masih banyak lagi. Raden bercerita tentang daerah asalnya, Jogja. Aku hanya menyimak, sesekali menimbrung. Kami semakin dekat. Saat istirahat, kami berenam pergi ke kantin bersama-sama, makan di meja yang sama, dan entah itu suatu kebetulan atau bukan kami sering satu kelompok saat ada tugas. Mereka sangat menyenangkan. Tapi aku tidak tahu, sejak saat itu, kehidupanku berubah drastis. Malam telah tiba. Setelah selesai belajar, aku segera menuju ranjangku. Membaca buku tentang sejarah Indonesia sambil meminum segelas susu. Setelah habis, kumatikan lampu kamar lalu tidur pulas. Aku mengerjapkan mataku. Tunggu, di mana aku? Bukan­ kah semalam aku tidur di kasur empuk, kenapa sekarang aku Antologi Cerpen Kebangsaan 27

bangun di kasur lantai? Rumah siapa ini? Terbuat dari anyaman bambu, tanpa lampu, tak ada tv, hp, kulkas, pun jam dinding. “Kau sudah bangun Marni?” seorang wanita paruh baya datang membawa segelas air putih. Rambutnya beruban, kulit­ nya berkeriput, jalannya sedikit membungkuk. Siapa Marni? Apa dia berbicara padaku? Tapi jika bukan aku, siapa lagi? Hanya ada aku dan dia disini. “Maaf bu, siapa Marni?” tanyaku hati-hati yang ia jawab dengan tawa renyah. “Tentu saja kau. Siapa lagi? Mimpi apa kau ini, Nak. Apa kau amnesia sampai lupa namamu sendiri?” ia meletakkan se­ gelas air putih di depan tempatku duduk. “Tapi nama saya Adin bu, bukan Marni.” Jawabku naif. Wanita paruh baya itu tertawa lagi. “Adin? Anak siapa itu? Apa kau tidak suka dengan nama Marni? Itu pemberian kakekmu, Nak. Nama tercantik di desa ini.” Jawabnya. Baiklah. Kuakui, semenjak datangnya Raden di kelasku, hal-hal ganjil sering terjadi padaku. Aku tak tahu. Aku bingung. Aku memutuskan untuk mengikuti setiap alur cerita ini. Tiba-tiba, seseorang datang. Dia lelaki yang kurasa seumur­ an dengan ibu-ibu di depanku ini. Di belakangnya muncul dua pemuda yang sedang memapah seseorang. Raden! Itu Raden! Wajahnya kotor, keadaannya buruk, dan lengan kirinya dibalut kain putih. Aku tahu itu luka. Darahnya terlihat menutupi per­ mukaan kain. Aku sungguh terkejut, bahkan sampai menutup mulutku menahan teriakan. “Bujang anakku, Apa yang terjadi, Nak?” wanita paruh baya tadi langsung histeris melihat Raden—atau Bujang yang lemas tak berdaya. Aku membeku di tempatku. “Kita diserang. Baru saja, markas Bujang dikepung tentara Belanda. Dua teman Bujang tewas, tiga lainnya terluka seperti Bujang. Kita tidak bisa terus diam. Kita harus segera melawan.” 28 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Lelaki tua tadi berkata tegas. Walau rambutnya beruban, ia masih terlihat kuat dan sangat berwibawa. Tunggu, lelaki itu mem­ bicarakan apa tadi? Markas Bujang diserang Belanda? Melawan? Melawan siapa? Kita dijajah lagi? Saat otakku penuh dengan pertanyaan yang tak tahu harus kumuntahkan pada siapa, wa­ nita paruh baya tadi memegang kedua bahuku. Tatapannya men­jadi redup. Matanya mengisyaratkan kekhawatiran. “Nak, perang besar akan terjadi. Ayah dan abangmu akan pergi bertempur. Doakan mereka. Kau, berhati-hatilah. Sembuh­ kan orang yang butuh pertolonganmu. Doaku menyertaimu.” Setitik air bening lolos dari matanya, suaranya bergetar. Aku merasakan besarnya rasa sayang ibu ini untukku. Aku mulai tahu alur cerita ini. Kriingg... Kringg... Kringg... Ini kamarku. Aku telah kembali ke duniaku. Semua orang di depanku menghilang. Segelas air, kasur lantai, dan rumah anyama­ n bambu tadi lenyap tak bersisa. Aku meraih jam beker­ ku. Pukul 04:00. Rupanya hanya mimpi. Tapi kenapa mimpi itu sangat nyata? Dan kenapa Raden? Pertanyaan itu selalu bersamaku. Aku ingin bertanya. Namun, kepada siapa? Jam demi jam berlalu. Hari demi hari kulewati. Semua ber­ jalan seperti biasa. Tentu saja pertanyaan tanpa jawaban itu menj­adi pengecualian. Semakin hari, semakin banyak hal-hal ganjil yang terjadi. Mimpi yang entah baik atau buruk itu selalu menemani malamku. Ceritanya seakan berlanjut. Dan selalu ada Raden di sana. Perang menjadi tema utama di mimpi yang seperti putaran film masa lalu itu. Film dengan aku dan Raden tokoh utamanya. Tapi aku tak tahu apa peranku. Setiap ceritanya kuperhatikan baik-baik. Semakin lama semakin menegangkan. Semua itu seakan benar-benar terjadi, nyata, realistis. Setiap malam aku memikirkan jawaban atas pertanyaanku sendiri. Aku berusaha memecahkan misteri. Setiap kejadiannya, kuingat betul di kepala. Namun, malam tadi tak ada lanjutan Antologi Cerpen Kebangsaan 29

cerita. Setelah berhari-hari dihantui Bujang dan Marni, malam tadi aku tak bermimpi itu lagi. Bukan berarti aku mimpi indah, menjadi putri kerajaan yang dijodohkan dengan pangeran ganteng lalu hidup bahagia selamanya. Tetap hal ganjil yang aku dapat. Seorang kakek datang di mimpiku. Rambutnya putih, berjenggot panjang, ia berjalan mengenakan tongkat, bajunya putih, dan jalannya membungkuk. Ia mendekatiku saat duduk di sebuah bangku taman, di depan air mancur yang bergemericik indah. Aku sangat mengingatnya. “Ikuti alurnya. Biarkan semua mengalir seperti air. Air itu akan membawamu ke ujung, ke sebuah hilir yang luas. Sesuatu yang kaucari berada di sana.” Di malam kedua, ia mendatangiku lagi. “Suatu saat kau akan hidup kembali. Menjadi seseorang yang jauh berbeda dengan masa lalumu. Kau takkan ingat apa pun kecuali ingatan itu yang mendatangimu. Saat kau tahu kehidupanmu dulu, amatilah, pelajarilah, ambil setiap hikmah­ nya, jadikanlah itu sebagai motivasi hidupmu.” Aku tak begitu paham saat itu. Saat hendak bertanya, semuan­ ya telah lenyap berganti dengan tembok kamarku. Aku menjalani hariku seperti biasa. Bertemu teman-temanku, mema­ rahi Ra, Feby, Al, dan Sam saat tidak mau menyanyi “Indonesia Raya”. Lalu, bernyanyi bersama di rooftop sekolah. “Kalian percaya reinkarnasi?” kataku memecah keheningan rooftop sekolah. Semua mata menatapku heran. Beberapa detik, lalu mereka tertawa. Kecuali Raden. “Kenapa ketawa? Kan aku cuma tanya.” “Kenapa tiba-tiba tanya gitu?” kali ini Raden membuka suara. “Sebenarnya…” aku menceritakan semua mimpi yang meng­­ hantuiku selama ini. Detail, rinci, tak kurang suatu apa pun. Me­ reka justru tertawa terbahak-bahak. 30 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Mana mungkin orang mati hidup lagi, Adin... Adin...”Al tertawa sambil menepuk-nepuk Sam di sampingnya. “Udah. Katanya mau ngerjain tugas, ayo ke rumahku seka­ rang.” Raden menengahi. Kami berenam segera menuju rumah Raden hendak menger­ jakan tugas kimia yang tak ada ujungnya. Kami bergegas menuju perpustakan rumah Raden. Saat semua sibuk mengerjakan PR, aku melihat-lihat buku yang tertata rapi di rak. Aku mengambil sebuah buku bersampul cokelat yang berdebu di barisan Sejarah Indonesia. Kuusap lembut sampul buku tua itu. Tiba-tiba, keluar cahaya saat aku membukanya. Ra, Feby, Raden, Al, dan Sam berlari ke arahku. “Apa itu, Din?” tanya Ra kebingungan. “Aku menemukannya di rak Sejarah Indonesia. Saat ku­ buka, buku ini tiba-tiba bercahaya.” Aku takut, bercampur bingung, tapi penasaran. Dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya, aku membuka halaman selanjutnya. Kilau cahay­ a menutup pandanganku. Aku tak bisa melihat apa-apa. Tiga detik, pandanganku mulai membaik. Belum sepenuhnya pandanganku kembali, terdengar teriakan dari belakangku. “Awas!!” aku tak tahu jika di belakangku sedang ada simu­ lasi perang. Bukan. Ini jelas bukan hanya simulasi, ini perang sungguhan. Aku segera berlari ke sebuah rumah tempat teman- temanku berada. Namun, belum sempat aku sampai, ada se­ buah pistol tertuju ke arahku. Memang jauh. Tapi, saat bunyi ‘dor’ terdengar, peluru itu melesat cepat membelah udara. Saat itu juga, seluruh tubuhku seakan terkunci. Otakku menyuruhku segera berlari, tapi ragaku tetap berdiri. Aku hanya bisa meme­ jamkan mataku. Menikmati ritme detak jantung yang tak tentu. Mungkin ini akhir hidupku. Mataku terpejam semakin erat. Aku pasrah dengan ajalku. Tapi, aku tak merasakan apa-apa. Apa aku sudah mati? Kubuka mataku perlahan. Antologi Cerpen Kebangsaan 31

Brukkk…Seorang lelaki di depanku jatuh terduduk sambil memegangi lengannya. “Lari!” “Raden.” Aku berkata lirih. Penglihatanku semakin buram. Setetes air mata meluncur di pipiku. “Pergi!” suaranya meninggi. Aku segera menuruti perin­ tahn­ ya. Ini semua salahku. Raden tertembak karena aku. Sesam­ painya di rumah yang kutuju, aku segera masuk lalu mengunci pintunya. Di dalamnya ada Ra, Feby, Al, Sam, dan ... Raden! Jika itu Raden, orang tadi siapa? Aku mengintip dari jendela. Orang tadi berdiri kembali dengan lengan berdarah. Ia berlari ke teras sebuah rumah. Dan di sana ada seorang wanita berbaju putih, di sekelilingnya ada kotak P3K dan perban-perban. Saat gadis itu mendongak, aku sangat terkejut. Orang itu mirip sekali denganku. Ia mengobati “Raden” yang terluka. Setelah selesai, “Raden” berlari kembali menuju medan perang. Aku mem­perhatikan perang besar itu. Aku baru sadar, tempat ini mirip sekali dengan mimpiku. Tempat aku menjadi Marni dan bertemu dengan Bujang. Aku mengatakan itu pada teman- teman­ku. Mereka mulai ikut mengintip di sebelahku. Mereka terkejut saat melihat dua orang yang mirip denganku dan Raden. Saat ini, kami diselimuti banyak pertanyaan. Namun, pada siapa kami akan bertanya? Kami bahkan tak tahu ada di mana. Beberapa menit lalu, kami hanya sedang mengerjakan tugas, menemukan buku tua, membukanya, lalu boom! Kami tersesat di sini, seakan kami baru saja melewati dimensi ruang dan waktu. Kami berenam terus menatap ke depan. Tembakan pistol terdengar di mana-mana. Pekikan “Mer­ deka! Allahu Akbar!” memenuhi langit- langit. Teriakan bahasa Jepang yang tak kumengerti terus terdengar. Tangisan histeris dari ibu-ibu dan anak-anak membuat hatiku teriris. Air mata meluncur membasahi pipiku. Aku terdiam, ingin membantu, tapi aku tak bisa apa-apa. Teriakan kesakitan terdengar jelas. 32 Ini Bangsa Juga Punya Saya

Darah-darah mewarnai jalan. Raga yang tak bernyawa ter­ geletak di mana-mana. Seorang lelaki yang kurasa itu Bujang, berlari ke arah sebuah hotel besar. Ia melewati puluhan penjajah yang terus menembakinya. Namun, tembakan itu seakan tak berarti untuknya. Peluru itu justru terpental saat menghantam tubuhnya. Bujang terus berlari memasuki pekarangan hotel. Ia memanjat tiang yang diujungnya terdapat bendera Belanda. Dengan keberaniannya, Bujang menyobek kain biru bendera itu. Jadilah Bendera Merah Putih berkibar di Hotel Yamato. Bujang pun turun. Saat ia turun dari gerbang, sebuah benda miliknya ter­ sangkut di ujung gerbang. Aku tahu itu sebuah jimat yang melin­ dunginya dari ribuan peluru tadi. Aku bingung harus bagaimana. Itu bukan pertanda baik. Hipotesisku benar, sebuah peluru datang tepat mengenai pelipis Bujang, merobohkan Bujang. Aku berteriak histeris, begitu juga dengan teman-teman­ku. Bujang terjatuh, dan saat itu Marni berlari memeluk Bujang sambil menangis histeris terus meneriakkan nama Bujang. Marni tak peduli dengan pistol- pistol yang mengancamnya. Seo­ rang pemuda menghampiri Marni, tersenyum licik seperti meng­goda Marni. Marni justru meneriakinya. Lelaki itu mundur beberapa langkah lalu ‘dorr!’ Marni terjatuh di samping jasad Bujang. Darah menyelimuti tubuh mereka. Air mata tak kunjung berhenti keluar dari mata­ ku. Aku paham kedekatan dua kakak beradik ini. Aku tahu ini potongan puzzle terakhir. Ini hilir yang dimaksud kakek tua itu. Ini adalah episode terakhir dari mimpik­ u. Saat aku dan teman-temanku menangis, seorang wanita paruh baya menghampiri kami bersama seorang kakek tua yang datang di mimpiku. Wanita itu adalah ibu Bujang dan Marni. Matanya sembab, aku sangat iba, mengetahui besarnya kasih sayang ibu ini kepada Marni dan Bujang, anaknya. “Kalian telah sampai di hilir itu, Nak.” Ia menatapku dan Raden. Kalian? Apa Raden juga sama denganku? Dihantui mim­ pi perang itu? Antologi Cerpen Kebangsaan 33

“Mengapa Bujang dan Marni mirip dengan kalian? Karena itu memang kalian di masa perang. Sekarang, kalian dilahirkan kembali menjadi remaja yang tangguh. “Maksud kakek reinkarnasi?” tanyaku. “Ya seperti itulah.” Aku terkejut. Ternyata, reinkarnasi itu benar-benar nyata. *** “Kepada sang Merah Putih. Hormaattt grakk!” suara lantang Raden membelah langit sore. Bendera Merah Putih tampak sangat gagah berkibar di tiang tertinggi di Pulau Jawa, di atas awan. Aku menangis terharu. Bangga terhadap Indonesiaku. “Tegaakkkk grakk!” Aku, Ra, Feby, Raden, Al, dan Sam duduk di depan api unggun sambil menatap awan yang ditimpa cahaya jingga matahari terbenam, bersama sang Merah Putih yang terus berkibar. Kami menikmati malam indah dengan penuh bintang. Membicarakan banyak hal, lalu tertawa bersama. Sejak kembali dari buku itu, teman-temanku mulai memiliki rasa nasionalisme. Kami bernyanyi di bawah sinar rembulan. Raden meng­ hampiriku yang sedang duduk sendiri menatap ribuan bintang di langit. “Perjalanan yang menyenangkan bukan?” Raden duduk di sebelahku. “Ya. Aku menemukan banyak hal baru. Aku tak pernah me­ nyangka aku pernah hidup di zaman Belanda.” Aku mengatakan itu sambil mengusap kedua tanganku lalu meniupnya. Di sini sangat dingin. Aku memeluk tubuhku sendiri. “Aku tak pernah menyangka aku pernah punya adik se­ cerewet ini. Harusnya, kau tidak usah mendekatiku dan mema­ rahi lelaki itu, Marni. Kau naif sekali. Kalau aku ada di sana, mungkin aku akan menendangmu karena kegilaanmu itu.” Raden tertawa, aku juga. 34 Ini Bangsa Juga Punya Saya

“Tapi untungnya, kita dilahirkan kembali dari rahim yang berbeda. Iya kan?” Raden melepas jaketnya, memakaikannya ke badanku. Lalu ia membawa kepalaku menyandar di bahunya. Aku bingung kenapa aku hanya diam. Aku bahkan lupa baru saja Raden berkata apa. Tubuhku menerima perlakuan Raden. Jujur aku nyaman berada di bahunya. Hawa dingin hilang sekejap digantikan rasa hangat yang disalurkan Raden dari per­ lakuannya. Kami hanya saling diam, tak menemukan topik yang bisa dibahas. Aku terus menatap bintang gemintang yang tak kunjung meredup. Ia terus bersinar di langit sana. “Hoaammm” aku menguap. “Sudah larut malam. Ayo kembali ke tenda. Yang lain sudah duluan.” Raden seakan tahu bahwa aku sudah sangat mengan­ tuk. Kami segera beristirahat, mengumpulkan tenaga untuk menuruni Gunung Slamet besok pagi. Antologi Cerpen Kebangsaan 35

Ariadi Rasidi LELAKI YANG TAK LUPA MUASAL Ketika kecil ia telah merasakan pahit getirnya kehidupan. Namanya cukup singkat, Salimin. Emaknya meninggal dunia tatkala melahirkan dirinya. Bapaknya adalah seorang lelaki yang tegar dan menjunjung tinggi arti sebuah kesetiaan. Sepeninggal istrinya ia bertekad akan membesarkan Salimin anak semata wa­yangnya. Dalam benak tak ada pikiran mencari wanita lain untuk dijadikan ibu tiri Salimin. Namun, rahasia kematian ada­lah milik Tuhan. Hanya Tuhan yang menentukan kehidupan seorang manusia. Dua belas tahun kemudian sang ayah tiba-tiba wafat menyusul istrinya ke rumah Tuhan. Lengkaplah predikat yang disandang Salimin ketika itu. Sekarang Salimin berpredikat anak yatim piatu. Bapaknya tak bisa meninggalkan harta benda berlimpah. Desa tempat tinggalnya termasuk desa terbelakang. Hanya sebuah rumah kecil berlantai tanah berdinding papan yang diwariskan oleh almarhum orang tuanya. “Malang benar nasibmu, Min,” rata-rata para pelayat me­ nyuara­kan kalimat seperti itu ketika bertakziah di rumah duka. “Jika aku kaya kuangkat engkau menjadi anak angkat, Min,” Lik Parto tetangga sebelah bergumam entah tertuju pada siapa. “Sayang aku juga miskin seperti ayahmu,” lanjut Lik Parto kemudian. Para pelayat yang duduk di sekitar Lik Parto kemudian ikut bergumam. Sayang, para tetangga yang bermukim di sekitar rumahnya rata-rata juga miskin seperti kehidupan almarhum 36 Ini Bangsa Juga Punya Saya

ayahnya. Mata pencaharian mereka rata-rata hanya sebagai bu­ ruh tani harian. Untung masih ada Haji Kabul yang masih bersedia meno­ long dirinya. Kebutuhan hidup sehari-harinya dicukupi oleh Pak Haji Kabul. Siang hari ia disuruh mencari rumput dan mengg­ embalakan kambing milik Pak Haji Kabul. Pagi hari ia disekolahkan di madrasah aliah negeri. Malam hari oleh Pak Haji Kabul digembleng pelajaran ngaji. Nasib seseorang memang tak bisa diramal sebelumnya. Tuhan pemilik alam dan seluruh mahluk adalah penentu segala­ nya. Demikian juga pada nasib diri Salimin. Ketika ia sudah duduk di kelas dua sekolah menengah atas tiba-tiba merasakan selur­ uh permukaan kulitnya gatal-gatal terus memerah. Oleh dokter ia didiagnosis terserang penyakit kulit yang kronis. Semenj­ak itu seluruh teman sepermainannya mulai menjauhi dirinya. Meski demikian, ia tetap tabah. Hatinya masih baja. Ia tak berputus asa. Salimin yang dikucilkan tetap masuk sekolah. Haji Kabul sangat prihatin atas nasib malang anak angkatnya itu. Haji Kabul berupaya sekuat tenaga menyembuhkan penyakit yang diderita Salimin. Selain lewat doa-doa yang dilangitkan kepada Tuhan Zat Maha Segala, Pak Haji juga membuat ramuan obat tradisional guna dilumurkan pada sekujur tubuh Salimin. Setiap malam dilakukan Pak Haji Kabul dengan penuh kasih sayang. Menjelang ujian akhir SMA, Tuhan berkehendak lain. Penyakit yang diidap Salimin sembuh total. Bahkan ia berhasil meraih ijasah SMA dengan nilai tertinggi. Namun, teman-teman sepermainannya sudah terlanjur menjauhi. “Pak Haji, saya sudah besar, ijazah SMA sudah saya dapat, ilmu agama sudah saya dalami. Saya rasa sudah sangat cukup seb­ agai bekal mencari nafkah sendiri,” tutur Salimin hati-hati di hadapan Haji Kabul seusai menyelesaikan pelajaran ngaji malam itu. Antologi Cerpen Kebangsaan 37

“Maksudmu bagaimana, Min.” “Saya ingin merantau ke kota besar, Pak.” “O… Allah, Min, engkau masih terlalu kecil untuk meng­ hadapi beratnya kehidupan di sebuah kota besar. Hidup di sana sangat keras. Jauh berbeda bila engkau hidup di desa. Di sini engkau akan kucukupi kebutuhan hidupmu. Lanjutkan sekolah­ mu, Min,” ayah angkatnya mencegah maksud dan tujuan anak angkatnya. “Kapankah lagi saya menjadi dewasa jika setiap saat harus menggantungkan hidup kepada bapak,” ia bersikukuh dengan pendapatnya. “Min pikiranmu lha mbok jangan macam-macam.” “Saya rasa Gusti Allah akan melindungi dan selalu melim­ pahkan rezeki selama merantau di kota, Pak,” ia mengutarakan argumentasinya. “Iya, saya tahu dan meyakininya, tapi seandainya engkau menghadapi berbagai tantangan dan cobaan, bagaimana Min?” “Bapak jangan terlalu mencemaskan saya. Seandainya ada tantangan rintangan cobaan akan saya hadapi, akan saya syukuri sebagai nikmat yang diberikan oleh-Nya. Aku akan tetap ingat kepada Gusti Allah dan mencoba mengurai tantangan itu de­ ngan tawakal, Pak.” “Baiklah, Min jika sudah menjadi tekadmu. Di kota engkau bisa menemui adikku. Sebelum mendapat pekerjaan tinggallah sementara di sana. Adikku adalah seorang pedagang sate ayam. Ia memiliki sebuah restoran besar. Bekerjalah untuk sementara di sana,” akhirnya ayah angkatnya merelakan Salimin mening­ galkan desa. “Terima kasih, Pak. Mohon doa restunya. Saya tidak akan melupakan desa ini Pak.” “Berangkatlah besok pagi, Nak. Insya Allah Gusti yang Maha Kuasa selalu besertamu, Nak,” ayah angkatnya kemudian membacakan doa untuk keselamatan anak angkatnya itu. 38 Ini Bangsa Juga Punya Saya

*** Di kota setiap hari Salimin bekerja sangat tekun membantu adik Haji Kabul. Ia diberi tugas menyembelih, mengupas kulit, dan memisahkan daging ayam dari tulang kemudian memotong kecil-kecil terus ditusukkan ke batang-batang sapu lidi yang runcing. Salimin anak yang cerdas. Berkat tempaan hidup di desa yang sarat dengan pahit getir membuat alam pikirannya dewasa. Di samping bekerja dengan tekun setiap harinya, ia mempelajari segala seluk beluk manajemen pengusaha restoran sate ayam milik adik Haji Kabul. Tak hanya itu saja. Di kota besar ia mene­ rapkan hidup hemat. Ditabung upah yang diterima dari adik ayah angkatnya itu. Sepuluh tahun kemudian. Setelah ia merasa mampu berdiri sendiri tabungannya dipecah untuk modal berdagang. Salimin menawarkan dagangan sate ayam dari kampung ke kampung menggunakan gerobak dorong. Ia merasakan keuntungan yang didapatkan setiap hari cukup besar. Ditabung lagi keuntungan dari hasil penjualannya. *** Kehidupan manusia tak ubahnya seperti perputaran roda pedati. Berputar pelan. Terkadang di bawah ada kalanya di atas. Kini nasibnya sedang berada di atas. Ia sekarang menjadi pe­ ngusaha sate ayam yang sukses. Sebuah warung makan cukup besar berhasil dibangunnya. Kini ia hidup bersama istri dan dikaruniai dua orang anak dengan serba berkecukupan. Anak sulungnya duduk di bangku semester akhir universitas ternama di kotanya. Sedangkan yang bungsu baru saja tamat SMA. Meski Salimin hanya tamatan SMA, namun ia memiliki semboyan hidup. “Di jaman global seperti sekarang pendidikan harus diutamakan. Orang tua di zaman dulu boleh berpendidikan rendah namun anak keturunannya harus dapat mengenyam pendidikan setinggi langit Antologi Cerpen Kebangsaan 39


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook